sewa-menyewa dalam kuhperdata pasal i57 6 dan

advertisement
"SEWA-MENYEWA DALAM KUHPERDATA PASAL
DAN HUKUM ISLAM'
I57 6
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439lKIPdtl2002)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarj ana Syariah(S. Sy)
; ;tn
utn
Oleh:
Zuni Fatihah
r09043100011
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436rr/2015M
SEWA-MEI{YEWA DALAM KUHperdata pASAL
ts76
DAN HUKUM ISLAM
( studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
2439 wrdtr2002)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakurtas syari'ah Dan Hukurn
Unfuk Memenuhi syarat-syarat
J -Mendapatkan Gelar Sarjana Syari,atr
(S,Sy) '
Oleh
Zuni Fatihah
NIIVI: 10904310001I
Di bavrah Bimbingan
Dosen Pembimbing
196912161996031001
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQIH
PROGRAM STTIDI PERBANDINGAN IVIADZHAB
DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI,AH DAN HUKUM
UNIVBRSITAS ISLAM NEGBRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/201s M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul SEWA-MENYEWA DALAM KUHPERDATA PASAL 1576 DAN
HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 24391K/Pdtl2002)
telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada I April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S,Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh.
Jakafta, 1 April2015
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
l.
Ketua
Dr. Khamami Zada. MA
NrP. 1 9750 102200312 1001
2.
Sekretaris
Hj. Siti Hanna. S. Ag. Lc. MA
NIP. 197402162008012013
3.
Pembimbing
Dr. Asep Saepudin Jahar. MA
NrP. 1969 1 2161996031001
4. Penguji I
Dra. Afidah Wah)'uni. M.Ag
NrP. I 96804081997032002
5.
Penguji II
Nahrowi. SH. MH
NrP. 19730215199903t002
tl+
.....)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa;
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 April 2015 M
Peneliti
ABSTRAK
Zuni Fatihah (109043100011), Sewa-Menyewa dalam KUHPerdata Pasal 1576 dan Hukum
Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002). Konsentrasi
Perbandingan Fiqih Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sewa-menyewa merupakan salah satu bagian terpenting dari kebutuhan ekonomi dan
sosial manusia karena dapat menunjang taraf kehidupan. Namun kadangkala transaksi sewamenyewa menimbulkan persengketaan apabila tidak dilakukan secara transparansi oleh kedua
belah pihak, sebagaimana yang terjadi dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor
2439/K/Pdt/2002 yang mana pihak penyewa merasa dirugikan dengan adanya surat eksekusi
pengosongan dari Pengadilan Negeri Bogor atas persengketaan tanah yang terjadi antara pihak
yang menyewakan dan pihak ketiga, sedangkan pihak penyewa tidak diikutsertakan dalam
persengketaan tersebut.
Pada penelitian ini, rumusan masalah yang diteliti adalah konsep sewa-menyewa dalam
KUHPerdata dan Hukum Islam serta landasan Hukum yang melatarbelakangi putusnya sewamenyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis-komparatif dengan menggunakan studi
pustaka sebagai acuanya serta putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002.
Dari penelitian ini diketahui bahwa sewa-menyewa dalam KUHPerdata lebih condong
pada perlindungan pihak penyewa atas persengketaan yang terjadi akibat pengalihan hak milik
baik berupa jual beli, hibah, tukar menukar dan waris yang dilakukan oleh pihak yang
menyewakan kepada pihak ketiga. Dalam hal pengalihan hak milik / penjualan barang yang
disewa kepada pihak ketiga yang mana masa sewa belum berakhir maka ditetapkan bahwa sewamenyewa tidak terputus (Koop Brekt Geen Hurr) begitupun dengan meninggalnya salah satu
pihak maka sewa-menyewa dapat digantikan oleh ahli waris. Sedangkan dalam Hukum Islam,
sewa-menyewa dihukumi fasakh apabila terdapat udzur baik dari pihak yang menyewakan, pihak
penyewa ataupun barang yang disewakan, seperti halnya udzur yang memaksa pihak yan
menyewakan untuk menjual barang yang disewakan dikarenakan terlilit hutang yang sudah jatuh
tempo baik disertai dengan pengakuan atas kepemilikan hutang maupun tidak oleh pihak yang
menyewakan, maka sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan dan penyewa terputus /
fasakh dengan dijualnya barang yang disewakan.
Kata kunci : Sewa-menyewa, Koop Brekt Geen Hurr, Ijārah, Fasakhnya Ijārah, Udzur/Alasan,
KUHPerdata, Hukum Islam, Putusan Mahkamah Agung No 2439/K/Pdt/2002.
Pembimbing: Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
i
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Berikut ini adalah pedoman transliterasi yang diberlakukan berdasarkan
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/b/u/1987.
1. Konsonan
No
Arab
Latin
No
Arab
Latin
No
Arab
Latin
11
‫ز‬
z
21
‫ق‬
q
Tidak
1
‫أ‬
dilamban
gkan
2
‫ب‬
b
12
‫س‬
s
22
‫ك‬
k
3
‫ت‬
t
13
‫ش‬
sy
23
‫ل‬
l
4
‫ث‬
ṡ
14
‫ص‬
ṣ
24
‫م‬
m
5
‫ج‬
J
15
‫ض‬
ḍ
25
‫ن‬
n
6
‫ح‬
ḥ
16
‫ط‬
ṭ
26
‫و‬
w
7
‫خ‬
Kh
17
‫ظ‬
ẓ
27
‫ه‬
h
8
‫د‬
d
18
‫ع‬
ʻ
28
‫ء‬
ʹ
9
‫ذ‬
ż
19
‫غ‬
g
29
‫ي‬
y
10
‫ر‬
r
20
‫ف‬
f
2. Vokal Pendek
4. Diftong
‫ــــَــــ‬
= a
َ‫كَتَب‬
kataba
ْ‫ــــَي‬
= ai
َ‫كَيْف‬
kaifa
‫ــــِــــ‬
= i
َ‫سُئِل‬
suʹ ila
ْ‫ــــَو‬
= au
َ‫حوْل‬
َ
ḥ aula
‫ــــُــــ‬
= u
ُ‫يَذْهَب‬
yażhabu
3. Vokal Panjang
‫ــــَــــا‬
= ā
َ‫قَال‬
qāla
‫ = ــــِــــي‬ī
َ‫قِيْل‬
qīla
‫ = ــــُــــو‬ū
ُ‫يَ ُقوْل‬
yaqūlu
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah, dzat yang Maha Agung dan Esa yang telah
memberikan
kemudahan serta karuniaNya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini sebagai
kewajiban akademik. Lantunan sholawat dan salam tetap terhaturkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, semoga syafaatnya selalu terlimpahkan
kepada kita semua sebagai umatnya pada hari akhir kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah
memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penuh rasa ta’zhim
dan takrim penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang
dengan kesabaran dan ketelatenannya membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. selaku Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum, beserta Ibu Siti Hanna, S,Ag., Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag dan bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
yang telah memberikan nasihat, arahan, bimbingan serta petunjuk selama perkuliahan dan
penulisan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
iii
4. Segenap Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas dan sabar mengajarkan, membimbing, serta
mendidik penulis dalam berbagai disiplin ilmu. Semoga setiap tetesan keringat bapak ibu
dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat.
5. Seluruh Staff Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bekerjasama dan memberikan
kemudahan bagi penulis dalam masa pembelajaran kuliah dan pengumpulan materi
skripsi.
6. Kedua orang tua penulis, bapak Karno Hadi dan ibu Artijah yang untaian do’anya tidak
pernah terputus disetiap sujudnya serta pengorbanan yang dipenuhi dengan cucuran
keringat dan limpahan kasih sayangnya. Juga teruntuk adikku Atika, bekna, manur,
bektri, pakdeji, mbaklis, mbok dan pae atas semua perhatian, nasihat dan dukunganya
baik secara moriil ataupun materiil.
7. Teristimewa buat acak Shofi L. Syarifuddin yang merubah kejenuhan menjadi
kebahagian, kesedihan menjadi keceriaan, terimakasih atas ketulusan dan semangatmu
untuk memotifasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan PMH angkatan 2009, ayat, al, dely, rijal, dadan, uday,
Firman, hamzah, olid, syukur, nabila, mas inun. Terimakasih telah mengisi kekosongan
bangku kuliah dengan canda tawa dan motivasi.
9. Teman-teman IMAGE (Ikatan Mahasiswa Gresik), HAMAM (Himpunan Alumni
Mambaus Sholihin) , dan WASIAT, cak Nailul, Ichil, mbak Inay, Wahyu, Ucup, Hikam,
mas’ad, Marom, dan semuanya yang tak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas
pengetahuan, pengalaman, dan kebersamaan yang telah dibagi bersama-sama.
iv
10. Bapak Dr. Agus Sholeh, M.Ed dan Ibu Drs. Yeti Munjiawati dan teman-teman ALINAYAH yang selalu memberi pelajaran dan pengalaman dalam melalui proses
pembelajaran.
11. Teman-teman kosan ilma, ayu, kolek, intuk, mbak luk, mbak sun, mbak is terimakasih
atas motivasi dan dorongannya untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, tiada kata ucapan syukur yang indah dan pantas dipanjatkan kecuali kepada
Sang Maha Besar Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 1 April 2015 M
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................
HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................................................
ABSTRAKSI .......................................................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ iii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
D. Studi Pustaka.................................................................................................... 8
E. Kerangka Teori ................................................................................................ 9
F.Metodologi Penelitian......................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 14
BAB II : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPerdata
A. Pengertian Sewa-menyewa .............................................................................. 16
B. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa ......................... 19
C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa ........................................... 23
D. Risiko Atas Musnahnya Barang....................................................................... 25
E. Bukti Pembayaran Uang Sewa......................................................................... 27
F.Mempersewakan Lagi (Onderhuur) ................................................................... 29
G. Berakhirnya Sewa-menyewa ........................................................................... 31
H. Ganti Rugi ........................................................................................................ 34
I. Jual Beli tidak Memutus Sewa (Koop Brekt Geen Hurr) ................................... 38
vi
BAB III : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Ijarah .............................................................................................. 44
B. Dasar Hukum Ijarah ......................................................................................... 47
C. Rukun dan Syarat Ijarah................................................................................... 49
D. Sifat Ijarah dan Hukumnya .............................................................................. 52
E. Macam-macam Ijarah ...................................................................................... 53
F. Menyewakan Barang Sewaan .......................................................................... 54
G. Perihal Resiko .................................................................................................. 55
H. Perselisihan Antara Para Pihak dalam Ijarah ................................................... 56
I. Pembatalan dan Berakhirnya Akad Ijarah ....................................................... 57
BAB VI : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2439 K/Pdt/2002
PRESPEKTIF HUKUM PERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM.
A. Permasalahan Kasus......................................................................................... 62
B. Dasar Hukum Putusan Hakim ......................................................................... 64
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 75
LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki banyak kebutuhan.
Untuk memenuhinya manusia melakukan kegiatan yang dapat memperoleh
penghasilan. Perilaku manusia yang berusaha mendapatkan barang ekonomi
untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas guna mencapai
kemakmuran adalah tanda bahwa manusia adalah makhluk ekonomi.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan, manusia
tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain sehingga
manusia membutuhkan suatu kelompok yang bisa diajak berkomunikasi dan
bekerja sama untuk menghasilkan penghasilan. Ini merupakan salah satu
kodrat manusia sebagai makhluk social sekaligus makhluk ekonomi.
Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan
kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat.
Masyarakat semakin banyak mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian
dengan anggota masyarakat lainnya, sehingga kemudian timbul bermacammacam perjanjian. Suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat sah perjanjian
yakni kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal agar
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya.1 Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
1
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), h.1.
1
2
perikatan.2 Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi
ada juga perikatan yang lahir dalam undang-undang.3 Salah satu contoh adalah
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa menyewa banyak digunakan oleh
para pihak pada umumnya, karena dengan adanya perjanjian sewa-menyewa
ini dapat membantu para pihak, baik itu dari pihak penyewa maupun yang
menyewakan akan saling mendapatkan keuntungan. Penyewa memperoleh
keuntungan dengan kenikmatan benda dari benda yang di sewa, dan yang
menyewakan akan memperoleh keuntungan dari harga sewa yang telah
diberikan oleh pihak penyewa.
Secara yuridis, ketentuan sewa-menyewa telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu dalam buku ketiga bab
VII mulai dari pasal 1548 sampai pasal 1600 KUH Perdata.4 Dalam pasal
1548 KUHPerdata ditentukan bahwa sewa-menyewa adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu
dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini
disanggupi pembayarannya.5 Dengan demikian, unsur sewa-menyewa dalam
pasal 1548 KUHPerdata adalah adanya pihak pemilik barang yang merupakan
pihak pertama dan pihak penyewa sebagai pihak kedua yang menikmati
manfaat barang yang disewakan, adanya konsensual antara pemilik barang dan
2
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h.42.
3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), h.1.
4
Salim. H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), h. 58.
5
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradya Paramita, 2009), h.381.
3
penyewa, adanya barang yang disewakan baik berupa benda bergerak ataupun
benda tidak bergerak, adanya kewajiban dan hak antara pemilik barang dan
pihak penyewa, kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya
untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang kedua
ini adalah membayar harga sewa.6 Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki
seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaannya.
Dengan
demikian
maka
penyerahan
hanya
bersifat
menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Beda halnya
dengan seorang diserahi suatu barang untuk dipakaiannya tanpa kewajiban
membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu akad perjanjian
pinjam-pakai.
Menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah persetujuan antara
pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan
atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk
dinikmati sepenuhnya.7
Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang
adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk
memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran
uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.8
Sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat
6
Salim, H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), h.59.
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua, h.19.
8
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu
(Bandung: Sumur, 1981), h. 190.
4
perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan
perjanjian sewa menyewa ini kepemilikan terhadap objek sewa tersebut
tidaklah beralih kepada penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari yang
menyewakan. Sewa-menyewa tidak memindahkan hak milik dari yang
menyewakan kepada penyewa. Karena selama berlangsungnya masa
persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari
segala gangguan dan tuntuta pihak ketiga atas benda atau barang yang
diewakan agar pihak penyewa dapat menikmati barang yang disewanya
dengan bebas selama massa berlangsung.9
Namun dalam realita aplikasi kehidupan perihal sewa-menyewa benda
tidak bergerak semacam rumah, apartemen, tanah, ruko dan lainnya tidak
berjalan mulus tanpa permasalahan, masih banyak permasalahan yang terjadi
dan menimbulkan perselisihan yang berujung pada meja hijau. Seperti halnya
dalam kasus perkara10 Erwan Djaya Dharmadhi dan Foet Tjin Lan sebagai
pemohon kasasi dengan Sherly Indriati dan Patmajani Tanadjana alias Tan Tjit
Nio (Tan Pat Nio) sebagai termohon kasasi. Perkara ini dimulai dengan
adanya kiriman surat dari Pengadilan Negeri Bogor yang berisi perintah
eksekusi pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara
Nomor
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. Jo Nomor 112/Pdt/G/1992/PN.Bgr., dimana tanah
dan bangunan yang disewa para Pelawan dari Terlawan II termasuk
didalamya. Pemohon merasa ini tidak adil karena dalam jangka masa
persewaan baik pada masa orang tuanya dulu sampai sekarang tidak pernah
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua,h.19.
10
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2349/K/Pdt/2002.
5
terjadi konflik antara Pemohon dan Termohon dan belum pernah diputus
sampai saat ini, bahkan Pemohon selalu menunaikan kewajibannya untuk
membayar persewaan rumah yang ditempati. Terlebih dalam penyelesaian
persengketaan tanah antar Termohon I dan Termohon II juga pihak Pemohon
tidak dilibatkan.
Dalam kasus perkara tersebut apabila ditinjau dari kacamata
KUHPerdata dalam pasal 1576 maka hubungan sewa-menyewa tidak akan
putus meski objek sewa telah dialihkan kepada pihak lain/ketiga11 atau dalam
istilah hukum dikenal dengan asas “koop breek geen huur” sehingga
Pemohon harus mendapat perlindungan hukum.12
Namun antara penyelesaian kasus diatas dalam KUHPerdata pasal
1576 dan hukum Islam terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam hukum
Islam dijelaskan apabila objek sewa telah dialihkan kepada orang lain
sedangkan masa sewa belum habis maka persewaan tersebut terputus dengan
dalih tersewa tidak berhak mendapatkan uang sewa dari penyewa atas
pemakaiannya terhadap objek sewa.13 Namun maksud dialihkan disini adalah
pengalihan atas manfaat barang yang disewa bukan pengalihan atas hak milik
barang yang disewa.
Adapun untuk pengalihan hak milik barang yang disewa sebelum masa
sewa berakhir nampaknya hukum Islam mengaitkanya dengan pendapat
11
R. Subekti dan R. Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradya Paramita, 2009).
12
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h.241.
13
Ibnu Qudamah, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, (Jakarta : Pustaka Azzam,
2010), h.410.
6
Hanafiyah yang mengatakan bahwa sifat ijarah adalah lāzim atau mengikat
kedua belah pihak namun bisa dibatalkan secara sepihak apabila ada udzur.14
Sehingga apabila ada udzur yang memaksa mu‟jir untuk menjual barang yang
disewakan maka akad ijarah terputus.15
Berdasarkan pada latar belakang pemikiran dan kasus perkara tersebut,
maka penulis ingin mengajukannya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai
upaya untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai sewa-menyewa
dalam KUHPerdata pasal 1576 dan hukum Islam (Studi Putusan Nomor 2439
K/Pdt/2002).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dan untuk lebih memfokuskan
pembahasan agar tidak terlampau jauh dan melewati zona pembahasan judul
yang telah penulis kemukakan, maka penulis membatasi pembahasan masalah
dalam lingkup sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam (Studi
Putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002).
Adapun perumusan masalah dari judul skripsi ini adalah:
1. Bagaimana konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam?
2. Bagaimana landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya sewamenyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam?
14
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2003), h.235.
15
Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, ( Kairo : Dar AlHadist, 2004), h.122.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah yang
telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan
Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya
sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam.
2. Manfaat penelitian
Terkait dengan manfaat penelitian, maka paling tidak terdapat tiga manfaat
yang hendak dicapai dari penelitian ini:
a. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan
syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syari‟ah di Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat bagi institusi, penelitian ini salah satu sumbangsih pemikiran
bagi dunia akademisi, khususnya dunia akademik diranah lingkungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi masyarakat
akan pentingnya konsep sewa menyewa yang tidak pernah lengkang
dalam
aplikasi
kehidupan
sehari-hari
sehingga
menumbuhkan
pengetahuan yang mendasar dan memperkecil konflik antar pihak
yang merasa dirugikan dan diuntungkan.
8
D. Studi Pustaka
Untuk lebih memudahkan penulis dalam penyusunan skripsi, maka penulis
cantumkan beberapa referensi sebagai pendukung, diantaranya:
Sewa-menyewa
lahan
untuk
kepentingan
maksiat
(studi
perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif) oleh Nur Rofiq
(108043100009) Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas syari‟ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini penulis
membandingkan antara hukum Islam dan hukum positif terkait penyewaan
lahan untuk kepentingan maksiat. Dalam skripsi tersebut dijelaskan
bahwasanya penyewaan terjadi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak
namun pada realisasinya tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang ada dalam
hukum Islam dan hukum positif. Dengan demikian, komponen isi skripsi ini
jauh berbeda dengan apa yang dibahas oleh penulis dalam skripsinya.
Perjanjian
sewa
kendaraan
antara
PT.MEDCO
POWER
INDONESIA dengan PT. PUSTAKA PRIMA TRANSPORT dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif oleh Citra Mayasari
(202046101224) Konsentrasi Perbankan Syari‟ah Program Studi Muamalah
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam skripsi ini dibahas pandangan antar hukum Islam dan hukum positif
mengenai perjanjian sewa kendaraan atas dua belah pihak instansi, yang mana
dalam kacamata hukum Islam perjanjian sewa antar instansi memiliki cacat
hukum dalam hal pengenaan denda yang diakui sebagai pendapatan perusahan
9
padahal di dalam hukum Islam denda merupakan bentuk penebusan kesalahan
dalam melakukan perbuatan dalam syara‟. Sedangkan dalam kacamata hukum
positif, permasalahan yang ditimbulkan adalah adanya kerugian yang
ditanggung oleh pihak kedua atas barang yang disewa. Karena dalam KUH
Perdata pasal 1533 dijelaskan bahwa resiko mengenai barang sewaan
ditanggung oleh pemilik barang yakni pihak pertama. Dengan demikian
proporsi
pembahasan
yang
dibahas
mempunyai
kemiripan
dalam
perbandingan antara dua hukum, hukum Islam dan hukum positif, namun titik
tekanya tidak sama.
E. Kerangka Teori
Sewa-menyewa dalam hukum Islam terdapat berbagai dikenal
dengan istilah ijarah yang berasal dari bahasa arab “Ajara”16 yang bermakna
menyewakan.17 Sedangkan menurut terminologi ijarah merupakan suatu akad
atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan
diperbolehkan dengan imbalan tertentu.18 Terdapat beberapa pandangan
Ulama mengenai definisi ijarah, diantaranya Hanafiyah mengatakan ijarah
merupakan transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan
menurut Malikiyyah adalah pemilikan manfaat dengan suatu imbalan terhadap
suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu.19 Hanabilah mengatakan ijarah
16
Kata Ijarah mempunyai sinonim kata “Akraa” yang berarti menyewakan, „athohu
ajran” yang bermakna ia memberinya upah, atau atsabahu yang bermakna memberinya pahala.
17
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h.315.
18
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akbar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar,
juz 1, (Surabaya : Dar Al-„ilmi).
19
Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2005), h.120.
10
adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafadz ijarah dan kara‟
dan semacamnya.20Dan menurut Syafi‟iyyah adalah suatu akad atas manfaat
yang dimaaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan
imbalan tertentu.21 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwasanya inti dari ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan,
sehingga obyek ijarah adalah manfaat atas suatu barang.22
Kemudian berakhirnya/batalnya akad ijarah dikarenakan beberapa hal
diantaranya, meninggalnya salah satu pihak (menurut Madzhab Hanafi),
terjadi kerusakan pada barang yang disewa, berakhirnya masa sewa, iqolah
dan adanya udzur dari salah satu pihak (menurut Hanafiyah)23
Menurut Abu Al-Qasim dalam Al-Mughni, apabila ada suatu
permasalahan pemilik rumah memindahtangankan rumah sewaan kepada
orang ketiga sebelum masa sewa dengan pihak kedua berakhir maka akad
ijarah antara tersewa dan penyewa pertama putus dengan artian si tersewa
tidak berhak menerima uang sewaan atas penempatan rumah dari penyewa.24
Dan juga dijelaskan adanya larangan mentasharrufkan barang sewaan yang
telah disewakan sebelum masa sewa berakhir.25
Dalam transaksi perikatan jual-beli atau sewa-menyewa, diadakan oleh
kedua belah pihak (penjual dan pembeli/ mu‟jir dan musta‟jir) secara tertulis
20
Syamsuddin bin qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, (t.t :Dar Al-Fikr, t.t), juz 3,
h.301.
21
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, (Surabaya : Dar Al-Ilmi, t.t), Juz 1, h. 249.
22
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317.
23
Isnawati Rais dan hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.168.
24
Ibnu Qudamah, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, (Jakarta : Pustaka Azzam,
2010), h.412.
25
Ibnu qudamah; penerjemah, Muhyiddin dkk, Al-Mughni, h.410.
11
atau dengan dua orang saksi. Jual beli atau sewa-menyewa dapat dilakukan
secara tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayaranya ditangguhkan.26
Adapun dalil Al-Qur‟an yang berkenaan dengan perikatan jual beli secara
tidak tunai adalah surat Al-Baqorah ayat 282 yang berbunyi:
  
            
 
            
   
   
 
 
              
  
     
       
        

Artinya:“Hai
orang-orang
yang
beriman,
apabila
kamu
bermu'amalah27 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2006),
h.145.
27
Maksud bermuamalah yakni seperti jual beli, hutang piutang atau sewa-menyewa dan
sebagainya.
12
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jenuh
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya.”(Q.S.Al-Baqorah:282).
Pengertian yang terkandung dalam ayat di atas, tidak terbatas pada jual
beli saja, tetapi juga utang piutang, sewa-menyewa dan bentuk hubungan
hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan
kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam
perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa
diantara pihak-pihak yang berkepentingan.28
F. Metodologi Penelitian
Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang ditulis adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Mengenai penelitian ini,
penulis akan menggunakan metode pendekatan dengan langkah pertama
mendefiniskan serta membandingkan antara konsep sewa-menyewa dalam
KUHPerdata dan Hukum Islam, kemudian langkah kedua menganalisis
kesesuaian konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam
28
h.146.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2006),
13
Serta menganalisis studi kasus putusan Mahkamah Agung tentang sewa
menyewa dalam putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang terkait
dengan sewa-menyewa baik dalam proses pelaksanaan sewa-menyewa
sampai berakhirnya sewa-menyewa yang terangkum dalam buku III KUH
Perdata dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2439 K/Pdt/2002 tentang
sewa menyewa, karena penelitian ini mencoba mengkomparasikan dengan
hukum Islam, maka penulis juga menggunakan sumber data hukum Islam
terkait sewa-menyewa, seperti Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, Fiqh
Sunnah karangan Sayyid Sabiq, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan metode dokumenter yang berupa
survey kepustakaan dan studi literature. Yakni pengumpulan data yang
berupa sejumlah literature yang diperoleh dari perpustakaan dan tempat
lain kemudian dipelajari dan ditelaah sehingga menghasilkan sebuah
analisis yang menjadi jawaban dari permasalahan yang menjadi objek
hukum.
4. Teknik Analisis Data
Data-data
yang
telah
terkumpul
kemudian
dianalisis
dengan
menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif- analisiskomparatif, yakni penulis mencoba mendiskripsikan konsep sewamenyewa dalam dua hukum tersebut kemudian menganalisis kesesuaian
14
konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam Serta
menganalisis putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam
putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab,
dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan
untuk memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu
dalam
penulisan
skripsi
ini
sehingga
mendapatkan
gambaran
dan
penjelasanyang utuh. Lebih jelaasnya, gambaran sistematika pembahasan
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Pada bab I yang merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi
pustaka, metode penelitian, kerangka teori serta sistematika penulisan.
Pada bab II pembahasan yang dibahas meliputi konsep sewa-menyewa dalam
KUH Perdata yang terdiri dari tinjauan KUH Perdata tentang pengertian sewamenyewa, subyek dan obyek sewa-menyewa, hak dan kewajiban pihak yang
menyewakan dan si penyewa, bentuk dan substansi sewa-menyewa, resiko,
serta akibat berakhirnya sewa-menyewa.
15
Pada bab III membahas tentang konsep sewa-menyewa dalam pandangan
hukum Islam. Pembahasan pada bab 3 ini akan memaparkan tinjauan hukum
Islam terkait definisi sewa- menyewa, dasar hukum sewa-menyewa, syarat dan
rukun sewa-menyewa dan sebab yang mengakibatkan berakhir atau putusnya
sewa-menyewa itu sendiri.
Pada bab IV ini akan dipaparkan sebuah analisis penulis terkait konsep sewamenyewa dalam KUH Perdata yang dianalisis dari kacamata hukum Islam dan
memaparkan kesesuaian dan tidaknya dengan hukum Islam beserta analisis
putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam putusan Nomor
2439 K/Pdt/2002.
Pada bab V ini merupakan penutup yang meliputi ringkasan jawaban atas
perumusan masalah serta saran sebagai awal dari perbaikan di masa
mendatang.
BAB II
KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPERDATA
A. Pengertian Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur
dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire. Sewa-menyewa
merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Menurut Kamus Besar
Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan
menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.1
Dalam KUHPerdata pasal 1548 dijelaskan bahwasanya sewa-menyewa
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang
selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.2
Sedangkan
menurut
Yahya
Harahap,
sewa-menyewa
adalah
persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak
penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.3
Menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu
penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk memulai dan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.IV, ( Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 338.
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pradya Paramita, 2009), h. 381.
3
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian ( Bandung: Penerbit Alumni, 1986),
h. 220.
16
17
memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh
pemakai kepada pemilik.4
Pengertian lainya menyebutkan bahwasanya perjanjian sewa-menyewa
adalah persetujuan untuk memakai sementara suatu benda, baik benda
bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu. 5
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian antara dua pihak yang
menimbulkan persetujuan atas barang dan harga yang diikuti dengan jangka
waktu tertentu. Jadi inti dari sewa-menyewa disini adalah barang dan harga.
Maksud barang disini merupakan harta kekayaan yang berupa benda material,
baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Dengan syarat barang yang
disewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.6 Menurut Hofmann dan De Burger,
barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja. Sedangkan
menurut Asser, Van Brekel dan Vollmar, tidak hanya barang yang bertubuh
saja yang dapat dijadikan objek sewa akan tetapi hak-hak juga dapat disewa,
pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember
1992 yang menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk
memburu hewan (jachtrecht).7
4
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu
(Bandung: Sumur, 1981), h. 190.
5
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 58.
6
Ibid., h. 59.
7
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(Bandung: Sumur, 1981), h.50.
18
Maksud harga di sini merupakan biaya sewa yang berupa imbalan atas
pemakaian barang yang disewa. Mengenai uang sewa, harus ditentukan
terlebih dahulu oleh pihak yang menyewakan kemudian disetujui oleh pihak
penyewa.Menurut Van Brekel, harga sewa dapat berwujud barang-barang lain
selain uang, namun barang-barang tersebut harus berupa barang-barang
bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga
sewa dibayar dengan suatu jasa. Namun pendapat tersebut bertentangan
dengan pendapat Subekti yang mengatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa
tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang
ataupun jasa.8
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa adalah:9
1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan sewa-menyewa
tersebut.
2. Adanya unsur pokok sewa menyewa yang berupa barang dan harga.
3. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan
berkewajiban memberikan kenikmatan atas suatu kebendaan; sedangkan
pihak lainnya berhak atas mendapatkan/menerima kenikmatan atas suatu
kebendaan dan berkewajiban menyerahkan suatu pembayaran.
4. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya,
begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi
pihak lainnya.
8
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), h.91.
Hasanuddin Rahman, Contact Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.29-30.
9
19
5. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu.
B. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan dan Penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang
ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan diatur dalam pasal
1550 KUH Perdata yang terdiri dari tiga macam, yang mana kewajiban
tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan kepada pihak yang
menyewakan sekalipun tidak ditentukan dalam persetujuan. Ketiga kewajiban
tersebut diantaranya adalah:10
1. Kewajiban menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa.
Mengenai penyerahan barang di sini adalah penyerahan secara nyata
sehingga pihak yang menyewakan harus melakukan tindakan pengosongan
dan penentuan terhadap barang yang disewakan. Dalam penyerahan
barang ini pihak yang yang menyewakan tidak bisa dituntut untuk
menyerahkan barang secara yuridis karena pihak penyewa tidak berstatus
sebagai
pemilik sehingga penyerahan barang dilakukan dibawah
penguasaan si penyewa.
2. Kewajiban memelihara barang yang disewakan selama waktu yang
diperjanjikan, sehingga barang itu dapat dipakai dan dinikmati sesuai hajat
penyewa.
Mengenai kewajiban ini, pihak yang menyewakan wajib melakukan
perbaikan atau reparasi dan pemeliharaan barang yang disewakan, apabila
waktu perjanjian sewa-menyewa masih berjalan sehingga pihak penyewa
10
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.30.
20
dapat memakai dan menikmati barang yang disewakan sesuai dengan
kebutuhanya. Adapun mengenai reparasi yang dilakukan baik oleh pihak
yang menyewakan atau pihak penyewa ditentukan dalam pasal 1555 ayat 2
KUH Perdata bahwa reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian
normal dibebankan kepada pihak penyewa sedangkan reparasi dan
pemeliharaan berat dibebankan kepada pihak yang menyewakan.
Dalam
melakukan
reparasi
dan
pemeliharaan
oleh
pihak
yang
menyewakan, tidak diperkenankan menggangu ketertiban dan kenyamanan
pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa sehingga apabila
pelaksanaan reparasi tidak bisa ditangguhkan sampai akhir masa kontrak,
maka pihak yang menyewakan bisa melakukan reparasi selama tidak
melebihi jangka waktu 40 hari. Namun apabila melebihi jangka waktu 40
hari, maka pihak yang menyewakan harus menggurangi harga sewa
sebagai ganti rugi akibat terganggunya pemakaian.
3. Kewajiban memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang
yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
Dalam hal kewajiban ketiga pihak yang menyewakan ini, hakikat
kenikamatan yang tentram ini ditentukan dalam pasal 1552, 1554, 1557 dan
1558 KUH Perdata, antara lain:
1. Pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas adanya cacat barang
yang disewakan, apabila cacat tersebut menghalangi pemakaian barang.
Yang dimaksud cacat di sini adalah tidak semata-mata pada konstruksi
atau keadaan barang namun pada hal atau keadaan yang dapat
menghalangi penggunaan dan penikmatan. Jadi tidak terpaku pada mutu
21
barang yang tidak berkualitas. Kemudian sampai manakah batasan
gangguan pemakaian barang bisa disebut cacat. Menurut M. Yahya
Harahap11, batasan gangguan pemakaian barang dianggap cacat apabila
sesuatu tersebut menimbulkan gangguan atas pemakaian seluruh barang.
Apabila terganggunya pemakaian hanya sebagian saja maka belum
dianggap sebagai cacat yang menghalangi pemakaian. Adapun ukuran
yang tepat untuk menilai cacat pada barang yang disewa adalah bertitik
tolak pada pemakaian yang normal, dalam artian ditinjau dalam segi
pemakaian yang wajar, apakah penyewa benar-benar
terganggu.
Karenanya, sesuatu baru dianggap cacat yang menghalangi pemakaian
barang yang disewa, apabila sesuatu keadaan itu sungguh-sungguh serius
menghalangi pemakaian dan penggunaan barang yang disewa.
2. Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan merubah bangunan dan
susunan barang yang disewa selama masa sewa masih berlangsung.
Dalam permasalahan adanya gangguan dari pihak ketiga, tidak
semuanya dibebankan kepada pihak yang menyewakan akan tetapi kita lihat
dulu gangguan yang muncul diakibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya
gangguan pihak ketiga dibedakan menjadi dua, yakni gangguan atas dasar hak
(Trouble de droit) dan gangguan atas dasar kenyataan (trouble de fait). Pada
gangguan pihak ketiga yang didasarkan pada hak maka sudah sepatutnya
pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas gangguan tersebut. Beda
halnya dengan gangguan pihak ketiga yang bersifat nyata seperti halnya
perbuatan melawan hukum (contoh pelemparan atas rumah sewa oleh pihak
11
h.226.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986),
22
ketiga), maka pihak penyewa yang menanggung semua gangguan tersebut
sehingga bisa langsung menuntut pihak ketiga. Adapun gangguan pihak ketiga
didasarkan atas hak diatur dalam pasal 1557 dan 1558 KUHPerdata yang
penjelasannya di bawah.
1. Gangguan pihak ketiga yang berupa tuntutan atas hak milik mutlak atas
barang yang disewakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka penyewa dapat
menuntut pengurangan harga sewa secara berimbang asalkan ada
pemberitahuan sebelumnya terkait gangguan yang akan terjadi oleh pihak
ketiga.
2. Gangguan pihak ketiga yang berupa gugatan atas penyewa untuk
mengosongkan barang yang disewa baik sebagian maupun seluruhnya dan
gugatan atas penggunaan hak pelarangan
barang yang disewa. Maka
dalam hal ini pihak penyewa harus memberitahukan kepada pihak yang
menyewakan melalui juru sita secara resmi, dan dalam hal ini penyewa
dapat meminta jaminan kepada pihak yang menyewakan agar tidak
dirugikan.
Kemudian untuk hak penyewa adalah menerima barang yang
disewakan dalam keadaan baik. Sedangkan untuk kewajiban pihak penyewa di
atur dalam pasal 1560 KUH Perdata disebutkan bahwa si penyewa harus
menepati kewajiban utama sebagai berikut:12
1. Untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak-rumah yang
baik, artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaan
sendiri.
12
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.31.
23
2. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan.
3. Penyewa wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa
penyewaan. Kecuali apabila si penyewa bisa membuktikan bahwa
kerusakan itu tidak disebabkan karena kesalahannya, tetapi di luar
kesalahannya.
4. Mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada saat
berakhirnya perjanjian sewa.13
Selain kewajiban-kewajiban tersebut diatas, si penyewa juga masih
diberikan tanggung jawab. Yang antara lain disebutkan dalam pasal 1564,
pasal 1565, dan pasal 1566 KUH Perdata.
Si penyewa bertanggung jawab untuk segala kerusakan yang
diterbitkan pada barang yang di sewa selama waktu sewa, kecuali jika dia
membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya (Pasal 1564).
Namun, ia itu tidak bertanggung jawab untuk kebakaran kecuali jika pihak
yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan
si penyewa (Pasal 1565).
Si penyewa adalah bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan
kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya
serumah, atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya (pasal
1566) .
13
h.231.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986),
24
C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-Menyewa
Meskipun sewa-menyewa adalah perjanjian konsensual, namun bentuk
perjanjian sewa-menyewa dalam KUH Perdata dijelaskan dalam pasal 1570
perihal perjanjian tertulis dan dalam pasal 1571 perihal perjanjian tidak tertulis
(lisan) beserta akibat hukumnya. Apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa
dilakukan dengan tertulis, maka sewa berakhir dengan demi hukum (secara
otomatis), apabila waktu yang ditentukan telah habis, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberitahuan pemberhentian.14 Namun apabila pihak penyewa tetap
menguasai barang yang disewa setelah habisnya masa sewa dan pihak yang
menyewakan membiarkannya tanpa ada perlawanan, maka secara otomatis
terjadi sewa baru yang mana akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal
persewaan lisan.15
Sedangkan untuk perjanjian sewa-menyewa tidak tertulis (lisan), maka
sewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, kecuali pihak yang
menyewakan hendak menghentikan sewanya dengan cara pemberitahuan
sebelumnya dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut
kebisaaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan seperti itu sebelumnya
dari pihak yang menyewakan, maka persewaan tersebut dianggap telah
diperpanjang untuk waktu yang sama.16 Namun apabila pihak penyewa tetap
menikmati barang persewaan meski sudah ada pemberitahuan sebelumnya
dari pihak yang menyewakan untuk menghentikan sewanya maka pihak
14
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta:
Pradya Paramita, 2009), h.385.
15
Pasal 1573 KUH Perdata.
16
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.385.
25
penyewa tidak bisa memajukan penyewaan ulang secara diam-diam.17
Dalam bentuk sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik
dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para
pihak, dan atau notaris. Adapun substansi perjanjian sewa menyewa minimal
memuat hal-hal sebagai berikut :18
1. Tanggal dibuatnya perjanjian sewa menyewa
2. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa
menyewa.
3. Objek yang disewakan.
4. Jangka waktu sewa.
5. Besarnya uang sewa.
6. Hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut.
7. Dapat juga ditambahkan mengenai berakhirnya kontrak dan denda.
D. Risiko Atas Musnahnya Barang
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan
resicoleer (ajaran tentang resiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu
sesorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada suatu kejadian di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek
perjanjian. ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht).
Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian timbal balik dan perjanjian
17
Pasal 1572 KUH Perdata.
Salim H.S, Hukum kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), h.59-60.
18
26
sepihak.19
Dalam perjanjian sewa-menyewa, barang berada pada pihak penyewa.
Namun persoalanya bagaimana apabila barang sewaan tersebut hancur atau
musnah dalam jangka waktu massa perjanjian sewa masih berlangsung yang
tidak disebabkan oleh pihak penyewa. Dalam masalah terdapat ketentuan yang
tercantum dalam dalam pasal 1553 KUH Perdata, yang mana musnah atas
barang sewaan dibagi menjadi dua macam, yakni musnah secara keseluruhan
dan musnah sebagian dari objek sewa. Adapun ketentuanya adalah:
1. Apabila barang yang disewakan oleh
penyewa itu musnah secara
keseluruhan di luar kesalahanya pada masa sewa, perjanjian sewamenyewa itu gugur demi hukum dan yang menanggung resiko atas
musnahnya barang tersebut adalah pihak yang menyewakan. Artinya pihak
yang menyewakan yang akan memperbaiki dan menanggung segala
kerugiannya.20Namun menurut Yahya Harahap, resiko kerugian dibagi dua
antara pihak yang menyewakan dan pihak si penyewa. Setelah musnahnya
seluruh barang, pihak yang menyewakan tidak diperkenankan lagi
menuntut pembayaran uang sewa, begitupun sebaliknya, si penyewa tidak
dapat menuntut ganti rugi maupun penggantian barang. Perlu di catat
bahwasanya kemusnahan barang di sini adalah kemusnahan akibat
peristiwa overmacht, atau kejadian tiba-tiba yang tak terhindarkan dan
musnahnya bukan karena perbuatan pihak yang menyewakan, si penyewa
19
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h.103.
20
Ibid., h.62.
27
bahkan si penyewa pihak ketiga.21
Adapun yang dimaksud musnahnya seluruh barang adalah secara pasti
materi barang tidak dapat lagi ditunjukkan wujudnya. Semisal, hangusnya
seluruh rumah yang disewa sehingga wujud materi rumah tidak Nampak
lagi. Bisa juga seperti kapal yang kena bom.
2. Apabila barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa
dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa
atau akan meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa. Pada dasarnya
pihak penyewa dapat menuntut kedua hal ini, namun ia tidak dapat
menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan.22
Penentuan batas musnahnya seluruh barang dan sebagian barang
kadangkala menuai kesulitan dalam penetapan kapan sesuatu kemusnahan
dianggap meliputi seluruh barang atau hanya sebagian saja.
E. Bukti Pembayaran Uang Sewa
Mengenai pembuktian pembayaran uang sewa diatur dalam pasal 1569
BW. Apabila timbul perselisihan mengenai pembayaran uang sewa yang telah
disetujui bersama “secara lisan”, dan sewa menyewa telah berlangsung serta
kwitansi pembayaran tidak ada, dalam hal ini hakim sepatutnya melakukan
tindakan sebagai berikut:23
1. Harus percaya pada keterangan pihak yang menyewakan, asal keterangan
21
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h. 234.
22
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), h.62.
23
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h.236-237.
28
tersebut dibarengi dengan sumpah.
2. Atau hakim menyuruh untuk menaksir besarnya sewa kepada seorang ahli,
jika hal ini diminta oleh si penyewa.
Ketentuan-ketentuan yang dilakukan seorang hakim di atas hanya
berlaku pada perselisihan besarnya sewa yang dilakukan secara lisan serta
sewa-menyewa sudah berlangsung sedangkan kwitansi tanda pembayaran
tidak ada. Ketentuan tersebut tidak berlaku pada perjanjian sewa yang
dilakukan melalui akta otentik atau akte dibawah tangan. Namun demikian,
ketentuan-ketentuan sewa di atas juga tidak serta merta dilakukan secara
otomatis, tentu juga harus melewati prosedur cara-cara pembuktian biasa yang
diatur dalam hukum acara perdata. Apabila cara-cara pembuktian biasa tidak
mampu menentukan besarnya uang sewa maka cara di atas barulah diterapkan.
Kemudian mengenai sumpah yang dilakukan oleh pihak yang
menyewakan dalam pasal 1569 dan alat bukti sumpah yang diatur dalam
hukum acara perdata di sini terdapat perbedaan. Alat bukti sumpah yang diatur
dalam hukum acara perdata baik itu sumpah tambahan (aan Vullend eed)
maupun
sumpah
yang
menentukan
(decisoir
eed)
dilakukan
atas
“pembebanan”. Sumpah tambahan merupakan sumpah yang dibebankan oleh
hakim kepada salah satu pihak yang berperkara bagi pihak yang telah
mempunyai
permulaan
bukti. Sedangkan sumpah
yang menentukan
merupakan sumpah yang dilakukan atas pembebanan salah satu pihak yang
29
berperkara kepada lawanya.24
Sedangkan sumpah yang dimaksud dalam pasal 1569 adalah sumpah
yang diucapkan oleh pihak yang menyewakan “bukan atas pembebanan”
salah satu pihak. Juga bukan atas perintah hakim seperti pada sumpah
tambahan, akan tetapi yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan ini
semata-mata “hak yang diberikan undang-undang” kepada pihak yang
menyewakan. Hak ini merupakan ekstra kewenangan kepada pihak yang
menyewakan. Apabila pihak yang menyewakan telah mengikrarkan sumpah,
maka dengan sendirinya sumpah tersebut mengikat kedua belah pihak. Namun
ada upaya satu-satunya yang dapat dipergunakan oleh pihak penyewa untuk
menghalangi pengikraran sumpah pihak yang menyewakan dengan cara
mempergunakan hak meminta penentuan besarnya sewa yang diperselisihkan
melalui penaksiran seorang ahli. Apabila hak ini dipergunakan oleh pihak
penyewa, maka gugurlah hak pihak yang menyewakan untuk mengucapkan
sumpah. Dan apa yang telah ditentukan seorang ahli penaksir dengan
sendirinya akan mengikat kedua belah pihak.25
F. Mempersewakan Lagi (Onderhuur)
Yang dinamakan mempersewakan lagi atau mengulang sewakan ialah,
jika si penyewa menyewakan lagi barangnya kepada orang lain, tetapi
perjanjian sewa masih dipertahankan sehingga penyewa itu berada dalam
hubungan sewa dengan pemilik. Melepaskan sewa ditujukan pada perbuatan
24
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 749.
25
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h.237.
30
menyerahkan barang yang disewa kepada pihak ketiga yang sama sekali
menggantikan kedudukan si penyewa, sehingga orang baru itu langsung
berhubungan sendiri dengan pemilik.26
Dalam pasal 1559 ayat 1 dijelaskan bahwasanya si penyewa dilarang
untuk mempersewakan lagi barang yang disewanya kepada pihak ketiga
karena pada dasarnya si penyewa terikat pada larangan untuk tidak
mempersewakan lagi kepada orang lain, jika pada persewaan tadi tidak ada
persetujuan pihak yang menyewakan maka si penyewa diperbolehkan
menyewakan lagi pada pihak ketiga. Jadi inti dari pasal ini adalah
diperbolehkanya mempersewakan ulang kepada pihak ketiga apabila secara
tegas diperbolehkan dalam persetujuan.
Persetujuan atau perizinan untuk mempersewakan lagi barang yang
disewa, harus ditegaskan secara jelas dalam persetujuan sewa-menyewa. Baik
hal itu tanpa syarat, bahwa pemberian hak mempersewakan lagi kepada pihak
ketiga harus atas persetujuan tertulis dari pihak yang mempersewakan. Namun
demikian, sekalipun ada perizinan untuk mempersewakan lagi kepada pihak
ketiga, tentu persewaan seperti itu tidak boleh melebihi jangka waktu
perjanjian sewa semula.27
Kemudian untuk permasalahan tanggung jawab uang sewa kepada
pihak yang menyewakan semula, maka dalam hal mempersewakan lagi barang
yang disewa kepada pihak ketiga, si penyewa semulalah yang bertanggung
jawab melaksanakan pelunasan pembayaran sewa kepada pihak yang
26
27
h.232.
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 93.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
31
menyewakan semula.
Apabila
dalam
persetujuan
ditegaskan
adanya
larangan
mempersewakan lagi, lantas si penyewa melanggar larangan tersebut, maka si
penyewa dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum atau
wanprestasi yang menimbulkan akibat diantaranya adalah:
1. Sewa-menyewa dapat dipecahkan.
2. Si penyewa dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian yang terdiri
dari ongkos, kerugian dan bunga uang.
3. Dengan dipecahkanya perjanjian sewa-menyewa, maka pihak yang
menyewakan semula tidak perlu mengindahkan lagi hubungan antara
penyewa semula dengan pihak ketiga dengan alasan bahwa pihak penyewa
semula telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang berakibat
antara hubungan si penyewa dan pihak ketiga tidak mengikat pihak yang
menyewakan. Kemungkinan yang terjadi pihak ketiga akan menuntut dan
meminta ganti rugi kepada pihak penyewa semula. Atau pelanggaran atas
mempersewakan lagi tanpa persetujuan oleh penyewa di anggap tanpa title
yang sah sehingga pihak yang menyewakan dapat melakukan tuntutan
“revindikasi” serta dapat memaksakan pengosongan kepada pihak ketiga.28
G. Berakhirnya Sewa-menyewa
Secara umum undang-undang memberi beberapa ketentuan tentang
berakhirnya sewa-menyewa. Dan akibat yang paling jauh dari berakhirnya
28
Ibid., h.232-234.
32
sewa ialah “pengosongan” barang yang disewa.29 Pada dasarnya sewamenyewa akan berakhir dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Berakhirnya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tertulis maka berakhirnya
secara otomatis (berakhir demi hukum). Sedangkan apabila perjanjian
sewa-menyewa dibuat secara lisan maka berakhirnya tidak berpatok pada
waktu yang ditentukan kecuali sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari
pihak
yang
menyewakan
untuk
menghentikan
sewanya.
Dalam
penghentian sewa-menyewa secara lisan pengakhiran sewa harus
memperhatikan jangka waktu “Penghentian” sesuai dengan kebisaaan
setempat. Adapun maksud jangka waktu penghentian di sini adalah batas
waktu antara penghentian dan pengakhiran. Seperti contoh, pemberitahuan
dilakukan pada 1 Januari dan harus diakhiri dalam tempo 5 bulan.
Sehingga antara 1 januari dengan 30 Juni inilah yang dinamakan jangka
waktu penghentian. Sedangkan tempo berakhirnya sewa-menyewa jatuh
pada 1 Juli. Jangka waktu penghentian sewa-menyewa tidak boleh terlalu
pendek atau cepat akan tetapi harus memberi jangka waktu yang layak
bagi si penyewa untuk mempersiapkan segala akibat setelah berakhirnya
masa sewa.
2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian sewamenyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya sewa29
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.
238.
33
menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang
tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu,
sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.30
3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus. Dalam hal ini ada
tiga pola, diantaranya:
a. Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak penghentian perjanjian
sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah
pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.
Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa
putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan
sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri
barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian sewamenyewa ini diperbolehkan.
b. Putusan pengadilan.
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah
satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan
seperti yang diatur dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 tahun 1963 jo PP
No. 55 tahun 1981.
c. Benda objek sewa-menyewa musnah.
apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan
salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum.
30
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.
240.
34
Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para
pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
d. Perjanjian
sewa-menyewa
tidak
bisa
berakhir
disebabkan
meninggalnya salah satu pihak.
Meninggalnya pihak yang menyewakan atau yang menyewa tidak
dapat menghapus perjanjian sewa-menyewa, karena perjanjian dapat
diteruskan oleh masing-masing ahli waris.31
H. Ganti Rugi
Menurut R. Setiawan kerugian adalah kerugian nyata yang terjadi
karena
wanprestasi.
Adapun
besarnya
kerugian
ditentukan
dengan
membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan
sebelum terjadi wanprestasi.32
Pengertian kerugian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Yahya
Harahap. Ganti rugi adalah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang
ditimbulkan perbuatan wanprestasi.33 Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu
perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut
dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil rumusan, besarnya jumlah
ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai
prestasi yang menjadi objek perjanjian dsbanding dengan keadaan yang
menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat
31
M. Yahya Harap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.
240-241.
32
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Binacipta, 1977), h. 17.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
33
h. 66.
35
besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang
menyebabkan
timbulnya
kekurangan
nilai
keuntungan
yang
akan
diperolehnya. Kemudian dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa
dalam pasal 1243-1248 KUHPerdata terdapat pembatasan-pembatasan yang
sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan
sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.34
Pengertian kerugian yang lebih luas lagi dikemukan oleh Mr. J. H.
Nieuwenhuis yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, kerugian adalah
berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak
lain.35 Maksud pelanggaran norma di sini adalah perbuatan wanprestasi dan
perbuatan melanggar hukum.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam dalam pasal
1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum merupakan
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah
menimbulkan kesalahan kepada pihak yang merugikannya. Ganti rugi tersebut
timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.36
Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian kepada
pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan apabila orang
yang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah orang yang
mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf). Secara
34
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), h. 41.
J. H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerjemah Djasadin Saragih,
(Surabaya : Airlangga University,1985), h. 54.
36
Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), h.100.
35
36
teoritis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan
melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur,
diantaranya adalah:37
1. Ada perbuatan melanggar hukum.
2. Ada kerugian.
3. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar
hukum.
4. Ada kesalahan.
Sedangkan ganti rugi karena wansprestasi diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yang dimulai dari pasal 1246 KUH Perdata s.d pasal 1252 KUH
Perdata. Ganti rugi karena wansprestasi merupakan suatu bentuk ganti rugi
yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang
telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Misalnya A berjanji akan
mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 januari 2015. Akan tetapi,
pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang
tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan
tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, minimal
tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B
dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum
timbulnya ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.38
Menurut Purwahid Patrik, ganti kerugian yang dapat dituntut oleh
37
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum PerikatanPenjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h.96-97.
38
Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), h.100.
37
kreditur kepada debitur terdiri dari dua unsur :
1. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
2. Keutungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.39
Di dalam pasal 1249 KUHPerdata ditentukan bahwa penggantian
kerugian yang disebabkan wansprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang.
Namun dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurispudensi bahwa
kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Kerugian materiil, yakni suatu kerugian yang diderita kreditur dalam
bentuk uang/kekayaan/benda.
2. Kerugian immaterial, yakni suatu kerugian yang diderita oleh kreditur
yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, penderitaan
batin, rasa takut dan lain sebagainya.40
Sulit rasanya menggambarkan hakekat dan takaran obyektif dan
konkrit sesuatu kerugian immateriil. Misalnya: bagaimana mengganti kerugian
penderitaan jiwa. Si A berjanji kepada si B untuk menjual cincin berlian
sekian karat. Ternyata berlian itu palsu yang mengakibatkan kegoncangan dan
penderitaan batin bagi si B. Bagaimana memperhitungkan kerugian
penderitaan batin dimaksud? Sekalipun memang benar menentukan hakekat
dan besarnya kerugian non-ekonomis, ganti rugi terhadap hal ini pun dapat
dituntut. Penggantiannya dialihkan kepada suatu perhitungan yang berupa
“pemulihan”. Biaya pemulihan inilah yang diperhitungkan sebagai ganti rugi
39
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang) (Bandung : Mandar Maju, 1994), h. 14.
40
Salim.H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006), h.101.
38
yang dapat dikabulkan oleh hakim. 41
Seperti dalam contoh di atas, tentu tidak dapat diganti kegoncangan
jiwa yang diderita oleh si pembeli tersebut. Tetapi debitur dapat “dibebankan”
sejumlah biaya pengobatan rehabilitasi. Misalnya ongkos dokter dan biaya
sanatorium. Sampai benar-benar si kreditur itu pulih kembali.
I. Jual Beli Tidak Memutus Sewa (Koop Brekt Geen Huur)
Dalam pasal 1576 dijelaskan bahwa “dengan dijualnya barang yang
disewa, maka persewaan sebelumnya tidak terputus kecuali ada perjanjian
sebelumnya”.42 Dengan ketentuan pasal 1576 ini bermaksud melindungi si
penyewa dari peralihan hak milik barang yang disewa. Sewa-menyewa dengan
sendirinya menurut hukum tetap melekat pada barang yang dijual. Dengan
sendirinya pula si pembeli tetap terikat pada persetujuan sewa-menyewa yang
dibuat si penjual dengan si penyewa. Seolah-olah hak sewa yang bersifat
perseorangan tersebut dikonstruksikan sebagai hak kebendaan dalam
abstrakto.43
Dengan mengingat maksud undang-undang ini, maka perkataan
“dijual” dalam pasal 1576 sudah lazim ditafsirkan secara analogis (luas),
sehingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga meliputi perpindahan
hak milik lainnya, seperti : tukar-menukar, penghibahan, pewarisan dan lain
sebagainya. Pendek kata, dijual ditafsirkan sangat luas sehingga menjadi
41
Merry Tjoanda, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Jurnal Sasi, Vol 16, No. 4 ( Oktober - Desember 2010), h.48.
42
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta :
Pradya Paramita, 2009), h. 385.
43
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h.241.
39
dipindahkan miliknya. Sebaliknya, kata sewa atau persewaan dalam pasal
tersebut harus ditafsirkan secara sempit atau terbatas, dalam arti bahwa yang
tidak diputuskan atau harus dihormati oleh pemilik baru itu hanya hak sewa
saja. Sebab sangat mungkin dalam perjanjian sewa dimasukkan janji-janji
untuk kepentingan si penyewa yang bukan hak sewa, misalnya kepada si
penyewa dijanjikan bahwa setelah persewaan berlangsung selama sepuluh
tahun, ia diperkenankan membeli barang yang disewanya itu dengan harga
yang murah. Hak seperti ini yang lazim dinamakan hak opsi tidaklah berlaku
terhadap pemilik baru, apabila barang itu dijual kepada orang lain. Begitu pula
apabila perjanjian sewa itu diikuti oleh suatu perjanjian penanggungan, di
mana seorang pihak ketiga menanggung pembayaran uang sewa terhadap
pemilik, maka perjanjian penanggungan ini dianggap hapus apabila barang
yang disewakan itu dijual kepada orang lain. Dan pendapat ini memang tepat
karena penanggung (borg) boleh dikatakan telah menyanggupi penanggungan
itu kepada pemilik lama, dan tidak kepada orang lain. 44
Memang pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang
disewakan, masih tetap menjadi pemilik mutlak. Sebagai pemilik mutlak, dia
berhak sepenuhnya untuk memindahkan dan menjual barang yang disewakan.
Namun sebaliknya, dalam mempergunakan haknya atas barang yang telah
disewakannya tersebut, tidak boleh merugikan pihak si penyewa. Caranya
ialah dengan jalan memperlindungi si penyewa atas kewenangan pihak yang
menyewakan dengan asas : jual beli tidak memutuskan hubungan sewamenyewa (koop brekt geen huur).
44
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 94-95.
40
Adapun mengenai perpindahan sewa-menyewa kepada pembeli
sebagai pemilik baru atas barang yang disewa, meliputi seluruh kualitas yang
dimiliki pemilik lama. Artinya sewa-menyewa tetap berada dalam keadaan
semula. Pembeli sebagai pemilik baru beralih menggantikan kedudukan
pemilik lama. Karena itu, dia terikat atas segala ketentuan perjanjian sewamenyewa yang melekat pada barang yang dibelinya. Dia terikat atas segala
kewajiban yang menyangkut reparasi. Pemecahan sewa-menyewa karena
wansprestasi menjadi hubungan hukum yang langsung antara si penyewa
dengan si pembeli. Penjual sebagai pemilik lama, telah terputus hubunganya
dari segala tanggung jawab yang timbul dari perjanjian sewa. Penjual tidak
lagi memikul jaminan atas terlaksananya penikmatan dan pemakaian, karena
semua itu telah beralih kepada pembeli sebagai pemilik baru.
Itulah sebabnya, peralihan perjanjian sewa kepada pemilik baru
tersebut, merupakan peralihan semua title dari pemilik lama, selama jangka
waktu sewa-menyewa masih berlangsung. Peralihan semua title ini berlaku,
jika penjualan barang yang disewa merupakan penjualan atas keseluruhan.
Akan tetapi jika yang dijual hanya sebagian saja dengan alasan untuk tetap
mempertahankan hubungan sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan
semula dengan si penyewa. Pembeli sebagian barang yang disewa, tidak
terikat atas persetujuan sewa-menyewa.
Peralihan persetujuan sewa-menyewa dari penjual kepada pembeli
berlangsung sesaat bersamaan dengan peralihan hak milik kepada pembeli.
Dengan perkataan lain : peralihan terjadi sesaat setelah terjadi persetujuan
jual-beli. Adapun konsekuensi akibat peralihan karena jual-beli barang yang
41
sedang terlibat dalam persetujuan sewa-menyewa adalah:45
1. Sejak saat penyerahan (levering), si penyewa wajib dan sah membayarkan
uang sewa kepada pemilik baru.
2. Pemilik baru harus menerima persetujuan sewa-menyewa terhitung sejak
saat berlangsungnya penyerahan.
3. Jika terjadi wansprestasi yang dilakukan oleh penyewa sebelum
penyerahan berlangsung maka tuntutan pembatalan sewa dapat diminta
baik oleh pemilik lama maupun pemilik baru, ganti rugi yang ditimbulkan
wansprestasi sebelum berlangsung penyerahan kepada pemilik baru hanya
dapat dituntut oleh pemilik lama, namun apabila wansprestasi yang terjadi
itu sesudah penyerahan kepada pemilik baru berlangsung, tuntutan
pembatalan dan ganti rugi hanya dapat dilakukan oleh pemilik baru.
Mengenai sejauh mana persetujuan sewa-menyewa serta segala
persetujuan sewa-menyewa masa mendatang langsung mengikat pembeli di
sini akan dijelaskan. Bahwasanya yang dimaksud peralihan dari pemilik lama
ke pemilik baru disini hanya pada hak-hak dan kewajiban yang langsung ada
hubunganya dengan perhubungan hukum sewa-menyewa, seperti pembayaran
uang sewa dan tentang memperbaiki barang sewa yang rusak, akan tetapi hakhak dan kewajiban yang lain tidak beralih. Jadi hanya terbatas pada sifat dan
esensi hubungan sewa-menyewa saja.46
Karena itu jika seandainya antara penyewa dan pemilik lama telah
45
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
h.242.
46
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu
(Bandung : Sumur, 1981), h. 79.
42
membuat perjanjian bahwa si penyewa akan membeli barang sebagai pemilik
baru, maka yang beralih hanya hal-hal yang tidak bertentangan dengan tujuan
sewa-menyewa itu sendiri. Karena ikatan yang terjadi antara penyewa dan
pemilik lama sudah berada di luar hubungan hukum sewa-menyewa. Adapun
mengenai ketentuan pasal 1576 ini tidak menegaskan apakah ketentuan
tersebut hanya berlaku pada barang yang tidak bergerak saja, oleh karena itu
harus dianggap berlaku terhadap benda pada umumnya, yang meliputi barang
yang tidak bergerak dan barang bergerak serta barang yang berwujud dan
tidak berwujud.
Adapun mengenai ketentuan pasal 1576 ini, dapat dikesampingkan
dengan jalan “menegaskannya” dalam persetujuan sewa-menyewa dalam ayat
ke dua pasal 1576. Penegasan klausul ini harus dicantumkan dalam
persetujuan sewa-menyewa, bukan pada persetujuan jual-beli. Apabila klausul
seperti ini telah ditegaskan dalam perjanjian sewa-menyewa, si penyewa harus
meninggalkan barang yang disewa pada saat setelah terjadi persetujuan jualbeli antara yang menyewakan dengan pihak ketiga. Pengosongan atas dasar
klausul demikian tidak menimbulkan kewajiban bagi pihak yang menyewakan
untuk membayar ganti rugi. Kecuali jika tentang hal ini disebut secara tegas
dalam perjanjian. Jika disetujui penggantian kerugian akibat pemecahan
perjanjian sewa karena jual-beli, si penyewa tidak wajib meninggalkan barang
yang disewa sampai ganti rugi tersebut dibayar lunas. Besarnya jumlah ganti
rugi akibat jual-beli barang yang disewa, sejak semula dapat mereka tentukan
dalam perjanjian tersebut. Atau besarnya jumlah ganti rugi dapat
43
diperhitungkan berdasar kebisaan setempat.47
Apabila dalam kontrak sewa diperjanjikan hak si pembeli barang untuk
menyuruh si penyewa keluar dari barang yang dibelinya, dan hak itu
dipergunakannya, maka pembeli tersebut wajib memberitahukan sebelumnya
kepada penyewa untuk keluar meninggalkan barang tersebut. Namun untuk
pengosongan, pembeli harus memberikan waktu tempo yang patut sesuai
dengan kebisaan dan kelaziman setempat. Untuk perintah pengosongan tanah
perkebunan, pemberitahuan harus dilakukan sekurang-kurangnya satu tahun
sebelum tanah itu dikosongkan.
47
h. 243.
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986),
BAB III
KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Ijārah (Sewa-Menyewa)
Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab disebut ijārah berasal dari kata
“ajara” yang mempunyai sinonim kata “Akraa” yang artinya menyewakan,
seperti dalam kalimat “ajara al-syaia” (menyewakan sesuatu), dan kata
“aʻ thoohu ajran” yang artinya ia memberinya upah seperti dalam kalimat
“ajara fulaanan „ala kadza” (ia memberikan kepada si fulan upah sekian),
dan kata “atsābahu” yang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimat
“ajara allahu „abdahu” (Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).1
Menurut Abdur Rahman Al-Jaziry, ijārah menurut bahasa dengan
dikasrohkan hamzahnya dan didhommahkan hamzahnya dan difathahkan
hamzahnya. Adapun dikasrohkan hamzahnya adalah lebih tersohor dan
dengan
dikasroh
jimnya,
yang berarti
suatu
pekerjaan
atau
amal
perbuatan.2Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, Ijārah diambil dari kata “AlAjr” yang artinya „iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab)
dinamakan ajr (upah/pahala). Dan menurut syariat yang dimaksud ijārah
adalah akad untuk mendapatkan manfaat sebagai imbalan.3
Menurut Wahbah Zuhaili, ijārah menurut bahasa adalah ِ
(menjual manfaat), sedangkan menurut fiqh adalah suatu akad atas manfaat
1
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h.315.
Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah (Kairo : Dar Al-Hadist,
2004), h. 76.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Jakarta : Cakrawala publishing, 2009), h. 258.
2
44
45
yang diperbolehkan dengan cara memberi imbalan. Atau juga bisa
didefinisikan akad yang diperbolehkan untuk pemilikan manfaat yang
diketahui dan dituju dari barang yang disewa dengan imbalan.4
Sedangkan secara terminology, ada beberapa definisi ijārah menurut
pandangan para ulama, diantaranya adalah:
1. Menurut Ulama Hanafiyah ijārah adalah:
Ijārah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat yang
dimaksud dan tertentu dari barang yang disewa dengan imbalan.5
2. Menurut Malikiyah
Ijārah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu
barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan
berasal dari manfaat.6
3. Menurut Syafi‟iyyah
Definisi akad ijārah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan
tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.7
4
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu‟amalat Al-Maliyah Al-Mu‟ashiroh (Damaskus : Dar al-fikr,
2002), h. 72.
5
Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah (Kairo : Dar Al-Hadist,
2004), h. 77.
6
Ali Fikri, Al-Mu‟amalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, cet.I, dalam Ahmad Wardi
Muslih, Fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010), h.316.
7
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar,
(Surabaya : Dar Al-Ilmi, t,t), Juz 1, h. 249.
46
4. Menurut Hanabilah
Ijārah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafadz ijārah
dan kara‟ dan semacamnya.8
Dari pengertian di atas dapat disimpulkankan bahwa pada dasarnya
tidak ada perbedaan yang prinsip diantara para ulama dalam mendefinisikan
ijārah. Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa ijārah adalah akad
atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah
manfaat atas suatu barang.9 jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang
sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewamenyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan
tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah
bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.10Seperti contoh
seseorang menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu
tahun dengan imbalan tiga juta rupiah, ia berhak menempati rumah itu selama
jangka waktu satu tahun akan tetapi ia tidak berhak memiliki rumah tersebut.
Dari segi imbalannya, ijārah ini mirip dengan jual beli tetapi keduanya
berbeda, karena dalam jual beli objeknya benda sedangkan dalam ijārah
objeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan
menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda bukan manfaat.
8
Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, (t.t : Dar Al-fikr, t.t), juz 3,
h. 301.
9
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 52.
10
47
Demikian pula tidak dibolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena
susu bukan manfaat tetapi benda.11
B. Dasar Hukum Ijārah
Ijārah disyariatkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma ulama.
Adapun hukum dari ijārah, para fuqoha bersepakat atas legalnya akad ijārah
kecuali Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan Basri, Al-Qasyani,
An-Nahrawani, dan Ibnu Kaisan. Mereka tidak memperbolehkan akad ijārah
karena ijārah adalah jual beli manfaat, sedangkan ketika berlangsungnya akad,
manfaat tersebut tidak bisa diterimaserahkan. Setelah beberapa waktu barulah
manfaat tersebut bisa dirasakan sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang
tidak ada pada waktu akad tidak boleh dijualbelikan.12 Namun pendapat
tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu
akad belum ada, tetapi pada ghalibnya manfaat akan terwujud, dan inilah yang
menjadi perhatian serta pertimbangan syara‟.13
Adapun dalil ijārah yang termaktub dalam firman Allah swt
diantaranya adalah:
1. Surat Al-Talaq ayat 6 yang berbunyi:
6
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Al-Talaq : 6)
11
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317.
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, cet. 10, (Damaskus : Dar Al-Fikr,
2007), jilid 5, h. 385.
13
Ibnu Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz 2, Dar Al-Fikr, t.t., h.
166.
12
48
2. Surat Al-Qashash ayat 26 yang berbunyi:
66
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dipercaya. (QS. Al-Qashash : 26)
Adapun dalil dari hadist Nabi saw adalah:
1. Hadist Ibnu Umar
“Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Rosulullah saw telah bersabda :
berikanlah olehmu upah buruh itu sebelum keringatnya kering.” (Riwayat
Ibnu Majah)14
2. Hadist Ibnu Abbas
“Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw berbekam dan beliau
memberikan kepada tukang bekam itu upahnya” (HR. Al-Bukhori)15
3. Hadist Aisyah
14
Ash-Shan‟ani, Subulussalam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 293.
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Matan Al-Bukhari Masykul Bihasyiyah As-Sindi,
(Beirut : Dar Al-Fikr, t.t), h. 33.
15
49
“Dari Urwah bi Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi saw
berkata: Rasulullah saw dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari
suku Bani Ad-Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk
agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan
kepadanya
kendaraan
mereka,
dan
mereka
berdua
menjanjikan
kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah
tiga hari pada pagi hari selasa”. (HR. Al-Bukhari)16
C. Rukun dan Syarat Ijārah
Semua akad dalam jual-beli itu harus memenuhi rukun dan syarat yang
telah ditentukan oleh syara‟, ketika salah satu rukun dan syarat tersebut tidak
terpenuhi maka akad yang telah terjalin dalam jual beli dianggap tidak sah
atau batal. Begitupun akad jual beli dalam ijārah.
Adapun rukun dan syarat ijārah menurut Mazhab Hanafi hanya satu
yakni ijab dan qobul (pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan).
Lafadz
yang
digunakan
adalah
lafadz
ijārah,
isti‟jar,
iktira‟,
ikra‟.17Sedangkan menurut Jumhur ulama rukun dan syarat ijārah ada empat
macam, diantaranya adalah18:
1. „Aqidaini
Adapun maksud dari „aqidaini di sini adalah adanya dua orang
yang saling berakad yakni mu‟jir (orang yang menyewakan) dan musta‟jir
16
Ibid., juz 2, h. 33.
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah (Jakarta : Amzah, 2010), h. 320.
18
Muhammad „Abdul „aziz Hasan Zaid, al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq
Al-Mu‟ashir (Kairo : Al-Ma‟had Al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 16.
17
50
(orang yang menyewa). Keduanya pun disyaratkan harus orang yang
baligh dan berakal menurut Mazhab Syafi‟I dan Hambali19, cerdas dan
bisa memilih20. Transaksi ijārah dianggap tidak sah apabila salah satu
ataupun keduanya adalah termasuk orang kecil, gila, bodoh dan orang
yang dipaksa. Berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi dan Maliki yang
mengatakan bahwa orang yang berakad tidak harus orang yang mencapai
usia baligh akan tetapi anak yang telah mumayyiz boleh melakukan akad
ijārah dengan ketentuan telah disetujui oleh walinya.21
Bagi orang yang melakukan transaksi ijārah juga disyaratkan
mengetahui manfaat barang yang diakadkan secara sempurna, sehingga
dapat mencegah terjadinya perselisihan.22
2. Shighot
Shiqhot di sini merupakan sebuah pernyataan atau ucapan
penyerahan dan penerimaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi
ijārah.
Dalam
hal
ini
juga
disyaratkan
adanya
lafadzh
yang
mengisyaratkan ijārah seperti contoh ucapan mu‟jir “ajartuka kadza”
atau “akraituka hadza” atau “malaktuka manafi‟ahu sanatan bikadza”
kemudian musta‟jir menjawab segera dengan ucapan “qobiltu” atau
“iktaraitu”.
19
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2003), h.231.
20
Muhammad „Abdul „Aziz Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa AlTathbiq Al-Mu‟ashir, (Kairo : Al-Ma‟had al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 17.
21
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2003), h.231.
22
Sohari Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor : Ghalia Indonesia,
2011), h. 170.
51
3. Ujrah (sewa)
Dalam hal ini ada dua macam syarat ujrah, diantaranya : a). Upah
tersebut diketahui dan termasuk harta yang bernilai, sebagaimana sabda
Rosulullah saw,
"ُ‫جرَه‬
ْ َ‫( "مَنِ اسْتَاءْجَرَ اَجِ ْيرًا فَ ْليَ ْعلَمَهُ ا‬barangsiapa
mempekerjakan pekerjaan maka hendaklah ia memberitahu upahnya). b).
upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan Maʻ qūd ʻ alaih.
Seperti contoh, ijārah tempat tinggal dibayar dengan tempat tinggal, jasa
dibayar jasa, penunggangan dibayar penunggangan, pertanian dibayar
pertanian.23
4. Maʻ qūd ʻ alaih
Maksud dari Maʻ qūd ʻ alaih adalah barang yang dijadikan obyek
sewa-menyewa yakni manfaat. Adapun syarat-syarat manfaat yang boleh
dijadikan obyek sewa-menyewa adalah24:
a. Manfaat itu berupa sesuatu yang bernilai, baik menururt syara‟
maupun kebiasaan setempat. Maka tidak sah menyewakan anjing
meskipun untuk penjagaan.
b. Manfaat dari barang yang disewakan itu berupa manfaat yang
diperbolehkan. Maka tidak sah ijārah apabila manfaat dari barang yang
disewakan itu berupa manfaat yang tidak diperbolehkan. Seperti
halnya menyewakan rumah untuk tempat maksiat.
c. Manfaat itu dapat diketahui dengan jelas. Maka tidak sah apabila
menyewakan salah satu dari dua rumah.
23
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu, cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr,
2007), jilid 5, h. 400.
24
Muhammad „Abdul „Aziz Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq
Al-Mu‟ashir, (Kairo : Al-Ma‟had Al-„Allimi lil Fikri Al-Islami, 1996), h. 17.
52
d. Manfaat harus dapat diserahterimakan, bukan manfaat yang tidak bisa
diserahterimakan karena adanya kelemahan baik kelemahan inderawi
maupun
kelemahan
syar‟i.
contoh
kelemahan
inderawi,
mempekerjakan seorang satpam yang buta atau menyewakan sebidang
tanah untuk ditanami yang tidak ada airnya sekalipun bahkan air
hujanpun tidak mencukupinya. Sedangkan contoh kelemahan syar‟i,
mempekerjakan seorang perempuan
yang sedang haid untuk
membersihkan masjid.
D. Sifat Ijārah dan Hukumnya
Hanafiah berpendapat, bahwa akad ijārah itu bersifat mengikat kedua
belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur.25
Sedangkan menurut jumhur ulama, ijārah merupakan akad yang lāzim
(mengikat), yang tidak bisa di fasakh kecuali dengan sebab-sebab yang jelas,
seperti adanya aib (cacat) atau hilangnya objek manfaat. Hal tersebut oleh
karena ijārah adalah akad mu‟awadhah, sehingga tidak bisa dibatalkan begitu
saja, sama seperti jual beli.26
Hukum akad ijārah sendiri dibagi menjadi dua, yakni:27
1. Hukum ijārah shahih, yang akibat hukumnya adalah tetapnya hak milik
atas manfaat bagi musta‟jir (penyewa), dan tetapnya hak milik atas uang
25
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2003), h.235.
26
Alauddin Al-Kasani, Bada‟I Ash-Shanah‟I fi Tartib Asy-Syara‟I, Juz 4, (t.tp, t.p, t.t), h.
58.
27
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 163.
53
sewa atau upah bagi mu‟jir (yang menyewakan). Hal ini oleh karena
sebagaimana dijelaskan di atas bahwa akad ijārah adalah akad
mu‟awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat.
2. Dalam ijārah rusak/fasid, apabila musta‟jir telah menggunakan barang
yang disewa maka ia wajib membayar uang sewa yang berlaku. Menurut
ulama Hanafiyah adalah apabila penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada
syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberi
tahukan jenis pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.
E. Macam-Macam Ijārah
Dilihat dari segi objeknya, ijārah dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni :28
1. Ijārah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa.
Dalam ijārah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu
benda.
Adapun
hukum
ijārah atas manfaat ini diperbolehkan atas
manfaat yang diperbolehkan, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko
dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan,
pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan
maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan.
2. Ijārah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah.
Dalam ijārah kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan
seseorang. Jadi ijārah atas pekerjaan ini merupakan suatu akad ijārah untuk
28
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 329-334.
54
melakukan suatu perbuatan tertentu. Seperti membangun rumah, menjahit
pakaian, mengangkut barang ketempat tertentu, memperbaiki mesin cuci
atau kulkas, dan lain sebagainya.
Ajīr atau tenaga kerja ada dua macam, yakni:
1. Ajīr (tenaga kerja ) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk
masa tertentu. Dalam hal ini ia tidak boleh bekerja untuk orang selain
orang yang telah mempekerjakannya. Contohnya seseorang yang bekerja
sebagai pembantu rumah tangga pada orang tertentu.
2. Ajīr (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari
satu orang, sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya.
Contohnya tukang jahit, tukang celup, notaris, dan pengacara. Hukumnya
adalah Ajīr mustarak boleh bekerja untuk semua orang, dan orang yang
menyewa tenaganya tidak boleh melarangnya bekerja kepada orang lain.
Ia (Ajīr musytarak) tidak berhak atas upah kecuali dengan bekerja.
F. Menyewakan Barang Sewaan
Musta‟jir dibolehkan menyewakan kembali barang sewaan kepada
orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan
yang dijanjikan ketika akad awal, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika
akad awal dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah,
kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta‟jir kedua, maka
kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang
kedua ini bebas-bebas saja, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau
55
seimbang.29 Hal tersebut boleh-boleh saja dilakukan, dan kebiaasaan tersebut
dinamakan dengan al-Khulwu. Hal ini berlaku juga untuk penyewaanpenyewaan yang lainnya seperti, penyewaan rumah, kendaraan dan alat-alat
musik.30
Namun apabila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang
bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu‟jir), dengan syarat kerusakan
itu bukan akibat dari kelalaian musta‟jir. Bila kerusakan benda yang disewa
itu akibat kelalaian penyewa maka yang bertanggung jawab adalah penyewa
itu sendiri.31
G. Perihal Resiko
Dalam hal perjanjian sewa-menyewa adakalanya resiko yang
ditimbulkan, resiko yang ditimbulkan mengenai objek perjanjian sewamenyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan), sebab si
penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat atau kenikmatan dari
barang yang disewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya berhak
atas manfaat dari barang/benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap
berada pada pihak yang menyewakan. Sehingga dalam hal terjadi kerusakan
barang maka resiko di tanggung oleh pemilik barang, kecuali kerusakan yang
terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan dari penyewa.32
Apabila selama waktu sewa barang yang disewakan musnah
29
Sohari Sahroni dan Ru‟fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2011), h. 173.
30
Abdul Rahman Ghazali, dkk., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), h. 282.
31
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 122.
32
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 55.
56
seluruhnya karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewamenyewa dinyatakan gugur. Sedangkan apabila masih ada salah satu bagian
barang yang disewakan tersisa, maka si penyewa dapat memilih berupa
pengurangan harga sewa atau membatalkan perjanjian sewa-menyewa.33
H. Perselisihan Antara Para Pihak dalam Ijārah
Dalam berlangsungnya akad ijārah kadangkala terjadi perselisihan
antara orang yang menyewakan dan orang yang menyewa baik dalam hal
manfaat atau biaya sewa. Apabila para pihak dalam akad ijārah berselisih
tentang kadar manfaat atau besarnya upah/uang sewa yang diterima,
sedangkan ijārahnya shahih maka adakalanya perselisihan tersebut terjadi
sebelum dipenuhinya manfaat dan adakalanya setelah manfaat atau jasa
tersebut diterima. Apabila perselisihan terjadi sebelum manfaat diterima maka
kedua belah pihak hendaknya bersumpah satu terhadap yang lainnya. Hal ini
didasarkan pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ashhab As-Sunan,
Ahmad, dan Syafi‟i bahwa Nabi saw bersabda:
“apabila dua orang yang melakukan jual beli berselisih pendapat,
maka keduanya bersumpah dan saling mengembalikan.”34
Meskipun hadist ini membicarakan masalah jual beli, namun ijārah
merupakan salah satu jenis jual beli maka ketentuan yang ada dalam hadist
tersebut berlaku juga untuk akad ijārah. Dengan demikian, apabila mereka
33
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia
(Yogyakarta : Citra Media, 2006), h. 49.
34
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu , cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr,
2007), jilid 5, h. 427.
57
bersumpah maka ijārah menjadi batal.35
Apabila perselisihan terjadi setelah penyewa menggunakan sebagian
dari manfaat barang yang disewanya, misalnya ia telah menempati rumah
yang disewa untuk beberapa waktu, maka yang diterima adalah ucapan
penyewa yang diperkuat dengan sumpahnya, lalu keduanya saling bersumpah
dan ijārah batal untuk sisa manfaatnya. Hal ini karena akad atas manfaat
berlaku sedikit demi sedikit, sesuai dengan timbulnya manfaat. Dengan
demikian, setiap bagian dari manfaat merupakan objek akad yang berdiri
sendiri, sehingga masa sewa yang tersisa juga merupakan akad yang mandiri.
Apabila perselisihan terjadi setelah selesainya masa ijārah maka ucapan yang
diterima adalah ucapan penyewa dalam penentuan biaya sewa disertai dengan
sumpah.36
I. Pembatalan dan Berakhirnya Akad Ijārah
Pada prinsipnya ijārah merupakan akad yang bersifat mengikat kedua
belah pihak yang melakukannya. Dalam artian, ketika akad berlangsung,
masing-masing pihak harus menunaikan kewajiban dan menerima hak
masing-masing serta tidak boleh membatalkannya (fasakh) kecuali ada hal-hal
yang menurut ketentuan hukum (syara‟) dapat dijadikan alasan pembatalan37.
Adapun hal-hal yang bisa menyebabkan batalnya akad ijārah adalah:38
1. Meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad. Ini menurut
pendapat Hanafiah. Bagi madzhab ini, waris hanya berlaku pada sesuatu
yang ada (wujud fisiknya) dan menjadi hak milik. Sementara, manfaat
35
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 337.
Ibid., h. 337-338.
37
AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127.
38
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 338.
36
58
yang diperoleh dari ijārah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan
ketika meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak
sedang dimilikinya. Maka sesuatu yang tidak dimiliki mustahil bisa
diwariskan. Oleh karena itu, akad ijārah harus diperbarui dengan ahli waris
sehingga akad berlangsung dengan pemiliknya yang baru39. Sedangkan
menurut jumhur ulama, kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan
fasakh atau berakhirnya akad ijārah. Hal tersebut dikarenakan ijārah
merupakan akad yang lazim, seperti halnya jual-beli, dimana musta‟jir
memiliki manfaat atas barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak
milik yang tetap, sehingga bisa berpindah ke ahli waris.40
2. Iqolah, yaitu pembatalan akad atas dasar kesepakatan antara kedua belah
pihak. Hal ini karena ijārah adalah akad mu‟awadhah (tukar-menukar),
harta dengan harta sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembatalan
(iqolah) seperti halnya jual beli.
3. Rusaknya barang yang disewakan, sehingga ijārah tidak mungkin untuk
diteruskan.
4. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijārah telah berakhir. Apabila
yang disewakan itu rumah, maka rumah tersebut dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu jasa seseorang, maka ia berhak
menerima upahnya.
5. Adanya udzur dari salah satu pihak.
Apabila terdapat udzur baik pada pelaku maupun Maʻ qūd ʻ alaih,
39
AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127-128.
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 338.
40
59
maka pelaku berhak membatalkan akad, ini menurut Hanafiah. Akan tetapi
menurut Jumhur Ulama, akad ijārah tidak batal karena adanya udzur, selama
objek akad yaitu manfaat tidak hilang sama sekali.41 Ulama Hanafiyah
membagi udzur yang mewajibkan fasakh menjadi tiga bagian, diantaranya:42
1. Udzur dari pihak musta‟jir (penyewa). Misalnya musta‟jir pailit atau
pindah domisili.
2. Udzur dari pihak mu‟jir (orang yang menyewakan). Misalnya mu‟jir
memiliki utang yang sangat banyak yang tidak ada jalan lain untuk
membayarnya kecuali dengan menjual barang yang disewakan dan hasil
penjualannya digunakan untuk melunasi utang tersebut.
3. Udzur berkaitan dengan barang yang disewakan atau sesuatu yang disewa.
Contoh pertama, seseorang menyewa kamar mandi disuatu kampung
untuk digunakannya selama waktu tertentu. Kemudian penduduk desa
berpindah ke tempat lain. Dalam hal ini ia tidak perlu membayar sewa
kepada mu‟jir. Contoh yang kedua, seseorang menyewakan budaknya
selama satu tahun. Baru enam bulan ternyata ia memerdekakan budak
tersebut. Dalam keadaan seperti ini, budak tersebut boleh memilih antara
meneruskan ijārah atau membatalkannya.
Terkait dengan apa saja udzur atau alasan-alasan dari pihak mu‟jir
(yang menyewakan) yang bisa merusak akad ijārah tersebut akan dijelaskan
lebih rinci dan luas dalam kitab Fiqh Madzahib Arba‟ah yang dinukil dari
41
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, cet.10, (Damaskus : Dar Al-Fikr,
2007), jilid 5, h. 406.
42
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327.
60
pendapat Imam Abu Hanifah yang diantaranya adalah:43
1. Pihak yang menyewakan mempunyai hutang yang sudah melampaui jatuh
tempo dan tidak bisa melunasi hutang tersebut kecuali dengan menjual
rumah yang disewakan kepada orang lain. Maka dalam hal ini pihak yang
menyewakan diperbolehkan merusak akad ijārah melalui salah satu pihak.
Dengan demikian, akad ijārah antara pihak yang menyewakan dan pihak
penyewa terputus dengan dijualnya rumah yang disewakan baik disertai
dengan adanya pengakuan atas utang yang dimilikinya ataupun tidak.
2. Adanya sengketa antara kreditur dan debitur dalam melunasi hutang
dengan cara menjaminkan rumah yang disewakan. Maka dalam hal ini,
kreditur diperbolehkan menjual rumah yang telah disewakan kepada orang
lain tanpa maksud menggangu ataupun merugikan pihak penyewa dengan
syarat sudah ada keputusan dari qodhi/hakim atas rusaknya akad tersebut.
3. Pemilik barang mempunyai hutang yang sudah dicatat atau didaftarkan
kepada kantor badan hukum atau hutang-hutang yang tercatat dalam
perdagangan dan atau surat dagang sebagaimana hutang tersebut sudah
diketahui semua orang maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah
tanpa adanya putusan hakim.
4. Pihak yang menyewakan mempunyai hak untuk menjual rumah yang
disewakan apabila pembayaran uang sewa yang diterima tidak mencukupi
untuk melunasi hutang-hutang yang dimilikinya sehingga apabila rumah
tersebut dijual maka pihak yang menyewakan harus mengembalikan sisa
43
Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, (Kairo : Dar AlHadist, 2004), h. 122.
61
uang sewa kepada penyewa baru kemudian sisanya untuk pelunasan
hutang, namun apabila pembayaran uang sewa sudah mencukupi untuk
pelunasan hutang maka akad ijārah tidak bisa diputus dan tidak dijual
barang yang disewakan.
5. Akad ijārah tidak tidak terputus dengan adanya pengakuan pihak yang
menyewakan bahwa rumah yang disewakan adalah milik orang lain akan
tetapi si pengaku baru bisa menempati rumahnya setelah masa sewa
berakhir.
6.
Tidak adanya kemampuan untuk menafkahi dirinya atau keluarganya
sedangkan dia mempunyai rumah lain selain yang ditempati yang
disewakan, maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah dan menjual
rumah tersebut kepada orang lain. Beda halnya tidak diperbolehkan
menjual rumah yang disewakan tanpa adanya udzur selama masa ijārah
berlangsung kecuali adanya izin penyewa. Namun apabila pihak yang
menyewakan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya izin penyewa
maka jual beli tersebut diperbolehkan namun tidak terlaksana kecuali
setelah habisnya masa sewa rumah tersebut dari penyewa.
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2439/K/Pdt/2002
PRESPEKTIF HUKUM PERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM
A. Permasalahan Kasus1
Kasus
ini
merupakan
kasus
bidang
perdata
yang
mana
permasalahanya terfokuskan pada adanya surat eksekusi penggosongan
rumah dari Pengadilan Negeri Bogor atas sengketa tanah dan bangunan
yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan dan pihak ketiga atas dasar
hak kepemilikan yang dihibahkan orang tua pihak ketiga. Dalam
persengketaan yang dilakukan nyatanya pihak penyewa tidak dilibatkan
dalam perkara tersebut sehingga tidak tahu-menahu tentang persengketaan
tanah dan bangunan yang sekarang ditempatinya.
Menurut pernyataan dari pihak penyewa, penyewaan rumah
dilakukan sebagai ganti atau penerus dari persewaan sebelumnya yang
dilakukan orang tuanya yang mana sekarang sudah meninggal. Adapun
hubungan yang terjalin antara pihak yang menyewakan dan penyewa
terjalin secara baik-baik tanpa adanya sebuah permasalahan. Namun
jalinan yang awalnya baik-baik
mengalami keretakan karena adanya
gangguan pihak ketiga atas pengakuan hak milik atas rumah yang disewa
melalui surat eksekusi pengosongan.
Sesuai dengan pengakuan pihak yang menyewakan, penjualan
rumah yang dilakukan dahulu kepada orang tua pihak ketiga untuk
1
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002.
62
63
pembayaran pelunasan hutang yang sudah jatuh tempo namun transaksi
jual beli tidak atas izin maupun pengetahuan pihak penyewa dan tidak ada
pemberitahuan sebelumnya sehingga pembayaran uang sewa tetap
dibayarkan kepada pihak yang menyewakan meskipun hak milik sudah
beralih.
Atas dasar surat eksekusi pengosongan rumah tersebut, pihak
penyewa merasa sangat keberatan karena hak-haknya seakan-akan telah
diabaikan dan tidak mendapatkan perlindungan hukum sehingga dia
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Bogor untuk
menyatakan bahwa dia adalah penyewa yang sah dan pembatalan atas
surat eksekusi yang diajukan kepadanya batal demi hukum. Namun
permohonan tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri Bogor. Kemudian
pihak penyewa mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Bandung
dengan dalih sebagaimana yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor,
akan tetapi permohonanya ditolak juga. Akhirnya pihak penyewa
mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dan membuahkan hasil dengan
adanya pembatalan putusan Judex Facti serta pengabulan permohonan
yang telah diajukan oleh pihak penyewa.
Kasus di atas apabila dilihat sepintas dari pandangan KUHPerdata
maka masuk pada ranah asas koop brekt geen hurr yakni jual beli tidak
memutus sewa-menyewa, dalam artian bahwa jika barang yang telah
disewakan ternyata dijual atau dipindahalihkan kepada pihak ketiga
64
sebelum masa sewa berakhir maka sewa-menyewa tidak terputus2,
misalnya A menyewakan sebidang rumah kepada B dalam jangka waktu
satu tahun namun belum genap masa sewa ternyata rumah tersebut dijual
A kepada C, maka dalam hal ini sewa-menyewa yang dilakukan B tidak
terputus meskipun hak milik rumah yang disewa sudah dipindahalihkan
kepada C melalui transaksi jual beli. Ataupun bisa juga seperti contoh A
menggugat B atas sebidang rumah atas dalil hak milik. Gugatan A
dikabulkan dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah yang disertai dengan
surat eksekusi pengosongan, namun jauh sebelum hal tersebut terjadi,
rumah telah disewakan kepada C, dengan demikian eksekusi pengosongan
terhadap C tidak bisa dijalankan karena tidak ikut digugat 3. Sedangkan
apabila ditinjau dari Hukum Islam Nampak bahwa akad ijārah dapat
diputus/difasakh sebelum masa sewa berakhir dengan cara dijualnya
barang yang disewakan kepada orang lain apabila terdapat udzur yang
memaksa salah satu pihak baik mu‟jir (pihak yang menyewakan) ataupun
musta‟jir (pihak penyewa) untuk melaksanakannya4. Misalnya, A
menyewakan sebidang rumah kepada B kemudian sebelum masa sewa
berakhir A menjual rumah yang disewakan kepada C dengan adanya udzur
yang melatarbelakangi dijualnya rumah tersebut kepada C, maka akad
ijārah antara mu‟jir dan musta‟jir terputus dengan dijualnya rumah
tersebut.
2
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), h.95.
Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 317.
4
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327.
3
65
B. Dasar Hukum Putusan Mahkamah Agung
Adapun dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Mahkamah
Agung dalam perkara diatas merujuk pada ketentuan KUHPerdata pasal
1575 dan 1576. Dalam
pasal 1575 KUHPerdata diterangkan bahwa
dengan meninggalnya salah satu pihak baik penyewa maupun yang
menyewakan maka perjanjian sewa-menyewa tidak terputus karena masih
bisa dilanjutkan oleh ahli warisnya, kemudian dilanjut ketentuan pasal
1576 KUHPerdata menyebutkan bahwa dengan dijualnya barang yang
disewa maka perjanjian sewa-menyewa sebelumnya tidak terputus kecuali
ada perjanjian sebelumnya.
Atas dasar hukum yang diambil oleh Mahkamah Agung dalam
memutuskan perkara di atas yang mana terpaku dalam pasal 1575 dan
1576 KUHPerdata, maka penulis akan mencoba menganalisis perkara di
atas apakah sudah sesuai dan tepat dengan ketentuan KUHPerdata
begitupun Hukum Islam.
Memang putusan Mahkamah Agung yang diambil atas dasar
hukum pasal 1575 dan 1576 KUHPerdata di atas sudah tepat dan benar
menurut kaidah KUHPerdata yang mana sesuai dengan penjelasan diatas
bahwa dalam kasus tersebut sewa-menyewa yang dahulu ditransaksikan
oleh orang tua penyewa yang mana sekarang sudah meninggal
dilanjutkan/digantikan oleh anaknya atau ahli warisnya baik dalam
pembayaran sewa maupun yang lainnya sehingga bisa dikatakan bahwa
ahli warisnya merupakan pihak penyewa yang sah karena dalam ketentuan
66
pasal 1575 telah disebutkan bahwa dengan meninggalnya salah satu pihak
yakni dalam kasus ini adalah pihak penyewa, maka sewa-menyewa
tersebut tidak terputus.
Begitu juga apabila ditinjau menurut Hukum Islam, maka dalam
Hukum Islam nampak bahwa hukum ijārah yang dilakukan para pihak
kasus di atas dihukumi sah karena sudah memenuhi syarat dan rukun
ijārah yang mana menurut Jumhur Ulama ada empat5, yakni „aqidaini,
shighot, ujrah (sewa), maʻ qūd ʻ alaih. Sedangkan menurut Mazhab
Hanafi hanya ada satu6 yakni ijab dan qobul. Namun mengenai
meninggalnya salah satu pihak yakni dalam kasus ini adalah penyewa
yang kemudian dilanjutkan oleh ahli warisnya maka ijārah tersebut
dihukumi tidak terputus/ fasakh sebagaimana pendapat Jumhur Ulama7
yang mengatakan bahwa kematian salah satu pihak tidak mengakibatkan
fasakh atau berakhirnya akad ijārah, dengan argumen ijārah merupakan
akad yang lazim, seperti jual-beli, di mana musta‟jir memiliki manfaat atas
barang yang disewa dengan sekaligus sebagai hak milik yang tetap,
sehingga bisa berpindah ke ahli waris. Akan tetapi beda halnya dengan
pendapat Hanafiyah8 yang mengatakan bahwa akad ijārah dihukumi
terputus/fasakh apabila salah satu pihak yang melakukan akad meninggal
dunia kecuali ada pembaharuan akad yang dilakukan ahli warisnya,
dengan argument bahwa waris hanya berlaku pada sesuatu yang ada
5
Muhammad „Abdul Aziz, Hasan Zaid, Al-Ijārah baina Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Tathbiq
Al-Mu‟ashir, (Kairo : Ma‟had Al-„Allimil lil Fikri Al-Islami, 1996), h.16.
6
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h.320.
7
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, h. 338.
8
AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005), h.127.
67
(wujud fisiknya) dan menjadi hak milik. Sementara, manfaat yang
diperoleh dari ijārah adalah sesuatu yang terjadi secara bertahap dan ketika
meninggalnya salah satu pihak manfaat tersebut tidak ada dan tidak sedang
dimilikinya. Maka sesuatu yang tidak dimiliki mustahil bisa diwariskan.
Oleh karena itu, akad ijārah harus diperbarui dengan ahli waris sehingga
akad berlangsung dengan pemiliknya yang baru. Dari dua pendapat diatas,
menurut penulis esensinya sama yakni dengan meninggalnya salah satu
pihak maka akad ijārah tidak terputus meski menurut Hanafiyah harus ada
pembaharuan akad yang baru oleh ahli warisnya. Sedang apabila dilhat
dengan perkembangan zaman sekarang, kadangkala ijab qobul atau
shighot dalam pembaharuan akad baik ijārah ataupun yang lainya tidak
diucapkan secara spesifik sebagaimana yang dijelaskan dalam Hukum
Islam sehingga menurut penulis, dengan adanya pemberitahuan atau
isyarah mengenai hal yang yang dimaksud oleh pihak penyewa baru yakni
ahli waris maka sudah bisa dikatakan sebagai pembaharuan akad.
Kemudian mengenai putusan Mahkamah Agung atas dasar hukum
pasal 1576 KUHPerdata, yang mana maksud yang melatarbelakanginya
adalah untuk melindungi pihak penyewa dari peralihan hak milik barang
yang disewa ataupun tuntutan-tuntutan yang sewaktu-waktu bisa terjadi
akibat persengketaan hak milik ataupun yang lainnya terhadap penyewa
sehingga sewa-menyewa dengan sendirinya menurut hukum tetap melekat
pada barang yang dijual dan dengan sendirinya si pembeli tetap terikat
68
pada persetujuan sewa-menyewa yang dibuat si penjual dan si penyewa.9
Dengan mengingat maksud undang-undang ini, maka perkataan “dijual”
dalam pasal 1576 KUHPerdata sudah lazim ditafsirkan secara analogis
(luas), sehingga tidak terbatas pada jual beli saja, tetapi juga meliputi
perpindahan hak milik lainnya, seperti tukar-menukar, penghibahan,
pewarisan dan lain sebagainya.10
Senada
menggemukakan
dengan
pernyataan
diatas,
Yahya
Harahap
juga
bahwa eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut
digugat sama halnya dengan eksekusi terhadap pihak ketiga yang
menguasai barang obyek eksekusi berdasar alasan hak yang sah pada satu
segi, dan sekaligus pula berhadapan dengan asas yang diatur dalam Pasal
1576 KUHPerdata yang menentukan “jual beli tidak memutuskan sewa
menyewa” (koop brekt geen huur). Misalnya, A menggugat B atas
sebidang tanah dan rumah yang berdiri di atasnya berdasar dalil hak milik.
Gugatan A dikabulkan dan dinyatakan sebagai pemilik yang sah serta
sekaligus dibarengi dengan amar memerintahkan pengosongan dan
penyerahan tanah dan rumah terhadap siapa saja yang memperoleh hak
dari tergugat B. Nyatanya, jauh sebelum terjadi perkara antara A dan B,
tanah dan rumah sudah disewakan B kepada C. Dalam kasus yang
demikian, eksekusi pengosongan terhadap C (sebagai penyewa yang sah)
tidak dapat dijalankan atas alasan eksekusi pengosongan tidak dapat
ditujukan kepada penyewa yang sah yang tidak ikut digugat. Dan
9
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.
241.
10
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 94.
69
sekaligus dalam kasus ini dapat diterapkan analog ketentuan Pasal 1576
KUHPerdata, bahwa beralihnya hak milik A (Penggugat) berdasar putusan
Pengadilan tidak memutuskan hubungan sewa menyewa yang telah ada.11
Memang pihak yang menyewakan sebagai pemilik benda yang
disewakan, masih tetap menjadi pemilik mutlak. Sebagai pemilik mutlak,
dia berhak sepenuhnya untuk memindahkan dan menjual barang yang
disewakan. Namun sebaliknya, dalam mempergunakan haknya atas barang
yang telah disewakan tersebut, tidak boleh merugikan pihak si penyewa.
Dengan demikian, diatur bahwa dengan dijualnya barang yang disewa
kepada pihak ketiga maka semua perjanjian yang diatur sebelumnya oleh
pemilik lama beralih ke pemilik baru baik dalam pembayaran maupun
reparasi selama jangka waktu sewa-menyewa masih berlangsung dan
penjualan barang yang disewa merupakan penjualan atas keseluruhan.12
Setelah penulis analisis perkara di atas, ternyata kasus yang terjadi
tidak hanya memerlukan putusan Mahkamah Agung yang berdasar atas
dasar hukum pasal 1575 dan 1576 KUHPerdata akan tetapi masih ada
celah-celah yang tersisa untuk dianalisis lebih dalam sesuai dengan
ketentuan KUHPerdata tentang sewa-menyewa. Dalam kasus di atas, hakhak yang seharusnya didapatkan penyewa seperti rasa kenyamana,
kenikmatan dan kedamaian atas barang yang disewa selama masa sewa
berlangsung telah terganggu dengan adanya pengakuan hak milik pihak
11
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata , (Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 317.
12
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986),
h. 241.
70
ketiga atas rumah yang disewa serta adanya surat eksekusi pengosongan
terhadap penyewa, sehingga bisa dikatakan bahwa pihak penyewa telah
dirugikan karena yang seharusnya gangguan orang ketiga atas hak milik
dibebankan kepada pihak yang menyewakan nyatanya ditanggung sendiri
oleh pihak penyewa. maka menurut penulis, pihak penyewa harus
mendapatkan jaminan yang sesuai dengan ketentuan pasal 1557 dan 1558
KUHPerdata. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa dengan
gangguan pihak ketiga atas dasar hak, maka dalam hal ini dibebankan
kepada pihak yang menyewakan. Adapun macam gangguan atas dasar hak
adalah gangguan berupa tuntutan atas hak milik mutlak atas barang yang
disewakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka penyewa dapat menuntut
pengurangan harga sewa secara berimbang asalkan ada pemberitahuan
sebelumnya terkait gangguan yang akan terjadi oleh pihak ketiga,
(ketentuan pasal 1557). Dan gangguan berupa gugatan atas penyewa untuk
mengosongkan barang yang disewa baik sebagian maupun seluruhnya dan
gugatan atas penggunaan hak pelarangan barang yang disewa, maka dalam
hal ini pihak penyewa harus memberitahukan kepada pihak yang
menyewakan melalui juru sita secara resmi, dan dalam hal ini penyewa
dapat meminta jaminan kepada pihak yang menyewakan agar tidak
dirugikan, (ketentuan pasal 1558).13 Dengan demikian, apabila terdapat
tuntutan dari pihak ketiga atas pembayaran sewa yang seharusnya
dibayarkan kepadanya maka yang lebih berhak dituntut adalah pihak yang
13
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian , h. 227-228.
71
menyewakan
karena
dalam
masa
penyewaan,
penyewa
telah
membayarkan uang sewa kepada pihak yang menyewakan meskipun pada
waktu itu hak milik sudah beralih.
Sedangkan menurut Hukum Islam atas dasar hukum putusan
Mahkamah Agung
pasal 1576 KUHPerdata mengenai persengketaan
tanah dan bangunan atas dalih hak milik orang ketiga yang dahulu dijual
oleh pihak yang menyewakan kepada orang tua pihak ketiga untuk
melunasi hutang-hutang yang dimiliki pihak menyewakan yang mana
sudah jatuh tempo untuk melunasinya dan akhirnya berujung pada surat
eksekusi pengosongan terhadap penyewa. Mengenai kasus tersebut,
Hukum Islam memandang bahwa akad ijārah yang dilakukan oleh pihak
yang menyewakan dan penyewa dihukumi fasakh atau terputus dengan
dijualnya rumah yang disewakan kepada orang lain dengan alasan untuk
melunasi
semua
hutang-hutang
yang
dimiliki
oleh
pihak
yang
menyewakan yang sudah jatuh tempo baik disertai dengan pengakuan atas
kepemilikan hutang maupun tidak oleh pihak yang menyewakan (mu‟jir) .
Sebagaimana diketahui bahwa pada prinsipnya ijārah merupakan akad
yang bersifat mengikat kedua belah pihak yang melakukannya. Dalam
artian, ketika akad berlangsung, masing-masing pihak harus menunaikan
kewajiban dan menerima hak masing-masing serta tidak boleh
membatalkannya (fasakh) kecuali ada hal-hal yang menurut ketentuan
hukum (syara‟) dapat dijadikan alasan pembatalan.14Menurut Hanafiyah,
14
AH. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.127.
72
salah satu hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan ijārah adalah adanya
udzur dari salah satu pihak baik mu‟jir, musta‟jir bahkan maʻ qūd
ʻ alaih.15 Adapun udzur yang dimaksud Hanafiyah diatas adalah udzur
yang memaksa mu‟jir untuk menjual barang yang disewakan kepada orang
lain seperti halnya dalam keadaan mu‟jir mempunyai hutang yang sudah
jatuh tempo dan tidak bisa melunasi hutang kecuali dengan menjual rumah
yang disewakan dan tidak adanya kemampuan untuk menafkahi dirinya
atau keluarganya sedangkan dia mempunyai rumah lain selain yang
ditempati yang disewakan, maka dalam hal ini boleh merusak akad ijārah
dan menjual rumah tersebut kepada orang lain. Akan tetapi tidak
diperbolehkan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya udzur selama
masa ijārah berlangsung kecuali adanya izin penyewa. Namun apabila
pihak yang menyewakan menjual rumah yang disewakan tanpa adanya
izin penyewa maka jual beli tersebut diperbolehkan namun tidak
terlaksana kecuali setelah habisnya masa sewa rumah tersebut dari
penyewa.16
15
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat (Jakarta : Amzah, 2010), h. 327.
Abdur Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh „Ala Al-Madzhab Al-Arba‟ah, (Kairo : Dar AlHadist, 2004), h. 122.
16
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian-uraian mengenai sewa-menyewa dalam
KUHPerdata pasal 1576 menurut hukum Islam, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian antara dua pihak yang
menimbulkan persetujuan atas barang dan harga yang diikuti dengan
jangka waktu tertentu. Berdasarkan KUHPerdata pasal 1576 yang
menjelaskan bahwa dengan dijualnya barang yang disewa baik dalam hal
pengalihan hak milik atas jual beli, tukar menukar, hibah dan waris maka
perjanjian sewa-menyewa sebelumnya tidak terputus meskipun terjadi
adanya eksekusi pengosongan rumah yang disewa oleh pihak ketiga atas
alasan hak kepemilikan rumah yang sah yang mana dalam kasus diatas
pihak penyewa tidak diikutsertakan dalam perkara yang diajukan ke
Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya putusan
Mahkamah Agung Nomor 2439 K/Pdt/2002 sudah tepat dan benar.
2. Dalam Hukum Islam, sifat ijārah menurut pandangan Hanafiyah adalah
mengikat akan tetapi bisa dirusak melalui salah satu pihak dengan adanya
udzur yang mengharuskan pihak yang menyewakan (mu’jir) menjual
rumah yang disewakan. Dalam kasus ijārah yang sudah diputus oleh
Mahkamah Agung diatas, penjualan rumah yang dilakukan Mu’jir kepada
pihak ketiga dengan dalih untuk melunasi hutang-hutang yang dimiliknya
73
74
itu dapat merusak atau memutus akad ijārah, Namun karena penjualan
rumah tersebut tidak diiringi dengan pemberitahuan sebelumnya kepada
penyewa (musta’jir) dan dalam jangka waktu lama dilanjut pernyataan
pihak ketiga atas kepemilikan rumah yang disewa maka akad ijārah tidak
terputus kecuali berakhirnya masa sewa rumah.
B. Saran
1. Bagi pihak yang berperkara, baik pihak yang menyewakan (mu’jir)
ataupun pihak penyewa (musta’jir) sebaiknya dalam melakukan
transaksi sewa-menyewa (ijārah) diterapkan unsur transparansi atau
keterbukaan mengenai keadaan barang yang disewakan (ma’qud
‘alaih), baik dalam hal kepemilikan ataupun keadaan yang terjadi dan
dialami oleh mu’jir sehingga terpaksa untuk menjual barang yang
disewakan kepada orang lain. Dengan adanya transparansi tersebut,
maka bertujuan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dan tuntutan
yang terjadi dikemudian hari.
2. Bagi Instasi Pemerintah yang menangani berbagai kasus dalam ranah
perdata dalam pengadilan sebaiknya tidak hanya terpacu dalam
ketentuan KUHPerdata, namun bisa mempertimbangkan dan melihat
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Islam bahkan alasanalasan yang melatarbelakangi terjadinya sebuah permasalahan secara
implicit sehingga mendapatkan keputusan yang benar-benar tepat,
cepat, dan tidak memberikan kekecewaan pada semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sohari Sahrani dan Ru’fah, Fikih Muamalah, Bogor : Ghalia Indonesia,
2011.
Abu Bakar bin Muhammad, Taqiyuddin, Kifayah Al-Akbar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, juz 1, Surabaya : Dar Al-‘ilmi,t,t.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Matan Al-Bukhari Masykul Bihasyiyah AsSindi, Beirut : Dar Al-Fikr, t.t.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Al-Jaziry, Abdur Rahman, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhab Al-Arba’ah, Kairo : Dar AlHadist, 2004.
Al-Kasani, Alauddin, Bada’I Ash-Shanah’I fi Tartib Asy-Syara’I, Juz 4, t.tp, t.p,
t.t.
Al-Maqdisi, Syamsuddin bin Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, t.t : Dar Al-fikr, t.t,
juz 3.
Ash-Shan’ani, Subulussalam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam wa adillatuhu, Damaskus : Dar Al-Fikr,
2007, jilid 5, cet. 10.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashiroh, Damaskus : Dar
al-fikr, 2002.
Anshori, Abdul Ghofur, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
Yogyakarta : Citra Media, 2006.
Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2008, ed. IV.
75
76
Fikri, Ali, Al-Mu’amalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Mesir : Musthafa AlBabiy Al-Halabiy,1358, cet. I.
Ghazali, Abdul Rahman, dkk., Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Penerbit Alumni,
1986.
Harahap, M.Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, pembuktian, dan putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika,
2008.
Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata ,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, t,t.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Hasanudin, Isnawati Rais dan, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,
Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta :
Sinar Grafika, 2006.
Lubis, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K, Hukum Perjanjian dalam Islam,
Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
Lathif, AH. Azharuddin, Fiqh Muamalat, Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1982.
77
Muhammad, Taqiyuddin Abu Bakar bin, Kifayah Al-Akhyar fi Hilli Ghayah AlIkhtishar, Surabaya : Dar Al-Ilmi, t,t, Juz 1.
Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah, 2010.
Nieuwenhuis, J. H. terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,
Surabaya : Airlangga University,1985.
Pati, Ahmadi Miru dan Sakka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Bandung : Mandar Maju, 1994.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, Bandung : Sumur, 1981.
Qudamah, Ibnu,
penerjemah Muhyiddin dkk,
Al-Mughni, Jakarta : Pustaka
Azzam, 2010.
Rahman, Hasanuddin, Contact Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak
Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Rusyd, Ibnu, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz 2, Dar Al-Fikr,
t.t.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jakarta : Cakrawala publishing, 2009.
Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1977.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1985.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : Intermasa, 2001.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta :
Pradya Paramita, 2009.
78
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Kencana, 2004.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Tjitrosudibio, R. Subekti dan R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta :
Pradya Paramita, 2009.
Tjoanda, Merry, Wujud Ganti Rugi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Jurnal Sasi Vol 16 No. 4 bulan Oktober - Desember 2010.
Widjaja, Kartini Muljadi dan Gunawan, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Zaid, Muhammad ‘Abdul ‘aziz Hasan, al-Ijarah baina al-Fiqh al-Islami wa alTathbiq al-Mu’ashir, Kairo : al-ma’had al-‘allimi lil fikri al-Islami, 1996.
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
NOMOR 2439 K/Pdt/2002
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
do
A
gu
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara :
ERWAN DJAYA DHARMADHI ;
2.
FOE TJIN LAN, keduanya bertempat tinggal di Jalan Roda
In
1.
Belakang 82 Nomor 4, Kota Bogor, dalam hal ini
lik
ah
memberi kuasa kepada : SRIE MELYANI, S.H.
dan kawan-kawan, Advokat, berkantor di Jalan
ub
m
Ahmad Yani Nomor 52, Bogor, para Pemohon
Kasasi dahulu para Pelawan/Pembanding ;
1.
Ny. SHERLY INDRIATI, bertempat tinggal di Jalan Kebon
ep
ka
melawan :
ah
Pala, Gang Besi Nomor 5, Rt. 01/Rw. 10,
ne
NIO Alias TAN PAT NIO, bertempat tinggal di
Jalan Suryakencana Nomor 171/167, Rt. 01/Rw.
do
02, Kota Bogor ;
Ny. MASNAH SARI, S.H., Notaris/PPAT, bertempat tinggal di
Jalan Sudirman Nomor 27, Kota Bogor ;
In
MUHAMAD ADAM, S.H., Notaris/PPAT, bertempat tinggal di
Jalan Sawojajar Nomor 24, Kota Bogor, para
Termohon
Kasasi
para/Terbanding ;
Mahkamah Agung tersebut ;
para
Terlawan
ub
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
dahulu
lik
A
gu
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
ep
para Pemohon Kasasi dahulu sebagai para Pelawan telah mengajukan
perlawanan kepada para Termohon Kasasi dahulu sebagai para Terlawan di
muka persidangan Pengadilan Negeri Bogor pada pokoknya atas dalil-dalil :
R
ka
m
ah
4.
si
Ny. PATMAJANI TANADJAJA SAPUTRA Alias TAN TJIT
ng
2.
R
Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor ;
3.
s
Bahwa para Pelawan adalah penyewa tanah dan bangunan yang terletak
ng
ne
di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82), Kelurahan Babakan Pasar,
do
Hal. 1 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
Kecamatan Bogor Tengah, Kotamadya Bogor ;
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
MAHKAMAH AGUNG
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 1
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa para Pelawan menyewa tanah dan bangunan sebagaimana
tersebut pada butir 1 di atas dari Ny. Patmajani Tanadjaya Saputra Alias Tan Tjit
ng
Nio Alias Tan Pat Nio (Terlawan II) sejak tahun 1937, yaitu sejak dari orangtua
para Pelawan ;
Bahwa hubungan sewa menyewa antara para Pelawan sebagai penyewa
A
gu
do
dengan Terlawan II sebagai pemilik sewa belum pernah diputus sampai saat ini,
dan para Pelawan tetap melaksanakan kewajibannya sebagai penyewa
In
sebagaimana layaknya ;
Bahwa pada tanggal 30 Agustus 2000 para Pelawan menerima surat dari
: Perintah
lik
ah
Pengadilan Negeri Bogor, tertanggal 26 Agustus 2000 perihal
Eksekusi Pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara Nomor 18
Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., di mana tanah dan
1 di atas termasuk di dalamnya ;
ub
m
bangunan yang disewa para Pelawan dari Terlawan II sebagaimana pada butir
ep
ka
Bahwa dengan adanya perintah eksekusi pengosongan terhadap tanah
sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. serta Penetapan
ah
Pengadilan
Negeri
Bogor
Nomor
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr.
jo
Nomor
si
R
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. termasuk di dalamnya tanah dan bangunan Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982, seluas 120 M2
ng
ne
yang disewa para Pelawan tentunya para Pelawan sangat berkeberatan, oleh
karena hubungan sewa menyewa antara para Pelawan dengan Terlawan II
A
gu
do
belum pernah diputus sampai dengan saat ini, terlebih lagi para Pelawan juga
tidak pernah ditarik sebagai pihak dalam perkara antara Terlawan I dengan
Terlawan II ;
In
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1576 BW hubungan sewa menyewa
lik
dikenal dengan asas “koop breek geen huur”, demikian juga berdasarkan
ketentuan Pasal 1575 yang menyatakan persetujuan sewa menyewa tidak
ub
hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun yang menyewa ;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1576 dan Pasal 1575 BW para
Pelawan tetap sebagai penyewa tanah dan bangunan sebagaimana tersebut
pada butir 1 di atas dan harus mendapat perlindungan hukum ;
ep
ka
m
ah
tidak akan putus walaupun obyek sewa telah dialihkan atau dalam istilah hukum
Bahwa dengan demikian maka perintah eksekusi pengosongan terhadap
R
tanah sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor
Nomor
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr.
termasuk
do
Hal. 2 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
gu
A
di
ne
jo
ng
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr.
s
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. serta Penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 2
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalamnya tanah dan bangunan yang disewa para Pelawan adalah tidak sah dan
harus dibatalkan ;
ng
Bahwa oleh karena pelaksanaan perintah eksekusi a quo akan segera
dilaksanakan, yaitu tanggal 7 September 2000 maka para Pelawan mohon
kepada Ketua Pengadilan Negeri Bogor untuk menunda pelaksanaan eksekusi
do
A
gu
a quo, terutama tanah dan bangunan yang disewa para Pelawan sampai
dengan perkara perlawanan mempunyai kekuatan hukum tetap ;
In
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas para Pelawan mohon kepada
Pengadilan Negeri Bogor agar memberikan putusan sebagai berikut :
lik
ah
PRIMAIR :
1. Menerima dan mengabulkan perlawanan para Pelawan ;
2. Menyatakan para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah dan
ub
m
bangunan yang terletak di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82),
Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kodya Bogor,
ep
ka
Sertifikat Hak Guna bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982,
seluas 120 M2 ;
ah
3. Menyatakan/memerintahkan Jurusita Pengadilan Negeri Bogor untuk
si
R
menunda pelaksanaan perintah pengosongan terhadap tanah dan bangunan
sebagaimana dimaksud pada butir 2 petitum di atas ;
sah
pengosongan
terhadap
dan
batal
tanah
demi
hukum
sengketa
dalam
perintah
eksekusi
perkara
ne
tidak
ng
4. Menyatakan
Nomor
A
gu
do
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. serta Penetapan
Pengadilan Negeri Bogor Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya tanah/bangunan yang disewa para
In
Pelawan adalah tidak sah dan harus dibatalkan ;
Mohon putusan yang seadil-adilnya ;
bahwa
terhadap
perlawanan
tersebut
Terlawan
I
ub
Menimbang,
lik
SUBSIDAIR :
mengajukan eksepsi dan gugatan balik (rekonvensi) pada pokoknya atas dalildalil sebagai berikut :
ep
DALAM EKSEPSI :
1. Bahwa di dalam petitum perlawanan Pelawan dalam perkara Nomor
ah
ka
m
ah
5. Menghukum para Terlawan untuk membayar biaya perkara ini ;
R
70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr. tidak terdapat petitum yang menyatakan bahwa
ne
do
Hal. 3 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
ng
M
mengenai kalimat pelawan yang beritikad baik suatu syarat mutlak karena
s
Pelawan sebagai yang beritikad baik, adapun permohonan dalam petitum
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 3
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
yang dilawan adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti ;
ng
2. Bahwa dalam petitum perlawanan, Pelawan dalam petitumnya mengajukan
permohonan :
-
“Menyatakan/memerintahkan Jurusita Pengadilan Negeri Bogor untuk
do
A
gu
menunda pelaksanaan perintah pengosongan terhadap tanah dan
bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 petitum di atas” ;
“Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum perintah eksekusi
pengosongan
terhadap
tanah
jo
Nomor
dalam
perkara
Nomor
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr.
serta
lik
ah
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr.
sengketa
In
-
Penetapan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo
Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya tanah dan bangunan yang
ub
m
disewa para Pelawan adalah tidak sah dan harus dibatalkan” ;
Bahwa atas dua petitum tersebut bukan wewenang dari Majelis Hakim untuk
karena
dapat
atau
tidak
dapat
dilaksanakannya
atau
ep
ka
menilainya,
dibatalkannya eksekusi adalah wewenang dari Ketua Pengadilan ;
ah
DALAM REKONVENSI :
si
R
1. Bahwa kuasa yang diberikan oleh Terlawan I juga diberikan kuasa untuk
mengajukan gugatan rekonvensi ;
ng
ne
2. Bahwa dikarenakan Pelawan tidak pernah dilibatkan dalam perkara Nomor
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., sedang di lain sisi perbuatan Pelawan merugikan
A
gu
do
kepemilikan atas tanah dan bangunan Terlawan I, maka demi keadilan patut
kiranya kalau dalam perlawanan ini dimasukkan gugatan rekonvensi yang
selanjutnya dalam hal ini Terlawan I selaku Penggugat Rekonvensi terhadap
In
Pelawan selaku Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II atau
lik
3. Bahwa Terlawan I selaku Penggugat Rekonvensi adalah sebagai pemilik
tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Roda Belakang 82 Nomor 8 dan
ub
Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Kotamadya Bogor, seluas 120 M2
dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar, di mana
tanah dan bangunan tersebut dihuni oleh para Tergugat Rekonvensi (bukti
bertanda T.I-5) ;
ep
ka
m
ah
para Tergugat Rekonvensi ;
4. Bahwa para Tergugat Rekonvensi/Pelawan dalam menempati tanah dan
R
bangunan tersebut tidak ada hubungan hukum dengan Penggugat
do
Hal. 4 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
maka kepemilikan tanah dan bangunan telah dibenarkan oleh hukum yang
ne
ng
5. Bahwa dengan adanya Penetapan Eksekusi Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr.,
s
Rekonvensi/Terlawan I ;
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
R
ep
ub
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 4
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
merupakan milik dari Penggugat Rekonvensi/Terlawan I, yang juga diakui oleh
para Tergugat Rekonvensi/Pelawan di dalam surat perlawanannya ;
ng
6. Bahwa sehubungan tidak ada hubungan hukum atas tanah dan bangunan
tersengketa milik Penggugat Rekonvensi/Terlawan I dengan para Tergugat
Rekonvensi/Pelawan,
maka
dengan
gugatan
rekonvensi
ini
sudah
A
gu
do
merupakan penghentian sewa menyewa, hal ini sebagaimana menurut
Yurisprudensi Indonesia dalam bentuk Keputusan Mahkamah Agung R.I.
In
Nomor 83 K/Sip/1955, tanggal 6 Agustus 1957 yang menyebutkan :
“Pemberitahuan isi surat gugatan kepada Tergugat untuk mengusir si
lik
ah
penyewa dapat dipandang sebagai penghentian sewa” ;
7. Bahwa oleh karena para Tergugat Rekonvensi/Pelawan membayar sewa
bukan kepada pemilik yang sah, maka dengan menghuni rumah tersebut
ub
m
perbuatan para Tergugat Rekonvensi/Pelawan sudah merupakan perbuatan
yang melanggar hukum ;
ep
ka
8. Bahwa sebagai akibat perbuatan melanggar hukum dari para Tergugat
Rekonvensi/Pelawan,
maka
Penggugat
Rekonvensi/Terlawan
I
telah
ah
mengalami kerugian dengan tidak dapat menikmati tanah dan bangunan
berikut :
ng
ne
Beralihnya kepemilikan tanah dan bangunan ke tangan Penggugat
Rekonvensi/Terlawan I sejak Tahun 1987 (T.I-6) ;
do
Nilai kontrak tanah dan bangunan tersebut, dapat dinilai Rp. 1.000.000,-
A
gu
-
si
R
tersebut, sehingga kalau dinilai dengan uang kerugian tersebut sebagai
-
/tahun untuk setiap rumah, mengingat lokasi tanah dan bangunan
tersebut
masuk
ke
Gang,
sehingga
nilai
kerugian
Penggugat
In
Rekonvensi/Terlawan I sampai dengan bantahan ini diajukan :
lik
oleh Erwan Djaya Dharmadhi, kerugiannya sebesar Rp. 1.000.000,- X
13 tahun = Rp. 13.000.000,- ;
ub
2. Untuk rumah Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Bogor yang dihuni
oleh Foe Tjin Lan kerugiannya sebesar Rp. 1.000.000,- X 13 tahun =
Rp. 13.000.000,- ;
9. Bahwa Tergugat Rekonvensi/Pelawan mengetahui tentang adanya sengketa
ep
ka
m
ah
1. Untuk rumah Jalan Roda Belakang 82 Nomor 8, Bogor yang dihuni
perdata dalam perkara Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., tetapi tidak pernah
R
mengajukan perlawanan apapun ;
do
Hal. 5 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
sebagai berikut :
ne
ng
menuntut kepada Pengadilan Negeri Bogor supaya memberikan putusan
s
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat Rekonvensi
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 5
DALAM EKSEPSI :
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
Menyatakan tidak dapat diterima perlawanan dari Pelawan ;
ng
DALAM REKONVENSI :
1. Mengabulkan gugatan rekonvensi dari Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ;
2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi/Pelawan telah melakukan perbuatan
A
gu
do
melanggar hukum ;
3. Menyatakan tanah dan bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
In
1012/Babakan Pasar, seluas 120 M2 yang dikenal dengan tanah dan
bangunan yang terletak di Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4 adalah milik
lik
ah
Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ;
4. Menetapkan uang sewa atau kontrak tanah dan bangunan yang dihuni oleh
Tergugat Rekonvensi/Erwan Djaya Dharmadhi sebesar Rp. 1.000.000,-
ub
m
/tahun dan bangunan yang dihuni oleh Tergugat Rekonvensi II/Foe Tjin Lan
sebesar Rp. 1.000.000,-/tahun, yang kesemuanya dapat dihitung sejak
ep
ka
beralihnya tanah dan bangunan pada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I
sampai dengan adanya pengosongan dari Pengadilan Negeri Bogor ;
ah
5. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan II untuk membayar kerugian uang
si
R
sewa tanah dan bangunan kepada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I
masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- X 13 tahun = Rp. 13.000.000,- ;
ng
ne
6. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II untuk
mengosongkan tanah dan bangunan yang dihuni oleh Tergugat Rekonvensi
A
gu
do
I dan II yang dikenal dengan tanah dan bangunan di Jalan Roda Belakang
82 Nomor 8 dan Jalan Roda Belakang 82 Nomor 4, Hak Guna Bangunan
Nomor 1012/Babakan Pasar ;
In
7. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Rekonvensi II untuk membayar uang
lik
rugi sebesar Rp. 100.000,-/hari kepada Penggugat Rekonvensi/Terlawan I ;
8. Menghukum Tergugat Rekonvensi I dan Tergugat Rekonvensi II untuk
ub
membayar biaya perkara ;
9. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
walaupun ada banding atau kasasi maupun bentuk bantahan apapun ;
Atau :
ep
ka
m
ah
paksa dalam hal tidak mau mengosongkan dan tidak mau membayar ganti
Bila Pengadilan berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya;
R
Bahwa terhadap perlawan tersebut Pengadilan Negeri Bogor telah
ng
Hal. 6 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
do
Menolak perlawanan Pelawan untuk seluruhnya ;
gu
-
ne
18 Desember 2000 yang amarnya sebagai berikut :
s
mengambil putusan, yaitu putusannya Nomor 70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr., tanggal
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
R
ep
ub
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 6
-
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
Menghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 279.000,(dua ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah) ;
ng
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan para
Pelawan putusan Pengadilan Negeri tersebut telah diperbaiki oleh Pengadilan
Tinggi Bandung dengan putusannya Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30
A
gu
do
Mei 2001 yang amarnya sebagai berikut :
-
Menerima permohonan banding dari kuasa para Pelawan Pembanding
-
In
tersebut ;
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 Desember 2000
lik
ah
Nomor 70/Pdt/Plw/2000/PN.Bgr. yang dimohonkan banding dengan amar
selengkapnya sebagai berikut :
m
-
Menolak eksepsi Terlawan I ;
DALAM KONVENSI :
Menolak perlawanan para Pelawan ;
DALAM REKONVENSI :
ah
-
ep
ka
-
ub
DALAM EKSEPSI :
Menyatakan gugatan rekonvensi Penggugat Rekonvensi/Terlawan I
si
R
Konvensi tidak dapat diterima ;
DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI :
ne
Menghukum para Pelawan/Tergugat Rekonvensi untuk membayar biaya
ng
-
perkara untuk kedua tingkat peradilan dan dalam tingkat banding sebesar
A
gu
do
Rp. 125.000,- (seratus dua puluh lima ribu rupiah) ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
para Pelawan/Pembanding pada tanggal 27 Agustus 2001 kemudian
In
terhadapnya oleh para Pelawan/Pembanding dengan perantaraan kuasanya,
lik
permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 29 Agustus 2001 sebagaimana
ternyata dari akte permohonan kasasi Nomor 70/Pdt/Plw/2000/PN.Bgr. yang
ub
dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Bogor, permohonan tersebut diikuti oleh
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 6 September 2001 ;
Bahwa setelah itu oleh para Terlawan/Terbanding yang pada tanggal 1
Oktober
2001
telah
ep
ka
m
ah
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 27 Agustus 2001 diajukan
diberitahu
tentang
memori
kasasi
dari
para
R
Pelawan/Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
do
Hal. 7 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
ne
ng
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
s
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bogor pada tanggal 10 Oktober 2001 ;
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
R
ep
ub
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 7
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang,
maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
ng
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon
Kasasi/para Pelawan dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa essensi Pemohon Kasasi sebagai penyewa atas tanah dan
A
gu
do
bangunan rumah obyek sengketa a quo, yang terletak di Gang Miskin
(sekarang Gang Melati Nomor 82), Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan
In
Bogor Tengah, Kotamadya Bogor, Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor
1012/Babakan Pasar, yang dimohonkan eksekusi oleh Termohon Kasasi I
lik
ah
maupun Termohon Kasasi II sebagaimana dalil-dalil jawabannya ;
2. Bahwa dengan telah diakui dan dibenarkannya keberadaan Pemohon
Kasasi sebagai penyewa tanah dan bangunan rumah obyek sengketa a quo
ub
m
oleh Termohon Kasasi I dan Termohon Kasasi II, maka pengakuan tersebut
merupakan suatu bukti sempurna sebagaimana dimaksud Pasal 174 HIR,
ep
ka
311 Rbg. dan 1925 BW ;
3. Bahwa Pemohon Kasasi sebagai penyewa tanah dan bangunan rumah
ah
obyek sengketa a quo keberadaannya dilindungi oleh ketentuan hukum
si
R
yang berlaku, yaitu sebagaimana ketentuan Pasal 1575 dan 1576 BW ;
4. Bahwa jelas-jelas terbukti Termohon Kasasi I sebagai Pemohon Eksekusi atas
ng
ne
tanah dan bangunan rumah obyek sengketa a quo yang disewa oleh Pemohon
Kasasi yang kemudian dimohonkan eksekusinya adalah hasil jual beli antara
A
gu
do
Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II, sebagaimana bukti Termohon
Kasasi I T.I-5, Akta Jual Beli, tanggal 11 Desember 1987 Nomor
112/K11/JB/1987. Dan Jauh sebelum jual beli dilakukan Pemohon Kasasi telah
In
menyewa tanah dan bangunan rumah tersebut dari Termohon Kasasi II ;
5. Bahwa terlebih lagi Pemohon Kasasi juga tidak pernah ditarik sebagai pihak
lik
eksekusi) a quo antara Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II,
ub
sebagaimana bukti Termohon Kasasi I T.I.1 Putusan Pengadilan Negeri
Bogor tanggal 18 Januari 1993 Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., T.I.2 Putusan
Pengadilan
Tinggi
Bandung
tanggal
7
September
1993
Nomor
ep
394/Pdt/PT.Bdg., T.I.3 Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 18 Agustus
1995 Nomor 935 K/Pdt/1994 dan T.I.4 Putusan Peninjauan Kembali
R
Mahkamah Agung R.I. tanggal 1 Februari 1999 Nomor 353 /Pdt/1996 ;
ng
do
Hal. 8 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
oleh Termohon Kasasi I, berhak untuk mengajukan perlawanan karena pada
ne
dan bangunan rumah obyek sengketa a quo yang dimohonkan eksekusinya
s
6. Bahwa oleh karena itu jelas Pemohon Kasasi sebagai penyewa atas tanah
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka
m
ah
dalam perkara jual beli tanah dan bangunan rumah obyek sengketa (obyek
Halaman 8
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
dasarnya jual beli antara Termohon Kasasi I dengan Termohon Kasasi II
tidak dapat memutuskan hubungan sewa menyewa yang telah terjadi antara
ng
Termohon Kasasi II dengan Pemohon Kasasi (koop breekt geen huur) vide
Pasal 1576 BW ;
7. Bahwa hal ini sesuai juga dengan pendapat M. Yahya Harahap, S.H. dalam
RUANG
LINGKUP
PERMASALAHAN
EKSEKUSI
BIDANG
do
A
gu
bukunya
PERDATA, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman 317,
In
yang menyatakan :
“Eksekusi terhadap penyewa yang tidak ikut digugat sama halnya dengan
lik
ah
eksekusi terhadap pihak ketiga yang menguasai barang obyek eksekusi
berdasar alas hak yang sah pada satu segi, dan sekaligus pula berhadapan
dengan asas yang diatur dalam Pasal 1576 KUHPerdata yang menentukan
ub
m
“jual beli tidak memutuskan sewa menyewa” (koop brekt geen huive).
Misalnya, A menggugat B atas sebidang tanah dan rumah yang berdiri di
ep
ka
atasnya berdasar dalil hak milik. Gugatan A dikabulkan dan dinyatakan
sebagai pemilik yang sah serta sekaligus dibarengi dengan amar
ah
memerintahkan pengosongan dan penyerahan tanah dan rumah terhadap
si
R
siapa saja yang memperoleh hak dari Tergugat B. Nyatanya, jauh sebelum
terjadi perkara antara A dan B, tanah dan rumah sudah disewakan B kepada
penyewa
yang
sah) tidak
dapat dijalankan
atas
ne
ng
C. Dalam kasus yang demikian, eksekusi pengosongan terhadap C (sebagai
alasan eksekusi
A
gu
do
pengosongan tidak dapat ditujukan kepada penyewa yang sah yang tidak
ikut digugat. Dan sekaligus dalam kasus ini dapat diterapkan analog
ketentuan Pasal 1576 KUHPerdata, bahwa beralihnya hak milik A
In
(Penggugat) berdasar putusan Pengadilan tidak memutuskan hubungan
lik
8. Bahwa dengan demikian maka jelas putusan Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 30 Mei 2001 Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg. yang memperbaiki
ub
putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 Desember 2000 Nomor
70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr. adalah putusan yang sangat bertentangan dengan
peraturan
hukum
yang
berlaku,
sehingga
mengakibatkan
adanya
ketidakpastian hukum serta ketidakadilan ;
ep
ka
m
ah
sewa menyewa yang telah ada” ;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
R
berpendapat :
do
Hal. 9 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
sebagai berikut :
ne
ng
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan dengan pertimbangan
s
Mengenai alasan ke-1 sampai dengan 8 :
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 9
-
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa telah diakui kedua belah pihak, bahwa para Pelawan adalah
penyewa yang sah dari obyek sengketa sebelum adanya sengketa perdata
-
ng
antara Terlawan I dan Terlawan II ;
Bahwa para Pelawan tidak ikut sebagai pihak dalam perkara yang telah
berkekuatan
hukum
tetap,
sehingga
para
Pelawan
tidak
A
gu
-
harus
do
tunduk/terkena eksekusi selaku pihak ketiga ;
Bahwa pemilik baru dapat menuntut penghentian sewa dengan alasan akan
In
dipakai sendiri, dengan memberikan ganti rugi ;
Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan judex facti harus dibatalkan
lik
ah
dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan berikut ini ;
Bahwa menurut ketentuan Pasal 1575 dan 1576 BW hak sewa dapat
diwariskan atau tidak terputus karena kematian salah satu pihak, penyewa atau
ub
m
yang menyewakan. Demikian juga hak sewa tidak terputus, kendati hak atas
barang yang disewakan berpindah tangan (koop breek geen huur), sehingga
ep
ka
eksekusi pengosongan atas tanah dan bangunan obyek sengketa tersebut tidak
dapat dijalankan atau tidak dapat ditujukan kepada penyewa yang sah dan tidak
R
tersebut ;
si
ah
ikut digugat dalam suatu perkara perdata yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan
Bahwa oleh karena para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah
ng
ne
dan bangunan obyek sengketa, maka gugatan rekonvensi dalam perkara
perlawanan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima karena pada asasnya
A
gu
do
gugatan rekonvensi dilarang dalam sengketa mengenai pelaksanaan putusan ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
In
menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
lik
dan FOE TJIN LAN dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Nomor 146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30 Mei 2001 yang memperbaiki putusan
Negeri
Bogor
Desember 2000 serta
Nomor
Mahkamah
70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr.,
ub
Pengadilan
Agung
mengadili
sendiri
tanggal
18
perkara
ini
dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini ;
Menimbang, bahwa oleh karena para Termohon Kasasi berada di pihak
ep
ka
m
ah
permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : ERWAN DJAYA DHARMADHI
yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua
R
tingkat peradilan ;
ne
do
Hal. 10 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
ng
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan
s
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
R
ep
ub
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 10
R
ep
ub
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
MENGADILI :
do
A
gu
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : ERWAN
DJAYA DHARMADHI dan FOE TJIN LAN tersebut ;
Membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Bandung
Nomor
Pengadilan
Negeri
Bogor
In
146/Pdt/2001/PT.Bdg., tanggal 30 Mei 2001 yang memperbaiki putusan
Nomor
70/Pdt.Plw/2000/PN.Bgr.,
18
lik
ah
Desember 2000 ;
tanggal
ub
m
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONVENSI :
-
Menolak eksepsi Terlawan I untuk seluruhnya ;
ah
DALAM POKOK PERKARA :
ep
ka
DALAM EKSEPSI :
si
R
1. Mengabulkan perlawanan para Pelawan ;
2. Menyatakan bahwa para Pelawan adalah pelawan yang baik dan benar ;
ng
ne
3. Menyatakan para Pelawan adalah penyewa yang sah atas tanah dan
bangunan yang terletak di Gang Miskin (sekarang Gang Melati Nomor 82),
do
Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kodya Bogor,
A
gu
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1012/Babakan Pasar Tahun 1982,
seluas 120 M2 ;
tanah
dan
bangunan
obyek
sengketa
dalam
In
4. Menyatakan tidak sah atau tidak berlaku Perintah Eksekusi Pengosongan atas
perkara
Nomor
Negeri
Bogor
Nomor
lik
Pengadilan
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr.
jo
Nomor
para Pelawan atas dasar hak sewa ;
DALAM REKONVENSI :
Menyatakan gugatan rekonvensi tidak dapat diterima ;
ep
-
ub
12/Pdt/G/1992/PN.Bgr., khususnya atas obyek sengketa yang dikuasai oleh
Menghukum para Termohon Kasasi/para Terlawan untuk membayar
biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini
R
ka
m
ah
18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. jo Nomor 12/Pdt/G/1992/PN.Bgr. dan Penetapan
do
Hal. 11 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
Agung pada hari : SELASA, tanggal 8 AGUSTUS 2006 oleh BAGIR MANAN,
ne
ng
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
s
ditetapkan sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ;
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 11
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, I.B. NGURAH ADNYANA, S.H. dan Prof. Dr. H. KAIMUDDIN SALLE,
ng
S.H.,M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim
Anggota tersebut dan dibantu oleh WAHYU PRASETYO WIBOWO, S.H.,M.H.,
Ketua Majelis,
ttd./
ttd./
In
Hakim-Hakim Anggota,
BAGIR MANAN
ub
Biaya-biaya :
ep
6.000,-
Rp.
3. Administrasi Kasasi
Rp. 193.000,- (+)
ttd./
ne
WAHYU PRASETYO WIBOWO, S.H.,M.H.
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
do
A
gu
ka
m
ah
Panitera Pengganti,
Rp. 200.000,-
ng
J u m l a h ………...
1.000,-
si
2. R e d a k s i ……….
R
ka
1. M e t e r a i ……….. Rp.
a.n. Panitera
Panitera Muda Perdata
In
m
Prof. Dr. H. KAIMUDDIN SALLE, S.H.,M.H.
ttd./
lik
ah
ttd./
lik
I.B. NGURAH ADNYANA, S.H.
ah
do
A
gu
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
MUH. DAMING SANUSI, S.H.,M.H
s
ne
do
Hal. 12 dari 12 hal. Put. No. 2439 K/Pdt/2002
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
NIP. 040030169
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12
Download