29 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Kriminologi Kriminologi

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian Kriminologi
Kriminologi sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan sosial, sebenarnya
masih tergolong sebagai ilmu pengetahuan yang baru. Berbeda dengan hukum pidana
yang muncul begitu manusia bermasyarakat, kriminologi baru berkembang pada
tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu sosiologi, antropologi, psikologi serta ilmu
yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat.30 Meskipun
tergolong sebagai ilmu yang masih muda, perkembangan ilmu kriminologi tampak
begitu pesat, hal ini tidak lain karena konsekuensi logis dari berkembangnya pula
berbagai bentuk kejahatan dalam masyarakat.
Perkembangan kejahatan bukanlah suatu hal yang asing, oleh karena sejarah
kehidupan manusia sejak awal diciptakan telah terbukti mengenal kejahatan. Apalagi
pada saat seperti sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru
memberi peluang yang lebih besar bagi berkembangnya berbagai bentuk kejahatan.
Atas dasar itulah maka kriminologi dalam pengaktualisasian dirinya berupaya
mencari jalan untuk mengantisipasi segala bentuk kejahatan serta gejala-gejalanya.
Suatu pendapat klasik menyatakan, bahwa kriminologi merupakan ilmu
pengetahuan yang meneliti delinkuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial.
Jadi ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum (pidana)/menganalisa kondisi-
30
Topo Santoso dan Eva Achjani, op.cit, h. 3.
29
30
kondisi di mana hukum pidana berlaku, penyimpangan terhadap hukum atas
pelanggarannya/sebab-sebab terjadinya kejahatan, dan reaksi terhadap pelanggaranpelanggaran tersebut/upaya penanggulangan terhadap kejahatan.31
Secara etimologi, kriminologi berasal dari kata crime artinya kejahatan dan logos
artinya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan atau penjahat.32 Selain itu, salah
satu buku tentang kriminologi yang berjudul Criminology: A Sociological
Introduction (Kriminologi: Suatu Pengantar Sosiologi) menyebutkan, Criminology
has many meanings but at its widest and most commonly accepted it is taken to be
the scientific understanding of crime and criminals.33 Apabila diterjemahkan
memiliki arti, kriminologi memiliki banyak arti tapi yang terluas dan paling diterima
secara umum, diambil untuk menjadi pemahaman ilmiah dari kejahatan dan penjahat.
Dalam
membahas
tentang
definisi
kriminologi
belum
terdapat
keseragaman/kesatuan pendapat dari pakar kriminologi, berhubung masing-masing
memberikan definisi dengan sudut pandang yang berbeda. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka penulis akan mencoba mengemukakan beberapa pendapat para
sarjana/ ahli hukum mengenai pengertian kriminologi, antara lain sebagai berikut:
Soejono D. memberikan pengertian tentang kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan cara pencegahan
31
Soerjono Soekanto, Hengkie Liklikuwata dan Mulyana W. Kusumah, loc.cit.
Ibid, h. 9.
33
Paul Iganski et.al., 2004, Criminology: A Sociological Introduction, Routledge, London, h.
32
3.
31
kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari
berbagai cabang ilmu pengetahuan.34
Barda Nawawi Arief menghendaki bahwa kriminologi bergabung dengan hukum
pidana sebagai ilmu bantuannya, agar bersama-sama menangani hasil penelitian
kebijakan kriminal, sehingga memungkinkan memberikan petunjuk tepat terhadap
penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya, yang semuanya ditunjuk untuk
melindungi warga negara yang baik dari kejahatan.35
Berdasarkan pengertian kriminologi tersebut di atas, maka obyek kajian
kriminologi ditekankan pada gejala kejahatan seluas-luasnya dalam artian
mempelajari kejahatan dan penjahat, usaha-usaha pencegahan penanggulangan
kajahatan serta perlakuan terhadap penjahat. Sedang subjek kriminologi adalah
anggota dan kelompok masyarakat secara keseluruhan sebagai suatu kelompok sosial
yang memiliki gejala-gejala sosial sebagai suatu sistem yang termasuk di dalarnnya
gejala kejahatan yang tidak terpisahkan. Sehingga berdasarkan pengertian
kriminologi di atas juga dapat ditarik suatu pandangan bahwa kriminologi bukanlah
ilmu yang berdiri sendiri akan tetapi berada di samping ilmu-ilmu lain.
Di dalam mempelajari kriminologi secara garis besar dikenal adanya beberapa
teori yaitu:
1. Teori Kriminologi Dari Perspektif Biologis dan Psikologis
Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kejahatan ditimbulkan dari
diri seseorang dilihat dari ciri-ciri fisik maupun diturunkan oleh nenek
34
R. Soesilo, 1985, Kriminologi Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan, Politea,
Bogor, h. 3.
35
Barda Nawawi Arief, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Semarang, h. 10.
32
moyang manusia atau dengan kata lain seseorang melakukan kejahatan
karena mendapatkan gen dari orang tuanya. Salah satu sarjana yang
mencetuskan
teori
kejahatan
dari
ciri-ciri
fisik
adalah
Lambrosso
mengklasifikasikan penjahat ke dalam empat golongan (Teori Born Criminal)
yaitu:
a.
b.
c.
d.
Born Criminal yaitu orang berdasarkan pada doktrin atavisme tersebut di
atas;
Insane Criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok
idiot;
Occasional Criminal atau Criminaloid yaitu pelaku kejahatan
berdasarkan pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi
pribadinya;
Criminals of Passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan
karena marah, cinta atau karena kehormatan.”36
Contoh
teori
dari
psikologi
kriminal
yaitu
teori
personality
characteristics (sifat-sifat kepribadian). Empat alur penelitian psikologi yang
berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan.
Pertama, melihat pada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari
penjahat dan bukan penjahat; kedua, memprediksi tingkah laku; ketiga,
menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal beroprasi
dalam diri penjahat; dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan
individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.37
2. Teori Kriminologi Dari Perspektif Sosiologis
Berbeda dengan teori yang tersebut di atas, teori kriminologi dari
perspektif sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka
36
37
Topo Santoso dan Eva Achjani, 2012, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 24.
Ibid, h. 49.
33
kejahatan di dalam lingkungan sosial. Adapun teori yang menjelaskan
kejahatan dari faktor sosiologis, yaitu:
a.
Anomie Theory : Emile Durkheim
Durkheim
meyakini
bahwa
jika
sebuah
masyarakat
sederhana
berkembang menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka
kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set normanorma umum akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisahpisah, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakantindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan
dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat
diprediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan
masyarakat itu berada dalam kondisi anomalie.38
Teori ini pada dasarnya menjelaskan bahwa perbuatan manusia (terutama
perbuatan salah manusia) terjadi karena perubahan mendadak (sudden
change). Perubahan mendadak ini dapat mengakibatkan terjadinya gaya
hidup baru yang tidak dikenal, sehingga aturan-aturan yang pernah
membimbing tingkah laku tidak lagi dipegang. Seperti misalnya
perubahan ekonomi yang terjadi secara tiba-tiba. Apabila perubahan
ekonomi merosot maka akan menimbulkan depresi hebat terhadap
masyarakat, sehingga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan seperti depresi, bunuh diri, dan sebagainya. Begitu pula
38
Ibid, h. 58.
34
sebaliknya apabila perubahan ekonomi menuju kemakmuran tidak
terduga, maka akan merubah gaya hidup seseorang menjadi berlebihan.
3. Teori Kriminologi Dari Perspektif Kontrol Sosial / Social Control
Travis Hirschi sebagai penganut teori kontrol sosial beranggapan bahwa
individu
di
masyarakat
mempunyai
kecendrungan
yang
sama
kemungkinannya, apakah ia menjadi baik ataupun malah sebaliknya menjadi
jahat. Perbuatan baik ataupun jahat yang ia lakukan sangat ditentukan oleh
bagaimana lingkungan masyarakat tempat ia tinggal. Selain itu, perilaku
menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
mengendalikan dirinya agar tidak melanggar norma-norma yang ada.
Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social bonds)
dalam setiap masyarakat yang dapat membentuk ikatan sosial antara individu
dan masyarakat, yaitu:
1.
2.
Attachment (Keterikatan/Kasih Sayang)
Attachment merupakan kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya
terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang
tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain.
Attachment diartikan secara bebas dengan keterikatan/kasih sayang,
ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan
sekolah (guru) dan dengan teman sebaya.
Commitment (Komitmen/Tanggung Jawab)
Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional
seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Segala kegiatan
yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam
organisasi, akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut seperti
misalnya berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya.
Commitment diartikan secara bebas dengan komitmen/tanggung jawab
yang kuat terhadap aturan dan kesadaran akan pentingnya masa depan.
Bentuk komitmen ini, antara lain berupa kesadaran bahwa masa
depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang.
35
3.
4.
Involvement (Keterlibatan)
Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika
seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kemungkinan
untuk melakukan penyimpangan, atau dengan kata lain apabila orang
aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya
dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan halhal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian segala aktivitas
yang bermanfaat akan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan
yang melanggar hukum.
Belief (Keyakinan)
Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan
tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan
kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan
seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan
terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya
akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, apabila orang tidak
mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan
pelanggaran.39
Berdasarkan pemaparan tentang teori kriminologi di atas, maka teori
kontrol sosial paling tepat di dalam menjawab persoalan kenakalan remaja,
karena di dalam teori ini memfokuskan diri pada strategi-strategi yang mengatur
tingkah laku manusia dan membawanya kepada ketaatan terhadap aturan-aturan
masyarakat ataupun aturan hukum, baik itu dengan melakukan kontrol internal
maupun kontrol eksternal serta memberikan sosialisasi kepada remaja sehingga
diharapkan remaja taat terhadap hukum.
2.2 Pengertian Tindak Pidana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukuman kejahatan
tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti
hukuman. Dengan demikian, kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum
39
Indah Sri Utari, loc.cit.
36
pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Dipidana berarti
dituntut berdasarkan hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga
terpidana berarti orang yang dikenai hukuman.
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana
sering
mempergunakan
istilah
delik,
sedangkan
pembuat
undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau
perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang
mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang
dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.40
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang
berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.41
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo
berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap
40
Kartonegoro, tanpa tahun terbit, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa,
Jakarta, h. 62.
41
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 54.
37
apabila tersusun sebagai berikut, bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 42
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana”
dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang
Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang
dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.43
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi
pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan
kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturanaturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang
tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi
haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman, mempunyai hubungan yang
erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula.
42
43
Bambang Poernomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 130.
Ibid.
38
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung
jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu
mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa
latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).44
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan
terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan
hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus
berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan
kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian
kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah
karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawab atas
segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan
bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai
dengan pasal yang mengaturnya.45
44
45
H.A. Zainal Abidin Farid, op.cit, h. 130.
Kartonegoro, op.cit, h. 156.
39
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka
yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia,
dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh
undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya
dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur
objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.46
Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut :47
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah
4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Menurut Moeljatno, terdapat 5 unsur perbuatan pidana, yaitu :48
1. Kelakuan dan akibat,
2. Ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,
46
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 193.
47
Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 88.
48
Moeljatno, op.cit, h. 38.
40
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana,
4. Unsur melawan hukum yang objektif,
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
2.3 Mengenai Narkotika
2.3.1
Pengertian dan Jenis Narkotika
Istilah narkotika berasal dari bahasa Yunani yakni “narke” yang berarti
terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.49 Istilah narkotika yang dipergunakan di
sini bukanlah pada bidang farmasi, melainkan sama artinya dengan drug, yaitu
sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh tertentu pada
tubuh si pemakai, yaitu mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat
berpengaruh terhadap perilaku manusia, serta dapat menimbulkan halusinasi.50
Pengertian Narkotika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan
menurunnya atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
Selanjutnya mengenai penggolongan Narkotika di atur dalam Pasal 6 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:
49
50
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany, dan Amir Muhsin,, loc.cit.
Soedjono Dirdjosisworo II, loc.cit.
41
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Adapun yang termasuk narkotika golongan I adalah sebagai berikut:
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2. Opium merah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan
kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari:
1. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan
peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan
maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk
pemadatan.
2. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
3. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylon termasuk buah dan bijinya.
Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan I akan dijelaskan
di dalam lampiran.
b.
Narkotika Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi yang tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Adapun yang termasuk narkotika golongan II adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
42
Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan II akan dijelaskan
di dalam lampiran.
c.
Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengembangan
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Adapun yang termasuk narkotika golongan II adalah sebagai berikut:
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2butanol propionat
3. Dihidrokodeina
Selengkapnya mengenai jenis-jenis narkotika golongan III akan
dijelaskan di dalam lampiran.
2.3.2
Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika dalam dunia kesehatan bertujuan untuk pengobatan dan
kepentingan manusia seperti operasi pembedahan, menghilangkan rasa sakit,
perawatan stres dan depresi.
Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
menyatakan bahwa narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan
untuk pengadaan, impor, ekspor, peredaran dan penggunaannya diatur oleh
pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan. Sehingga penggunaan narkotika selain
yang disebutkan pada Pasal 7 di atas, mempunyai konsekuensi akibat yuridis yaitu
penyalahgunaan narkotika dan akan memperoleh pidana / ancaman pidana sesuai
yang diatur dalam undang-undang tersebut.
43
Pengertian penyalahgunaan narkotika dijelaskan di dalam Pasal 1 Angka 15
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana Penyalahgunaan
adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Sumber lain memberikan penjelasan mengenai penyalahgunaan narkotika
yaitu, dilakukan secara terus-menerus, sekali-sekali, secara berkelebihan, serta
dilakukan tidak menurut petunjuk dokter.51
Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang narkotika, memberikan pengertian mengenai peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, tindak pidana narkotika adalah
tindak pidana penyalahgunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum selain yang
ditentukan dalam undang-undang.
2.3.3
Sanksi Bagi Penyalahguna Narkotika
Bentuk sanksi bagi penyalahguna narkotika di atur dalam Bab XV Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu, pada Pasal 111 ayat 1 dan 2,
Pasal 112 ayat 1 dan 2, Pasal 113 ayat 1 dan 2, Pasal 114 ayat 1 dan 2, Pasal 115 ayat
1 dan 2, Pasal 116 ayat 1 dan 2, Pasal 117 ayat 1 dan 2, Pasal 122 ayat 1 dan 2.
(Selengkapnya mengenai sanksi bagi penyalahguna narkotika akan dijelaskan di
dalam lampiran)
51
Djoko Prakoso, loc.cit.
44
Berdasarkan pada uraian tentang bentuk-bentuk penyalahgunaan narkotika
sebagaimana yang di atur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
maka tindak pidana penyalahgunaan narkotika dapat dikelompokan sebagai berikut :
a.
Penguasaan Narkotika.
b.
Produksi Narkotika.
c.
Jual-beli Narkotika.
d.
Pengangkutan dan transito Narkotika.
e.
Penyalahgunaan Narkotika.
2.4 Mengenai Remaja
Dalam kajian ilmu hukum tidak dikenal adanya istilah remaja sehingga tidak
ditemukan pengaturan yang jelas mengenai remaja. Namun demikian jika kita
cermati dengan seksama, istilah remaja termasuk dalam kategori golongan anak yang
telah mendapat pengaturan dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipun
pengertian anak itu sendiri tidak ada keseragaman mengenai batasan usia anak
didalam menentukan batasan ukuran kedewasaan.
Secara etimologi remaja dalam bahasa latin yaitu adolensence yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih
luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja
sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak
tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.52
52
Hurlock,E,B, 1998, Perkembangan Anak (Alih Bahasa oleh Soedjarmo & Istiwidayanti,
Erlangga, Jakarta, h. 9.
45
Menurut Hurlock, masa remaja merupakan masa dimana seorang individu
mengalami peralihan dari satu tahap ketahap berikutnya dan mengalami perubahan
baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku dan juga penuh dengan masalah-masalah.
Oleh karenanya remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial yakni
masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan
sosial.53
Menurut World Health Organization (WHO), mendefinisikan remaja lebih
bersifat konseptual, ada tiga krieria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi,
dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut
berbunyi sebagai berikut:
1.
2.
3.
Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanakkanak menjadi dewasa.
Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.54
Menurut Zakiah drajat, masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai
dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria, dimana
masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam
masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya
maupun perkembangan psikisnya.55
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dikatakan bahwasanya remaja
bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi
bukan pula orang dewasa yang telah matang. Sehingga remaja sering mengalami
53
Ibid, h. 11.
Sarwono, S.W., 2002, Psikologi Remaja Edisi Enam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4.
55
Gatot Supramono, loc.cit.
54
46
masa kegoncangan karena banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya
emosi yang kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh
orang dinilai sebagai perbuatan nakal.
2.5 Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika
Kejahatan narkotika merupakan “most serious crime” di Indonesia, sehingga
dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar/dampak negatif bagi kehidupan sosial,
ekonomi dan nilai-nilai budaya bangsa, serta keamanan hidup umat manusia.56
Berdasarkan pada hasil wawancara penulis dengan Bapak Choiril A S, Kepala
Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Kaurmintu) dan Bapak Ketut Budiana,
Bintara Administrasi (Bamin) Sat Res Narkotika Kabupaten Buleleng pada tanggal
19 Januari 2016, adapun dampak negatif penyalahgunaan narkotika yaitu:
a.
Dampak Narkotika Terhadap Fisik dan Kesehatan:
Penyalahgunaan narkoba akan berdampak pada gangguan kesehatan yang
bersifat kompleks, diantaranya :
1.
Gangguan pada sistem saraf (neurologis), seperti: Kejang-kejang, imajinasi,
dan halusinasi.
2.
Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
3.
Gangguan pada kulit (dermatologis).
4.
Gangguan pada paru-paru (pulmoner).
5.
Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu tubuh meningkat,
pengecilan hati dan insomnia.
56
Soedjono Dirdjosisworo I, loc.cit.
47
6.
Gangguan terhadap kesehatan reproduksi yaitu gangguan pada endokrin,
seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron,
testosteron), serta gangguan fungsi seksual.
7.
Gangguan terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara
lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan
amenorhoe (tidak haid).
8.
Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum
suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis
B, C, dan HIV.
9.
Bahaya narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi
narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa
menyebabkan kematian.
Penyalahgunaan narkoba akan berdampak pada gangguan fisik yang bersifat
kompleks, diantaranya :
1.
Berat badannya akan turun secara drastis.
2.
Matanya akan terlihat cekung dan merah.
3.
Mukanya pucat.
4.
Bibirnya menjadi kehitam-hitaman.
5.
Tangannya dipenuhi bintik-bintik merah bagi pengguna narkotika jarum
suntik.
6.
Buang air besar dan kecil kurang lancar.
7.
Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas.
48
b.
Dampak Narkotika Terhadap Psikologis:
1.
Merubah sikap dan perilaku secara drastis, karena gangguan persepsi daya
pikir, kreasi dan emosi sehingga perilaku menjadi menyimpang dan tidak
mampu hidup secara wajar.
c.
2.
Kerja lamban dan ceroboh, sering tegang dan gelisah.
3.
Hilang rasa percaya diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga.
4.
Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal.
5.
Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.
6.
Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.
7.
Emosinya tidak stabil.
8.
Biasanya takut dengan air.
Dampak Narkotika Terhadap Lingkungan Sosial:
Dampak narkotika terhadap diri sendiri :
1.
Merubah kepribadian secara drastis, pemurung, pemarah dan tidak takut
dengan siapapun.
2.
Gangguan mental.
3.
Anti-sosial.
4.
Timbul sikap masa bodoh, lupa sekolah (membolos).
5.
Semangat belajar dan bekerja menurun bahkan dapat seperti orang gila.
6.
Pendidikan menjadi terganggu dan masa depan suram.
7.
Tidak ragu melakukan seks bebas karena lupa dengan norma-norma.
8.
Tidak segan-segan menyiksa diri untuk menghilangkan rasa nyeri atau
menghilangkan sifat ketergantungan obat bius.
49
9.
Pemalas bahkan hidup santai.
10. Dikucilkan oleh lingkungan.
Dampak narkotika terhadap keluarga:
1.
Tidak segan-segan untuk mencuri uang ataupun menjual barang-barang
yang ada di rumah untuk membeli narkoba.
2.
Tidak menghargai harta milik, seperti memakai kendaraan sembrono,
hingga rusak bahkan sampai hancur.
3.
Merepotkan dan menjadi beban keluarga.
4.
Mengecewakan harapan keluarga, keluarga merasa malu di masyarakat.
Dampak narkotika terhadap masyarakat:
1.
Berbuat tidak senonoh (jahil/tidak sopan) terhadap orang lain.
2.
Tidak segan mengambil milik tetangga untuk membeli narkoba.
3.
Menganggu ketertiban umum seperti menganggu lalulintas.
4.
Menimbulkan bahaya bagi ketentraman dan keselamatan umum, misalnya
tidak menyesal bila melakukan kesalahan.
d.
Dampak Narkotika Terhadap Ekonomi:
1.
Secara mikro, Penyalahgunaan narkoba menghabiskan biaya besar yang
membebani keluarga yang bersangkutan.
2.
Secara makro, menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi bangsa dan
negara, seperti rendahnya mutu atau hancurnya generasi penerus bangsa.
Download