EKSISTENSI PURA BEJI AGUNG TEGALTAMU DESA BATUBULAN

advertisement
EKSISTENSI PURA BEJI AGUNG TEGALTAMU DESA BATUBULAN
KECAMATAN SUKAWATI KABUPATEN GIANYAR
( Kajian Teologi Hindu )
Oleh
Dewa Ayu Made Santika Dewi
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Abstrak
Pura Beji Agung Tegaltamu is one of Swagina temple located in Batubulan Village,
Sukawati District, Gianyar Regency. Structure Pura Beji Agung Tegaltamu consists of three
mandala namely in the Main Mandala sacred buildings are: a). Meru Tumpang Tiga, b)
Pengaruman, c) Padmasana Capah, d) Piasan, e) Bale Gong. The middle part of the
mandala (jaba tengah) there are buildings, namely: a) Taman, b) Bale Kukul, c) reliefs, while
in the nista mandala there is Bulakan. Pura Beji Agung Tegaltamu is a Swagina temple,
which is diempon by Puri Agung Tegaltamu. Piodalan (Pujawali) at Pura Beji Agung
Tegaltamu falls on Soma Ribek. 2) The function of Pura Beji Agung Tegaltamu has three
functions, namely religious function, social function, and usada function. Religious function
is as a place of worship to Sang Hyang Widhi in his manifestation as Lord Vishnu. Social
function is to increase the solidarity between pengempon pura. Usada function is the people
(people) who come to the temple can nunas tirta, and medicine (tamba). 3) Theological
Meanings contained in Pura Beji Agung Tegaltamu the concept of Godhead Saguna
Brahman (Personal God) because all forms of symbols should be seen as a means or tool
used to facilitate the application of methods of knowledge about God Saguna Brahma. The
symbols of the concept of Godhead Saguna Brahman in Pura Beji Agung Tegaltamu include:
Meru Tumpang Tiga, Padma Capah, Paruman, and Beji Taman are all symbols to worship
Ida Sang Hyang Widhi as Lord Vishnu.
Keywords: Existence, Pura Beji Tegaltamu, Hindu Theology.
I. PENDAHULUAN
Pura adalah tempat suci agama Hindu, Pura di Bali juga disebut Kahyangan atau
Parahyangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-Aspek Agama Hindu, fungsi pura yakni sebagai tempat memuja Hyang Widhi Wasa
dalam segala Prabhawa (manifestasi-Nya) dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur) (Tim
penyusun, 2006: 2). Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri
(kekhasan) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat
kedalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial, politik, ekonomis, geneologis (garis
keturunan).
Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial),
ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru), ikatan politik dimasa yang silam
antara lain berdasarkan kepentingan penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan
wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan
sistem mata pencaharian hidup seperti: petani, nelayan, pedagang, dan sebagainya. Ikatan
geneologis adalah dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut. Berdasarkan
atas ciri-ciri tersebut, maka terdapat beberapa kelompok pura berdasarkan atas karakter atau
sifat kekhasannya yaitu Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina, dan
Pura Kawitan (Titib, 2003: 96).
Salah satu pura yang memiliki suatu keunikan adalah Pura Beji Agung Tegaltamu
memiliki keunikan yang terlihat dari pemujaannya, biasanya Pura Beji pemujaannya
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
13
ditujukan kepada dewa Wisnu tetapi di salah satu padma memiliki 9 Arca di Padmasana
capah, pada tembok penyengker terdapat relief-relief dan Pura tersebut sebagai meminta
pengobatan (nunas tamba).
Pura Beji Agung Tegaltamu ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, dari
sinilah peneliti tertarik untuk meneliti struktur, fungsi, dan makna Teologi Hindu yang
terkandung dalam Pura Beji Agung Tegaltamu. Melalui penelitian ini diharapkan mampu
tercapainya peningkatan Sradha serta bhakti masyarakat pengempon Pura Beji Agung
Tegaltamu, serta umat Hindu pada umumnya
II. PEMBAHASAN
2.1 Struktur Pura Beji Agung Tegaltamu di Desa Batubulan
a. Struktur Pura Beji Agung Tegaltamu
Struktur Pura Beji Agung Tegaltamu di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati,
Kabupaten Gianyar terdiri dari tiga halaman (Tri Mandala) yang terbagi atas utama mandala
(jeroan), madya mandala (jaba tengah), nista mandala (jaba sisi). Di bagian Utama Mandala
atau sering disebut jeroan terdapat beberapa pelinggih maupun bangunan suci lainnya antara
lain: 1). Meru tumpang tiga, 2) Pengaruman, 3) Padmasana Capah, 4) Piasan, 5) Bale
Gong. Untuk areal madya mandala (jaba tengah) terdapat beberapa bangunan di antaranya
yaitu : 1) Taman, 2) Bale Kukul, 3) relief-relif. Di nista mandala atau sering disebut jaba sisi
terdapat bangunan antara lain: 1) Bulakan. Pura Beji Agung Tegaltamu merupakan Pura
Swagina, yang diempon oleh Puri Agung Tegaltamu. Piodalan (Pujawali) di Pura Beji
Agung Tegaltamu jatuh pada Soma Ribek.
b. Upakara dan Upacara di Pura Beji Agung Tegaltamu
Piodalan di Pura Alas Sari ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali berdasarkan
pawukon (210 hari), tepatnya pada Soma Ribek. Proses upacara piodalan di Pura Beji Agung
Tegaltamu berlangsung sederhana. Adapun rangkaian upacara piodalan yang biasa
dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Persiapan sarana atau alat-alat upacara di lakukan mulai dari tujuh hari sebelum
piodalan
2. Menghias pura dan ngiyasin Ida Bhatara seperti wastra, tedung, umbul-umbul dan
pemasangan penjor yang sudah dilakukan sehari hari sebelum piodalan.
3. Mekala yang adalah pembersihan tempat suci dan pelinggih-pelinggih dengan
upakaranya mempergunakan banten prayascita dan tirtanya dipercikan kesemua
bangunan-bangunan atau pelinggih-pelinggih.
4. Ngiring pratima dari Puri Agung Tegaltamu ke Pura Beji Agung Tegaltamu
5. Ngelukat upakara atau banten dengan menggunakan tirtha penglukatan yang
dipercikan keseluruh upakara atau banten.
6. Menghaturkan atau nganteban piodalan (pujawali)
7. Menghaturkan pecaruan (Cokorda Istri Tirta 20 februari 2017).
Setelah nganteban banten piodalan atau pujawali, dan menghaturkan canang
pemedek selanjutnya dilaksanakan pengubaktian. Pengubaktian pada rangkaian upacara ini,
sebelum upacara pengubaktian didahului dengan Tri Sandhya. Setelah selesai Tri Sandhya
dilanjutkan dengan pengubaktian panca kramaning sembah.
Upakara-upakara yang dipergunakan dalam upacara piodalan atau pujawali di Pura
Beji Agung Tegaltamu menggunakan banten madya yang terdiri dari:
1. Banten mendak
a. Ngatur ngiasan Bhatara
Pejati, suci, payascita dan pabiakaonan
b. Ngaturan pelinggih
Nasi pelinggih a bale isi empat, pejati suci, pekala yangan
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
14
2. Banten yang di letakan di Piasan
sorohan pragembal, suci saji,gebogan alit ,peras ajengan 2 tanding, daksina 2, jong 1,
jerimpen 2, tumpeng 22, sesayut, caru siap brumbun,dan sodan.
3. Banten pembersihan yang diletakan di ajeng mangku
Banten pengulapan, pabiakaonan, dumanggala, prayascita,lis agung, dan payuk
panglukatan.
4. Banten di Padmasana Capah
Pejati mesuci, dapetan tumpeng lima.
5. Banten di Pengaruman
Pejati mesuci.
6. Banten di Meru Tumpang Tiga
Pejati mesuci,
7. Banten di Bale Gong
Sodan,
8. Banten di Bale Kukul
Pejati suci, dapetan(sorohan), dan ulam karangan.
9. Banten di Penjor
Dapetan tumpeng lima, sorohan, dan daksina.
10. Banten di Taman
Suci, suci saji, daksina, pengangkat, peras, gebogan, jerimpen, tumpeng pitulas, dan
sesayut tri gangga.
11. Banten di Bulakan
pejati suci.
12. Banten di Beringin
Sodan biasa.
13. Banten di Relief
Sodan biasa.
2.2. Fungsi Pura Beji Agung Tegaltamu di Desa Batubulan
a. Fungsi Religius
Religiusitas masyarakat Desa Batubulan sebagai pangempon Pura Beji Agung
Tegaltamu, dimana Pura tersebut difungsikan sebagai tempat untuk melakukan pemujaan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya, tempat
melaksanakan upacara yadnya oleh masyarakat Desa Batubulan. Secara khusus Pura ini
digunakan sebagai tempat untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat di Desa Batubulan.
b. Fungsi Sosial
Fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat memiliki empat fungsi. Pertama, adaftasi
yaitu suatu sistem-sistem sosial untuk menghadapi perubahan lingkungan dengan baik.
Kedua, goal attaitmen yaitu adanya pandangan yang muncul bahwa suatu tindakan diarahkan
pada adanya tujuan-tujuan tertentu. Ketiga, integrasi, yaitu adanya interaksi antar relasi
dalam suatu masyarakat antar anggota masyarakat dalam suatu sistem sosial. Keempat, laten
pattern maintenance, yaitu suatu pola pemeliharaan terhadap sistem sosial dan berhentinya
interaksi sosial dalam masyarakat. Fungsi sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah
laku sosial, adanya fungsi sosial untuk mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat dalam
menjaga eksistensi dan kesucian Pura Beji Agung Tegaltamu serta pelaksanaan upacara
piodalan diaplikasikan dalam wujud kegiatan saling tolong menolong oleh masyarakat Desa
Batubulan.
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
15
c. Fungsi Usadha
Pura Beji Agung Tegaltamu dalam kaitannya dengan fungsi usada yaitu banyaknya
umat (masyarakat) yang datang ke pura ini selain tujuan sembahyang juga untuk meminta
obat (nunas tamba). Biasanya umat meminta obat di taman Beji dengan cara nunas tirta di
taman tersebut, pada saat nunas tamba yang dipuja adalah Dewi Gangga.
Dewi gangga yang bersthana di taman tersebut juga memberikan anugrah pada para
dukun yang datang kesana agar bisa mengobati umat manusia yang terserang penyakit.
Penyakit yang bisa disembuhkan adalah penyakit perut, penyakit kulit, penyakit bali, panas
dan lain-lain. Banyak umat yang dari luar Tegaltamu datang dan memohon kesembuhan di
taman tersebut karena tirta yang diperoleh dari taman tersebut dipercaya dan diyakini dapat
cepat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh umat yang nunas tamba.
2.3. Makna Teologi Hindu Pura Beji Agung Tegaltamu di Desa Batubulan
Keberadaan Pura Beji Agung Tegaltamu memiliki makna tertentu yang mungkin
belum sepenuhnya masyarakat ketahui. Pura Beji Agung Tegaltamu adalah salah satu simbol
dari Agama Hindu. Pura Beji Agung Tegaltamu sebagai simbol Agama Hindu khususnya
bagi masyarakat Tegaltamu sangat terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan ajaran
Ketuhanan (Teologi Hindu), karena simbol pura tersebut merupakan ekspresi untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun makna Teologi yang terkandung pada Pura Beji
Agung Tegaltamu akan dijelaskan sebagai berikut:
Beragam definisi diajukan untuk menjelaskan istilah teologi. Istilah "teologi" secara
harfiah berarti ‘studi mengenai Allah’, yang berasal dari kata Yunani ‘theos’, yang berarti
'Tuhan', dan akhiran ‘ology’ dari kata Yunani “logos” yang berarti (dalam konteks ini)
‘wacana’, ‘teori’, atau ‘penalaran’. Selain definisi tersebut pendapat lain yaitu Agustinus dari
Hippo mendefinisikan secara Latin, yaitu theologia, sebagai ‘penalaran atau diskusi
mengenai Ketuhanan’, selain itu Richard Hooker didefinisikan "theology" dalam bahasa
Inggris sebagai "ilmu mengenai hal-hal yang ilahi" (Donder, 2009: 1).
Adanya makna Teologi Hindu di Pura Beji Agung Tegaltamu karena adanya konsep
Ketuhanan Saguna Brahman (Persnoal God) karena pada wilayah teologi Saguna Brahma
inilah munculnya ñyasa atau bentuk-bentuk simbol, lambang, wujud gambar, wujud patung,
wajah dewa, Sehingga kehadiran dewa, lambang, atau segala bentuk simbol harus dilihat
sebagai sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode pengetahuan
tentang Tuhan Saguna Brahma.
Konsep Saguna Brahma salah satunya adalah dengan adanya Pura Beji Agung
Tegaltamu. Dimana Pura ini memiliki struktur yang sama dengan pura pada umumnya yaitu
terbagi atas tiga mandala (halaman) yaitu utama mandala, madya mandala, dan nista
mandala. Ketiganya melambangkan tiga dunia yang disebut Tri Loka yang terdiri dari
bhurloka (bumi), bhuvahloka (langit), dan svahloka (sorga). Pembagian halaman pura ini
didasarkan atas konsepsi makrokosmos atau alam semesta ini (Bhuwana Agung). Pada areal
utama mandala terdapat bermacam-macam pelinggih atau bangunan suci. Kata pelinggih
berarti bangunan tempat mensthanakan Sang Hyang Widhi, manifestasiNya atau roh suci
leluhur. Adapun simbol-simbol konsep Ketuhanan Saguna Brahman di Pura Beji Agung
Tegaltamu antara lain: Meru Tumpeng Tiga, Padma Capah, Pangaruman dan Taman Beji.
III.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat simpulkan bahwa Struktur Pura Beji Agung
Tegaltamu di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar terdiri dari tiga
halaman (Tri Mandala) yang terbagi atas utama mandala (jeroan), madya mandala (jaba
tengah), nista mandala (jaba sisi). Di bagian Utama Mandala atau sering disebut jeroan
terdapat beberapa pelinggih maupun bangunan suci lainnya antara lain: 1). Meru tumpang
tiga, 2) Pengaruman, 3) Padmasana Capah, 4) Piasan, 5) Bale Gong. Untuk areal madya
mandala (jaba tengah) terdapat beberapa bangunan di antaranya yaitu : 1) Taman, 2) Bale
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
16
Kukul, 3) relief-relif. Di nista mandala atau sering disebut jaba sisi terdapat bangunan
antara lain: 1) Bulakan. Pura Beji Agung Tegaltamu merupakan Pura Swagina, yang
diempon oleh Puri Agung Tegaltamu. Piodalan (Pujawali) di Pura Beji Agung Tegaltamu
jatuh pada Soma Ribek. Fungsi Pura Beji Agung Tegaltamu mempunyai tiga fungsi yaitu
fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi usada,. Makna Teologi yang terkandung dalam Pura
Beji Agung Tegaltamu adanya konsep Ketuhanan Saguna Brahman (Persnoal God) karena
pada wilayah teologi Saguna Brahma inilah munculnya ñyasa atau bentuk-bentuk simbol,
lambang sehingga kehadiran dewa, lambang, atau segala bentuk simbol harus dilihat sebagai
sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode pengetahuan tentang
Tuhan Saguna Brahma. Adapun simbol-simbol konsep Ketuhanan Saguna Brahman di Pura
Beji Agung Tegaltamu antara adanya : Meru Tumpang Tiga, Padma Capah, Paruman, dan
Taman Beji yang semuanya berupa simbol untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa
sebagai Dewa Wisnu.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I Gusti Gede. 2002. Pura Kahyangan Tiga. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana
dan Prasarana Kehidupan Beragama.
Baswori dan Suwandi, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2001. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.
Donder, I Ketut. 2006. Brahmawidya Teologi Kasih Semesta. Surabaya: Paramita.
Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu. Surabaya: Pamitara.
Donder, I Ketut. 2009. Teologi: Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang
Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita.
Gulo, W. 2002. Metodelogi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-Pokok Metodelogi dan Alikasi. Jakarta: Grilia Indonesia.
Koentjaraningrat. 1981. Metode Penelitian Mayarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia.
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moleong, Lexi J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexi J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Narbuko, Cholid dan Achmadi. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
Poerwadarminta, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Bali Pustaka
Pudja, Gede.1999. Teologi Hindu ( Brahmawidya). Paramita: Surabaya
Purbatjaraka, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua : Balai Pustaka.
Redana, Made. 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan Proposal Riset, Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Relin. 2009. Bahan Ajar Pengantar Filsafat. Denpasar: IHDN.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Sandiarsa. 1985. Pengertian Tempat Suci. Jakarta: Balai Pustaka.
Sanjaya, Putu. 2010. Acara Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Subagyo. 2006. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Sudarsana, I. K. (2014). PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN UPAKARA
BERBASIS NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU UNTUK MENINGKATKAN
PERILAKU KEWIRAUSAHAAN: Studi pada Remaja Putus Sekolah di Kelurahan
Peguyangan Kota Denpasar.
Sudarsana, I. K. (2015). PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
DALAM UPAYA PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA. Jurnal
Penjaminan Mutu, (Volume 1 Nomor 1 Pebruari 2015), 1-14.
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
17
Sudarsana, I. K. (2016). DEVELOPMENT MODEL OF PASRAMAN KILAT LEARNING
TO IMPROVE THE SPIRITUAL VALUES OF HINDU YOUTH. Jurnal Ilmiah
Peuradeun, 4(2), 217-230.
Sudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU
LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif
Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suprayoga, Iman dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Agama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Tim Penyusun. 1999. Siwa Tattwa. Denpasar.
Tim Penyusun. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.
Titib, 1998, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Pāramita
Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramita.
Triguna, I.B. Yudha. 1997. Metode Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolis
Masyarakat Hindu di Bali. Bandung : Universitas Padjajaran.
Triguna, Ida Bagus Gede Yudha, 2000. Teori Tentang Simbol, Denpasar : Widya Dharma.
Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Paramita.
Poewardarminta.1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wiana, I Ketut. 2004. Arti dan fungsi sarana persembahyangan. Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut. 2009. Arti dan fungsi sarana persembahyangan. Surabaya: Paramita
JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU |
18
Download