2 tinjauan pustaka

advertisement
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan laut yang memiliki potensi untuk
dibudidayakan di tambak. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas perairan yang
luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, seperti suhu, pH, dan
kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).
Ikan ini memiliki karakteristik badan langsing, sisik seperti kaca, serta
daging berwarna putih. Ikan bandeng mendapat julukan ikan milkfish karena
mempunyai daging berwarna putih, seperti susu dan rasanya pulen. Ikan ini
memiliki keunikan mulutnya tidak bergigi dan makanannya tumbuh-tumbuhan di
dasar laut. Selain itu, panjang usus ikan bandeng sembilan kali dari panjang
tubuhnya (Murtidjo 1989). Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
:Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Famili
: Chanidae
Genus
:Chanos
Spesies
:Chanos chanos
Ikan bandeng mempunyai ciri-ciri morfologi dengan bentuk tubuh ramping,
badannya tertutup oleh sisik, jari-jari semuanya lunak dan jumlah sirip punggung
antara 14-16, pada sirip dubur antara 10-11, pada sirip dada antara 16-17 dan pada
sirip perut antara 11-12. Sirip ekor panjang dan bercagak. Mata diselimuti lendir
dan tidak ada skut pada bagian perut (Djuhanda 1981). Morfologi ikan bandeng
dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (Anonim 2010).
Jumlah sisik pada gurat sisi ada 75-80 keping. Mulutnya berukuran sedang dan
nono protractile, yaitu posisi mulut satu garis dengan sisi bawah bola mata,
bentuk tubuhnya, seperti panah (Djuhanda 1981).
2.2 Kemunduran Mutu Ikan Bandeng
Setelah ikan mati, ikan segera mengalami proses kemunduran mutu.
Kemunduran mutu pada ikan bisa disebabkan karena proses yang terjadi pada
tubuh ikan atau karena lingkungan. Proses kemunduran mutu ikan terjadi karena
aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi (Ilyas 1993). Ketiga hal tersebut
menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun. Proses perubahan ikan setelah
mati terdiri dari empat tahap, yaitu prerigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.
2.2.1 Fase prerigor
Fase prerigor merupakan tahap pertama dari postmortem. Tahap ini ditandai
dengan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit.
Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin
yang merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
Peristiwa ini terjadi ketika jaringan otot yang mulai lembut dan lentur yang
disebabkan karena proses biokimia, yaitu penurunan tingkat ATP dan keratin
fosfat serta adanya proses glikolisis aktif. Glikolisis merupakan suatu proses
konversi glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan pH turun. Tingkat
perubahan pH bervariasi antara satu spesies dengan spesies yang lain seperti juga
diantara
otot yang berbeda. Namun, hewan dalam keadaan kenyang dan
istirahat mempunyai cadangan glikogen yang besar, sehingga dalam keadaan post
mortem daging
yang
dihasilkan
memiliki pH lebih
rendah
dibandingkan
dengan daging hewan yang dihasilkan dalam keadaan lapar atau stres pada saat
disembelih (Eskin 1990).
5
2.2.2 Fase rigormortis
Fase rigormortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia
yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Setelah ikan mati,
sirkulasi darah terhenti dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan
glikogen menjadi asam laktat. Perubahan ini menyebabkan pH tubuh ikan
menurun, diikuti dengan penurunan jumlah ATP dan ketidakmampuan
mempertahankan kekenyalan oleh jaringan otot. Tinggi rendahnya pH awal ikan
sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada
daging ikan. Pada fase ini, pH tubuh ikan menjadi 6,2-6,6 dari pH semula 6,9-7,2
(Junianto 2003). Hal ini menstimulasi enzim-enzim yang menghidrolisis fosfat
organik. Fosfat yang pertama kali terurai adalah fosfat keratin dengan membentuk
keratin dan asam fosfat, kemudian diikuti oleh terurainya adenosin trifosfat (ATP)
membentuk adenosin difosfat (ADP) dan asam fosfat (Irianto dan Giyatmi 2009).
Pada fase ini belum terjadi aktivitas bakteri yang berarti, pH ikan masih turun
dikarenakan penumpukan asam laktat sehingga bakteri belum bisa tumbuh dengan
baik (Adawyah 2007).
Fase rigormortis ini biasanya berlangsung sekitar 5 jam. Selama berada
dalam tahap rigormortis ini, ikan masih dalam keadaan sangat segar. Ini berarti
bahwa apabila rigormortis dapat dipertahankan lebih lama maka proses
pembusukan dapat ditekan (Irianto dan Giyatmi 2009).
2.2.3 Fase postrigor
Fase postrigor ditandai dengan melunaknya daging. Proses ini diawali
terjadinya proses autolisis. Proses autolisis tidak dapat dihentikan walaupun pada
suhu yang rendah. Nilai pH yang semakin turun menyebabkan enzim-enzim
dalam jaringan otot menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang
berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur
jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan
bakteri. Demikian pula enzim lain yang ada dalam organ tubuh ikan, misalnya
perut, melakukan aktivitas yang sama. Hal ini mengakibatkan daging ikan
menjadi agak lunak. Fase perombakan jaringan oleh enzim dalam tubuh ikan ini
disebut dengan autolisis. Ikan dalam fase autolisis ini sering masih dianggap
6
cukup segar dan layak dimakan. Meskipun demikian, fase ini merupakan fase
transisi antara segar dan busuk (Irianto dan Giyatmi 2009).
Penguraian protein menghasilkan senyawa amonia yang terjadi pada fase
ini. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi pH yang semakin naik dengan
semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis
akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003).
2.2.4 Fase busuk
Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dan ikan
sudah tidak dapat dikonsumsi. Mikroorganisme dominan yang berperan penting di
dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Dekomposisi berjalan
intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigormortis, pada saat jaringan otot
longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan. Bakteri mengeluarkan getah
pencernaan, enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan. Bakteri pada
daging menyebabkan perubahan bau dan rasa, perubahan tampilan dan ciri fisik
lendir, serta warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar. Lapisan
perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh (Irianto
dan Giyatmi 2009).
2.3 Anatomi Usus
Usus ikan bandeng panjang dan sempit dengan banyak pyloric caeca di
daerah anterior dan mempunyai mukosa yang berfungsi untuk pencernaan dan
penyerapan dengan konsentrasi yang tinggi (Lee et al. 1986). Usus ikan bandeng
tidak bisa dibedakan antara duodenum dan ileum. Bagian tersebut berhubungan
dengan caeca usus yang berjumlah kurang lebih 120 hingga 150 unit. Caeca usus
berbentuk sederhana dan bercabang, seperti organ jari dengan panjang berbedabeda. Bentuknya kompak dan terletak antara pyloric stomach dan lekukan usus
(George dan Chandy 1959). Panjang usus bergantung pada jenis makanannya,
usus ikan berupa tabung sederhana yang berukuran sama dari lambung sampai
dubur. Bentuknya dapat lurus seperti pada ikan betutu dan lele atau melingkarlingkar seperti ikan nila, mas, dan gurame bergantung pada bentuk rongga perut.
Usus mempunyai lapisan epitel kolumnar sederhana, sel lendir melapisi lapisan
submukosa yang berisi sel eosinofilik bergranula, berbatasan dengan mukosa
muskularis lapisan usus (Kusrini 2007).
7
Bagian lumen pada usus dikelilingi oleh empat lapisan, yaitu serosa,
muskularis, submukosa, dan mukosa. Serosa adalah membran yang lembut yang
menyelimuti lapisan muskularis. Muskularis terdiri dari longitudinal luar dan
lapisan sirkular dalam. Submukosa merupakan lapisan tipis yang bercabang ke
dalam mukosa. Sel darah, tipe leukosit berserak atau banyak terdapat dalam
submukosa. Mukosa merupakan lapisan yang terlihat, seperti epitelium berbentuk
kubus yang ciri-cirinya sederhana atau bercabang dengan vili panjang. Sel epitel
sempit dan panjang dengan dasar nukleus dan tersusun kompak. Sel mukosa luas
dengan berbagai tahap aktivitas yang seluruhnya terjadi pada lekukan usus.
Caeca usus merupakan perpanjangan pada usus. Kelenjar mukosa banyak terdapat
pada caeca (George dan Chandy 1959).
Gambar 2 Dinding usus dengan perbesaran 17x secara skematis dalam tiga
dimensi (Genesser 1994).
2.4 Anatomi Ginjal
Organ ginjal pada ikan berfungsi sebagai alat ekskresi dan osmoregulasi.
Ginjal mempunyai peranan penting dalam ekskresi sisa nitrogen dan mengatur
keseimbangan kadar air dan garam (homeostasis) (Piska dan Naik 1992).
8
Gambar 3 Susunan histologik suatu korpuskel ginjal secara skematis dalam tiga
dimensi (Genesser 1994).
Ginjal terdiri dari sejumlah besar tubulus nefron yang berkembang dari
depan ke belakang. Struktur ginjal memanjang, berpasangan, dan terletak di atas
saluran pencernaan dan dekat dengan tulang punggung. Ginjal ikan teleostei
umumnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu kepala dan batang ginjal. Batang
ginjal terdiri dari sejumlah besar nefron, masing-masing terdiri dari sel darah
ginjal atau badan Malphigi dan tubulus. Ruang intertubular penuh dari jaringan
limfoid yang terdistribusikan tidak merata. Ginjal bagian kepala umumnya terdiri
dari limfoid, hematopoietik, interrenal dan jaringan chromaffin (supra renal), serta
tubulus. Bermacam-macam variasi dalam jumlah, bentuk, dan ukuran sel-sel
ginjal. Sel-sel ginjal besar jarang ditemukan. Ginjal ikan laut sebagian besar
memiliki glomerulus dan sel ginjal yang kurang berkembang dengan baik, dan
mungkin non-fungsional (Piska dan Naik 1992).
2.5 Anatomi Hati
Hati merupakan organ dalam terbesar dari tubuh. Selain itu, hati juga
merupakan
jaringan terbesar kelenjar. Di
dalam
organ
hati,
nutrisi
akan
diserap oleh saluran pencernaan, diproses, dan kemudian disimpan untuk
digunakan oleh bagian tubuh yang lain. Metabolisme memiliki berbagai fungsi
9
(misalnya sintesis protein, penyimpanan metabolit, sekresi empedu, detoksifikasi,
dan inaktivasi) yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan hidup.
Hati akan menerima darah melalui vena portal atau arteri hepatik. Sebagian dari
darah (70-80%) berasal dari vena portal yang membawa darah mengandung
nutrisi dan akan diserap di dalam usus. Arteri hati merupakan sebuah cabang dari
sumbu celiac yang beroksigen di dalam hati (Akiyoshi dan Inoue 2004).
Hati terletak di sisi rongga tubuh dorsal, berdekatan dengan tulang
punggung, dengan beberapa meluas ke dasar sirip dada dekat ginjal anterior. Hati
dikelilingi oleh kapsula jaringan ikat yang tipis, yaitu kapsula glisson, yang
ditutupi oleh serosa hampir pada seluruh permukaannya. Di dalam kapsula glisson
terdapat beberapa pembuluh darah kecil. Jaringan ikat membagi parenkim hati
menjadi lobus, unit struktural yang disebut jaringan ikat portal atau jaringan ikat
interlobular. Jaringan ikat mengelilingi portal triad, yaitu gabungan tiga saluran
berisi cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus biliaris (Genesser 1994).
Lobulus hati
Jaringan ikat
portal
Vena sentralis
Portal triad
Gambar 4 Histologi hati dengan pewarnaan HE perbesaran 75x (Genesser 1994).
10
Gambar 5 Hati ikan normal, (*) hepatosit dengan sitoplasma granular, dan inti
pusat yang berbentuk bulat (panah) skala bar 10 mm, H.E. (Camargo
dan Martinez 2007).
Hati juga merupakan organ vital yang berfungsi sebagai detoksifikasi dan
mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan. Hati
berperan penting dalam proses metabolisme dan transformasi bahan pencemar
dari lingkungan. Dengan demikian hati merupakan organ yang paling banyak
mengakumulasi zat toksik sehingga mudah terkena efek toksik. Sebagian zat
toksik yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati
oleh vena porta hati sehingga hati berpotensi mengalami kerusakan. Adanya zat
toksik akan mempengaruhi struktur histologi hati sehingga dapat mengakibatkan
patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis atau bridging
necrosis, degenarasi intralobular dan fokal nekrosis, fibrosis, serta cirrhosis
(Camargo dan Martinez 2007).
2.6 Histologi
Histologi berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan dan
logos yang berarti ilmu. Jadi histologi berarti suatu ilmu yang menguraikan
struktur
dari
hewan
secara
terperinci
dan
hubungan
antara
struktur
pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsinya. Jaringan merupakan
sekumpulan sel yang tersimpan dalam suatu kerangka struktur atau matriks yang
mempunyai suatu kesatuan organisasi yang mampu mempertahankan keutuhan
dan penyesuaian terhadap lingkungan diluar batas dirinya (Bavelander 1998).
11
Sajian histologi merupakan suatu irisan jaringan yang sangat tipis, yang
cocok untuk dipelajari di bawah mikroskop cahaya atau mikroskop elektron.
Sajian ini berfungsi sebagai pengamatan sesaat terhadap apa yang terjadi pada saat
itu di dalam jaringan. Sajian yang akan diamati dengan mikroskop cahaya harus
cukup tipis agar cukup ditembus cahaya dan menghindarkan tumpang tindih
visual oleh berbagai unsurnya. Untuk mikroskopi cahaya biasanya sajian dibuat
dengan teknik parafin (Cormack 1992).
Mikroteknik adalah ilmu yang mempelajari tentang pembuatan preparat.
Setiap pembuatan preparat pada umumnya selalu dilakukan fiksasi terlebih
dahulu. Fiksasi itu sendiri adalah suatu cara atau proses (metode) yang bertujuan
untuk mematikan sel tanpa mengubah fungsi dan struktur di dalam sel itu sendiri.
Jika telah dilakukan fiksasi maka preparat yang dibuat akan menjadi lebih awet
dan tahan lama (Kiernan 1990).
2.7 Pemeriksaan Histologi
Histologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang
organ atau bagian tubuh hewan atau tumbuhan secara cermat dan rinci. Upaya
untuk mengamati, mempelajari serta meneliti jaringan-jaringan dari organisme
tertentu dapat dilakukan dengan cara pembuatan spesimen atau preparat histologi.
Menurut Davenport (1960) diacu dalam Gunarso (1986) penyiapan spesimen
histologi secara umum dilakukan dengan 4 cara, yaitu:
(1) penyiapan preparat/spesimen secara keseluruhan (whole mount), yaitu
pengamatan perkembangan embrio dan lain sebagainya;
(2) penyiapan spesimen dengan metode penyayatan (sectioning methods);
(3) penyiapan dengan metode remasan (teasing/squashing methods);
(4) penyiapan dengan menggunakan metode ulasan (smear methods).
Metode penyayatan (sectioning) adalah suatu metode yang banyak
digunakan dalam penyiapan spesimen histologi. Metode ini dilakukan dengan
menyayat spesimen hingga sangat tipis, kemudian diwarnai dan dijadikan
spesimen awetan. Penyayatan dilakukan menggunakan mikrotom. Spesimen
dilakukan perlakuan pengerasan agar memudahkan dalam penyayatan. Pengerasan
jaringan dilakukan dengan cara membekukan atau dengan penanaman dalam suatu
12
substansi yang mampu mengeraskannya (Davenport 1960 diacu dalam Gunarso
1986).
Pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan suatu metode yang
paling umum digunakan. Metode ini banyak digunakan karena pembuatannya
lebih mudah dan lebih cepat serta material kering dapat disimpan lebih lama
(Kiernan 1990). Metode parafin adalah suatu cara pembutan sediaan baik
tumbuhan ataupun hewan menggunakan parafin. Kelebihan metode ini ialah irisan
jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin. Tebal
irisan dengan metode beku rata-rata diatas 10 mikron, tetapi dengan
metode parafin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan
yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini.
Kelemahan dari metode ini ialah jaringan menjadi keras, mengerut, dan
mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan dengan
menggunakan metode ini karena sebagian besar enzim-enzim yang terdapat pada
jaringan akan larut (Kiernan 1990).
Langkah-langkah dalam teknik histologi secara manual adalah fiksasi atau
pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan,
pewarnaan jaringan, serta pengamatan menggunakan mikroskop (Angka et al.
1990). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, clearing,
impregnasi dan embedding, blocking dan trimming, pemotongan, pewarnaan, dan
perekatan jaringan.
Fiksasi merupakan tahap awal pembuatan preparat histologi yang dilakukan
untuk mencegah autolisis dan dekomposisi postmortem dari suatu jaringan atau
organ. Selain itu, fiksasi akan membuat padat suatu jaringan lunak. Hal ini
disebabkan karena bahan fiksatif akan mengkoagulasi protein dalam sel dan
jaringan. Fiksasi juga bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi
jaringan sehingga jaringan tetap, seperti keadaan semula sewaktu hidup, serta
memudahkan pemulasan atau pewarnaan jaringan yang akan dilakukan pada
tahapan selanjutnya (Cormack 1992).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan jaringan histologis
antara lain: tebal irisan jaringan 3-5 mm sehingga cairan fiksasi dapat dengan
cepat memfiksasi seluruh jaringan, volume cairan fiksasi sekurang-kurangnya
13
harus 15-20x volume jaringan yang akan difiksasi. Besarnya volume jaringan
menentukan volume fiksasi yang diperlukan sedangkan tebal jaringan menentukan
kecepatan fiksasi. Panjang dan lebar jaringan umumnya ditentukan oleh jenis
mikrotom yang akan digunakan, dan jenis cairan fiksasi yang akan digunakan
bergantung kepada unsur jaringan yang akan didemonstrasikan dan kepada jenis
pewarnaan yang akan digunakan. Untuk keperluan praktis, cairan fiksasi dapat
dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu micro-anatomical fixation, cytological
fixatives, dan histochemical fixatives (Kiernan 1990).
Larutan fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang dapat digunakan
antara lain fiksatif Zenker, fiksatif Clarke’s, fiksatif Carnoys, Buffer Normal
Formalin (BNF), fiksatif Alcohol-formalin-acetic mixtures, larutan Bouin’s,
Larutan Helly’s, fiksatif Altmann’s, larutan Gendre’s dan fiksatif Heidenhain ‘s
(Kiernan 1990). Formula fiksatif BNF adalah (Kiernan 1990):
Sodium phosphate
NaH2PO4.H2O
: 4,0 g
Na2HPO4 (anhidrid)
: 6,5 g
Akuades
: 900 ml
Formaldehid 37-40 %
: 100 ml
Waktu minimum yang dibutuhkan untuk jaringan dalam fiksatif ini adalah
24 jam dan maksimum 1 minggu. Konsentrasi formaldehid tidak terlalu
berpengaruh, dan berkisar dari 2,5-10%. Fiksasi dilakukan dengan cara
membenamkan potongan kecil jaringan ke dalam larutan fiksatif. Pengambilan
jaringan dilakukan dengan pisau yang tajam. Hal ini bertujuan untuk menghindari
kerusakan pada jaringan (Genesser 1994).
14
Tabel 1 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet
Larutan
Pengawet
Formalin
Kelebihan
Kekurangan
Cairan pengawet umum, pH netral,
potongan jaringan dapat ditinggalkan
dalam pengawet tanpa terjadi
perubahan berarti (sampai 1 tahun)
Waktu perendaman > 24 jam,
terjadi pengerutan jaringan
Muller
Daya penetrasi cepat dan baik,
memfiksasi nukleus dan sitoplasma
dengan baik
Jika sampel direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, tidak dapat
dipakai untuk pewarnaan dengan
metode histokimia, harus dicuci
dulu dengan air kran mengalir
sebelum dilakukan dehidrasi
Bouin
Daya penetrasi cepat dan merata tetapi
menyebabkan pengerutan, memberikan
warna cemerlang bila diwarnai dengan
metode trichrome, sangat baik untuk
nukleus dan kromoson, warna kuning
membuat jaringan mudah dilihat saat
perendaman dan pengirisan jaringan
Bila direndam dalam pengawet
(> 24 jam), jaringan menjadi
rapuh, harus dicuci dulu dengan
air kran untuk menghilangkan
kelebihan pikrat
Zenker
Formol
(Cairan
Helly)
Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat
baik untuk fiksasi sumsum tulang,
limpa dan organ lain yang banyak
mengandung darah, warna sitoplasma
menjadi lebih cemerlang
Pemaparan jaringan dalam
larutan yang melebihi waktu
yang ditentukan mengakibatkan
jaringan rapuh
Sumber: Kiernan 1990
Proses dehidrasi dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air atau
menarik cairan yang ada dalam jaringan setelah proses fiksasi dan digantikan
parafin. Kandungan air yang tinggi akan menghambat proses selanjutnya. Cairan
dalam jaringan akan menyebabkan jaringan menjadi lunak, berisi lumen dan
mudah rusak saat penyayatan (Sass 1951).
Clearing merupakan suatu proses penjernihan yang bertujuan untuk
menggantikan alkohol. Proses clearing dilakukan dengan menambahkan clearing
agent yang berfungsi untuk melarutkan parafin. Pada proses ini jaringan menjadi
jernih dan transparan sehingga tidak tertembus cahaya. Bahan yang dapat
digunakan sebagai clearing agent, yaitu xylol, kloroform, dan benzol. Xylol
banyak digunakan karena bekerja dengan cepat, membuat preparat cukup
transparan dan bersifat dealkoholisasi (Sastrohadinoto et al. 1973). Menurut
15
Angka et al (1990), Setelah dilakukan proses dehidrasi, air di dalam sel akan
keluar. Bagian yang kosong akan terisi parafin agar jaringan terikat kuat dengan
parafin. Alkohol tidak dapat melarutkan parafin, oleh sebab itu digunakan xylol
yang dapat melarutkan parafin dan dapat bercampur dengan alkohol.
Impregnasi merupakan proses pemasukan medium tanam ke dalam jaringan
secara bertahap. Medium yang digunakan untuk menanam adalah parafin.
Embedding adalah proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam jaringan.
Proses ini berlangsung di dalam oven pada suhu 60 oC karena titik cair parafin
pada suhu 54 oC-58 oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam
seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat
dilakukan pemotongan (Angka et al. 1990). Pada suhu yang lebih tinggi dari titik
cair parafin sisa-sisa dehidratant dan clearing agent akan lebih cepat menguap
(Sastrohadinoto et al. 1973). Proses pembenaman ke dalam parafin membantu
memudahkan pemotongan jaringan yang sangat tipis.
Jaringan yang telah dilakukan proses embedding menggunakan parafin cair
lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian
dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang
kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke
dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga
sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi parafin
cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu
ruang selama 24 jam (Angka et al. 1990).
Blok parafin dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras dan ditriming
menggunakan silet. Tujuan dilakukannya trimming yakni membuang parafin yang
berlebihan, mengatur bentuk potongannya agar rapi dan agar dapat disesuaikan
dengan tempat blok alat pemotong (Sastrohadinoto et al. 1973, Angka et al.
1990).
Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan pisau khusus
yaitu
mikrotom. Alat ini dilengkapi dengan pisau yang sangat tajam dan ketebalan
irisan yang diingikan. Menurut Kiernan (1990) mikrotom ada beberapa macam
yaitu :
16
(1)
Mikrotom geser (sliding mikrotome).
Pada alat ini, jaringan tetap berada pada tempatnya, sedang pisaunya yang
bergerak. Pada umumnya jaringan yang akan dipotong dengan mikrotom geser
adalah jaringan yang tanpa penanaman (embedding ) terlebih dulu. Jaringan yang
akan diiris sebelumnya dapat diwarnai dengan pewarnaan tunggal, ataupun tanpa
warna terlebih dahulu. Metode ini banyak dikerjakan untuk pengirisan jaringan
tumbuh-tumbuhan.
(2)
Mikrotom beku ( freezing microtome).
Alat ini dihubungkan dengan tabung berisi CO2 dingin, melalui suatu pipa
karet. Mikrotom ini keadaannya sama dengan mikrotom geser yaitu jaringan tetap
berada pada tempatnya sedangkan pisau mikrotomnya yang bergerak ke muka dan
ke belakang. Fiksasi
dapat
dijalankan setelah
pemotongan
dan
sebelum
pewarnaan.
(3)
Mikrotom putar (rotary microtome).
Mikrotom ini letak pisau tetap pada tempatnya, sedangkan jaringannya yang
bergerak ke atas dan ke bawah. Hal inilah yang membedakan mikrotom ini
dengan kedua jenis mikrotom di atas. Jenis mikrotom ini yang biasanya digunakan
untuk pembuatan sediaan irisan dengan metode parafin.
Sayatan untuk jaringan keras dengan ketebalan 7-8 µm, sedangkan untuk
jaringan lunak seperti daging, hati, ginjal dan lain-lain ketebalannya 5-6 µm. Pita
parafin diletakkan di permukaan air hangat/waterbath (45 oC-50 oC). Hal ini
bertujuan agar jaringan di dalam parafin teregang. Pita parafin diangkat dari
permukaan air dengan menggunakan slide yang sebelumnya telah direndam di
dalam metanol. Perendaman ini bertujuan untuk membersihkan kotoran yang
menempel pada slide. Preparat yang telah merekat pada slide dibiarkan hingga
mengering.
Pewarnaan dilakukan dengan melekatkan irisan jaringan pada kaca obyek.
Sebelum pewarnaan harus dilakukan penghilangan parafin yang ada di dalam
jaringan menggunakan xilene (xylol) kemudian dilakukan hidrasi dengan
konsentrasi alkohol yang menurun, yaitu alkohol 100%, 100%, 95%, 90%, 80%,
70%, dan 50% masing-masing selama 3 menit. Penghilangan parafin bertujuan
agar jaringan menjadi jernih (Angka et al. 1990).
17
Pewarnaan histologi pada umumnya menggunakan kombinasi hematoksilin
dan eosin (HE). Hematoksilin dan eosin adalah metode pewarnaan yang berfungsi
ganda. Pertama memungkinkan pengenalan komponen jaringan tertentu dengan
cara memulasnya secara differensial. Kedua, dapat memulas dengan tingkat atau
derajat warna berbeda yang menghasilkan kedalaman pulasan yang berbeda.
Hematoksilin berasal dari ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree.
Pada pulasan H & E, kompleks warna hemaktosilin berwarna ungu tua. Pewarna
eosin memberikan warna merah muda sampai merah pada komponen jaringan
yang tidak terpulas ungu-biru oleh hemaktosilin. Hematoksilin bekerja sebagai
pewarna basa. Zat ini mewarnai unsur basofilik pada jaringan. Eosin bersifat asam
serta memulas komponen asidofilik pada jaringan (Cormack 1992).
Mounting adalah suatu proses perekatan sayatan jaringan pada kaca sediaan
menggunakan bahan perekat (adhesive). Proses mounting dilakukan menggunakan
mounting media. Mounting media merupakan zat pengisi antara preparat yang
telah diwarnai dengan kaca penutup. Terdapat dua jenis mounting media, yaitu
dalam bentuk resin dan cairan. Resin media terdiri dari tiga tipe, yaitu alami, semi
sintetis, dan sintetis sepenuhnya. Contoh resin media adalah Canada Balsam.
Canada balsam merupakan mounting alami yang terdiri dari komponen volatil,
yaitu resin yang merupakan cairan kental berwarna kuning dan meleleh ketika
dipanaskan. Balsam yang dikeringkan akan berbentuk padat dan harus
ditambahkan xylene sehingga dapat digunakan sebagai mounting media.
Komponen tak jenuh dalam resin membuat Canada balsam sebagai agen
pereduksi ringan. Oleh karena itu, media Canada balsam dapat mempertahankan
warna pada preparat awetan histologi lebih dari satu bulan atau satu tahun. Contoh
mounting media dalam bentuk cairan, antara lain Gliserol jelly, Buffer gliserol
dengan PDD, fructose syrup, dan Apathy’s medium (Cormack 1992).
Penutupan kaca obyek dilakukan dengan menutupkan kaca penutup di atas
sajian, sehingga apabila xylol dalam media penjernih menguap maka kaca
penutup melekat erat dengan kaca obyek. Hal ini dilakukan agar permukaan yang
dihasilkan tidak menyebabkan pantulan cahaya selama pengamatan mikroskopis
(Geneser 1994).
Download