Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum

advertisement
CONTINUING professional
development
CONTINUING
professional CONTINUING
development
MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PP IAI–2 SKP
Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum Leprosum
pada Penyakit Kusta
Ni Putu Ayuni Yayas Ramaswari
Alumna Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK
Indonesia masih merupakan negara dengan pengidap kusta terbanyak setelah India dan Brazil. Kusta masih menjadi penyakit yang
menakutkan di masyarakat, walaupun saat ini akses pengobatan lebih mudah dan dapat dilakukan di pusat kesehatan pertama, karena
efeknya dapat menyebabkan deformitas, mutilasi, atau ulserasi. Penyakit ini mendapat julukan peniru terhebat karena menyerupai banyak
penyakit kulit lain. Dengan kesuksesan terapi kombinasi dalam pengobatan kusta, perhatian saat ini terfokus pada masalah reaksi kusta,
yang merupakan masalah signifikan dalam pengelolaan pasien secara individu. Reaksi kusta merupakan reaksi imunologi yang dapat terjadi
sebelum, selama, dan setelah terapi kombinasi. Reaksi kusta terdiri dari reaksi reversal (tipe 1) dan eritema nodosum leprosum (tipe 2).
Penatalaksanaannya disesuaikan dengan jenis reaksi dan derajat keparahannya dengan pilihan terapi kortikosteroid dan klofazamin. Pengobatan
yang tepat menurunkan morbiditas, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup.
Kata kunci: Eritema nodosum leprosum, kusta, Morbus Hansen, reaksi kusta, reaksi reversal
ABSTRACT
After India and Brazil, Indonesia has the third highest prevalence of leprosy in the world. Leprosy is still a feared disease in society although
treatment is available in first-line health center, because of its effect of deformity, mutilation, or ulceration. This disease is known as the
greatest imitator because it can mimic many other skin diseases. With the success of multi-drug therapy (MDT) in the treatment of leprosy,
attention has focused on the problem of leprosy reactions, which are now the most significant issue in the management of individual
patients. Leprosy reactions are immunological phenomena that occur before, during, or after the completion of multi-drug therapy (MDT).
Two major reactions of leprosy are reversal reaction (type 1) and erythema nodosum leprosum (type 2). Drugs of choice are corticosteroid,
clofazimine, and thalidomide. Management depends on the type and severity. Proper treatment is essential to reduce morbidity and to
provide a better quality of life. Ni Putu Ayuni Yayas Ramaswari. Reversal Reaction and Erythema Nodosum Leprosum - Problem in
Leprosy Treatment.
Keywords: Erythema nodosum leprosum, Leprosy, Morbus Hansen, leprosy reaction, reversal reaction
PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan salah satu
penyakit menular yang menimbulkan
masalah kompleks bukan hanya dari segi
medis seperti cacat fisik, tetapi juga masalah
sosial dan ekonomi.1,2 Ketidaktahuan akan
menyebabkan stigma di masyarakat, se­­
hingga mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Dengan meningkatnya ke­
berhasilan terapi kombinasi untuk me­
ngobati kusta, perhatian saat ini beralih
kepada reaksi kusta. Dua reaksi utama yang
terjadi pada penderita kusta, yaitu reaksi tipe
1 atau reaksi reversal dan reaksi tipe 2 atau
Alamat korespondensi 654
eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua
reaksi ini terpisah, namun dapat terjadi pada
pasien yang sama di saat berbeda. Kedua
kondisi ini sangat penting untuk dikenali
karena dapat menyebabkan kerusakan saraf
permanen, bahkan kegagalan organ sistemik.
Gangguan fungsi saraf didefinisikan sebagai
penurunan fungsi sensorik atau motorik.
Neuritis (peradangan saraf perifer) dapat di­
ikuti dengan gangguan fungsi saraf.3,4 Pada
penelitian cross-sectional di Jakarta tahun
2012, dari 1.021 pasien kusta didapatkan
24,2% pasien mengalami reaksi kusta;
sedangkan pada penelitian retrospektif di
India Utara selama 15 tahun, 30,9% pasien
mengalami reaksi pada kunjungan pertama
ke pusat kesehatan.5,6
KUSTA
Kata kusta berasal dari bahasa India, Kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.
Kusta memiliki nama lain yaitu lepra dan
Morbus Hansen. Dinamakan Morbus
Hansen karena kuman penyebab kusta,
yaitu Mycobacterium leprae, ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia.
Kuman M. leprae merupakan basil tahan asam
dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um. Sampai saat
email: [email protected]
CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015
CONTINUING professional development
ini, M. leprae belum dapat dibiakkan dalam
media artifisial.4,7
Secara epidemiologi, kusta menyebar luas
ke seluruh dunia. Penyakit ini memiliki
prevalensi tertinggi di Asia Tenggara, dan
Indonesia menduduki peringkat ketiga
di dunia setelah India dan Brazil dengan
penemuan kasus yang meningkat dari tahun
ke tahun.4,7,8
Cara penularan kusta terjadi melalui kontak
erat yang lama dan melalui inhalasi, karena
M. leprae dapat hidup beberapa hari dalam
droplet. Manusia merupakan salah satu
sumber penularan selain armadillo, kera
Mangabey, kera Cinomolgus, dan simpanse.4,9
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu.
Sputum dapat mengandung banyak M.
leprae yang berasal dari saluran napas atas.4
Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis, bakterioskopis, dan histo­
patologis. Tanda utama antara lain bercak
putih atau kemerahan kulit yang disertai
dengan mati rasa (anestesi). Selain itu, ter­
dapat penebalan saraf tepi disertai gangguan
saraf berupa mati rasa atau kelumpuhan otot
mata, tangan, kaki, kulit kering (dehidrasi),
serta pertumbuhan rambut yang terganggu
(alopesia) pada lesi. Pada pemeriksaan
bakterioskopik kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung menunjukkan ada­
nya bakteri M. leprae. Secara histologik tampak
gambaran berupa granuloma difus pada
dermis dan ditemukan basil dalam jumlah
banyak.4,7,10
DDS (diaminodifenil sulfon) 100 mg/hari dan
rifampisin 600 mg sebulan sekali selama 6-9
bulan. Paduan pengobatan untuk multi­
basiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin
600 mg/hari, klofazimin 50 mg/hari, dan
klofazimin 300 mg/bulan dengan kemasan
dosis lengkap 12 blister dalam 12-18
bulan.1,4,11
Penghentian pengobatan disebut Release
from Treatment (RFT). Setelah RFT, dilanjutkan
tanpa pengobatan klinis dan pemeriksaan
bakterioskopis dilakukan minimal setahun
sekali selama 5 tahun. Jika bakterioskopis
negatif dan secara klinis tidak ada ke­
aktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau Release from Control
(RFC).4
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit
kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, dan
atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada
perjalanan penyakit ini yang sebenarnya
sangat kronis. Reaksi kusta merupakan
reaksi hipersensitivitas.1,10,13
Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat
peningkatan imunitas yang diperantarai
oleh sel (cell mediated immunity), se­dangkan
reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum
(ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas
humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum
pengobatan, namun lebih sering selama
atau setelah pengobatan.1,4,7,10,13
Reaksi Reversal (Tipe 1)
Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan
hebat dan tiba-tiba dari respons imun seluler,
yang menyebabkan respons inflamasi atau
peradangan kulit atau saraf pada pasien
tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun
pencetus utama belum diketahui, tetapi di­
perkirakan ada hubungannya dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat.12 Pemeriksaan
imunohistokimia menunjukkan peningkatan
sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf
selama reaksi tipe 1 dibandingkan dengan
kontrol. Pada penelitian di India, didapatkan
respons antibodi ke antigen 18kDa secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan
reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau
borderline tanpa reaksi tipe 1.3,14
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian
atau seluruh lesi yang telah ada menjadi
lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat.
Lesi hipopigmentasi menjadi lebih eritema,
lesi eritema menjadi semakin eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama
bertambah luas. Umumnya gejala konstitusi
lebih ringan daripada ENL.1,4,13
Klasifikasi dibagi berdasarkan kriteria me­
nurut Ridley dan Jopling yang terdiri dari
6 tipe, yaitu Tuberculoid (TT), Borderline
Tuberculoid (BT), Intermediate (I), Mid
Borderline (BB), Borderline Lepromatosa (BL),
dan Lepromatosa (LL). Sedangkan untuk
kepentingan pengobatan, Indonesia meng­
gunakan diagnosis klinis berdasarkan WHO
(World Health Organization), yaitu tipe
pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB); tipe
multibasiler (BB, BL, LL) dikarakteristikkan
dengan respons imun yang rendah dengan
jumlah bakteri yang tinggi.11,12
Pengobatan kusta yang dianjurkan WHO
saat ini adalah terapi kombinasi. Paduan obat
untuk kelompok pausibasiler dewasa adalah
CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015
Gambar 1. Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam spektrum imunitas pasien
kusta menurut Ridley- Jopling.1
655
CONTINUING professional development
Diagnosis banding reaksi tipe 1 meliputi
relaps kusta yang sering dikaburkan
dengan reaksi reversal terlambat, terutama
pada kusta PB. Pada kusta jenis MB, hal ini
dapat dibedakan dengan kerokan ulang
yang pada reaksi reversal menunjukkan
adanya peningkatan indeks bakteri dan/
atau indeks morfologi positif. Lesi kulit yang
berbentuk plakat merah seperti erisipelas,
selulitis, urtikaria akut, erupsi obat, dan gigitan
serangga merupakan diagnosis banding
lainnya.1,3
Eritema Nodosum Leprosum (Tipe 2)
Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis
paling serius pada pasien BL dan LL. Pada
reaksi ini terjadi peningkatan deposit
kompleks imun di jaringan. Lebih jauh, pada
ENL terjadi peningkatan sementara respons
imunitas yang diperantarai sel dengan
ekspresi pada sitokin tipe Th1. Sel T mayor
pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga
muncul pada lesi kulit ENL, sementara kadar
IL-4 yang rendah mendukung peran Th1 pada
reaksi ini.3,14 Kejadian ini umumnya timbul
pada tipe lepromatosa polar dan BL, makin
tinggi tingkat multibasilernya, makin besar
risiko terjadinya ENL. Gejala konstitusional
yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri
sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan
sampai berat. Pada reaksi tipe 2 perubahan
efloresensinya berupa nodus eritema dan
nyeri dengan tempat predileksi lengan dan
tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang
sistemik, sehingga menyebabkan iridosiklitis,
neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan
nefritis akut dengan proteinuria.1,4,10,13
Diagnosis banding reaksi tipe 2 adalah eritema
nodosum dengan penyebab bakteri lain,
seperti tuberkulosis dan infeksi streptokokus.
Yang membedakan adalah lokasi lesi yang
lebih banyak ditemukan di luar tungkai
bawah. ENL berbentuk bula dapat didiagnosis
banding dengan penyakit imunobulosa. ENL
berbentuk ulkus dapat menyerupai pioderma
gangrenosum, sedangkan ENL kronik dapat
menyerupai penyakit jaringan ikat atau
keganasan limforetikuler.
PENATALAKSANAAN
Sebelum pengobatan, ditentukan terlebih
dahulu tipe reaksi dan derajat keparahannya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menarik
simpulan dari formulir pencegahan kecacatan.
Formulir ini diisi setiap pasien ke puskesmas
atau rumah sakit. Jika pasien mengalami
gangguan fungsi saraf, dicatat pada formulir
evaluasi pengobatan reaksi berat. Kedua
formulir ini diisi rutin sebulan sekali untuk
pasien non-reaksi dan 2 minggu sekali untuk
pasien reaksi. Pengisian formulir ini penting
untuk evaluasi kemajuan fungsi saraf sebagai
dasar menentukan dosis terapi obat antireaksi. Terapi kombinasi tetap dilanjutkan
pada pasien yang mengalami reaksi saat
pengobatan dengan dosis yang sama.1,4,10
Antipiretik dan Analgetik
Antipiretik dan analgetik, seperti parasetamol
dan metampiron, dapat diberikan untuk
mengurangi gejala demam atau nyeri sendi,
baik pada pasien reaksi reversal maupun
ENL. Pada pasien yang dirawat inap dapat
diberikan obat golongan sedatif.4,12
Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi pilihan terapi ENL,
antara lain prednison. Prednison merupakan
kortikosteroid potensi sedang dengan waktu
paruh 12-36 jam. Dosisnya tergantung dari
derajat ENL. Pada awal pengobatan diguna­
kan dosis 40 mg sehari selama 2 minggu dan
dapat diturunkan bila keluhan atau gejala
klinis berkurang. Pemakaian kortikosteroid
untuk reaksi reversal adalah fakultatif jika
ditemukan adanya neuritis. Hal ini sangat
penting dilakukan untuk mencegah kerusakan
saraf permanen. Pemakaian kortikosteroid
harus memperhatikan kontraindikasi, seperti
TB, tukak lambung berat, dan infeksi berat
pada ekstremitas yang memburuk. Pasien
hendaknya diedukasi dengan baik untuk
mencegah efek samping jangka panjang
atau penghentian obat mendadak.1,10,11,13
Klofazimin
Merupakan turunan fenazin yang memiliki
efek bakterisida setelah 50 hari terapi pada
pasien kusta. Selain itu, klofazimin memiliki
efek anti-radang ringan untuk mengobati
ENL. Awitan kerjanya lambat, yaitu baru
muncul setelah 2-3 minggu. Dosis untuk
ENL lebih tinggi dibandingkan pada pasien
kusta tanpa reaksi, yaitu 200-300 mg/hari.
Klofazimin merupakan pilihan terapi untuk
ENL berat dengan episode berulang (≥2 kali)
yang dapat menyebabkan ketergantungan
seperti kortikosteroid. Klofazimin sama seperti
kortikosteroid diberikan sekali sehari, hanya
dalam keadaan terpaksa dapat diberikan
dalam dosis terbagi. Pemakaian dosis tinggi
tidak lebih dari 12 bulan. Efek sampingnya
antara lain pigmentasi kulit dan gangguan
gastrointestinal. Perubahan warna kulit akan
menghilang setelah 3 bulan obat dihenti­
kan. Klofazimin pada reaksi reversal kurang
efektif, sehingga jarang atau tidak pernah
digunakan. Klofazimin tersedia dalam kapsul
100 mg.1,4,10,11
Thalidomid
Thalidomid dalam sejarah menimbulkan
efek teratogenik berupa fokomelia, jarang
ditemukan di Indonesia. Efek terapi
thalidomid pada ENL diperkirakan ber­
hubungan dengan stimulasi imun se­
mentara, obat ini bisa mempromosikan
imunoregulator secara aktif. Obat ini ter­sedia
dalam bentuk kapsul 50 mg. Mengingat efek
teratogeniknya, obat ini tidak dipergunakan
dalam program di Indonesia.1,4,10,11,15
SIMPULAN
Masalah reaksi pada penyakit kusta akan
menjadi beban sosial, ekonomi, dan psikologis
yang besar pada pasien bila tidak ditangani
dengan tepat. Pengelolaan reaksi kusta dan
neuropati akan terus menjadi tantangan
besar setelah kemajuan terapi kombinasi
dalam pengobatan penyakit kusta. Berbagai
pilihan terapi seperti kortikosteroid, klofa­
zimin, dan thalidomide dengan pemilihan
yang adekuat dapat memper­baiki kualitas
hidup pasien dengan reaksi kusta. Peng­
obatan yang tepat sangat penting untuk
menurunkan morbiditas, seperti gangguan
saraf, deformitas, ataupun kecacatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2012.
Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fizpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc Graw Hill Co; 2008.
p.1786-96.
3.
Kakhawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type 1 reaction and erythema nodosum leprosum. AN Bras Dermatol. 2008; 83(1): 75-82.
4.
Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Kusta. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
656
CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015
CONTINUING professional development
2007.
5.
Widodo AA, Menaldi SL. Characteristics of leprosy patients in Jakarta. J Indon Med Assoc. 2012; 62(11): 423-7.
6.
Kumar B, Dogra S, Kaur I. Epidemiological characteristics of leprosy reactions: 15 years experience from North India. Internat J Leprosy. 2004; 72,2: 125-33.
7.
Graham-Brown R, Burns T. Lecture note dermatologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga; 2005.
8.
World Health Organization. Weekly epidemiological record: Global leprosy situation 2012. Geneva 2012; 87: 317-28.
9.
Listiyawati IT, Listiawan MY. Studi molekuler pada penyakit kusta. In: Cholis M, Hidayat T, Tantari SHW, Basuki S, Widasmara D, editors. Dermato-venerology update 2014 towards better
quality of dermato-venerology service. Malang, Indonesia: Universitas Brawijaya Press; 2014. p.1-13.
10. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian penyakit kusta dan frambusia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI;
2009.
11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
12. Vanderborght PR, Matos HJ, Salles AM, Vasconcellos SE, Silva-Filho VF, Huizinga TWJ, et al. Single nucleotide polymorphism (SNPs) at -238 and -308 positions in the TNFα promoter: Clinical
and bacteriological evaluation in leprosy. Internat J Leprosy. 2004; 72,2: 143-8.
13. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. 2nd ed. Jakarta: ECG; 2013.
14. Mohanty KK, Joshi B, Katoch K, Sengupta U. Leprosy reaction: Humoral and cellular immune responses to M. leprae 65kDa, 28kDa, and 18kDa antigens. Internat J Leprosy. 2004; 72,2: 14958.
15. Haslett PAJ, Roche P, Butlin CR, MacDonald M. Effective treatment of erythema nodosum leprosum with thalidomide is associated with immune stimulation. J Infect Dis. 2005; 192 (12):
2045-53.
CDK-232/ vol. 42 no. 9, th. 2015
657
Download