bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tato berasal dari kata Tahitian atau tatu yang berarti menandakan sesuatu.
Tato pertama kali ditemukan di Mesir, tepatnya pada zaman Mesir kuno, sekitar
2000 tahun sebelum masehi. Tato pertama di dunia ini ditemukan di kawasan
Thebes, Mesir, pada mummi seorang pendeta perempuan pemuja Dewi Hathor
yang bernama Amunet. Tato ini merupakan tanda kesuburan seorang perempuan
pada masa mesir1. Berawal dari Mesir, kemudian seni menggambar tubuh ini
menyebar ke seluruh dunia, tentunya dengan pemaknaan yang berbeda – beda. Di
Yunani misalnya, tato digunakan sebagai penanda pangkat para intelejen/mata –
mata perang mereka. Sedangkan di Romawi kuno, tato adalah penanda golongan
budak dan tahanan. Beragam fungsi lain dari tato di antaranya sebagai jimat,
perhiasan, keyakinan akan kepercayaan tertentu, bahkan sebagai hukuman seperti
yang terjadi di Cina kuno.
Awalnya, bahan untuk membuat tato berasal dari arang tempurung yang
dicampur dengan air tebu. Alat – alat yang digunakan masih sangat tradisional.
Seperti tangkai kayu, jarum dan pemukul dari batang. Orang – orang Eskimo
misalnya, memakai jarum yang terbuat dari tulang binatang. Di kuil – kuil Shaolin
menggunakan gentong tembaga yang dipanaskan untuk mencetak gambar naga
1
http://www.touregypt.net/egypt-info/magazine-mag11012000-mag4.htm
pada kulit mereka. Murid-murid Shaolin yang dianggap memenuhi syarat untuk
mendapatkan simbol itu akan menempelkan kedua lengan mereka pada semacam
cetakan gambar naga yang ada di kedua sisi gentong tembaga panas tersebut. Jauh
berbeda dengan sekarang, terutama di kalangan masyarakat perkotaan, pembuatan
tato dilakukan dengan mesin elektrik dan zat pewarnanya menggunakan tinta
sintetis.
Tato di Indonesia sendiri pertama kali ditemukan pada suku pedalam
Mentawai, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, dan Suku Dayak dari
Kalimantan. Di Mentawai, tato merupakan salah satu ritual budaya peninggalan
leluhur, yakni Arat Sabulungan. Tato dimaknai sebagai pakaian abadi yang
menandakan identitas status sosial tertentu. Kepercayaan ini merupakan satu
sistem pengetahuan, nilai, dan aturan hidup yang dipegang kuat oleh mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Suku Dayak Kayaan, sub suku dari Suku Dayak, tato
juga digunakan untuk menandakan status sosial tertentu. Pada laki – laki
misalnya, tato hanya diberikan kepada mereka yang telah Mangayo atau
memenggal kepala lawan. Dengan tato ini, laki – laki mendapat status sosial yang
tinggi dan sangat dihormati oleh anggota suku lainnya.
Sepanjang perkembangan sejarahnya hingga saat ini, tato, khususnya di
Indonesia, telah mengalami dinamika pemaknaan yang signifikan. Sejak pertama
kali ditemukan di suku pedalaman Mentawai, tato dimaknai sebagai identitas
status sosial tertentu. Pada jaman dahulu, seperti yang telah dimuat sebelumnya,
tidak semua orang dapat dan boleh menggunakan tato jika status sosialnya belum
memenuhi. Terutama ketika ia belum melakukan hal tertentu yang dianggap
sebagai ‘harga’ untuk mendapatkannya. Sedangkan pada perkembangannya di
jaman sekarang, tato bisa dimiliki oleh siapa saja tanpa perlu terlebih dahulu
memenggal kepala lawan seperti yang dilakukan di suku Dayak Kayaan. Tato
dapat dengan mudah dimiliki seseorang asalkan ia memiliki niat dan uang.
Berkenaan dengan pergeseran makna tersebut, tato kemudian mengalami
pergeseran makna negatif ketika periode penyebaran agama di Indonesia
berlangsung, yakni sebagai simbol keterbelakangan seperti kriminal dan
kekerasan. Tato di Indonesia juga kemudian semakin memburuk citranya ketika
digunakan sebagai lambang/penanda bahwa seseorang pernah dipenjara.
Di era yang sudah modern ini, stigma negatif akan tato masih melekat
pada masyarakat awam meskipun anggapan itu tidak selamanya benar. Di sisi
yang berbeda, tato mulai diadopsi sebagai salah satu bentuk karya seni.
Penggemarnya berasal dari berbagai kalangan, terutama generasi muda dan
penggemar sub kultur tertentu. Yang kemudian menjadi menarik untuk diteliti dan
dipahami lebih mendalam adalah bagaimana sebenarnya pemaknaan tato di
kalangan pengguna tato di masa kini, khususnya di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemaknaan para pengguna tato masa kini di Yogyakarta
terhadap tato di tubuhnya ?
C. Tujuan penelitian
1. Mengetahui bagaimana pemaknaan para pengguna tato masa kini di
Yogyakarta terhadap tato pada tubuhnya.
D. Kerangka Teoritik
Penelitian ini menggunakan sumbangsih teori Stuart Hall dan George
Herbert Mead yakni identitas sosial dan definisi sosial atau lebih tepatnya
interaksionisme simbolik. Kedua teori ini dianggap cukup tajam guna
memahami bagaimana pemaknaan narasumber terhadap tato serta pola
interaksinya sehari – hari.
1. Definisi Sosial
Tato di jaman dahulu merupakan tanda yang dibuat atau diberikan
untuk mencerminkan status/identitas sosial tertentu. Tanda ini tidak
diberikan secara cuma – cuma, melainkan harus ‘ditebus’ dengan
pengorbanan/syarat tertentu. Di suku dayak misalnya, tato akan
diberikan kepada anggota suku laki – laki yang telah memenggal
kepala lawan (Mangayo). Anggota suku laki – laki yang memiliki tato
status sosialnya tinggi dan sangat dihormati. Sedangkan pada anggota
suku perempuan, tato diberikan kepada mereka yang belum atau sudah
menikah, dan perempuan yang telah dianggap dewasa. Selain menjadi
simbol kebanggaan status sosial seseorang, tato pada suku – suku juga
digunakan sebagai salah satu alat berburu, yakni untuk kamuflase.
Seiring perkembangan zaman, tato mulai dimaknai berbeda di
lingkungan masyarakat. Di Indonesia, kesakralan makna tato mulai
bergeser ketika terjadi modernisasi dan penyebaran agama. Tato
kemudian dimaknai sebagai simbol keterbelakangan dan kebarbaran.
Ketika rezim orde baru misalnya, sekitar tahun 1983, para petrus
(penembak misterius) menembak mati kurang lebih 5.000 orang
bertato yang merupakan anggota atau dianggap bagian dari Gali
(Gabungan Anak Liar). Sampai sekitar tahun 1986, tato seolah
menghilang dari kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, pemilik tato di
Indonesia juga diidentikkan dengan mereka yang pernah masuk
penjara dan akrab dengan dunia kekerasan dan premanisme. Di era
globalisasi yang gegap gempita seperti sekarang ini, tato diadopsi
sebagai salah satu bentuk karya seni. Seolah melepaskan diri dari
stigma yang selama ini diberikan masyarakat, banyak orang tanpa ragu
menorehkan warna – warni tato pada tubuh mereka.
Teori interaksionisme simbolik Mead berusaha
memahami
kehidupan sosial manusia melalui pola komunikasi, terutama yang
mengandung lambang – lambang / simbol. Suatu lambang merupakan
tanda, benda atau gerakan, yang secara sosial dianggap mempunyai arti
tertentu. Mead menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk berinteraksi dengan pihak – pihak lain dengan perantara
lambang – lambang tertentu yang dimiliki bersama. Dengan lambang –
lambang tersebut, manusia memberikan arti pada semua kegiatannya.
Manusia menciptakan perspektif tertentu melalui suatu proses sosial
dimana mereka memberi rumusan hal – hal tertentu bagi pihak – pihak
lainnya. Sehingga selanjutnya mereka berperilaku menurut hal – hal
yang diartikan secara sosial2.
2. Identitas Sosial
Pada era yang global seperti sekarang ini, pemaknaan terhadap tato
dapat dikatakan semakin terbuka. Hal ini dikarenakan hampir setiap
individu, khususnya masyarakat perkotaan, mulai memiliki pemikiran
terbuka terhadap hal – hal baru maupun lama. Dengan kata lain,
sebagian anggota masyarakat telah mampu memaknai hal – hal tertentu
dengan perspektifnya sendiri tanpa pengaruh pakem maupun stigma
tertentu di kehidupan masyarakat umum.
Di Indonesia sendiri sebenarnya tato telah menjadi bagian dari
budaya bangsa sejak ratusan tahun lalu, terutama di suku – suku
pedalaman seperti Mentawai dan Dayak. Selain dianggap sebagai salah
satu bentuk seni, tato di era modern juga dianggap sebagai simbol
keragaman atau keberanian untuk tampil berbeda dari orang
kebanyakan. Beberapa sub kultur tertentu mengadopsi tato sebagai
penanda identitasnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa tato mulai
menjadi sebuah identitas sosial baru dalam kehidupan bermasyarakat,
terutama masyarakat perkotaan.
Teori identitas sosial dari Stuart Hall akan digunakan untuk
mengulas bagian ini. Khususnya melalui paradigma individu sebagai
2
Soekanto, Soerjono,. Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, Hlm 8
subjek yang tercerahkan (enlightment subject). Hall mengatakan bahwa
ada transformasi yang terjadi di dalam diri individu modern dimana
mereka mencoba melepaskan diri dari tradisi maupun struktur sosial
yang selama ini dianggap membelenggu. Giddens juga menyatakan hal
yang kurang lebih sama, bahwa identitas diri dibangun melalui
kemampuan mewujudkan narasi tentang diri dengan penciptaan
perasaan kontinuitas secara konsisten3.
Penciptaan identitas merupakan proses yang tidak mengenal kata
berhenti. Dimana pemberian atribut, tipologi, stereotype, bahkan
stigma, merupakan bagian dari proses panjang ini. Individu sebagai
subyek, pada awalnya memang memiliki identitas yang stabil dan ajeg
namun kemudian karena berinteraksi dengan lingkungan sosialnya,
identitas
ini
terfragmentasi
menjadi
beberapa
identitas
yang
berkontradiksi. Pada level ini, sebenarnya individu masih memiliki
identitas yang esensi dalam diri mereka yang disebut dengan”The Real
Me” akan tetapi hal ini semakin terbentuk dan termodifikasi karena
proses dialogis secara terus menerus dengan dunia luar dan identitas –
identitas yang ditawarkan kepadanya.
3
Barker, Chris., Cultural Studies, Theory and Practices, London:Sage Publication, 2000, Hlm 166.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu4. Penelitian ini sendiri
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif sering
disebut sebagai metode penelitian naturalistik karena penelitiannya
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting)5. Sehingga data
yang nantinya dihasilkan adalah data deskriptif yang menggambarkan
kenyataan di lapangan.
Menurut Bogdan, penelitian kualitatif dapat diibaratkan seperti
orang asing yang hendak menonton pertunjukan wayang kulit. Dimana
orang tersebut, dalam ranah ini adalah peneliti sendiri, belum
mengetahui apa, mengapa, bagaimana wayang kulit itu sendiri sebelum
ia mengamati dan menganalisis dengan seksama6. Garis besarnya,
ketika peneliti kualitatif memasuki lapangan, ia akan mendeskripsikan
segala sesuatu yang ia lihat, dengar, dan rasakan.
2. Pemilihan Informan
Informan yang dipilih dalam penelitian ini merupakan pengguna
tato dari berbagai kalangan profesi. Seperti diantaranya seorang
anggota Brimob, Kepala salah satu sekolah Yayasan, dan 2 muda –
mudi Yogyakarta. Pemilihan narasumber ini bertujuan untuk melihat
4
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008, hlm 2.
Ibid, hlm 8.
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008, hlm 19.
5
bagaimana pemaknaan tato dari masing – masing kalangan tersebut
agar gambaran tentang bagaimana pemaknaan tato yang terjadi di masa
kini dapat diperoleh.
3. Metode Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi merupakan metode paling dasar dan paling tua
dalam suatu penelitian. Observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang
nampak, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut7.
Observasi dilakukan pada pengguna tato masa kini di
Yogyakarta, yang dalam penelitian ini diwakili oleh keempat
narasumber,
guna
mendapatkan
gambaran
seperti
apa
pemaknaan tato di era sekarang. kemudian penelitian akan
memasuki tahap yang lebih mendalam pada tahap wawancara.
b. Wawancara
Metode wawancara merupakan cara untuk memperoleh data
melalui proses tanya jawab tatap muka dengan narasumber
(interviewee). Hasil wawancara nantinya merupakan suatu
7
Rahayu Iin Tri dan Ardani Tristiadi Ardi, Observasi dan Wawancara, Malang:Bayumedia
Publishing, 2004, hlm 1.
laporan subyektif tentang sikap maupun pemahaman seseorang
terhadap suatu fenomena8.
Wawancara dilakukan pada penelitian ini merupakan
wawancara mendalam (in depth interview) yang bersifat
semiterstruktur. Tujuannya agar informasi yang didapatkan
semakin spesifik dan mampu menjawab tujuan penelitian ini
sendiri.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh selama penelitian
berasal dari berbagai sumber. Sehingga sering terjadi kesulitan ketika
melakukan analisis. Menurut Nasution, melakukan analisis merupakan
adalah pekerjaan yang sulit dan memerlukan kerja keras. Analisis
memerlukan daya kreatif dan kemampuan intelektual yang tinggi.
Tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk mengadakan analisis,
sehingga setiap peneliti harus mencari sendiri metode yang dirasa
cocok
dengan
sifat
penelitiannya.
Bahan
yang
samabisa
diklarifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda9.
Analisis data pada intinya merupakan proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara,
catatan lapangan, dan bahan – bahan lain sehingga mudah dipahami
8
Rahayu Iin Tri dan Ardani Tristiadi Ardi, Observasi dan Wawancara, Malang:Bayumedia
Publishing, 2004, hlm 63.
9
Nasution, dalam (Sugiyono), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2008, hlm 244.
dan dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dimulai
dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit – unit,
melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat
diceritakan kepada orang lain10.
Bagan 1.1 Alur teknik analisa data
Data
Display
Data
Collection
Data
Reduction
Conclusion
drawing/verifying
Komponen dalam analisis data (Interactive model)11.
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh dari penelitian di lapangan jumlahnya
sudah dipastikan cukup banyak dan untuk itu perlu untuk
dirinci/dikerucutkan. Mereduksi berarti merangkum, memilih
hal – hal pokok, memfokuskan pada hal penting. Dengan
demikian, data yang telah direduksi akan memberikan
10
Nasution, dalam (Sugiyono), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:
Alfabeta, 2008, hlm 244.
11
Miles dan Huberman, dalam (Sugiyono), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, 2008, hlm 247
gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya, bila diperlukan.
b. Data Display (Penyajian Data)
Penyajian data merupakan tahap lanjutan setelah tahap
reduksi
data.
Melalui
penyajian
data,
maka
data
terorganisasikan dan tersusun dalam pola hubungan, sehingga
semakin
mudah
dipahami.
Dalam
penelitian
kualitatif,
penyajian data biasanya disajikan dalam teks naratif yang
bertujuan menceritakan secara gamblang apa yang terjadi di
lapangan.
c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan dan
Verifikasi)
Langkah terakhir dalam sebuah penelitian kualitatif adalah
membuat kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya
belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang –
remang sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Kesimpulan
akan dianggap kredibel dan menjawab rumusan masalah
apabila bukti – bukti di lapangan valid dan konsisten ketika
peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data.
Download