PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM

advertisement
PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
(Studi Kasus pada Komunitas Gay di Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
OLEH:
FARIUL IBNU HUDA
21110019
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2015
i
ii
iii
iv
MOTTO
“ILMU TANPA AMAL HANYALAH SIA-SIA
SEDANGKAN AMAL TANPA ILMU ITU
BERBAHAYA, dan JADIKAN IMAN SEBAGAI
PENUNTUN KEDUANYA”
v
PERSEMBAHAN
Untuk Orang-Orang yang Ku Sayangi
Karya ini aku persembahkan kepada kedua orang tuaku yang
tersayang, Bapak Munawar dan Ibu Sumarti.
Adik Tercinta, IsnatainiNurFitriana
Teman-teman
Syakhsiyyah)
seperjuangan
di
perkuliahan
(Akhwal
Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Salatiga
Terima kasih
Atas doa dan support yang telah diberikan
vi
Al
ABSTRAK
Huda, Fariul Ibnu. 2015. Perilaku Seksual Kaum Gay dalam Tinjauan Hukum
Islam dan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Kasus
Komunitas Gay di Salatiga).Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal
Al-Syakhsyiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Kata Kunci: Perilaku Seksual, Kaum gay, Hukum Islam, dan Perundangundangan.
Penelitian ini mengkaji tentang perilaku seksual kaum gay pada
komunitas gay di Salatiga dalam tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan
di Indonesia. Fokus penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah
(1) Bagaimana kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Kota Salatiga?(2) Apa
faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada komunitas
gay di Salatiga?(3) Bagaimana pandangan hukum dan perbandingan sanksi
hukum dari hukum Islam dengan perundang-undangan di Indonesia?.
Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunnakan metode pengumpulan
data, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Penganalisaan deskriptif
tersebut juga bertolak dari analisis yuridis sistimatis yang untuk pendalamannya
dilengkapi dengan analisis komparatif.
Temuan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: (1)Berdasarkan
penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan komunitas homoseksual atau
gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut
berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa
istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay
bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang
orientasi seksualnya sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah
untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai
pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan
gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan
sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya untuk
mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki. (2) Dari hasil
penelitian diketahui faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi seorang gay
pada komunitas gay yaitu faktor biologis, faktor lingkungan dan faktor media
sosial.(3)Dalam Hukum Islam perilaku hubungan sejenis adalah haram, baik itu
dilakukan dengan orang yang belum dewasa maupun sesama orang dewasa. Di
Indonesia penanganan kasus homoseksual masihlah kurang karena pemerintah
tidak tegas melarangnya hanya untuk kasus-kasus komersial saja yang
dipidanakan sedangkan untuk kasus-kasus sosialnya masih belum dipidanakan.
Dalam perundang-undangan di Indonesia perilaku seksual homoseks secara
eksplisit dapat didapati dalam pasal 292 KUHP dan pasal 4 ayat 1(a) UU No. 44
vii
Tahun 2008 tentang Pornografi. Ancaman sanksi bagi pelaku tindak pidana
homoseksual, dalam hukum Islam ada tiga pendapat bagi pelaku tindak pidana
homoseksual jenis hukuman yang dijatuhkan adalah pertama dibunuh secara
mutlak, kedua hadd sebagaimana hadd zina dan ketiga takzir. Sedangkan dalam
KUHP pasal 292 perilaku homoseks hanya dilarang apabila dilakukan dengan
orang yang belum dewasa dan diancam pidana penjara lima tahun. Dan dalam
pasal pasal 4 ayat 1(a) UU No. 44 Tahun 2008 pemidanaan perilaku seksual
homoseks dalam bentuk pornografi diancam pidana penjara paling singkat 6
bulan dan paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling sedikit dua ratus
lima puluh juta rupiah dan paling banyak enam milyar.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahminirrahim,Alhamdulillahirobbil ‘alamin,
Peneliti menyampaikan rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang Allah
SWT anugerahkan, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul “PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA(Studi
Kasus Komunitas Gay Salatiga)” dengan baik dan penuh dedikasi.
Penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan beberapa
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Sukron Ma’mun, M.Si selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.
4. Munajat, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang telah sudi kiranya meluangkan
waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi.
5. Kepada semua pihak yang belum dapat penulis sampaikan satu persatu.
Semoga Allah berkenan untuk membimbing dan memberikan hidayah
dalam setiap langkah hidupnya. Kemudian, semoga karya sederhana ini dapat
bermanfaat untuk pembaca.
Salatiga, 14 September 2015
Fariul Ibnu Huda
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ................................................................................. ii
PENGESAHAN ............................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... iv
MOTTO ......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN .......................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................. 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 5
E. Penegasan Istilah .............................................................. 5
F. Telaah Pustaka .................................................................. 7
G. Metodologi Penelitian ....................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ....................................................... 15
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG GAY
A. Konsep Seks, Seksualitas, Orientasi Seks, Perilaku
Seksual, Seks Menyimpang, dan Gender .......................... 17
1. Seks ............................................................................. 17
2. Seksualitas ................................................................... 18
3. Orientasi Seks ............................................................. 20
4. Perilaku Seksual .......................................................... 20
5. Seks Menyimpang ....................................................... 22
x
6. Gender ......................................................................... 27
B. Homoseksual ..................................................................... 28
1. Pengertian Homoseksual ............................................. 28
2. Penyebab Homoseksual .............................................. 29
3. Kategori Homoseksual ................................................. 29
4. Macam-macam Homoseksual ..................................... 30
5. Pengakuan Diri ............................................................ 32
6. Bentuk Seksual ............................................................ 32
7. Akibat Homoseks ........................................................ 33
8. Perbedaan antara Gay, Waria, dan Laki-laki Seks
Laki-laki ...................................................................... 34
C. Seksualitas dalam Hukum Islam dan Perundang
-undangan di Indonesia ..................................................... 37
1. Seksualitas dalam Hukum Islam ................................. 37
2. Seksualitas dalam Perundang-undangan di Indonesia
BAB III
45
FENOMEMA KOMUNITAS GAY DI SALATIGA
A. Gambaran Umum Kota Salatiga ....................................... 50
B. Fenomena Komunitas Gay di Kota Salatiga ..................... 54
1. Komunitas Gay di Salatiga .......................................... 54
2. Faktor-faktor Menjadi seorang Gay ............................ 62
3. Proses Coming Out pada Gay ..................................... 63
4. Bentuk Perilaku Seksual pada Gay ............................. 67
5. Perkawinan Sejenis ..................................................... 68
6. Keberagamaan bagi Seorang Gay ............................... 70
C. Peran Serta Lembaga Keislaman dan Lembaga
Pemerintah Daaerah terhadap Persoalan Komunitas
Gay di Salatiga ................................................................... 73
1. Peran Lembaga Keislaman .......................................... 73
2. Peran Lembaga Pemerintah Daerah ............................ 74
xi
BAB IV
PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DI KOTA
SALATIGA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Kebiasaan Perilaku Seksual Kaum Gay di Kota
Salatiga .............................................................................. 77
B. Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang Menjadi
Seorang Gay pada Komunitas Gay di Salatiga ................. 78
C. Pandangan Hukum dan Perbandingan Sanksi Hukum
Dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia terhadap Perilaku Seksual Komunitas Gay
di Salatiga .......................................................................... 81
1. Pandangan Hukum Islam terhadap Perilaku Seksual
kaum Gay .................................................................... 81
2. Pandangan Perundang-undangan di Indonesia
terhadap Perilaku Seksual kaum Gay .......................... 87
3. Bentuk Sanksi yang Diberikan terhadap Pelaku
Homoseks Menurut Agama Islam ............................... 92
4. Bentuk Sanksi yang Diberikan terhadap Pelaku
Homoseks Menurut Hukum Pidana ............................ 98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 103
B. Saran .................................................................................. 105
DARTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN
xii
107
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak
asasi manusia yang tertuang dalam Pembukaan dan Pasal 28 UUD 1945.
Sehingga, setiap orang memperoleh pengakuan, jaminan, kebebasan,
perlindungan, dan kepastian hukum atas hak-hak mereka oleh negara. Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Masyarakat tidak dapat dipisahkan pula dengan kebudayaan. Dalam
masyarakat selalu memiliki tatanan nilai, norma atau kaidah sebagai komponen
kebudayaan yang berbeda antara tempat satu dengan yang lainnya. Di satu
tempat ada perilaku yang dianggap melanggar atau menyimpang dari norma
yang ada, tetapi di tempat yang lain dianggap tidak melanggar, bahkan menjadi
hal yang wajar.
Seksualitas merupakan sebuah persoalan yang selama ini dianggap
sebagai penyimpangan publik, jika seksualitas tersebut tidak sesuai dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Namun, seksualitas juga sangat
1
menarik perhatian dan sangat pribadi. Seksualitas juga dipandang sebagai
faktor yang tidak pernah berubah, karena dianggap given secara biologis dan
mutlak bagi kelangsungan hidup spesies. Seksualitas merepresentasikan
kenyataan akan potensi kebebasan yang selama ini terpenjara oleh batas-batas
peradaban. Seksualitas merupakan sebuah konstruksi sosial yang beroprasi
dalam wilayah-wilayah kekuasaan (Giddens, 1992:1).
Dalam masyarakat Jawa, persoalan seksualitas sering dianggap tabu
atau tidak layak untuk dibicarakan secara umum. Akan tetapi, ada fenomena
menarik di Kota Salatiga mengenai hal yang berhubungan dengan seksualitas
diantaranya menyangkut homoseksualitas. Kaum homoseksual khususnya
dalam komunitas gay di Salatiga, menyebut dirinya dengan sebutan MSM,
kependekan dari “men who have sex with man”. Penggunaan istilah bahasa
Inggris ini mereka gunakan untuk mengaburkan konotasi negatif dalam
masyarakat. Dalam hubungan sesama jenis ini ternyata ada beberapa tingkatan
mengenai ketertarikan sesama jenis diantaranya ada yang sebatas mengagumi
secara fisik, tetapi ada juga yang sampai pada hubungan seksual sesama jenis.
Tidak hanya di Salatiga, komunitas homoseksual juga tersebar di
seluruh kota-kota di Indonesia dan dalam perilakunya mereka tidak menutupi
status homoseksualnya, baik sesama gay maupun masyarakat umumnya.
Mereka terang-terangan mengumbar kebersamaan dan kemesraan, perilaku
tersebut dapat terlihat seperti bergandengan tangan, duduk berdekatan dengan
mesra, dan berpelukan tanpa sedikitpun terlihat canggung dan malu.
2
Namun, permasalahan homoseksualitas di Indonesia dianggap tabu bagi
masyarakat dan pemerintah karena jarang adanya diskusi publik membahas
persoalan seksualiatas dalam bentuk apapun khusususnya tentang homoseksual
dibicarakan secara terbuka. Serta penilaian masyarakat terhadap homoseksual
dalam beberapa sudut pandang yaitu dilihat dari sudut pandang agama
dianggap sebagai dosa, dari sudut pandang medis dianggap sebagai penyakit,
dari sudut pandang hukum dianggap sebagai penjahat, dan dari sudut pandang
pendapat masyarakat dianggap sebagai penyimpangan sosial.
Dimanapun di seluruh dunia, hampir seluruh sistem sosial menolak
kehidupan homoseksual termasuk di Negara Indonesia. Sehingga tidak mudah
kehidupan homoseksual di Indonesia. Keberadaan kaum homoseksual dalam
masyarakat masih dianggap ancaman, walaupun mereka tidak merugikan
siapapun, baik secara fisik maupun spikis. Secara yuridis formal Indonesia,
homoseksual bukanlah suatu kejahatan dengan demikian bentuk diskriminasi
terhadap mereka termasuk pelanggaran hukum.
Dalam hukum positif Indonesia, hubungan seksual antar sesama jenis
diatur dalam pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
mengatur bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sesama jenis yang diketahui dan sepatutnya belum dewasa diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam pasal tersebut perilaku cabul
sesama jenis bisa diindentikkan dengan homoseksual dan pelanggaran dalam
pasal tersebut hanya berlaku bagi pelaku homoseksual terhadap anak di bawah
umur. Berbeda dengan agama Islam yang diatur dalam Al Qur’an maupun Al
3
Hadits secara qath’i (tegas) dan muhkamat (jelas ketetapan hukumnya)
menentang keras perilaku ini. Di dalam Al Qur’an Allah menyebut perbuatan
homoseks sebagai perbuatan fashiyah (perbutan keji) dan terlaknat. Sedangkan
dalam hadits perbuatan tersebut ditentang oleh nabi dan hukumannya pun
beragam seperti dihukum dengan cara dera, had, dan takzir.
Indonesia sebagai negara dan mayoritas muslim terbesar di dunia akan
menjadi perhatian penting melihat kontradiksi hukum Islam dengan KUHP
sebagai perundang-undangan di Indonesia sebagai produk hukum. Salah satu
hal yang menarik membandingkan hukum Islam dan Perundang-undangan di
Indonesia terhadap persoalan perilaku homoseksual. Serta menjadi pekerjaan
rumah bagi lembaga-lembaga keislaman dan lembaga pemerintah di Salatiga
terhadap permasalahan komunitas homoseksual dalam hal ini peneliti memilih
meniliti komunitas Gay di Salatiga. Dan setelah mengkaji lebih dalam peneliti
membuat laporan dalam bentuk skripsi dengan judul: PERILAKU SEKSUAL
KAUM GAY DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANGUNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus pada Komunitas Gay di
Salatiga).
B. RUMUSAN MAASALAH
Dari latar belakang di atas ada beberapa rumusan masalah:
1. Bagaimana kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Kota Salatiga?
2. Apa faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada
komunitas gay di Salatiga?
4
3. Bagaimana pandangan hukum dan perbandingan sanksi hukum dari hukum
Islam dan perundang-undangan terhadap perilaku seksual komunitas gay di
Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka skripsi ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan kebiasaan perilaku seksual kaum gay di Salatiga.
2. Menjelaskan faktor yang mendorong seseorang menjadi seorang gay pada
komunitas gay di Salatiga.
3. Menjelaskan pandangan hukum dan perbandingan sanksi hukum dari
hukum Islam dengan perundang-undangan di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan program penelitian ini antara lain:
1. Secara teoritis yaitu menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya
kajian hukum tentang pemahaman nilai, norma, landasan, dan sanksi
dalam permasalahan komunitas gay.
2.
Secara praktis yaitu dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan
literatur bagi masyarakat Salatiga dan masyarakat luas.
E. Penegasan Istilah
1. Perilaku Seksual
Perilaku seksual adalah cara seseorang mengekspresikan hubungan
seksualnya. Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya,
5
interpretasi agama, adat tradisi, dan kebiasaan dalam suatu masyarakat.
Karena itu, perilaku seksual merupakan konstruksi sosial, tidak bersifat
kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Di sinilah perbedaan mendasar
antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Sayangnya, tidak banyak
orang yang mau memahami perbedaan kedua istilah ini secara arif.
Akibatnya, tidak sedikit yang memahami keduanya secara rancu dan salah
kaprah.
Berbicara tentang perilaku seksual, ada banyak cara di samping
cara yang konvensional memasukkan penis ke dalam vagina, juga dikenal
cara lainnya dalam bentuk oral seks dan anal seks (disebut juga sodomi
atau liwâth dalam bahasa Arab). Sodomi atau liwâth adalah memasukkan
alat kelamin laki-laki ke dalam dubur (anus), baik dubur lelaki maupun
dubur perempuan (Mulia dkk, 2011: 18).
2. Komunitas
Adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yg hidup dan
saling berinteraksi di dalam daerah tertentu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,1995).
Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa
organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang
sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat
memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko
dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa
Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan
6
dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak"
(Wenger, 2002: 4).
3. Gay
Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk
merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. Istilah ini
awalnya digunakan untuk mengungkapkan perasaan "bebas/ tidak terikat",
"bahagia" atau "cerah dan menyolok". Kata ini mulai digunakan untuk
menyebut homoseksualitas mungkin semenjak akhir abad ke-19 M, tetapi
menjadi
lebih umum
modern, gay digunakan
pada orang terutama pria
pada
abad ke 20.
sebagai kata
gay
Dalam bahasa
sifat dan kata
dan aktivitasnya,
benda,
Inggris
merujuk
serta budaya yang
diasosiasikan dengan homoseksualitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Gay
diakses pada tanggal 1 November 2014).
F. Telaah Pustaka
Marzuki Umar Sa’abah dalam penelitiannya yang berjudul “Perilaku
Seks Menyimpang dan Seksualitas Komtemporer Umat Islam” menyimpulkan
homoseksual merupakan rasa tertarik dan mencintai pada kelamin sejenis.
Untuk kaum pria sering juga dikenal kaum “gay” sedangkan wanita disebut
“lesbian”. Dalam mengekspresikan dirinya dikenal 3 macam bentuk: 1. Aktif,
bertindak sebagai pria agresif; 2. Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif
feminim sebagai wanita; 3. Berganti peran, kadang memerankan fungsi wanita,
kadang-kadang jadi pria.
7
Penyebab homoseksual pada pria sampai saat ini masih dalam
perdebatan, beberapa penyebab antara lain: a. faktor seks; b. pengaruh
lingkungan yang tidak baik/tidak normal; c. seseorang selalu mencari kepuasan
hubungan homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseks yang
menggairahkan pada masa remaja; d. bisa juga karena pengalaman traumatis
dengan ibunya, sehingga timbul kebencian antipati terhadap ibu dan wanita
pada umumnya.
Drs. Jokie MS Siahaan, M. Si. dalam penelitiannya yang berjudul
“Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi” menyimpulkan homoseks dapat
dijelaskan dalam beberapa dimensi. Termasuk diantaranya adalah sikap untuk
mengekspresikan hubungan seksual atau kecenderungan erotis, kesadaran akan
konsep diri homoseksual, atau kenyataan hubungan seks dengan sesama
jenisnya baik laki-laki maupun perempuan. Orang yang menjalani perilaku
homoseksual ini (baik laki-laki maupun perempuan) berasal dari kelas sosial,
tingkat pendidikannya bervariasi, mewakili semua jenis pekerjaan dan profesi,
mempunyai bermacam kepentingan dan kegemaran, dan mungkin sudah
menikah atau single.
Dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas di Amerika,
mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman
homoseksual dalam suatau masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benarbenar homoseksual yang mengekspresikan kecenderungan erotisnya pada
sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa ingin tahu,
dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai
8
hubungan homoseksual tidak berarti seorang menjadi homoseks. Yang lebih
penting secara sosiologis adalah pengungkapan identitas homoseksual. Salah
satu konsep pemahaman homoseksual dan heteroseksual adalah identitas peran
seks. Merupakan persatuan yang nyata antara takdir peran seks dan reaksi tak
sadar bahwa takdir itu merupakan ciri-ciri dari peran seks. Dengan kata lain,
seorang
menghayati peran seks tertentu, mengembangkan konsep dirinya
dengan jenis kelamin yang lain, dan mengadopsi sebagian besar karakteristik
perilaku jenis kelamin lain tersebut.
Neng Djubaedah, S.H., M.H. dalam penelitianya yang berjudul
“Pornografi Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam” menyimpulkan hukum
Islam sebagai salah satu sistem yang berlaku (di samping hukum Barat dan
hukum Adat) dan merupakan bagian dari agama Islam berlaku di Indonesia
berdasarkan pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 beserta perubahan.
Pasal tersebut menentukan bahwa “negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hazairin (almarhum), guru besar Hukum Islam dan Hukum Adat
Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah menafsirkan Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945 beserta perubahannya dalam enam tafsiran. Tiga tafsiran di
antaranya berkaitan dengan keberlakuan hukum-hukum seluruh agama yang
berlaku di Indonesia, di antara hukum (agama) Islam.
Pertama, di dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau
berlaku suatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam
begitu pula dengan agama lainnya. Kedua, Negara Republik Indonesia wajib
melaksanakan syariat Islam bagi umat Islam begitu pula dengan agama
9
lainnya. Ketiga, syariat tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
melaksanakannya dan karena itu dapat sendiri dilakukan oleh setiap pemeluk
agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi
setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masingmasing.
Febri Ayu Choiriyah dalam skripsinya yang berjudul “Kehidupan Waria
Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Perilaku Keberagaman di Pondok
Pesantren Waria Senin-Kamis Notoyudan Yogyakarta)” menyimpulkan tidak
seorangpun yang ingin hidup sebagai waria. Menjadi waria bukanlah pilihan.
Mereka merasa tidak nyaman atas penciptaan dirinya dan merasa terjebak
dalam fisik yang salah. Status waria tidak diakui sehingga cenderung
dilecehkan masyarakat. Mereka kehilangan hak termasuk dibidang keagamaan.
Diskriminasi ini telah memangkas akses mereka di sektor sosial-ekonomi,
sehingga hanya mampu bertahan pada praktik-praktik pelacuran. Di sisi lain
waria juga mempunyai kesadaran hidup secara religius.
Penelitian tentang perilaku seksual memang sudah pernah dilakukan
namun berdasarkan pengamatan penulis belum ada hukum yang
konkret
terhadap perilaku seksual kaum gay dalam tinjauan hukum Islam dan
perundang-undangan di Indonesia (Studi Kasus pada Komunitas Gay di
Salatiga). Oleh karena itu, penulis ingin menggali lebih dalam bagaimana
kedua hukum tersebut memandang kaum gay dari segi perilaku seksualnya
serta sejauh mana perbedaan kedua hukum tersebut.
10
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang menggunakan
metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian
kualitatif dipillih untuk menghasilkan data deskriptif yang diperlukan
dalam studi ini. Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul
data yang mana penulis terjun langsung mewawancarai beberapa orang gay
dalam komunitas gay dan para tokoh lembaga keislaman maupun lembaga
pemerintahan di Salatiga.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana
penelitian tersebut akan dilaksanakan. Adapun tempat atau lokasi
penelitian dalam rangka penulisan proposal ini yaitu di Kota Salatiga.
Pemilihan lokasi penelitian ini berkaitan langsung dengan masalah yang
dibahas dalam penulisan skripsi ini.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan
melalui
wawancara dengan komunitas gay dan tokoh-tokoh lembaga keislaman
dan lembaga pemerintahan daerah di Salatiga. Adapun wawancara
dengan tokoh-tokoh lembaga keislaman dan lembaga pemerintahan
daerah bertujuan untuk mengetahui peran lembaga keislaman sebagai
lembaga dakwah dan peran lembaga pemerintahan daerah sebagai
11
corong hukum terhadap fenomena perilaku seksual kaum gay di
Salatiga.
b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur bukubuku, surat
kabar,
majalah, catatan, perundang-undangan dan
kepustakaan ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber
pelengkap penelitian.
4. Prosedur Pengumpulan Data
a.
Wawancara
Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998:115). Pengumpulan data dengan cara mengadakan
wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Wawancara
dilakukan penulis dengan beberapa sumber:
1) Anggota komunitas gay di Salatiga. Dalam hal ini penulis
mewawancarai 4 (empat) subjek yang berperilaku gay karena 4
(empat) orang inilah yang mau diajak untuk diwawancarai.
2) Tokoh pemuka pada lembaga keislaman dalam hal ini penulis
ingin mewancarai ketua dari organisasi NU dan Muhammadiyah.
Dan dari lembaga pemerintahan sendiri penulis mewawancarai
dari pihak Komisi Penanggulangan AIDS Salatiga (KPA). Alasan
penulis mengambil pengumpulan data dari kedua lembaga tersebut
adalah untuk mengetahui peran lembaga keislaman sebagai
lembaga dakwah dan peran lembaga pemerintahan daerah sebagai
12
corong hukum terhadap fenomena perilaku seksual kaum gay di
Salatiga.
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1997 : 236).
Dalam penelitian ini, penulis mencari data dari buku,
majalah, transkrip, foto, dan catatan yang terkait aktivitas komunitas
gay di Salatiga, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk
menambah data yang ada pada peneliti.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh untuk gambaran yang komperehensif dan
akurat dari penelitian ini, maka akan dilakukan analisis deskriptif
kualitatif, sehingga kondisi faktual pada penelitian ini dapat dihasilkan.
Dalam penelitian ini digunakan metode analisis data-data yang telah
terkumpulkan melalui dokumen, interview atau wawancara untuk
memperoleh perspektif yang jelas.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data peneliti menggunakan triangulasi
sebagai tehnik untuk mengecek keabsahan data. Di mana dalam
pengertiannya triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara
terhadap obyek penelitian (Moleng, 2004: 330). Pengecekan keabsahan
13
data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan informasi
dari berbagai pihak yaitu para anggota komunitas gay, para tokoh lembaga
keislaman, dan tokoh lembaga pemerintahan. Pengecekan keabsahan data
dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan
yang terlewati oleh penulis.
7. Tahap-tahap Penelitian
Prosedur penelitian ini dilakukan meliputi tiga tahap yaitu :
a.
Tahap Prapenelitian
Dalam tahap ini peneliti membuat rancangan penelitian,
membuat instrumen penelitian dan membuat ijin penelitian.
b. Tahap Penelitian
1) Melakukan penelitian, yaitu mengadakan wawancara kepada
komunitas gay dan tokoh-tokoh lembaga Islam serta lembaga
pemerintahan di Salatiga.
2) Pengamatan secara langsung mengenai kegiatan komunitas gay.
3) Kajian pustaka yaitu pengumpulan data dari informasi dan bukubuku.
c.
Tahap Pembuatan Laporan
Dalam tahap ini peneliti menyususn data hasil penelitian
untuk dianalisis kemudian dideskripsikan sebagai suatu pembahasan
dan terbentuk suatu laporan hasil penelitian.
14
H. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan
penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan dalam bab
tersebut terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat dilihat
sebagai berikut:
Bab Pertama: Pendahuluan. Bagian ini merupakan bagian yang paling
umum pembahasannya karena berisi dasar-dasar penelitian ini. Isi dari bagian
ini terdiri dari: Latar Belakang Masalah; yaitu menjelaskan faktor-faktor yang
menjadi dasar atau pendukung timbulnya masalah yang akan diteliti serta
memperjelas alasan-alasan yang dianggap menarik dan penting untuk diteliti,
penegasan istilah; menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam judul
skripsi agar tidak terjadi salah penafsiran, rumusan masalah; diperlukan untuk
mengetahui permasalahan dalam penelitian secara komperensif dan terfokus.
Telaah
Pustaka;
menjelaskan
tentang
penelitian
sebelumnya
selain
mengumpulkan teori, peneliti menambahkan komentar, kritik (kelebihan dan
atau kekurangan teori dalam pustaka), perbandingan dengan teori (pustaka)
lain, kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Tujuan penelitian,
kegunaan penelitian; sebagai cara pandang dan acuan terhadap penelitian yang
dilakukan. Metode penelitian; dimasukkan sebagai langkah-langkah yang aka
ditempuh dalam menganalisa data.
Bab Kedua. Pada bab ini membahas tentang studi tentang gay serta
berbagai perspektif tentang gay. Sub bab pertama yaitu deskripsi tentang
seksualitas, perilaku seksual, orientasi seksual, dan penyimpangan seksual. Sub
15
bab kedua deskripsi gay yang meliputi pengertian dan kategorisasi gay.
Merupakan penjelasan proses menjadi gay, membedakan antara gay, waria, dan
lelaki seks lelaki beserta ciri masing-masing. Sub bab ketiga yaitu seksualitas
dalm perspektif Islam dan Perundang-undangan Indonesia.
Bab Ketiga. Pada bab ini memuat tentang gambaran umum lokasi
penelitian. Fenomena komunitas gay di Salatiga yang meliputi gambaran
komunitas gay di Salatiga, faktor-faktor menjadi seorang gay, proses Coming
Out pada gay, bentuk perilaku seksual pada gay, perkawinan gay, dan
keberagamaan pada seorang gay. Gambaran peranan lembaga keislaman dan
lembaga pemerintah dalam persoalan komunitas gay di Salatiga.
Bab Keempat. Bab ini merupakan menganalisa kebiasaan perilaku
seksual kaum gay di Salatiga, faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi
seorang gay dan menganalisa pandangan dan perbandingan antara Hukum
Islam dan Perundang-undangan di Indoneisa terhadap kasus Gay di Salatiga.
Bab Kelima. Penutup. Bagian ini terdiri dari kesimpulan dan saransaran sebagai akhir dari pengkajian ini.
16
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG GAY
A. Konsep Seks, Seksualitas, Orientasi Seks, Perilaku Seksual, Seks
Menyimpang, dan Gender
1. Seks
Seks (sex) adalah sebuah konsep tentang pembedaan jenis
kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis, hormonal, dan
patologis. Karena dominannya pengaruh paradigma patriarkhis dan heteronormativitas dalam masyarakat, secara biologis manusia hanya dibedakan
secara kaku ke dalam dua jenis kelamin (seks), yaitu laki-laki (male) dan
perempuan (female). Demikian pula konsep jenis kelamin yang bersifat
sosial, manusia juga hanya dibedakan dalam dua jenis kelamin sosial
(gender), yakni laki-laki (man) dan perempuan (woman) (Mulia. dkk,
2011: 9).
Makna lain seks lebih ditekankan pada keadaan anatomis manusia
yang kemudian memberi “identitas” kepada yang bersangkutan. Seseorang
yang memiliki anatomi penis disebut laki-laki. Sedangkan orang yang
memliki anatomi vagina disebut perempuan. Istilah seks umumnya
digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktifitas
seksual. Karena penekanannya lebih pada hal-hal yang bersifat anatomis,
maka seks kemudian sering dimaknai sempit sebagai hubungan badan
17
antara laki-laki dan permpuan. Nasarudin Umar menyebutkan bahwa
istilah seks lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang,
meliputi perbedaan komposisi kimia hormone dalam tubuh, anatomi fisik,
reproduksi dan karakteristik biologis lainnya (Syafi’ie, 2009: 25).
2. Seksualitas
Seksualitas
adalah
sebuah
proses
sosial-budaya
yang
mengarahkan hasrat atau berahi manusia. Seksualitas dipengaruhi oleh
interaksi faktor-faktor
biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik,
agama, dan spiritualitas. Seksualitas merupakan hal positif, berhubungan
dengan jati diri seseorang dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya.
Sayangnya, masyarakat umumnya masih melihat seksualitas sebagai
negatif, bahkan tabu dibicarakan. Ada perbedaan penting antara seks dan
seksualitas. Seks adalah sesuatu yang bersifat biologis dan karenanya seks
dianggap sebagai sesuatu yang stabil. Seks biasanya merujuk pada alat
kelamin dan tindakan penggunaan alat kelamin itu secara seksual.
Meskipun seks dan seksualitas secara analisis merupakan istilah yang
berbeda, namun istilah seks sering digunakan untuk menjelaskan
keduanya. Misalnya, seks juga digunakan sebagai istilah yang merujuk
pada praktik seksual atau kebiasaan (Mulia. dkk, 2011: 11).
Akan tetapi, perbedaan antara keduanya sangat jelas, seks
merupakan hal yang given atau terberi. Sebaliknya, seksualitas merupakan
konstruksi sosial-budaya. Seksualitas adalah konsep yang lebih abstrak,
mencakup aspek yang tak terhingga dari keberadaan manusia, termasuk di
18
dalamnya aspek fisik, psikis, emosional, politik, dan hal-hal yang terkait
dengan
berbagai
kebiasaan
manusia.
Seksualitas,
sebagaimana
dikonstruksikan secara sosial, adalah pernyataan dan penyangkalan secara
rumit dari perasaan dan hasrat. Tidak heran jika seksualitas mempunyai
konotasi, baik positif maupun negatif, serta mengakar dalam konteks
masyarakat tertentu (Mulia. dkk, 2011: 11).
Vance menyebutkan bahwa seksualitas melingkupi makna
personal dan sosial, pandangan yang menyeluruh tentang seksualitas
mencakup peran sosial, kepribadian, identitas, dan seksual, biologis,
kebiasaan seksual, hubungan, pikiran, dan perasaan. Seksualitas,
sebagaimana terdefinisi secara kultural dan berkembang dalam sejarah
sosial, mempunyai konotasi berbeda dalam komunitas, masyarakat dan
kelompok yang berbeda. Bahkan, dalam masyarakat yang sama,
pemahaman seksualitas akan berbeda menurut umur, kelas sosial, budaya,
dan agama (Mulia. dkk, 2011: 13).
Seksualitas bukanlah bawaan atau kodrat, melainkan produk dari
negosiasi, pergumulan, dan perjuangan manusia. Seksualitas merupakan
ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap orang
lain dalam arti yang sangat kompleks, menyangkut identitas diri (self
identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior),
dan orientasi seksual (sexual orientation) (Mulia. dkk, 2011: 14).
19
3. Orientasi Seks
Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia
berkaitan dengan ketertarikan emosi, rasa sayang, dan hubungan seksual.
Orientasi seksual bersifat kodrati, tidak dapat diubah. Tak seorang pun
dapat memilih untuk dilahirkan dengan orientasi seksual tertentu. Studi
tentang orientasi seksual menyimpulkan ada beberapa varian orientasi
seksual, yaitu heteroseksual (hetero), homoseksual (homo), biseksual
(bisek), dan aseksual (asek). Disebut hetero apabila seseorang tertarik pada
lain jenis. Misalnya, perempuan tertarik pada laki-laki atau sebaliknya.
Dinamakan homo apabila seseorang tertarik pada sesama jenis. Lelaki
tertarik pada sesamanya dinamakan gay, sedangkan perempuan suka
perempuan disebut lesbian. Seseorang disebut bisek apabila orientasi
seksualnya ganda: tertarik pada sesama sekaligus juga pada lawan jenis.
Sebaliknya, aseksual tidak tertarik pada keduanya, baik sesama maupun
lawan jenis (Mulia. dkk, 2011: 16).
4. Perilaku Seksual
Perilaku
seksual
adalah
cara
seseorang
mengekspresikan
hubungan seksualnya. Perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
budaya, interpretasi agama, adat tradisi, dan kebiasaan dalam suatu
masyarakat. Karena itu, perilaku seksual merupakan konstruksi sosial,
tidak bersifat kodrati, dan tentu saja dapat dipelajari. Di sinilah perbedaan
mendasar antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Sayangnya, tidak
banyak orang yang mau memahami perbedaan kedua istilah ini secara arif.
20
Akibatnya, tidak sedikit yang memahami keduanya secara rancu dan salah
kaprah (Mulia. dkk, 2011: 20).
Perilaku seksual menurut Sarwono (2010:174) adalah segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka
ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan,
bercumbu dan senggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang
dalam khayalan atau diri sendiri.
Perilaku seksual dibagi menjadi 2 macam (Demartoto, 9-10),
yaitu:
a. Seks Penetratif
1) Seks Vaginal
2) Seks anal: Hubungan seks dengan penetrasi kepada anus
pasangannya.
3) Seks Oral
a) Oro-Penile (Fellatio)
Sexualoralisme (suatu keadaan dimana kepuasan didapat
dengan menggunakan bibir, mulut dan lidah kepada organ
genetalia pasangannya) yang dilakukan untuk melakukan
rangsangan ke penis.
b) Oro-Vulva (Cunnilingus)
Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan
rangsangan ke vagina.
21
c) Oro-Anus (Anilungus)
Sexualoralisme yang dilakukan dengan cara melakukan
rangsangan ke anus.
4) seks dengan alat yang dimasukkan
b. Seks non penetratif
1) Seks Manual
2) Seks dengan sentuhan/kontak badan
3) Seks dengan alat yang tidak dimasukkan.
4) Seks Sado-Masochist (S&M)
5) Melihat pornografi
6) Seks Fantasi
7) Seks lewat telepon/intemet
5. Macam-macam Seks yang Menyimpang
Menurut Sigmund Freud yang dikutip Yatimin (2003: 54) bahwa
kebutuhan seksual adalah kebutuhan vital pada manusia. Jika tidak
terpenuhi kebutuhan ini akan mendatangkan gangguan kejiwaan dalam
bentuk tindakan abnormal. Berbicara mengenai tindakan abnormal pasti
berhadapan dengan masalah yang menyangkut tingkah laku normal dan
tidak normal. Garis pemisah antara tingkah laku normal dan tidak normal
selalu tidak jelas. Para ahli psikologi mengalami kesulitan untuk
membedakan apa yang dimaksud dengan bertingkah laku normal dan
abnormal.
22
Di lihat dari sudut pandang ilmu psikologi pendidikan, yang
dimaksud dengan tingkah laku abnormal ialah tingkah laku yang
menyimpang dari norma-norma tertentu dan dirasa mengganggu orang lain
atau perorangan (Yatimin, 2003: 54).
Sarlito Wirawan (1982: 127) membagi tindakan abnormal
(perilaku penyimpangan seksual dan perilaku penyimpangan seksual)
kepada dua jenis, yaitu :
a. Perilaku Penyimpangan Seksual karena Kelainan Pada Objek.
Pada penyimpangan ini dorongan seksual yang dijadikan
sasaran pemuasan lain dari biasanya. Pada manusia normal objek
tingkah laku seksual ialah pasangan dari lawan jenisnya, tetapi pada
penderita perilaku penyimpangan seksual objeknya bisa berupa orang
dari jenis kelamin berbeda, melakukan hubungan seksual dengan hewan
(betiality),
dengan
mayat
(Necrophilia),
sodomi,
oral
sexual,
homoseksual, lesbianis, dan pedophilia.
b. Perilaku Penyimpangan Etika Seksual karena Kelainan pada Caranya.
Pada penyimpangan jenis ini dorongan seksual yang dijadikan
sasaran pemuasan seksual tetap lawan jenis, tetapi caranya bertentangan
dengan norma-norma susila dan etika. Yang termasuk perilaku
penyimpangan etika seksual jenis ini ialah perzinaan, perkosaan,
hubungan seks dengan saudaranya (mahramnya) sendiri, melacur, dan
sejenisnya.
23
Ada beberapa jenis perilaku penyimpangan seksual dan perilaku
penyimpangan etika seksual. Jenis-jenis tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut (Yatimin, 2003: 54-56). Yang termasuk perilaku penyimpangan
seksual:
1. Sadisme adalah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan jalan
menyakiti lawan jenisnya bahkan tidak jarang sampai meninggal
dunia.
2. Masochisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
jalan menyakiti diri sendiri.
3. Exhibitionisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
cara menunjukkan organ seksual pada orang lain.
4. Scoptophilia ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
cara mengintip orang melakukan hubungan seksual.
5. Voyeurisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara
mengintip orang mandi, sedang ganti pakaian, melihat wanita
telanjang.
6. Troilisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara saling
mempertontonkan alat kelamin pada orang lain atau partnernya.
7. Transvestisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan memakai
baju lawan jenisnya.
8. Trans-Seksualisme ialah kecenderungan pemuasan nafsu seksual yang
dilakukan dengan jalan ganti kelamin.
24
9. Seksual Oralisme ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan
dengan memadukan mulut dengan alat kelamin.
10. Sodomi (non vaginal coitus) ialah pemuasan nafsu seksual yang
dilakukan melalui dubur.
11. Homoseksual ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan hubungan
badan dengan sesame jenisnya sendiri, yaitu laki-laki dengan laki-laki
atau wanita dengan sesama wanita.
12. Pedophilia ialah pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai
objek.
13. Bestiality ialah pemuasan nafsu seksual dilakukan pada binatang.
14. Zoophilia ialah pemuasan nafsu seksual dengan jalan mengelus-elus
binatang.
15. Nechropilia ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara
mengadakan hubungan kelamin dengan wanita yang sudah meninggal.
16. Pornography ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
cara melihat gambar-gambar telanjang, membaca bacaan porno,
menonton film romantic yang menjurus pada pornografi, film adeganadegan seksual erotik, dan sejenisnya.
17. Obscenity ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan cara
mengeluarkan kata-kata kotor, humor seksual dan sejenisnya.
18. Fatishisme ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan
simbol dari lawan jenis terutama pakaian.
25
19. Soliromantis ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotori
lambang seksual dari orang yang disenangi.
20. My Sophilya ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
cara menggunakan benda-benda kotor.
21. Onani/Mastrubasi ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan
dengan tangan, yaitu mengesek-gesekkan bagian alat kelamin hingga
mencapai orgasme atau menggunakan alat bantu lainnya.
Yang termasuk perilaku penyimpangan etika seksual (Yatimin,
2003: 56) :
a. Frottage ialah pemuasan nafsu seksual dengan cara meraba-raba
orang yang disenangi (bukan suami istri), meraba bagian yang sensitif
pada lawan jenisnya sampai melakukan hubungan seksual.
b. Incest ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
mengadakan hubungan kelamin dengan kerabatnya sendiri.
c. Wife-wapping ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
cara berganti-ganti pasangan, saling menukar pasangannya dengan
pasangan-pasangan orang lain.
d. Melacur ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
perempuan pelacur. Cara yang dilakukan ialah dengan melakukan
tawar menawar harga pada wanita yang dianggap cocok, bila sesuai
dengan seleranya ia melakukan transaksi dan melakukan hubungan
seksual di sebuah tempat yang disepakati.
26
e. Zina ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
mengadakan hubungan kelamin pada wanita lain selain istrerinya yang
sah dengan cara suka sama suka dan tidak pakai bayaran atau upah.
f. Selingkuh ialah pemuasan seksual yang dilakukan dengan orang yang
dicintai tetapi belum melangsungkan akad nikah.
6. Gender
Kata gender berasal dari bahasa inggris yang artinya jenis
kelamin. Di dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku (Nasir, 2011: 13). Konsep gender menurut
Mansour Faqih, adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
prempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, dapat
dipertukarkan, dan bersifat relatif (Kodir dan Mukarnawati, 2013: 19).
Kebanyakan orang biasanya mengidentifikasikan perempuan
sebagai orang yang bersifat feminim; lemah lembut, cantik, gemulai, suka
menangis, emosional, pengasih, pasif dalam banyak hal, mengalah,
beraninya di belakang. Sementara jenis kelamin laki-laki diindentikkan
dengan sifat-sifat maskulin; gagah, berani, kuat, perkasa, aktif, suka
merebut, menantang, siap melawan siapapun dan menghadapi apapun
(Kodir dan Mukarnawati, 2013: 20).
27
B. Homoseksual
1. Pengertian Homoseksual
Kata homoseksual berasal dari 2 kata, yang pertama adalah dari
kata “homo” yang berarti sama, yang “kedua” seksual berarti mengacu
pada hubungan kelamin, hubungan seksual. Sehingga homoseksual adalah
aktivitas seksual dimana dilakukan oleh pasangan yang sejenis.
Sedangkan pengertian lain dari homoseksual adalah kesenangan
yang terus-menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan
kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan
dengan orang lain atau dengan kata lain, homoseksual membuat
perencanaan yang disengaja untuk memuaskan diri sendiri dan terlibay
dalam perilaku seksual dengan sesama jenis (Oetomo, 2000: 10).
Homoseksual secara sederhana diartikan sebagai kecenderungan
(orientasi) seksual sejenis, bisa sesama jenis kelamin laki-laki atau
perempuan. Untuk laki-laki, biasa disebut Gay, dan untuk perempuan
disebut Lesbian. Jadi, Gay adalah tubuh laki-laki yang tertarik secara
seksual kepada tubuh laki-laki, tidak kepada tubuh perempuan. Lesbian
adalah tubuh perempuan yang tertarik secara seksual kepada tubuh
perempuan, tidak kepada tubuh laki-laki. Tetapi di masyarakat istilah
homoseksual umumnya hanya dipahami untuk laki-laki (Gay) atau sering
juga disebut Waria atau banci. Sedangkan untuk perempuan tetap disebut
Lesbian. Lawan kata dari homoseksual adalah heteroseksual, yakni
kecenderungan (orientasi) seksual kepada lawan jenis kelamin, laki-laki
28
suka perempuan, atau sebaliknya perempuan suka laki-laki (Mulia. dkk,
2011: 87)
2. Penyebab Homoseksual
Kartono (1989: 248) mengungkapkan ada empat penyebab
seseorang menjadi homoseksual, yaitu:
a. Faktor dalam berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks di
dalam tubuh seseorang.
b. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi
perkembangan kematangan seksual yang normal.
c. Seseorang selalu mencari kepuasaan relasi homoseksual yang
menggairahkan pada masa remaja.
d. Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis
dengan ibunya sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap
ibunya dan semua wanita.
Dari keempat faktor tersebut, homoseksual yang disebabkan oleh
biologis dan psikodinamik (adanya gangguan perkembangan psikoseksual
pada masa anak-anak) memungkinkan untuk tidak dapat dirubah menjadi
heteroseksual. Sedangkan faktor lain masih dapat berubah menjadi
heteroseksual asalkan orang tersebut mempunyai tekad dan keinginan kuat
untuk menjauhi lingkungan tersebut.
3. Kategori Homoseksual
Bell dan Weinberg (dalam Siahaan 2009:50-51), membuat 5
kategori homoseksual berdasarkan hubungan homoseksualnya, yaitu:
29
a. Closed Coupled, hidup bersama dengan homoseks lain dalam
hubungan quasi nikah. Mereka cenderung tidak mempunyai atau
mencari pasangan seksual lain. Mereka juga tidak mempunyai banyak
masalah dalam hubungan tersebut dan juga tidak menyesal menjadi
homoseksual.
b. Open Coupled, tinggal bersama dengan homoseks namun masih
mencari dan terlibat hubungan seksual di luar hubungan tersebut.
c. Functional, melajang dan melakukan hubungan seksual dengan
banyak homoseksual. Mereka mengalami masalah seksual dan sedikit
menyesal menjadi homoseks.
d. Disfuctional, mempunyai hubungan homoseksual tetapi mempunyai
banyak masalah seksual serta menyesal menjadi homoseks.
e. Asexual, memiliki sedikit hubungan homoseksual dan banyak
mengalami masalah seksual serta menyesali orientasi seksualnya.
4. Macam-macam Homoseksual
Dari segi psikiatri ada dua macam homoseksual (Demartoto, 19),
yakni:
a. Homoseksual Ego Sintonik (Sikron dengan Egonya)
Seorang homoseks ego sintonik adalah homoseks yang tidak
merasa terganggu oleh orientasi seksualnya, tidak ada konflik bawah
sadar yang ditimbulkan, serta tidak ada desakan, dorongan atau
keinginan untuk mengubah orientasi seksualnya.
30
Hasil penelitian beberapa ahli menunjukkan, orang-orang
homoseksual ego sintonik mampu mencapai status pendidikan,
pekerjaan, dan ekonomi sama tingginya dengan orang-orang bukan
homoseksual.
Bahkan
kadang-kadang
lebih
tinggi.
Wanita
homoseksual dapat lebih mandiri, fleksibel, dominan, dapat mencukupi
kebutuhannya sendiri dan tenang. Kelompok homoseksual ini juga
tidak mengalami kecemasan dan kesulitan psikologis lebih banyak
daripada para heterokseksual. Pasalnya, mereka menerima dan tidak
terganggu secara psikis dengan orientasi seksual mereka, sehingga
mampu menjalankan fungsi sosial dan seksual secara efektif.
b. Ego Distonik (Tidak Sinkron dengan Egonya)
Seorang homoseks ego distonik adalah homoseks yang
mengeluh dan merasa terganggu akibat konflik psikis. Ia senantiasa
tidak atau sedikit terangsang oleh lawan jenis dan hal itu
menghambatnya untuk melalui dan mempertahankan hubungan
heteroseksual yang sebetulnya didambakannya.
Secara terus terang ia menyatakan dorongan homoseksualnya
menyebabkan ia merasa tidak disukai, cemas, dan sedih. Konflik psikis
tersebut menyebabkan perasaan bersalah, kesepian , malu, cemas, dan
depresi. Karenanya, homoseks semacam ini dianggap sebagai
gangguan psikoseksual.
31
5. Pengakuan Diri
Troiden (dalam Siahaan 2009:51-52), menggambarkan tiga
tahapan proses pengakuan menjadi homoseks, sebagai berikut:
a. Sensitization, tahapan ini seseorang menyadari bahwa dia berbeda dari
laki-laki lain.
b. Dissaciation
dan
Signification,
tahapan
ini
menggambarkan
terpisahnya perasaan seksual seseorang dan menyadari orientasi dan
perilaku seksualnya. Di sinilah seseorang mendapat pengalaman
hiburan seksualnya dari laki-laki, tetapi mungkin gagal menunjukkan
perasaannya atau mencoba untuk mengingkarinya.
c. Coming Out (pengakuan), tahap ini merupakan tahap di mana
homoseksualitas diambil sebagai jalan hidup. Tahap ini mungkin
dapat diartikan bahwa telah terjadi kombinasi antara seksualitas dan
emosi, dan mempunyai hubungan dengan pasangan tetap.
6. Bentuk Seksual
Perilaku seksual pada umumnya, semua tipe kontak langsung
genital didapati di kalangan mereka yang berperilaku homoseksual di
Indonesia modern, pada gay, dikenal teknik mastrubasi mutual, fellatio
(seks oral), koitus interfemoral dan “gesek-gesek” (frottage), serta koitus
genito-anal (semburit). Secara umum didapatkan kesan bahwa orang
Indonesia lebih berinhibisi dalam melakukan hubungan seksual apabila
dibandingkan dengan orang Barat, misalnya. Kontak linguo anal
(analingus), penestrasi anus dengan kepalan tinju (first fucking) dan
32
hubungan seks seperti sado-masokisme atau hubungan dengan ikatan dan
displin (bondage and discipline) serta kebiasaan-kebiasaan eksotik yang
melibatkan urine atau feaces tampaknya tidak umum di Indonesia
sebagaimana dalam peradaban gay modern Barat (Oetomo, 2003:45).
Dalam terminologi Islam, homoseks disebut “liwath” atau
“luthiyah” artinya laki-laki yang mencampuri laki-laki pada duburnya
(liang anus). Homoseks disebut liwath karena dihubungkan dengan kaum
luth yang secara terang-terangan melakukan perbuatan keji itu (mujtabah
dan ridlwan, 2010:146).
7. Akibat Homoseks
Menurut Utsman Ath-Thawill (Machmunah, 2007: 39), akibat
homo seks sebagai berikut:
a. Praktek anal seks atau liwath (sodomi) sampai saat ini masih
merupakan penyebab utama penularan HIV, virus penyebab AIDS.
b. Perbuatan tersebut dapat melumpuhkan dan memusnahkan sperma
sehingga mengakibatkan kemandulan.
c. Penggemar anal seks atau liwath (sodomi) sangat rentan terhadap
serangan berbagai jenis penyakit jiwa, syaraf serta keseimbangan otak,
akibat kekurangan zat-zat yang dikeluarkan oleh kelenjar thyroid.
d. Anal seks atau liwath (sodomi) dapat melemahkan pusat produksi
sperma dan berpengaruh terhadap pembentukan cairan mani, sehingga
akan berakhir dengan kemandulan dan tidak mampu untuk melahirkan
keturunan.
33
8. Perbedaan antara Gay, Waria, dan Laki-Laki Seks Laki-Laki.
a. Seperti yang sudah dipaparkan di atas gay termasuk bagian dari
orientasi seksual yaitu Homoseksual. Penampilan gay secara fisik
sama dengan pria, secara psikologis dia mengidentifikasi dirinya
sebagai pria. Dapat juga terjadi penyeberangan terhadap identitas
waria. Maksudnya, ada kaum homoseks (gay) yang kadang-kadang
berdandan sebagaimana waria, bahkan untuk waktu yang agak lama
disebut juga gay dendong. Dan ada juga istilah sisy (Purnamasari,
2013: 13), merupakan istilah untuk menyebutkan homoseksual yang
perilakunya seperti perempuan. Istilah sisy juga sering disebut dengan
istilah ngondek.
b. Waria secara fisik ingin mengidentifikasi dirinya sebagai wanita, dan
secara psikologis dia mengidentifikasi dirinya sebagai wanita. Para
waria secara biologis adalah pria dengan organ reproduksi pria atau
bisa disebut transgender. Memang ada beberapa waria yang kemudian
berganti kelamin melalui operasi disebut juga sebagai transeksual.
Tetapi organ reproduksi yang “baru” itu tidak bisa berfungsi sebagai
organ reproduksi wanita. Misalnya dia tidak haid dan tidak bisa hamil
karena tidak punya sel telur dan rahim.
Dalam Islam dikenal dua hal berkaitan dengan fenomena
waria (Choiriyah, 2011:12). Pertama, adalah istilah khuntsa dan kedua
adalah takhanus. Keduanya meski mirip-mirip tapi berbeda secara
mendasar. Khuntsa ialah seseorang yang jenis kelaminnya diragukan,
34
lelaki atau perempuan. Sebab, mereka memiliki alat kelamin lelaki
dan perempuan secara bersamaan, atau tidak memiliki alat kelamin
sama sekali, baik kelamin laki-laki ataupun kelamin perempuan.
Muhammad Makhlif dalam ensiklopedia Islam membagi khunsa
menjadi dua golongan yaitu: pertama, khunsa musykil mempunyai
kelamin ganda dan berfungsi semuanya. Kedua, khunsa ghairu
musykil mempunyai dua kelamin ganda hanya salah satu kelamin yang
berfungsi. Adapun takhanus, yaitu orang yang berlagak atau berpurapura jadi khuntsa, padahal dari segi fisik dia punya organ kelamin
yang jelas. Sehingga sama sekali tidak ada masalah dalam statusnya
apakah laki-laki atau wanita. Dalam syarah Shahih Bhukari takhanus
ini dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, mukhanas yang sejak lahir
memang
diciptakan
seperti
perempuan
(berperilaku
seperti
perempuan, secara rohani seperti perempuan) sebagai bentuk kelainan
yang diderita sejak kecil. Kedua, mukhanas yang berperilaku sebagian
perempuan namun karena sengaja, karena kebutuhan hidup, atau
karena terpaksa (dengan sengaja).
c. Terminologi men who sex with men atau MSM (Demartoto, 28-29)
dimaksudkan untuk menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan
dengan laki-laki, tanpa memandang identitas seksual mereka. Ini
digunakan karena hanya sejumlah kecil dari laki-laki terlibat dalam
perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai gay, biseksual
atau
homoseksual
tetapi
35
lebih
tepat
mengidentifikasi
diri
menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka
tidak menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain
dalam terminologi identitas atau orientasi seksual. Banyak yang
berhubungan seks dengan laki-laki mengidentifikasi diri sebagai
heteroseksual bukannya homoseksual atau biseksual, terutama bila
mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya
memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks,
dan/atau berhubungan seks laki-laki demi uang atau kesenangan.
Laki-laki seks laki-laki (LSL) termasuk kategori dari laki-laki
yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti:
1) Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual
(gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender,
atau persamaannya, dan identitas lainnya);
2) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual
mereka yang bukan mainstream (terbuka atau tertutup);
3) Partner
seksual
mereka
(laki-laki,
perempuan,
dan/atau
trangender);
4) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami,
pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau
rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkunngan yang
semuanya laki-laki);
5) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, resepatif, atau
keduanya);
36
6) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki
atau
perempuan,
maskulin
atau
feminim/effeminate,
berseberangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai
gender).
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi
terminologi yang terpopuler dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia
digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan
mereka dalam resiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa
terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak
mencukupi pada aspek yang lain seperti emosi, hubungan, dan
identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan
dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai
terminologi laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia
menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang
berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama.
C. Seksualitas dalam Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia
1. Seksualitas dalam Hukum Islam
Pandangan Islam terhadap seksual bertitik tolak dari pengetahuan
tentang fitrah manusia dan usaha pemenuhan
seksualnya agar setiap
individu dalam masyarakat tidak melampaui batas-batas fitrahnya. Ia harus
berjalan dengan cara normal seperti yang telah digariskan Islam. Firman
Allah SWT dalam Al Qur’an:
37
          
          
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. ArRhuum: 21).
Islam menghendaki hubungan seks yang normal melalui
pernikahan dengan niat mencurahkan semua waktunya untuk ibadah
kepada Allah SWT. Untuk mengatasi kerusakan jiwa dan mengarahkan
agar berahlak mulia, islam menghendaki fitrah manusia berjalan sesuai
dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Hanya agama Islam yang tidak
menyetujui pandangan bahwa mengekang naluriah seksual yang alami
tidak dapat dikaitkan dengan tingginya derajat dan nilai kemuliaan
seseorang. Pandangan tersebut bertentangan dengan seluruh konsep moral
dan spiritual yang ditanamkan oleh Islam. Naluri alamiah, bahkan
kecakapan mental atau kegagalan fisik sekalipun, adalah karunia Allah
SWT.
Kegiatan seksual yang berlebihan akan menghalangi aktivitas
intelektual. Untuk mencapai daya intelektual yang penuh, perlu adanya
perkembangan kelenjar yang baik serta pengendalian nafsu syahwat yang
berdaya guna (Rahman, 1996: 215).
Mempertimbangkan fakta bahwa dorongan birahi merupakan
salah satu nafsu yang sangat sulit ditahan, maka, jika tidak ada jalan yang
38
akurat dan halal, yang akan terjadi adalah kerusakan moral dan
penyimpangan perilaku seksual. Ajaran Islam memperlihatkan jalan yang
praktis untuk menghadapi hawa nafsu, untuk menjauhkan diri dari
kekuatan-kekuatan yang datang dari luar yang mendorong gairah birahi,
dan untuk memanfaatkan kemampuan jiwa dan raga dengan cara yang
positif yang sesuai dengan kehidupan manusia (Bahesyti dan Bahomar,
2003: 364).
Tinjauan Islam tentang seksual dalam penulisan ini ialah perilaku
manusia secara benar yang diridhai Allah SWT sesuai dengan fitrahnya,
hidup harmonis dan dapat memenuhi tuntutan kehidupan secara normal
tanpa mengabaikan kebutuhan lainnya. Adapun hubungan seksual terbagi
atas dua jenis hubungan, yaitu:
a. Hubungan seksual yang dihalalkan.
Pada prinsipnya dalam Islam ada dua tujuan pokok dari
lembaga perkawinan. Pertama, mendapatkan ketentraman hati,
terhindar dari kegelisahan, dan kebimbangan yang tidak berujung
pangkal. Kedua, melahirkan keturunan anak yang saleh/salihah, Allah
SWT berfirman :
          
           
       
39
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kami” (QS. An
Nisaa: 1).
         
        
   
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak
dan cucucucu, dan memberiku rezki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72).
Allah SWT memberikan kebebasan seksual sebebasbebasnya sesuai dengan firman-Nya :
           
       
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman” (QS. Al Baqarah: 223).
40
Dalil di atas menunjukkan, bahwa seksual adalah fitrah
manusia yang harus disalurkan melalui nikah. Hal ini dimaksudkan
untuk
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Nikah (kawin) menurut arti istilah ialah hubungan seksual tetapi arti
majazi (methaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) nikah
yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dengan seorang wanita. Menurut Imam Syafi’i,
pengertian nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti
majazih artinya hubungan seksual. Mahmud Yunus mengartikan nikah
sebagai hubungan seksual. Sedangkan Hazairin mengatakan bahwa
inti perkawinan itu adalah hubungan seksual, menurut beliau tidak ada
nikah (perkawinan) apabila tidak ada hubungan seksual. Selanjutnya,
Ibrahim Hosen mengartikan nikah sebagai aqad dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dan wanita (Ramulyo, 2002: 1-3).
Dari berbagai pengertian di atas, nikah lebih berkonotasi pada
hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa hubungan seks yang halal dalam perspektif
Islam adalah hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dengan
perempuan melalui pernikahan.
b. Hubungan seksual yang terlarang
Hubungan seksual yang terlarang maksudnya ialah hubungan
suami istri pada waktu-waktu tertentu seperti sedang haid, nifas dan
41
melakukan hubungan seksual kepada wanita lain selain istrinya yang
sah. Berikut ini dalil hubungan seks yang terlarang:
1) Hubungan seksual ketika istri dalam keadaan haid atau nifas,
Allah SWT berfirman :
           
            
      
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:
‘haid itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kau menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al Baqarah: 222).
2) Homoseksual
Dalam Islam, homoseksual disebut liwath atau “amal
qaumi luthin”. istilah tersebut timbul karena perbuatan seperti itu
pertama kali dilakukan oleh umat Nabi Luth yang hidup sezaman
dengan Nabi Luth (Yatimin, 2003: 33). Hal ini dijelaskan oleh
Allah SWT dengan firman-Nya:
          
        
42
“Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada
kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:
‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu?. Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk
melepas nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” (QS. An-Naml: 5455).
3) Hubungan seksual dengan cara zina
Menurut Ahsin W. Al-Hafidz, (2005: 319-320), zina
adalah terjadinya hubungan seks (memasukkan zakar atau kelamin
laki-laki ke dalam farji minimal batas qulfah atau kepala zakar)
laki-laki dan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.
Dalam Islam, zina dikategorikan sebagai perbuatan keji dan
merusak keturunan. Zina ada dua macam, yaitu zina gairu muhsan
ialah zina yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan merdeka
(bukan hamba sahaya) yang belum menikah atau belum
berkeluarga. Hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah
didera (cambuk) sebanyak 100 kali dan dibuang ke luar daerah
selama satu tahun bagi mereka yang merdeka, dan separuhnya
bagi hamba sahaya. Sedangkan zina muhsan, yaitu zina yang
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang sudah pernah
menikah atau dalam keadaan masih mempunyai ikatan pernikahan
dan merdeka. Hukuman terhadap zina muhsan adalah rajam. Allah
SWT berfirman dalam Al Qur’an, surah Al-Israa’ ayat 32: “Dan
43
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
4) Onani dan Mastrubasi
Onani menurut bahasa adalah mengeluarkan mani tidak
dengan sewajarnya. Sedangkan kata mastrubasi berasal dari
bahasa latin yang artinya mengotori diri dengan tangannya.
(Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000: 83).
Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum
onani.
Pengikut
mazhab
Syafi’i
dan
mazhab
Maliki
mengharamkan secara mutlak, dengan menyandarkan pada surah
Al-Mu’minun ayat 5-7, sebagai dalil atas haramnya onani
tersebut. (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000: 83).
Allah SWT berfirman:
          
         
  
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas” (QS. Al-Mu’minuun: 5-7).
Pengikut imam Hanifah berpendapat bahwa onani adalah
haram dalam suatu keadaan dan wajib dalam keadaan yang lain.
44
Pengikut mazhab Hambali mengatakan bahwa onani hukumnya
haram kecuali jika takut akan berzina atau takut akan merusak
kesehatan sedang ia tidak punya istri dan tidak mampu untuk
melangsungkan pernikahan (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 2000:
83).
2. Seksualitas dalam Perundang-undangan di Indonesia
Perundang-undangan merupakan produk hukum dalam suatu
negara selalu dirumuskan dengan semangat untuk memberikan keadilan
bagi semua pihak. Hukum sebagai salah satu aspek dalam kehidupan sosial
bertumbuh dan berkembang dalam tata aturan, norma dan kaidah-kaidah
sosial yang melingkupinya. Produk hukum merupakan refleksi dari daya
tarik menarik antara pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan
kepentingan, baik yang berkaitan dengan kepentingan ideologis, politis,
ekonomi, ras, maupun gender. Hal ini dapat dimengerti karena produk
hukum merupakan alat legitimasi dan produk politik (Kodir dan
Mukarnawati, 2013: 99).
Seksualitas bukanlah bawaan atau kodrat, melainkan produk dari
negosiasi, pergumulan, dan perjuangan manusia. Seksualitas merupakan
ruang kebudayaan manusia untuk mengekspresikan dirinya terhadap orang
lain dalam arti yang sangat kompleks, menyangkut identitas diri (self
identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior),
dan orientasi seksual (sexual orientation) (Mulia dkk, 2011: 18).
45
Kontruksi seksualitas dalam perundang-undangan di Indonesia
tertuang dan diatur dalam UUD 1945, Burgelijik Wetbook/KUHPerdata,
KUHP, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) bagi umat Islam di Indonesia, dan undang-undang lainnya. Di
dalam UUD 1945 pasal 28 B UUD 1945 disebutkan bahwa: “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Dalam pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu.
Dalam bab I pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa landasan perkawinan adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang dilakukan menurut aturan agama dan kepercayaan masing-masing.
Sedangkan segi formalnya perkawinan itu harus dicatatkan pada kantor
pencatatan sipil dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan agama
Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam KHI mendefinisikan perkawinan dalam pasal 2 sebagai
berikut: “perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Adapun pasal 3 KHI menyebutkan
46
tujuan perkawinan sebagai berikut: “perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawadah, dan
warahmah”. Bahwa akad perkawinan adalah suatu perjanjian yang kokoh
(mitsaqan ghalidhan). Dan salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk
menciptakan kehidupan yang penuh ketentraman dan bertabur kasih
sayang setiap anggota yang ada di dalamnya atau keluarga
sakinah,
mawadah, wa rahmah.
Negara menganut asas monogami/seorang pria hanya boleh
memiliki seorang istri diatur dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974
dan pasal 27 KUHPerdata. Dan bila ingin menikah lebih dari satu maka
harus memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun
1974. Dan untuk KHI sendiri diatur dalam pasal 55-59 KHI.
Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya. Dalam
peraturan perundangan yang berlaku, ketentuan masih di bawah umur
tersebut menurut KUHPerdata pasal 330 yang termasuk golongan di bawah
umur (belum dewasa) adalah setiap orang yang belum genap berumur 21
tahun atau belum pernah kawin sebelumnya. Namun, dalam pasal 29
KUHPerdata seseorang laki-laki dianggap pantas melakukan perkawinan
bila berumur 18 tahun dan perempuan berumur 15 tahun. Menurut UU No.
1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan dapat diizinkan apabila
laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Dan dalam
pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
47
mendapat izin kedua orang tua. Untuk perkawinan yang dilarang dalam
UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 8, di dalam KUHPerdata diatur
pada pasal 30 dan 31, sedang di KHI diatur pada pasal 39-44.
Secara garis besar kontruksi seksualitas pada perundang-undangan
di Indonesia mempunyai prinsip-prinsip perkawinan: Pertama, tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kedua,
sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaan masing-masing. Ketiga, pencatatan perkawinan. Keempat,
asas monogami. Kelima, batas usia perkawinan. Keenam, mempersulit
terjadinya perceraian. Kedelapan, hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang.
Sedang dalam pasal-pasal KUHP berkaitan dengan kejahatan
terhadap kesusilaan. Pasal 281 sampai dengan 303 KUHP mengatur
tentang pidana bagi mereka yang melanggar kesusilaan; menyebarkan
pornografi dan melanggar kesusilaan terhadap anak bawah umur; zina;
perkosaan (di luar perkawinan); perkosaan dengan korban yang pingsan (di
luar perkawinan); perkosaan dengan anak bawah umur (di luar
perkawinan);
perkawinan
dengan
anak
bawah
umur
(di
dalam
perkawinan); perbuatan cabul; perbuatan cabul dengan anak bawah umur;
perbuatan cabul dengan orang yang pingsan; perbuatan cabul sejenis;
perbuatan cabul dengan rayuan atau iming-iming; perbuatan cabul dengan
anak kandung, anak tiri, anak asuh yang belum cukup umur; pengguguran
48
kandungan; membuat seseorang dan anak mabuk; perdagangan anak
kandung dan anak asuh; perjudian.
49
BAB III
FENOMENA KOMUNITAS GAY DI KOTA SALATIGA
A. Gambaran Umum Kota Salatiga
1.
Letak Geografis Kota Salatiga
Kota Salatiga adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota
ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak
49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota
Surakarta, dan berada di jalan negara yang menghubungan SemarangSurakarta. Luas wilayah kota Salatiga adalah 61.792 km2, terdiri atas 4
kecamatan, yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo.. Serta
terdapat 22 kelurahan yang terbagi di empat kecamatan tersebut. Adapun
pembagian wilayah adsministrasi perkelurahan:
a. Kecamatan
Sidomukti:
Kecandran,
Dukuh,
Mangunsari,
dan
Kalicacing.
b. Kecamatan Argomulyo: Noborejo, Ledok, Tegalrejo, Kumpulrejo,
Randu Acir, dan Cebongan.
c. Kecamatan Tingkir: Kutowinangun, Gendongan, Sidorejo Kidul,
Kalibening, Tingkir Lor, dan tingkir Tengah.
d. Kecamatan Sidorejo: Blotongan, Sidorejo Lor, Salatiga, Kauman
kidul, Bugel, Pulutan.
50
Letak astronomi kota Salatiga terletak antara: 1100.27'.56,81"1100.32'.4,64" BT dan 007.17'.-007.17'.23" LS Salatiga terletak di
ketinggian 450-825 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung Merbabu
yang membuat daerah Salatiga menjadi lebih sejuk. Pemandangan Gunung
Merbabu, Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Rawa Pening yang
indah membuat Salatiga menjadi daerah yang indah dan spektakuler.
Seluruh Wilayah Salatiga dibatasi oleh Kabupaten Semarang, antara lain di
bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Tuntang dan Kecamatan
Pabelan, di bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Tengaran, di
bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Tuntang dan Kecamatan
Getasan, di bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Tengaran dan
Kecamatan Pabelan. Adapaun batas-batas wilayahnya adalah sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara:
1) Kecamatan Pabelan
: Desa Pabelan, Desa Pejaten
2) Kecamatan Tuntang
: Desa Kesongo, Desa Watu Agung
b. SebelahTimur:
1) Kecamatan Pabelan
: Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo, Desa
Glawan.
2) Kecamatan Tengaran : Desa Bener, Desa Tegalwaton, Desa
Nyamat.
c. Sebelah Selatan:
51
1) Kecamatan Getasan
: Desa Sumogawe, Desa Sa-mirono, Desa
Jetak.
2) Kecamatan Tengaran : Desa Patemon, Desa Karang Duren.
d. Sebelah Barat:
1) Kecamatan Tuntang
: Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten,
Desa Gedangan.
2) Kecamatan Getasan
: Desa Polobogo.
Relief kota Salatiga terdiri dari 3 bagian : Daerah Bergelombang ±
65 %, terdiri dari Kelurahan Dukuh, Ledok, Kutowinangun, Salatiga dan
Sidorejo Lor kemudian Kelurahan Bugel, Kumpulrejo dan Kauman Kidul.
Daerah Miring ± 25 %, terdiri dari Kelurahan Tegalrejo, Mangunsari dan
Sidorejo Lor dan Kelurahan Sidorejo Kidul, Tingkir Lor,
Pulutan,
Kecandran, Randuacir, Tingkir Tengah dan Cebongan. Daerah Datar ± 10
%, terdiri dari Kelurahan Kalicacing dan Keluarahan Noborejo, Kalibening
dan Blotongan.
2.
Data Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Mengenai jumlah penduduk kota Salatiga adalah 192.291 orang di
Tahun 2013. Banyaknya jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
dengan jumlah laki-laki mencapai 95.369 orang sedangkan untuk
perempuan mencapai 96.922 orang. Banyaknya kelahiran di Salatiga
berjumlah 2.025 orang dengan ketentuan anak laki-laki mencapai 1.050
orang dan untuk perempuan mencapai 975 orang, sedangkan untuk
banyaknya kematian di Salatiga berjumlah 854 orang dengan ketentuan
52
untuk laki-laki mencapai 463orang dan untuk perempuan mencapai 391.
Banyaknya mutasi pendatang dan mutasi pergi di kota Salatiga adalah
3.514 orang dengan ketentuan 2.121 orang laki-laki dan 2.464 orang
perempuan untuk mutasi datang, sedangkan untuk mutasi pergi ada 1.656
orang laki-laki dan 1.858 orang perempuan.
Penduduk usia di atas 18 tahun yang bekerja menurut mata
pencaharian seluruh kecamatan adalah 2.736 petani sendiri, 1.273 buruh
tani, 7 nelayan, 16.538 pengusaha/wiraswasta, 18.684 buruh industri, 4.410
pedagang, 0 buruh bangunan/lepas, 0 pengangkutan, 5.021 pegawai negeri,
4.288 pensiunan, 86.110 lain-lain.
3.
Pendidikan dan Keagamaan
Jumlah sekolah yang ada di Kota Salatiga adalah 249 sekolah
termasuk Perguruan Tinggi yang terdiri dari Taman Kanak-kanak 76
sekolah, Sekolah Dasar 95 sekolah (81 Sekolah Negeri dan 14 Swasta),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 23 sekolah, Sekolah Menegah
Atas 8 sekolah, Sekolah Menengah Kejuruan (3 Sekolah Negeri dan 16
Sekolah Swasta), 8 Perguruan tinggi, 13 Madrasah Ibtidaiyyah, 5
Madrasah Tsanawiyyah, dan 2 Madrasah Aliyah.
Banyaknya pemeluk agama di Kota Salatiga adalah 190.894 orang
yang terdiri dari 149.125 orang yang beragama Islam, 24.192 orang yang
beragama Kristen, 16.541 orang yang beragama Khatolik, 688 orang yang
beragama Budha, 321 orang yang beragama Hindu, dan 27 orang yang
beragama Kong Hu Cu/lainnya.
53
B. Fenomena Komunitas Gay di Kota Salatiga
Melihat keterbatasan penulis serta pendekatan penelitian yang
digunakan penulis, maka subyek yang digunakan tidak keseluruhan homoseks
atau gay yang ada di Salatiga, tetapi penulis mengambil 4 (empat) orang gay
yakni subyek T, A, S, dan D. Penulis memilih ke semua subyek ini berdasarkan
informan kunci di lapangan. Subyek T adalah alumni dari salah satu perguruan
tinggi di Salatiga yang dulu juga masuk dalam LSM Gessang Solo kependekan
dari Gerakan Sosial, Advokasi, dan HAM yang bergerak bukan hanya
dimaksudkan untuk menampung kaum gay tetapi juga sebagai upaya antisipasi
penyebaran virus HIV/AIDS bagi yang tergabung di dalamnya. Subyek A
adalah teman dari T, dimana subyek A adalah salah satu pendiri dan senior dari
komunitas GATSA dan dulu juga ikut dalam LSM LPASKA Salatiga yang
bergerak dalam penanganan penyebaran virus HIV AIDS. Subyek D adalah
teman dari A. Sedangkan subyek S adalah teman dari penulis.
1. Komunitas Gay di Salatiga
Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa
organisme yang berbagai lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan
yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya
dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan,
risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari
bahasa latin Communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian dapat
diturunkan dari communis yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua
atau banyak” (Wenger, 2002: 4).
54
Gay pun bisa membentuk suatu komunitas, fenomena gay yang
terlihat di kota Salatiga telah menjadi sebuah komunitas yang bernama
“GATSA” kependekan dari “Gay Transgender Salatiga”. Komunitas ini di
kota Salatiga baru dibentuk tahun 2013, yang bergabung tidak hanya gay
ataupun transgender dari kota Salatiga saja tapi juga di sekitar wilayah luar
kota Salatiga. Akan tetapi, komunitas tersebut masih belum memiliki
struktur anggota yang jelas. Dalam usaha untuk merangkul pihak-pihak
yang memiliki orientasi seksual yang sama, GATSA tidak menggunakan
cara ataupun
syarat merekrut seseorang untuk menjadi bagian dari
komunitas. Bagi siapapun seorang laki-laki yang pernah melakukan
hubungan seks dengan laki-laki meskipun hanya satu kali atau dalam
komunitas gay disini diistilahkan dengan MSM “man who have sex with
man”. Tapi ada satu sistem yang digunakan T dan A pada saat T dan A
tergabung dalam suatu LSM, dalam mencari mereka yang termasuk bagian
LSL “laki-laki seks laki-laki” dan waria yaitu dengan sistem “snowball”.
Model pencarian dengan sistem ini adalah mencarinya dengan cara model
pertemanan yang berantai dari satu teman ke teman yang lain sesama LSL
dan waria. Contohnya T atau A mempunyai teman X yang juga gay, dari X
dikenalkan dengan P, kemudian dari P berkenalan dengan teman lainnya
dan seterusnya ke teman yang memiliki orientasi seksual yang sama.
T/A
X
P
Gambar 3.1 Pola Sistem Snow Ball
55
dan seterusnya
Contoh dari gambar 3.1 merupakan system snowball dengan pola
berantai yang mana dengan pola ini subyek T/A dapat menjaring semua
orang yang termasuk dari bagian laki-laki seks laki-laki dengan model
pertemanan. Kadang pula sistem ini berputar-putar pada orang yang sama
yang biasa mereka sebut dengan lingkaran setan, karena kadang pula
teman selanjutnya mengenalkan teman yang sudah dikenal T dan A atau
kembali orang yang sama tapi dengan nama yang lain/nama inisial saat di
komunitas. Model Snowball dalam pola lingkaran setan dapat digambarkan
seperti gambar 3.2:
P
X/U (dengan nama inisial)
R
dan seterusnya
T/A
E/C (dengan nama inisial)
W
G
dan seterusnya
Gambar 3.2 Pola Snow Ball dalam Pola Lingkaran Setan
Tidak diketahui secara pasti jumlah anggota GATSA karena
belum adanya pendataan anggota secara pasti, kurang keaktifannya
sejumlah anggota GATSA karena kesibukan masing-masing, dan
anggotanya yang sering berpindah-pindah tempat tidak hanya di daerah
Salatiga saja tapi juga di daerah sekitar wilayah luar kota Salatiga. Data
dari KPA Salatiga sendiri dalam pemetaan PONCI adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Data Pemetaan Populasi Kunci (PONCI) Tahun 2014
Pelaku
WPSTL
Tempat lokasi
Sarirejo
Jumlah
220
56
MSM
PP SAN-SAN dan Bugar Jati
9
Monalisa
20
ZHENSO
15
Jetis
10
Iwan Salon
8
L. PANCASILA
20
Sarirejo
HRM
100 OP. 400 Tamu
PP. SAN-SAN dan Bugar Jati
15
Monalisa
150
Zhenso
80
Kec. Sidorejo
81
Kec. Sidomukti
42
Kec. Tingkir
10
Kec. Argomulyo
87
Pamour
6
Jetis
12
PENASUN
Waria
Data diambil dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Salatiga
PONCI (Populasi Kunci) adalah sebuah Organisasi Masyarakat
Sipil yang berbentuk jaringan dan wilayah kerjanya mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Populasi Kunci adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menyebutkan kelompok yang selama ini paling terdampak oleh
epidemi AIDS dan meliputi kelompok: ODHA, Pengguna Narkotika
Suntik, LGBTIQ dan Pekerja Seks. Dari data Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Salatiga pada tabel 3.1 jumlah MSM adalah 38 orang dan
Waria adalah 18 orang. Dari pihak Komisi Penanggulangan AIDS sendiri
57
mendukung dengan adanya komunitas GATSA tersebut karena dengan
keberadaan komunitas tersebut pembinaan dan penanganan penyebaran
virus HIV AIDS lebih gampang dibandingkan dengan yang tidak ikut
komunitas. Namun, data pada tabel 3.1 masih terbilang kurang karena
mengingat banyaknya kaum gay dari berbagai kalangan masyarakat yang
tertutup akan orientasi seksualnya dan takut serta malu kalau nanti
ketahuan oleh banyak orang. Dan mereka pula enggan atau tidak mau ikut
dalam komunitas tersebut. Hal ini diperjelas oleh penuturan T (28)
wawancara tanggal 15 April 2014 bahwa kaum gay ada di berbagai
kalangan masyarakat:
“Kalau jamanku dulu saat masih kuliah, di Salatiga yang saya
tahu hampir 200 gay. sekitar 60% diantaranya berasal dari
kalangan mahasiswa itupun di bagi-bagi lagi menurut
kelompoknya sendiri. Mahasiswa gay yang maskulin sendiri,
yang ngondek sendiri, dan yang kutu bukupun sendiri pula. Dan
sisanya 40% dari masyarakat umum yang terdiri dari berbagai
lembaga dan instansi pemerintahan, pekerja, buruh sopir, becak
dan lain-lain.”
Bahkan santri pondok pesantren pun tak luput dari penyimpangan seksual
ini, berikut penuturan dari A (40) wawancara tanggal 16 April 2014:
“Kalau itu sih kebanyakan anak-anak mahasiswa juga ,sama
biasanya sih rata-rata anak pondok malahan. Aku punya teman
dari pondok punya pengalaman kayak gitu....Rata-rata anak-anak
pondok meskipun sekali melakukan itu sudah termasuk bagian
LSL.”
Sedangkan penuturan dari S (25) wawancara pada tanggal 25 Februari
2015:
“aku dah kenal hampir 40 orang, tapi 20 yang sudah bertemu
langsung selebihnya cuma lewat sosial media. Mereka dari
58
berbagai kalangan, mulai dari SMA, mahasiswa, wirausaha,
pegawai negeri dan swasta, juga tokoh agama.”
Oleh karena itu, setiap tahun jumlah MSM atau LSL di Salatiga
bertambah banyak. Melihat selama banyak kalangan masyarakat masih
menutupi orientasi seksualnya dan banyaknya pendatang dari luar kota
yang membawa culture dan kebiasaan yang berbeda termasuk halnya
pengaruh orientasi seksual yang mereka bawa.
Biasanya dalam sebuah komunitas memiliki sebuah arti khusus
yang dijadikan sebagai sebuah identifikasi keanggotaan. Atau dengan kata
lain memiliki sebuah interaksi nonverbal atau secara simbolik. Beberapa
simbol tersebut antara lain kaos ketat berwarna merah, baju berwarna
pelangi dan warna-warna mencolok seperti kuning cerah, pink, hijau cerah,
biru cerah, dan lain-lain. Selain itu, ada juga cincin yang dipakai di
kelingking kiri, anting di telinga kiri. Namun dewasa ini, lambang tersebut
tidak lagi dipakai. Karena ada kemungkinan beberapa masyarakat yang
memakai atribut demikian tidak termasuk anggota dari komunitas.
Seseorang untuk mengetahui dan memahami seseorang itu adalah gay
atau bukan hanya dapat menggunakan kepekaan naluri dalam berinteraksi.
Jika interaksi yang dilakukan benar-benar intensif maka baru dapat
mengetahui lebih dalam tentang status gay atau bukan. Berdasarkan
wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015, dia menuturkan:
“Aku bisa tahu dari cara dia berpakaian, gaya berbicara, gaya
berfoto, juga dari cara merenspon SMS/BBM/FB, biasanya agak
intens, over, kadang-kadang to the point untuk berkata hal-hal
yang berbau seks.”
59
Berbeda dengan penuturan T (28) pada tanggal 15 April 2014, berkenaan
dengan ciri-ciri fisik seorang gay:
“...dari segi fisik saya ga’ tahu, itu masalah hati. Seks itu bukan
suatu yang harus ditonjolkan. Heteroseksual dan homoseksual itu
sama, ga’ ada bedanya. Bedanya apa sih? Bedanya cuma yang
diranjang, fisik bukan jadi acuan.”
Untuk tempat komunitas ini berkumpul atau nongkrong, dalam
bahasa gay nongkrong atau kumpul-kumpul disebut “Ngeber”. Tempat
ngeber sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar meskipun relatif
terselubung di berbagai tempat-tempat publik di seluruh Indonesia.
Tempat ngeber sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay
berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga
untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat penerimaan. Salatiga
memiliki banyak tempat ngeber yang biasanya dijadikan tempat ngeber
bagi kalangan gay, mereka sering berpindah-pindah tempat setiap kali
ngeber seperti halnya tempat di Salatiga yang sering dijadikan tempat
ngeber seperti alun-alun kota/Pancasila, Selasar Kartini, sepanjang jalan
Sudirman, mal-mal, tempat karaoke, cafe-cafe khusus komunitas, rumah
makan, dan tempat lainnya di Salatiga sesuai dengan perjanjian.
Selain itu, meningkatnya penggunaan internet dan teknologi
komunikasi, juga memiliki dampak yang sangat besar. Jika dulu untuk
bertemu dengan “teman-teman sehati” lama ataupun baru orang-orang
harus pergi ke lokasi tempat ngeber itu sendiri, sekarang janji pertemuan
bisa dengan mudah dan secepat kilat dilakukan melalui internet yang
makin mudah diakses siapapun dan bahkan melalui handphone. Tingkat
60
penggunaan Facebook, Twitter, dan Blackberry yang meningkat sangat
pesat di Indonesia memungkinkan orang-orang untuk menggunakan blog,
forum, Facebook, atau Twitter untuk mempublikasikan dan bertukar
informasi. Memasuki tempat-tempat ngeber ini pun membawa resiko
membuka diri dan diketahui relasi keluarga ataupun lingkungan kerja.
Mal, kafe, karaoke menjadi alternatif ruang bertemu dengan janji yang
dilakukan melalui komunikasi elektronik yang instan.
Umumnya, orang-orang gay yang ingin bertemu dan berinteraksi
seksual melakukan pertemuan secara online yang kemudian dilanjutkan
dengan pertemuan offline, biasanya di tempat-tempat umum dan tempat
lain-lain sesuai perjanjian. Interaksi ini bisa terjadi secara pribadi atau
melibatkan komunitas dimana komunitas bisa berjanji untuk melakukan
kopi darat (kopdar). Kapan dan di manapun kopdar ini dilakukan, bisa
berganti-ganti sesuai perjanjian.
Sedangkan, penampilan maupun pakaian laki-laki gay yang
ngeber di komunitas GATSA tidak berbeda dari “laki-laki pada
umumnya”. Kita tidak akan menyadari adanya perbedaan jika kita sekedar
lewat. Tapi jika kita memperhatikan dengan lebih seksama, kita dapat
melihat perilaku-perilaku yang sedikit ngondhek (kemayu), dan ekspresiekspresi afektif antar sesama laki-laki, mulai dari bergandengan tangan,
berpelukan, hingga berciuman. Beberapa tampak cukup trendy dan
mayoritas mengenakan pakaian laki-laki. Namun ada pula sebagian gay di
komunitas tampak jelas mendandani wajahnya layaknya seorang cewek,
61
mereka hanya mendandani wajahnya jika berkumpul saat ngeber dengan
sesama gay saja.
2. Faktor-faktor menjadi Seorang Gay
Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya homoseks atau gay
sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Hal ini dikarenakan
faktor terjadinya homoseks sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh
salah satu faktor. Sehingga kalau dipahami tidak ada faktor tunggal
penyebab homoseks atau gay. Menurut Kartono (1989: 248) penyebab
terjadinya homoseks atau gay adalah faktor biologis, pengaruh lingkungan
yang tidak baik, pengalaman traumatis, dan adanya keinginan untuk
mencari kepuasan relasi homoseks.
Berikut penuturan dengan keempat subyek berkenaan dengan
perihal faktor yang melatar belakangi kenapa mereka menjadi seorang gay:
a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014:
“Mungkin saya gay memang sejak lahir, kita tidak pernah
menyebut seorang itu gay itu takdir. Siapa sih yang mau jadi
seorang gay, cuma kami berusaha menjadi...oke!aku menjadi gay
tidak masalah tapi bagaimana menjadi gay yang berarti dan
bermanfaat disekitar aku itu sebagai kunci ke surga....”.
b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014:
“Klo itu sih dari dulu dari kecil, kan cuma dari dulu anak-anak
belum menyadari kita itu seperti ini. Sampai istilahnya gini,
sampai banyak teman-teman sudah punya keluarga tidak
menyadari bisa sampai begini.”
c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014:
“Emmm, kayaknya sejak kecil deh. Heran aja waktu SD, gw
kalau lihat cowok ganteng suka aja. Ya...namanya aja masih kecil
62
belum tahu apa itu suka atau cinta sama seseorang apalagi yang
di sukai tuh cowok. Menurut gw, mungkin yaaa gw menjadi gay
yaa itu sebuah takdir kali, takdir atau bukan gw ga’ peduli yang
penting gw dah nyaman jadi begini (gay)....”
d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015:
“kurangnya perhatian saya masa saat masih kecil, sehingga tak
ada bimbingan intensif dalam mengenali jati diri. Ditambah
dengan faktor lingkungan, juga faktor media sosial. Faktor
lingkungan dalam artian tempat dimana aku sering berinteraksi.
Dalam hal ini adalah sekolah, banyak teman-teman yang seperti
aku menjadi semakin terpengaruh dan tidak bisa mengontrol
diri.”
Dari hasil penelitian keempat subyek, tiga diantaranya faktor
yang melatarbelakangi mengapa menjadi seorang gay adalah faktor
biologis. Hanya satu subyek saja bisa menjadi seorang gay karena faktor
lingkungan dan faktor media sosial.
3. Proses Coming Out pada Gay
Pengertian coming out (Putri dan Zulkhaida, 2007: 3-4) adalah
proses dari penemuan atau penerimaan diri sendiri dan pemberitahuan
tentang orientasi lesbian atau gay seorang individu kepada orang lain.
Sedangkan menurut Troiden (dalam Siahaan 2009: 51-52), Coming Out
(pengakuan), tahap ini merupakan tahap di mana homoseksualitas diambil
sebagai jalan hidup. Tahap ini mungkin dapat diartikan bahwa telah terjadi
kombinasi antara seksualitas dan emosi, dan mempunyai hubungan dengan
pasangan tetap.
Tahapan-tahapan dalam Coming Out menurut Rothblum (dalam
Putri dan Zulkhaida, 2007: 4):
63
a.
Mengetahui: Seorang individu baru menyadari bahwa mereka berbeda
dari heteroseksual.
b.
Penerimaan Diri: Tahap yang sangat sulit karena penilaian masyarakat
dan ketakutan masyarakat terhadap homoseksual. Namun tahapan ini
merupakan tantangan yang harus dijalani.
c.
Keterbukaan: Pengetahuan dan penerimaan seseorang untuk terbuka
pada orang lain.
d.
Memberitahu pada Keluarga: Tahap ini merupakan keputusan yang
sangat penting. Karena orang tua sulit menerima bahwa anaknya
adalah sorang homoseks.
e.
Bergabung dalam Komunitas: Kebutuhan dasar seorang individu
untuk data dimiliki, dan penguatan yang tidak didapat dari keluarga.
Faktor-faktor yang mendasari terjadinya Coming Out menurut
Coleman (dalam Putri dan Zulkhaida, 2007: 4):
1) Ingin berkembang menjadi individu yang berjiwa sehat dengan konsep
diri positif.
2) Ingin mengubah mitos dan stereotype yang ada di masyarakat
mengenai homoseksual.
3) Ingin memiliki rasa percaya diri yang baik.
4) Ingin dapat bersosialisasi dalam masyarakat tanpa memandang bahwa
dirinya memiliki orientas seksual berbeda.
5) Ingin mengurangi gejala-gejala kecemasan.
64
Berikut hasil wawancara, berkenaan tahapan-tahapan coming Out
para subyek penelitian:
a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014:
“Saat lahir saya biasa-biasa saja dan benar-benar jadi seorang
gay dari SD. SMP udah masuk ke dunia malam dan udah jadi
‘kucing’ (gigolo). Selama dua tahun saya menjalani kehidupan
yang demikian dan akhirnya saya mulai merasa resah dan
berpikir, buat apa sih saya mencari uang dengan cara begitu?
Meski waktu itu harga saya lagi tinggi, tapi saya memutuskan
untuk meninggalkan dunia tersebut. SMP kelas tiga saya sudah
memutuskan untuk tidak menjadi kucing lagi dan inilah untuk
pertama kalinya saya jalan dengan cowok, meski pada waktu itu
saya masih punya cewek. Menginjak bangku SMA, keberanian
untuk masuk ke dalam komunitas gay secara besar-besaran baru
muncul. Namun masyarakat dan orangtua saya belum tahu
mengenai hal itu, karena saya masih harus menjaga imej.
Apalagi, saat itu saya masih terlibat aktif dalam sie kerohanian di
SMA....Baru tahun 2006 setelah lulus SMA, saya memberitahukan
kepada orang tua akan orientasi seksual saya. Awalnya orang tua
saat diberitahukan shock dan tidak setuju, selama beberapa hari
keluarga cuma diam dan saya merasa asing berada di rumah.
Namun, setelah itu kelurga berjalan normal kembali dan tidak
mempermasalahkan orientasi seksual saya, mereka cuma
mengingatkan saya selalu menjaga kesehatan. Dan di awal
perkuliahan, saya memberanikan diri untuk terbuka untuk berani
tampil dan menyatakan kepada masyarakat bahwa saya gay pada
Januari 2007. “
b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014:
“Klo itu sih dari dulu dari kecil, kan cuma dari dulu anak-anak
belum menyadari kita itu seperti ini. Sampai istilahnya gini,
sampai banyak teman-teman sudah punya keluarga tidak
menyadari bisa sampai begini....Kemungkinan keluarga tahu,
slama kita tertutup tidak terlalu open keluarga akan diam saja.
Yang tahu saya begini (gay) cuma almarhum kakak
saya....Sebelum ada komunitas pun saya sudah bertemu atau
ngumpul-ngumpul dengan teman-teman sesama (gay), aku
dimasukkan ke lembaga dengan mengurusi LSL itu dari
komunitas. Orang kerja di komunitas itu lebih gampang masuk.
Gampangnya gini, kita bukan bagian dari komunitas kita akan
langsung di justice dari komunitas: ‘kamu cuma mau cari ini,
kamu cuma...ya kayak gitu?’.....Intinya mereka (teman-teman
65
gay) lebih eksklusif (tertutup-tutup), soale memang aku sendiri
pun dari komunitas mengalami hal seperti itu apalagi dari orang
luar maksudnya seperti itu...sebenarnya bukan takut mas, piye
yo? yo sisi lain mereka takut, di sisi lain mereka belum berani
mengungkapkan jati diri mereka.”
c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014:
“Emmm, kayaknya sejak kecil deh. Heran aja waktu SD, gw
kalau lihat cowok ganteng suka aja. Ya...namanya aja masih kecil
belum tahu apa itu suka atau cinta sama seseorang apalagi yang
di sukai tuh cowok. Menurut gw, mungkin yaaa gw menjadi gay
yaa itu sebuah takdir kali, takdir atau bukan gw ga’ peduli yang
penting gw dah nyaman jadi begini (gay)....Ya gw masih
kalenganlah (tertutup) mas sama orang lain masih takut,
kemungkinan orang tua gw dah tahu, soalnya gw kerjanya di
salon. Kalau pagi gw nyalon malamnya kalau ada panggilan gw
jadi kucing (gigolo) deh...komunitas bagi gw kayak hidup mati
gw, soalnya enjoy aja kalau kumpul ama teman-teman sesama
(gay) dan lebih terbuka aja sama teman-teman.”
d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015:
“Aku menyadari/merasa (gay) ketika awal SMA. Sejauh ini aku
PD karena aku tidak membuat ulah dan tidak merugikan orang,
serta aku tidak ada keinginan untuk heteroseks....Menjalani hidup
sebagai gay terhadap keluarga saya lebih cenderung
tertutup/pendiam, bersikap sewajarnya. Kepada teman pun saya
bersikap sewajarnya (jika dengan teman yang belum akrab), tapi
jika dengan yang sudah akrab lebih terbuka, bebas bercerita
tanpa ada harus ditutup-tutupi. Jika dengan masyarakat hampir
sama jawaban saya terhadap keluarga....Adanya komunitas gay
di Salatiga saya tidak tahu dan tidak ingin tahu.”
Dari keempat subyek diketahui bahwa ketiga subyek (T, A, dan
D) mengetahui akan orientasi seksual (homoseks) mereka ketika mereka
masih kecil sedangkan subyek S mengetahui orientasi seksualnya pada
saat ia duduk di SMA dan juga keempat subyek mulai menerima orientasi
seksual (homoseks) pada saat itu juga. Pada tahapan keterbukaan dengan
orang lain hanya subyek T yang berani mengungkapkan/terbuka akan
66
orientasi seksualnya pada orang lain/masyarakat umum bahkan ia sudah
memberitahukan juga kepada keluarganya. Sedangkan ketiga subyek
lainnya belum berani untuk terbuka dengan orang lain bahkan dengan
keluarganya hanya orang-orang terdekatnya/sesama komunitas saja yang
diberitahukan. Dalam bahasa khas gay, seorang gay yang tertutup disebut
“gay kalengan” sedangkan gay yang terbuka disebut “gay bobor”.
Keempat subyek sudah merasa nyaman dan menerima akan orientasi
seksual mereka sampai saat ini. Dari keempat subyek hanya subyek S yang
tidak masuk dalam komunitas karena tidak mengetahui dan tidak ingin
tahu akan komunitas gay tersebut.
4. Bentuk Perilaku Seksual pada Gay
Berdasarkan penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan
komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam
kehidupan homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang
dilakukan oleh pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain:
gay bottom, gay top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan
istilah untuk menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya
sebagai penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk
menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai
pemberi. Gay vers merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom
dan gay top, bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing
merupakan sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual
hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki.
67
Dari hasil wawancara dengan keempat subjek narasumber
didapatkan dua subjek T dan D berperilaku seksual sebagai gay vers,
subjek A berperilaku seksual sebagai gay top. Sedangkan subjek S sendiri
berperilaku seksual hanya sebatas kontak seksual (pegang-pegang dan
ciuman).
5. Perkawinan Sejenis
Masa dewasa awal merupakan masa pencapaian intimasi menjadi
tugas utama. Individu dewasa awal menjalin interaksi sosial yang lebih
luas, individu mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama yang
memungkinkan individu saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang
intim (Hall dan Lindzey, 1993: 153). Hubungan cinta tersebut terkait
dengan tugas perkembangan masa dewasa awal untuk memilih pasangan
guna menikah dengan pasangan yang dipilih individu (Havighurst dalam
Hurlock, 2004: 10).
Perkawinan adalah suatu hal yang sakral antara kedua dua insan
manusia (laki-laki dan perempuan), dengan tujuan untuk membentuk
keluarga bahagia dan kekal, melangsungkan garis keturunannya serta
sebagai suatu bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di indonesia
sendiri masalah perkawinan diatur dalam UU No 1 Tahun 1974. Namun
menjadi suatu hal yang tidak lazim ketika pernikahan itu terjadi antara
sesama jenis yaitu wanita dengan wanita atau pria dengan pria. Pernikahan
sesama jenis tentu menjadi hal yang kontroversial karena menikahi orang
yang berjenis kelamin sama. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui
68
pendapat keempat subyek berkenaan dengan seandainya ada UU
perkawinan sesama jenis di Indonesias serta pemilihan menikah mereka
ketika akan menikah.
Berikut hasil wawancara, berkenaan dengan keempat subjek
memandang seandainya ada UU perkawinan sejenis di Indonesia:
a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014:
“Negara ini negara aneh, negara hukum yang megang negara
HAM-nya terlalu tinggi banget, ya demokrasinya menjadi
demokrasi yang salah. Kita sendiri juga tidak mau sih untuk
menjadikan negara Indonesia menerima pernikahan sesama
jenis...aku secara pribadi sih, ga setuju juga sih kalau ada
pernikahan sesama jenis. Eee, gimana ya? Kalau dibilang kenapa
aku gak suka soalnya itu juga berfikiran tentang agama juga sih.
Kalau aku sih cinta ga’ harus dengan pernikahan. Kebahagian
bukan hanya laki-laki dan perempuan saja dan kebahagiaan
bukan berarti mempunyai anak saja....Yang aku pengen sih
kebebasan di ruang publik, pembahasan di ruang publik ini
maksudnya jangan mengotak-ngotakkan kami. Kalau kami fine
kesehatan sudah, tapi dalam hal pendidikan bagaimana?,
pekerjaan bagaimana?....Kalau pernikahan sesama jenis itu
perjuangan 2 (dua) abad lagi, soalnya perjuangan yang terlalu
muluk buat aku, kalau teman-teman di pusat memang
memperjuangkan kesitu, cuma teman-teman daerah tidak sepakat
dengan hal seperti itu...keinginan untuk menikah, aku kembalikan
ke Tuhan, kalau Tuhan kasih jalan untuk menikah ya menikah.
Sama laki-laki atau perempuan tergantung sama Tuhan.”
b. Wawancara dengan A (40) pada 16 April 2014:
“Aku ndak mau (pernikahan sesama jenis), alasannya ya memang
aku ga’ mau aja...kalau nikah (dengan perempuan) sih ada
pikiran pingin tapi kapan kan belum tahu.”
c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014:
“Kalau sekarang gw belum mikirin untuk menikah, ya nikahnya
sama cowoklah. Kan dah dibilangin gw dah nyaman jadi gay. Ya
ga’ tahu juga sih besoknya kayak gimana?....Soal kalau ada UU
perkawinan sejenis, gw ga’ setuju aja soalnya kita aja masih
belum diterima di masyarakat bahkan lihatnya aja dah jijik sama
69
kita serta kita takut jadi cibiran mereka, apalagi kalau ada UU
itu. Entar aja kalau masyarakat dah terima kami, gw aja pro
kontra pa lagi nanti nikah sesama jenis, ga’ setuju ajalah mas
intinya.”
d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015:
“Belum memikirkan sejauh itu (tentang menikah), ingin fokus
berkarir. Aku orang yang fleksibel, aku setuju-tuju saja jika ada
UU tentang pelegalan hubungan seperti itu. Semua manusia
berhak mendapatkan HAM tanpa syarat. Agar tidak ada lagi
intimidasi terhadap kaum menyimpang. Jika hewan saja punya
hak dilindungi, kenapa manusia tidak?”
Dari keempat subyek belum ada keinginan ataupun berfikir untuk menikah
dan untuk pelegalan perkawinan nikah sejenis ketiga subjek tidak setuju
seandainya ada UU perkawinan sejenis, hanya satu subjek saja yang setuju
seandainya ada UU tersebut.
6. Keberagamaan bagi Seorang Gay
Masyarakat Salatiga juga merupakan masyarakat yang masih
memegang nilai-nilai keagamaan sebagai basis moral dalam masyarakat,
maka pandangan masyarakat Salatiga tidak bisa terlepas dari norma-norma
dan nilai keagamaan yang mereka yakini. Pemahaman agama yang secara
umum mengatakan bahwa perilaku maupun orientasi homoseksual
merupakan perbuatan keji dan terlaknat, akan menjadi keraguan dan
konflik internal bagi kaum gay di Salatiga dalam keberagamaannya.
Keraguan dan konflik keberagamaan secara psikologis mereka alami, tapi
disatu sisi mereka membutuhkan keberadaan agama itu dalam kehidupan,
ketidak konsistenan tersebut membuat kepribadian gay yang beragama
akan mengalami keraguan dan konflik psikologik antara pilihan mereka
70
menjadi gay dengan internalisasi ajaran-ajaran agama yang mereka peroleh
dalam perkembangan kebergamaan.
Religiusitas subjek dapat dilihat melalui lima dimensi yaitu
dimensi ideologi, ritualistik, konsekuensi, pengetahuan, dan pengalaman.
Dimensi ideologi tampak dalam keyakinan subjek akan adanya Tuhan.
Tuhan telah menciptakan laki-laki dan perempuan, dan subjek diciptakan
sebagai laki-laki, namun memiliki orientasi seksual terhadap laki-laki juga.
Dimensi rutinitas ditunjukkan subjek dalam aktivitasnya menjalankan
ibadah agama. Dimensi pengetahuan dapat dilihat dari pengetahuan
religius subjek. Subjek mengetahui bahwa perilaku homoseksual
sebenarnya tidak dibenarkan dalam agama, namun subjek tidak bisa
menghindarinya karena subjek tidak pernah mengharapkan menjadi
homoseksual. Dimensi pengalaman terjadi ketika subjek mengalami
pengalaman religius. Keempat dimensi ini terkait dengan dimensi yang
kelima yaitu dimensi konsekuensi. Pemahaman dan kesadaran subjek akan
keyakinan agama yang dianutnya mempengaruhi perilaku subjek. Dimensi
konsekuensi ini ditunjukkan dalam bentuk kontrol bagi subjek sebagai
salah satu bentuk penyesuaian dirinya, terutama dalam hal hasrat
seksualnya.
Berikut hasil wawancara, berkenaan dengan religiutas para
keempat subyek:
a. Wawancara dengan T (28) pada tanggal 15 April 2014:
“Agama dengan orientasi seksual ibarat kereta api. Pernah ada
ujung kereta api menjadi satu?. Kalau kalian berpintar dalam
71
memilih artinya antara agama dengan orientasi seksual bisa
bareng itu bagus. Tapi saat orang memunculkan orientasi
seksnya lebih tinggi dari agamanya ya buruk. Jika memunculkan
agama banget dan menghilangkan/menutup mata orientasi
seksual ya buruk juga. Kalau mau bangun suatu negara ya
barengin, dan ga’ mungkin rel kereta api jadi satu ujungnya ya
kereta apinya tabrakan dong?ya sama kalau membangun suatu
negara jangan pernah memikirkan agama dengan orientasi
seksual, negara ini bukan negara agama banget...kita tidak
pernah menyebut seorang itu gay itu takdir. Siapa sih yang mau
jadi seorang gay, cuma kami berusaha menjadi...oke!aku menjadi
gay tidak masalah tapi bagaimana menjadi gay yang berarti dan
bermanfaat disekitar aku itu sebagai kunci ke surga deh...di
agamaku aku dididik untuk ga’ usah mikirin tentang apa-apa di
dunia ini yang penting kalau ada sedikit berkat ya dikasihkan ke
orang....semua agama bukan melarang sih, ada patternnya ada
rollnya sebenarnya, tapi aku selalu bilang ‘kalau Tuhan
menciptakan manusia dengan cinta tapi kenapa Tuhan
menciptakan aku dengan seorang pria’. Soalnya Tuhan yang
menciptakan cinta, yo mosok aku meh nyalahin Tuhan yo ra isoh
malah mlebu neraka entar, ya udah di jalanin aja.”
b. Wawancara dengan A pada 16 (40) April 2014:
“kalau soal ibadah sih masih naik turun, tapi ya itu banyak
bolongnya. Pengetahuan agama ya standar kayak yang diajarkan
orang tua waktu kecil kayak sholat, zakat, puasa...kalau dosa
setiap orang pasti punya rasa takut to mas, tapi tergantung kita
menyikapinya. Aku tu orangnya cuek sih mas”
c. Wawancara dengan D (31) pada tanggal 21 April 2014:
“Pilihan gw menjadi gay tidak menggangguku untuk ibadah itu
adalah kebutuhan dan itu urusanku dengan Tuhan. Loh iya to
mas, emang gay ga’ boleh beragama dan ga’ boleh beribadah....
Dosa pa ga’ dilihat dulu to mas, dulu gw baca cari referensi di
buku-buku kalau kaum Nabi siapa ya yang sodom2 itu, lupa gw.
Oh ya kaum Nabi luth ya, itukan Tuhan menghukum kaum luth
lantaran mereka homo/gay dari tradisi/kebiasaan mereka, la
kalau gw gimana coba gay sudah dari kecil(takdir). Berarti
Tuhan ga adil to sama gw, kalau takdririn gw jadi gay trus gw di
cap dosa. Kalau itu gw kembalikan aja ma Tuhan.”
72
d. Wawancara dengan S (25) pada tanggal 25 Februari 2015:
“Sistem pendidikan dari keluarga tak begitu banyak, karena
orang tua cuma lulusan SD dan pengajaran agama juga tak
terlalu mendalam, lebih intensif tentang arahan sholat lima
waktu....Untuk masalah ibadah saya masih mengerjakan walau
belum sempurna....Kalau soal pengetahuan hukum tentang gay
itu aku cuma tahu kalau itu dosa dan tidak tahu hukum yang
panjang lebar.”
Pernyataan di atas mengutarakan bahwa homoseks atau gay
merupakan bagian dari umat beragama dan memiliki kebutuhan untuk
melaksanakan ajaran agamanya.
C. Peran Serta Lembaga Keislaman dan Lembaga Pemeritah Daerah
terhadap Persoalan Komunitas Gay di Salatiga
1. Peran Lembaga Keislaman
Di kota Salatiga mendapat julukan “Indonesia Mini” tidak hanya
lantaran karena beragamnya ras, suku, etnis yang ada di Salatiga tapi juga
beragamnya toleransi beragama. Mayoritas penduduk kota Salatiga adalah
menganut agama Islam dan terdapat pula lembaga/organisasi dakwah
Islam terbesar di kota Salatiga. Mengingat bahwasanya komunitas gay di
Salatiga mayoritas beragama Islam. Dalam hal ini penulis melakukan
penelitian di dua organisasi Islam di Salatiga yaitu NU dan
Muhammadiyah.
Setelah penulis melakukan wawancara dengan masing-masing
ketua dari organisasi NU dan Muhammadiyah kota Salatiga, ternyata dari
dua lembaga/organisasi tersebut kurang atau belum mengetahui tentang
73
keberadaan komunitas gay di kota Salatiga. Sehingga penanganan ke
depan terhadap problematika keberadaan komunitas gay sampai saaat ini
belum ada.
2. Peran Lembaga Pemerintah Daerah
Perkembangan komunitas gay di Salatiga tidak dapat lepas dari
pihak pemerintah. Maksudnya pemerintah disini sebagai mitra kerja
komunitas gay untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, khususnya
dalam kegiatan sosial seperti: penyuluhan HIV AIDS pada masyarakat,
dan kegiatan sosial yang berkaitan dengan budaya. Pihak pemerintah yang
dapat diajak kerjasama/mitra kerja komunitas gay meliputi:
Dinas
Kesehatan dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), Dinas Sosial
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Orientasi kerjasama yang dilakukan
tidak mengarah kepada kegiatan ekonomi tetapi lebih kearah keberhasilan
program kerja dari masing-masing pihak. Dalam hal ini penulis melakukan
penelitian di KPA saja sedangkan di dinas yang terkait belum
terealisasikan karena memakan waktu untuk mendapatkan perijinan
penelitian di dinas tersebut. KPA untuk menjalankan program tentang
sosialisasi dan penyuluhan AIDS, yang dilaksanakan di komunitas gay,
sebab komunitas ini juga rawan terjangkit virus HIV. Berikut hasil
wawancara tanggal 27 Januari 2015 dengan asisten sekretaris KPA Kota
Salatiga, Titik Kristiani Anggraeni:
”jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Salatiga sejak 1994
hingga Juni 2014 tercatat 181 orang. Dari jumlah tersebut,
Jumlah terbesar penderita yang terjangkit HIV/AIDS berada
di usia produktif, yakni 25 hingga 34 tahun....Sementara dari
74
media penularan, 53 persen ditularkan aktivitas
heteroseksual, 34 persen melalui penggunaan narkoba suntik
(penasun), 10 persen ditularkan melalui aktivitas
homoseksual, dan sisanya tiga persen ditularkan dari ibu
kepada bayinya melalui persalinan (perinatal)”.
Begitu pula dengan komunitas gay yang menyambut positif
kegiatan KPA, bahkan yang mengawali kerjasama ini adalah pihak
komunitas gay yang dimulai dengan pengakuan identitas seorang
pelaku gay kepada dinas Kesehatan dan KPA. Hasil wawancara
tanggal 15 April 2014 dengan T, 28 tahun:
“Tahun 2006 ketika saya ingin melakukan tes voluntary
counseling test (VCT) ke dinas kesehatan dan pada saat itu
saya bilang ke dinas kalau saya seorang gay. Pada awalnya
dinas ga’ mau yang menerima. Slama dua tahun saya
melakukan advokasi ke pemerintah dan dinas-dinas tentang
keberadaan kami, setelah itu kami diterima dan akhirnya
difasilitasi pelayanan kesehatan gratis. Dan sekarang dinas
yang cari-cari kami mas....”.
Selain
pihak-pihak
diatas,
komunitas
gay
juga
mengembangkan sistem kerjasamanya dengan pemerintah daerah hal
ini dilakukan agar komunitas gay pada masyarakat Salatiga
mendapatkan pengakuan dan perlindungan, baik secara de-jure
maupun de-facto. Kerjasama antara komunitas gay dengan pemerintah
daerah sangat menguntungkan bagi komunitas gay. Kerjasama ini
terlihat dengan tidak adanya Satpol PP atau petugas pemerintah lain
yang menjaring ketika komunitas ini beroperasi (ngeber). Bahkan
komunitas ini dianggap patner kerja dalam setiap event pemerintahan.
Berikut penuturan T, 28 tahun wawancara tanggal 15 April 2014:
75
“Bila ada acara dari pemerintah, pemerintah mencari
teman-teman waria dan gay dulu. Kata mereka (pemerintah):
lebih punya kretifitas dan imajinasi tinggi dibandingkan
dengan mereka yang heteroseks....”
76
BAB IV
PERILAKU SEKSUAL KAUM GAY DI KOTA SALATIGA DALAM
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
A. Kebiasaan Perilaku Seksual Kaum Gay di Kota Salatiga.
Berdasarkan penelitian penelitian di lapangan dalam kehidupan
komunitas homoseksual atau gay ditemukan beberapa istilah dalam kehidupan
homoseksual. Istilah tersebut berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh
pelaku homoseksual. Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay
top, gay vers, dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk
menyebutkan seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai
penerima atau objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang
homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers merupakan
homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top, bergantung dari
pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan sebutan untuk homoseksual
yang melakukan hubungan seksual hanya untuk mendapatkan imbalan. Istilah
lain adalah pelacur laki-laki.
Dari hasil wawancara dengan keempat subjek narasumber didapatkan
dua subjek T dan D berperilaku seksual sebagai gay vers, subjek A berperilaku
77
seksual sebagai gay top. Sedangkan subjek S sendiri berperilaku seksual hanya
sebatas kontak seksual (pegang-pegang dan ciuman).
B. Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang Menjadi Seorang Gay pada
Komunitas Gay di Salatiga.
Mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya homoseks atau gay
sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli. Hal ini dikarenakan faktor
terjadinya homoseks sangat beragam, tidak mutlak dikarenakan oleh salah satu
faktor. Sehingga kalau dipahami tidak ada faktor tunggal penyebab homoseks
atau gay. Menurut Kartono (1989: 248) penyebab terjadinya homoseks atau
gay adalah faktor biologis, pengaruh lingkungan yang tidak baik, pengalaman
traumatis, dan adanya keinginan untuk mencari kepuasan relasi homoseks.
Dari hasil penelitian keempat subyek yang menjadi seorang gay, tiga
diantaranya faktor yang melatarbelakangi mengapa menjadi seorang gay adalah
faktor biologis. Hanya satu subyek saja bisa menjadi seorang gay karena faktor
lingkungan dan faktor media sosial.
Faktor yang melatarbelakangi keempat subjek menjadi gay dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Faktor Biologis
a. Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan
kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu
kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada
pria mendapatkan satu kromosom x dan satu kromosom y dari ayah.
78
Kromosom y adalah penentu seks pria. Jika terdapat kromosom y,
sebanyak apapun kromosom x,dia teteap berkelamin pria. Seperti yang
terjadi pada pria yang menderita sindrom Klinefelter yang memiliki
tiga kromosom xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara 700
kelahiran bayi. Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom
48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria
tersebut memiliki kelainan pada alat kelaminnya (Demartoto, 17).
b. Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormone testoteron, tetapi juga memiliki
hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu esterogen dan progesteron.
Namun kadar hormone pada wanita ini sangat sedikit. Tetapi apabila
seorang pria memiliki hormone esterogen dan progesterone yang
cukup tinggipada tubuhnya, makahal inilah yang menyebabkan
perkembangan seksual seorang pria mendekati karkteristik wanita
(Demartoto, 17-18).
c. Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay
females dan gay males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan
dari straight males sangat jelas terpisah dengan membranyang cukup
tegas dan tebal. Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan
tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya
sama dengan straight females, serta pada gay females struktur otaknya
79
sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian
(Demartoto, 18).
d. Kelainan Susunan Syaraf
Berdasarkan penelitian terakhir,diketahui bahwa kelainan sususnan
syaraf otak dapat mempengaruhi perilaku seks heteroseksual maupun
homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh
radang atau patah tulang dasar pada otak (Demartoto, 18).
2. Media Massa
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
waktu singkat, informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan, pendapat,
berita, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dengan mudah diterima.
Oleh karena itu media massa seperti surat kabar, TV, film, majalah
mempunyai peranan penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan
norma-norma baru terhadap remaja. Mereka akan cenderung mencoba dan
meniru apa yang dilihat dan ditontonnya. Tayangan adegan kekerasan dan
adegan yang menjurus ke pornografi, ditengarai sebagai penyulut perilaku
agresif remaja, dan menyebabkan terjadinya pergeseran moral pergaulan,
serta meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran norma susila.
3. Faktor Lingkungan
Soekanto (2004:70), menjelaskan beberapa jenis lingkungan yang
dapat mempengaruhi perilaku remaja yaitu:
a. Orang tua, saudara-saudara dan kerabat yang merupakan lingkungan
pertama yang memberikan pengaruh dalam diri remaja. Melalui
80
lingkungan ini, remaja mengenal lingkungan dan jenis pergaulanpergaulan berikutnya yang akan menambah banyak pengaruh yang lain.
Usia remaja merupakan usia pancaroba di mana masih dalam rangka
mencari indentitas tertentu, di mana pencarian identitas ini pertama
tertuju pada sosok dalam diri orang tua, kerabat atau saudaranya. Jika
tidak diperoleh dari orang tua, kerabat atau saudara ini, maka pelarian
pencarian identitas tersebut akan beralih ke lingkungan berikutnya, bisa
teman sepermainan atau teman di sekolah.
b. Kelompok sepermainan, merupakan teman-teman bermain di luar rumah
dan luar sekolah, bisa mempengaruhi remaja baik positif maupun
negatif.
c. Kelompok pendidikan, yaitu pergaulan di sekolah, yang melibatkan
pergaulan siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Adanya
pembiasaan dalam perbuatan baik dan mulia di sekolah, diharapkan
bisa memberikan pengaruh positif dalam pembentukan karakter dan
kebiasaan baik bagi remaja, sebab lingkungan sekolah juga berperan
dalam mempengaruhi perilaku remajanya.
C. Pandangan Hukum dan Perbandingan Hukum dari Hukum Islam dan
Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku Seksual komunitas
Gay di Salatiga
1. Pandangan Hukum Islam terhadap Perilaku Seksual Kaum Gay
81
Banyak dalil dalam hukum Islam mengenai pelarangan kaum gay
(homoseksual) baik yang terdapat dalam Al-Qur ’an maupun hadits. Allah
SWT menceritakan masalah homoseksual dalam Al-Qur’an, sebagaimana
yang terdapat dalam Surah Al A’raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 57-77, Al
Anbiya (21): 74-75, Asy Syu’ara (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al
ankabut (29): 28-35, Ash Shaffat (37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-39.
Antara lain dijelaskan oleh Allah SWT dengan firman-Nya:
           
 
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya).
(Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fahisya itu, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu? (QS.(7) Al-A’raaf: 80).
           
“Sesungguhnya kamu mendatangi laki-laki untuk melepas nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas” (QS. (7) Al-A’raaf: 81).
Ayat di atas menyatakan: Dan Kami juga mengutus Nabi Luth.
Ingatlah ketika dia berkata kepada kaumnya yang ketika itu melakukan
kedurhakaan besar: Apakah kamu mengerjakan fahisyah yakni melakukan
pekerjaan yang sangat buruk yaitu anal seks yang tidak satupun mendahului
kamu mengerjakanya di alam raya, yakni di kalangan mahkluk hidup di
dunia ini. Sesungguhnya kamu telah mendatangi lelaki untuk melampiaskan
syahwat (nafsu) kamu melalui mereka sesama jenis kamu, bukan terhadap
82
wanita yang secara naluriah seharusnya kepada merekalah kamu
menyalurkan naluri seksual. Hal itu kamu lakukan terhadap lelaki bukan
disebabkan karena wanita tidak ada atau tidak mencukupi kamu, tetapi itu
kamu lakukan karena kamu durhaka bahkan kamu adalah kaum yang
melampaui batas sehingga melakukan pelampiasan syahwat bukan pada
tempatnya.
Muhammad Bin Ibrahim Az Zulfi berdasarkan surah Al A’raaf di
atas mengatakan bahwa Allah SWT menamakan mereka dengan orangorang yang melampaui batas, dan orang-orang yang berlebih-lebihan
(Yatimin, 2003:33). Maksud ayat di atas menunjukkan secara jelas
pengharaman kaum gay dalam Islam. Dalam surah Al-Araaf: 81 ditegaskan
bahwa perilaku tersebut melampaui batas. Ali Chasan Umar mengatakan
bahwa di dalam Syari’ah Islam, perbuatan kaum gay adalah haram (Akhmad
Azhar Abu Miqdad, 2000:87). Allah SWT menambahkan pada surah Huud
sebagai berikut:
             
“Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai
keinginan terhadap putri-putrimu, dan sesungguhnya kamu tentu
mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki” (QS. (11) Huud: 79).
Nabi Luth adalah kemanakan dari Nabi Ibrahim. Ayahnya yang
bernama Hasan bin Tareh adalah saudara sekandung dari Nabi Ibrahim. la
beriman kepada pamannya, Nabi Ibrahim, mendampinginya dalam semua
perjalanannya dan sewaktu mereka berada di Mesir, berusaha bersama
dalam bidang peternakan yang berhasil dengan baik, binatang ternaknya
83
berkembang biak, sehingga dalam waktu singkat jumlah yang sudah berlipat
ganda itu tidak dapat ditampung dalam tempat yang telah tersedia. Akhirnya
perkongsian Ibrahim-Luth dipecah dan binatang-binatang ternak, serta harta
milik perusahaan mereka dibagi dan berpisahlah Luth dari Ibrahim, pindah
ke Yordania dan bermukim di sebuah tempat bernama Sadum. Masyarakat
Sadum adalah masyarakat yang rendah tingkat moralnya, rusak mentalnya,
tidak mempunyai pegangan agama atau nilai kemanusiaan yang beradab.
Kemaksiatan dan kemungkaran merajalela dalam pergaulan hidup mereka.
Pencurian, pembegalan dan perampasan harta milik merupakan kejadian
sehari-hari, di mana yang kuat menjadi kuasa, sedang yang lemah menjadi
korban penindasan dan perlakuan sewenang-wenang. Maksiat yang paling
menonjol, yang menjadi ciri khas masyarakat mereka adalah perbuatan
homosex (liwath) di kalangan prianya dan lesbian di kalangan wanitanya.
Kedua macam mungkar ini begitu merajalela di dalam masyarakat sehingga
merupakan suatu kebudayaan.
Allah Swt sebagai Pencipta Alam Semesta ini tahu yang paling
baik bagi umat manusia. Dia Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Segala
hukum dan aturan yang telah Dia turunkan melalui Al Quran dan Sunnah
adalah yang terbaik dan tidak akan bertentangan dengan fitrah manusia.
Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai atau berbeda dengan kondisi yang
seharusnya maka sebenarnya itu adalah ujian. Fitrah adalah sifat dasar yang
ada dalam diri manusia sejak awal penciptaannya. Dia menciptakan laki-laki
dan perempuan dan menjadikannya berpasang-pasangan lawan jenis
84
(heteroseksual) seperti yang tertulis dalam QS. An Nisaa’ (4): 1, Al
Hujuraat (49): 13, Al Faathir (35): 11 dan An-najm (53): 4:
           
           
      
“Hai sekalian manusia,bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa’:
1).
           
          
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bbertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat: 13).
              
                
     
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani,
kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan).
Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula)
melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak
dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
85
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah” (QS.
Al Faathir: 11).
     
“Dan sesungguhnya, Dialah yang menciptakan pasangan, laki-laki
dan perempuan” (QS. An Najm: 45).
Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan pun Allah Swt
menegaskan sejumlah peraturan agar manusia tidak terjerumus kepada
lembah kehinaan. Rasulullah Saw mengajarkan muslim untuk beradab
dalam bergaul, menjaga aurat dan batasan. Oleh karena itu status hukum
yang diberikan oleh agama terhadap seseorang dilihat dari keadaaan
lahiriahnya, termasuk status hukum menurut jenis kelamin.
Adapun hadits yang mengatur masalah gay antara lain hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ّْ ‫اَليا ّْْنظُ ُر‬
‫وط او لا اعنا‬
ٍ ُ‫وم ل‬
ِ ‫ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قاوْ ِم لُو ٍط اولا اعنا ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قا‬
‫وط‬
ٍ ُ‫وم ل‬
ِ ‫ّللاُ ام ْن اع ِم ال اع ام ال قا‬
“Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum
Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth.
Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR
Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)].
‫اَل يا ْنظُ ُر ه‬
‫َّللاُ إِلاى ار ُج ٍل أاتاى ار ُج اًل أا ْو ا ْم ارأاةا فِي ال ُّدبُ ِر‬
86
“Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi lakilaki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1166,
Nasa’i: 1456 dan Ibnu Hibban: 1456 dalam Shahihnya. Keterangan:
hadits ini mencakup pula wanita kepada wanita].
Rasulullah sangat khawatir perbuatan kaum luth menimpa
umatnya. Diriwayatkan Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, dikatakan hadist
Hasan Gharib, dari Jabir ra. Ia berkata, Rasulullah S.A.W bersabda:
ُ ‫إِ َّن أا ْخ اوفا اما أا اخ‬
‫وط‬
ٍ ُ‫اف اعلاى أ ُ َّمتِي اع ام ُل قاوْ ِم ل‬
“Sesungguhnnya suatu hal yang amat aku takuti terhadap umatku
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth” [HR Ibnu Majah :
2563, 1457. Tirmidzi berkata : Hadits ini Hasan Gharib, Hakim berkata,
Hadits shahih isnad].
2. Pandangan Perundang-undangan di Indonesia terhadap Perilaku
Seksual Kaum Gay
Berbicara mengenai komunitas gay tak lepas dari Hak Asasi
Manusia (HAM) dan perlakuan diskriminasi terhadap kaum yang
terpinggirkan. HAM sering dijadikan sebagai salah satu pembelaan terhadap
kaum homoseks/gay. Hal ini dikarenakan negara Indonesia sendiri adalah
negara hukum dan memegang hak asasi manusia sangat tinggi. Ini bisa
terlihat dari rumusan HAM ke dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) khususnya pasal 28-28J dan
UU NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM, secara konstitusional hak asasi
setiap warga negara dan penduduk Indonesia telah dijamin. Sehingga
87
mereka kaum gay juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
Indonesia lainnya. Salah
satu bentuk pelanggaran HAM yang sering
menimpa kaum minoritas tersebut adalah bentuk perlakuan yang bersifat
diskriminasi. Pengertian diskriminasi dalam UU No. 39 Tahun 1999 dalam
pasal 1 ayat 3 adalah sebagai berikut:
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Sampai saat ini tidak ada hukum ada untuk melindungi warga
negara Indonesia dari diskriminasi atau pelecehan atas dasar orientasi
seksual atau identitas gender mereka. Padahal disisi lain pemerintah
Indonesia memiliki kebijakan yang melindungi hak bebas diskriminatif
setiap warga negaranya dan mendapatkan perlindungan dari setiap tindakan
diskriminasi itu, mendapatkan perlindungan, pemenuhan dan menghormati
hak asasi manusia sesuai dengan pasal 28I ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:
“setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang diskriminatif tersebut”. Sehingga semua WNI dengan orientasi seksual
berbeda harusnya diartikan dan dipahami oleh pemerintah dan masyarakat
Indonesia sebagai kelompok masyarakat yang juga diatur di dalam UUD
1945 yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jadi,intinya di Indonesia
88
sendiri penanganan kasus homoseksual/gay masihlah kurang karena
pemerintah tidak secara tegas melarangnya hanya untuk kasus-kasus
komersial sajalah yang dipidanakan sedangkan untuk kasus-kasus sosialnya
masih belum dipidanakan.
Sistem internasional telah membuat langkah maju dalam hal
memajukan kesetaraan gender dan perlindungan terhadap kekerasan di
masyarakat, komunitas dan keluarga. Sebagai tambahan, mekanisme kunci
HAM pada PBB telah menekankan kewajiban negara untuk menjamin
perlindungan bagi semua orang dari berbagai diskriminasi berbasis orientasi
seksual atau identitas gender. Tetapi, respon internasional terhadap
pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual atau identitas gender telah
terfragmentasi dan tidak konsisten.
Diperlukan adanya suatu pemahaman komprehensif mengenai
Undang-Undang HAM Internasional beserta aplikasinya terhadap isu-isu
orientasi seksual atau identitas gender untuk menyikapi defisiensi yang telah
terjadi. Yang penting untuk dilakukan adalah mengumpulkan dan
menjelaskan tugas-tugas negara berdasarkan Undang-Undang HAM
Internasional, untuk mensosialisasikan dan melaksanakan perlindungan
HAM bagi setiap orang berdasarkan kesetaraan dan tanpa diskriminasi.
International Commission of Jurists dan International Service for Human
Rights, atas nama koalisi organisasi HAM telah melaksanakan suatu proyek
untuk mengembangkan suatu perangkat prinsip hukum internasional tentang
aplikasi UU HAM Internasional terhadap pelanggaran HAM berdasarkan
89
orientasi seksual atau identitas gender dalam memberikan kejelasan dan
hubungan yang lebih besar mengenai kewajiban negara terhadap HAM.
Sekelompok ahli HAM telah membuat draf, mengembangkan draf
tersebut, mendiskusikan dan akhirnya menghasilkan prinsip-prinsip ini.
Setelah pertemuan para ahli yang diselenggarakan di Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Indonesia pada tanggal 6 sampai 9 November 2006, 29
orang ahli HAM Internasional secara sepakat mengadopsi Prinsip-Prinsip
Yogyakarta tentang Undang-Undang HAM Internasional terkait dengan
orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip-Prinsip Yogyakarta adalah
suatu tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-Undang Hak Asasi
Manusia yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsipprinsip ini menegaskan standar hukum internasional yang mengikat yang
harus dipatuhi oleh semua negara. Prinsip-Prinsip ini menjanjikan bentuk
masa depan yang berbeda, dimana semua orang dilahirkan dengan bebas
dan setara dalam hal martabat dan hak serta dapat memenuhi hak berharga
tersebut yang mereka bawa sejak mereka dilahirkan.
Prinsip-Prinsip Yogyakarta menyikapi besarnya kisaran standar
HAM dan aplikasinya dalam isu orientasi seksual atau identitas gender. Hal
ini mencakup eksekusi diluar hukum, kekerasan dan penyiksaan, akses pada
keadilan, pribadi, non diskriminasi, hak atas kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dan berkumpul, mendapatkan pekerjaan, kesehatan, pendidikan,
imigrasi dan isu pengungsian, partisipasi publik dan berbagai macam hak
lainnya. Prinsip-Prinsip Yogyakarta menegaskan kewajiban utama negara
90
untuk mengimplementasikan HAM. Setiap Prinsip dilengkapi dengan
rekomendasi terperinci bagi negara. Prinsip-Prinsip ini juga menekankan
bahwa semua pihak memiliki tanggung jawab untuk memajukan dan
melindungi HAM. Karena itu disusun juga rekomendasi tambahan bagi
sistem HAM PBB, lembaga HAM nasional, media, LSM dan lain-lain.
Terlepas dari itu semua, di Indonesia apakah keberadaan komunitas
homoseks atau gay itu dilegalkan atau tidak itu tak lain seperti dipaparkan di
atas di Indonesia sendiri penanganan kasus homoseksual/gay masihlah
kurang karena pemerintah tidak secara tegas melarangnya hanya untuk
kasus-kasus komersial sajalah yang dipidanakan sedangkan untuk kasuskasus sosialnya masih belum dipidanakan. Namun, dari segi keperdataan
khususnya terkait masalah perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 di
Indonesia hanya mengakui hubungan antara seorang pria dan seorang
wanita (heteroseksual) dalam perkawinan yang sah dan dilakukan menurut
masing-masing agamanya. Ini berarti negara hanya mengenal perkawinan
antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada
agama masing-masing. Sehingga hubungan atau perkawinan sesama jenis
(homoseks) itu tidak dibenarkan dan dilarang karena tanpa dipungkiri
hubungan sesama jenis dapat menimbulkan keinginan untuk pernikahan
sesama jenis dan hal tersebut pastilah juga telah melanggar norma-norma
yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Sedangkan dalam segi pidana,
perilaku seksual homoseks secara eksplisit dapat didapati dalam KUHP
pasal 292 dan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam KUHP
91
pasal 292 mengatur pelanggaran atau kejahatan kesusilaan terhadap
pencabulan oleh orang dewasa dengan orang sesama jenis yang diketahui
dan patut diduganya belum dewasa sedangkan dalam UU No. 44 Tahun
2008 tentang pornografi dalam pasal 4 ayat 1(a) yang memuat tentang
pelarangan setiap orang yang secara eksplisit memuat persenggamaan
termasuk persenggamaan yang menyimpang dalam bentuk pornografi,
dalam penjelasannya yang dimaksud dengan "persenggamaan yang
menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya
dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
3. Bentuk Sanksi Yang Diberikan Terhadap Pelaku Homoseksual
Menurut Hukum Islam
Tujuan pemidanaan menurut hukum Islam, adalah:
a. Menjaga agama (hifdhu-din),
b. Terjaminnya perlindungan hak hidup (hifdhun-nasf),
c. Menjaga keturunan (hifdhun-nasl),
d. Menjaga akal (hifdhul-aql),
e. Menjaga harta (hifdhu-mal),
f. Keadilan.
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi
homoseks. Ada tiga pendapat:
1. Dibunuh secara mutlak.
2. Dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera,
bila pelakunya muhshan ia harus dihukum rajam.
92
3. Dikenakan hukuman ta’zir/sanksi.
Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir,
Qasim bin Ibrahim, dan Imam Syafi’i (dalam suatu pendapat) ia
menyatakan bahwa para pelaku homoseks dikenakan hukum bunuh, baik
pelaku homoseks itu seorang jejaka, baik ia mengerjakan maupun yang
dikerjai. Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil:
“Diriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibn Abbas bahwa ia
berkata,‘Rasulullah saw. Bersabda: Barangsiapa yang kalian
ketahui telah berbuat homoseks( perbuatan kaum Nabi Luth),
maka bunuhlah kedua pelakunya, baik pelaku itu sendiri maupun
partnernya.” (HR. Al-Khamsah kecuali Nasa’i).
Dalam kitab An-Nail disebutkan pula hadis tersebut di atas telah
dikeluarkan pula oleh Hakim dan Baihaqi. Selanjutnya Al-Hafizh
mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi
hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya (Sabiq, 1981: 432-433).
Mereka juga berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Ali
bahwasanya beliau merajam orang yang melakukan perbuatan ini. Imam
Syafi’i mengatakan, berdasarkan ini maka kita menggunakan rajam untuk
menghukum orang yang berbuat homoseks, baik orang itu muhshan atau
tidak.
“Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa beliau pernah
mengumpulkan para shahabat Rasul untuk membahas kasus
homoseks. Di antara para shahabat Rasul itu yang paling keras
pendapatnya adalah Ali. Ia mengatakan: ‘Homoseks adalah
perbuatan dosa yang belum pernah dikerjakan oleh para umat
kecuali oleh satu umat (umat Luth), sebagaimana telah kalian
maklumi. Dengan demikian, aku punya pendapat bahwa pelaku
homoseks harus dibakar dengan api.’ Dengan disetujui pendapat
Ali ini, maka Abu Bakar mengirim surat kepada Khalid bin Walid
93
untuk menyuruhnya membakar pelaku homoseks dengan api.”
(hadist ini dikeluarkan oleh Baihaqi).
Dengan dalil-dalil di atas, maka jelaslah bahwa had yang
dijatuhkan kepada pelaku homoseks adalah hukum bunuh. Akan tetapi
lebih lanjut lagi bagi mereka berbeda pendapat dalam masalah cara
membunuh pelaku homoseks. Ada yang meriwayatkan dari abu Bakar dan
Ali bahwa pelakunya harus dibunuh dengan pedang. Setelah itu baru
dibakar dengan api mengingat besarnya dosa yang dilakukan (Sabiq, 1981:
433). Umar dan Ustman berpendapat bahwa pelaku homoseks harus
dijatuhi benda-benda keras sampai mati. Ibnu Abbas berpendapat bahwa
pelaku homoseks harus dijatuhkan dari atas bangunan yang paling tinggi di
suatu daerah. Abdullah bin Abbas mengambil hukuman seperti ini dari
hukuman yang Allah Subhaanahu wa ta’ala timpakan kepada kaum Luth
dan Abdullah bin Abbaslah yang meriwayatkan sabda Nabi:
ِ ‫مَنَوج ْدمُتموهَي عملَعملَق ومَلمو ٍطَفاقْ تملمواَالْف‬
‫اعلَوَالْم ْفعم ْولَبِه‬
ْ
ْ
ْ ْ
‫ْم ْ م‬
“Siapa saja di antara kalian mendapati seseorang yang
melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelakunya beserta
pasangannya.” [ditakhrij oleh Abu Dawud 4/158 , Ibn Majah 2/856 , At
Turmuzi 4/57 dan Darru Quthni 3/124]. Al-Bhagawi menceritakan dari
Sya’by, Zuhry, Malik Ahmad dan Ishak, mengatakan bahwa pelaku
homoseks harus dirajam. Hukuman serupa ini juga diceritakan oleh
Tirmidzi dari Malik, Syafii, Ahmad dan Ishak (Mujtabah dan Ridlwan,
2010: 150).
94
Pendapat kedua dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin
Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nasakh’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam
Yahya dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat), mengatakan bahwa pelaku
homoseks harus di had sebagaimana had zina. Jadi pelaku homoseks yang
masih jejaka dijatuhi had dera dan dibuang. Sedangkan pelaku homoseks
yang muhshan dijatuhi hukuman rajam (Mujtabah dan Ridlwan, 2010:
150-151). Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil:
“Bahwasanya homoseks adalah perbuatan yang sejenis dengan
zina. Karena homoseks itu perbuatan memasukkan farji (penis) ke
farji (anus lelaki). Dengan demikian, maka pelaku homoseks dan
patnernya masuk dibawah keumuman dalil dalam masalah zina,
baik muhsan maupun tidak. Dan hujjah ini dikuatkan oleh hadist
Rasulullah SAW: “jika seorang lelaki mendatangi lelaki lain,
maka keduanya termasuk berzina.”
“Andaikata homoseks tidak bisa dimasukkan di bawah keumuman
dalil-dalil yang mengecam perbuatan zina, maka homoseks pun
masih bisa disamakan dengan perbuatan zina dengan jalan
qias.”
Kemudian pendapat ketiga dikemukakan oleh Abu Hanifah,
Muayyad, Billah, Murtadha, Imam Syafi’i (dalam satu pendapat) bahwa
pelaku homoseks harus diberi sanksi, karena perbuatan tersebut bukanlah
hakikat zina. Maka hukum zina tidak dapat diterapkan untuk menghukum
pelaku homoseks (Sabiq, 1986: 135).
Persoalan gay di Indonesia dijawab oleh Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia dalam rilis Fatwa MUI No. 57 Tahun 2014 tentang
lesbian, gay, sodomi, dan pencabulan yang dikeluarkan pada tanggal 31
Desember 2014. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa tentang gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan.
95
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan, dalam
fatwa ini diatur beberapa ketentuan hukum. Pertama, hubungan seksual
hanya dibolehkan untuk suami istri. Yakni pasangan laki-laki dan wanita
berdasarkan pernikahan yang sah secara syari. Kedua, orientasi seksual
terhadap sesama jenis atau homoseksual adalah bukan fitrah tetapi
kelainan yang harus disembuhkan. Ketiga, pelampiasan hasrat seksual
kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan tersebut merupakan
kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik had
maupun takzir oleh pihak yang berwenang. Keempat, melakukan sodomi
hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang mendatangkan
dosa besar dan pelakunya dikenakan had tu zina. Kelima, pelampiasan
hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi hukumnya
haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir. Jadi kalau takzir itu
adalah jenis hukuman yang tidak ditetapkan kadarnya oleh nas tetapi
diserahkan oleh kebijakan mekanisme peraturan perundang undangan. Had
itu adalah ketentuan hukum yang kadar dan jenisnya itu sudah disebutkan
di dalam nas baik Alquran dan Hadist. ketentuan lain yang diatur dalam
fatwa ini, yaitu pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis dan
korbannya adalah anak-anak terkena hukuman had dan takzir. Selain itu
pelakunya diberikan tambahan hukuman, pemberatan bahkan hingga
hukuman mati. Kemudian, pelampiasan nafsu seksual kepada seseorang
yang belum memiliki ikatan pernikahan yang sah baik itu kepada lawan
jenis maupun sesama jenis. Baik dewasa atau anak-anak hukumnya haram
96
dan pelakunya dikenakan hukuman takzir. Yang terakhir, melegalkan
aktivitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya
hukumnya haram. Artinya, melegalkan sesuatu yang ilegal tentu tidak
diperkenakan secara hukum (http://khazanah.republika.co.id/berita/duniaislam/islam-nusantara/15/01/15/ni76pd-hukuman-bagi-pelaku
penyimpangan-seksual-dalam-fatwa-mui diakses pada tanggal 27 Maret
2015).
Dalam rilis fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terkait lesbi,
gay, sodomi, dan pencabulan, MUI meminta kepada DPR RI agar tidak
melegalkan keberadaan komunitas homoseksual; gay dan lesbi, serta
komunitas lainnya yang menyimpang di Negara Indonesia. Hal ini
sebagaimana termaktub dalam Rekomendasi poin pertama halaman 14
tentang "Fatwa Lesbi, Gay, Sodomi, dan Pencabutan". KH. Ma'ruf Amin
dalam mewakili pembacaan fatwa perihal di atas, atau yang lebih dikenal
LGBT pun juga menyebutkan hukuman mati pantas dilakukan jika
memang demikian adanya. Terutama hukuman itu ditujukan oleh pelaku
sodomi. Untuk pelaku sodomi justru harus dikenakan hukum ta'zir
(setingkat hukuman mati). Namun di poin selanjutnya dalam rilis yang
masuk dalam 'ketentuan hukum', fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini
juga memberikan bagaimana sebenarnya penyimpangan seksual tersebut.
Misalnya saja perbuatan yang dikenal dengan LGBT (lesbi, gay, biseksual,
dan transeksual). Dalam kategori atau poin itu MUI menghimbau agar
pelaku yang memiliki kelainan seksual ini sebelum dijatuhi hukuman mati
97
oleh pengadilan, sekiranya pelaku dapat disembuhkan. Salah satunya cara
yaitu dengan memberikan pemahaman atau pelurusan tentang bagaimana
penyimpangan tersebut. Dan berikut poin-poin yang terdapat di 'Ketentuan
Hukum' fatwa MUI Tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan.
Sebagaiman tertuang dalam fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014. Di
antaranya: Orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang
harus
disembuhkan
serta
penyimpangan
yang
harus
diluruskan;
homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya HARAM, dan
merupakan bentuk kejahatan (karimah); pelaku homoseksual, baik lesbian
maupun gay, termasuk biseksual dikenakan hukuman hadd dan/atau ta'zir
(maksimal hukuman mati) oleh pihak yang berwenang; melegalkan
aktifitas seksual sesama jenis dan orientasi seksual menyimpang lainnya
adalah HARAM. Dikeluarkan MUI di Jakarta, pada tanggal 31 Desember
2014. Bertanda tangan Komisi Fatwa MUI, Prof. Hasanuddin Abdullah
Fatah dan Sekretaris, DR. Asrorun Ni'am Sholeh (http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2015/03/19/35983/mui-fatwakan-haram-danhukum-mati-bagi-lesbi-gay-sodomi-serta-pencabulan com diakses pada
tanggal 27 Maret 2015)
4. Bentuk Sanksi Yang Diberikan Terhadap Pelaku Homoseksual
Menurut Hukum Pidana
Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia, adalah
sebagai berikut:
a. Pembalasan (revenge)
98
b. penghapusan dosa (exspiation)
c. Menjerakan (deterrent)
d. Perlindungan terhadap umum (protection of the public)
e. Memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal 292 yang
secara eksplisit mengatur soal tindak sikap homoseksual yang dikaitkan
dengan perilaku seksual. Isi pasal tersebut sebagai berikut: “orang dewasa
yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang
diketahui atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.” Dari pasal tersebut diketahui
bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang dewasa yang
melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa yang sejenis
dengan dia. Dalam hal ini orang dewasa dan orang yang belum dewasa
yang dimaksudkan dalam KUHPerdata pasal 330 adalah mereka orang
dewasa yang telah berumur 21 tahun atau belum mencapai umur itu tetapi
sudah kawin, sedangkan orang yang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Jenis
kelamin yang sama dimaksudkan disini laki-laki dengan laki-laki atau
perempuan dengan perempuan. Mengenai perbuatan cabul, menurut
Sugandhi (1981:309) termasuk pula onani. Sedangkan perbuatan cabul
sendiri selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama
pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat
kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya (Adami Chazawi, 2005:82).
99
Persetubuhan pun dapat disebut dengan perbuatan cabul, kecuali perbuatan
cabul dalam Pasal 289 KUHP. Sedangkan sanksi pidana terhadap tindak
kejahatan asusila tersebut adalah sanksi pidana penjara paling lama lima
tahun.
Jika dilihat dari pasal 292 KUHP di atas tidak melarang hubungan
homoseksual pribadi dan yang tidak bersifat komersial antara orang
dewasa karena seseorang baru dapat dipidanakan apabila ia melakukan
perbuatan cabul dengan yang diketahuinya dan seharusnya patut
diduganya belum dewasa yang sesama jenis. Dulu ada sebuah RUU
nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, bersama dengan hidup
bersama, perzinahan dan praktek sihir, gagal diberlakukan pada tahun
2003 dan tidak ada rencana berikutnya untuk memperkenalkan kembali
undang-undang tersebut.
Sedangkan dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
dalam Bab II pasal 4 ayat 1(a) memuat tentang perilaku seksual homoseks
atau gay berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang dilarang memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b) kekerasan seksual;
c) masturbasi atau onani;
d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
100
e) alat kelamin; atau
f) pornografi anak.”
Dalam pasal 4 ayat 1(a) di atas dalam penjelasannya yang
dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain
persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral
seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Untuk sanksi dalam UU ini
diatur dalam pasal 29 dan pasal 34, dalam pasal 29 disebutkan sanksi
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah) untuk setiap orang yang memproduksi, membuat,
memperbanyak,
menggandakan,
menyebarluaskan,
menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1). Sedangkan dalam pasal 34 disebutkan bahwa setiap orang yang
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model
yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Berbeda dengan pasal 292 KUHP, pemidanaan dapat dilakukan
oleh orang dewasa yang berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa
yang sesama jenis. Sedangkan dalam pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008
pemidanaan berlaku untuk setiap orang, setiap orang dalam UU ini adalah
101
orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian
maka
dapat
penulis
dapat
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Dalam kehidupan komunitas homoseksual atau gay ditemukan
beberapa istilah dalam kehidupan homoseksual. Istilah tersebut
berdasarkan kegiatan seks yang dilakukan oleh pelaku homoseksual.
Beberapa istilah tersebut, antara lain: gay bottom, gay top, gay vers,
dan gay kucing. Gay bottom, merupakan istilah untuk menyebutkan
seorang homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai penerima atau
objek. Gay top merupakan istilah untuk menyebutkan seorang
homoseksual yang orientasi seksualnya sebagai pemberi. Gay vers
merupakan homoseksual yang bisa menjadi gay bottom dan gay top,
bergantung dari pasangan homoseksualnya. Gay kucing merupakan
sebutan untuk homoseksual yang melakukan hubungan seksual hanya
untuk mendapatkan imbalan. Istilah lain adalah pelacur laki-laki.
2.
Dari hasil penelitian keempat gay yang menjadi seorang gay, tiga
diantaranya faktor yang melatarbelakangi menjadi seorang gay adalah
faktor biologis. Hanya satu gay karena faktor lingkungan dan faktor
media sosial saja bisa menjadi seorang gay.
103
3.
Perilaku seksual homoseksual atau gay ditinjau dari hukum Islam
mengenai pelarangan kaum gay (homoseksual) baik yang terdapat
dalam Al-Qur ’an maupun hadits. Allah SWT menceritakan masalah
homoseksual dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat dalam
Surah Al A’raaf (7): 80-84, Al Hijr (15): 57-77, Al Anbiya (21): 7475, Asy Syu’ara (26): 160-175, An Naml (27): 54-58, Al ankabut (29):
28-35, Ash Shaffat (37): 133-138, dan Al Qamar (54): 33-39. Adapun
hadits yang mengatur masalah gay antara lain salah satu hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. Dan perilaku
seksual homoseksual atau gay ditinjau dari perundang-undangan di
Indonesia diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
KUHPerdata, Kompilasi Hukum Islam, KUHP pasal 292 dan UU No.
44 Tahun 2008 pasal 4 ayat 1(a).
Untuk sanksi terhadap kaum gay pada hukum Islam, para ulama fiqh
berbeda pendapat tentang hukuman bagi homoseks. Ada tiga pendapat
yaitu pertama dibunuh secara mutlak, kedua dihad sebagaimana had
zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera, bila pelakunya muhshan ia
harus dihukum rajam, ketiga dikenakan hukuman ta’zir/sanksi. Dan
tujuan pemidanaan menurut hukum Islam adala menjaga agama
(hifdhu-din), terjaminnya perlindungan hak hidup (hifdhun-nasf),
menjaga keturunan (hifdhun-nasl), menjaga akal (hifdhul-aql),
menjaga harta (hifdhu-mal), keadilan. Sedangkan
104
untuk sanksi
terhadap perilaku seksual dalam perundang-undangan di Indonesia
diatur dalam KUHP pasal 292 dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan UU No. 44 Tahun 2008 pasal 29 dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah) ) untuk setiap orang yang memproduksi, membuat,
memperbanyak,
mengimpor,
menggandakan,
mengekspor,
menyebarluaskan,
menawarkan,
menyiarkan,
memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi dan pasal 34 dengan
sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk
setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya
menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Adapun tujuan pemidanaan
dalam hukum pidana Indonesia, adalah sebagai berikut pembalasan
(revenge), penghapusan dosa (exspiation), menjerakan (deterrent),
perlindungan terhadap umum (protection of the public), memperbaiki
si penjahat (rehabilitation of the criminal).
B. Saran
1. Untuk masyarakat agar lebih peka dan ikut berperan serta dalam
melakukan pencegahan terhadap fenomena keberadaan komunitas gay,
105
sadar atau tidak kaum gay berada di tengah-tengah masyarakat
khususnya di lingkungan keluarga untuk selalu mengawasi serta
memberikan pendidikan kepada anggota keluarga dengan sebaikbaiknya.
2. Untuk pemerintah dalam menyikapi fenomena komunitas tidak hanya
sekedar
memberikan penyuluhan dan penanggulangan virus HIV
AIDS serta pelatihan dan penyaluran tenaga kerja kepada kaum gay
saja, namun juga perlu pula dibentuk suatu lembaga untuk menampung
para homoseksual agar mereka bisa bertobat dan kembali menjadi jati
diri yang sebenarnya serta digalakkannya pendidikan seks usia dini di
sekolah-sekolah sebagai upaya pencegahan free sex dan penyimpangan
seksual lainnya.
3. Kepada tokoh agama untuk lebih lagi berjuang di jalan Allah dengan
jalan berdakwah dan menghasilkan produk-produk hukum terhadap
permasalahan yang semakin komplek di tengah masyarakat modern.
4. Perlunya kajian, diskusi, seminar yang lebih konprehensif tentang
masalah homoseksual
5. Perlunya penjelasan yang lebih jelas dan tegas mengenai pemberian
sanksi bagi pelaku homoseksual di dalam hukum pidana.
106
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hafidz, Ahsin W. 2005. Kamus Ilmu Al Qur’an. Amzah.
Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik).
Jakarta: Rineka Cipta.
Bahesyti, Moh. Husaini dan Bahomar, Jawad. 2003. Intisari Islam. Jakarta: PT.
Lentera Basri Tama.
Choiriyah, Febri Ayu. 2011. Kehidupan Waria Ditinjau dari Hukum Islam (Studi
Kritis Perilaku Keberagamaan di Pondok Pesantren Waria Senin-Kamis
Notoyudan Yogyakarta). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan
Syariah STAIN Salatiga.
Demartoto, Argyo. 2010. Seks, Gender, dan Seksualitas Lesbian. (Online).
(http://argyo.staffUNS.ac.id/files/2010/08/seksgender-dan-seksualitas.pdf
diakses pada tanggal 19 September 2014).
Departemem Agama RI. 1999. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV.
Asy Syifa’.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Djubaedah, Neng. 2004. Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam
Cetakan Ke-2. Jakarta Timur: Kencana.
Doi. Abdur Rahman I. 1996. Syariah the Islamic Law. Terjemahan Zaimudin dan
Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung:
CV. Bandar Maju.
_____________. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kohir, Faqihudin Abdul dan Mukarnawati, Ummu Azizah. 2013. Referensi Bagi
Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta: Komnas Perempuan.
Kompilasi Hukum Islam Buku 1 tentang Hukum Perkawinan.
107
KUHAP dan KUHP. Tangerang Selatan: SL Media.
Machmunah. 2007. Homoseks dalam Al Qur’an (Telaah Kritis Penafsiran
Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah). Skripsi tidak diterbitkan.
Semarang: Fakultas Ushuludin Institut Agama Islam Negeri Wali Songo
Semarang.
Miqdad, Akhmad azar Abu. 2000. Pendidikan Seks bagi Remaja. Yogyakarta:
Mitra Pustaka.
Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Muhammad, Husein., Mulia, Siti Musdah., dan Wahid, Marzuki. 2011. Fiqh
Seksualitas (Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas).
Jakarta: PKBI.
Mujtabah, Saifudin dan Ridlwan, M. Yusuf. 2010. Nikmatnya Seks dalam Islami.
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Oetomo, Dede. 2003. Memberi Suara Pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.
Purnamasari, Anggrahini Mahaputri. 2013. Kehidupan Homoseksual dalam Novel
Pria Terakhir Karya Gusnaldi Kajian Sosiologi Sastra. Skripsi tidak
diterbitkan. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Semarang.
Sa’abah, Marzuki Umar. 2001. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas
Kontemporer Islam. Yogyakarta: UII Press.
Sabiq, Sayid. 1986. Fiqih Sunnah Jilid IX. Bandung: Al-Ma’arif.
Salatiga dalam Angka 2014. (Online). (www.salatigakota.go.id diakses pada
tanggal 27 Februari 2015).
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1982. Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta: Bulang
Bintang.
Siahaan, Jokie MS. 2009. Perilaku Menyimpang Pendekatan Sosiologi. Jakarta:
PT. Indeks.
Soimin, Soedharyo. 2011. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
108
Syafi’ie, Mohammad. 2009. Seks dan Seksualitas dalam Islam (Studi Atas
Pemikiran Fatima Mernissi). Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta:
Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Syam, Nur. 2010. Agama Pelacur (Dramaturgi Transendental). Yogyakarta:
LKIS.
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Hak Asasi
Manusia.
Yatimin. 2003. Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam. PT. Amzah.
Http://id.wikipedia.org/wiki/gay
http://id.wikipedia.org/wiki/komunitas
http://www.khazanah.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islamnusantara/15/01/15/ni76pd-hukuman-bagi-pelaku-penyimpangan-seksualdalam-fatwa-mui.com diakses pada tanggal 27 Maret 2015.
http://www.voa-Islam.com/red/Indonesiana/2015/03/19/35983/mui-fatwakanharam-dan-hukum-mati-bagi-lesbi-gay-sodomi-serta-pencabulan.com.
diakses pada tanggal 27 Maret 2015.
109
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Fariul Ibnu Huda
Tempat, Tanggal Lahir
: Kab. Semarang, 29 Juni 1992
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat Rumah
Pendidikan
: Isep-Isep Cebongan RT 01 RW 03 Kelurahan
Cebongan Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga
:
1.
2.
3.
4.
5.
Pengalaman Organisasi
TK Tabiyatul Banin
SD N Cebongan 03 Salatiga
MTS N Salatiga
SMK N 1 Tengaran (Jurusan Tekhnik Otomotif)
IAIN Salatiga
:
1. Senat Mahasiswa Periode 2013
2. HMI Komisariat Karnoto Zarkasyi
3. HMI Cabang Salatiga
1
2
3
4
5
Peneliti saat mengadakan wawancara dengan kepada Ibu Titik selaku staff Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) di kota Salatiga.
6
Tampak papan nama sekretariat KPA kota Salatiga yang berada di Jl. Hasanudin
kota Salatiga
Inilah komunitas GATSA (Gay Transdender Salatiga) saat mengikuti penyuluhan
HIV AIDS oleh KPA Kota Salatiga.
Foto wajah yang disamarkan
adalah T (28) salah satu sumber
informan pada saat wawancara
tanggal 15 April 2014.
7
Download