bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan isi teoritis dari kedua variabel
penelitian secara lengkap. Seperti contohnya adalah definisi dan jenis-jenis dari
variabel penelitian.
2.1
Definisi Iklan
Menurut Kasali (1992) secara sederhana iklan didefinisikan sebagai suatu
pesan yang menawarkan produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat melalui media.
Sedangkan menurut Kotler (2004) iklan adalah suatu bentuk penyajian dan promosi
ide, barang atau jasa yang secara nonpersonal dibuat oleh suatu sponsor tertentu yang
memerlukan pembayaran. Iklan menurut KBBI adalah “berita atau pesan untuk
mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang
ditawarkan.” Dari definisi diatas, terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah
iklan yakni “mendorong dan membujuk”. Sedangkan kata iklan (advertising) berasal
dari bahasa Yunani, yang artinya kurang lebih adalah 'menggiring orang pada
gagasan'. Dari beberapa pengertian dari para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
iklan adalah suatu penampilan mengenai produk atau jasa yang mengandung unsur
promosi untuk mendorong ketertarikan individu pada barang atau jasa tersebut (Jaiz,
2014)..
2.1.1
Sejarah Periklanan
Menurut para arkeolog, advertising sudah ada sejak jaman dahulu, yang
dilakukan untuk mempublikasikan berbagai peristiwa (event) dan tawaran (offers).
Metode pertama iklan yang pertama kali dilakukan manusia sangatlah sederhana
dengan cara pemilik barang yang akan menjual barangnya berteriak di gerbang masuk
kota untuk menawarkan barang kepada pengunjung yang memasuki kota tersebut.
Metode lain adalah dalam bentuk pesan berantai, penawaran barang dilakukan dari
satu orang ke orang lainnya, sambung-menyambung (Jaiz, 2014). Pesan iklan dalam
bentuk tertulis baru ditemukan pada masa Babylonia (3000 SM) yang menggunakan
tanah liat (clay tablet) yang bertuliskan prasasti tentang dealer salep (ointment
dealer), juru tulis (scribe) dan pembuat sepatu (Wells, Burnett & Moriarty, 1995).
Dengan ditemukannya mesin cetak oleh Gutenberg pada tahun 1940 bisnis iklan
mengalami peningkatan. Pada tahun 1472 William Caxton di London melakukan
pencetakan dalam bahasa Inggris pertama, yang berbentuk selembaran (handbill)
berisi tuntunan keagamaan untuk perayaan hari Paskah (Jaiz, 2014)..
Di Indonesia, iklan berupa poster dan papan reklame banyak ditempel di
samping gerobak sapi yang dipakai untuk mengantar barang sejak tahun 1930. Iklan
di dalam surat kabar pertama kali diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal HindiaBelanda periode 1619 - 1629, Jan Pieterszoon Coen. J.P. Coen juga adalah penerbit
Bataviasche Nouvelle, surat kabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744. Lalu
periklanan mulai memasuki media radio di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an.
Setelah itu berkembanglah iklan dalam media televisi, yang pertama kali muncul pada
1 Maret 1963 di stasiun TVRI (Jaiz, 2014)..
2.1.2
Jenis Iklan
Menurut Kotler (2004) Tujuan periklanan adalah salah satu tugas komunikasi
spesifik dan level keberhasilan yang harus dicapai atas audiens spesifik pada periode
waktu yang spesifik. Berdasarkan tujuannya, Kotler membagi iklan menjadi 3 jenis
yaitu:
a) Iklan informatif
Pada iklan jenis informatif, perusahaan merancang iklan sedemikian rupa
untuk memperlihatkan hal-hal penting dalam produk/jasa dalam iklannya (sangat
menonjolkan aspek manfaat). Biasanya digunakan untuk menginformasikan
produk/jasa baru.
b) Iklan membujuk/Persuasif
Periklanan jenis ini biasanya membujuk konsumen dengan cara perusahaan
mencoba menyakinkan konsumen bahwa merek yang ditawarkan adalah pilihan yang
paling tepat. Iklan yang membujuk ini biasanya dituangkan dalam pesan-pesan yang
membandingkan kelebihan produk yang ditawarkan dengan produk lain yang sejenis.
Sedangkan pengertian iklan dalam komunikasi persuasif adalah setiap bentuk
komunikasi yang bertujuan untuk memotivasi seorang pembeli potensial dan
mempromosikan penjualan suatu produk atau jasa, untuk mempengaruhi pendapat
publik, dan mendapatkan dukungan publik untuk berpikir atau atau bertindak sesuai
dengan keinginan si pemasang iklan (Maulana dan Gumelar, 2013).
c) Iklan mengingatkan
Biasanya iklan dengan jenis ini digunakan untuk mengingatkan produk-produk
yang sudah mapan. Karena banyak produk-produk yang dulunya sudah mapan dan
menguasai pasar kini hilang karena tidak adanya iklan yang bersifat mengingatkan.
Sedangkan factor dalam tampilan iklan yang menarik perhatian anak adalah aksi,
efek yang special, dan pembicaraan atau perkataan yang mudah dimengerti
(Anderson & Burns, 1991).
2.1.3 Teori Iklan
Menurut Chan (2003) pemaparan iklan televisi pada anak dibagi ke dalam tiga
dimensi yaitu :
1. Function of advertising
Merupakan dimensi untuk mengetahui bagaimana pemahaman anak terhadap
makna atau tujuan dari iklan. Berdasarkan teori dan penelitian yang dikembangkan
oleh beberapa psikolog anak dan peneliti bidang consumer, diketahui bahwa anak usia
dini mungkin belum mampu untuk memahami dengan jelas makna persuasi dari iklan.
Sehingga anak menganggap bahwa iklan televisi bersifat informative, jujur, dan
menghibur (Ward, Levinson, & Wackman, 1972 dalam Chan & McNael, 2004).
2. Perceived truthfulness of advertising
Pada dimensi ini akan dilihat bagaimana pemahaman anak mengenai kejujuran
atau keaslian dari informasi mengenai produk yang di iklankan. Kepercayaan
mengenai kejujuran dari iklan akan semakin memburuk seiring anak beranjak ke
tahap remaja (Ward et al., 1977 dalam Chan & McNael, 2004).
3. Liking of advertising
Pada dimensi ini akan dilihat bagaimana atau seberapa kuat anak menyukai
tayangan iklan. Penelitian pada anak-anak di China mendapatkan bahwa anak dengan
tingkat sangat menyukai tayangan iklan yang tinggi terdapat pada usia 6-7 tahun, lalu
semakin berkurang sampai pada usia 12-14 tahun.
2.2
Definisi Materialisme
Materialisme dianggap sebagai suatu keasyikan atau ketertarikan dengan uang
dan harta (Belk, 1985) dan pemikiran bahwa kekayaan pribadi dan harta material
adalah kunci untuk sukses dan kesejahteraan (Fournier & Richins, 1991). Pengertian
materialism dalam literature akademik adalah pemahaman bahwa pentingnya seorang
konsumen untuk menyatu (attach) dengan kekayaan atau harta duniawi, dan
keyakinan bahwa barang-barang dan pelayanan merupakan sumber terbesar dalam
kepuasan dan ketidakpuasan hidup (Belk, 1984), sebagai suatu materi yang harus
didapat untuk kesejahteraan hidup (Easterlin & Crimmins, 1991), atau sebagai hal
yang penting untuk penempatan level kekayaan seseorang dan sebagai perolehan
untuk mencapai kebahagiaan (Richins & Dawson, 1992). Materialism, sebagai
kepribadian seperti sifat, membedakan antara indivual yang menempatkan
kepemilikan adalah hal yang penting untuk identitas diri juga hidupnya dan individual
yang menganggap kepemilikan adalah hal yang sekunder (Schiffman & Kanuk,
2010). Belk (1984) juga mengemukakan kepribadian yang memiliki hubungan dengan
materialism yaitu perasaan iri, murah hati, dan pengekangan.
2.2.1 Teori Materialisme
Richin & Dawson (1992) membagi definisi materialism kedalam tiga dimensi,
yaitu:
1. Material centrality
Merupakan derajat dimana individu menempatkan harta dan perolehan
atau kepemilikan sebagai pusat dalam kehidupannya.
2. Material happiness
Merupakan derajat dimana individu mempercayai bahwa harta dan
perolehan atau kepemilikan dapat membawa kebahagiaan dan kepuasaan
dalam hidup.
3. Material success
Merupakan derajat dimana individu mencapai kesuksesan dari harta
dan perolehan atau kepemilikan.
2.2.2
Kategori Individu Materialistis
Terdapat dua ciri dari individu yang dapat dikategorikan materialistis, yaitu
sebagai berikut:
a. Individu yang menempatkan penekanan yang kuat pada suat perolehan dan
kepemilikan dari barang-barang material dapat dikatakan materialistis (Clark,
2001; Martin & Bush, 2000),
b. Individu yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis
(KBBI, 2000).
2.2.3
Faktor-faktor Penyebab Materialisme
Menurut Kasser, Ryan, Couchman, dan Charles (2004) materialisme
disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu:
a. Pengalaman yang menimbulkan munculnya perasaan tidak aman
(insecurity)
Perasaan tidak aman yang dirasakan oleh anak dapat disebabkan
karena lingkungan dan adanya pengalaman buruk yang menutupi pemenuhan
dari kebutuhan psikologis dasar seperti otonomi, kompetensi dan keamanan.
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa efek dari lingkungan keluarga
khususnya gaya pengasuhan orang tua yang buruk dalam pemenuhan
kebutuhan anak, berhubungan dengan peningkatan nilai materialistis pada
anak. Selain itu didapatkan bahwa tingginya tingkat perceraian di United
States menjadikan anak lebih beresiko mengembangkan nilai-nilai
materialisme.
b. Pemaparan pada model sosial yang mendorong nilai-nilai materialistis
Sejak pertama kali individu dilahirkan, individu sudah mendapatkan
pesan baik secara implicit maupun explicit yang mengandung pentingnya uang
dan harta atau kepemilikan. Hal tersebut didapatkan dalam bentuk nilai-nilai
yang ditanamkan oleh orang tua, gaya hidup keluarga dan teman sebaya, dan
pesan-pesan materialistis dalam media.
2.2.4
Dampak Materialisme pada Anak
Achenreiner (1997) mengatakan bahwa nilai-nilai materialisme dapat
menyebabkan peranan anak sebagai consumer menjadi lebih mendalam, yang
mempengaruhi dalam membeli barang-barang. Materialisme juga berhubungan atau
dapat menyebabkan timbulnya perilaku negatif seperti compulsive buying, pembelian
barang-barang yang mewah, ketidak bahagiaan, rasa percaya diri yang rendah,
serakah, dan buruknya hubungan interpersonal. Untuk anak usia 8-12 tahun yang
sedang dalam tahapan formatif (pembentukan) atau pengembangan identitas dan nilainilai, materialism adalah suatu permasalahan karena sering terlihat sebagai nilai
keserakahan. Nilai materialistis terlihat dalam perilaku konsumtif dan sifat seperti
dorongan untuk membeli dan memiliki barang, adanya kenikmatan untuk memiliki
barang tersebut, dorongan terhadap uang untuk membeli barang tersebut, dan
dorongan untuk pekerjaan yang dapat menghasilkan uang untuk membeli (Goldberg,
Gorn & Bamossy, 2003).
2.3
Anak Usia Pertengahan (Middle Childhood)
Dalam psikologi, anak usia pertengahan didefinisikan sebagai periode waktu
dari usia 6 sampai 11 tahun (Papalia, 2014). Sedangkan menurut Hurlock (1999) anak
usia pertengahan dan akhir dimulai dari usia 6 tahun sampai masa pubertas, anak usia
pertengahan juga memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:
1. Mempelajari ketrampilan fisik yang diperlukan untuk permainan- permainan
yang umum,
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang
sedang tumbuh,
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya,
4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat,
5. Mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis dan
berhitung,
6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan
sehari-hari,
7. Mengembangkan hati nurani dan pengertian moral.
2.3.1
Teori Kognitif Anak
Teori perkembangan kognitif menurut Piaget membahas munculnya dan
diperolehnya schemata, yaitu bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya
kedalam tahapan-tahapan perkembangan dan saat seseorang memperoleh cara baru
untuk merepresentasikan informasi secara mental. Piaget membagi skema yang
digunakan anak untuk memahami dunianya menjadi empat periode: (Johnson, 2011)
A. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial
penting dalam enam sub-tahapan: Sub-tahapan skema reflex (reflex), Subtahapan fase reaksi sirkular primer (munculnya kebiasaan-kebiasaan), Subtahapan fase reaksi sirkular sekunder (koordinasi antara penglihatan dan
pemaknaan), Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular (permanensi objek), Subtahapan fase reaksi sirkular tersier (penemuan cara-cara baru untuk mencapai
tujuan), Sub-tahapan awal representasi simbolik (tahapan awal kreativitas).
B. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek
dengan gambar dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris, yaitu anak
masih kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Namun anak sudah
dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan
semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua
benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
C. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Pada tahapan ini anak mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang
memadai. Terdapat proses-proses penting selama tahapan ini, seperti anak
memiliki kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri
lainnya. Lalu kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi
serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain,
termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda
lainnya ke dalam rangkaian tersebut, dan lain-lain.
D. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif
dalam teori Piaget. Karakteristik pada tahap ini adalah diperolehnya kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
Sedangkan penelitian oleh John pada tahun 1999 mengemukakan sebuah
model untuk karakterisasi tanggapan anak-anak pada iklan berdasarkan teori Piaget
(1970) mengenai perkembangan kognitif anak dan teori Selman (1980) mengenai
perkembangan sosial anak (dalam Chan 2003), yang diklasifikasikan menjadi tiga
tahap:
A. Persepsi (usia 3-7 tahun)
Pada tahap ini anak berorientasi utnuk memperhatikan/mengamati suatu fitur
atau tampilan, mengambil keputusan berdasarkan satu elemen tunggal (dari satu
sisi saja), egosentris, dan tidak bisa mengerti suatu hal dari sudut pandang orang
lain. Anak masih memiliki orientasi secara umum terhadap apa yang diobservasi
nya mengenai fitur-fitur marketplace.
B. Analisis (usia 7-11 tahun)
Anak mulai berpindah pemahaman dari satu sudut pandang/persepsi ke
pemikiran simbolis, dapat menganilisis berdasarkan dimensi mutual dan dapat
memahami persepsi dirinya dan orang lain. Nilai kepemilikan pada tahap ini
masih didasari oleh sesuatu yang terlihat seperti adanya keinginan untuk memiliki
sesuatu yang lebih.
C. Reflektif (usia 11-16 tahun)
Pada tahap akhir ini, semua dimensi mulai berkembang berkelanjutan. Anak
sudah mampu untuk mengatur atau memahami informasi kompleks dan lebih
memberikan perhatian pada aspek sosial seperti sebagai konsumen.
2.4
Kerangka Berpikir
Perkembangan
Iklan yang Pesat
Anak sebagai
Target Market
Keterbatasan
Pemahaman Anak
Usia Pertengahan
terhadap Iklan
Dampak
Negatif:
Materialisme
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Dengan berkembangnya dunia periklanan, hampir semua acara yang
ditayangkan oleh televisi swasta padat dengan iklan. Sekali break bisa 10 jenis iklan
dimunculkan (Hartanto, 2000). Di Indonesia sendiri, jumlah penduduk usia 5-14
tahun pada perkiraan sampai tahun 2015 adalah 46,425 juta orang (BAPPENAS,
2013). Kemudian data tahun 2006, Nielsen media research mendapatkan bahwa
anak-anak usia 2-11 tahun menonton 8,54 jam acara untuk anak-anak setiap
minggunya dan 5,68 jam acara umum. Hasil ini naik 17,1% dari tahun sebelumnya.
Iklan dalam televisi disertakan didalam acara. Pertumbuhan belanja iklan di Indonesia
pada tahun 2012 juga mengalami peningkatan sebanyak 20% dari tahun sebelumnya.
Televisi masih mendominasi pangsa iklan dengan kisaran sebesar 64% dari total
belanja iklan. Buckingham (2009) mengatakan bahwa televisi masih menjadi salah
satu media utama yang digunakan produsen untuk mendapatkan perhatian anak.
Chan (2003) mengatakan bahwa iklan pada masa sekarang ini sudah merasuk
kedalam hidup setiap individu termasuk anak, karena anak sebagai pasar dalam iklan
dianggap penting oleh para pengiklan (advertisers), hal itu disebabkan karena adanya
kekuatan untuk membeli dalam diri anak-anak. Menurut McNeal (1998) para pemasar
iklan berusaha menenempatkan anak usia 4 sampai 12 tahun untuk membuat
pengeluaran dan pembelian, yang meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Anak pada usia pertengahan ini berada pada tahapan Analytical stage, yaitu
anak dikarakterisasikan dengan menguasai sebagian pemahaman dan kemampuan
sebagai consumer, konsep seperti kategorisasi produk atau harga juga sudah menjadi
pemikiran dalam bentuk yang fungsional atau dimensi pokok, dan anak mulai
memahami nilai dari kepemilikan berdasarkan pengertian sosial. Tahapan tersebut
adalah tahapan pemahaman anak terhadap iklan menurut John (1999). Kepemilikan
terhadap barang material memiliki makna simbolik yang dapat digunakan untuk
menutupi perasaan seperti rendah diri, mengapresiasikan kepemilikan atau harta
sebagai cara untuk menentukan konsep diri nya, dan melihat kepemilikan atau harta
sebagai bagian yang menonjol untuk melihat siapa diri mereka sebenarnya (Chaplin &
John, 2005; Dixon & Street, 2005). Pemahaman mengenai hal tersebut mulai
berkembang selama usia pertengahan sampai masa anak-anak akhir (Chaplin & John,
2007). Anak juga mulai memahami makna simbolik dan memberikan ketetapan atau
status pada beberapa produk dan harta atau kepemilikan (Belk, Bahn, & Mayer, 1982;
Belk, Mayer, & Driscoll, 1984).
Pemahaman mengenai dampak iklan pada anak dapat dilihat melalui
paradigma Vulnerable child, yaitu dilihat dari kemampuan kognitif anak yang lemah
untuk menjaga dirinya dari pesan dalam iklan. Maka dari itu anak lebih rentan dari
orang dewasa dalam terkena pengaruh dari iklan. Sehingga iklan dapat menyebabkan
beberapa dampak negatif seperti materialism, konflik antara anak dan orang tua,
perilaku makan yang tidak sehat, dan ketidakbahagiaan yang bisa menimbulkan
kekecewaan dan frustasi pada anak usia 8-12 tahun. Jika dilihat dari sosialisasi anak
sebagai konsumen (consumer socialization), didapatkan ada dorongan atau pengaruh
yang tidak disadari bahwa iklan menyebabkan prefensi anak terhadap barang-barang
material adalah sebagai cara untuk mencapai kesuksesan, kebahagiaan dan
pemenuhan diri (Chan, 2003). Buijzen & Valkenburg (2003) juga mendapatkan hasil
penelitian bahwa anak yang frekuensi menonton iklan dalam televisi lebih tinggi,
memiliki nilai materiaslitik yang lebih kuat dibanding teman-teman yang frekuensi
menontonnya rendah. Penelitian lain juga mendukung hal ini, Kapferer (1986 dalam
Chan, 2003) mengatakan bahwa menonton televisi memiliki hubungan yang positif
dengan penanaman nilai materialistis pada anak.
2.5 Hipotesa Penelitian
Hipotesa alternatif (Ha) dari penelitian ini adalah ada hubungan yang
signifikan antara iklan televisi dan materialisme pada anak usia pertengahan di
Jakarta.
Download