Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan

advertisement
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pembangunan Perekonomian Pedesaan
Menurut Suhardjo (1998), dalam menentukan program pembangunan
dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu : Program pembangunan ditentukan oleh
pihak luar (pemerintah), oleh masyarakat sendiri dan ditentukan bersama oleh
masyarakat sendiri dan pemerintah. Program pembangunan yang ditentukan oleh
pihak luar (pemerintah) didasarkan atas perhitungan bahwa program tersebut
diperlukan oleh masyarakat, tanpa melalui konsultasi atau pertemuan formal
terlebih dahulu dengan masyarakat setempat, baik dengan seluruh anggota
masyarakat ataupun melalui pemimpin/wakil mereka.
Kegiatan
pembangunan
semacam
ini
bercirikan
instruktif
dan
dimaksudkan untuk kecepatan bertindak, efisien dari segi waktu dan energi,
menyelesaikan masalah dengan segera, dan menghasilkan manfaat yang besar.
Resiko dari cara ini adalah bahwa masyarakat tidak dipersiapkan dari awal untuk
berpartisipasi
terhadap
program
pembangunan
tersebut,
sehingga
ada
kemungkinan akan sulit diajak berpartisipasi dalam tahap pelaksanaannya, bahkan
pada pemanfaatannya, padahal partisipasi masyarakat merupakan factor yang
esensial dalam pembangunan.
Program pembangunan yang
ditetapkan
oleh
masyarakat
sendiri
bertitiktolak dari pandangan bahwa jika penentuan program diserahkan kepada
masyarakat sendiri, maka mereka akan mempunyai motivasi yang kuat untuk
melaksanakan program tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan hal-hal yang
dicapai dalam program tersebut adalah yang mereka rasakan sebagai kebutuhan
dan pengalaman mereka. Program yang ditetapkan bersama merupakan gabungan
antara kedua pendekatan, hal ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pada
kedua pendekatan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya pihak luar mengadakan
konsultasi dengan masyarakat mendiskusikan pendapat-pendapat tentang situasi
lingkungan serta perikehidupan masyarakat setempat, kemudian memutuskan
bersama program yang menjadi kesepakatan.
9
Pembangunan selalu membawa dimensi kepentingan politik, perebutan
sumberdaya ekonomi, konflik sosial, dan membawa masalah dalam menentukan
pilihan-pilihan penyelesaian. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi
daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya
mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan
suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tersebut.
Pembangunan ekonomi daerah juga mencakup proses pembentukan
institusi-institusi baru, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan
pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan
ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama utnuk meningkatkan jumlah dan jenis
peluang kerja untuk masyarakat daerah, dimana pemerintah daerah dan
masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan
daerahnya.
Pembangunan yang juga merupakan pemberdayaan masyarakat pedesaan
adalah upaya menuju kemandirian masyarakat pedesaan, yang dapat berdiri
dengan kaki sendiri dengan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki.
Pembangunan pedesaan dipahami sebagai serangkaian aktivitas dan aksi dari
beragam pelaku individu, organisasi, kelompok yang bahu-membahu melakukan
pembaharuan demi kemajuan (progress) berbagai sektor di wilayah pedesaan
(Dharmawan, 2002).
Mengacu pada Unicef dalam Sumarti dan Syaukat (2002), terdapat tujuh
komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk
mendorong
aktivitas-aktivitas
ekonomi
anggotanya
melalui
pembentukan
kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, yaitu : Community Leader,
Community Technology, Community Fund, Community Material, Community
Knowledge,
Community
Penyelenggaraan
Decision
pembangunan
Making,
daerah
Community
tidak
Organization.
semata-mata
menjadi
tanggungjawab Pemerintah Daerah, tetapi juga berada pada pundak masyarakat
secara keseluruhan.
10
Salah satu wujud rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah sikap
mendukung
dari
warga
masyarakat
daerah
terhadap
penyelenggaraan
pembangunan daerah yang ditujukkan dengan keterlibatan (partisipasi) aktif
warga masyarakat (Tony, 2003).
Pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang dan termasuk di
Indonesia (terutama di masa Orde Baru) pada kenyataannya cenderung
menggunakan pendekatan modernisasi dengan indikator keberhasilannya diukur
dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh
Korten dan Syahrir (1988), walaupun tujuan dasarnya untuk mensejahterakan
rakyat, namun karena strategi, metodologi dan implementasinya berpusat pada
produksi, maka pada akhirnya kurang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Hal ini terjadi karena tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak secara
otomatis menjamin tercapainya pemerataan hasil atau manfaatnya secara adil bagi
seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini mulai disadari oleh para pengambil
keputusan kebijaksanaan pembangunan di era reformasi dan otonomi daerah ini,
dimana pendekatan pembangunan nasional mulai bergeser pada “ekonomi
kerakyatan”.
Proses modernisasi meliputi proses transformasi model struktur, kultur,
pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah
masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan
dengan baik, jika individu-individu di dalam
masyarakat juga mengalami
transformasi kepribadian.
Untuk kasus proses modernisasi di Indonesia, transformasi kepribadian ini
tidak terjadi, karena upaya-upaya pembangunan (modernisasi) lebih ditekankan
pada aspek-aspek fisik (perangkat keras) seperti fasilitas transportasi, fasilitas
komunikasi, gedung sekolah, dll. Sebagaimana dikemukakan oleh Ogburn dalam
Strasser (1981), bahwa proses laju perubahan dalam kebudayaan material lebih
cepat dibandingkan dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan non-material
(kultural), seperti kelembagaan (adat, kepercayaan, filsafat, hukum dan
pemerintahan).
11
Menurut
Israel
(1990),
timbulnya
kecenderungan
penekanan
pembangunan terhadap aspek-aspek fisik disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu
; pertama, teori pembangunan dan praktek telah begitu lama berada di tangan para
ahli ekonomi, mengikuti tradisi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan
alokasi yang berdasarkan pada efisiensi, bukan pada cara-cara yang paling efektif
dalam
menggunakan
sumberdaya
yang
sudah
dialokasikan.
Strategi
pembangunan penekanannya masih pada perencanaan dan penaksiran bukan pada
pelaksaanaan, lebih kepada investasi serta kebijakan bukannya pada operasi.
Selain itu kecondongan kuantitatif dalam ilmu ekonomi dan pembangunan
ekonomi selama dekade belakangan ini lebih menguntungkan masalah analisa
lokasi sumberdaya, seperti perencanaan dan prakiraan dibandingkan dengan
masalah pelaksanaan, yang memang kurang dapat dikuantifikasi.
Kedua, terabaikannya masalah-masalah kelembagaan karena hal ini
merupakan bidang yang rumit.
Bidang-bidang seperti ilmu manajemen dan
administrasi pembangunan belum cukup berhasil dalam mengatasi masalah di
negara-negara sedang berkembang. Tujuan utama ilmu manajemen telah terlanjur
mengarah pada masalah-masalah sektor swasta di negara maju, dan telah
menemui kesulitan dalam mengadaptasikannya ke dalam kegiatan publik atau
campuran dari lingkungan yang lebih buruk dan lebih politis.
Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi, maka secara
otomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan
ekonomi makro. Padahal, menurut Uphoff (1997), rekomendasi makro ekonomi
biasanya tergabung (incorporated) dalam paket “penyesuaian struktural”
(structural adjustment) hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap
masyarakat miskin di pedesaan, dan sedikit (bahkan tidak sama sekali)
membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan,
memonitor dan mengelola berbagai perbaikan-perbaikan taraf hidup masyarakat
dan mata pencahariannya.
masyarakat lokal diberi
Berbagai studi kasus menunjukan bahwa ketika
kapasitas (kesempatan) yang sangat besar untuk
mengelola (sumberdaya) yang ada disekitar mereka, ternyata mereka mampu
untuk memasukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas
dan mempertinggi kualitas hidupnya.
12
Ketika pihak luar memberikan banyak investasi terhadap kapasitas
kelembagaan (organizational capability), maka hal itu akan memberikan
keuntungan yang berlipat. Pendekatan-pendekatan ekonomi makro, nyata-nyata
kurang mampu menjangkau dan menyelesaikan masalah masyarakat miskin di
pedesaan dan perkotaan. Ketika kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat
menyelesaikan masalah kemiskinan di pedesaan, maka dapat dikatakan secara
umum kebijakan pembangunan tersebut telah gagal.
Aktivitas
pembangunan
yang
diwujudkan
dalam
bentuk-bentuk
modernisasi maka indikator keberhasilannya dilihat melalui ukuran-ukuran
kuantitatif seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan negara
(GDP) atau tingkat produktivitas.
Model-model indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi seperti itu tidak dapat menggambarkan realitas (kondisi
tingkat kesejahteraan masyarakat) yang sebenarnya.
Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara, tidak serta
merta berarti pula telah tercapai upaya-upaya pemerataan bagi masyarakat dalam
menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi secara adil. Jika sarana atau modal
produksi tidak dimiliki secara “merata” dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat,
maka bisa jadi
angka-angka tersebut bersifat semu karena manfaat atau
keuntungan dari surplus produksi sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok
kecil masyarakat.
Sedangkan sebagian besar dari masyarakat hanya menikmati sedikit dari
hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan ada diantaranya yang tidak menikmati
sama sekali.
Kebijaksanaan pembangunan (modernisasi) pedesaan di negara-
negara berkembang yang cenderung bertumpu pada pertumbuhan ekonomi
terbukti belum berhasil mengurangi kemiskinan di negara berkembang (Kasryno
dan Stepanek, 1985).
Demikian pula halnya dengan pembangunan pertanian di pedesaan
Indonesia, meskipun berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun tidak
dibarengi dengan peningkatan kapasitas diri petani (terutama petani gurem) untuk
menolong dirinya sendiri.
13
Sebagaimana dikemukakan Sajogjo (1982), petani kecil masih dihadapkan
pada resiko-resiko seperti lemahnya akses mereka pada kredit murah yang
disediakan pemerintah dan mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari
ketergantungan dan lilitan hutang dari petani kaya dan tengkulak. Meskipun
modernisasi pertanian di pedesaan telah memulai membimbing petani untuk
mengorganisasikan dirinya agar dapat menolong dirinya sendiri, seperti melalui
penyuluhan dan pembentukan koperasi petani (KUD), namun terbukti upaya
tersebut belum memberi hasil yang memuaskan.
Kondisi masyarakat miskin di pedesaan Indonesia tidak mengalami
banyak perubahan dan bahkan kondisinya semakin memburuk sebagai dampak
krisis ekonomi di tahun 1997. Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan di
negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Boeke (1953) masih
dicirikan dengan adanya dualisme ekonomi.
Masyarakat pedesaan di Indonesia (terutama Jawa) memang tidak
sepenuhnya persis sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Geertz (1974)
tentang involusi pertanian, karena pada dasarnya petani itu selain pekerja keras
juga kreatif dalam mensiasati kerasnya kehidupan. Breman dan Gunardi (2004)
menunjukkan bahwa keterbatasan sektor pertanian dipedesaan untuk menutupi
kebutuhan hidup telah mendorong masyarakat desa untuk mencari mata
pencaharian ganda.
Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, kecenderungan ini meluas dan
melintasi batas-batas geografis desa, yaitu hingga ke perkotaan, dan bahkan
hingga ke manca negara untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Satu
hal yang menjadi ciri dasar, bahwa posisi petani sebagai strata bawah juga
terbawa pada jenis-jenis pekerjaan di perkotaan dan di manca negara, dimana
karakteristik pekerjaan mereka didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan kelas bawah
dan rentan terhadap pengusiran, eksploitasi, penindasan dan bahkan perkosaan.
Kondisi ini membuktikan bahwa posisi petani kecil dan keluarganya masih
termarginalkan baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global.
Kondisi
keterpurukan mayoritas petani kecil di pedesaan ini membutuhkan perhatian
serius dari semua kalangan terutama pemerintah.
14
Sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro dalam kata pengantarnya untuk
buku karya Breman dan Wiradi (2004), pasar tenaga kerja untuk petani kecil dan
keluarga miskin di pedesaan tidak mempunyai kelenturan. Dengan tingkat
pendidikan yang sangat rendah, sulit bagi mereka untuk melakukan mobilitas
horisontal apalagi vertikal, pun untuk jenis-jenis pekerjaan di sektor informal.
Posisi terdesak dari mayoritas petani
ini sangat membahayakan bagi
keamanan dan ketahanan nasional. Dalam tataran lokal dan daerah, kondisi ini
akan mendorong maraknya tindak
kejahatan. Namun jika kondisi ini terus
berlangsung, hingga melampaui batas-batas kesabaran dan kesadaran, maka bukan
tidak mungkin akan menimbulkan pembangkangan dan bahkan hingga
pemberontakan, yang cakupannya tidak hanya meliputi geografis lokal
kedaerahan, bahkan nasional.
Tentunya kondisi tersebut tidaklah kita harapkan terjadi, oleh karena itu
bagi
pemerintahan sekarang, sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro
tantangan yang terberat adalah masalah kemiskinan di pedesaan sebagai akibat
pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung. Sehingga dibutuhkan
model pembangunan baru, yang mampu memecahkan masalah pengangguran dan
kemiskinan struktural dalam kurun waktu yang sependek mungkin.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses aksi sosial yang
berkesinambungan dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam
merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhankebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya
untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas
kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan
bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari
pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
untuk
meningkatkan
potensi
masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi
seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Memberdayakan
masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka
sendiri.
15
Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang dipilih, maka pola
tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan
subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan hakikat dari
pemberdayaan masyarakat yakni terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana
mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah
kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada.
Pemberdayaan
masyarakat
dengan
segala
kegiatannya
dalam
pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community",
tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing
for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya,
bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau
organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing
with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu
mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan
expected need .
Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan)
Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah,
menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana
dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup
kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau
produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan programprogram yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan
asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu
sendiri.
Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk
memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif.
Kerawanan pangan ini terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80
persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Munculnya kasus rawan pangan
dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pangan dan akses terhadap
pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang masih menjadi masalah
bagi masyarakat.
16
Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu
kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan
sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup
pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak
seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak
mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada
terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 persen dari
kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan
penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan
pangan.
Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dikenal
luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi
yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami
banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama,
Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu
dan Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek
kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002).
Badan Bimas Ketahanan Pangan (2004), merumuskan konsepsi ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin
dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya;
(2) aman; (3) merata; (4) terjangkau.
Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih
dipahami sebagai berikut :
a. terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan
ketersediaan luas, pangan yang mencakup pangan yang yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia
17
b. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama
c. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang
harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air
d. terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah
diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau
Pembangunan subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan
dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam
negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Pembangunan subsistem distribusi
mencakup aksesibilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas
harga pangan strategisl. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah,
mutu, gizi/nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Pendekatan yang
ditempuh dalam membangun ketiga subsistemtersebut adalah koordinasi dan
pemberdayaan masyarakat secara partisipatif . Pendekatan ini berbasis pada
system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan
desentralistis.
Keberhasilan pembangunan ketiga subsitem ketahanan pangan tersebut
perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana,prasarana dan kelembagaan
kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, juga didukung oleh faktorfaktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Di
samping itu perlu adanya jaringan informasi yang mencakup dimensi yang luas
seperti produksi ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar
waktu dan wilayah. Informasi ini berguna sebagai basis perencanaan, prakiraan
dan evaluasi serta intervensi program.
Ketahanan pangan diselenggarakan oleh banyak pelaku, seperti produsen,
pengolah, pemasar dan konsumen, yang dibina oleh berbgai institusi sektoral,
subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah.
Keluaran yang
diharapkan dari pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta
meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
18
Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan
pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial
ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya.
Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat
digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel
tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock) dengan
konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana
pemerintah dan harga pangan.
Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang
dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi
pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan
sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan
kesehatan dan status gizi.
Berdasarkan luasnya dimensi ketahanan pangan
tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks,
tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau
sementara.
Ditinjau dari aspek pendekatan yang terkait dengan strategi untuk
mencapai ketahanan pangan, secara umum digunakan dua pendekatan yaitu : (1)
pendekatan ketersediaan pangan, dan (2) pendekatan kepemilikan (entitlement).
1
Pendekatan atau paradigmma terbaru mengacu pada konsep ketahanan pangan
yang berkelanjutan, yang mendasarkan pada empat aspek yaitu : pertama, pangan
merupakan kebutuhan dasar manusia ;
kedua, ketahanan pangan harus
diperlakukan sebagai sistem hirarki dari tingkat global, nasional, daerah hingga
rumah tangga ; dan ketiga, perlunya peranan pemerintah yang bersih dan
bertanggung jawab dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan
keempat, ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif.
1
Konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Konsep tersebut menggambarkan
manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia memiliki
akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan kebutuhan hidup lainnya.
19
Salah satu program pemerinthah untuk meningkatkan ketahanan pangan
adalah Program Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan). Program ini dimulai pada
tahun 2005 merupakan suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah
untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan
ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil
(pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian.
Tujuan dari program adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi
(mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran program adalah
desa rawan pangan yang pada tahun 2006 Pemerintah melalui departemen
pertanian mengeluarkan daftar 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia.
Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan kegiatan berkenaan
dengan ketahanan pangan di pedesaan yaitu bahwa masih adanya masyarakat
yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan
oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat, terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi,
terbatasnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran serta belum
optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan kelompok tani sehingga kurang
mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian maupun non-pertanian.
Selain itu di pedesaan masih banyak adanya kemiskinan structural,
sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum dapat
memenuhi kebutuhan keluarga. Serta yang tidak kalah penting adalah masih
minimnya sarana dan prasarana seperti pengairan, jalan desa, sarana usaha tani,
air bersih, listrik dan pasar yang dimiliki di pedesaan.
Salah satu upaya pemerintah adalah melalui program aksi desa mandiri
pangan. Melalui kegiatan pengembangan desa mandiri pangan sebagai salah satu
program untuk peningkatan kesejahteraan petan, diharapkan masyarakat desa
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga
dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan.
Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk
mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan
masalah dengan menempatkan tenaga pendamping di setiap desa pelaksana.
20
Kegiatan ini merupakan kegiatan lintas pemerintah yang ditangani
berjenjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan : 1)
pelatihan untuk petugas penyusun data awal desa (data base desa) dan pelatih
untuk aparat, dilaksanakan oleh pusat, selanjutnya provinsi melakukan pelatihan
untuk kabupaten, sedangkan kabupaten melakukan pengumpulan data desa, dan
menyusun profil desa dalam data base desa; 2) apresiasi, advokasi dan sosialisasi
dilaksanakan berjenjang; 3) pendampingan merupakan suatu kegiatan dilakukan
oleh pendamping yang menguasai pemberdayaan masyarakat untuk bersama-sama
masyarakat menumbuhkan kelompok mandiri, mengajarkan cara mengenali
potensi, masalah dan peluang yang ada serta menyusun rencana kelompok untuk
membangun dan mengembangkan usahanya; 4) pemberdayaan masyarakat
dilakukan oleh kabupaten melalui pertemuan kelompok yang efektif dan efisien
yang difasilitasi oleh pendamping sedapat mungkin tidak mengganggu aktifitas
usaha yang selama ini dilakukan.
Melalui program ini diharapkan masyarakat
mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup
sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Beberapa kondisi yang
diperlukan untuk pengembangan program mapan diantaranya keterlibatan
masyarakat secara efektif, terbangunnya skenario berbasis pemberdayaan
masyarakat, adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh dan memihak
kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh
kedepan dan terampil mengelola program tersebut. Pengembangan desa mandiri
dilakukan pada wilayah desa rawan pangan yang merupakan titik-titik potensi
penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia melalui proses pemberdayaan
masyarakat, penguatan kelembagaan, serta pengembangan sarana dan prasarana
pedesaan yang memadai. Masyarakat diharapkan mampu mengembangkan sistem
ketahanan pangan yang meliputi subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi,
menuju terwujudnya desa mandiri pangan yang masyarakatnya ; (1) mempunyai
kemampuan
untuk
meningkatkan
ketahanan
pangan
dan
gizi
dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya setempat; (2) mampu memperkecil resiko
kemumgkinan terjadinya penurunan ketahanan pangan karena sebab ekonomi atau
alam; dan (3) mampu memberikan manfaat bagi desa-desa lain disekitarnya.
21
Basis pembangunaan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan
pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana
dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan
mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga.
Melalui Program Aksi Desa
Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk –
produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan dukungan unsur – unsur
pendukungnya yang selanjutnya dapat mengurangi kerawanan pangan, upaya
tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu
mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah
serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai
kemandirian.
Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan
melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan,
yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke
waktu melalui : a) pengembangan system produksi pangan yang bertumpu pada
sumberdaya keseimbangan dan budaya local ; b) pengembangan efisiensi system
usaha pangan; c) pengembangan teknologi pangan; d) pengembangan sarana dan
prasarana produk pangan ; dan e) mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP tersebut pada hakekatnya adalah
pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas
masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan kelembagaan social
ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan
focus utamanya adalah rumah tangga pedesaan. Kabupaten Klaten dalam program
ini juga berkesempatan untuk mengelola dan menerapkan program ini karena dari
401 Desa/Kelurahan ada beberapa desa yang termasuk kriteria rawan pangan.
Dengan adanya program Aksi Desa Mandiri Pangan tersebut, kriteria
rawan pangan yang melekat didesa sasaran program akan hilang dan menjadi
desa yang mampu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat terendah yaitu di
tingkat rumah tangga sehingga secara perlahan bisa mewujudkan ketahanan
tingkat desa.
22
Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk
mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan
pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan
sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai
kemandirian masyarakat. Tujuan Program adalah untuk meningkatkan Ketahanan
Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui
pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan.
Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa
yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi.
Dalam pelaksanaannya, program akan difasilitasi dengan masukan antara
lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta
teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi.
Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan,
pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan
pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun
penanggulangan kerawanan pangan.
Melalui berbagai kegiatan tersebut,
diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek
ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu
mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga
diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi.
Strategi yang digunakan dalam pelaksanaannya antara lain melalui : (a)
penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas
masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan
dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses
dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta
antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan
dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang
diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi
Tim Pangan di tingkat desa.
23
Komunitas Petani dan Kemiskinan
Teori mengenai ekonomi rumah tangga petani telah dikemukakan oleh
beberapa ahli, diantaranya menurut Chayanov (1966), Vink (1984), Geertz
(1983), Scott (1976), dan Popkin (1979). Melalui konsepsinya tentang peasant
family farms, Chayanov mengatakan bahwa variabel penggunaan tenaga kerja
keluarga (operated with hired workers) yang membedakannya dengan perusahaan
(capitalistic enterprises). Pada usaha tani keluarga, semua tenaga kerjanya adalah
anggota keluarga sehingga tidak diberi upah. Sedangkan pada perusahaan, tenaga
kerjanya adalah orang lain yang diberi upah agar dapat mendatangkan
keuntungannya. Variabel itulah yang oleh Chayanov dipandang dominan,
disamping variable lainnya yaitu ada-tidaknya kepentingan untuk pembentukan
modal (interest on capital), sewa lahan (rent for land), dan keuntungan dalam
peruasahaan (profits of enterprises). Akhirnya Chayanov menyimpulkan bahwa
terdapat dua karakteristik yang dimiliki usahatani keluarga, yaitu eksistensinya
sebagai unit ekonomi yang sekaligus juga sebagai unit social. Sebagai unit
ekonomi, usahatani keluarga akan mengalokasikan segala sumberdaya yang
dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada tingkat yang paling
ekstrim, alokasi sumber daya tersebut sampai sedemikian rupa sehingga merusak
fisik dan mentalnya hanya sekedar upah yang tidak seberapa (self-exploitation).
Di sisi lain, usahatani keluarga juga sebagai unit social karena tempat
mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Konsepsi keluarga oleh Chayanov dipergunakan secara meluas, karena
disamakan dengan konsepsi rumahtangga. Menurut Chayanov, rumahtangga
terdiri dari keluarga dan termasuk juga sejumlah orang yang secara tetap makan
dari satu dapur. Berbeda dengan Chayanov, G.J. Vink (1984) justru melihat
adanya kesamaan antara usahatani keluarga dengan suatu perusahaan. Menurut
Vink, usahatani keluarga dapat dijelaskan sebagai ilmu perusahaan. Sebagai suatu
ilmu, maka usahatani mempelajari bagaimana seorang petani mengelola usaha
pertaniannya untuk mencukupi kesejahterannya. Kesejahteraan paling sederhana
bagi seorang petani adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup,
perlindungan terhadap pengaruh iklim, dimilikinya beberapa sarana kenikmatan
dan terjalinnya hubungan yang baik dengan lingkungannya.
24
Oleh karena itu menurut Vink, terdapat beberapa keterikatan dalam
melakukan usahatani. Masing-masing adalah keterikatan dengan masyarakat,
keadaan alam, hubungan kerja, permodalan dan kondisi lahan pertanian. Dengan
kata lain menurut Vink, usahatani khususnya di Indonesia lebih merupakan
perusahaan kolektif daripada perusahaan perseorangan. Kesimpulan sedemikian
ini ditarik oleh Vnk dari hasil penelitiannya di beberapa pedesaan di Indonesia
pada tahun 1940-an dan tampaknya saat ini masih relevan dengan keadaan petani
di pedesaan Indonesia.
Kesimpulan Vink, senada dengan temuan Clifford Geertz (1983) di daerah
pedesaan Jawa. Melalui pendekatan ekologi budayanya Julian Steward, Geertz
melihat bahwa sawah bagi masyarakat pedesaan Jawa sangat erat sangkut pautnya
dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisan
masyarakat. Inti budaya Jawa lah yang meliputi pola-pola social, politik dan
agama yang secara empiris mempengaruhi penyelenggaraan kehidupan dan
kegiatan perekonomian masyarakat.
Dalam usaha tani sawah misalnya, tidak hanya merupakan kegiatan yang
akan menghasilkan keluaran ekonomik saja, akan tetapi akan berkaitan juga
dengan kemampuan menyerap atau mempekerjakan tenaga kerja manusia.
Sehingga menurut Geertz, meskipun sebenarnya sebidang usahatani sawah telah
cukup dikerjakan olej sekelompok tenaga kerja, akan tetapi terpaksa menerima
tambahan tenaga kerja. Akibatnya memang dapat meningkatkan hasil produksi
secara keseluruhan per unit usahatani sawah, akan tetapi perolehan per tenaga
kerja justru menurun.
Fenomena demikian inilah yang diformulasikan oleh
Geertz sebagai “Involusi Pertanian”. Konsepsi Involusi kemudian diperluas oleh
Geertz, tidak hanya diberlakukan di sector pertanian sawah saja, akan tetapi juga
dalam sector-sektor lainnya. Seperti misalnya, sector perdagangan atau industri
rumah tangga.
Dengan membandingkan antara usaha tani sawah di pedesaan Jawa dan
usahatani ladang di luar Jawa, Geertz memandang variabel kepadatan
penduduklah yang menjadi determinannya. Kepadatan penduduk yang kontras
antara Jawa dengan luar Jawa akan menyebabkan pula perbedaan dalam pola
usahataninya.
25
Involusi
pertanian
menjadi
semacam
penyakit
menular
yang
menghinggapi masyarakat pedesaan di Jawa. Dibawah tekanan penduduk yang
semakin meningkat di satu sisi, dan keterbatasan sumberdaya lahan disisi yang
lain, masyarakat pedesaan di Jawa masih tetap mempertahankan homogenitas
ekonominya, dengan cara membagi rejeki yang ada secara merata. Oleh karena
rejeki semakin lama semakin menipis, maka pembagian kemiskinanpun tidak
dapat dielakkan lagi.
Proses itulah yang disebut kemiskinan berbagi (shared
poverty).
Lepas dari berbagai kritik yang dilontarkan pada hasil temuan Geertz
kurang lebih 30 tahun (1963-1994) yang lalu, ternyata relevansinya masih cukup
tinggi dengan fenomena yang berkembang di pedesaan Jawa saat ini. Sepanjang
perjalanan waktu tersebut, masyarakat di pedesaan jawa juga semakin berubah.
Kemiskinan memang masih menjadi penyakit yang belum dapat disembuhkan
secara tuntas, akan tetapi perubahan orientasi produksinyapun juga terjadi.
Di satu sisi sekelompok masyarakat masih bertahan dengan orientasi
produksi secara subsistens dan di sisi yang lain, sekelompok masyarakat terlah
berorientasi produksi secara komersial.. Adalah James C. Scoot (1976) dan
Samuel L. Popkin (1979) yang berhasil menjelaskannya melalui penelitiaannya di
pedesaan Asia Tenggara.
Keduanya mencoba mengangkat kehidupan petani kecil (peasant), akan
tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Scoot menelusurinya melalui pendekatan
ekonomi moral (the moral economy) sedangkan Popkin melalui pendekatan
ekonomi politik (the political economy).
Menurut scoot, inti dari perilaku
ekonomi petani kecil adalah mendahulukan agar dapat selamat (safety-first
principle).
Hal ini dikarenakan kehidupan petani kecil laksana orang yang
berendam dalam kolam air sampai sebatas lehernya, sehingga ombak kecil apapun
telah mampu menenggelamkannya.
Para petani kecil itu pada umumnya akan lebih memilih berproduksi
secara subsisten daripada berupaya meningkatkan kapasitas hasil produksi
pertaniannya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Chayanov, upaya kerja keras ini
seringkali melebihi kemampuannya (self-exploitation), meskipun hasil yang
diperolehnya hanya secukup hidup saja.
26
Oleh karena itu menurut Scoot, masyarakat petani kecil akan cenderung
mempertahankan mekanisme-mekanisme social di desanya yang selama ini
dianggap dapat membantu terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Seperti
misalnya, bentuk-bentuk kelembagaan di pedesaan yang mengatur hubungan
tolong-menolong, hubungan patron-klien, ataupun bentuk-bentuk “arisan social”
lainnya. Bagi masyarakat petani kecil, konsepsi keadilan social adalah penjabaran
dari aturan tolong-menolong tersebut, dan adanya hak untuk melakukan produksi
secara subsisten (norm of reciprocity and right to subsistence). Desa lah yang
dipandang sebagai sebuah komunitas yang dapat memberikan kerangka
kelembagaan tersebut. Scoot melihat bahwa seandainya terjadi pemberontakan di
kalangan petani, hal ini bukan dikarenakan oleh adanya perebutan kelebihan hasil
produksi. Akan tetapi lebih merupakan adanya pengrusakan kelembagaan social
petani yang dapat menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensinya.
Dinamit sosial yang selama ini telah melekatinya, yaitu kerentanan
ekologis (ecological vulnerability), kerentanan system harga (price-system
vulnerability), dan kerentanan monokultur usaha tani (monocrop vulnerability)
akan serta merta menjadi pemicu timbulnya pemberontakan petani. Akhirnya
menurut Scoot, yang harus juga dipahami secara lebih mendalam adalah
berkembangnya semacam filosophi bahwa : bukan apa yang diambil ? Akan tetapi
lebih pada berapa banyak yang masih tersisa ?
Analisis Scoot yang sedemikian itu mendapat kritik tajam dari Popkin.
Menurut Popkin, tidaklah selalu tepat jika melihat kehidupan masyarakat petani
kecil di pedesaan melalui gambaran yang romantis (romantic portraits). Dalam
kenyataannya, kehidupan mereka tidaklah selalu dipandu oleh sifat-sifat
tradisionalisme.
Ada beberapa hal dalam kehidupan petani kecil yang justru
menunjukkan indikator yang rasional. Dan tentu saja rasionalitas ini haruslah
dilihat dalam konteks yang khas kehidupan petani kecil di pedesaan. Indicatorindikator
rasionalitas
petani
kecil
tersebut,
tampak
pada
kemampuan
intelegensianya untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah secara
praktis, terhadap kompleksnya permasalahan alokasi sumberdaya, kewenangan,
dan penyelesaian perselisihan yang dihadapinya.
27
Berbeda dengan Scoot yang melihat bahwa petani tidak bersedia
menanggung resiko, justru sebaliknya bagi Popkin.
Dia melihat sebenarnya
petani kecilpun berani menanggung resiko, terutama jika dilihat keberaniannya
melakukan investasi, merubah norma-norma yang menjamin terpenuhinya
ambang batas subsistensi dan rasionalitasnya dalam melakukan tindakan kolektif.
Jika terjadi pemberontakan di kalangan petani kecil, hal ini bukan dikarenakan
kelembagaan sosialnya dilanggar sebagaimana dinyatakan oleh Scoot, tetapi
dalam rangka petani kecil tersebut menjinakkan kapitalisme yang mencoba
melakukan intervensi pasar ke pedesaan.
Desa dalam pandangan Popkin bukanlah sebuah komunitas tertutup yang
masih mengembangkan kebersamaan yang kental diantara warganya dan
membina hubungan yang berikatan ganda antara petani dengan tuan tanahnya
sebagaimana dikatakan oleh Scoot, akan tetapi sebagai sebuah komunitas terbuka
yang mengembangkan hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual dan
berikatan tunggal.
Oleh karena itu ancaman subsistensi bagi petani tidak berhubungan
dengan munculnya tindakan kolektif.
Popkin menyebut pula kemungkinan
adanya para petani pembonceng (free-riders) cukup tinggi. Petani sedemikian ini
memiliki pertimbangan untung-rugi dalam berpartisipasi untuk kegiatan kolektif,
seperti misalnya, proyek pembangunan.
Factor-faktor yang dipertimbangkannya meliputi : seberapa besar
sumberdaya yang harus dikeluarkannya, keuntungan apa yang akan diperolehnya
nanti, ada tidaknya peluang untuk melakukan dalam memperoleh keuntungan
tersebut, dan ada tidaknya pemimpin yang mampu memobilisasi sumberdaya
yang tersedia.
Akhirnya, Popkin mengingatkan bahwa dikalangan petani kecil pun
memiliki kemampuan untuk “bermain”, yaitu dengan jeli melihat kesempatan
yang dapat dimanfaatkan demi keuntungan. Istilah petani bukan istilah yang
umum, begitu diucapkan setiap orang (otomatis) mempunyai pengertian sama,
karena itu tidak salah jika kata petani mengandung dimensi makna yang luas.
Setidaknya ini diketahui dari adanya ketidaksamaan konsep yang diajukan oleh
para ahli berkaitan dengan definisi petani.
28
Untuk mendefinisikan secara tepat juga mengalami kesulitan. Berkaitan
dengan itu Lansberger dan Alexandrov (1981), mengatakan bahwa berpanjangpanjang dalam hal olah membuat definisi petani, itu sama halnya dengan
membuka diri untuk dituduh sebagai ilmuwan yang sok ilmiah dan steril.
Penjelasan tentang konsep petani umumnya masih berbeda.
Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara
umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas
dibanding konsep pertama, seperti dalam tulisan James C. Scott. Menurutnya
definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya
menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya
petani adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan
pertanian (Scott, 1976). Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya
petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan
pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985).
Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya
jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu
seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Di antara penduduk pedesaan ada
pedagang, pegawai, buruh dan sebagainya. Jika mengacu pada konsep petani saja,
maka perlu diperhatikan petani yang mana, karena belum tentu petani itu pemilik
sekaligus penggarap. Ada petani yang hanya sebagai pemilik, di pihak lain ada
petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap.
Berkaitan dengan hal tersebut Marzali (1999), memberikan konsep petani
(peasant) agar dapat dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya,
petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat
manusia, maka dapat dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum
petani berada di antara masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani
adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga,
dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata
pencaharian, maka petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan
petani moderen (farmer).
29
Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang
digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan
golok, sedangkan petani (peasant) menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak.
Perbedaan pada tingkat ini belum dipandang sebagai hal penting. Perbedaan
penting adalah bagaimana hubungan kedua tipe petani itu dengan kota. Seperti
diungkapkan oleh Redfield (1985), bahwa terbentuknya petani peasant itu karena
munculnya kota atau kotalah yang membuat adanya petani peasant. Tidak ada
petani peasant sebelum kota pertama muncul di muka bumi ini.
Sebaliknya petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya
dengan kota relatif terisolasi (terbatas). Pada konteks Indonesia saat ini, kelompok
masyarakat (komunitas) primitif ini mungkin dikenakan kepada masyarakat
berburu dan meramu atau dikenal dengan masyarakat terasing. Perbedaan antara
petani peasant dengan farmer terletak pada sifat usahatani yang dilakukan.
Peasant berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga.
Sedangkan petani farmer berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan
bertujuan mencari keuntungan.
Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar
guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa,
petani peasant berusahatani keluarga, sedangkan petani farmer berusahatani
seperti prinsip ekonomi perusahaan (komersil). Kesamaannya adalah sama-sama
mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural.
Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari
komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi
pengertiannya mempunyai arti yang sama penting.
Redfield dalam Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya
antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut
pandang ini komunitas didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat
pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal
dengan sebutan kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan
tempat kehidupan daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan
sejenisnya.
30
Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan
dengah hal itu Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama,
komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan
sendiri. Kedua, komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang
keempat, sub-komunitas metropolitan.
Berbeda dengan Redfield, Sanders juga menekankan komunitas sebagai
sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang
cenderung terisolasi. Namun aspek ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi
lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya
komunitas sebagai suatu ruang maka, dalam dirinya juga terbentuk suatu arena
interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas
melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi
kehidupan dari kategori. Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut
Sanders (1958) mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh
lima faktor yaitu:
a. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup dengan
pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang
beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan
orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.
b. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap
lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui
proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan
dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya.
c. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu
mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai
suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan
dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas.
d. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota
baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.
e. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas
membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang
berbeda satu sama lainnya.
31
Kelembagaan Lokal dan Kelembagaan Ketahanan Pangan
Menurut
Koentjaraningrat,
kelembagaan
sosial
adalah
terjemahan
langsung dari istilah social institustion (pranata sosial) yang memiliki dua makna.
Yaitu kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh
dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok, dan
memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan sosial dan asosiasi
adalah sebagai satu bagian yang saling mendukung satu sama lain.
Kelembagaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat umum, sedangkan asosiasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
khusus.Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuantujuan hidup yang disepakati bersama. Upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan
pokok dan mencapai tujuan hidup lainnya tentunya harus diatur sedemikian rupa
melalui aturan yang tercerin dalam norma-norma agar tercapai suatu tata tertib
hidup bermasyarakat.
Pada hakikatnya, norma-norma dan peraturan-peraturan tata tertib itulah
yang menjadi ciri dasar dari sebuah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada
di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan
kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui dan mempelajari
masyarakat dan kebudayaan tertentu, maka menjadi suatu keharusan untuk
mempelajari organisasi atau lembaga sosial dan ekonomi yang ada di dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Kelembagaan masyarakat sebagai wujud pola-pola hidup bermasyarakat
menurut Soekanto (1990) memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : (1)
pengorganisasian pola pemikiran akibat aktivitas dan hasil-hasilnya, (2)
berkekalan tertentu, (3) mempunyai satu atau lebih tujuan, (4) mempunyai
lambang-lambang yang melambangkan tujuan, (5) mempunyai alat-alat untuk
mencapai tujuan dan (6) mempunyai tradisi tertulis dan tidak tertulis yang
merumuskan tujuannya dan tata tertib yang berlaku. Terdapat beragam definisi
kelembagaan masyarakat, namun untuk membatasinya maka
definisi
kelembagaan yang akan digunakan mengacu pada definisi Soemardjan dan
Soemardi (1984).
32
Menurutnya, kelembagaan masyarakat didefinisikan sebagai himpunan
semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di
dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi
dasar keberadaan kelembagaan masyarakat tiada lain yaitu untuk mengatur dan
memenuhi kebutuhan masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat
menurut Soekanto (1990) pada dasarnya memiliki fungsi untuk (1) memenuhi
kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat
bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalahmasalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhankebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat,
dan (4) memberi
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control).
Keragaman kebutuhan manusia tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai jenis
atau bentuk kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1965) dapat digolongkan menjadi : (1)
Kelembagaan kekerabatan domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan
ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun dan mendistribusikan
kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4)
kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5)
kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau
kehidupan negara), (5) kelembagaan keagamaan (untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan), (6) kelembagaan estetika dan rekreasi (untuk
menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi) dan (7) kelembagaan somatik
(jasmaniah manusia).
Kelembagaan juga dapat digolongkan berdasarkan lokalitas sebagaimana
Uphoff (1992) menggolongkan kelembagaan menjadi tiga yaitu ; sektor publik,
sektor partisipatori dan sektor swasta. Kelembagaan sektor publik di tingkat
lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan
organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor
partisipatori mencangkup lembaga-lembaga yang nama, tumbuh dan dibangkitkan
oleh masyarakat secara sukarela, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sektor swasta meliputi lembaga-lembaga swasta yang berorientasi kepada upaya
untuk mencari keuntungan baik itu di bidang jasa, perdagangan dan industri.
33
Terkait dengan komunitas pedesaan di Indonesia, maka terdapat beberapa
unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang dapat diasumsikan
sebagai satu satuan komunitas yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan dan
organisasi di tingkat lokal dapat dilakukan dengan membangun sistem jejaring
kerjasama (kolaboratif) dan sinergy. Sebuah program atau proyek pembangunan
misalnya dapat melibatkan beberapa organisasi di tingkat komunitas dan juga
lembaga di tingkat supra-desa (pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi)
dengan menggunakan strategi jejaring kerjasama yang setara dan saling
menguntungkan.
Kelembagaan di pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu :
pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD, dan lain-lain.
Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan
kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering
memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut.
Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan
cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong
menolong, gotong-royong, jimpitan, simpan pinjam, arisan, beras perelek,
lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain. Menurut Scott (1976), keberadaan
lembaga asli di pedesaan memiliki fungsi ambivalensi, dimana lembaga tersebut
memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam
mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.
Kelembagaan
masyarakat
bersifat
dinamis,
senantiasa
mengalami
perubahan-perubahan sebagai salah satu bentuk adaptasi dan/atau penyesuaian
lembaga tersebut terhadap terjadinya perubahan sosial masyarakat (sosial,
ekonomi, politik) dan ekologi/lingkungan alam di sekitarnya. Pengembangan
kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga
dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada.
Pembangunan di negara-negara dunia ketiga, terutama pada program-program
atau proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan
Israel (1990) cenderung menekankan pada pembangunan fisik-ekonomi, namun
kurang memperhatikan upaya pembangunan kelembagaan
34
Kondisi ini terjadi terjadi disebabkan oleh beberapa alasan yaitu : pertama,
bahwa teori dan praktek pembangunan telah lama berada di tangan para ahli
ekonomi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang
berdasarkan pada aspek efisiensi dan bukan pada cara-cara yang paling efektif
dalam menggunakan sumberdaya yang dialokasikan. Kedua, karena masalah
kelembagaan merupakan bidang keilmuan yang rumit. Ketiga, hampir semua
program pembangunan lebih ditekankan pada pembangunan di bidang fisik, hal
ini karena pembangunan fisik tersebut relatif lebih berhasil dan mudah diukur
tingkat keberhasilannya jika dibandingkan dengan bidang kelembagaan.
Kebijakan pembangunan di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru,
cenderung menekankan pada tercapainya stabilitas ekonomi dan politik yang
tinggi.
Dalam kebijakan pembangunan seperti ini, tujuan akhirnya yaitu
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada kenyataannya tidak didukung dengan kelembagaan yang mampu
membangun instrumen untuk mendistribusikan hasil-hasil dari pertumbuhan
ekonomi tersebut secara adil. Demikian pula halnya dengan pembangunan di
bidang pertanian, upaya-upaya modernisasi pertanian lebih ditekankan pada upaya
peningkatan
produktivitas
yang
tinggi,
tetapi
tidak
dimbangi
dengan
pembangunan kelembagaan di tingkat desa. Ditinjau dari segi produktivitas
pertanian (beras) memang meningkat, tetapi ditinjau dari kelembagaan lokal
penunjang aktifitas pembangunan pertanian lemah.
Lemahnya pembangunan di bidang kelembagaan
kerapuhan
perekonomian
pedesaan
Pranadji
(2003),
selain menyebabkan
juga
menyebabkan
masyarakat desa (terutama petani gurem) lemah secara sosial dan politik. Pada
akhirnya masyarakat desa (terutama petani gurem) belum mampu menjadi mitra
sejajar dan sekaligus sebagai kekuatan kontrol sosial bagi pemerintah dalam
menjalankan roda pembangunan. Sebenarnya sudah ada upaya-upaya pemerintah
Orde Baru untuk membangun lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok petani
di tingkat desa untuk memfasilitasi dan mendukung program pembangunan,
seperti halnya lembaga Pemerintahan Desa dan Koperasi Unit Desa. Namun
proses pembentukannya dan operasionalisasinya dilakukan dengan pendekatan
terpusat (sentralisasi), searah (top-down) dan seragam.
35
Sehingga hampir tidak ada ruang dan akses bagi kelompok strata bawah
(kelompok miskin dan petani gurem) untuk terlibat aktif dan menikmati manfaat
pembangunan melalui lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga tersebut
sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977), cenderung menumbuhkan
kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan
pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil.
Kerjasama antar desa yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Kecamatan sudah
lama
melemah.
Sehingga
kedepannya,
untuk
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat strata bawah (petani gurem), seyogyanya dilakukan dengan
merangsang organisasi pada tingkat dukuh (komunitas) yang disebutnya sebagai
”sodality”. Pada era reformasi dan otonomi daerah ini, terbuka peluang yang
sangat besar untuk mewujudkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan
melalui pendekatan partisipasi, modal sosial dan pengorganisasian (rekayasa)
masyarakat sipil.
Sebagaimana dikemukan Ufford dan Giri (2004), model pendekatan
seperti ini mesti ditempatkan secara kritis, karena terdapat kecenderungan bahwa
model tersebut berupaya memperluas area intervensi dan pengelolaan dari bidang
teknik dan ekonomi (dalam arti insentif untuk memaksimalkan hasil materi) ke
bidang sosial dan budaya. Dimana pendekatan pembangunan dari bawah ke atas
(bottom-up), dan pendekatan partisipatoris dirangkai dengan ”manajemen
orientasi hasil” kerapkali cenderung memenuhi kebutuhan penting untuk
penyampaian program, bila dibanding untuk menghidupkan kembali politik kritis.
Hal ini
dibuktikan dimana pendekatan partisipatoris jarang menghasilkan
tantangan yang radikal terhadap struktur kekuasaan yang tidak demokratis dan
berkeadilan, sehingga yang terjadi malah sebaliknya sejalan dengan sistem-sistem
perencanaan yang terpusat dan searah (top-down).
Berdasarkan uraian di atas, maka suatu keharusan untuk segera melakukan
penguatan kelembagaan di tingkat pedesaan agar pembangunan tidak hanya
melulu pada pencapaian kemajuan kebudayaan material dan melupakan kemajuan
kebudayaan non-material. Jika pembangunan pertanian di negara kita pernah
melakukan ”revolusi kebudayaan material” melalui program revolusi hijau dan
terbukti tidak berhasil memandirikan dan mensejahterakan petani kecil, maka
36
sudah saatnya sekarang melakukan ”revolusi kebudayaan non-material” melalui
pemberdayaan petani di bidang politik, sosial, ekonomi dan kesehatan.
Upaya
tersebut juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, LSM, Perguruan
Tinggi dan sektor swasta. Hal ini penting karena kapasitas kelembagaan pedesaan
masih rendah dan untuk meningkatkannya perlu adanya pendampingan serta
transfer pengetahuan tentang nilai-nilai pembangunan yang selaras dan
menguatkan nilai-nilai lokal. Melalui mekanisme jaringan kerjasama (kolaborasi)
dan kemitraan antara lembaga masyarakat lokal dengan pemerintah, LSM,
perguruan tinggi dan sektor swasta, maka masing-masing pihak dapat saling
belajar dan bekerjasama untuk mencari dan merumuskan nilai-nilai pembangunan
yang berkeadilan dan mensejahterakan.
Jika upaya-upaya peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal
berhasil dibangun, maka hal ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat desa saja,
melainkan juga bagi pemerintah dan sektor swasta.
Disatu sisi kewajiban
pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat pedesaan
terpenuhi dan disisi lain sektor swasta diuntungkan karena kelembagaan lokal
yang kuat akan mampu mendukung keberlanjutan usahanya. Dengan catatan,
penguatan kapasitas kelembagaan melalui jaringan kerjasama dan kemitraan ini
tidak hanya melulu ditujukan bagi pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, melainkan
juga berusaha menguatkan masyarakat petani secara sosial dan politik. Ini penting
agar dalam jaringan kerjasama tersebut tidak terjadi dominasi (Agusyanto dan
Lukito, 1997) dan selain masyarakat desa dapat berperansetara sebagai mitra
sejajar, juga dapat memposisikan diri sebagai kontrol sosial (social control) bagi
jalannya roda pembangunan.
Secara konseptual, sebagaimana dikemukakan Tonny (2006), pendekatan
jaringan
kolaboratif
pemerintahan
dan
sinergy
tersebut
mampu
menciptakan
sistem
desa (politik, sosial-budaya dan ekonomi) yang demokratis,
desentralisitik, partisipatoris dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat desa
(lokal).
Mengingat dinamika masyarakat desa akan senantiasa terkait dan
dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung dengan adanya interaksi dan
intervensi “pihak luar” (pemerintah, swasta nasional dan internasional, LSM, dll)
ke dalam masyarakat desa atau komunitas tradisional.
37
Interaksi dan intervensi “pihak luar” tersebut dapat merubah corak dan
karakteristik sumber kehidupan masyarakat desa. Sebagaimana kasus pedesaan di
Indonesia, model pembangunan
(modernisasi) yang kurang menghargai
kebudayaan dan kedaulatan komunitas lokal, telah menyebabkan terjadinya
perubahan pola mata pencaharian masyarakat pedesaan, baik di Jawa dan di luar
jawa (Husken, 1998 ; Whertheim, 1999 ; Breman dan Wiradi, 2004 ; Suparlan,
1995 ; Maunati, 2004).
Dimensi Kepentingan
Teori tentang dimensi kepentingan merujuk pada Swedberg (2003), yaitu
Sosiologi Kepentingan dalam Tindakan Ekonomi (Principles of Economic
Sociology) dalam tulisan Titik Sumarti (2005). Bahwasanya, pola-pola interaksi
sosial dan kelembagaan, yang dibentuk oleh manusia dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup dan memperoleh keuntungan, merupakan subyek utama kajian
sosiologi ekonomi. Bidang kajian pendekatan baru dalam sosiologi ekonomi ini
bukan lagi pada dampak relasi sosial pada tindakan ekonomi, melainkan pada
pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang menentukan tindakan ekonomi.
Analisa pada level kepentingan dimulai dengan penempatan kepentingankepentingan manusia (dalam kasus Weber, kepentingan agama dan ekonomi), dan
mengkaji kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi kepentingan serta
konsekuensinya. Analisa ini lebih tajam dan realistis dibanding analisa pada level
relasi sosial maupun kelembagaan. Dalam pendekatan baru ini, Swedberg
memperkenalkan konsep sosiologi kepentingan.
Dengan merujuk pada sosiologi religi yang dikemukakan oleh Weber,
religi sebagai suatu kepentingan merupakan metafora (kiasan) dari tindakantindakan manusia yang berlangsung sepanjang perjalanan-perjalanan hidup yang
berbeda, pun ketika hal itu diinspirasikan melalui motivasi-motivasi yang serupa.
Menurut Weber, kepentingan mendorong tindakan manusia, yaitu dimana cara
pandang aktor terhadap dunia kehidupannya yang akan menentukan arah tindakan
yang akan diambil sang aktor. Selain Weber, Swedberg juga mengemukakan
karya penulis lain seperti Alexis de Tocqueville, James Coleman, Pierre Bourdieu.
38
Pemikir seperti David Hume, Adam Smith dan John Stuart Mill,
mengungkapkan bahwa kepentingan menjadi penjelas utama dalam teori perilaku
sosial. Menurut analisa mereka, ada beragam tipe kepentingan. Kepentingan dapat
bertentangan satu sama lain, menghalangi maupun memperkuat satu sama lain.
Kepentingan yang membuat orang mengambil tindakan. Kepentingan mampu
mensuplai energi (kekuatan) dan membuat orang bangkit dari tidur dini hari serta
bekerja keras sepanjang hari. Jika dikombinasikan (digabungkan) dengan
kepentingan orang lain, akan menjadi suatu kekuatan yang cukup besar yang
mampu menggerakkan dan menciptakan masyarakat baru.
Analisa kepentingan membantu untuk menjelaskan konflik, yang muncul
ketika terjadi benturan kepentingan. Konflik tersebut dapat berlangsung dalam
pikiran seseorang, antar individu, kelompok, dan masyarakat. Tetapi kepentingan
tidak hanya berbenturan dan menggerakkan aktor, kepentingan juga bisa
menghalangi satu sama lain, menguatkan satu sama lain, atau melumpuhkan sang
aktor, misalnya pembentukan beberapa religi atau politik yang mendukung tradisi.
Konsep kepentingan merupakan suatu alat analisa yang fleksibel.
Menggunakan konsep kepentingan berarti mengubah pusat analisa dari
kekuatan di permukaan ke daerah kekuatan yang lebih mendalam yang memiliki
impak penting pada tindakan sosial. Analisa Weber dalam The Protestan Ethic
merupakan paradigma dalam hal upayanya untuk menganalisa apa yang membuat
orang merubah perilaku mereka secara mendasar yang menciptakan suatu
mentalitas rasionalistis baru secara menyeluruh.
Menggunakan konsep kepentingan juga dapat membantu memberikan
tempat seimbang pada peranan subyektivitas dan kebudayaan dalam analisa
perilaku ekonomi. Sesungguhnya tidak bisa dilupakan – kepentingan dalam
beberapa hal selalu subyektif dan
dibentuk melalui kebudayaan – tetapi
kepentingan juga bersifat obyektif dalam arti bahwa kepentingan membentuk
suatu bagian yang stabil dan kukuh dari realitas sosial. Moralitas negara atau
umum, misalnya, bisa melarang aktivitas tertentu tetapi bisa juga membolehkan di
tempat lain. Terdapat upaya mengintegrasikan kepentingan kedalam tipe analisa
sosiologi.
39
Pendekatan ini memperhitungkan baik kepentingan maupun relasi sosial –
menjelaskan bahwa kepentingan didefinisikan dan diekspresikan melalui relasi
sosial. Kepentingan adalah sesuatu yang mendorong tindakan individu-individu
pada beberapa tingkatan yang mendasar. Lebih lanjut, kepentingan merupakan
fenomena sosial yang intens. Individu lain harus dipertimbangkan ketika seorang
aktor berupaya untuk merealisasikan kepentingannya.
Hal ini juga merupakan fakta bahwa kepentingan didefinisikan secara
sosial. Definisi kepentingan ini cukup luas mencakup beragam tipe kepentingan,
tidak hanya kepentingan ekonomi. Konsep kepentingan digunakan untuk
menangkap kekuatan pokok yang mendorong perilaku manusia.
Sumbangan
sosiologi ekonomi baru lainnya datang dari Coleman yang memperkenalkan
sosiologi berbasis kepentingan. Coleman mengemukakan bahwa ahli ekonomi
telah gagal memperkenalkan relasi sosial dalam analisa mereka. “cara-cara utama
teori ekonomi bergerak dari tingkat mikro aktor tunggal ke tingkat makro yang
melibatkan banyak aktor adalah melalui konsep “agent representative”. Kumpulan
para aktor secara sederhana tidak sesuai dengan fenomena seperti trust, sementara
trust merupakan suatu hubungan antara dua aktor”. Coleman menggunakan tiga
subyek untuk menjelaskan hal tersebut: trust, pasar, dan perusahaan.
Beberapa pokok pikiran Coleman yaitu, pertama; dalam tindakan ekonomi
tidak cukup membahas aktor dan kepentingannya, penting pula dibahas
“sumberdaya” dan “kontrol” yang dimiliki. Jika seorang aktor memiliki
kepentingan terhadap aktor lain, kedua aktor tersebut akan berinteraksi. Kedua;
analisa kepercayaan (trust). Coleman mencirikan trust sebagai suatu pertaruhan
dengan kesadaran. Anda mengkalkulasi apa yang anda peroleh dan kehilangan
bila mempercayai seseorang, dan dalam situasi tersebut anda terus dan
mempercayai orang tersebut. Ketiga; analisa modal sosial. Modal sosial
didefinisikan Coleman sebagai adanya relasi sosial yang dapat membantu individu
ketika mencoba untuk merealisasikan kepentingannya. Suatu perusahaan
merepresentasikan, misalnya, suatu bentuk modal sosial. Keempat; kemampuan
perusahaan - sekali orang menciptakannya untuk merealisasikan kepentingannya untuk membangun kepentingannya sendiri. Bagi Coleman, perusahaan merupakan
suatu penemuan sosial yang mendasar.
40
Dari tulisan dapat dikemukakan beberapa proposisi yang ditawarkan
dalam pendekatan sosiologi ekonomi baru yaitu; bahwa tindakan ekonomi
didorong oleh suatu kepentingan sebagai kekuatan yang mendasar, kepentingan
merupakan fenomena sosial yang didefinisikan secara sosial, dan kepentingan
direalisasikan melalui relasi sosial.
Kerangka Pemikiran
Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan
pengentasan kemiskinan hingga saat ini
belum memberikan hasil yang
memuaskan. Program-program seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT
empiris terbukti
tidak efektif
secara
dan dalam banyak kasus menemui kegagalan
karena masih terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin di
pedesaan dalam program-program tersebut. Kondisi ini terjadi terutama
disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program
maupun pelaksananya, dengan program cenderung lebih berorientasi proyek.
Keadaan lain yang mempersulit terakomodirnya kepentingan rumah
tangga miskin dalam program pemerintah adalah bahwa program-program
tersebut hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya
yang secara sosial-ekonomi relatif mampu. Pendekatan politik pembangunan di
pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit
pemilik faktor-faktor produksi di pedesaan.
Hal inilah yang pada akhirnya
menyebabkan implementasi program tidak partisipatif bagi rumah tangga miskin
pedesaan sebagai subyek utama dan mengabaikan energi sosial lokal (sumberdaya
manusia, kelembagaan, jaringan sosial), serta menyebabkan semakin sulit
terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin.
Kebijakan
pembangunan
seyogyanya
dapat
mempertemukan
mengharmoniskan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan
tangga petani.
dan
rumah
Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis,
maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk
mendialogkan kepentingan-kepentingan.
41
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah
tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan
sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai
penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2005, salah
satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dan berpontensi menjadi
kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin
dengan pihak supradesa. Sebagai program untuk pengentasan kemiskinan dan
kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan
masyarakat masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan
budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru.
Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan
berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan
beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan
pihak luar desa. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan
peranannya
dalam
ikut
menggiatkan
aktivitas
perekonomian
dengan
menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan
semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Belum
berhasilnya program penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan yang
telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan
yang ada.
Terkait dengan uraian tersebut, pengembangan kelembagaan lokal dalam
hal ini kelembagaan ketahanan pangan program aksi mandiri pangan, sebagai
salah satu upaya untuk penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan di
pedesaan harus memperhatikan sudah sejauh mana kepentingan rumah tangga
petani miskin terakomodir dalam program. Hal inilah yang melandasi kenapa
penelitian tentang dimensi
kepentingan
dalam pengembangan kelembagaan
ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan)
dilakukan peneliti. Keseluruhan alur pemikiran tersebut diatas tertuang dalam
gambar 1.
42
Rumah Tangga Petani Miskin
Potensi Komunitas
(SDA/SDM,
Modal Sosial,
Modal Fisik,
Modal Finansial)
Ketahanan Pangan Lokal
Pengembangan Kelembagaan
Ketahanan Pangan Lokal
Analisa Kepentingan
Aktor dlm Pelaksanaan
Program Mapan
Elit Dinas
Elit Desa
Pendamping
Gambar 1.
TPD/LKD
Kelompok
Afinitas
Alur Pemikiran Penelitian Dimensi Kepentingan dalam
Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan
Keterangan :
1. Komunitas rumah tangga petani miskin pedesaan menurut Sajogyo
(1993), A.V Chayanov (1996), Clifford Geertz (1983), James C. Scott
(1976), Samuel L.Popkin (1979)
2. Perkembangan kelembagaan lokal pedesaan menurut Uphoff (1992),
Arturo Israel (1990), Husken (1998), Soerjono Soekanto(1990), Tri
Pranadji (2003)
3. Sosiologi Kepentingan menurut Richard Swedberg (2003), Titik Sumarti
(2005)
43
Hipotesa Pengarah Penelitian
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan teoritis dan akumulasi pengetahuan
pustaka peneliti maka beberapa hipotesa penelitian yang dirumuskan sebagai
arahan pelaksanaan penelitian di lapangan adalah sebagai berikut :
1. Upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan akan lebih
efektif apabila diikuti dengan pengembangan kelembagaan ketahanan
pangan lokal
2. Jika dinamika berbagai kepentingan
(ekonomi, sosial, politik) tidak
diperhatikan akan mengganggu pengembangan kelembagaan ketahanan
pangan lokal
3. Jika kepentingan rumah tangga petani miskin tidak dijadikan fokus
program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal dapat
berakibat proses pemiskinan dan rawan pangan berlanjut
44
Download