KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN SERTA AKIBAT

advertisement
1
KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
SERTA AKIBAT HUKUMNYA
(Analisis Terhadap Poligami Lebih dari Empat)
Oleh: Abdil Baril Basith, MH1
A. PENDAHULUAN
Manusia adalah pemimpin di muka bumi. Melakukan berbagai perbuatan
guna
memenuhi
kebutuhan
hidupnya.
Diantara
perbuatan
tersebut
ialah
melangsungkan perkawinan. Tidak hanya berdimensi relijius, perkawinan pun
memiliki banyak dimensi lainnya. Pemenuhan hasrat seksual (biologis), menyayangi
keturunan (psikologis), pergaulan masyarakat (sosiologis), aturan tata keluarga
dengan beragam kompleksitasnya, dan dimensi lainnya. Aturan tersebut berasal dari
berbagai norma mulai dari norma susila sampai norma hukum.
Beberapa waktu lalu, ada fenomena tentang seseorang yang berpoligami
melebihi empat. Kabar terakhir menyebutkan bahwa istri kelima dan seterusnya telah
diceraikan. Menarik untuk dikaji karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UUP) tidak menyebutkan secara ekplisit perihal larangan
poligami lebih dari empat.
Bila dihubungkan dengan adanya asumsi bahwa perkawinan kelima dan
seterusnya tercatat atau tidak tercatat pada lembaga resmi untuk itu, memunculkan
persoalan lain yaitu mengenai solusi penyelesaiannya menurut hukum. Beberapa
alternatifnya adalah perceraian, pembatalan, pelepasan, dan pemisahan. Khusus untuk
pembatalan terbagi dua: batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Persoalan lainnya ialah mengenai akibat hukum. Hukum positif menetapkan
implikasi ketika hubungan perkawinan diputus atau dibatalkan. Tulisan ini hanya
akan menyoroti solusi penyelesaian dengan cara kedua yang mengatur mengenai
akibat hukum pembatalan perkawinan yakni dimulai sejak putusan berkekuatan
1
Hakim Pengadilan Agama Talu
2
hukum tetap dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali untuk hal-hal
tertentu. Mengenai solusi penyelesaian selainnya perlu kajian lain untuk itu.
Pokok kajian menjadi sangat menarik karena selain atas dasar adanya fiksi
hukum, aturan mengenai batasan berpoligami sangat familier hatta bagi masyarakat
awam sekalipun. Lain halnya bagi yang baru masuk Islam (muallaf) sebagaimana
pernah terjadi pada zaman Rasulullah Saw. Kepada Sang muallaf yang berpoligami
lebih dari empat, diperintahkan untuk memilih (ikhtar) empat saja, dan berpisah
(fariq) dengan selebihnya.
Dari prolog diatas, penulis mencoba mengidentifikasi beberapa masalah.
Pertama, apa dasar hukum pelarangan poligami lebih dari empat? Kedua,
bagaimanakah penyelesaian secara hukum perdata terhadap poligami lebih dari
empat? Ketiga, apa saja akibat hukum dari dibatalkannya poligami lebih dari empat?
Untuk itu secara berturut-turut tulisan ini akan coba mengulas tentang
pengertian kebatalan dan pembatalan, hukum positif Indonesia tentang pembatalan
perkawinan, dasar syariat larangan poligami lebih dari empat, dan berbagai implikasi
hukum seputar pembatalan poligami lebih dari empat dari persfektif UUP dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. DEFINISI KEBATALAN DAN PEMBATALAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan berbagai arti kata “batal”.
Diantaranya ialah bermakna tidak berlaku
atau tidak sah. Seperti dalam
kalimat: “perjanjian itu dinyatakan batal”. Membatalkan artinya menyatakan batal
(tidak sah), seperti dalam kalimat: “mereka membatalkan perjanjian yang pernah
disetujui bersama. Oleh Karena itu, Pembatalan adalah proses, cara, perbuatan
membatalkan.2
Batal berasal dari bahasa Arab bathala-yabthulu-bathlan wa buthuulan wa
buthlaanan. Artinya, hilang, rusak dan rugi. Seperti dalam kalimat: “dzahaba
2
http://kbbi.web.id/, diakses tanggal 09 September 2013 pukul 16.28 Wib.
3
dhiya’an wa khusran”. Batal juga berarti kebalikan dari benar (al-bathilu naqidhu alhaq).3 Makna lainnya ialah: “laa yakuunu shahihan biashlihi wa maa ya’tadii bihi wa
laa yufidu syaian”.4
Sedangkan menurut ushuliyyun (para ahli ilmu ushul fikih), batal ialah suatu
keadaan yang tidak sah. Sehingga manfaat yang dituju atau yang diinginkan tidak
tercapai. Faidah yang hendak dicapai tersebut seperti peralihan hak milik. Batal
terbagi atas dua maksud. Bila mengenai ibadah artinya tidak memadai dan belum
melepaskan tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban. Sedangkan dalam
muamalah, artinya tidak tercapai manfaat yang diharapkan darinya secara hukum.5
Dalam khazanah hukum Indonesia, Habieb Adjie mengutip Herlien Budiono
menyebutkan bahwa:6
Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka
dinyatakan dengan istilah sederhana “batal”, tetapi adakalanya menggunakan
istilah ‘batal dan tidak berhargalah’ (Pasal 879 KUHPerdata) atau ‘tidak
mempunyai kekuatan’ (Pasal 1335 KUHPerdata). Penggunaan istilah-istilah
tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama hendak
digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk ‘batal demi hukum’ atau ‘dapat
dibatalkan’. Pada pasal 1446 KUHPerdata dan seterusnya untuk menyatakan
batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah ‘batal demi hukum’,
‘membatalkan’ (Pasal 1449 KUHPerdata), ‘menuntut pembatalan’ (Pasal 1450
KUHPerdata), ‘pernyataan batal’ (Pasal1451-1452 KUHPerdata), ‘gugur”
(Pasal 1545 KUHPerdata), dan ‘gugur demi hukum’ (Pasal 1553 KUHPerdata).
Dalam hukum perjanjian, batal demi hukum (nietig) merupakan istilah untuk
perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif (hal tertentu dan kausa yang halal).
Sedangkan dapat dibatalkan dimaksudkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi
syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan). Berbeda dengan keadaan yang dapat
3
4
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), hlm. 302
Syauqi Dhaif et. all, Mu’zam al-Wasith, Cet. V, (Mesir: Maktabah al-Syarqiyyah al-Dauliyyah,
2004), hlm. 84-85
5
Mahmud Hamid Usman, Qamus al-Mubayyin fi Istilahat al-Ushuliyyin, Cet. I, (Riyadh: Dar alZahim, 2002), hlm. 84-85. Lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. V, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2011), hlm. 410-411
6
Habieb Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Cet. I, (Bandung: Refika Aditama, 2011),
hlm. 64
4
dibatalkan, keadaan batal demi hukum tidak memerlukan permintaan dari para pihak.
Walaupun begitu, menurut R. Subekti, jika suatu perjanjian sudah tidak memenuhi
syarat objektif, namun ada yang menggugat, maka hakim diwajibkan karena
jabatannya, menyatakan tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.7
Mengutip pendapat Marjanne Termorshuizen dan A van den End, M. Yahya
Harahap, menerangkan bahwa istilah batal demi hukum berasal dari van rechtswege
nietig (nietigheid ex tunc atau legally void, null and void, void by operation of law,
void ipso jure), yang artinya adalah sesuatu hal yang tidak sah sejak semula. Berbeda
halnya dengan dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), sesuatu tersebut dapat
dinyatakan tidak sah, dapat juga sebaliknya. Persetujuan atau hal, keadaan dan
produk itu dianggap tetap berlaku sah sampai ada putusan hakim yang menyatakan
tidak sah.8
Perbedaan antara kebatalan dan pembatalan terletak pada ada atau tidaknya
permintaan suatu pihak. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dari berbagai pasal dalam
BW, terdapat dua jenis batal: pembatalan mutlak (absolute nietigheid) dan
pembatalan tak mutlak (relatief). Yang pertama, perjanjian harus dianggap batal sejak
semula dan terhadap siapapun juga meskipun tidak diminta oleh suatu pihak,
sedangkan yang kedua, pembatalan terjadi bila diminta oleh orang-orang tertentu dan
hanya berlaku terhadap orang tertentu.9
Tan Thong Kie menjelaskan bahwa Kebatalan (nietigheid) disebut juga batal
absolut atau batal demi undang-undang, sedangkan Pembatalan (vernietiging) dapat
menyebabkan suatu akibat yang dapat membatalkan atas permintaan pihak. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa terdapat tiga perbedaan antara keduanya. Pertama, batal
7
8
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 22
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 151-152
9
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. VIII, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
hlm. 196. Perbedaan lainnya disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo. Pembatalan merupakan
perlindungan indvidu terhadap dirinya sendiri, sedangkan Kebatalan merupakan perlindungan
seseorang terhadap orang lain, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 8, (Yogyakarta: Liberty, 2009),
hlm. 160
5
absolut tidak dapat dikuatkan, sedangkan yang batal relatif dapat dibatalkan. Kedua,
tindakan yang batal absolut tidak menjadi suatu alasan atau dasar (titel) untuk
memperoleh kadaluarsa, sedangkan batal relatif sebaliknya. Ketiga, hakim karena
jabatannya tidak memperhatikan tindakan yang batal demi undang-undang, ia hanya
memerhatikan kebatalan relatif apabila ada suatu pihak yang mengajukan permintaan
untuk itu.10
Artikel ini berpegang pada pendapat Wirjono Prodjodikoro dan Tan Thong
Kie, bahwa kebatalan merujuk kepada maksud batal demi hukum, sedangkan
pembatalan untuk yang dapat dibatalkan.
C. HUKUM
POSITIF
INDONESIA
TENTANG
PEMBATALAN
PERKAWINAN
Sebelum unifikasi hukum perkawinan dengan diundangkannya UUP, terdapat
berbagai beragam peraturan sesuai dengan penggolongan penduduk. Bagi Eropa
berlaku Burgerlijk Wetboek (KUHP), bagi golongan Tionghoa dan golongan orangorang Arab dan Timur Asing lainnya berlaku BW dengan beberapa pengecualian,
bagi orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang berdomisili di tempattempat tertentu berlaku HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers Java,
Minahasa en Amboina), dan bagi golongan selainnya berlaku GHR (Regeling op de
Gemengde Huwelijken).11
Bagi golongan Islam tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara
materil mengadopsi ketentuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki umat
Islam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya mengatur tentang pencatatan
perkawinan bagi Umat Islam.
10
Tan Thong Kie, Studi Notariat Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet. II,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2011), hlm. 432
11
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
2004), hlm. 11
6
Diferensiasi pengaturan perkawinan tersebut berakhir dengan diundangkannya
UUP.12 Hukum perkawinan di Indonesia diunifikasi dengan menempatkan “hukum
agamanya dan kepercayaannya itu” sebagai sentral. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan
dan menegaskan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal ini menutup adanya
kesahan perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 194513.
Hukum agama demikian memiliki kedudukan yang menentukan. Terlihat dari
beberapa substansi aturan dalam undang-undang tersebut. Pasal 6 mengenai SyaratSyarat Perkawinan ditutup ayat 6 yang menegaskan: “Sepanjang hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain”, penegasan yang sama juga untuk halangan perkawinan sebagaimana diatur
Pasal 10. Tentang larangan kawin, Pasal 8 huruf (f) yang berbunyi: “mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Termasuk di dalamnya ialah masalah batalnya suatu perkawinan.
Dalam penjelasan Pasal 22 UUP disebutkan bahwa: “Pengertian ‘dapat’
dalam pasal ini bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan
agamanya masing-masing tidak menentukan lain”, telah memberi ruang dan
12
Pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan ini berlaku pada tanggal
diumumkan dan pelaksanaannya secara efektif diatur dengan peraturan pemerintah. Demikian pula
dengan hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ini merupakan
contoh dari persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah, yaitu bila tidak dilakukan menurut
hukum agama, maka perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada (Lihat Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet.
VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 692. Sejarah politik hukum Indonesia mencatat pasal tersebut
sebagai nisan Teori Receptie-nya Christian Snouck Hurgronje. Dalam perkembangan kekinian, dari
beberapa yurisprudensi seperti 2147/K/Pid/1998 tanggal 29 Agustus 1991 dan 141/K/Mil/2011 tanggal
15 Juli 2011, ternyata perkawinan siri, perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam tanpa
diawasi dan dicatat sebagaimana aturan perundang-undangan, sah. Menarik pula untuk disimak
pendapat ahli hukum pidana Adami Chazawi berkaitan dengan ketentuan acara pidana dalam Pasal
168-169 KUHAP yang diantaranya mengatur bahwa istri tidak dapat didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai saksi kecuali mereka menghendaki. Adami Chazawi berpendapat
bahwa istri siri sama dengan istri tercatat, punya hak untuk mengundurkan diri. (hukumonline 1 Juli
2013. Diakses tanggal 1 November 2013).
7
kedudukan pasti kepada hukum Agama. Intinya, sah menurut agama, maka UUP pun
memandang demikian, dan sebaliknya.14
Selain mengakui hukum tertulis, Tata Hukum Negara Republik Indonesia juga
mengakui hukum tidak tertulis. Untuk warga Negara yang beragama Islam, selain
berlaku UUP, berlaku pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991. Dalam konsideran inpres
tersebut dinyatakan bahwa KHI dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Atas dasar itu, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan pembahasan seputar
kebatalan dan pembatalan perkawinan menurut UUP dan KHI.
1.
Pembatalan Perkawinan Menurut UUP
Lingkup batalnya perkawinan bisa dipahami dari bunyi Pasal 22 UUP.
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat tersebut berjumlah 11 (sebelas), yaitu: persetujuan kedua
mempelai [Pasal 6 ayat (1)], izin orang tua [Pasal 6 ayat (2)], memenuhi batas
minimal usia [Pasal 7 ayat (1)], tidak adanya larangan perkawinan (Pasal 8), tidak
terikat dengan suatu perkawinan (Pasal 9 UUP), tidak telah bercerai untuk kedua
kalinya (Pasal 10), tidak dalam masa tunggu (Pasal 11), menurut tata cara yang diatur
oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 12), perkawinan dilangsungkan di muka
pegawai pencatat perkawinan yang berwenang, wali nikah yang sah, dilangsungkan
dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi [Pasal 26 ayat (1)], tidak di bawah ancaman yang
melanggar hukum [Pasal 27 ayat (1)], dan tidak terdapat salah sangka mengenai diri
suami atau istri [Pasal 27 ayat (2)].
14
Hal ini didukung dengan hasil seminar sehari Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat
Madani (PPHIMM) pada tanggal 1 Agustus 2009, dimana dihasilkan kesimpulan bahwa menurut Prof.
Bagir Manan: “Pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang penting saja untuk dilakukan”. Dan
menurut Prof. Mahfud MD.: “Perkawinan sirri tidak melanggar konstitusi, karena dijalankan
berdasarkan akidah agama yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945”.
8
UUP tidak secara eksplisit mengatur perihal larangan poligami lebih dari
empat. Namun secara implisit bisa dipahami dari bunyi Pasal 9 dan Pasal 24 UUP,
walaupun tidak terdapat penyebutan angka tertentu. Pasal 9 UUP berbunyi:
“Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UndangUndang ini”.
Hal yang sama pula dapat disimpulkan dari Pasal 24 UUP: Barang siapa
karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini;
Arso S. dan A. Wasit Aulawi berpendapat bahwa pembatalan perkawinan
berkaitan dengan jenis dari larangan perkawinan. Pertama, ada larangan disebabkan
melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama dalam perkawinan. Yang mana terbagi
dua. Ada yang bersifat abadi sebagaimana disebutkan Pasal 8, 9 dan 10 UUP, dan ada
yang bersifat sementara seperti ketentuan Pasal 11 UUP. Kedua, ada larangan
disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan administrasi (Pasal 12 UUP), dan
ada pula karena kemaslahatan [Pasal 6 (ayat 2) dan Pasal 7]. Perkawinan kategori
pertama mutlak dibatalkan, sedangkan yang kedua dapat dibatalkan atau dapat pula
diteruskan.15
2.
Pembatalan Perkawinan Menurut KHI
KHI merupakan sumber hukum formil dan materil untuk Peradilan Agama.
Artinya, hakim dalam mengadili dan menyelesaikan perkara berpedoman kepadanya.
KHI sebagai hukum tidak tertulis walaupun pada dasarnya berkedudukan di bawah
hukum tertulis, namun karena UUP itu sendiri menegaskan posisi sentral kepada
hukum agama perihal sah atau tidaknya sutau perkawinan, maka oleh karena itu KHI
15
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 60-61
9
tidak hanya mengisi kekosongan hukum belaka, melainkan memiliki kedudukan yang
menentukan dan diutamakan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, bahwa batal
adalah kebalikan dari sah. Perkawinan yang batal adalah perkawinan yang tidak
memenuhi rukun dan syarat sahnya. Di Indonesia, seluruh rukun dan syarat tersebut
terdapat dalam ijma ulama Indonesia yang telah naik menjadi hukum positif:
Kompilasi Hukum Islam. Di samping itu, berlaku pula syarat-syarat tambahan dari
peraturan perundang-undangan.16
Secara gamblang KHI mengatur mengenai hal tersebut di dalam Pasal 14-29.
Khusus mengenai rukun nikah, KHI menyebutkannya secara rinci pada Pasal 14.
Yahya Harahap menjelaskan bahwa maksud penyebutan secara enumeratif
diantaranya ialah bertujuan untuk menghapuskan perbedaan pendapat (ikhtilaf).17
Berbeda dengan UUP, KHI mengkategori dan merinci batalnya perkawinan
menjadi dua kategori. Pertama, perkawinan yang batal (Pasal 70 KHI). Kedua,
16
Alasannya karena KHI merupakan legalisasi (taqnin) fiqh para ulama Indonesia atas syariat (baca:
agama Islam). Hingga, ia tidak hanya berdimensi negara, namun juga berdimensi agama. Era
pemakaian fikih dalam urusan pernikahan sudah diakhiri dengan pemberlakuan ijma bernama KHI.
Sesuai Kaidah Fiqhiyyah yang berbunyi: hukmu al-haakim yarfa’u al-khilaf. Ketetapan penguasa
menghilangkan perbedaan. Prof. K. H. Ibrahim Hosen, LLM., menyatakan:
“Demikianlah pandangan hukum Islam secara umum terhadap hukum nasional atau peraturan
produk pemerintah. Jika pandangan ini dihubungkan dengan KHI yang hadir dalam tata hukum
nacional dan masyarakat Islam Indonesia melalui Inpres dan Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia, maka kedudukan KHI dalam pandangan hukum Islam dan bagaimana umat Islam
Indonesia harus bersikap terhadapnya sangatlah jelas. Apalagi jika diingat bahwa KHI itu
merupakan hasil kesepakatan alim ulama Indonesia sendiri yang sudah barang tentu materinya
bersumberkan atau diambil dari sumber-sumber hukum Islam, baik primer maupun sekunder….”
Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan AlHikmah Jakarta, 1993/1994), hlm. 55.
17
Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, hlm. 55. Substansi
pengaturannya secara ringkas sebagai berikut: Pasal 14 menyebutkan rukun-rukun perkawinan, Pasal
15-17 mengatur tentang syarat-syarat untuk mempelai, mencakup: batas minimal usia calon mempelai,
dan persetujuan calon mempelai, Pasal 18 mengatur tentang syarat perkawinan, yaitu tidak adanya
halangan perkawinan dengan menunjuk Bab VI KHI, Pasal 19-23 mengatur tentang wali nikah,
meliputi kedudukan, kriteria, klasifikasi, kualitas dan urut-urutan wali nikah secara hirarkis, termasuk
diantaranya solusi apabila ada masalah yang timbul mengenai wali nikah, Pasal 24-26 mengatur
tentang saksi nikah, meliputi kedudukan, jumlah, kualifikasi dan kriteria kualitas saksi, Pasal 27-29
mengatur tentang akad nikah;
10
perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71). Bila menurut UUP, hal yang dapat menjadi
sebab batalnya perkawinan berjumlah 11 (sebelas), maka menurut KHI berjumlah 13
(tiga belas). Terdapat titik persamaan dan perbedaan antara dua aturan tersebut18. Bila
dikaji, ada 6 (enam) tambahan, penjabaran atau penjelasan dari KHI perihal penyebab
batalnya perkawinan sebagaimana akan terlihat dari tabel berikut ini:
Perbandingan tentang hal-hal yang menyebabkan batalnya perkawinan
menurut UUP dan KHI
UUP
KHI
Kategori Batal:
1.
2.
Tidak
adanya
persetujuan
1.
mempelai [Pasal 6 ayat (1)]
empat orang wanita (Pasal 70
Tidak adanya izin orang tua
huruf a)
bagi yang belum berusia 21
2.
tahun [Pasal 6 (2)]
3.
4.
5.
6.
18
Menikahi bekas istri yang
telah di-lian (Pasal 70 huruf b)
Tidak memenuhi batas minimal
3.
Menikahi bekas istri yang
usia [Pasal 7 ayat (1)]
telah dijatuhi talak bain kubra
Adanya larangan Perkawinan
dan tidak memenuhi syarat-
(Pasal 8)
syarat (Pasal 70 huruf c)
Terikat
dengan
suatu
4.
Adanya larangan perkawinan
perkawinan (Pasal 9)
dengan merujuk pada Pasal 8
Telah bercerai untuk kedua
UUP (Pasal 70 huruf d)
kalinya (Pasal 10)
7.
Poligami dengan lebih dari
Dalam masa tungu (Pasal 11)
5.
Istri adalah saudara kandung
atau
sebagai
bibi
atau
Maksud sama disini artinya adakalanya substansinya sama dengan redaksi sama, adapula yang
dengan redaksi berbeda.
11
8.
9.
Tidak menurut tata cara yang
kemenakan dari istri atau istri-
diatur oleh peraturan perundang-
istrinya. (Pasal 70 huruf e)
undangan (Pasal 12)
Kategori Dapat Dibatalkan:
Perkawinan oleh pegawai yang
1. Poligami liar (Pasal 71 huruf a)
tidak berwenang, wali nikah
2. Istri
yang
tidak
dilangsungkan
sah
atau
tanpa
bawah
ancaman
diketahui masih menjadi istri
dihadiri
pria lain yang mafqud (Pasal 71
huruf b)
yang
melanggar hukum[Pasal 27 (1)]
11. Salah sangka tentang diri suami
atau istri [Pasal 27 (2)]:
kemudian
yang
oleh 2 (dua) saksi [26 (1)];
10. Di
ternyata
3. Istri
ternyata
masih
dalam
iddah dari suami lain (Pasal 71
huruf c)
4. Melanggar batas umur menurut
ketentuan Pasal 7 UUP (Pasal
71 huruf d)
5. Tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak
(Pasal 71 huruf e)
6. Dengan
paksaan
(Pasal 71
huruf f)
7. Di
bawah
ancaman
yang
melanggar hukum [Pasal 72
ayat (1)]
8. Penipuan atau salah sangka
[Pasal 72 ayat (2)]
Dari tabel diatas terlihat adanya perbedaan tentang hal-hal yang menyebabkan
dibatalkannya suatu perkawinan. KHI memberikan tambahan, penjabaran atau
penjelasan mengenai:
12
1. Penetapan batas poligami sampai empat;
2. Larangan menikahi bekas istri yang telah di-lian;
3. Syarat-syarat menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak bain kubra;
4. Kedudukan hukum istri dari suami yang mafqud (hilang);
5. Ancaman sebagai hal yang menyebabkan dapat dibatalkannya perkawinan;
6. Penipuan sebagai hal yang menyebabkan dapat dibatalkannya perkawinan;
Mengenai jumlah yang dapat dinikahi pun ditegaskan sebagaimana dalam
Pasal 55 ayat (1) KHI: “Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan,
terbatas hanya sampai empat orang”. Bila melanggar, maka implikasi hukumnya
ialah bahwa perkawinan tersebut termasuk dalam kategori Kebatalan atau batal demi
hukum.
Bab XI KHI tentang Batalnya Perkawinan pada Pasal 70 KHI huruf (a)
menegaskan bahwa perkawinan batal apabila: a: “Suami melakukan perkawinan,
sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang
isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.”
KHI sebagai ejawantah syariat Islam di Indonesia mendasarkan aturannya
pada al-Quran dan al-Hadits berikut tafsir dan syarahnya yang mu’tabar. Difahami
melalui elaborasi ijtihad pada ahli hukum Islam dengan beristinbat, menggunakan
metodologi mapan karya para ulama generasi salaf (generasi awal terbaik, terdahulu)
dan khalaf (generasi pengikutnya, terkemudian).
D. DASAR SYARIAT PEMBATASAN POLIGAMI
Diantara jenis-jenis perkawinan yang diharamkan oleh Islam adalah poligami
tanpa batas.
19
Abdul al-Fattah Kabbarah menukil penjelasan M. Salam Madkur
dalam Ahkam al-Usrah, bahwa poligami tanpa batas telah dikenal dan tersebar
khususnya di antara masyarakat yang telah ada sejak zaman dahulu. Fenomena
19
Selian itu ada pula perkawinan jenis lainnya yang diharamkan oleh Islam, yaitu: nikah istibdha,
nikah khadn, nikah syighar, nikah badal,nikah baghaya dan nikah mut’ah dan nikah-nikah lainnya
(Lihat pembahasannya di al-Zawaj al-‘Urfiy fi Mizan al-Islam, Jamal ibn Muhammad ibn Mahmud,
(Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, 2004), hlm. 26-28
13
tersebut dikenal di kalangan orang-orang Mesir, Persia, Asyur, Babilonia, para
pendahulu di India, juga keturunan Rusia dan Jerman. Tidak ketinggalan pula rajaraja Yunani sebagaimana halnya telah dikenal oleh agama Yahudi dan Nasrani.20
Syariat poligami dan batasannya didasarkan pada al-Quran Surat al-Nisa [4]
ayat (3) dan hadits-hadits Rasulullah Saw. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.
Surat al-Nisa ayat 3 tersebut menetapkan hukum tentang jumlah yang halal
dipoligami dan kapan wajib beristri satu saja.21 Maksud “wa” dalam ayat tersebut
bukan bermakna li al-jam’i (menjumlahkan) namun li al-takhyir (memilih).22
Al-Qurthubiy menyampaikan pendapat al-Dhahhak, Hasan dan lainnya bahwa
ayat ini menasakh (menghapus) adat jahiliyyah, dimana laki-laki menikahi dengan
jumlah sekehendak hati. Dengan ayat tersebut poligami dibatasi sampai empat.23 AlQurthubiy juga mengetengahkan hadits yang meriwayatkan tentang perintah
Rasulullah kepada Ghailan dan Harits bin Qais untuk menetapkan empat istri saja dan
menceraikan sisanya. Tegasnya, poligami yang halal hanya sampai empat.24
20
Abdul al-Fattah Kabbarah, Zawaj Madiniy: Dirasat al-Muqaranah, (Beirut: Dar Nadwah al-Jadidah,
1994), hlm. 331-332
21
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, (Mesir: Babiy al-Halabiy, tt), Juz VI, hlm. 179
22
Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, cet II, (Libanon: Dar Fikr, 1985), Juz VII, hlm.
166
23
Al-Qurthubiy, al-Jami al-ahkam al-Quran, cet I, (Libanon: Muassasah al-Risalah, 2006), hlm. 24
24
ibid, hlm. 42
14
Ibnu Katsir menghubungkan hadits-hadits tentang Qais dan Ghailan dengan
Surat al-Nisa [4] ayat 4 dalam rangka menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. konsen
dalam penegakkan batasan poligami tersebut sehingga tidak membiarkan adanya
poligami yang melebihi empat karena taat dalam melaksanakan aturan Islam.25
Dalam sebuah hadits disebutkan:
َ‫ ﻓَﻘ ُﻠْﺖُ ذ َﻟِﻚ‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ‫ﺎن ﻧ ِﺴ َْﻮة ٍ ﻓ َﺄ َ ﺗَﯿْﺖُ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰﱠ‬
ِ َ‫ث ﻗَﺎلَ أ َﺳْﻠ َﻤْ ﺖُ َو ِﻋ ْﻨﺪِى ﺛ َﻤ‬
ِ ‫ﻋَﻦ ﻗ َ ﯿ ِْﺲ ﺑ ِْﻦ اﻟْﺤَ ِﺎر‬
‫ﻟ َ ﮫُ ﻓ َﻘَﺎلَ اﺧْ ﺘ َﺮْ ﻣِ ﻨْﮭُﻦﱠ أ َرْ ﺑ َﻌ ًﺎ‬
Dari Qois bin Al Harits, ia berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki
delapan istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari kedelapan istrimu
tersebut.”26
Dalam hadits riwayat Ibnu Umar ra. Disebutkan:
‫َﻣَﺮه ُ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰﱡ‬
َ ‫َن ْﯿﻼ َنَ ﺑْﻦَ ﺳَﻠ َﻤَ ﺔ َ اﻟﺜ ﱠ َﻘﻔِﻰﱠ أ َﺳْﻠ َﻢَ َوﻟ َ ﮫُ ﻋَ ﺸْﺮُ ﻧ ِﺴ َْﻮة ٍ ﻓ ِﻰ اﻟْﺠَﺎ ِھ ِﻠﯿﱠ ِﺔ ﻓ َﺄ َﺳْﻠ َﻤْ ﻦَ ﻣَﻌ َ ﮫُﻓَﺄ‬
‫ﻏ‬
َ ‫ﻋَﻦ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﱠأ‬
ِ
‫َنْ ﯾ َﺘ َ َﺨﯿﱠﺮَ أ َرْ ﺑ َﻌ ًﺎ ﻣِ ﻨْﮭُ ﻦﱠ‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢأ‬Dari Ibnu Umar bahwasanya Ghaylan bin Salamah ats-Tsaqofiy baru masuk
Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam
bersamanya, Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia
memilih empat saja dari istri-istrinya.27
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan: ‫“ أﻣﺴﻚ أرﺑﻌﺎ وﻓﺎرق ﺳﺎﺋﺮھﻦ‬Pilih
empat istri dan pisah dengan yang lain.” (HR. Ibnu Hibban 9: 465).
25
Imaduddin Abul Fida' Isma'il bin 'Umar bin Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Juz 1, hlm. 450-451
HR. Ibnu Majah Nomor 1983, Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy , Shahih Sunan Ibnu Majah lilImam al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwiniy, Juz II, (Riyadh: Maktabah alMa’arif, 1997), hlm.151, dan HR. Abu Daud No. 2241, Sunan Abi Daud, Sulaiman ibn ‘Asyats al-Ajdi
al-Sijistaniy, Juz III, (Beirut: Dar Risalah al-Alamiyyah, 2009), hlm. 556. Tentu saja, perbuatan (af’al)
Rasulullah Saw. tidak seluruhnya menjadi syariat. Ada yang berkualifikasi tha’ah, qurbah, dan ada
yang jibiliyyah. Di samping itu ada pula yang ikhtishah (pengkhususan). Diantara ikhtishah tersebut
ialah wajibnya shalat tahajjud, shaum dengan wishal, dan bolehnya berpoligami lebih dari empat.
Rasululaah Saw. pun haram menerima sadaqah dan beliau tidak mewariskan.
27
HR. Tirmidzi Nomor 1128, Muhammad Nashir al-Din al-Albaniy, Shahih Sunan al-Tirmidziy lilImam al-Hafidz Muhammad ibn Isa ibn Tsaurah al-Tirmidziy, Cet. I, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,
2000), Juz II, hlm. 574; al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (Kairo: Dar Ihya Turats al-Arabiy, 1960), Juz
III, hlm. 132
26
15
Imam al-Syafiiy meriwayatkan dari Naufal ibn Muawiyyah, sesungguhnya dia
masuk Islam sedangkan ia waktu itu lima istri, maka Nabi Saw berkata kepadanya:
‫ﻻﺨﺮى‬١ ‫أﻣﺴﻚ أرﺑﻌﺎ وﻓﺎرق‬
“Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.”
Muhammad Asyraf ibn Amir ibn Ali ibn Haidar Ash-Shiddieqie dalam Aun
al-Ma’bud ‘ala Syarh Sunan Abi Daud, menjelaskan bahwa Ali al-Qariy dalam alMirqat menegaskan bahwa tampak dari hadits (riwayat Abu Daud) tersebut diatas
bahwa sesungguhnya pernikahan-pernikahan semasa kekafiran adalah sah sampai
masuk Islam, mereka tidak diperintahkan untuk memperbaharui pernikahan, kecuali
mengenai hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh Islam seperti berpoligami lebih dari
empat istri.28
Seorang laki-laki diharamkan berpoligami lebih dari empat orang. Sebab dari
hadits Ghailan di atas, dapat disimpulkan bahwa kalaulah boleh berpoligami lebih
dari empat, maka tentu Rasulullah Saw tidak akan memerintahkan Ghailan untuk
melakukan hal tersebut.29Tegasnya, pernikahan kelima secara hakiki maupun hukmi
tidak boleh, pernikahan tersebut fasid.30
E. ACARA PEMBATALAN PERKAWINAN
Bagian ini akan selintas melihat bagaimana beracara untuk perkara
pembatalan perkawinan. Khusunya mengenai kedudukan hukum sebagai pihak
(persona standi in judicio atau legal standing) dan pedoman pokok lainnya.
Perkara pembatalan perkawinan selain tunduk pada aturan umum beracara,
juga tunduk pada aturan khusus (lex specialis) yang terdapat dalam UUP dan
28
Muhammad Asyraf ibn Amir ibn Ali ibn Haidar Ash-Shiddieqie, Cet. I, (Beirut: Dar Ibn Hazm,
2005), hlm. 1047. Lihat juga Abdul Wahhab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari’ah alIslamiyyah ‘Ala Waqfi Madzhab Abi Hanifah wa Ma ‘Alaih al-Amal bi al-Mahakim, Cet II, (Kuwait:
Dar Al-Qalam, 1990), hlm. 53
29
Taqiyuddin Abi Bakr Muhammad al-Hushni al-Husainiy al-Dimasqi, Kifayat al-Akhyar fi Halli
Ghayatu al-Ikhtishar fi Fiqh al-Syafi’iy, Cet. VII, (Dimasq: Dar al-Basyair, 2001), hlm. 416
30
Abdul W. Khallaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, hlm. 53
16
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP).
UUP telah mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan
pelaksana mengenai beberapa hal. Pertama, mengenai waktu tunggu (iddah) [Pasal
11 ayat (2)]. Kedua, mengenai kedudukan anak luar perkawinan [Pasal 43 ayat (2)].
Ketiga, hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah [Pasal 67 ayat (2)].
Disebutkan pada Penjelasan Umum PP tersebut bahwa:
Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secera efektif
masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang
menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan
perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian,
tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan
perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang
dan sebagainya.
Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk pencatatan
perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan
perkawinan, waktu tunggu, tata cara poligami, berikut hukum acaranya. Di samping
itu, PP ini pun mengatur kompetensi absolut.
Pasal 23 UUP sendiri memberikan kedudukan hukum (legal standing) berupa
hak untuk mengajukan kebatalan atau pembatalan untuk mengajukan pembatalan
perkawinan hanya kepada:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. suami atau istri;
c. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
17
Kalau dirinci secara ringkas dan sederhana dalam PP tersebut diatur perihal:
kompetenasi relatif (Pasal 20), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf
b UUP (Pasal 21), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf f UUP
(Pasal 22), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf c UUP (Pasal 23),
kebolehan pisah rumah atas alasan bahaya ketika ada perkara sekaligus penentuan
nafkah dan pemeliharaan anak (Pasal 24), gugurnya perkara (Pasal 25), pemanggilan
untuk tiap persidangan berikut acara pemanggilannya (Pasal 26-28), administrasi dan
acara persidangan (Pasal 29), in person atau kuasa dalam siding (Pasal 30),
perdamaian (Pasal 31), ne bis in idem (Pasal 32), pemeriksaan tertutup untuk umum
(Pasal 33), acara sidang putusan terbuka untuk umum dan waktu mulai terjadinya
perceraian (Pasal 34), berbagai kewajiban panitera pengadilan (Pasal 35-36). Sesuai
petunjuk Pasal 38 ayat (3) PP, maka aturan dalam Pasal 20-36 PP diatas diberlakukan
juga untuk perkara pembatalan perkawinan.
Di akhir kajian pada sub ini, akan dilihat tentang penyelesaian menurut
hukum terhadap poligami lebih dari empat dihubungkan dengan dua asumsi
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Atas asumsi bahwa perkawinan tersebut tercatat pada lembaga yang
berwenang untuk itu, maka tiada jalan lain kecuali pihak-pihak yang memiliki standi
in judicio mengajukan gugatan pembatalan perkawinan tersebut. Dengan petitum:
“menyatakan perkawinan a quo batal demi hukum”. Walaupun termasuk kategori
batal demi hukum, namun diperlukan langkah administratif untuk itu.31
Lain hal bila perkawinannya tidak tercatat. Bila tidak secara sadar berpisah
atau melepaskan istri kelima dan seterusnya, maka hemat penulis adalah tepat bila
negara menegakkan hukum agama, umpamanya dengan menggunakan instrumen
hukum pidana.32 Opsi perceraian adalah tidak mungkin karena ia hanya untuk
31
Penulis berpendapat, batal demi hukum tetap memerlukan proses pro yusticial guna membuktikan
ke-batal demi hukum- nya, dan yang memiliki wewenang untuk itu hanyalah peradilan.
32
Seperti melalui Pasal 279 KUHP dan atau Pasal 284. Kalaupun hukum positif pidana materil belum
mengcovernya, maka bisa menjadi masukan untuk ius constituendum, dengan mengkriminalisasi
perbuatan tersebut.
18
perkawinan yang resmi (sah atau disahkan), demikian juga sebenarnya dengan
lembaga pemisahan (pisah: farik) sebagaimana yang pernah terjadi zaman Rasulullah
Saw., karena lembaga tersebut berkaitan dengan hukum antar tata hukum. Tata
hukum bukan Islam ke Tata Hukum Islam. Hal tersebut tidak dimungkinkan bagi
yang mengaku muslim ketika perkawinan itu dilangsungkan.
Terakhir, sebagai pembanding, menurut fikih murafaat (fikih acara peradilan
Islam), untuk menyelesaikan perkawinan yang tidak sah terdapat dua alternatif.
Pertama, membawa ke hakim dan diajukan gugatan, kedua memisahkannya.33
F. AKIBAT HUKUM KEBATALAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
Putusan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu sengketa ketika
dirasakan adanya pelanggaran hak. Putusan mendudukkan dengan jelas hubungan dan
kedudukan hukum antar para pihak yang bersengketa. Putusan memberikan kepastian
tentang hak
maupun
hubungan
hukum
para
pihak
dengan
objek yang
disengketakan34. Putusan pada dasarnya berisi menerangkan suatu keadaan hukum
(declaratoir), menetapkan suatu keadaan hukum baru (konstitutif), dan menghukum
atau
memerintahkan
untuk
berbuat
atau
tidak
berbuat
sesuatu
(comdemnatoir).35Keadaan hukum baru dimulai sejak putusan berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde).36
Putusan pada dasarnya berlaku kedepan (prospektif). Seperti putusan yang
menyatakan seseorang sebagai anak angkat, menyatakan atau menetapkan sepasang
suami istri bercerai, menyatakan pailitnya X, menyatakan bahwa seseorang telah
melakukan perbuatan melawan hukum, dll. Ketika putusan perceraian berkekuatan
hukum tetap, sejak itulah berlaku putusan tersebut, suatu pasangan resmi bercerai 37.
33
Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, hlm. 109-112.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,…. hlm. 797
35
Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi 8, cet I
(Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 231-232
36
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet VII, (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 261
37
Tentu dikecualikan untuk perkara permohonan cerai talak di (peradilan agama)
34
19
Namun terdapat pengecualian untuk perkara-perkata tertentu seperti perkara
permohonan pengesahan nikah dan perkara pembatalan. Yaitu keberlakuannya yang
surut (retroaktif). Ketika dinyatakan sahnya perkawinan X dengan Y yang
dilaksanakan pada tanggal, bulan, dan tahun tertentu, sahnya perkawinan tersebut
dimulai sejak berkekuatan hukum, dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
Demikian pula halnya dengan pembatalan perkawinan. Bedanya, kalau yang pertama
menghubungkan ikatan secara hukum, sedangkan yang kedua memutuskan.
Batalnya suatu perkawinan bersifat retroaktif (berlaku surut). Setelah putusan
berkekuatan hukum tetap, maka keberlakuan putusan tersebut sejak saat perkawinan
dilangsungkan. Baik itu dengan dengan alasan yang menyebabkan kebatalan (batal
demi hukum) maupun pembatalan (dapat dibatalkan). Terkecuali untuk hal-hal yang
dikhususkan.
Berdasarkan Pasal 28 UUP (1): “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan.” Pasal 28 ayat (2)-nya menyatakan: “Keputusan tidak
berlaku surut terhadap:
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
terlebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan redaksi yang sedikit berbeda, Pasal 74 ayat (2) KHI menyatakan:
“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.”
Perihal pengecualian dari akibat hukum pembatalan, terdapat perbedaan
antara UUP dengan KHI. Pasal 75 KHI menyebutkan bahwa: “Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
20
a.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c.
Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Dalam tulisan ini, penulis hanya hendak mengkaji seputar berbagai pranata
hukum Islam yang tidak tercakup oleh hukum positif seperti mahar, mahram, iddah
dan waris dengan mengkaji dari literatur madzhab dalam fikih Islam.
Madzhab Imam Malikiy berpendapat bahwa jika fasidnya nikah karena halhal yang masih diperselisihkan, maka antara pasangan tersebut saling mewarisi.
Sedangkan menurut madzhab Imam al-Syafi’iy, nikah batil maupun fasid hukumnya
satu: tidak memiliki akibat hukum sebagaimana nikah yang sahih.38
Menurut madzhab Imam Hanafi, akibat hukum dari perkawinan yang fasid
yakni tidak terpenuhinya syarat, seperti poligami lebih dari empat, akibat hukum
tersebut hanya ada jika telah terjadi dukhul.39Akibat-akibat nikah fasid tersebut
ialah40:
1. Wajib menyerahkan mahar bila telah melakukan dukhul;
2. Tetapnya
nasab
anak
kepada
bapaknya
dalam
rangka
menjaga
keberlangsungan kehidupan anak dan tidak menyusahkannya;
3. Tetapnya mahram dengan alasan mushaharah karena dukhul;
4. Tetapnya iddah bila telah dukhul;
G. PENUTUP
Di penghujung tulisan ini, akan disimpulkan beberapa hal terkait identifikasi
masalah. Pertama, dasar hukum pelarangan poligami lebih dari empat adalah UUP
[Pasal 2 ayat (1), Pasal 9, Pasal 24] dan KHI [Pasal 55 ayat (1), 70 huruf a]. Kedua,
38
Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, hlm. 118
Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, hlm. 115
40
Abdul Wahhab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah ‘Ala Waqfi
Madzhab Abi Hanifah wa Ma ‘Alaih al-Amal bi al-Mahakim, hlm. 39-40
39
21
penyelesaian secara hukum perdata terhadap poligami lebih dari empat ialah melalui
gugatan pembatalan untuk menyatakan Kebatalan-nya. Ketiga, kebatalan poligami
lebih dari empat mengakibatkan perkawinan dianggap tidak pernah ada beserta
berbagai implikasi hukumnya kecuali untuk pihak-pihak sebagaimana telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Wallahu ‘alam bi al-shawab.
Download