Konsiderasi Pemerintah Amerika Serikat dalam

advertisement
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun
2003-2013
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya – xxxxxxxx
Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang internasionalisasi konflik etnis Darfur yang
kembali terjadi pada tahun 2003 hingga 2013. Internasionalisasi merupakan
sebuah proses dari perubahan konflik etnis yang semakin meluas cakupan
dan aktornya. Beberapa indikator untuk melihat apakah konflik etnis tersebut
terinternasionalisasi adalah adanya difusi, eskalasi, dan adanya intervensi
baik dari PBB dan beberapa negara yang berkepentingan di Darfur seperti
Libya dan Cina. Kehadiran Cina dan Libya pun memberikan perubahan
domestik Sudan dalam konflik Darfur. Libya membawa kepentingan
nasionalnya karena adanya keinginan membentuk Arab Legion. Sementara
itu, Cina menginginkan minyak di Sudan sekaligus membantu Sudan dalam
memberikan pasokan senjata yang digunakan untuk menyerang warga
Darfur. Sehingga lewat penelitian terhadap uji indikator tersebut, penulis
sepakat bahwa konflik Darfur telah menjadi konflik yang sudah memasuki
skala internasional. Penelitian ini menghasilkan bahwa konflik etnis Darfur
bukan lagi konflik berskala domestik, melainkan berskala internasional.
Kata kunci: Konflik Etnis, Internasionalisasi, Difusi, Eskalasi, Intervensi.
This research studied about the internationalization of the Darfur ethnic
conflict that occurred back in 2003 to 2013. Internationalization is a process of
change in the ethnic conflict and the expanding scope of actors. Some of the
indicators to see whether the internationalization of ethnic conflict occurs is
the presence of diffusion, escalation, and intervention from both the UN and
some countries that have an interest in Darfur such as Libya and China. The
presence of China and Libya also provides domestic change in Sudan in the
Darfur conflict. Libyan bring their national interest because of its desire to
form the Arab League. Meanwhile, China wants Sudan's oil while helping
Sudan in supplying weapons used to attack the people of Darfur. So through
research to test these indicators, the authors agree that the Darfur conflict has
been a conflict that has entered the international scale. This research also
found that ethnic conflict is no longer the Darfur conflict domestic scale, but
international.
Keywords: Ethnic Conflict, Internationalization , Diffusion, Escalationn ,
Intervention.
979
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Darfur merupakan sebuah provinsi yang terletak di sebelah Barat Sudan
yang berbatasan langsung dengan Chad dan Afrika Tengah. Ketiga
negara tersebut merupakan kawasan yang tidak stabil domestiknya.
Berhasil merdeka dari penjajahan bukanlah suatu pencapaian akhir bagi
suatu negara. Kemerdekaan adalah langkah awal bagi pemerintah untuk
melunasi janji sebelum kemerdekaan, yakni memberikan kesejahteraan
bagi rakyat. Pasca kolonialisasi Inggris dan Mesir, Sudan masih berada
dalam kondisi yang belum stabil. Hal ini dikarenakan konflik etnis yang
tak kunjung selesai, bahkan Sudan tidak dapat menjaga keutuhan
wilayahnya. Hal ini terlihat dari keinginan rakyat Sudan Selatan untuk
memisahkan diri menjadi suatu negara baru. Meski Sudan Selatan telah
menjadi negara baru, ketegangan konflik internal Sudan sendiri belum
berakhir. Ialah Darfur yang merupakan suatu provinsi yang terletak di
Sudan Barat. Perselisihan etnis Fur terjadi dengan etnis Arab yang
memiliki kebiasan hidup nomaden, atau suka berpindah-pindah tempat
tinggal. Kebiasaan hidup berpindah-pindah ini merupakan kebiasaan
bagi sejumlah kecil etnis Arab. Kelompok Arab Darfur terkenal sebagai
kelompok yang miskin dan tidak memiliki daratan tetap untuk tinggal.
Seorang Syeikh yang paling dihormati oleh etnis Arab Darfur
mengatakan bahwa hidup nomaden merupakan cara etnis Arab untuk
hidup dan menjaga eksistensi mereka sebagai suatu kelompok etnis,
terutama mencegah dari kepunahan.
Awal mula konflik etnis Darfur dimulai sejak kehadiran bangsa Arab di
Darfur. Bangsa Arab memilih Darfur karena wilayah ini dianggap subur
dan memiliki air bersih. Akhirnya bangsa Arab yang selalu hidup
berpindah-pindah, memutuskan untuk menetap di Darfur. Pertanian
yang subur di Darfur memang menarik kaum nomaden untuk tinggal.
Akan tetapi, kehadiran mereka menghasilkan gesekan antar etnis,
terutama bagi masyarakat yang bermata pencaharian petani. Gesekan
sosial tersebut membuat Darfur mengalami penurunan dalam bidang
pertanian dan kestabilan ekologi yang terganggu. Hal ini pun
berdampak pada pembangunan di seluruh wilayah dan membuat
kemiskinan bagi seluruh masyarakat Darfur.
Faktanya, Darfur memiliki 36 suku yang terbagi menjadi 90 klan atau
sub-divisi. Konflik etnis Darfur terbagi menjadi dua kubu yaitu Arab dan
non-Arab yang disebut sebagai zurga atau hitam. Konflik antara etnis
Arab dan golongan zurga sudah terjadi sejak tahun 1970 dan semakin
memburuk ditahun 1980-an. Konflik yang semakin memburuk
disebabkan karena absennya peran pemerintah untuk bertindak tegas
dengan membuat peraturan yang harus dipatuhi oleh dua kubu. Konflik
etnis Darfur yang tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah
Sudan akhirnya kian meluas ke seluruh kawasan Darfur. “... several
980
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
times when closely linked tribes did not help ethnically related groups in
localised conflicts and attributes this restraint to the prevalence of
coexistence values in Darfur until the late 1980s.” Tahun 1980-an
menjadi tahun yang penting bagi tahapan terjadinya konflik etnis
Darfur. Tahapan-tahapan tersebut antara lain, (1) kekeringan dan
kelaparan, (2) lahirnya ideologi Arab supremacism yang dipromosikan
oleh perkumpulan Arab, dan (3) perang antara Arab dan Fur pada tahun
1987 hingga 1989 yang menjadikan konflik etnis Darfur sebagai krisis
kemanusiaan terburuk di Afrika.
Pemberontakan Darfur menyita perhatian berbagai kalangan karena
kekejaman dan kerusakan yang diakibatkannya sangat parah. Terutama
pada pemberontakan ketiga yang lebih banyak menimbulkan
penderitaan. Pemberontakan ketiga terjadi sejak tahun 2003 dan
beberapa etnis seperti Fur, Zaghawa, dan Masalit tergabung kedalam
kubu anti pemerintah Sudan. Pemberontakan tahun 2003
mengakibatkan korban yang tewas berjumlah 300.000 orang, sekitar 1,8
juta penduduk mengungsi, dan 2800 desa dihancurkan. Dua kelompok
besar pemberontakan yakni Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice
and Equality Movement (JEM) memilih untuk bekerjasama karena
kedua pihak merasakan adanya diskriminasi dari pemerintah Sudan.
SLA dan JEM merasa pemerintah Sudan lebih berpihak untuk
melindungi bangsa Arab. SLA melakukan pergerakan pada tahun 2003
untuk memperjuangkan nasib masyarakat Darfur untuk mendapat
otonomi bagi kawasannya. Sejarahnya, SLA mendorong kelahiran JEM
yang juga merupakan kelompok pemberontak. Sejak awal kemunculan
kedua pergerakan anti pemerintah ini, pemerintah Sudan mengabaikan
eksistensi mereka. Namun, pada bulan April 2003, kedua grup
melakukan penyerangan yang paling besar melawan pemerintah Sudan
yaitu dengan cara menyerang bandara el Fasher dan menghancurkan
lusinan pesawat militer. JEM dan SLA juga melakukan penculikan
terhadap seorang jenderal dari angkatan udara Sudan.
Menganggapi aksi pemberontak, Presiden Sudan, Omar Al Bashir, justru
mengambil langkah militer untuk menumpas para pemberontak yang
didukung oleh Janjaweed. Aksi genosida yang dilakukan Presiden Bashir
bersama etnis Arab, yang merupakan kelompok minoritas di Darfur,
semakin mengancam hak-hak kelompok masyarakat berkulit hitam.
Genosida di Darfur adalah hal yang tidak bisa diabaikan karena menjadi
bukti dari kegagalan pemerintah Sudan untuk mengelola ekonomi,
politik, dan kondisi sosial yang efektif. Pemerintah Sudan justru
mengacu kepada paradigma yang menjadikan perbedaan ras sebagai
sebuah masalah dan sikap tersebut adalah ciri dari negara yang gagal.
Pemerintah Sudan telah kehilangan legitimasi untuk mengelola negara
dan hanya mendapat dukungan dari etnis Arab dan kelompok
masyarakat penganut Islam. Ironisnya, amanat dari Presiden Bashir
Jurnal Analisis HI, September 20
981
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
untuk melawan kelompok pemberontak justru menimbulkan korban
dari kalangan masyarakat sipil. Serangan yang dilakukan oleh kelompok
militer Janjaweed terhadap pemberontak Darfur tidaklah seimbang
karena lawan mereka tidak memiliki persenjataan yang canggih seperti
yang dimiliki tentara Janjaweed. Pemerintah Sudan dianggap lebih
berpihak pada etnis Arab dan justru bekerjasama melakukan genosida
terhadap etnis lainnya.
Sejak tahun 2006 hingga 2007, PBB melakukan investigasi mengenai
kekejaman pemerintah Sudan dibawah Bashir terhadap masyarakat sipil
Darfur. Fakta-fakta yang diperoleh PBB baik secara langsung melihat
kekejaman tentara Janjaweed dan mendengar cerita akan penderitaan
rakyat Darfur, PBB segera mengirimkan bantuan bagi para warga untuk
berlindung. Ditambah lagi, PBB mendapat data mengenai jumlah
korban yang sangat tinggi pada tahun 2003 hingga 2004.
“... the deaths peaked from September 2003 and May 2004, subsiding
substantially
afterward
principally
because
Khartoum’s
couterinsurgency strategy had been succesful in destroying the base of
rebel operations in the villages; the humanitarian aid agencies had
arrived to provide services to those displaced; and Khartoum may have
felt more pressure from international community as a result of its
murderous tactics.”
Sumber Gambar Grafik Jumlah Korban Darfur pada tahun 2003 dan
2004 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun – tahun setelahnya:
982
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Andrew S. Natsios, “Sudan, South Sudan, & Darfur What Everyone
Needs To Know”, Oxford University Press, New York. 2012, hal. 151.
Penyebab Terjadinya Internasionalisasi Konflik Darfur
Difusi dan Eskalasi Konflik Etnis
Faktor pertama adalah difusi dan eskalasi konflik etnis. Kedua hal ini
dapat terjadi bersamaan dalam suatu konflik etnis dan mempunyai
variabel yang saling terikat. Terjadinya difusi dan eskalasi didorong oleh
security dilemma pada etnis. Maksud dari security dilemma adalah
adanya perasaan tidak aman akan kekuatan etnis lain dan etnis yang
merasa terancam tersebut berupaya meningkatkan kekuatannya.
Beberapa hal yang mendorong terjadinya difusi dan eskalasi adalah
pertama, melemahnya struktur institusional negara; kedua, adanya
perubahan dalam keseimbangan kekuatan etnis yang menjadi sumber
potensial terjadinya kompetisi dalam melakukan pembagian
kesejahteraan sosial, ekonomi, dan politik; dan ketiga adalah tingkat
ekonomi, sosial, dan integrasi budaya dalam sistem global dan regional.
Jennifer Giroux, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation of
Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis States
Working Papers Series No.2, LSE Destin Development Studies Group,
hal.2,
2009.
Tersedia:
http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf
(diakses pada: 18 Juni 2014).
Difusi Konflik Etnis Darfur ke Chad
Jurnal Analisis HI, September 20
983
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Jennifer Giroux, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation of
Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis States
Working Papers Series No.2, LSE Destin Development Studies Group,
hal.
3,
2009.
Tersedia:
http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf
(diakses pada: 18 Juni 2014).
Jika melihat peta diatas, Sudan, Chad, dan Afrika Tengah adalah negara
yang berbatasan langsung. Jennifer Giroux dan kawan-kawan
menyebutnya sebagai ‘segitiga berbahaya’ atau tormented triangle.
Konflik domestik yang terjadi di tiga negara sudah memberikan
perubahan pada keamanan regional. Namun, terjadinya eskalasi dan
difusi konflik etnis Darfur memberikan efek bahaya yang lebih besar.
Chad dan Sudan adalah negara yang menjadi tempat tinggal etnis
Zaghawa. Sebagai suatu etnis, mereka tentunya memiliki ikatan
keluarga. Sementara di Darfur sendiri juga didominasi oleh etnis
Zaghwa, Fur, dan Masalit. Ketiga etnis tersebut bekerjasama untuk
menggulingkan pemerintahan Bashir yang akhirnya menjadi konflik
etnis Darfur. Keikutsertaan etnis Zaghawa Chad dalam konflik etnis
Darfur pun tidak dapat dipungkiri. Apalagi sebagai negara yang
berbatasan langsung dengan Sudan, terutama wilayah Darfur, ikatan
diantara Chad dan Darfur semakin erat dalam mewujudkan kepentingan
mereka. Akan tetapi, hubungan antara Chad dan Sudan mempunyai
dinamika yang tidak jelas. Terkadang kedua negara memiliki hubungan
yang baik, namun dapat pula berubah menjadi kondisi yang tidak
harmonis.
984
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Ikatan Etnis Zaghawa
Sebagai etnis yang menentang aksi Janjaweed, Zaghawa bersama etnis
yang berasal dari Darfur membentuk JEM. Presiden Deby berasal dari
etnis yang sama dengan mayoritas anggota JEM, yakni Zaghawa. Akan
tetapi, Presiden Deby mendapat tekanan dari pemerintah Sudan untuk
memberikan dukungan terhadap aksi pembasmian etnis Zaghawa di
Darfur. Di sisi lain, Presiden Deby sangat membutuhkan dukungan etnis
Zaghawa di Chad untuk kelangsungan kepemimpinannya. Akhirnya, di
tahun 2005, Presiden Deby memutuskan untuk tidak bekerjasama
dengan Presiden Bashir dan menentang segala aksi yang berkaitan
dengan pembantaian etnis-etnis di Darfur. Presiden Bashir pun
membantu kelompok pemberontak Darfur. Yang menarik dari
keputusan yang telah diambil Presiden Deby adalah sebelum tahun
2005, Presiden Deby adalah rekan setia Sudan. Pemerintahan Chad
tidak pernah memberikan bantuan kepada pemberontak Darfur
meskipun kelompok pemberontak telah mengajukan permintaan sejak
awal tahun 1990. Akan tetapi, aksi SLA dan JEM menggunakan
sejumlah kota di Chad sebagai basis dan merekrut pasukan
pemberontak di kalangan Chadian Republican Guard, yang merupakan
tonggak keamanan bagi Chad. SLA dan JEM juga meminta dukungan
kepada etnis Zaghawa atau yang disebut juga sebagai etnis Beri, yang
berada di Chad, termasuk masyarakat yang dekat dengan pemerintah
Chad.
Laju Pengungsi Darfur ke Chad
Laju pengungsi Darfur ke Chad adalah salah satu faktor dari rangkaian
proses terjadinya regionalisasi konflik di kawasan Afrika. Tahun 2003
menjadi tahun terjadinya kembali konflik etnis Darfur dan menyita
perhatian internasional untuk memberikan perlindungan bagi empat
juta penduduk yang berada dalam situasi berbahaya. Apalagi ketika aksi
genosida di Darfur kerap memberikan ancaman bagi masyarakat sipil,
para pengungsi tak enggan meninggalkan rumah mereka. Tentara
Janjaweed menimbulkan ketakutan bagi masyarakat sipil Darfur,
terutama bagi wanita. Selain genosida, kasus pemerkosaan pun juga
marak terjadi. Anak laki-laki menjadi buruan tentara Janjaweed untuk
direkrut menjadi pasukan Janjaweed. Ironisnya, tentara Janjaweed tak
enggan membunuh warga sipil hingga jumlah korban yang terbunuh
akibat genosida pada tahun 2006 mencapai angka 200.000 korban.
Sementara itu, dari tahun 2003 hingga 2007, konflik etnis Darfur telah
memakan korban sebanyak 400.000 nyawa.
Mayoritas para pengungsi tinggal di kawasan perbatasan Darfur dan
Chad. Menurut data dari United Nations High Comissioner for Refugees
(UNHCR), hingga tahun 2013, jumlah pengungsi dari Darfur ke Chad
Jurnal Analisis HI, September 20
985
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
berjumlah 352.900 dan menetap di 12 titik Chad Timur. UNHCR juga
mengatakan bahwa sekitar 2.5 juta penduduk Darfur dipindahkan dari
rumahnya pada bulan Januari hingga Juni tahun 2013. Jumlah
pengungsi dari Darfur diprediksi akan terus bertambah. Apalagi kondisi
Darfur semakin membahayakan bagi masyarakat. Pada tahun 2008,
lokasi yang menjadi penyebaran para pengungsi dan mendapat bantuan
dari UNHCR antara lain,
Lokasi pengungsian
Oure Cassoni
Iridimi
Touloum
Am Nabak
Mile
Kounongo
Amlayouna
Baga
Bredjing
Treguine
Djabal
Goz Amer
Jumlah pengungsi
28.125
18.384
23.262
16.705
16.254
13.669
18.172
20.026
30.170
15.838
15.681
20.365
Sumber data: UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern
Chad”, 2008. Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25
Juni 2014).
Sumber data: UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern
Chad”, 2008. Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25
Juni 2014).
986
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Diagram diatas merupakan prosentase jumlah penyebaran pengungsi
Darfur di sejumlah pengungsian di Chad. Bredjing menjadi markas
pengungsi yang paling banyak disinggahi oleh masyarakat Darfur hingga
tahun 2008.
Konflik N’Djamena
Hubungan antara Presiden Bashir dan Presiden Deby semakin
memburuk seiring dengan laju pengungsi Darfur ke Chad serta adanya
bantuan senjata dari pemerintah Chad ke pemberontak Darfur dan
bantuan senjata dari pemerintah Sudan kepada pemberontak Chad.
Sejak tahun 2006, serangan ke Chad dan upaya untuk menciptakan
perdamaian terus terjadi. pada tanggal 8 Februari 2006, perjanjian
perdamaian antara Chad dan Sudan disepakati di Libya. Namun,
perjanjian perdamaian tersebut tidak memberikan hasil yang signifikan.
Serangan kembali terjadi pada bulan Oktober tahun 2006, Desa Dajo
yang terletak di Dar Sila, Chad, mendapat serangan dari tentara
Janjaweed dan pemberontak Chad. Sebelumya, kawasan tersebut
dikuasai oleh pemerintah Chad dan pemberontak Darfur. Penyerangan
ini menjadi bukti bahwa difusi konflik etnis Darfur telah terjadi. Puncak
dari difusi konflik etnis Darfur terjadi pada tahun 2008 khususnya pada
tanggal 28 Januari hingga 3 Februari, terjadi serangan koalisi dari
pemberontak Chad, FUC. Serangan di N’Djamena, ibukota Chad,
merupakan rangkaian proses penyerangan konflik regional yang
berkaitan dengan krisis di Darfur yang menjalar ke Chad dan Afrika
Tengah. Konflik yang menyebar di kedua negara ini juga disebut sebagai
konflik genosida seperti yang terjadi di Darfur. Dalam proses
penyerangan ke N’Djamena, pemerintah Chad mendapat dukungan dari
kelompok pemberontak Darfur, terutama JEM. Pada tanggal 31 Januari,
kelompok oposisi Chad melakukan penyerangan kembali ke N’Djamena
selama dua hari dan menjadi pertarungan yang sangat berbahaya.
Sekitar 700 warga sipil terbunuh dan ratusan lainnya mengalami luka.
Kemudian, sebanyak 50.000 masyarakat Chad memilih untuk melarikan
diri ke Kamerun. Begitu pula kekerasan seksual terhadap anak-anak dan
perempuan semakin marak terjadi di N’Djamena. Pada tanggal 13 Maret
2008, kesepakatan perdamaian kembali dibentuk untuk mencegah
konflik Chad dan Sudan yang semakin besar.
Eskalasi Konflik Etnis Darfur di Chad dan Afrika Tengah
Yang dimaksud dengan eskalasi konflik adalah keterlibatan kelompok
lain karena sengaja atau tidak sengaja terlibat yang terdorong karena
adanya peluang atau kesempatan. Terciptanya peluang tersebut bisa
dikarenakan melemahnya pusat pemerintahan negara. Sama seperti
Jurnal Analisis HI, September 20
987
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
difusi, ikatan etnis menjadi motivasi utama untuk mendorong
keterlibatan dalam suatu konflik etnis. Sikap solidaritas bagi sesama
etnis di negara lain disebut sebagai ethnopolitik. Jika ethnopolitik ini
terjadi maka pergerakan etnis tersebut akan melakukan lintas batas
negara. Randolph Siverson dan Harvey Starr menjelaskan bahwa
negara yang terlibat dalam eskalasi konflik tidak akan mempedulikan
batas negara dan keinginan untuk hadir kawasan yang terlibat konflik
sebagai aliansi. Apalagi jika lemahnya aktor pemerintahan dalam
melawan gerakan pemberontak. “It is is surmised that this escalation
toward subgroupism stems mainly from incapacity of both domestic and
international systems to confront and resolve these increasingly
significant and critical issues.” Bentuk eskalasi yang terlihat berbeda
dengan difusi adalah bahwa eskalasi tidak hanya semata konflik terjadi
di negara lain. Namun, bentuknya berupa konflik antar negara yang
dapat dilihat melalui proses terjadinya. Proses tersebut adalah adanya
penyebaran konflik di negara lain diikuti dengan kelompok etnis
pemberontak dapat melakukan pelatihan militer di teritori negara lain
yang juga terlibat konflik, tanpa sepengetahuan pemerintah pusat
negara pemberontak. Keller menjelaskan bahwa hal ini dapat
menyebabkan ketegangan antar kedua negara karena adanya tuduhan
satu sama lain karena memberikan bantuan kepada kelompok
pemberontak. Selain memberikan pelatihan militer, bantuan dapat pula
berupa bantuan senjata dan memberikan dana bagi kelompok militer.
Konflik etnis Darfur akhirnya semakin meluas di Chad pada tahun
2006. Kedua pihak pemerintah saling menuduh satu sama lain
mengenai dukungan yang diberikan kepada pihak pemberontak.
Sementara itu pihak pemberontak Chad yang dipimpin Mahamat Nouri
semakin melebarkan pengaruhnya dan menyatukan dukungan dengan
kelompok pemberontak Chad lainnya. Dukungan pemerintah Sudan
pun tak lepas dari aksi pemberontakan kelompok militan Chad. Pada
tanggal 22 Oktober 2006, gerakan pemberontak Chad ini mengambil
alih kekuasaan di Goz Beida yang merupakan ibukota dari wilayah Dar
Sila yang terletak di Chad bagian tenggara. Di tanggal 23 Oktober,
mereka kembali mengambil alih Am Timan, ibukota dari kawasan
Salamat. Kemudian setelah menguasi daerah tersebut, Mahamat Nouri
dan kelompok pemberontaknya kembali ke pemerintah Sudan. Hal ini
menunjukkan loyalitas kelompok pemberontak Chad kepada
pemerintah Sudan karena telah menyuplai senjata pada setiap aksi yang
dilakukan. Janjaweed juga melakukan perekrutan tentara pemberontak
dari etnis Arab Chad, terutama bagi rakyat yang tidak memiliki suara
dalam aktivitas yang diselenggarakan pemerintah Chad. Pada bulan Mei
2009, kelompok pemberontak Chad kembali mendapat bantuan dari
pemerintah Sudan untuk menyerang kawasan Timur Laut Chad.
Bantuan yang diberikan berupa persenjataan, tentara sebanyak 600
orang, dan kendaraan sebanyak 50 hingga 60 buah.
988
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Intervensi Pihak Ketiga di Konflik Etnis Darfur
Pasukan Keamanan Uni Afrika
Tentara Uni Afrika yang dikirim ke Darfur disebut dengan AMIS
(African Mission in the Sudan). Akan tetapi, kemampuan Uni Afrika
untuk mencapai target perdamaian bergantung kepada kemampuannya
untuk memobilisasi kemauan politik negara anggota. Oleh karena itu,
proses politik di dalam organisasi menjadi hal yang sangat penting bagi
kelangsungan perdamaian. Upaya pertama kali yang dilakukan AMIS
adalah dengan mengirimkan 80 tentara untuk melakukan pengamatan
yand dikoordinir oleh Darfur Integrated Task Force yang bermarkas di
kantor pusat Uni Afrika, Addis Ababa. Sedangkan markas AMIS di
Darfur terletak di El Fasher. AMIS bukanlah misi yang hanya disponsori
oleh Uni Afrika saja, melainkan organisasi internasional lainnya seperti
PBB, Uni Eropa, NATO (North Atlantic Treaty Organization), bahkan
negara-negara seperti Jepang dan Korea juga ikut mendukung.
Beberapa negara yang mengirimkan tentaranya untuk pertama kali
dalam misi AMIS antara lain, Gambia, Kenya, Nigeria, Rwanda, Afrika
Selatan, dan Senegal. Negara-negara tersebut dikelompokkan menjadi
Troop Contributing Countries (TCC). Selain TCC, adapula yang disebut
dengan The Civilian Police Contributing Countries, yang terdiri dari
Kamerun, Gambia, Mauritania, Nigeria, Afrika Selatan, dan Zambia.
Sayangnya, misi AMIS tidak berjalan dengan lancar karena adanya
hambatan seperti kekerasan melawan masyarakat sipil. Apalagi jika
melihat mandat AMIS yang terbatas karena kurangnya kapasitas dan
sumber daya yang tidak memadai. Oleh karena itu, Uni Afrika sangat
membutuhkan kekuatan dan bantuan yang lebih besar dalam mengatasi
konflik di Darfur. Mandat Uni Afrika yang sangat lemah dalam
mengawasi krisis kemanusiaan dan menciptakan perdamaian,
mendorong adanya pertemuan yang membahas mengenai Technical
Assesment Mission yang diadakan pada tanggal 10 hingga 22 Maret
2005 yang dihadiri oleh PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.
Pertemuan ini membahas bahwa AMIS harus diperkuat dan mandat
harus lebih ditingkatkan untuk melindungi tempat pengungsiaan.
Jumlah personel AMIS ditingkatkan menjadi 3320 anggota termasuk
2341 pasukan militer, 450 anggota sebagai pengamat, 815 anggota
sebagai anggota polisi. Peningkatan jumlah anggota dan penguatan
mandat disebut sebagai AMIS II. “AMIS II was similarly mandated to
monitor and observe compliance with the ceasefire; provide security
for humanitarian relief; and facilitate the return of internally
displaced persons (IDPs)”. Kehadiran AMIS tidak memberikan
perubahan yang signifikan di Darfur. Walaupun sempat pada awal tahun
Jurnal Analisis HI, September 20
989
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
2006 intensitas konflik etnis Darfur sempat menurun. Namun hal ini
disebabkan karena setiap kelompok pemberontak, SLA dan JEM,
dengan pemerintah Sudan telah menandatangani DPA (Darfur Peace
Agreement) yang hanya dipatuhi dalam waktu satu tahun saja.
Kehadiran Operasi Peacekeeping PBB
Sejak AMIS dianggap tidak dapat melaksanakan mandat dari Uni Afrika,
PBB akhirnya memutuskan untuk membantu AMIS. Berdasarkan
resolusi dewan keamanan nomor 1706, sekertaris jendral PBB pada
tahun 2006, Kofi Annan, memutuskan untuk menguatkan pasukan
AMIS dengan mengirimkan pasukan keamanan PBB dan bertransisi
menjadi UNAMID. Guna memperkuat misi peacekeeping, UNAMID
berencana untuk terus menambah pasukan hingga berjumlah menjadi
19.555 pasukan militer termasuk 3772 polisi dan 320 pengamat. Oleh
karena itu pada bulan Oktober 2008, UNAMID kembali mengirim
pasukan berseragam hingga jumlah totalnya mencapai 10.537 termasuk
8579 pasukan militer yang terdiri atas 8142 tentara, 285 pegawai kantor,
113 pengamat militer, dan 29 sebagai humas. Adapun jumlah polisi
sebanyak 1948 personil yang terdiri atas polisi individual sebanyak 1808
dan polisi unit sebanyak 140 personil. Jumlah staf dan tentara UNAMID
pun juga meningkat di setiap tahunnya untuk mencapai target pasukan.
Di tahun 2009, PBB merekrut sebanyak 2564 staf dari masyarakat sipil
termasuk 645 staf internasinal, 1704 staf nasional, dan 215 berasal dari
relawan PBB. Tentunya pengiriman pasukan ke UNAMID tidak
memakan biaya yang sedikit. Pengiriman pasukan pada tahun 2008 dan
2009, sedikitnya memakan biaya 1,7 milyar dollar Amerika Serikat dan
menjadi anggaran dana terbesar yang dikeluarkan sepanjang sejarah
operasi peacekeeping.
990
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Sumber gambar grafik pengiriman pasukan, peralatan militer, dan
bantuan dana oleh UNAMID: Global Researcher, “Crisis in Darfur”,
Volume 2, Nomor 9, 2008, Tersedia:
http://photo.pds.org:5012/cqresearcher/getpdf.php?id=cqrglobal2008
090000 (30 Maret 2014).
Untuk menjalankan mandat-mandat UNAMID, ada beberapa komponen
yang harus diperhatikan seperti, proses perdamaian; hubungan
masyarakat sipil; keamanan baik militer polisi, dan institutusi lokal dan
nasional yang mengutamakan pada hal disamarment, demobilisasi, dan
reintegrasi; mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia;
mengajarkan tentang penerapan hukum; melindungi anak-anak;
humanitarian liason; hingga isu kesehatan dan gender. Selain fokus
pada isu keamanan, UNAMID juga memberikan bantuan untuk
kehidupan sehari-hari bagi para internally displaced person (IDP).
UNAMID menyediakan air bersih dan tenda perlindungan bagi para
IDP. UNAMID juga memberikan perlindungan bagi ribuan masyarakat
Jurnal Analisis HI, September 20
991
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Darfur yang mengungsi terutama yang berada di Korma, Darfur Utara,
Khor Abeche dan Darfur Selatan karena kawasan-kawasan ini menjadi
pusat berkumpulnya IDP. Selain itu, serangan dari pemerintah Sudan
juga sering terjadi di tempat pengungsian tersebut. UNAMID juga
bekerjasama dengan komunitas kemanusiaan yang berada di Nyala
untuk bantuan darurat.
Seiring berjalannya operasi UNAMID, organisasi hybrid ini mengalami
sejumlah hambatan. Akibatnya, UNAMID berjalan tidak efektif. Apalagi
sejumlah tantangan berasal dari pemerintah Sudan yang sejak awal
pengiriman pasukan UNAMID sudah menolak kehadirannya.
“Sudan’s rejection of the deployment of Western European and
Latin American troops in Darfur is behind reluctance of some States to
provide UNAMID with the necessary technical expertise and crucial
equipment including means of transport, communication, logistics and
combat helicopters which are equipments necessary for an effective
military operation.”
Intervensi Libya
Dinamika antara Libya dan Sudan mengalami pasang surut dimulai dari
naiknya Gaddafi menjadi pemimpin Libya. Antara tahun 1967 hingga
1971, Sudan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Libya bersama
dengan negara Arab lainnya. Akan tetapi, pada awal taun 1970, Presiden
Numeyri yang pada saat itu memimpin Sudan, menjalin kebijakan luar
negeri bersama negara-negara Barat. Sikap Sudan pada saat itu
membuat sejumlah kepentingan berbenturan dengan relasinya bersama
Libya. Akibatnya, hubungan antara Sudan dan Libya tidak berjalan
dengan baik. Hubungan keduanya semakin memburuk ketika tahun
1970an hingga 1980an terjadi pertempuran regional diantara keduanya.
Ketika Bashir menjadi presiden Sudan pada tahun 1989, hubungan
dengan Libya sempat membaik. Akan tetapi, kondisi kedua pihak sangat
ambigu jika melihat adanya ketidak konsistenan Gaddafi. Meskipun
telah membaik, faktanya Gaddafi membantu pemberontak Darfur yang
ingin menggulingkan Bashir.
Partisan Intervention: Hubungan Cina dan Pemerintah Sudan
Cina merupakan negara yang juga memiliki peran penting dalam
perkembangan politik Sudan. Memang, Cina menganut prinsip
non-intervensi. Akan tetapi, melalui prinsip non-intervensi yang dianut
Cina, mereka justru dapat membangun relasi dengan pemerintah Sudan.
Bahkan Cina memegang peranan yang sangat penting sejak pertengahan
tahun 1990an yang menunjukkan bahwa perannya sudah tertanam dan
terjalin relasi yang baik. Tahun 1990an menjadi tahun awal Cina masuk
992
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
ke Sudan karena adanya hubungan antar pemerintah yang terkait
dengan perdagangan minyak. Perusahaan minyak Cina telah meluas ke
kawasan Sudan meskipun berada pada kondisi di tengah perang dan tak
lepas dari faktor politik. Keterlibatan politik Cina di Sudan semakin kuat
diiringi dengan pertumbuhan ekonomi Cina di Sudan. Terutama setelah
adanya Comprehensive Peace Agreement (CPA) yang disepakati pada
Januari 2005. “China is Sudan’s biggest economic partner, taking 75
percent of its exports. China is Sudan’s military mentor, advising its
army and giving it guns.”
Di tahun 2007, ketika UNAMID hadir di Darfur, Cina mengklaim
memiliki tanggung jawab dalam kasus etnis ini. Ketika presiden Hu
Jintao menjabat sebagai presiden, ia melakukan kunjungan ke Sudan
pada Februari 2007 untuk memberikan dukungan kepada China
National Petroleum Corporation (CNPC) di Khartoum. Berkat
kunjungan Hu Jintao, hubungan kedua negara semakin erat terutama
dalam memberikan saran untuk menerima masuknya PBB di Darfur.
Presiden Hu menjelaskan kepada Presiden Bashir bahwa Darfur adalah
bagian dari Sudan dan sebagai presiden, Presiden Bashir harus
berupaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Cina merasa bertanggung
jawab terhadap masuknya UNAMID ke Darfur. Cina pun menyatakan
akan membantu Sudan untuk meminimalisir peran UNAMID. Sikap
Cina tersebut, membuat hubungan dengan Sudan semakin erat.
“...the Chinese government has also claimed to be a ‘responsible’ power
that exerted ‘influence’ on the Sudanese government to accept a United
Nations-African Union peacekeeping force in Darfur and sought credit
for its ‘constructive’ role in passing Security Council Resolution 1769 on
31 July 2007 that enabled this.”
Sikap Cina yang menentang adanya campur tangan PBB disebabkan
sikap PBB dianggap sebagai agenda liberal yang akan berakhir pada
intervensi multilateral. Prinsip yang dianut PBB dianggap tidak adil. Hal
ini bukan berarti Cina tidak sepakat dengan segala keputusan PBB,
namun Cina akan mendukung keputusan PBB jika dianggap sesuai
dengan logika normative contestation. Prinsip misi penjaga perdamaian
PBB yang tidak disetujui Cina antara lain, penyebaran pasukan
perdamaian selalu diikuti dengan perjanjian genjatan senjata, terdapat
persyaratan dari PBB yang harus dipenuhi bagi host country atau pihak
yang terlibat konflik, dilarang menggunakan senjata kecuali untuk
perlindungan diri, dan ketidaksesuaian antara serangan yang dilakukan
dengan komando awal.
Jurnal Analisis HI, September 20
993
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Kepentingan Ekonomi Cina
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa Cina adalah rekan
ekonomi Sudan paling kuat, khususnya dalam perdagangan minyak.
Sudan adalah negara yang memiliki kekayaan minyak yang sangat
banyak dan melakukan ekspor minyak ke Cina dalam jumlah yang
banyak. Sembilan dari sepuluh barel minyak Sudan dikirim ke Cina
melalui pipa minyak yang telah dibangun oleh perusahaan minyak Cina
sehingga dari kilang minyak Sudan hanya melakukan proses
pemompaan saja. Cina hampir menguasai semua kekayaan minyak
Sudan. Cina memberikan wewenang kepemilikan pelabuhan minyak
kepada pemerintah Sudan. Namun, kepemilikan perusahaan dan segala
keputusan tetap berada pada Cina. Sudan memiliki 19 lokasi tambang
minyak, sembilan dari tambang tersebut dimiliki oleh Cina dan berkat
kekuasan Cina di Sudan, ekonomi nasional Cina naik lebih dari 10
persen tiap tahunnya. Bagi Cina, minyak adalah harga termahal yang
harus dijaga dari konflik Sudan ini. Kedua pihak saling melengkapi satu
sama lain. Sudan sangat membutuhkan uang dari Cina dan keuntungan
tersebut digunakan untuk melakukan pembelian senjata.
Kementrian Energi dan Pertambangan Sudan, Awad Ahmed Al-Jaz
mengatakan bahwa apabila Cina membawa uang, Sudan akan
memberikan minyak lebih kepada Cina. Perusahaan minyak Cina yang
beroperasi di Sudan bernama China National Petroleum Corporation
(CNPC), yang merupakan perusahaan negara yang melakukan suplai
minyak mentah dan gas alam. CNPC yang merupakan perusahaan
raksasa dunia menempati posisi ke-24 pada tahun 2007 dalam urutan
Fortune Global 500 perusahan yang mendapatkan keuntungan lebih
dari 110 milyar US $.
994
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Sumber: Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money,
Arms, and Politics in Sudan”, 2008, hal. 5. Tersedia:
http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311-cah -investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014).
Hubungan antara CNPC dengan Sudan terbukti simbiotik karena posisi
CNPC adalah perusahaan asing yang melakukan investasi terbesar di
sektor minyak Sudan. Begitu pula dengan Sudan juga merupakan
sasaran pasar minyak terbesar untuk melakukan investasi bagi Cina.
Hubungan bilateral yang terjalin baik memudahkan CNPC untuk
mengontrol ratusan ribu barel perhari. Hubungan juga membantu
Sudan membangun industri minyak dan Sudan memberikan peluang
bagi Cina untuk membangun pasar minyak. Sedangkan negara lain
mendapat hambatan untuk melakukan investasi minyak di Sudan. Cina
akhirnya melakukan penjualan ke Sudan sebanyak 21% dari total impor
global yang menunjukkan bahwa Sudan adalah negara terbesar yang
melakukan impor dari Cina. Begitu pula Sudan yang mengekspor
minyaknya ke Cina sebanyak 71% dari total ekspor Sudan.
Bantuan Militer dan Senjata
Kerjasama perdagangan senjata Sudan dan Cina yang semakin
meningkat, terlihat dari pembeluan senjata kecil, bagian-bagian dari
senjata kecil, dan amunisi persenjataan. Peningkatan pembelian senjata
seiring dengan ekspor minyak pertama kali oleh Sudan pada tahun 1999.
Pembelian senjata oleh Sudan semakin meningkat di tahun 2003, yang
Jurnal Analisis HI, September 20
995
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
merupakan terjadinya kembali Konflik etnis Darfur. Kemudian di tahun
2005 pun kembali meningkat. Sejumlah penstudi mengatakan bahwa
konflik etnis Darfur yang semakin memburuk pada tahun 2003, tak
dapat dipungkiri terdapat peran Cina yang telah melakukan
perdagangan senjata kepada pemerintah Sudan. Dari tahun 2003 hingga
2006, penjualan senjata Cina telah mencapai keuntungan lebih dari 55
juta US$. Pada tahun 2003, ketika Sudan melakukan penyerangan ke
Darfur, Sudan membeli alat pengeboman yang bernama 20 A-5C fantan
fighter bombers. Fantan mampu menembakan 4000 pounds senjata
dalam satu serangan. Penyerangan ditujukan ke sejumlah desa yang
dihuni oleh kelompok pemberontak Darfur.
Sumber: Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money,
Arms, and Politics in Sudan”, 2008, hal. 12. Tersedia:
http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311-cah -investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014).
Jika melihat grafik diatas, maka terbukti bahwa kekerasan di Darfur
meningkat di tahun 2003 karena penjualan senjata ke Sudan mencapai
angka U$ 3juta. Sejak tahun 2004 hingga tahun 2006, Cina berhasil
menjual senjata lebih dari UU$ 55juta ke Sudan. Bahkan Cina
memberikan diskon kepada Sudan karena kemudahan dalam transaksi
minyak dikirim ke Cina. Sehingga melalui data tersebut, Cina menjadi
negara terbesar dalam menjual senjata ke Sudan dibandingkan negara
lain.
Kesimpulan
996
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Melalui penjabaran dari rangkaian faktor internasionalisasi konflik etnis
terhadap konflik etnis Darfur dengan pemerintah Sudan, dapat
disimpulkan bahwa konflik etnis Darfur telah mengalami
internasionalisasi. Konflik etnis Darfur pada tahun 2003 membuktikan
bahwa konflik etnis ini berubah skalanya. Untuk menjelaskan
bagaimana konflik etnis menginternasionalisasi, dapat dilihat melalui
beberapa faktor. Yang pertama adalah adanya difusi konflik etnis,
eskalasi, dan intervensi yang mendukung pihak pemberontak Darfur
dan pihak pemerintah Sudan.
Faktor pertama adalah difusi yang terjadi di Chad. Penyebab terjadinya
difusi konflik etnis dilatarbelakangi dengan adanya laju pengungsi dan
ikatan etnis. Laju pengungsi di Chad menjadi penyebab utama karena
terjadi perekrutan tentara baik dari pihak pemberontak Darfur dan
pemerintah Sudan. Kedua pihak pun juga melakukan penyerangan satu
sama lain di wilayah Chad, terutama di wilayah pengungsian. Ikatan
etnis Zaghawa Chad dan Darfur juga bekerjasama dalam melawan
pemerintahan Presiden Bashir di Sudan. Hal ini mendorong terjadinya
eskalasi konflik etnis, yang merupakan faktor kedua. Eskalasi konflik
etnis Darfur terjadi di Chad dan Afrika Tengah yang merupakan negara
yang berbatasan langsung dengan Darfur. Keadaan domestik Chad dan
Afrika Tengah pun tidak dalam kondisi yang stabil karena kedua negara
mengalami perselisihan dengan kelompok pemberontak. Bentuk
eskalasi dari konflik etnis Darfur adalah adanya perlindungan antar
pihak ke ketiga negara ini, bantuan senjata, dan pelatihan militer.
Presiden Bashir memberikan bantuan senjata dan pelatihan militer
kepada kelompok pemberontak Chad untuk membuat kekacauan di
Chad dan melemahkan kekuatan Presiden Deby. Hubungan yang baik
antara Presiden Deby dan Presiden Bozizie, presiden Afrika Tengah yang
menjabat sejak tahun 2003 hingga 2013, dianggap sebagai ancaman
bagi Sudan. Presiden Bashir kembali melakukan pengiriman senjata dan
pelatihan militer bagi kelompok pemberontak Afrika Tengah.
Faktor ketiga adalah adanya intervensi. Ada dua jenis intervensi yang
terjadi di Sudan, yaitu intervensi dengan misi perdamaian yang
dilakukan oleh PBB dan intervensi negara lain yang membawa
kepentingan nasionalnya. Meskipun intervensi tidak selalu menjadi
upaya dari misi dan negosiasi yang berhasil, namun keterlibatan
organisasi regional dianggap penting dari masa ke masa. Selain itu,
keterlibatan negara lain juga dianggap sebagai intervensi. Kehadiran
negara lain justru memberikan ancaman perluasan konflik karena
memiliki kecenderungan berpihak pada salah satu kubu. UNAMID hadir
untuk, diantaranya, memberikan perlindungan kepada masyarakat sipil
sebagai wujud kemanusiaan, melakukan pengawasan terhadap
implementasi perjanjian untuk menghentikan gencatan senjata,
mendampingi pemerintah dalam proses politik secara terbuka,
Jurnal Analisis HI, September 20
997
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
berkontribusi pada hak asasi manusia dan hukum, membantu untuk
melindungi lingkungan guna rekonstruksi ekonomi dan pembangunan,
serta melakukan pengawasan mengenai situasi perbatasan dengan Chad
dan Republik Afrika Tengah. Selanjutnya, adalah Libya dan Cina sebagai
pihak yang melakukan intervensi ke Sudan. Misi yang dibawa pun
bukanlah misi perdamaian seperti UNAMID. Namun, kembali kepada
kepentingan nasional setiap negara. Misalnya saja Libya yang berpihak
kepada pemberontak Darfur sedangkan Cina condong kepada
pemerintah Sudan.
Melalui penelian ini, penulis membuktikan bahwa faktor
internasionalisasi konflik etnis dapat diaplikasikan pada konflik etnis
Darfur. Konflik etnis Darfur yang telah masuk ke tingkatan internasional
menjadi perhatian internasional agar konflik etnis Darfur tidak kian
meluas. Begitu pula dengan hak asasi manusia yang harus menjadi
perhatian khusus agar konflik etnis Darfur berakhir damai. Penelitian
mengenai konflik etnis Darfur, khususnya melihat dari perspektif
internasionalisasi, dapat diulas lebih dalam lagi. Terutama mengenai
intervensi yang dilakukan oleh sejumlah negara seperti Uni Eropa,
Amerika Serikat, hingga sejumlah negara di Asia Tenggara. Begitu pula
dengan keefektifan organisasi internasional yang terus hadir dalam
seiring mendukung isu kemanusiaan bagi masyakarat Darfur.
Kemudian, sejak tahun 2010 yang menunjukkan adanya intensitas
ketegangan konflik yang mulai mereda, bahasan mengenai proses
de-eskalasi konflik sangat menarik. Kompleksitas permasalahan di
Sudan, Chad, dan Afrika Tengah menjadi bahasan yang menarik untuk
menguji teori-teori yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan
internasional. Begitu pula dengan fokus di bidang globalisasi informasi
dengan melihat sejauhmana peranan media massa internasional dalam
proses pembentukan kebijakan dari aktor yang terlibat di konflik etnis
Darfur ini.
Daftar Pustaka
Buku
Fein, Helen., Genocide: A Sociological Perspective, Sage Publications,
London, 1993.
FS, Pearson., R.A, Baumann., Pickering, JJ. “Military intervention and
realpolitik”, dalam Wayman FW dan Diehl PF, Reconstructing
Realpolitik. Michigan: University of Michigan Press, 1994.
Hebron, Lui., dan Stack, John F., “The Internationalization of Ethnicity:
The Crisis of Legitimacy and Authority in World Politics”, dalam The
998
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Ethnic Entanglement: Conflict and Intervention in World Politics,
Praegaer, Connecticut, 1999.
Holsti, K. J., Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis. Penerbit
Erlangga, Jakarta, 1983.
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara,
Jakarta, 2009.
Natsios, Andrew S., Sudan, South Sudan, & Darfur What Everyone
Needs To Know. Oxford University Press, New York, 2012.
Oberschall, Anthony., Peace Intervention, dalam Conflict and Peace
Building in Divided Societies: Responses to Ethnic Violence.
Routloedge Taylor and Francis Group, New York, 2007.
Ryan, Stephen., “The International Dimension of Ethnic Conflict”,
dalam Ethnic Conflict and International Relations, Darmouth
Publicing Company, Vermont, 1995.
Stack, John., “Ethnic Group as Emerging Transnational Actors”, dalam
Ethnic Identities in Transantional World, Greenwood Press,
Westword, 1981.
Tatum, Dale C., “Genocide At The Dawn of 21 Century: Rwanda, Bosnia,
Kosovo, and Darfur”, Palgrave MacMillan, New York, 2010.
Wardhani, Baiq LSW., “Globalisasi dan Etnis Konflik”, Cakra Studi
Global Strategis, Surabaya, 2012.
Hay, I., Boucher D., Dungey C., “Making the Grade: A Guide to
Successful Communication and Study”, Oxford University Press.
Melbourne, 2002.
Jurnal Online dan Research Paper
Bercovitch, Jacob dan Derouen Jr, Karl., “Determinants of a Successful
Process Mediation in Internationalized Ethnic Conflicts: Assessing
the Determinants of Successful Process”, Journal of Armed Forces
and Society, Volume 30, No. 2, 2004, hal. 147-170. Tersedia:
http://afs.sagepub.com/content/30/2/147 (2 April 2014).
Brosche, Johan., “DARFUR – Dimensions and Dilemmas of a Complex
Situation”, Department of Conflict and Peace Research, Uppsala
University Paper No. 2, 2008. Tersedia:
www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/Sud%202.pdf (1 April 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
999
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
Carment, David., “The International Dimensions of Ethnic Conflict:
Concepts, Indicators, and Theory”, dalam Journal of Peace Research,
Volume
30,
no.
2,
1993.
Tersedia:
http://www.jstor.org/stable/425195 (15 April 2014).
Carment, David., Patrick, James., dan Taydas Zeynep.,“The
Internationalization of Ethnic Conflict:
State, Society, and Synthesis”, International Studies Review, Volume 11,
2009,
hal.
63-86
.
Tersedia:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-2486.2008.0182
5.x/pdf (2 April 2014).
Contessi, Nicola P. “Multilateralism, Intervention and Norm
Contestation: China's Stance on Darfur in The UN Security Council”,
Security Dialogue, Volume 41, no.3, 2010, hal. 323-344. Tersedia:
http://sdi.sagepub.com/content/41/3/323 (19 Juni 2014).
Corbetta, Renato and Grant, Keith A., “Intervention in Conflicts from a
Network Perspective”, Journal of Conflict Management and Peace
Science, Volume 29, No.3, 2012, hal.314-340. Tersedia:
http://cmp.sagepub.com/content/29/3/314 (23 Juni 2014).
Evans, Gareth. “The Responsibiity to Protect: An Idea Whose Come ...
and Gone?” International Relations, Volume 22, no. 3, 2008,
hal.283-298. Tersedia: http://ire.sagepub.com/content/22/3/283
(19 Februari 2014).
Giroux, Jennifer, et.al., “The Tormented Triangle: The Regionalisation
of Conflict in Sudan, Chad, and the Central African Republic”, Crisis
States Working Papers, Series No.2, LSE Destin Development
Studies Group, 2009. Tersedia:
http://www.css.ethz.ch/publications/pdfs/The-Tormented-Triangle.pdf
(diakses pada: 18 Juni 2014).
Massey, Simon dan Roy May., “Commentary the Crisis in Chad”, African
Affairs, Oxford University Press, Volume 105, No. 420, 2006,
hal.443-449. Tersedia: http://www.jstor.org/stable/3876811 (10
April 2014).
Herz, Manuel., “Refugee camps in Chad: planning strategies and the
architect’s involvement in the humanitarian dilema”, Research
Paper,
No.
147
UNHCR.
Tersedia:
http://www.unhcr.org/4766518f2.html (21 Juni 2014).
1000
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Kagwanja, Peter and Patrick Mutahi. “Protection of civilians in African
peace missions: The case of the African Union”, ISS Paper, Vol. 139
(2007). Tersedia:
www.mercury.ethz.ch/serviceengine/Files/ISN/98927/.../PAPER139.p
df (5 Juni 2014).
Lansana, Gberie., “The Darfur Crisis: A Test Case For Humanitarian
Intervention”, KAIPTC Paper, No. 1, September, 2004, Tersedia:
http://www.kaiptc.org/Publications/Occasional-Papers/Documents
/no_1.aspx (8 Juli 2014).
Murithi, Tim., “The African Union’s Foray into Peacekeeping: Lessons
from the Hybrid Mission in Darfur”, Journal of Peace, Conflict and
Development, Volume 14, 2009. Tersedia:
http://www.bradford.ac.uk/ssis/peace-conflict-and-development/issue14/theafricanunionsforay.pdf (16 Mei 2014).
Salih, Kamal O., “The Internationalization of The Communal Conflict in
Darfur and Its Regional and Domestic Ramifications: 2001 – 2007”,
Arab Studies, Volume 30, No. 3, Summer, 2008, hal.-14. Tersedia:
http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/220614413?acc
ountid=13771 (1 Juni 2014).
Skrede, Gleditsch, Kristian dan Salehyan., “Fighting at Home, Fighting
Abroad: How Civil Wars Lead to International Disputes”, Journal of
Conflict Resolution, Volume 52, 2008, hal.479-506. Tersedia:
http://jcr.sagepub.com/content/52/4/479.full.pdf+html (19 Mei
2014)
Website
Afriquejet, “Ban Laments Lack of Helicopters for UNAMID Operations”,
2010. Tersedia:
http://www.afriquejet.com/news/africa-news/ban-laments-lack-of-heli
copters-for-unamid-operations-2010050748946.html (diakses pada
15 April 2014).
Albert, Micah., “Chad: A Country in Crisis”, 2008. Tersedia:
http://wpj.sagepub.com/content/25/3/196.citation (diakses pada 20
Juni 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
1001
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
All Africa, “Central African Republic: Govt to Evacuate Darfur Refugees
in
Central
African
Republic”,
2014.
Tersedia:
http://allafrica.com/stories/201406232260.html (25 Juni 2014).
Amnesty International, “A Compromised Future Children Recruited by
Armed Forces and Groups in Eastern Chad”, 2011. Tersedia:
http://www.amnistia-internacional.pt/files/Relatoriosvarios/Criancas_
soldado_Chade.pdf (25 Juni 2014).
ArchChicago. “China and Sudan, Problematic Relations”, n.d. Tersedia:
http://www.archchicago.org/departments/peace_and_justice/pdf/issu
es/china_sudan.pdf (21 Mei 2014).
BBC, “Thousands of Darfur Refugees Remain Displaced in Chad”, 2012.
Tersedia
:
http://www.bbc.com/news/world-africa-16575416
(diakses pada 21 Juni 2014).
BBC, “Chad Rekrut Anak – anak Sebagai Tentara”, 2011. Tersedia:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/02/110210_chadchildarm
y.shtml (23 Juni 2014).
Encyclopedia Britannica, Idriss Deby, n.d. Tersedia:
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/752468/Idriss-Deby (17
Juni 2014).
Human Right First, “Investing in Tragedy China’s Money, Arms, and
Politics
in
Sudan”,
2008.
Tersedia:
http://www.humanrightsfirst.org/wp-content/uploads/pdf/080311cah-investing-in-tragedy-report.pdf (22 Juni 2014).
International Crisis Group (ICG), “Darfur Rising: Sudan’s New Crisis”,
2004. Tersedia:
http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/africa/horn-of-africa/sudan
/Darfur%20Rising%20Sudans%20New%20Crisis.pdf
(19 April
2014).
Brosche, Johan., “UNAMID” dalam Darfur – Dimensions and Dilemma
of Complex Situation”, Upsala Universitet Department of Peace and
Conflct
Research,
2008.
Tersedia:
http://www.ucdp.uu.se/gpdatabase/info/Sud%202.pdf
(23 Mei
2014).
Kunig, Philip., “Prohibition of Intervention”, n.d. Tersedia:
http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-97
80199231690-e1434?rskey=rBONsy&result=1&prd=OPIL (23 Juni
2014).
1002
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Internasionalisasi Konflik Etnis Darfur Tahun 2003-2013
Large, Daniel. “China & the Contradictions of ‘Noninterference’in
Sudan”.
2008,
hal.
93.
Tersedia:
http://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/0305624080201156
8 (20 Mei 2014).
Meerpohl, Meike., “Libya, Chad and Sudan – An Ambiguous Triangle?”,
n.d. Tersedia:
http://www.zms.ruhr-uni-bochum.de/mittelmeerstudien/mam/downlo
ads/zms_-_wps_-_5.pdf (20 Mei 2014).
Prendergast, John., “Sudan, Chad, and the Central African Republic:
The Regional Impact of the Darfur Crisis, Statement Before the
Subcommittee
on
African
Affairs”,
n.d.
Tersedia:
http://www.iccnow.org/documents/Sudan,_Chad,_and_the_Centr
al_African_Republic_The_Regional_Impact_of_the_Darfur_Crisis
.pdf (17 Juni 2014).
Sato, Jeremy B. dan Stansen, Bonnie J., “A System Dynamics Approach
to Analyzing Violence, Death, and Displacement in Darfur”, n.d.
Tersedia:
http://www.systemdynamics.org/conferences/2007/proceed/papers/S
ATO487.pdf (25 Juni 2014).
Sudan Human Security Baseline Assesment (HSBA). “Sudan – Chad
Proxy War Chronology”, n.d. Tersedia:
http://www.smallarmssurveysudan.org/fileadmin/docs/facts-figures/s
udan/darfur/sudan-chad-proxy-war/HSBA-Chad-Sudan-Proxy-War -Chronology.pdf (18 Juni 2014).
Tubiana, Jérôme., “Renouncing the Rebels: Local and Regional
Dimensions of Chad–Sudan Rapprochement”, 2011. Tersedia:
http://www.smallarmssurveysudan.org/fileadmin/docs/working-paper
s/HSBA-WP-25-Local-and-Regional-Dimensions-Chad-Sudan-Rapp
rochement.pdf (10 Juni 2014).
United Human Rights Council, “Genocide in Darfur”, n.d. Tersedia:
http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide-in-sudan.htm
(12 Mei 2014).
UNAMID, “Background – The Darfur Conflict”, n.d. Tersedia:
http://unamid.unmissions.org/Default.aspx?tabid=10998&language=e
n-US (17 April 2014).
Jurnal Analisis HI, September 20
1003
Dikara Maitri Pradipta Alkarisya
UNHCR,
“Global
Report
Chad”,
http://www.unhcr.org/539809eeb.html
2014).
2013.
Tersedia:
(diakses pada 20 Juni
UNHCR, “Registered Refugee Camps Populations Eastern Chad”, 2008.
Tersedia: http://www.unhcr.org/487dea8b4.html (25 Juni 2014).
UNHCR, “Peta penyebaran pengungsi di Afrika Tengah”. Tersedia:
http://www.unhcr.org/images/operationsMaps/country-caf.jpg
Juni 2014).
(20
United Nations Mission in Sudan (UNMIS), “UNMIS Background”, n.d.
T
e
r
s
e
d
i
a
:
http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unmis/backgro
und.shtml (19 Mei 2014)
UNAMID, “UNAMID protects displaced civilians following Darfur
violence”.
2014.
Tersedia:
http://unamid.unmissions.org/Default.aspx?tabid=11027&ctl=Detai
ls&mid=14214&ItemID=23347&language=en-US (23 Juni 2014).
Video :
Council on Foreign Relations, Darfur: Winner of 2007 News and
Documentary
Emmy
Award,
New
York.
Tersedia:
http://www.cfr.org/sudan/crisis-guide-darfur/p13129 (diakses pada
18 Juni 2014).
Resolusi PBB :
United
Nations
Security
Council,
“Resolution
1706(2006),
S/RES/1706(2006)”, 2006, paragraph 11. Tersedia:
http://www.responsibilitytoprotect.org/files/Darfur%20Resolution.pdf
(11 Mei 2014).
United Nations, “Report of the Secretary-General on the Deployment of
the African Union United Nations Hybrid Operation in Darfur”,
2007. Tersedia:
http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/2007/307/r
ev.1 (diakses pada 9 April 2014).
UNAMID, “Security Council Resolution, S/2007/307”, 5 Juni 2007”,
T
e
r
s
e
d
i
a
:
http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=S/2007/3
07/rev.1 (24 Juni 2014).
1004
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Download