Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pupuk Kompos

advertisement
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Usahatani
Rifai dalam Kadarsan (1995), mendefinisikan usahatani adalah suatu
tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur
produksi seperti: alam, tenaga kerja, modal dan keterampilan, yang ditujukan
kepada produksi di lapangan pertanian. Lebih lanjut Hernanto (1991) menjelaskan
bahwa dalam usahatani terdapat empat unsur pokok yang sangat penting, disebut
faktor-faktor produksi, yaitu: (1) Tanah, (2) Tenaga kerja, (3) Modal dan (4)
Pengelolaan atau manajemen. Tanpa salah satu faktor tersebut produksi tidak akan
diperoleh secara memuaskan.
Tanah dalam usaha tani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah
dan sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan
sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil, menyakap, pemberian Negara, warisan
ataupun wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun
polikultur atau tumpang sari.
Tenaga kerja terdiri atas beberapa jenis, antara lain: tenaga kerja manusia,
ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat dibedakan menjadi tenaga kerja
pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan,
pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan.
Tenaga kerja dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (umumnya dengan cara
upahan).
Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi
serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
10
diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain atau dari
kontrak sewa.
Pengelolaan atau manajemen dalam usahatani adalah kemampuan petani
untuk menetukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi
yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan produksi
pertanian sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang
berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi
syarat bagi seorang pengelola.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa, besarnya produksi selain dipengaruhi
oleh faktor-faktor internal, seperti: teknologi, penggunaan input, cara bercocok
tanam dan lain-lain, juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal, seperti: cuaca, iklim,
bencana alam, harga dan lain-lain. Faktor eksternal tidak dapat dikendalikan oleh
petani sehingga dalam memperbesar tingkat keuntungan, petani harus
mengendalikan faktor internal dan menyesuaikan jenis komoditi yang
diusahakannya sebagai respon terhadap faktor-faktor eksternal tersebut. Artinya
harus ada fleksibilitas dalam alokasi pengunaan lahan sesuai dengan kondisi lahan
untuk komoditas yang diusahakannya.
Menurut Soeharjo dan Patong (1973), bahwa tujuan dari setiap petani
dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila motif usahatani ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa melalui peredaran
uang, maka usahatani yang demikian disebut usahatani pencukup kebutuhan
keluarga (subsistence farm). Bila motif usahatani didorong oleh keinginan untuk
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, maka usahatani yang demikian
disebut usahatani komersial (commercial farm).
11
2.2.
Pupuk Kompos
Kompos ialah bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daun-
daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur,
carang-carang, serta kotoran hewan. Bahan-bahan ini menjadi lapuk dan busuk
bila berada dalam keadaan basah dan lembab, seperti halnya daun-daun menjadi
lapuk bila jatuh ke tanah dan berubah menjadi bagian tanah (Murbandono 1994).
Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses
degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian seperti
memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman
menjadi lebih tinggi.
Tabel 2. Kandungan NPK Beberapa Bahan Organik
Kadar (%)
Bahan Organik
•
•
•
•
•
•
•
•
Kotoran Kuda
- padat
- cair
Kotoran Kerbau
- padat
- cair
Kotoran Sapi
- padat
- cair
Kotoran Kambing
- padat
- cair
Kotoran Ayam
Bubuk darah
Abu kayu karet
Abu
batang
bunga
matahari
N
P2O5
K2O
0.55
1.40
0.30
0.02
0.40
1.60
0.60
1.00
0.30
0.15
0.34
1.50
0.40
1.00
0.20
0.50
0.10
1.50
0.60
1.50
1.00
13.00
-
0.30
0.13
0.80
2.00
5.00
2.50
0.17
1.80
0.40
1.00
12.00
12.00
Sumber : Soedyanto et.al (1992)
12
Murbandono (1994) menambahkan bahwa di lingkungan alam terbuka,
kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Rumput, daun-daunan, kotoran hewan
serta sampah organik lainnya lama-kelamaan membusuk melalui proses alami
karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut bisa
dipercepat oleh perlakuan manusia, hingga menghasilkan kompos yang
berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos
tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar
Nasional Indonesia
Kandungan
Baku
Bahan organik (%)
27-58
Kadar air (%)
<50
Total N (%)
>0.40
Karbon (%)
9.80-32.00
Imbangan C/N
10-20
P (%)
>0.10
K (%)
>0.20
pH
6.80-7.49
Sumber : SNI 19-7030-2004 dalam Suherman (2005)
Kompos termasuk dalam golongan pupuk organik yang dapat digunakan
sebagai pupuk bagi berbagai tanaman. Ditinjau dari segi manfaatnya, kompos
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pupuk buatan, seperti urea,
ZA, DS, NPK, dan lain-lain. Keunggulan tersebut diantaranya 1) dapat
memperbaiki struktur tanah sehingga produktivitas tanah tetap tinggi; 2) selain
mengandung unsur utama NPK, juga mengandung unsur-unsur hara lainnya yang
sangat dibutuhkan oleh tanaman walaupun dalam jumlah yang kecil; dan 3) pupuk
kompos dan pupuk buatan bekerjanya saling mengisi untuk meningkatkan
produktivitas tanaman. Selain itu, menurut Lingga dan Marsono (2003), kompos
atau pupuk organik dapat menaikkan daya serap tanah terhadap air (water holding
capacity) sehingga mampu mempertahankan hasil panen tanaman pada musim
13
kemarau. Jika dibandingkan dengan pupuk sintetis, pupuk organik memiliki
kelemahan diantaranya kandungan haranya sedikit dan daya kerjanya lambat
(slow release) terutama pupuk organik padat (Soedyanto et.al. 1981). Menurut
Musnawar (2003), untuk menutupi kelemahan tersebut, pupuk organik biasanya
masih dipadukan dengan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik dan pupuk
kimia secara terpadu memiliki interaksi positif dalam meningkatkan produktivitas
tanaman.
Kandungan nutrisi kompos dari berbagai daerah produsen kompos
berbeda-beda. Penyebabnya adalah bahan baku yang digunakannya berbeda antara
satu produsen dengan produsen lainnya (Musnawar 2003). Jannah (2003)
melakukan pengukuran kandungan unsur hara berbagai kompos dari produsen
yang berbeda di berbagai kota. Hasil pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan NPK Kompos dari Beberapa Produsen Kompos
Unsur Satuan
A
B
C
D
E
F
G
N
P
K
%
%
%
2.24
1.90
0.40
0.88
5.21
0.52
1.02
7.10
0.39
4.65
1.60
0.52
1.92
4.08
0.70
1.32
1.02
0.25
1.61
2.67
0.55
Sumber : Jannah (2003
Keterangan :
A. PD. Kebersihan Cicabe
B. PD. Kebersihan Luigajah
C. PD. Kebersihan Sukabumi
D. PT. Bumi Serpong Damai
E. Kebun Raya Bogor
F. PT. Cakra Mandiri
G. PT. Nidia Nandi Utama
14
2.3.
Pengomposan
Pengomposan menurut Murbandono (2002) adalah proses perubahan dan
peruraian bahan-bahan organik sehingga unsur haranya mengalami pembebasan
dan menjadi bentuk larut yang bisa diserap oleh tanaman. Dari hasil pengomposan
dihasilkan kompos.
Kompos merupakan bentuk akhir dari bahan-bahan organik (sampah
organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara
mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja didalamnya, baik secara
aerobik maupun anaerobik atau dengan kata lain kompos merupakan hasil
fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan,
atau limbah organik lainnya (Indriani 2000).
Sebelum dilakukan proses pengomposan, Apriadji (2004) mengemukakan
bahwa sampah harus dipisahkan antara sampah garbage dan sampah rubbish.
Sampah garbage adalah jenis sampah yang dapat dibusukkan (murni organik),
sedangkan sampah rubbish adalah jenis sampah rongsokan campuran senyawa
anorganik dengan organik. Jadi sampah yang nantinya dimanfaatkan sebagai
kompos hanya sampah jenis garbage saja, karena sampah jenis garbage mudah
sekali didegradasi oleh mikroba.
Waktu yang diperlukan dalam pembuatan kompos umumnya sekitar 3-4
bulan. Waktu ini dapat dipercepat menjadi 4-6 minggu, caranya dengan
menambahkan bahan tambahan atau aktivator bagi bakteri pengurai ke dalam
pengomposan tersebut (Murbandono 2002). Pengomposan dapat mengurangi
potensi pencemaran lingkungan yaitu mengurangi sampah yang dibakar atau
15
dibuang ke sungai. Kompos sebagai hasil dari pengomposan dapat mengurangi
penggunaan pupuk buatan dan obat-obat yang berlebihan pada tanaman.
Agar proses pengomposan dapat menghasilkan kompos yang bermutu
bagus maka harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktorfaktor yang mempengaruhi proses pengomposan, yaitu :
1. Nisbah C/N
Untuk proses pengomposan, nisbah C/N optimum pengomposan adalah
kurang dari 20 (Hadiwiyoto 1983). Hadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa agar
tujuan pengomposan dapat tercerai maka C/N rasionya harus lebih kecil dari 20.
Apabila C/N rasio terlalu besar maka mikroba perombak akan menggunakan
cadangan nitrogen dalam tanah tersebut dan proses dekomposisi akan berlangsung
lama. Semakin rendah nilai C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk
pengomposan semakin singkat.
2.
Bentuk Bahan
Suriawiria (2002) mengemukakan bahwa dalam proses pengomposan
semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses
pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homogen maka
lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba.
3.
Kelembaban dan Kadar Air
Menurut Hadiwiyoto (1983), tumpukan sampah yang terlalu kering akan
menyebabkan pengomposan berjalan lama. Oleh karena itu dianjurkan untuk
menyiram tumpukan sampah dengan air setiap periode waktu tertentu sehingga
kadar airnya cukup. Biasanya kadar air 48-55% memberikan hasil pengomposan
16
yang baik. Pengomposan juga dapat berlangsung dengan baik apabila kadar air
berkisar antara 30-67%.
4.
Suhu Pengomposan
Suhu pengomposan yang paling baik digunakan menurut Hadiwiyoto
(1983) sekitar 590C atau 40-500C (Murbandono 2002) atau 30-500C (hangat)
(Indriani 2000). Masih menurut Hadiwiyoto (1983) bahwa pengomposan akan
berjalan baik bila suhunya sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan mikroba
perombak.
5.
Nilai pH Pengomposan
Menurut Indriani (2000), bahwa pH pengomposan yang optimum berkisar
antara 6.5-7.5. Keasaman terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan
konsumsi oksigen yang akan berakibat jelek terhadap lingkungan sekitarnya.
Pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea,
pupuk nitrogen dengan tujuan untuk menurunkan pH pengomposan (Murbandono
2002).
6.
Jumlah Mikroba Perombak
Hadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa jika jumlah mikroba perombak
pada mulanya sedikit maka pengomposan akan berjalan lama. Hal ini
berhubungan erat dengan waktu adaptasi mikroba terutama bakteri. Semakin
banyak jumlah bakteri pada awal suatu proses, fase adaptasinya semakin singkat.
2.4.
Karakteristik dan Mutu Kompos
Kandungan nutrisi kompos dari berbagai daerah produsen kompos
berbeda-beda. Penyebabnya adalah bahan baku yang digunakan untuk
pengomposan berbeda antara satu produsen dengan produsen lainnya. Menurut
17
Suriawiria (2002), dalam kompos kandungan unsur-unsur seperti N, P, K dan
sebagainya sangat sedikit, tapi masih mengandung unsur-unsur yang tidak
dimiliki oleh pupuk buatan atau pupuk pabrik. unsur-unsur ini disebut unsur
mikro (mikroelemen), seperti besi (Fe), magnesium (Mg), dan tembaga (Cu), serta
vitamin sebagai zat pengatur tumbuh. Standar kualitas unsur makro kompos
berdasarkan standar nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Standar kualitas unsur makro kompos berdasarkan Standar
Nasional Indonesia
No
Kandungan
Satuan
Baku
1.
Bahan organik
%
27-58
2.
Kadar air
%
<50
3.
Total N
%
>0.40
4.
Karbon (C)
%
9.80-32.0
5.
C/N rasio
10-20
6.
Phosphor (P)
%
>0.10
7.
Kalium (K)
%
>0.20
8.
pH
6.80-7.49
Sumber : SNI 19-7030-2004 dalam Suherman (2005)
Tingkat kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos.
Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat
didekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau
yang ofensif, kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang
merugikan bagi tanaman (phytotoxic, benih rumput dan patogen). Oleh sebab itu,
tingkat kematangan kompos merupakan faktor utama dalam penentuan kelayakan
mutu kompos.
Kompos sebagai hasil pengomposan, umumnya dicirikan oleh sifat-sifat
sebagai berikut :
1. Berwarna coklat hingga hitam.
18
2. Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk
suspensi.
3. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirifosfat, atau larutan ammonium
oksalat, dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi
lebih lanjut menjadi zat humik, fulfik, dan humin.
4. Nisbah C/N berkisar antara 10-20 (tergantung bahan baku dan derajat
humifikasi).
5. Secara biokimiawi tidak stabil, tetapi komposisinya berubah akibat oksidasi
menjadi garam-garam anorganik, CO2, dan air melalui aktivitas mikrobial
(sepanjang kondisi lingkungan sesuai).
6. Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorbsi air tinggi.
7. Jika digunakan pada tanah, kompos memberikan efek-efek menguntungkan
bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P ,
K, Ca, dan Mg.
8. Tidak berbau.
2.5.
Analisis Kelayakan Proyek
Analisis kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil
suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha yang
direncanakan. Pengertian layak dalam penelitian ini adalah kemungkinan dari
gagasan suatu usaha yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), baik
dalam arti social benefit tidak selalu menggambarkan layak dalam arti financial
benefit, hal ini tergantung dari segi penilaian yang dilakukan (Ibrahim 2003).
Menurut Gittinger (1986), proyek yang bergerak dalam bidang pertanian
adalah suatu kegiatan investasi yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi
19
barang-barang modal yang dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat lebih
setelah beberapa periode waktu. Sumber-sumber yang dimaksud dapat berupa
barang-barang modal, tanah, bahan setengah jadi, bahan mentah, tenaga kerja dan
waktu.
Menurut Subagyo (2007), objek studi kelayakan terbagi dalam 3 jenis
yang berbeda, yaitu:
1.
Pendirian, berarti objek yang dipelajari dan diteliti merupakan usaha baru
yang akan didirikan.
2.
Pengembangan, berarti objek yang dikaji usahanya sudah berdiri dan
mempunyai rencana untuk dikembangkan terutama pada aspek-aspek
tertentu, misalnya pembelian teknologi baru karena adanya permintaan pasar
yang meningkat.
3.
Merger atau akuisisi, berarti objek merupakan usaha yang sudah berdiri
kemudian digabungkan dan diambil alih oleh perusahaan lain.
Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang kemampuan suatu
proyek dilaksanakan dengan berhasil (Husnan dan Suwarsono 2000). Tujuan
dilakukan analisis proyek adalah (1) untuk mengetahui tingkat keuntungan yang
dicapai melalui investasi dalam suatu proyek, (2) menghindari pemborosan
sumberdaya-sumberdaya yang akan digunakan, yaitu dengan menghindari
pelaksanaan proyek yang tidak menguntungkan, (3) mengadakan penilaian
terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif proyek
yang paling menguntungkan, dan (4) menentukan prioritas investasi (Gray, et al.
1992).
20
Sofyan (2003), diacu dalam Chaerunnisa (2007) berpendapat tujuan yang
ingin dicapai dari studi kelayakan ini sekurang-kurangnya mencakup empat pihak
yang berkepentingan, yaitu:
1) Bagi pihak investor : studi kelayakan usaha ditujukan untuk melakukan
penilaian dari kelayakan usaha untuk menjadi masukan yang berguna karena
sudah mengkaji berbagai aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan
teknologis, aspek manajemen operasioanl dan aspek finansial secara
komprehensif dan detail sehingga dapat dijadikan dasar bagi investor untuk
membuat keputusan investasi lebih objektif.
2) Bagi peneliti : studi kelayakan adalah suatu alat yang berguna dan dapat
dipakai sebagai penunjang kelancaran tugas-tugasnya dalam melakukan
penilaian suatu rencana usaha, usaha baru, pengembangan usaha, atau menilai
kembali usaha yang sudah ada.
3)
Bagi masyarakat : hasil studi kelayakan usaha merupakan suatu peluang
untuk meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian rakyat baik yang
terlibat langsung maupun yang muncul karena adanya nilai tambah sebagai
akibat dari adanya usaha tersebut.
4) Bagi pemerintah : dari sudut pandang mikro, hasil dari studi kelayakan ini
digunakan untuk pengembangan sumber daya baik dalam pemanfaatan
sumber-sumber alam maupun pemanfaatan sumber daya manusia berupa
penyerapan tenaga kerja. Selain itu, adanya usaha baru atau berkembangnya
usaha lama sebagai hasil studi kelayakan usaha yang dilaksanakan oleh
individu atau badan usaha tentunya akan menambah pemasukkan pemerintah
baik dari pajak pertambahan nilai maupun dari pajak penghasilan dan
21
retribusi berupa biaya perizinan, biaya pendaftaran, administrasi dan lainlainnya yang layak diterima sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara
makro pemerintah dapat berharap dari keberhasilan studi kelayakan usaha ini
adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah ataupun nasional sehingga
tercapai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kenaikan
pendapatan per kapita.
Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), tahap-tahap untuk melakukan
investasi usaha adalah sebagai berikut :
1) Identifikasi
Pengamatan
dilakukan
terhadap
lingkungan
untuk
memperkirakan
kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut.
2) Perumusan
Tahap perumusan merupakan tahap untuk menerjemahkan kesempatan
investasi ke dalam suatu rencana proyek yang konkrit, dengan faktor-faktor
yang penting dikelaskan secara garis besar.
3) Penilaian
Penilaian dilakukan dengan menganalisa dan menilai aspek pasar, teknik,
manajemen dan finansial.
4) Pemilihan
Pemilihan dilakukan dengan mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang
akan dicapai.
5) Implementasi
Implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang
pada anggaran.
22
Metode analisis kelayakan finansial merupakan metode analisis yang dapat
digunakan untuk mengetahui apakah suatu usaha layak atau tidak untuk
dilaksanakan. Selain itu, untuk melihat pengaruh perubahan-perubahan yang akan
terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah seperti perubahan harga bahan baku dan
lain sebagainya dapat digunakan metode analisis nilai pengganti (switching
value).
Kadariah et.al (1999) menjelaskan bahwa analisis finansial adalah analisis
yang melihat suatu proyek dari sudut badan-badan atau orang-orang yang
menanamkan modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam
proyek. Analisis finansial ini penting dalam memperhitungkan insentif bagi
orang-orang yang turut serta dalam menyukseskan pelaksanaan proyek.
Menurut Gittinger (1986), bahwa terdapat enam tujuan utama analisis
finansial untuk proyek-proyek pertanian, yaitu:
1.
Penilaian pengaruh finansial. Tujuan analisis finansial adalah menilai
pengaruh-pengaruh proyek terhadap para petani, pengusaha swasta dan
umum, badan-badan pelaksana pemerintah dan pihak lain yang turut serta
dalam proyek tersebut. Penilaian ini didasarkan atas analisa keadaan finansial
setiap peserta pada saat tersebut dan suatu proyeksi keadaan finansial pada
masa yang akan datang sejalan dengan pelaksanaan proyek.
2.
Penilaian penggunaan sumberdaya terbatas. Analisa finansial memberikan
informasi mengenai penggunaan sumberdaya-sumberdaya suatu proyek.
3.
Penilaian insentif (penarik). Pengamatan secara finansial sangat dibutuhkan
dalam penilaian insentif pada para petani, manajer dan pemilik yang ikut
dalam proyek.
23
4.
Ketetapan suatu rencana pembelanjaan. Salah satu tujuan dasar analisa
finansial adalah menghasilkan suatu rencana yang menggambarkan keadaan
finansial dan sumber-sumber dana berbagai peserta proyek serta proyek itu
sendiri. Rencana finansial adalah dasar untuk menentukan jumlah dan waktu
pelaksanaan investasi dan penetuan tingkat pembayaran serta kemungkinan
penambahan kredit untuk mendukung investasi yang telah ada.
5.
Koordinasi kontribusi finansial. Rencana finansial mengikuti koordinasi
kontribusi finansial dari berbagai peserta proyek. Koordinasi tersebut dibuat
dari dasar proyeksi seluruh finansial untuk proyek sebagai suatu keseluruhan.
6.
Penilaian kecakapan mengelola keuangan. Atas dasar proyeksi neraca
finansial, khususnya untuk perusahaan-perusahaan besar dan kesatuan (entity)
proyek, analisis dapat membuat penilaian tentang kerumitan pengelolaan
finansial proyek dan kemampuan pimpinan dalam mengelola proyek.
Lebih lanjut Gittinger (1986), mengemukakan bahwa salah satu cara yang
dapat digunakan dalam penilaian investasi dibidang pertanian adalah metode
diskonto. Diskonto merupakan suatu teknik yang dapat menurunkan manfaat yang
diperoleh di masa datang serta arus biaya menjadi biaya pada masa sekarang. Hal
ini dilakukan dengan cara mengurangkan manfaat-manfaat terhadap biaya-biaya
dari tahun ke tahun untuk mendapatkan arus manfaat neto yang disebut arus kas
(cash flow), kemudian arus kas tersebut didiskontokan.
Sehubungan dengan metode arus kas yang didiskontokan (discounted cash
flow), terdapat beberapa kriteria investasi yang digunakan, yaitu: Net Present
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan
24
untuk penilaian pengembalian ditunjukkan oleh kriteria Payback Periode atau
masa pengembalian investasi.
NPV atau keuntungan bersih suatu proyek adalah nilai sekarang dari arus
tambahan manfaat bagi pelaksanaan proyek, dihitung berdasarkan tingkat
diskonto. Jika nilai NPV lebih besar dari nol maka proyek dapat dikatakan layak.
Apabila nilai NPV sama dengan nol, berarti proyek tersebut mengembalikan
persis sebesar social opportunity cost faktor produksi modal, sebaliknya jika NPV
lebih kecil dari nol, berarti proyek tersebut tidak dapat menghasilkan senilai biaya
yang dipergunakan dan proyek tidak layak dilakukan (Kadariah et.al. 1999). Cara
perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang praktis
untuk mengetahui apakah proyek itu menguntungkan atau tidak. Namun, cara ini
tidak terlepas dari kelemahan-kelamahan, kelemahan ini terletak pada keharusan
menentukan suku bunga yang tepat dan benar sebelum metode digunakan
(Soekartawi et.al. 1986).
IRR yaitu rata-rata tingkat keuntungan internal tahunan dari suatu proyek
yang dinyatakan dalam satuan persen. Jika IRR dari suatu proyek lebih besar atau
sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku sebagai social discount rate, maka
NPV proyek tersebut sama dengan nol (impas), berarti proyek layak dilaksanakan,
sebaliknya jika IRR suatu proyek lebih kecil dari social discount rate, maka NPV
proyek tersebut lebih kecil dari nol, berarti proyek tidak layak untuk dilaksanakan
(Gray et.al. 1992).
Net B/C adalah perbandingan antara jumlah nilai keuntungan bersih
sekarang yang positif (sebagai pembilang) dengan jumlah nilai keuntungan bersih
sekarang yang negatif (sebagai penyebut). Jika Net B/C lebih besar dari satu maka
25
proyek dikatakan layak, sebaliknya jika Net B/C lebih kecil dari satu maka proyek
tersebut tidak layak untuk dilaksanakan (Gray et.al. 1992).
Payback Period (tingkat pengembalian investasi) digunakan untuk
mengukur periode jangka waktu yang diperlukan untuk mengembalikan semua
biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Proyek yang
dipilih adalah proyek yang paling cepat mengembalikan biaya investasi. Semakin
cepat modal kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal
yang kembali dapat dipakai untuk membiayai kegiatan yang lain.
Menurut Gittinger (1986), bahwa analisis nilai pengganti adalah suatu
analisis kembali untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat
keadaan yang berubah-ubah.
Pada bidang pertanian, proyek-proyek umumnya sensitif terhadap
perubahan-perubahan yang mungkin saja terjadi. Perubahan-perubahan yang biasa
terjadi dalam menjalankan usaha bidang pertanian umumnya dikarenakan empat
variabel utama, yaitu:
1.
Harga (harga jual output)
Perubahan harga jual output akan berpengaruh terhadap manfaat, manfaat
sekarang netto, tingkat pengembalian secara finansial maupun ekonomi.
2.
Keterlambatan Pelaksanaan
Keterlambatan pelaksanaan mempengaruhi hampir semua proyek-proyek
pertanian. Mungkin terjadi keterlambatan dalam pemesanan dan penerimaan
peralatan baru. Hal ini akan mempengaruhi biaya maupun manfaat dan
akhirnya akan mempengaruhi manfaat netto.
26
3.
Kenaikan Biaya
Proyek-proyek cenderung sensitif terhadap kenaikan biaya, karena biayabiaya sering diperkirakan sebelum proyek dilaksanakan. Hal ini akan
mempengaruhi biaya dan manfaat netto.
4.
Hasil (produksi yang dihasilkan)
Analisis nilai pengganti menguji kembali kesalahan-kesalahan yang
dilakukan dalam memperkirakan hasil yang akan diperoleh. Perubahan
produksi yang dihasilkan akan mempengaruhi manfaat dan manfaat netto.
Menurut Kadariah et.al. (1999) bahwa tujuan dari analisis nilai pengganti
adalah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika
terdapat suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau
manfaat. Hal ini diperlukan karena analisis proyek banyak mengandung
ketidakpastian tentang apa yang terjadi diwaktu yang akan datang.
Analisis nilai pengganti (Switching Value) merupakan variasi dari analisis
sensitivitas yang mencoba melihat kondisi kelayakan yang terjadi apabila
dilakukan perubahan-perubahan dalam biaya dan manfaat. Dalam analisis ini,
harus ditanyakan berapa banyak elemen yang kurang baik dalam analisis proyek
yang akan diganti agar proyek tersebut dapat memenuhi tingkat minimum
diterimanya proyek sebagaimana yang ditunjukkan oleh salah satu ukuran-ukuran
kemanfaatan proyek. Teknik analisis nilai pengganti dilakukan dengan cara
menentukan besarnya perubahan yang akan membuat nilai NPV sama dengan nol
(Gittinger 1986).
27
2.6.
Penelitian Terdahulu
Gustoro (2006) dalam penelitiannya mengenai sistem penunjang
keputusan pendirian industri kompos di TPA Galuga, Bogor. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang keputusan investasi
meliputi prakiraan jumlah timbunan sampah dan penilaian kelayakan finansial
industri pengolahan kompos. Sistem penunjang keputusan untuk pendirian
industri kompos dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual
Basic 6.0 yang disebut SPKKompos. Paket program SPKKompos terdiri dari dua
model yaitu model prakiraan dan model kelayakan finansial industri. Model
prakiraan digunakan untuk melihat prakiraan timbulan pasar sebagai bahan
pembuat kompos dengan cara memprakirakan jumlah penduduk pada masa yang
akan datang dengan metode prakiraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh model prakiraan yang tepat untuk memprakirakan jumlah penduduk di
Kota Bogor dengan menggunakan metode tren linier yaitu persamaan y = 611047
+ 21409x. Hasil prakiraan jumlah penduduk kemudian dilakukan dengan analisis
dengan tetapan-tetapan profil sampah Kota Bogor sehingga didapat volume
timbulan sampah pasar Kota Bogor untuk periode 10 tahun yang akan datang dari
tahun 2006-2015. Sedangkan model kelayakan finansial industri digunakan untuk
mengetahui kelayakan suatu usaha dari aspek finansial. Hasil analisa industri
kompos dengan pengadaan sampah pasar 30 ton per hari tidak layak dijalankan.
Untuk pengadaan sampah pasar 60 ton per hari dan 120 ton per hari dengan umur
proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan
perolehan nilai NPV sebesar Rp 1,4 milyar dan Rp 4,9 milyar dengan nilai IRR
28
sebesar 33,25% dan 47,59%. Untuk nilai B/C ratio diperoleh 1,86 dan 2,68
sedangkan payback period 5,52 tahun dan 3,16 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2009) mengenai analisis
kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan
biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB.
Hasil
penelitian
menunjukkan
kelayakan
pengusahaan
sapi
perah
dan
pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP Darul
Fallah dan Fakultas Peternakan IPB bila ditinjau dari aspek-aspek non finansial
yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek SDM, dan aspek
lingkungan hidup dapat disimpulkan layak untuk diusahakan. Sedangkan hasil
analisis finansial usaha peternakan UPP Darul Fallah memperoleh NPV>0 yaitu
sebesar Rp 202 juta yang artinya bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Pada
usaha ini diperoleh Net B/C>0 yaitu sebesar 1,74 yang mengindikasikan bahwa
pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan
pupuk kompos layak untuk dijalankan dimana setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan
selama umur proyek menghasilkan 1,74 satuan manfaat bersih. IRR yang
diperoleh sebesar 26,13%, artinya usaha ini layak dan menguntungkan karena IRR
lebih besar dari nilai diskon faktor (8,75) dengan periode pengembalian investasi
selama lima tahun sepuluh bulan tujuh belas hari.
Widiyani (2010) meneliti tentang analisis kelayakan pengusahaan pupuk
kompos pada unit usaha koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tujuan penelitiannya adalah
menganalisis kelayakan aspek non finansial dan finansial pengusahaan pupuk
kompos, serta menganalisis kepekaan dari kelayakan finansial berdasarkan
29
analisis switching value dari pengusahaan pupuk kompos tersebut. Analisis aspek
pasar menunjukkan bahwa jumlah permintaan akan pupuk kompos sangat besar,
baik pada pasar internal maupun pasar eksternal. Berdasarkan analisis aspek
teknis, bahwa lokasi usaha tersebut sangat strategis dan ketersediaan bahan baku
serta tenaga kerja yang memadai. Koperasi kelompok tani Lisung Kiwari
memiliki struktur organisasi yang sederhana sehingga membantu dalam
pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab. Berdasarkan analisis aspek
sosial dan lingkungan, usaha ini mampu menyerap tenaga kerja dari lingkungan
sekitar.
Hasil aspek finansial dari pengusahaan pupuk kompos ini ada dua
skenario, yang pertama diperoleh NPV sebesar Rp 67,9 juta; Net B/C sebesar
3,52; IRR sebesar 56,82%; serta payback period selama dua tahun sepuluh bulan
dua hari. Pada skenario kedua diperoleh NPV sebesar Rp 138 juta; Net B/C
sebesar 5,91; IRR sebesar 96,77%; serta payback period selama satu tahun
delapan bulan delapan hari. Analisis switching value pada usaha ini menunjukkan
bahwa kondisi usaha pada skenario kedua memiliki tingkat kepekaan yang lebih
rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap perubahan variabel yang
dianalisis sensitivitas perubahannya dibandingkan skenario pertama. Pada
skenario kedua, persentase batas kenaikan harga beli kotoran sapi yang masih
memberikan keuntungan adalah 48,63% dan pada skenario pertama 41,44%.
Batas maksimal perubahan penurunan produksi pupuk kompos pada skenario
kedua yang masih memberikan keuntungan adalah sebesar 21,94% dan pada
skenario pertama hanya 16,40%. Pada variabel harga jual, skenario kedua
memiliki batas maksimal perubahan penurunan harga jual produk yang masih
30
memberikan keuntungan sebesar 22,09% dan skenario pertama hanya sebesar
16,51%.
31
Download