1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya masalah tanah adalah sangat aktual bagi manusia dimana saja, terutama
dalam masa pembangunan, karena tanah merupakan faktor penting yang berpengaruh pada
jalannya pembangunan. Tanah juga mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, ada
pertalian yang sangat erat antara hubungan manusia dengan tanah yaitu sebagai tempat tinggal
dan sebagai sumber kelangsungan hidup manusia. Tanah kerap melahirkan permasalahan
yang tidak sederhana, baik permasalahan yang timbul dalam bidang-bidang sosial, ekonomi,
politik, hukum, atau bidang-bidang lainnya.
Didalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa:
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan atas tanah bagi kepentingan masyarakat,
dan dalam rangka memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak
warga negaranya baik hak perseorangan maupun publik atas tanah dan rumah, pemerintah
telah menekankan pentingnya pendaftaran hak atas tanah, serta pengurusan izin mendirikan
bangunan, maka diperlukanlah suatu aturan untuk menjamin kepastian dan perlindungan
hukum bagi pemegang hak atas tanah, agar dalam pemanfaatan atau penggunaan tanah terjadi
suatu keteraturan.
Untuk mengatur mengenai tanah tersebut telah dibentuk Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas
tanah, maka pemerintah menyediakan suatu lembaga baru yang dahulunya tidak dikenal
dalam hukum adat yaitu lembaga pendaftaran. Pendaftaran tanah dilakukan sangat berguna
1
bagi pemegang hak atas tanah terutama untuk memperoleh bukti kepemilikan hak dengan
dikeluarkannya sertipikat hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dalam rangka menjamin kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah
menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia,
sebagaimana diamanatkan Pasal 19 UUPA. Pasal tersebut mencantumkan ketentuanketentuan umum dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu :
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi :
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat,
keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang
ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh
Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan pendaftaran tanah
dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Demikian halnya dengan setiap peralihan dan hapusnya pembebanan hak-hak lain
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 32
ayat (1) UUPA, Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, bahwa setiap
peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal tersebut diatas. Untuk menindak lanjuti hal tersebut,
telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah tersebut selama lebih dari 30
2
Tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan.1 Dan pada Tanggal 8 Juli 1997
ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, menggantikan peraturan pemerintah nomor 10 Tahun 1961, yang mengatur pelaksanan
pendaftaran tanah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA.2 Salah satu tujuan
diadakannya revisi terhadap Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah adalah untuk lebih memacu pelaksanaan pendaftaran tanah yang selama ini dirasakan
berjalan cukup lamban.3
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat merupakan tugas negara yang
diselenggarakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan status
hak atas tanah di Indonesia. Pendaftaran tanah oleh pemerintah tersebut diselenggarakan oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN) yaitu sebuah lembaga Pemerintahan non Departemen yang
bidang tugasnya meliputi pertanahan. Kantor Pertanahan adalah unit kerja BPN di wilayah
kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar
umum pendaftaran tanah. Dalam melaksanakan tugasnya kantor pertanahan dibantu oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta atas tanah.
Adapun tujuan dari pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
1
2
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 470-480.
Ibid, hlm. 469.
Soedjono dan H.Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 32.
3
Selain tujuan diatas, menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa manfaat dari
pendaftaran tanah dapat dipetik oleh 3 pihak yaitu;4
1. Pemegang hak atas tanah itu sendiri, sebagai pembuktian atas haknya.
2. Pihak yang berkepentingan, misalnya calon pembeli tanah, atau kreditur untuk
memperoleh keterangan atas tanah yang menjadi objek perbuatan hukumnya.
3. Bagi Pemerintah yaitu dalam rangka mendukung kebijaksanaan pertanahannya.
Mengenai pentingnya pendaftaran tanah, Bachan Mustafa berpendapat bahwa
pendaftaran tanah akan melahirkan sertipikat tanah, mempunyai arti untuk memberikan
kepastian hukum, karena hukum jelas dapat diketahui baik identitas pemegang haknya
maupun identitas tanahnya. Jadi apabila terjadi pelanggaran hak milik atas tanah dapat
melakukan aksi penuntutan kepada sipelanggar berdasarkan hak miliknya itu.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, pengertian pendaftaran tanah adalah :
“rangkaian kegiatan yang dilakukan serta terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun
serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” 6
Dan pada Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang isinya :
“sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik
dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah
yang bersangkutan.”
Berdasarkan isi Pasal tersebut di atas sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang
kuat yang berarti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis
yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sebagaimana juga dapat
4
5
6
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2005, hlm. 20.
Mustafa Bachsan, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya CV, Bandung, 1984, hlm. 58.
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm. 474.
4
dibuktikan dari data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukurnya. Jadi didalam
penguasaan suatu bidang tanah sertipikat hak atas tanah sangat penting untuk dimiliki demi
terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegangnya.
Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi data fisik
yaitu keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian bangunan atau bangunan
yang ada di atasnya bila dianggap perlu dan data yuridis yaitu keterangan tentang status hak
atas tanah dan hak penuh karena lain yang berada di atasnya.7 Pengertian sertifikat tersebut
telah ditetapkan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah
Sehingga dapat dikatakan bahwa pemilik sertifikat hak atas tanah adalah merupakan
pemilik yang sah atas obyek tanah sebagaimana di sebutkan dalam sertifikat hak atas tanah
tersebut dan harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya dari pengadilan dengan alat
bukti yang lain.8
Terhadap banyaknya kasus-kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat maka
sangatlah perlu dicari cara penyelesaiannya yang sangat menguntungkan bagi kedua belah
pihak, yaitu penyelesaian sengketa tanah dengan musyawarah mufakat, dan apabila tidak
menemukan penyelesaiannya maka dapat deselesaikan melalui lembaga peradilan baik
peradilan umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara.
Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi
atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan tumpuan harapan bagi
pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara.
Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang
sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah
melalui pengadilan.9
7
8
9
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 20.
Ibid.
Abdurrahman, Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 63.
5
Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi didasarkan
kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili sengketa
tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut Peradilan Umum atau
Peradilan
Tata
Usaha
Negara.
Kewenangan
absolut
peradilan/retribusi
kompetensi/kewenangan (attributie van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian
wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya
pembagian antara wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.
Sebagai mana dikutip oleh Djoko Prakoso, menurut Thorbecke dan Buys ukuran untuk
menentukan apakah suatu perkara merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah
tergantung dari pokok sengketanya (objectum litis fundamentum petendi). Apabila hak yang
bertindak itu berada dalam kerangka hukum publik, maka perkara tersebut merupakan
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan apabila berada dalam lapangan hukum perdata
maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum.10
Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili sengketa
yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat perbuatan pemerintah
dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu dan bersifat konkrit, individual
dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.
Pada
dasarnya
kewenangan
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
memiliki
kompetensi/kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Menurut Pasal 1 butir 4
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik
dipusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha
negara. Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak.
10
Djoko Prakoso, Peradilan Tata Usaha Negara, Litbang, Yogyakarta, 1983, hlm.. 23.
6
Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat diselesaikan
penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai pembatalan surat
keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang
berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
Sedangkan dalam hal pemeriksaan dan pemutusan tentang sengketa tanah
yang
mengandung aspek keperdataan yang berkaitan dengan perselisihan tentang hak milik atau
hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata semata-mata menjadi
kompetensi/kewenangan kekuasaan Pengadilan Umum.11
Masalah tanah di lihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana
pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat di perlukan agar terdapat kesamaan
persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang
meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan persepsi tersebut misalnya
berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, berkenaan dengan
kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang mengandung cacat hukum dan cara pembatalan
dan atau penyelesainnya.12
Salah satu permasalahan yang terjadi yaitu sengketa antara Penggugat yaitu Hengky
Hadi Kurniawan dan Margaretha Suryanti dengan Tergugat yaitu Kepala Kantor Pertanahan
Kota Padang, yang mana gugatan didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Padang
dengan nomor register perkara Nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG.
Dalam perkara tersebut yang menjadi objek gugatan adalah penolakan atau putusan
yang bersifat fiktif negatif atau sikap diam yang dilakukan tergugat karena tidak menindak
lanjuti Permohonan Para Penggugat. Permohonan penerbitan sertipikat pengganti yang
diajukan Pemohon (Penggugat) kepada Kepala Kantor Pertanahan Nasional Kota Padang
11
12
Baharuddin Lopa, Hamzah, Mengenal Peradlan Tata Usaha Negara, Sinargrafi, Jakarta, 1993, hlm. 22.
Ibid, hlm. 163.
7
(Tergugat) berdasarkan Putusan Pengadilan Kelas 1A Padang Nomor: 36/Pdt.G/2008/PN.Pdg
tanggal 13 Oktober 2008 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Inkracht van
Gewijsde), dan pada tanggal 29 Agustus 2009 para Penggugat melalui kuasa hukumnya telah
mengajukan Permohonan Eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Padang (perihal : Mohon
Pelaksanaan Eksekusi atas Sertipikat Dalam Perkara Perdata Nomor: 36/Pdt.G/2008/PN.Pdg),
yang mana objek yang dimohokan eksekusi adalah Sertipikat Hak Milik No. 882 tanggal 7
April 1977 dengan surat Ukur No. 150 tanggal 29 November 1958. Seluas ± 292 M, yang
terletak di Jl. Rohana Kudus No. 68, RT. 01, RW. 08, Kelurahan Kampung jao, Kecamatan
Padang Barat, Kota Padang, Propinsi Sumatera Barat.
Atas permohonan eksekusi tersebut, Pengadilan Negeri Padang telah mengeluarkan
surat tertanggal 27 Mei 2010, perihal Pengiriman Putusan Perdata dan Diterbitkan Sertipikat
Pengganti, yang ditujukan kepada Tergugat. Pada tanggal 10 November 2010, Penggugat
mengajukan Permohonan Penggantian dan Balik Nama Sertipikat tersebut, namun surat
tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari tergugat, yang mana penggugat juga pernah
mangajukan surat yang sama tanggal 27 April 2009 melalui kuasa hukum tergugat.
Dengan
demikian
tindakan
Tergugat
yang
tidak
menanggapi
dan
tidak
menindaklanjuti permohonan Penggugat, oleh hukum sikap diam Tergugat tersebut dalam
tenggang waktu 4 bulan, dianggap suatu bentuk penolakan, dan secara hukum merupakan
Keputusan Penolakan/Fiktif Negatif yang merupakan Objek Gugatan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara, yang itu sebagai berikut:
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat
bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap diam yang berarti merupakan penolakan Tergugat yang tidak menindak lanjuti
Permohonan Para Penggugat tertanggal 10 Nopember 2010 sangat tidak beralasan hukum dan
8
juga telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 aya t (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan:
“Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebutkan
alasan penolakan”.
Perbuatan atau sikap diam tergugat tersebut juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa:
Tujuan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur
pemerintahan;
f. melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan dan menerapkan AUPB; dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.
Dalam diktum putusan PTUN Nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG yang diputuskan dalam
rapat musyawarah Majelis Hakim Tata Usaha Negara pada hari Kamis tanggal 18 Agustus
2011 dan putusan diucapkan pada hari Kamis tanggal 25 Agustus 2011 dalam persidangan
yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh kuasa hukum penggugat dan tergugat, yangmana
amar putusannya berbunyi:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan batal Keputusan fiktif negatif Tergugat terhadap proses penerbitan Sertifikat
Pengganti atas Sertifikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1997 dengan Surat Ukur
No.150 tanggal 29 November 1958 seluas + 292 M2 ke atas nama para Penggugat tanggal
10 Nopember 2010 ;
3. Mewajibkan Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan yang isinya ;
-
Memproses permohonan penerbitan Sertifikat Pengganti atas Sertifikat Hak Milik No.
882 tanggal 7 April 1997 dengan Surat Ukur No.150 tanggal 29 November 1958
seluas + 292 M2 tanggal 10 Nopember 2010 ke atas nama para Penggugat ;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.169.000.- (seratus enam
puluh sembilan ribu rupiah)
9
Dengan putusan PTUN tersebut maka pihak tergugat melakukan upaya hukum
banding, upaya banding tersebut diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan
pada
tanggal
13
September
2011
dengan
nomor
register
perkara
Nomor:
186/B/2011/PT.TUN-MDN, dan diputus dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan, pada hari kamis tanggal 09 Februari 2012 yang
mana amar putusannya berbunyi:
-
Menyatakan permohonan banding Tergugat/Pembanding tidak dapat diterima
-
Menghukum Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada dua tingkat
peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima
puluh ribu rupiah)
Setelah dibacakannya putusan banding, para pihak tidak mengajukan permohonan
kasasi, yang mana tenggang waktu kasasi adalah 14 hari setelah putusan diberitahukan kepada
pemohon, ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UU Mahkamah Agung, dengan tidak diajukannya
permohonan kasasi dalam tenggang waktu 14 hari maka putusan pengadilan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tatap (in kracht van gewijsde).
Dalam hal gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde) maka putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus
dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tata
usaha negara, ini ditur dalam Pasal 97 ayat (8) UUPTUN,
Putusan tersebut memerintahkan BPN untuk mencabut keputusan fiktif negatifnya dan
mewajibkan BPN menerbitkan surat keputusan yang isinya memproses permohonan
penerbitan sertipikat pengganti atas Sertifikat Hak Milik No. 882 tanggal 7 April 1997 dengan
Surat Ukur No.150 tanggal 29 November 1958 seluas + 292 M2 tanggal 10 Nopember 2010
ke atas nama para Penggugat
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses penerbitan Sertipikat Pengganti menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah?
2. Bagaimanakah proses penerbitan Sertipikat Pengganti berdasarkan Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penerbitan Sertipikat Pengganti menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penerbitan Sertipikat Pengganti berdasarkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti baik secara teoritis
maupun secara praktis
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi bagi peneliti
lain yang akan mengadakan penelitian di bidang hukum khususnya Hukum Tata
Usaha Negara dan Hukum Agraria dan juga penulis dapat menerapkan ilmu teoritis
yang
didapat
dibangku
perkuliahan
Program
Magister
Kenotariatan
serta
menghubungkannya dalam kenyataan yang ada dalam masyarakat.
11
2. Secara Praktis
a. Agar penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat bagi masyarakat serta dapat
digunakan sebagai informasi ilmiah.
b. Memberikan informasi kepada pemerintah dan dapat digunakan dalam
pelaksanaan pemerintahan yang sedang berjalan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran tentang keaslian penelitian yang akan dilakukan baik di
kepustakaan lingkungan Universitas Andalas Padang, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana
Universitas Andalas Padang, maupun di luar kelembagaan pendidikan ini, menunjukkan
bahwa penelitian dengan judul “Penerbitan Sertipikat Pengganti Berdasarkan Putusan
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
Dalam
Putusan
PTUN
Padang
Nomor:
13/G/2011/PTUN-PDG” belum ada yang membahasnya. Namun ada beberapa penelitian
sebelumnya yang membahas masalah Penerbitan Sertipikat Pengganti, akan tetapi
permasalahan yang dibahas tidak sama, seperti penelitian yang dilakukan oleh:
1. Dian Hardaning Tyas, Tahun 2005, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro, dengan Judul Perlindungan Hukum Terhadap Kepemilikan
Sertipikat Pengganti Hak Atas Tanah Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pertanahan Nasional.
2. Sriyanti Achmad, Tahun 2008, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro, dengan Judul Pembatalan Dan Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah
Pengganti (Studi Kasus Pembatalan Sertipikat Putusan MA no. 987 k/pdt/2004).
3. M. Arif Rachmad, Tahun 2009, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, denga judul Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Pengganti Karena Hilang Di
Kabupaten Gunungkidul
12
4. Nurdjani¸ Tahun 2010, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, dengan judul Pelaksanaan Penerbitan Sertifikat Pengganti Hak Milik Atas
Tanah Karena Hilang Oleh Kantor Pertanahan Kota Surakarta.
5. Syahraini, Tahun 2012, mahasiswi Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, dengan judul Penerbitan Sertipikat Pengganti Di Kantor Pertanahan Kota
Medan.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau
proses tertentu terjadi. Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi, kerenanya suatu teori haruslah diuji dengan
mengahadapkan pada fakta–fakta untuk menunjukkan kebenarannya.
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis.13 Teori yang digunakan sebagai analisis dalam tesis tentang Penerbitan
Sertifikat Pengganti Berdasarkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang
Dalam Putusan PTUN Padang nomor: 13/G/2011/PTUN-PDG ini adalah teori kepastian
hukum, dan teori kewenangan.
a. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum yaitu
teori yang menjelaskan bahwa suatu
pendaftaran tanah harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala
akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Menurut Roscue Pound
bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability”.14
Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian
hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat
13
14
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju, Bandung,1994, hlm. 80.
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media group, Jakarta 2009, hlm. 158.
13
sungguh-sungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud
kepastian dalam hubungan antara sesama manusia. 15
Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian, yang
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan kedua berupa pengamanan bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh negara terhadap individu.
Teori kepastian hukum ini sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu
untuk suatu kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Hasil dari adanya
kepastian hukum tersebut yaitu terbitnya sertipikat bagi pemegang hak atas tanah.
Karena pendaftaran tanah itu diselenggarakan dengan tujuan akan memberikan
jaminan kepastian hak atas tanah, maka harus diusahakan agar semua keterangan
yang terdapat dalam tata usahanya selalu cocok dengan keadaan yang sebenarnya.16
Sertifikat hak atas tanah sebagai hasil akhir proses pendaftaran tanah berisi
data fisik yaitu keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah, serta bagian
bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap perlu dan data yuridis
yaitu keterangan tentang status hak atas tanah dan hak penuh karena lain yang berada
di atasnya.17
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian
hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.18
Sedangkan menurut ajaran dogmatis tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin
15
16
17
18
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 49-50.
Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 102.
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 20.
Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyarkta, 1988, hlm. 58.
14
kepastian hukum, yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang membuktikan
suatu aturan hukum semata–mata untuk kepastian hukum.
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan: ”Tanpa kepastian hukum
orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi
terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan
hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi
peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang
itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta”
(undang-undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).19
Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah memberikan pengertian “ sertipikat adalah surat tanda bukti hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah waqaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan
yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan”.
Proses pendaftaran tanah sampai penerbitan sertipikat memakan waktu yang
relatif panjang.20 Pendapat ini yang ada pada masyarakat, khususnya masyarakat
pedesaan. Bahwa untuk dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah cukup sulit,
memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal terutama bagi
masyarakat biasa dan berada di pedesaan, yang relatif pendidikannya masih rendah
dan keadaan ekonominya masih tertinggal dan pas-pasan karena sebagian dari mereka
adalah petani. Padahal sertipikat sangat penting bagi kepemilikan hak atas tanah guna
menjamin kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah tersebut.
Penerbitan sertipikat hak atas tanah ditujukan untuk kepentingan pemegang
hak atas tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.21 Bagi pemegang hak atas
tanah, memiliki sertifikat tanah mempunyai nilai lebih, sebab dibandingkan dengan
19
20
21
Ibid, hlm. 136.
Tampil Ansari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik , Medan, 2005, hlm. 104.
Ibid, hlm. 104.
15
alat bukti tertulis lain, sertifikat merupakan tanda bukti alat yang kuat dan diakui
secara hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat
(2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria, sertipikat
merupakan surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Hal ini sesuai dengan sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah, yaitu
sistem negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Dengan demikian sertipikat hak atas tanah yang ditegaskan oleh peraturan
perundang-undangan tersebut sebagai surat tanda bukti hak, yang mempunyai
kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai pemilikan terhadap hak
atas tanah. Kekuatan hukum sertipikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak
atas tanah dilihat dari sistem pendaftaran tanah yang dipakai. Dalam Sistem
pendaftaran tanah dikenal adanya dua sistem pendaftaran tanah, yaitu sistem
pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of
titles). Sistem pendaftaran yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem pendaftaran
hak (registration of titles), sebagaimana digunakan dalam penyelenggaraan
pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah.22 Karena pentingnya pendaftaran tanah tersebut, maka baik
petugas pendaftaran maupun masyarakat diminta untuk saling membantu agar
tercapai apa yang menjadi tujuan pokok pendaftaran tanah itu sendiri.23
Pengertian dan fungsi sertipikat pengganti pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan sertipikat hak atas tanah, hanya saja sertipikat pengganti adalah berupa
kutipan dari sertipikat yang rusak ataupun hilang. Jadi, fungsi serta isi sertipikat
pengganti hak atas tanah yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut adalah sama dengan sertipikat hak atas
tanah.
22
23
Boedi harsono, Op.Cit, hlm. 477.
Mudjiono, Hukum Agraria, Yogyakarta, 1992, hlm. 24.
16
Pelaksanaan Penerbitan sertipikat pengganti hak atas tanah karena hilang,
rusak dan sebagainya pada dasarnya sama dengan pelaksanaan penerbitan sertipikat
hak atas tanah biasanya, pada kenyataannya di dalam pembuatan sertipikat hak atas
tanah memang memerlukan waktu dan biaya. Jumlah waktu dan biaya yang
diperlukan didalam pembuatan sertipikat hak atas tanah tersebut, tergantung daripada
status tanah. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah karena rusak, hilang dan sebagainya masih
menggunakan blangko sertipikat lama.
Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk
mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu
perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah,
karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara
dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.
Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat
demokrasi masih tetap diandalkan sebagai katup penekan (pressure value) atas segala
pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum, juga
peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort” yakni sebagai
tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih
diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha negara,
untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan
atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga
masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas bagi
administrasi negara.
Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa yang
timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat, atau
17
penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian
sengketa interns, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara.
Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah agar rasa keadilan di dalam
masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari publik service
pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan
perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik.
Prayudi Atmosudirdjo, merumuskan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata
Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi Negara
yang tepat menurut hukum (rechmatige) atau tepat menurut undang-undang
(wetmatig) dan atau tepat secara fungsional/efektif
dan atau berfungsi secara
efisien.24
b. Teori Kewenangan
Dalam penelitian ini juga dipakai teori kewenangan atau kompetensi
Pengadilan. Istilah kompetensi berasal dari bahasa Latin abad pertengahan, yakni
“comperetentia” yang berarti “het gaan aan iemend toekomt” (apa yang menjadi
wewenang seseorang).25 Istilah lain sebagai padanannya adalah competence, legal
power, bevoegdheid26 yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
“kewenangan”, kekuasaan atau hak27 yang dikaitkan dengan badan yang menjalankan
kekusaan kehakiman, sehingga badan tersebut menjadi “competere”.
Di dalam Black Law Dictionary, istilah competence mengandung arti “the
capacity of an official body to do something (kedudukan atau kapasitas dari suatu
badan pejabat untuk melakukan sesuatu.28 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
istilah kompeten, artinya wewenang, cakap, berkuasa, memutus (menentukan)
sesuatu, dan kompetensi diartikan (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau
24
25
26
27
28
S. Prajudi Atmosudirdjo, Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Kertas Kerja, BPHN,
Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 67-68.
Yuslim, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta: 2015, hlm. 41.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
18
memutus sesuatu hal.29 Demikian juga dalam The Contemporary English-Indonesia
Dictionary, kompetensi diartikan wewenang.30
Kompetensi menurut Sjachran Basah31 merupakan pemberian kekuasaan,
kewenangan atau hak kepada badan dan/atau pengadilan yang melakukan peradilan.
Kompetensi penting artinya agar permohonan atau gugatan yang diajukan ke
pengadilan dapat diperiksa atau diputus oleh pengadilan yang berwenang. Jadi, setiap
permohonan atau gugatan yang utama dan mesti dilakukan adalah kompeten atau
tidaknya pengadilan tersebut memeriksa perkara.
Selanjutnya sebagai teori hukum pendukung adalah teori good government
yang merupakan prinsip good government (clean) Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (selanjutnya disebut AAUPB). Philipus M. Hadjon mengatakan
pendekatan dalam hukum administrasi ada 3 (tiga) pendekatan terhadap kekuasaan
pemerintah, pendekatan hak asasi dan pendekatan fungsionaris.32
AAUPB pada hakikatnya merupakan norma pemerintahan, yaitu jenis meta
norma dan norma hukum publik. Selanjutnya AAUPB merupakan hukum tidak
tertulis adalah hasil rechtvinding, tidak identik dengan hukum adat, dan dalam
perkembangan bisa saja beralih menjadi hukum tertulis sebagai norma pemerintahan.
AAUPB juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan bahwa:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
29
30
31
32
AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
kepastian hukum;
kemanfaatan;
ketidakberpihakan;
kecermatan;
tidak menyalahgunakan kewenangan;
keterbukaan;
kepentingan umum; dan
pelayanan yang baik.
Ibid.
Ibid.
Ibid., hlm. 42.
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1994, hlm, 64.
19
Perbedaan antara AAUPB dengan asas-asas umum sama perbedaan antara
norma dan asas umum. Sedangkan AAUPB lahir dari praktek adalah bisa dari praktek
pemerintahan dan bisa dari praktek pengadilan (yurisprudensi).
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terdiri dari :33
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Asas Kepastian Hukum;
Asas Keseimbangan;
Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh;
Asas Bertindak cermat;
Asas Motivasi untuk setiap keputusan;
Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan;
Asas Permainan yang layak;
Asas Keadilan atau kewajaran;
Asas Menanggapi pengharapan yang wajar;
Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;
Asas Perlindungan atas pandangan (cara) hidup;
Asas Kebijaksanaan;
Asas Penyelenggaraan kepentingan Umum.
Keseluruhan AAUPB yang baik ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan
negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
2. Kerangka Konseptual
a. Penerbitan
Penerbitan adalah suatu usaha atau kegiatan yang berkaitan dengan proses editorial,
produksi, dan pemasaran barang-barang, naskah tercetak yang didistribusikan kepada
pembaca. Berdasarkan definisi tersebut, dapat kita lihat ada tiga bidang yang berkaitan
dengan penerbitan, yaitu bidang editorial, bidang produksi, dan bidang pemasaran.
b. Sertipikat
Sertipikat hak atas tanah menurut PP 24 Tahun 1997 adalah :
“suatu surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c
UUPA, untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibuktikan dalam
buku tanah yang bersangkutan.”
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa sertipikat merupakan
surat tanda bukti hak yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
33
SF Marbun, Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm.
56.
20
dalamnya. Sehingga data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada
dalam surat ukur dan buku tanah.
c. Sertipikat Pengganti
Sertipikat Pengganti merupakan sertipikat yang diterbitkan karena sertipikat yang
lama mengalami kerusakan/hilang dan kedudukannya sama dengan sertipikat lama.
d. Kantor Pertanahan
Kantor Pertanahan adalah Instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di
Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala Badan
Pertanahan Nasional melalui kepala kanwil Badan Pertanahan Nasional dan dipimpin
oleh seorang kepala.
e. Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha negara adalah merupakan sebuah lembaga peradilan yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama,
Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah
disebutkan di atas, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah
suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum
diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data yang lain.
Bersifat deskriptif,
karena dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas,
rinci, dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan
Penerbitan Sertipikat
Pengganti, khususnya
Penerbitan Sertipikat
Pengganti
Berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
21
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan
tujuannya yaitu pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris adalah suatu
pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan
dengan mangadakan penelitian data primer di lapangan.34
2. Jenis Dan Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan (data sekunder) yang
didukung penelitian lapangan (data primer), sebagai berikut:
a. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
(library research), dimana menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan
kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier.35
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
4. Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
5. Undang-undang
Nomor
30
Tahun
2014
tentang
Administrasi
Pemerintahan.
6. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan
Nasional.
34
35
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press,
Jakarta, 1985, hlm. 7.
Ibid, hlm. 38.
22
7. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
8. Peraturan Menteri Negara Agaria/ Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999
tentang Ketentuan Pelaksana peraturan pemerintah nomor 24 Tahun 1997.
2) Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
dari kalangan hukum yang berkaitan dengan Sertipikat Pengganti dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
9. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, terdiri dari:
a. Kamus Hukum;
b. Kamus Bahasa Indonesia;
c. Kamus Bahasa Inggris;
d. Ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan Sertipikat Pengganti dan
Peradilan Tata Usaha Negara.
b.
Data Primer
Data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan
atau tempat penelitian (field research).36 Data primer disebut juga sebagai data
asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Dalam hal untuk mendapatkan
data primer ini, peneliti harus mengumpulkan secara langsung dengan
menggunakan teknik observasi, wawancara, dan diskusi terfokus.
3. Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada kantor Badan Pertanahan Kota
Padang dan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang.
36
Nasution, M.A., Azaz-Azaz Kurikulum, Penerbit Ternate, Bandung, 1964, hlm. 34.
23
4. Jenis-jenis Alat Pengumpulan Data
Dalam hal melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis-jenis alat pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Dokumen
Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum
yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dimana
setiap bahan hukum itu diperiksa ulang validitasnya (keabsahan berlakunya) dan
reliabilitasnya (hal atau keadaan yang dapat dipercaya), karena hal ini sangat
menentukan hasil suatu penelitian.
b. Wawancara
Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka (face to face)
ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relavan dengan masalah
penelitian kepada seseorang.37
5. Pengolahan dan Analisa Data
a. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di
lapangan sehingga siap dipakai untuk dianalisis.38 Dalam penelitian ini, setelah
berhasil memperoleh data yang diperlukan, selanjutnya peneliti melakukan
pengolahan terhadap data tersebut dengan cara editing, yaitu meneliti kembali
terhadap catatan-catatan, berkas-berkas, dan informasi yang dikumpulkan, yang
37
38
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hlm.
84-85.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hlm. 72.
24
mana diharapkan agar dapat meningkatkan mutu reliabilitas data yang akan
dianalisis.39
b. Analisa Data
Analisa data sebagai tindak lanjut dari proses pengolahan data, untuk dapat
memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti berdasarkan bahan
hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum.
Setelah mendapatkan data-data yang diperlukan, maka peneliti melakukan analisis
kualitatif,40 yakni dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang didapatkan
di lapangan dengan bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan
penelitian, kemudian ditarik kesimpulan yang dijabarkan dalam bentuk penulisan
deskriptif.
39
40
Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit., hlm. 168-169
Bambang Waluyo, Op Cit., hlm. 77
25
Download