proses integrasi patani ke dalam teritori thailand 1902

advertisement
PROSES INTEGRASI PATANI
KE DALAM TERITORI THAILAND 1902-1932
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora
Oleh :
WILDA DARNELA ADIWILDAN
NIM 105022000855
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
PROSES INTEGRASI PATANI
KE DALAM TERITORI THAILAND 1902-1932
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora
Oleh:
WILDA DARNELA ADIWILDAN
105022000855
Di Bawah Bimbingan
Awalia Rahma. M.A
NIP: 19710621.200112.2.001
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM
TERITORI
THAILAND
1902-1932”.
Telah
diujikan
dalam
Sidang
Munaqosyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 20 September 2010. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 20 September 2010
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA.
NIP: 195912221991031003
Penguji
Nurhasan MA.
NIP: 19690724199703 1 001
Sekretaris Merangkap Anggota
Nurhasan MA.
NIP: 19690724199703 1 001
Pembimbing
Awalia Rahma MA.
NIP: 19710621.200112.2.001
ABSTRAKSI
WILDA DARNELA ADIWILDAN
PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI THAILAND 19021932
Tulisan ini, secara komprehensif melihat kembali faktor-faktor internal
dan eksternal yang menyebabkan Patani menjadi bagian dari wilayah integral
Thailand yang dalam konteks historis dan kulturnya sangat berbeda. Sejarah,
budaya, dan bahasa yang dimiliki Patani lebih dekat dengan Muslim di Malaysia
dibanding
dengan
orang-orang
Budha
yang
ada
di
Thailand.
Usaha
mengintegrasikan orang-orang Melayu-Muslim Patani ke dalam wilayah Thailand
dimulai tahun 1902 dan langsung mendapat kecaman dari kalangan elit Patani.
kebijakan integrasi tersebut dipertegas dalam perjanjian Anglo-Siam 1909 antara
Thailand dan Inggris, dengan tanpa melibatkan orang-orang Patani sebagai obyek
yang diintegrasikan. Tak ayal, prosesnya pun diwarnai konflik pertentangan dari
kalangan
Melayu-Muslim
Patani.
Dengan
menggunakan
pendekatan
fungsionalisme struktural, Talcott Parsons, kajian ini mencoba menganalisis pola
tahapan integrasi yang dilakukan Thailand terhadap Patani antara tahun 19021932, serta melihat faktor penyebab integrasi tersebut, dan hasil perkembangan
respons dari pihak Patani dan dunia internasional.
Kata kunci: Integrasi, Penyatuan
GLOSSARY
Adaptation
= Adaptasi, penyesuaian lingkungan
Bendahara
= perdana menteri
Bendahari
= bendahara
Bunga Mas
= upeti dari emas dan perak berbentuk bunga
Buying-off
= suap, menyuap
Divide and ruled
= memisahkan dan mengatur
Ekuilibrium
= lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat
Federated States
= Negara Federasi
Gabenor
= Gubernur
GAMPAR
= Gabungan Melayu Pattani Raya
Goal-Attainment
= pencapaian tujuan
Haji
= gelar bagi Muslim yang sudah melaksanakan haji
ke Mekkah, sementara haji diartikan oleh orangorang Thai sebagai orang yang berkunjung ke
Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha).
Integrasi
= penyatuan, keseluruhan
Kabupaten
= daerah
Khaek
= sebutan bagi Muslim-Melayu Patani yang berarti
tamu atau pengunjung, di sebut juga Thai-Islam
Laksamana
= admiral
Latency
= pemeliharaan pola
Mono-ethnic
character of the State
= karakter ttnik tunggal negara
Monthon
= satuan administratif daerah
Muang
= kota
Mufti
= pejabat tertinggi Negara dalam mengeluarkan
fatwa dan interpretasi al-Quran dan memiliki
kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar
dari aturan syariah
Nagarakartagama
= naskah berbahasa India
Nation
= bangsa
Pali
= semacam ilmu sihir berasal dari India
Qadi
= hakim Islam. orang-orang Thai menyebut qadi
dengan sebutan kali
Ratthaniyom
= Undang-Undang yang mengatur segala urusan
dalam
program
Thaisasi
bagi
Muslim
ditetapkan pada masa Phibul Songkram
Shahbandar
= master pelabuhan
system of local
government councils
= sistem dewan pemerintah daerah
Tok Guru
= guru Senior
Thesaphiban
= sistem administrasi lokal/daerah
Temenggong
= menteri perang
Ustadz
= guru menangah
yang
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji serta syukur kehadirat Ilahi Rabbi,
Dzat yang Maha Pengatur dan Pemberi Kemudahan, Allah SWT. Akhirnya, jerih
payah dan kesabaran menanti kepastian yang telah digoreskan Sang Penguasa
kehidupan telah terjawabkan, tanpa keridhoan dari-Nya mimpi ini tidak akan
pernah jadi kenyataan. Hanya Dia yang setia menemani ketika jiwa ini dalam
kerapuhan, pikiran, dan hati yang tersesat, kelelahan yang tiada tara, waktu yang
terus merongrong. Demi Dzat yang Maha Sempurna, penulis tidak akan bisa
bertahan tanpa inayah dan hidayah dari-Nya.
Untaian shalawat dipersembahkan untuk Khatam Al-Nabiyyin, pemimpin
sejati, pembawa pesan cahaya Ilahi, Muhammad saw.
Di pengantar skripsi ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua tercinta; ayahanda yang telah lama ‘pulang’ ke pangkuan Illahi
Rabbi Moh. Adih Bahruddin Adiwildan dan ibunda Khusnul Khatimah.
Terima kasih yang tulus, rasa ta’dzim dan hormat penulis haturkan atas
kesabaran, nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud
‘bangga’ untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah selalu
memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien.
2. Dr. H. Abdul Wahid Hasyim M.Ag. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora
i
3. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan
Peradaban Islam
4. Nurhasan M.A selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
5. Awalia Rahma, M.A, selaku pembimbing dalam menyusun skripsi ini, dan
salah satu dosen yang memiliki komitmen dan loyalitas dalam mengajar
mahasiswa-mahasiwanya. Terimakasih atas bimbingan, masukan, saran
dan waktu luang hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan
ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.
7. Seluruh staff akademik Fakultas Adab dan Humaniora.
8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta. Sahabatku Nisa, Echi, Emi, Listia,
Mardiyah, Andri, Apep, Agus, Keluarga Korek Api dan ‘ayat-ayat
cintaku’ Hardy Kurniawan, kalian selalu disampingku. Serta teman-teman
SPI 2005 dan adik-adik kelas tersayang.
9. Teman-teman Patani Wira Tahe, Weera, Nur, Ustad Hasan Daud, dan
Aiman. Akun Patani Fakta dan Opini di jejaring facebook, terimakasih
telah membantu mencari sumber-sumber tentang Patani.
10. Terima kasih kepada Teater Syahid dan Lab Teater Syahid, dan seluruh
UKM Kampus UIN Jakarta, juga satpam UIN.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………
iii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………
v
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………...
1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………...
1
B. Kerangka Teoritis …………………………………………….
8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………...
10
D. Metode Penelitian …………………………………………….
11
E. Sistematika Penulisan ………………………………………...
13
BAB II PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS ........................
14
A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani .......................
14
B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani
20
C. Situasi Politik Patani ………………………………………….
27
D. Situasi Ekonomi Patani ………………………………………
35
BAB III PENGERTIAN DAN KONSEP INTEGRASI ……….......
42
A. Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah
Thailand (Siam) ……………………………………………….
42
B. Pandangan Melayu-Muslim Patani Terhadap Integrasi ……….
47
C. Konsep Integrasi Perspektif PBB ……………………………..
45
D. Pengertian dan Konsep Integrasi Menurut Intelektual ………..
48
BAB IV ANALISIS INTEGRASI PATANI TAHUN 1902-1932
57
A. Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand ……….
57
a. Pencetus dan Faktor Terjadinya Integrasi bagi Patani ….
57
b. Tahapan Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand
1902 – 1932 .…………………………………………….
65
1. Tahap Adaptation ……………………………………
65
2. Tahap Goal Attainment ……………………………...
67
3. Tahap Integration ……………………………………
69
4. Tahap Latency ………………………………………
76
Respons Terhadap Integrasi Patani …………..………...
77
a. Respons Pemerintah Thailand ………………………….
77
b. Respons Muslim-Melayu Patani ……………………….
79
c. Respons Masyarakat Lembaga International ……… ……
83
BAB V PENUTUP ……………………………………………………..
84
B.
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 84
B. Saran dan Penutup ……………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
87
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Silsilah Raja-raja Patani versi History of Patani
Lampiran 2
Silsilah Raja-raja Patani versi Sejarah Kerajaan Melayu Patani
Lampiran 3
Peta Patani Darussalam
Lampiran 4
Draft ekspor dan impor Patani
Lampiran 5
Darft cacatan komoditi Patani berdasarkan sumber Barat dan China
Lampiran 6
Peta Patani setelah menjadi provinsi Thailand
Lampiran 7
Peta wilayah-wilayah yang didominasi Melayu Muslim di Thailand
Lampiran 8
Kategorisasi kebijakan integrasi Thailand dan dampaknya di Patani
Lampiran 9
Foto Gajah di Museum Gajah
Lampiran 10 Struktur Thai-Islam dalam birokrasi sosio-agama Thailand
Lampiran11
Kronologi sejarah Thailand
Lampiran12
Struktur Patani di bawah Thai
Lampiran 13 Foto Raja Abdul Kadir Kamaruddin
Lampiran 14 Draft Undang-Undang Ratthaniyom
Lampiran15
Silsilah Keluarga Raja Abdul Kadir Kamaruddin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam di Asia Tenggara paling tidak memiliki sejarah tujuh abad. 1 Selama
itu pula Islam tumbuh di wilayah ini dipengaruhi oleh lingkungan baik secara
budaya dan tradisi sosial masyarakat Asia Tenggara. Bahkan Islam merupakan
sebuah kekuatan baik secara sosio-politik maupun sosio-ekonomi yang patut
diperhitungkan. Meski Islam di Asia Tenggara secara geografis berada di periferi
jantung Islam di Timur Tengah, namun komitmen masyarakat Muslim Asia
Tenggara terhadap Islam baik secara spiritual, psikologi dan intelektual sangat
dinamis, represif, dan bersikap terbuka.
Patani (dalam ejaan Thailand ditulis Pattani), dalam skripsi ini penulis
menggunakan kata Patani) 2 pernah menjadi Kerajaan Islam yang mencapai
puncak kejayaan selama hampir 3 abad di Semenanjung Malaya dan berhasil
menyaingi Kerajaan Siam (Thailand) yang memiliki pengaruh besar dalam
peradaban dan kebudayaan di beberapa wilayah Indocina. Kerajaan Sukhotai
bersama Kerajaan Ayuthia antara tahun 1283 dan 1287 berhasil mengalahkan
orang-orang Khmer dari Kamboja, orang-orang Annam dari Vietnam, Arakan, di
Burma serta Laos. Di bawah pemerintahan Raja Khamheng “Raja si pemberani”
1
Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.1
2
Penulis menyebutnya Patani karena ejaan tersebut masuk dalam konteks sejarah awal
dan kepercayaan Melayu-Muslim Patani, nama tersebut juga merujuk kepada nama Kerajaan
Melayu Islam Patani. Kini nama Patani telah diubah ke dalam ejaan Thailand dengan nama Pattani
(memakai dobel ‘t’), dan merupakan nama sebuah provinsi di Thailand Selatan. Pembahasan ini
lebih lanjut akan diterangkan dalam BAB II.
2
tahun 1283-1317, yang menggantikan ayahnya bernama Sri Indraditya sebagai
raja Sukhothai, berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke Lembah Menam dan
Semenanjung Malaya. Dalam kurun waktu tersebut Sukhotai disebut pangkal
kebudayaan Siam. 3
Sejak 1786 Patani merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat.
Patani pada masa raja-raja perempuan, muncul menjadi pusat perniagaan Melayu
yang kuat menyaingi Siam. Letak geografis dan peranan pelabuhan yang amat
strategis menjadikannya pusat perdagangan bagi para pedagang dari Timur dan
Barat. Selain itu, kekuatan politik serta kemapanan ekonomi yang dicapai oleh
Patani menjadikannya sebagai negara kerajaan terkuat yang disegani oleh negara
kerajaan yang ada di Semenanjung Malaya.
Kekacauan politik di tubuh kerajaan Patani semakin menyeruak, manakala
pemerintahan Raja Kuning berakhir dan tidak ada yang mampu melanjutkan
kejayaan yang dicapai Patani. Dalam Hikayat Patani, raja-raja pengganti setelah
Raja Kuning saling berebut kekuasaan, Raja sering kali dijadikan sebagai boneka
ketimbang sebagai seorang yang berwibawa mengatur sistem pemerintahannya. 4
Selain itu, akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Siam, Kerajaan Patani lambat
laun mengalami keguncangan, strategi politik yang tidak kuat menjadikan
kerajaan tersebut dengan mudah dapat dikalahkan oleh Siam. Sebagai bentuk
kekuasaan Siam atas Patani, maka setiap dua setengah tahun sekali kerajaankerajaan Melayu harus mengirimkan upeti berupa Bunga Mas (semacam upeti
3
D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun,
hal.153-154
4
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi :
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4
3
berbentuk pohon yang terbuat dari emas dan perak) 5 dan menyerahkan orang atau
tenaga manusia dan uang sebagai tanda kerajaan-kerajaan Melayu di bawah
penguasaan Siam. 6 Namun Patani tetap memiliki kebijakan otonomi dalam
mengatur kebijakan politik, ekonomi dan sosial-budaya, bukan bagian integral
dari negara Thailand.
Ketika orang-orang Eropa datang ke wilayah Asia Tenggara abad 16 M,
tradisi pengiriman upeti Bunga Mas tersebut dipandang oleh orang-orang Eropa
sebagai tradisi yang tidak sesuai dengan hukum dan kebiasaan orang-orang
Eropa. 7 Pengukuhan Portugis sebagai kekuatan Eropa pertama yang memasuki
Timur dengan semangat missionaris, yang ditandai dengan penaklukan Malaka
oleh Portugis tahun 1511 M. Namun kemunculan pasukan Portugis selalu dapat
dilawan oleh Muslim setempat, meskipun perlawanan mereka tidak dimotivasi
oleh semangat keagamaan. 8 Demikian juga penjajahan Spanyol di Filipina.
Kolonialisme Eropa pada abad 19 M semakin kukuh, kala mereka
berupaya untuk melakukan batas-batas artifisial dengan membagi wilayah
jajahannya di Asia Tenggara, dan telah menghancurkan politik tradisional Asia
Tenggara. Implikasinya seluruh kerajaan tradisional di Asia Tenggara—baik yang
5
D.G.E.Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.32-33,
lihat juga literature dalam bahasa Melayu Haji Abdur Rahman Dawud, Sejarah Negara Pattani
Darussalam terbitan Pattani, hal.,56. Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda mengenai
jangka waktu tiap pengiriman upeti bunga mas, lihat dalam jurnal karangan Yunariono Bastian,
Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni
2003.
6
D.G.E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.479.
Lihat juga di buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, hal.,32-33
7
Ibid., hal.,479
8
Saiful Mujani, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta :
LP3ES, 1993, hal.30
4
bercorak Islam, Hindu atau Budha—sudah kehilangan kemerdekaan politiknya,
kecuali Thailand (Muangthai). 9
Rainer Baubock menggambarkan tiga jenis perbatasan komunitas politik
dari masyarakat modern, yaitu sebagai wilayah perbatasan negara, batas-batas
Negara yang merupakan anggota sebuah komunitas politik yang ditentukan oleh
status kewarganegaraan dan hak warga negara, dan batas-batas komunitas budaya
yang memeberikan seperangkat hak khusus untuk kelompok budaya minoritas. 10
Dengan demikian, setiap penjajahan selalu diikuti dengan kebijakan integrasi,
baik integrasi teritorial, politik dan budaya untuk membangun politik integrasi
yang ideal, terutama pada awal-awal abad 19 dan 20 M.
Contoh kasus, Belanda menerapkan kebijakan integrasi atas kepulauan
Nusantara untuk mengkonsolidasikan seluruh wilayah Nusantara berada dalam
cengkramannya, pada awal abad 19 M, dengan melakukan penataan kembali
wilayah-wilayah Nusantara ke dalam bentuk provinsi dan menciptakan sistem
dewan pemerintah daerah (system of local government councils) dengan aturan
lokal, yang kebanyakan ditempati oleh orang Eropa tetapi juga mencakup
beberapa anggota lokal dari kelas bangsawan. Tahun 1918 sistem ini diperluas ke
dalam pembentukan tingkat nasional dengan bentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat’
sebagai penertiban administrasi wilayah kekuasaan Belanda. 11 Sementara Inggris
berusaha mengintegrasikan wilayah jajahannya di Semenanjung Malaya dengan
9
Ibid. hal.31
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61
11
Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast
Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, hal.97-98
10
5
membentuk sistem Negara Federasi (Federated States), dan menempatkan
kebijakan ini ke dalam sistem pendidikan, bahwa setiap warga negara yang berada
di wilayah kekuasaannya harus menerima sistem pendidikan Eropa dan bahasa
Inggris sebagai bahasa utama. 12
Selain bangsa Eropa, Thailand adalah negara di Asia Tenggara yang
mencoba membuat suatu komunitas politik melalui penjajahan. Konsep integrasi
sebagai suatu pembentukan negara dan komunitas politik yang dilakukan bangsa
Eropa di Asia Tenggara, mendorong Siam (Thailand) pada masa Chulalongkorn
(Rama V 1868-1910) melakukan serangkaian pembentukan negara tahun 1902 13
melalui pembaruan administratif terhadap wilayah-wilayah sebelah selatan atau
Patani. Selain itu, raja Chulalongkorn melakukan beberapa pertimbangan
diplomasi dengan Inggris—yang pada saat itu menduduki negeri-negeri di
Semenanjung Malaya—yang berujung pada ditetapkannya Perjanjian Bangkok
yang dilegitimasi oleh Kerajaan Siam-Inggris pada 10 Maret 1909 untuk
meratifikasi batas antara negeri Thai dengan Malaya Inggris dan menetapkan
wilayah Patani, Narathiwat, Songkla, Yala dan Satun menjadi bagian wilayah
Siam, Thailand, sekaligus memisahkan Patani dari wilayah Semenanjung
Malaya, 14 sedangkan Kelantan, Kedah, Perlis dan Terengganu dimasukkan
Inggris menjadi wilayah Malaysia. 15 Semua wilayah Malaya yang dipecah-pecah
12
Ibid. hal.109
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta
: LP3ES, 1989, hal.22
14
Wan Kamal Mujani, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke-21,
Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002, hal.11
15
Artikel dengan judul “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand
Selatan” oleh Badrus Sholeh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa
tahun.
13
6
tersebut memiliki tradisi dan budaya Melayu dan agamanya Islam. Upaya ini
sekaligus menjadi tonggak sejarah runtuhnya kedaulatan Patani. Patani bukan lagi
sekedar negara jajahan bagi Siam tetapi menjadi bagian integral dalam Kerajaan
Thai, sekaligus menghapuskan sistem Kesultanan Melayu.
Nampaknya, pemerintah Thailand berusaha mengadakan politik Siamisasi
terhadap seluruh masyarakat Patani, artinya seluruh rakyat yang berada dalam
kekuasaan wilayah Thailand diintegrasikan ke dalam satu kesatuan bangsa yang
disebut bangsa Siam atau Thai. Reaksi atas dicetuskannya gagasan integrasi
dalam rangka modernisasi negara bangsa tersebut menimbulkan persoalan entitas
budaya dan politik antara negara Thailand dengan Melayu-Muslim Patani bahkan
berujung pada persoalan agama, dan menjadikan Siam (Thailand) menjadi salah
satu negara yang majemuk. Sehingga menggelitik penulis untuk menganalisis
mengapa pemerintah Thailand menetapkan kebijakan integrasi terhadap wilayah
Patani sehingga menjadi bagian integral Thailand? dan sejauh mana tahapantahapan pemerintah Thailand dalam mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke
dalam Siam?
Menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Thailand terhadap Patani,
sebagaimana, menurut David Brown, hal ini sebagai upaya untuk mono-ethnic
character of the State – etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara
Thailand. 16
Selain itu, berbagai pola integrasi yang dilakukan bangsa Eropa, kemudian
disadari raja Chulalongkorn sebagai salah satu gagasan yang tepat dalam
16
David Brown, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62,
1988, hal.51-71
7
mempertahankan daerah jajahannya dan urusan dalam negerinya. Fenomena ini
disadari ketika raja Chulalongkorn berkunjung ke wilayah Jawa dan Sumatera
yang diduduki oleh Belanda, juga Singapura dan Malaysia yang diduduki oleh
Inggris, dan sekaligus mengilhami raja Chulalongkorn menciptakan konsep
integrasi dengan istilah Thesaphiban dan Monthon (satuan administratif daerah). 17
Dimulai pada tahun 1902, pemerintah Thailand telah menetapkan integrasi
wilayah Patani ke dalam wilayah Thailand. Pada tahun-tahun awal inilah kegiatan
oposisi yang dipimpin oleh keluarga kerajaan digulingkan dan para pemimpin
Islam karismatik kepemimpinannya semakin jatuh. Sebagai loyalitas atas
kehilangan posisi agama Islam dan mereka sebagai Muslim diperkuat dalam
meningkatkan respons non- 'Thaicization' (Thaisisasi) atau anti-Siam. 18 Reaksi
kolektif pun muncul dari Muslim-Melayu Patani ini sehingga memicu
penindasan-penindasan yang lebih keras dari pihak pemerintah Thai. Hal yang
paling signifikan pada periode ini adalah setelah secara final Patani dimasukkan
ke dalam Kerajaan Thai adanya upaya mempertahankan identitas Melayu yang tak
bisa dipisahkan. Kemudian muncul respons dari kalangan mantan para raja
Daerah Patani Raya sekaligus memimpin perlawanan terhadap pemerintah
Thailand pada tahun 1922 yang dikenal dengan peristiwa Namsai. Hingga
berakhirnya ciri kerajaan monarki absolut Thailand pada tahun 1932, berakhir
pula konsep Monthon yang disambut orang-orang Melayu-Patani sebagai harapan
baru bagi otonomi budaya mereka. Skripsi ini akan mengkaji, sejauh mana
17
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta
: LP3ES, 1989 , hal.48
18
John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies,
2006, hal.78
8
tahapan-tahapan ide integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap
wilayah Patani antara tahun 1902-1932 ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis memberi judul skripsi ini
dengan
”PROSES
INTEGRASI
PATANI
KE
DALAM
TERITORI
THAILAND 1902-1932”.
B.
Kerangka Teori
Integrasi dalam bahasa Latin, yaitu interger yang berarti keseluruhan.
Dalam integrasi berarti terdapat bagian-bagian, unsur-unsur, faktor-faktor atau
perincian-perincian yang telah digabungkan ke dalam bentuk sedemikian intimnya
sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna. 19 Dengan demikian,
integrasi merupakan suatu proses penggabungan dan pembauran dengan
menghilangkan jati diri yang khas.
Pengertian integrasi juga dikaitkan dengan terminologi integrasi nasional
politik, dan sosial. Namun seiring perkembangannya integrasi politik dan sosial
merupakan salah satu dimensi dari integrasi nasional. Pengertian integrasi
nasional menurut Rupert Emerson dan Kh. Silvert adalah sama arti dengan
integrasi teritorial, sedangkan bagi Weiner, integrasi nasional tidak hanya meliputi
masalah teritorial dan perbedaan elite-massa saja, melainkan lebih luas lagi. Hal
ini dipertegas dengan istilah ‘nasional’ yang merujuk pada makna‘nation’ yaitu
bangsa. 20 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa integrasi
memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan aspek vertikal
19
Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97
20
Ibid., hal.4
9
(elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan integrasi, dari
segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi dianggap sebagai
suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan. Agama atau ideologi adalah salah
satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut. 21
Menurut Talcott Parsons proses integrasi memiliki tahapan-tahapan atau
fase-fase yang sangat fundamental untuk mempertahankan keberlangsungan
persatuan pada keseluruhan sistem sosial, 22 dan untuk menentukan langkahlangkah yang bisa diramalkan sebagai suatu tindakan sosial bilamana muncul
ketegangan yang merupakan ketidaksesuaian antara suatu sistem dengan sistem
yang diinginkan. Tahapan mencakup paradigma adaptation, goal attainment,
integration dan latency (latent-pattern-maintenance). Penyesuaian (adaptation)
yang bersandang pada ekonomi merangsang
untuk mencapai suatu tujuan-
pencapaian suatu negara disebut (goal attainment). Selama tahap pencapaian
tujuan tersebut, diperlukan proses penyesuaian apabila terjadi kondisi genting agar
ketegangan yang terjadi dapat diatasi, maka dengan penyatuan (integration)
sistem budaya dan nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol
sosial yang diinginkan dapat terjalin secara solidaritas, menyeluruh, dan kuat.
Tahapan-tahapan ini diikuti oleh tahap pemeliharaan pola sistem yang bersifat
laten (latent pattern maintenance). 23
Segala permasalahan perlu didekati secara historis. Karena dengan
pendekatan sejarah diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang
mampu mengungkap gejala-gejala yang relevan dengan waktu dan tempat
21
Ibid. hal.97
Talcott Parsons, The Social System, Francis: Routledge, 2005, hal.27
23
Ibid,.hal.xviii
22
10
terjadinya proses integrasi Patani ke dalam teritori Thailand, 24 dan menggunakan
teori
pendekatan-fungsionalisme-strukturalis
atau
integration
approach
(pendekatan integrasi) Talcott Parsons. Pendekatan ini memandang masyarakat
adalah suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi kepada satu bentuk
ekuilibrium (lingkaran persamaan yang lahir dari masyarakat tersebut).
C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan mengenai situasi budaya, agama, dan politik Patani sebelum
terintegrasikan ke dalam wilayah Thailand diharapkan menjadi gambaran awal
memahami faktor terjadinya integrasi tersebut. Adapun supaya pembahasan
skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus terhadap kajian awal, maka
penulis membatasi pada permasalahan:
1.
Tahapan-tahapan integrasi yang dimaksud dalam pembahasan skripsi ini,
yakni bagaimana empat tahapan-tahapan integrasi secara teritorial
(wilayah), pada bidang-bidang politik, sosial-budaya dan agama yang
diupayakan pemerintah Thailand terhadap Patani
2.
Apa yang melatarbelakangi integrasi yang diberlakukan pemerintah
Thailand terhadap Patani dimulai pada periode 1902 hingga 1932
3.
Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?
Dengan perumusan masalah sebagai berikut:
24
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999, hal.90
11
1. Bagaimana situasi sosial Patani sebelum terintegrasi ke dalam wilayah
Thailand, baik secara agama, politik, dan budaya?
2. Mengapa pemerintah Thailand yang mayoritas etnis Siam dan beragama
Budha menetapkan kebijakan integrasi terhadap Patani, sedangkan
wilayah Patani didominasi oleh etnis Melayu dan beragama Islam?
3. Bagaimana tahapan-tahapan integrasi yang diupayakan oleh pemerintah
Thailand terhadap Patani?
4. Bagaimana respons yang ditimbulkan dari proses integrasi tersebut?
D.
Metodologi Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis. Metode ini
bermaksud untuk mendeskripsikan dan menganalisa peristiwa-peristiwa masa
lampau secara historis. 25 Metode historis memerlukan empat langkah dalam
penulisan dan pengolahan data, yaitu :
Heuristik : yaitu pencarian dan pengumpulan sumber data baik dengan
sumber primer dan sumber sekunder. Pengumpulan sumber data penulisan skripsi
ini menggunakan sumber-sumber sekunder dengan telaah library research
(penggunaan bahan-bahan dokumen tertulis seperti buku-buku, majalah, catatancatatan, dan kisah-kisah sejarah lainnya). 26 Dalam melengkapi sumber-sumber
sekunder, maka penulis akan menambahkan sumber primer berupa hasil
25
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999, hal.54
26
Ibid., hal.,55-56. Lihat juga Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal,
Bumi Aksara, 2004, hal.20
12
wawancara dengan beberapa informan yang berasal dari Patani serta beberapa
peneliti mengenai Patani dan Thailand.
Kritik : setelah sumber-sumber data tersebut terkumpul, penulis akan
mengklasifikasikan keotentikan dan kredibilitas sebuah sumber data. Otentik
dalam arti memilah mana sumber asli dan benar, sedangkan kredibilitas dalam arti
penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber yang ada 27 agar tidak terjadi
kekeliruan dan kesalahan informasi mengenai Patani dan Thailand.
Interpretasi : Analisis terhadap sumber-sumber data yang telah diteliti
kredibilitas dan keotentikannya, dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial.
Kemudian penulis akan menemukan korelasi dan solusi baru mengenai tema yang
akan dibahas.
Historiografi : tahap terakhir dalam prosedur penelitian sejarah,
merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian dengan
memperhatikan aspek kronologi sejarah. Yakni dimulai dengan bagaimana
kondisi sosial Patani masa Kerajaan Siam hingga terjadinya proses integrasi
Patani ke dalam teritori Thailand.
E.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian skripsi ini disajikan ke dalam lima bab :
Bab I menyajikan pembahasan pokok mengenai latar belakang masalah,
kerangka teori, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
27
Louis Gottschalk, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto,
Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985, hal.80 dan 95
13
Bab II memuat pembahasan gambaran umum mengenai situasi Patani
dalam bidang agama, sosial-budaya, politik, dan ekonomi pada masa sebelum
terjadinya integrasi. Masa ini juga disebut masa transisi Patani ke dalam wilayah
jajahan Kerajaan Siam (Thailand), setelah berakhirnya kepemimpinan Raja
Kuning.
Bab III memuat pembahasan mengenai konsep dan kebijakan integrasi
politik pemerintah Thailand (Siam), andangan Melayu-Muslim Patani terhadap
integrasi, konsep integrasi perspektif PBB, dan pengertian integrasi dan konsep
integrasi menurut lembaga internasional.
Bab IV memuat pembahasan tentang analisis integrasi Thailand terhadap
Patani tahun 1902-1932, mencakup pencetus dan faktor integrasi bagi Patani,
tahapan integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand Tahun 1902 – 1932, dan
respons terhadap integrasi Patani, mencakup respons pemerintah Thailand,
respons Melayu-Muslim Patani dan respons masyarakat intelektual.
Bab V menyajikan pembahasan hasil akhir analisa dalam kesimpulan,
saran, dan penutup.
14
BAB II
PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS
A. Agama dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani
Patani kini menjadi salah satu dari lima provinsi di Thailand Selatan
disebut Pattani, empat provinsi lainnya adalah Yala, Narathiwat, Satun (Setul) dan
Songhkla. Terdapat sekitar dua juta orang, membentuk hampir 4% penduduk
Thailand (65 juta pada tahun 2001). 28 Mayoritas berasal dari Melayu asli,
beragama Islam, dan mewakili empat per lima warga Muslim di Thailand. Mereka
adalah minoritas terbesar kedua setelah Cina, dan menyebut diri mereka sebagai
"Jawi". 29
Sebenarnya, jumlah penduduk Muslim di Thailand masih diperdebatkan,
menurut Omar Farouk, jumlah Muslim berdasar perhitungan akademik dan media
lebih banyak 2 kali dari perkiraan resminya. Bahkan menurut Chaiwat SathaAnand banyak laporan media kontemporer mencatat populasi Muslim di Thailand
diatas 10 persen. Dengan argumentasi berdasar jumlah masjid yang ada di
Thailand, terdapat sekitar 3.113 masjid dengan perkiraan 183 rumah tangga per
masjid, masing-masing dengan delapan anggota, maka ada sejumlah 4,5 juta
muslim atau 7,3 persen dari total populasi. 30 Bahkan Gilquin menempatkan
28
Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand),
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224
29
Ibid.,hal.223-255
30
John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies,
2006, hal.77
15
jumlah penduduk Muslim di Thailand Selatan melebihi dari perkiraan Omar
Farouk. (lihat tabel 1)
Tabel 1 Populasi Muslim di Thailand Selatan
Provinsi
Jumlah Populasi Muslim
Narathiwat
1,135,050
Pattani
1,230,750
Satun
514,500
Songkhla
1,036,000
Yala
1,088,500
Total
5,004,800
Sumber : Michel Gilquin (2005) The Muslim of Thailand
Jika dibandingkan sensus dari tahun ke tahun penduduk Muslim di
Thailand terus meningkat, berdasarkan sensus tahun 2000 menempatkan jumlah
Muslim sebanyak 2.815.900, atau 4,6 persen dari total populasi 60.617.200, naik
dari 4,1 persen pada tahun 1990. Di empat provinsi selatan sekitar 70 persen dari
penduduk Melayu-Muslim, sementara Songkhla hanya 25 persen. Sensus
menempatkan total Melayu-Muslim di lima provinsi selatan, sebanyak 1.769.818,
dan 2.345.800 di 4 provinsi selatan secara keseluruhan. 31 Jumlah Muslim lainnya
terdapat di Bangkok sebanyak 274.100 dan wilayah tengah sebanyak 156.400
(sebagian besar dari mereka tinggal di dalam atau di sekitar bekas ibukota
Ayuthaya), di antara mereka berasal dari Thailand dan negara di Asia Tengah,
Asia Selatan, dan Timur Tengah atau pindah tempat tinggal secara paksa dari
31
Ibid. hal.77-78
16
selatan setelah perang. Sejak akhir tahun 1970-an akibat konflik intern dan
peperangan banyak Muslim dari Timur Tengah telah bermigrasi ke Bangkok,
sampai-sampai satu daerah dikenal sebagai kuarter Arab, dan kadang-kadang
disebut sebagai mini-Beirut Timur. Sensus juga melaporkan kantong-kantong
yang terisolasi di seluruh daratan tengah, ada sekitar 26.000 Muslim di utara sebagian besar etnis Cina yang tinggal di sekitar Chiang Mai - meskipun laporan
media menunjukkan angka jauh lebih tinggi. 32
Patani pada periode pertama meliputi wilayah Kesultanan Negeri Patani
Besar (The Great Patani Negeri) yang mencakup daerah Narathiwat (Teluban),
Yala (Jalor), dan beberapa daerah Senggora (Songkhla, bagian Sebayor dan
Tibor), bahkan Kelantan, daerah Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).
Patani merupakan wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam perdagangan di
Semenanjung Malaya dan ideologi Islam yang memiliki identitas Melayu. Asal
usul Patani diyakini berasal dari sebuah Kerajaan Hindu-Budha yang bernama
Langkasuka 33 dalam bahasa Cina “lang-ya-shiu” terletak di pantai timur
32
Ibid. hal.78
Menurut beberapa catatan ada banyak versi nama Langkasuka: Lang-Hsi-Chia,
Langkasuka bahkan muncul dalam sebuah fabel pertanian di Kedah, Alang-Kah-Suka, sebuah
cerita tentang Putri Sadong, perempuan yang mengalahkan beberapa makhluk surgawi dan
kambing liar di bukit kapur, dia menolak semua pelamar. Lihat Paulus Rudolf Yuniarto,
“Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism,
Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional
(Indonesia), 2004, hal.36
Sumber-sumber yang menceritakan Langkasuka terdapat dalam catatan Cina zaman
Dinasti Liang, Langya hsiu, Inskripsi Rajendra Chola (Tajore, India) yang tertulis dalam teks
Jawa, bernama Illangasokam (1030). Dalam catatan tersebut diceritakan ketika Rajendra Chola
(Raja India) sedang melakukan ekspedisi ke Semenanjung Malaya, dan Langkasuka adalah salah
satu sasaran dari ekspedisi tersebut dalam rangka penaklukan dan penguasaan bidang perdagangan
mereka. Pun dalam catatan Nagarakartagama tahun 1365 oleh Prapanca, Langkasuka berada
dibawah kekuasaan Majapahit dan Sriwijaya. Sumber-sumber lain yang menceritakan Sejarah
Langkasuka terdapat dalam teks Arab berjudul Kitab AlMinhaj al-fakhir fi-ilmi al-bahr alzakhir,
Hikayat Merong Mahawangsa, Catatan Tradisi Kedah ‘Alangkah suka’, dan Hikayat Pasai (1370).
33
17
Semenanjung Malaya antara Senggora (Songkhla) dan Kelantan dengan ibu kota
di daerah Yarang, dan dikenal sebelum abad 12 M, teori ini didasarkan pada
catatan Cina. 34 Menurut Welch dan McNeill, Langkasuka adalah nama lain dari
“Patani” merupakan kesultanan Melayu Muslim tertua di Thailand. Keyakinan
Welch dan McNeill diperkuat dengan penggalian arkeologi yang dilakukan di
daerah “Komplek Yarang”, yaitu provinsi ‘Pattani’ sekarang. Ditemukan sekitar
tiga situs penggalian dan tiga puluh gundukan kuburan yang meliputi luas
permukaan 12 kilometer, yang terletak sekitar 15 kilometer dari kota ‘Pattani’
sekarang, diperkiraan tahun 1050-1300 M, 35 namun sejarah Langkasuka dalam
catatan sejarah Thailand masih kabur. Melalui catatan Cina, dipastikan Kerajaan
Langkasuka yang bercorak agama Hindu-Budha telah berpindah agama menjadi
agama Islam, 36 kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Patani. Sekitar abad ke
15 Islam menjadi agama resmi Kerajaan Patani.
(Adi Haji Taha, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman Perpustakaan
Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000).
34
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.35.
35
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.224-225.
36
Sesungguhnya banyak sekali pendapat mengenai kapan Islam mulai singgah dan
tersebar ajarannya di wilayah ini, beberapa diantaranya bahkan tidak bisa memastikan abad berapa
dan tahun berapa Langksuka berpindah menjadi Islam. Hikayat Patani mencatat bahwa Islam
sebenarnya telah ada di Patani pada abad 10, namun Patani benar-benar menjadi Islam ketika
seorang Raja Pasai bernama Syeikh Said berhasil mengislamkan Raja Langkasuka bernama Paya
tu Nakpa. Hubungan pertama, karena Raja Paya terserang sakit yang tak bisa diobati siapapun,
seketika Syeikh Said mengobati penyakit Raja Paya kemudian sembuh. Baca A. Teeuw dan D. K.
Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor
Taal, Land-en Volkenkunde, 1970, hal.71-72. Lihat juga Ibrahim Shukri, Sejarah kerajaan Melayu
Patani, Pasir Puteh, hal.26. Namun kedua sumber tersebut tidak mencatumkan angka tahun.
Sedangkan M. Ladd Thomas mengatakan kemungkinan masyarakat di wilayah ini masuk Islam
menjelang akhir abad ke 13 M, lihat Political Violence in the Muslim Provinces of Southern
Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal. 4
Merujuk keterangan W. K. Che Man diperkirakan Langkasuka menerima Islam pada
tahun 1457 yakni abad 15, lihat W. K. Che Man, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34
Januari 1989, hal. 114. Pernyataan seorang ahli matematika Eropa, Emanuel Gidinho Eridia,
18
Agama Islam telah memperkukuh identitas budaya dan agama masyarakat
Patani sehingga menjadi kesatuan sistem tidak hanya dalam aspek identitas agama
melainkan dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam aspek politik, sosialbudaya, dan ekonomi. Hal ini terbukti dengan perpindahan Kerajaan Langkasuka
menjadi sebuah Kerajaan Melayu Islam (Kerajaan Patani) dengan sistem politik
kesultanan dan menjadikan agama Islam sebagai agama resmi di Patani pada abad
15 M dan menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat di Patani. Demikian
penjelasan Naquib al-Attas, mengatakan bahwa konsep Islam dalam kebudayaan
Melayu melahirkan sebuah dinamisasi kehidupan baru tentang agama, bahasa,
kesusasteraan, kesenian, dan kebudayaan. 37
Kekuatan Islam di Asia Tenggara termasuk di Patani hingga menjadi salah
satu ciri identitas dan kesatuan dalam satu sistem agama sangat historis dan wajar.
Terbukti ketika dimulainya penyebaran Islam yang lebih signifikan pada abad 16
dan kehadiran Portugis di Asia Tenggara, membawa kesan antara Islam dan
Kristen untuk tersebar di tiap daerah. Sehingga menuntut Islam untuk bertindak
melawan Portugis dengan membawa identitas agama, budaya dan kepentingan
masyarakat adat. 38 Pendapat ini, diperkuat oleh pendapat Amran Kasimin, bahwa
kedatangan Islam pada abad ke 15 di wilayah Malaya, Asia Tenggara, merupakan
peradaban ketiga di dunia yang memberikan pencerahan dan kejayaan, dan
mengindikasikan kesamaan masuknya Islam ke Pattani pada abad 15, menurutnya Islam telah
diterima Patani sebelum Parameswara di Malaka menerima Islam tahun 1411 M, didasarkan pada
batu nisan orang arab di dekat Kg. Teluk Cik Munah bertarikh 1028, lihat Haji Abdul Halim
Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan
Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.47
37
S.M. Naquib al-Attas, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam. Vol.9.
tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976, hal.22-24
38
Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast
Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.38
19
menjadi dominasi di wilayah ini. 39 Abad 16 dan 17 M, Patani mampu menjadi
Kerajaan Islam yang dikenal sebagai pusat perdagangan di Semenanjung Malaya.
Namun sayang, perjalanan kerajaan kecil ini harus berhadapan dengan kerajaan di
utara berbasis agama Budha, Kerajaan Siam (Thailand), dan berakhir dengan
penaklukan Siam (Thailand) atas Patani.
Patani di bawah kekuasaan Siam mengalami banyak perubahan bagi
kehidupan keberagamaan masyarakat Muslim Patani. Kepercayaan Muslim Patani
periode Siam (Thailand) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu satu segmen
diintegrasikan ke dalam masyarakat umum dan bersahabat dengan negara.
Umumnya mereka adalah para imigran, sedangkan yang lainnya yang berada di
selatan, sangat menentang negara dan cenderung radikal dan disebut Muslim
lokal. Mayoritas Muslim lokal di Thailand menganut sekte Sunni dan madzhab
Syafi’i. Sedangkan Muslim imigran memiliki latar belakang sekterian yang
berbeda, seperti Muslim Persia menganut sekte Syiah yang memiliki kapasitas
berbeda dalam Kerajaan Thailand. Ada juga sekelompok kecil Muslim menganut
sekte Syiah Imamiyah dan Bohras (Mustali Ismailiyah) yang merupakan
subkelompok dalam Syiah. 40 Syiah Imamiyah adalah golongan yang meyakini
bahwa nabi Muhammad saw telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam
pengganti, oleh karena itu, mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar,
Umar dan Usman. Sementara golongan Mustali Ismailiyah adalah sub kelompok
39
Amran Kasimin, Religion and Social Change among the Indigenous People of the
Malay Peninsula, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hal.xi, dalam Hasan
Madmarn, Conference on Religion and Society in the Modern World: Islam in Southeast Asia,
Jakarta, 29-30 Mei 1985, hal.1
40
Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern Thailand
Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor; Amit
Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 2009, hal.43-44.
20
dari golongan Imamiyah, mereka berkeyakinan sama bahwa imam pertama adalah
Ali bin Abi Thalib, kemudian imam pindah kepada putra Ja’far as-Sadiq, Ismail
bin Ja’far as-Sadiq. 41
Secara keseluruhan Muslim di Thailand terbentuk dalam tiga konfigurasi
berdasarkan sejarah dan lokasi, yaitu:
1. Etnis Islam berbahasa Melayu yang berada di Narathiwat, ‘Pattani’ dan
Yala Selatan, terdiri sekitar 44%
dari jumlah penduduk Muslim di
Thailand. Tipe kelompok inilah yang paling menentang pemerintah
2. Etnis Melayu yang terintegrasi namun masih menggunakan bahasa
Melayu, berada di provinsi Satun dan Krabi, Nakhon Si Thammarat,
Phangnga, Phuket dan Songkhla.
3. Muslim multietnis dan terintegrasi dengan budaya Thai, umumnya
kelompok ini terdiri atas para muallaf Thailand yang berpindah ke Islam
dan imgran Muslim berasal dari Bengali, Cham, Cina, India, Indonesia,
Malaysia, Pathan dan Persia, dan mereka yang konversi tinggal di
Bangkok dan Ayuthaya.
B. Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani
Kata Patani berasal dari kata Arab Fathan atau Fathoni artinya cerdas.
Arti definisinya bahwa di tempat ini banyak lahir orang-orang cerdas. Sedangkan
penyebutan Patani dengan dobel ‘t’ karena menganggap tempat ini dipimpin para
41
Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hal.8
21
alim ulama. 42 Sedangkan bagi orang-orang Inggris Penyebutan Pattani berdasar
pada ejaan Melayu 'Patani' merujuk pada Kerajaan Patani, 43 sementara pemerintah
Thailand menyebutkan ejaan ‘Pattani’ dengan dobel ‘t’ didasarkan pada ejaan
Thailand pada tahun 1980an, menunjukan tindakan politik sebagai wujud
kesadaran perbedaan ento-religius dan sebagai penghormatan bagi para mantan
raja-raja Melayu di provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani. Istilah lain dalam ejaan
Thai, istilah Pattani hanya menandakan sebuah provinsi di Thailand Selatan
setelah tahun 1909. 44 Dengan demikian, meskipun masyarakat yang ada di
provinsi Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla mereka tetap disebut dengan
sebutan ‘Pattani’. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas kelompok ini adalah
bahasa Melayu atau mereka lebih suka disebut Yawi Speaker.
42
Artikel Sri Nuryanti, In Search of Identity of Pattani, hal.12-13. Dipresentasikan di
Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003.
43
Versi ini berdasarkan catatan Hikayat Patani dan Sejarah Kerajaan Melayu, terdapat
dua versi. Pertama, nama Patani berasal dari “pantai ini”. Cerita ini disandarkan pada kisah
seorang putera raja yang terdampar di “pantai ini”, secara kebetulan masyarakat di negeri tersebut
sedang mencari seorang pengganti raja, maka diangkatlah putera raja tersebut menjadi raja dengan
seekor gajah putih sebagai mediator pemilihan raja tersebut. Menurut versi bahari apabila belalai
gajah menyentuh seseorang maka dialah yang diangkat menjadi seorang raja. Gajah itu memilih
putera raja yang terdampar tadi, dan disebut “raja di pantai ini”. Nama ini lambat laun berubah
menjadi “raja pata ni” dan kemudian “pata ni” dan kemudian patani.
Kedua, versi ini berasal dari kata yang sama yaitu “pantai ini”. Perbedaannya terletak
dalam kisahnya. Serombongan raja berburu seekor rusa, ketika dikejar rusa tersebut berlari menuju
sebuah pantai bernama “pantai ini”. Rusa itu tiba-tiba menghilang tepat di pantai tersebut.
Berdasarkan kisah ini dikenal dengan nama “pantai ini” (maksudnya: hilang di pantai ini). Lihat
Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.1213. Lihat juga Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi
(Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.229-230.
44
Chaiwat Satha-Anand, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political
Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992), hal.1-38, dalam Thanet Aphornsuvan, History
and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.3. Lihat juga S.
P. Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand Discord, No. 107
(February 2006), Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.1.
Lihat juga catatan kaki dalam Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural
Identity of the Jawi (Thailand)”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.250, secara historis
ditulis dengan satu huruf ‘t’ merujuk kepada kesultanan Patani atau Patani Besar, Le Roux sendiri
menggunakan dobel ‘t’ karena saat ini Pattani termasuk provinsi di Thailand Selatan
22
Karakteristik masyarakat Patani dibagi menjadi dua kategori berdasarkan
kelas sosial dasar, yaitu pengatur dan yang diatur. Stratifikasi sosial Patani
ditentukan status mereka secara relatif, misalnya, sultan berada di posisi puncak
dalam kelas sosial masyarakat Patani, diikuti oleh para bangsawan keturunan
kerajaan, umumnya mereka diberi gelar Teuku atau Tuan, Nik, dan Wan. Jika
perempuan bangsawan menikah dengan laki-laki non-bangsawan gelar tersebut
tidak berlaku, namun apabila dia melahirkan anak laki-laki gelar tersebut jatuh
kepada anak laki-laki tersebut. Selanjutnya, adalah pemimpin agama atau pejabat
tinggi yang diberi gelar Dato’ Seri, Dato’ dan To’ sebagai lambang dari otoritas
dan kemampuan mereka secara ekonomi dan politis. Kategori kedua ditempati
oleh rakyat, orang berhutang, dan hamba. 45
Berdasarkan penggunaan bahasa Melayu-Muslim Patani dibagi menjadi
tiga kelompok: 46
1) Kelompok yang berbicara dialek Patani dan Malaysia dan menggunakan
teks Jawi / Arab.
2) Kelompok yang dapat berbicara Melayu Patani tetapi tidak bisa membaca
teks Jawi. Kelompok ini juga dapat membaca dan berbicara bahasa
nasional Thailand.
3) Kelompok yang sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Melayu tetapi
pandai dalam bahasa Thai. Kategori ini dapat ditemukan di Satun (Setul).
45
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39
46
Artikel Ahmad Amir Bin Abdullah, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/ 2009,
hal.4
23
Identitas peradaban Melayu di Patani menandakan sebuah makna
peradaban pra dan pasca modern yang diterjemahkan ke dalam bingkai
kebudayaan Islam. Misalnya, peninggalan warisan Melayu berupa prasasti,
pelbagai alat teknologi, seni bangunan seperti istana, masjid, keramik, seni hias
dan yang amat penting naskah-naskah atau manuskrip Melayu. Selain itu,
peradaban Melayu Patani pada abad 19 dan 20 M melahirkan asal-usul pondok
atau po-noh sebagai ciri peradaban Islam dalam bidang pendidikan Islam
tradisional. Budaya dan peradaban Islam Patani lainnya tertuang pada kesenian
tari klasik yang dipadukan dengan tradisi Islam seperti tarian Inai, persembahan
tarian drama Makyung, permainan gasing leper, dan lain-lain. Juga ada semacam
perahu yang biasa dipakai para nelayan Patani yang berukir, ukiran itu disebut
Kolek, ciri dari perahu ini hanya bisa ditemukan di Patani sehingga disebut
sebagai hasil kebudayaan orang-orang Patani. Demikian yang dituturkan oleh
Raymond Firth dalam kajiannya tentang Kehidupan Pelaut. 47
Pengaruh kebudayaan Patani pun tersebar ke negeri tetangganya seperti
Kedah, Kelantan, Perlis, Terengganu, Perak, dan Pahang, akibat migrasi
penduduk pada masa kejayaan Patani. Sebab itu, terdapat kesamaan ciri dan
karakteristik kebudayaan antara Patani dengan dan Kelantan, selain kedua negara
tersebut memiliki hubungan sejarah dan kekerabatan, mereka pun memiliki
kesamaan sifat antar sesama Melayu, seperti nama Wan atau Nik yang digunakan
47
R., Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, London: Trench, Trubner and
Co., 1946, hal.46 dalam Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.237. Lihat juga D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara,
Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.57, lihat juga pendapat Cortez dalam Pierre Le Roux,
To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand), Asian Folklore Studies,
Volume 57, 1998, hal.230
24
oleh keturunan Melayu di Kelantan berasal dari Patani. 48 Demikian juga
kesamaan dialek, seperti yang dituturkan oleh Asmah Haji Omar, bahwa bahasa
yang digunakan oleh orang-orang Patani hampir sama dengan Kelantan, tetapi
dengan khas fonologitis tertentu. 49 Elit lokal di Patani terdiri atas bangsawan dan
tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama disebut ustadz (guru menengah) dan Tok Guru
(ulama senior), kebanyakan mereka lulusan universitas Timur Tengah, seperti
Arab Saudi, Mesir, Libya, Afghanistan, dan Pakistan. Peran ulama yang sebagian
besar berasal dari bangsawan memiliki peran dalam perkembangan Islam di
Patani. 50
Identitas Melayu-Muslim Patani lainnya yang paling signifikan dalam
peradaban Melayu adalah manuskrip atau naskah-naskah Melayu dalam tulisan
Jawi. Tulisan Jawi berupa bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab,
umumnya masyarakat Melayu-Muslim Patani menganggap tulisan Jawi adalah
pelajaran agama yang sesuai dengan Islam. Menurut Gilquin, Jawi adalah bahasa
yang mendukung identitas Melayu-Muslim Patani, yang membedakannya dengan
komunitas masyarakat Melayu lainnya seperti orang-orang Melayu di Malaysia. 51
Selain itu, bahasa Melayu yang tertulis dalam tulisan (Arab) Jawi menjadi
kekuatan besar di balik penyamaan bahasa Melayu dan Islam, ke manapun Islam
pergi membawa pesan al-Quran dan tulisan Arab, sehingga memiliki keterkaitan
48
Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.238-239
49
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230
50
Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The
Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State
Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.112
51
Michel Gilquin, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.110
25
tidak hanya aspek komunikasi dan kebudayaan Melayu, melainkan juga dengan
aspek ajaran, dakwah, dan ritus-ritus Islam. Sehingga bahasa Melayu sangat
menyatu dengan agama Islam, bahkan dalam menjalankan ritual-ritual
keagamaan. 52 Bahkan teks-teks Jawi tersebut sangat dilestarikan di kegiatan
pendidikan (pondok) dalam kegiatan pembacaan kitab kuning (berbahasa Jawi).
Penggunaan bahasa Jawi (Melayu) oleh masyarakat Melayu Patani
memiliki latar belakang sejarah yang menakjubkan. Bermula dari sejarah
Langkasuka yang ditemukan di dalam naskah India dalam bahasa Jawa. Bahwa
dalam Nagarakartagama tahun 1365 Kerajaan Langkasuka berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, di bawah kendali dua kerajaan besar ini
akademisi dari Universitas Songkhla Pattani, Peerajot Rahimmula, menyimpulkan
bahwa asal-usul orang-orang Patani adalah dari suku Jawa Melayu bermula pada
abad 8 dan 9 M. Pernyataan ini muncul dari hubungan komersial yang melibatkan
kerajaan Sriwijaya. 53 Dengan demikian, bahasa Melayu dan adat istiadat Melayu
yang digunakan oleh masyarakat Patani membuktikan, bahwa benar adanya
pengaruh dan peranan besar Kerajaan Sriwijaya dalam konteks historis identitas
‘Melayu’ bagi masyarakat di Patani.
Berdasarkan fakta sejarah di atas, dengan demikian, term Jawi sangat
dekat dengan istilah “Jawa” (sebuah pulau di Indonesia), dan istilah Jawi tidak
hanya untuk masyarakat Melayu Patani, melainkan bisa jadi ditujukan kepada
52
Seni Mudmarn, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi
Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.339
53
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.36-37
26
orang-orang yang ada di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera, dan kelompok
lain yang ada di Malaysia. Namun, ketika Islam mulai tersebar dan mendominasi
di daerah ini, term Jawi yang semula sama dengan sinonim Melayu, mengalami
pergeseran makna. 54
Patani dalam konteks sekarang, adalah sebagai provinsi selatan di
Thailand. Masyarakat Thai yang berada di utara menyebut masyarakat yang
beragama Islam dengan istilah Khaeg 55 yang berarti orang asing atau orang luar
sebagai pengunjung atau tamu. 56 Pada masa raja-raja, istilah khaeg atau khaek
atau khake digunakan dalam deskripsi Melayu-Muslim di selatan pada akhir abad
19 M, mencerminkan konflik politik dari Melayu-Muslim di Thailand Selatan.
Sebetulnya, istilah khaek sudah dianggap tidak pantas dan menghina orang-orang
Muslim karena ia menciptakan rasa penghinaan dan jarak sosial di antara berbagai
54
Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi (Thailand)”,
Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.234, mengenai istilah Jawi para akademisi banyak
yang berpendapat seperti Denys Lombard, mengatakan bahwa istilah Jawi ditujukan bagi Umat
Islam di Asia Tenggara, merupakan sinonim dari Melayu-Muslim, meskipun sebelumnya hanya
ditujukan bagi orang-orang Indonesia dan Malaysia. Juga merupakan salah satu penulisan bahasa
Melayu yang ditranskip ke dalam dua cara, yaitu konteks baru karakter roma (baso rumi), dan
konteks tua huruf Arab (baso jawi), artinya Jawi merujuk pada skrip Arab untuk menulis bahasa
Melayu.
Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa istilah “Jawi” memang sudah lama dipakai oleh
masyarakat Melayu-Pattani untuk menunjukkan identitas mereka. Namun, dalam konteks Pattani
yang disebut Jawi adalah dialek, sedangkan gaya penulisannya disebut Sura’jawi, dan Basojawi
untuk bahasa lisan mereka, dan Orejawi untuk identitas perorangan. (hal.237 dan 251)
55
Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim Melayu di
Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.297. Thanet Aphornsuvan menyebutnya
dengan ejaan Khaek, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat
University, 2003, hal.5. Lihat juga dalam Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme
Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.46, menyebutnya dengan ejaan Khake.
56
Menurut Michel Gilquin, penyebutan ‘tamu’ (bahasa Inggris: guests) pada awalnya
hanya untuk memanggil Muslim dari Malaysia, Pakistan, India, atau Timur Tengah, selanjutnya
mengalami pergeseran makna dengan memasukkan Cham dan Yunannese Muslim dan dengan
demikian menjadi istilah penutup bagi seluruh umat Islam. Namun pergeseran makna ini dianggap
menunjukan kesulitan yang fundamental. Lihat Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”,
Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.184 dalam The American Journal of Islamic
Social Sciences 24:2, hal.110.
27
ras dan agama. 57 Istilah Melayu-Muslim dalam bahasa populer dengan istilah
Thai-Muslim atau Thai-Islam. 58 Istilah ini lebih resmi diberikan oleh pemerintah
Thailand, yaitu pada tahun 1940 masa Phibul Songhkram. Tetapi sebutan ini
menyinggung perasan sebagian dari Melayu-Muslim Patani, karena ‘Thai’ berarti
“orang Siam”, meskipun terdapat sejumlah Muslim berasal dari Pakistan, India,
Cina dan Siam di Thailand, namun komunitas Melayu Muslim adalah mayoritas
dan mereka menganggap penyebutan nama Thai-Islam atau Thai-Muslim
hanyalah untuk pengaburan identitas budaya Melayu-Muslim Patani. Selain itu,
Muslim Patani menganggap diri mereka adalah pribumi, karena mereka telah
hidup semenjak 1668 ketika Kesultanan Kelantan dan Kesultanan Patani
mengendalikan dan menguasai daerah ini, namun akibat klaim dan aneksasi
Kerajaan Siam gagasan mereka sebagai tuan rumah bergeser menjadi sebagai
tamu atau pengunjung. 59
C. Situasi Politik Patani
Melacak proses awal historis Patani bisa dilihat dari sejarah Kerajaan
Langkasuka yang bercorak Hindu-Budha.(Lihat kembali catatan kaki halaman
21). Langkasuka tidak terdengar lagi sekitar akhir abad 13 M, menuju awal abad
14 muncullah nama Patani sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam, rajanya yang
57
Thanet Aphornsuvan, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.5.
58
Patrick Jory, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn 2006,
hal.24
59
Erni Budiwanti, “Forced Cultural Assimilation and it’s Implication fot The
Continuation of Pattani’s Muslim Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State
Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.113-114
28
pertama masuk Islam bernama Phya Tu (Piyatu) Nakpa dan mengganti namanya
setelah masuk Islam, Sultan Ismail Syah. 60 (Lihat lampiran 1)
Islamisasi Patani banyak menggantikan kebudayaan Hindu-Budha, dan
letak geografis yang berada di Semenanjung Malaya, sehingga struktur sosialpolitik Patani adalah khas masyarakat Melayu. 61 Hal ini bisa dilihat dari sistem
politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Antara lain kepala pemerintahan disebut sultan, sultan
sekaligus menjabat sebagai kepala agama. Di setiap kabupaten (daerah) ada
pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang
bertanggung jawab kepada keputusan penting seperti deklarasi perang dan
menandatangani perjanjian. Di tingkat kota (negeri), terdapat pejabat keliling dari
kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah,
seperti bendahara (perdana menteri) sebagai kepala eksekutif pemerintahan,
temenggong (menteri perang) yang bertanggung jawab menjaga ketertiban
sekaligus kepala polisi dan komando upacara, laksamana (admiral) sebagai
komandan kapal perang, bendahari (bendahara) yang mengendalikan pendapatan
negara dan peralatan istana, shahbandar (master pelabuhan) yang mengelola pasar
dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62
Selain hierarki sultan, Patani juga memiliki hierarki otoritas keagamaan
berdasarkan hukum Islam (syariah). Sultan memiliki mufti sebagai konselor
utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa
60
Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa
Jawi, hal.15.
61
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39
62
Ibid. hal.40
29
dan interpretasi al-Quran, dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan
keluar dari aturan syariah. Di bawah mufti, terdapat seorang kadi sebagai hakim
Islam dan pensehat keagamaan kepada bupati, imam, khatib dan bilal. 63
Patani abad 14-15 M sudah dikenal sebagai bagian wilayah cakupan
regional dari Kedah dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Nakhon Si
Thammarat (negara-negara Ligor). Dalam Hikayat Patani, Patani zaman Ligor
bernama Wurawari dengan ibukota Kota Mahligai dengan raja Phya Tu Kerab
Mahayana, faktor buruknya akses hubungan ekonomi dan politik, akhirnya Phya
Tu Antara anak Phya Tu Kerab memindahkan ibukota ke wilayah Patani karena
lebih dekat dengan pantai. Pada tahun 1395 hingga 1398, Nakhon Si Thammarat
jatuh ke tangan Ayuthia, yang dipimpin oleh raja Rama Cau Sri Bangsa, dengan
begitu negara-negara di bawah Ligor pun jatuh ke tangan Ayuthia. 64
Asumsi ini berdasarkan fakta, bahwa pada abad 13 orang-orang Thai telah
membentuk suatu kekuasaan baru ke wilayah selatan dan berkompetisi dengan
Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Malaka, namun kekuatan Thailand berhasil
bertahan hingga abad 16 M, dan akhirnya Kerajaan Thai berhasil menjalin
hubungan dengan wilayah di Semenanjung Malaya seperti Patani, Kelantan,
Kedah, Terengganu, dan Perlis. Terutama ketika kekalahan Malaka ke tangan
Portugis, akhirnya memaksa Patani masuk ke dalam hubungan anak sungai
(sistem kerangka sungai) dengan Ayuthia, artinya meski Patani pada saat itu
sudah maju dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Patani, namun
kemajuan tersebut masih dianggap kecil oleh Kerajaan Siam, dengan begitu
63
Ibid.
Haji Abdul Halim Bashah (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani
Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.39
64
30
Patani sebagai Negara yang lebih lemah dibanding dengan Siam harus mengakui
supremasi raja Thailand. 65 Pengakuan ini terimplementasi ke dalam bentuk
perupetian atau sistem feodal, yaitu Patani harus mengirimkan secara simbolis
upeti Bunga Emas dan Perak sebagai tanda persahabatan dan kesetiaan dengan
Thailand. 66 Meski menjadi egara feodal, namun Patani masih memiliki hak
otonomi. Sistem perupetian ini berlangsung dari abad 13 hingga akhir abad 18 M.
Secara historis, kekuasaan Thailand terhadap Patani dilakukan dua jenis,
yaitu aturan langsung dan tidak langsung. Aturan langsung berarti mengirimkan
pejabat Siam untuk ditempatkan bersama penguasa Patani. Sedangkan, aturan
tidak langsung, membiarkan penguasa Patani memainkan peran lebih banyak
dengan tetap menjaga hubungan baik dan persahabatan melalui sistem upeti
tersebut. 67
Meskipun simbol upeti tersebut sebagai tanda persahabatan antara Siam
dengan Patani, namun para sultan Patani tidak ada yang menghendakinya.
Dilandasi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat dan hubungan
diplomatik dengan negara-negara di Asia Tenggara semakin baik, akhirnya Patani
di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah (Kerup Phicai Paina) putra dari Sultan
Ismail Syah membentuk suatu kekuatan baru bersama Kerajaan Johor, Pahang,
dan Kelantan pada tahun 1530-1540, dan berkesempatan menyerang Kerajaan
65
M. Ladd Thomas, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand,
ISEAS No. 28, April 1975, hal.,4. Lihat juga Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The
Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12
66
Moshe Yegar, Between Integration and Secession: The Muslim Communities of
Southern Philippines, Southern Thailand and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books,
2002, hal.74
67
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.12
31
Ayuthia tahun 1563 ketika sedang terlibat perang dengan Burma, di bawah
pimpinan Sultan Mudzafar Syah. 68 Dalam peperangan tersebut Sultan Mudzafar
Syah wafat dan dikebumikan di Kuala Sungai Chao Phra’ya (sungai yang ada di
negeri Siam). 69 Tahta pemerintahan Patani digantikan oleh adik Mudzafar Syah,
yaitu Sultan Mansyur Syah (1564-1572). Di bawah kepemimpinannya, perjanjian
damai pun digulirkan pihak Patani kepada pihak Ayuthia, dengan mengutus Wan
Muhammad. Atas dasar perdamaian tersebut, kemudian Patani menjadi wilayah
independen di bawah pengawasan pemerintah Siam.
Sultan Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Patik Siam, anak dari Sultan
Mudzafar Syah, ketika itu berumur 9 atau 10 tahun. Kepemimpinan Patik Siam
digantikan sementara oleh saudara perempuan ayahnya, bernama Siti Aisyah.
Sultan Patik Siam terbunuh di tangan Raja Bambang (saudara tiri Patik Siam)
pada tahun 1573. Pada peristiwa pembunuhan tersebut, Siti Aisyah ikut terbunuh.
Tahta pemerintahan Patani, kemudian digantikan oleh Sultan Bahdur Syah, anak
dari Sultan Mansyur Syah. Sekali lagi, kepemimpinan Sultan Bahdur Syah pun
tak lama direbut oleh saudaranya Raja Bima dan berakhir dengan kematian Sultan
Bahdur.
68
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.39.
Kronik Kerajaan Ayuthia pada tahun 1564, mencatat bahwa Ayuthia terpaksa menyerah
terhadap Burma, lantaran Pattani yang sedari awal diminta untuk membantu Ayuthia melawan
Burma, berbalik melawan dan menyerang Ayuthia untuk menyerang Raja dan merebut istana.
Namun, raja Ayuthia yang bernama Phra’ Maha Cak Kapat berhasil meloloskan diri dan
bersembunyi. (Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.13)
69
Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam,
1994, hal.18
32
Konflik internal yang terjadi di tubuh Patani, mengakibatkan Patani tidak
memiliki pewaris tahta laki-laki, karena itu, pemerintahan Patani diambil alih oleh
raja-raja perempuan, yang dikenal dengan ‘Zaman Ratu-ratu’. 70 Kepemimpinan
ratu-ratu tersebut adalah Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu
Ungu (1624 – 1635), dan Ratu Kuning (1635-1651). Patani beberapa kali
mengalami penyerangan dari pihak Kerajaan Ayuthia. Serangan pertama terjadi
tahun 1603, namun usaha tersebut dapat dipatahkan oleh Patani. Semasa
pemerintahan Ratu Biru, hubungan dengan negera-negara Melayu, kecuali Johor
semakin dieratkan sebagai wujud pertahanan politik Patani, dan beberapa kali
serangan dari pihak Ayuthia dilancarkan, namun berhasil digagalkan.
Kekuasaan Patani diperluas hingga ke Kelantan dan Terengganu. Atas
ekspansi Patani ke dua wilayah tersebut, membuat Patani dikenal sebagai Negeri
Patani Besar (The Great Patani State) (Lihat lampiran 3). Kemudian, Pahang
menjadi bagian dari Patani, karena pernikahan antara Ratu Ungu dengan Sultan
Pahang. 71 Pada masa Ratu Ungu, Patani mengeluarkan kabijakan anti-Siam dan
menolak menghantarkan upeti Bunga Mas dan pemberian gelar Phrao Cao bagi
Ratu Ungu.
Peperangan besar dengan Siam di bawah Raja Phrasat Thong kembali
terjadi, serangan pertama tahun 1630 dan serangan kedua tahun 1633-1634. Dua
tahun berselang, Siam kembali merencanakan serangan atas Patani, tetapi berkalikali serangan tersebut digencarkan, namun pihak Siam selalu mengalami
70
Ibid. hal.20
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.42
71
33
kekalahan. Menurut Nik Annuar, Patani memiliki kapasitas kekuatan menentang
Siam. Sementara Songkhla yang diberi tanggungjawab oleh Siam untuk
mengawasi daerah selatan termasuk Patani, tidak memiliki cukup tentara untuk
mengawasi gerakan otonom Patani. 72 Siam mengupayakan perdamaian dengan
Patani setelah kampanye militer besar-besaran tahun 1632. Atas nasehat Belanda,
akhirnya Ratu Kuning bersedia menerima kembali gelar Phrao Cao dan
meneruskan tradisi pengiriman upeti Bunga Mas. Pemberontakan terakhir Patani
terhadap Ayuthia meletus kembali ketika ibukota Ayuthia, Burma, diserang Patani
pada tahun 1767. 73 Setelah zaman ratu-ratu, penerus tahta kerajaan Patani
digantikan oleh raja-raja keturunan Kelantan dari tahun 1688 hingga 1729.
Berakhirnya dinasti Kelantan, Patani mengalami kekacauan politik perebutan
kekuasaan. Menanggapi hal tersebut, akhirnya, Siam mengangkat Sultan
Muhammad sebagai raja Patani. Pada 1779, sultan Muhammad diminta oleh Siam
untuk membantu menyerang Burma, namun sultan Muhammad menolaknya. Hal
ini memicu Phraya Chakri's menyerang Patani. Putera Surasi adik dari Phraya
Chakri dibantu oleh Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan
Songkhla supaya menyerang Patani pada 1785, 74 dan berakhir dengan kematian
sultan Muhammad.
Pemberontakan-pemberontakan Patani terhadap Siam, tak ayal membuat
raja-raja Siam bersikap lebih tegas dan keras. Ketika kekuasaan Ayuthia berakhir
72
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi:
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.3
73
S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107
(February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.4
74
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi:
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4-5
34
akibat serangan Burma tahun 1767 dan digantikan oleh sebuah kerajaan baru
berpusat di Bangkok, bernama Kerajaan Siam, dimulai tahun 1785-1786 Siam
kembali bangkit dan berusaha membuat kebijakan yang lebih tegas untuk Patani,
dengan menganeksasi pemerintahan kesultanan Patani. Tahun 1785, Siam
menghapus sistem anak sungai terhadap Patani, Kedah, Kelantan, dan
Terengganu. 75 Raja Patani berikutnya adalah Tengku Lamidin, beliau dilantik
oleh Siam. Dari tahun 1817 sampai 1842, Patani telah diperintah oleh dua orang
raja keturunan Melayu, yaitu Tuan Sulong (anak raja bendahara Kelantan) dan
Nik Yusof. Tahun 1899, Abdul Kadir Kamaruddin diangkat menjadi raja Patani,
sekaligus menjadi raja terakhir dari kerajaan Patani. Abdul Kadir Kamaruddin
adalah keturunan dari Tengku Puteh yang menikah dengan putri Kelantan.
Jelaslah, bahwa Patani dan Kelantan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat
erat.
Pemberontakan terakhir Patani terjadi tahun 1808. Tahun 1816 raja Rama
I berhasil menaklukkan Kerajaan Patani, kemudian menerapkan peraturan ‘divide
and rule’ dan memisahkan Patani menjadi tujuh provinsi yaitu, Pattani, Saiburi
(Teluban), Nongchick, Yaring, Yala, Rahman, dan Ra-ngae. Secara administratif
dipimpin oleh para penguasa setempat di bawah kendali Bangkok, sebagai upaya
efektif dalam mengontrol pengumpulan pendapatan dan pajak daerah.76 Namun,
peraturan ini tidak menunjukkan stabilitas politik yang efektif. Ketujuh negeri ini
kecuali Yaring, berusaha melakukan pemberontakan tahun 1832, namun dapat
75
Ibid.
Thitinan Pongsudhirak, “The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand”,
dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan,
USA: MPG Books, 2007, hal.266-267.
76
35
dipatahkan, penguasa Patani dan Yala mundur ke Kelantan. Sementara penduduk
Rahman, Ra-ngae, dan Saiburi (Teluban) ditawan dan dikirim ke Bangkok. 77
Tahun 1838 empat wilayah Melayu bersama Kedah melakukan pemberontakan
namun dapat digagalkan, kecuali Pattani, Yaring dan Saiburi tetap setia kepada
Bangkok, dan berakhir dengan dipecahnya Kedah menjadi empat kerajaan, yaitu:
Kedah, Kabangpasu, Perlis, dan Satun.
Kemudian, sistem Thesaphiban (Undang-Undang Administrasi Daerah)
diperkenalkan tahun 1897 dan diprakarsai oleh raja Chulalongkorn (Rama V,
1868-1910). Thesaphiban adalah upaya mereformasi kebijakan sentralisasi
administrasi atau sistem pemerintah terpusat. Kebijakan mengubah birokrasi
tradisional ke dalam birokrasi Thailand, sistem ini meliputi semua kelompok lokal
dalam administrasi dan birokrasi kerajaan, 78 pejabat-pejabat lokal di Patani
digantikan oleh gubernur (Khaluang Thesaphiban) yang ditunjuk langsung oleh
raja Siam di Bangkok, agar kontrol terhadap Patani semakin kuat dan ketat. 79
Peraturan ini dinilai efektif dengan bagi Patani karena secara geografis dan
administratif sangat strategis. 80
D. Situasi Ekonomi Patani
77
Uthai Dulyakasem, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus
Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Taufik
Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.246
78
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.
80
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54
36
Perdagangan selalu menjadi pemicu terjadinya proses Islamisasi dan
perkembangan politik kerajaan-kerajaan maritim. Perdagangan jugalah yang
menjadi faktor penting hubungan Melayu-Muslim Patani dengan Kerajaan
Ayuthia. 81 Pada abad 14 dan 15 wilayah Patani dikenal sebagai pusat
perdagangan dan penyebaran Islam. Hubungan perdagangan Patani tidak hanya
dengan egara tetangga di Asia Tenggara, melainkan lebih meluas lagi dengan para
pedagang Arab, Cina, India dan Eropa. Hubungan tersebut menunjukkan
kemapanan politik dan ekonomi Patani pada waktu itu. 82 Peranan pelabuhan
Pattani yang strategis acap kali dijadikan tempat persinggahan para pedagang dari
Eropa, Arab, Cina dan India. Bahkan semakin populer ketika Malaka berhasil
jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, karena sistem bea cukai yang lebih mahal
dari pada Patani.
Menurut Paulus Rudolf
Yunatrio, hubungan-hubungan dagang yang
terjalin berawal dari hubungan antara para pedagang Muslim dan Cina dengan
Patani waktu itu, karena keduanya sangat berhubungan dengan proses penyebaran
81
Omar Farouk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam”, dalam
Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Muzani, Jakarta: LP3ES,
1993, hal.27. Salah satu peristiwa paling penting adalah ketika Malaka dikuasai oleh Portugis,
dengan Malaka kehilangan relevansinya sebagai salah satu pusat perdagangan regional, bahkan
berubah menjadi pos militer. Beberapa pengamat termasuk Anthony Reid, sepakat bahwa umat
Islam adalah yang paling kuat tertanam dalam perdagangan streaming melalui Ayutthaya. Posisi
inilah yang dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mendukung proses komersial dengan menempatkan
umat Islam (Patani) dalam posisi dan peran penting di istana, sebagai menteri, pedagang dan
penasehat dibawah kuasa Raja. Lihat Yoneo Ishii, “Thai Muslims and the Royal Patronage of
Religion,” Law & Society Review 28, no. 3 (1994): 454-455 dalam Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr.
Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005.
82
Penempatan penting umat Islam Melayu di kerajaan Ayuthia pada akhirnya membawa
perkembangan yang signifikan bagi perekonomian Patani. Ada dua konsekuensi jika menanggapi
hal ini, pertama, Ayuthia sebagai pusat perdagangan internasional menjadi sangat signifikan
berdasarkan komoditi dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa mengalir ke Ayuthia. Kedua, Patani
sebagai kerajaan kecil memanfaatkan hubungannya dengan Ayuthia yang memungkinkan
perekonomian Patani mengalami perkembangan dan menjadi pusat perdagangan yang kuat,
menyaingi Malaka ketika jatuh ke tangan Portugis.
37
Islam. Hubungan ini mendorong terjalinnya hubungan dagang dengan Arab dan
India, pedagang yang juga melakukan eksplorasi ke dalam perdagangan regional.
Patani menjadi pusat perdagangan kayu besi, 83 dan menjadi gudang perdagangan
bagi masyarakat setempat yang menjual produk rempah-rempah yang
diperdagangkan untuk tekstil Cina dan keramik. Selain itu, Patani menjadi fokus
bagi pedagang Arab dan India yang membawa tekstil mereka. Pedagang Patani
menjual produk dagangan mereka sendiri seperti lada hitam, bahan makanan lain
dan emas. Tindakan perdagangan yang dilakukan oleh pedagang Patani
diperpanjang ke selatan Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa sampai Sulawesi
(Makassar). 84
Kemajuan Patani lebih bergatung pada sistem pelabuhan bebas. Setiap
kapal yang datang dari Asia Barat dan Eropa dikenakan bea cukai hanya 6%, dan
satu persen pemasukan untuk kas negara. Sedangkan kapal-kapal dari Asia
Tenggara tidak dikenakan biaya apapun, apabila melakukan transaksi penjualan
sebanyak 25% dari harga muatan kargo dengan harga pasaran, dan mendapat
potongan 20%. 85
Patani sebagai pusat perdagangan semakin popular manakala dipimpin
oleh raja-raja perempuan. Selain sistem beacukai yang lebih murah, letak
geografis Patani semakin merangsang para pedagang dari Eropa dan Jepang
sekitar abad 16 hingga 17 M. Portugis tiba di Patani pada tahun 1517 dalam
83
Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast
Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.14
84
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.38-39
85
Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.19-23
38
rangka melakukan perdagangan rempah-rempah, kemudian tahun 1602 Belanda
juga memulai mendirikan basis perdagangan di pelabuhan Patani. Selanjutnya,
Inggris juga ikut dalam kegiatan perdagangan di sini. 86 Terbukti pada 22 Juni
1612 Inggris mengutus seorang utusan untuk menyampaikan surat Raja James I
dalam rangka mengadakan perjanjian perdagangan. Hal ini menimbulkan konflik
antara Belanda dan Inggris dan mengakibatkan perang pada 1623 yang
dimenangkan Belanda. Hubungan komersial antara Patani dengan Belanda
meningkat, mendukung harapan bagi Belanda untuk mendapatkan beras dan
makanan yang dibutuhkan. Selain itu, tahun 1538, pelabuhan Patani juga banyak
dikunjungi oleh para pedagang dari Jepang. Hubungan komersial tersebut ditandai
ketika Raja Tokugawa Iyeyasu (1542-1616) mengirimkan utusan untuk
mengantarkan hadiah kepada Raja Hijau, tahun 1599 Patani membalas kunjungan
tersebut. 87
Pada masa pemerintahan Raja Kuning, sebuah Syarikat Perkapalan Raja
Diraja Patani didirikan, yang berperan untuk mengendalikan perdagangan negara
Patani dengan antar bangsa. Melalui syarikat ini, barang dagangan hasil produksi
masyarakat Patani dapat diekspor dan diperdagangkan. Hal ini, semakin
menunjukan peradaban yang dimiliki Melayu Patani mampu diperhitungkan.
(Lihat lampiran 5 dan 6) Tidak heran, terjadi persaingan antara pedagang Eropa,
yang masih berpedoman pada sistem perdagangan negara masing-masing hingga
terjadi kekacauan. Persaingan antara Belanda dan Inggris mengakibatkan kedua
belah pihak menutup gedung perniagaan mereka di Patani.
86
87
Ibid. hal.39
Ibid. hal.23
39
Namun, dengan peristiwa tersebut, Patani tidak kehilangan daya tarik
sebagai pusat perdagangan terpenting. Karena Patani masih memiliki kekuatan
letak yang strategis, sehingga para pelaut yang melintasi Laut Cina sering
bersinggah di Patani. Berakhirnya pemerintahan Ratu Kuning dan konflik serta
peperangan yang terjadi dengan Kerajaan Siam, mempengaruhi perekonomian
Patani semakin menurun. Para pedagang asing mulai meninggalkan daya tarik
mereka berdagang di Patani, dan berpindah ke daerah lain seperti ke Malaka dan
Singapura. Selain faktor internal Patani, munculnya daerah perdagangan baru di
Malaysia dan Kepulauan Indonesia, turut memperburuk situasi perekonomian
Patani. Kondisi tersebut berlangsung sangat lama antara 1842 dan 1900. 88
Meskipun kini Patani memiliki luas yang relatif kecil, namun kaya akan
sumber daya alam. Terdiri atas lembah yang subur dan daerah penangkapan ikan,
baik di sepanjang pantai Laut Cina Selatan di sebelah timur dan Laut Andaman di
sebelah barat. Wilayah Patani juga memiliki cadangan mineral termasuk timah,
emas, wolfram, mangan dan gas alam. Sebagian besar Melayu-Muslim Patani
wiraswasta dan memiliki perkebunan sendiri seperti tanaman karet, kelapa, dan
tanaman tropis seperti rambutan dan durian, sebagian lainnya menanam padi atau
nelayan. 89 Namun, pedagang Melayu-Muslim Patani lebih dominan pada
perdagangan timah dan ternak.
Namun, setelah Patani ditaklukkan Kerajaan Siam (Thailand) kondisi
perekonomian rakyat Muslim Patani semakin buruk dan menurun, secara bertahap
88
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.47
89
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.36-37
40
Patani jatuh ke dalam pusaran hegemoni Thailand dan semenjak abad 20 status
Patani sebagai perbatasan Thailand tegas disegel. Hal ini mengakibatkan kondisi
ekonomi Melayu-Muslim Patani semakin terpuruk akibat peran ekonomi
didominasi oleh etnis Cina dan Thai atas kebijakan Monthon Patani masa raja
Chulalongkorn. 90 Selain kebijakan pemerintah Thailand mendiskriminasi peran
ekonomi Melayu-Muslim Patani, kemajuan teknologi dan konstruksi jalan kereta
api serta komunikasi telegraphik memiliki dampak besar terhadap sektor timah
juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ekonomi
Melayu-Muslim Patani. Umumnya Melayu Patani masih menggunakan sarana dan
transportasi tradisional untuk peternakan dan pertanian, kondisi ini bila jauh
dibandingkan dengan sarana dan transportasi yang digunakan etnis Cina dan Thai.
Sehingga sulit bagi mereka menjangkau transaksi dagang dengan masyarakat di
luar mereka, belum lagi kebijakan pemerintah dalam membeli hasil pertanian dan
ternak mereka dengan harga yang sangat rendah. 91
Sebetulnya, pemerintah telah mengenalkan program-program tertentu
kepada Melayu-Muslim Patani, namun mereka menganggap proyek pemerintah
tersebut adalah sebagian rencana untuk menenggelamkan penduduk Muslim dan
membuat wilayah Patani (Pattani) didominasi Buddhis. 92 (Lihat Peta pada
lampiran 7). Kegagalan ekonomi penduduk Patani ditanggapi oleh pemerintah
dengan tidak bertanggung jawab, dengan alasan dana yang tidak memadai.
90
Tesis oleh Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin
and Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, National University of Singapore, 2004,
hal.3
91
Ibid. hal.205-206.
92
W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays
of Southern Thailand, Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39.
41
Alhasil, perekonomian masyarakat Patani semakin tergeser, akan tetapi kekayaan
alam mereka dieksploitasi besar-besaran oleh pemerintah pusat dengan alasan
sebagai pembangunan infra struktur.
42
BAB III
PENGERTIAN DAN KONSEP INTEGRASI
A. Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah Thailand (Siam)
Integrasi pemerintah Thailand dibagi menjadi tiga. Pertama, integrasi
politik dan budaya seperti integrasi administrasi 1902, perjanjian Anglo-Siam
tahun 1909, kudeta atas monarki absolut dari Siam pada tahun 1932, dan politik
nasionalisme dari Marshall Phibul Songkhram (1938-1944). Kedua, integrasi
politik intelektual Islam dan tradisional lembaga meliputi: mengakomodasi politik
Islam oleh Undang-Undang Islam Binaan 1945, integrasi politik ulama tradisional
Islam, sekularisasi lembaga-lembaga tradisional Islam, dan program negara untuk
mengatasi separatisme. Ketiga, pasca integrasi kebijakan yang meliputi kebijakan
negara untuk mengatasi separatisme dan gangguan untuk keamanan sehubungan
dengan kebangkitan fundamentalisme Islam. 93 (Lihat tabel pada lampiran 8)
Secara komprehensif integrasi Thailand harus dilihat dari latarbelakang
pembentukan konsep nasionalisme dan modernisasi negara bangsa. Pandangan ini
mencerminkan semangat kalangan Thai elit pada tahun 1880-1900an akibat
dilanda krisis baik dalam bidang politik dan ekonomi pada tahun 1893 sehingga
berusaha mentransformasi pembudayaan diri (self-civilizing). Dalam sejarah
konvensional
Siam,
proses
pembudayaan
diri
tersebut
adalah
upaya
menyelamatkan kemerdekaan kerajaan dan negara dari penjajahan bangsa Eropa.
Siam menginginkan kekuasaan mutlak sebagai negara kerajaan yang independen
93
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.63
43
dan mendapatkan pengakuan dari bangsa Eropa. Akibatnya, Siam menekankan isu
nasionalisme untuk menegaskan kembali kontrol negara dan supremasi terhadap
kelompok minoritas. 94
Konsekuensi dari nasionalisme Siam mendorong
serangkaian proses integrasi terhadap kelompok minoritas, dan memperkenalkan
konsep modernisasi dan westernisasi ke Siam. Menurut Moufe komunitas politik
tidak secara alami terjadi dalam sebuah kelompok politik dengan desain dan
rekonstruksi dengan kelompok tertentu dalam sebuah komunitas politik. 95 Artinya
suatu kelompok minoritas terintegrasi ke dalam kelompok mayoritas tidak terjadi
begitu saja, melainkan ada suatu proses dan tahapan serta latar belakang yang
menyebabkan integrasi tersebut terjadi.
Kebijakan integrasi Siam (Thai) atau konsep modernisasi dan westernisasi
Siam dengan memasukan ide pemerintahan Barat dan administrasi, perubahan
ekonomi ke pasar dan ekonomi tunai. 96 Serangkaian kebijakan ini disebut
integrasi politik administrasi atau Thesaphiban, terjadi pada dua tingkatan secara
suprastruktural maupun struktural. Pada tingkatan suprastruktural mendorong
pengembangan ideologi nasionalisme dan konsep suatu negara, sedangkan dalam
struktural integrasi mencakup dalam bidang politik dan ekonomi melalui
kebijakan-kebijakan negara dan program-program negara. Pada tingkat struktur
terjadi kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, ditandai dengan
94
Thongchai Winichakul, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation,
Department of History, University of Wisconsin-Madison, hal.4
95
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.61
96
Esai Somphong Amnuay-ngerntra, “King Mongkut’s Political and Religious Ideologies
Through Architecture at Phra Nakhon Kiri”, Asia-Pacific CHRIE (APacCHRIE) Conference,
Kuala Lumpur, Malaysia, 26-28 May 2005, hal.72
44
migrasi paksa, permintaan otonomi daerah, dan kesenjangan dalam distribusi
sumber daya yang didominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok
minoritas dalam segala aspek, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial
yang menjadi pilar utama sebuah bangsa sehingga membentuk masyarakat
majemuk. 97
Cara integrasi pemerintah Siam selain mereformasi administrasi negara
adalah dengan cara tradisional melalui pengintegrasian pimpinan agama, terutama
agama Budha ke dalam hierarki keagamaan nasional. Cara ini sekaligus
membuktikan bahwa kekuasaan sekuler yang diwakili raja berusaha memanipulasi
dan mengintegrasikan ke dalam satu hierarki agama yaitu agama Budha. 98 Artinya
ada kesan bahwa landasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah Siam berasal dari
asas dan konsep Budha. Upaya ini sebetulnya demi memecahkan persoalan dalam
hubungan antar golongan etnis. Namun, jika suatu kebijakan negara berlandaskan
pada konsep suatu agama, maka ujung persoalan ini menjadi sebuah konflik
agama yang tidak bisa dielakkan lagi. Disisi lain Davis Brown menilai bahwa
konsep integrasi Thai merupakan langkah konsolidasi kekuasaan pemerintah Thai
terhadap Patani dan mewujudkan mono-ethnic character of the state (etnik
97
Ibid.
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7. Pandangan ini juga diperkuat oleh D.G.E. Hall, bahwa nasionalisme
Thai adalah sebuah propaganda belaka, demi untuk mengklaim bahwa sebetulnya mereka benarbenar mencintai Budha sebagai ibu pertiwi. Demikian juga Keyes menyepakai bahwa, interpretasi
Raja Chulalongkorn bersama penerusnya terhadap nasionalisme Thai adalah sebuah warisan
nasional rakyat Thailand, yaitu satu bahasa (bahasa Thailand), satu agama (Budha), dan hubungan
dengan kerajaan (Chakri Monarki), baca Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards
Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in
Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67
98
45
tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand. 99 Inilah yang terjadi ketika
pemerintah Siam mencoba menerapkan suatu kebijakan integrasi terhadap etnis
Melayu-Muslim di selatan
B. Pandangan Melayu-Muslim Patani terhadap Integrasi
Sejak semula hubungan Melayu-Muslim Patani dengan kerajaan Siam
sangat buruk, baik secara sosial politik maupun ekonomi. Bermula dari peraturan
Siam bagi status anak sungai, yang mengharuskan Patani mengirimkan upeti
berupa Bunga Mas kepada Siam. Sistem upeti tersebut menandakan kesetiaan
Patani terhadap Siam, namun pada akhirnya Patani merasa terjajah dan menentang
Siam. Ketika kerajaan Siam berupaya membuat kebijakan-kebijakan terhadap
Patani dengan cara mengintegrasikan Patani secara politik, sosial-budaya,
ekonomi dan teritorial, sikap Patani semakin menentang kekuasaan Siam pada
waktu itu. Menurut Nik Anuar Nik Mahmud, menanggapi kebijakan integrasi
pemerintah Siam terhadap Patani tidak memiliki bukti konkret, bahwa Siam
selama ini hanyalah mengklaim Patani menjadi hak dan kewenangan dari Siam,
padahal sejak awal berdiri Patani memiliki otonomi pemerintahan sendiri.
Fenomena integrasi nasional yang diupayakan pemerintah Thailand
dipandang Muslim Patani sebagai disintegrasi bagi mereka, karena Patani dengan
Siam (Thailand) memiliki dasar kosmologi yang berbeda. 100 Menurut Surin
Pitsuwan, Muslim Patani di selatan Thailand, tidak menginginkan diintegrasikan
99
Davis Brown.. “From Peripheral Communities to Ethnic Nations". Pasific Affairs 61,
1988, hal.51
100
Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of Southern Thailand
Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor: Amit
Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 1009, hal.47
46
ke dalam negara Thai. Mereka tidak ingin kehilangan otonomi agama dan budaya
mereka. Jika konsep integrasi Thailand tersebut merupakan tindakan manifestasi
dari kosmologi Budha, Melayu-Muslim Patani tidak ingin menjadi bagian dari
tujuan manifestasi tersebut. 101
Karena itu, Melayu-Muslim Patani di Thailand Selatan, merasa
terperangkap di tengah-tengah revitalisasi dan kebangkitan ideologi aksi politik
yang menjadi dilema bagi mereka. Bagi mereka hanya ada dua pilihan, menjadi
bagian dari negara Thailand dengan menciptakan karakteristik baru yang tidak
mereka sukai, atau menentang dengan kekerasan campur tangan negara
Thailand. 102 Dengan demikian, sampai kapanpun Melayu-Muslim Patani tidak
akan pernah menerima konsep dan kebijakan integrasi pemerintah Thailand
meskipun dengan alasan nasionalisme bangsa, karena mereka berbeda dengan
bangsa Thailand.
Serangkaian perdebatan dan penolakan kebijakan integrasi pemerintah
Siam (Thailand) terhadap golongan Melayu-Muslim di selatan dipandang sangat
kontradiktif oleh Carlo Bonura Jr., kontradiksi tersebut meliputi dua hal. Pertama,
berkaitan dengan tingkat institusionalisasi elite politik Islam, bahwa tidak adanya
lembaga yang menaungi aspirasi politik Muslim elite sehingga mereka tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Kedua, kontradiksi berkaitan
dengan pengembangan masyarakat demokratis politik dan politik masa lalu dalam
konsep sebuah negara bangsa. Bahwa pemerintah Siam (Thailand) tidak mengakui
sejarah politik Muslim yang memiliki identitas pan-Islam dan budaya Melayu
101
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7-8
102
Ibid. hal.9
47
sehingga mereka tidak kehilangan kedaulatan mereka sebagai kelompok Muslim,
dan ketegangan antara kelompok mayoritas dengan minoritas dalam upaya
integrasi dapat diatasi. 103
C. Konsep Integrasi Perspektif PBB
Sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kualitas interaksi dalam
hubungan masyarakat, maka sebagai perangkat heuristik dalam menjalankan
proses ke arah hubungan yang baik tersebut diperlukan tahapan-tahapan integrasi.
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Sekretariat PBB, merancang tahapan
tersebut dengan mengidentifikasi enam tahap integrasi sosial. Integrasi sosial
dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan sosial, karena hubungan
sosial inilah yang menentukan arah integrasi yang diinginkan. 104 Hubungan sosial
memiliki tahapan sebagai berikut:
1) Tahap Fragmentation (fragmentasi), yaitu yang muncul dalam situasi
pelecehan, konflik bersenjata, dan gangguan sosial. Dalam hal ini,
hubungan sosial hancur (pada tingkat paling mendalam atau psikologis).
2) Tahap Exclusion (pengecualian), yaitu yang timbul di mana ada
penindasan atau kelalaian. Dalam kasus ini, hubungan sosial yang
asimetris, Sehingga strategi inklusi yang membangun kapasitas swadaya
dan mata pencaharian.
103
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.62
104
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html.
Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.
48
3) Tahap Polarization (polarisasi), apabila kelompok dapat memobilisasi.
Dalam kasus ini, hubungan sosial yang bermusuhan, agresif (paling
mendalam pada tingkat agama / identitas etnis), sehingga menimbulkan
mediasi / rekonsiliasi.
Tahapan-tahapan di atas masih memiliki tahap transisi, jika tahap
polarisasi belum memadai proses integrasi secara keseluruhan, maka transisi dari
polarisasi koeksistensi sangat penting. Hal ini menjadi fokus penting ketika ingin
memperbaiki dan menyembuhkan hubungan sosial untuk memperkuat proses
jalannya integrasi tersebut. Secara spesifik, gambaran agar hubungan sosial lebih
maju 105 adalah sebagai berikut:
1. Koeksistensi, yang muncul dengan toleransi perbedaan yaitu hubungan
sosial kemasyarakatan berkisar pada dialog pada sosial sipil.
2. Kolaborasi, pelebaran muncul dengan rasa keadilan sosial-ekonomi, yang
mengatakan, hubungan sosial mengakibatkan perencanaan pembangunan
partisipatif.
3. Kohesi muncul dengan kedamaian-budaya, artinya, dukungan hubungan
sosial penemuan atau penciptaan makna dan nilai bersama tetap
menghargai dan bahkan merayakan keragaman.
D. Pengertian Integrasi dan Konsep Integrasi Menurut Intelektual
Integrasi berasal dari bahasa Latin, yaitu interger yang berarti
keseluruhan. Dalam integrasi berarti terdapat bagian-bagian, unsur-unsur, faktor105
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html.
Diakses pada tanggal 13 Februari 2010, pukul 21:51.
49
faktor atau perincian-perincian yang telah digabungkan ke dalam bentuk
sedemikian intimnya sehingga menimbulkan suatu keseluruhan yang sempurna.106
Dengan demikian, integrasi merupakan suatu proses penggabungan dan
pembauran dengan menghilangkan jati diri yang khas. Sedangkan menurut
Ogburn dan Nimkoff, 107 integrasi adalah: “process where by individuals or
groups once dissimilar become similar, become indentified in their interest and
outlook.” (proses dimana oleh individu atau kelompok yang berbeda menjadi
sama, menjadi teridentifikasi dalam kepentingan dan pandangan mereka).
Integrasi memiliki beberapa aspek, seperti aspek horizontal (teritorial) dan
aspek vertikal (elite-massa). Kedua aspek tersebut dapat dikaji dari segi tujuan
integrasi, dari segi konsensus atau dari segi budaya politik. Juga sifat integrasi
dianggap sebagai suatu proses bukan sebagai suatu yang konstan, agama atau
ideologi salah satu aspek kuat dan menentukan dari proses integrasi tersebut. 108
Ogburn dan Nimkoff beranggapan bahwa integrasi memiliki relevansinya
dengan sistem norma sebagai unsur dalam mengatur tingkah laku suatu kelompok
dan keberhasilan dalam proses integrasi, unsur-unsur tersebut yaitu, saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya, mencapai konsensus mengenai normanorma sosial, dan norma-norma yang berlaku tetap konsisten sehingga
membentuk suatu struktur yang jelas.
106
Saafrudin Bahar, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97
107
Ogburn dan Nimkhoff, A handbook of Sociology, London: 1960, hal.101
108
Bahar Saafrudin, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1996, hal.97. Demikian juga, menurut Ogburn dan Nimkoff, integrasi merupakan
proses mental karena itu prosesnya berjalan tidak cepat. Lihat tulisan Ogburn dan Nimkoff yang
diambil dari Park dan Burgess, “It is a process of interpenetration and fusion in which persons and
groups acquire the memories, sentiments and attitudes of other persons or groups and by sharing
their experiences and history are incorporated with them in a cultural life.” (Astrid, S., Susanto,
Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.124)
50
Pun unsur-unsur tersebut sangat penting dalam memahami dan mengetahui
harapan dan tuntutan masing-masing kelompok masyarakat yang akan
diintegrasikan, sehingga kemungkinan integrasi lebih besar daripada disintegrasi.
Dengan begitu, integrasi memiliki tahapan, sebagai berikut: Accomodation
(akomodasi),
Cooperation
(kerjasama),
Coordination
(koordinasi)
dan
Assimilation (asimilasi).
Akomodasi adalah suatu pekerjaan aktual yang dikerjakan bersama-sama
individu atau kelompok walaupun mengalami perbedaan dan permusuhan. Dalam
fase ini, kemungkinan kerjasama ada karena ada suatu kepentingan yang
diakibatkan perbedaan paham di antara individu atau kelompok. Summer
menyebut tahap akomodasi sebagai “antagonostic cooperation”, dalam tahap ini
tercapai kompromi dan toleransi antara lawan yang sama-sama kuat. 109
Dalam proses integrasi kemungkinan terjadi konflik sangat besar, akibat
prasangka-prasangka yang terlalu lama dibiarkan begitu saja tanpa ada
penyelesaian atau reaksi untuk mengatasi kejadian-kejadian buruk yang akan
terjadi. Karena itu, tahap cooperation (kerjasama) dibutuhkan jika kemungkinan
terjadi konflik, dengan cara mengatur dan membagi-bagi pekerjaan dari pihakpihak yang bersangkutan, maka hal yang terjadi memungkinkan terbentuknya fase
solidaritas. 110 Jika tahapan ini telah dilalui dengan baik, maka tujuan integrasi
lebih meningkat di mana masing-masing kelompok mengharapkan dan bersedia
lebih untuk bekerjasama hingga mencapai fase koordinasi, sehingga mendorong
109
Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta,
1979, hal.125-126
110
Ibid. hal.126
51
terjadinya fase assimilasi 111 yang terkandung dalam isi pengertian daripada
integrasi menurut Ogburn dan Nimkoff di atas. Bahwa jelas dasar dari integrasi
adalah konsensus (kesepakatan dalam pendapat atau norma-norma).
Sebagian besar sosiolog menyatakan bahwa sebenarnya konsep integrasi
tidak secara jelas didefinisikan, namun dalam berbagai ilmu sosial konsep
integrasi sebagian besar mengacu pada konsep integrasi Parsons terutama
menggunakan metode pendekatan integrasi fungsional atau fungsionalisme
struktural.
Negara yang memiliki keberagaman karakteristik masyarakat seperti
Thailand rentan dengan konflik dan pertentangan. Menurut Clifford Geertz, ciriciri masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sistem
yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dimana masing-masing sub sistem
terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Lebih singkat Pierre L. Van den Berghe 112 menyebutkan beberapa
karakteristik sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni :
1) terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali
memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain,
111
Asimilasi adalah proses dalam mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus mempelajari
dan menerima kehidupan yang baru. Dalam hal ini kelompok yang diintegrasikan akan melalui
proses belajar menerima peraturan-peraturan formil yang didasarkan pada norma –norma
masyarakat yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Tercapainya fase ini, akhirnya akan
menciptakan intensitas integrasi secara normatif, artinya integrasi berjalan diatas kesamaan selera,
norma dan kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok. Jika integrasi terjadi pada
kelompok pendatang, perlunya pengakuan dari kelompok non-pendatang bahwa mereka sudah
menjadi bagian anggota dalam satu grup (in-group). Maka proses ini disebut sebagai penetrasi
yang ditinjau dari proses pengakuan. Baca Astrid, S., Susanto, Pengantar Sosiologi dan
Perubahan Sosial, Bandung: Binacipta, 1979, hal.127-128.
112
Pierre, L., van den, Berghe, “Dialectic and Functionalism: Toward a Synthesis”, dalam
N.J. Demerath III et.al.eds., System, Change, and Conflict, The Free Press, New York, CollierMcMillan limited, London, 1967, hal.43
52
2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga
yang bersifat non-komplementer,
3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap
nilai-nilai yang bersifat dasar,
4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok
yang satu dengan kelompok yuang lain;
5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
6) serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang lain.
Thailand merupakan negara yang memiliki karakteristik masyarakat
majemuk, akibat dari gagasan modernisasi negara bangsa pada abad 19 dan 20,
dan berdampak pada perubahan-perubahan sosial dengan diintegrasikannya
Negara Melayu Patani ke dalam negara bangsa Siam atau Thai, dan melahirkan
karakteristik sosial masyarakat berdasarkan etnis, budaya, dan agama.
Proses mengintegrasikan suatu kelompok masyarakat minoritas ke dalam
kelompok masyarakat mayoritas, cenderung berpedoman pada pendekatan teori
sistem sosial. Pendekatan ini memandang suatu masyarakat terintegrasi secara
fungsional ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Salah satu tokoh sosiolog yang
mengembangkan teori tersebut adalah Talcot Parsons (1902-1982), sosiolog
53
paling terkenal di Amerika Serikat. Dia menghasilkan sistem teoritis umum untuk
analisis masyarakat yang kemudian disebut fungsionalisme struktural.113
Teori fungsionalisme-struktural adalah salah satu perspektif dalam
sosiologi yang berkenaan dengan sistem sosial masyarakat yang memandang
masyarakat sebagai suatu sistem yang saling berhubungan dan memiliki timbal
balik, sekalipun integrasi terjadi tidak tercapai sempurna namun dasar sistem
sosial memiliki kecenderungan ke arah dinamis, melalui sistem sosial integrasi
mulai berproses meski terjadi ketegangan dan penyimpangan, kemudian
melahirkan perubahan-perubahan sosial secara gradual, dan yang terpenting
integrasi terjadi secara utuh atas hasil mufakat di antara masyarakat berdasarkan
nilai-nilai kemasyarakatan. 114
Dengan demikian, hal terpenting dalam proses integrasi adalah dengan
memperhatikan sistem sosial (norma dan nilai-nilai kemasyarakatan), yaitu
masing-masing secara individual saling berinteraksi dalam suatu situasi dan
memiliki kesepahaman yang sama secara kultural. Sebab, sistem sosial yang
terdapat dalam masyarakat adalah suatu sistem dari tindakan-tidakan dan
berkembang secara tidak kebetulan, namun berkembang di atas konsensus 115 dan
nilai standar masyarakat. Sistem sosial inilah, yang menjadi sumber
113
http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php. Diakses tanggal 25 Juni 2010,
pukul 10.27.
114
Talcott Parsons, Towards a General Theory of Action, Massachusetts: Harvard
University Press, 1962, hal.207-209. Lihat juga Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007, hal.48-49. Robert Nisbet menyatakan, bahwa fungsionalisme
struktural adalah teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial
115
Konsensus atau teori konsensus adalah teori yang memandang norma dan nilai sebagai
landasan masyarakat , memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial berdasarkan kesepakatan
diam-diam dan memandang perubahan sosial terjadi secara lambat dan teratur. Lihat George
Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah: Triwibowo Budi Santoso,
Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.116
54
berkembangnya integrasi sosial, juga unsur yang menstabilir sistem sosial budaya
itu sendiri. Karena menurut Parsons, sistem sosial akan selalu seimbang jika
menjaga Safety Valve (katup pengaman) yang terkandung dalam paradigma
AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latency.
Adaptation (adaptasi), yaitu proses menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan dengan transformasi pada setiap tindakan warga. Adaptasi dilaksanakan oleh
sub sistem ekonomi sebagai material untuk bertahan hidup, 116 saling berhubungan
dalam bidang ekonomi baik jasa, produksi dan distribusi, sebagai permulaan
adaptasi dan kebiasaan dengan suatu masyarakat.
Goal Attainment (pencapaian tujuan), subsistem ini berkaitan dengan
sistem kepemimpinan dalam politik. 117 Suatu sistem yang memiliki tujuan dalam
mengatur dan menyusun jika terjadi permasalahan-permasalahan dan keteganganketegangan yang menyebabkan ketidakseimbangan. Perlu diingat bahwa
penekanan Parsons adalah bukan pada tujuan individu (pribadi) melainkan pada
tujuan kolektif (bersama). Pencapaian tujuan inilah yang dimaksud tujuan
pencapaian tujuan, jadi persyaratan fungsi ini terpenuhi jika pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan cara mengambil prioritas dari sekian banyak
tujuan. 118
116
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta:
Kanisius , 2005, hal.59. Beberapa analisa Parsons dalam tulisan-tulisannya, menyatakan bahwa
sistem ekonomi dilihat sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab utama dalam persyaratan
adaptasi tersebut, melalui sumber-sumber alam diubah menjadi fasilitas yang dapat digunakan dan
bermanfaat bagi kepentingan individual dan bersama. Misalnya, makanan, pembangunan
perumahan, pembangunan rumah sakit, dan lain-lain. Baca Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi
Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135.
117
Ibid. hal.60
118
Menurut Parsons, tujuan individu berhubungan dengan tujuan masyarakat melalui
perannya sebagai warga Negara. Sedangkan tujuan kolektivitas dapat dihubungkan dengan partapartai politik dan kelompok-kelompok kepentingan, karena keduanya merupakan dua tipe
55
Integration (integrasi), sistem ini berkaitan dengan penjagaan tatanan,
yaitu sistem budaya nilai-nilai umum yang berkaitan dengan hukum dan kontrol
sosial. 119 Satuan-satuan sistem itu harus berintegrasi dalam arti bahwa mereka
dilibatkan dan dikoordinir dalam keseluruhan sistem sesuai dengan posisi dan
peranan mereka masing-masing, sebagai jaminan dalam merekatkan ikatan
emosional
yang
cukup
menghasilkan
solidaritas
dan
kerelaan
untuk
bekerjasama. 120
Latency, laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara
pola, dalam hal ini nilai-nilai kemasyarakatan tertentu seperti, norma, budaya,
aturan dan sebagainya. Konsepsi latensi (latency) menunjukkan pada berhentinya
interaksi. 121 Bahwa setiap anggota kelompok yang diintegrasikan suatu waktu
dapat merasakan kejenuhan mengikuti sistem sosial yang ada, maka dari itu
diperlukan pemeliharaan dan penjagaan agar komitmen dan interaksi yang
dibangun tidak bercerai-berai. Institusi pendidikan dan institusi religius
kolektivitas yang mempunyai pengaruh terhadap penentuan tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan
prioritas sebagau tujuan dari pencapaian tujuan (Goal Attainment) merupakan sesuatu yang
kompleks, yang mencakup strategi politik dan konflik, perundingan dan kompromi yang sudah
dianalisa oleh ilmuwan politik. Keputusan itu terdiri dari pengerahan sumber-sumber materiil dan
manusiawi, seperti, penarikan pajak, sumber-sumber materiil digunakan, dan individu diterima
sebagai tenaga kerja. Lihat Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II,
Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135.
119
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan, Yogjakarta:
Kanisius , 2005, hal.60
120
Ikatan emosional ini tidak harus tergantung pada keuntungan atau kepentingan pribadi
yang diterima untuk mencapai tujuan, agar kerjasama dan solidaritas yang terjalin tidak
tergoyahkan. Karena solidaritas yang terjalin memungkinkan terhindar dari konflik, namun bukan
berarti semata konflik tidak ada. Oleh karena itu, Parsons secara khusus mengidentifikasi sistem
hhukum dan sistem control sosial keseluruhan sebagai mekanisme utama yang berhubungan
dengan integrasi. Baca Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II,
Penerjemah: Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.130 dan 135-136.
121
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert
M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.131
56
merupakan struktur utama yang dapat menyumbangkan pemeliharaan pola-pola
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. 122
Proses keempat fungsional yang dirumuskan Talcott Parsons saling
berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak berarti harus sesuai dengan
urutan fungsi. Namun, pada dasarnya sistem tersebut berjalan seperti sistem
tindakan, 123
artinya
organisme
perilaku 124
ialah
sistem
tindakan
yang
melaksanakan fungsi adaptasi melalui penekanan sistem ekonomi, menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem kepribadian
melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan
mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Sistem Sosial
menjalankan fungsi integrasi dengan mengendalikan setiap komponennya. Dan
Sistem Kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola. 125
Menurut Parsons, kunci persyaratan pemeliharaan integrasi ialah dengan
sosialisasi dan internalisasi. Proses sosialisasi yang sukses terhadap nilai dan
norma akan diinternalisasikan. Artinya adanya keasadaran aktor (individu) bahwa
ketika menjalankan kepentingan pribadi dia pun sadar tengah membawa
kepentingan kolektif (sistem sosialnya).
122
Ibid. hal.136
George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:
Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121
124
Persyaratan pemenuhan kebutuhan biologis untuk mempertahankan hidup. Lihat
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah: Robert M.,Z.,
Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986, hal.135
125
George Ritzer dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:
Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.121
123
57
BAB IV
ANALISIS INTEGRASI PATANI TAHUN 1902-1932
A. Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand
a. Pencetus dan Faktor Integrasi
Apabila merujuk pada sejarah awal hubungan perdagangan Patani dengan
Siam pada masa Ayuthia, secara garis besar, memiliki relevansinya dengan
kedatangan dan penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara. Titik fokus
penyebaran Islam selalu menempati teritori pesisir dan pelabuhan, dan
perdagangan 126
sebagai jalur yang terpenting dalam proses penyebaran dan
perkembangan Islam di Asia Tenggara. Struktur perkembangan ekonomi dan
perdagangan Ayuthia tidak terlepas dari gelombang besar pertama Islamisasi di
Asia Tenggara. Negara-negara Islam (kesultanan) kecil di Semenanjung Malaya,
seperti Malaka dan Patani terletak di pinggir entitas politik yang lebih besar,
bukan karena kekuatan militer atau asumsi stabilitas masyarakat pertanian,
melainkan berdasarkan kekuatan perdagangan. 127 Potensi umat Islam Melayu
khususnya Patani, 128 dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mengembangkan proyek
126
A.H. Smith dan Fatimi, di sisi lain, menganggap bahwa jalur penting Islamisasi di
Asia Tenggara berpusat pada imam-imam sufi. Kecakapan para imam sufi dalam ilmu kebatinan
dan memiliki kekuatan penyembuh tidak kalah penting. Tentu saja keberhasilan para pedagang
dalam menyebarkan Islam acapkali didukung dengan kekuatan politik dan militer, namun
keberhasilan para pedagang Muslim tanpa didukung kemampuan seperti seorang sufi yang telah
menjalani proses batiniah, karena setiap orang di Asia Tenggara yang memeluk Islam juga
menjalani proses peralihan batiniah. Lihat Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,
Jakarta: LP3ES, 2004, hal.23.
127
Carool Kersten, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American
Journal of Islamic Social Sciences 21:4, hal.3
128
Khususnya bagi kelompok Melayu, mereka sering menetap di sekitar tempat dekat
pelabuhan, sehingga mereka lebih sering mengadakan kontak dengan pedagang asing. Di satu sisi,
mereka diuntungkan dengan kondisi alam dan pembayaran pajak cukai, karena orang Melayu
58
komersialnya secara lebih luas, jika waktu terdahulu hubungan komersil Ayuthia
hanya terbatas dengan komunitas Hindu-Budha di Indocina dan Cina.
Pemanfaatan ini diikuti dengan penempatan umat Islam di posisi penting dalam
kerajaan Ayuthia, mereka diangkat sebagai menteri perdagangan, dan penasihat
raja. 129 Mereka juga dijadikan sebagai mediator perdagangan dengan Muslim
lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Melayu.
Populasi Muslim di Ayuthia meningkat, termasuk Muslim dari Persia,
Arab, Pakistan, Gujarat, Filiphina, Aceh dan Melayu. Melayu, komunitas paling
banyak. 130 Kondisi ini menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan
akhirnya Ayuthia sebagai kerajaan monarki absolut mengakui multi-agama, multibudaya masyarakat 131 di bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim
kedaulatan yang dimiliki negera-negara kecil Muslim, termasuk Kesultanan
(Kerajaan) Patani.
Kebijakan-kebijakan politis Siam terhadap Patani, lambat laun disadari
sebagai upaya penjajahan secara halus. Sadar dengan potensi alam yang memadai,
dianggap paling menonjol dalam pembajakan dan perdagangan lokal, karena itu egara-negara
Melayu yang cukup berpengaruh adalah, Pasai, Malaka, Patani dan Brunei selalu dikembangkan
menjadi pusat budaya dan administrasi. Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam
and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007,
hal.30
129
Salah satu contoh, Syekh Ahmad dikenal raja yang telah ditunjuk sebagai menteri
perdagangan dan urusan luar negeri. Posisi Syekh Ahmad diadakan tanggung jawab besar,
termasuk tugas impor dan ekspor dan pengawasan pelayaran internasional. Syekh Ahmad
hanyalah salah satu contoh dari kaum Muslimin banyak selama periode Ayuthia yang berhasil
tidak hanya mengamankan posisi penting dalam perdagangan, tetapi juga janji kepala politik.
130
Peningkatan jumlah populasi Melayu di Ayuthia, menurut Omar Farouk bukan saja
disebabkan oleh faktor perdagangan, melainkan karena perbudakan, dan tawanan perang. Baca
Omar Farouk Bajunid, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No.
2, September 1999, hal.219-220.
131
Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s
Pattani Problem, Monterey, California, 2005, hal.9-10. Hal ini berbeda dengan kondisi yang
dialami Melayu-Muslim Thailand sekarang, mereka dipaksa untuk berintegrasi dengan Thainisasi
atau Siamisasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand.
59
dan kondisi politik serta ekonomi Patani saat itu semakin mapan, maka MelayuMuslim Patani berupaya menarik diri dari kerjasamanya dengan Ayuthia dan
berusaha bersikap resisten dengan kebijakan sistem upeti kerajaan Ayuthia.132
Selain itu, mereka memiliki keterbatasan dalam mengembangkan Islam karena
Ayuthia tidak mentolerir konversi Budha ke Islam. Pun kejatuhan Malaka ke
tangan Portugis, akhirnya membawa reputasi pelabuhan Patani menjadi pusat
perdagangan regional yang dapat diperhitungkan.
Sikap resisten Melayu-Muslim Patani terhadap Ayuthia diilustrasikan
dengan berbagai pemberontakan Patani. Beberapa pertempuran tersebut,
merupakan bentuk penegasan kembali otonomi penuh kerajaan Patani sebagai
kerajaan Islam, dan penolakan terhadap sistem upeti karena dianggap sebagai
bentuk penjajahan. Dari paruh abad 16 hingga abad 17 penegasan otonomi Patani
tersebut berhasil.
Ayuthia sempat melakukan perdamaian dengan pihak Patani, namun
ketegangan dan pertempuran kembali bergulir ketika Dinasti Chakri berakhir dan
Siam memindahkan pusat pemerintahannya ke Bangkok tahun 1767.
Dua pelajaran penting dari sejarah hubungan Patani dengan Siam di atas.
Pertama, pada gelombang Islamisasi pertama Patani dengan Siam memiliki
hubungan yang sangat baik, Siam menerima Islam dan hidup berdampingan
132
Menurut Carool Kersten, sistem upeti bagi Siam adalah bentuk sumpah suci setia
kerajaan-kerajaan kecil terhadap Siam, sedangkan bagi Melayu-Muslim sistem upeti merupakan
bentuk ‘buying-off’ atau upaya menyuap dengan dalih agar negara-negara kecil tersebut dilindungi
dan diakui oleh kerajaan Ayuthia sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam
politik dan ekonomi pada waktu itu. Persepsi inilah yang dianggap Kersten menimbulkan
ketegangan dan akar kebencian Patani terhadap Siam. Baca artikel oleh Carool Kersten, The
Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences
21:4, hal.3.
60
dengan masyarakat Budha. Kedua, adanya persepsi Muslim Patani bahwa mereka
selalu dijadikan bangsa jajahan. Meski pada masa Ayuthia sistem anak sungai
satu-satunya sistem yang diizinkan, namun Patani masih memiliki kedaulatan,
tidak hanya diizinkan mempertahankan budayanya sendiri melainkan juga
mempertahankan penguasanya sendiri. Namun, kondisi ini telah menumbuhkan
akar kebencian Patani atas Siam, apalagi semenjak kebijakan yang berlaku pada
masa Ayuthia berubah ketika awal pemerintahan Siam di Bangkok, dengan
memasukkan konsep integrasi Thainisasi atau Siamisasi terhadap masyarakat
Melayu-Muslim Patani.
Kebijakan integrasi Thailand secara komprehensif dilatarbelakangi oleh
pembentukan konsep nasionalisme negara Thailand dan modernisasi Thailand
pada abad 20. Menurut David J. Steinberg antara tahun 1919 sampai 1941,
penerapan kebijakan reformasi Thailand akibat hasil dari kerja politik Rama V
atau Raja Chulalongkorn (1868-1910) dari tahun 1890. 133
Gagasan untuk melakukan reformasi atas birokrasi di Thailand memang
sudah muncul sejak pemerintahan raja Chulalongkorn atau Rama V (1868-1910).
Reformasi itu dilakukan dalam rangka memperkuat pengendalian administrasi
pemerintahan oleh raja Chulalongkorn dan dalam rangka mempertahankan
kerajaan dari ancaman pihak luar. Namun dasar bagi pembentukan suatu birokrasi
modern dalam pemerintahan di Thailand, untuk pertama kalinya dilakukan oleh
133
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.65.
61
pangeran Damrong 134 pada 1892. 135 Akan tetapi reformasi tersebut tidak
membawa perubahan yang signifikan, dan sebaliknya, justru makin memperkuat
posisi birokrasi Siam dalam pengendalian pemerintahan.
Chulalongkorn merupakan keturunan raja Mongkut (Rama IV) dan ratu
Debsirindra. Ia menggantikan ayahnya pada 1 Oktober 1868 sebagai Raja kedua
dari Utara dan Selatan Siam dan seluruh dependensinya yang pada saat itu
termasuk Chiang Laos, Laos Kao, dan orang-orang Melayu. 136
Semasa hidupnya raja Chulalongkorn pernah melakukan kunjungan ke
Singapura dan Jawa sebanyak dua kali, dan ke India satu kali. Kunjungan tersebut
bersifat politis demi untuk mempelajari sistem politik dan administrasi kolonialis
Eropa yang pada waktu itu memerintah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selain
itu, dia juga banyak mempelajari berbagai cabang seni dan ilmu pengetahuan
seperti royal tradisi (tradisi kerajaan), administrasi publik, arkeologi, pali (ilmu
kuna dari India), bahasa Inggris, ilmu militer, gulat, cara dan teknik menggunakan
134
Pridi Banomyong adalah ‘Bapak Demokrasi’ di Thailand. Ia dilahirkan sebagai orang
biasa pada tanggal 11 Mei 1900 di Ayutthaya. Pada usia 20 ia mendapat beasiswa studi Hukum di
Perancis, dari Kementerian Kehakiman Thailand, tahun1920-1927. Meskipun ia belajar di luar
negeri, ia tidak pernah kehilangan cita-cita, atau kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi kaumnya. Cita-citanya adalah mengubah
pemerintah mutlak menjadi pemerintahan yang demokratis sebagai dasar untuk membangun Siam
di masa depan. Dia percaya bahwa sistem politik demokrasi adalah sebuah cara untuk
mengembangkan masyarakat Thailand beradab. Kemudian,ia mendirikan Partai Rakyat (People
Party) dan meluncurkan sebuah revolusi tanpa kekerasan pada tanggal 24 Juni 1932 di Bangkok.
Prinsipnya adalah: mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam
politik dan ekonomi. Lihat Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border
Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta:
Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72
135
Syamsuddin Haris, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang
Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs
http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/669/669.pdf.
Diakses
pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB.
136
Imtip Pattajoti Suharto, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The Ministry
of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-culture.go.th. Diakses tanggal 8
Maret 2010, pukul 19:07 WIB.
62
senjata. 137 Cara-cara inilah yang mendorong raja Chulalongkorn membawa
perubahan negara Thailand dengan konsep nasionalisme dan modernisasi negara
Thailand, dengan mereformasi sistem administrasi pemerintah dan kebijakankebijakan politik baik secara struktur maupun suprastruktur.
Di sisi lain, kondisi komersial Patani antara tahun 1842-1900 mengalami
persaingan yang sangat serius dengan pelabuhan di wilayah Asia Tenggara
lainnya. Bahkan hubungan Patani dengan Siam mengalami fluktuasi yang
berakibat munculnya rasa sentimental Melayu-Muslim Patani terhadap Siam, dan
menyuarakan anti-Siam atau anti-Thai. Diprakarsai oleh kalangan elite kerajaan
Patani, akhirnya, Patani melancarkan pemberontakan dan perlawanan terhadap
Siam. Meski Siam, akhirnya, dapat mematahkan perlawanan dan pemberontakan
tersebut, namun tidak menghentikan tekad Melayu-Muslim Patani melawan Siam.
Akibat pemberontakan inilah, sehingga mendorong Siam masa Chulalongkorn
membuat suatu kebijakan administrasi baru bagi Patani untuk mengontrol situasi
dan kondisi masyarakat Patani apabila terjadi ketegangan-ketegangan.
Keberadaan Thailand pada waktu itu, dibutuhkan oleh negara-negara
imperialis, yang menang dalam Perang Dunia II, bukan sebagai negara penyangga
tetapi untuk memblokade pengaruh komunis ideologi dari Cina ke Asia Tenggara.
Kebijakan Siam di provinsi-provinsi perbatasan selatan berdasarkan negara
kebijakan untuk mengembangkan nasionalisme Thailand dan memperkuat
cengkeraman pemerintah politik di sungai negara.
137
Ibid.
63
Setelah Perang Dunia II berakhir, konteks nasionalisme Thailand berubah
untuk mencegah ekspansi komunis. Walaupun Thailand adalah sebuah negara
merdeka, namun selalu di bawah pengaruh negara-negara kolonial Barat.
Akibatnya, Thailand selalu dipaksa untuk mengadaptasi budaya politik untuk
beradaptasi dengan situasi regional dan internasional. Dalam hal ini, Islam di
Melayu di Patani adalah kelompok yang paling kurang beruntung karena
intervensi kolonial Barat yang tidak pernah menghormati aspirasi mereka.
Kebijakan integrasi Thailand terhadap Patani semakin dipercepat,
manakala kedatangan kolonial Eropa ke Asia Tenggara yang membawa dampak
perubahan sosial politik yang luar biasa, sekaligus mengilhami konsep
nasionalisme atau modernisasi Siam (Thailand) pada awal abad 20. 138 Akibat
menanggapi ancaman ekspansi kolonial Eropa ketika berusaha meratifikasi
pembagian wilayah jajahan dan usaha Siam terlepas dari penjajahan oleh bangsa
Eropa. Akhirnya, Siam mengupayakan jalan diplomasi dengan konsekuensi harus
melepas Laos dan Kamboja sebagai wilayah Perancis melalui perjanjian SiamPerancis tahun 1907, dan melalui perjanjian Anglo-Siam pada tahun 1909 Patani
dan sebagian wilayah Kedah yaitu Satun menjadi sepenuhnya kekuasaan Siam,
dan Siam melepaskan klaim teritorialnya terhadap Kelantan, Terengganu, Kedah
138
Konsep nasionalisme negara bangsa dan modernisasi disebut-sebut Thongchai
Wincichakul, seorang sejarawan penggagas identitas Thai, menyebutnya dengan istilah ‘geo-body’
(geo-tubuh). Menurutnya konsep geo-tubuh merupakan efek praktek modern dan teknologi
pemetaan. Dalam kasus Thailand, pada masa Ayuthia, hampir negara-negara di Asia Tenggara
tidak memiliki batasan teritorial secara jelas, politik perbatasan biasanya tidak stabil dan sering
tumpang tindih. Kekuatan negara atau kerajaan dapat diukur oleh sejauh mana mereka mendapat
pengakuan dari negara atau kerajaan kecil. Sebagai tanggapan kasus di atas, wilayah Thailand
dipetakan dan dibatasi sebagai geo-tubuh dari Siam. Lihat James D Sidaway, The Geography of
Political Geography, Department of Geography National University of Singapore, dalam K. Cox,
M. Low and J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage), hal.11-12.
64
dan Perlis. Sedangkan kolonial Inggris melepaskan klaimnya atas wilayah Siam
dan mengakui kedaulatan Siam.
Mengapa Inggris dan Perancis akhirnya mengakui kedaulatan Siam dan
membuka jalan diplomasi bagi Siam? Nik Annuar menyebut abad 19 M adalah
zaman imperialisme baru. Kala itu, Asia Tenggara tengah diperebutkan oleh
bangsa-bangsa Eropa, tujuan utama mereka adalah menguasai lahan perdagangan.
Inggris dan Perancis sama-sama bersaing memperebutkan bagian timur laut
Burma dan selatan China, dan negara-negara Melayu Utara hingga Genting Kra.
Di kedua kawasan itu, Inggris dan Perancis mempunyai kepentingan perdagangan
dan strategis. Ketika Inggris menaklukkan Hulu Burma pada 1886, Perancis
tengah meluaskan penjajahannya di wilayah Annan dan Tongking. Persaingan ini
mencapai puncaknya pada 1893. Namun tujuan memperluas wilayah jajahan
tersebut terhambat dengan kekuatan Siam yang telah mapan secara politik dan
ekonomi dibandingkan dengan wilayah Asia Tenggara lain. Pun, Perancis masih
berupaya memperluas wilayah jajahannya, terutama di wilayah yang menjadi
jajahan Siam. 139 Atas dasar inilah, Inggris dan Perancis menerima dan membuka
jalan diplomasi dengan Siam, di samping Siam merasa terancam jika wilayah
jajahannya diekspansi oleh Inggris dan Perancis.
Setelah
ditandatanganinya
perjanjian
Anglo-Siam
1909,
Siam
memutuskan membagi Patani menjadi tiga provinsi yaitu, Narathiwat, Pattani,
139
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu. Akses dari situs
http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
65
Yala dan Songkhla yang kini ditempati oleh mayoritas Muslim, dan mengambil
sebagian wilayah Kedah, yaitu Satun.
b. Tahapan Integrasi Thailand terhadap Patani
1. Tahapan Adaptation
Sebenarnya proses integrasi Patani menjadi wilayah integral Thailand
telah direncanakan pada masa awal pemerintahan Chulalongkorn, dengan
mengenalkan kebijakan reformasi administrasi melalui konsep Thesaphiban tahun
1897. Namun, kebijakan reformasi tersebut mulai diimplementasikan pada tahun
1902 hingga 1906. 140 Sistem ini, awalnya bertujuan untuk mengatasi kerusuhan
dan pemberontakan Melayu-Muslim Patani yang terjadi pada waktu sebelumnya,
dan menghalau kolonialisme Eropa yang mulai mengancam integritas wilayah
(jajahan) Siam.
Adaptasi dalam proses integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand,
menekankan pada kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan, agar negara memiliki
pendapatan yang cukup dan memiliki sumber tenaga untuk mendukung
pertahanan negara. Berdasarkan tujuan inilah, dapat diketahui jika, tahapan
adaptasi yang dilakukan Siam adalah untuk penguatan dan rasionalisasi
administrasi dan pengembangan ekonomi.
Proses awal integrasi tersebut pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan
sosial, pemerintah Thailand melakukan tahapan adaptasi melalui kebijakan
eksploitasi koleksi karet dan pertambangan timah terhadap orang Patani dan
140
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.14.
66
pekerja migran, walaupun sebagian besar mata pencahariaan Melayu-Muslim
Patani adalah nelayan. 141 Di samping itu, pemerintah Siam juga mengenalkan
sistem baru dalam koleksi pajak, seperti sistem pajak-candu (pajak-pertanian).
Sistem ini berlangsung atas usulan Phya Sukhum, hasil pajak tersebut akan dibagi
dua antara raja Siam dan raja Patani. Semula sistem pajak ini ditentang pihak
Patani, namun Chulalongkorn meyakinkan bahwa sistem pajak ini sangat
menguntungkan. Tahun pertama berjalan cukup rapi, hasil pajak dibagikan ke
tujuh Negara bagian Patani sebesar $ 30,200 per tahun.
142
Situasi ini tidak
berlangsung lama, setelah tahun kedua sistem pajak tersebut berjalan, Siam
mengingkari perjanjian pajak yang telah disepakati. Hal ini benar-benar
menimbulkan kemarahan raja Patani dengan mengancam akan melakukan
tindakan yang lebih keras, karena menganggap Siam membahayakan otoritas raja
Patani.
Nampaknya proses adaptasi yang dimaksud Parsons, memiliki interpretasi
yang sama dengan fase akomodasi yang dijelaskan oleh Ogburn dan Nimkhoff.
Sikap Siam yang berupaya mengingkari perjanjian pajak dengan Patani,
merupakan faktor yang dapat memperburuk hubungan adaptasi yang telah
dibangun sesuai dengan kesepakatan. Maka kemungkinan munculnya konflik
sangat besar, karena proses adaptasi dan akomodasi sama-sama menekankan suatu
pekerjaan yang membutuhkan penyesuaian, dan dalam tahapan ini kedua pihak
141
Ibid. hal.51.
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.54.
142
67
yang melakukan kerjasama belum tentu berada dalam satu lingkaran kepentingan
yang sama.
Dalam kasus Patani, konflik terjadi kembali akibat pelaksanaan daripada
perjanjian pajak tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga dapat dikatakan,
sistem pajak-pertanian antara Siam dengan Patani sebagai langkah pertama
integrasi tidak berhasil, akibat kelalaian dari pada pihak Siam sendiri. Di satu sisi,
ketegangan akibat kelalaian tersebut menyeruak kembali, dan mendesak Siam
menerapkan beberapa kebijakan politik untuk menyatukan persepsi dan tujuan
masing-masing pihak yang akan berintegrasi.
Akan tetapi, Siam berhasil mengkonsolidasikan beberapa sistem kebijakan
demi mengatasi kemarahan dan kemungkinan terjadinya pemberontakan di
kalangan para raja dengan membangun beberapa akses sarana demi kebutuhan
birokrasi dan mengatasi kemarahan raja Patani atas kebijakan-kebijakan di atas,
Siam membuat strategi pembangunan seperti yang dilakukan Inggris di
Semenanjung Malaya. Siam mengutamakan pembangunan dalam bentuk
prasarana jalan, dinas pos, dan keamanan bagi kegiatan komersial, serta
pemukimam untuk orang Thai-Budha yang tinggal di wilayah Patani untuk
menyeimbangkan jumlah dominasi penduduk Melayu-Muslim Patani. 143
2. Tahapan Goal Attainment (pencapaian tujuan)
Goal attainment adalah tahapan dalam integrasi yang dilakukan jika
terjadi sebuah konflik dan ketegangan antara dua belah pihak. Goal attainment
143
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.29
68
menitikberatkan pada proses kesepakatan atas kebijakan-kebijakan politik,
sehingga membentuk satu kerjasama (cooperation). Dalam tahapan ini, segala
keputusan benar-benar disepakati bersama yang dibangun dengan kepentingan
masing-masing kelompok.
Namun, semua keputusan dan kebijakan-kebijakan politik integrasi
Thailand terjadi dengan tidak melibatkan pihak Patani. Setelah Patani sejak awal
dianeksasi, kemudian wilayah intern Patani dirombak berdasarkan kebijakan
reformasi administratif yang dimulai tahun 1902. Maka untuk mematahkan
kembali kekuatan Melayu-Muslim Patani, wilayah Patani yang telah dibagi
menjadi 7 provinsi kemudian dirombak kembali menjadi empat provinsi yang
lebih besar, yakni Patani, Bangnara, Saiburi dan Yala. 144 Satun merupakan sebuah
distrik di Kedah juga dimasukkan menjadi wilayah Siam, yang diberi nama
Provinsi Satun, perombakan ini terangkum ke dalam sistem Monthon (Monthon
Patani) tahun 1906.
Konsep Monthon diperkuat pada Perjanjian Anglo-Siam 1909, dengan
tujuan mengukuhkan kekuasaan Siam terhadap Patani secara mutlak dan
menyerahkan Kedah, Terengganu, Perlis, dan Kelantan kepada Inggris. Perjanjian
ini ditandatangani antara Siam dengan kolonial Inggris, dan menyepakati Patani
sepenuhnya menjadi bagian integral Thailand, dan wilayah Kedah, Kelantan,
Terengganu, dan Perlis diserahkan Siam kepada Inggris dan menjadi hak wilayah
di bawah penguasaan Inggris.
144
Bangnara adalah Propinsi Narathiwat yang resmi berganti nama menjadi Propinsi pada
tanggal 10 Juni 1942. Propinsi Saiburi (Setul) dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Propinsi
Patani pada tanggal 16 Februari 1931. Lihat W.K. Che Man, hal.45
69
Kepentingan ekonomi dan konflik yang terjadi dengan Kerajaan Patani,
kemudian menjadi faktor Siam tidak menyerahkan Patani ke tangan Inggris. Bagi
Siam, Patani adalah ’permata’ yang paling berharga, 145 terutama karena potensi
pelabuhan Patani yang pada saat itu diperebutkan oleh bangsa Eropa sebagai
akses kepentingan komersial. Karena Patani adalah kerajaan Islam Melayu di
selatan yang tengah menjadi persengketaan antara Siam dengan Inggris. Selain
itu, setelah Perang Dunia II berakhir, beberapa adaptasi di perbatasan antara
Inggris dengan Myanmar, Inggris dengan Malaya dan Perancis dengan Indo-Cina
terjadi, kemudian, Komisi Internasional menentukan bahwa Thailand tidak punya
hak untuk wilayah Indonesia dan Cina karena perbedaan etnis, geografi, dan
ekonomi. Dengan demikian, Indo-Cina menjadi hak teritorial Perancis. 146
3. Tahapan Integrasi (integration)
Proses integrasi Patani pada tahapan ini, adalah Siam mengalihkan sistem
pemerintahan ke Bangkok, dan mencopot kekuasaan dan posisi raja atau sultan
dan menggantikannya dengan para birokrat Thai-Budha dari Bangkok dan
provinsi-provinsi utara. Para bangsawan Patani kehilangan wewenangnya untuk
memajaki rakyat, itu berarti mereka kehilangan sumber pendapatan berupa uang
yang mereka pungut secara bersama-sama dari rakyat. Sistem pemungutan dan
golongan wajib pajak diperluas hingga mencakup bidang pekerjaan dan
145
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun Melayu, hal.5. Akses dari situs
http://www.scribd.com/doc/13353098/Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
146
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.76.
70
perdagangan. Pembebasan pajak yang tadinya diberikan kepada para bangsawan
dihapuskan. Kondisi ini, akhirnya menyadarkan para bangsawan untuk
mengajukan beberapa syarat, 147 sebagai berikut:
1. Agar semua anak cucu kaum bangsawan, termasuk anggota kerabat yang
paling dekat, memperolah penghasilan tahunan dari pemerintah,
2. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari pajak tahunan tanah,
3. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari kewajiban menjalani
dinas militer, termasuk keharusan membayar uang sebagai pengganti
kewajiban tersebut,
4. Agar semua yang bekerja demi kepentingan kaum bangsawan
dibebaskan dari pajak perorangan.
Akan tetapi, tahun 1905 Siam yang diwakili oleh pangeran Damrong,
menteri dalam negeri, menegaskan kebijakan untuk mengakomodasi permintaan
tersebut, bahwa para bangsawan Patani hanya akan digaji sesuai dengan
pengabdian mereka kepada pemerintah, bukan karena status dan gelar mereka.
Kedua, setiap ganjaran yang diberikan kepada kaum bangsawan diupayakan
sebagai bentuk integrasi politik penuh ke dalam Siam, agar memperkecil rasa
keterasingan dan menjaga agar tidak terjadi preseden buruk dalam memperkuat
hasrat untuk merdeka pada generasi mendatang. Ketiga, pemerintah hanya akan
mengakui keturunan langsung dari para raja, karena permintaan kaum bangsawan
147
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.26
71
tersebut hanya akan menjadikan pemerintah mengakui keberadaan pasukanpasukan yang dapat melawan otoritas pemerintah Siam. 148
Selain kerugian yang dialami para bangsawan Patani, integrasi politik Thai
Thailand juga berimbas kepada perekonomian rakyat Patani. Kesenjangan
ekonomi semakin membuat jarak sosial antara Melayu-Muslim Patani, ThaiBudhis dan Cina, posisi Muslim Patani berada di strata terendah. Mayoritas
masyarakat Patani adalah produsen karet, namun dalam proses industrialisasi dan
pemasaran orang-orang Thai-Budhis dan Cina yang merasakan keuntungan yang
lebih dibanding Melayu-Muslim Patani. Karena, orang-orang Thai-Budhis dan
Cina lebih menguasai sektor bisnis aspek komersial karet sebagai pemilik hutan
tanaman dan dikembangkan oleh pemerintah Thailand. 149
Sejak
awal
kebijakan
reformasi
administrasi
diterapkan,
raja
Chulalongkorn sangat hati-hati dalam mengajukan pertimbangan-pertimbangan
politis dalam rangka mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam negara
dan bangsa Thai. Nampaknya, Chulalongkorn menyadari perbedaan agama antara
Thai dengan Melayu-Muslim Patani. Sementara pemerintahThailand merancang
hukum Islam diintegrasikan ke dalam struktur hukum dan undang-undang
Thailand, hukum Islam tetap dibiarkan berjalan, dan mentolerir raja Patani
memerintah dengan menggunakan hukum Islam. 150 Namun, di atas berjalannya
hukum Islam, pun harus berjalan di bawah undang-undang Siam, kecuali hukum
148
Ibid. hal.26-27.
Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah
Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus
Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.128.
150
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.15. Dengan demikian, secara berangsur hukum Islam (syariah)
dihapus.
149
72
waris dan hukum keluarga. 151 Damrong merumuskan agar diangkat enam qadi
(hakim) Melayu-Muslim, dan berhak memilih hakim penengah dari kalangan
Thai. Segala keputusan berada pada kuasa hakim Melayu-Muslim, namun
keputusan akhir tetap berada di tangan hakim Thai. Hal ini dilakukan agar raja
tidak mempergunakan pengaruh mereka kepada rakyatnya. Pemerintah Thai
menyerahkan prosedurnya kepada raja atau sultan Patani.
Dalam ranah politik dan pemerintahan, pemerintah Thailand mengubah
wilayah Patani menjadi sebuah provinsi, sekaligus mengubah struktur
pemerintahan Patani yang semula berbentuk kesultanan atau raja-raja, menjadi di
bawah pengawasan gubernur yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat
Thailand di Bangkok. 152
Proses integrasi Thailand terhadap Patani pun berlanjut pada bidang
budaya, pendidikan dianggap alat utama dalam mempromosikan nasionalisme
Thailand. Setelah pemerintahan raja Chulalongkorn, putranya yang bernama raja
Rama VI Vajiravudh (1910-1925) resmi menjadi raja Siam. Kebijakan Integrasi
Politik masa raja Vajiravudh adalah dengan menerapkan Undang-Undang
Pendidikan Nasional tahun 1921 yang memaksa setiap lembaga pendidikan di
Thailand untuk menggunakan bahasa Thai. 153 Kebijakan ini menyelenggarakan
151
Bahkan dalam kasus keluarga dan warisan pun, keputusan hakim Muslim belum final
jika tidak disepakati oleh hakim Thai.
152
Daerah-daerah di Asia Tenggara dibawah kontrol Amerika dan Thailand, kehilangan
karakteristik sistem politik dan lembaga-lembaga pemerintahan Islam (kesultanan, sultanat). Tidak
seperti daerah di bawah kontrol Inggris, ciri pemerintahan Islam masih dipertahankan meskipun
menyesuaikan dengan ide-ide kolonial Inggris. (Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints:
Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007,
hal.242).
153
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.67
73
program pendidikan sekuler yang dilakukan oleh para rahib Budha, kepala desa,
dan para pejabat pendidikan pemerintah. Pada tahapan ini, pemerintah Thai mulai
menekankan penggunaan bahasa Thai setelah tahun 1910. Ada upaya terpadu
untuk mendidik Melayu-Muslim Patani menjadi Thai, dan ada kekhawatiran dari
kaum bangsawan Patani, bahwa bahasa Thai akan mengarah para erosi dari
bahasa dan budaya Melayu. 154
Setelah kematian raja Vajiravudh, tahta Kerajaan Siam digantikan oleh
raja
Prajadhipok
(1925-1935).
Pada
periode
raja
Prajadhipok,
Siam
memberlakukan kebijakan integrasi dengan mengkategorikan kebijakan tersebut
menjadi dua, yakni Politic Partisipation (politik partisipasi) dan Cultural
Assimilation Policy (politik asimilasi budaya). 155
Kebijakan politik partisipasi terjadi akibat adanya perubahan politik di
internal Siam yang signifikan. Munculnya kudeta dari Partai Rakyat Kekuasaan
Raja (People’s Party of the King’s power) dan konflik internal pemerintahan
antara menteri Pertahanan, pangeran Bovaradej, dengan menteri Perdagangan,
Pangeran purachatra. 156 Akibatnya, Bangkok mengalami krisis politik.
Di satu sisi, terjadi gerakan bawah tanah yang diprakarsai oleh
cendikiawan kelas bawah, yaitu Mr. Pridi Banomyong. Tanggal 24 Januari 1932,
dia mendirikan lembaga politik untuk mengambil kekuasaan revolusi tanpa
kekerasan. Inti dari UUD (Undang-Undang Dasar) 1932, yaitu mengakui status
154
S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107
(February 2006), Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.6
155
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.72
156
Ibid.
74
raja sebagai kepala angkatan bersenjata dan pelindung Budha, serta penganut
agama lainnya. Prinsip yang dianut dalam undang-undang tersebut, untuk
mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam
politik maupun ekonomi.
Krisis politik yang dialami Siam saat itu, dan munculnya kebijakan
integrasi politik partisipasi, dimanfaatkan oleh Melayu-Muslim Patani sebagai
momentum dalam mengikuti pemilu dan mencalonkan diri sebagai perwakilan
dalam Dewan Konsultatif. 157 Para kandidat dipilih oleh pemilih berasal dari
kelompok intelektual yang didukung oleh para intelektual Islam. Surin Pitsuwan
menyatakan bahwa tingkat partisipasi Melayu-Muslim Patani tergantung pada
persepsi Siam tentang Islam Melayu di bawah perlindungan Inggris, jika
kepentingan bersama Melayu-Muslim baik yang ada di Patani maupun di
Malaysia tersebut dilindungi hak-haknya oleh pemerintah, maka Melayu-Muslim
Patani bisa berpartisipasi kepada politik pemerintahan Thailand.
Namun,
memperjuangkan
peran
dan
kepentingan
pengaruh
dan
parlemen
aspirasi
sangat
terbatas
Melayu-Muslim
dan
dalam
untuk
mengurangi campur tangan Inggris di Malaysia. Lembaga tersebut tidak memiliki
otoritas atau kekuatan untuk mengendalikan atau menjalankan serangkaian
kebijakan pemerintah di semua negara. Kebijakan berada di bawah pengawasan
dan kontrol dari angkatan bersenjata dan birokrasi, karena itu, Melayu-Muslim
Patani selalu menghadapi gencatan senjata dengan angkatan bersenjata
pemerintah Thailand jika terjadi konflik.
157
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004,, hal.73-74
75
Selain, kebijakan politik partisipasi, Siam juga mengintegrasikan Patani ke
dalam politik asimilasi budaya. Selain pendidikan sebagai alat utama dalam
mengintegrasikan budaya Patani ke dalam Thai, pemerintah Thailand juga
mengintegrasikan Patani ke dalam praktik birokrasi orang-orang Melayu. Di
antaranya, dengan memaksa para pejabat Melayu-Muslim Patani melamar
pekerjaan ke daerah-daerah utara yang didominasi oleh orang-orang Thai-Budha,
dan dipertegas dengan himbauan dan instruksi agar para pejabat Melayu-Muslim
tersebut ditugaskan ke daerah itu agar sikap dan wibawa mereka seperti orangorang Thai. Setelah itu, akhirnya keturunan para raja ditawarkan pelatihan kerja
dari gubernur Thai sebagai proses setelah Siam berhasil mengintegrasikan para
raja atau pejabat Melayu-Muslim. 158
Pada batas tahun 1932, Siam merubah identitas politik Monarki absolut
menjadi monarki konstitusional. Pada tahun inilah, dimulai harapan dan impian
baru akan perubahan nasib orang-orang Patani menjadi lebih baik, agar
pemerintah Siam berpihak dan mendukung hak kemerdekaan bagi rakyat Patani.
Namun, sebaliknya, Siam semakin mengukuhkan proses integrasinya dengan
memulai pendidikan nasional untuk mengartikulasikan kesatuan Thailand, yang
bertujuan menyatukan semua etnis, tidak hanya etnis Melayu melainkan juga etnis
Cina dan lainnya yang ada di wilayah Thailand. 159 Dalam program ini pemerintah
menetapkan bahwa:
1. Negara memiliki hak untuk mendidik rakyat.
158
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989,, hal.30-31.
159
Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for
TheContinuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation
State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004, hal.115-116
76
2. Negara memiliki otoritas penuh untuk mengontrol dan memantau program
pendidikan di pemerintah dan sekolah swasta.
3. Setiap individu yang telah lulus wajib belajar berarti bahwa dia adalah
warga negara yang mampu mendapatkan sumber daya hidup yang penting
untuk bekerja, dan dia memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara,
juga bisa membuktikan dirinya secara fungsional melalui di luar
pekerjaannya.
4. Tahapan Latency (pemeliharaan pola)
Pada tahap ini, seharusnya dimanfaatkan Siam sebagai cara untuk
menyatukan diri baik secara kultural maupun emosional, dengan begitu proses
integrasi terjaga dan terpelihara secara utuh. Namun, kesalahan besar justru terjadi
pada pejabat-pejabat pemerintah Thailand yang bertugas dalam menjalankan
proses pembangunan di wilayah Patani kurang memiliki tanggung jawab, serta
tidak memahami persoalan budaya lokal. 160
Itu sebab Muslim Patani hanya
menjadi penonton pasif daripada lowongan kerja yang sebenarnya tersedia seiring
dengan pembentukan pembangunan sistem administrasi dan infrastruktur di
wilayah selatan. Secara sosial, msyarakat Patani sama sekali tidak diuntungkan.
Hidup di tanah kelahiran sendiri, tetapi harus mengalami diskriminasi, dan
kesewenang-wenangan dari pemerintah Siam.
Kegagalan pemerintah Siam dalam menjaga pola integrasi pada tahap ini
pun semakin dipersulit dengan munculnya berbagai respon keras dan
160
Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya
dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No.1 tahun 2005,
hal.101
77
pemberontakan dari Melayu-Muslim Patani. Meski demikian, pemerintah
Thailand berusaha memperbaiki segala kebijakan yang mendapat respon keras
dari kalangan Muslim Patani, untuk menjaga dan memelihara pola integrasi
tersebut. Namun, pada praktiknya hal ini tidak berjalan sesuai harapan, karena
Muslim Patani selalu memandang curiga dan menganggap semua hal tersebut
untuk mempertahankan nasionalisme Thailand yang didasarkan pada konsep
Budhisme yang jelas bertentangan dengan kepercayaan, tradisi, dan budaya
Melayu-Muslim Patani. 161
Proses pemeliharaan pola (latency), membutuhkan waktu yang cukup
panjang, karena proses ini bertindak pada sistem kultural secara menyeluruh.
dengan begitu, peran sosialisasi dan internalisasi sangat dibutuhkan demi tujuan
integrasi secara utuh, dengan begitu konflik berkepanjangan akan mereda
manakala kepentingan-kepentingan pribadi ditepis dan menyadari bahwa
kepentingan kolektiflah yang harus didahulukan.
B. Respon Kebijakan Integrasi Pemerintah Thailand
1. Respons Pemerintah Siam (Thailand)
Mengatasi berbagai respons keras dan perlawanan Melayu-Muslim Patani,
terutama di kalangan elit Patani, pemerintah Thailand mengancam jika raja-raja
kembali memberontak, maka akan dihukum mati atau dipenjara beserta
keluarganya. Kemudian merespons tuntutan para elit Patani, setelah pembebasan
pajak bagi raja dihapuskan, Siam mengatasi kemarahan mereka dengan
161
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam
Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian
Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI), 2004, hal.71-72
78
menaikkan uang pensiun raja dan rekan-rekan sejawatnya sebagai kompensasi
hilangnya sumber penghasilan mereka akibat pemerintah Siam mengambil alih
sistem keuangan mereka.
Dalam kasus pemberontakan Namsai, pemerintah Siam masa raja
Vajiravudh (1910-1925), merespons dengan cara menghapuskan semua peraturan
yang menentang Muslim Patani dan mendukung segala permintaan mereka. Pajak
di wilayah Melayu-Muslim Patani harus tidak lebih tinggi daripada di wilayah
Malaysia yang dikuasai Inggris, dan pejabat publik yang ditugaskan untuk Patani
harus hormat dan jujur. Alasan konsensi tersebut, karena Vajiravudh khawatir
Inggris akan campur tangan dan memaksa Thailand untuk membagi provinsi
selatan ke Inggris di Malaya. 162
Dalam proses pengadilan dan budaya, orang-orang Thai tidak memahami
cara kerja sistem hukum Islam, bahkan kata qadi, diistilahkan oleh mereka
menjadi kali, yang dianggap menghina Patani. Gelar haji diartikan ‘orang-orang
yang berkunjung ke Kapilavastu’ (nama kota asal sang Budha). Orang-orang Thai
juga tidak bisa berbicara Melayu dan memahami kebiasaan tradisi dan budaya
Melayu.
Penggunaan istilah kata yang salah dan pengelabuan fakta-fakta sejarah,
menunjukan pemerintah Thailand tidak mengetahui sama sekali budaya, tradisi,
bahkan hukum agama Melayu Patani. Menurut Weber, hal ini sebagai tindakan
otoritas ‘hari kemarin yang abadi’ dan bertindak sebagai penjaga ‘adat-istiadat
162
Tesis oleh Sara A. Jones, Framing the Violence in Southern Thailand: Three Waves of
Malay-Muslim Separatism, Center for International Studies of Ohio University, Juni 2007, hal.4041. Akses dari http://etd.ohiolink.edu/send-pdf.cgi/Jones%20Sara%20A. pdf?acc_num =ohiou
1179351296, tanggal 3 September 2010, pukul 13.50 WIB.
79
yang telah dikeramatkan karena sudah diakui sejak zaman dahulu dan melalui
kebiasaan menyesuaikan diri. 163 Selain itu, pemerintah Thailand selalu
menganggap curiga raja-raja Patani ketika melakukan negosiasi dengan mereka,
pasalnya, raja-raja tersebut sering kali menjadi pelopor tindakan keras dari
masyarakat Patani
2. Respons Patani terhadap kebijakan integrasi Siam
Segera setelah diterapkannya kebijakan integrasi reformasi administrasi
Siam terhadap Patani, struktur politik kerajaan Melayu Patani mengalami
perubahan, jabatan raja dicopot, raja kehilangan sumber penghasilannya dari
pajak, kemudian memancing kemarahan dari pihak raja. Kemarahan tersebut
diilustrasikan raja-raja Patani dengan berbagai pemberontakan. Gerakan
pemberontakan melawan Thailand tersebut dikoordinasi oleh raja Abdul Kadir
Kamaruddin
(raja
terakhir
Patani).
Pertama-tama,
para
raja
menolak
melaksanakan perintah pemerintah Thailand mengikuti kebijakan reformasi
administratif dengan memboikot semua pertemuan yang diadakan pejabat-pejabat
Siam, yang pada akhirnya menyebabkan mereka dicopot dari jabatan mereka
sebagai raja. 164
Pemberontakan berlanjut hingga berakhir dengan ditangkapnya Abdul
Kadir Kamaruddin dan dipenjarakan di Phitsanulok hingga tahun 1916. Setelah
dibebaskan dari penjara, sultan dipindahkan untuk tinggal di Kelantan. Perjuangan
yang dipelopori raja Abdul Kadir Kamaruddin tersebut menginspirasi rakyat
163
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.33
164
Ibid. hal.39
80
Melayu-Muslim Patani untuk meneruskan perjuangan melawan ketertindasannya
oleh
Siam,
melalui
pemberontakan
Namsai
Baan
tahun
1922.
Pada
pemberontakan ini, penduduk desa di Mayo Namsai, Patani, menolak untuk
membayar pajak dan sewa tanah ke pemerintah Siam sebagai respons terhadap
penolakan reformasi pendidikan yang diperkenalkan tahun 1921, 165 dan UndangUndang Pendidikan Dasar Wajib 1921 yang mewajibkan seluruh anak-anak
Patani sekolah di sekolahan negeri selama empat tahun untuk belajar bahasa
Thai. 166 Melayu-Muslim Patani melihat aturan ini sebagai serangan terhadap
budaya atas program Thaisasi. Dalam pemberontakan ini, terjadi bentrokan antara
warga desa Namsai dengan aparat keamanan dengan jumlah korban terbanyak
dari kalangan Muslim Patani.
Dalam banyak hal, pemberontakan Namsai merupakan suatu peristiwa
yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi
peristiwa-peristiwa seperti itu di kemudian hari.
Perlawanan raja-raja Melayu di utara pun terjadi terhadap Inggris, bahkan
pemberontakan-pemberontakan di kesultanan-kesultanan tersebut merupakan hal
lazim, namun Inggris berhasil mengambil hati sultan-sultan tersebut dan
menjauhkan persekutuan mereka dengan para ulama. Sebaliknya, Siam
menghadapi dua golongan Patani, yakni kerabat raja dan para ulama. Kedua
165
Aphornsuwan Thanet, "The origins of Malay Muslim separatism in southern
Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October 2004, hal.18-19.
166
Moshe Yegar, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of The
Southern Philipines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar, USA: Lexington Books,
2002, hal.89.
81
golongan itu saling mendukung dan bekerjasama dalam perjuangannya melawan
kekuasaan Siam. 167
Abdul Kadir Kamaruddin berhasil menyakinkan raja-raja Melayu, bahwa
mereka mempunyai kewajiban untuk membebaskan saudara-saudara mereka atas
penindasan negara Thailand. Sehingga, tindakan Abdul Kadir Kamaruddin
mendapat dorongan dan dukungan dari raja-raja Melayu. Dorongan dan dukungan
raja-raja Melayu tersebut tidak terlepas dari kekhawatiran mereka bahwa suatu
saat jabatan dan kekuasaan mereka pun akan digerogoti oleh Inggris, seperti yang
telah dilakukan pemerintah Thailand terhadap raja Patani.
Walaupun tidak mendirikan organisasi resmi, Abdul Kadir Kamaruddin
berhasil menata jalan dan hubungan di kalangan pro-Melayu di kesultanankesultanan Malaya Utara, sebagai sekutu-sekutu dalam perjuangan kemerdekaan
Patani di masa mendatang. Dukungan tersebut, dirasa cukup dan berhasil ia
kerahkan tahun 1922 untuk menghentikan kampanye ‘men-Thai-kan’ provinsiprovinsi Melayu di Thailand Selatan. 168
Kebijakan dalam pendidikan semakin diperketat, manakala sekolah negeri
tersebut tidak hanya mengajarkan kurikulum sekuler Thai, tetapi juga mencakup
pengajaran dalam etika Budha, dengan biarawan sebagai guru pelayanannya. Hal
ini dianggap sebagai penghinaan terhadap umat Islam karena menyerang secara
langsung budaya, agama, dan bahasa Melayu-Muslim Patani. Akhirnya,
masyarakat Patani tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolahan yang
berkurikulum sekuler.
167
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta: LP3ES, 1989, hal.51
168
Ibid.hal.53
82
Di bidang politik dan hukum, meskipun hukum Islam dibiarkan berjalan,
terutama dalam masalah pernikahan, perceraian, dan warisan, orang Melayu
Muslim belum puas dengan otonomi agama. Mereka menuntut otonomi politik.
Dalam pemahaman mereka, bentuk lainnya otonomi, seperti di bidang ekonomi,
budaya, pendidikan, dan agama dapat dicapai melalui politik otonomi. Dipimpin
oleh seorang pemimpin agama, Haji Sulong, menerbitkan permohonan, sebagai
berikut:
1) Seorang pemimpin memiliki otoritas penuh untuk mengatur empat
provinsi di selatan. Pemimpin ini memiliki otoritas penuh untuk
menghentikan, menggantikan, dan memilih semua pejabat pemerintah di
empat provinsi. Pemimpin harus penduduk asli yang ditanggung atau
berasal dari salah satu dari empat provinsi dan dipilih oleh seluruh orang
di empat provinsi.
2) 80% dari para pejabat pemerintah di masing-masing provinsi harus
Muslim.
3) Malaysia dan Thailand harus menjadi bahasa resmi.
4) Pengakuan hukum Islam, dan pelaksanaannya dalam otonomi pengadilan
Islam, yang dipisahkan dari pengadilan sipil, dengan Qadhi sebagai hakim
Muslim
5) Semua pendapatan daerah dan sumber daya alam yang berasal bentuk
empat provinsi harus dimanfaatkan demi kepentingan umum di Patani.
83
6) Pembentukan badan Islam yang mempunyai wewenang penuh untuk
mengatasi masalah yang dihadapi Muslim Patani bawah kendali pemimpin
sebagaimana dimaksud dalam poin pertama.
3. Respons Lembaga Intelektual
Akibat, dilaksanakannya kebijakan integrasi Thailand terhadap Patani,
memancing pemberontakan dari kalangan elit Patani dan gerakan bawah tanah
dari kalangan rakyat biasa Patani. Pemberontakan dan gerakan bawah tanah
tersebut mendapat dukungan dan respons dari dunia internasional, khususnya dari
negara Arab dan negara tetangga (Malaysia). 169
Untuk pertama kalinya, isu Patani menarik perhatian internasional
semakin meluas termasuk Liga Arab dan PBB. 170 Langkah yang paling penting
adalah penciptaan pada Februari 1944, dari Gabungan Melayu Pattani Raya
(GAMPAR) atau Asosiasi Raya Melayu Patani di Kelantan. Ini menjadi
organisasi untuk mengkoordinasikan berbagai elemen bekerja untuk pembebasan
akhir Patani Raya. Itu mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Melayu di
Thailand dan juga dari Partai Nasionalis Melayu di Malaya. Situasi itu intens
dilakukan. Operasi gerilya mulai bergerak melintasi perbatasan dari dalam Malaya
ke Thailand selatan. Pemimpin keagamaan di kedua sisi perbatasan itu
menyerukan jihad (perang suci) terhadap pihak Thailand.
169
Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah
Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus
Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.129.
170
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003, hal.24
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berawal dari kegiatan hubungan komersial, Patani dalam kerajaan Ayuthia
mendapatkan tempat dan posisi penting. Mereka sering dijadikan sebagai
mediator perdagangan dengan Muslim lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan,
dan Melayu. Akibatnya mereka diangkat menjadi menteri perdagangan dan
penasehat raja. Lambat laun populasi Muslim di Ayuthia meningkat, sehingga
menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan akhirnya Ayuthia sebagai
kerajaan monarki absolut mengakui multi-agama, multi-budaya masyarakat di
bawah sistem anak sungai (upeti), dan mengklaim kedaulatan yang dimiliki
negera-negara kecil Muslim, termasuk Kesultanan Patani.
Kondisi suatu masyarakat yang pluralistik senantiasa mengidamkan
pengakuan, perlindungan, dan penghormatan demi menjamin hak-hak minoritas.
Idealnya jaminan bagi hak-hak kaum minoritas tercipta melalui kondisi pemberian
kesempatan dan mendapatkan hak-hak yang sama tanpa membedakan latar
belakang status. Pun, hendaknya, tercermin pada sikap dari publik dan pemerintah
guna
mempresentasikan
kepentingan-kepentingan
minoritas
dalam
aspek
kehidupan. Namun, kondisi tersebut tidak terjadi pasca pusat pemerintahan
Thailand dialihkan ke Bangkok.
Ancaman kolonalisasi bangsa Eropa yang disadari raja Thailand, akhirnya
membawa Identitas sosial Patani kepada konsekuensi penyatuan geografi dan
85
administrasi pemerintahan ke dalam sistem dan birokrasi pemerintah Thailand
yang berpusat di Bangkok. Integrasi Patani juga membawa dampak sosio-kultural
karena berpijak pada nasionalisme negara Thailand yang berpusat pada kesetiaan
kepada raja Thai, etika Budha dan budaya Thai. Sementara identitas sejarah
sebagai kerajaan Islam Melayu yang independen, budaya (kebiasaan atau adat
istiadat), bahasa Melayu, dan agama Islam yang diyakini Patani merupakan
identitas baku yang masih dipertahankan oleh Melayu-Muslim Patani.
Disisi lain, kondisi komersial Patani antara tahun 1842-1900 mengalami
persaingan yang sangat serius dengan pelabuhan di wilayah Asia Tenggara
lainnya. Terdesak dengan kondisi demikian, tahun 1902, Siam yang diprakarsai
oleh Raja Chulalongkorn akhirnya mempercepat proses integrasi untuk
mengukuhkan wilayah jajahannya, terutama terhadap wilayah-wilayah Melayu.
Kemudian dipertegas melalui perjanjian Anglo-Siam tahun 1909.
Pola integrasi yang diterapkan Thailand terhadap Patani banyak
menggunakan pendekatan dominasi etnik mayoritas yang memaksakan bentuk
akulturasi kebudayaan dan multikulturalisme yang semu. Hal ini dapat dilihat
sebagai upaya penyeragaman semua etnik menjadi satu bangsa.
Berdasarkan paparan dalam bab IV, hampir semua kebijakan yang
diterapkan pemerintah Thailand adalah usaha mencampuri urusan-urusan
keagamaan dan tradisi bangsa Melayu. Sehingga, kebijakan integrasi Thailand
berhasil hanya pada tatanan secara simbolik mengakui kekuasaan negara
Thailand. Semakin keras intervensi Thailand terhadap Patani, maka semakin keras
respon yang diperlihatkan untuk menentang kesewenang-wenangan Thailand.
86
Terutama dari kalangan elit para raja-raja Patani, yang dipelopori oleh Raja Adul
Kadir Kamaruddin, dan berakhir dengan penangkapan dirinya dan di pindahkan
ke Kelantan. Respons keras dari kalangan Patani membuktikan bahwa proses
integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand sangat tidak mudah, karena
dianggap merugikan segala aspek kehidupan rakyat Patani
Respons yang paling menarik adalah pemberontakan raja Abdul Kadir
Kamaruddin (raja Patani terakhir) mengilhami pemberontakan-pemberontakan
lainnya. Meski sudah tinggal di Kelantan, pengaruh bekas raja Patani tersebut
masih bisa dimanifestasikan oleh kalangan kaum Melayu-Muslim, dengan
melakukan penentangan terhadap penguasa Thailand sebagai perjuangan
membebaskan diri dari cengkramannya. Pemberontakan paling penting terjadi
tahun 1922, yang dinamai pemberontakan Namsai. Dalam pemberontakan ini,
wujud dukungan terhadap Abdul Kadir Kamaruddin diperlihatkan oleh kerabatkerabat raja dari kesultanan-kesultanan Melayu di utara dan para ulama.
Pemberontakan Namsai, dalam banyak hal, merupakan suatu peristiwa
yang unik dalam sejarah gerakan kemerdekaan Patani, dan menentukan arah bagi
peristiwa-peristiwa seperti itu di kemudian hari.
Dukungan dari dunia internasional pun mengalir untuk Patani, khususnya
dari negara Arab. Untuk pertama kalinya, isu Patani menarik perhatian
internasional dan mendapat dukungan semakin meluas termasuk dari Liga Arab
dan PBB, dengan mendirikan organisasi GAMPAR.
87
B. Saran dan Penutup
Dalam tulisan ini, masih kurang mendetail terutama dalam penguasaan
sumber primer. Karena keterbatasan bahasa yang dimiliki penulis. Namun secara
kronologis, detail peristiwanya memiliki persamaan dengan sumber-sumber
sekunder. Hal yang paling membedakan skripsi ini dengan tulisan yang lainnya
adalah, penggunaan metode dan pendekatan strukturalis, dengan teori
fungsionalisme struktural Talcott Parsons. Pendekatan teori tersebut, sesuai
dengan pola integrasi yang diterapkan oleh Thailand terhadap Patani. Sampai
tahun 1932, proses integrasi tersebut tersendat dengan pola pemeliharaan.
Menurut Parsons, pada tahapan ini seharusnya ikatan emosional sudah
tergeneralisasi untuk mencapai tujuan yang sama. Namun, tampaknya, integrasi
yang terjadi berlandaskan pada konsep nasionalisme negara Thailand belum
mampu memperlihatkan keseragaman bahkan penyatuan berbagai etnik.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988.
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1999.
Al-Attas, S.M. Naquib, Konsep Islam dalam Kebudayaan Melayu, Al-Islam.
Vol.9. tahun III, Ramadhan 1396 atau September 1976.
Al-Fatani, Ahmad Fathy, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka
Darussalam, 1994.
Aphornsuvan, Thanet, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok:
Thammasat University, 2003.
, "The origins of Malay Muslim separatism in southern
Thailand", Asia Research Institute, Working Paper Series, No. 32, October
2004.
Bahar, Saafrudin, Integrasi Nasional, Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1996.
Bajunid, Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim
Melayu di Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon
Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:
LP3ES, 1988.
Bajunid, Omar Farouk, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian
Studies, Vol. 37, No. 2, September 1999.
89
Bashah, Haji Abdul Halim (Abhar), Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam
Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka,
1994.
Budiwanti, Erni, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah
Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di
Asia Tenggar: Kasus Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang
Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000.
, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The
Continuation Pattani
Muslim’s
Identity”, dalam Multiculturalism,
Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian
Sumberdaya Regional (Indonesia), 2004.
Dawud, Abdur Rahman, H., Sejarah Negara Pattani Darussalam terbitan Pattani,
tanpa tahun.
, Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam
bahasa Jawi, tanpa tahun.
Dulyakasem, Uthai, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus
Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Editor: Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES,
1988.
Federspiel, Howard M., Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in
Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007.
Futson, John, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A
90
Contemporary Sourcebook, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson
Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006.
Gilquin, Michel, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terj.),
Jakarta. Dunia Pustaka Jaya, 1989.
Gottschalk, Louis, Understanding History, penerjemah; Nugroho Notosusanto,
Mengerti Sejarah, Jakarta : UI-Press, 1985.
Hall, D.,G.,E., Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun.
Harish, S. P., Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand
Discord, No. 107 (February 2006), Singapore, Institute of Defence and
Strategic Studies.
Ishii, Yoneo, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law &
Society Review 28, no. 3, 1994.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jilid II, Penerjemah:
Robert M.,Z., Lawang, Jakarta: Gramedia, 1986.
Jory, Patrick, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18/Autumn
2006.
Kasimin, Amran, “Religion and Social Change among the Indigenous People of
The Malay Peninsula”, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka,
1991dalam Hasan Madmarn, Conference on Religion and Society in the
Modern World: Islam in Southeast Asia, Jakarta, 29-30 Mei 1985.
Kersten, Carool, The Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American
Journal of Islamic Social Sciences 21:4.
91
Mahmud, Nik Anuar Nik, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi :
Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun.
Malek, Moh. Zamberi A., Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1994.
Man, W. K. Che, Islam in Contemporary dalam Akademika Vol.34 Januari 1989.
McCargo, Duncan, Southern Thai Politics: A Preliminary Overview, School of
Politics andInternational Studies, University of Leeds, POLIS Working
Paper No. 3 February 2004.
Mudmarn, Seni, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil
Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Saiful Mujani, Jakarta:
LP3ES, 1993.
Mujani, Saiful, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
Jakarta : LP3ES, 1993.
Mujani, Wan Kamal, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke
21, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002.
Nimkhoff, dan Ogburn, A handbook of Sociology, London: 1960.
Pamungkas, Cahyo, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”,
dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in
Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI),
2004.
Parsons, Talcott, The Social System, Francis: Routledge, 2005.
, Towards a General Theory of Action, Massachusetts: Harvard
92
University Press,1962.
Pitsuwan, Surin, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani,
Jakarta : LP3ES, 1989.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia, Jakarta” Balai Pustaka, 1993.
Pongsudhirak, Thitinan, The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand,
dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor:
Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007.
Raho, Bernard, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2004.
Ritzer, George, dan Douglas J.,Goodman, Teori Sosiology Modern, Penerjemah:
Triwibowo Budi Santoso, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Roux, Pierre Le, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi
(Thailand), Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998.
Satha-Anand, Chaiwat, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political
Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 (February 1992).
Sidaway, James D, The Geography of Political Geography, Department of
Geography National University of Singapore, dalam K. Cox, M. Low and
J. Robinson (eds) The Handbook of Political Geography (Sage).
Susanto, Astrid, S, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung:
Binacipta, 1979.
Sutrisno, Mudji, dan Hendar Putranto (editor), Teori-teori Kebudayaan,
Yogjakarta: Kanisius, 2005.
93
Taha, Adi Haji, Dimanakah Langkasuka?, Wacana Warisan Kedah Darul aman
Perpustakaan Awam Kedah, Alor Setar, Kedah, 11-12 Maret 2000.
Teeuw, A. dan D. K. Wyatt, Hikayat Patani, Koninklijk 5 The Hague : Martinus
Nijhoff : Koninklijk Instituut Voor Taal, Land-en Volkenkunde, 1970.
Thomas, M., Ladd, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern
Thailand, ISEAS No.28, April 1975.
Winichakul, Thongchai, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation,
Department of History, University of Wisconsin-Madison.
Yegar, Moshe, Between Integration and Seccesion: The Muslim Communities of
The
Southern
Philipines,
Southern
Thailand,
and
Western
Burma/Myanmar, USA: Lexington Books, 2002.
Yuniarto, Paulus Rudolf, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change
Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State
Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (Indonesia),
2004.
, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan
Budaya dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya,
Volume VII No.1 tahun 2005.
Yusuf, Imtiyaz, “Ethnoreligious and Political Dimensions of the Southern
Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in
the Muslim World, Editor; Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington:
Henry L Stimon Center, 2009.
94
Artikel dan Jurnal
Abdullah, Ahmad Amir Bin, Melayu Petani: A Nation Survives, 07/ 29/
2009.
Badrus Sholeh, “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand
Selatan” oleh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur,
tanpa tahun.
Bastian, Yunariono, Paradigma, Jurnal Hubungan Internasional FISIP
UPN“Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003.
Brown, David, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs
62, 1988.
Nuryanti, Sri, In Search of Identity of Pattani, dipresentasikan di Acara
Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret
2003.
Esai dan Tesis
Amnuay-ngerntra, Somphong Esai berjudul King Mongkut’s Political and
Religious Ideologies Through Architecture at Phra Nakhon Kiri, , AsiaPacific CHRIE (APacCHRIE) Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 2628 May, 2005.
Mala Rajo Sathian, Economic Change in Pattani Region c. 1880-1930: Tin and
Cattle in the Era of Siam’s Administrative Reforms, Departement of
History, National University of Singapore, 2004.
95
Pojar, Daniel J., Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani
Problem, Monterey, California, 2005.
Situs dan website
Haris, Syamsuddin, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang
Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand, hal.,107 akses dari situs
http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6
69/669.pdf.
Mahmud, Nik Anuar Nik, Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada
Keselamatan dan Kestabilan Serantau, Institut Alam dan Tamadun
Melayu. Akses dari situs http://www.scribd.com/doc/13353098/PerjanjianBangkok-19.
Suharto, Imtip Pattajoti, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The
Ministry of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.mculture.go.th
http://www.sociologyguide.com/thinkers/parsons.php
http://www.un.org/esa/socdev/sib/inclusive_society/social%20integration.html
Download