BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini membahas instrumentalisme hukum1 dalam ruang
politik.2 Dalam hal ini, Constitutional Review (selanjutnya ditulis CR)3 menjadi
obyek pembahasan sebagai salah satu kinerja wewenang pengadilan dalam
menegakan prinsip Negara Hukum dan supremasi konstitusi. Pendalaman
prinsip Negara Hukum terwujud ke dalam sistem konstitusional, yang
melahirkan komitmen “self-binding procedure”, yang mana pemerintah terikat
oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi.4 Jika
Istilah “instrumentalisme hukum” berasal dari khasanah teori hukum yang
berkembang di Amerika Serikat “legal instrumentalism.” Secara prinsip, instrumentalisme hukum
berpijak kepada pokok sebagai berikut: (i) tujuan negara dalam konkritisasi kebijakan pemerintah;
(ii) kebijakan pemerintah ditetapkan dalam hukum untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (iii)
tujuan-tujuan tertentu dirumuskan sebagai agregatisasi kehendak publik dalam aspek umum
maupun khusus; (iv) tujuan-tujuan tertentu menjadi dasar evaluasi publik terhadap eksistensi
hukum; dan (v) pembentukan hukum melalui prosedur legislasi dan/atau putusan pengadilan.
Lihat: Bruce Pardy, “The Hand Is Invisble, Nature Know Best, and Justice is Blind: Markets,
Ecosystems, Legal Instrumentalism, and The Natural Law of System”, Tulsa Law Review, Vol. 44,
2008, hlm. 68; Robert S. Summers, 1982, Instrumentalism and American Legal Theory, Ithaca,
Cornell University Press, hlm. 21; dan Hans Gribnau, “Legal Principle and Legislative
Instrumentalism”, dalam Arend Soetoeman (Editor), Pluralism and Law: Proceeding on the 20 th
IVR World Congress, Amsterdam, ARSP Beifeth, hlm. 33-34.
1
2
Istilah “ruang politik” dalam penelitian ini berasal dari “political sphere” yang
menunjukkan ruang tempat terjadinya diskursus segala hal mengenai negara, termasuk akses
masyarakat terhadap lembaga negara, lembaga perwakilan, dan pengadilan serta akuntabilitas
penyelenggaraan negara dalam implementasi kebijakan publik. Lihat: Darmawan Triwibowo,
2006, Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta, Penerbit Lp3ES, hlm. 5.
3
Istilah ini merujuk kepada pelaksanaan pengujian konstitusional suatu UndangUndang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung atau Peradilan (khusus) Konstitusi, yang mana
badan terakhir ini dikenal sebagai Mahkamah Konstitusi. Pengujian konstitusionalitas itu sendiri,
sebagai suatu istilah hukum, harus dibedakan dari judicial review. Pertama, pengujian
konstitusional (constitutional review), selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan oleh
lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana konstitusi memberikan
kewenangan untuk melakukannyaKedua, dalam konsep judicial review terkait pula pengertian
yang lebih luas obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, sedangkan pengujian konstitusional hanya menyangkut pengujian
konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi. Lihat: Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model
Pengujian Konstitusional, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press, hlm. 3.
Juan Linz dan Alfred Stephen, “Defining and Crafting Democratic Transition,
Constitution, and Consolidation”, dalam R. William Liddle (Editor), 2001, Crafting Indonesian
Democracy, Bandung, Penerbit Mizan Pustaka, hlm. 30. Bandingkan juga dengan tulisan menarik
commit“Konstitusi
to user adalah hukum rakyat, bukan hukum
Yonky Karman, yang antara lain mengatakan,
Allah, juga bukan hukum pemerintah. Pemerintah dibentuk dan dikontrol oleh konstitusi. Otoritas
4
1
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusi dilanggar, tentu akan mengusik posisinya yang fundamental dan
“tertinggi.” Perbuatan demikian berpotensi membuat konstitusi terancam tidak
lagi supreme sebagai acuan dasar penyelenggaraan negara. Implikasinya
konstitusi berlaku tanpa konstitutionalitas.5 Keadaan itu berpotensi menyayatnyayat idealita bahwa suatu konstitusi merupakan “a higher order law (which)
will generally be entrenced.”6
Oleh karena pembicaraan mengenai konstitusi lebih mendekati isu
yang
bersifat politik, maka pembebanan kepada strategi mempertahankan
konstitusi tak lepas pula akan diberi makna politik. Ada banyak strategi
mempertahankan konstitusi dan salah satu aktor yang “menanggung” beban itu
adalah pengadilan dengan pelekatan skema CR. Menyusul uraian lebih rinci
pada pembahasan berikutnya, pelekatan kepada pengadilan sebagai strategi
mempertahankan konstitusi telah melahirkan pemahaman “the judicialization
of politic” . Pemahaman tersebut mempunyai 2 aspek yang berbeda akan tetapi
berkaitan. Pertama, aspek yang memandang bahwa pengadilan “have
embraced a new, higher profile political role that depicts them as defenders of
constitutional commitments, advocates of rights, and arbiters of social policy
conflicts.”7 Pengadilan kemudian “have been granted or have begun exerting
the power to review legislation under the constitution”8 dan sebagai akibatnya,
pengadilan “assumed a more significant role within important political and
social debates that were traditionally left to the elected branches.”9 Kedua,
“the judicialization of politic” dicirikan dengan “the growing use of law, legal
pemerintah didelegasikan, bukan direbut, karena dipercaya oleh rakyat. Pemerintah harus
menerjemahkan kepercayaan itu dalam kerja profesional dan jujur kepada masyarakat.” Lihat
Yonky Karman, “Krisis Konstitusionalitas”, Kompas, Sabtu, 26 Maret 2011, hlm. 6.
Fadjar Laksono, “Constitutional Review sebagai Ikhtiar Menghentikan Kejahatan
terhadap Konstitusi guna Mewujudkan Konstitusionalitas Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 5,
No. 2, November 2008, hlm. 84.
5
6
Peter Layland, 2007, The Constitution of The United Kingdom: a Contextual Analysis,
Oxford, Hart Publishing, hlm. 1.
7
Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editors), 1995, The Global Expansion of Judicial
Power, New York: New York University Press, hlm. 6-7.
8
Ibid., hlm. 7.
9
Ibid., hlm. 26.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
discourse, and litigation by a range of political actors, including politicians,
social movements, and individual actors.”10 Sebagai akibatnya, seperti
dituturkan sementara pakar tata negara, “legislators write laws with the courts’
language and opinions in mind and social movements, individual citizens and
the political opposition alike frame their political struggles in the language of
rights, and turn to courts to advance them.”11 Penelitian ini menekankan
kepada aspek yang pertama yang berhubungan dengan “the discourse and
activity of courts.” Dengan demikian, CR menunjuk upaya mempertahankan
konstitusi melalui mekanisme pengadilan.
Upaya mempertahankan konstitusi melalui mekanisme pengadilan
tersebut sesungguhnya mempunyai relevansi gagasan mengenai supremasi
hukum. Dalam rumpun pemikiran dan hukum, demokrasi acapkali dimaknai
sebagai relasi kekuasaan di mana rakyat merupakan entitas tertinggi.12
Pemaknaan demikian menyusun bangun kedaulatan rakyat dengan pandangan
bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat. Akan tetapi, pengertian
kedaulatan rakyat di sini bukanlah seperti gagasan Rousseau yang
“mengidentifikasi kehendak negara dengan kehendak umum sehingga tidak
bertentangan sama sekali antara kehendak individu (volonte parti cullere)
dengen kehendak negara.”13 Pengertian kedaulatan rakyat dalam penelitian ini
adalah rakyat bukan sebagai totalitas akan tetapi sebagai komunitas yang
10
Alec Stone Sweet, 2000, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe.
Oxford and New York: Oxford University Press.
Jean Comaroff dan John Comaroff, “Law and Disorder in the Postcolony”, Social
Anthropoloy, Vol. 15, Vol. 2007, hlm. 133.
11
12
Konsepsi mengenai kekuasaan tertinggi (supreme authority) ini dikenal sebagai
konsep “kedaulatan” atau “sovereignty.” Ide mengenai kedaulatan ini telah dikenal sejak zaman
Yunani Kuno. Aristoteles misalnya, pada saat melakukan studi atas berbagai konstitusi sempat
menyinggung adanya sesuatu yang “superior” dalam suatu unit politik, apakah itu satu, beberapa
atau banyak. Lihat: Andrew Vincent, 1987, Theories of the State, Oxford, Basil Blackwell, hlm.
32.
Secara konseptual, gagasan ini berpijak pada pemahaman “rakyat” sebagai “bangsa”
dengan meyakini adanya suatu entitas misterius dari kehendak umum dan konsepsi masyarat
organic sebagai fondasi nasional yang commit
menggerakkan
to usermasyarakat. Lihat: J.J. Rousseau, 1986,
Kontrak Sosial (terjemahan), Jakarta, Penerbit Erlangga, hlm. 15.
13
4
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pluralis.14 Kedaulatan rakyat bukan bersumber kepada satu kekuasaan yang
memiliki totalitas, tetapi dalam bentuk pengearuh dari kekuatan-kekuatan yang
berkembang di dalam masyarakat.15 Hal ini tidak berarti kedaulatan berada di
tangan mayoritas, akan tetapi secara teoritis terletak pada representasinya
sebagai resultan atas semua pengaruh kekuatan politik.16 Dengan demikian,
tidak dapat diklaim sepenuhnya bahwa kekuatan mayoritas menjadi satusatunya kekuatan dalam suatu majelis pemilihan atau badan perwakilan,
melainkan harus dipandang sebagai resultan dari seluruh kekuatan-kekuatan
politik yang bertarung di tengah masyarakat.
Berkaitan
dengan
hal
itu,
sekalipun
demokrasi
modern
mempertahankan kehendak rakyat sebagai kekuasaan tertinggi, akan tetapi
sistem pengambilan keputusan dilaksanakan melalui badan perwakilan. Oleh
karena watak pluralis dari penyokong konfigurasi badan tersebut, maka sangat
dimungkinkan bahwa keputusan-keputusan yang ditetapkan, termasuk UndangUndang, berpotensi untuk bertentangan dengan komitmen demokrasi itu
sendiri terutama yang tertuang dalam konstitusi sebagai kontrak politik
tertinggi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, diperlukan
suatu badan yang netral dan imparsial untuk melaksanaan forum yang
memungkinkan peninjauan (review) terhadap keputusan-keputusan badan
perwakilan dikaitkan dengan konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi.
14
Pandangan pluralis berakar pada aliran pragmatism yang terutama berkembang di AS
dan Inggris. Tokoh-tokoh yang terpenting adalah Wukkuan James dan John Dewey (AS) serta
F.C.S. Schiller (Inggris). Pragmatism adalah aliran filsafat yang menekankan kepada aplikasi
gagasan. Pada ranah pemikiran hukum, aliran ini menjadi dasar berkembangnya aliran realismpragmatis (Pragmatic Legal Realism) yang sangat berpengaruh pada perkembangan hukum
dewasa ini. Lihat: Andrew Vincent, op.cit., hlm. 181. Baca juga: Lili Rasjidi, 1993, Filsafat
Hukum: Apakah Hukum Itu?, Bandung, Penerbit Rosda Karya, hlm. 50; Theo Huijbers, 1993,
Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 180; Mochtar
Kusumaatmadja, 1995, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan Nasional, Bandung, Penerbit Bina
Cipta, hlm. 9.
15
Pemikiran ini serupa dengan gagasan yang dikembangkan oleh Stanley I. Benn
dalam konsep “influential sovereignty”, yang menunjuk adanya pengaruh-pengaruh “a rulling
class”, mayoritas di badan perwakilan, pendeta, atau kelompok-kelompok sejenis lainnya. Lihat:
Stanley I. Benn, “The Uses of Sovereingty”, dalam Anthony Quinton (Editor), 1982, Political
Philosophy, London, Oxford University Press, hlm. 68.
16
hlm. 61-63.
Arief Budiman, 1997, Teori
Negara,
Jakarta, Penerbit Pustaka Utama Gramedia,
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
5
digilib.uns.ac.id
Di Indonesia, Perubahan17 UUD 194518 yang memanfaatkan
momentum reformasi19 dengan kesepatan tertentu20 dan didorong oleh berbagai
17
Dalam konteks UUD 1945, perubahan dapat dikategorikan sebagai berikut: (i)
Perubahan terhadap isi (substansi) ketentuan yang sudah ada; (ii) Penambahan ketentuan yang
sudah ada; (iii) Pengembangan materi muatan yang sudah ada menjadi bab baru; (iv) Penambahan
aturan yang sama sekali baru; (v) Penghapusan ketentuan yang sudah ada; (vi) Memasukkan dan
memindahkan beberapa isi Penjelasan ke dalam Batang Tubuh; dan (vii) Perubahan struktur UUD
1945 dan menghapus Penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945. Lihat: Bagir Manan, 2003, DPR,
DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Jogjakarta, Penerbit FH UII Press, hlm. 1.
18
Perubahan UUD 1945 dimulai sejak Oktober 1999, yaitu Perubahan Pertama ayng
ditetapkan oleh Sidang Umum Mejelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999, Perubahan
Kedua yang ditetapkan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2000,
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
tahun 2001, dan Perubahan Keempat yang ditetapkan oleh Sidang tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002.
Masing-masing diundangkan dalam Lembaran Negara No. 11, 12, 13, dan 14 Tahun 2006.
Masalah penempatan Perubahan UUD dalam lembaran negara ini dipicu oleh sorotan
sejumlah pihak, misalnya Ridwan Saidi, yang mengatakan bahwa tanpa penempatan dalam
lembaran negara, Perubahan UUD tidak sah dan sebagai akibatnya, pemerintahan dan segala
jabatan yang dibentuk tidak sah juga. Namun, Ketua Mahkamah Konstitusi (waktu itu) Jimly
Asshiddiqie, mengatakan bahwa penempatan dalam lembaran negara hanya bersifat administratif
dan tidak mempengaruhi keberlakuan Perubahan UUD 1945. Demikian juga Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (waktu itu) Hamid Awaluddin, mengatakan bahwa menunjuk ketentuan UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan, maka penempatan dalam
lembaran negara bersifat informatif dan tidak menjadi syarat keberlakuan Perubahan UUD 1945.
Kemudian, menurut Moh. Mahfud M.D., dari landasan yuridis dan filosofis, tuntutan penempatan
UUD dalam lembaran negara tidak relevan. Lihat selengkapnya dalam Moh. Mahfud M.D., 2009,
Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Penerbit RajaGrafindo Persada, hlm. 348,
dst.
19
Dalam teori konstitusi, dikenal adanya momentum untuk melakukan penyusunan
dan/atau perubahan UUD.
20
Dalam melakukan Perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc (PAH) I Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan konstitusi
yaitu: (i) tidak mengubah Pembukaan UUD; (ii) tetap mempertahankan Negara Kesatuan R.I.; (iii)
mempertegas sistem presidensial; (iv) Penjelasan UUD 1945 yang memuat ketentuan normatif
akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh); dan ((v) melakukan perubahan dengan
cara addendum. Lihat dalam Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2007,
Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun
1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan, Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta, hlm. 13.
Perlu diketahui, bahwa sekalipun perubahan dilakukan dengan addendum, berkembang
juga usulan dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat pada waktu itu agar UUD 1945 tidak
dijadikan landasan menyusun perubahan, bahkan kecenderungan menunjukkan sikap anggota
untuk melakukan penggantian UUD 1945. Sekalipun demikian, masih ada juga anggota yang
berpandangan sebaliknya. Lihat dalam Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat,
1999, Risalah Rapat ke-6 Panitia ad Hoc
III BP MPR
13 Oktober 1999 No. MJ/230/3/13/99, hlm.
commit
to user
13.
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
alasan21, telah mengubah secara mendasar konfigurasi kenegaraan. Perubahan
UUD 1945 tersebut telah menghasilkan analisis kesetaraan kedudukan lembaga
negara yang memperkuat sistem check and balances sekaligus menyelesaikan
apabila terjadi sengketa antarlembaga negara yang bersangkutan. Atas dasar
itu, muncul pemikiran untuk membentuk MK. Setelah melalui pembahasan
yang mendalam, pada akhirnya pemikiran tersebut diakomodasi dalam
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang disahkan oleh MPR pada 9 November
2001.
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang dirumuskan dalam
Perubahan Keempat UUD 1945 menyebutkan bahwa MK dibentuk selambatlambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya
dilakukan oleh MA. Memenuhi amanat Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
maka dibentuklah UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
diundangkan pada 13 Agustus 2003.22
Tugas konstitusional MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
yaitu (i) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji UU terhadap UUD; (ii) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; (iii) memutus
pembubaran partai politik; dan (iv) memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Satu lagi kewajiban yang diemban oleh MK sebagaimana tercantum dalam
Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 adalah terkait dengan pemakzulan
(impeachment) yakni memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
21
Alasan-alasan Perubahan UUD 1945 secara akademik sudah diperlihatkan oleh
banyak pakar hukum tata negara. Lihat antara lain: I Gde Pantja Astawa, “Beberapa Catatan
tentang Perubahan UUD 1945”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 1, No. 4, September-November
2001, hlm. 33; Abdul Mukthie Fajar, 2003, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi
Paradigmatik, Malang, Penerbit In-Trans, hlm. 39; Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Panduan dalam Memasyarakatkan...., op.cit., hlm. 11-15; dan Budiman N.P.D Sinaga,
2009, Hukum Tata Negara: Perubahan Undang-Undang Dasar, Jakarta, Penerbit Tata Nusa, hlm.
156.
22
commit to user
Dalam perkembangannya, kemudian diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011.
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kemudian, dengan ditetapkannya UU Penyelenggara Pemilu yang memastikan
pemilukada masuk ke dalam rezim pemilu23 maka MK memiliki kompetensi
terhadap obyek perselisihan pemilukada.24 Sekalipun demikian, perselisihan
pemilukada ditangani oleh MA25, sampai dengan diubahnya ketentuan UU
Pemerintahan Daerah yang memerintahkan penanganannya kepada MK.26
Secara sederhana mandat konstitusional MK dapat dilihat dalam ragaan
berikut:
Ragaan 1
Ranah Mandat Konstitusional MK
Perubahan UUD 1945, MK:
Kekuasaan Kehakiman






CR
Sengketa kewenangan
konstitusional LN
Perselisihan pemilu
Pembubaran Parpol
Pendapat
Impeachment
Sengketa Pilkada (UU)
MEKANISME
POLITIK
Judicial
Activism
Penelitian ini berfokus pada wewenang konstitusional Mahkamah
Konstitusi dalam CR. Namun demikian, oleh karena pemilukada berlangsung
dalam suasana yang dinamis, antara lain karena peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya sebelumnya diuji oleh MK. Dengan demikian, sekalipun
23
Sampai dengan diundangkannya UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2004,
pemilukada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun tidak dalam kualifikasi sebagai
rezim pemilu karena menjadi domain pemerintahan daerah. Pada tahap berikutnya, MK menguji
UU Pemerintahan Daerah dan di masa depan pemilukada dilaksanakan secara langsung.
24
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyelenggara Pemilu. Dengan regulasi baru ini, MK
berwenang untuk mengadili perselisihan pemilukada yang mempengaruhi: (a) penentuan pasangan
calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; dan (b) terpilihnya pasangan calon sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Inilah yang lazim dikenal sebagai “obyek perselisihan
oemilukada.”
25
26
Lihat ketentuan Pasal 108 UU Pemerintahan Daerah.
Lihat ketentuan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Pemerintahan
Daerah. Pasal 236C mengatakan, “penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada MK paling lambat 18 bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UU yang bersangkutan diundangkan pada 24 April
2008, maka paling lambat penanganan oleh
MK to
pada
24 Oktober 2009. Faktanya pengalihan itu
commit
user
terjadi pada Rabu, 29 Oktober 2008
perpustakaan.uns.ac.id
8
digilib.uns.ac.id
selektif dan parsial, dinamika yang penting terkait dengan agenda kenegaraan
tersebut harus disinggung dalam penelitian ini karena masih termasuk dalam
jangkauan isu penelitian tersebut. Pelaksanaan wewenang MK, yang
merupakan bentuk judicial activism27, dengan melakukan pengujian hukum,
sesungguhnya menjaga konstitusionalitas UU, yang dalam perspektif tertentu
sering menjadi “momok” (scourage) konstitusionalisme.28 Tidak berlebihan
bahwa ada sementara anggapan “A burgeoning consensus on all sides of the
political spectrum seems to be that judicial activism is bad.”29 Sebagai suatu
konsep konstitusional, “is used so often and so imprecisely, its significance
becomes questionable.”30
Di dalam praktik, putusan-putusan MK telah memberikan warna
sendiri pada ketatanegaraan Indonesia. Khususnya dalam rangka melaksanakan
kewenangan CR—yang antara lain berpengaruh kepada pemilu dan
pemilukada, baik langsung maupun tidak langsung, MK telah memberikan
warna baru bagi perkembangan hukum dan sistem hukum di Indonesia.
Melalui putusan-putusan MK untuk CR, pengaruh tersebut mencakup hukum
konstitusi dan menjangkau hampir semua lapangan hukum yaitu dalam bidang
politik, hukum perekonomian, HAM, pelaksanaan CR oleh MK telah
menghasilkan putusan-putusan yang penting dan memberikan khasanah baru.
Secara akademik, banyak persoalan yang dapat ditelusuri atas putusanputusan CR tersebut. Ada putusan yang dinilai melampaui batas kewenangan
MK dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusannya bersifat final dan
27
The term “judicial activism” refers to a family of views concerning the nature
of constitutional interpretation and the institutional role of the Court. Lihat William P. Marshall,
“Conservatives and the Seven Sins of Judicial Activism”, Colorado Law Review, Vol. 73, 2002,
hlm.1217-1220.
28
Lino Gralia, “ Rule of Law: Our Constitution Faces Death by ‘Due Process,’
Wall Street Journal, 24 Mei 2005, hlm. A12.
Bruce Hausknecht, “Focus on the Family’s Issue Analysis” The Law & the
Courts”, Q & A - Judicial Activism, http://www.citizenlink.org/FOSI/Courts/A000001374.cfm,
diakses 26 Maret 2011.
29
Robert Justin Lipkin, “We commit
Are Judicial
Acitivist Now”, University of Cincinati Law
to user
Review, Vol. 77, 2008, hlm. 186.
30
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengikat.31 Selain itu, seperti telah disinggung di atas, pengaturan UUD 1945
tentang CR telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam
penanganan konflik peraturan dan konflik orang atau lembaga.32 Selanjutnya,
terdapat putusan MK yang bersifat ultra petita (melampaui apa yang
dimohonkan)33 seperti (ii) putusan pengujian UU Ketenagalistrikan34; (ii)
putusan pengujian UU KKR35; dan (iii) putusan pengujian UU BHP36 yang
mengarah kepada intervensi ke dalam bidang legislasi. Ada juga putusan yang
dianggap melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal
yang menyangkut diri sendiri), serta putusan yang cenderung mengatur atau
putusan yang didasarkan kepada pertentangan satu undang-undang dengan
undang-undang lain, padahal mandat dari UUD 1945 adalah pengujian
31
Misalnya Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006, yang antara lain mengatakan
bahwa UU Tindak Pidana Korupsi 2002 tidak mempunyai kkeuatan hukum mengikat dan mulai
efektif 3 tahun ke depan sejak putusan MK dibacakan. Padahal, ketentuan Pasal 47 UU MK 2003
mengatakan bahwa putusan berlaku sejak selesai dibacakan di persidangan.
32
Misalnya Putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim MK dari
obyek kewenangan pengawasan oleh KY.
33
Penelitian ELSAM menilai bahwa putusan MK yang melebihi apa yang diminta
Pemohon (ultra petita) tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap UU MK dan asas kardinal
dalam hukum acara. Pertama, pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi karena tidak ada
peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apa yang
dimohonkan. UU MK hanya mengatur mengenai prosedur pembuatan putusan dan format putusan.
Sama sekali tidak mengatur mengenai kewenangan ultra petita. Kedua, pelanggaran serius
terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asas yang
berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court to deal
with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in their final
submissions, asked it to adjudicate dan “to ensure that the Court does not exceed the
jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnya
Mahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case” pelanggaran
serius terhadap asas kardinal dalam hukum acara, yaitu asas non ultra petita principle, yaitu asas
yang berfungsi untuk “governing the Court’s judicial process, which does not allow the Court to
deal with a subject in the dispositif of its judgment that the parties to the case have not, in their
final submissions, asked it to adjudicate28 dan “to ensure that the Court does not exceed the
jurisdictional confines spelled out by the parties in their final submissions”. Sehingga seharusnya
Mahkamah Konstitusi “strictly limited to the consent given by the parties to a case.” Pasal 45 s/d
49. Bandingkan juga: Bagian Menimbang huruf c Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak
Asasi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lihat juga Nancy A. Combs, Daryl
A. Mundis, Ucheora O. Onwuamaegbu, Mark B. Rees, and Jacqueline Weisman, “International
Courts and Tribunals”, http://www.abanet.org, diakses 27 April 2012.
34
Putusan No. 001-021-022.
35
Putusan No. 006/PUU-IV/2006.
36
Putusan No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10
digilib.uns.ac.id
konstitusionalitas UU terhadap konstitusi. Hal yang perlu mendapatkan
perhatian selanjutnya adalah masalah pelaksanaan putusan MK. Sebagai suatu
kekuasaan yudisial, putusan pengadilan merupakan produk kenegaraan yang
mengikat37 antara lain kemampuannya menciptakan atau menetapkan keadaan
hukum baru.38
Oleh karena itu, MK sering dinilai menjadikan dirinya sebagai
lembaga yang super body, karena dengan berlindung di dalam ketentuan UUD
bahwa putusannya bersifat final dan mengikat, lembaga ini ada kalanya
membuat putusan-putusan yang justru dapat dinilai melampaui kewenangan
konstitusionalnya. Dengan melihat kecenderungan tersebut, muncul gagasan
agar ada Perubahan UUD 1945 dan/atau amandemen UU MK yang dapat
membatasi kewenangan dan dapat mengontrol MK. Arahnya adalah larangan
bagi MK agar tidak membuat putusan yang melampaui wewenangnya dan
masuk ke ranah lain seperti ranah legislatif dan yudisial.39
Pelaksanaan CR oleh MK sangat menarik untuk dikaji terutama dalam
konteks transisi demokrasi di Indonesia. Makna penting format transisi
demokrasi dalam memahami kinerja MK oleh karena secara empirik Indonesia
37
Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
38
Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi
memiliki sifat declaratoir (menyatakan apa yang menjadi hukum), condemnatoir (menghukum
tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi) dan constitutive (menciptakan suatu
keadaan hukum baru). Lihat: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Pengujian…, op.cit., hlm. 240-242.
Sejak awal memang didesain bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian
undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi
meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator.
Lihat: A. Fickar Hadjar, dkk. 2003. Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-undang
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan, hlm. 34.
39
Walaupun sebenarnya kecenderungan praktik global menunjukkan bahwa MK dalam
menjalankan fungsinya kadang-kadang membatasi Pemerintah dan penegak hukum. Dikatakan
oleh seorang penulis bahwa: “The path to the constitutional court to determine the issue of legality
is frequently confined to government and law makers. For example, in the case of the German
Federal Constitutional Court the issue can be referred for resolution by the Federal government,
the Land government or by a third of Bundestag members. There are many variations granting a
right of referral to PM, prosecutor general, ombudsman, president of the high council of local
authorities (Mali), president of the high broadcasting authority (Benin), or varying proportions of
member of the legislature.” Lihat: Andrew Harding, Peter Leyland,dan Tania Groppi (Editors),
“Constitutional Courts: Forms, Functions
and Practice
commit
to userin Comparative Perspective”, Journal of
Comparative Law, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 15.
perpustakaan.uns.ac.id
11
digilib.uns.ac.id
mengalami transisi sistemtik (systemtic transition).40 Transisi semacam ini
tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia
terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Pada
satu sisi, kelembagaan legislasi yang sejak Perubahan UUD 1945 dialihkan ke
DPR41 menampakkan kesan tidak diikuti dengan perencanaan dan kesadaran
semangat pembentukan UU yang memadai42, walaupun hal yang sama terjadi
di lingkungan pemerintah juga.43 Penelitian mengenai putusan MK menjadi
40
Terminologi systemic transition untuk Indonesia, diperkenalkan oleh Mishra yang
menjelaskan proses transisi politik dan ekonomi yang terjadi serta bagaimana seharusnya proses
tersebut disikapi, belajar dari pengalaman negara lain yang telah lebih dahulu mengalami transisi
serupa. Lihat dalam: Satish Mishra, “Systemic Transition in Indonesia: Implications for Investor
Confidence and Sustained Economic Recovery”, UNSFIR Working Paper 00/06, Jakarta, 2000.
41
Ketentuan Perubahan UUD 1945 yang dianggap menciptakan pergeseran kekuasaan
legislatif itu adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang awalnya berbunyi, “Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” yang diubah menjadi, “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.” Lalu, ketentuan Pasal 20 ayat (1)
yang semula berbunyi, “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”, diubah
menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Sementara pandangan
mengatakan bahwa dengan adanya perubahan ketentuan UUD 1945 tersebut, maka telah terjadi
pergeseran fungsi legislasi. Lihat pendapat-pendapat berikut: Jimly Aasshiddiqie, 2005,
Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta, Pusat Studi HTN UI, hlm.
25; Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 135; H.A.S Natabaya, 2006, Sistem
Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, hlm. 42;
dan Wicipto Setiadi, “Makna Persetujuan Bersama dalam Pembentukan Undang-Undang serta
Penandatangan oleh Presiden atas Rancangan Undang-Undang yang telah Mendapat Peretujuan
Bersama”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 21. Sebagai wawasan, analisis
implikasi ketentuan Perubahan UUD 1945 tersebut dalam praktik dapat dibaca, antara lain: Saldi
Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem
Presidensial Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 209-232.
42
Moh. Fajrul Falaakh, akademisi UGM dan anggota Komisi Hukum Nasional (KHN)
mengatakan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh DPR makin tak keruan, tumpang tindih,
dan menampakkan gejala otoritarianisme. Dalam beberapa hal, produk hukum itu justru mulai
menjauh dari semangat reformasi. Hampir semua UU memiliki bobot ancaman pidana. Bahkan
terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal pengaturan ancaman pidana antara UU yang satu dan
yang lain. Misalnya, di dalam KUHP, pencemaran nama baik diancam sanksi pidana yang rendah.
Lain halnya dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hal itu membuktikan cara pandang
pembentuk UU terkait dengan substansi hukum tidak sinkron satu sama lain. Filosofi pemidanaan
tidak dikuasai. Ancaman pemidanaan ini, sayangnya tidak dibarengi dengan
pembenahan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum, yakni penyelidik, penyidik, dan
penuntut umum. Jadi, ada sisi yang memang saling menunjang gagalnya reformasi di bidang
hukum. Lihat: Kompas, Senin, 21 Mei 2012, hlm. 4.
43
Sebagai contoh adalah kasus Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33/2012 tentang
Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan. Dalam peraturan itu antara lain diatur: (i) setiap
organisasi kemasyarakatan (Ormas) harus terdaftar untuk memperoleh Surat Keterangan Terdaftar
commit to SKT
userdan juga bisa mencabutnya; (iii) ormas
(SKT); (ii) pemerintah bisa menolak menerbitkan
harus membuat surat pernyataan kesediaan atau persetujuan ormas dalam kepengurusannya
perpustakaan.uns.ac.id
12
digilib.uns.ac.id
penting karena posisi semacam itu putusan itu akan dihormati oleh cabang
kekuasaan lain, termasuk pengadilan, baik karena personalitas para hakim
maupun karena pertimbangan-pertimbangan hukum yang layak untuk
dirujuk.44
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Instrumentalisme Hukum dalam Ruang
Politik (Pelaksanaan Constitutional Review dan Implikasinya terhadap
Mahkamah Konstitusi dalam Transisi Demokrasi di Indonesia).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini disusun sebagai berikut:
1. Mengapa pelaksanaan CR oleh MK dalam transisi demokrasi di Indonesia
menunjukkan adanya instrumentalisme hukum dalam ruang politik?
2. Bagaimanakah model pelaksanaan CR oleh MK di masa depan agar
mampu mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pemahaman pelaksanaan CR oleh MK dalam transisi
demokrasi di Indonesia; dan
mencantumkan nama pejabat negara, pejabat pemerintahan, dan tokoh masyarakat; dan (iv)
menteri, gubernur, bupati/walikota diberi wewenang untuk membekukan SKT, antara lain jika
ormas menyebarkan ideology marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, dan ideologi lain yang
bertentangan dengan Pancasila, termasuk merusak hubungan antara negara Indonesia dengan
negara lain. Peraturan itu dianggap bertentangan UU No. 8/1985 dan bahkan dengan UUD 1945
terkait dengan kebebasan berserikat. Aturan itu dianggap memunculkan otoritarianisme di era
demokrasi. Lihat: Tajuk Rencana, “Menguji Peraturan Mendagri”, Kompas, Sabtu, 19 Mei 2012,
hlm. 6.
44
Dalam tradisi penelitian di AS, kedua hal itu tercakup dalam pendekatan penelitian
masing-masing “attitudinal model” dan “legal model.” Dalam hal ini, model pertama “have
inherited the mantle of legal realists in arguing that judges are influenced far more by their
personal preferences than by the dictates of higher courts”, sedangkan yang kedua “have theorized
that judges do in fact abide by the governing legal regime as embodied in binding precedent.”
Diskusi yang menarik mengenai kedua pendekatan ini lihat: Frank B. Cross, “Political Science and
the New Legal Realism: A Case of Unfortunate Interdisciplinary Ignorance”, New York University
Law Review, Vol. 92, 2007, hlm. 315 commit
dan Nancy
Staudt, “Modeling Standing”, New York
to C.
user
University Law Review, Vol. 79, 2004, hlm. 614.
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
2. Untuk merumuskan model pelaksanaan CR oleh MK di masa depan agar
mampu mengawal proses transisi demokrasi di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Secara umum, penelitian ini memberikan pemahaman yang baru
dalam memahami pelaksanaan CR oleh MK yang berdasarkan kepada kata
kunci transisi demokrasi. Pemahaman baru ini diperlukan secara akademik
dalam rangka memberikan pijakan yang lebih rasional dan realistis
mengenai kelembagaan MK, khususnya terkait dengan wewenang CR.
Dalam perspektif teori hukum, penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat berupa pemikiran baru kepada ilmu hukum tata negara pada
umumnya dan masalah CR pada khususnya sebagai suatu tata legal yang
bekerja dalam pergaulaan sosial dan politik.
Manfaat penelitian ini juga diharapkan mendorong perkembangan
hukum tata negara di Indonesia dan dikaitkan dengan cara berpikir yang
multidisiplier, karena mayoritas kajian disiplin ini masih bersifat normatif.
Dengan demikian, dari segi teori, penelitian ini dapat mensinergikan dan
memperkuat konsep CR dalam kajian ketatanegaraan.
2. Manfaat Praktis
Dalam perspektif praktis, penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat pada Pemerintah, DPR, dan MK, khususnya dalam melaksanakan
wewenang CR, untuk memahami konstruksi hukum yang lebih rasional
sehubungan dengan mandat UUD 1945. Rumusan manfaat ini didasari
kepada realitas praktis dan akademik bahwa dalam perdebatan yang sedang
berlangsung tentang kaitan hukum dan keadilan dengan transisi demokrasi,
terdapat 2 kubu pemikiran yang saling bersaing, yaitu kaum realis dan
kaum idealis, tentang kaitan antara hukum dan perkembangan demokrasi.
Perbedaan pandangan ini muncul dari bias keilmuan (politik vs
hukum) atau dari generalisasi pengalaman-pengalaman negara tertentu ke
tingkat universal. Jadi, dalam teori politik, pandangan dominan tentang
to user
proses transisi demokrasicommit
menggambarkan
suatu urutan yang diawali
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perubahan politik. Oleh karena itu, respon transisional suatu negara
dijelaskan utamanya dengan batasan-batasan politik dan institusional yang
relevan.
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORITIS
1. Instrumentalisme Hukum
Penelitian ini memandang bahwa hukum dalam masa transisi
demokrasi, dalam hal ini konstitusi dalam posisi“law is a means to an
end, or a tool for the social good.”45 Di dalam negara Welfare State46,
instrumentalisme hukum ini meluas. Kondisinya seperti digambarkan
oleh Bruce Pardy sebagai berikut:47
Courts frequently rely on policy grounds to justify
idiosyncratic results in particular cases.
Governments develop policies and programs
designed to address a multitude of specific social
issues. Legislatures grant administrative agencies
broad mandates with minimal oversight, and
officials act with their own initiative to craft
solutions to what they perceive as pressing
community needs. Everywhere state actors take it
upon themselves to pursue the ends they deem
appropriate.
Instrumentalisme hukum dapat dilakukan melalui UU,
pengadilan, maupun kombinasi keduanya. Instrumentalisme melalui
UU meliputi 2 macam jenis. Menurut Bruce Pardy, “They can consist
of either specific rules that apply to particular facts or parties, or
45
Brian Z. Tamanaha, “How an Instrumental View of Law Corrodes the Rule of Law”,
DePaul Law Review, Vol. 56, 2007, hlm. 469.
46
Dalam literatur hukum ketatanegaraan di Indonesia, istilah Welfare State
diterjemahkan sebagai “Negara Kesejahteraan.” Dalam garis besar, Negara Kesejahteraan
menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan
pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.Lihat: Edi Suharto, “Peta
dan Dinamika Welfare State di Berbagai Negara: Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik untuk
Membangun Indonesia?”, Makalah dalam Seminar “Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan
Terobosan melalui Desentralisasi- Otonomi di Indonesia”, Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta dan Perkumpulan Prakarsa Jakarta, bertempat di Wisma MM
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 25 Juli 2006, hlm. 3.
Bruce Pardy, “The Hand Is Invisble, Nature Know Best, and Justice is Blind:
Markets, Ecosystems, Legal Instrumentalism,
The Natural Law of System”, Tulsa Law
commitand
to user
Review, Vol. 44, 2008, hlm. 68.
47
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
vague rules that provide wide discretion to fashion unique solutions to
particular social problems.”48 Namun, instrumentalisme hukum dapat
berlangsung secara alami yaitu “the first because the rule itself is
designed to achieve a specific purpose and the second because the
statute creates a regime within which officials have the discretion to
determine specific outcomes in specific situations.”49 Pembuatan UU
menurut David Trubeck merupakan suatu “purposive human action”,
yang tidak pernah bersifat otonom dan steril, melainkan sarat dengan
kepentingan-kepentingan kelompok atau kekuatan-kekuatan potensial
dalam suatu negara yang menginginkan kepentingan-kepentingannya
dilegalisasi atau diproteksi dalam UU.50 Tidaklah mengherankan jika
dalam konteks ini kemudian dipahami—seperti dikatakan oleh
Duverger—bahwa UU merupakan “een neerlag van politieke
machtsverhoudingen” (suatu endapan dari pertukuran antara kekuatankekuatan politik dalam masyarakat)51 atau dalam pandangan Karl
Marx disebutnya sebagai “representasi kekuatan-kekuatan kapitalis.”52
Kekuatan-kekuatan nonhukum tadi, menurut Robert B. Siedman, akan
terus berusaha masuk dan mempengaruhi setiap proses legislasi dan
penegakannya.53
Sementara itu, pengadilan dianggap sebagai “professional
bureaucracies.”54 Menurut Mitnzburg, “a professional bureaucracy is
48
Ibid.
49
Ibid.
50
David M. Trubeck, dalam Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM,
Jogjakarta, Penerbit UII Press, hlm. 12.
51
Dalam Satjipto Rahardjo, 2004, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah, Surakarta, UMS Press, hlm. 127.
52
Selengkapnya dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, 1988, Hukum dan
Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Buku I, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, hlm. 141-200.
53
William J. Chambliss dan Robert B. Siedman, 1992, Law and Development, Reading
Mass, Adittion Wesley, hlm. 12.
J.B.J.M. ten Berge, ‘Organisatie en individuele rechter in balans (over
onafhankelijkheid en professionele autonomie)’
J.B.J.M. ten Berge and A. Hol (Editors),
commit dalam
to user
2006, De Onafhankelijkheid van de individuele rechter, , The Hague, , hlm. 6-9.
54
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
an organisation that hires people who have been through a process of
intensive training to turn them into ‘specialists.’”55 Untuk menentukan
watak spesialisasinya itu, “the complex work of the operating
professionals cannot easily be formalized, or its outputs standardized
by action planning and performance control systems the complex work
of the operating professionals cannot easily be formalized, or its
outputs standardized by action planning and performance control
systems.”56 Oleh karena itu, amat sulit sebetulnya menilai kinerja
pengadilan semata-mata dari segi keberadaan hakim karena “that
basically judges are difficult to manage and access to justice cannot be
so easily programmed around them because of their nature as
professionals, and because of their control over productivity.”57 Pada
dasarnya juga seorang hakim independen dalam mengambil putusan
dan dalam konteks organisasinya; para hakim bekerja dalam kerangka
kepastian hukum, sekalipun implementasi kerangka itu membutuhkan
pengalaman untuk dapat menghasilkan suatu penafsiran. Perlu dicatat,
penafsiran itu dibutuhkan karena secara tradisional, “judges are
foremost supposed to be loyal to the law.”58 Secara de facto, para
hakim—untuk perkara konstitusi atau administrasi, misalnya—
acapkali mempunyai diskresi “due to elastic formulations of the laws
allowing for its guardians to simultaneously determine their meaning
thus playing a truly political role.”59 Secara mendasar lagi, para hakim
dalam tradisi demokrasi liberal “increasingly forced to fill the gap left
by authorities who should legitimately occupy it (i.e. the legislative
55
H. Mintzberg, “Structure in 5’s: A synthesis of the Research on Organization
Design”, Management Science , Vol. 26, 2008, hlm. 333.
56
Ibid., hlm. 334.
57
Ibid.
58
Bart Nelissen, “Judicial Loyalty Through Dissent or Why The Timing is Perfect for
Belgium to Embrace Separate Opinion”, Electronic Journal of Comparative Law, Vol. 15, No. 1,
2011, hlm. 5.
59
Ibid.
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
and the executive branch) with considerable psychological insecurity
due to the loss of identifying guidelines.”60 Hal itu dibutuhkan karena
“Both the legislative and the executive branch are often incapable to
resolve social disputes, the task of producing the necessary law
shifting to the judiciary as a result”, suatu keadaan yang dalam tradisi
Prancis dikenal sebagai “la judiciarisation du droit.”61 Seperti
dikatakan sebagai hasil World Congress of the International Academy
of Comparative Law ke-17 di Utrecht University (16-22 Juli 2006)
yang lalu, instrumentalisme pengadilan menjadi salah satu cara agar
hukum “can be developed into more and more refined notions,
interconnections
and
codifications
coupled
with
increasingly
sophisticated ways of interpretation.”62
Dalam tataran ideal, instrumentalisasi hukum dianggap
bertentangan dengan Rule of Law karena secara tradisional prinsip ini
mengandung pengertian “a system of governance based upon
generally applicable, abstract rules and limited state discretion, in
which the government is subject to the same law as individual
citizens.”63 Nyatalah hal demikian menunjukkan dualisme, akan tetapi
lazim diberlakukan, termasuk antara lain dalam pengalaman Amerika
Serikat. Dikatakan oleh Brian Tamanaha64 bahwa:
The legal tradition in the United States combines
two core ideas. The first idea, known broadly as the
rule of law, is that government officials and citizens
are obligated to abide by the regime of legal rules
that govern their conduct. The second idea, what I
call legal instrumentalism, is that law is a means to
60
Ibid.
61
Ibid., hlm. 7.
Bas de Gaay Fortman, “A Comparative Exploration into Human Rights as a MoralPolitical Force in Judicial Law Development”, Utrecht Law Review, Vol. 2, No. 2, 2006, hlm. 22.
62
63
Robert B. Keiter, “Beyond the Boundary Line: Constructing a Law of Ecosystem
Management”, University of Colorado Law Review, Vol. 65, 2004, hlm. 293.
64
loc.cit.
Brian Z. Tamanaha, “How commit
an Instrumental
to userView of Law Corrodes the Rule of Law”,
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
an end or an instrument for the social good. Both
ideas are taken for granted and are equally
fundamental in contemporary U.S. legal culture. It
is seldom recognized that the combination of these
two ideas is a unique historical development of
relatively recent provenance and that, in certain
crucial respects, they are a mismatched pair.
Selanjutnya dikatakan bahwa “Both of these ideas have
become firmly established as legal norms even though they directly
conflict, at least when applied to courts and other adjudicative bodies.
Although legal theorists have put forth compelling arguments that rulebound judging and a focus on purposes and ends cannot in principle be
combined, this combination has in fact taken place in U.S. legal
culture.”65
Instrumentalisme hukum, khususnya melalui pengadilan,
secara filosofis menguraikan permasalahan yang berkait dengan “on
what judges do?” Berkaca pada tradisi Amerika, pada awal
pertumbuhan negara, “courts often resolved close cases with reference
to public policy and conceptions of economic justice.”66 Hal ini karena
pada masa paruh pertama abad ke-19, negara ini mengalami perluasan
wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Para pedagang dan pelaku usaha
mencoba memperbaiki sistem hukum yang ada dengan cara “forg[ing]
an alliance with the legal profession to advance their own interests
through a transformation of the legal system.”67 Sampai penghujung
abad ke-19, transformasi itu telah selesai. Untuk mempertahankan
keadaan tersebut, diambil langkah yang simpel, yaitu “gave common
law rules the appearance of being self-contained, apolitical, and
inexorable, and which, by making ‘legal reasoning seem like
mathematics, conveyed an air . . . of . . . inevitability about legal
65
Ibid., hlm. 489.
66
Morton J. Horwitz, “The Rise of Legal Formalism”, American Journal of Legal
History, Vol.19, 2005, hlm. 251.
67
Ibid.
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
decisions.”68 Kerangka pikir ini bagi para hakim “was a protective
device. They were middle-of-the-road conservatives, holding off the
vulgar rich on one hand, the revolutionary masses on the other. The
legal tradition represented balance, sound values, a commitment to
orderly process.”69 Situasi inilah yang menandai kelahiran dan kejayaan
formalism yang mengutamakan pijakan legalistic untuk melestarikan
rule of law, yang dibalik itu sebenarnya mengabdi kepada kepentingan
pelaku dan modal. Hakim cenderung “apply the governing law to the
facts of a case in a logical, mechanical, and deliberative way.”70 Dalam
kerangka ini, pengadilan tak ubahnya laksana “giant syllogism
machine”, sementara para hakim seperti “highly skilled mechanic.”71
Belakangan
mulai
tahun
1920-an
dan
1930-an,
intrumentalisasi pengadilan dengan fungsi seperti itu mulai dikecam
dan kemudian melahirkan pemikiran Legal Realism yang dipelopori
oleh Yale and Columbia law schools and at Johns Hopkins’s short-lived
Institute of Law.72 Pemikiran ini kemudian memunculkan kata-kata
klise, nyaris latah, dalam dunia akademik dan praktik di Amerika,
dengan jargon “we are all realist now.”73 Kalangan Positivist seperti
Hart mengecam pemikiran Legal Realism dengan menyebutnya sebagai
68
Ibid., hlm. 252.
69
Ibid.
Burt Neuborne, “Of Sausage Factories and Syllogism Machines: Formalism,
Realism, and Exclusionary Selection Techniques”, New York University Law Review, Vol. 67,
2002, hlm. 421.
70
71
Ibid.
Michael Steven Green, “Legal Realism as A Theory of Law”, William and Mary
Law Review, Vol. 46, 2005, hlm. 1917.
72
73
Lihat antara lain: Gregory S. Alexander, “Comparing the Two Legal Realisms—
American and Scandinavian”, American Journal of Comperative Law, Vol. 50, 2002, hlm. 13;
Brian Leiter, “Rethinking Legal Realism: Toward a Naturalized Jurisprudence”, Texas Law
Review, Vol. 76, 2007, hlm.267-268; Joseph William Singer, “Legal Realism Now”, California
Law Review, Vol. 76, 2008, hlm. 467; John Henry Schlegel, “American Legal Realism and
Empirical Social Science: From the Yale Experience”, Buffalo Law Review, Vol. 28, 1999, hlm.
460; dan Louise Weinberg, “Federal Common
New York University of Law Review, Vol.
commitLaw”,
to user
83, 1999, hlm. 834.
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“deeply implausible”74; sementara kalangan lain mengkritik dengan
istilah “open to easy refutation”75, dan “a jurisprudential joke.”76
Walaupun kalangan dicermati secara menyeluruh pemikiran mereka
yang digolongkan sebagai Realist seperti
Karl Llewellyn, Jerome
Frank, Walter Wheeler Cook, Felix Cohen, Hessel Yntema, Herman
Oliphant, Max Radin, Leon Green, dan Joseph Hutcheson, memiliki
karakter “even when the group is limited to those most commonly
agreed to be realists”77 dan juga tak berguna apabila menganggap
konstruksi pemikira mereka nihil sumbangannya terhadap filsafat
hukum.78
Kalangan Realist percaya bahwa misi agung para hakim
“follow an intuitive process to reach conclusions which they only later
rationalize with deliberative reasoning.”79 Para hakim seharusnya
“decides by feeling, and not by judgment; by ‘hunching’ and not by
ratiocination and later uses deliberative faculties not only to justify
that intuition to himself, but to make it pass muster.”80 Namun
sesungguhnya jika ditelisik saksama, baik dalam sudut pandang
formalism maupun realism, tidak pernah ada perumusan yang
memuaskan mengenai role of judges sebagai bentuk instrumentalisasi
hukum oleh pengadilan. Hal ini karena “Judges surely rely on intuition,
Andrew Altman, “Legal Realism, Critical Legal Studies, and Dworkin”, Philosophy
& Public Affair, Vol. 15, 2006, hlm. 206-207. Kata-kata Hart yang tajam mengenai kritik terhadap
pandangan Realist adalah “talk of rules is a myth, cloaking the truth that law consists simply of the
decisions of courts and the prediction of them.”
74
Leslie Green, “The Concept of Law Revisited”, Michigan Law Review, Vol. 94,
2006, hlm. 1694.
75
76
Brian Leiter,” Legal Realism and Legal Positivism Reconsidered”, Ethic, Vol. 111,
2001, hlm. 278.
77
Ibid., hlm. 280.
Dalia Tsuk, “The New Deal Origins of American Legal Pluralism”, Florida State
University Law Review, Vol. 29, 2001, hlm. 209.
78
79
Joseph C. Hutcheson, Jr., “The Judgment Intuitive: The Function of the “Hunch” in
Judicial Decision”, Cornell Law Quartley, Vol.14, 2009, hlm. 285.
80
Ibid.
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rendering a purely formalist model of judging clearly wrong yet they
also appear able to apply legal rules to facts, similarly disproving a
purely realist model of judging.”81 Demikian juga, tak serta merta
bahwa kalangan Positivist memuja hukum semata sebagai instruksi
penguasa yang berdaulat dan kalangan Realism semata-mata membatasi
paham hukum mereka sebagai putusan pengadilan saja. Baik kiranya
apabila dikatakan:82
Properly understood, however, it does not deny that
statutes and the like can be law; nor does it deny
that these laws can guide a judge’s decision making
when the judge’s attitudes recommend conformity
with the law. Instead, the theory rejects the ability
of the law to provide reasons for conformity with
what the law recommends that exist independently
of the judge’s attitudes. The realists’ rejection of
legal rules was an attack on the idea of political
obligation and the duty to obey the law. A statute
can be the law without being a legal rule in the
relevant sense, for its status as law may not provide
a rebellious judge with any reason to adjudicate as
the statute instructs.
Instrumentalisme hukum oleh pengadilan diidentifikasi dekat
dengan persoalan politik, suatu hal yang belakangan diterima secara
luas.83 Implikasi dari sudut pandang ini seperti ditulis oleh Ferejohn
sebagai berikut.84
First, courts have been increasingly able and
willing to limit and regulate the exercise of
81
Seperti dikatakan oleh Skeel, bahwa orang dengan gampangnya mengatakan
penganut realism meskipun sesungguhnya hanya berdasarkan anggapan seolah-olah merumuskan
pendapat hakim untuk menentukan hukum dalam suatu gampang tak lebih dari sekedar teknilitas
belaka. Lihat: Brian Leiter, “Legal Realism and Legal Positivism Reconsidered”, Ethitcs, Vol.
111, 2001, hlm. 300.
82
Michael Steven Green, “Legal Realism as A Theory of Law”, op.cit., hlm. 1920.
Stacia L. Haynie, “Structure and Context of Judicial Institutions in Democratizing
Countries: The Philippines and South Africa”, Paper Prepared for Presentation at the World
Democratization Conference, February 2000, hlm. 1.
83
John Ferejohn, “Judicialing
Politic,
Politzing Law”, Journal of Law and
commit
to user
Contemporary Problems, Vol. 65, No. 3, 2002, hlm. 41.
84
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
parliamentary authority by imposing substantive
limits on the power of legislative institutions.
Second, courts have increasingly become places
where substantive policy is made. Third, judges
have been increasingly willing to regulate the
conduct of political activity itself—whether
practiced in or around legislatures, agencies, or the
electorate— by constructing and enforcing
standards of acceptable behavior for interest
groups, political parties, and both elected and
appointed officials.
Sayangnya di luar sistem Amerika, bangun pengadilan dalam
posisi itu belum mendesak menjadi sasaran studi. Oleh sebab itu, para
ahli perbandingan hukum “ignored the study of courts as political
institutions and judges as political actors presuming them incapable of
affecting public policy.”85 Sehubungan dengan masalah ini, Gibson,
Caldeira dan Baird mencatat bahwa:86
Comparativists know precious little about the
judicial and legal system in countries outside the
United States. We understand little or nothing about
the degree to which various judiciaries are
politicized; how judges make decisions; how,
whether, and to what extent those decisions are
implemented; ...or what effect courts have on
institutions and cultures. The degree to which the
field of comparative politics has ignored courts and
law is as remarkable as it is regrettable.
Sebaliknya, kalangan sarjana Amerika amat enggan untuk
menguji teori dan studi perilaku pengadilan terhadap sistem hukum
lain.87 Menurut pengamatan Eipstein, “only 14.1% of dissertations in
the last five years (35 of 249) included a focus on courts outside the
United States. Only five articles were published in the American
85
Ibid.
86
James L.Gibson, A. Gregory, dan Vanessa A. Baird, op.cit., Vol. 92, hlm.343.
87
C. Neal Tate dan Stacia L. Haynie, "The Philippine Supreme Court Under
Authoritarian and Democratic Rule: Thecommit
Perceptions
of the Justices”, Asian Profile, 2004, Vol. 22,
to user
hlm. 226.
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Political Science Review or the American Journal of Political Science
that at least in part explored courts abroad.”88 Langkanya studi
tersebut menimbulkan pertanyaan besar sehubungan dengan fungsi
pengadilan dalam arena yang lebih khusus sifatnya. Permasalahan
tersebut
adalah
“What
role
can
or
do
courts
play
in
democratization?”89, kecuali sebagai “significance of alternative
institutional structures or contexts to the judicial decision.”90
Instrumentalisme pengadilan mempunyai kedudukan yang
penting karena menurut Becker, suatu pemerintahan "monopolized
force of society organized to distribute some values authoritatively and
to maintain internal order.”91 Kemudian negara dalam konteks ini
“must delegate this power to various functionaries, among them courts.”92 Menurut Shapiro, guna mempertahankan format negara
modern, maka:
[T]he state substitutes a formal adjudicative
machinery for the informal method of the mediation
of conflicts. Modern courts represent the imposition
of the authority of the regime within the allocation
of gains and losses. The function of resolving
conflicts is fulfilled in modern courts not by consent,
but by a forum of compelled adjudication where a
third party (the defendant) is forced to participate
by the actions of the other two (the claimant and the
courts).
Saphiro
menguraikan
lebih
lanjut
mengapa
para
pihak
mempercayai pengadilan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
hukum, yaitu:
88
Lee Epstein, “The Comparative Advantage”, Newsletter of the Law and Courts
Section of the American Political Science Association, Vol. 9, 1999, hlm.1-6.
89
Stacia L. Haynie, “Structure and Context of Judicial Institutions…”, op.cit., hlm. 3.
90
Melinda Gann dan Paul Brace,"Toward an Integrated Model of Judicial Voting
Behavior",American Politics Quarterly, Vol.20, 2002, hlm. 148.
91
Theodore L. Becker, 2007, Comparative Judicial Politics: The Political Functioning
of Courts, Chicago: Rand McNally & Co. hlm. 18.
92
commit to user
Stacia L. Haynie, op.cit., hlm. 4.
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Though the courts are clearly a component of the
state, the structure of the courts can nonetheless
retain the appearance, if not functioning, of
independence. Independent courts are those that are
free to resolve conflicts without interference from
the government. This independence is crucial in
establishing the rule of law.
Pada akhirnya, seperti gagasan Dhavan,
“courts are one
component of the power filter through which social and economic forces
gain recognition and legitimacy.”93 Pendapat Dhavan ini didukung oleh
argumen Saphiro yang mengatakan bahwa pengadilan melakukan “a
mediating continuum exists within societies, with ‘go-betweens’ on one
end, and ‘formal judges’ on the other.”94
2. Constitutional Review
Sebagai suatu istilah hukum, CR harus dibedakan dari judicial
review. Pertama, CR selain dilakukan oleh hakim, dapat pula dilakukan
oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga
mana konstitusi memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua,
dalam konsep judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas
obyeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan CR hanya
menyangkut pengujian konstitutionalitasnya yaitu terhadap konstitusi.95
Perlu juga dicamkan di sini, bahwa judicial review itu sendiri tidak
identik dengan hak uji materiil (toetsingsrecht).96
93
Dalam Stacia L. Haynie, op.cit., hlm. 4.
94
Martin Shapiro, 2001, Courts: A Comparative and Political Analysis, Chicago,
Illinois: University of Chicago Press.hlm. 3.
95
96
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 3.
Kekeliruan konsep ini misalnya terdapat dalam buku Sri Soemantri. Profesor hukum
tata negara Universitas Padjajaran, yang dari segi usia merupakan yang paling senior di Indonesia,
dengan fasih menggunakan istilah “hak uji materiil” sebagai terjemahan konsep “materiele
toetsingsrecht” yang ia bedakan dari istilah “hak uji formal” sebagai terjemahan “formele
toetsingsrecht. Dalam mebedakan keduanya, Sri Soemantri hanya mengulas secara ringkas bahwa
“hak uji materiil” menyangkut penilaian mengenai isi peraturan perundang-undangan apakah
to tinggi
user derajatnya. Sedangkan “hak uji formil”
bertentangan atau tidak dengan peraturancommit
yang lebih
berkenaan dengan tata cara pembentukan suatu undang-undang apakah sesuai atau tidak dengan
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menelaah pengujian norma hukum, perlu membedakan juga
antara pengujian materiil (materiile toetsing) dan pengujian formil
(formile toetsing). Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dibedakan dengan istilah pem-bentukan undang-undang dan materi
muatan
undang-undang.97 Pengujian materiil
adalah
pengujian
undang-undang yang dilakukan atas materinya. Pengujian tersebut
berakibat pada dibatalkannya sebagian materi muatan atau bagian
undang-undang yang bersangkutan. Yang dimaksud materi muatan
undang-undang itu adalah isi ayat, asal dan/atau bagian-bagian
tertentu dari suatu undang-undang bahkan bisa hanya satu kata, satu
titik, satu koma atau satu huruf saja yang dinilai bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sebaliknya, yang dimaksud bagian dari undang-undang itu dapat
pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari suatu
bab undang-undang yang bersangkutan.98
Dari perpektif teoritis, CR bertujuan untuk “transform public
policy disputes into questions of constitutional interpretation that can
be decided by texts, procedures, principles, and rules that are generally
accepted as legal and not political.”99 Melalui putusan CR, “even
onpopular ones, being accepted, because courts are viewed as
appropriate institutions for making such decisions and commitmen to
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan secara
keseluruhan, masalah “hak uji materiil” dibahas tetapi kadang-kadang bercampur dengan konsepsi
“hak uji formil” seperti yang tercermin dalam definisi “hak menguji materiil.” Di samping itu,
ketika menjelaskan “hak menguji materiil” di negara lain, istilah “hak uji materiil” atau “hak
menguji material” itu disejajarkan begitu saja dengan istilah “judicial review.” Bahkan ketika
menguraikan kosnepsi yang berlaku di Dewan Konstitusi Prancis, istilah yang tetap dipakai adalah
“hak menguji material di Prancis.” Lihat: Sri Soemantri, loc.cit.
97
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, op.cit., hlm. 57.
98
Ibid., hlm. 59-60.
Adam Schwartz, 2000, The
Struggle
Constitutional Justice in Post-Communist
commit
to for
user
Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 5.
99
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
procedure and process trumps concerns over outcomes.”100 Oleh sebab
itu, kinerja CR “operate in an environment of national political
constraints that compromise their own institutional legitimacy and
decisional effacy.”101
Kasus “judicial review” yang didasarkan atas pengalaman MA
Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun
1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia,
terutama oleh negara-negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem
konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini, CR dilakukan
sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai “the Guardian of the
Constitution‟. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa
juga disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall's doctrine),
‘judicial
review‟
juga
dilakukan
atas
persoalan-persoalan
konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang
dinamakan pengujian terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a
decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang
diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian
itu, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri,
melainkan termasuk di dalam perkara lain yang sedang diperiksa oleh
hakim dalam semua lapisan pengadilan.
Karena itu, oleh para sarjana, model Amerika ini juga biasa
disebut sebagai “Decentralized Model”. Pengujian konstitusional yang
dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan termasuk kategori ‘a
posteriori review’. Sedangkan, MA dalam sistem tersebut menyediakan
mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity
of jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusanputusan yang
diambil hanya mengikat para pihak yang bersengketa dalam perkara
James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “Defenders of Democracy? Legitimacy,
Populair Acceptance, and the South African Constitutional Court”, Journal of Politics, Vol. 65,
2005, hllm. 2.
100
George Vanberg, “Abstract
Judicial
Review, Legislative Bargaining, dan Policy
commit
to user
Compromise”, Journal of Theoritical Politics, Vol. 10, 1998, hlm. 299.
101
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka prinsip “stare
decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk
mengikuti putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim
lain atau dalam kasus lain.
Dari segi kelembagaannya, sistem CR yang dilakukan oleh MA
Amerika ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Eropa. Dalam
sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan
hakim penting penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas
“precedent”. Bahkan hukum dalam sistem “common law‟ itu biasa
disebut sebagai “judge-made law’, atau hukum buatan para hakim. Oleh
karena itu, ketika John Marshall memprakarsai praktek pengujian
konstitusionalitas undangundang oleh MA dan bahwa sejak masa-masa
sebelumnyapun para hakim di semua tingkatannya di Amerika Serikat
memang telah mewarisi tradisi pengujian atau mengesampingkan
berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan
cita keadilan dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada
mereka, tergambar bahwa peranan hakim di Amerika Serikat memang
besar dan memang seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian tidak
sebanyak yang terdapat dalam tradisi di Eropa Kontinental yang dari
waktu ke waktu lembaga-lembaga parlemennya terus memproduksi
peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem “judicial
review”
itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup
dikaitkan dengan fungsi MA yang sudah ada. Lembaga MA itulah
yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal
ataupun Pelindung Undang-Undang Dasar (the Guardian or the
Protector of the Constitution).
Sementara itu, sistem yang berkembang di Eropa menyangkut
hubungan yang saling berkaitan antara prinsip supremasi konstitusi (the
principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi
commit to user
parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Asumsi
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasarnya adalah bahwa pemberlakuan prinsip “supremasi parlemen‟
harus
diimbangi oleh penerapan prinsip “supremasi konstitusi‟,
sehingga pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang tercermin di
parlemen tidak menyimpang dari pesanpesan konstitusi sebagai “the
supreme law of the land”. Dengan perkataan lain, dalam model ini,
apabila prinsip kedaulatan rakyat yang tercermin dalam doktrin
supremasi parlemen bertentangan dengan prinsip supremasi konstitusi,
maka sesuai dengan cita-cita negara hukum, prinsip supremasi
konstitusilah yang harus diutamakan.
Proses
pengujian
konstitusionalitas
dalam
model
ini,
dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri dengan
hakim-hakimnya yang mempunyai kehalian khusus di bidang ini.
Dalam menjalankan kewenangannya MK melakukan pengujian
konstitusional terutama atas normanorma yang bersifat abstrak
(abstract review), meskipun pengujian atas norma konkrit juga
dimungkinkan (concrete review). Bahkan, dalam model Eropa ini,
pengujian dapat bersifat “a posteriori” (a posteriori review) ataupun
bersifat “a priori” (a priori review). Pada umumnya, pengujian memang
dilakukan secara “a poteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat
preventif juga biasa dipraktekkan.
Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes”
yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang
diberikan kepadanya oleh UUD (the absolute authority of the
institution). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang
berwenang menjalankan fungsi CR itu dengan kedudukan yang
tersendiri di luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabangcabang kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas publik.
3.
Transisi Demokrasi
Istilah “transisi” dalam Bahasa Latin merupakan perpaduan
dari 2 kata yaitu “trans” dan “cendo.” Kata “trans” diartikan sebagai
commit to user
seberang, di sebelah sana, di balik menyeberangi. Sementara kata
30
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“cendo” diartikan melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Dengan
demikian, “transisi” diartikan sebagai “melangkah, berpindah, atau
menyeberang ke sana.”102 Dalam Bahasa Inggris, “transisi” berasal
dari kata “transition” yang artinya “peralihan” atau “pancaroba.”103
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, “transisi” berarti sebagai “peralihan
dari keadaan (tempat, tindakan, dan sebagainya) kepada yang lain.”104
Setelah mendalami makna leksikal di atas, maka dalam penelitian ini
konteks “transisi” adalah peralihan atau perpindahan suatu sistem
politik ke sistem politik yang lain.
Menjelang purna abad ke-20, dunia menyaksikan sesuatu hal
yang tak terkirakan ketika suatu negara mengalami transisi yang
berbeda satu sama lain dan umumnya ditandai dengan gejala yang
sama: perubahan dari rezim otoritarian ke demokrasi liberal. Transisi
itu ada yang merupakan hasil dari (i) “the collapse of ideologies such
as communism and apartheid which had held sway over governments
in many parts of the world for a generation or more”; (ii) “the end of
repressive regimes of a non-ideological character”; (iii) “withdrawal
from their territories of outside powers which had either been
occupying them or exercising de facto control over their running; (iv)
by the emergence of “peace processes” in a number of societies whose
populations had been riven by long-running ethnic, religious or other
strife”; (v) some transitions of an illiberal character: from relatively
stable and peaceful democracies to military dictatorships or other
regimes antithetical to freedom and democracy, often following coups
or other illegal seizures of power.
105
Paling akhir, bentuk transisi
102
Gregorius Sahdan, 2004, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Jakarta,
Penerbit Pondok Edukasi, hlm. 30-31.
103
John M. Echols dan Hassan Shadily, 1984, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan XIII,
Jakarta, Penerbit Gramedia, hlm. 601.
104
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Penerbit Balai Pustaka, hlm. 1070.
to user in South Pasific”, Pasific Rim Law &
Venkat Iyer, “Restorationcommit
Constitutionalism
Policy Journal, Vol. 15, No. 1, 2006, hlm. 39.
105
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demokrasi adalah fenomena “the Arab Spring” yang melanda kawasan
Afrika Utara dan Timur Tengah.106
Pada awalnya, konsep transisi demokrasi menjadi perdebatan
akademik terutama ketika terjadi gelombang demokratisasi yang
diawali oleh Portugal (1974), yang kemudian diikuti oleh Yunani,
Spanyol, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Republik Ceko, Polandia,
Hongaria, Benin, Nigeria, Malawi, dan sejumlah negara di kawasan
Amerika Latin.107 Oleh karena setiap negara menempuh jangka waktu
dan jangkauan yang berbeda-beda menuju demokratisasi108, maka
diperlukan analisis teoritis yang mendalam dan kemudian memancing
akademisi untuk merumuskan formulasi yang berbeda-beda juga.
Dunia akademik kemudian melahirkan “transitology” yaitu “the study
of the transition to democracy, has emerged as a specialty within the
discipline of political science.”109 Sangat jarang kalangan hukum tata
negara memberikan fokus perhatian yang cukup mengenai fenomena
itu.
106
Fenomena ini masih terus berlangsung hingga kini dan menjadi penanda baru
setelah adanya analisis bahwa transisi demokrasi berhenti sejak dekade 1990-an karena dunia
kemudian mengalami “resesi demokrasi.” Itu terjadi setelah sejumlah negara yang berubah
menjadi demokrasi kemudian berubah mengalami otoritarianisme. Fenomena “the Arab Spring”
terjadi di Afrika Utara (Tunisia, Mesir, dan Libya) yang kemudian melompat ke kawasan Arab
(Yaman, Bahrain, dan Suriah). Demokratisasi, dengan demikian, berlangsung dalam “kluster
geografi.” Jika sebuah negara berhasil menyingkirkan seorang ditator, warga negara lain yang
berbahasa sama—atau sekurang-kurangnya komunitas dalam bahasa dan budaya—yang
mendengar kabar itu, yang melihat contoh yang diberikan negara lain, akan cenderung
mengikutinya. Baca: Trias Kuncahyono, “Timur Tengah: Masih Musim Semi”, Kompas, Selasa,
15 Mei 2012, hlm. 10.
107
Samuel P. Huntington, 1991, op.cit., hlm. 679.
108
Seperti dikatakan oleh Timothy Garton Ash ketika mengamati demokratisasi di
Eropa Timur pasca tumbangnya komunisme bahwa “In Poland it took ten years, in Hungary ten
months, East Germany ten weeks: perhaps in Czechoslovakia it will take ten days.” Lihat: Sharon
L. Wolchik and Jane L. Curry (Editors), 2008, Central and East European Politics: From
Communism to Democracy. Rowman & Littlefield Publishers, Inc., hlm. 3.
109
Misalnya: Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and
Consolidation (JohnsHopkins U. Press, 1996); Jon Elster, Claus Offe, dan Ulrich K. Preuss,
Institutional Design in Post-Communist Societies: Rebuilding the Ship at Sea (Cambridge
University Press, 1998); Guillermo O’Donnell and Phillippe C. Schmitter, Transitions from
Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (1986); Guillermo
O’Donnell, Phillippe C. Schmitter and L.
Whitehead
(eds.), Transition from Authoritarian Rule:
commit
to user
Comparative Perspectives (1988).
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kebanyakan literatur mengasumsikan transisi demokrasi
sebagai perubahan rezim pemerintahan dari otoritarian menjadi
demokratis.110
Fokus
bagaimanakah
demokrasi
uraian
berkisar
dilaksanakan
kepada
dan
mengapa
dan
dikonsilidasikan.
Pembahasan pertama umumnya mencakup dampak relatif dari faktor
struktural terhadap perubahan politik sehubungan dengan tindakantindakan elit politik. Oleh sebab itu, perubahan politik ditimpakan
kepada kapasitas pemimpin untuk memobilisasi sumber daya,
kemampuan melawan oposisi, dan kecerdikan dalam memanfaatkan
kesempatan. Selanjutnya dijelaskan, “a complete theory of political
agency would also attend to the endeavours of ordinary citizens, the
interplay between elite and mass actions, and the unintended, as well
as the planned consequences of political events.”111 Dalam konteks ini,
“in order to understand and assess more accurately the prospects for
democracy in a divided society in which conict is prevalent, it is
important to analyse the conditions that will urge political actors in
divided societies to choose a democratic political system.”112
Perdebatan yang kedua menyangkut, apakah perubahan politik
itu diakibatkan oleh masalah domestik atau pengaruh tekanan
internasional. Dalam hal ini, “The question is whether the trajectories
of regime transition are best understood in terms of the separate and
distinctive domestic histories of each state or, whether a more holistic
perspective in which they are regarded as parts of larger international
systems should be adopted. In the latter instance, they are subjected to
110
Seperti dikatakan oleh Samuel P. Huntington, dalam rangka demokratisasi acapkali
“a lot of states have made a transition from authoritarian rule to multi-party systems that
contested elections. This ‘Western-way’ democracy has generally been viewed as having
‘universal value’ and is not regarded as just Western anymore.” Baca: Samuel P. Huntington,
“Democracy’s Third Wave,” Journal of Democracy, Vol.2, No.2, 1991, hlm.13.
111
Bratton and Van de Walle , “From Promise to Delivery: Official Development
Assistance to South Africa, 1994-98", Centre for policy Studies, Research Report No. 68, 1997,
hlm. 19-20.
112
Ibid.
commit to user
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
powerful inuences from beyond their own borders. These questions are
particularly relevant in the case of small, indebted polities on the
margins of an increasingly global economy in a post-Cold War
World.” 113
Perdebatan yang ketiga menyangkut apa yang dikenal sebagai
the institutional choice, yaitu “explaining why political actors make
the institutional choices they make for the transition and the new
political order, is one of the approaches that are relevant in this
regard.” Selanjutnya dikatakan bahwa “An understanding of the
reasons for the choices made by the various actors will facilitate the
description of the process of negotiated transition by explaining the
positions of various actors during negotiations, and by making some
tentative predictions about the outcomes thereof. 114
Masa transisi mencirikan bahwa negara tak secara instan
berubah dari otoriter ke demokrasi. Menurut Philippe Schmitter, ada 5
fase perubahan tersebut, yaitu (i) persistence of authoritarian rule, (ii)
demise of authoritarian rule, (iii) transition to democracy, (iv)
consolidation of democracy, and (v) persistence of democracy.115
Berbagai literatur menguraiakan pergerakan dalam setiap fase tersebut
dan terus menerus menuju kepada demokrasi. Untuk menuju dari satu
fase ke fase berikutnya, maka diperlukan prakondisi yang umumnya
mencakup 3 hal yaitu keadaan sosial ekonomi, proses, dan aktor.
Precondition theory mencoba menguraikan secara spesifik
kondisi sosial ekonomi yang menunjang demokratisasi. Menurut
Seymour Lipset, prakondisi itu mencakup “favorable economic factors
(e.g., per capita income, literacy rates) were the key preconditions for
a successful transition. A variety of other preconditions were submitted
113
Ibid.
114
Ibid., hlm. 20.
115
Philippe C. Schmitter, "The Consolidation of Political Democracies," dalam
Geoffrey Pridham (Editor), 1995, Transitions
Democracy,
Dartmouth: Dartmouth Publishing,
committoto
user
hlm. 541.
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
by the field as broad preconditions: social values, political norms,
culture, religion, race, geography, and bureaucracy.”116 Juan J. Linz
dan Alfred C. Stepan menguraikan lagi keadaan yang lebih spesifik.
Menurut keduanya, “that certain civil liberties and the rule of law
must either pre-exist or co-develop with democracy. They argued that
a transition’s success was more likely if the state had the capacity to
govern (i.e., collect taxes, provide basic services, and maintain a
monopoly on the use of force) and the institutionalization of a socially
and politically regulated market.”117
Isu demokratisasi yang kedua adalah proses. Masalah ini
mencakup pengertian yang lebih luas.
“It includes a variety of
processes that lead to democracy. Processes of interest include
methods of autocratic demise, methods of transition, sequence of
events, and paths to democracy.”118 Ada sedikit peberdaan mengenai
penafsiran terhadap proses ini, di mana sebagian menganggap bahwa
“the success of democratization is based upon the process of
democratic institutionalization.”119
Isu demokratisasi yang ketiga adalah aktor. Eksplorasi literatur
menunjukkan bahwa banyak diperbincangkan peran aktor dalam
mempengaruhi proses demokratisasi. Sementara pendapat mengatakan,
“In some cases, the demise of an authoritarian regime was caused by a
116
Larry Jay Diamond, Juan J. Linz, and Seymour Martin Lipset, 1988, Democracy in
Developing Countries Boulder: L. Rienner, hlm. 6.
117
Juan J. Linz dan Alfred C. Stepan, 1996, Problems of Democratic Transition and
Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe, Baltimore: Johns
Hopkins University Press, hlm. 29.
118
Terry Linn Karl and Philippe C. Schmitter, "Modes of Transition," dalam Geoffrey
Pridham (Editor), 1995, Transitions to Democracy, Dartmouth: Dartmouth Publishing, hlm 164.
Arend Lijphart, “Constitutional
commit toDesign
user for Divided Societies,” Journal of
Democracy, Vol. 15, No. 2, 2004, hlm. 96.
119
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
split among the ruling elites.” Keterlibatan para aktor sangat
bergantung “on structural and procedural issues.”120
Namun demikian, dalam analisis para pakar pada umumnya
disepakati bahwa tidak ada faktor tunggal yang menentukan transisi
demokrasi. Huntington misalnya, menguraikan masalah “a variety of
democratization influences including historical democratic experience
and values, culture, and economic equality.”121 Sementara itu,
Diamonds menguraikan bahwa “a successful democratic transition is
based on resources, legitimacy, and societal support.”122 Selanjutnya,
Huntington juga menguraikan faktor-faktor yang menyumbang bagi
kegagalan demokratisasi seperti “rapid reforms cause social and/or
political polarization and violence causes the failure of the rule of
law.”123
Sementara
Linz
and
Stepan
menyebut
kegagalan
demokratisasi karena “a prolonged bad economy will lead to regime
demise regardless of its level of democracy.”124 Dalam perspektif yang
lebih luas, Linz kemudian menyimpulkan bahwa kegagalan transisi
demokrasi disumbangkan oleh faktor yang berhubungan dengan
“breakdown is the result of processes initiated by the government’s
incapacity to solve problems for which disloyal oppositions offer
themselves
a
solution.”125
Pemerintah
berkomitmen
untuk
menyelesaikan masalah, akan tetapi apabila mengalami kegagalan,
pemerintah juga menolak untuk mengakuinya. Keadaan ini disebabkan
120
Lihat selengkapnya: Juan J. Linz and Alfred C. Stepan, Problems of Democratic
Transition and Consolidation: Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe,
op.cit., hlm. 66-72.
121
Baca selengkapnya: Samuel P. Huntington, "Democracy's Third Wave," op.cit., hlm.
122
Lihat dalam Diamond, Linz, and Lipset, Democracy in Developing Countries,
137–148.
op.cit., hlm. 6.
123
Ibid., hlm. 134-135.
124
Linz and Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern
Europe, South America, and Post-Communist Europe, op.cit., hlm. 80.
125
Lihat dalam: Ibid.
commit to user
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena “the unsolvable problem to the loss of power, the power
vacuum, and ultimately to the transfer of power…or civil war.”126
Bagi kalangan pemerhati hukum tata negara, keadaan masa
transisi diharapkan menjadi kerangka bagi pengembangan keilmuan
dengan mengadopsi isu “restoration constitutionalism”, yaitu suatu
kondisi “a process under which, as part of the liberalising agenda, the
transitional society is sought to be returned to the constitutional order
that prevailed before the eclipse or collapse of democracy and/or the
rule of law, rather than being faced with the prospect of fashioning a
new constitutional order.”127 Salah satu usaha yang cukup populer
sebagai bagian terbaru dari studi ini adalah kajian mengenai
“transisional justice” yaitu suatu keadaan yang berusaha “to find ways
and means of dealing with the maleficent legacies of a repressive
society’s past as it grapples with the challenges of building a new
liberal future.”128 Dari perspektif konstitusi, “The ever-present tension
between constitutionalism and revolutionary change has occupied
legal minds for centuries, and it has posed serious dilemmas for the
architects
of
liberal
regimes
in
societies
emerging
from
authoritarianism or repressive government.”129 Hal ini karena
kandungan pengertian konstitusionalisme memuat dasar-dasar tentang
“institutional realization of liberalism, recognition of the sovereignty
of the people, affirmation of the supremacy of the constitution, and a
conception of equality before the law under which the rulers are
subject to the same discipline and legal constraints as the ruled.”130
126
Ibid.
127
Venkat Iyer, op.cit., hlm. 40.
128
Ibid.
129
Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, op.cit., hlm. 65.
130
Bo
Li,
What
is
Constitutionalism?,
diunduh
dari
http://www.oycf.org/Perspectives/6_063000/what_is_constitutionalism.htm,
diunduh
di
Surakarta,
commit to user
27 April 2012.
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun demikian, situasi pada masa transisi dihadapkan pada
konstitusi akan memberikan suatu warna tersendiri karena:131
Transitional constitutionalism not only is
constituted by the prevailing political order but also
is constitutive of political change. This is the
constitutional document’s constructivist role.
Traditional constitutions arise in a variety of
processes, [often playing multiple roles: serving
conventional constitution's purposes as well as]
having other more radical purposes in
transformative politics. Transitional constitution
making is also responsive to prior rule, through
principles that critically refine the prevailing
political system, effecting further political change in
the system. Transitional constitutions are
simultaneously backward- and forward-looking,
informed by a conception of constitutional justice
that is distinctively transitional.
Dari kutipan di atas, nampak bahwa penyusunan konstitusi
merupakan penanda penting dalam transisi demokrasi132 dan dan
sementara pakar menyebut pembentukan Konstitusi Jerman (1949)
adalah penanda awal.133 Munculnya negara baru134 menyusul bubarnya
Uni Soviet dan lepasnya militer dari sentralisasi politik yang melanda
negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin ditandai
dengan pembentukan konstitusi baru. Sebagai akibatnya, “Lawyers,
politicians, and political scientists have hailed the present moment as
the new era of constitution-writing” seperti yang terjadi di negara-
131
Venkat Iyer, op.cit., hlm. 42.
132
Menurut Denny Indrayana, salah satu momentum untuk pembentukan konstitusi
baru adalah “is possible only at certain extraordinary moments in a nation’s history.” Lihat:
Denny Indrayana, 2008, Indonesian Constitutional Reform1999-2002: An Evaluation of
Constitutional Making in Transition, Jakarta, Kompas Book Publishing, hlm. 29.
133
Lebih lengkap baca: K.V.Beyme, 2000, Parliamentary Democracy:
Democratization, Destabilization, Reconsolidation, 1789-1999, London: Macmillan Press, hlm.
18-30.
134
Yaitu Hongaria, Bulgaria, Romania, Polandia, Republic Ceko, Slovakia, Latvia,
Lithuania, Russia, Byelorussia, Slovenia,
Kroasia,
commit
to Bosnia
user dan Herzegovina, Macedonia, Serbia
serta Montenegro .
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara Eropa Timur.135 Implikasi selanjutnya, di negara Eropa Timur
dan Rusia secara antusias mulai tumbuh kajian-kajian ilmiah mengenai
konstitusi136, baik yang membahas masalah pertumbuhan konstitusi di
suatu negara137 maupun bentuk khusus dari aturan konstitusi baru,
misalnya MK.
Pembentukan konstitusi baru diharapkan akan menciptakan
stabilitas pemerintahan, sehingga seperti dikatakan oleh Teitel, akan
menciptakan
“transitional
constitutionalism”
yang
“refers
to
constitutional developments that occur immediately after a period of
substantial political change.”138 Pada tahap ini, “Constitution-making
must be recognized as a process or a forum for negotiation amid
conflict and division.”139 Berbeda dengan pandangan studi hukum tata
negara umumnya yang memandang konstitusi dalam suatu situasi
politik yang stabil, dalam transisi demokrasi “constitutions as
reflections of the balance of power at their time of drafting and thus
does not consider them to have any particular role as agents of change
or in transitions.”140 Dalam situasi transisi yang diwarnai dengan
karakter “failure of state-building” seperti pada kasus Haiti, Liberia,
Irak, dan Kosovo141 misalnya, pembentukan konstitusi baru merupakan
135
Dankwart Rustow “Democracy In The Late Twentieth Century: Historic
Perspectives on a Global Revolution,” paper presented to CUNY Political Science Conference,
March 9, 1990, hlm. 5.
Misalnya: Christian Baulanger, “Constitutionalism in East Central Europe?”, East
European Quartley, Vol. 33, 1999, hlm. 33-50.
136
Misalnya: Azhar Kusainova dan Gregory Gleason, “Constitutional Reform and
Regional Politics in Kazastan”, Nationalities Papers, Vol. 26, 1998, hlm. 741-785.
137
Ruti Teitel, “Post-Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”,
op.cit., hlm. 167-168.
138
139
Lihat: Vivien Hart, “Constitution-Making and the Transformation of Conflict”,
Peace & Change, Vol. 26, 2001, hlm. 153-154.
Lihat: Kirsti Samuels, “Post-Conflict Peace-Building and Constitution-Making”,
Chicago Journal of International Law, Vol. 6, No. 2, 2006, hlm. 5.
140
141
Lihat dalam uraian laporan PBB pada United Nations, 2004, A More Secure World:
Our Shared Responsibility, Report of the
Secretary-General’s
High-Level Panel on Threats, UN
commit
to user
Doc A/59/565, hlm. 69 dan 263–264.
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“the most critical problems involve a lack of knowledge of how to
rebuild states.”142
Dengan demikian, konstitusi “is an opportunity to create a
common vision of the future of a state and a road map on how to get
there” dan “can be partly a peace agreement and partly a framework
setting up the rules by which the new democracy will operate.”143
Secara ideal, konstitusi pada masa transisi “can drive the
transformative process from conflict to peace, seek to transform the
society from one that resorts to violence to one that resorts to political
means to resolve conflict, and/or shape the governance framework that
will regulate access to power and resources—all key reasons for
conflict” dan juga merupakan “place mechanisms and institutions
through which future conflict in the society can be managed without a
return to violence.”144
Pembentukan konstitusi pada masa transisi demokrasi
bertujuan “to provide a break with the old regime and act as the
foundation of the new political order.”145 Namun demikian, seperti
studi yang dilakukan oleh International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (IDEA) terhadap 12 kasus pembentukan
konstitusi di negara yang mengalami transisi menggambarkan “the
complexity of these processes and the wide variety of factors that affect
their outcome. Nonetheless, some interesting trends can be identified
in the cases.”146 Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa negoisasi
baru terhadap sistem ketatanegaraan memang sering didorong oleh
142
Kirsti Samuels, op.cit., hlm. 2.
143
Ibid.
144
Ibid.
Bruce Ackerman, “Constitutional Politics/Constitutional Law”, Yale Law Journal,
Vol. 99, 1989, hlm.456.
145
A.A. Mohamoud, 2005, “The Role of Constitution-Building Processes in
Democratization: Bahrain Case Study”
IDEA, dapat diakses melalui
commitInternational
to user
www.idea.int/conflict/cbp, diakses 26 April 2012.
146
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuatan-kekuatan
“bawah”
namun
“concrete
steps
toward
democracy, such as scheduling elections and relinquishing control
over the security apparatus, are often initiated by elites themselves.”
147
Tidak mengherankan apabila muncul sangkaan bahwa “a
democratic transition is more likely if the elite manage to negotiate
constitutional frameworks that continue to protect their interests after
they exit”148 atau “if they can increase the odds that they continue to
hold power under democracy by being elected to office.”
149
Bahkan
dalam masa transisi demokrasi tersebut, “elites may circumvent
democratic institutions to advance their own agenda or capture the
policymaking process and block redistribution.”150
Dengan setting seperti itu, maka implikasi dari hasil
constitutional making pada masa transisi demokrasi adalah “often
followed by constitutional conflicts between state powers” dan “these
conflicts can be defined as quarrels in which either two or more actors
draw upon the same constitutional competence or one actor claims a
competence that draws the disapproval of another.”151 Situasi
demikian menuntut untuk “create judicial institutions, mechanisms
and remedies for a complete rule of law constructed by democratic
means.”152 Hal ini membuktikan bahwa dalam masa transisi
demokrasi, “there is no group whose preferences and resources can
predict outcomes with near certainty.”153
Lihat: Terry Karl, “Dilemmas of Democratization in Latin America”, Comparative
Politics, Vol. 23, 2000, hlm. 21.
147
Roberto Perotti, “Growth, Income Distribution, and Democracy: What the Data
Say”, Journal of Economic Growth , Vol. 1, 1996, hlm.149.
148
149
Ibid., hlm. 150.
Daron Acemoglu dan James Robinson, “Persistence of Power, Elites, and
Institutions”, American Economic Review, Vol. 98, 2008, hlm. 267.
150
151
A. Uzelac, op.cit., hlm. 206.
152
J.C. Calleros 2009, The Unfinished Transition to Democracy in Latin America, New
York: Routledge, hlm. 180.
to userin Comparative Politics, Journal World
Adam Przeworski,” The commit
role of Theory
Politics, Vol. 48, 2006, hlm.17.
153
41
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akan tetapi keberhasilan membuat konstitusi baru secara
sempurna seringkali ditunjuk sebagai faktor yang mengantar negara
dari transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.154 Menurut
Schmitter, “the transition phase is only ended when there is no threat
to revert to status quo ante.”155 Sementara itu, menurut pemahaman
Schedler, banyak pakar mempunyai perbedaan pendapat mengenai
kapan berakhirnya suatu masa transisi156 dan dengan demikian,
konsolidasi demokrasi mengandung 2 aspek penting.
Pertama,
“prevent movement away from democracy” yang sangat dipengaruhi
oleh “the persistence or survival of democratic regimes or the erosion
of democratic processes.”157 Menurut Lipset, demokrasi terkonsolidasi
merupakan suatu fase untuk “normalized into democratic institutions
such as political parties, respect for the rule of law, civil liberties, a
culture of compromise, and civilian control of the military.”158 Kondisi
ini berarti pemerintahan yang ada “has the support of the majority of
the population and can withstand crisis.”159 Kedua, fokus kepada
pergerakan proses menuju derajat demokrasi yang lebih tinggi. Inilah
kondisi yang disebut oleh Stephens sebagai proses untuk melakukan
“advanced democracy.”160
Seperti dikatakan oleh Linz, “the line is crossed once the elected government has
taken office and the new constitution is complete.” Lihat: Juan J. Linz, "Transitions to
Democracy," dalam Geoffrey Pridham (Editor), Transitions to Democracy, op.cit., , hlm. 121.
154
155
Schmitter, "The Consolidation of Political Democracies," hlm. 541.
156
Lihat selengkapnya dalam: Andreas Schedler, "What Is Democratic Consolidation?"
Journal of Democracy , Vol. 9, No. 2, 1998.
157
Lihat kesimpulan dari Adam Przeworski, 2000, Democracy and Development:
Political Institutions and Well- Being in the World, 1950–1990, Cambridge: Cambridge University
Press.
158
Linz, "Transitions to Democracy," op.cit., hlm. 124–125.
159
Schmitter, “The Consolidation of Political Democracies,” op.cit., hlm. 551–553.
John D. Stephens, "The
Paradoxes
of Contemporary Democracy: Formal,
commit
to user
Participatory, and Social Dimensions," Comparative Politics, Vol. 29, No. 3, 2007, hlm. 323.
160
42
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk memandu konsisten dan sistematisasi uraian, argumentasi, dan
pentahapan penelitian, maka dibutuhkan kerangka pemikiran. Adapun
kerangka pemikiran itu dapat disusun dalam ragaan sebagai berikut:
Ragaan 2
Kerangka Pemikiran
Instrumentalisme Hukum
dalam Ruang Politik
Demokrasi dan Kedaulatan
Hukum



Transformasi politik
Respon-respon legal
Kaitan antara hukum dengan
transisi demokrasi
Constitutional Review oleh
Mahkamah Konstitusi
Transisi Demokrasi
 Pengaturan Kekuasaan Legislatif
 Pembentukan Kebijakan Publik untuk
pemenuhan hak politik dan penegakan hukum
 Pengaturan perekonomian dan pengelolaan
sumber daya alam
 Penyelesaian Perselisihan Pemilu Kepala Daerah
Berdasarkan ragaan di atas, maka kerangka pemikiran dalam
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Setelah Perubahan UUD 1945, sebagai penanda penting transisi
demokrasi di Indonesia, dilembagakan MK sebagai pengadilan konstitusi
dengan mandat antara lain melaksanakan wewenang CR. Dalam asumsi
penulis, keberadaan MK menjadi penting sehubungan dengan mandat tersebut
karena membuka arena politik dan hukum yang baru untuk mewujudkan citacita Rule of Law. Dalam konteks ini, MK merupakan instrumen hukum dan
politik
yang
diharapkan
mengawal transisi demokrasi
commit
to user konstitusi.
wewenangnya yang mengendalikan
supremasi
melalui
sifat
43
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam ilmu politik, terdapat perbedaan substansial tentang arti istilah,
tidak saja tentang “transisi”, namun juga batasan-batasan waktunya,
“konsolidasi”, dan pada akhirnya juga, “demokrasi” sendiri. Dalam satu
paradigma, “transisi” dibatasi oleh kriteria politik yang objektif, yang terutama
bersifat prosedural. Jadi, untuk sementara waktu, kriteria untuk transisi menuju
demokrasi difokuskan pada pemilihan umum dan prosedur lain yang terkait.
Pengkajian dalam penelitian ini menunjukkan pergeseran dari definisi transisi
semata-mata dalam prosedur demokratik, seperti proses pemilihan umum, ke
arah penyelidikan yang lebih mendalam terhadap praktik-praktik lainnya yang
menunjukkan penerimaan demokrasi dan kedaulatan hukum.
Pada penelitian ini persoalan (i) Pengaturan kekuasaan legislatif; (ii)
Pembentukan kebijakan publik untuk pemenuhan hak politik dan penegakan
hukum; (iii) pengaturan perekonomian dan pengelolaan sumber daya alam;
dan (iv) Penyelesaian perselisihan pemilu kepala daerah merupakan persoalan
dalam masa transisi demokrasi. Pelaksanaan CR oleh MK dalam persoalanpersoalan tersebut merupakan instruemntalisme hukum untuk memberikan
gambaran
respon transisional suatu negara dijelaskan utamanya dengan
batasan-batasan politik dan institusional yang relevan. Isu-isu yang ditelaah
kemudian diusahakan untuk mengkonfirmasi kaitan antara hukum dan
perkembangan demokrasi.
B. Kajian Pustaka
Dari penelusuran penulis, ada 12 disertasi sebagai penelitian yang
relevan dengan isu hukum yang dikaji. Adapun ketujuh disertasi itu berikut
ringkasan hasilnya, dapat dipaparkan dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2
Penelitian yang Relevan dengan Disertasi
No.
Sumber
Judul
Hasil
1.
Moh. Mahfud Konfigurasi
a. Perkembangan konfigurasi politik
M.D.
Politik
dan
dapat ditelaah sebagai berikutL (i)
Produk Hukum
setelah proklamasi 17 Agustus
commit to user
(Studi Pengaruh
1945,
konfigurasi
politik
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Politik terhadap
Karakter Produk
Hukum)
(Disertasi UGM,
Yogyakarta,
1993)
2.
Satya
Arinanto
cenderung demokratis dan dapat
diidentifikasi sebagai demokrasi
liberal yang berlangsung sampai
tahun 1959; *(ii) Konfigurasi
politik 1945-1959 ditarik menjadi
otoriter setelah Presiden Soekarno
melemparkan konsepsinya tentang
demokrasi terpimpin; dan (iii)
konfigurasi politik pada masa
Orde Baru bersifat otoritarian
rezim
dengan
keberhasilan
pembangunan
ekonomi
dan
kompetisi kepartaian yang sangat
terbatas.
b. Karakter produk hukum dikaitkan
dengan perkembangan konfigurasi
politik adalah: (i) pada 1945-1959,
hukum pemilu, pemda, dan pers
bersifat demokratis; (ii) pada
1959-1966, hukum pemda dan
pers bersifat konservatif; dan (iii)
pada waktu berlangsungnya Orde
Baru, karakter produk hukum
pemilu, pemda, dan pers bersifat
konservatif,
dengan
catatan
berwatak responsif untuk isu-isu
yang menyangkut pembangunan
ekonomi.
Hak
Asasi a. Semenjak isu-isu tentang HAM
Manusia dalam
telah mengemuka dalam agenda
Transisi Politik:
internasional,
perubahanUpaya Pencarian
perubahan politik telah terjadi di
Konsepsi
berbagai negara yang selama ini
Keadilan
dikenal
karena
pola-pola
Transisional di
pelanggaran
HAM
beratnya.
Indonesia dalam
Kekuatan-kekuatan oposisi telah
Era
Reformasi
berubah menjadi penguasa di
(Disertasi
UI,
beberapa negara tersebut dan
Jakarta, 2003)
sebagian negara-negara lainnya,
walaupun
tidak
sepenuhnya
terputuskan
dengan
rezim
sebelumnya yang lalim, namun
telah menjauhkan dirinya dari
mereka
dan
dari
warisan
pelanggaran-pelanggaran
HAM
commit to user
yang dilakukan olehrezim-rezim
perpustakaan.uns.ac.id
3.
45
digilib.uns.ac.id
sebelumnya
b. Proses transisi politik di Indonesia
belum
mencapai
konsolidasi
demokrasi karena tidak terpenuhi
persyaratan-persyaratan,
antara
lain tidak dilakukannya tuntutan
penyelesaian pelanggaran HAM
warisan
masa
lalu
dengan
berpedoman
kepada
prinsipprinsip ideologi supremasi hukum.
c. Dari berbagai pola penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM
berat dalam era reformasi, tampak
bahwa walaupun telah ada upayaupaya
untuk
mencari
dan
merumuskan
suatu
konsepsi
keadilan
transisional,
namun
dalam implementasinya masih
sangat lemah.
Pedro
C. The Limits to
a. The emergence of constitutional
Magalhães
Judicalization:
courts
in
parliamentary
Legislative Politic
democracies as a response to the
and
need to find institutional bodies
Constitutional
able to arbitrate disputes about
Review in the
what the constitutional text
Iberian
means, resolving ambiguities and
Democracies
filling gaps in that incomplete
(Thesis
for
contract. However, this view also
Doctor
of
suggests that, as soon as those
Philosophy in the
institutional bodies are in place, a
Graduate School
dynamic
of
ever-increasing
of The Ohio State
judicialization of politics typicaly
University, 2003)
unfold;
b. This study of the origin of these
judicial
institutions
was
important also for reasons other
than
demonstrating
the
complementarity of different
approaches
to
institutional
design. First, because it allowed
us to see how such design was an
eminently
political
process,
where issues such as different
modalities of judicial review,
access to courts, and appointment
commit to user
and retention of justices were
perpustakaan.uns.ac.id
4.
5.
46
digilib.uns.ac.id
debated by political actors who
displayed a remarkable level of
awareness and sophistication
about
the
distributional
consequences of different choices
for majority-opposition relations
and policy outcomes. Second,
because it allowed us to sketch
hypotheses
about
which
institutional design contexts are
more likely to engender higher
levels of judicialization of
politics in the future.
Zainal Arifin Pengujian
a. Pembatasan obyek pengujian
Hoesein
Peraturan
peraturan perundang-undangan
Perundanghanya pada peraturan perundangundangan
undangan di bawah undangMenurut
undang,
dikarenakan
secara
Konstitusi
yuridis formal, UUD 1945
Indonesia: Studi
(sebelum diubah) tidak mengenal
tentang
dan tidak mengatur tentang
Perkembangan
pengujian peraturan perundangPengaturan dan
undangan dan sistem kekuasaan
Pelaksanannya
yang dianut adalah distribusi
oleh Mahkamah
kekuasaan yang mengarah pada
Agung Republik
“supremasi parlemen.”
Indonesia Kurun b. Dalam kurun waktu 1970-1999 di
Waktu 1970-2003
bawah UUD 1945, pengujian
(Disertasi
UI,
peraturan perundang0undangan
Jakarta, 2006)
diatur dalam berbagai bentuk
peraturan perundang0undangan
dan pada waktu 2000-2003,
pengujian peraturan perundangundangan
diatur
melalui
Ketetapan
MPR
No.
III/MPR/2000 dan Perubahan
UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), 24A
ayat (1), dan 24C ayat (1).
c. Lembaga yang diberi wewenang
oleh UUD 1945 untuk melakukan
pengujian peraturan perundangundangan pada 1970-2003 telah
mengalami pasang surut sesuai
dengan tafsir MPR.
Valina
Menyusun
a. Perubahan
UUD
1945
commit to user
Singka
Konstitusi
dimungkinkan karena Indonesia
47
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Subekti
6.
Denny
Indrayana
Transisi:
Pergulatan
Kepentingan dan
Pemikiran dalam
Proses
Perubahan UUD
1945 (Disertasi
FISIP UI, Jakarta,
2006)
berada dalam setting politik
transisi
demokrasi.
Pada
Perubahan UUD 1945 telah
dilakukan pengaturan kembali
distribution of power dalam
rangka menegakkan kedaulatan
rakyat dan agar kekuasaan
negara dapat dibagi secara
seimbang
diantara
cabang
kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif sehingga dapat
memunculkan
check
and
balances.
b. Proses Perubahan UUD 1945
telah memunculkan dinamika
dan interaksi politik diantara
kesebelas
fraksi
dalam
pembahasan 5 isu utama yaitu (i)
dasar negara dan agama; (ii)
DPR; (iii) DPD; (iv) MPR; serta
(v) isu pemilihan presiden
langsung.
c. Perdebatan 5 masalah Perubahan
UUD 1945 dipengaruhi oleh
faktor identitas politik dan
interest partai yang secara
berkelindan
mempengaruhi
pandangan dan sikap-sikap
fraksi selama proses perubahan
UUD 1945.
Indonesian
a. The
four
constitutional
Constitutional
amendments that were passed
Reform:
An
from 1999-2002 were reforms
Evaluation
of
carried out in the troubled
Constitutional
transition
from
Soeharto’s
Making
in
authoritarian regime. As with
Transition (Ph.D
other transitional constitutional
Thesis, Faculty of
processes in other countries, the
Law, Melbaourne
turbulent political climate colored
University (2006)
the amendment process in
Indonesia. At the same time, the
transition
was
a
golden
opportunity for Indonesia to demystify the symbolic text of the
1945 Constitution. The First
commit to user
Amendment in 1999 the initial
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Roman
Ivanchenko
48
digilib.uns.ac.id
success which ‘opened up’ the
authoritarian document and made
possible for further amendments.
b. One reason that the new
Constitution is better is because
the euphoric transitional period
from Soeharto provided a setting
that
encouraged
open
constitutional debates in the MPR
and allowed public participation
in these debates, despite serious
flaws in the MPR’s system for
public engagement. Wide media
overage and active advocacy by
non-governmental organizations
became a sort of public control
system which prevented the
amendment outcome from being
overly
politicized
by
the
politicians in the MPR.
c. Fom Indonesia’s experience,
beside observing the general
characteristics of constitutionmaking process in transition,
scholars should note how the
symbolic value of the 1945
Constitution
strongly
overshadowed the way the
constitutional reform took place.
Despite a process that was
different to democratic processes
in other countries, Indonesia’s
slow, patchy and tentative process
managed to lead the country to a
more democratic Constitution and
contribute
significantly
to
Indonesia’s transition from overt
authoritarianism.
The Interactions
a. Having the power to make law,
between Congress
Congress has to anticipate whether
and
Supreme
the Court would invalidate a
Court (Thesis for
prospective statute. If necessary,
Doctor
of
Congress
will
temper
the
Philosophy in the
ideological
content
of
its
Graduate School
legislation, or it will attempt to
commit to user
of The Ohio State
increase the suitability of the
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
University, 2007)
8.
Kaitlyn
Louise Sill
statute. The Supreme Court can
accept trade-offs of increased
suitability for lower ideological
benefits.
b. The suitability component of a
federal statute also influences the
probability of judicial invalidation
and whether the Court grants a
writ of certiorari. Ignoring this
possibility is likely to lead to
incorrect inferences. Additionally,
one of the results suggests that
when Congress makes law, its
efforts to ensure the suitability of
federal statutes are affected by
Supreme Court preferences.
Institutional
a. Both measures of judicial
Design and the
independence are significantly
Economy:
and positively associated with
Disentangling the
economic
growth,
even
Effects of the
controlling for judicial review.
Judicial
When controlling for the effects
Independence and
of judicial independence, judicial
Judicial Review
review
is
negatively
and
on
Economic
significantly associated with
Development
economic growth, indicating that
(Ph.D.
Thesis,
increased judicial review power
The Departemen
results in a decline in the
of
Political
economic growth rate. Though
Science,
these findings do not support my
Louisiana State
hypothesis,
they
provide
University, 2008)
important insight into the
relationship between the judiciary
and economic growth and the
nature of judicial review in
general. Specifically, this study
shows that the judiciary is not
always beneficial and that too
much power in the judiciary may
have negative consequences for
growth.
b. In the state-directed economies,
judicial review may be harmful
because it decreases government
autonomy and prevent actors
commit to user
from implementing necessary
perpustakaan.uns.ac.id
9.
Imam
Soebechi
50
digilib.uns.ac.id
policy.
In
a
successful
developmental
state,
the
government‘s interests are deeply
embedded in those of society and
it has the autonomy to direct
economic policy, so that its
policy benefits the collective
economic good rather than is
used for rent-seeking. Because of
this,
government
directed
economic policy serves to
coordinate
and
facilitate
investment and technological
advancement
which
pushes
economic growth.
Implementasi
a. Pengujian
Perda
dilakukan
Teori
Norma
melalui executive review dan
Hukum
judicial review sebagai upaya
Berjenjang dalam
mewujudkan
keselarasan
Uji
Materiil
peraturan perundang-undangan
Perda Pajak dan
dan menerapkan ajaran norma
Retribusi Daerah
hukum berjenjang, akan tetapi
di
Mahkamah
executive
review
telah
Agung (Disertasi
menimbulkan
praktik
FH
Unpad,
pengawasan yang berlebihan dan
Bandung, 2011)
kedua
mekanisme
itu
memungkinkan
terjadinya
pertentangan antara perda dengan
peraturan perundang-undangan di
tingkat pusat.
b. Judicial Review tentang pajak
daerah dan retribusi daerah di
MA dapat dimohonkan baik oleh
kepala daerah maupun warga
masyarakat
tetapi
belum
sepenuhnya
memberikan
kesempatan kepada masyarakat
untuk
mempertahankan
kepentingannya dan hal tersebut
perlu diatur kembalid alam
peraturan perundang-undangan.
c. Penerapan teori norma hukum
berjenjang dalam judicial review
terhadap Perda Pajak dan
retribusi
daerah
dapat
commit to user
mewujudkan keteraturan hierarki
perpustakaan.uns.ac.id
10.
Muchamad
Ali Safa’at
11.
Katherine
Vigilante
51
digilib.uns.ac.id
perundang-undangan di Indonesia
serta
meminimalisir
konflik
kepentingan dalam antara Pusat
dan Daerah serta mendorong
otonomi daerah dalam kerangka
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.
Pembubaran
a. Pengaturan pembubaran partai
Partai
Politik:
politik di Indonesia mengalami
Pengaturan dan
perubahan dari satu kurun waktu
Praktik
ke kurun waktu yang lain sesuai
Pembubaran
dengan kondisi politik dan
Partai
Politik
demokrasi berkembang.
dalam Pergulatan
b. Dari
berbagai
bentuk
Republik
pembubaran, baik dari sisi
(Disertasi
FH
peraturan maupun praktiknya
Unibraw, 2009)
terdapat model pembubaran yang
harus dihindari pada masa yang
akan datang karena berpeluang
melanggar prinsip kebebasan
berserikat dan dilakukan tanpa
proses peradilan.
c. Di masa mendatang sebaiknya,
hanya
terdapat
2
alasan
pembubaran partai politik, yaitu
pembubaran karena pelanggaran
tertentu yang dilakukan oleh
partai politik berdasarkan putusan
pengadilan, dan karena partai
politik tidak lagi memenuhi
syarat sebagai badan hukum dan
tidak lagi dapat menjalankan roda
organisasi yang juga melalui
proses peradilan.
Deconstructing
a. While several state legislatures,
and Constructing
governors, and/or citizenry have
Activism: A New
acted on the issue, only 4
Measure Applied
supreme courts in Connecticut,
to the Fifty State
Iowa, Massachusetts, and New
Supreme Courts
Jersey have legalized gay
(Ph.D.
Thesis
marriage in their states. The
Political Studies,
actions of these courts can surely
the Faculty of the
be considered activist; they have
Graduate School
inserted themselves directly into
of
Emory
a highly charged and contentious
commit to user
University, 2010)
policy. Only the New Jersey
perpustakaan.uns.ac.id
52
digilib.uns.ac.id
Supreme Court ranks highly on
general independence while the
other 3 rank toward the bottom;
all of these courts, except Iowa,
however, rank highly on this
measure
of
specific
independence.
b. General activism by courts
should not be excluded from any
approach
claimed
to
be
comprehensive. Whether courts
in general do not avoid conflict
with their legislature and/or
follow their policy preferences
should be considered as part of
anoverall view of activism.
Moreover, the correlates of
activism vary in their relationship
depending on whether general or
specific activism is being treated
as the dependent variable.
Improving
both
types
of
measures should have even
greater implications with respect
to institutional design and
maintenance.
c. Whether courts are successful in
having their decisions carried out
is certainly important but is not
directly related to whether they
engaged in public policy in the
first place. Implementation is
certainly an important aspect of
policymaking, but including it as
a necessary condition of activism
may be too hard a requirement
for any institution to pass. By
focusing
exclusively
on
independence, the suggestions I
make to refine my approach
could be adopted more easily. At
a later date, impact could be
assessed at least in terms of
specific activism to further
enhance our understanding of
commit to usercourts as policy players in their
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
political environment.
Perbedaan substansi disertasi ini dengan karya tulis di atas dapat
diuraikan sebagai berikut. Karya tulis Moh. Mahfud M.D. membuktikan
hipotesis bahwa konfigurasi politik akan mempengaruhi produk hukum.
Berdasarkan asumsi, konsep, dan indikator tertentu temuan dan kesimpulan
karya tulis tersebut, membuktikan bahwa karena hukum merupakan produk
politik, maka karakter produk hukum berubah jika konfigurasi politik yang
melahirkannya berubah. Dibandingkan dengan karya tulis tersebut, maka
penelitian ini menyetujui hipotesis Moh. Mahfud M.D. bahwa hukum
mempunyai interelasi dengan politik, akan tetapi apabila karya tersebut
berpijak pada hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, maka
penelitian ini berpijak kepada hukum dalam arti putusan pengadilan, dalam hal
ini MK, dalam kerangka pelaksanaan CR. Faktor konfigurasi politik dalam
karya tulis Moh. Mahfud M.D. merupakan penggalan karakter politik
sepanjang 1945-1990, sementara faktor politik dalam penelitian ini merupakan
karakter dalam masa transisi demokrasi, yang dimulai sejak tahun 1998 sampai
2008.
Dibandingkan dengan karya tulis Satya Arinanto, kesamaan dengan
penelitian ini adalah sudut pandang interelasi isu dikaitkan dengan masa
transisi di Indonesia. Hanya saja, ada perbedaan konsep mengenai transisi
tersebut, di mana Satya Arinanto menggunakan istilah “transisi politik” untuk
melukiskan kondisi politik 1998-2003, penelitian ini menggunakan istilah
“transisi demokrasi” dengan indikator dan konsep yang tidak sama dengan
karya tulis tersebut. Di samping itu, apabila Satya Arinanto menguraikan
persepsi penegakan HAM dalam masa transisi, penelitian ini menguraikan
pelaksanaan wewenang MK dalam CR dan pengaruhnya terhadap masa transisi
demokrasi, yang menggunakan rentang waktu 2003-2008.
Disertasi Pedro C. Magalhães merupakan karya ilmiah dalam bidang
ilmu politik. Pada karya tulis itu dipaparkan bahwa keberadaan MK
(constitutional court) dengan mengambil
kasus di Spanyol dan Portugal pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54
digilib.uns.ac.id
mulanya sama dengan tuntutan keberadaan pengadilan konstitusi pada
umumnya yaitu untuk menjadi pihak ketiga (arbiter) yang netral dalam rangka
menentukan penafsiran konstitusi. Namun demikian, desain institusional dari
MK ditentukan oleh aktor-aktor politik khususnya menyangkut 3 isu yaitu
modalities of judicial review, access to courts, dan appointment and retention
of justices. Dibandingkan karya tulis tersebut, disertasi ini mempunyai
kesamaan pandangan bahwa MK merupakan pengadilan politik namun
mempunyai perbedaan mengenai pendekatan dan problem analisis yang
beranjak dari transisi demokrasi, bukan dalam konteks relasinya dengan aktoraktor politik yang lain.
Tulisan Zainal Arifin Hoesein berbicara aspek normatif dan
pelembagaan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA. Sementara
itu, penelitian ini berbicara pelaksanaan wewenang MK dalam CR. Berbeda
dengan tulisan Hoesein yang menekankan pada aspek historis dan normatif
terhadap isu yang dibahas, maka dalam penelitian ini menggunakan asumsi
adanya interelasi antara hukum dan politik, khususnya tercermin dalam putusan
MK dalam rangka CR. Dengan demikian, di samping perbedaan mengenai
obyek yang dikaji dan pendekatan yang digunakan, penelitian ini dibandingkan
dengan tulisan Hoesein menggunakan perspektif yang berbeda dengan kajian
tersebut.
Kesamaan obyek kajian penelitian dibandingkan dengan karya tulis
Valina Singka Soebekti adalah pada perspektif transisional yang digunakan
untuk mengkaji isu yang diteliti. Hanya saja jika dicermati secara keseluruhan,
rentang dan karakter transisional dalam karya Valina Singka Soebekti itu
menunjuk kepada rentang 1999-2004, terutama pertumbuhan gagasan dan
eksplorasi ide-ide politik yang berpengaruh terhadap norma-norma yang
menjadi bagian dari Perubahan UUD 1945. Sementara itu, dalam penelitian ini
perspektif transisi demokrasi dirumuskan untuk kurun waktu 2003-2009, yang
penulis anggap sebagai fase awal pelaksanaan kinerja MK dalam wewenang
CR. Berbeda dengan karya sebelumnya yang didedikasikan untuk penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55
digilib.uns.ac.id
politik, penelitian ini, walaupun menerima asumsi interelasi hukum dan politik,
akan tetapi ranahnya adalah penelitian hukum.
Hampir serupa dengan karya Valina Singka Subekti, tulisan Denny
Indrayana memotret masa transisi dikaitkan dengan isu constitutional making.
Keseluruhan pembahasan serupa dengan yang diteliti oleh Valina Singka
Subekti, hanya indikator dan asumsi yang digunakan tidak sama. Pada dasarnya
disertasi Denny Indrayana—yang menggunakan studi perbandingan dengan
Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan--menghasilkan konkluasi bahwa
meskipun prosesnya amburadul, akan tetapi substansi yang dihasilkan sebagai
kaidah Perubahan UUD 1945 berwatak demokratis. Rentang waktu yang
diteliti oleh Denny Indrayana adalah 1998-2002, akan tetapi tidak memotret
kinerja normatif dari perubahan konstitusi tersebut. Penelitian ini menyetujui
asumsi Denny Indrayana bahwa salah satu ciri masa transisi demokrasi adalah
constitutional making process, akan tetapi tidak membahas proses penyusunan
UUD tersebut. Masa transisi dalam penelitian justru diasumsikan sebagai fase
awal pelaksanaan kinerja MK dalam CR dengan fokus pada putusan-putusan
pengadilan dalam isu terkait. Kemudian, penelitian ini juga memandang bahwa
tahapan transisi demokrasi adalah pemilu, yang dalam praktik adalah pemilu
legislatif, pemilu presiden, dan pemilu kepala daerah, walaupun fokus analisis
adalah pada perselisihan yang muncul dari implementasi demokrasi tersebut.
Disertasi Roman Ivanchenko, yang merupakan disertasi dalam kajian
ilmu politik, memotret persoalan yang amat menarik yaitu hubungan antara
Congress dengan MA. Dikatakan bahwa sebagai pemegang kekuasaan
membentuk UU, Congress amat memperhitungkan potensi atau kemungkinan
suatu UU Federal yang disahkan dibatalkan oleh MA. Untuk itu, Congress
berusaha untuk menyusun UU dengan memperhatikan ideologi-ideologi politik
yang sesuai dengan ideologi yang dianut oleh para hakim. Konsistensi
semacam ini amat penting mengingat kedudukan UU Federal dalam
perselisihan konstitusional di MA. Selain disiplin ilmu dan obyek kajian yang
berbeda, disertasi Roman Ivanchenko di atas memberikan konstribusi penting
commit to insipirasi
user
bagi penelitian ini untuk memberikan
bahwa CR oleh MK tidak
perpustakaan.uns.ac.id
56
digilib.uns.ac.id
berada dalam ruang kosong, dengan dalih posisi pengadilan itu sendiri, namun
harus dikonfirmasi sehubungan dengan relasi politik pada setiap tahap
pembentukan UU.
Dalam sudut pandang yang lebih luas menyangkut relasi pengadilan
dan ekonomi, disertasi Kaitlyn Louise Sill dengan cerdas berusaha meyakinkan
bahwa judicial review amat berpengaruh terhadap economic growth di suatu
negara. Dengan mengambil
survey di 117 negara, disertasi tersebut
memberikan bukti hipotesis bahwa judicial review amat terkait dengan
independence judiciary, suatu komitmen yang diperlukan untuk membangun
ekonomi liberal. Akan tetapi suatu negara yang menganut judicial review—
dengan konsekuensi dapat “membatalkan” produk UU—cenderung mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sebaliknya, jika mekanisme itu tidak ada,
maka justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara ringkas,
disertasi tersebut memberikan sumbangan inspirasi yang penting bahwa
judicial review, yang juga dalam rumpun CR, tidak berada dalam ruang tanpa
kendali berhadapan dengan faktor nonlegal. Oleh karena itu, penulis mencoba
merumuskan keberadaan CR dengan relasinya terhadap transisi demokrasi di
Indonesia.
Tulisan Imam Soebechi hampir serupa dengan Zainal Arifin Hoesein,
akan tetapi mempunyai perbedaan mengenai obyek yang dibahas. Karya
Soebechi menguraikan dan menggambarkan pelaksanaan fungsi wewenang
pengujian oleh MA akan tetapi sebatas dalam aturan-aturan pajak daerah dan
retribusi daerah. Ada kesamaan dengan penelitian ini yaitu eksplorasi putusan
pengadilan terkait isu yang dibahas, hanya saja penelitian ini mengkaji putusan
MK dan dalam bingkai yang tidak legal an sich, akan tetapi mengkaitkannya
menurut asumsi adanya interelasi antara politik dan hukum, dalam hal ini
putusan MK.
Karya tulis Muchammad Ali Safa’at mempunyai kesamaan dengan
penelitian ini dalam hal obyek yang dikaji adalah pelaksanaan wewenang MK.
Hanya saja, penelitian Safa’at bersifat futuritif karena pada kenyataannya
commit
to user
wewenang MK dalam pembubaran
partai
politik belum pernah dilaksanakan.
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara, penelitian ini berbicara mengenai kinerja MK dalam CR. Berbeda
dengan tulisan Safa’at yang bersifat yuridis normatif, penelitian ini
menggunakan perspektif transisi demokrasi untuk mempertegas adanya
interelasi antara hukum dan politik. Oleh sebab itu, tulisan Safa’at, di luar
uraian perbandingan pembubaran partai politik di Jerman dan Turki, tidak
berbicara mengenai putusan pengadilan, sebaliknya penelitian ini berbicara
mengenai putusan MK dalam rangka pelaksanaan CR.
Disertasi yang ditulis oleh Katherine Vigilante dengan jelis memotret
kinerja 50 MA di semua negara bagian Amerika. Setiap MA ternyata
mempunyai
semangat
judicial
activism
yang
berbeda-beda.
Dengan
menggunakan kasus pemenuhan hak-hak gay, MA di Connecticut, Iowa,
Massachusetts,dan New Jersey dikenal sebagai pengadilan yang mempunyai
aktivisme yang tinggi dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tulisan
Vigilante itu memberikan sumbangan
yang sangat berharga karena
memberikan data perbandingan hukum mengenai isu yang dikaji dalam
disertasi ini yaitu CR. Walaupun ada perbedaan obyek kajian, yaitu pada MA
negara bagian dan disertasi ini pada MK, serta substansi karya ilmiah yang
didedikasikan
untuk
disertasi
ilmu
politik,
sementara
menggunakan pemahaman interelasi antara hukum dan politik.
commit to user
penelitian
ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan bahan hukum
dalam penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan
dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya
tujuan penelitian yang dirumuskan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian
hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi.161 Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyeleaikan masalah yang dihadapi.
Adapun metode yang digunakan dalam disertasi ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum doktrinal
(doctrinal research). Penelitian doktrinal merupakan “conceived in the legal
research domain, is research ‘about’ what the prevailing state of legal
doctrine, legal rule, or legal principle is.”162 Oleh sebab itu, pengertian
penelitian hukum doktrinal adalah “as research into legal doctrines through
analysis of statutory provisions and cases by the application of power of
reasoning. It gives emphasis on analysis of legal rules, principles or
doctrines.”163 Sehubungan dengan hal ini, “Doctrinal legal research
endeavors to develop theories” sehingga bersifat sebagai “research in law”
yang berhubungan dengan “systematic exposition, analysis and critical
evaluation of legal rules, doctrines or concepts, their conceptual bases, and
inter-relation” dan menjangkau “to the Constitution (where legal system have
161
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media, hlm. 35.
162
Khushal Vibhute dan Filipos Aynalem, “Legal Research Methods: Teaching Materials”,
paper for the Justice and Legal System Research Institute, 2008, hlm. 78.
163
Ibid., hlm. 70.
commit to user
58
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
one), to legislation (statutes, statutory instruments) and to the leading
judicial decisions (the precedents).”164 Penelitian dalam doctrinal legal
research
akan
mengkaji
“around
legal
propositions
and
judicial
pronouncements on the legal propositions of the appellate courts, and other
conventional legal materials, such as parliamentary debates, revealing the
legislative intent, policy and history of the rule or doctrine.”165 Dengan
demikian sasaran dari penelitian hukum doktrinal adalah “(i) aims to study
case law and statutory law, with a view to find law, (ii) aims at consistency
and certainty of law, (iii) (to some extent) looks into the purpose and policy of
law that exists, and (iv) aims to study legal institutions.”166
Sehubungan dengan jenis penelitian tersebut, maka mandat penulisan
ini adalah melakukan eksposisi sistematis, analisis dan evaluasi kritis
terhadap: (i) interelasi kinerja pengadilan konstitusi dalam kerangka transisi
demokrasi melalui pemahaman (begrip) intrumentalisme hukum dalam ruang
politik; dan (ii) model CR oleh MK di Indonesia agar dapat menunjang atau
berperan sebagai instrumen transisi demokrasi. Oleh sebab itu, diharapkan
disertasi ini akan menghasilkan tujuan riset berupa: (i) “a view to find law”
terkait dengan eksplorasi terhadap putusan-putusan MK; (ii) “looks into the
purpose and policy of law” sehubungan dengan pelembagaan CR dalam
mekanisme pengadilan konstitusi dan konsistensinya dalam transisi
demokrasi; serta (iii) “to study legal institutions”, yang menyangkut lukisan
peran pengadilan konstitusi sebagai instrumentalisme hukum untuk mencapai
sasaran-sasaran yang diinginkan dalam transisi demokrasi.
B. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berupaya
memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai objek penelitian,
dapat berupa manusia atau gejala dan fenomena sosial tertentu. Penelitian
164
Ibid., hlm. 71.
165
Ibid., hlm. 73.
166
Ibid., hlm. 74.
commit to user
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan bahan yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka
menyusun teori-teori baru. Sifat penelitian deskriptif dalam penulisan ini
adalah “attempts to test the logical coherence, consistency and technical
soundness of a legal proposition or doctrine.”167 Koherensi, konsistensi, dan
proposisi yang diuji itu adalah transisi demokrasi, instrumentalisme hukum
melalui pengadilan, dan pelembagaan CR. Dengan demikian melalui
deskripsi tersebut, mandat dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan
”‘inbuilt’, ‘loopholes’, ‘gaps’, ‘ambiguities’ or ‘inconsistencies’ in the
substantive law inquired into as well as in some of principles or doctrines
embodied
therein”168
sehubungan
dengan
transisi
demokrasi,
instrumentalisme hukum melalui pengadilan, dan pelembagaan CR.
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual
approach), pendekatan kasus (case study approach), dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Penggunaan keempat pendekatan
tersebut adalah untuk saling melengkapi antara satu pendekatan dengan
pendekatan yang lain. Hal ini relevan dengan pernyataan Enid Campbhell
bahwa satu pendekatan saja tidaklah memadai untuk menganalisis banyak
kasus.169
(a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan
perundangan-undangan
(statute
approach)
akan
mencakup 2 hal yaitu metode pembentukan hukum dan metode penafsiran
167
Ibid., hlm. 81.
168
Kenneth Culp Davis, “Behavioral Science and Administrative Law”, Journal of Education
Law, Vol. 17, 2005, hlm. 151-152.
169
commit to user
Enid Campbell, et.all. , 1996, Legal Research, Sydney, The Law Book Company, hlm. 274.
61
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum. Jan Gijssels dan Marck van Hoeve mengemukakan tentang
metodesleer van het recht atau ajaran-ajaran tentang metode hukum, yang
termasuk dalam kawasan teori hukum dan pada dasarnya dibedakan antara
metode-metode pembentukan hukum (metodes van de rechtsvorming) dan
metode-metode penerapan hukum (metodes van de rechtstoepassing).170
Dalam pengertian pertama dikemukan seperti teknik perundang-undangan
(wetgevingstechniek), sedangkan yang kedua menyangkut metode-metode
penafsiran undang-undang. Dari metode penafsiran perundang-undangan
diharapkan nantinya memperoleh gambaran konsep hukum mengenai prinsipprinsip dan aturan hukum yang berhubungan dengan CR di Indonesia.
Penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach)
merupakan condition sine quanon bagi disertasi ini karena merupakan
penelitian doktrinal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan ini untuk
mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya perundang-undangan.171
Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang,
maka akan mampu menangkap kandungan filosofis yang ada di belakang
undang-undang itu. Dengan demikian, akan dapat menyimpulkan mengenai
ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isi yang
dihadapi.172 Adapun langkah yang dilakukan dengan pendekatan ini adalah: (i)
mengadakan inventarisasi mengenai perundang-undangan yang berkaitan
dengan CR di Indonesia; (ii) melakukan kategorisasi terhadap perundangundangan tersebut; dan (iii) melakukan analsis terhadap perundang-undangan.
Dengan melakukan analisis, akan diperoleh hasil berupa penemuan prinsipprinsip dan aturan hukum CR dan diketahui konsistensi dan harmonisasi
antara perundang-undangan tersebut.
170
Lihat dalam M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan, Jakarta, Penerbit Kencana, hlm. 20.
171
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 93.
172
Ibid., hlm. 94.
commit to user
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konsep (conceptual approach) adalah pendekatan yang
melibatkan integrasi mental atas dua unit atau lebih yang diisolasikan menurut
ciri khas dan yang disatukan dengan definisi yang khas. Kegiatan
pengisolasian yang terlibat adalah merupakan proses abstraksi, yaitu fokus
mental selektif yang menghilangkan atau memisahkan aspek realitas tertentu
dari yang lain. Sedangkan penyatuan yang terlibat bukan semata-mata
penjumlahan, melainkan integrasi, yaitu pemaduan unit menjadi sesuatu yang
tunggal, entitas mental baru yang dipakai sebagai unit tunggal pemikiran
(namun dapat dipecahkan menjadi unit komponen manakala diperlukan).173
Pendekatan konsep dalam disertasi ini terutama untuk merumuskan kerangka
akademik mengenai format transisi demokrasi dengan kualifikasi konfigurasi
politik yang dihasilkan dan bagaimanakah pengaruh konfigurasi politik
tersebut terhadap kinerja pengadilan, khususnya yang menyangkut isu CR.
(c) Pendekatan Kasus (Case Study Approach)
Pendekatan kasus (case study approach) merupakan “a method of
research where facts and grounds of each legal issue are dealt with by taking
individual case.”174 Menurut P.V. Young, “case study is a method of exploring
and analyzing of life of a social unit such as a person, a family, an institution,
a cultural group or even entire community.”175 Goode dan Hatt mengatakan
bahwa “case study is a way of organizing social data so as to preserve the
utility character of the social object being studied.”176 Jadi, dapat disimpulkan
bahwa “the case study is a method of legal research to explore and analyze
the fact and data of a social unit and to organize social data for prescription
173
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia,
hlm. 253
Narendra Man Shrestha, “Importance of Case Study Method in Legal Research”, A Research
Paper Presented at Kathmandu School of Law, Juni 2003, hlm. 14.
174
175
Lihat dalam George J. Mouly,
Publishing House (Pvt.) Ltd, India, hlm. 157.
176
Ibid.
2004, The Science of Educational Research, Eurasia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
of useful character and society.”177 Dalam konteks penelitian, pendekatan
kasus (case study approach) mempunyai banyak manfaat, antara lain “very
useful in sampling as it efficiently and orderly classifies the units selected for
research based on data and information so collected.”178 Relevansi dengan
disertasi ini, maka pendekatan kasus ditunjukkan dengan menganilisis salah
satu unit dengan karakter khusus yaitu MK di Indonesia dengan wewenang
CR-nya. Dengan demikian, hal ini mengkonfirmasi masalah utama yang akan
diteliti ke dalam suatu subyek khusus yaitu instrumenalisme hukum melalui
pengadilan. Pada ranah akademik, instrumentalisme hukum diteliti dengan
asumsi bahwa hukum merupakan “a tool for sustaining or changing aspects of
social life.”179 Kebanyakan riset mengenai isu ini “the belief that legal
doctrine, until now an endogenous (or dependent) variable can be
transformed magically into an exogenous (or independent) variable.”180
Dalam kancah ketatanegaraan, dasar itu diimplementasikan terhadap
konstitusi yang “understanding apprehends constitutions as symbolic,
cultural, discursively embedded, and operative in multiple sites. It may reject
a strict division between legislation and interpretation, emphasizing
constitutional culture as formal and informal interactions between citizens
and officials.”181 Karena itu tidak semata-mata konstitusi “understanding
regards them as utilitarian, rule-based, and represented satisfactorily by their
texts. It takes their principle site of operation to be the constitutional or
177
Narendra Man Shrestha, op.cit., hlm. 18.
178
Ibid., hlm. 19.
179
Austin Sarat, “Pain, Powerlessness, and the Promises of Interdisciplinary Legal Scholarship:
An Idiosyncratic:Autobiographical Account of Conflict and Continuity”, Windsor Y.B. Access to Justice, Vol.
18, 2000, hlm. 196.
180
Roderick A. Macdonald, Still “Law” and Still “Learning?”, Canada Journal of Law &
Society, Vol. 18, 2003, hlm. 11.
Reva B. Siegel, “Constitutional
Culture,
Social Movement Conflict and Constitutional
commit
to user
Change: The Case of the De Facto ERA”, California Law Review, Vol. 94, 2006, hlm. 1324.
181
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
highest court.”
182
Jadi, “view of constitutions may regard them not only as
mediating between cultures, but as constituting one (or more).”183
(d) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Pendekatan lain penulis gunakan adalah pendekatan perbandingan
(comperative approach). Menurut hemat penulis CR oleh MK merupakan
salah satu bentuk dari isu hukum yang berkaitan dengan “globalization of the
practice of modern constitutionalism”184, “rise of world constitutionalism”185,
“judicial globalization”186, dan “the cosmopolitan character of modern
constitutionalism”187, sebagai bagian dari “a transnational project of
constitutional scholarly discourse.”188 Oleh sebab itu, “The mainstream
comparatists’ orientation and method, including what they code, explicitly
and implicitly, as relevant to constitutions’ operation, have strategic and
political consequences.”189 Dengan demikian, penulis menganggap tepat
apabila menggunakan pendekatan perbandingan. Dalam hal ini, pendekatan
perbandingan yang digunakan dalam disertasi ini hanya meliputi pendekatan
perbandingan secara minimal (minor comparative approach).
Pendekatan perbandingan dalam disertasi ini digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai: (i) format transisi demkrasi; (ii) organisasi
dan regulasi pengadilan konstitusi; dan (iii) deskripsi kinerja pengadilan
Benjamin L. Berger, “White Fire: Structural Indeterminacy, Constitutional Design, and the
Constitution Behind the Text”, Journal of Compulsory Law, Vol. 3, 2008, hlm. 249.
182
Robert C. Post, “Foreword: Fashioning the Legal Constitution: Culture, Courts, and Law”,
Harvard Law Review, Vol. 117, hlm. 1245.
183
Sujit Choudhry,” Globalization in Search of Justification: Toward a Theory of Comparative
Constitutional Interpretation”, Indiana Law Journal, Vol. 74, 1999, hlm. 821.
184
Bruce Ackerman, “The Rise of World Constitutionalism”, Virginia Law Review, Vol. 83,
185
2007, hlm. 772.
Anne-Marie Slaughter, “Judicial Globalization”, Virginia Journal of International Law, Vol.
40, 2000, hlm. 1103.
186
Robert Leckey, “Thick Instrumentalism and Comparative Constitutionalism: The Case of Gay
Rights”, Columbia Human Rights Law Review, Vol. 40, 2009, hlm. 427.
187
188
Ibid.
189
Ibid., hlm. 428.
commit to user
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusi dalam transisi demokrasi. Kegunaan pendekatan ini adalah untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan di antara ketiga hal yang dikaji
tersebut.190 Adapun disertasi ini direncakan akan membandingkan, pertama,
format dan transisi demokrasi di negara-negara Eropa Selatan, Eropa Timur
pasca bubarnya Uni Soviet, Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dengan
ketentuan bahwa pilihan kepada negara akan ditentukan menurut subyektifitas
peneliti sendiri demi efektifitas penelitian dengan pertimbangan ketersediaan
literatur dan akses data serta proporsionalitas berupa relevansi dengan kondisi
di Indonesia. Kedua, organisasi dan regulasi pengadilan konstitusi, terutama
dalam tingkat konstitusi, baik yang melekat pada MA (the Supreme Court)
yaitu Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Australia, India, dan Israel maupun
dengan kelembagaan tersendiri seperti MK atau istilah lain pada negara
Spanyol, Portugal, Eropa Timur pasca bubarnya Uni Soviet, Asia, Afrika, dan
Amerika Latin serta negara yang tidak mengadopsi CR yaitu Inggris. Ketiga,
deskripsi kinerja pengadilan konstitusi dalam transisi demokrasi, terutama
dengan negara-negara yang mempunyai kelembagaan MK atau istilah lain
secara khusus yaitu negara Spanyol, Portugal, Eropa Timur pasca bubarnya
Uni Soviet, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Deskripsi tidaklah membahas
rincian dan jenis putusan, akan tetapi difokuskan kepada upaya penemuan
konsepsi mengenai kinerja pengadilan dalam lingkungan konfigurasi tertentu.
Dengan demikian, kerangka instrumentalisme hukum dalam disertasi ini akan
memperoleh bahan perbandingan dan dapat menjadi kerangka acuan untuk
mengkaji isu serupa sehubungan dengan MK di Indonesia.
D. Sumber Informasi Penelitian
Dalam pandangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada
dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang
digunakan sebagai sumber informasi adalah bahan hukum.191 Dalam hal ini
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
190
Bandingkan, Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 95.
191
Ibid.
commit to user
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.192
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi;
4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
5) Putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut perkara pengujian UU yang
direncanakan
meliputi putusan yang mengandung substansi transisi
demokrasi, yaitu:
(a) Putusan pengujian UU yang berimplikasi kepada bidang politik,
perekonomian, korupsi, dan HAM;
(b) Putusan pengujian UU yang berimplikasi kepada prinsip dan
ketentuan-ketentuan check and balances system;
(c) Putusan pengujian UU yang mencerminkan MK sebagai positive
legislator dan pengendali “government action”;
(d) Putusan pengujian UU yang bersifat menafsirkan kaidah-kaidah dan
prinsip-prinsip hukum acara pengujian UU, yaitu: (i) penafsiran
mengenai legal standing; (ii) penafsiran mengenai syarat pengujian
berupa kerugian konstitusional; dan (iii) penafsiran mengenai obyek
dan daya jangkau pengujian.
(e) Putusan pengujian UU yang terkait dengan sistem pemilu dan sistem
kepartaian; dan
192
Ibid., hlm. 141.
commit to user
67
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(f) Putusan perselisihan hasil pemilukada yang ditetapkan pada 20082010.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.193 Bahan hukum sekunder
sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini
yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel
internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung
penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Sumber Informasi Penelitian
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh
bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang
mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah
studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum
yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan menggunakan content
analysis.194 Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori
dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel, majalah dan
koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan
pokok permasalah dalam penelitian yang terkait dengan isu hukum yang
dikaji.
F. Teknik Analisis Sumber Informasi Penelitian
Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang
diteliti untuk kemudian mendeskripsikan bahan-bahan yang diperoleh selama
penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum yang relevan dan
menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan. Mengkualitatifkan bahan
adalah fokus utama dari penelitian hukum ini. Dengan demikian penulis
193
Ibid.
194
Ibid., hlm. 21.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68
digilib.uns.ac.id
berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh bagi
fenomena yang diteliti.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran
(logika) induktif sekaligus deduktif. Penalaran induksi digunakan untuk
mengkaji obyek penelitian tersebut di atas sebagai premis minor yang
dihubungkan dengan konsep normatif CR pada umumnya sebagai premis
mayor yang akan menghasilkan kesimpulan prinsip-prinsip dan aturan-aturan
hukum CR di Indonesia.
Penalaran induksi lazim digunakan dalam kajian dengan pendekatan
kasus (case study approach), sedangkan penalaran deduksi yang didasarkan
pada aspek normatif dan evaluatif ini sebagai premis mayor. Alasan bahwa
disertasi ini juga menggunakan penalaran deduksi adalah bahwa asas yang
diperoleh secara induksi selanjutnya dapat digunakan untuk mengembangkan
pemikiran deduksi untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat dipakai untuk
proses induksi selanjutnya. Menurut Arief Sidharta, dalam menyelesaikan
masalah hukum, penalaran hukum melibatkan baik induksi jika penalarannya
berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang sudah diputus, maupun deduksi, jika
penalarannya bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum.195
195
167.
Arief Sidharta, 1999, Refleksicommit
tentang Struktur
Hukum, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hlm.
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PERTUMBUHAN CONSTITUTIONAL REVIEW DAN BENTUK-BENTUK
INSTRUMENTALISME HUKUM YANG MEMPENGARUHI FUNGSI
PENGADILAN
A. Constitutional Review: Penerimaan, Penolakan, dan Pertumbuhan
Gagasan
Seperti diuraiakan dalam Bab I subbab Latar Belakang Masalah,
sendi-sendi dasar CR dianggap berasal dari inovasi hukum tata negara
Amerika yang kemudian menjadi norma konstitusi yang demokratis. Pada sisi
lain, sebelum Perang Dunia II, hanya sejumlah kecil konstitusi suatu negara
yang memuat mekansime CR, namun sekarang sebanyak 158 dari 191
konstitusi yang secara tegas mengaturnya. Dari jumlah itu, sebanyak 79
konstitusi mendesain CR oleh badan pengadilan khusus dan sejumlah lainnnya
melekatkan CR pada badan pengadilan umum atau MA. Hanya sebagian kecil
konstitusi seperti China, Vietnam, dan Burma, menentukan wewenang itu
pada Parlemen.196 Beberapa negara seperti Amerika mengembangkan
mekanisme CR itu tanpa ketentuan mandat yang tegas dalam konstitusi.
Perluasan penerimaan CR dapat menyangkut gagasan maupun
kelembagaannya. Keberadaan CR sering diasosiakan dengan pikiran populer
mengenai HAM di abad ke-20.197 Namun ilmuwan politik melihatnya sebagai
salah satu mekanisme untuk menyelesaikan sengketa (dispute resolution).198
Pada rubrik ini menyajikan penerimaan CR dan mengkaji kembali bermacammacam penjelasan politik mengenai pembentukan, pertumbuhan, dan
perluasan kelembagaan dengan tekanan pada gagasan dan kelembagaannya.
Dari segi gagasan, penerimaan CR dapat dikaji dalam 4 gelombang.
Masing-masing gagasan dalam tiap gelombang itu dapat dilihat dalam uraian
sebagai berikut.
Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, dalam Keith E.
Whittington, et.al., 2008, Law and Politics, Oxford, Oxford University Press, hlm. 81.
196
197
Ibid., hlm. 82.
198
Ibid.
commit to user
69
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Gelombang Pertama: Perkara Marbury sebagai Dasar (1803-1920)
Pertumbuhan CR dalam fase waktu ini biasanya dikaitkan dengan
pelembagaan Judicial Review pada perkembangan hukum yang terjadi di
Amerika Serikat yang pada tahun 1803, disentakkan oleh putusan yang
sangat controversial dan mengandung perdebatan luas diantara politisi dan
pakar hukum, yaitu putusan Mahkamah Agung atas perkara Marbury V.S.
Madison. Adapun kasus posisi atas perkara tersebut adalah sebagai
berikut.
Dalam pemilu tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, Presiden
John Adams—sebagai incumbent--dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari
Partai Democratic-Republic (yang dewasa ini dikenal sebagai Partai
Demokrat).
Setelah kalah, dalam masa peralihan untuk serah terima
jabatan dengan Presiden terpilih Thomas Jefferson, John Adams membuat
keputusan-keputusan,
yang
menurut
menurut
para
pengkritiknya
dimaksudkan untuk “menyelematkan sahabat-sahabatnya sendiri supaya
mendapatkan kedudukan-kedudukan yang penting.”199 Termasuk, Menteri
Luar Negeri John Marshall yang diangkat sebagai Ketua MA (Chief
Justice). Bahkan sampai detik-detik menjelang pukul 00.00 tanggal 3
Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John
Adams, dengan dibantu John Marshall yang tetap merangkap sebagai
Menteri Luar Negeri, masih terus menyiapkan dan menandatangani suratsurat pengangkatan pejabat, termasuk beberapa orang diantara diangkat
menjadi duta besar dan hakim. Diantara pejabat tersebut adalah William
Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan William Harper,
yang diangkat menjadi hakim perdamaian (justices of peace).200
Sayangnya, salinan surat pengangkatan mereka tidak sempat lagi
diserahterimakan sebagaimana mestinya. Pada keesokan harinya, tanggal 4
Maret 1801, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan.
199
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 17.
200
Ibid., hlm. 18.
commit to user
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja
pada hari pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang
diangkat sebagai Menteri Luar Negeri menggantikan John Adams.
Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dan
kawan-kawan melalui kuasa hukum mereka, Charles Lee (mantan Jaksa
Agung Federal), mengajukan tuntutan langsung ke MA yang dipimpin
oleh
John
Marshall
agar
sesuai
kewenangannya
memerintahkan
Pemerintah melaksanakan “writ of mandamus’ dalam rangka penyerahkan
surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan mereka menjadi
hakim telah mendapat persetujuan Kongres sebagaiamana mestinya dan
pengangkatan itu telah pula dituangkan dalam Keputusan Presiden yang
telah ditandatangani dan dicap resmi (sealed).
Dalam dalil gugatannya, Charles Lee menguraikan bahwa
berdasarkan Judiciary Act Tahun 1789, MA bewenang memeriksa dan
memutus perkata yang mereka ajukan serta mengeluarkan “writ of
mandamus” yang mereka tuntut. Namun Pemerintahan Jefferson tetap
menolak, bahkan menolak pula memberikan keterangan yang diminta oleh
MA agar pemerintah menunjukkan bukti-bukti mengapa menurut
Pemerintah “writ of mandamus” seperti yang didalihkan penggugat tidak
dapat dikeluarkan. Malah sebaliknya, Kongres yang dikuasai oleh kaum
Republik yang berpihak kepada Presiden Thomas Jefferson mengesahkan
UU yang menunda persidangan MA salama lebih dari 1 tahun.
Pada persidangan yang dibuka pada Februari 1803, Marbury Vs.
Madison ini kembali menjadi pusat perhatian. Dalam putusan yang ditulis
sendiri oleh John Marshall jelas sekali bahwa MA membenarkan bahwa
pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang
ditentutukan oleh hukum sehingga Marbury dan kawan-kawan dianggap
memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka itu menurut hukum.
Namun MA sendiri dalam putusannya menyatakan tidak berwenang
memerintahkan kepada aparat untuk menyerahkan surat-surat dimaksud.
commitbahwa
to userpermohonan mengenai “writ of
Selanjutnya, MA menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id
72
digilib.uns.ac.id
mandamus” sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act
Tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika. Oleh karena itu, dalil yang diajukan oleh
MA untuk memeriksa perkara tersebut bukan bersumber dari Judiciary Act
Tahun 1789, akan tetapi dari kewenangan untuk menafsirkan konstitusi.201
Dalam putusan tersebut, meskipun MA dalam pertimbangannya
menyatakan hak Marbury dan kawan-kawan adalah sah menurut hukum,
tetapi gugatan Marbury dan kawan-kawan ditolak karena MA menyatakan
tidak berwenang mengeluarkan “writ of mandamus” seperti yang diminta.
Namun demikian, yang lebih penting lagi putusan itu membatalkan UU
yang mengatur mengenai “writ of mandamus” itu sendiri yang dinilai oleh
MA bertentangan dengan ketentuan Article III Section 2 Konstitusi
Amerika.
Dalam putusan itu, titik pemahaman penting adalah argumen
bahwa MA merupakan pengawal konstitusi (the Guardian of the
Constitution of the United States of America) yang bertanggung jawab
menjamin agar norma dasar yang terkandung di dalamnya sungguhsungguh ditaati dan dilaksanakan.202 Dengan sendirinya, menurut John
Marshall segala UU buatan Kongres apabila bertentangan dengan dengan
konstitusi sebagai “the supreme law of the land” harus dinyatakan “null
and void.” Kewenangan inilah yang kemudian dikenal sebagai Judicial
Review sebagai sesuatu yang sama sebali baru dalam perkembangan
hukum di Amerika Serikat sendiri maupun di dunia. Perlu dicatat bahwa
kewenangan membatalkan undang-undang itu sama sekali tidak pernah
dicantumkan dalam konstitusi203, karena itu merupakan sesuatu yang sama
seali baru bahkan dalam sejarah hukum di dunia, karena yang telah
201
Ibid., hlm. 20.
202
Ibid., hlm. 19-20.
Dikatakan oleh seorang penulis, “the text of the American Constitution is silent on
the issue and it was not until the 1803 in
Marbury
Madison.” Lihat: Louis Henkin, 1990, The
commit
tov.user
Age of Rights, New York: Columbia University Press, hlm. Xviii dan 65.
203
73
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkembang sebelumnya adalah kewenangan untuk menilai204, dan tidak
sampai membatalkan seperti dalam perkara Marbury V.s. Madison itu.205
Oleh sebab itu, menurut penulis, dengan keaktifan hakim agung di bawah
pimpinan John Marshall, maka lahirlah putusan yang melampaui preseden
dan konstitusi, untuk menegakkan paham supremasi konstitusi itu
sendiri.206 Dengan substansi demikian maka Judicial Review dalam
putusan John Marshall tersebut berada dalam kategori Judicial Activism
seperti sudah dipaparkan di bagian terdahulu dari bab ini.207
Pada awal revolusi sendiri, MA Amerika Serikat tidak menerima
perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna memeriksa suatu
UU yang bertentangan dengan konstitusi.208 Dalam riset yang dilakukan
oleh William Casto, sampai saat itu MA percaya bahwa tidak ada UU yang
dibatalkan, sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan
konstitusi.209 David Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja MA
selama 100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury
204
Di Amerika Serikat sendiri, hanya ditemukan 5 (lima) perkara pada awal
pelaksanaan konstitusi, termasuk perkara Marbury, yang mana putusannya menolak pemberlakuan
Undang-Undang karena bertentangan dengan konstitusi. Lihat dalam Larry D. Kramer, “The
Supreme Court 2000 Term: Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, 2001, Vol 115, No.
4.
205
Saikrishna B. Prakash & John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, University
of Chicago Law Review, Vol. 70, 2003, hlm. 913.
206
Dapat dikatakan bahwa konstitusi telah ditafsirkan sedemikian rupa dengan
keaktifan hakim, yang menyebabkan timbulnya norma baru yang jauh dari kehendak para
pembentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri. Baca: Davison Douglas, “The Rhetorical Uses of
Marbury v. Madison: The Emergence of a Great Case”, 2003, Vol. 38, Wake Forest Law Review,
No. 375, hlm. 386.
207
Seorang pakar menulis, bahwa formulasi pemahaman yang harus disusun adalah
adanya momentum dalam perkara Marbury dan judicial review merupakan doktrin baru akibat
putusan itu. Ditulis bahwa “[I]f any legal doctrine can be said to have been created in a moment,
judicial review is that doctrine and Marbury is the moment.” Selengkapnya lihat: Suzanna Sherry,
“The Founders’ Unwritten Constitution”, University of Chicago Law Review, 1987, Vol. 54, hlm.
1127.
208
Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall
Court Made More out of Less”, Washington & Lee Law Review, 1999, Vo. 56, hlm. 787 dan 809.
209
Ibid., hlm. 799.
commit to user
74
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu tidak ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan
dalam konstitusi.210
Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not
found judicial review because the practice was well established before the
case was decided”211, dan juga karena para pendiri negara beranggapan
bahwa “that the Court would exercise this power.”212 Dengan demikian,
seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous
case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the
Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”213 Bahkan
“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce
individual rights until after World War II.”214 Lagipula, seperti
disampaikan oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that
seventeenth- and eighteenth-century judges described their constitutional
decisions as judicial review.”215 Setelah memperhatikan paparan tersebut,
kiranya rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa
dalam Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review
statutes and other government acts for their constitutionality.”216 Konteks
dari Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all
decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.217
Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review
merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.
210
Ibid., hlm. 789.
211
Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal,
Vol. 116, 2006, hlm. 504.
212
Jack N. Rakove, The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts,
Standford Law Review, 1997, Vol. 49, hlm. 1031-1047.
Davison M. Douglas, “The Rhetorical Uses of Marbury v. Madison: the Emergence
of a ‘Great Case’, Wake Forest Law Review, 2003, Vol. 38, hlm. 375.
213
214
Ibid., hlm. 377.
215
Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University
Press, hlm. 188-189.
Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”,
Stanford Law Review, 2010, Vol. 78, No, 6, hlm. 1162.
216
217
Ibid.
commit to user
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sekalipun secara konvensional diperlihatkan dalam putusan John
Marshall yang amat terkenal dalam perkara Marbury Vs. Madison (1803),
praktis judicial review telah dikenal dengan baik pada masa kolonial
Amerika.218 Penyokong mekanisme ini adalah 3 gagasan besar yang
muncul saat revolusi awal yaitu konsep hukum tertinggi (the higher law),
kontrak sosial, dan supremasi konstitusi. Konsep hukum tertinggi—yang
diwariskan dari tradisi Nasrani, mengisnyaratkan bahwa apabila di dalam
suatu sistem hukum terbagi atas hukum tertinggi dan hukum dengan
tingkatan lebih rendah, ada kebutuhan untuk membatasi bahwa hukum
yang lebih rendah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang
tertinggi.
Teori
kontrak
sosial—versi
John
Locke—memberikan
pemahaman bahwa kewajiban pemerintah adalah untuk menyelenggarakan
hak-hak dasar individu. Jika pemerintah abai terhadap komitmen tersebut,
maka individu berhak untuk menuntut penegakan kontrak tadi. Untuk
mempertegas tuntutan tersebut, maka kontrak sosial tadi—sebagai inovasi
ketatanegaraan Amerika—diwujudkan dalam dokumen konstitusi.219
Hanya saja penerimaan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi,
tidak diikuti dengan ketentuan mengenai desain institusional sebagai
mekanisme untuk mempertahankan supremasi tersebut. Para hakim sendiri
tunduk kepada tradisi Anglo-American yang menjunjung tinggi legalitas
hukum, sebagai warisan tradisi otonomi hukum Inggris. Menurut
Ginsburg, “autonomy is not itself supremacy.”220 Bahkan, pendapat hakim
Coke dalam perkara Bonham (1609-1610) yang memanggil hakim untuk
meninggal kaidah hukum yang bertentangan dengan tradisi common law
dan nalar tidak mendapatkan tanggapan selama kejayaan kedaulatan
Parlemen pada abad ke-17 di Inggris. Pendapat Coke tersebut bersandar
kepada argumentasi para pengacara muda di Amerika yang tidak
Diskusi yang menarik soal ini, periksa: W.M. Treanor, “Judicial Review Before
Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58, 2005, hlm. 455-462.
218
219
Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 82.
220
Ibid.
commit to user
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyukai prinsip supremasi parlemen di Inggris. Tradisi yang mengakar
mengenai otonomi hukum dan hukum alam mendorong sistem common
law sebagai sumber bagi para hakim untuk menciptakan mekanisme
adjudikasi sebagai pengawal hukum dalam kemerdekaan Amerika.
Oleh sebab itu, judicial review pada hekakatnya merupakan
ekspressi alamiah dari sistem Anglo-American dalam era positivisasi
legislasi; sesuatu yang tidak dikenal dalam tradisi hukum Islam, China,
atau Romawi.221 Seperti ditulis Saphiro, “The Islamic tradition had a
strong emphasis on religiously-rooted natural law contrainst on temporal
rulers, but lacked a general theory of legislation.”222 Sementara itu, tradisi
China “had a theory of legislation but no notion of institutional constraint
on the Emperor, who stood at the center of the cosmological system.”223
Pada awal revolusi sendiri, Mahkamah Agung Amerika Serikat
tidak menerima perkara yang substansinya adalah Judicial Review, guna
memeriksa suatu Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi.224
Dalam riset yang dilakukan oleh William Casto, sampai saat itu
Mahkamah Agung percaya bahwa tidak ada UU yang dibatalkan,
sepanjang tidak pernah ada perselisihan pelaksanaan konstitusi.225 David
Currie, yang melakukan riset terhadap kinerja Mahkamah Agung selama
100 tahun sejak 1801, mencatat bahwa sebelum putusan Marbury itu tidak
ada perkara yang meragukan untuk diputus menurut ketentuan dalam
konstitusi.226
Jika dicermati sesungguhnya dalam putusan Marbury “did not
found judicial review because the practice was well established before the
221
Ibid., hlm. 83.
222
M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, dalam H. Scheiber dan L.
Friedman (Editors), 1996, Legal Culture and the Legal Profession, Boulder Colo, Westview, hlm.
105.
223
Ibid.
Gordon Wood, “The Origins of Judicial Review Revisited, or How the Marshall
Court Made More out of Less”, Washington & Lee Law Review, 1999, Vol. 56, hlm. 787 dan 809.
224
225
Ibid., hlm. 799.
226
Ibid., hlm. 789.
commit to user
77
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
case was decided”227, dan juga karena para pendiri negara beranggapan
bahwa “that the Court would exercise this power.”228 Dengan demikian,
seorang penulis mengatakan bahwa “Marbury did not become a famous
case, moreover, until the latter part of the nineteenth century when the
Supreme Court first began to flex its power of judicial review.”229 Bahkan
“The Supreme Court did not seriously take up the invitation to enforce
individual rights until after World War II.”230 Lagipula, seperti
disampaikan oleh Philip Hamburger, “There is no evidence that
seventeenth- and eighteenth-century judges described their constitutional
decisions as judicial review.”231 Setelah memperhatikan paparan tersebut,
kiranya rasional apa yang dikemukakan oleh Philip Hamburger, bahwa
dalam Judicial Review tersebut “judges have a distinct power to review
statutes and other government acts for their constitutionality.”232 Konteks
dari Judicial Review tersebut adalah “a judge has an office or duty, in all
decisions, to exercise judgment in accordwith the law of the land”.233
Dengan pengertian, Philip Hamburger menyebutkan Judicial Review
merupakan bentuk lain dari Judicial Duty.
Menurut Philip Hamburger, memahami Judicial Review tanpa
mengkaitkannya dengan duty of judge, maka
[I]t is difficult to find constitutional authority for
constitutional decisions, and it therefore seems that
early American judges in the 1780s, and especially
after 1789, must have created their own most
Mary Sarah Bilder, “The Corporate Origins of Judicial Review”, Yale Law Journal,
2006, Vol. 116. No. 502, hlm. 504.
227
Jack N. Rakove, “The Origins of Judicial Review: A Plea for New Contexts”,
Standford Law Review, 1997, Vol. 49, hlm. 1031-1047.
228
229
Davison M. Douglas, op.cit., Vol. 38, hlm. 375.
230
Ibid., hlm. 377.
231
Philip Hamburger, 2008, Law and Judicial Duty, Masschucet, Standford University
Press, hlm. 188-189.
232
Philip Hamburger, “A Tale of Two Paradigm: Judicial Review and Judicial Duty”,
Stanford Law Review, 2010, Vol. 78, No, 6, hlm. 1162.
233
Ibid.
commit to user
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
significant power—as if they lifted themselves up by
their bootstraps to achieve a power their
constitutions apparently did not give them. The
judicial review paradigm thereby implies that
constitutional decisions have only a rather
contingent authority and that the judges have a
remarkable degree of power, including a
discretionary power of their own rule.”234
Namun, apabila memahami Judicial Review atas dasar kewajiban
para hakim, maka di dalam praktik “judges have no distinct power over the
constitutionality of government acts, but rather must make decisions on
such matters because it is part of their office or duty.”235 Oleh sebab itu,
menurut penulis, Judicial Review dalam tradisi di Amerika Serikat
merupakan bagian dari Judicial Duty dan tidak merupakan paradigm
peradilan tersendiri. Menjadikan Judicial Review sebagai paradigm akan
menyebabkan kesulitan dan keragu-raguan mengenai dasar legitimasinya
karena tidak ada kualifikasi dalam konstitusi.236
Sejauh ini menurut Suzanna Sherry, telah berkembang luas
mengenai gagasan Judicial Review.237 Dalam tulisan yang sama, Sherry
menegaskan bahwa hakekat Judicial Review adalah “that statutes would be
judged for their consistency with fundamental principles of natural law, as
well as for their consistency with the written constitution.”238 Substansi
pendapat yang sama dianut oleh Randy Barnet239, Helen K. Michael240,
234
Ibid.
235
Ibid.
236
Lihat juga komentar senada: William W. Van Alstyne, “A Critical Guide to
Marbury v. Madison”, Dule Law Journal, 1989, Vol. 22, No. 1.
237
Suzanna Sherry, op.cit., hlm. 1127.
238
Ibid.
239
Randy Barnett, “Reconceiving the Ninth Amendment”, Cornell Law Review, 1988,
Vol. 74.
Helen K. Michael, “The Role
of Natural
Law in Early American Constitutionalism”,
commit
to user
North Carolina Law Review , 1991, Vol. 69, , hlm. 421.
240
perpustakaan.uns.ac.id
79
digilib.uns.ac.id
dan Althur Wilmarth, Jr.241 Hampir setengah abad kemudian, putusan
serupa tidak pernah lagi terjadi, sampai dengan Putusan Dred Scott selama
terjadinya perang sipil.242
Praktik Mahkamah Agung Amerika Serikat dewasa ini juga telah
menghasilkan pemahaman yang lebih luas lagi sehubungan dengan
pengertian dan ruang lingkup Judicial Review. Mahkamah Agung
membatalkan Undang-Undang yang disusun oleh Konggres dengan alasan
bertentangan dengan prinsip-prinsip federalisme.243 Namum demikian,
perkembangan praktik itu tetap bertumpu pada satu pemahaman, bahwa
sejak semula hakekat Judicial Review adalah “Judicial supremacy in
constitutional interpretation.”244 Dalam bahasa lain, Kramer mengatakan
bahwa hakekat awal Judicial Review adalah “a power to be employed
cautiously, only where the unconstitutionality of a law was clear beyond
doubt.”245 Hal ini, lanjut Kramer, bahwa para pendiri negara “expected
constitutional limits to be enforced through politics and by the people
rather than in the courts”, yang berarti juga ““judges did not confine
themselves strictly to text” dan “drew on well-established principles of the
customary constitution.”246 Dengan demikian, dikembangkan justifikasi
Judicial Review dengan dalil “a theory of interpretation.”247
Gagasan “judicial review” menjadi isu sangat strategis dalam 2
(dua) hal yaitu “why do social movements contest constitutional meaning
Arthur Wilmarth, Jr., “Elusive Foundation: John Marshall, James Wilson, and the
Problem of Reconciling Popular Sovereignty and Natural Law Jurisprudence in the New Federal
Republic”, George Wahington University Law Reviwe, 2003, Vol. 72, No. 113.
241
Lino A. Graglia, “Constitutional Law without the Constitution: The Supreme
Court’s Remaking of America” dalam Robert H. Bork, ed., 2005, A Country I Do Not Recognize:
The Legal Assault on American Values , Stanford: Hoover Institution Press, hlm. 8.
242
243
William Michael Treanor, “Judicial Review Before Marbury”, Stanford Law
Review, Mei 2005, hlm. 11.
244
Ibid., hlm. 12.
245
Larry D. Kramer, op.cit., hlm. 161-162.
246
Ibid., hlm. 99.
Rudolf B. Schlesinger et al,
1998, Comparative
Law: Cases-Text-Materials, 6th ed.
commit
to user
(New York: Foundation Press, hlm. 283.
247
80
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
by fighting over judicial appointments in the United States, and why does
such a strategy make little sense in democracies that constitutionalized
rights in the late twentieth century?”248 Secara politik pula, pelembagaan
CR di Amerika Serikat “has been both a model and an anti-model in the
worldwide spread.”249 Bagi yang setuju dengan gagasan CR—dan karena
itu harus disebarkan ke seluruh dunia—dilandaskan kepada asumsi bahwa
“law is separate from politics and that courts have the power and the duty
to maintain that distinction”250 dan juga karena “that courts that exercise
judicial review are powerful political as well as legal actors.”251
Dalam praktik pengujian di Amerika Serikat, pertumbuhan
pengujian UU sangat ketat. Dikatakan bahwa “Judicial review is not the
review of statutes at large; judicial review is constitutional review of
governmental action.”252 Pada sejumlah putusan, setiap Undang-Undang
yang dihasilkan Kongres, (i) “sejauh mungkin dihindarkan sebagai bagian
dari pertentangan antarcabang kekuasaan”253, (ii) “ditetapkan sebagai
suatu
rangkaian
sebaliknya”254,
keputusan
yang
(iii)“dihindarkan
konstitusional
dalam
hingga
pengujian
oleh
terbukti
badan
248
Baca: Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and
Legitimacy of ‘Constitutional Justice’”, Catholic University Law Review, 1995, Vol. 35, No. 1.
Heinz Klug, “Model and Anti-Model: The United States Constitution and the ‘Rise
of World Constitutionalism’”, George Washington Law Review, Vol. 3, 2000, hlm. 597.
249
Miguel Schor, “Mapping Comparative Judicial Review”, Washington University of
Global Studies Law Review, 2008, Vol. 7, hlm. 257.
250
251
Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why
ItMay Not Matter” , Michigan Law Review, 2003, Vol. 101, hlm. 2744.
Black Law Dictionary 864 (8th ed. 2004) (defining judicial review as “[a] court’s
power to review the actions of other branches or levels of government; esp., the courts’ power to
invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional” (emphasis added). Dalam
suatu putusannya, Mahkamah Agung Federal mengatakan bahwa “The Court must either hold that
the Suspension Clause has ‘expanded’ in its application to aliens abroad, or acknowledge that it
has no basis to set aside the actions of Congress and the President.” Putusan Perkara Boumediene
v. Bush, 128 S. Ct. 2229, 2297 n.2 (2008).
252
253
Putusan Perkara Almendarez-Torres v. United States, 523 U.S. 224, 238 (1998)
(“The [constitutional avoidance] doctrine seeks in part to minimize disagreement between the
branches by preserving congressional enactments that might otherwise founder on constitutional
objections.”
to user
Putusan Perkara Hepburncommit
v. Griswold,
75 U.S. (8 Wall.) 603, 610 (1869) (“This
court always approaches the consideration of [constitutional] questions of this nature
254
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peradilan”255, dan (iv) “merupakan produk koordinatif antara pemerintah
dan Konggres sehingga harus dibuktikan batas-batas konstitusi yang
dilanggar oleh Konggres”256. Kemudian, jika pengadilan memandang
hanya terdapat satu doktrin saja untuk menyelesaikan sengketa
konstitusional, maka permohonan harus diabaikan kecuali permohonan itu
benar-benar tidak dapat dihindarkan.257 Bahkan, suatu pengujian UndangUndang oleh Mahkamah Agung merupakan suatu “one of great gravity
and delicacy.”258 Oleh karena itu, menyatakan suatu produk Konggres
atau parlemen negara bagian bertentangan dengan konstitusi berarti has
rendered void its attempt at legislation.259
Argumen
diperlukannya
“judicia
review”
dalam
format
American style ini adalah “it contributes to the efficacious protection of
rights260, to the operation of representative institutions261, to the stability
of legal decisions and settlement of disputes, to the realization of decisions
made during constitutional moments or to the maintenance of other
reluctantly; and its constant rule of decision has been, and is, that acts of Congress must be
regarded as constitutional, unless clearly shown to be otherwise.”).
255
Putusan Perkara Ashwander v. Tenn. Valley Auth., 297 U.S. 288, 345-49 (1936)
(Brandeis, J., concurring) (affirming the principle that the judiciary should avoid constitutional
questions and enumerating seven strategies for doing so”).
256
Putusan Perkara United States v. Morrison, 529 U.S. 598, 607 (2000) (“Due respect
for the decisions of a coordinate branch of Government demands that we invalidate a
congressional enactment only upon a plain showing that Congress has exceeded its constitutional
bounds.”).
257
Putusan Perkara Spector Motor Serv. v. McLaughlin, 323 U.S. 101, 105 (1994) (“If
there is one doctrine more deeply rooted than any other in the process of constitutional
adjudication, it is that we ought not to pass on questions of constitutionality . . . unless such
adjudication is unavoidable.”
258
Putusan Perkara Adkins v. Children’s Hosp., 261 U.S. 525, 544 (1923).
259
Putusan Garland, 71 U.S. (4 Wall.) 333, 382 (1866) (Miller, J., dissenting).
Lihat uraian lengkap, antara lain: Jeremey Waldron, “Freeman’s Defense of Judicial
Review”, Law & Philosophy, 1994, Vol. 13, hlm. 27-36; Richard H. Fallon, “An Uneasy Case for
Judicial Review”, Harvard Law Review, 2008, Vol. 121, hlm. 1693-1699; dan Frank B. Cross,
“Institutions and Enforcement of the Bill of Rights”, Cornell Law Review, 2000, Vol. 85, hlm.
1529-1576; dan Wojciech Sadurski, “Judicial Review and the Protection of Constitutional Rights”,
Oxford Law Journal, 2002, Vol. 22, hlm. 275-278.
260
Hal ini disebabkan karena “the Constitution is designed to protect the representative
nature of government.” Lihat dalam: Allan
Hutchinson,
commit
to user ”A Hard Core Case against Judicial
Review”, Harvard Law Review, 2008, Vol. 57.
261
82
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
valuable aspects of liberal democracy.”262 Namun demikian, tetap saja
bahwa “Judicial review can be successfully justified if it can be shown that
individuals have a right to the judicial review of legislative decisions
independent of the “correctness” of judicial decisions or other long-term
contingent effects of judicial decision-making.”263 Hal ini karena “Judicial
review provides an opportunity for individuals who believe (rightly or
wrongly) that their rights have been violated to raise their grievance
against the (actual or presumed) violation.”264
Penjelasan di atas membutuhkan sokongan ideologis terhadap
CR, tetapi dalam sebagian tidak rinci sampai akhir abad ke-18. Salah satu
pemahaman mengenai hakekat judicial review adalah “game theory” and
sebagian menyangkut pertentangan antara Marshall dengan Jefferson
dalam konteks perkara Marbury.265 Kontekstualisasi itu dijelaskan sebagai
berikut:
Marshall, in deciding wheter to order Jefferson to
deliver a commission he did not want to deliver,
faced uncertainty about the prospects of
compliance. Jefferson too faced uncertainty with
regard to reactions of other political actors to his
various possible responses to Marshall. This set up
a game theoretic situation in which alternative
outcomes might easily have resulted. Marshall
could have declinded to claim the power of judicial
review, or deliverded it stillborn by ordering an
action that woulrd generate presidential defiance.
Instead, Marshall’s decision, to decline to irder the
delivery of Marbury’s ill-fated commission but to
establish judicial review, fit the strategic logic of
Lihat uraian lengkap dalam: Thomas C. Grey, “Do We Have an Unwritten
Constitution?”, Stanford Law Review, 1995, Vol. 27, hlm. 703-714 dan Einer R. Elhauge, “Does
Interest Group Theory Justify More Intrusive Judicial Review”, Yale Law Journal, 1991, Vol. 101.
262
Yuval Eylon dan Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, Virginia
Review, Vol. 92, 2006, hlm. 991.
263
264
Law
Ibid., hlm. 996.
R. L. Clinton, “Game Theory, Legal History, and The Origins of Judicial Review: A
Revisionist Analysis of Marbury V. Madison,
commitAmerican
to user Journal of Political Science, Vol. 38,
2004, hlm. 285.
265
83
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
the situation and established a new institutional
equilibrium.
Pandangan pada perkara Marbury itu ditentang oleh Graber yang
mennggunakan “gradual political approach” terhadap CR, dengan
mengatakan bahwa Madison dihadapkan pada situasi tanpa pilihan apapun,
sehingga Marshall menggagasnya sebagai kunci untuk memberdayakan
MA. Dalam hal ini Graber menguraikan pendapatnya menurut konteks dan
sejarah
panjang
relasi
diantara
cabang-cabang
kekuasaan
dalam
melaksanakan pengujian, dibandingkan menurut pandangan pada kasus
tunggal.266
Pandangan lain menggunakan pijakan federalisme sebagai logika
“judicial review” di masa awal pertumbuhan Amerika. Terdapat 2 alasan
mendasar atau saling melengkapi dengan mengkaitkan federalisme dan
“judicial review.”
Pertama, ketika terdapat 2 badan atau tingkat
pembentuk hukum dengan yurisdiksi yang berbeda, maka memungkinkan
munculnya potensi konflik kewenangan. Pihak ketiga yang netral
menyelesaikan persoalan yang timbul manakala kedua badan atau tingkat
tersebut mengalami perselisihan.267 Bahkan, sistem federal nampaknya
mempersyaratkan mekanisme semacam itu guna menyelesaikan sengketa
kewenangan, dan kesesuaian antara federalisme dengan “judicial review”
dapat diilustrasikan dengan banyaknya sistem federalisme yang mengatur
pula ketentuan mengenai “judicial review.” Logika cabang-cabang
kekuasaan dalam federalisme menampakkan struktur yang berkarakter
fungsional, yang menuntut mekanisme penyelesaian perselisihan diantara
cabang dan tingkat kekuasaan dalam struktur negara yang kompleks dan
pembentuk hukum yang majemuk.
266
Lihat selengkapnya: M. Graber, “The Problematic Establishment of Judicial
Review”, dalam H. Gillman dan C.Clayton (Editors), 1999, The Supreme Court in American
Politics, Lawrence, University of Kansas Press, hlm. 28-42.
267
commit to user
M. Saphiro, “The Globalization of Judicial Review”, op.cit., hlm. 106-107.
84
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua, relasi federalisme dan “judicial review” adalah menyangkut
kawasan perdagangan bebas (free trade).268 Dalam suatu kawasan
perdagangan bebas dengan pembentuk hukum yang beragam, negara di
hadapkan pada tindakan yang problematik terkait dengan otoritas legislasi
pada setiap badan. Terdapat kecenderungan bahwa setiap negara bagian
akan memberikan aturan-aturan yang terkait dengan proteksi.
Jika
demikian yang terjadi, maka konsep perdagangan bebas tidak dapat
diberlakukan di seluruh wilayah. Setiap negara bagian harus mempunyai
komitmen untuk melaksanakan sistem tersebut pada wilayah masingmasing. Ketentuan konstitusi yang membentuk pengadilan sebagai badan
netral menjadi diperlukan karena untuk memastikan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh tiap-tiap negara bagian berkesesuaian dengan komitmen
prinsip perdagangan bebas.269 Bahkan, dalam awal revolusi di Amerika,
MA memberikan perhatian khusus terhadap persoalan ini yang dikaitkan
dengan konsilidasi kekuatan nasional.
Pendekatan fungsional (game theory, federalism) dapat digunakan
untuk menjelaskan perluasan CR. Asumsi logis yang diuraikan dalam
suatu perkara dapat digunakan untuk perkara yang muncul berikutnya. Di
luar Amerika, CR jarang diterima sampai dengan berakhirnya Perang
Dunia II. Sebagai contoh, MA Norwegia mempunyai kekuasaan serupa
tapi
cenderung
untuk
tidak
menggunakannya.270
Portugal
telah
mengadopsi “judicial review” pada tahun 1909. Kelembagaan “judicial
review” yang aktif dilaksanakan di hampir semua negara federal seperti
Amerika, Kanada, dan Australia.271 Meksiko mengadopsi bentuk lain dari
CR, dikenal sebagai “amparo” yang terbatas pada upaya hukum terhadap
268
Ibid., hlm. 107.
Y. Qian dan B. Weingast, “Federalism as a Commitment to Market Insentives”,
Journal of Economic Perspektive, Vol. 11, 2007, hlm. 89-93.
269
270
Baca selengkapnya: C. Smith, “Judicial Review of Parliamentary Legislation in the
Norwegian System”, Public Law Journal,
Vol. 45,to2000,
commit
userhlm. 595-606.
271
Badnar, et.al., 2001, hlm. 246.
85
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tindakan individu yang melanggar konstitusi dan bentuk ini pada awal
pertumbuhannya menyangkut masalah federalisme.272
Kesesuaian antara federalisme dengan CR, termasuk juga “free trade
area” berlaku pula untuk menjelaskan dinamika CR di luar Amerika
(khususnya dalam kasus Uni Eropa). Pemerhati federalisme menyatakan
bahwa pada abad ke-20, keterkaitan itu menjadi terbatas, mengingat
penerapan federalisme yang tidak sama. Namun demikian, perkembangan
CR setelah Perang Dunia II di banyak negara tanpa mengkaitkannya
dengan federalisme dan masalah internal “free trade area” menunjukkan
bahwa kedua faktor itu bisa saja berkesusian tidak tidak dibutuhkan
sebagai syarat pengadopsian.273
2.
Gelombang Kedua: Mahkamah Konstitusi sebagai Penanda (19201940)
Pada gelombang kedua penerimaan gagasan CR sebagaimana
akan diuraikan dalam bagian ini, sesungguhnya merujuk kepada
pertumbuhan pengujian di Eropa. Jika diperhatikan pada uraian
sebelumnya, nampak bahwa “judicial review” dalam tradisi Amerika
menunjukkan “virtually unique in having judicial review, if judicial
review means a system in which ordinary judges can review and strike
down legislation.”274 Dalam tahap berikutnya, negara lain, khususnya
di Eropa yang bersedia menerima gagasan CR, menolak apabila para
hakim dalam lingkungan peradilan umum dilibatkan dalam mekanisme
konstitusional tersebut.
Suatu hal yang menarik bahwa sesungguhnya di Eropa CR
berasal dari Inggris, negara yang sering dianggap menempatkan
supremasi parlemen dan menolak pengujian Undang-Undang. Pada
abad ke-18, Privy Council (semacam Penasehat Kerajaan) diberikan
272
Ibid., hlm. 249.
273
Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, op.cit., hlm. 84.
John E. Ferejohn, “Constitutional
commit toReview
user in the Global Contex”, Journal of
Legislation and Public Policy, Vol. 6, 2002, hlm. 49.
274
86
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wewenang untuk membatalkan suatu Undang-Undang yang disusun
oleh negara yang menjadi koloni Inggris dengan alasan bertentangan
dengan produk hukum yang ditetapkan oleh Parlemen Inggris atau
bertentangan dengan tradisi Common Law.275 Pada perkembangan
selanjutnya, pelembagaan CR dilaksanakan oleh Austria setelah
Perang Dunia I276, dan pada era yang sama pada Kanada277 dan
Swedia278, lalu dikembangkan di Jerman279 dan Italia280 setelah Perang
Dunia II. Pelembagaan selanjutnya dilaksanakan di Spanyol281 dan
Portugal282 setelah kejatuhan rezim otoritarian. Pelembagaan serupa
berkembang lagi setelah runtuhnya Uni Soviet, di mana negara-negara
yang tergabung sebagai federasi mandiri sebagai negara tersendiri.283
Di era
pasca komunis tersebut, pelembagaan CR menunjukkan,
“Subjecting their policy choices to judicial review, post-Communist
rulers demonstrate their commitment to democracy and the rule of law
to their domestic constituencies and to therest of the world.”284 Sampai
sekarang telah 78 negara yang mengadopsi kelembagaan CR
275
Gagik Harutyunnyan, et.al, Study on Individual Accses to Constitutional Justice,
Venice Comission, 27 Januari 2011, hlm. 10.
Hans Kelsen, “Judicial Review of Legislation, op.cit., hlm. 185–186. Baca juga:
Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes on the
Beginnings”, Ratio Jurist, 2003, Vol.16, hlm. 223.
276
277
Jennifer Smith, “The Origins of Judicial Review in Canada”, Canada Journal
Poltical Science, 1993, Vol. 16, No. 1.
Michael Crommelin, “Intergovernmental Relations: Dispute Resolution in Federal
Systems”, International Social Science Journal, 2001, Vol. 53, hlm. 139.
278
Donald P. Kommers, “The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of
Germany, Journal of Comparative Law, Vol 3 No. 4, 1989.
279
280
Alessandro Pizzorusso, op.cit., , hlm. 111-114.
281
Francisco Rubio Llorente, op.cit., , hlm. 127-131.
282
Rett R. Ludwikowski, loc.cit.
283
Robert F. Utter dan David C. Lundsgaard, op.cit., hlm. 585.
284
Alexei Trochev, op.cit., hlm. 514.
commit to user
87
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut.285 Perkembangan itu sepaket dengan munculnya gelombang
demokrasi baru dalam 2 dekade terakhir pada abad ke-20.286
Di Eropa, penerimaan gagasan CR berkembang dalam 3 tahap.
Pertama, perkembangan di Jerman dan Italia selepas Perang Dunia II.
Kedua, “was after the collapse of the Spanish and Portuguese
authoritarian governments, and of the Greek dictatorship about
quarter century ago.”287 Ketiga, “followed the collapse of the Soviet
Union about ten years ago.”288 Menurut Schwartz:
Before World War II, few European States had constitutional
courts, and virtually none exercised any significant judicial
review over legislation. After 1945 all that changed. West
Germany, Italy, Austria, Cyprus, Turkey, Yugoslavia, Greece,
Spain, Portugal and even France…created tribunals with
power to annul legislative enactments inconsistent with
constitutional requirements. Many of these courts have become
significant—even powerful—actors.289
Hal itu dirintias pada abad ke-19, saat para sarjana Eropa
mulai memikirkan dampak CR model Amerika Serikat.290 Gagasan
CR di Amerika Serikat memperoleh perhatian dalam suatu perdebatan
Majelis Nasional Jerman pada pertemuan di Frankfrut tahun 1848.291
Sekalipun di Frankfrut berlangsung diskusi yang menaruh harapan
Seorang penulis berkata, ”Not so in the rest of the world. Around the globe, popular
as well as academic interest in courts and judicial review is growing.” Baca: H. Kawshi Prempeh,
“Marbury in Africa: Judicial Review and the Challenge of Constitutionalism in Africa”, Tulane
Law Review, Vol. 80, 2006, hlm. 2.
285
Diskusi soal ini periksa: Cheryl Saunders, “The Use and Misuse of Comparative
Constitutional Law”, 2006, Indiana Journal of Global Legal Studies, Vol. 13, No. 37.
286
Stephen Gardbaum, “The New Commonwealth Model of Constitutionalism”,
American Journal of Comparative Law, Vol. 49, 2001, hlm. 714-715.
287
Rett R. Ludwikowski, “Fundamental Constitutional Rights in the New Constitutions
of Eastern and Central Europe”, Cordozo Journal of International & Contemporary Law, Vol. 3,
1995, hlm. 73.
288
Herman Schwartz, "The New Eastern European Constitutional Courts”, Michigan
Journal of International Law, 2002, Vol. 13, hlm. 763.
289
290
Helmut Steinberger, “Historic Influences of American Constitutionalism upon
German Constitutional Development: Federalism and Judicial Review”, Columbia Journal of
Transnasional Law, 2008, Vol. 36, hlm. 193.
291
Ibid., hlm. 194.
commit to user
88
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
besar terhadap CR dengan mengkaji secara sungguh-sungguh perkara
Marbury, akan tetapi di belahan Eropa yang lain secara berbeda
disodorkan pemikiran oleh Prancis mengenai kemungkinan penerapan
model lain dalam kelembagaannya. Sejumlah pakar di Eropa
cenderung mencemaskan CR model Amerika Serikat tersebut karena
akan menjerumuskan ke dalam sistem legislasi yang dipengaruhi oleh
gerakan-gerakan sosial.292
Sama halnya dengan gagasan “judicial review”, ide CR di
Eropa juga diwarnai dengan penerimaan dan penolakan. Pada satu sisi,
affinitas CR terjadi karena, “Judges frequently make discretionary
judgments when adjudicating constitutional cases.”293 Dalam konteks
ini, disekresi merupakan “refer to those judgments that courts must
make when, due to the indeterminacy of the relevant legal texts, there
are two or more ways in which a judge who conscientiously applies the
interpretive conventions of the legal profession could resolve a given
dispute.294 Maknanya, dalam perkara konstitusi, hakim “often must
choose from an array of conflicting—yet conventionally permissible—
interpretive options.”295 Sekalipun di lingkungan pengadilan diskresi
tersebut lumrah, akan tetapi “in popular political rhetoric, one often
encounters fierce resistance to the proposition that much of the
Constitution‘s text is indeterminate and that judges thus can
reasonably disagree about what the Constitution prohibits or
permits.”296
292
Alec Stone, 1992, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional
Council in Comparative Perspective , New York: Oxford University Press, hlm. 37-40.
Theodore A. McKee, “Judges as Umpires”, Hofstra Law Review, 2007, Vol. 35,
hlm. 1709-1710.
293
Todd E. Pettys, “Judicial Discretion in Constitutional Cases”, University of Iowa
Legal Studies Research Paper, No. 10-36, Desember, 2010, hlm. 2.
294
Kent Greenawalt, “Discretion and Judicial Decision: The Elusive Quest for the
Fetters that Bind Judges”, Columbia Law Review, 1995, Vol. 75, hlm. 359.
295
296
Harry T. Edwards, “The Role of a Judge in Modern Society: Some Reflections on
Current Practice in Federal Appellate Adjudication”,
Cleveland State Law Review, Vol.32, 2003,
commit to user
hlm. 385.
89
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gagasan CR juga memunculkan diskursus pada saat berbicara
mengenai
efek dari wewenang pengujian,
apakah mencakup
pemberlakuan UU sebelum putusan pengujian dijatuhkan (Retroactive
Perspective) atau mencakup pemberlakuan UU ke depan (Prospective
Perspective)? Dalam hal sifat putusan pengujian itu Retroactive
Perspective, maka “the law no longer exists and never did exist.”297
Putusan ini terjadi manakala “the substantive legal principles in force
at the time of the unconstitutional act.”298 Basis pemikiran ini adalah
“the courts is that these judgments declare the law as it has always
been — that judges discover, not make the law — and apply the preexisting law to the dispute at hand.”299 Sementara itu, sifat Prospektif
putusan menggambarkan bahwa putusan itu berlaku “postpone the
operative date of the judgment”300, yang dapat dikatakan sebagai suatu
“an exception to the norm of retroactive judicial law-making.”301 Di
dalam praktik, putusan ini kadang-kadang mencampuradukkan
keadaan masa transisi dan penolakan pembatalan suatu UU di mana
substansinya adalah “the suspended declaration of invalidity for a
temporary period of time, in order to give the government an
opportunity to respond to the court’s judgment with new legislation
that complies with the Constitution” sehingga menimbulkan kesan
“make courts look like legislatures”302, karena “The courts have
actively participated in this change in the legislative role, by
remanding remedial issues to legislatures.”303 Putusan ini dalam
297
Sujid Choudrhy dan Kent Roach, “Putting the Past Behind Us? Prospective Judicial
and Legislative Constitutional Remidies”, Supreme Court Law Review, Vol. 26, 2006, hlm.211212.
298
Ibid., hlm. 213.
299
Roach, Constitutional Remedies in Canada, Aurora, Canada Law Book, 1995, hlm.
300
Sujid Choudrhy dan Kent Roach,op.cit., hlm. 217.
301
Ibid., hlm. 218.
302
Ibid., hlm. 226.
303
Ibid., hlm. 227.
920.
commit to user
90
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
praktik memnimbulkan kontroversi karena “Suspended declarations of
invalidity
are
deeply
controversial,
because
they
allow
an
unconstitutional state of affairs to persist, thereby posing a threat to
the very idea of constitutional supremacy.”304
Oleh sebab itu tidak kurang pula sejumlah penulis yang
menetang adanya CR tersebut. Misalnya pemikir J.A.G. Griffith yang
dalam basis argumennya menolak adanya wewenang untuk menguji
konstitusionalitas
Undang-Undang.
Dalam
pandangan
Griffith,
merupakan sesuatu yang “misleading to speak of certain rights of the
individual as being fundamental and inherent in the person of the
individu”305 dan akibatnya “so-called individual or human rights are
no more or no less than political claims made by individuals on those
in authority.”306 Griffith juga mengatakan pendapat itu tersusun dari
anggapan bahwa “law is not and cannot be a substitute for politics”307
dan adanya Constittutional Review akan menyebabkan “pass political
decisions out of the hands of politicians and into the hands of judges
304
Ibid., hlm. 230.
305
J.A. G. Griffith, “The Political Constitution”, Michigan Law Review, Vol. 42, 1989,
No. 1.
306
Ibid., hlm. 17. Baca juga: T. Poole, “Tilting at Windmills? Truth and Illusion in the
Political Constitution’”, Michigan Law Review, Vol. 70, 2007, hlm. 250.
307
Ibid., hlm. 16.
commit to user
91
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
or other persons.”308 Demikian juga dengan J. Waldron309 dan R.
Bellamy.310
Penentangan terhadap CR tersebut secara epistimologis
berbeda dengan argumen bahwa pemenuhan hak-hak individu dapat
dipaksakan oleh pengadilan sebagai salah satu kelaziman dalam
demokrasi konstitusional. Dapat ditunjuk di sini penulis seperti John
Rawls311, R. Dworkin312, P. Pettit313, C. Sunstein314, dan F.
Michelman.315 Sekalipun berbasis liberal, menurut penulis, pandangan
para penulis terakhir tersebut dapat diterima dibandingkan argumen
Waldron dan Belammy, karena sesungguhnya tidak setiap keputusan
yang dilakukan oleh para legislator dapat mencerminkan kaidah-kaidah
demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan ini, mempertahankan keberadaan
308
Ibid.
J. Waldron, “The Core Case Againts Judicial Review”, Yale Law JournalVol. 115,
2006, hlm. 1346. Tulisan Waldron sangat populer dalam banyak law journal dan telah
memperoleh tanggapan dari para pakar. Pada intinya, Waldron mengatakan bahwa pengadilan
berhadapan dengan suatu perkara. Oleh karena itu, apa yang mereka putuskan sesungguhnya akan
mencerminkan kebijakan para hakim mengenai perkara tersebut dan tidaklah hal ini dipersamakan
dengan pandangan serupa dari kalangan legislator maupun pejabat pemerintah. Oleh sebab itu,
sekalipun memandang bahwa constitutional review sangat berkaitan dengan demokrasi, tetapi
Waldron berpendapat hal itu dapat dilaksanakan jika didukung dengan kondisi yang demokratis
juga. Salah satu tulisan yang menurut saya cukup bagus dalam mengupas dan sekaligus
melahirkan kritik terhadap Waldron adalah tulisan Richard H. Fallon. Baca: Richard H. Fallon, Jr.,
op.cit., , hlm. 1693.
309
310
R. Bellamy, 2007, Political Constitutionalism, A Republican Defence of the
Constitutionality of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press. Dalam salah satu bagian
dari tulisan tersebut Bellamy menolak pandangan kalau pemenuhan hak individu akan terlaksana
jika individu berhadapan dengan negara, karena pemenuhan tersebut lebih mencerminkan kondisi
“continuously reflexive process, with citizens reinterpreting the basis of their collective life in new
ways that correspond to their evolving needs and ideals.”
311
John Rawls, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press.
Ronald Dworkin, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading of the American
Constitution, Oxford: Oxford University Press.
312
313
P. Pettit, 1997, Republicanism, A Theory of Freedom and Government, Oxford:
Clarendon Press.
314
C. Sunstein, “Beyond the Republican Revival”, Yale Law Journal, Vol. 97, 1998,
hlm.1539.
F. Michelman, ‘Foreword:commit
Traces oftoSelf-Government”,
Harvard Law Review, Vol.
user
100, No. 4, 1996.
315
92
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hak-hak individu sebagaimana jaminan konstitusi melalui CR menjadi
dapat diterima.
Figur utama dalam pemikiran CR di Eropa adalah Hans
Kelsen.316 Menurut Kelsen, dalam penerapan di Eropa, CR akan
menampakkan benturan pemikiran diantara sentuhan konstitusi dengan
persoalan politik. Hal ini karena “that civil law courts were not
attractive organs to endow with the power of constitutional
interpretation because they were staffed by civil servants and were
ideologically accustomed to being subservient to legislatures.”317
Dengan demikian yang diperlukan adalah “a specialized constitutional
court that could speak with a single, authoritative voice and have
equal dignity with the legislature.”318 Pada sisi lain, tradisi Eropa
menempatkan
parlemen
sebagai
pemegang
kedaulatan
yang
kekuasaannya merajalela di atas konstitusi itu sendiri.
Dengan gagasan itu, Kelsen menganjurkan penolakan CR
model Amerika Serikat karena menganggap konstitusi merupakan
suatu bentuk hukum yang bersifat khusus dan ditentukan oleh faktor
politik.319 Menurut Kelsen, dalam proses pembentukan hukum positif,
lembaga yang menyusunnya dengan sengaja juga dilekatkan
wewenang untuk mencabut hukum positif tersebut dan hal ini adalah
pekerjaan Parlemen. Keberadaan pengadilan adalah “would therefore
be circumscribed by carefully drafting constitutions to exclude from
judicial competence broad principles such as equality, justice, and
316
Profesor tata negara Austria ini memegang peran penting dalam menyusun
Konstitusi Autria 1920, yang antara lain memuat mengenai ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan Constitutional Review. Pengaturan ini dapat dikatakan sebagai pengalaman yang paling
berharga mengenai kelembagaan Constitutional Review khas Eropa sebelum Perang Dunia II.
Penting juga dicatat bahwa Kelsen juga memegang peran penting saat penyusunan konstitusi
Jerman pasca Perang Dunia II. Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, baca: Stanley L.
Paulson, op.cit., hlm. 223.
317
Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.
318
Ibid.
Mark Tushnet, “Marburycommit
v. Madison
Around the World”, Tennesse Law Review,
to user
Vol. 71, 2004, hlm. 251.
319
93
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
liberty.”320 Dengan demikian, akan tercipta “effect horizontal and
vertical separation of powers, but courts would gain too much
influence if they had a broad power to construct rights.”321
Namun gagasan Kelsen mengenai batasan pengadilan untuk
construct rights ditentang oleh pemikir hukum di Eropa. Pengalaman
kejahatan perang oleh Jerman dan praktik-praktik antidemokrasi lain
justru harus memaksa pengadilan untuk melaksanakan hak-hak
asasi.322 Walaupun demikian ada 3 hal pokok warisan pemikiran Hans
Kelsen dalam CR di Eropa. Pertama, pengujian dilakukan secara
terkonsentrasi oleh suatu badan pengadilan khusus yang menangani
perkara konstitusi dibandingkan wewenang yang terdesentralisasi di
semua tingkatan pengadilan seperti di Amerika Serikat. Kedua,
pengujian tidak perlu mensyaratkan terjadinya suatu perkara konkrit
sehubungan dengan legislasi, bahkan suatu Undang-Undang yang
belum berlaku sekalipun dapat dimohonkan pengujian. Ketiga,
pengisian jabatan hakim memerlukan dukungan Parlemen.323
Sebelum mengerucut gagasan mengenai CR yang dilekatkan
pada organ khusus pengadilan di luar Mahkamah Agung, di Austria
sendiri sudah muncul gagasan untuk mengadopsi model Marbury.
Pada tahun 1867, MA Austria mendapatkan kewenangan baru untuk
menangani sengketa yuridis yang berkenaan dengan perlindungan hakhak politik individu vis a vis pemerintah (public administration).324
Sebaliknya, pengadilan negara-negara bagian membuat putusan yang
berkenaan
dengan
constitutional
complaint
(Statliche
Alec Stone Sweet, “Why Europe Rejected American Judicial Review and Why It
May Not Matter” , op.cit., hlm. 2766.
320
Stanley L. Paulson, “Constitutional Review in the United States and Austria: Notes
on the Beginnings”, op.cit., hlm. 2767,
321
Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of
‘Constitutional Justice’, op.cit., hlm. 5-6.
322
323
Patricio Navia & Julio Rios, “The Constitutional Adjudication Mosaic of Latin
America” , 2005, Comprative Politic Studies, hlm.189.
324
commit to user
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitutional, op.cit., hlm. 24.
94
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Verfassungsbeschwerde). Perkembangan
yang terjadi ini
yang
selanjutnya makin mendorong lahirnya ide Hans Kelsen untuk
membentuk mahkamah yang berdiri sendiri di luar MA Austria.325
Sementara itu, di negara-negara lain, muncul pula berbagai
perkembangan baru untuk mengadopsi gagasan CR tersebut.
Pengaturan aspek-aspek CR di Swiss sudah diatur dalam Konstitusi
Federal 1848. Akan tetapi MA baru memperoleh wewenang resmi
yang lebih luas dengan Perubahan Konstitusi Federal pada tahun 1874.
Di Norwegia, ide mengenai CR tumbuh dari perkembangan pemikiran
hukum sejak tahun 1890. Sementara itu, Romania memperkenalkan
CR sebelum Perang Dunia I dengan mengikuti model Amerika
Serikat.326 Negara lain yang hingga sebelum Perang Dunia II
mengadopsi pengadilan konstitusi model Austria adalah Cekoslovakia
(1920),
Di Italia, secara resmi CR diterapkan pertama kali pada
Konstitusi 1948 pasca kejatuhan pemerintahan fasis. Konstitusi baru,
yang kerap disebut sebagai konstitusi demokrasi, menyandarkan
kekuasaan pada kedaulatan rakyat, akan tetapi disertai dengan
pengakuan supremasi konstitusi dengan perubahan yang bersifat rigid.
Mekanisme CR diatur pada Pasal 134-139 Konstitusi 1948 dengan
membentuk MK sebagai organ khusus di luar MA. Pilihan ini
ditetapkan diantara berbagai gagasan mengenai guarantee of the
Constitution, dengan menolak pengujian model Amerika Serikat dan
menerima pemikiran Hans Kelsen. Namun pendirian Mahkamah
Konstitusi itu sendiri baru terlaksana pada tahun 1956 dan hampir
selama setengah abad kemudian, praktik CR berjalan secara dinamis,
karena bagaimanapun, badan pengadilan di lingkungan peradilan
325
Ibid.
326
Ibid., hlm. 25.
commit to user
95
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umum juga memberikan kontribusi yang penting dalam pengujian
tersebut.327
Berkebalikan dengan keadaan di atas, Belanda hingga
sekarang konsisten menerapkan argumen bahwa “The constitutionality
of Acts of Parliament and treaties shall not be reviewed by the
courts.”328 Hal ini menjadikan Belanda sebagai “as one of the last
liberal democracies to insist that the courts desist from reviewing the
constitutionality of acts of parliament.”329 Di Belanda telah disusun
Konstitusi 1814 dan direvisi tahun 1848, yang dalam proses tersebut
“the inclusion of fundamental rights that the question of the courts’
role regarding such new rights became a bone of contention, one that
ultimately led to the inclusion of the bar on constitutional review.”330
Hal itu digambarkan oleh Thorbeke, pakar kenegaraan yang pernah
terlibat dalam penyusunan perubahan konstitusi pada masa itu, yang
mengatakan bahwa “adopting the bar on review would politically
speaking be easier to accomplish than to one day undo again.”331
Perdebatan mengenai CR terus diperbincangkan termasuk pada saat
Perubahan Konstitusi pada tahun 1983.332 Kondisi di Belanda dengan
demikian dapat digambarkan “it is intended to make the review of acts
of parliament impossible on constitutional grounds.”333
Sementara itu, Inggris dikenal sebagai negara yang memiliki
tradisi intelektual panjang untuk menolak memberdayakan pengadilan
dalam skema pengujian untuk melindungi hak-hak asasi. Jeremy
Tannia Groppi, “The Italian Constitutional Court: Towards ‘A Multysystem’ of
Constitutional Review?”, op.cit., hlm. 101.
327
328
Charles F. Abernathy, op.cit., hlm. 595.
329
Wolfgang Hoffmann‐Riem, op.cit., hlm. 595.
330
Gerhard van der Schyff, op.cit., hlm. 276.
331
Ibid.
332
Maurice Adams & Gerhard van der Schyff, “Constitutional Review by the Judiciary
in the Netherlands: A Matter of Politics, Democracy or Compensating Strategy?”, Zeitchrift fur
Auslandisches Offentliches Recht Und Volkerrecht, Vol. 66, 2006, hlm. 399.
333
Ibid.
commit to user
96
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bentam
merupakan
mengembangkan
sosok
doktrin
penting
tersebut.
dan
Bentham
berpengaruh
amat
untuk
meragukan
kemampuan pengadilan untuk dapat membatasi atau mengawasi
perilaku parlemen. Dikatakan oleh Bentham, “Give the judges the
power of annulling [Parliament’s] acts; and you transfer a portion of
the supreme power from an assembly which the people have had some
share, at least, in choosing, to a set of men in the choice of whom they
have not had the least imaginable share.”334 Wawasan Bentham itu
lestari dalam formulasi hukum tata negara Inggris baik dalam dimensi
yang positif maupun negatif. Dimensi positif maksudnya adalah
memperkuat kedaulatan parlemen dalam membentuk putusan-putusan
yang partisipatorif, sementara dimensi negatif adalah posisi untuk
menolak memberikan kekuasaan pengujian kepada pengadilan.335
Formulasi tersebut menjadi akar penolakan kuat terhadap CR
di Inggris dan kemudian telah menghasilkan banyak tulisan tentang
itu.336 Berhadapan dengan demokrasi, CR tidak diterima di Inggris
karena alasan moral maupun empiris. Ditinjau dari sudut moral,
“Constitutional Review is democratically illegitimate, because it
allows unelected judges to constrain and sometimes override decisions
made by our elected representatives.”337 Sementara itu, dari segi
empiris ada semacam anggapan bahwa “that judges do not do a very
good job of protecting rights” dan kenyataannya juga “that parliament
334
Lord Hoffmann, ‘Bentham and Human Rights’, 2001, CLP, Vol. 54, hlm. 61.
“The positive dimension celebrates the value of democracy and the supreme
importance of strong parliamentary government, in whose decision-making all citizens can
participate to some degree. The negative dimension is contained in a deep-seated scepticism about
judges and judicial power.” Lihat: D. Dyzenhaus, “op.cit, hlm. 62.
335
Lihat, antara lain: C. O’Cinneide, “Democracy, Rights and the Constitution – New
Directions in the Human Rights Era”, CLP, Vol. 57, 2004, , hlm. 175; G. Phillipson, “Deference,
Discretion, and Democracy in the Human Rights Act Era”, CLP, Vol. 60, 2007, hlm. 40; S.
Fredman, “Judging Democracy: The Role of the Judiciary under the HRA 1998”, CLP, Vol. 53,
2000, hlm. 99.
336
337
1365.
Jeremy Waldron, “The Core
of thetoCase
commit
userAgainst Judicial Review”, op.cit, hlm.
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
did a consistently better job of protecting civil liberties over this
period than judges and, moreover, that judges were often bent on
denying the protection of civil liberties to individuals who belonged to
groups which the judges considered politically dangerous.”338
Ketidakpercayaan kepada pengadilan akhirnya mengakibatkan “built
upon empirical evidence and came out of the experience of frustration
about judicial intervention in the social sphere over many years.”339
Walaupun demikian, Inggris tidaklah mengenal CR sepanjang
dipahami sebagai prinsip seperti supremasi parlemen, tetapi di negara
ini konstitusi tidaklah terkodifikasi dalam suatu naskah tertulis yang
sistematis lazimnya dikenal pada negara lain. Pengujian yang dikenal
sebatas dalam hukum administrasi negara dan tidak dalam pengertian
CR. Melalui pengujian administratif tersebut, segala tindakan
pemerintah dikontrol agar tetap tunduk pada aturan hukum. Setiap
individu, penguasaha atau kelompok bisnis dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan terhadap legalisasi keputusan Menteri, lembaga
pemerintahan, maupun badan-badan publik yang lain, termasuk
otoritas lokal, otoritas imigrasi, badan-badan independen, dan lembaga
pemutus
sengketa lain. Pengujian ini
dianggap tepat
untuk
mempertahankan doktrin kedaulatan parlemen dengan sekaligus
menjalankan prinsip supremasi hukum.340
Di Prancis sendiri gagasan yang menentang pengujian model
Amerika
Serikat
memperoleh
dukungan
yang
kuat
hingga
pembentukan Konstitusi 1958.341 Dalam perkembangannya, sekalipun
dikenal skema CR oleh Dewan Konstitusi, akan tetapi sifatnya lebih
politik dibandingkan yuridis. Pada masa Republik III (1875-1940) dan
K. Ewing, “The Futility of the Human Rights Act – A Long Footnote”, Bracton Law
Journal, Vol. 37, 2005, hlm. 41.
338
339
Ibid.
340
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 65.
341
Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm.554.
commit to user
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Republik IV (1946-1957), ketentuan konstitusi menghindari adanya
CR dan pengadilan konstitusi. Parlemen dapat mengubah konstitusi
dengan suara mayoritas. Pada masa Republik III para pengamat sering
berkomentar mengenai perilaku politisi yang tidak ubahnya seorang
hakim konstitusi yang mengemukakan justifikasi legal atas tindakantindakannya. Pada masa Republik IV telah dibentuk alat internal
parlemen yang disebut Komisi Konstitusi tetapi lembaga ini tidak
pernah menghasilkan putusan apapun.342 Dewan Konstitusi sendiri
sudah sejak tahun 1880-an dilepaskan dari Kementerian Kehakiman
akibat tuntutan dari para praktisi hukum. Dengan demikian, wewenang
legislasi parlemen menjadi lebih dominan, dibandingkan bahwa
masalah pembentukan merupakan isu konstitusi. Pada masa Republik
V (sejak 1958), persoalan itu lalu menjadi ajang perdebatan diantara
politisi dan akademisi hukum.
Di bawah pengawasan Jenderal Charles de Gaulle, disusun
Konstitusi 1958 untuk menggantikan Konstitusi 1946. Ketika itu
Michel Debre bersama dengan koleganya telah secara efektif
mentransformasikan sebagian kekuasaan legislatif dari parlemen
menjadi kewenangan yang dimiliki oleh eksekutif. Kemudian dibentuk
Dewan
Konstitusi
sebagai
organ
tersendiri
guna
menjamin
keberlangsungan distribusi kekuasaan yang mengalami restrukturisasi
tersebut. Hal demikian tentu sangat berbeda dengan tradisi Bonapartis,
di mana usaha-usaha untuk memperkuat kekuasaan eksekutif dalam
periode tersebut dilakukan tanpa kehadiran yudisial yang berperan
secara agresif.343
Sejak tahun 1970-an watak politik Dewan Konstitusi menjadi
lebih kentara dan salah satu wewenang penting adalah “tightly
restricted to the control of parliamentary statutes, after their adoption,
342
Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politic
in France, op.cit., , hlm. 23-45.
343
Ibid., hlm. 46.
commit to user
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
but before promulgation, upon referral by elected politicians.”344
Nampaklah
bahwa
motif
Dewan
Konstitusi
adalah
untuk
mengendalikan kekuasaan parlemen melalui batas-batas konstitusi.345
Model pengujian di Prancis ini merupakan salah satu model yang
berpengaruh dan kemudian diadopsi oleh banyak negara di Asia dan
Afrika.
Sebelum menuju kepada pertumbuhan gagasan di gelombang
ke-3, sebagai akibat Perang Dunia II (1940-1945), maka telah
terinterupsi perluasan CR di seluruh dunia. Bahkan, dalam masa
tersebut, sejumlah negara yang mengoperasionalkan CR dalam suatu
kelembagaan khusus kemudian gagal dilaksanakan, seperti kasus MK
di Austria (1933-1945) dan Cekoslovakia yang bahkan terhenti sejak
1938.
3.
Gelombang Ketiga: Adopsi Pengadilan Konstitusi Spesifik (19451990)
Sesudah Perang Dunia II, gagasan CR menjadi salah satu
navigasi penting dalam format kehidupan bernegara, terutama di
Eropa. Ciri khas pada waktu itu adalah pilihan bentuk pengadilan
khusus yang “almost concurrently founded in European states, and
their main task is to ensure the comformity of laws and other
normative acts with the Fundamental Law.”346 Banyak negara yang
kemudian juga mengadopsi CR setelah Perang Dunia II tersebut
seperti Brazil (untuk kedua kalinya sejak 1946), Jepang (1947), Burma
(1947), Italia (1948), Thailand (1949), Jerman (1949), India (1949),
Luxemburg (1950), Syiria (1950), Uruguay (1952), Prancis (1958),
Alec Stone Sweet, “The Politics of Constitutional Review in France and Europe”,
Journal ICON, Vol. 69, 2007, hlm. 70.
344
345
“The creation of the Conseil constitutional was originally intended as an additional
mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional rule.” Periksa: John
Bell, 1992, French Constitutional Law, Oxford University Press, hlm. 19-20.
346
commit to user
Gagik Haruntyunnyan, op.cit., hlm. 3.
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan lain-lain.347 Sementara itu, di kalangan negara-negara berhalauan
Komunis dengan sistem partai tunggal, mekanisme CR dianggap
sebagai simbol keberadaan kaum borjuis sehingga ditolak.
Pada fase ini mulai muncul pemikiran khas CR seperti praktik
di Austria, Jerman, dan Spanyol, yang menentukan bahwa bukan saja
kepada pengadilan konstitusi diberikan mekanisme untuk perlindungan
hak-hak individual, akan tetapi kepada setiap warganegara pun
mempunyai wewenang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Gagasan CR semakin memperoleh tempat dengan munculnya
gelombang demokratisasi sebagai bentuk tranformasi politik di Eropa
yang ditandai dengan jatuhnya kediktatoran rezim militer seperti
halnya di Yunani (1968), Portugal (1976), dan Spanyol (1978).
Sebelumnya, gagasan CR telah diterima di Syprus (1960), Turki
(1960), Aljazair (1963), dan Republik Federasi Yugoslavia (1963).
4. Gelombang Keempat: Penerimaan yang Semakin Luas (1990sekarang)
Pada fase konfigurasi gagasan di masa gelombang ke-4 ini
merupakan
buah
munculnya
negara-negara
independen
baru.
Runtuhnya Tembok Berlin yang memicu bersatunya Jerman (1990),
bubarnya Uni Soviet (1991), dan konflik di Semenanjung Balkan,
memunculkan negara-negara baru dan kemudian mendesain konstitusi
secara rumit dan kaku. Mulaih diterima prinsip-prinsip pemisahan
kekuasaan, yang antara lain dirumuskan dalam penerimaan gagasan
CR secara komprehensif. Lebih dari itu, CR dianggap sebagai jalan ke
arah yang lebih baik dan mendorong transformasi sosial dalam kondisi
transisi.348 Gagasan CR kemudian acapkali dianggap berbarengan
dengan penerimaan ide HAM yang semakin menglobal. Menurut
Hamid Awaludin, ada 7 ciri utama yang menunjukkan HAM semakin
347
Ibid.
348
Ibid.
commit to user
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diterima dalam kancah global.349 Pertama, HAM telah menjadi agenda
utama dalam hubungan internasional. Kedua, negara telah diwajibkan
untuk melaksanakan norma-norma HAM melalui instrumen-instrumen
hukum internasional mengenai HAM yang telah disepakati bersama.
Ketiga, individu telah memiliki status hukum untuk dilindungi dari
segala bentuk pelanggaran HAM. Keempat, konsep kedaulatan negara
terpenetrasi oleh HAM. Kelima, aktor utama pemajuan dan penagakan
HAM tidak lagi monopoli negara, tetapi juga aktor nonnegara, bahkan
perusahaan-perusahaan multinasional, sudah ikut dalam agenda ini.
Keenam, individu-individu yang memiliki pengaruh dan charisma serta
komitmen dan kepemimpinan kuat, ikut menentukan jalannya
pemajuan dan penegakan HAM. Ketujuh, telah terjadi perubahan
persepsi dan pendekatan mengenai HAM. Masalah HAM tidak lagi
ditekankan pada aspek-aspek legal semata, tetapi semua aspek
kehidupan dilaksanakan dengan HAM.
Di
negara-negara yang mengalami transisi ke demokrasi
setelah keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an misalnya, CR
menjadi ide populer sepaket dengan perjuangan untuk menegakkan
kembali independensi badan pengadilan.350 Padahal sebelum tahuntahun tersebut, “only two states in the region possessed anything like a
constitutional tribunal neither of which gave the slightest hint of a
robust constitutional review power.”351 Tidak mengherankan bahwa
anutan Constitutional Review menjadi “a trade mark or as a proof of
the democratic character of the respective country.”352 Pelembagaan
CR bahkan merupakan “the more important mystery is the success of
some of these courts in propelling, guiding, safeguarding, and making
349
Hamid Awaludin, op.cit. hlm. 7-8.
W. Sadurski, “Postcommunist constitutional courts in search of political
legitimacy,” European University Institute Law Working Paper No. 2001/11, Department of Law,
European University Institute, Florence 2001, hlm. 8.
350
351
Ibid.
352
L. Sólyom, op.cit., hlm. 134.
commit to user
102
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
themselves essential to the larger transformations to constitutional
democracy of their respective states.”353 Dengan Constitutional Review
tersebut, “The courts contributed to the process of transition to
democracy in a number of vital ways ––some quite general, and some
highly country-specific.”354 Mekanisme CR telah menghadirkan “an
effective political check on other branches of the national (and in some
cases local) government, partially diffused some of the most explosive
conflicts over both substantive issues and interbranch power
struggles,9 and generated an until-then unfathomable degree respect
for the primacy of constitutional law and compliance with the courts’
edicts.”355 Bahkan, CR “reveal[ed] a radical development in the
transition out of the Soviet-style governmental system of entirely
centralised state power.”356
Hal ini karena tradisi sebelumnya, disebabkan pengaruh ajaran
Marxis, “interpretations of the law, concepts such as justice, rule of
law, and equality before the law were fictions.”357 Hukum tidak lebih
dari sekadar instrumen pemerintah untuk memaksakan kehendak
penguasa dan oleh karena itu maka “law acted to maintain the existing
political system and to quash unrest” dan ”the judiciary in communist
states was neither independent nor active.”358 Pada negara Eropa post
communist tersebut, kebanyakan mengadopsi adanya kelembagaan
pengadilan khusus yaitu MK setelah mengalami transisi ke demokrasi,
kecuali Yugoslavia dan Polandia, yang masing-masing sejak 1963 dan
353
354
Ibid.
W. Sadurski, op.cit., hlm. 7-8.
355
H. Schwartz, 2000, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist
Europem Chicago: University of Chicago Press, hlm. 100.
356
M. Brzezinski, op.cit., hlm. 130.
357
Gordon B. Smith, 1996, Reforming the Russian Legal System. New York:
Cambridge University Press, hlm. 28.
Kathryn Hendley, 1996, Trying
to Make
Law Matter: Legal Reform and Labor Law
commit
to user
in the Soviet Union. Ann Arbor: University of Michigan Press, hlm. 16.
358
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1985 telah mengadopsi kelembagaan tersebut.359 Hampir semua negara
dalam dekade tersebut membentuk Mahkamah Konstitusi seperti di
Rusia, Polandia, Hongaria, Bulgaria, Ceko, Slovakia, Slovenia,
Bosnia-Herzegovina, Macedonia, Lithuania, Georgia, Armenia, dan
Azerbaijan. Menurut Jimly Asshiddiqie, MK di negara-negara
demokrasi baru itu berhasil menempatkan diri sebagai pendatang baru
yang cukup produktif dan “menjanjikan perbaikan.”360 Seperti
disimpulkan Jan Erick Lane dan Ersson Svante, situasi di negara
demokrasi baru itu terformat dalam kata-kata “if a country wishes to
introduce democracy, then the best institutional devices it could
employ in constitutional engineering are legal institutions such
asstrong legal [judicial or constitutional] review.”361
Gelombang ke-4 sebagai penanda dinamika politik pada tahun
1990-an memaksa juga negara-negara di kawasan Amerika Latin untuk
melakukan reformasi peradilan dan mendorong pelembagaan CR yang
pada akhirnya menciptakan arus baru kekuasaan yang menghormati
hukum dan hak-hak asasi.362 Di negara Amerika Latin, adopsi gaya
pemisahan kekuasaan Amerika mengalami kegagalan karena “their
‘founding fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted
this system, not to guarantee personal freedom, but rather to establish
a strong executive power for the purposesof preventing the
disintegration of their newly independent states.363 Implementasi
sistem tersebut di negara kawasan Amerika Latin menunjukkan “the
359
Herman Schwartz, op.cit., hlm. 29-30.
360
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 40.
361
Jan-Erik Lane dan Ersson Svante op.cit., hlm. 178.
362
Diskusi mengenai judicial reform di negara kawasan Amerika Latin dapat dibaca
antara lain: William Rafflift dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 59-71 dan Peter DeShazo dan
Juan Enrique Vagas, “loc.cit.
Rett R. Ludwikowski, “Latin American Hybrid Constitutionalism: The United
States Presidentialism in the Civil Law
Melting
Pot”, Boston University International Law
commit
to user
Journal, Vol. 21, No.29, 2003, hlm. 51.
363
104
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
model of governance concentrated around the executive power.”364
Lagipula, semenjak masa penjajahan Portugis dan Spanyol, “almost all
Latin American constitutions are provisions that permit both
democracy and dictatorship.”365 Hal ini diperparah juga dengan
kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because political
leaders do not fear citizen mobilization when fundamental rules of the
game are violated.”366
Sekalipun di sejumlah negara CR sudah diatur dalam
konstitusi pada abad ke-19 dan ke-20, mekanisme itu hanya akan
efektif apabila terjadi praksis yang memberikan independensi
pengadilan di hadapan pemerintah dan parlemen. Hingga awal abad
ke-20, konstitusi di kawasan ini gagal menghasilkan pengadilan yang
independen. Praktik demokrasi yang terhenti pada dekade 1960-an dan
1970-an menyebabkan CR menjadi tidak berfungsi. Hal ini disebabkan
karena pemerintah bebas untuk memilih mana diantara aturan-aturan
dalam konstitusi yang harus dihormati dan mana yang harus
disingkirkan
baik
karena
watak
diktatorial
maupun
karena
pemerintahan dalam keadaan darurat, yang menyebabkan isu-isu
ketatanegaraan dianggap tidak relevan.
Pelembagaan CR yang populer di kawasan ini adalah
mengintegrasikan ke MA atau membentuk Dewan Konstitusi
(Constitutional Tribunal) secara khusus. Dalam hal diintegrasikan ke
MA, maka ada yang dilekatkan kepada fungsi peradilan dari badan ini
maupun dibentuk special chamber di lingkungan lembaga ini. Negara
seperti Argentina (Konstitusi 1994), Brazil (Konstitusi 1994),
Honduras (Konstitusi 1962), Meksiko (Konstitusi 1995), Nikaragua
(Konstitusi 1987), Panama (Konstitusi 1941), dan Uruguay (Konstitusi
364
Ibid.
365
Keith S. Rosenn, “The Success of Constitutionalism in the United States and Its
Failure in Latin America”, University of Miami Inter-American Law Review,Vol. 22, No. 1, 1990,
hlm. 33.
366
commit to user
Rett R. Ludwikowski, op.cit., hlm. 57.
105
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1967) merupakan contoh negara yang melembagakan CR pada
Mahkamah Agung. Sementara itu, Costa Rica (Konstitusi 1989), El
Savador (Konstitusi 1983), Paraguay (Konstitusi 1992), dan Venezuela
(Konstitusi 2000) merupakan contoh negara yang membentuk special
chamber
dalam
lingkungan
MA.
Sedangkan
negara
yang
melembagakan CR dengan membentuk badan khusus adalah Bolivia
(Konstitusi 1994), Chile (Konstitusi 1990), Kolumbia (Konstitusi
1991), Ekuador (Konstitusi 1998), Guetamala (Konstitusi 1985), dan
Peru (Konstitusi 2001).
Pertumbuhan gelombang demokratisasi yang dicirikan antara
lain pelembagaan ide CR juga tidak luput di negara-negara kawasan
Asia. Kejatuhan rezim Ferdinand Marcos di Filipina (1986) diikuti
dengan demokratisasi di Korea Selatan (1987), Mongolia (1990),
Taiwan dan Thailand (1992), Kamboja (1993), Indonesia (1999), dan
Timor Leste (2002). Wajah baru demokratisasi di kawasan ini
memberikan bahan untuk studi komparatif politik dengan format
baru.367 Kebanyakan studi tersebut sedkit memperhatikan masalah
penguatan secara politik dari pengadilan. Sekalipun isu pengadilan
menjadi bagian dari diskusi mengenai rule of law dan rule of law
sendiri merupakan salah satu konsentrasi utama dari transisi ke
demokrasi, sedikit studi yang melihat keterkaitan antara demokrasi
dengan peran pengadilan.368 Suatu pengecualian dari analisis ini adalah
Singapura dan Hong Kong. Kedua negara itu dikategorikan sebagai
“never faced any credible electoral” sehingga pembicaraan CR tidak
dikaitkan dengan transisi ke demokrasi. Institusi CR sendiri tumbuh
“This development has inspired a new generation of comparative analyses of
institutions of democratic governance in the region.” Lihat: Aurel Croissant, Provisions,
Practices, and Performances of Constitutional Review in Democrating East Asia, Paper to be
Presented at IPSA-ECPR Joint Conference: Whatever Happened to North-South? Section:
Transitional Justice, Reconciliation and the Quality of Democracies Panel: Constitutional Courts –
Advocates or notaries of democracy?, San Paulo, 19 Februari 2011, hlm. 2.
367
368
Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini, dapat dilihat dalam: C. Sunstein,
“Constitutions and Democracy: An Epilogue”,
dalam
commit to
userJ. Elster and R. Slagstad, 1993, (eds),
Constitutionalism and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 327-356.
106
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seiring
dengan
tingkat
perkembangan
ekonomi
yang
tinggi,
minimalisasi korupsi, kepatuhan terhadap tertib sipil, dan efisiensi
pemerintahan. Oleh sebab itu, maka “the Singapore Supreme Court
has consistently deferred to the Government, the Hong Kong Court of
Final Appeal has taken a relatively activist stance in constitutional
adjudication.”369 Oleh sebab itu:370
In Singapore constitutional rights were adopted as part of
the symbolism expressing the city-state’s modernity and
equality to the West, but then the Judicial Committee of the
Privy Council and the early Supreme Court began
importing actually liberal elements into their rulings.
Nonetheless, in the past two decades constitutional judicial
review was turned into a regularly used instrument for
giving authoritative legal credibility to the government’s
controversial decisions. In Hong Kong constitutional
judicial review was introduced to express the colonial
government’s disapproval of China’s human rights record,
yet it has since 1997 became a robust and activist check on
government authority.
Dari kasus Singapura dan Hong Kong itu layak disampaikan
bahwa CR “appears more important to democratic than to
authoritarian polities.”371 Terkait dengan CR, Filipina menggunakan
model Amerika di mana wewenang itu melekat pada MA, sementara
model Prancis dianut di Kamboja dan Timor Leste. Indonesia dan
Mongolia secara praksis tak pernah menikmati kebebasan pengadilan
sampai terjadinya demokratisasi era 1990-an.di Taiwan Konstitusi
1947 mengadopsi the Council of Grand Justices yang mempunyai
wewenang untuk
menafsirkan Undang-Undang secara ekslusif,
sekalipun badan ini melekat kepada pemerintah. Di Korea Selatan,
Dewan Konstitusi menurut Konstitusi Repulik I (1948-1960), Republik
Eric I.P., “A Positive Theory of Constitutional Judicial Review: Evidence in
Singapore and Hongkong”, http://ssrn.com/abstract=1928867, diakses di Sukoharjo, 12 Oktober
2011, hlm. 15.
369
370
Ibid., hlm. 65.
371
Ibid., hlm. 66
commit to user
107
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
IV (1972-1980), dan Republik V (1980-1987), maupun MK menurut
Konstitusi Republik II (1960-1961) dan MA menurut Konstitusi
Republik III (1963-1972) tunduk di bawah kekuasaan Pemerintah.
Sementara itu, Thailand, beberapa diantara 15 konstitusi yang dibentuk
antara 1932-1991 mengatur MK yang berwenang menentukan
konstitusionalitas UU produk parlemen dan keputusan pemerintah.
Tetapi menurut Gisburg, “this power was not actively exercised as the
lack of a stable system of constitutional rule worked against the
emergence of an effective system of constitutional review.”
Seiring dengan terjadinya transis ke demokrasi, terdapat
perubahan adopsi mekanisme CR. Korea Selatan pada tahun 1988
menganut MK yang dekat dengan model Jerman.372 Sementara dalam
reformasi konstitusi (1990-1992), Mongolia mengadopsi Dewan
Konstitusi (Tsets) yang mempunyai wewenang terbatas. Untuk
pertama kalinya dalam Konstitusi 1997 Thailand membentuk MK yang
independen, akan tetapi dengan kudeta militer 2006, diberlakukan
Konstitusi sementara yang mengatur mengenai Dewan Konstitusi, dan
dengan telah diberlakukannya Konstitusi 2007, diatur MK dengan
kewenangan
yang
diperluas
hingga
menangani
constitutional
complaint dan mengurangi pengaruh Senat dalam rekrutmen hakim.
Sejak perubahan politik dari partai tunggal ke multipartai,
pada tahun 1980 Taiwan mengadopsi the Council of Grand Justices of
the Judicial Yuan yang memperkuat kelembagaan sejenis pada
Konstitusi 1947.373 Dalam perubahan Konstitusi 1992, wewenang the
Council of Grand Justices of the Judicial Yuan dperluas hingga
menangani masalah pemilihan umum dan reformasi konstitusi serta
konstitusionalitas partai politik. Dengan keaktifannya lembaga ini
372
Herbert Han-pao Ma, The Rule of Law in a Contemporary Confucian Society: A
Reinterpretation, presentation to Harvard Law School’s East Asian Legal Studies Program
(Spring 1998).
G. Healy, “Judicial Activism
in theto
New
Constitutional Court of Korea”, Columbia
commit
user
Journal of Asian Law, Vol. 14, 2000, hlm. 213.
373
108
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sejak 1995 menyatakan berwenang menangani masalah constitutional
petition dan sejak 1997 berhasil merombak masa jabatan hakim
konstitusi menjadi 8 tahun dan setengahnya diganti tiap 4 tahun
dengan proses yang dimulai pada 2005.
Di Indonesia, dengan
memperlajari kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid
(2001),
dibutuhkan
dibandingkan
lembaga
mekanisme
yang
politik,
merupakan
sehingga
forum
pada
tahun
hukum
2003
dibentuklah menurut UU No. 24 Tahun 2003 lembaga Mahkamah
Konstitusi.374
Sementara itu, di Afrika, Perkembangan CR sudah melampaui
warisan Marbury (the legacy of Marbury) karena mekanisme tersebut
telah mencapai “taking the constitution away from the courts.”375 Salah
kawasan yang dengan cepat mengadopsi CR tersebut adalah kawasan
Sub-Sahara Afrika. Sebelumnya, sistem politik di negara-negara
kawasan
ini
umumnya
ditandai
dengan
mekanisme
yang
antikompetitif, dikuasai oleh militer, partai tunggal, dan presiden yang
berkuasa dalam jangka lama (“life president”). Situasi itu, yang
merupakan warisan pasca kolonial376, kemudian berubah dengan
dilaksanakannya pemilihan umum, pembatasan kekuasaan presiden,
Jimly Asshiddiqie, 2009, “Creating a Constitutional Court for a New Democracy”,
paper presented at Melbourne Law School, March 11, 2009, The University of Melbourne, hlm.
10.
374
Sanford Levinson, “Why I Do Not Teach Marbury (Except to Eastern Europeans)
and Why You Shouldn’t Either”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 553. Baca juga:
Michael J. Klarman, “How Great Were the “Great” Marshall Court Decisions?, Virginia Law
Reviwe, Vol. 87, 2001, hlm. 1111-1113.
375
376
Sistem ketatanegaraan, termasuk isu yudisial dan Constitutional Review secara
praksis sebenarnya bukanlah agenda baru dalam konteks post-colonial di Afrika. Pada umumnya,
yang terjadi adalah penciptaan negara merdeka baru yang kemudian mereka melaksanakan bangun
kenegaraan yang sebelumnya telah ditata selama kolonisasi. Pergantian konstitusi seketika
menyebabkan terbentuknya rezim pemerintahan baru, suatu gambaran pula ketika junta militer
berkuasa, mereka dengan segera membuat restorasi konstitusi guna memberikan cap legitimasi
atas kekuasaan politiknya, yang kadang-kadang rezim seperti ini membuat konstitusi yang juga
diberi label konstitusi demokratis. Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Victor T. Le Vine, “The
Fall and Rise of Constitutionalism in West Africa”, Journal of Modern Africa Studies, 1997, Vol.
35, hlm. 183-87 dan
William Dale,
“The toMaking
commit
user and Remaking of Commonwealth
Constitutions”, International Law and Comperative Lagal Quartely, Vol.42, 1993, hlm. 67.
perpustakaan.uns.ac.id
109
digilib.uns.ac.id
dan pembentukan lembaga perwakilan rakyat, seperti terjadi di
Nigeria, Ghana, Kenya, Senegal, Mozambique, Zambia, Tanzania,
Malawi, Benin, Uganda, dan Mali. Tak kalah penting, dalam
pembentukan gelombang baru demokrasi itu, terjadi reformasi
konstitusi377, yang salah satu isu yang menonjol adalah pemberdayaan
badan pengadilan. Pemberdayaan itu memberikan atribut konkrit
kepada pengadilan untuk menafsirkan konstitusi, menguji undangundang baru, dan berbagai jaminan konstitusional lain.378
Diantara negara di kawasan ini yang paling populer adalah
Afrika Selatan. Selepas penghapusan apharteid politic, Afrika Selatan
memberlakukan Konstitusi Sementara (1993) yang memuat prinsipprinsip “a non-racial, multiparty democracy, based on respect for
universal rights.”379 Setelah terbentuknya pemerintahan sipil yang
mendorong terpilihnya Presiden Nelson Mandela dan diberlakukannya
Konstitusi 1996, mekanisme CR dilembagakan ke dalam Mahkamah
Konstitusi, yang meniru model Jerman dengan sedikit variasi.
380
Mengenai yurisdiksi Mahkamah ini, Karl E. Klare menulis:
This institutionalfeature is significant for the
argument of this essay because it means that the
CCSA, unlike courts of mixed jurisdiction, is not
able to build its legal legitimacy in
nonconstitutional matters – even when deciding
377
Dalam literature, perubahan politik yang disertai dengan reformasi konstitusi
merupakan suatu “ a constitutional moment”, yaitu suatu istilah untuk “describe episodic points in
a country’s constitutional history when previously settled understandings as to the nature and
structure of the constitutional order are repudiated without recourse to the formal amendment
procedure and replaced by new understandings that are widely accepted as legitimate. “ Lihat H.
Kawshi Prempeh, op.cit., hlm. 6.
Christopher S. Wren, “Katutura Journal: For Namibians, After the Battles, a Civics
Class”, N.Y.TIMES, 19 Maret 1991, hlm. A4.
378
Stephen Ellmann, “The New South African Constitution and Ethnic Division”,
Columbia Human Rights Law Review, Vol. 26, hlm. 44.
379
380
Variasi tersebut adalah bahwa lingkungan pengadilan di bawah Mahkamah Agung
mempunyai wewenang terbatas dalam melakukan judicial review, yang putusannya dapat
dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Lihat: Lech Garlicki, “Constitutional Courts versus Supreme
Courts”, International Law Journal oncommit
Constituional
Law, Vol. 44, No. 5, 2007, hlm. 50-54.
to user
Baca juga Pasal 169-172 Konstitusi Afrika Selatan (1996).
110
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
routine matters, the CCSA is declaring
constitutional law that may have application in
later, more politically controversial cases. If the
theoretical reflections in the previous part are
sound, this means that the CCSA must be alert in
every case it decides to the potential impact of its
decision on its institutional security.381
Pelembagaan seperti di Afrika Selatan juga dilaksanakan di
negara Rwanda dan Togo, sementara Nigeria, Seychelles, Sierra
Leone,
dan
Tanzania
mengadoposi
model
Amerika
Serikat.
Sedangkan Senegal menggunakan model Prancis dengan membentuk
Dewan Konstitusi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa “judicial review”
dalam awal mula tradisi di Amerika berangkat dari inovasi konstitusional MA
tanpa terlebih dahulu ada pengaturan dalam konstitusi. Hal tersebut
mengkonfirmasi sebagai “judicialization of politics” yang berangkat dari relasi
horizontal antara Presiden dan Congress. Kemudian, dalam gelombang kedua,
CR dalam demokrasi di Eropa (Barat) yang tumbuh pada masa pasca Perang
Dunia II, penerimaan gagasannya berangkat dari asumsi bahwa para
pembentuk UU (legislature) dapat bertindak keliru dan oleh sebab itu,
pengadilan dianggap sebagai institusi yang tepat untuk “merapikan” kembali
pembentukan legislasi. Dengan demikian, menjadi hal yang wajar, jika
gagasan CR tumbuh berkesuaian dengan anutan sistem parlementer. Pada
perkembangan berikutnya, dalam era gelombang ketiga, gagasan CR diterima
seiring dengan demokratisasi yang mengadopsi kelembagaan khusus
pengadilan konstitusi dengan penyesuaian seperlunya. Dalam tahap ketiga ini,
mekanisme CR telah memberikan sumbangan yang penting bagi konsolidasi
demokrasi.
Karl E. Klare,”Legal Culture
Transformative Constitutionalism”, African
commitand
to user
Journal of Human Rights, Vol. 14, 1998, hlm. 146.
381
perpustakaan.uns.ac.id
111
digilib.uns.ac.id
B. Model-Model Constitutional Review
Pada rubrik ini akan dibahas mengenai model-model pengadilan
konstitusi, yang antara lain mempunyai kewenangan untuk CR. Dimaksudkan
sebagai model dalam tulisan ini adalah menyangkut desain institusional CR
tersebut. Para sarjana dan praktisi memandang bahwa memang terdapat
bermacam-macam cara untuk menyusun peradilan konstitusi (constitutional
adjudication). Misalnya, para akademisi mempertimbangkan hakekat dan
batas-batas “judicial activism.” Menurut pendapat Bork, “judicial role of
applying neutral principles to constitutional problems rather than using
judges' values in deciding cases.”382 Sementara itu, Johnson menyatakan
bahwa “constitutional doctrines of federalism and separation of powers
circumscribe judiciary in reviewing matters involving legislative and
executive decisions.”383 Pada sisi lain, Posner mengemukakan pendapat bahwa
substansi pengadilan konstitusi mengandung arti “role ofjudiciary as check on
government institutions but only to extent allowed by Constitution and intent
of framers.”384 Pada sisi lain, secara diamtral terdapat pandangan yang
“disagree about the proper role of original intent, of the constitutional text
itself, of tradition, and of popular and judicial moral reasoning in the process
of constitutional adjudication.”385 Misalnya, pendapat John Alexander yang
menyatakan bahwa “role of pre-constitutional rules of interpretation in theory
that judges should look to original intent rather than creating law.”386
Demikian pula kecaman yang ditulis oleh M. Bork pada saat mengeksplorasi
M. Bork, “Neutral Principles and Some First Amendment Problems”, Indiana Law
Journal, Vol. 47, 2001, hlm. 113.
382
E. Johnson, “The Role of the Judiciary with Respect to the Other Branches of
Government”, Georgia Law Review, Vol. 11, 2007, hlm. 463-469.
383
Posner, “The Meaning ofJudicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal, Vol. 59,
2003, hlm. 218.
384
385
R. George Wright, “Two Model of Constitutional Adjudication”, American
University Law Review, Vol. 40, 2001, hlm. 1358.
John Alexander, “Paintingcommit
Without to
theuser
Numbers: Non-Interpretive Judicial Review,
University of Dayton Law Review, Vol. 8, 2003, hlm. 451.
386
112
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gagasan mengenai “expanding on Madisonian dilemma of rule by majority
versus rule by authoritative minority.”387
Jangkauan perkara CR pada hakekatnya adalah perkara yang
menyangkut kasus-kasus konstitusional. Tidak gampang untuk menentukan
karakter khusus dari sebuah kasus konstitusional. Salah satu yang sering
ditonjolkan dalam penyelesaian masalah konstitusi adalah penafsiran yang
kemudian terjepit dalam kekakuan hierarki hukum yang ada. Misalnya saja,
apabila ada ketentuan UU yang memidanakan anak dalam tindakan melakukan
akses informasi yang bersifat pornografi. Secara fundamental, ketentuan
semacam itu akan segera dicap bertentangan dengan konstitusi, sepanjang
hukum dasar menentukan mengenai kepastian soal “privacy.” Ketentuan
konstitusi
tidak
boleh
dihalang-halangi
oleh
ketentuan
UU
yang
melanggarnya.
Secara substansial, George Wright menyatakan ada 2 aliran untuk
mendukung peradilan konstitusi yaitu aliran “the foundationalist” dan “the
coherentist.”388
Dapat
dikatakan
bahwa
“that
foundationalism
and
coherentism in the constitutional context present different structural
relationships between constitutional, statutory, and regulatory provisions.”389
Menurut aliran fondasionalisme, “the relations of justification between
constitutional, statutory, and regulatory provisions exclusively conform to a
strict hierarchy.”390 Pendapat ini dibangun dengan asumsi bahwa “that
constitutional provisions are justified as long as attention is confined to the
legal system.”391 Dengan demikian, “constitutional norms are justified,
outside the legal system, by their self-evident nature, indubitable validity, or
by moral principles outside the constitutional system, a foundationalist system
387
M. Bork, “Styles in Constitutional Theory”, Texas Law Journal, Vol. 26, 2003, hlm.
388
R. George Wright, op.cit., hlm. 3.
389
Ibid.
383-384.
390
Annis Alston, “Two Types of Foundationalism”, Journal of Philosophis, Vol. 73,
1996, hlm. 345.
391
Ibid., hlm. 345-346.
commit to user
113
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
of case adjudication accepts those constitutional norms as given.”392 Sebagai
suatu ketentuan dasar, “constitutional provisions validate and demarcate the
legitimate content and scope of related statutes.”393 Sebagai akibatnya,
“constitutional and statutory provisions act together in justifying and
circumscribing the legitimate content of administrative regulations.”394
Sementara itu, aliran koherensisme mengatakan bahwa “permits
departures from the strict hierarchy, asymmetry, and uni-directionality of
constitutional foundationalism.”395 Secara sederhana, pemikiran koherensisme
membuka kemungkinan “that a relevant statute or administrative regulation
could help justify, provide content for, or demarcate the legitimate scope of a
constitutional provision.”396 Dengan demikian, koherensisme mengizinkan
untuk “the blurring or obscuring of the hierarchical structure within federal
and state judicial systems.”397 Dalam konteks yang paling minimal, aliran ini
“permits constitutional and statutory provisions to be treated as somehow
mutually supporting, similar to the various planks of a raft.”398
Jika dicermati, aliran fondasianalisme dan aliran koherensisme samasama berbicara mengenai keabsahan pengadilan konstitusi.
Keduanya,
walaupun mempunyai perbedaan dasar argumentasi, juga sama-sama
memberikan petunjuk dalil apa yang hendaknya muncul dan digunakan pada
saat terjadinya perselisihan konstitusional. Perbedaan diantara keduanya
terletak pada penekanan bahwa fondasionalisme menekankan hendaknya
pengertian konstitusi ditelusuri menurut sudut pandang makna pada saat
penyusunan (original intent), sementara aliran yang kedua menekankan
pemberian makna konstitusi sehubungan dengan “due process of law.”
392
Ibid., hlm. 346.
393
Ibid.
394
Ibid.
Van Cleve, “Foundationalism, Epistemic Principles, and the Cartesian Circle”,
Philosophy Review, Vol. 88, 1999, hlm. 55.
395
396
Ibid., hlm. 57.
397
R. George Wright, op.cit., hlm. 5.
398
Ibid., hlm. 6.
commit to user
114
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam literature dikenal adanya 3 (tiga) sudut pandang untuk
mendesain kelembagaan CR. Pertama, sudut pandang kultural historis. Pada
sudut pandang ini, adopsi CR dilakukan dengan memperluas kelembagaan
pada masa lampau, kecenderungan sejarah, atau faktor kebudayaan setempat.
Perluasan CR secara historis sebagai dampak dari Perang Dunia II, semakin
meluasnya campur tangan negara dalam kesejahteraan sosial, dan sebaran
global demokrasi. Keanekaragaman dalam budaya hukum mencirikan
kelembagaan yang sifatnya khas. Di dalam negara yang menganut Civil Law
System, di mana dianut paham kesucian UUD dan hukum sebagai cermin
kehendak rakyat, dan karena supremasi parlemen secara absolut tidak sejajar
dengan kekuasaan pengadilan umum dalam menafsirkan ketentuan UU, maka
pilihan biasanya kepada CR yang tersentralisasi.399 Di samping itu, pengadilan
mereka biasanya ditandai dengan karakter hakim sebagai bagian dari birokrasi
dan ketimpangan sehubungan sistem pengadilan unitaris dan ajaran stare
decisis, negara-negara ini juga menolak pelembagaan model Amerika guna
mengembangkan CR, akan tetapi dengan membentuk suatu Mahkamah
Konstitusi.400
Sejarah atau kebudayaan dapat pula menjadi pijakan penjelas yang
bersifat khusus dalam pelembagaan CR di negara-negara yang menganut
tradisi Civil Law System. Situasi pascaperang di Jerman atau Italia,
demokratisasi di Spanyol dan Portugal, situasi transisi 1989 di Eropa Timur
penolakan CR melalui model Amerika Serikat disebabkan “intensified by the
strong previous subordination of ordinary judges to authoritarian or
totalitarian rulers and their socialization in a culture of political submission,
which rendered them untrustworthy from the point of view of new democratic
authorities.”
401
Penulis lain menegaskan adanya faktor historis dalam hal
399
Alec Stone Sweet , "Judging Socialist Reform: The Politics of Coordinate
Construction in France and Germany”, op.cit., hlm. 401.
400
Herman Schwartz, The Struggle for Constitutional Justice in Eastern Europe,
op.cit., hlm. 22.
Lynn M. Maurer, "Parliamentary
Influence
commit to
user in a New Democracy: The Spanish
Congress", Journal of Legislative Studies, Vol. 5, 1999, hlm. 24.
401
115
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya keanekaragaman pelembagaan CR tersebut. “Nations with no longstanding tradition of a reliable democracy and where deviations from
parliamentary rule have occurred are seen as more likely to add centralized
judicial review by constitutional courts to their set of new democratic
institutions.402
Kedua, pendekatan fungsionalis. Menurut sudut pandang ini,
kemampuan suatu negara untuk menyusun desain kelembagaan pengadilan
akan menentukan terhadap penyelesaian persoalan tertentu baik dari sudut
sosial, politik, ekonomi, maupun legal. Pendekatan fungsionalis menjelaskan
bahwa keberadaan CR seringkali “have response to general political and
social needs”, seperti “introducing institutional bulwarks against a
recurrence of authoritarianism”403, “assuring the supremacy of the rule of
law”404, “preventing unduly politicization of the judicial system”405 atau
kebutuhan untuk "police the complex constitutional boundary arrangements in
countries.”406
federal
Penulis
lain
menghubungkan
pilihan
desain
Constitutional Review dengan persoalan “preventing political decision-making
gridlock caused by fragmented party systems or, conversely, introducing
additional checks and balances on political systems that seem to lack
them.”407
Beberapa penulis menguraiakan pilihan CR dari sudut pandang
ekonomi politik, yang dihubungkan dengan “emergence of non-or anti-
402
Klaus von Beyme, "Institutional Choice in New Democracies: Bargaining Over
Hungary's 1989 Electoral Law.”, Journal of Theoretical Politics, Vol. 13, 2001, hlm. 153;
Alivizatos Heidi Ly, "The Judicialisation of Politics: Contemporary Trends in Research on
European and Other Courts, West European Politics, Vol. 22, 1999, hlm. 583.
403
Alec Stone Sweet, The Birth of Judicial Politics in France. The Constitutional
Council in Comparative Perspective, op.cit., hlm. 43.
404
George Brunner, "Decentralization in Spain: A Re-evaluation of Causal Factors",
South European Society & Politics, Vol. 2, 2000, hlm. 80.
405
Bawn Beirich, "The Logic of Institutional Preferences: German Electoral Law as a
Social Choice Outcome", American Journal of Political Science, Vol. 37, 2008, hlm. 965.
406
Baca ulasan selengkapnya dalam: Lawrence Baum, 1997, The Puzzle of Judicial
Behavior, Ann Arbor, Michigan University Press.
407
commit to user
Herman Schwartz, op.cit., hlm. 23
perpustakaan.uns.ac.id
116
digilib.uns.ac.id
majoritarian institutions such as constitutional courts to their role as efficient
solutions to collective-action problems”, sehingga pengujian tersebut akan
menjalankan peran dalam “stabilizing potentially chaotic social choices,
reducing transaction costs, fostering credible commitments, and solving
coordination problems in economic and political markets.”408 Secara konkrit,
perspektif ekonomi politik akan mendeskripsikan bahwa CR pertama-tama
didorong oleh “creating checks upon unfettered majority rule such as judicial
review, institutional designers contribute to give stability and credibility to
policy outcomes and constitutional rules, protecting them against transient
passions and mitigating agency losses in the relationship between voters,
representatives and bureaucracies.409 Kedua, “if constitutions are seen as
inevitably incomplete contracts, constitutional courts and other nonmajoritarian institutional bodies can be described as outside arbitrators in
charge of filling gaps, resolving ambiguities, monitoring the behavior of the
contracting parties, and assuring them that such ambiguities will not be
explored for private gain.” Dengan kata lain, CR diharapkan menampakkan
diri sebagai "institutional responses to the incomplete contract, the linked
problem of uncertainty and enforcement.”410
Ketiga, pendekatan strategis. Dalam pendekatan ini, CR merupakan
ajang tawar menawar diantara para aktor politik dalam rangka memperoleh
keuntungan tertentu. Pembentukan suatu lembaga negara, terlepas apakah
berpotensi untuk efektif atau tidak, akan dapat melembagkan kepentingan
politik yang ada. Oleh sebab itu, “Under these assumptions, and since not all
relevant political actors involved in these decisions have necessarily the same
bargaining power, the balance of forces between them in the process of
institutional design matters for which kind of institutions are chosen.”411 Dan
408
Lawrence Baum, op.cit., hlm. 45.
409
Ibid., hlm. 47.
410
Alec Stone Sweet, Governing with The Judge, op.cit., hlm. 44.
Gabriel L.Negretto, “Constitution-Making and Institutional Design. The
Transformation of Presidentialism in Argentina”,
Political Science Review,Vol. 88,
commit to American
user
1999, hlm. 711.
411
117
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena kesadaran di luar kaidah hukum mengenai potensinya di waktu yang
akan datang, “generalized uncertainty about the future electoral strength of
each political actor and about the consequences of institutional choices might
have an important impact in outcomes.”412
Dengan menggunakan pendekatan startegis itu, dimungkinkan untuk
membuat prediksi mengenai keberadaan CR sebagai hasil konkrit dari desain
tertentu. Menurut Negretto, jika suatu partai politik diramalkan tampil sebagai
kekuatan dominan, maka penyusunan desain Constitutional Review “are
expected to provide few checks on the power of the majority in terms of
electoral mechanisms, executive-legislative balance, judicial independence, or
decentralized structures of government.”413 Sebaliknya, jika suatu partai
politik gagal menjadi pemenang pemilu pada masa yang akan datang, maka
seperti dipaparkan oleh Ginsburg, maka CR akan didesain untuk menjaga
kepentingan partai politik sebagai “a form of insurance to prospective
electoral
losers
during
the
constitutional
bargain.”414
Pengusungan
keseimbangan ini yang akan menentukan desain institusi Constitutional
Review. Sejauh mungkin, partai politik yang mendominasi akan tak hanya
menerima gagasan Mahkamah Konstitusi yang berkuasa, tetapi juga berusaha
memaksimalkan kepentingan mereka terhadap susunan pengadilan (dengan
rekrutmen hakim yang dipengaruhi faktor politik)415 dan minimalisasi mereka
akan pengaruh konfigurasi politik di masa yang akan datang (dengan
memperlebar otonomi pengadilan).
Kebanyakan pembentukan MK di
negara
yang mengalami
demokratisasi banyak yang dapat dijelaskan dalam perspektif tersebut.
Menurut Mandel, “parliamentary sovereignty is the battle cry of the
412
Ibid., hlm. 712.
413
Ibid., hlm. 716.
414
Tom Ginsburg, "Economic Analysis and the Design of Constitutional Courts", Law
and Economics Working Paper No. 00-25, University of Illinois College of Law, hlm. 5.
415
Seperti dikatakan Ramseyer, bahwa "by politicizing appointments while
depoliticizing control (…), they augment their influence during periods when they are out of
power.” Lihat: J. Mark Ramseyer, "Thecommit
Puzzlingto(In)dependence
of Courts", Journal of Legal
user
Studies, Vol. 23, 2004, hlm. 740.
118
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bourgeoisie so long as the suffrage is restricted to property owners. But both
property owners and constitutional theory both lose confidence in parliaments
the moment they threaten property.”416 Dalam konteks ini, pembentukan MK
di Eropa yang begitu massif merupakan reaksi antisipatif dari dominasi modal
ke perluasan hak pilih, “through which judicial institutions were empowered
in order to constrain the policy-making discretion of future legislatures soon
about to be controlled by their political adversaries.417
Pembentukan Dewan Konstitusi di Prancis nampak mengikuti pola
tersebut. Persaingan yang terjadi bukan antara kaum oposisi dengan penguasa,
melainkan tarik ulur antara eksekutif dengan Parlemen. Setelah era instabilitas
demokrasi parlementer dan kekisruhan sistem multipartai pada masa Republik
III dan Republik IV, pembentukan Dewan Konstitusi yang didorong oleh De
Gaulle disokong untuk melucuti supremasi Parlemen. Dengan Konstitusi
Republik V (Konstitusi 1958), Dewan Konstitusi diberikan wewenang untuk
menguji terlebih dahulu RUU tidak hanya inferioritasnya terhadap Konstitusi,
tetapi juga kesesuaian dengan Undang-Undang lain, termasuk penilaian
yurisdiksi Parlemen, suatu usaha yang memungkinkan meredefinisikan ulang
relasi antara eksekutif dan legislatif. Untuk memastikan bahwa Dewan
Konstitusi
tidak
mengambilalih
pengawasan
oleh
Parlemen,
secara
keseluruhan hal itu tercermin dalam rekrutmen anggota Dewan Konstitusi dan
larangan menerima pengujian setelah Undang-Undang disahkan.418
Dengan demikian, dalam perspektif strategis, seperti ditulis oleh
Ginsburg, pelembagaan CR “when no political actor is able to impose its
preferences unilaterally on others and when there is generalized uncertainty
about the prospective gains to be obtained from institutional choices.”419
Seperti juga ditulis oleh Schiemman, “When no one can impose ‘custommade’ institutional rules, either because they lack the power to impose
416
Lihat dalam Ibid., hlm. 743.
417
Ibid.
418
Tom Ginsburg, op.cit., hlm. 31.
419
Ibid., hlm. 7.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119
digilib.uns.ac.id
anything at all or because they do not know which rules would bring greater
benefits, the process of institutional choice becomes more complex, making
the different levels of impatience displayed by negotiators more important for
the final outcome, and even threatening to paralyze the process of institutional
change altogether.420 Tetapi, “if the absence of an agreement and the
breakdown of negotiations are seen as the worst possible outcomes — as they
often are in periods of regime transition — political actors are likely to
choose institutions that provide mutualguarantees and allow them to ‘hedge
their bets’.”421
Dari uraian di atas, tidak ada penjelasan yang tegas sehubungan
dengan relasi antara Parlemen dengan MK (dan juga penerimaan terhadap CR
serta independensi pengadilan). Beberapa hal menunjukkan, “that when
uncertainty prevails about which position each party will have in the future
distribution of power, all actors have incentives to choose rules for judicial
appointment and supervision that restrict the prerogatives of majorities and
executives, giving a say to minorities in those processes.”422 Ketidakpastian itu
juga dihubungkan dengan akses yang semakin terbuka dan wewenang yang
secara umum besar bagi sebuah lembaga yang melaksanakan CR.423
Sementara itu, pandangan yang bertentangan juga dengan tegas mengatakan,
“uncertainty about who will have control of government leads to less powerful
and independent constitutional courts, as party leader ‘may prefer to leave
parliamentary power less rather than more encumbered by judicial power, as
a sort of hedge against limiting one's own power should one's party achieve
office.”424 Terdapat pula pandangan yang mengatakan bahwa “when the
420
John W. Schiemman "Explaining Hungary's Constitutional Court: A Bargaining
Approach" Archives Européenes de Sociologie, Vol. 18, 2001, hlm. 365-366.
421
Ibid., hlm. 335.
422
Ibid.
423
Bandingkan dengan Tom Ginsburg, 2001, op.cit., hlm. 34-37.
424
Smithey and Ishyiama, "Judges as Constitution Makers: Strategic Assertions of
Judicial Authority" Paper presented to the
Conference
for the Scientific Study of the Judiciary,
commit
to user
College State, October 2009, hlm. 12.
perpustakaan.uns.ac.id
120
digilib.uns.ac.id
termination of conflicts over institutional choices cannot be made by
unilateral choices or when uncertainty prevails about the ‘properties of rules’
and party's own interests, the last resort is to use solutions that are readily
available and are not seen as self-serving, borrowing from foreign or
domestic historical precedents.425
Dari penjelasan mengenai motivasi pilihan desain institusional dari
CR di atas, dapat tergambar adanya ragam model kelembagaan upaya
pengujian tersebut. Ada pelembagaan dalam bentuk MK, ada yang berbentuk
Dewan Konstitusi, ada fungsi pengujian yang terintegrasi dengan MA, dan ada
pula yang terkait dengan fungsi-fungsi badan lain yang telah ada. Ragam
bentuk itu menggambarkan bahwa metode dan prosedur pengujian itu sendiri
banyak macam dan coraknya. Dari penelusuran literatur, menurut pendapat
Penulis, terdapat 6 (enam) model kelembagaan yang utama dari CR yaitu
model Amerika Serikat, model Austria, model Prancis, dan model Jerman.
Berikut ini akan dikemukakan secara sederhana masing-masing model
tersebut.
1. Model Amerika
Praktik CR di Amerika Serikat dalam putusan yang sangat
terkenal dalam perkara Marbury (1803) diberi cap sebagai Judicial
Review, yang menekankan control terhadap tindakan pemerintah
(government action) dengan ukuran kesesuain undang-undang terhadap
konstitusi. Karena pengalaman sejarahnya sebagai negara yang mewarisi
tradisi hukum ‘common law’ Amerika Serikat tidak memerluka lembaga
yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Tetapi di Amerika Serikat
sendiri CR tersebut masih menimbulkan banyak perdebatan dan bahkan
cenderung berkembang menjadi mitos.426 Perkara Marbury sendiri sering
menjadi pembahasan kritis di banyak fakultas hukum di Amerika Serikat
karena menjadi dasar pembenar bahwa “the Supreme Court created its
425
Lihat: John W. Schiemman, op.cit., hlm. 366.
Martin Shapiro, “The Success
of to
Judicial
commit
user Review”, Constituional Dialogue in
Comparative Perspektive, Vol. 193, 1999, hlm. 218.
426
121
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
authority to declare federal statutes unconstitutional.”427 Sekalipun dalam
pertumbuhan peran MA selanjutnya, mekanisme itu jarang digunakan428,
akan tetapi CR dengan menguji UU Federal tumbuh pada masa MA
dipimpin oleh William Renquisht. Jika ada putusan yang menyatakan
batal suatu Undang-Undang Federal, biasanya akan muncul reaksi,
terutama
diantara
pendukung
legislasi
itu,
yang
pada
intinya
mempertanyakan legitimasi CR oleh Mahkmah Agung. Bermacam-macam
argumen untuk mencela CR tersebut tumbuh sering dengan dinamika
politik dan pertumbuhan sejarah Amerika, seperti pada masa awal
pertumbuhan negara429, era Perang Sipil430, era New Deal431, dan masa
gerakan perjuangan kebebasan sipil.432 Sekalipun demikian, cukup fair
untuk mengatakan bahwa dalam rangka relasi antara pemerintah federal
dengan negara bagian, CR tidak pernah menghasilkan gejolak revolusioner
mengenai pola hubungan tersebut433 dan hingga kini pun tidak pernah ada
serangan politik hebat terhadap putusan pengujian tersebut seperti pernah
terjadi pada masa Perang Sipil atau New Deal.
Meskipun demikian, terhadap era kepemimpinan William
Renquisht, banyak kalangan akademisi yang melancarkan serangan tajam
terhadap produk-produk CR Mahkamah Agung. Dari spektrum “kanan”,
Hakim Robert Bork menyerang tajam putusan seperti isu aborsi, yang
427
Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, op.cit.,
hlm. 770.
428
Setelah perkara Marbury, Mahkamah Agung tidak pernah memutuskan perkara yang
membatalkan Undang-Undang Federal, sampai dengan putusan perkara Dred Scott v Sandford
(1857). Lihat dalam Ibid.
Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Puzzling Persistence of ProcessBased Federalism Theories”, Texas Law Review, Vol. 79 , 2001, hlm. 1459.
429
430
Lynn A. Baker dan Ernest A. Young, Federalism and the Double Standard of
Judicial Review, Duke Law Journal, Vol. 51, 2001, hlm. 75.
431
Barry Cushman, 1998, Rethinking the New Deal Court: The Structure of a
Constitutional Revolution, Oxford University Press, hlm. 12.
432
Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, op.cit., hlm. 772.
Jesse H. Choper and John
C. Yoo,
“The Scope of the Commerce Clause after
commit
to user
Morrison”, Oklahoma City of University Law Review, Vol. 25, 2000, hlm. 843.
433
122
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpotensi untuk mengubah konstitusi sebagai tindaklanjut putusan
tersebut.434 Dari spektrum “kiri”, Mark Tushnet mengatakan bahwa dalam
putusan perkara affirmatif dan federalisme, putusan MA
justru
mengurangi makna CR itu sendiri.435 Satu tulisan yang cukup lengkap
mengkritik CR adalah karya Larry Krammer dengan judul “Foreward: We
the Court.”436 Menurut Krammer, dengan CR, MA mencoba menetapkan
tapal
batas baru mengenai
sekat-sekat
kekuasaan negara tanpa
kebijaksanaan dan tanpa kesadaran. Selanjutnya, dengan menggunakan
perspektif historis, Krammer kembali mengingatkan bahwa bahwa
konstitusi sendiri bungkam mengenai kewenangan MA dalam CR terhadap
UU Federal. Masih menurut Krammer, pada tahun 1787, CR menjadi
perdebatan yang sangat tajam untuk sampai diputuskan sebagai salah satu
ketentuan konstitusi mengingat tak ada kejelasan mengenai batas-batas
wewenangnya.
437
Bahkan, penafsiran bahwa perkara Marbury merupakan
kandungan CR, menurut Krammer jelas merupakan argumentasi yang
tidak berdasar. Lepas dari perdebatan akademik itu, lazim diterima luas
bahwa CR model Amerika Serikat ini kemudian menjadi dasar untuk
pelembagaan mekanisme serupa di banyak negara.
Dalam CR menurut tradisi Amerika pengujian dilakukan
sepenuhnya oleh MA dengan status sebagai the Guardian of the
Constitution. Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga
disebut sebagai doktrin John Marshall (John Marshall’s doctrine),
pengujian juga dilakukan atas persoalan-persoalan konstitusionalitas oleh
semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian
terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or
dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa oleh pengadilan biasa
434
Saikrishna B. Prakash dan John C. Yoo, “The Origins of Judicial Review”, op.cit.,
435
Ibid.
436
Larry D. Kramer, “Foreword: We the Court”, Harvard Law Review, Vol. 115, No.
437
Ibid., hlm. 26-29.
hlm. 773.
4, 2001.
commit to user
123
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(incidenter). Artinya, pengujian demikian itu tidak bersifat institusional
sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara
lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan.438
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu
bersifat spesifik dan termasuk kategori a posteriori review. Sedangkan
MA dalam sistem tersebut menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem
sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam sistem yang
tersebar, putusan-putusan yang diambil hanya mengikat para pihak yang
bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter pares), kecuali dalam
kerangka prinsip “stare decisis” yang mengharuskan pengadilan di
kemudian hari terikat untuk mengikuti putusan serupa yang telah diambil
sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Pada pokoknya,
putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat
deklaratoir dan retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat
“ex tunc” dengan akibat yang “pro praeterito” yang menimbulkan efektif
retroaktif ke belakang.439
Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh
sistem konstitusi Amerika Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak
negara seperti di Eropa oleh Denmark, Estonia, Irlandia, Norwegia, dan
Swedia; di Afrika oleh Bostwana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya,
Malawi, Namibia, Nigeria the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan
Tanzania; di Timur Tengah oleh Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh,
Fiji, Hong Kong (sampai 1 Juli 1997), India, Jepang, Filipina, Kiribati,
Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal, Selandia Baru, Palau,
Papua Nugini, Singapura, Tibet, Tonga, Tuvalu, Vanuatu, da Samoa Barat.
Negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Amerika Latin (Selatan)
juga mengant model ini seperti di Argentina, Bahamas, Barbados, Belize,
Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana, Haiti, Jamaica, Meksiko, St.
Christopher/Nevis, Trinidad dan Tobago. Semua mengikuti pola Amerika
438
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional, op.cit., hlm. 47.
439
Ibid., hlm. 48.
commit to user
124
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Serikat, yaitu dengan mengkaitkannya dengan kewenangan Mahkamah
Agung sebagai “the Guardian of the Constitution.”
Secara akademik, CR model Amerika Serikat ini telah menarik
banyak kalangan dan menjadikannya hampir seluruhnya sebagai sasaran
ketika berbicara mengenai kinerja pengadilan.440 Atas dasar hal tersebut
telah terbangun bermacam-macam teori yang mencoba:
To explain judicial decision-making in the U.S.
Supreme Court. Formalists take the view that
constitutional judges simply interpret and apply the
Constitution in a conformist view of precedents. In a
completely different perspective, the attitudinal
model sees judicial preferences, with special
emphasis on ideology, as the main explanatory
model. Finally, agency theorists recognize the
importance of judicial preferences but argue that
they are implemented taking into account political
and institutional realities.441
Jika ditelaah, maka secara orisinal, model Amerika ini
mempunyai
4 ciri sebagai berikut. Pertama, mencakup bukan hanya
pengujian UU, akan tetapi segala tindakan administrasi di segala tingkat
pemerintahan. Kedua, pengujian dilaksanakan secara terdesentralisasi,
dalam pengertian semua badan pengadilan di tiap tingkatan mempunyai
wewenang untuk melaksanakannya sehubungan dengan pemeriksaan suatu
kasus tertentu menurut kepentingan penggugat. Ketiga, rumusan hasil
putusan pengadilan bersifat kasuistis, memperhatikan kepentingan
penggugat, dan tidak memastikan untuk dipaksakan dalam jangkauan yang
lebih luas. Keempat, pengujian bersifat konkrit (sehubungan dengan
perkara hukum tertentu) dan berkarakter ex-post review.
Baca antara lain: Saul Brenner dan Harold J. Spaeth, “Ideological Position as a
Variable in the Authoring of Dissenting Opinions on the Warren and Burger Courts”, American
Politics Quarterly, Vol. 16, 2008, hlm. 317. Secara umum, hampir 20 tahun terakhir empirical
studies oleh kalangan ilmuwan hukum dan ekonomi telah menjadi pengadilan sebagai obyek
kajian yang signifikan. Baca: Barry Friedman, “The Politics of Judicial Review”, Texas Law
Review, Vol. 84, 2005, hlm. 256.
440
J. A. Segal dan A. D. Cover,
“Ideological
commit
to user Values and the Votes of U.S. Supreme
Court Justices”, American Political Science Review, Vol. 83, 1989, hlm. 557.
441
125
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Cukup menarik argumen Migule Schor dalam artikel berjudul
“Judicial Review and American Exeptionalismi”, yang mengatakan bahwa
CR dilaksanakan oleh MA karena bagaimanapun rumusan dalam
konstitusi sepi dari gagasan akuntabilitas badan peradilan.442 Apalagi
design hukum tata negara yang secara teoritis bertumpu kepada penafsiran
konstitusi karena asal muasal check and balances berada dalam tatanan
yang tidak seimbang seiring dengan pertumbuhan peran pengadilan.443
Dengan pentingnya penafsiran konstitusi ini, maka sejumlah praktisi
kemudian memandang urgen mengenai profil para hakim yang akan duduk
di MA. Pada titik inilah kemudian muncul perang pencalonan (appoipment
battle) hakim agung yang digambarkan sebagai “by which social groups
via over the meaning of the Constitution, since it is practically impossible
to amend the Constitution in order to overrule the Supreme Court.”444
Tetapi perang pencalonan tersebut secara normatif berpeluang untuk
merusak tatanan konstitusi.445 Hal ini karena, “The meaning of the
Constitution should, however, reflect the views and desires of a supermajority, not those of a faction within the governing coalition with intense
preferences.”446 Dengan demikian, menurut penulis, apabila sebuah negara
mengadopsi CR model Amerika Serikat, tidaklah dengan segera dapat
diberikan cap bahwa negara yang bersangkutan mengadopsi kelembagaan
yang serupa.
Menurut argumen seorang penulis, dengan semakin diterimanya
CR, maka “Parliamentary supremacy is now a critically endangered
constitutional species as many of the last holdouts succumbed to
Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, Osgoode Hall Law
Journal, Vol. 46, 2008, hlm. 539.
442
443
Ibid., hlm. 540.
Akhil Reed Amar, 2005, America’s Constitution: A Biography, New York: Random
House, hlm 334.
444
445
Miguel Schor, “Squaring the Circle: Democratizing Judicial Review and the
Counter-Constitutional Difficulty” ,Minnesota Journa l of International Law, Vol. 16, 2007, hlm.
67.
446
commit to user
Miguel Schor, “Judicial Review and American Exeptionalism”, op.cit., hlm. 545.
126
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
[constitutional] judicial review.”447 Pengakuan kepada CR berarti menolak
kepada Legislative Supremacy (Supremasi Parlemen), karena “affirm that
courts have a privileged status in interpreting the Constitution.”448
Penerimaan CR juga berarti “a reconsideration of the role of the court in
public life.”449 Dengan kata lain, “courts are not welcome intruders into
democratic process, but invited (perhaps nacessary) release valve for the
democrative impulses that cannot be addressed trough the ordinary
legislative route.”450
Sehubungan dengan kenyataan tersebut, maka dalam teori
ketatanegaraan dewasa ini berkembang apa yang dinamakan sebagai
“theories of constrained [constitutional) judicial review.” Pandangan
dalam teori ini mengakui bahwa pengadilan memiliki keistimewaan dan
bakat penafsiran yang lebih memadai dalam menilai konstitusionalitas
Undang-Undang, sehingga formulasi Supremasi Parlemen harus ditolak,
akan tetapi teori ini juga menggarisbawahi bahwa kompetensi khusus
pengadilan semacam itu haruslah melahirkan pertanggungjawaban
konstitusi yang lebih besar guna memutus perkara-perkara kelembagaan
nonadjudikatif
terhadap
parlemen
dan
bahkan
termasuk
kepada
Pemerintah. Singkatnya, pandangan ini menolak Supremasi Parlemen dan
tidak
menerima
Supremasi
Pengadilan
dalam
isu
pengujian
konstitusionalitas Undang-Undang.451
Mark Tushnet, “New Forms of Judicial R.eview and the Persistence of Rights and
Democracy- Based Worries”, Wake Forest Law Review, Vol. 38, 2003, hlm. 813-815.
447
Yuval Eylon and Alon Harel, “The Right to Judicial Review”, op.cit., hlm. 991.
Baca juga: Alon Harel dan Tsvi Kahana, “The Easy Core Case for Judicial Review”, Journal of
Legal Analysis,Vol. 2, 2010, hlm. 227.
448
449
Elena Martinez Balahona, “Judges as Invited Actors in the Political Arena: The
Cases Costarica and Guatemala”, Mexican Law Review, Vol. 3, No. 1, 2007, hlm. 5,
Corneel W. Clayton, “The Supply and Demand of the Judiciary Policy Making”,
Law & Contemporer Problems, Vol. 65, 2002, hlm. 78.
450
James E. Fleming, “Judicial Review without Judicial Supremacy: Taking the
Constitution Seriously Outside the Courts”,
Fordham
Law Review, Vol. 73, 2000, hlm. 1377 dan
commit
to user
1378-1379.
451
127
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Komitmen “theories of constrained
[constitutional) judicial
review” berasal dari anggapan bahwa perjalanan sejarah dan hakekat asalusul Constitutional Review di Amerika Serikat tidaklah menggiring kepada
anggapan bahwa pengadilan harus dikatakan sebagai pihak paling akhir
dalam memutus isu-isu sehubungan dengan penafsiran konstitusi.
Lembaga-lembaga pemerintahan lain dan juga “rakyat” seharusnya
berpartisipasi juga dalam penafsiran konstitusi.452 Negara semacam
Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan sejumlah negara bagian dan teritori
khusus di Australia melaksanakan gagasan tersebut.
“Serangan”
terhadap
CR,
terutama
yang
mengadopsi
pelembagaannya dalam model Amerika Serikat didasarkan kepada alasan
“ it entrenches specific choices made by an unelected and unrepresentative
judiciary”453, yang telah menyebabkan “a debilitating effect on the
political branches by stripping them of their authority to act for and on
behalf of their constituents.”454 Apabila diringkas, pendapat dari “theories
of constrained [constitutional) judicial review” adalah sebagai berikut.455
Collectively, these theories view with alarm the rise
to power of courts over the other branches. Their
objections to the role of courts as having the
exclusive power to invalidate legislation ranges
from instrumental concerns-other branches are just
as capable of constitutional interpretation-to
concerns rooted in democratic legitimacy and
political theory. Namely, these theories often refer
to the counter-majoritarian difficulty and to the loss
of autonomy, political participation and,
452
Lihat: Barry Friedman, “The Birth of an Academic Obsession: The History of the
Countermajoritarian Difficulty, Part Five”, Yale Law Review, Vol. 112, 2002, hlm. 153.
453
Jeremy Waldron, “The Core of the Case Against Judicial Review”, op.cit., hlm.
134.
Rachel E. Barkow, “More Supreme than Court – The Fall of the Political Question
Doctrine and the Rise of Judicial Supremacy”, Columbia Law Review, Vol. 102, 2008, hlm. 237.
Diskusi lebih lanjut mengenai hal ini dapat juga dilihat, antara lain dalam: Mark V. Tushnet,
“Policy Distortion and Democratic Debilitation: Comparative Illumination of the
Countermajoritarian Difficulty”, Michigan Law Review, Vol. 94, 2002, hlm. 245.
454
Larry Alexander & commit
Fredrick toSchauer,
“On Extrajudicial Constitutional
user
Interpretation”, Harvard Law Review, Vol. 110, 1997, hlm. 1359.
455
perpustakaan.uns.ac.id
128
digilib.uns.ac.id
consequently, also legitimacy entailed in having
courts and unelected judges – rather than the
people – decide constitutional cases. At the same
time, in contrast to traditional opponents of judicial
review, these positions also acknowledge the
significance and potential contribution that courts
may have in identifying the constitutional meaning
and in promoting constitutional values and thus
they wish to grant courts a privileged (although not
supreme or exclusive) role in interpreting the
Constitution.
Jika dicermati, pertentangan terhadap CR antara lain dapat
dilacak kepada peran pengadilan, terutama sekali berkaitan dengan kondisi
transisi politik. Dapat dicontohkan di sini, misalnya putusan MA Amerika
Serikat di bawah Ketua MA Earl Warren dalam perkara Brown V.s. Board
of Education, salah satu figur putusan yang cukup heroik.456 Para
pendukung CR mengatakan bahwa “look at the experience of newer,
transitional democracies to argue that judicial review has an important
democratic payoff.”457 Sementara itu, pada posisi yang pesimis, ada
anggapan bahwa Constitutional Review akan menyebabkan “weaken
democracy by looking primarily at the record of older, consolidated
democracies.”458
Model kelembagaan CR Amerika juga harus berhadapan dengan
realitas konstitusional sehubungan dengan doktrin “Unitary Executive.”
Dalam tradisi kepresiden di Amerika Serikat, “The President stands
responsible for all discharge of policy, and is judged by his or her
performance on election day.”459 Motif penumbuhan tradisi ini adalah
Ken I. Kersch, “The New Legal Transnationalism, The Globalized Judiciary, and the
Rule of Law”, Washington University of Global Studies Law Review, Vol. 4, 2005, hlm. 351-353.
456
Sujit Choudry, “The Lochner Era and Comparative Constitutionalism”,
International Journal of Constitutional Law, Vol. 2, 2004,No. 56.
457
Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu? The Expansion and Legitimacy of
“Constitutional Justice”, Catholic University Law Review, op.cit., hlm. 191.
458
459
Peter L. Strauss, “Overseer, or ‘the Decider’?: The President in Administrative Law,
George Washington Law Review,Vol. 75, 2007, hlm. 696. Baca juga komentar serupa dalam
commitoftothe
user
Robert V. Percival, “Presidential Management
Administrative State: The No-So-Unitary
Executive”, Duke Law Journal, Vol. 5, 2001, hlm. 963.
perpustakaan.uns.ac.id
129
digilib.uns.ac.id
sebagai “a tool not only to enhance accountability in the public eye for
executive branch actions, but also to centralize power in the President
himself”460, sehingga “administrative authority was concentrated in a
single person.”461 Kekuasaan eksekutif yang semakin terpusat kepada
Presiden inilah yang dikenal sebagai doktrin “Unitary Executive”, sebagai
tafsir terhadap ketentuan Pasal II Konstitusi.462
Dari segi historis, pengakuan terhadap “Unitary Executive” ini
sebelum ratifikasi (1789) sudah berlangsung463, termasuk pandangan yang
berkembang selama abad ke-18 di kalangan ilmuwan politik.464 Praksis
“Unitary Excutive” ini tercermin dalam peningkatan kapasitas mandiri
Presiden untuk menafsirkan posisi konstitusionalnya dalam proses
460
Peter L. Staruss, op.cit., hlm. 697.
Peter L. Strauss, Overseer, or “the Decider”?, op.cit., hlm. 599-601. Baca juga: Cass
R. Sunstein, Constitutionalism After the New Deal, Harvard Law Review, Vol. 101, 1997, hlm.
432-433.
461
Christopher S. Yoo et.al., “The Unitary Executive During theThird Half-Century,
1889-1945”, Notre Dame Law Review, Vol. 80, 2004, hlm. 3. Lihat juga analisis konstitusional
yang menghasilkan konklusi serupa dalam: Steven G. Calabresi, The Vesting Clauses as Power
Grants, New York University Law Review, Vol.88, 1994, hlm. 1377; Steven G. Calabresi &
Saikrishna B. Prakash, “The President’s Power to Execute the Laws”, Vol. 104, Yale Law
Journal, 1994, hlm. 541; Steven G. Calabresi & Kevin H. Rhodes, “The Structural Constitution:
Unitary Executive, Plural Judiciary”, Harvard Law Review, Vol. 105, 1992, hlm. 1153; Lawrence
Lessig & Cass R. Sunstein, “The President and the Administration”, op.cit., hlm. 47–55 dan 119;
dan A. Michael Froomkin, “The Imperial Presidency’s New Vestment”s, New York University
Law Review, Vol. 88, 1994, hlm. 1346.
462
Pasal II Konstitusi sering dikenal sebagai The “Oath” Clause, yang menyatakan bahwa
Presiden “will faithfully execute the Office of the President and will preserve, protect, and defend
the Constitution of the United States.” Menurut Steven B. Clarabesi, “…it is a duty of the
President to preserve, protect and defend his office, which is, or course, a creation of the
Constitution itself. The President takes an oath to uphold that Constitution and the public judges
him, and ought to judge him, by his vigilance in fulfilling that oath.” Lihat dalam Steven B.
Clarabesi, “Advice to the Next Conservative President of the United States”, Harvard Journal of
Law and Public Policy, Vol. 24, No. 369, Spring, 2001, hlm. 375.
463
Steven G. Calabresi & Saikrishna B. Prakash, op.cit., hlm. 603-605.
Saikrishna Prakash, “The Essential Meaning of Executive Power”, University of
Illinois Law Review, No. 701, 2003, , hlm. 753-789 dan hlm. 808-812. Lihat juga pendapat Steven
Calabresi, yang mengatakan bahwa “the Federalist Papers advanced three arguments in favor of a
unitary executive—energy, accountability, and separation of powers.” Lihat dalam Steven
Calabresi “Some Normative Argumentscommit
for the Unitary
to userExecutive.” Arkansas Law Review, Vol.
48 No. 23, 1995.
464
perpustakaan.uns.ac.id
130
digilib.uns.ac.id
pembentukan hukum465 dan “the increase in discretionary, policy-making
authority wielded by administrative agencies.”466 Pertumbuhan kekuasaan
Presiden yang semakin diperhitungkan ini berlangsung dengan alasan “the
enormously significant and self-conscious changes in the role of the
presidency from the period following Jackson through Franklin
Roosevelt.”467
Pada wataknya yang unitarian tersebut, maka “president, as a
coordinate branch of government, may independently interpret the
Constitution.”468 Hal ini disebabkan oleh karena “the president is the only
nationally elected official which makes him accountable for how laws are
executed. Therefore, the president is best situated to coordinate agency
activities and by virtue of his accountability and central position, he can
bring energy to the administrative process that agency officials cannot
muster by themselves.”469
Dalam kapasitas tersebut Presiden “not defend or enforce those
statutes that are ‘clearly unconstitutional’ dan “to not defend and enforce
those that encroach upon the prerogatives of the executive branch.”470
Dalam hal yang pertama, maka Presiden “accommodates the conflict
between the constitutional mandate that the President execute the laws
and his oath to support and to defend the Constitution”, sementara dalam
hal yang kedua, Presiden akan “accommodates the occasional conflict
between the roles of the President as the chief law enforcement officer of
465
Abner S. Greene, “Checks and Balances in an Era of Presidential Lawmaking”,
op.cit, hlm. 138–153.
Lawrence Lessig & Cass R. Sunstein, “The President and the Administration”,
op.cit., hlm. 93-106.
466
467
Ibid., hlm. 84.
Joel K Goldstein, “The Presidency and the Rule of Law: Some Preliminary
Explorations”, Saint Louis University Law Journal, Vol. 43, 1999, hlm. 809.
468
469
Kenenth Mayer, 2001, With the Stroke of a Pen: Executive Orders and Presidential
Power, New Jersey: Princeton University Press, hlm. 38.
Note “Executive Discretion
and the
Defense of Statutes”, Yale Law
commit
toCongressional
user
Journal, Vol. 92, No.970, May,1993, hlm. 973.
470
131
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
the United States and the role of the Attorney General as the advocate of
the executive branch.”471
Khususnya dalam melaksanakan kapasitas untuk menolak UU
yang ‘clearly unconstitutional’ maka perisai utama dipegang oleh
Departemen
Kehakiman
(Departemen
of
Justice)
dan
Kantor
Pertimbangan Hukum (Office of Legal Council, OLC). Dalam hal ini
fungsi Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Jaksa Agung
(Attorney General), dapat diuraikan sebagai berikut.472
In many cases, the Department of Justice will
propose, as a fallback position, that an issue be
addressed in a signing statement if it wouldbe
politically impossible simply to veto a bill. For
instance, at the very end of its session, Congress
frequently passes large bills and then leaves town.
The only choice we have is to veto the bill and, say,
shut down the foreign operations of the US
altogether for six months, or sign the bill and note
exception to some provision we think is
unconstitutional. Thus, in some instances, signing
statements have directed subordinate officials to
disregard provisions of a bill that are thought to be
clearly unconstitutional and severable.
Sementara itu, OLC berperan “both provides legal advice of a
constitutional nature to all the departments within the executive branch and it
provides ‘both written and oral advice in response to requests from the
Counsel to the President.’”473 Semua UU harus diperiksa terlebih dahulu oleh
471
Ibid., hlm. 973-974.
William P. Barr, “Attorney General’s Remarks”, Cardozo Law Review, Vol. 15,
1993, hlm. 33-34.
472
473
Neal Devins, “Political Will and the Unitary Executive: What Makes an
Independent Agency Independent?” Cardozo Law Review, Vol. 15,1993, hlm. 281.
OLC didirikan pada tahun 1953 untuk melakukan perlindungan konstitusional terhadap
Presiden. Dalam perkembangannya, badan ini membawa pengaruh yang penting bukan saja
sebagai konsultan legal Presiden dan badan-badan pemerintahan, tetapi juga menjadi penafsir
commit dalam
to userpertumbuhan dan pengembangan peran
konstitusi itu sendiri. Lembaga ini, berperan
Presiden dalam memberikan signing stateman, suatu pernyataan sikap Presiden bahwa Undang-
132
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
OLC sebelum ditolak atau ditandatangani oleh Presiden guna memastikan
ketiadaan problem konstitusinya.474 Meskipun demikian, pendapat OLC
bukanlah kata akhir, karena dalam suatu kasus, lembaga ini dinilai telah
bertindak “overrule” dalam menentukan tingkat konstitusionalitas UndangUndang.
Dalam studinya yang cukup komprehensif, Steven G. Calabresi and
Christopher S. Yoo menyatakan bahwa cakupan “Unitary Executive” dalam
tradisi ketatanegaraan Amerika Serikat adalah “include the President’s power
of removal, the President’s power to direct subordinate executive officials,
and the President’s power to nullify or veto subordinate executive officials’
exercise of discretionary executive power.”475 Dalam studi itu juga
diungkapkan bahwa “the executive branch’s consistent opposition to
congressional incursions of the unitary executive has been sufficiently
consistent and sustained to refute any suggestion of presidential acquiescence
in derogations from the unitary executive.”476
Sekalipun
Presiden
mempunyai
kualifikasi
untuk
“to
direct
subordinate executive officials”, tetapi menurut Peter Strauss “but not the
power to veto the decisions of subordinates.”477 Menurut Richard J. Pierce,
Jr., hal ini disebabkan oleh alasan-alasan sebagai berikut:478
The difference between the power to veto and the
power to remove is not subtle. If a President could
veto a decision of an executive branch officer, he
undoubtedly would do so with some frequency and
often at little political cost. By contrast, removing
an officer is always costly. Frequently, the cost of
Undang yang telah ditandatanganinya, sesungguhnya mempunyai persoalan konstitusional yang
menegaskan afiliasi sikap politiknya terhadap produk hukum tersebut.
474
William P. Barr, op.cit., hlm. 38.
475
Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, 2008, The Unitary Executive:
Presidential Power from Washington to Bush, Yale University Press, hlm. 14.
476
Ibid., hlm. 28.
477
Peter Strauss, Overseer of the Decider, op.cit., hlm. 696.
Richard J. Pierce, Jr., “Saving the Unitary Executive Theory From Who Would
Distort and Abuse It: A Review of the Unitary
Executive
commit
to userBy Steven G. Calabresi and Chirstopher
Yoo”, University of Pennsylvania Journal of Constitutional Law, 2009, hlm. 6.
478
133
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
removal is so high that a President reluctantly
acquiesces in a decision with which he strongly
disagrees in order to avoid incurring the high cost
of removing the executive branch officer who made
the decision. I will discuss the political cost of
removing an executive branch officer systematically
in a subsequent section of this essay, but one
example provides a good
illustration of the
potentially high cost of removal. I believe that
President Nixon’s unquestionably lawful decisions
to remove Attorney General Elliot Richardson,
Acting Attorney General William Ruckelshaus, and
indirectly, Special Counsel Archibald Cox cost him
the Presidency. By contrast President Clinton was
able to survive a similar scandal because he was
smart enough to know that removing Attorney
General Reno and replacing her with someone who
would remove Ken Starr would cost him far more
than allowing Starr to continue the Whitewater
investigation.
Menurut Steven G. Calabresi and Christopher S. Yoo, dalam hal
“removal power”, Presiden dalam berhadapan dengan Kongres selalu
mendapatkan kemenangan.479 Tetapi kenyataan, seperti ditulis oleh Richard J.
Pierce, Jr., “Three times the Court has upheld statutory limits on the
President’s removal power; none of those cases has been overruled; and the
President continues to be subject to statutory limits on his power to remove
many executive branch officers.”480 Bahkan, “over the last half century no
president has challenged those judicially-approved limits on his removal
power by attempting to remove any of the many executive branch officers that
are subject to such limits.”481 “Removal power” juga sering menjadi kasus
yang menarik perhatian, khususnya yang menyangkut lembaga independen
(independence agency), karena untuk lembaga semacam ini ada semacam
479
Big fights about whether the Constitution grants the President the removal power
have erupted frequently, but each time the president in power has claimed that the Constitution
gives the President power to remove and direct subordinates in the executive branch. And each
time the president has prevailed. Op.cit., hlm. 9.
480
Richard J. Pierce, Jr., op.cit., hlm. 7.
481
Ibid.
commit to user
134
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anggapan beroperasi di luar jangkauan Presiden, seperti Komisi Bursa Efek
(Securities and Exchange Commission) dan Komisi Komunikasi Federal (the
Federal
Communications
Commission).482
Termasuk
juga
putusan
Mahkamah Agung Federal yang mengabaikan veto legislatif, tata cara
pelaksanaan veto Presiden, dan upaya Konggres untuk mengontrol
pengeluaran negara melalui Gramm-Rudman-Hollings Act.483
2. Model Austria
Kelembagaan CR model Austria ini telah dirintis pada tahun
1867 ketika didirikan Reichsgericht yang dimaksudkan sebagai pengadilan
konstitusi di Kerajaan Austro-Hongaria. Pengadilan ini telah “relevant
contribution to the development of judicial review was the power to
adjudicate cases where a person had been violated in his or her
constitutionally guaranteed political rights, although this did not yet
extend to a scrutiny of legislative acts.”484 Seiring dengan berakhirnya
masa Kerajaan, dengan berpijak kepada gagasan Hans Kelsen, untuk
pertama kalinya MK didirikan dengan Konstitusi Federal Republik Austria
(Bundes-Verfassungsgesetz) pada tahun 1920. Operasionalisasi pengadilan
sempat dihentikan ketika kekuasaan rezim fasis (1934-1938) dan
pendudukan Nazi-Jerman (1938-1945), dan setelah berakhirnya Perang
Dunia II, MK kembali didirikan dengan pemulihan fungsi-fungsinya.485
Dalam perkembangan selanjutnya, sejumlah ketentuan konstitusi diubah
dan menghasilkan norma-norma yang membentuk MK dewasa ini.
482
Masalah independent agency dan relasinya dengan Presiden sehubungan dengan
unitary executive, cukup banyak diulas dalam berbagai tulisan di jurnal hukum. Periksa antara lain:
David P. Currie, “The Distribution of Powers After Bowsher, Supreme Court Review, Vol. 19,
1996, hlm. 31-36; Peter M. Shane, “Independent Policymaking and Presidential Power: A
Constitutional Analysis”, George Washington Law Review, Vol. 57, 1989, hlm. 608-623; dan Peter
L. Strauss, “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and the Fourth Branch”,
Columbia Law Review, Vol. 84, 1994, hlm. 573.
Baca: Christopher S. Yoo, Steven G. Calabresi & Anthony J. Colangelo, “The
Unitary Executive in the Modern Era, 1945–2004”, Iowa Law Review, Vol. 90, 2005, hlm. 603.
483
484
Anna Gamper dan Francesco Paramo, “The Constitutional Court of Austria: Modern
Profiles of an Archetype of Constitutional Review”, Journal of Comparative Law, Vol. 3, 2007,
hlm. 65.
485
Ibid., hlm. 65.
commit to user
135
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sejak rintisan Reichsgericht, model CR ini mempunyai
karakteristik “as a model of constitutional review derived from its being
the only court especially vested with the power to deal with violations of
constitutionally guaranteed rights.”486 Historiografi inilah yang kemudian
dilanjutkan oleh MK pada masa republik, yang kewenangannya mencakup
“its power to review and strike down laws, the counter-model to the US
model of constitutional review.”487 Pengadilan konstitusi model Austria
ini mempunyai 3 karakteristik utama. Pertama, “a centralized and
exclusive body, which means on the one hand that only one constitutional
court exists (no decentralized constitutional courts are established in the
Austrian Länder) and on the other hand that it is not up to the ordinary
courts nor to any other state authority to decide on constitutional
issues.”488 Kedua, “has the power to review laws and regulations both on
an abstract and on a concrete basis.”489 Sebagai akibatnya, “the Court’s
competence to decide a case does not depend on a person’s actual
violation of rights in a concrete procedure or on any concrete case, but it
can be invoked also by certain “abstract” appeals.”490 Ketiga,
kewenangan pengadilan mencakup tindakan untuk “strikes down laws
(and other legal provisions) if they are unconstitutional”, bahkan
kemudian meluas terhadap “extends to a ‘negative kind of law-making’
and is not limited to just non-application of unconstitutional laws in a
concrete case.”491
Di Austria sendiri, posisi MK kemudian menjadi unik
dibandingkan dengan badan yudisial yang lain. Pada faktanya, badan ini
kemudian
memonopoli
486
Ibid.
487
Ibid.
488
Ibid., hlm. 66.
489
Ibid.
490
Ibid.
491
Ibid.
penafsiran
dan
commit to user
penyelesaian
perselisihan
136
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusi. Dengan bergabungnya Austria ke dalam The European
Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms (1958) dan Uni
Eropa (1995), MK menempatkan dirinya untuk menerima wewenang
badan pengadilan lain dan di Eropa menjadi semacam “constitutional
super-courts.” Berbeda dengan perkembangan di kawasan Eropa lainnya,
MK tidak mengalami kesulitan berhadapan dengan pengadilan di tingkat
Eropa.
Wewenang MK pertama-tama bersumber kepada BundesVerfassungsgesetz sebagai rujukan utama, khususnya pada Bab VI
Constitutional and Administrative Guarantees Pasal 137-148. Di dalam
ketentuan tersebut MK diakui sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman di samping (i) Independent Administrative Senates of the
Länder, suatu badan kuasi-yudisial untuk menangani sengketa banding
administrasi; (ii) the Asylum Court; dan (iii) the Administrative Court.
Karena model pelembagaan ini pada awalnya dikembangkan di
Austria dan kemudian menyebar ke banyak negara di kawasan Eropa
lainnya, maka penulis menyebutnya sebagai model Austria. Di samping
itu, secara teoritis maupun praktik, Prancis juga melembagakan pengujian
konstitusional itu ke dalam Dewan Konstitusi yang sifatnya khas dan juga
mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mengadopsi CR. Demikian
juga
Belgia,
yang
mempunyai
Constitutional
Arbitrage
untuk
pelembagaan pengujian tersebut. Padahal kedua negara tersebut juga
terletak di kawasan Eropa. Karena sifatnya yang khusus, model Dewan
Konstitusi Prancis menjadi salah satu arus utama CR, seperti yang akan
dibahas dalam bagian lain dari bab ini.
Seperti juga sudah diuraikan di muka, model Austria yang
kemudian sangat berpengaruh di Eropa ini dikembangkan menurut
gagasan yang dibangun oleh Hans Kelsen. Oleh Alec Stone Sweet, model
pengujian ini “ought to experience more judicialization than systems that
commit to user
137
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
do not.”492 Model pengujian ini berpengaruh di kawasan Eropa, yang
sebelumnya kental dengan belenggu pemerintahan mayoritas dan
supremasi parlemen. Selanjutnya, model Austria ini pada tahun 1930-an
telah dipraktikkan di negara demokrasi saat itu seperti Austria,
Czechoslovakia, dan Spanyol (dalam masa Republik II). Hampir 70 tahun
kemudian, berdasarkan survey Freedom House telah muncul 35 negara
demokrasi baru, dan hampir sebanyak 17 negara mengadopsi mekanisme
pengujian tersebut. Gelombang demokratisasi menjadi faktor perluasan
pelembagaan CR model Eropa tersebut; menambah jumlah yang sejak
tahun 1970-an mengalami demokratisasi, sebanyak 13 negara (kecuali
Yunani) di kawasan Eropa Selatan dan Timur.493 Estonia sendiri dianggap
sebagai suatu pengecualian, karena Constitutional Review Chamber,
sekalipun mempunyai wewenang khusus untuk melakukan pengujian
konstitusional undang-undang, akan tetapi merupakan bagian khusus
(“special chambers”) Mahkamah Agung.494
Model CR Austria ini berpijak kepada argumen bahwa hakim
pada umumnya mempunyai wewenang untuk melaksanakan UU sebagai
hasil kerja Parlemen. Konsekuensinya, kedudukan para hakim lebih
rendah dibandingkan dengan Parlemen. Sehubungan dengan hal ini, maka
sangat sulit untuk menciptakan hierarki peraturan perundang-undangan
yang kaku jika pekerjaan yang memastikan pola ini dilakukan oleh para
hakim biasa. Oleh sebab itu, dikehendaki adanya pengadilan konstitusi
yang berdiri sendiri denan hakim-hakim yang mempunyai keahlian khusus
di bidang ini. Dalam menjalan kewenangannya, MK melakukan pengujian
konstitusional terutama atas norma-norma yang bersifat abstrak (actio),
meskipun pengujian atas norma konkrit juga dimungkinkan (concrete
review). Bahkan, dalam model Austria ini, pengujian dapat bersifat “a
492
Alec Stone Sweet, Governing With Judges, op.cit., hlm. 51.
493
Tom Gisburg, op.cit., hlm. 7-8.
494
Woljciech Sadurski, op.cit. hlm. xiii.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
138
digilib.uns.ac.id
posteriori” (a posteriori review) ataupun bersifat “a priori” (a prior
review). 495
Pada umumnya, pengujian memang dilakukan secara “a
posteriori”, tetapi pengujian “a priori” yang bersifat preventif juga biasa
dipraktikkan. Segala putusan MK ini mempunyai kekuatan “erga omnes”
yang bersifat mutlak berdasarkan prinsip kewenangan mutlak yang
diberikan kepadanya oleh UUD (“the absolute authority of the
institution”). Lembaga MK ini dibentuk sebagai satu-satunya organ yang
berwenang menjalankan fungsi CR dengan kedudukan yang tersendiri di
luar MA dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang kekuasaan
lain yang menjalankan otoritas politik.496 Dengan wewenang CR, maka
MK diberi cap sebagai “negative legislator” karena dapat membatalkan
Undang-Undang tetapi tidak berwenang untuk mengajukan usul rancangan
Undang-Undang.497
Dalam tataran fakta, sentralisasi CR, “in a body outside of the
conventional judiciary has been important to secure independence and the
commitment to democratization after a period of an authoritarian
government in many countries.”498 Bagaimanapun, “The judiciary is
usually suspected of allegiance to the former regime, and hence, a new
court is expected to be more responsive to the democratic ideals
contemplated in the new constitution.”499 Walaupun aplikasi desain
institusi dari model Austria ini berbeda-beda dan disesuaikan dengan
faktor lokal, dan kemudian kompetensi dan pola organisasi pengadilan
berkembang luas lebih dari sekedar sebagai “negative legislator.”
495
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 51.
496
Ibid.
Cap “negative legislator” ini didasarkan kepada kenyataan kemampuan Mahkamah
Konstitusi dalam rangka mengeluarkan suatu Undang-Undang dari suatu sistem dan kemudian
berbagi peran kekuasaan legislatif terhadap Parlemen.
497
498
Lech Garlicki, op.cit. hlm. 44.
Dikusi yang menarik soalcommit
ini, periksa:
Tom Ginsburg, 2003, Judicial Review in
to user
New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University Press.
499
139
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengujian “a priori” telah diperluas ke dalam pengujian “a posteriori” di
sejumlah negara. Pengujian yang bersifat abstrak (abstract review) seperti
yang dipraktikkan di Prancis telah dikembangkan ke dalam pola pengujian
konkrit (concrete review) di Jerman atau Spanyol. Kebanyakan Mahkamah
Konstitusi telah diberi kekuasaan baru, yang mayoritas berkisar pada
wewenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum, legalisasi
partai politik (larangan atau pemeriksaan audit partai politik), dan
wewenang administrasi lainnya seperti di Taiwan.
Pelembagaan CR dengan model Austria ini dipraktikkan di
mayoritas negara anggota Uni Eropa yang bertradisi civil law system,
dengan pengecualian di Belanda dan negara-negara Skandinavia. Semua
bekas
negara
komunis
di
kawasan
Eropa
Timur
dan
Tengah
mempraktikkan kelembagaan MK ini. Perluasan gaya Kelsenian di Jerman
dan Spanyol, dan pengecualian khusus di Prancis, memberikan variasi
desain institusi CR model Austria ini. Perkembangan juga nampak di
Austria, yang untuk pertama kali saat dibentuk 1920, MK hanya
berwenang melakukan pengujian abstrak (abstract review), namun pada
tahun 1930-an mulai melaksanakan pengujian konkrit (concrete review).
Mekanisme
pengujian
konkrit
(concrete
review)
telah
mengaburkan batas-batas MK dengan pengadilan pada umumnya,
sekalipun diberikan bungkus sebagai Constitutional Complaint.500 Dengan
perluasan wewenang itu, MK berhadapan dengan penyelesaian kasuskasus individual yang konkrit, yang berarti telah menyimpang jauh dari
orisinalitas dari Hans Kelsen. Tak dipungkiri, dengan wewenang itu, MK
berpotensi untuk melakukan gesekan dengan badan-badan pengadilan
yang lain karena telah menciptakan yurisdiksi yang remang-remang
diantara kedua badan.
500
Isu ini akan dibahas pada uraian-uraian berikutnya dalam bab ini, mengingat
spesifikasi masalah dan praktik yang tidak sama diantara beberapa negara. Istilah yang digunakan
secara umum adalah Constitutional Complaint, sekalipun ada juga istilah “individual acsess to the
court” di beberapa negara anggota Uni Eropa
atauto“user
public litigation act sosial environment yang
commit
berkembang di India.
perpustakaan.uns.ac.id
140
digilib.uns.ac.id
Pengujian yang bersifat “a priori” (preventive preview) telah
menggeser MK kepada posisi yang lemah, mengingat sebenarnya tak ada
relevansi yang masuk akal antara pengujian preventif itu dengan
penyelesaian perkara melalui pengujian konkrit (concrete review). Oleh
sebab itu, mengingat pentingnya instrumen ini bagi pengadilan konstitusi,
perlu diciptakan kreasi teknik-teknik tertentu.
Misalnya di Prancis,
gagasan mengenai conforming interpretation, sekalipun berlangsung
karena kerelaan badan pengadilan yang memeriksa perkara tertentu, masih
menjadi konsepsi yang berpengaruh.501 Pada sisi lain, meskipun pengujian
abstrak amat terbatas limitasinya seperti di Korea Selatan dan Italia,
kemampuan untuk mempertajam putusan-putusan mampu mengurangi
pengaruh politik terhadap pengadilan.502
Kemungkinan terjadinya konflik wewenang antara MK dengan
badan-badan pengadilan lainnya mempunyai implikasi substantif baik
secara hukum maupun politik.503 Pertama, memaksa para hakim konstitusi
untuk bertumpu semata-mata kepada teori konstitusi dan posisi bergengsi
dari MK. Selanjutnya, kondisi ini akan memaksa terjadinya transformasi
guna mengubah pengertian dan daya jangkau CR guna memberdayakan
pengadilan dan menciptakan putusan-putusan yang bersifat apolitis.
Kedua, akan meningkatkan pengaruh politik MK karena akan mendorong
terjadi penyelesaian sengketa secara tidak langsung yang pada hakekatnya
berpengaruh kepada sistem peradilan. Ketiga, MK akan menciptakan
imbangan kekuasaan baru dan bergerak dari ‘negative legislator” ke arah
“positive legislator” dengan tumpuan kepada penafsiran UndangUndang.504 Sekali mendapatkan cap sebagai “positive legislator”
501
Garlich, op.cit., hlm. 45.
502
Alec Stone Sweet, Governing With Judge, op.cit., hlm.
503
Nuno Garoupa and Tim Ginsburg, Building Reputation in Constitutional Courts:
Party and Judicial Politics, mimeograph (2010)
Leslie Turano, “Spain: Quis Custodiet Ipsos Custodes?: The Struggle for
jurisdiction between the Tribunal Constitucional
and the Tribunal Supremo”, International
commit to user
Journal of Constitutional Law,Vol. 4, 2006, hlm. 151.
504
perpustakaan.uns.ac.id
141
digilib.uns.ac.id
Mahkamah Konstitusi akan berposisi untuk menentang Parlemen, bahkan
menggantikannya manakala sistem perwakilan dalam kondisi tidak stabil.
Sementara pengujian konkrit (concrete review) memperluas
yudisialisasi (judizialitation) MK, hal kebalikannya adalah pada pengujian
prefentif (preventive review) yang menimbulkan efek bertentangan.
Pengujian prefentif akan mengurangi pengaruh politis dari MK.
Memahami konstitusi bukanlah persoalan yang apolitis sifatnya dan
hakekat originalitas Hans Kelsen mengenai CR sesungguhnya merupakan
persoalan politik. Sudah tentu, bahwa ide MK dalam pelaksanaannya
tidak sama dengan upaya memperkenankan politik partisan ke sistem
pengadilan.
Fungsi ganda MK sebagai institusi politik dan peradilan
sekaligus (tidak hanya karena cap “negative legislator” namun juga
pelaksanaan wewenang badan ini di Eropa seluruhnya) mempertegas
“judicialization of politic” sekurang-kurangnya karena 3 (tiga) alasna.
Pertama, sebagai konsekuensi dari posisi MK, yang mampu menciptakan
keseimbangan baru kekuasaan negara berhadapan dengan institusi politik
lainnya (seperti pemerintah dan badan-badan pengadilan lain). Kedua,
hampir keseluruhan perluasan wewenang MK telah memberikan pengaruh
kepada penciptaan konflik-konflik politik baru. Ketiga, peran politik MK
yang tersebar menjadi penting. Kemudian, MK menjadi sosok penting
dalam menengani perselisihan yang bersifat politik. Dengan ini, MK tak
dapat menghindar dari incaran kekuatan politik dan agenda-agenda
ideologi politik tertentu.
3. Model Prancis
Model CR di Prancis dilaksanakan oleh Dewan Konstitusi, yang
merupakan suatu tribunal yang dibentuk secara khusus untuk menegakkan
kaidah-kaidah fundamental seperti tercantum dalam Pembukaan Konstitusi
1946 dan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (1789). Kedua ketentuan
itu diintegrasikan ke dalam Konstitusi Republik V (1958). Dewan
commit
to user
Konstitusi merupakan organ
yang
merdeka dari pengaruh kekuasaan
142
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
parlemen sekaligus mampu menetapkan putusan yang mengikat organorgan lain.505 Pelembagaan Constitutional Review di Prancis mengalami
proses yang panjang dan meletihkan.
Semenjak berlaku Konstitusi Republik I (1792-1799), Republik
II (1852), Republik Ketiga (1875-1940), dan Republik IV (1940-1946),
sistem ketatanegaraan di Prancis secara absolut telah memasukkan doktrin
kedaulatan parlemen. Konstitusi waktu itu pun dapat diubah melalui
mekanisme yang sederhana dalam Majelis Nasional (National Assembly).
Selama berlangsungnya periode tersebut, bukan berarti doktrin supremasi
parlemen tidak dipermasalahkan oleh mereka yang meragukan kesucian
organ tersebut. Oleh karena itu dalam praktik sebenarnya terdapat aneka
langkah minimal untuk membatasi diskresi legislatif dengan tujuan
melindungi hak-hak fundamental. Namun persoalan itu tidak pernah
memperoleh persetujuan dari parlemen.506
Dalam hal ini, CR di Prancis sebenarnya telah dilaksanakan
semenjak berlakunya Konstitusi Directoire pada tahun 1795.507 Pada saat
itu seorang sarjana yang bernama Abbes de Seiyes mengusulkan betapa
penting untuk segera membentuk jurie constituionare. Juri konstitusional
menurut sarjana ini akan menjamin bahwa konstitusi dilaksanakan dengan
benar dengan cara membatalkan produk legislasi yang dihasilkan oleh
parlemen. Namun dalam periode setelah itu, yaitu saat berlaku konstitusi
tahun 1799 berlaku, organ penjamin konstitusi adalah Senat Conservatuer,
tetapi secara otoritatif sama sekali tidak menampakkan fungsi yang
diharapkan. Pada masa Republik II (1852) organ yang sama dibentuk
tetapi nasibnya serupa dengan organ yang dibentuk sebelumnya. 508 Sama
halnya dengan Republik III, Konstitusi Republik IV juga menerapkan
505
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, op.cit., hlm. 228.
506
Ibid., hlm. 229.
507
Harun Alrasid, 1999, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm.
508
Sri Soemantri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, op.cit., , hlm. 13.
11.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
143
digilib.uns.ac.id
sistem parlementer. Pada periode itu, kekuasaan riil tetap dikendalikan
oleh jnagkauan kekuasaan perwakilan (aseemblies). Melalui perwakilan
selanjutnya Presiden dipilih dan terhadap mereka, pemerintah diminta
untuk meletakkan pertanggungjawaban.509
Pada dasawarsa berlaku Konstitusi 1946 kemudian ditetapkan
Committee Constitutionnel. Komposisinya terdiri atas Presiden, Majelis
Nasional (National Assembly) dan Senat (Council of Republic). Sedangkan
7 orang lainnya dicalonkan oleh Majelis Nasional dan 3 orang berikutnya
dari Senat. Jumlah keseluruhan Committee Constitutionnel adalah 13
orang. Seluruh anggota adalah politisi yang memiliki kadar untuk menguji
produk legislatif.510 Namun posisi komite pada waktu itu tidak lebih dari
organ pemecah perseturuan antara dua kamar yang terdapat dalam
Parlemen dan dibentuk sekedar untuk memperkokoh posisi Majelis
Nasional (National Assembly)dan guna menolak putusan yang disusun
oleh Senat.
Pembentukan Konstitusi untuk menggantikan Konstitusi 1946
secara prinsip didesain oleh Conseillers d’Etat serta dilaksanakan di
bawah pengaruh Jenderal de Gaulle. Dalam konstitusi baru (1958)
kekuasaan parlemen mengalami rasionalisasi. Untuk itu dibentuk Dewan
Konstitusi guna menjamin keberlangsungan pendistribusian kekuasaan
yang baru mengalami resrtrukturisasi itu. Konstitusi 1958 menempatkan
Dewan Konstitusi untuk mengawasi jangkauan la loi (undang-undang)511
dan le reglement (peraturan).512 Dewan Konstitusi juga menguji undang509
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 231.
510
Ibid.
“Matter other those within the province of loi have a regulatory charcter…Conceil
Constitutionnel has declared that they are regulatory by virtue of the preceding paragraph.” Lihat
Pasal 37 Konstitusi Prancis (1958).
511
“In the course of the legislative procedures, if it appears that a private Member’s
bill or an amandement is not within the provice of laoi; or is contrary to a delegation of authority
granted by virtue of article 38, the Government can oppose it as inadmissible. In case of
disagreement between the Government and the Precident of the relevant chamber, and at the
request of one or other of them, the Counseil
constitutionnel
commit
to user shall give a rulling within a period of
eight days.” Lihat Pasal 41 Konstitusi Prancis (1958).
512
144
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
undang organik (secara umum)513 dan peraturan tata tertib Majelis
Nasional (National Assembly) dan Senate.514 Pengujian juga dapat
diarahkan kepada perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah,
yang mulai berlaku sejak amandemen konstitusi pada tahun 1974. 515 Suatu
rancangan
undang-undang
organic
yang
telah
dinyatakan
tidak
konstitusional tidak dapat diberlakukan. Putusan Dewan Konstitusi sendiri
bersifat final dan mengikat seluruh kekuasaan publik, kewenangan
administratif, maupun badan peradilan umum lainnya.516
Model Prancis dalam Constitutional Review ini berpengaruh luas
juga di banyak negara, terutama di negara-negara yang pernah dijajah
Prancis. Karena pengaruh sistem hukum Prancis yang juga sangat luas di
berbagai negara, maka tentu saja pola atau model Prancis ini pun
diadopsikan dan diikuti oleh banyak negara. Semua negara seperti di
benua Afrika dan Asia yang menamakan lembaga pengawal konstitusinya
dengan istilah “Dewan Konstitusi” dapat dikaitkan dengan pengaruh
Constitutional Review model Prancis ini.
Secara khusus dapat disebutkan di sini pola atau model
kelembagaan institusi pelaksana Constitutional Review yang mengikuti
Prancis ini antara lain adalah keberadaan Dewan Konstitusi di negara
Lebanon (Timur Tengah), Aljzair (Algeria), Comoros, Djobouti, Ivory
Coast, Maroko, Mauritania, Mozambik, dan Senegal di Afrika, serta
Kamboja dan Kazakhztan di kawasan Asia.
4. Model Jerman
Penulis menempatkan model Jerman dalam rubrik khusus karena
CR dalam model ini mempunyai pengaruh yang luas dalam praktik di
dunia, termasuk desain kelembagaan di Indonesia. Di Jerman, MK
Federal (Bundesverfassungsgericht) mempunyai wewenang yang cukup
513
Pasal 61 Konstitusi Prancis (1958).
514
Baca komentar Sri Soemantri, op.cit., hlm. 41.
515
Pasal 54 Konstitusi Prancis (1958).
516
Pasal 62 Konstitusi Prancis (1958).
commit to user
145
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
besar, sehingga menjadi pusat perhatian ahli-ahli hukum di seluruh
penjuru dunia. Bahkan aneka kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi Federal saat ini “telah dijadikan rujukan di sejumlah negara
yang membentuk organ pengawal konstitusi.”517
Dalam hal ini, MK Federal “vested with various competencies
and therefore plays an outstanding role in Germany’s legal system as
well as in its political and societal life.”518 Dengan wewenangnya untuk
menilai
penerapan
Undang-Undang
terhadap
konstitusi
dalam
penangangan sengketa administrasi, perburuhan, fiskal, dan sosial,
termasuk ketentuan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, CR
oleh MK Federal dalam rangka pengujian terhadap Basic Law.
Kemudian, MK Federal menguji putusan pengadilan lainnya yang
melanggar hak-hak konstitusional warganegara, mengontrol produk
legislatif dan eksekutif, serta memutus sengketa kewenangan diantara
lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi. Selanjutnya, MK
Federal juga bertanggung jawab terhadap penyelesaian impeachment
terhadap Presiden Federal dan memutus pembubaran partai politik.
Dengan demikian, MK Jerman “acts at the interface of law, politics and
society.”519
Jauh sebelum mencapai bentuk pelembagaan seperti sekarang,
ketatanegaraan Jerman mengalami pasang surut dalam mengadopsi ide
mengenai MK. Sudah sejak tahun 1815, Konfederasi Jerman pada saat itu
mengangankan sebuah peradilan negara (state-adjudication) dan judicial
review guna menjamin kepentingan setiap negara bagian anggota
konfederasi tersebut.
Tetapi dalam periode keberlakuan Konstitusi
Paulskirche (1848-1849), harapan besar untuk melembagakan peradilan
negara tidak menjadi kenyataan. Otto van Bismarck, sebagai pemimpin
517
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 190-191.
518
L. Baum, “What Judges Want: Judges' Goals and Judicial Behavior”, Political
Research Quarterly, Vol. 47, 2004, hlm. 749.
519
Ibid., hlm. 768.
commit to user
146
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tertinggi saat itu, tidak menjadikan hak asasi manusia sebagai isu dasar
dalam penyelenggaraan negara, sehingga jaminan untuk memantapkan
kepentingan setiap negara bagian tidak perlu diselesaikan oleh suatu
badan pengadilan dan oleh karena itu, sejak tahun 1871, sengketa
konstitusi diputus oleh Majelis Federal (Federal Assembly).520
Pada
periode
1918-1933,
mekanisme
judicial
review
dilembagakan dengan pembentukan Reichsgerichts. Lembaga ini didesain
untuk menandingi kekuasaan Parlemen karena mempunyai wewenang
untuk membatalkan produk legislasi. Akan tetapi, kekuasaan diktatorian
yang kebetulan menyertai periode Reichsgerichts menjelma sebagai
kerikil-kerikil yang tajam dan menggembosi seluruh gerak evolutif
kekuasaan lembaga ini dalam kurun waktu tersebut.521 Banyak pemikir
hukum terkenal seperti Carl Schmitt, Hermann Heller, dan Franz Neuman
secara positif bersama-sama mengatakan kegagalan fungsi Reichsgerichts
dan menunjuk sebagai sinyalemen degenerasi prinsip-prinsip negara
konstitusional. Pasca Perang Dunia II, ketiga pemikir itu menolak CR
gaya Amerika Serikat, akan tetapi memandang penting bahwa tugas dan
kewajiban konstitusional dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi guna
melindungi hak-hak asasi manusia.
522
Penyusunan Basic Law sendiri di
Jerman sebagai salah satu “the most important post-war constitution”523
dan penyusunan itu sendiri “proven highly influential with scholars”524
dan “constitution designers.”525
520
Ibid., hlm. 193.
521
Bernd Hartmann, 'How American Ideas Travelled: Comparative Constitutional Law
at Germany's National Assembly in 1848-1849', The Tulane European and Civil Law Forum, Vol.
17, 2002, hlm. 23.
522
Ibid., hlm. 195.
Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: a Primer for Decision Makers”,
Journal of Democracy, Vol. 17, 2006, hlm. 127.
523
524
Bruce Ackerman, “The New Separation of Powers”, Harvard Law Review, Vol.
113, 2000, hlm. 634- 636.
525
commit to user
Mauro Cappelletti, “Repudiating Montesquieu?, op.cit., hlm. 191.
147
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdiri pada tahun 1951 di Karlsruhe, MK Federal sampai kini
merupakan salah satu lembaga yang “has gained high acceptance among
the population and is continuously ranked in the top three of the
institutions citizens trust most.”526 Kelembagaan MK diatur dalam the
Basic Law dan ditindaklanjuti dalam the Federal Constitutional Court Act
(FCCA). Mahkamah berwenang untuk mengatur lebih lanjut peraturan
internal dan hukum acara. Semenjak berdiri, sampai Desember 2007,
lembaga ini sudah memutus sebanyak 160.000 perkara.527
Fungsi MK Federal mencakup 2 (dua) hal. Lembaga ini
merupakan puncak peradilan konstitusi di Republik Federal Jerman, dan
sekaligus mengendalikan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudisial.
Sebagai pemutus sengketa, Mahkamah menyelesaikan
perkara dengan memberikan penafsiran spesifik terkait dengan Basic
Law. Oleh sebab itu, para hakim mempunyai wewenang “to concretize
rather unspecific terms of the Basic Law. Thus, ruling on the basis of
constitutional law leads, as widely accepted, to a relatively high degree of
developing and creating law.”528 Oleh sebab itu, MK kemudian
memberikan “political influence of the court”529, karena terkait dengan
kesadaran bahwa “constitutional law is political law” yang tercermin dari
“the structure of the Basic Law and the status of the Constitutional Court
within Germany’s constitutional and political system.”530 Oleh sebab itu,
“Constitutional law sets the rules and determines certain procedures for
the political decision making process. Therefore, it defines the framework
526
B. Schlink , “Ideological Values and the Votes of U.S. Supreme Court Justices
Revisited”, The Journal of Politics, Vol. 57, 2007, hlm. 812.
527
Ibid., hlm. 823.
C. Degenhart, “The Judicialization of Politics in Germany”, International Political
Science Review, Vol. 15, 2007, hlm. 113.
528
529
Ibid.
530
Ibid., hlm. 120.
commit to user
148
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
for political actions. Consequently, limiting the actions by interpreting
this framework constitutes political action.”531
Persepsi tersebut terkait dengan fungsi MK sebagai organ
konstitusi.
Oleh
karena
menyelesaikan
masalah-masalah
yang
berhubungan dengan konstitusi dalam putusan perkara konkrit, maka
badan ini kemudian harus berhadapan dengan cabang kekuasaan lain
seperti Parlemen sehingga kepadanya sering diberikan label sebagai
“Highest Guardian of the Constitution.”532 Dengan karakter yang
demikian, Mahkamah menjadi badan yang bersifat otonom. Tidak seperti
jenis pengadilan lain yang diletakkan sebagai bagian dari urusan Menteri
Kehakiman, dan untuk menentukan anggaran, badan ini berhubungan
langsung dengan Parlemen dan Menteri Keuangan. Seperti telah
disebutkan di atas, badan ini secara mandiri juga diperkenankan untuk
menentukan aturan-aturan yang bersifat sebagai hukum acara.533
Keunikan MK Federal di Jerman ini juga menyangkut komposisi
bangun peradilannya. Badan ini mempunyai 16 orang hakim, yang terbagi
ke dalam Panel Pertama dan Panel Kedua, dengan susunan keanggotaan
masing-masing 8 orang hakim.534 Secara umum dikatakan, bahwa Panel
Pertama, menangani persoalan yang terkait dengan hak-hak dasar (basic
rights).535 Sementara Panel Kedua menurut asumsi beberapa apkar adalah
panel yang menangani masalah-masalah politik, yaitu menyelesaikan CR
dan pengujian abstrak. Perlu dicatat bahwa penggunaan istilah CR di sini
khas Jerman, yaitu digunakan untuk menyelesaikan perseleisihan yang
dihadapi oleh lembaga-lembega negara. Kategori ini termasuk wewenang
menyelesaikan sengketa kewenangan antara Pemerintah Federal dengan
negara bagian atau perselisihan yang melibatkan organ-organ negara di
531
Ibid., hlm. 123.
532
Ibid.
533
Ibid.
534
FCCA, Pasal 2 ayat (2).
535
FCCA, Pasal 14 ayat (1).
commit to user
149
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat federal saja. Putusan yang dibuat oleh kedua panel secara
institusional adalah putusan final dan mengikat. Dalam prosedur acara
yang berlaku, untuk memutus suatu perkara harus dihadiri oleh seluruh
hakim (Plenum) yang terdiri dari 16 orang. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga konsistensi putusan.536
C. Eksplanasi Postur Pengadilan Konstitusi
1. Jangkauan Kewenangan
Diskusi mengenai jangkauan kewenangan CR dapat diawali
dengan pelacakan terhadap sistem yang digunakan. Pada satu sisi, sistem
yang paling tua adalah sistem Amerika yang dikenal dengan “diffuse
review.” Dalam hal ini, sistem menawarkan pengujian yang insidental,
dengan akses langsung bagi setiap individu untuk mengajukan
permohonan konstitusionalitas hukum di muka pengadilan. Pengadilan di
lingkungan peradilan umum akan memeriksa konstitusionalitas UU atau
tindakan individu. Para hakim dalam pengadilan yang bersangkutan diberi
kekuasaan untuk tidak menerapkan suatu ketentuan UU dengan alasan
bahwa UU yang bersangkutan bertentangan dengan konstitusi. Sisi praktis
dari “diffuse review” ini adalah setiap individu dapat langsung mengajukan
permohonan sehubungan dengan perkara yang dihadapi, tidak melalui
persyaratan dan prosedur yang bersifat khusus lagi seperti apabila
permohonan semacam itu diajukan ke MK.
Bahayanya adalah
memunculkan kemungkinan bahwa suatu ketentuan UU dalam sebuah
putusan pengadilan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi
dapat saja terjadi bahwa pengadilan yang sama dalam menangani perkara
yang berbeda atau pengadilan dalam lingkungan yurisdiksi memberikan
penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan UU tersebut. Lebih-lebih
apabila penafsiran secara beragam itu berlanjut pada pengadilan dalam
tingkatan yang lebih tinggi atau bahkan sampai kepada upaya hukum di
MA, namun ditolak, maka ketidakpastian mengenai substansi penafsiran
536
commit to user
Sri Soemantri, op.cit., hlm. 47-48.
150
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusi itu akan semakin menjadi-jadi. Pada akhirnya, “diffuse review
remains a perfectly valid form of constitutional justice.”537 Sebaliknya,
dalam “concentrated system” yang membutuhkan kelembagaan pengadilan
konstitusi secara khusus, pengujian “carried out either via indirect access
or direct access. The former occurs in ordinary proceedings. The judge
(the ordinary judge) hearing those proceedings will suspend them where
an issue of constitutionality arises and will then issue a preliminary
request to the Constitutional Court to determine the issue.”538 Adapun
keuntungan yang segera diraih dari mekanisme ini adalah “i) greater unity
of jurisdiction; and ii) legal security as it does not permit divergent
decisions on issues of constitutionality to arise, which would render the
application of a statute unclear.”539
Perlu dicatat bahwa berdasarkan sistem hukum yang berlaku amat
sulit untuk memilah sistem pengujian yang meliputi “diffuse review”
dengan “concentrated system.”Hal ini karena “The nature of a system is
determined by a Court or Courts’ material competences, which determine
whether or not there is one single institution that is entitled to decide
constitutional matters.”540 Negara yang mengadopsi sistem “diffuse
review” meliputi Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia.
Sementara itu, “concentrated system” dilaksanakan di Albania, Algeria;
Andorra, Armenia,
Austria, Azerbaijan, Belgia, Belarus, Kroasia,
Republik Ceko, Prancis, Georgia; Jerman, Hongaria, Italia, Korea Selatan,
Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Moldova, Montenegro,
Polandia,
Romania,
Russia,
Serbia,
Slovakia,
Slovenia,
Spanyol,Yugoslavia, Turki, dan Ukraina. Hal yang perlu diperhatikan
adalah sistem pengujian di Algerian, Maroko, Prancis, dan Tunisia, yang
membentuk suatu badan khusus untuk melakukan pengujian, sekalipun
537
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 11.
538
Ibid., hlm. 12.
539
Ibid.
540
Ibid.
commit to user
151
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jenis wewenangnya berbeda dengan apa yang sudah diuraikan di muka.
Ada pula suatu hal yang khas, ketika pengadilan dilekati kewenangan CR,
pelaksanaan ada yang mencakup wewenang membatalkan suatu UU atau
aturan berkenaan dengan pemeriksaan suatu perkara konkrit atas dasar
permintaan badan pengadilan dalam tingkatan yang lebih rendah, yang
membentuk sistem campuran. Contoh “mixed review” ini dilaksanakan di
MA Brazil, sementara negara seperti Andorra, Chile, dan Peru membentuk
suatu badan pengadilan konstitusi secara terpisah.
Kemudian, Amerika dan negara lain seperti Argentina, Brazil,
Canada, Estonia, Irlandia, Israel, Jepang, Malta, Meksiko, Monaco,
Portugal, San Marino, Afrika Selatan, Yunani dan Swiss; menjalankan
sistem “diffuse review” sekalipun beberapa diantaranya seperti Portugal
dan Afrika Selatan juga membentuk MK sebagai pengadilan yang khusus
melaksanakan pengujian. Di Belanda, tidak ada MK, dan MA juga tidak
mempunyai kewenangan dalam rangka pengujian. Akan tetapi, “Every
court in the Netherlands has the power (and duty) to review national law
in the light of human rights conventions and other self-executing
treaties.”541 Kasus yang lain terjadi di Cyprus. Berdasarkan ketentuan
Konstitusi (1960) yang berlaku hingga sekarang, terdapat MK dan MA
dengan yuridiksi masing-masing. Akan tetapi dengan perubahan konstitusi
(1963), kedua lembaga itu dilebur sebagai MA sebagai badan pengadilan
tertinggi dengan tetap mempertahankan fungsi yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, MA juga sekaligus berperan sebagai MK. Lembaga ini
berwenang untuk menguji Rancangan UU, menjawab pertanyaan Presiden,
menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, dan menguji
konstitusionalitas UU.
Menarik untuk dicermati bahwa ragam kelembagaan CR,
khususnya dalam bentuk pengadilan konstitusi yang spesifik, juga
mempunyai daya jangkau kewenangan yang beraneka ragam. Daya
541
Ibid., hlm. 13.
commit to user
152
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jangkau kewenangan tadi dalam berbagai jurnal internasional dirumuskan
ke dalam 4 optik pengamatan yaitu “type, timing, jurisdiction, effects, and
access.” Dalam hal ini, “type” menyangkut “whether the process of
constitutional adjudication is concrete (when the review may not take
place absent a real case or controversy) or abstract (when the review
takes place absent a real case or controversy).”542 Kemudian, “timing”
menentukan bahwa “if constitutional review occur a priori (before a law
has been formally enacted) or a posteriori (after the law has been
adopted).”543 Selanjutnya, “jurisdiction” berarti “can be either centralized
(there is only one court responsible for it) or decentralized (more than one
court can interpret the Constitution and render laws, decrees or
regulations unconstitutional).”544 Pembicaraan mengenai “effect” berarti
“the decisions in constitutional cases may be erga omnes (valid for
everyone) or inter partes (valid only for the participants in the case).”545
Selanjutnya, istilah “access” berhubungan dengan “legal instruments can
be open (any citizen has legal standing to use them) or restricted (only
public authorities, such as a fraction of legislators or leaders of political
parties, have legal standing).”546
Jangkauan wewenang
pengadilan konstitusi
dengan optik
pengamatan “type, timing, and jurisdiction” yang dapat digunakan untuk
“to identify four different kinds of legal instruments for constitutional
control.”547 Hal ini karena secara teknis, “with these three features there
could be eight different kinds of legal instruments.”548 Dalam hal ini,
Julio Ríos Figueroa, “Institutions for Constitutional Justice in Latin America”,
dalam Gretchen Helmke dan Julio Ríos Figueroa (eds.), 2007, Courts in Latin America, New
York: Cambridge University Press, hlm. 20.
542
543
Ibid.
544
Ibid.
545
Ibid.
546
Ibid.
547
Ibid.
548
Ibid.
commit to user
153
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengujian abstrak (abstract review) dapat dilaksanakan secara a priori
maupun posteriori. Kemudian, pengujian konkrit (concrete review) hanya
dapat berlangsung dapat berbentuk posteriori. Suatu pengujian konkrit
tidak mungkin dilaksanakan secara a priori mengingat untuk pengujian
harus dipersyaratkan bahwa suatu ketentuan norma hukum harus sudah
berlaku terlebih dahulu. Lagipula, secara logis dipahami bahwa suatu
pengujian yang bersifat a priori, daya jangkau wewenang tidak dapat
didesentralisasikan karena ketentuan UU yang bersangkutan belum
diundangkan. Serupa dengan hal itu, meskipun pengujian demikian dapat
saja dibayangkan berlangsung secara terdesentralisasi namun secara ilmiah
tidak dapat dipertanggungjawabkan mengingat kesulitan dalam praksisnya.
Oleh sebab itu, dalam hal CR memberikan perkenan kepada para hakim
untuk membatalkan suatu UU dalam mekanisme pengujian abstrak karena
inkonstitusional dan dilaksanakan secara terdesentralisasi, bukan saja akan
menyebabkan ketidakpastian hukum secara luar biasa, akan tetapi hakim
di lingkungan pengadilan dengan tingkatan yang lebih rendah akan
menjadi sangat berkuasa dan memberikan kesempatan kepada hakim
tingkatan atas untuk membatalkan melalui mekanisme banding guna
memberikan kepastian hukum terhadap sistem hukum yang ada.
Dengan demikian, ada 4 kombinasi bentuk-bentuk CR yang secara
teknis tidak dapat direkomendasikan yaitu (i) concrete centralized a
posteriori; (ii) concrete decentralized a posteriori; (iii)
abstract
centralized a priori, dan (iv) abstract centralized a posteriori. Secara
visual kombinasi keempat bentuk CR ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
commit to user
154
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2
Kombinasi Bentuk-Bentuk Kewenangan Constitutional Review
Concrete
Jurisdiction/Timing
A priori
Abstract
A
A priori
A posteriori
Yes
Yes
Yes
Yes
Not
Not
possible
recommended
posteriori
Centralized
Not
Possible
Decentralized
Not
Possible
Sumber: Julio Ríos Figueroa, “Institutions for Constitutional Justice in Latin
America”, dalam Gretchen Helmke dan Julio Ríos Figueroa (eds.), 2007, Courts
in Latin America, New York: Cambridge University Press, hlm. 37.
Efek putusan diantara keempat bentuk CR tersebut juga dapat
berlangsung dalam bermacam-macam cara dengan akses yang tidak sama
satu dengan yang lain. Terkait dengan optik “effect” dan “acsess” maka “it
is also possible to identify some combinations that are either logically
impossible or unappealing for practical reasons.”549 Untuk bentuk CR
yang pertama yaitu pengujian yang bersifat “concrete-centralized-a
posteriori”, dikenal dengan antara lain dengan istilah “amparo” (Spanyol),
“Verfassungsbeschwerde” (Jerman), atau “controversia constitucional”
(Meksiko). Putusan perkara dalam bentuk ini dapat bersifat “erga omnes”
(mengikat umum) atau “inter partes” (hanya mengikat para pihak). Akses
terhadap bentuk CR ini dapat terbuka bagi seluruh warga negara atau
hanya terbatas kepada badan-badan publik tertentu.550
Untuk bentuk CR yang bersifat “concrete-decentralized-a
posteriori” dalam praktik dikenal antara lain dengan istilah “amparo”
(Meksiko), “mandado de segurança” (Brasil), dan “habeas corpus” (yang
lazim dipraktikkan di negara-negara Anglo-Saxon). Oleh karena bentuk ini
549
Julio Ríos Figueroa, op.cit., hlm. 21.
Julio Rios-Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice in Latin
America”, Prepared for the Conference
JudicialtoPolitics
commit
user in Latin America, CIDE, March 4‐8
2009, hlm. 10.
550
155
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lazimnya dapat dilaksanakan dengan mengajukan permohonan kepada
hakim dalam tingkatan pengadilan yang lebih rendah, maka sifat putusan
pada umumnya adalah “inter partes.” Jika kemudian diajukan banding
kepada pengadilan yang lebih tinggi atau diajukan ke pengadilan
konstitusi, maka barulah sifat putusan menjadi “erga omnes.” Bentuk CR
ini mengurangi terjadi pelanggaran HAM yang bersifat individual, oleh
karena itu, pada umumnya akses untuk menggunakan instrumen ini
dibatasi sedemikian rupa.
Sementara itu, bentuk CR yang bersifat “abstract-centralized-a
priori”, populer di Dewan Konstitusi Prancis. Pada hakekatnya, putusan
pengujian bersifat “erga omnes” karena berurusan dengan kualitas proses
pembentukan legislasi. Pengujian ini tidak membuka akses kepada setiap
warganegara, karena yang menjadi subyek pemohon hanyalah para pihak
yang terlibat dalam proses pembentukan legislasi tersebut, dalam konteks
ini adalah (anggota) Parlemen dan pejabat eksekutif. Karakter pengujian
“a priori” merujuk kepada situasi “inherently even more 'political' than
constitutional control of a law which is already in force because it
intervenes right after the adoption of a law, when political debate is still
'hot' and when the opposition sees its last hope in an annulations of the
law by the constitutional court.”551 Keuntungan yang segera dipetik
dengan pengujian ini adalah “that an unconstitutional law never enters
into force, thus avoiding its possible negative impact on society.”552 Pada
sisi lain, “a priori control is by definition abstract and cannot take into
account the application of the law.”553 Padahal, di dalam praktik yang
lazim terjadi adalah “often the negative consequences of legislation only
become apparent in practice–through a possibly unconstitutional
Schnutz Rudolf Dürr, “Comparative Overview of European Systems of
Constitutional Justice”, ICL Journal, Vol. 5, 2011, hlm. 167.
551
552
Ibid.
553
Ibid.
commit to user
156
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
application of the law by the ordinary courts.”554 Oleh sebab itu,
pengujian “a priori”
biasanya “certainly useful in the process of
ratification of international treaties. Once a treaty is ratified, the State is
bound by it and if the constitutional court discovers its unconstitutionality
only later, the State is in the embarrassing situation that it can no longer
apply in national law the treaty to which it is bound by under international
law.”555 Oleh sebab itu, beberapa negara seperti Armenia, Austria, dan
Spanyol, memberikan kewenangan pengujian “treaty” kepada MK.
Akhirnya, bentuk pengujian “abstract-centralized-a posteriori”,
pada intinya menyatakan tidak berlaku (deleting) suatu norma hukum atau
bagian ketentuan dari kodifikasi dan kemungkinan bahwa efek dari
putusan tersebut hanyalah mengikat bagi para pihak yang mengajukan
permohonan. Akses terhadap permohonan pengujian ini dapat diajukan
oleh setiap warganegara atau pada badan hukum publik tertentu.
Uraian mengenai akses dan efek putusan dari setiap bentuk CR
secara sederhana dapat divisualisasikan ke dalam tabel berikut ini.
Tabel 3
Akses dan Efek Putusan Constitutional Review
Bentuk CR
Concrete-
Akses
Efek Putusan
Open
Restricted
Erga Omnes
Inter Pares
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
direkomendasika
direkomendasi
centralized-a
posteriori
Concrete
- Ya
decentralized‐a
554
Ibid.
555
Ibid.
commit to user
157
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
posteriori
n
Abstract-
Dikenal di Ya
centralized-a priori
Prancis
Abstract-
Ya
kan
Ya
Tidak
terlaksana
Ya
Ya
Tidak
centralized-a
Catatan: “Tidak Mungkin Terlaksana” mengandung arti secara logis, kombinasi
bentuk pengujian CR tidak dapat diterima baik secara teoritis maupun praktis,
sementara “Tidak direkomendasikan” mengandung arti bahwa kombinasi bentuk
CR tersebut dapat memungkinkan diatur, namun dalam praktik ada kemungkinankemungkinan untuk berlangsung tidak logis.
Sumber: Julio Ríos Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice
in Latin America”, Prepared for the Conference Judicial Politics in Latin
America, CIDE, March 4‐8 2009, hlm. 18.
Perlu
diketahui
bahwa
bentuk-bentuk
CR
tersebut
akan
berpengaruh di dalam perilaku pengadilan (judicial behavior) dalam
penyelesaian perselisihan konstitusi. Bentuk “abstract-centralized-a
posteriori” yang dirintis oleh Hans Kelsen “has been considered the most
‘political’ tool that judges possess by some scholars because it directly
implies legislating albeit in a ‘negative’ way.”556
Konsep pengujian
abstrak ini berbasis pemikiran bahwa “that state authorities (the Head of
State, Government, Parliament itself, but often also parliamentary
minorities) are empowered to request the control of the constitutionality of
a law in the absence of a specific case of the application of this law.”557
Kritik yang disampaikan terhadap pengujian abstrak adalah “sometimes
criticised for allowing judges to exercise legislative power, because they
could foreclose policy initiatives by Parliament.”558 Sebagai contoh adalah
MK Federal Jerman.
Dalam hal ini, “the Constitutional Court is
sometimes called upon by the opposition to review the constitutionality of
Stone Sweet 2000, op.cit., hlm. 142.
557
Schnutz Rudolf Dürr, op.cit., hlm. 165. Baca juga: Alec Stone Sweet, 'The Politics
of Constitutional Review in France and Europe', ICON, Vol. 5, 2007, hlm. 123.
558
Ibid.
mungkint
erlaksana
posteriori
556
Mungkin
commit to user
158
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laws, even if there the adopted law is most likely in conformity with the
Constitution. This may be part the political agenda of the opposition
requesting effectively to settle policy disputes.”559
Walaupun demikian, dapat dikatakan bahwa “this is not a good
instrument for judges to enforce rights, because it is too rough a tool that
forces constitutional judges to decide whether a law or a part of it violates
a constitutional right, when answers to those kinds of questions usually
require contextual arguments for which ‘concrete’ instruments are better
suited.”560 Gagasan seperti ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh
Rosenberg dengan mengatakan “since judges are gradualists, litigation for
significant social reform must take place step-by-step, small changes must
be argued before big ones.”561
Oleh sebab itu, ada pandangan yang mengatakan bahwa “abstractcentralized-a posteriori” ideal untuk instrument penyelesaian konflik
politik, di mana badan-badan publik menjadi salah satu pihak. Hal ini
seperti yang terjadi di Meksiko, di mana “the Supreme Court has been
arbitrating partisan conflicts and leveling the playing field by nullifying
biased state electoral laws.”562 Disertasi dengan karakter “acsess
restricted”, bentuk ini “four make it good for settling political disputes but
not that good for enforcing rights, while instruments that are ‘concrete’
are better for enforcing rights.”563
Untuk bentuk pengujian konkrit, terdapat 2 instrumen yang
digunakan
yaitu
“centralized”
dan
“decentralized.”
Rosenberg
menegaskan bahwa dalam rangka penegakan hak-hak asasi, maka lebih
baik melalui pengujian dengan “concrete-decentralized” sebagaimana
559
Ibid., hlm. 167.
Julio Rios-Figueroa, “The Institutional Setting for Constitutional Justice in Latin
America”, op.cit., hlm. 10.
560
561
Rosenberg 1991, 31
562
Ibid.
563
Ibid.
commit to user
159
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Amerika.564
model
Namun,
bentuk
“Constitutional
Complaint”
sebagaimana dipraktikkan di Spanyol dan Jerman misalnya, sesungguhnya
merupakan bentuk dari pengujian “concrete-decentralized” tadi.565
Perlu juga dicatat bahwa pengujian “decentralized” pada
umumnya disertai dengan akses yang bersifat umum (tanpa pembatasan),
sementara karakter pengujian “centralized” sifat aksesnya dapat terbuka
maupun dengan pembatasan tertentu. Sifat terbuka tersebut, sebagaimana
umum disampaikan oleh para pakar, ditentukan untuk lebih mendorong
pengadilan bersifat aktif dalam rangka mempertahankan hak-hak asasi.
Sifat terbuka (open acsess) dalam doktrin hukum (perdata) dikenal sebagai
prinsip “actio popularis.” Dalam hal ini, “actio popularis” merupakan
instrumen yang “which gives any person the right to request the abstract
review of a law without any personal interest.”566 Jika instrumen ini dianut
oleh
suatu
pengadilan
konstitusi,
maka
konsekuensinya
akan
menyebabkan “clog down a constitutional court, making it unable to take
up within reasonable time really pressing issues, including human rights
cases.”567 Seperti kesaksian ketua MK Kroasia yang pernah menyatakan
fenomena luar biasa di mana “that a single person had made some 800
applications to Court, causing considerable disruption of the work of the
Court.”568 Seperti disampaikan dalam uraian sebelumnya, bentuk CR yang
berkarakter “concrete- decentralized-a posteriori” merupakan pilihan yang
paling baik untuk melindungi hak-hak asasi, namun secara praksis dapat
saja menimbulkan pertanyaan empiris, khususnya apabila suatu perkara
bersifat lintas negara yang membutuhkan pendekatan perbandingan
564
Rosenberg, loc.cit.
565
Baca diskusi lebih lanjut dalam Stone Sweet 2000, hlm. 104-127.
Schnutz Rudolf Dürr, “Comparative Overview of European Systems of
Constitutional Justice”, ICL Journal, Vol. 5, 2011, hlm. 166.
566
567
Ibid.
568
Ibid.
commit to user
160
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum, dan suatu karakteristik dianggap lebih penting dibandingkan
dengan yang lain.
Perhatian kepada perilaku pengadilan (judicial behavior) dalam
peradilan konstitusi, menurut Rosenberg, merupakan suatu penanda yang
mudah untuk dijumpai mengingat “that the more rights are specified in
the Constitution, the more likely judges will enforce some of them.”569
Seperti ditunjukkan dengan kinerja MK Kolumbia, yang “has been so
active in rights enforcement is the more extensive catalogue of rights
included in the 1991 Constitution as compared to the previous
Constitution.”570 Secara umum, seperti dikemukakan oleh Siri Gloppen
bahwa “rights are now incorporated into the legal frameworks of most
countries, either in national constitutions, or in the form of human rights
provisions in customary international law and legally binding treaties.”571
Oleh sebab itu, dalam ketatanegaraan kontemporer, “it wouldn’t be
difficult for judges to find valid legal sources to sustain their rightsenforcement behavior, although the legitimacy of that move certainly
varies across countries.”572 Para ahli juga mengemukakan bahwa
andaikata pengadilan diberi wewenang untuk memeriksa perkara, tentu
saja mereka akan lebih suka perkara yang mengandung unsur penegakan
hak-hak asasi. Sebagai contoh, ketentuan mengenai “prerogative”
pengadilan ini dijumpai antara lain dalam Konstitusi Meksiko. Oleh sebab
itu, MA secara aktif menyukai menangani perkara-perkara yang
berhubungan dengan hak asasi. Ketentuan serupa, walaupun samar-samar,
dijumpai dalam konstitusi Argentina.573
569
Rosenberg 1991, op.cit., hlm. 11.
570
Julio RiosFigueroa, op.cit., hlm. 12.
571
Gloppen 2006, 40.
572
Ibid.
573
Julio Rios‐Figueroa, loc.cit.
commit to user
161
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Akses Individual
Di sini disoroti secara khusus mengenai akses individual
(individual acsess) berkaitan dengan CR. Dalam hal ini, akses individual
tersebut mencakup pengertian sebagai “the various different mechanisms
that enable violations of individuals’ constitutionally guaranteed rights,
either separately or jointly with others, to be brought before a
constitutional court or equivalent body.”574 Akses tersebut meliputi 2
macam bentuk yaitu akses langsung (direct acsess) dan akses tidak
langsung (indirect acsess). Dalam hal ini, “Direct access refers to the
variety of legal means through which an individual can personally petition
the Constitutional Court i.e., without the intervention of a third party.”575
Sedangkan,”Indirect access refers to mechanisms through which
individual questions reach the Constitutional Court for adjudication via
an intermediary body.”576
Banyak pakar yang mengemukakan bahwa keberadaan suatu
konstitusi merupakan prasyarat untuk pelembagaan CR. Dalam kerangka
akses individu terhadap pengadilan konstitusi, pernyataan itu berarti
bahwa tanpa adanya ketentuan tertulis dalam konstitusi yang mengatur
secara khusus, maka tidak ada kemungkinan baik bagi Parlemen maupun
pengadilan, untuk membedakan hukum dengan persoalan konstitusi, serta
pengujian mengenai hal terakhir dalam suatu standar tertentu dengan
pilihan untuk membatalkan suatu ketentuan UU. Bagaimanapun, terdapat
suatu negara yang tidak mempunyai konstitusi—dalam pengertian
dokumen hukum tertulis—tetapi dianggap mempunyai konsttiusi tidak
tertulis atau memberlakukan kebiasaan ketatanegaraan sebagai patokan
dalam rangka menguji perjanjian internasional (treaty) dan hukum
kebiasaan internasional (international customary law). Inggris merupakan
contoh negara yang tidak mempunyai hierarki formal yang berpuncak
574
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 7.
575
Ibid.
576
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
162
digilib.uns.ac.id
kepada konstitusi. Sebagai konsekeunsinya tidak ada kekuatan untuk
menguji atau menilai kesesuaian UU dengan konstitusi. Walaupun
demikian tidak berarti CR tidak dikenal di Inggris. Mekanisme CR
dilaksanakan dalam 2 cara yaitu “first by reference to European Union law
as the UK courts are required to review the compatibility of UK
legislation with EU law and, where it is incompatible, disapply UK law;
and secondly, since the introduction of the UK Human Rights Act 1998, a
review power was introduced enabling its higher courts to examine the
compatibility of UK legislation with those human rights protected by the
European Convention on Human Rights 1950.”577 Di dalam praktik, “The
control of legislation based on the Human Rights Act extends to the
devolved legislatures in Scotland, Wales and Northern Ireland. In the case
of these legislatures, legislation that is incompatible with a Convention
right may be held to be ultra vires, outside the competence of the
legislature in question.”578 Namun demikian, “the Human Rights Act 1998
has to a certain degree been given supra-legislative value, as courts are
required to assess the compatibility of provisions in question with the
European Convention on Human Rights and make a declaration of
incompatibility.”579 Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa “Judicial
protection of fundamental rights is gaining importance in the UK and the
court’s declaration of incompatibility can have a persuasive effect on the
Parliament whose formal sovereignty is remains unchallenged through
this system.” Dapat dikemukakan juga bahwa “legality review (review of
individual and general administrative acts in relation to Acts of
Parliament including fundamental rights) has been taking more and more
space since the 1940s and the common law system provides a number of
principles, some of which might be considered as part of ‘unwritten
577
Ibid., hlm. 8.
578
Ibid.
Lihat dalam: http://www.opsi.gov.uk/acts/acts1998/ukpga_19980042_en_1#pb2commit to user
l1g3, diakses 25 Juni 2012, Pukul 02.20 WIB.
579
163
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
constitutional
law’”.580
Dalam
rujukan
beberapa
kasus
terakhir,
“constitutional review provided by the 1998 Act enables the courts to
declare ordinary UK laws incompatible with protected human rights;
albeit they remain law and the UK Parliament is left with the choice
whether to amend or repeal the specific law.”581 Inggris juga
mengembangkan kaidah hukum administrasi melalui “applies to all forms
of executive decision, including secondary legislation, and this system now
includes enforcement of the duty to protect Convention rights.”582
Terhadap pengadilan konstitusi, akses individu ini pada dasarnya
berhubungan khusus dengan masalah HAM. Sehubungan dengan masalah
ini, dapat dilihat sebagaimana juga ketentuan Konstitusi Prancis (1791)
yang mensyaratkan bahwa “the constitutional texts must necessarily
articulate, either as part of the text or as an appendix, a number of defined
human rights.”583 Walaupun demikian, ada saja negara yang dalam
ketentuan konstitusinya sama sekali tidak mengatur mengenai akses
individu ini antara lain Algeria, Maroko, Belanda, dan Tunisia. Negara
Prancis layak dimasukkan pula dalam kategori ini sekalipun desain CR
dikenal dalam konstitusi (1958). Hanya saja dengan Perubahan Konstitusi
(2008) ketentuan Pasal 61 ayat (1) yang membuka akses individu di
hadapan pengadilan umum untuk mempertanyakan konstitusionalitas UU
dalam batas-batas pemenuhan hak-hak konstitusionalnya.584 Oleh karena
akses individual “predominately serves the function of protecting an
individual’s fundamental rights and, as these rights–with the exception of
political rights (e.g. right to vote)-and sometimes also social rights (e.g.
right to social security) are usually conferred upon citizens and non580
Ibid.
Lihat: D. Fontana, “Secondary Constitutional Review: American Lessons from the
New
British
System
of
Constitutional
Review”,
dalam
http://www.allacademic.com/meta/p178285_index.html, diakses 25 Juni 2012, Pukul 02.21 WIB.
581
582
Ibid.
583
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 9.
584
Ibid., hlm. 15.
commit to user
164
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
citizens alike, individual access provisions typically concern all members
of society.”585 Dalam praktik di Rusia, konstitusi menentukan bahwa setiap
warganegara (citizenship) menjadi subyek permohonan CR di MK, akan
tetapi pengadilan kemudian memperluas penafsiran dengan mencakup juga
warganegara asing dan orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan
(stateless person).
Di dalam praktik, akses individu yang bersifat langsung (direct
individual accses) terhadap pengadilan konstitusi untuk “abstract review”
meliputi 3 bentuk yaitu (i) actio popularis; (ii) individual suggestion; (iii)
quasi of actio popularis. Sementara itu, dalam “concrete review” akses
tersebut mencakup 3 bentuk yaitu (i) normative constitutional complaint;
(ii) constitutional petition; dan (iii) full constitutional complaint.
Selanjutnya, untuk akses tidak langsung, mencakup 3 bentuk yaitu (i)
preliminary ruling procedures; (ii) Ombudsperson; dan (iii) badan-badan
tertentu lainnya. Berikut ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk akses
individu tersebut.
(a)
Actio Popularis
Bentuk akses ini “implies that every person is entitled to take
action against a normative act after its enactment, without needing to
prove that he or she is currently and directly affected by the
provision.”586 Menurut Kelsen, actio popularis dimaksudkan sebagai
“broadest guarantee of a comprehensive constitutional review, as any
individual may petition to the constitutional court” yang
“fulfilling
every citizen’s duty as a guardian of the constitution” dan tidak
membutuhkan “a victim of a violation of their fundamental rights.”587
Ketentuan mengenai actio popularis ini dipraktikkan antara lain di
585
Ibid., hlm. 16.
586
Ibid., hlm. 21.
Lihat dalam: A. van Aaken, “Making International Human Rights Protection More
Effective: A Rational-Choice Approach to the Effectiveness of Ius Standi Provisions”, Preprints of
the Max Planck Institute for Research oncommit
Collective
to Goods
user Bonn, No. 16, 2005, Bonn, 2005, hlm.
14
587
165
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara Liechtenstein, Chile, Malta, Peru, Kroasia, Georgia, Hungaria,
dan
Yugoslavia.
Di
Israel,
bentuk
ini
dilaksanakan
dengan
mempersyaratkan "public petitioners", di mana sejumlah orang dapat
mengajukan secara bersama-sama bahwa suatu UU telah melanggar
HAM ke MA.
(b) Individual Suggestion
Dalam suatu “abstract review” individu selaku pemohon
dimungkinkan untuk melakukan “individual suggestion” dalam batasbatas kebebasan bertindak dari MK. Dalam mekanisme ini, “Individuals
may approach the constitutional court in a direct manner, suggesting that
the court review the constitutionality of a normative act.”588 Namun
demikian, “the individual cannot insist that the constitutional court
commences proceedings.”589 Beberapa negara antara lain Polandia,
Hongaria, dan Albania, membuka kemungkinan untuk mekansime
tersebut dalam perkara-perkara tertentu. Di Montenegro dan Serbia,
apabila permintaan untuk menguji itu ditolak, maka harus diikuti dengan
pemeriksaan pendahuluan dan diberikan alasan-alasan yang jelas.
(c) Quasi Actio Popularis
Bentuk “quasi actio popularis” merupakan bentuk diantara
“abstract action popularis” dengan “normative constitutional complaint.”
Kewenangan untuk pelaksanaan “quasi actio popularis” ini dibatasi dan
menghindari kepentingan yang sama dengan “actio popularis”, dengan
cara mempersyaratkan secara tegas bahwa seorang individu mempunyai
kepentingan hukum terhadap norma-norma yang berlaku umum.
Mekanisme ini relatif mirip dengan “normative constitutional complaint”,
kecuali sehubungan dengan syarat bahwa “an applicant does not need to
be directly affected” dan yang dibutuhkan hanyalah syarat bahwa “the
legal provision interferes with their rights, legal interests or legal
588
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 21.
589
Ibid.
commit to user
166
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
position.”590 Bentuk ini dilaksanakan antara lain pada pengadilan
konstitusi di Yunani.
(d)
Normative Constitutional Complaint
Menurut Alec Stone Sweet, “Protection of constitutional rights
has been characterized as a main basis of legitimacy of constitutional
adjudication.”591 Dalam konteks ini, Constitutional Complaint merupakan
“a tool for the constitutional court for scrutinizes the activities of public
authorities and redress infringement upon constitutionality guaranteed of
rights of individuals.”592 Sebagai suatu akses terhadap pengadilan
konstitusi, Constitutional Complaint sering dianggap sebagai “access to
individual with grievances against the state to the Constitutional Court
and allowing the latter to engange in adjudication of rights alters the
traditional balances of power between the constitutional court and
parliaments and significantly influences relation between ordinary and
constitutional court.”593 Meskipun demikian, “mechanism of the
Constitutional Complaint generates tension in relation between the
constitutional court and the public authorities the act of which are subject
to constitutional control”, akan tetapi mekanisme ini telah “demonstrated
to be a valuable addition to the centralized model of judicial review and
the divice that significantly enhances the potential of the constitutional
court to contribute to the effective protection of fimdamental rights.”594
Setiap individu dapat mengajukan gugatan sehubungan dengan
pelanggaran hak-hak fundamental yang didasarkan kepada berlakunya
590
Ibid., hlm. 22.
Alec Stone Sweet, “Politic of Constitutional Review of Legislation in France and
Europe”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 5, 2007, hlm. 85.
591
592
Lihat: Herman Schwartz, The Strunggle for the Constitutional Justice, op.cit., hlm.
45-35.
593
Lech Garliki, “Constitutional Court Vs. Supreme Court”, International Journal of
Constitutional Law, Vol. 5, 2007, hlm. 44.
594
Ibid.
commit to user
167
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suatu ketentuan normatif UU. Oleh sebab itu, dikaitkan dengan pengujian,
maka mekanisme ini memerlukan konteks dalam perkara tertentu (a
specific case). Di dalam sistem yang menyediakan “normative
constitutional complaint”, setiap tindakan individu tidak dapat disangkal
sebelum diputus oleh MK, dan pengujian itu sama sekali tidak
berhubungan dengan aspek keberlakuan suatu norma dalam UU.595
Mekanisme
ini
dipertimbangkan
sehubungan
dengan
efektifitas
perlindungan hak-hak fundamental karena keberlakuan suatu norma dalam
UU. Bentuk “normative constitutional complaint” (yang acapkali
diberlakukan bersama-sama dengan jenis-jenis “complaint” lainnya) antara
lain dilaksakan di Armenia, Austria, Belgia, Georgia, Hongaria, Polandia,
Latvia, Luxembourg, Rusia,
dan Romania.596 Suatu mekanisme yang
terbatas dilaksanakan di Estonia, di mana atas resolusi Parlemen dan
keputusan Presiden dapat dimintakan pengujian.597 Konstitusi Rusia
memperkenankan setiap individu yang merasa hak-hak dan kebebasan
fundamentalnya dilanggar atas suatu UU yang berlaku atau direncanakan
berlaku, dapat mengajukan gugatan ke MK.598 Mekanisme yang dianut
oleh Dewan Konstitusi Prancis, dalam suatu pengujian abstrak, amat dekat
dengan “normative constitutional complaint” ini. Jika suatu rancangan UU
yang disetujui Parlemen ditolak oleh Dewan Konstitusi, maka otomatis
tindakan-tindakan yang berdasarkan RUU yang bersangkutan hilang dari
tata hukum Prancis.599
(e) Constitutional Petition
Di Ukraina, apabila setiap individu menilai bahwa hak-hak
fundamentalnya dilanggar atas suatu ketentuan UU, dapat mengajukan ke
M.-Fr. Rigaux, “Introduction of a Constitutional Review of Laws: Benefit, Purpose
and Modalities”, Report for the Seminar on Constitutional Jurisdiction, Ramallah, 2008, hlm. 4.
595
596
Ibid., hlm. 7.
597
Ibid.
598
Ibid., hlm. 8.
599
Ibid., hlm. 9.
commit to user
168
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MK untuk memeriksa penafsiran atas konstitusionalitas UU tersebut. Titik
tolak mekanisme ini adalah penafsiran ketentuan UU dan tidak pada suatu
konstitusionalitas tindakan individu. Oleh sebab itu, “the constitutional
petition materially fulfils the function of a normative constitutional
complaint.”600
(f) Full Constitutional Complaint
Secara teoritis, mekanisme “full constitutional complaint”
dianggap sebagai mekanisme yang paling sempurna untuk akses individu
terhadap MK dan pernyataan perlindungan hak-hak fundamental. Setiap
individu, apabila sudah menempuh upaya hukum yang tersedia, tetap
berpeluang untuk “complain against any act by the public authorities
which violates directly and currently their fundamental rights.”601 Dalam
hal ini, “an individual may challenge a general act if it is directly
applicable on them, or challenge an individual act addressed to them.”602
Mekanisme
“full
constitutional
complaint”
antara
lain
dipraktikkan di negara Afrika Selatan, Albania, Andorra, Armenia,
Austria, Azerbaijan, Belgium, Bosnia dan Herzegovina, Jerman, Kroatia,
Cyprus603, Republik Ceko, Georgia, Latvia, Liechtenstein, Malta,
Montenegro, Polandia, Serbia, Slovenia, Spanyol604, Swiss, bekas
Yugoslavia, dan Slovenia. Variasi lain dari mekanisme ini adalah
600
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 22.
601
Ibid., hlm. 23.
602
Ibid.
603
Ketentuan di Cyprus menurut penulis termasuk unik. Seseorang yang akan
mengajukan gugatan atas tindakan administrative yang merugikan hak-hak fundamentalnya, harus
mempunyai kepentingan (interest) yang relevan. Yang dimaksud dengan “kepentingan” di sini
harus dapat dibuktikan atas dasar kerugian finansial dan alamiah, jadi berbeda dengan makna
“kepentingan” pada gugatan konstitusional pada umumnya.
604
Mekanisme ini dikenal dengan istilah “amparo” yang merupakan upaya terakhir
yang dilakukan oleh individu di MK. Perlu diketahui, bahwa praktik ini tidak sama dengan
mekanisme serupa yang mempersyaratkan keterkaitan dengan perkara konkrit untuk dipertahankan
di pengadilan umum—yang juga dikenal sebagai “amparo”—sebagaimana dipraktikkan di negara
Amerika Latin (Chile, Peru, Argentina, dan Meksiko). Reformasi peraturan di tahun 2007 di
Spanyol, mempersyaratkan hal baru commit
untuk mengajukan
gugatan yaitu ada kepentingan
to user
konstitusional yang relevan.
169
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“constitutional revision” di mana individu dapat mengajukan gugatan ke
MK yang dapat menguji putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum lainnya, akan tetapi tidak dapat menguji keputusan tata usaha
negara. Mekanisme ini dikenal di Albania, Bosnia dan Herzegovina, Chile,
dan Malta. Sebaliknya, di Austria, hanya keputusan tata usaha negara dan
putusan the Asyllum Court yang dapat dimohonkan pengujian ke MK,
tidak untuk perkara pidana dan perdata.605
(g)
Preliminary Ruling Procedures
Bentuk “preliminary rulling procedures” merupakan bentuk
yang paling umum dijumpai dalam pembahasan mengenai akses
individu yang bersifat tidak langsung terhadap pengadilan konstitusi. Ia
merupakan semacam “pemeriksaan pendahuluan” yang terjadi pada saat
pengadilan (umum) mempunyai keragu-raguan terhadap ketentuan UU
yang diterapkan dalam suatu perkara konkrit, maka hakim dapat terlebih
dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan konstitusi untuk
menguji UU tersebut. Keuntungan dari bentuk akses ini adalah para
hakim di lingkungan peradilan umum dapat memperoleh informasi
secara baik dan menentukan hukum yang valid terhadap konstitusi.
Selanjutnya, “preliminary ruling procedures complement the abstract
consideration of any provision, as they facilitate review arising from
concrete situations in which a provision is applied or should be
applied.”606 Selanjutnya, ada 2 lagi keuntungan bentuk ini bagi sistem
pengadilan tertentu.
First, the effectiveness of preliminary ruling
procedures heavily relies on the capacity and
willingness of ordinary judges to identify potentially
unconstitutional normative acts and to submit
preliminary questions to the constitutional court.
Secondly, it relies, to a lesser extent, on individuals
using the procedure.607
605
Gagik Harutyunyan, et.al., op.cit., hlm. 23.
606
Ibid., hlm. 17.
607
Ibid.
commit to user
170
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hampir di semua negara Eropa menerapkan “preliminary
rulling procedures”, kecuali Polandia dan Swiss. Di Lituania,
“preliminary rulling procedures” menjadi satu-satunya bentuk akses
individual ke MK. Di Belarusia, dalam pemeriksaan suatu perkara,
“preliminary rulling procedures” menjadi satu-satunya bentuk akses
individu kepada MK, dan menjadi bagian dari petisi yang diajukan ke
berbagai lembaga negara. Sementara itu, “In states with diffuse
constitutional review systems, preliminary questions are however
relatively uncommon due to the competence that ordinary courts have to
assess the constitutionality, or otherwise, of an applicable act.”608 Di
banyak negara yang lain seperti Albania, Algeria, Andorra, Armenia,
Belgia, Bulgaria, Kroatia, Republik Ceko, Prancis, Hongaria, Lithuania,
Moldova, Polandia, Slovakia, Spanyol, Turki, dan Ukraina para pihak
yang beracara di muka pengadilan umum, dianjurkan terlebih dahulu
untuk mengajukan “preliminary rulling procedures” ke pengadilan
konstitusi. Oleh karena bersifat anjuran, maka pengadilan konstitusi
dapat menerima atau menolak permohonan tersebut.
Variasi lain dari bentuk akses individu ini adalah “exception of
unconstitutionality”, di mana dalam suatu pemeriksaan perkara konkrit
tertentu, para pihak mengajukan keragu-raguan konstitusionalitas suatu
UU yang diterapkan kepada hakim untuk menghentikan pemeriksaan
dan menunggu putusan pengadilan konstitusi mengenai hal ini. Hakim
yang bersangkutan mempunyai kekuasaan untuk memeriksa permohonan
itu dan kemudian mengabulkan atau menolaknya. Penolakan hanya
diperkenankan jika ada alasan-alasan yang sungguh-sungguh tidak
terelakkan seperti misalnya substansi eksepsi yang tidak beralasan. Tipe
akses ini diterapkan di Albania, Chile, Hungary, Italia, Luxembourg,
Malta, Portugal, San Marino, dan Yunani.
608
Ibid.
commit to user
Di Afrika Selatan,
171
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permohonan banding ke MK hanya boleh diajukan menurut syarat-syarat
yang dintentukan oleh mahkamah, melalui suatu pernyataan bahwa suatu
UU bersifat invalid oleh MK dan segala kasus yang identik harus
merujuk kepada putusan tersebut.
Pelaksanaan “exception of unconstitutionality” akan menjadi
akses individu yang efektif apabila pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum mengajukan “preelimanary rulling procedures” seperti
terjadi di Romania dan Slovenia. Di negara seperti Albania, Andorra,
Armenia, Austria, Belgia, Belarusia, Bosnia-Herzegovina, Kroasia,
Republik Ceko, Georgia, Hongaria, Italia, Liechtenstein, Lithuania,
Luxembourg Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia, Romania, Rusia,
Spanyol, “The former Yugoslav Republic of Macedonia”, Turki dan
Ukraina, semua pengadilan di lingkungan peradilan umum mempunyai
kapasitas untuk mengajukan permohonan pemeriksaan konstitusionalitas
UU kepada MK. Sebaliknya pada negara tertentu seperti Austria
(concerning laws), Azerbaijan, Belarusia, Bulgaria, Latvia, Moldova,
dan Yunani; diatur bahwa hanya pengadilan tertinggi yang boleh
mengajukan pemeriksaan konstitusionalitas ke MK. Di Cyprus, hanya
pengadilan dengan yurisdiksi perkara-perkara hukum keluarga yang
boleh mengajukan pemeriksaan ke MK. Di Prancis, para hakim (umum)
yang
menerima
permohonan
untuk
mengajukan
pemeriksaan
konstitusionalitas suatu UU, harus terlebih dahulu menyampaikan
kepada MA, dan jika disetujui, maka permohonan itu diteruskan untuk
diperiksa oleh Dewan Konstitusi.
(h)
Ombudsperson
Dewasa ini banyak negara yang sudah memiliki Ombdusman, baik
dengan watak sebagai komisi, mediator, maupun parliamentary, yang
pada umumnya diseleksi dengan keterlibatan Parlemen. Para anggota
Ombudsman bersifat independen dan tidak memihak. Di negara tertentu,
mereka menjadi pembela HAM (human rights defenders) dan
to user
menyelidiki jika terjadi commit
pelanggaran
HAM. Ada negara yang mengatur
172
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa Ombudsman tidak dapat mengajukan permohonan ke MK dan
hanya memberikan laporan kepada Parlemen, namun diatur dalam
ketentuan konstitusi dan menjadi fasilitator jika terjadi sengketa antara
badan-badan publik dengan individu seperti di Korea Selatan, Lithuania,
dan Yunani.
609
Di Prancis dan Inggris, sekalipun Ombudsman
mempunyai kapasitas untuk melindungi hak-hak individu, akan tetapi
tidak dapat beracara di pengadilan. Ombdusman di Prancis (Médiateur
de la République) mempunyai kewenangan untuk memeriksa setiap
badan publik termasuk pengadilan.
Pada negara yang melaksanakan CR dengan sistem “diffuse
review”,
Ombdusman
mempunyai
kapasitas
untuk
beracara
di
pengadilan, tetapi tidak di MA seperti Ombdusman di Finlandia.
Kemudian, sejak tahun 2009, Brazil menyusun UU yang memungkinkan
badan-badan publik yang membela kepentingan masyarakat menjadi
pihak di pengadilan. Di negara yang menganut “concentrated review”,
Ombudman mempunyai kewenangan untuk menjadi pemohon di MK,
tanpa harus mempunyai kasus konkrit terlebih dahulu. Hal ini
dilaksanakan di
Kroatia, Estonia, Montenegro, Portugal, Slovenia,
Spanyol, dan “the former Yugoslav Republic of Macedonia.”
Di Azerbaijan, Peruvia, dan Ukrainia setiap anggota Ombudsman
“have the power to initiate review of a normative act in relation to a
concrete case with which the ombudsperson is currently dealing.”610
Kekuasaan serupa dilaksanakan di Austria, sekalipun dibatasi terhadap
keputusan-keputusan tata usaha negara. Di Afrika Selatan, “the Public
Protector may approach the Constitutional Court or other courts to fulfil
their mandate to protect the public against unlawful state action, but
may not investigate court decisions.”611
609
Ibid., hlm. 19.
610
Ibid.
611
Ibid.
commit to user
173
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kadang-kadang
Ombudsman
menjadi
pihak
turut
serta
(intervention) karena keahlian mereka untuk mempertinggi kualitas
petisi yang diajukan oleh individu, seperti di Bosnia dan Herzegovina,
Latvia, Rusia, dan Slovenia. Di Spanyol, intervensi Ombudsman
terhadap “amparo” terbukti secara efektif telah membantu pemohon,
termasuk dalam proses pengujian. Sebaliknya, di Slowakia, setiap
anggota Ombudsman dapat terlibat dalam proses petisia, namun dilarang
menjadi pihak untuk menjalankan inisiatif permohonan. Chile dan
Uruguay merupakan contoh negara di kawasan Amerika Latin yang
tidak mempunyai Ombudsman, tetapi belakangan—seperti di Chile—
ada usulan perubahan UUD, yang memuat 3 ketentuan baru untuk
pembentukan “Defensor del Pueblo.” Di Israel tidak terdapat
Ombudsman,
namun
setiap
orang
dapat
mengajukan
hak
konstitusionalnya di MA.
(i)
Badan Publik yang Lain
Di sejumlah negara, Kejaksaan Agung selaku lembaga yang
menjalankan penuntutan perkara, dapat menjadi pemohon di MK (seperti
di Armenia612 dan Azarbaijan613). Lembaga lain, seperti anggota
Parlemen, Presiden, dan Perdana Menteri dapat menjadi pemohon di MK
(Albania, Andorra, Armenia, Austria, Belgia, Kroatia, Republik Ceko,
Prancis, Portugal, Polandia, Latvia, Spanyol, Moldova, Romania, Rusia,
Turki, dan Ukraina).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya di beberapa
negara yang tidak mempunyai pengaturan mengenai akses individu
terhadap pengujian UU atau keputusan tata usaha negara di pengadilan
konstitusi (Algeria, Tunisia, dan Maroko). Sistem pengujian yang dianut
akan menentukan jenis akses individu, yaitu akses langsung (direct
accsess) dan akses tidak langsung (indirect accsess). Banyak juga negara
yang menggabungkan ke dua jenis akses tersebut dalam pengaturannya.
612
Pasal 130 Konstitusi.
613
Pasal 150 Konstitusi.
commit to user
174
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Komposisi, Rekrutmen, dan Masa Jabatan Hakim
Penyelesaian sengketa yang tidak tuntas dan kemampuannya
dalam melindungi hak-hak individu akan efektif apabila hakim tidak
tunduk kepada eksekutif dan legislatif. Sehubungan dengan hal ini, maka
cara
rekrutmen
yang
partisan
tidak
direkomendasikan.
Dengan
mempertimbangkan pentingnya hakim dipilih secara langsung, maka
secara praktis, “that the simplest way to appoint impartial constitutional
judges is to select them by a supermajority of the parliament.”
614
Dalam
cara seleksi ini, maka “selection requires wide consensus between the
representatives of voters, it would provide an important guarantee that the
interests of the minority of voters would be respected.”615 Bahkan, “the
smaller the involvement of the executive branch of government in the
appointment of judges, the more independent the court is.”616
Masalah seleksi hakim yang melibatkan Parlemen amat terkait
dengan pemahaman mengenai teori pemisahan kekuasaan. Bagaimanakah
hubungan antara partai politik terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan
independensi pengadilan? Teori pemisahan kekuasaan mengatakan bahwa
partai politik yang memerintah mempunyai sedikit pengaruh terhadap
hakim, apabila terjadi devided government, yaitu pada saat Presiden tidak
mempunyai dukungan mayoritas di Parlemen.617 Namun penelitian yang
dilakukan oleh menyimpulkan bahwa “that political parties can exert
strong leverage on judges, even under divided government, if opposition
parties can form a legislative coalition to control the reappointment of
these judges”, sehingga “that judicial independence is constrained when
D.C. Mueller, 1991, “Constitutional Rights”, Journal of Law, Economics and
Organisation, Vol. 7, 1991, hlm. 313.
614
615
Ibid., hlm. 314.
616
Ibid., hlm. 323.
Rebecca Bill Chavez, “The
Evolution
of Judicial Autonomy in Argentina”, Journal
commit
to user
of Politics, Vol. 36, 2004, hlm. 451.
617
175
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
judges have short terms and are re-appointed by congress, irrespective of
whether the government is divided or unified.”618
Dalam artikelnya, Jun-inchi Satoh619, “... the Court has rarely
exerted this power to strike down government legislation or acts.
This reluctance is in part due to the very short tenures of the judges
on the Court.” Akibat dari hal tersebut, maka, “Since the creation of
the Court under Japan’s 1946 Constitution (the “Constitution”), there
have in fact been sixteen different Chief Justices.” Dari pendapat itu,
menunjukkan bahwa ada keterkaitan jarangnya judicial activism untuk
melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) atas UU
dengan masa jabatan yang relatif pendek pada hakim di MA Jepang.
Menurut ketentuan Pasal 79 Konstitusi Jepang, “The Supreme Court shall
consist of a Chief Judge and such number of judges as may be determined
by law; all such judges excepting the Chief Judge shall be appointed by
the Cabinet. The appointment of the judges of the Supreme Court shall be
reviewed by the people at the first general election of members of the
House
of Representatives following their appointment, and shall be
reviewed again at the first general election of members of the House of
Representatives after a lapse of ten years, and in the same manner
thereafter.” Menurut ketentuan tersebut, MA meliputi seorang Ketua
(Chief Justice) dan sejumlah hakim agung menurut aturan yang ditetapkan
oleh Undang-Undang. Pencalonan hakim agung, kecuali Ketua, dilakukan
oleh Kabinet. Pemilihan hakim agung dilakukan seiring dengan pemilihan
umum tingkat pertama bagi anggota House of Representative dan dapat
dipilih lagi pada pemilihan umum berikutnya setelah 10 tahun dan pada
waktu lain yang ditentukan.
Dalam praktiknya, MA meliputi 1 (satu) orang Ketua dan 14
hakim agung anggota. Kaisar mengangkat Ketua menurut usul Kabinet
618
Jeffrey A. Segal, “Separation-of-Powers Games in the Positive Theory of Congress
and Courts”, American Political Science Review, Vol. 91, 1997, hlm. 28-44.
619
Op.cit., hlm. 603.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
176
digilib.uns.ac.id
(Pasal 6 Konstitusi Jepang). Dari komposisi hakim agung itu, 3 (tiga)
kelompok dipilih dari kalangan profesi hukum (advokad, jaksa, dan
hakim). Walaupun tidak ada ketentuan khusus, namun praktik sejak 1970an, 6 (enam) orang dipilih dari kalangan hakim, 4 (empat) orang dari
kalangan advokat, dan 2 (dua) orang dari kalangan penuntut umum.
Belakangan MA juga merekrut hakim agung dari kalangan akademisi,
mantan diplomat, dan mantan menteri untuk memperluas basis
pengetahuan hukum. Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya MA
mempunyai seorang hakim agung perempuan. Untuk selanjutnya,
Mahkamah Agung mempunyai 3 (tiga) orang hakim agung perempuan,
yang umumnya adalah mantan Menteri Tenaga Kerja atau mantan Menteri
Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Sosial. Para hakim agung
bertugas hingga usia 70 tahun.620
Berdasarkan ketentuan rekrutmen hakim agung di Jepang di atas,
maka mekanismenya membutuhkan dukungan politik, khususnya dari
partai yang memerintah. Dengan kondisi demikian, amat memungkinkan
bahwa rekrutmen hakim agung dapat diintervensi oleh kepentingan politik.
Padahal, secara umum penunjukkan maupun promosi hakim agung dapat
menjadi tolok ukur seberapa jauh independensi kekuasaan kehakiman,
yang merupakan nilai universal, karena pada tingkat teknis penunjukkan
maupun promosi hakim (agung) membuka celang bagi intervensi terhadap
badan peradilan.621
Dalam pandangan Md. Hussein Mollah, “Independent judiciary is
the sin qua non-of a democratic government.”622 Hal ini karena,
“Independence of judiciary truly means that the judges are in a position to
render justice in accordance with their oath of office and only in
620
Akiko Ejima, “Enigmatig Attitude of the Supreme Court of Japan towards Foreign
Precendents”, Paper for the Workshop 12 of the EightWorld Conggrss, London, 2008, hlm. 6.
R. Andrew Hanssen, “The Effect of Judicial Institution on Uncertainty and the Rate
of Litigation: Election versus Appointment of Stategas Judges”, The Journal of Legal Studies, Vol.
XXVIII, Januari, 1999, hlm. 211.
621
Md. Hossein Mollah, “Separation
Judiciary and Judicial Independence in
commit to of
user
Bangladesh”, Journal Comparative Law Studies, Vol. 7, 2006, hlm. 445.
622
perpustakaan.uns.ac.id
177
digilib.uns.ac.id
accordance with their own sense of justice without submitting to any kind
of pressure or influence be it from executive or legislative or from the
parties themselves or from the superiors and colleagues.”623 Selanjutnya
dikatakan bahwa, “Independence of judiciary depends on some certain
conditions like mode of appointment of the judges, security of their tenure
in the office and adequate remuneration and privileges.”624 Untuk
mewujudkan hal ini, maka separasi kekuasaan peradilan menjadi penting
untuk dilakukan. Dalam hal ini, “The concept of separation of the
judiciary from the executive refers to a situation in which the judicial
branch of government acts as its own body frees from intervention and
influences from the other branches of government particularly the
executive.”625 Lebih lanjut dikatakan bahwa, “Complete separation is
relatively unheard or outside of theory, meaning no judiciary is completely
severed from the administrative and legislative bodies because this
reduces the potency of checks and balances and creates inefficient
communication between organs of the state.”626 Hal ini mengkonfirmasi
pandangan L.P. Thean yang mengatakan bahwa “That the most common
and most discussed feature of judicial independence is from governmental
or executive intereference.”627
Namun demikian, “there is no single model of judicial
independence or generally accepted set of institutions or best practices, at
leastnone articulated with sufficient specificity to be useful for
reformers.”628 Bagaimanapun, “Judicial independence is a multifaceted
concept.”629 Hal ini disebabkan karena:630
623
Ibid.
624
Ibid., hlm. 447.
625
Ibid.
626
Ibid.
L.P. Thean, “Judicial Independence and Effevtivenes”, Sourtern California Law
Review, No. 72, 1999, hlm. 535.
627
commit
to user
Asian Development Bank,
“Judicial
Independence Overview and Country-level
Summaries,”(2003),
hlm.
2,
dalam
628
178
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
The most basic form of judicial independence,
decisional independence, refers to the ability of
judges to decide cases independently in accordance
with law and without (undue, inappropriate, or
illegal) interference from other parties or entities.
One prerequisite for decisional independence is that
judges enjoy personal independence, which requires
that their terms of office be reasonably secure;
appointments and promotions should be elatively
depoliticized; judges should be provided an
adequate salary and should notbe dismissed or have
their salaries reduced as long as they are
performing adequately; transfers and promotions
should be fair and according to preestablished
rules; and judges should be assigned cases in an
impartial manner.
Secara umum, tradisi hukum Anglo-Saxon menetapkan bahwa
hanya mereka yang telah mempunyai rekam jejak panjang dalam profesi
hukum yang dapat dipilih sebagai hakim. Mereka dipilih dari orang-orang
yang cakap hasil didikan perguruan tinggi. Ini yang dikatakan sebagai the
professional model corresponding.631 Namun dalam tradisi civil law, yang
dikenal sebagai beurocratic model corresponding, hakim adalah aparatur
negara, yang mengalami pendidikan khusus setelah menyelesaikan
pendidikan universitas.632
www.adb.org/Documents/Events/2003/RETA5987/Final_Overview_Report.pdf., diakses 27 Maret
2011.
629
Randall Peerenboom, “Judicial Independence in China Common Myths and
Unfounded Assumptions”, Journal International Law Studies, Vol. 17, 2009, hlm. 71.
630
Ibid.
631
In common law, only experienced practitioners may become judges. It has a system
of training based primarily on scholarly knowledge, with universities as the main providers
for future judges’ education. Lihat: D. Woodhouse, “The Law and Politics: More Power to the
Judge – and to the People?”, Parliamentary Affairs,Vol. 54, 2001, hlm. 223–237.
632
In civil law tradition, judges are trained in special schools after a
recruitment conducted amongst university graduates. But the training is strictly separated
between the legal actors who will be on the side of the parties, defending or not, and the legal
actor who will be on the side of thestate – the judge. Furthermore, the judge is effectively a civil
servant: they are there to serve the state, and ultimately the social structure, in accordance with
their curia regis origin. The judge in civil law does not appear to be a totem similar to that
commit
to user
found in common law. The only connection
between
the different actors of the legal team in the
case of civil law is that of education. But the way the career of judges is organised (shaped by the
179
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil studi David S. Law menunjukkan bagaimana berkuasanya
seorang Ketua MA di Jepang. Bagaimanapun, “if he can attain the
position of Chief Justice, he will enjoy influence over both the behavior
and the composition of the Court.”633 Bentuk pengaruh Ketua Mahkamah
Agung terutama adalah dalam menentukan seleksi hakim, termasuk hakim
agung, berikut juga masalah proses pensiunnya, yang semuanya
berlangsung tidak jelas dan penuh kerahasiaan. Pencalonan seorang hakim
agung dilakukan oleh Perdana Menteri, yang pada gilirannya amat
ditentukan oleh saran Ketua MA. Jika ada jabatan hakim agung yang
lowong, maka Ketua “submits to the Prime Minister a list of candidates
containing from one to three names. No Prime Minister in recent memory
is known to have rejected the Chief Justice’s recommendations
outright.”634
Pengaruh
besar
Ketua
akan
melembaga
mengingat
“vacancies occur much more frequently in Japan than in the United States
owing to a combination of factors—namely, the relatively high number of
seats, the statutorily imposed mandatory retirement age of seventy, and the
practice of appointing justices in their mid-sixties.”
Di Israel, komposisi MA mencerminkan watak yang menunjukkan
adanya persaingan ideologis “between
the
liberal
tradition,
both
Central-European and Anglo-American, and a very different, EastEuropean
political
style, which
the judges observed in other
governmental institutions, a style which had distinct antiliberal
elements.”635 Hakim Agung diseleksi oleh suatu komisi yang susunannya
meliputi 3 Hakim Agung, 2 wakil organisasi advokad, 2 anggota
civil service structure, itself conditioned by the weight of the authority and symbolism of “public
power”) creates a flow through the system, between “lower-level (young) judges” and
“higher-level (older) judges”. Lihat dalam David Marrani, “Confronting the symbolic position
of the judge in western European Legal Traditions: A comparative Essay”, European Journal of
Legal Studies,Vol. 3, 2010, hlm. 60.
633
Op.cit., hlm. 1550.
634
Ibid.
Eli M. Salzberger, “Judicial
Activism
in Israel”, Electronic copy available at:
commit
to user
http://ssrn.com/abstract=984918, hlm. 22.
635
180
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kabinet/menteri, dan 2 anggota parlemen (Knesset).636 Perempuan Hakim
Agung untuk pertama kalinya diangkat pada 1977 dan jumlahnya terus
bertambah, dan dewasa ini mencapai jumlah separuh dari susunan majelis,
termasuk Ketua MA, Dorit Beinish. Keanggotaan 3 Hakim Agung yang
dominan memberikan warna ideologis pada MA. Mereka cenderung
mempunyai karakter nilai liberal dibandingkan pemerintah maupun
parlemen. Pada praktiknya, untuk isu publik yang dominan seperti
perdamaian, keamanan, dan hak asasi manusia, MA berwatak kiri
dibandingkan cabang kekuasaan lain. Untuk isu moralitas dan hubungan
negara dan agama, MA lebih kanan dibandingkan cabang kekuasaan lain.
Di bawah pemerintahan Partai Buruh (yang berhalauan sosialis dan
berkuasa hampir 30 tahun sampai tahun 1977), Mahkamah Agung lebih
berwatak liberal, tetapi dewasa ini, karena sifat pemerintahannya yang
liberal, “the Court is slowly shifting left to represent a more social
justice orientated stanc.”637 Pada kondisi ideologis itu, maka putusan MA
“not only in terms of ethnic, gender and religion, but also in terms of
values and
ideologies,
is a separate cultural system and
thus
membership of the Court is exclusive to those who subscribe themselves
to liberal values. The commitment to this value system, according to
Mautner, ought to be a precondition for appointment.”638
Dalam kasus MA Singapura, Konstitusi menyebutkan bahwa
watak independensi kekuasaan peradilan adalah adanya masa jabatan
hakim. Para hakim agung hanya boleh diajukan dalam satu kali masa
jabatan dan resmi berhenti ketika mencapai 65 tahun.639 Hakim agung
hanya dapat diberhentikan oleh Presiden Singapura setelah memperoleh
Dengan komposisi itu, maka “despite political input of the two Knesset
members (traditionally one from the opposition) and two ministers, there is a majority of 5
to 4 of non-politicians and it gives the three Supreme Court judges an advantage as the largest
group in the committee.” Ibid., hlm. 23.
636
637
Ibid., hlm. 26.
638
Ibid., hlm. 27.
639
Pasal 98 ayat (1) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
commit to user
181
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rekomendasi dari sebuah majelis khusus yang dibentuk untuk memeriksa
alasan-alasan pemberhentian dan majelis itu meliputi sebanyak-banyaknya
5 orang atau diambil dari mereka yang pernah menjabat hakim agung.640
Diatur juga bahwa renumerasi selama memangku jabatan hakim agung
tidak boleh lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaan mereka
sebelumnya.641 Tetapi pengaturan dalam Konstitusi Singapura segera
menunjukkan bahwa bentuk murni dari pemisahan peradilan tidak dapat
dilaksanakan secara riil.642
Pada MK di Eropa, “They provide long terms, but rarely permit
reappointment. So, basically, a judge will serve for ten years, nine years,
seven years,some relatively longish term and then leave the court”, kata
John E. Ferejohn.643 Contohnya, “In Bulgaria,Romania, Lithuania, and
Hungary justices are elected for nine years, in Albania for two years, in
Belarus for eleven years, in the Czech Republic and Ukraine for ten years,
and in Slovakia for seven years; in Poland, the tenure of justices was
eightyears, and was extended by the 1997 Constitution to nine years.”644
Akibat pola yang memerlukan dukungan politik ini, maka:645
[T]o get appointed to the German Federal
Constitutional Court, a prospective justice must
garner the votes of two thirds majorities in
bothchambers of parliament (Bundestag and
Bundesrat). Thus, all the major political formations
must agree on a new appointment. As a result,
640
Pasal 98 ayat (3)-ayat (5) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
641
Pasal 98 ayat (8) Konstitusi Singapura (1999 Revision).
642
Hal ini dapat dibaca antara lain dalam Pasal 95 Konstitusi yang mengatakan bahwa
hakim agung ditetapkan oleh Presiden menurut pertimbangan Perdana Menteri. Pasal 23 mengatur
bahwa penyelenggaraan wewenang eksekutif adalah Presiden menurut aturan yang ditetapkan
dalam konstitusi atau oleh Kabinet atau menteri-menteri sebagai bagian dari Kabinet. Komposisi
pengaturan rekrutmen yang segera kental dengan aroma peran eksekutif ini oleh L.P. Thean bahwa
judicial independence from the executive does not lie solely in the provisions of the Constitution,
but also in the complex mix political, economic, and other forces acting on the executive.” Lihat
L.P. Thean, op,cit., hlm. 558.
643
Ibid.
644
Ibid.
645
Ibid., hlm. 58.
commit to user
182
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nearly all of the constitutional judges tend to have
moderate judicial viewpoints.
Menurut Veli-Pekka Hautamäki, dalam kasus Jerman dan Prancis,
kenampakkan nilai-nilai politik dalam peran yang dilakukan oleh
Pengadilan Konstitusi menjadi sesuatu yang lumrah, sepanjang masyarakat
menerimanya sebagai ancangan pilihan karena ketidakmapuan parlemen
dalam merealisasikan demokrasi. Dikatakan bahwa:
[P]eople accept the political role of the courts,
because there has been ‘chronic impotence’ in the
actions of parliaments to realise democracy. In
Germany and France, so it became clear, political
attitudes affect the choice of judges morethan their
competence in the field of law does, although the
latter is still an important factor.646
Di Norwegia, tidak ada ketentuan pasti mengenai jumlah hakim
agung pada Mahkamah Agung ((Høyesterett), tetapi biasanya tidak lebih
dari 20 orang dan dipilih oleh Menteri Kehakiman. Tetapi hal ini tidak
menjadi indikator pelabelan politik kepada MA ((Høyesterett), tetapi
karena “that the Høyesterett also has a political function, because both
law and politics belong to the role which the Høyesterett has as a ‘creator
of law’ or as a ‘negative legislator.’647.
Politisasi rekrutmen hakim agung juga terjadi di negara Amerika
Latin seperti Argentina. Dengan mengadopsi model Amerika Serikat,
dewasa ini Argentina menghadapi tantangan dalam reformasi peradilan
dan sedang proses dalam tahapan dari masa “complicity in state terrorism”
menuju “the service of a democratic system.” Menurut Alberto M. Binder,
“[After] removal of judges who were compromised by their association
with the military regime and the reinstatement of those illegally removed
during the dictatorship...howeverafter 20 years of democracy, the process
646
Veli-Pekka Hautamäki, op.cit., hlm. 6.
647
Ibid., hlm. 9.
commit to user
183
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
of naming judges is still subject to political pressure.”648 Persoalan serupa
nyaris melanda sistem peradilan di negara-negara Amerika Latin. Hal ini
seperti diungkapkan oleh Peter Hakim and Abraham Lowenthal sebagai
berikut:649
Legislatures and judicial systems in much of Latin
America still lack autonomy, stature, resources and
competence needed to carry out all of their
constitutional functions fully. Courts are
overburdened and their proceedings, both criminal
and civil, are routinely delayed for years. Judges
are, for the most part, poorly trained and paid,
and
they
lack
the funding
to conduct
investigations and administer justice effectively.
In many places, judicial decisions are heavily
influenced by political considerations, intimidation
or outright corruption.
Problematika di Amerika Latin itu disebabkan karena:650
Since the colonial period, Latin American judiciaries have
been compromised in many instances by their lack of
independence from other branches of the governmentparticularly the executive in interpreting the law. Another
debilitating factor is the fact that civil law judicial systems do
not have to recognize that a court ruling in one case creates a
precedent that is applicable also in subsequent legal cases.
Di Bangladesh, sejak berdiri sebagai Negara tahun 1972,
rekrutmen hakim di MA, juga pejabat publik bidang hukum lain,
dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh Presiden.651 Dalam
aturan konstitusi semenjak awal sudah mengabaikan peran Ketua
Mahkamah Agung dalam rekrutmen para hakim. Lebih-lebih mengingat
Presiden sebagai kepala negara, maka tidak mungkin kekuasaan Presiden
Alberto M. Binder, dalam Peter Dazo dan Juan Enrique Vagas, “Judicial Reform in
Latin America: An Assesment”, Policy Papers on the Americas Volume XVII, Study 2, September
2006, CSIS, hlm. 3.
648
649
Peter Hakim dan Abraham Lowenthal, "Latin America's Fragile Democracies,"
Journal of Democracy,1991, hlm. 22.
650
William Ratliff dan Edgardo Buscaglia, op.cit., hlm. 64.
651
Pasal 115 Konstitusi Bangladesh.
commit to user
184
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu dijalankan tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Perdana
Menteri sebagai kepala pemerintahan. Dengan demikian, ada dominasi
eksekutif dalam proses pengangkatan hakim di Bangladesh.652
Dalam
negara
yang
mengenal
pengujian
konstitusional
(constitutional review) dengan model Austria, salah satu indikator
independensinya adalah sehubungan dengan komposisi para hakim. Di
kawasan Eropa Tengah dan Timur, yang mana pasca runtuhnya
pemerintahan komunis setiap negara mempunyai Mahkamah Konstitusi,
juga tidak mempunyai pola yang seragam dalam pengisian jabatan hakim
konstitusi. Sekurang-kurangnya ada 3 model rekrutmen. Pertama, model
split, artinya melibatkan beberapa organ dengan pelaksanaan yang terpisah
satu sama lain, yang umumnya adalah Presiden, Parlemen, dan badan
peradilan yang tertinggi. Sistem ini dipraktikkan di Bulgaria, Moldova,
Romania, Serbia, dan Ukraina. Menurut Wojciech Sadurski:653
This system has its advantages (it prevents a
domination of any single political viewpoint in the
Court) but also its drawbacks: the judges may
maintain loyalties to the organ that appointed them,
and this results not only in a political dependence
but also in a fragmentation of the Court.
Di Rumania, untuk menghindari kelemahan itu, Ketua Parlemen,
Senat, dan Presiden, mengganti seorang hakim setiap 3 tahun. Tetapi
upaya ini juga tidak menghindarkan politisasi, karena tidak ada ketentuan
yang menetapkan sifat memaksa mekanisme ini. Lagipula, calon yang
diajukan ketiga badan itu selalu merupakan kalangan politisi. Demikian
juga di Ukraina, saat terjadi krisis politik 2007-2008, dominasi partai
politik Presiden menjadikan Mahkamah Konsitusi berwajah dua: sebagian
hakimnya Presiden dan sebagian lagi hakimnya Perdana Menteri.654
652
Md. Awal Hossain Mollah, op.cit., hlm. 458.
653
Wojciech Sadurski, “Twenty Years After the Transition: Constitutional Review in
Central
and
Eastern
Europe”,
diakses
dari
Electronic
copy available
at:
http://ssrn.com/abstract=1437843, hlm. 4-5.
commit to user
654
Ibid., hlm. 5.
185
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedua, model “collaborative”, karena “it requires cooperation
between two branches of the government: the President and the
legislative.”655 Sistem ini dipraktiikan di Albania, Republik Ceko,
Slovakia, Slovenia dan Russia. Model ini mempunyai kelemahan di mana
“there is no good collaboration between the President and the
parliamentary majority, there may be a standstill in the process of
appointing new judges.”656
Ketiga, model di mana rekrutmen sepenuhnya menjadi urusan
parlemen dengan suara terbanyak mutlak seperti di Hongaria, atau dengan
suara terbanyak sederhana, seperti Polandia dan Kroasia. Praktik di
Polandia menunjukkan mekanisme ini mempunyai aroma politik yang
tinggi sekalipun dimungkinkan bahwa akan diperoleh kandidat yang
mempunyai daya dukung besar. Tetapi, dengan model parlementer, partai
yang menguasai kursi akan terus menerus mengontrol para hakim,
sementara partai oposisi—sekalipun mempunyai hak untuk mengajukan
kandididat—tetap tidak akan bisa memperoleh dukungan besar. Selama
kurun waktu 1989-2002, dari 29 calon hakim kosntitusi, sebanyak 27
hakim terpilih karena faktor mayoritas parlemen.657 Kenyataan ini
menunjukkan bahwa, “it became increasingly apparent that each change
of political configuration of the parliament will be reflected in future
appointments.”658 Dengan demikian, di Polandia, komposisi parlemen
(Majelis Rendah) akan menunjukkan wajah Mahkamah Konstitusi. Di
Hongaria, dengan suara terbanyak sekalipun, tidak akan menyelesaikan
masalah karena justru memancing polarasasi politik dengan kompromis
yang tinggi untuk menyetujui pencalonan hakim.
655
Ibid.
656
Ibid.
657
Marek Safjan, “Politics and Constitutional Courts: A Judge‟s Personal Perspective”,
EUI
Department
of
Law
Working
Paper
no
2000/10,
available
at
http://cadmus.iue.it/dspace/bitstream/1814/8101/1/LAW-2008-10.pdf, at 17-18.
658
Ibid.
commit to user
186
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keadaan
rekrutmen
hakim
konstitusi
di
kawasan
ini,
mencerminkan keadaan sebagai berikut.659
A common feature of all the appointment processes is
their insufficient transparency and publicity. The
general public is neither informed about the
nominations nor particularly concerned about them.
Partially, this might be due to a lack of
understanding of the role of the Courts. They are
often being perceived as yet another “ordinary”
court; hence there is not expectation that the
appointment procedure should be publicly debated.
However, this practice seems to undergo a change
due to some highly controversial cases that bring the
Courts and their members into the centre of public
attention as well as due to the increasingly proactive
role assumed by the media and non-governmental
organisations.
Kebanyakan mengenal masa jabatan tertentu untuk hakim
konstitusi antara 6-9 tahun, dengan variasi untuk dapat dipilih kembali
seperti di Korea Selatan, Mongolia, dan Indonesia atau tidak dapat dipilih
kembali seperti di Taiwan dan Thailand660 serta kemungkinan dapat
dipecatnya hakim oleh politisi. Misalnya di Thailand, menurut Konstitusi
1997, sejumlah anggota parlemen atau 50.000 pemilih dapat mengajukan
permohonan kepada Senat untuk melakukan impeachment terhadap
anggota MK.661 Dalam Konstitusi 2007, jumlah pemilih yang dapat
mengajukan permohonan dikurangi menjadi 20.000 pemilih. Di Mongolia,
659
Wojciech Sadurski, op.cit., hlm. 38.
660
Sebanyak 15 konstitusi yang diberlakukan dalam rentang 1932-1991, selalu
mencantumkan mengenai Constitutional Tribunal yang mampu untuk melakukan pengujian
konstitusional terhadap produk legislatif dan keputusan pemerintah. Pada keberlakuan Konstitusi
1997, dicantumkan adanya Mahkamah Konstitusi yang independen. Ketika terjadi kudeta milite
rmelawan Perdana Menteri Thaksin Shinawarta (19 September 2006), Konstitusi 1997 dicabut dan
digantikan oleh Konstitusi Sementara 2006 yang mempertahankan keberadaan Mahkamah
Konstitusi. Kemudian dengan Konstitusi 2007, kembali diatur mengenai Mahkamah Konstitusi
yang independen, bahkan dengan kewenangan yang meluas untuk menangani persoalan
Constitutional Complaint dan memungkinkan keterlibatan Senat dalam rekrutmen hakim
konstitusi.
commit to user
661
Aurel Croissant, op.cit., hlm. 4.
187
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
parlemen
dapat
menolak
putusan
MK
yang
menyatakan
inkonstitusionalitas Undang-Undang.
Di Taiwan, wewenang mengisi jabatan Grand Justice melekat
pada Presiden, yang mulai tahun 2005, pengisian itu harus memperoleh
persetujuan Majelis Nasional.662 Sementara itu, Konstitusi 1997 Thailand
mengatur sebanyak 7 hakim konstitusi diplih dari lingkungan badan
peradilan, sementara 8 yang lain (5 orang ahli hukum dan 3 orang ilmuwan
politik) diseleksi tersendiri oleh Senat.663 Menurut Konstitusi 2007,
sebanyak 5 orang diajukan oleh badan peradilan sedangkan 4 orang hakim
lainnya dipilih dalam seleksi yang diadakan oleh pengadilan dan
Parlemen.
Sebelum
diangkat
oleh
Raja,
harus
terlebih
dahulu
diberitahukan kepada Senat.664
Korea Selatan dan Indonesia melibatkan ketiga cabang kekusaan
dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi. Susunan organisasi MK
meliputi 9 orang hakim. Untuk dapat dinominasikan sebagai hakim,
masing-masing harus terkualifikasi sebagai hakim dan memahami
persoalan hukum. Proses pengangkatan hakim melibatkan Presiden,
Majelis Nasional, dan MA, yang masing-masing dari institusi itu
mencalonkan 3 orang hakim.665 Masa jabatan seorang hakim konstitusi
adalah 9 tahun dan sesudah itu tidak dapat dipilih kembali. Selanjutnya,
Ketua MK diangkat oleh Presiden setelah memperoleh konfirmasi dari
Majelis Nasional.
662
Namun, mengingat Presiden adalah Ketua Partai yang menguasai mayoritas
parlemen, maka kontrol demikian menjadi tidak efektif. Aurel Croissant, ibid.
Menurut J.R.Klein, “the rule that nominees must receive the votes of threefourth of the committee enabled the four government representatives on the committee to
effectively veto those candidates of whom the government disapproved.” Lihat dalam J.R.
Klein (2003) „The Battle for Rule of Law in Thailand. The Constitutional Court of Thailand‟,
dalam
www.cdi.anu.edu.au/CDIwebsite_19982004/thailand/thailand_download/Thaiupadate_Klien_Con
Court%20April, 2003, diakses 12 Maret 2011.
663
664
Pasal 204-206 Konstitusi 2007 Thailand.
665
Konstitusi Korea Selatan Pasal 111 ayat (2), (3), dan (4).
commit to user
188
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masih ada perselisihan berapa sesungguhnya jumlah hakim yang
ideal dalam pengadilan konstitusi. Apabila jumlah hakim tidak banyak,
maka memungkinkan CR relatif “inexpensive.” Bagaimanapun,”a small
number of judges will increase the probability that each judge may cast
the decisive vote in reaching a judicial decision and may restrict the views
put forward to resolve a dispute, risking the quality of judicial rulings.”666
Pada sudut yang ekstrem, masa jabatan hakim di MA Amerika
Serikat misalnya, dapat ditunjuk sebagai ciri yang paling independen dari
para hakim. Sebaliknya, para hakim yang mempunyai masa jabatan
tertentu,
akan
mempunyai
sedikit
independensi,
apalagi
jika
mempertimbangkan posisi yang bersangkutan untuk pencalonan untuk
masa jabatan berikutnya.Jadi, masa jabatan hakim akan berpengaruh
terhadap tingkat independensinya. Perlu dicatat juga bahwa hakim akan
menikmati kebebasan jika masa jabatan terpisah dari periodisasi pemilihan
umum. Derajat independensi akan semaking tinggi, jika pemerintah tak
mempunyai wewenang untuk mengurangi hak keuangan dan anggaran
para hakim.
Dalam pemahaman Tom Ginsburg, masa jabatan hakim yang
dapat dipilih kembali dapat mengurangi tingkat independensi peradilan.
Oleh karena itu ia mengusulkan agar seorang hakim menduduki
jabatannya untuk satu periode saja.667 Karena ada kecenderungan negatif
seperti dipaparkan Tom Ginsburg tersebut, maka jabatan seorang hakim
konstitusi di Prancis dan Italia dibatasi hanya untuk sekali 9 tahun, Jerman
dan Spanyol satu kali 12 tahun. Sementara itu di kawasan Amerika Latin,
diatur ketentuan secara berbeda-beda. Di Bolivia 10 tahun dan tidak dapat
dipilih kembali, Chile 8 tahun dan dapat dipilih kembali, Kolumbia 8
G. Tridimas, G, “A Political Economy Perspective of Judicial Review in the
European Union. Judicial Appointments Rule, Accessibility and Jurisdiction of the European
Court of Justice, European Journal of Law and Economics, 2004, Vol. 18, hlm. 99-110.
666
“…the possibility of reappointment has the potential to reduce judicial
independence, as judges late in their terms who seek to remain in office must be sensitive to the
political interest of those bodies that commit
will reappoint
them…” Lihat: Tom Ginsburg, Judicial
to user
Review ini New Democracies, op.cit., hlm. 47.
667
189
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tahun dan tidak dapat dipilih kembali, Ekuador 4 tahun dan dapat dipilih
kembali, serta Guetamala 5 tahun dan dapat dipilih kembali.
Komposisi hakim amat penting untuk amatan terhadap
pengambilan
keputusan.
Secara
tradisional,
Gibson
et.
al668,
memformulasikan pengambilan keputusan hakim sebagai “are a function
of what theyprefer to do, tempered by what they think they ought to do, but
constrained by what they perceive is feasible to do.” Di Amerika Serikat,
model pengambilan keputusan oleh MA telah menarik perhatian ilmuwan
politik “since the early twentieth century.”669 Dalam perkembangan
selanjutnya, persepsi pengambilan keputusan (decision making) para
hakim lazim didekati dengan sudut pandang struktur hukum sebagai model
analisis (legal model) dengan memperhatikan bagaimanakah ketentuan
hukum acara dipatuhi dalam kerangka suatu putusan. Kelahiran aliran
legal realism pada awal tahun 1920-an mengubah persepsi ini, karena
pandangan selanjutnya nampak menyadari bahwa dalam mengambil
keputusan, latar belakang pribadi dan preferensi ideologi menjadi faktor
penting yang berpengaruh.670 Sesudah itu semakin berkembanglah studi
mengenai sistem pengambilan keputusan pengadilan yang melahirkan
bermacam-macam model pendekatan dan semakin memperluas sudut
pandang teoritis mengenai hal ini. Diskursus para hakim dalam mengambil
keputusan dan sikapnya secara individual, yang ditunjang dengan akses
informasi yang tersedia luas, akan mendorong akuntabilitas hakim dalam
merumuskan argumentasinya. Tetapi dalam kasus tertentu, seperti MA Uni
Eropa, yang merahasiakan pengambilan keputusannya, juga mempunyai
keuntungan tertentu jika berhadapan dengan kekuasaan pengadilan
668
James L. Gibson, et.al., “The Supreme Court and the U.S. Presidential Election of
2000: Wounds, Self-Inflicted or Otherwise?”, British Journal of Political Science, Vol. 33, 2003,
hlm. 535.
669
Nancy Maveety, 2003, The Pioneers of Judicial Behavior, Michigan, University of
Michigan Press, hlm. 2.
Jeffrey A. Segal and Harold
J. Spaeth,
commit
to 2002,
user The Supreme Court and the Attitudinal
Model Revisited., New York, Cambridge University Press, hlm. 110-111.
670
190
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
domestik.671 Berbeda dengan MA Amerika Serikat, perbedaan pendapat
diantara para hakim tidak boleh dibuka. Hal ini sebagai jaminan untuk
mencegah penarikan posisi hakim seandainya suatu negara menjadi pihak
dalam perkaran dan dinyatakan kalah.
Di
Jerman
juga
berkembang
kajian
mengenai
sistem
pengambilan keputusan pada MK, akan tetapi berbeda dengan di Amerika
Serikat yang meyakini adanya faktor nonlegal dalam pertimbangan para
hakim, di sini “constitutional jurisdiction is the decision of a dispute by
means and with the methods of law not political judgment.”672 Demikian
pula dengan tradisi pada umumnya di Eropa bahwa studi semacam itu
“has long associated itself with a descriptive picture of judicial decisionmaking, depicting judges as both neutral and benevolent actors.”673
Kajian bagaimana komposisi suara para hakim, sebagai salah
satu simbol transparansi, merupakan salah satu kajian lapangan sosiologi
hukum. Beberapa kajian dalam bidang ini menunjukkan bahwa secara
umum afiliasi kepada sebuah partai politik tidak mempunyai pengaruh
terhadap sikap hakim MK Federal dalam mengambik keputusan.
Beruntung juga bahwa hampir 20 tahun terakhir para pakar ilmu politik
mulai tertarik dalam studi pengambilan keputusan di MK Federal. Sebagai
konsekuensinya, maka gaya studi pengambilan keputusan juga mulai
berubah. Sebagai contoh, keputusan mengambil salah satu metode
penafsiran konstitusi sudah lama menjadi keyakinan bahwa hal itu
mencerminkan bagaimana putusan akan diformulasikan. Keyakinan itu
belakangan sudah mulai ditolak karena tidak mencerminkan realitas mikro
yang sesungguhnya.
671
G.Tridimas, “Judges and Taxes: Judicial Review, Judicial Independence and The
Size of Government”, Constitutional Political Economy,Vol. 16, 2005, hlm. 30.
672
Ossenbühl . 1998, Law and Courts: Newsletter of the Law and Courts Section of the
American Political Science Association, No. 4, hlm. 6-8.
Dyevre, “Making Sense of Judicial Lawmaking: A Theory of Theories of
Adjudication”,
EUI
Working
Papers,
MWP
2008/09.
Diambil
dari
http://cadmus.eui.eu/dspace/bitstream/1814/8510/1/MWP_2008_09.pdfhlm.
8.,
diakses
19
commit to user
November 2011.
673
perpustakaan.uns.ac.id
191
digilib.uns.ac.id
Banyak kajian yang menunjukkan bahwa pilihan metode
penafsiran bukanlah penentu tunggal. Lanfried misalnya, gambaran hakim
yang netral tidak dijumpai di Jerman, karena putusan hakim dilandaskan
atas keyakinan kepada nilai-nilai tertentu. Para hakim, kata Lanfried, telah
mempunyai tiket tertentu untuk menuju kepada suatu arus politik dan itu
tercermin dalam perkara pengujian.674
4. Efek dan Pelaksanaan Putusan
Dalam hal pelaksanaan “preliminary review”, maka putusan
pengadilan menguji suatu ketentuan RUU. Pada konteks ini tidak ada
sarana atau pernyatan pembatalan; sehingga tidak perlu pengundangan
putusan tersebut (misalnya di Prancis675 dan Italia676). Dalam hal bagian
tertentu dari suatu ketentuan UU yang dibatalkan, maka bagian itu yang
tidak lagi berlaku mengikat atau dalam hal kasus tertentu seperti bagian
dari norma pada suatu perjanjian internasional (treaty) dinyatakan
inkonstitusional, maka norma yang bersangkutan tidak menjadi bagian
ketentuan yang diratifikasi. Di Prancis mekanisme ini dianut, sehingga
jika ada suatu ketentuan UU yang dinyatakan inkonstitusional, maka
Presiden terlebih dahulu harus menyusun perubahan norma tersebut
sebelum diundangkan.677
Dalam hal pengujian “ex post facto review”, maka suatu norma
dalam UU dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak berlaku mengikat
dan putusan itu bersifat “erga omnes.” Pernyataan tidak berlaku itu
terhitung sejak tanggal diucapkan atau pengumuman putusan tersebut (ex
nunc effect). Suatu variasi diterapkan di Bulgaria, bahwa putusan semacam
itu berlaku 3 hari setelah pengundangan oleh pejabat perundang-
674
Lanfried, 1994, hlm. 118.
675
Pasal 62 ayat (1) Konstitusi (1958).
676
Pasal 127 Konstitusi.
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts and Equivalent Bodies and
Their Execution”, Report adopted by the
Commission
at its 46th plenary meeting, 9-10 March
commit
to user
2001, hlm. 13.
677
192
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perundangan.678 Suatu efek putusan yang bersifat retroaktif (ex tunc effect)
merupakan suatu pengecualian. Dalam hal ini, “invalidation of a
legislative measure does not apply only to the pending proceedings and to
proceedings under way at the date of the judgment, but also to certain
proceedings which have already been closed.”679
Di Belgia, “where judgments by the Court of Arbitration have
effect ex tunc; nonetheless, the Court may indicate which effects of
provisions that have been set aside must be considered irreversibly
cancelled and which effects are maintained provisionally for a period
which it specifies.”680 Sementara itu, di Portugal, “the principle of res
judicata is maintained; the Constitutional Court may order an exception to
this principle, in particular in criminal matters.”681 Sementara itu, di
Irlandia, “where the courts may however limit the retroactive effect to
persons who had brought court proceedings at the date of the
judgment.”682
Di negara lain, MK diperkenankan menetapkan putusan yang
retroaktif, seperti di Ardora dan Yunani. Di Jerman, “judgments in
criminal matters which are based on an unconstitutional provision may be
revised; other decisions are no longer capable of being carried out.”683
Sementara itu di Spanyol, “Constitutional Court have retroactive effect
where the non-application of the unconstitutional provision would have
resulted in a less severe criminal or administrative sanction or no sanction
at all.”684 Di Slovenia, “the Constitutional Court may determine that a
judgment is to have retroactive effect where regulations adopted for the
678
Ibid.
679
Ibid.
680
Pasal 8 Special Law on the Court of Arbitration.
681
Pasal 282 Konstitusi Portugal.
682
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14.
683
Pasal 79 UU MK Jerman ( Law on the Constitutional Court).
684
Pasal 40 UU Organik MK Spanyol (Organic Law of the Constitutional Court).
commit to user
193
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
exercise of public powers are annulled; a party adversely affected by a
decision adopted on the basis of such a measure is entitled to seek the
amendment or annulment of such measure, provided that it was adopted
less than one year before.”685 Dalam praktik di Hongaria, putusan yang
bersifat retroaktif dimungkinkan, “where required on grounds of legal
certainty; the Constitutional Court will order the reopening of criminal
proceedings which resulted in a sanction based on an unconstitutional
provision where its adverse effects subsist.”686
Di Italia, keberlakuan putusan MK dalam keadaan tertentu
ditentukan dalam praktik.687 Sementara itu, di Amerika, “the Supreme
Court may, in certain cases, allow a reasonable time for carrying out its
decisions, as in the case of the well-known judgment in Brown prohibiting
racial segregation in schools.”688 Pada sisi lain, ketentuan di Romania
menegaskan bahwa “a finding of unconstitutionality in a case of concrete
review constitutes legal grounds for a retrial in civil cases, at the request
of the party that claimed the exception of unconstitutionality, and in
criminal cases in which the conviction was based on the provision
declared unconstitutional.”689
Di sejumlah negara, putusan MK dapat diperintahkan untuk
ditunda pelaksanaannya guna memberikan kesempatan kepada otoritas
legislasi supaya mengubah UU untuk menyesuaikan dengan putusan
tersebut. Keadaan tersebut dimungkinkan dalam hal: (i) “where several
solutions consistent with the Constitution are possible”; (ii) “the effects of
judgments are deferred in particular where the judgment has major
budgetary implications (for example in the field of tax or social security
benefits)”;
dan/atau
(iii)
“where
it
requires
administrative
685
Pasal 45-46 UU MK Slovenia (Law of the Constitutional Court).
686
Pasal 43 ayat (3) dan ayat (4) UU MK Hongaria.
687
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 15.
688
Ibid.
689
Pasal 26 the Law on the Organisation and Operation of the Constitutional Court.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
194
digilib.uns.ac.id
reorganizations.”690 Sebagai contoh, ketentuan Konstitusi Polandia
mengatakan bahwa, “the Court may determine another date for the
extinction of the binding force of the legislative measure. This time may
not exceed 18 months in the case of a law and 12 months in the case of
other legislative measures.”691 Sementara itu, di Slovenia diatur bahwa
“judgments of the Constitutional Court are declaratory where they make a
finding that there has been a legislative omission or that the
unconstitutionality cannot be remedied by annulling or abrogating the
contested measure; in such case, the Court sets a period for the competent
authority to rectify the unconstitutionality.”692 Kondisi lain berlaku di
Republik Ceko di mana “the Constitutional Court is even at liberty to
determine the date on which its judgments take effect.”693
Pada sisi yang lain, putusan MK dapat saja merubah atau
menambahkan ketentuan yang ada sebagai norma dalam UU. Di Italia,
“the Constitutional Court sometimes gives judgments which result in the
scope of a provision being extended to cover persons who have suffered
unjustified discrimination or which add provisions directly derived from
the Constitution to provisions declared unconstitutional on the ground that
they fail to implement the Constitution fully.”694 Dalam kasus yang sama,
ketentuan Konstitusi Romania menegaskan bahwa “for a specific
institution in the framework of abstract preliminary review: the Court’s
judgment has the effect of a suspensory veto, in that the unacceptable
provision is sent back to the Parliament to be reexamined.”695 Selanjutnya,
terkait dengan implikasi terhadap perubahan konstitusi, diatur bahwa
690
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14.
691
Pasal 190 ayat (2).
692
Pasal 48 the Law on the Constitutional Court.
693
Pasal 170 the Law on the Constitutional Court.
694
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 14.
Pasal 145 Konstitusi Romania, berbunyi “If the law is passed again in the same
formulation by a majority of at least two-thirds
members of each Chamber, the objection of
commitoftotheuser
unconstitutionality shall be removed, and promulgation there of shall be binding.”
695
195
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Parliament is thus authorised to derogate from the Court’s decision by
the same majority as that which allows the revision of the Constitution;
however, such a revision is not possible without a referendum the
reexamination procedure is therefore not equivalent to a revision of the
Constitution.”696
Mayoritas negara mengumumkan putusan MK secara formal.
Putusan MK Bosnia dan Herzegovina diumumkan pada “the Official
Gazettes of Bosnia and Herzegovina and its constituent entities.”697
Demikian pula putusan Special Supreme Court di Bulgaria, Estonia698,
Hongaria699, Italia, Prancis, dan Yunani. Di Polandia, “judgments are
published in the organ in which the contested measure was promulgated
and, in the absence of such an organ, in the official gazette.”700 Di negara
lain, misalnya Kanada, publikasi itu menyatu dalam laporan tahunan
kinerja pengadilan yang bersangkutan.701 Namun demikian, laporan seperti
itu kadang-kadang hanya memuat suatu putusan tertentu saja, seperti yang
dilaksanakan di Yunani, Irlandia, dan Korea Selatan.702
Pelaksanaan putusan MK terhadap kewenangan lembaga lain
beraneka ragam. Di Prancis, oleh karena sifatnya “constitutional preview”,
maka putusan Dewan Konstitusi tidak perlu diundangkan.703 Situasi serupa
dilaksanakan oleh negara yang mengadopsi “abstract review” yang
ditujukan kepada suatu RUU, seperti di Bulgaria, Estonia, dan Turki,
bahkan dapat berupa perintah langsung dari MK seperti di Kanada,
Filandia, dan Republik Ceko. Di Albania, “in principle judgments of the
696
Pasal 147 Konstitusi Romania.
697
Pasal 71 the Rules of Procedure of the Court.
698
Pasal 24 ayat (1) the Law on Constitutional Review Court Procedure.
699
Pasal 41 the Law on the Constitutional Court.
700
Pasal 190 ayat (2) Konstitusi.
701
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 16.
702
Ibid.
703
Ibid.
commit to user
196
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Constitutional Court have no effect on other authorities except where they
determine the competent authority in a particular case.”704
Mayoritas dampak putusan MK terhadap otoritas lembaga lain
menyangkut perintah pengundangan putusan oleh eksekutif seperti di
Austria dan Indonesia. Dampak lain adalah perintah—bagi kategori jenis
legislasi tertentu—untuk memperhatikan ketentuan konstitusi (Jepang,
Lithuania, Moldova, dan Belanda). Di Slovaka, “the legislature has to
bring the legislation into line with the Constitution within a period of six
months of the decision of the Constitutional Court.”705 Di Republik Ceko,
“that enforceable decisions of the Constitutional Court are binding on all
authorities and persons.”706 Sementara itu, di Italia, Jaksa Agung “orders
the release of anyone detained on the basis of an unconstitutional law.”707
Di negara lain, bentuk pelaksanaan putusan MK berupa perintah
pembebasan terdakwa dari tahanan, misalnya di Swiss. Kemudian, bentuk
lain adalah memerintahkan badan legislatif untuk mengubah ketentuan UU
seperti di Korea Selatan dan Hongaria. Selanjutnya, di Hongaria,
pelaksanaan putusan MK berupa “ordering the reopening of criminal
proceedings which gave rise to a sanction with continuing adverse
effects.”708 Di Slovenia, “where necessary, the Constitutional Court shall
specify the institution responsible for the implementation and the
conditions for applying the decision.”709 Di Ukraina, “may specify in its
decision or its opinion the procedures to be followed in order to give effect
to them and compel the competent institutions of the State to carry out the
decision to comply with the opinion.”710 Pada negara lain, pengadilan
704
Ibid.
705
Pasal 132 Konstitusi Slovakia.
706
Pasal 89 Konstitusi Republik Ceko.
707
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 17.
708
Pasal 43 ayat (3) the Law on the Constitutional Court.
709
Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 60 ayat (2) the Law on the Constitutional Court.
710
Pasal 70 the Law on the Constitutional Court.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
197
digilib.uns.ac.id
konstitusi dapat memperluas wewenangnya dengan memerintahkan badanbadan lain guna melaksanakan tindakan-tindakan tertentu seperti di
Irlandia dan Malta. Di Amerika, bahkan MA dapat memerintahkan sanksi
tertentu jika putusannya diabaikan.711
D. Bentuk-Bentuk Instrumentalisme Hukum yang Mempengaruhi Fungsi
Pengadilan
1. Kasus Peru: Pengadilan dalam Keadilan Transisional (Transitional
Justice)
Dalam beberapa dekade terakhir, sudah menjadi perhatian pada
tingkat global mengenai Rule of Law dalam situasi post-conflict dan
masyarakat transisi (transitional societies). Dalam situasi tersebut,
meminjam istilah Kahn, Rule of Law mengalami “sudden elevation as a
panacea for the ills of countries in transition from dictatorships or statist
economies.”712 Cakupan isu meliputi pula “a full range of judicial and
non-judicial mechanisms including prosecuting perpetrators of human
rights violations, revealing the truth about past crimes through truth
commissions, providing victims/survivors with reparations and reforming
governmental institutions.”713 Langkah-langkah itu menjadi penting dalam
situasi transisi karena merupakan “an important tool in advancing the rule
of law.”714 Bagian ini mencoba memaparkan bagaimana instrumentalisme
Rule of Law dalam masa transisi di Peru.
Kasus Peru menunjukkan tindakan politik dan hukum yang
dilaksanakan secara sistematis oleh pemerintahan korup yang akhirnya
711
Venice Commission, “Decisions of Constitutional Courts…”, op.cit., hlm. 17.
712
Paul W. Kahn, 2000, The Cultural Study of Law: Reconstructing Legal Scholarship,
Chicago, University of Chicago Press, hlm. 4.
713
Ruti G. Teitel, 2002, Transitional Justice, Oxford: Oxford University Press, hlm.
216.
Jeswald W. Salacuse, “Justice, Rule of Law, and Economic Reconstruction in PostConflict States,” Studies in Internationalcommit
Financial,
and Technology Law, Vol. 8, 2007,
toEconomic,
user
hlm. 255.
714
perpustakaan.uns.ac.id
198
digilib.uns.ac.id
mereduksi Rule of Law.715 Pada saat Alberto Fujimori memenangkan
pemilu presiden pada tahun 1990, ia mewarisi suatu negara yang krisis.
Negara terperosok dalam inflasi yang mencapai 7.000%, kegagalan
membayar utang luar negeri, dan kemerosotan pendapatan nasional.716
Lagipula, negara mengalami konflik internal antara militer dengan
pemberontak Maois yang terhimpun dalam Sendero Luminoso sejak tahun
1980-an, era di mana justru negara ini telah mengalami transisi setelah
sekian lama dalam cengkeraman kediktatoran militer.717
Capaian kuasa Fujimori seperti kisah dalam novel yang begitu
dramatis. Fujimori, warganegara Peru keturunan Jepang, masih dianggap
asing oleh pihak yang tidak menyukainya. Ia merupakan insinyur
pertanian dan Dekan Fakultas Pertanian, yang kemudian membentuk partai
sebagai “perahu politik” (Cambio90), hanya sebulan sebelum pemilu
berlangsung. Ia dianggap sebagai sosok alternatif yang mewakili
kelompok politik baru Peru yaitu kalangan “provincial, nonelite, nonwhite
sectors” yang selama ini terpinggirkan dalam kancah politik nasional.
718
Sosok Fujimori akhirnya memenangkan pemilu setelah berhasil menekuk
Mario Vargas Llosa.
Pada masa awal memerintah, Fujimori menetapkan “Government
of Emergency and National Reconstruction” yang memberinya kekuasaan
untuk bertindak uniteral selama 7 bulan. Kebijakan itu didukung dengan
reformasi ekonomi yang mengarah kepada neoliberalisme dan perbuatan
nonlegal dalam memerangi terorisme.719 Untuk mengamankan kebijakan
tersebut, Fujimori bersekutu dengan militer dengan mengabaikan
Steven Levitsky, “Fujimori and Post-Party Politics in Peru,” Journal of Democracy,
Vol. 10, 1999, hlm. 3.
715
Eduardo Ferrero Costa, “Peru’s Presidential Coup,” Journal of Democracy, Vol. 4,
1993, hlm. 29.
716
717
Ibid.
718
Atwood, “Democratic Dictators: Authoritarian Politics in Peru from Leguía to
Fujimori”, SAIS Review, Vol. 21, No. (2), 2001, hlm. 155.
Ernesto García Calderón,commit
“High Anxiety
to userin the Andes: Peru’s Decade of Living
Dangerously,” Journal of Democracy, Vol. 12, 2001, hlm. 47.
719
199
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mekanisme formal yang biasanya berlangsung untuk 2 tahun, dengan cara
menunjuk secara permanen General Hermoza Rios sebagai kepala staf.
Fujimori juga mengandalkan dukungan Badan Intelijen Nasional (Secret
Intelligence Service) yang dipimpin oleh Vladimiro Montesinos. Pada 5
April 1992 Fujimori memerintahkan pengepungan tentara
terhadap
anggota Parlemen yang bersidang dan memerintahkan pembekuan
lembaga perwakilan tersebut. Untuk memenuhi desakan internasional pada
18 Mei 1992, Fujimori menyelenggarakan pemilu dan berhasil menguasai
parlemen, yang nantinya akan memberikan stempel legitimasi atas
kekuasaannya dan menyusun konstitusi baru.
Dengan mekanisme konstitusi dan demokrasi baru tersebut,
Fujimori mulai mengabaikan Rule of Law dengan membiarkan terjadinya
extrajudicial killing terhadap 9 mahasiswa dan seorang dosen pada tahun
1992 dengan dukungan Montesionos.720 Atas kasus tersebut, dengan
desakan kekuatan nasional dan internasional, jaksa penuntut umum
kemudian membentuk suatu komisi khusus pada tahun 1994. Akan tetapi,
Fujimori mendesakkan suatu undang-undang pada tahun 1995 yang
mengalihkan
wewenang
penuntutan
ke
pengadilan
militer
dan
memungkinkan pemberian amnesti kepada aparat negara yang melakukan
kekerasan. Akibat ketentuan tersebut, sejumlah tersangka dibebaskan dari
penjara.721
Sebelumnya pada tahun 1993, Fujimori menetapkan suatu
konstitusi baru yang mengelola kekuasaan tanpa akuntabilitas. Konstitusi
yang dikendalikan penuh oleh Fujimori, memberikan kekuasaan yang luas
kepada militer termasuk dalam menentukan anggaran dan penyusunan
pengadilan. Konstitusi juga mengatur pembentukan “executive commission
of the public ministry”,--yang secara kelembagaan berada di atas Ketua
Jo-Marie Burt, “‘Quien habla es terrorista’ The Political Use of Fear in Fujimori’s
Peru,” Latin American Research Review, Vol. 41, 2006, hlm. 247.
720
Lihat selengkapnya dalam: Lisa J. Laplante, “Outlawing Amnesty: The Return of
Criminal Justice in Transitional Justice Schemes,”
commit toVirginia
user Journal of International Law, Vol. 49,
2009..
721
200
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MA dan Jaksa Agung--yang dalam praktik mengontrol penegakan hukum
terhadap aparatur negara. Pengadilan jika diisi dengan hakim yang
bersimpati terhadap militer.722 Lembaga MK dibentuk dengan komposisi 7
orang hakim, di mana 4 di antaranya dikendalikan oleh Fujimori. Suatu
ketentuan ditetapkan bahwa MK dilarang membatalkan UU kecuali
dengan dukungan minimal 6 hakim.
Fujimori dengan dukungan intelijen mengendalikan surat kabar
dan menguasai seluruh stasiun televisi dengan tujuan “for manipulation
“reordered political and social meanings in Peru” and created a culture
of fear that perpetuated the willingness of citizens to surrender their rights
in exchange for safety.”723 Menurut Burt, “the instrumentalization of fear
allowed the government to penetrate, control and immobilize civil
society.”724 Selain itu, label “terrorist” juga dikenakan terhadap oposisi
yang kritis. Sebagai akibatnya, “The institutional structures that protect
individual and civil rights—the sine qua non of civil society
organization—disappeared in this context. Without state institutions to
guarantee the rights to organize, to free speech, and the inviolability of the
person, civil society organization shriveled under the threat of state and
insurgent violence by non-state actors, the state contributed decisively to
the disarticulation and fragmentation of civil society.”725
Pada akhirnya, cerita kejatuhan Fujimori tidak disebabkan karena
merebaknya pelanggaran HAM, akan tetapi karena korupsi. Pada
September 2000, sekitar 6 minggu saat Fujimori memulai masa jabatan
yang ketiga kalinya, beredar video yang memperlibat Montesinos
menyuap banyak kalangan, seperti anggota parlemen, pengusaha, pemilik
industri media, dan kalangan penting lain. Kemudian publik memperoleh
722
Cameron, hlm. 130.
Steven Levitsky and Maxwell A. Cameron, “Democracy Without Parties? Political
Parties and Regime Change in Fujimori’s Peru,” Latin American Politics and Society, Vol. 45,
2002, hlm. 17.
723
724
Jo-Marie Burt, op.cit., hlm. 235.
725
Ibid.
commit to user
201
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
informasi bahwa sekitar 48 juta dolar AS dana ditemukan di 2 perbankan
Swiss dan diperkirakan jutaan dolar yang lain tersebar dalam tempat yang
belum diketahui. Dalam situasi yang makin terpojok, setelah Montesinos
melarikan diri ke Panama, Fujimori kemudian melaksanakan pemilu pada
Juli 2001 dan segera menonaktifkan badan intelijen.
Pada 13 November 2001, setelah 6 hari pernyataannya
mengundurkan diri sebagai Presiden, Fujimori melarikan diri ke Jepang.
Parlemen menolak pengunduran diri sang Presiden sebagai tindakan tidak
bermoral dan memutuskan memecat yang bersangkutan. Kemudian, pada
Maret 2003 Interpol menetapkan Fujimori sebagai buron dan secara resmi
pemerintah Peru mengajukan ekstradisi ke Jepang pada 31 Juli 2003.
Tetapi Jepang menolak, karena menganggap Fujimori adalah warganegara
Jepang, mengingat orang tuanya berasal dari Jepang..
Sesudah mundurnya Fujimori, Peru segera membentuk “The
Truth and Reconciliation Commission” sebagai suatu komisi yang
mempunyai wewenang untuk melaksanakan penyelidikan pelanggaran
HAM pada tahun 2001. Setelah 2 tahun, komisi berhasil mengumpulkan
sekitar 17.000 kesaksian dan 9 jilid laporan, yang antara lain memuat
70.000 korban pelanggaran HAM. Tetapi berbeda dengan komisi serupa
di Afrika Selatan yang berwenang memberikan pengampunan, model Peru
ini tidak mempunyai kapasitas serupa.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara mengejutkan Fujimori
diketahui berada di Chile setelah terbang menggunakan jet pribadi melalui
Meksiko pada 6 November 2005. Segera MA Chile memerintahkan
penahanan yang bersangkutan dan beberapa bulan kemudian Peru
mengajukan ekstradisi. Pada 10
September 2007, MA mengabulkan
permohonan tersebut dan kemudian pada 22 September 2007, Fujimori
diterbangkan ke Peru dan ditahan dalam sebuah penjara khusus di
pinggiran kota Lima. Pada 7 April 2009, MA Peru menjatuhkan pidana
penjara 25 tahun bagi Fujimori atas pelanggaran HAM, termasuk
pelanggaran Rule of Law. commit to user
202
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasus Peru menjadi pelajaran yang berharga bagaimana Rule of
Law mengalami 2 sisi instrumentalisasi sekaligus. Pada sisi yang pertama,
Rule of Law menjadi alat yang efektif bagi Fujimori melaksanakan
kediktatorannya sebagai Presiden sejak 1992. Kisah Peru kemudian
membenarkan argumen Levitsky dan Way mengenai “diminished form of
authoritarianism.”726 Kedua penulis ini menyatakan “[r]ather than openly
violating democratic rules (for example, by banning or repressing the
opposition and the media), incumbents are more likely to use bribery, cooptation, and more subtle forms of persecution, such as the use of tax
authorities, compliant judiciaries, and other state agencies to ‘legally’
harass, persecute, or extort cooperative behavior from critics.”727 Pada
posisi ini, Fujimori kemudian menjadi “one of the most recent dictators in
Latin America, and perhaps learned that he had to be clever to maintain
his repression. The learning curve for avoiding ‘being caught’ entailed
finding ‘legal’ forms of silencing dissent” dengan strategi “dangerously
weaken[ed] horizontal accountability” by insulating the executive from
scrutiny” dengan jalan “impeded by a vigorous legislature, independent
courts, and watchful citizens.”728
Pada sisi yang kedua, Rule of Law diinstrumentalisasi sebagai
manajemen masa transisi untuk melakukan pemeriksaan atas pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh Fujimori. Pada situasi transisi umumnya, amat
sulit
menerapkan
“criminal
justice”
sebagai
mekanisme
untuk
menyelesaikan kejahatan rezim terdahulu. Pada saat akan melakukan “law
enforcement” negara menjadi sulit karena harus berhadapan dengan “sisa”
kekuasaan terdahulu dan perlu negosiasi antara keinginan memidanakan
dengan mengampuni. Sebalinya, di Peru, proses yang terjadi menetang
kecenderungan umum, di mana peradilan pidana dapat berjalan tanpa
Steven Levitsky dan Lucan A. Way, “Elections Without Democracy: The Rise of
Competitive Authoritarianism,” Journal of Democracy, Vol. 13, 2002, hlm. 53.
726
727
Ibid., hlm. 62.
728
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
203
digilib.uns.ac.id
interupsi politik dan berhasil memenjarakan Fujimori, orang yang sangat
berkuasa dengan lumuran darah sejak 1992 dan tak terbayangkan juga,
bahwa penghukuman itu hanya terjadi beberapa tahun kemudian terhadap
sang diktator.
2. Kasus India: Pergulatan Pengadilan Melawan Kediktatoran
Kasus India menunjukkan keunikan dalam konteks studi
peradilan, terutama terkait dengan posisi para hakim, karena “it is wellaccepted that good judges are practicing both law and politics, while
mediocre judges may be practicing either, both, or neither. They are not
usually seen as political in the sense that they are allied to a particular
political party’s ideology.”729 Akan tetapi, para hakim itu juga “having a
sophisticated concept about their role in the political system and the
policies that follow from these positions.”730 Suatu kajian menarik yang
dilakukan oleh Marc Galanter menunjukkan keunikan perilaku hakim
India yang “have both written about the tradition of black letter law in
India, or the adherence to a formal legal perspective that shares much
with the civil law tradition.”731 Para pakar politik juga sepakat bahwa para
hakim “consistently write opinions that combine political and formal legal
arguments, obliterating the dichotomy which often characterizes U.S.
debates over judicial motivations.”732
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa perilaku hakim di India
merupakan tipe yang “difficult to explain as rational” karena “have
behaved in ways that scholars of American courts find extremely puzzling;
the justices have consistently challenged the executive branch even when
their judicial institutions have been relatively new and their legitimacy has
not been strongly established. And they have done so in the context of
729
Ibid.
730
Ibid.
731
Marc Galanter, “The Turn Against Law: The Recoil Against Expanding
Accountability,” Texas Law Review, Vol. 81, 2002, hlm. 285.
Marc Galanter, “The Hundred-year
commit toDecline
user of Trials and the Thirty Years War,”
Standford Law Review, Vol. 57, 2005, hlm. 1255.
732
204
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
unified executive–legislative institutions, not in a separated powers
context.”
733
dengan periode yang sudah berlangsung sejak masa
penjajahan Inggris, India mencerminkan keunikan bagaimana interelasi
pengadilan terhadap cabang kekuasaan yang lain. Hal ini perlu dibahas
sebab “the justices who challenged the executive branch were acting in
predictably strategic ways and that their decisions cannot be categorized
as clearly formal or political.”734
Pengadilan, dalam hal ini MA, telah mengalami 3 kali fase
pertumbuhan. Fase pertama, adalah “the Supreme Court of Judicature”
yang didirikan oleh Inggris pada tahun 1773 dengan wewenang yang luas.
Fase kedua adalah “the Federal Court of India” yang didirikan pada tahun
1935 dan khusus untuk mengadili perselisihan kewenangan antara Provinsi
dan daerah. Fase ketiga adalah “the Supreme Court of India” yang
dibentuk menurut Konstitusi 1950 dengan wewenang sebagai badan
peradilan banding dan judicial review. Fokus pembahasan dalam rubric ini
adalah pada fase yang ketiga, untuk membahas penegakan Rule of Law
atas MA.
Lembaga
MA
dibentuk
menurut
Konstitusi
1950
guna
menggantikan kedudukan “the Federal Court of India.” Nyaris ketentuan
mengenai struktur badan pengadilan dalam konstitusi sama dengan
ketentuan tahun 1935. Selain banding dan judicial review, MA juga
mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan hukum. Semua
perkara dapat dimintakan pemeriksaan ke MA, suatu hal yang berbeda
dibandingkan dengan kelembagaan di Amerika yang dapat menentukan
suatu kasus masuk dalam yurisdiksi mereka atau tidak.735 Pada awal
pendirian di tahun 1950, MA mempunyai 8 orang hakim, yang terus
menerus ditambah dan sekarang mencapai 26 hakim.736 Untuk
733
Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 4.
734
Ibid.
735
Ibid., hlm. 6.
736
Lihat: Konstitusi India Pasal 124 ayat (1) dan ayat (4).
commit to user
205
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemeriksaan perkara umumnya ditentukan 3-5 orang hakim dalam satu
majelis, akan tetapi khusus untuk perkara konstitusi harus diperiksa
minimum oleh 5 hakim. Bahkan untuk memeriksa ulang perkara yang
sudah diputus sebelumnya oleh MA, ditentukan komposisi hakim yang
lebih banyak, seperti dalam perkara Kesavananda Bharati (1973) yang
melibatkan 13 orang hakim.
Di India, Partai Kongres yang sempat mendominasi pemerintahan
(1952-1977) amat progresif dengan menghapus lembaga-lembaga politik
peninggalan kolonial Inggris, akan tetapi khusus untuk pengadilan,
penguasa membiarkan situasinya berkembang seperti pada masa-masa
sebelumnya. Dugaan sementara adalah para hakim dianggap tidak begitu
berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan lagipula pada awalnya
pengadilan dianggap tidak memiliki fungsi signifikan dibandingkan
dengan lembaga politik, misalnya dibandingkan dengan Parlemen yang
dipilih melalui pemilu.737 Meskipun demikian, menurut kajian Burt
Neuborne, dalam dekade pertama sejak konstitusi diberlakukan, para
hakim cenderung menganggap diri mereka sebagai perisai konstitusi dan
mempertahankan “the fundamental rights.”738
Serupa dengan tradisi supremasi parlemen di Inggris, mekanisme
politik India memungkinkan parlemen mendelegasikan kewenangan
mereka kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan-badan
independen. Pengadilan dapat membatalkan tindakan-tindakan delegasi
tersebut sepanjang memenuhi persyaratan: (i) if the delegated power is too
sweeping, (ii) if the delegated power is contradictory to the statute
authorizing it, or (iii) if the delegated power is “repugnant to the general
law.739 Dominasi pemerintahan mayoritas memaksa pengadilan harus
cukup pintar memperhatikan realitas politik, karena pengadilan pun harus
737
Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 26.
738
Burt Neuborne, “The Supreme Court of India”,
Constitutional Law, Vol. 1, 2003, hlm. 478.
739
Ibid., hlm. 479.
commit to user
International Journal of
206
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memahami kekuasaan luas Parlemen yang memungkinkan membentuk
UU yang dipaksakan. Lagipula seiring dengan tumpukan perkara yang
semakin banyak, pengadilan tak punya pilihan cukup untuk memeriksa
perkara secara selektif.740 Oleh sebab itu, sikap MA yang frontal terhadap
Pemerintah nyaris tidak dijumpai dibandingkan dengan tahun-tahun
pertama pembentukan “the Federal Court.”741 Walaupun demikian,
sejumlah kasus pada awal pembentukan MA sebenarnya menampakkan
ciri-ciri sebagai putusan yang menentang pemerintah.
Dalam kasus A. K. Gopalan v. State of Madras (1950) yang
berhubungan dengan pemenjaraan terhadap Gopalan, aktivis Partai
Komunis
dengan
menggunakan
UU
Antisubversif
(1950),
yang
memungkinkan penahanan tanpa proses pengadilan dan tak ada keharusan
pejabat untuk menjelaskan alasan-alasan penahan tersebut. Gopalan
menguji ketentuan UU tersebut dengan alasan bertentangan terhadap
“fundamental rights” dalam Konstitusi. Dalam putusan, MA secara
mayoritas mempertahankan ketentuan UU tersebut dengan alasan
kebutuhan bertindak pemerintah guna menjamin keamanan nasional, tetapi
pengadilan juga berpendapat bahwa merupakan tindakan yang melanggar
“the fundamental rights” apabila penahanan menurut UU tidak disertai
dengan alasan-alasan yang jelas dan apabila dilakukan dengan melanggar
limitasi wewenang pemerintah. Atas putusan itu, Pemerintah melakukan
perubahan terhadap UU, terutama menyangkut alasan-alasan penahanan,
akan tetapi kebijakan secara keseluruhan dari aspek politik tetap tidak
berubah.742
Dalam kasus kompensasi redistribusi tanah, MA mempunyai
pendirian yang lebih tegas terhadap kebijakan pemerintah dengan dalih
perlindungan konstitusi. Sejak 1947, Partai Kongres mempunyai kebijakan
untuk melakukan redistribusi tanah, terutama tanah yang dikuasai oleh
740
Ibid.
741
Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 27.
742
Burt Neuborne, “The Supreme Court of India”, op.cit., hlm. 481-482.
commit to user
207
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tuan tanah yang harus dibagikan kepada pekerja mereka. Tentu saja para
pemilik tanah kemudian melakukan complaint ke MA dengan dalih
kebijakan melanggar “the fundamental rights.” Kasus ini membawa MA
berhadapan dengan Pemerintah. Bagaimanapun, kebijakan itu menunjukan
program sosialisme Partai Kongres, namun perampasan tanah tanpa
kompensasi juga melanggar ketentuan UUD. Masalah itu memicu
perdebatan mengenai siapa yang berhak melakukan penafsiran terhadap
Konstitusi. Saat berbicara dengan parlemen, Perdana Menteri Nehru
mengatakan bahwa, “Menafsirkan konstitusi haruslah sesuai dengan
kehendak pembentuknya dan perubahan terhadapnya merupakan sesuatu
dengan pertimbangan amat diperlukan sekali.” Terkait dengan “the
fundamental rights” Nehru menegaskan pentingnya untuk memperhatikan
keseimbangan sosial yang lebih besar.743 Tetapi MA mempunyai
pandangan yang berbeda, jaminan ganti rugi tetaplah hak-hak individual
yang mutlak dan dengan demikian, kebijakan pemerintah yang
mengabaikan hal tersebut harus dibatalkan.
Perdebatan antarcabang kekuasaan itu tak terpecahkan hingga
tahun 1980, dan selama pemerintahan Indira Gandhi (1971-1977),
Parlemen mengeluarkan pernyataan yang tegas bahwa MA sudah
melanggar konstitusi dalam melaksanakan wewenangnya dan menyebut
pengadilan sebagai lembaga yang sangat berbahaya. Sejak itu MA
kehilangan gengsi sosialnya, sementara pengganti Nehru, L.B. Lastri dan
Indira Gandhi segera memperoleh popularitas politik mereka. Dalam
situasi itu, MA mempertimbangkan untuk tetap mempertahankan hak-hak
dasar dalam UUD, meskipun sejumlah hakim khawatir berhadapan dengan
Pemerintah.744 Bahkan rezim Gandhi kemudian membatasi wewenang MA
dalam judicial review melalui serangkaian perubahan konstitusi.
Konflik memanas antara MA dan pemerintahan Gandhi memuncak
dengan putusan perkara Kesavananda Bharati v. State of Kerala (1973).
743
Ibid., hlm. 482.
744
Alfred Darnell & Sunita Parikh, op.cit., hlm. 28.
commit to user
208
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengadilan mengambilalih pertimbangan dalam kasus Golak Nath v. State
of Punjab (1967), yang menyatakan bahwa
Parlemen tidak boleh
melakukan perubahan UUD apabila jelas-jelas mengubah struktur dasar
konstitusi. Beberapa hari setelah putusan itu, Ketua MA Sikri diganti
dengan alasan sudah mencapai usia 65 tahun. Presiden India kemudian
menunjuk A.N. Ray, sosok yang dianggap bersimpati terhadap
Pemerintah, menjadi Ketua MA yang baru. Pada tahun 1976, Parlemen
melakukan Perubahan Konstitusi yang menolak putusan Kesavananda
Bharati,
dan menegaskan bahwa segala perubahan konstitusi oleh
Parlemen merupakan tindakan yang tidak dapat diganggu gugat oleh
pengadilan dan tak ada pembatasan apapun atas kekuasaan parlemen
dalam merubah konstitusi.
Perubahan konstitusi tersebut merupakan tindakan serius Parlemen
sepanjang “negara dalam keadaan darurat” sejak Juni 1975 hingga Maret
1977 saat diadakan pemilu baru. Dalam pemilu itu, Partai Kongres
mengalami kekalahan dan kemudian Partai Janata mengambil alih
pemerintahan.
Dalam setahun Pemerintah meloloskan perubahan
konstitusi yang mengatur ekses-eskes dari situasi darurat dan kemudian
memulihkan kekuasaan judicial review, serta menentukan bahwa
penggantian Ketua MA harus memperhatikan senioritas hakim agung.
Pada tahun 1980, dalam kasus Minerva Mills, MA membuat putusan
kompromistis yang mengakui struktur dasar konstitusi akan tetapi
menghapuas “right to property” dari “the fundamental rights.” Sejak saat
itu, terutama melalui “public interest litigation”, MA terus memperlebar
kekausaanya dalam judicial review.
3. Kasus Filipina: Pengadilan anusia di tengah Krisis Politik
Pada tanggal 25 Oktober 1986, ratusan orang dengan afiliasi
politik yang bermacam-macam mengadakan aksi damai di Epifanio de los
Santos Avenue (EDSA) in Metropolitan Manila guna menuntut
pengunduran diri Presiden Ferdinand Marcos yang sudah berkuasa tanpa
commitMarcos
to user dituding memupuk kekuasaan
kontrol 20 tahun lamanya.
209
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sewenang-wenang. Eksekutif menjadi pengendali hukum sehingga tak ada
UU, tak ada pemilu, dan sedikit sekali judicial review. Prinsip-prinsip
demokrasi diabaikan. Warganegara semakin banyak dijebloskan ke dalam
penjara tanpa pemeriksaan, terutama semenjak ditetapkannya negara
dalam keadaan darurat. Militer pun tampil menjadi sosok yang tak
tersentuh.
Lembaga MA, nyaris selama 20 tahun kediktatoran Marcos diisi
oleh para hakim dengan loyalitas tinggi kepada Marcos. Pengadilan
tertinggi lalu menjadi instrument hukum yang menjadi perisai atas
berbagai Keputusan Presiden yang memperbesar kekuasaan eksekutifnya,
termasuk
merampas
kekuasaan
legislatif.
Seorang
penulis
mendeskripsikan krisis MA itu sebagai berikut:745
“...[T]he courts gave their cooperation and support to the
dictatorship and to its program for a New Society under a new
constitutional order. That was their best choice. Supposing
that, because of their attachment to constitutionalism, they
had resisted the dictatorship, the courts would simply have
been replaced by military tribunals. The judges of the period
had the sagacity and the foresight to trust the political
leadership, and despite their misgivings, follow its path
toward a promised constitutional order. It was by such faith
and hope that we can justify their collaboration in strategies
and measures which, in the fateful months of late 1972 and
early 1973, were antithetical and destructive of republicanism.
Indeed, looking at the period as a whole, the Judiciary as an
institution was basically preserved and functioning all
throughout, without disruption or disturbance.
Saat people power sukses menggeser kedudukan Marcos dan
mengantarkan Qurazon Aquino menjadi Presiden, segera dibentuk Komisi
Konstitusi yang dipimpin bekas Ketua MA Roberto Concepcion —yang
selalu kritis dalam putusannya terhadap tindakan Marcos—untuk
menyusun konstitusi baru. Dalam rancangan itu, menguat gagasan untuk
Neal Tate dan Stacia L. Haynie, “Authoritarianism and the Functions of Courts: A
Time Series Analysis of the Philippine Supreme
1961-1987”, Law and Society Review, Vol.
commitCourt,
to user
27,1993, hlm. 707-740.
745
210
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempertinggi independensi pengadilan dan judicial review.
Dengan
konstitusi baru (1987), MA mempunyai kekuasaan yang lebih luas
sehubungan dengan judicial review dan pembentukan hukum.746 Menurut
Concepcion, perluasan itu diperlukan guna mencegah terulangnya
ketertundukan MA dalam jerat politik, terutama saat mengadili
perselisihan HAM. Dikatakan oleh Concepcion:747
Fellow Members of this Commission, this is actually a product
of our experience during martial law. As a matter of fact, it
has some antecedents in the past, but the role of the judiciary
during the deposed regime was marred considerably by the
circumstance that in a number of cases against the
government, which then had no legal defense at all, the
solicitor general set up the defense of political questions and
got away with it. As a consequence, certain principles
concerning particularly the writ of habeas corpus, that is, the
authority of courts to order the release of political detainees,
and other matters related to the operation and effect of
martial law failed because the government set up the defense
of political question. And the Supreme Court said: „Well,
since it is political, we have no authority to pass upon it‟. The
Committee on the Judiciary feels that this was not a proper
solution of the questions involved. It did not merely request an
encroachment upon the rights of the people, but it, in effect,
encouraged further violations thereof during the martial law
regime. Briefly stated, courts of justice determine the limits of
power of the agencies and offices of the government as well as
those of its officers. In other words, the judiciary is the final
arbiter on the question whether or not a branch of government
or any of its officials has acted without jurisdiction or in
excess of jurisdiction or so capriciously as to constitute an
abuse of discretion amounting to excess of jurisdiction or lack
of jurisdiction. This is not only a judicial power but a duty to
pass judgment on matters of this nature.
Pasal 8 ayat (1) Konstitusi 1987 menegaskan: “The judicial power shall be vested in
one Supreme Court and in such lower courts as may be established by law. Judicial power
includes the duty of the courts of justice to settle actual controversies involving rights which are
legally demandable and enforceable, and to determine whether or not there has been a grave
abuse of discretion amounting to lack or excess of jurisdiction on the part of any branch or
instrumentality of the Government.”
746
Lihat: Pacifico A. Agabin,
Editor,
1996, Unconstitutional Essays, Manila,
commit
to user
University of the Philippines Press, Chapter I.
747
perpustakaan.uns.ac.id
211
digilib.uns.ac.id
Penolakan sementara pihak untuk memperluas judicial review
dipandang oleh Pacifico Agabin sebagai “such an expansion of judicial
review in light of the demonstrated history and ideological conservativism
of the judiciary in the Philippines, stating that the “pendulum of judicial
power [has swung] to the other extreme where the Supreme Court can
now sit as „superlegislature‟ and „superpresident‟..If there is such a
thing as judicial supremacy, this is it.”748 Serupa dengan itu, Florentino
Feliciano mendukung perluasan judicial review dengan alasan “as a
reflection of the strong expectations in [Philippine] society concerning the
ability and willingness of our Court to function as part of the internal
balance of power arrangements, and somehow to identify and check or
contain the excesses of the political departments.”749
Para penyusun konstitusi amat percaya kekuatan MA sebagai
penjaga demokrasi pasca tumbangnya kekuasaan diktator. Dalam kinerja
selanjutnya, “The recent decisions of the Court in this decade‟s explosive
constitutional controversies reveal that the Court remains highly
conscious of its greater transformative and mediating role in Philippine
democracy.”750
Sejarah berulang. Presiden Joseph Estrada (terpilih 1998) pada
tahun 2001 mengalami people power yang mendesaknya mengundurkan
diri. Pada perkembangan yang sama, MA dalam perkara Estrada v.
Desierto et. al. memutuskan bahwa Estrada had “constructively resigned”
from office, paving the way for an orderly constitutional succession in
favour of the then-Vice President, Gloria Macapagal-Arroyo.”751 Dalam
748
Ibid., hlm. 167.
749
Florentino P. Felliciano, “The Application of Law: Some Recurring Aspects of the
Process of Judicial Review and Decision Making”, American Journal of Juris, Vol. 37, 1992, hlm.
29.
Dante Gatmaytan-Magno, “Changing Constitutions: Judicial Review and
Redemption in the Philippines”, 25 University of California at Los Angeles Pasific Basin Law
Journal, Vol 25, 2007, hlm. 23-24.
750
Ben Reid, “The Philippine
Democratic
commit
to user Uprising and the Contradictions of
Neoliberalism: EDSA II”, 22 Third World Quarterly, Vol. 22, No. 5, 2001, hlm. 777-793.
751
212
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkara tersebut, Hakim Agung (yang kemudian menjadi Ketua MA)
Reynato Puno berpendapat yang membenarkan pengadilan memutus
perkara politik itu:752
To a great degree, the 1987 Constitution has narrowed the
reach of the political question doctrine when it expanded the
power of judicial review of this court not only to settle actual
controversies involving rights which are legally demandable
and enforceable but also to determine whether or not there
has been a grave abuse of discretion amounting to lack or
excess of jurisdiction on the part of any branch or
instrumentality of government. Heretofore, the judiciary has
focused on the "thou shalt not's" of the Constitution directed
against the exercise of its jurisdiction. With the new provision,
however, courts are given a greater prerogative to determine
what it can do to prevent grave abuse of discretion amounting
to lack or excess of jurisdiction on the part of any branch or
instrumentality of government…
This Court cannot betray its primordial duty to defend and
protect the Constitution. The Constitution, which embodies the
people's sovereign will, is the bible of this Court. This Court
exists to defend and protect the Constitution. To allow this
constitutionally infirm initiative, propelled by deceptively
gathered signatures, to alter basic principles in the
Constitution is to allow a desecration of the Constitution. To
allow such alteration and desecration is to lose this Court's
raison d'etre.
Kekuasaan MA di bawah Konstitusi 1987 juga memberikan
wewenang pengadilan untuk mencegah terjadinya usaha untuk mengubah
konstitusi seperti putusan dalam perkara Lambino v. Commission on
Elections et.al. (2006), dengan alasan antara lain:
The Constitution, as the fundamental law of the
land, deserves the utmost respect and obedience of
all the citizens of this nation. No one can trivialize
the Constitution by cavalierly amending or revising
it in blatant violation of the clearly specified modes
of amendment and revision laid down in the
Constitution itself. To allow such change in the
Joseph E. Estrada v. Aniano
Desierto
in his capacity as Ombudsman, et al., G.R.
commit
to user
No. 146710-15, March 2, 2001 (en banc).
752
213
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
fundamental law is to set adrift the Constitution in
unchartered waters, to be tossed and turned by
every dominant political group of the day. If this
Court allows today a cavalier change in the
Constitution outside the constitutionally prescribed
modes, tomorrow the new dominant political group
that comes will demand its own set of changes in the
same cavalier and unconstitutional fashion. A
revolving-door constitution does not augur well for
the rule of law in this country.
Dengan peran itu, MA mengalami kepercayaan diri dan persepsi
kepercayaan publik yang tertinggi diantara lembaga negara yang ada.753
Sekalipun tak bersih dari campur tangan eksekutif (terutama saat
komposisi hakim mayoritas berafiliasi kepada Presiden Gloria-Macapagal
Arroyo)754,
MA
mempertahankan
strategi
independen
dengan
memperbesar perhatian terhadap private adjudication dan penilaian
terhadap kebijakan publik.755 Serupa dengan peran pengadilan di situasi
transisi di Afrika Selatan, di bawah Konstitusi 1987, MA Filipina “has
demonstrated progressively liberal (and judicially activist) stances in
recognizing the fullest protections of international standards on civil and
political rights as “part of the law of the land.”756
Dari penelusuran sejarah, 30 tahun sebelum Konstitusi 1987
diberlakukan, MA Filipina secara agresif pernah dalam putusanputusannya mengadopsi ketentuan hukum internasional mengenai HAM.
Dalam perkara Boris Mejoff v. The Director of Prisons (1951), MA
“applied the Universal Declaration of Human Rights as ‘generally
accepted principles of international law [forming] part of the law of the
753
Social Weather Station (SWS) comparative trust approval ratings of Philippine
institutions from 2000 to 2009, at http://www.sws.org, diakses 25 April 2012.
Stacia L. Haynie, “Paradise Lost: Politicisation of the Philippine Supreme Court in
the Post Marcos Era”, Asian Studies Review, Vol. 22, No. 4, 1998, hlm. 459.
754
755
Stacia L. Haynie, “Resource Inequalities and Litigation Outcomes in the Philippine
Supreme Court”, The Journal of Politics, Vol. 56, No.3, 1994, hlm. 752.
Theunis Roux, “Principlecommit
and Pragmatism
to user on the Constitutional Court of South
Africa”, 7International Journal of Constitutional Law, Vol. 7, 2009, hlm. 118.
756
214
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nation’ to rule against the indefinite detention of foreign nationals or
stateless aliens.” Semangat adopsi ketentuan internasional itu nyaris
dirumuskan serupa dalam perkara Government of Hongkong Special
Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr, yang “affirmed the
correctness of a lower court order granting bail to a potential extraditee
(departing from previous jurisprudence that limited the exercise of the
right to bail to criminal proceedings).”757 Namun demikian, dalam perkara
Basco et al. v. Philippine Amusements and Gaming Corporation, MA
menolak untuk menafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan HAM sosial
ekonomi menurut Bab XIII dan XIV Konstitusi 1987 “are merely
statements of principles and policies. As such, they are basically not selfexecuting, meaning a law should be passed by Congress to clearly defined
and effectuate such principles”, sehingga dapat dikaji bahwa “the Court
did not provide a methodology for differentiating between justiciable and
non-justiciable socio-economic provisions in the 1987 Constitution.”758
Hampir 20 tahun setelah Konstitusi 1987 diterapkan MA
memberikan sumbangan penting terhadap pemenuhan HAM sosial
ekonomi melalui mekanisme judicial review, antara lain: (i) nullifying
administrative rules and regulations issued by the executive department
that
contravened
the
constitutionally-mandated
agrarian
reform
Pendapat pengadilan antara lain mengatakan, “Thus, on December 10, 1948, the
United Nations General Assembly adopted the Universal Declaration of Human Rights in which
the right to life, liberty, and all the other fundamental rights of every person were proclaimed.
While not a treaty, the principles contained in the said Declaration are now recognized as
customarily binding upon the members of the international community. Thus, in Mejoff v. Director
of Prisons, this Court, in granting bail to a prospective deportee, held that under the Constitution,
the principles set forth in that Declaration are part of the law of the land. In 1966, the UN General
Assembly also adopted the International Covenant on Civil and Political Rights which the
Philippines signed and ratified. Fundamental among the rights enshrined therein are the rights of
every person to life, liberty, and due process. Lihat: Government of Hongkong Special
Administrative Region v. Hon. Felixberto T. Olalia Jr. and Juan Antonio Muñoz, G.R. No.
153675, April 19, 2007.
757
Basco et al. v. Philippinecommit
Amusements
and Gaming Corporation, G.R. No. 91649,
to user
May 14, 1991.
758
perpustakaan.uns.ac.id
215
digilib.uns.ac.id
program;759 (ii) affirming the constitutional right to a fair and a speedy
trial;760 (iii) affirming a lower court judgment finding the government‟s
use of arrest, detention, and/or deportation orders to be illegal and
arbitrary;761 (iv) enjoining the military and police‟s conduct of
warrantless arrests and searches, „aerial target zonings‟ or „saturation
drives‟ in areas where alleged subversives were supposedly hiding;762 (v)
declaring search warrants defective and the ensuing seizure of private
properties to be illegal;763; (vi) acquitting a person whose conviction for
murder was based largely on an inadmissible extrajudicial confession
(obtained without the presence of counsel);764 (vii) upholding the dismissal
of a criminal charge on the basis of the constitutional right against double
jeopardy;765 (viii) acquittal of a public officer due to a violation of the
constitutional right of the accused to a speedy disposition of her case;766
(ix) prohibiting the compelled donation of print media space to the
Commission on Elections without payment of just compensation;767 dan (x)
prohibiting governmental restrictions on the publication of election survey
results for unconstitutionally abridging the freedom of speech, expression,
and the press.768
759
Luz Farms v. Secretary of the Department of Agrarian Reform, G.R. No. 86889,
December 4, 1990.
760
Lisandro Abadia et al. v. Court of Appeals et al., G.R. No. 105597, September 23,
761
Andrea D. Domingo v. Herbert Markus Emil Scheer, G.R. No. 154745, January 29,
762
Eddie Guazon et al. v. Renato De Villa et al., G.R. No. 80508, January 30, 1990.
763
Republic of the Philippines v. Sandiganbayan et al., G.R. No. 104768, July 21,
764
People of the Philippines v. Elizar Tomaquin, G.R. No. 133188, July 23, 2004.
765
People v. Acelo Verra, G.R. No. 134732, May 29, 2002.
766
Imelda R. Marcos v. Sandiganbayan, et al., G.R. No. 126995, October 6, 1998.
767
Philippine Press Institute Inc. v. Commission on Elections, G.R. No. 119694, May
768
Social Weather Stations Inc.
et al. to
v. user
Commission on Elections, G.R. No. 147571,
commit
1994.
2004.
2003.
22, 1995.
May 5, 2001.
216
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedemikian penting peranan pemenuhan HAM sebagai substansi
judicial review di MA Filipina. Walaupun untuk konteks sekarang bisa
saja prestasi itu tercoreng. Seperti diikuti dalam pemberitaan, Ketua MA
Renato Corona menghadapi dakwaan (impeachment) oleh Senat karena
dituding mengkhianati kepercayaan publik dan melanggar konstitusi
dalam bentuk tindak pidana korupsi. Corona—yang ditunjuk oleh Presiden
Gloria-Macapagal Arroyo menjelang akhir masa jabatan—dituduh
menyembunyikan kekayaan sebesar 4 juta
dollar AS (sekitar Rp 40
miliar). Dalam proses di Senat, 19 dari 23 anggota menyatakan Corona
layak dipecat dan tidak boleh lagi menduduki jabatan publik. Proses ini
jelas memberikan kemenangan politik bagi Presiden Benigno Aquino—
yang pada 2010 lalu memenangi pemilu Presiden secara telak karena
program antikorupsinya.769
Berdasarkan
uraian
di
atas,
nampak
bahwa
konstitusi
diintrumentalisasikan lewat perluasan judicial review pada MA melalui
“democratic constitutional making.” Hal ini membuktikan bahwa
pemenuhan HAM merupakan tuntutan yang berlangsung dalam kondisi
otoritarian maupun demokratik, dan adopsi dalam konstitusi tidaklah
bersifat “self-execution”, karena di samping melalui legislasi, harus
diwujudkan dalam “government action.” Dalam konteks inilah pentingnya
MA memberikan jaminan perlindungan HAM melalui fungsi yang
dilekatkan kepadanya.
4. Kasus Pakistan: Pengadilan Berhadapan Hukum Darurat
Peranan pengadilan di Pengadilan sungguh rumit dan kompleks.
Para hakim yang menentukan jalannya negara, menentukan aturan-aturan
konstitusional berpengaruh terhadap kedaualatan nasioal, partisipasi
politik, dan lembaga negara. Pengadilan memutuskan konflik antara
Presiden dan pemerintah dalam kasus pembubaran Parlemen (1954, 1988,
1990, 1993), memberikan legalisasi atas kudeta (1958, 1977, 1999),
769
commit to user
Lihat Kompas, Rabu, 30 Mei 2012, hlm. 10.
perpustakaan.uns.ac.id
217
digilib.uns.ac.id
menciptakan transisi politik antara pemerintah sipil dan militer (1972,
1986-1988), dan melanjutkan usaha-usaha untuk menentukan aspek
substantif dan prosedural masalah politik, konstitusionalitas pemerintahan,
dan dalam hal tertentu jua, demokrasi. Karena negara terus menerus
mengalami masa transisi, pengadilan Pakistan lalu menjadi subyek dan
sekaligus obyek perubahan politik yang terjadi. Konstitusi yang berhasil
disusun pertama kali (1956) mentrasformasikan pengawasan kolonial ke
desain mekanisme untuk mengendalikan eksekutif. Pengadilan diberi
status otonomi untuk mengemban tanggung jawab ini.
Konstitusi
tersebut,”placed a greater burden on the judiciary to ensure that workable
democracy could emerge than the courts could reasonably shoulder.”770
Sejak kemerdekaan (1947), Pakistan telah menerapkan 28 tahun
hukum tata negara darurat atau hampir separuh waktu sejak kemerdekaan.
Paling akhir hukum tata negara darurat itu diterapkan oleh Presiden
Musharraf menyusul kematian mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto
(2007). Mengkaji pemerintah, politik, dan peran militer Pakistan
menunjukkan bahwa nampaknya penerapan hukum tata negara darurat
akan menjadi kecenderungan di masa depan, sekurangnya-kurangnya
dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sehubungan dengan hal ini,
peranan Mahkamah Agung menjadi penting. Berdasarkan peran ini,
penting untuk ditekankan bahwa ancaman kemerdekaan pengadilan adalah
hukum tata negara darurat dan pemerintahan yang otoriter.
Usaha dinamik MA untuk untuk menegaskan jangkauan judicial
review selama hukum tata negara “normal” dan darurat, telah merugikan
badan pengadilan ini. Tidak lama setelah penerapan Konstitusi 1956,
Presiden Iskander Mirza memberlakukan keadaan darurat, menunda
Konstitusi, memecat pejabat pusat dan propinsi, membubarkan Parlemen
770
hlm. 24.
Paula R. Newberg, Judging
the State:
Court and Contitutional Politics in Pakistan,
commit
to user
218
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nasional dan Propinsi, dan menghapus partai politik.771 Bersamaan dengan
itu, Presiden menunjuk Jenderal Ayub Khan, Panglima Angkatan
Bersenjata,
sebagai
Penguasa
Pemerintahan
Darurat.
Kemudian
diberlakukan Laws (Continuance in Force) Order (1958), untuk
menciptakan “new legal order.” Sehubungan dengan hal ini, MA dalam
putusan perkara The State V. Dosso (1958), membenarkan kebijaksanaan
tersebut dengan mengganggap sebagai “a successful revolution.” Segera
sesudah putusan ini dikeluarkan, Jenderal Ayub Khan memecat Presiden
Mirza dan mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara. Pada tahun 1962,
pemerintahan militer Ayub Khan membentuk Konstitusi 1962, yang
mengakhiri keadaan darurat.
Sesudah adanya aksi massa yang menentang pemerintahannya,
diikuti
dengan
kekacauan
sipil,
tiba-tiba
Jenderal
Ayub
Khan
mengundurkan diri dari jabatannya pada 24 Maret 1969. Pengunduran diri
itu disampaikan kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Yahya
Khan yang kemudian menggantikan posisi sebagai Presiden. Tak lama
sesudah itu (31 Maret 1969), Yahya Khan mengumumkan pembatalan
Konstitusi 1962, membubarkan Parlemen, dan memaksakan pemberlakuan
keadaan darurat di seluruh negeri.772 Namun MA dalam putusan perkara
Asma Jilani, menolak tindakan Yahya Khan, karena menurut pengadilan
tindakan mengambilalih kekuasaan merupakan tindakan illegal dan
bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1972, ketika posisi Presiden
diserahkan kepada Zulfikar Ali Bhuto sebagai hasil pemilu demokratis,
pemberlakukan keadaan darurat dicabut. Tetapi saat itu pecah perang sipil
yang berujung kepada pembentukan negara Bangladesh, sehingga
memaksa pengunduan diri Yahya Khan.
771
LIhat: T. Mahmud, “Praetorianism and Common Law in Post Colonial Setting”,
Utah Law Review, Vol. 80, 1993, hlm. 1243.
Imtiaz Omar, 2009, Emergency
Powers
and the Courts of India and Pakistan, Den
commit
to user
Haaq, Kluwer International Law, hlm. 144.
772
219
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada 5 Juli 1977, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Zia-Ul
Haq, menyusul krisis politik yang terjadi, mengambil alih kekuasaan.
Jenderal Haw kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat,
membatalkan Konstitusi 1973, memecat dan memenjarakan Perdana
Menteri Zulfikar Ali Bhuto. Atas hal itu, MA menyatakan dukungannya
terhadap kudeta ul Haq sebagai penerapan “the doctrine of necessity.”773
Pada 1977, sesudah Mahkamah Agung memutus petisi dalam
perkara Begum Nusrat Bhutto V.Chief of Army Staff, untuk menetang
pemberlakukan keadaan darurat dan menuntut pembebasan penahanan
politisi termasuk bekas Perdana Menteri, sebuah keputusan yang
dikeluarkan oleh Penguasa Darurat memaksa Ketua MA Yakub Ali
mengundurkan diri.774 Selanjutnya, semua hakim senior dipaksa untuk
mengucapkan sumpah kembali berdasarkan Provisional Constituional
Order (1981). Hanya sebagian hakim yang diminta melakukan ini dan
hakim yang lain menolak untuk mematuhi. Diantara yang tidak mematuhi,
dan sebagai konsekuensinya harus melepas jabatan adalah hakim agung
Anwarul Haq.
Tetapi untuk peristiwa serupa pada setelah Jenderal Perves
Musharraf melakukan kudeta terhadap Perdana Menteri Nawaz Sarief
(1999), seluruh hakim agung dan para hakim lokal tidak ada yang
melakukan
perlawanan
dan
bersedia
memenuhi
perintah
untuk
mengucapkan sumpah di bawah pemerintahan baru. Dalam hal ini, MA—
yang sebelumnya melegitimasi kudeta militer Musharraf—mengatakan
bahwa pelaksanaan sumpah yang baru ini penting untuk “on the gound of
safeguarding the remaining ‘institutional values’ of the nation.”775
Dalam tiap penerapan hukum tata negara darurat, maka MA “has
continued, wioth varying of success, to insist on the minimum requirement of
773
774
775
Ibid., hlm. 62.
Opcit.,, hlm. 1225.
commit to user
Imtiaz Omar, op.cit., , hlm. 143.
perpustakaan.uns.ac.id
220
digilib.uns.ac.id
constitutionalism….”776 Tindakan itu bukan tanpa risiko, yang acapkali
berakibat penggantian posisi hakim agung. Memang dalam keadaan transisi,
penggantian hakim akan menimbulkan persoalan serius bagi rezim transisional
dan berpotensi untuk menghasilkan ongkos politik yang signifikan. Anggaran
pemerintah akan terkuras untuk menata kembali posisi para hakim terhadap
pengadilan. Semakin luas kebutuhan aparatur pengadilan, maka akan
menyebabkan membengkaknya anggaran negara.777 Oleh sebab itu, dalam
rangka efisiensi anggaran, pembaruan komposisi hakim umumnya terjadi pada
hakim di lingkungan peradilan tertinggi.778 Namun demikian, solusi ini
berpotensi menimbulkan masalah berupa ketidakpercayaan di lingkungan
pengadilan yang lain, yaitu pada saat hakim yunior yang direkrut oleh rezim
sebelumnya pada saat berikutnya akan dapat melakukan dominasi. Oleh sebab
itu, lepas dari pertimbangan ekonomis, rekomposisi semua hakim lebih efisien
dibandingkan hanya pada badan peradilan tertinggi.
Sudah barang tentu anggaran negara tidaklah menjadi satu-satunya
penentu. Ongkos politik (political cost) juga menjadi pertimbangan penting.
Dalam negosiasi ketika terjadi transisi politik dari kedikatatoran militer di
Chile dan Argentina pada tahun 1990-an misalnya, mempertahankan
776
Ibid.
777
Kasus Indonesia dengan berlakunya UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tipikor mengkonfirmasi hal ini. Tanpa disadari UU baru ini sebenarnya mempunyai agenda untuk
mereposisi hakim dalam fungsi yang khusus dengan konsekuensi penambahan aparatur dengan
kekhususan pula. Ketentuan UU Pasal 4, misalnya, mengatur bahwa “Khusus untuk Daerah
Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya, yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.” Setelah
diundangkan sampai pertengahan 2012, baru terbentuk 1 Pengadilan Tipikor yang menginduk
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari laporan tahunan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 31
Desember 2011, terungkap bahwa perkara korupsi yang dilimpahkan tercatat 78 perkara. Jumlah
ini akan bertambah karena ada 12 perkara sisa tahun 2010, sehingga seluruhnya menjadi 90
perkara. Hingga Desember 2011, para hakim hanya sanggup merampungkan 52 perkara. Untuk
mengatasi hal itu, walaupun terlambat MA akan menambah jumlah Pengadilan Tipikor, yang
konsekuensinya, di samping melakukan pelatihan bagi para hakim karir juga harus merekrut hakim
dari kalangan non karir. Lihat: “Agar Hakim Tidak Pulang Malam”, Gatra, 4 Juli 2012, hlm. 94.
778
Kasus MA Indonesia dapat ditunjuk sebagai contoh. Pada awal berdirinya, MA
mempunyai 9 orang hakim agung. Kemudian seiring dengan banyaknya perkara yang masuk,
jumlah itu ditambah berturut-turut menjadi 19 orang, 24 orang, dan kemudian 51 orang. Sekarang
dengan UU Kekuasaan Kehakiman 2004
dan 2009,
jumlah hakim agung ditetapkan 60 orang.
commit
to user
Lihat: Mahkamah Agung R.I., 2003, Cetak Biru Pembaruan MA, Jakarta, hlm. 44-45.
221
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengadilan dan memberlakukan khusus MA menjadi salah satu kesepakatan
dari pengelolaan tersebut.779 Faktor politik yang lain adalah hubungan
internasional dan reputasi investasi asing. Perombakan yudisial akan merusak
citra dari rezim baru yang berkuasa.
779
commit to user
Nuno Garoupa dan Maria A. Maldonado, op.cit., hlm. 597.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
CONSTITUTIONAL REVIEW DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KINERJA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM TRANSISI
DEMOKRASI (SUATU PERBANDINGAN HUKUM)
A. Catatan Awal
Pertumbuhan pengaruh pengadilan terhadap transisi politik akhir-akhir
ini telah berkembang menjadi perhatian penelitian baik di negara maju
maupun negara berkembang. Fenomena ini menggambarkan sisi lain dari
“judicialization of politics”, yang mencakup 2 pengertian. Pertama, perluasan
lapangan pengadilan atau hakim dalam masalah politik atau administrasi.
Kedua, meluasnya efek putusan pengadilan di luar kerangka tujuan pengadilan
itu sendiri.780
Dewasa ini telah lebih dari 80% konstitusi di seluruh dunia
mempunyai ketentuan yang berhubungan dengan CR.781 seperti diuraikan di
dalam Bab III, demokrasi Barat mengadopsi CR sesudah Perang Dunia II, dan
kebanyakan demokrasi gelombang ketiga kemudian mengikuti pola serupa.
Perluasan CR ini mempunyai derajat teoritis yang penting bagi transisi
demokrasi. Kebaikan demokrasi adalah mensyaratkan adanya “a selfencorcing mechanism” untuk menghalangi tirani mayoritas dan/atau oposisi
terkoordinasi.782 Konstitusi dipercaya untuk memastikan bahwa mekanisme
tersebut dengan melekatkan suatu kriteria yang tegas mengenai pelanggaran
kesepakatan sosial, atau hal-hal yang berkenanaan dengan mana demokrasi
dijalankan.783 Meskipun demikian, di dalam praktik, Parlemen yang dikuasai
oleh kekuatan politik mayoritas mampu menetapkan UU yang bertentangan
780
Torbjorn Vallinder, op.cit., hlm. 13.
Tom Ginsburg, “The Global Spread of Constitutional Review”, dalam Keith E.
Whittington, et.al., 2008, The Oxford Handbook of Law and Politics, Oxford, Oxford University
Press, hlm. 81.
782
Lihat: Barry R. Weingast, “The Political Foundations of Democracy and the Rule of
commit
user
Law”, American Political Science Review,
Vol. 91,toNo.
2, 1997, hlm. 245.
783
Ibid.
781
222
perpustakaan.uns.ac.id
223
digilib.uns.ac.id
dengan konstitusi. Dalam hal ini, CR bertujuan “to rectify such constitutional
violation by the majority.”784
Penelitian mengenai CR di waktu yang lampau memusatkan perhatian
pada Amerika Serikat, di mana sistem pemisahan kekuasaan menempatkan
pengadilan sebagai aktor penting dalam proses politik. Di negara lain, analisis
terhadap CR secara ketatanegaraan hanya sedikit, kecuali kajian ilmiah yang
bersifat deskriptif.785 Hanya saja sejak 10 tahun yang lalu, proses politik CR
telah menjadi kajian yang menarik di negara maju maupun negara demokrasi
baru.
B. Pengalaman di Sejumlah Negara
1. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Eropa Timur
Hingga tahun 1989, Eropa Timur berarti negara yang terletak
diantara Jerman Timur dan Uni Soviet yang dikendalikan oleh Partai
Komunis. Ideologi tersebut juga menunjukkan referensi wilayah: Praha,
sekarang ibukota Republik Ceko, disebut sebagai “Timur”, sementara
Wina, sekalipun terletak di sebelah Timur Praha, disebut sebagai “Barat.”
Dengan pengertian ini, maka wilayah Eropa Timur dan Tengah mencakup
negara Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia, Hongaria, Yugoslavia,
Rumania, Bulgaria, dan Albania. Sesudah tahun 1989, Jerman Timur
bubar, Cekoslovakia terpecah menjadi 2 negara (Republik Ceko dan
Slovakia), dan Yugoslavia terbelah menjadi 6 negara independen (Bosnia,
Kroasia, Macedonia, Montengro, Serbia, dan Slovenia). Ada 6 negara
yang kemudian muncul sesudah bubarnya Uni Soviet yatu Estonia, Latvia,
Lithuania, Belarusia, Ukraina, dan Moldova. Pada tahun 1990-an, ada
lebih dari 4 negara di kawasan ini yang kemudian menjadi anggota Uni
Eropa (2003).
Transisi demokrasi di Eropa Timur secara konseptual dapat
dipahami apabila memahami bentuk-bentuk tranformasi yang telah terjadi
sebelumnya. Bentuk transformasi ini mencakup: (i) classical transition,
784
785
commit to user
Ibid.
LIhat: C. Neal Tate dan Torbjorn Vallinder (Editor), loc.cit.
224
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu perluasan demokratisasi di negara kapitalis (1860-1920); (ii) neoclassical transition, yang merujuk kepada demokratisasi berbasis kapitalis
setelah Perang Dunia II (Jerman Barat, Italia, dan Jepang pada tahun 1940an; Spanyol dan Portugal pada tahun 1970-an; beberapa negara Amerika
Latin pada 1970-an dan 1980-an; Korea Selatan dan Korea Selatan pada
tahun
1980-an);
(iii)
market-oriented
reform,
di
negara-negara
nonkomunis (Jerman Barat dan negara Barat lain setelah Perang Dunia II;
Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1960-an; Chile pada tahun 1970-an;
Turki dan Meksiko pada tahun 1980-an, dan Argentina pada 1990-an); dan
(iv) post communist transition di Asia (China sejak 1970-an dan Vietnam
sejak 1980-an).786
Transisi demokrasi di Eropa Timur di awali pada tahun 1989.787
Mengkaji terjadinya transisi demokrasi setelah komunisme berakhir, para
ahli berpaling terhadap bentuk pemerintahan yang dihasilkan. Dengan
melihat pengalaman di Amerika Latin dan Eropa Selatan, dalam versi
gelombang ketiga demokratisasi model Huntington, dapat diasumsikan
bahwa transisi di negara Eropa Timur berasal dari negosiasi yang
menghasilkan pembagian kekuasaan diantara elit-elit politik. Akan tetapi
tidak semua ahli menyetujui asumsi tersebut, seperti yang dikemukakan
oleh McFaul. Menurut McFaul, “when we take into account those former
Soviet block countries that have been less successful at democratization,
and examine persistence of dictatorship as well as emergence of
democracy, we see that it was the non-cooperative rather than negotiated
transitions that were most effective.”788 Sementara itu untuk faktor
786
Leszek Balcerowicz, “Post-Communist Transition: Some Lesson”, London, Institute
of Economic Affairs, hlm. 20.
787
Perlu diperhatikan bahwa di kawasan Eropa yang lain, transisi demokrasi telah
berlangsung pada tahun 1945 sesudah Perang Dunia II. Pada saat itu muncul “a new wave of
democratization” dari negara-negara yang sebelumnya mengalami fasisme menjadi demokrasi
bebas karena pengaruh Amerika seperti Jerman dan Italia. Lihat: Pero Maldini, 2007, Transition in
Central and Eastern European Countries: Expereinces and Future, Zagreb, Political Science
Research Centre, hlm. 37.
788
Michael McFaul, “The Fourth Wave of Democracy and Dictatorship
commit to World,”
user World Politics, Vol. 54, 2002, hlm.
Noncooperative Transitions in the Postcommunist
212.
perpustakaan.uns.ac.id
225
digilib.uns.ac.id
pengaruh eksternal, para pakar menekankan kesempatan politik untuk
melakukan sikap oposisi karena semakin menyusutnya pegaruh Soviet
terhadap negara-negara satelitnya saat Michael Gorbachev mulai
berkuasa.789
Proses demokratisasi sejak 1989 ditandai dengan pembentukan
partai politik yang meningkat tajam.790 Salah satu kasus yang begitu
ekstrim adalah saat pemilu parlemen di Polandia (1991), di mana “the cote
was devided among some thirty parties, non of which won more than 12
percent of the total vote.”791 Dampak dari pemilu dengan multipartai
kemudian menghasilkan pemerintahan yang bercorak koalisi, yang
kemudian mendorong ketidakstabilan peemerintah, yang dimulai sejak
awal pemilu atau saat penunjukkan Perdana Menteri. Namun demikian,
tidak ada satu partai pun yang mengklaim sebagai penerus partai komunis.
Di beberapa negara, termasuk Polandia, Hongaria, dan Bulgaria, dalam
pemilu yang kedua atau ketiga, bekas partai komunis kembali
mengendalikan pemerintahan. Bahkan, di semua negara bekas komunis di
Eropa, dengan pengecualian di Hongaria, partai nasionalis berkembang
luas dan seringkali memperoleh kesempatan untuk berkuasa. Dalam kasus
Krosia semasa kepresidenan Tudjman dan Slovakia dalam era Presiden
Meciar, partai nasionalis memperoleh suara terbanyak.
Untuk memahami perkembangan politik setelah 1989, para pakar
merujuk kepada pengalaman gelombang kedua dan gelombang ketiga
demokratisasi di wilayah yang lain. Meskipun demikian, puncak dari
tantangan pascakomunis adalah keberlanjutan demokrasi, privatisasi,
regionalisasi, dan globalisasi, yang hadir di Eropa Timur dan Tengah
dengan persoalan-persoalan yang berbeda dengan transformasi ekonomi
Adrian Hyde Price, “Democratization in Eastern Europe: The External Dimension”,
dalam Geoffrey Pridham dan Tatu Vanhanen (Editors), Democratization in Eastern Europe:
Domestic and International Perspectives, London, Routledge, hlm. 220.
790
Ibid., hlm. 254.
791
David Mason dan James Kluegel, “Introduction: Public Opinion and Political
Change ini the Postcommuniest States”, dalam David Mason, James Kluegel dan Bernd Wegener
commit
to userPublis Opinion in Capitalist and Post
(Editors), 1995,Social Justice and Political
Change:
Communist States, Hawthrone, Aldine de Gruyter, hlm. 5.
789
perpustakaan.uns.ac.id
226
digilib.uns.ac.id
dan politik di Asia Timur, Amerika Latin, atau China.792 Tidak seperti di
Asia Timur, yang mengalami demokratisasi sesudah terhubung dengan
gejala ekonomi global, di kawasan ini transformasi politik seiring dengan
liberalisasi ekonomi. Saat transisi ekonomi dan politik di Amerika Latin
berjalan bersamaan, akan tetapi tidak melibatkan perubahan aturan-aturan
kepemilikan, seperti terjadi di Eropa Timur.793 Transisi demokrasi di
wilayah ini juga tidak dapat begitu saja disandingkan dengan China. Saat
kalangan sosialis menciptakan komunalisme, tetapi di China tidak diikuti
dengan demokratisasi atau privatisasi. Bahkan, kenyataan di banyak
negara bekas komunis ini begitu antusias untuk bergabung dengan Uni
Eropa, telah menambahkan gelaja spesifik transisi demokrasi di kawasan
ini.
Seperti ditulis oleh Zdenek Kuhn, “one of the most widespread
problems in post-communist countries, at least as far as is reflected very
frequently in popular complaints, is the quality of the judiciary.”794
Penundaan, keanehan, dan putusan-putusan yang mengejutkan dan
menjunjung tinggi formalism seringkali terjadi. Beberapa penulis
mengatakan bahwa dalam
situasi pasca komunis ini hukum, para
cendekiawan, dan pengadilan mengalami krisis yang luar biasa. 795 Milos
Zeman, bekas Perdana Menteri Republik Ceko, dalam memornya menulis
antara lain,”no lazier and more imcompetent band than the Czech judges,
who take lost of money for doing nothing.”796 Ungkapan ini menunjukkan
hal yang sangat jelas dari budaya pengadilan di negara pasca komunis
Jeffrey S. Kopstein dan David A. Relly, “Geographic Diffusion and the
Transformation of the Postcommunist Word”, Wolrd Politics, Vol. 53, 2000, hlm. 1-37.
793
Lihat kajian oleh Marcus Kurtz dan Andrew Barnes, “The Political Foundations of
Post-Communist Regimes: Marketization, Agrarian Legacies, or International Influences”,
Comparative Political Studies, Vol. 35, No. 5, 2002, hlm. 524-553.
794
Zdenek Kuhn, “The Democratization and Modernization of Post-Communist
Judiciaries”, dalam Alberto Febbrajo dan Wojciech Sadurski, 2010, Central and Eastern Europe
after Transition: Towards a New Socio-Legal Semantic, Surrey, Ashgate Publishing Limited, hlm.
177.
795
Misalnya diuraikan dalam Csaba Varga, 1995, Transition to Rule of Law: On the
Democratic Tranformation of Hungary, Budapest, Hungarian Acadamy of Science, Institute for
commit to user
Legal Studies.
796
Csaba Varga loc.cit.
792
227
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yaitu, pertama, superioritas dan perilaku buruk para politisi terhadap para
hakim yang seringkali disertai ejekan terhadap putusan-putusannya.
Kedua, ketidakpercayaan yang meluas dari publik terhadap para hakim.
Deskripsi semacam itu harus dilekatkan dengan tata hukum di
masa lalu. Jatuhnya komunisme menempatkan sistem hukum dan politik
yang sosialis
tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan sistem
sosial yang baru. Ketidaksiapan tadi dapat bersikap menyeluruh seperti di
Cekoslovakia, Jerman Timur dan negara-negara Eropa Timur lainnya; atau
akibat reformasi yang tidak menyeluruh seperti di Polandia dan Hongaria.
Sekalipun terdapat pembahasan guna menginisiasi kebijakan yang sesuai
dalam rangka pembenahan pasca komunisme tersebut, akan tetapi tidak
pernah ada upaya sungguh-sungguh untuk mereformasi secara radikal
sistem hukum tersebut.
Sehubungan dengan hal ini legitimasi MK di negara-negara ini
ditandai dengan kecaman dari 2 pihak yaitu Parlemen dan pengadilan
umum. Watak Parlemen yang lemah (sehubungan dengan meluasnya
sistem
kepartaian)
memberikan
pembenaran
terhadap
pemberian
wewenang MK untuk melakukan CR. Keberatan pihak pengadilan umum
sehubungan dengan terpangkasnya wewenang badan ini untuk melakukan
penilaian terhadap ketentuan UU, yang muncul akibat sistem CR yang
bergaya desentralisasi. Padahal suatu kecenderungan yang umum di negara
pascakomunis ini adalah penerimaan CR yang sentralistis dengan
memperkenalkan model Eropa.797
Alasan yang sangat mendasar bagi penerimaan diam-diam bagi
penerimaan MK di negara-negara Eropa Timur adalah fenomena transisi
demokrasi. Lembaga-lembaga negara setelah jatuhnya rezim komunis
menjadi lemah dan mengalami demoralisasi; terjadinya kevakuman
politik, dan meluasnya ketidakpercayaan terhadap Parlemen, birokrasi, dan
797
Lihat identifikais keberatan ini dalam Louis Favoreau, “American and European
Models of Constitutional Justice”, dalam David S. Clark (Editor), 1990, Comparative and Private
commit
toMarryman
user
International Law: Essays in Honor of John
Henry
on His Seventieth Birthday, Berlin,
Duncker Humblot, hlm. 110.
228
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengadilan. Dalam keadaan demikian MK “could claim the virtues of
being new, untainted by the totalitarian past, and promising to perform the
role of a true vanguard in reconstructing the axiology of the legal
system.”798 Konfigurasi politik di negara Eropa Timur dalam periode
transisi ini ditandai dengan ambiguitas dan kontradiksi secara mendalam;
tekanan antara keberlanjutan (sesuatu yang lazim dalam transisi
demokrasi, apabila dibandingkan dengan revolusi) dan perubahan (yang
membentuk format baru terhadap format lama, termasuk ketentuan
konstitusi). Kondisi ini mendorong argumentasi untuk pembentukan suatu
badan yang akan memperoleh “a high degree of social prestige,
independence, and authority.”799 Suatu MK yang kuat nampaknya cocok
untuk syarat-syarat tersebut.
Di bawah rezim komunis, penolakan CR begitu kuat, yang secara
resmi dianggap bertentangan dengan doktrin supremasi parlemen nasional.
Di samping itu, gagasan CR berarti bertentangan dengan keinginan Partai
Komunis untuk mengendalikan kehidupan politik secara menyeluruh.
Seorang pakar hukum Polandia, Stefan Rozmaryn, pada masa Stalin
pernah mengatakan bahwa gagasan CR merupakan ide reaksioner dan
bukan ide progresif. Namun demikian, dalam masa transisi demokrasi,
penetangan keras terhadap gagasan CR meredup dan
untuk pertama
kalinya ide ini diusulkan untuk mengendalikan supremasi parlemen.
Perlu dicatat, bahwa sebelum tumbangnya rezim komunisme, di
kawasa ini hanya ada 2 negara yang memiliki MK, yaitu Yugoslavia
(1963) dan Polandia (1985). Praktik di Yugoslavia yang mengenal MK
tanpa meninggalkan doktrin “negara kesatuan”, merupakan contoh CR
yang tidak ditolak oleh sistem komuns. Dalam hal ini, MK Federal
Yugoslavia berfungsi untuk “menjamin tujuan-tujuan institusi tetapi tidak
didedikasikan untuk menjaga hak-hak individu dan relasi antarunit
pengadilan dalam sistem federal.” Di Polandia normatifikasi MK telah
798
799
Ibid.
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
229
digilib.uns.ac.id
dicantumkan dalam perubahan UUD (1982), akan tetapi undang-undang
yang mengatur lebih lanjut baru dibentuk pada tahun 1985 dan MK
beroperasi setahun kemudian (1986).
Jika ditelisik lebih jauh, tradisi pembentukan MK juga sudah
dirintis, bahkan sebelum Perang Dunia II. Dalam masa sebelum Perang
Dunia II, tradisi CR dilaksanakan di setiap negara Eropa, meskipun lemah
dan sesungguhnya tidak benar-benar eksis. Di beberapa negara, sejauh
menyangkut CR, banyak yang mengadopsi kembali konstitusi mereka di
masa lalu. Salah satu negara yang telah mempunyai MK dalam format
model Kelsen adalah Cekoslovakia dan didirikan pada 1920 dan mulai
melaksanakan wewenang pada November 1921. Pengadilan ini hanya
memiliki kekuasaan untuk pengujian abstrak. Menariknya, wewenang ini
berdampingan dengan kekuasaan pengadilan umum untuk meninjau
konstitusionalitas undang-undang yang mereka terapkan, yang secara
keseluruhan sistem ini menunjukkan keberlakuan secara bersama-sama
antara model Eropa dan model Amerika. Putusan MK jarang yang bersifat
ekstrim. Sepanjang eksistensinya (1921-1939), di samping menguji
beberapa produk Parlemen, pengadilan hanya memutus 2 perkara
pengujian undang-undang (1938), sekalipun tidak pernah menuntaskan
pemeriksaannya.
Di Rumania, kekuasaan pengujian konkrit oleh pengadilan diakui
sejak awal abad ke-20, sekalipun tidak ada ketegasan dalam Konstitusi
1866. Pengadilan Bucharest berhasil merumuskan wewenang ini dalam
Burahrest Tram Company (1912). Konstitusi Rumania selama perang
saudara (1923 dan 1938) mengadopsi prinsip-prinsip pengujian konkrit
yang dilaksanakan oleh pengadilan kasasi dan MA. Akan tetapi, pengujian
konstitusionalitas UU dalam kasus yang diperiksa hanyalah dalam bagian
pertimbangan dan tidak merupakan suatu putusan tersendiri. Wewenang
pengadilan ini tidak sering dilaksanakan akan tetapi telah memberikan
pengaruh terhadap praktik pengadilan di luar Rumania. Mengambil praktik
user Balamzov, saat mengajukan
di Rumania ini, pakar commit
hukumtoStefan
perpustakaan.uns.ac.id
230
digilib.uns.ac.id
rancangan UUD (1936) di Bulgaria mengusulkan MA yang melaksanakan
pengujian model Amerika. Gagasan ini mengambi alih pakar hukum
Stefan Kirov yang mengajukan ide serupa di awal abad ke-20. Warisan
gagasan Balazov begitu berpengaruh, terutama setelah kejatuhan rezim
komunis, di mana para pakar hukum kemudian secara sistematis
mengambi alih pemikirannya, meskipun ketentuan konstitusi pada
akhirnya mengadopsi model Eropa.
Setelah transisi demokrasi pada tahun 1989, Hongaria menjadi
negara pertama yan mengadopsi MK melalui amandemen Konstitusi pada
November 1989 dan secara cepat diikuti pembentukan peraturan
perundang-undangan. Selanjutnya, Cekoslovakia membentuk MK melalui
amandemen UUD pada akhir 1990 dan bulan Februari 1991 UU MK dapat
dibentuk. Di Rusia UU MK dibentuk bahkan sebelum reformasi konstitusi
(Juli 1991). Untuk pertama kali MK Rusia beroperasi pada Oktober 1991
dan menepis tudingan bahwa lembaga itu tidak akan mempunyai
kewenangan substantif, di masa kepemimpinan Valery D. Zorkin (19911993), MK menjadi lembaga progresif yang memunculkan kontroversi
politik. Di tahun 1991 itu juga, Albania membentuk MK (dengan UU) dan
diikuti oleh Bulgaria dan Rumania (melalui perubahan UUD). Pada tahuntahun berikutnya, negara bekas komunis di Eropa Timur dan Tengah
membentuk MK.
Di beberapa negara pembentukan MK tersendat-sendat. Di
Ukraina pembentukan MK melalui reformasi konstitusi warisan Soviet
(Oktober 1990) dan UU MK baru terbentuk pada Juni 1992. Leonid
Yuzkhov telah ditunjuk menjadi Ketua MK, akan tetapi Komisi Yudisial
gagal mengusulkan hakim konstitusi yang diperlukan dan baru pada
Oktober 1996, saat dibentuk UU baru, MK mulai melaksanakan tugasnya.
Di Latvia, perdebatan mengenai pembentukan MK berjalan selama
bertahun-tahun sampai ada kesepakatan perubahan UUD pada Juni 1996
dan dengan pembentukan UU MK di tahun itu, maka barulah pada
commit to user
Desember 1996 mulai melaksanakan
wewenangnya.
231
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keunikan juga terjadi dalam pembentukan MK di Boznia &
Herzegovina, di mana MK dibentuk dengan Konstitusi 1995 (yang
merupakan bagian dari Kesepakatan Dayton untuk menghentikan perang
di kawasan ini pada 1990-1993). Pembentukan MK tidak lazim,
mencampuradukkan
antara
pengadilan
“lokal
dan
internasional.”
Sebanyak 6 hakim berasal dari Bosnia & Herzegovina (4 dipilih oleh DPR
Federal dan 2 dipilih oleh Majelis Nasional) dan 3 hakim berasal dari luar
negara tersebut, dengan ketentuan tidak boleh warganegara Bosnia &
Herzegovina atau negara sekitarnya, dan diajukan oleh Ketua Pengadilan
HAM
Eropa
setelah
berkonsultasi
dengan
Presiden
Bosnia
&
Herzegovina.
Di Belarusia, MK dibentuk melalui Konstitusi 1994 dan mulai
November 1996, telah membatalkan hampir 20 keputusan Presiden
Lukashenko. Melalui amandemen Konstitusi, MK berubah menjadi
lembaga yang tidak berdaya. Jika sebelumnya seluruh hakim ditunjuk
dengan persetujuan Parlemen, mulai tahun 1996 ketentuan itu diubah
menjadi 6 hakim dicalonkan oleh Presiden dan 6 hakim yang lain harus
disetujui Senat. Pada praktiknya, seluruh hakim, baik langsung maupun
tidak langsung, dicalonkan oleh Presiden. Selanjutnya, ketentuan baru
membatasi bahwa hanya Presiden yang berwenang mengajukan pengujian
UU. Presiden juga berwenang untuk memecat hakim dan wewenang untuk
menyatakan tindakan Presiden melanggar konstitusi juga dihapus. Dengan
demikian, MK Belarusia berubah menjadi lembaga palsu, yang
menunjukkan keburukkan praktik demokrasi dan rule of law di negara itu.
Sekalipun terdapat variasi mengenai postur dan kewenangan MK,
namun dapat ditarik gambaran umum mengenai pengadilan konstitusi di
Eropa Timur dan Tengah ini. Model MK mencerminkan sifat CR secara
terpusat (centralized), dilaksanakan oleh sebuah pengadilan yang terdiri
atas para hakim yang ditentukan masa jabatannya oleh cabang
pemerintahan yang lain. Pelaksanaan CR berbasis kepada pengujian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
232
digilib.uns.ac.id
abstrak, berisfat “ex-post’, dan putusannya bersifat final dan mengikat
terhadap pengujian konstitusionalitas UU atau peraturan yang lain.
Pelaksanaan CR diselenggarakan oleh suatu badan pengadilan
yang bersifat khusus, dibentuk di luar sistem pengadilan pada umumnya
dan seringkali diatur dalam ketentuan konstitusi sebagai peraturan yang
terpisah dari bab tentang kekuasaan kehakiman. Model pengaturan ini
dijumpai dalam Konstitusi Rumania, Hongaria, Lithuania, Bulgaria, dan
Ukraina. Sementara itu dalam konstitusi Slovakia, Republik Ceko, Rusia,
dan Polandia, MK diatur berdampingan dengan sistem kekuasaan
kehakiman yang lain. Nama MK adalah istilah yang dipakai secara umum,
kecuali Estonia yang menggunakan istilah “Chamber of Constitutional
Review” dan secara struktural menjadi bagian dari Mahkamah Agung.
Tetapi fungsi badan di Estonia ini serupa dengan lazimnya MK di negaranegara lain.
Para hakim ditunjuk untuk masa jabatan tertentu dan pada
umumnya menjabat selama 9 tahun. Namun demikian di ada negara yang
mengatur secara berbeda seperti Moldova (6 tahun), Kroasia (8 tahun), dan
Republik Ceko (10 tahun). Dengan sejumlah pengecualian, posisi para
hakim umumnya diisi oleh pakar hukum (khususnya pengajar hukum tata
negara) atau hakim senior di lingkungan pengadilan yang lain. Sifat
rekrtuemen adalah politik, sekalipun “kemampuan tinggi untuk menguasai
persoalan hukum” menjadi salah satu diantara kriteria-kriteria untuk
menentukan. Di kebanyakan MK di Eropa Timur dan Tengah, hakim
konstitusi dicalonkan dalam suatu proises yang mensyaratkan dukungan
legislatif dan eksekutif (antara lain Rumania, Albania, Republik Ceko,
Slovakia, dan Rusia). Di negara lain, badan pengadilan tertinggi dilibatkan
(Bulgaria, Lthuania, dan Ukraina). Di Hongaria dan Polandia, pencalonan
hakim konstitusi hanya melibatkan Parlemen.
Fungsi yang paling penting dari MK adalah melaksanakan CR.
Pengujian itu sendiri bersifat abstrak, sekalipun di beberapa negara
commit
to user pengujian secara konkrit yang
diberikan wewenang untuk
melaksanakan
233
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diajukan berdasarkan permintaa pengadilan lainnya dan beberapa
diantaranya berwenang untuk melaksanakan constitutional complaint
(Hongaria, Polandia, Slovenia, dan sebagainya). Untuk pengujian abstrak,
lembaga yang menjadi pihak aalah Presiden atau sekelompok anggota
Parlemen. Yang dapat dimohonkan pengujian adalah UU, kecuali di
Rumania yang mengizinkan permohonan pengujian RUU. Di Hongaria,
MK diberi wewenang untuk memberikan pendapat hukum atas rancangan
UU sebelum dilakukan pemungutan suara di Parlemen. Semua MK di
kawasan Eropa Timur dan Tengah mengatur bahwa semua putusan CR
bersifat final dan mengikat, kecuali di Rumania. Di Rumania, putusan CR
dapat dinilai oleh 2/3 anggota Parlemen dari 2 kamar. Di Polandia, sampai
dengan pemberlakuan Konstitusi 1997, dijumpai juga mekanisme serupa.
Uraian selanjutnya akan mendeskripsikan transisi politik di negara
Eropa Timur. Deskripsi itu diikuti dengan pembahasan historiagrafi MK di
negara yang bersangkutan dan kemudian diuraikan bagaimanakah kinerja
MK dalam masa transisi demokrasi.
a. Kasus Polandia
(1) Desain Transisi Demokrasi: Politik dan Perubahan Konstitusi
Kekalahan Polandia dalam Perang Dunia II menyebabkan
negara di bawah pengaruh Uni Soviet termasuk sistem konstitusi,
ekonomi, dan politik.800 Konstitusi 1952 (disahkan Juli 1952) yang
800
Polandia terlibat baik dalam Pertama dan Perang Dunia Kedua. Ketika Perang Dunia
I dimulai pada Juli 1914 itu adalah masa penuh harapan bagi Polandia karena Rusia, Jerman dan
Austria, tiga kekuatan yang membagi dan menduduki wilayah Polandia pada tahun 1795, berada di
sisi yang berlawanan. Polandia menunggu untuk saat itu dan ketika perang dimulai mereka
percaya waktu kebebasan dan kemerdekaan dekat. Sebagai warga Rusia, Jerman dan Austria,
prajurit Polandia prajurit harus berjuang dengan diri sendiri selama Perang Dunia Pertama dan hal
itu merupakan tragedi besar. Perang Dunia II dimulai pada tanggal 1 September 1940 di Polandia.
Wieluń, sebuah kota kecil, yang dibatasi oleh sungai Westerplatte dekat Gdańsk adalah tempat
yang pertama diserang oleh tentara Jerman. Pihak Jerman memiliki lebih banyak tentara dan
senjata terutama tank dan pesawat dibandingkan Polandia, tetapi tentara Polandia, pekerja kantor
pos di Gdańsk dan bahkan orang-orang muda (pramuka di Katowice) bertempur dengan gagah
berani. Pada tanggal 3 September Inggris dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman, tetapi
tidak ada tentara Inggris atau Perancis yang mulai pertempuran. Polandia harus berjuang tanpa
dukungan. Terlebih lagi, pada 17 September tentara Soviet menginvasi bagian timur Polandiacommitdan
to user
seperti pada 23 Agustus 1939 Uni Soviet
Jerman menandatangani perjanjian tentang
persahabatan dan kerjasama (Molotov-Ribbentrop Pact). Presiden Polandia dan pemerintah
234
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berhasil disusun kemudian—yang diberi sebutan “the Communist
Constitution—sudah jauh dari akar tradisi asli tata hukum
Polandia.801 Dengan demikian politik atau, dalam beberapa hal,
konstitusi
tersebut
memperlihatkan
ketimpangan
otoritas.
Konstitusi 1952 dianggap hanya menerjemahkan begitu saja
ketentuan Konstitusi Uni Soviet 1936.802
Dengan sistem konstitusi yang demikian, di Polandia tidak
ada hukum tata negara, tetapi hukum kebijakan. Sejak saat itu
kemudian sendi-sendi kehidupan bernegara ditentukan oleh Partai
Komunis yang disebut Polish United Workers Party (PZPR) yang
selalu berkonsultasi dengan “saudaranya” di Moskow. Selanjutnya,
Konstitusi 1952 diubah pada tahun 1976 untuk melakukan
formalisasi terhadap monopoli kekuasaan partai komunis dalam
rangka mencapai tujuan negara sosialis. Perubahan konstitusi ini
memicu perlawanan kalangan oposisi yang semakin besar dan 3
tahun berikutnya terhimpun dalam suatu aliansi nasional yang
meninggalkan negara itu. Pasukan Polandia terus bertarung dengan tentara Jerman Nazi sebelum
hari pertama bulan Oktober. Setelah lama menghadapi perlawanan Polandia Jerman harus
menunda
operasi
perang
di
barat.
Lihat:
http://www.gimksawerow.nazwa.pl/COMENIUS/Poland1.pdf, diakses di Surakarta, 21 Juni 2013.
801
Tradisi hukum ketatanegaraan Polandia diawali dengan penetapan Konstitusi 1791
pada 3 Mei 1791, yang dewasa ini diperingati sebagai “constitutional day.” Konstitusi ini
dianggap sebagai cikal bakal pertumbuhan konstitusionalisme Polandia. Lihat: Daniel H. Cole,
“Poland’s 1997 Constitution in Its Historical Context”, 22 September 1998, diunduh dari
https://mckinneylaw.iu.edu/instructors/cole/web%20page/polconst.pdf, diakses di Surakarta, 21
Juni 2013.
802
Secara formal, penyusunan Konstitusi dilakukan oleh Komisi Konstitusi Parlemen,
yang ditetapkan oleh undang-undang 26 Mei 1951, yang anggotanya, selain dari politisi Parlemen,
termasuk "Wakil-wakil terkemuka dari kalangan ilmu pengetahuan, budaya dan seni". Tugas
Komisi ini termasuk menyiapkan rancangan konstitusi dan melaksanakan diskusi nasional tentang
hal itu, pengumpulan dan pengolahan setiap gerakan, koreksi dan komentar yang disarankan oleh
warga dan kemudian menyerahkan kepada Parlemen. Pada kenyataannya, Komisi Konstitusi
hanya mengadakan 4 pertemuan, dalam "debat" yang merupakan bentuk lainkampanye
propaganda besar dan Konstitusi itu telah disusun oleh partai di tahun 1949-1951. Konstitusi ini
tetap salinan hukum dasar yang ditulis sendiri oleh Joseph Stalin. Tentu saja, Komisi Konstitusi
menerima hasil kerja tersebut. Pasca-perang "debat konstitusi" Polandia ditandai dengan karakter
lembaga-lembaga demokratis, yang khas untuk sistem komunis, dan distorsi esensi mereka dengan
dominasi partai komunis. Lihat: Ewa Poplawska, “Constitution Making in Poland: Some
Reflection
Populair
Involment”,
diunduh
dari
http://www.pravst.hr/dokumenti/zbornik/200888/zb200802_279.pdf,
diakses
di
Surakarta,
pada
21
commit to user
Juni 2013.
235
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikenal sebagai Solidaritas, yang berambisi untuk mengguling
PZPR
dari
kekuasaan.
Ironisnya,
Konstitusi
1976
tidak
mengizinkan keberadaan Solidaritas.
Dalam perkembangannya, Konstitusi 1976 diamandemen
lagi pada 1982. Perubahan ini memperkenalkan 2 lembaga negara
baru yaitu, pertama, MK (Constitutional Tribunal) untuk
melakukan CR. Kedua, Pengadilan Negara (Tribunal State),
sebuah
badan
peradilan
semu
dalam
rangka
memeriksa
penyelenggara negara yang dituduh melakukan kejahatan. Kedua
lembaga yang baru dibentuk itu selanjutnya memberikan
sumbangan signifikan bagi perkembangan hukum di Polandia.
Perpecahan kalangan komunisme mulai terjadi pada 1
Januari 1989 saat diberlakukan UU Aktivitas Ekonomi. Dengan
berlakunya aturan ini, maka telah diakhiri percobaan sistem
sosialisme di Polandia yang membebaskan banyak sektor ekonomi
dari kontrol negara. Menyikapi dinamika politik itu, pada tanggal
6 Februari 1989 dan 5 April 1989, suatu rencana sistematis untuk
tranfsormasi politik telah disepakati melalui negosiasi The Round
Table antara perwakilan Partai Komunis dengan kalangan oposisi.
Sebanyak 452 orang menjadi peserta negosiasi ini. Pembahasan
dalam negosiasi itu dibagi ke dalam 3 kelompok kerja yaitu
kelompok ekonomi dan kebijakan sosial (dipimpin oleh Wladyslaw
Baka dan Witold Trzeciakowski), kelompok reformasi politik
(dipimpin oleh Janusz Reykowski dan Bronislaw Geremek) dan
kelompok pluralisme serikat dagang (dipimpin oleh Tadeusz
Mazowiecki dan
Romuald Sosnowski). Hasil pembicaraan
negosiasi itu meliputi pembentukan Majelis Tinggi Parlemen
(Senat), pembaruan komposisi DPR (Sejm, di mana 65% kursi
diperuntukkan bagi partai yang berkuasa dan 35% untuk kalangan
independen), jabatan Presiden untuk 6 tahun dan dipilih oleh kedua
commit to user
kamar Parlemen, perubahan
UU berserikat, yang memungkinkan
236
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
registrasi bagi Solidaritas, dan akses ke media bagi oposisi.
Negosiasi itu menjadi permulaan demokratisasi secara damai
dengan menghindarkan pertumpahan darah seperti revolusi di
Rumania dan eksekusi terhadap Presiden Nicolae Ceaisescu. Hal
ini menghentikan monopoli rezim yang berkuasa dengan
tranformasi yang sistematis dan menekan ongkos sosial. Rezim
yang berkuasa setuju bernegosiasi dengan Solidaritas setelah
bermusuhan dalam jangka waktu yang lama. Pengaruh faktor
eksternal, dalam hal ini situasi di Uni Soviet tentu saja berperan
dalam keputusan tersebut.
Sebagai salah satu implikasi dari hasil negosiasi tersebut
adalah pelaksanaan pemilu pada Juli 1989 yang secara langsung
mengakhiri pemerintahan partai komunis. Kemenangan dalam
pemilu tersebut menghantarkan Solidaritas menguasai 35% kursi
DPR dan seluruh kursi Senat mempertinggi legitimasi peran
kalangan oposisi. Inilah untuk pertama kalinya kalangan partai
nonkomunis berperan dalam pemerintahan sepanjang 50 tahun
terakhir. Situasi tersebut memungkinkan Solidaritas memimpin
transisi kekuasaan ke dalam kekuatan politik demokratiik. Partai
komunis setuju untuk menyerahkan pemerintahan kepada kalangan
nonkumnis, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Tadeusz
Mazowiecki,
sementara
jabatan
Presiden
tetap
mereka
pertahankan. Posisi Presiden kemudian mengalami kemunduran
legitimasi karena Jenderal Wojciech Jaruzelski dipilih oleh
Parlemen dan bukan oleh rakyat secara langsung. Dalam
perkembangan yang sama, partai komunis membubarkan diri.
Dengan kejatuhan komunisme pada tahun 1989, banyak
pandangan
yang
menghendaki
agar
Polandia
mempunyai
Konstitusi baru. Akan tetapi amat sulit untuk dicapai kesepakatan
terkait dengan struktur pemerintahan atau perumusan hak asasi di
to user Terdapat juga perbedaan yang
dalam konstitusi commit
baru tersebut.
237
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meluas mengenai bagaimana merumuskan dan meratifikasi
konstitusi tersebut. Selama konfigurasi politik pasca komunisme
yang berlangsung hampir 8 tahun, 3 periode parlemen dan 2
periode pemerintahan gagal mencapai kesepakatan konstitusi baru
tersebut. Parlemen sendiri dikuasai oleh mayoritas 6 partai politik
dan secara keseluruhan terdapat 38 partai yang memperoleh kursi
dalam jumlah yang berbeda-beda. Dari tahun 1989, sudah 3 kali
dilakukan perubahan kecil dalam ketentuan Konstitusi 1952 (April
dan Desember 1989 dan tahun 1992). Perubahan pada bulan April
mewadahi sistem pemilu dengan keragaman partai politik dan
menandai berakhirnya otoritarianisme di Polandia. Akan tetapi
perubahan tersebut tidak menghapus partai komunis dan mereka
masih terlibat dalam perubahan itu karena menguasai mayoritas
kursi DPR.
Perubahan pada April 1989, menekankan peran Presiden
dalam
sistem
wewenang
konstitusi
Presiden
Polandia.
Jaruzelski,
telah
Dengan
terjadi
bertambahnya
perimbangan
kekuasaan terhadap dominasi partai di DPR. Dalam pandangan
partai komunis, walaupun kehilangan pengaruh di Parlemen, akan
tetapi
mereka
masih
mengendalikan
kekuasaan
Presiden.
Perubahan kali ini juga mempertegas independensi pengadilan dan
para hakim MA ditentukan menjabat seumur hidup. Pengadilan
negara bagian dipisahkan dari isntitusi penuntut umum.
Konfigurasi politik mulai berubah tajam di bulan
Desember 1989. Perdana Menteri dipegang oleh Solidaritas,
sementara Presiden Jaruzelski, sekalipun masih resmi menjabat,
namun merupakan sosok nonpartai. Perubahan Konstitusi 1952 di
bulan April sudah dianggap using. Diperlukan konstitusi baru
untuk menampung realitas politik yang ada. Perubahan Konstitusi
1952 pada Desember 1989 menghapus sebutan resmi negara
to user Yang paling penting, Pasal
“Republik Rakyatcommit
Polandia.”
238
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menegaskan prinsip negara hukum dengan menyatakan bahwa
Polandia merupakan sebuah negara demokrasi yang berdasarkan
hukum yang melaksanakan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Sehingga, sampai akhir 1989, Polandia tidak lagi merupakan
negara
komunis.
Format
konstitusi
makin
mencerminkan
demokrasi Barat dibandingkan tradisi Uni Soviet.
Untuk
mempertajam
keinginan
menghapus
partai
komunis, pada September 1990, jabatan Presiden diperkuat dan
untuk pertama kali akan dipilih secara langsung. Ketentuan baru ini
memberikan Presiden legitimasi independen dan otonom di
hadapan DPR. Sesudah terpilihnya pemimpin Solidaritas Lech
Walesa sebagai Presiden pada 1991. Namun sejak itu, terjadi
perselisihan politik terus menerus antara Presiden dengan DPR.
Lech Walesa menafsirkan ketentuan konstitusi telah memperluas
wewenangnya, sementara DPR menafsirkannya secara konservatif
guna meyakinkan supremasi parlemen. Sudah 2 pemerintahan yang
silih berganti, yaitu Perdana Menteri Jan Krzysztof Bielecki dan
Jan Olszewski.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Olszwski terjadi
krisis konstitusional karena adanya persilihan mengenai wewenang
Presiden dalam merumuskan kebijakan pertahanan. Sebanyak 65%
suara dalam jajak pendapat menganggap hal itu sebagai “political
chaos.”
Suatu
perubahan
konstitusi
diperlukan
guna
menyeimbangkan kekuasaan pemerintah, parlemen, dan Presiden.
Pada tahun 1992, DPR membentuk Komisi Konstitusi untuk
merumuskan perubahan UUD.
Suatu rancangan konstitusi
dihasilkan pada tahun itu, yang dikenal sebagai “the Small
Constitution.” Dalam rancangan ini menunjukkan upaya untuk “a
compromise between presidential and parliamentary system of
government.”
commit to user
239
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemilu
Parlemen
dilaksanakan
pada
1993
dengan
ketentuan bahwa hanya partai yang mampu menembus ambang
batas (parliamentary threshold) sebesar 5% yang diperbolehkan
menempatkan wakilnya di Parlemen. Oleh sebab itu, hanya 6 partai
yang mampu menempatkan wakil rakyat sehingga mencegah
fragmentasi Parlemen dan kinerjanya diharapkan semakin efektif.
Pada 16 Januari 1997, Parlemen menyetujui konstitusi baru dengan
45 suara setuju dan 2 menolak, serta 1 abstain. Majelis Nasional
menyetujui pada 2 April 1997 dengan persetujuan 451 suara,
penolakan 41 suara, dan 6 abstain.
Dalam referendum yang
diselenggarakan pada 25 April 1997,sebanyak 52,7% pemilih
menyetujui konstitusi baru. Presiden Alexander Kwasniewski
(yang mengalahkan Lech Walesa pada pemilu presiden 1995)
menandatangani konstitusi ini pada 16 Juli 1997 dan menyatakan
keberlakuan mulai 17 Oktober 1997.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Mekanisme CR tidak pernah dikenal dalam sejarah konstitusi
Polandia sebelum Perang Dunia II dan pada hakekatnya tidak ada
perkembangan mekanisme itu di bawah dominasi Uni Soviet. Oleh
sebab itu, saat transformasi dimulai (1980), Polandia tidak mempunyai
tradisi CR sebagai rujukan. Gagasan membentuk MK dilaksanakan
setelah aksi Solidaritas (1981) dan sesudah pemberlakuan hukum
darurat, perubahan Konstitusi 1952 pada tahun 1982 kemudian
membentuk lembaga baru, antara lain Konstitusi. Selanjutnya UU MK
dibentuk pada 29 April 1985 dan sejak November 1985 untuk pertama
kali hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja pada November 1986.
Ini penulis sebut sebagai Fase Pertama MK Polandia. Pembentukan
MK pada masa ini mencerminkan produk kompromi dan berbeda
dengan model MK di Eropa Barat. Pembatasan yang paling penting
sehubungan dengan putusan MK, di mana putusan MK masih dinilai
commit
to dan
userputusan tadi dapat ditolak dengan
berdasarkan pertimbangan
DPR
240
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dukungan 2/3 suara DPR. Dalam tahun-tahun pertama kinerja MK
kasus-kasu yang menarik sehubungan dengan peraturan perundangundangan dan tindakan eksekutif, secara jelas membatasi kebebasan
legislatif di hadapan eksekutif.803 Persoalan politik tidak begitu
mengemuka saat itu, mengingat hanya sedikit aktor yang telah
mengajukan permohonan ke MK. Pada tahun 1986-1989, terdapat 75
perkara dengan rincian sebagai berikut: (i) 6 perkara menyangkut CR;
(ii) 48 perkara menyangkut pengujian peraturan perundang-undangan;
dan (iii) 3 perkara menyangkut pendapat hukum atas keputusan
pengadilan administrasi.
Perubahan substantif terjadi pada tahun 1989. Dalam masa ini
UU MK 1985 diubah guna menghapus pembatasan terhadap
wewenang MK. Namun, ketentuan ini tidak berjalan efektif hingga
tahun 1997, karena DPR bertahan dalam wewenang mereka untuk
menguji putusan MK. Fase ini penulis sebut sebagai Fase Kedua MK
Polandia. Dalam fase ini putusan MK mencerminkan prinsip dan
tujuan pemisahan kekuasaan, mendefinisikan relasi diantara badan
legislatif, eksekutif, dan pengadilan tata usaha negara pada umumnya.
Pada perkara khusus, juga memuat larangan untuk saling mencampuri
diantara cabang-cabang kekuasaan yang ada.804 Suatu elemen dasar
dari pemisahan kekuasaan adalah independensi pengadilan dan
hakim.805 Putusan yang lain mengenai hubungan Presiden dan cabang
kekuasaan negara yang lain806, matapelajaran agama di sekolah807,
aborsi808, lustrasi809, dan status media elektronik.810 Kebanyakan
L. Garlicki, “Constitutional and Administrative Court as Custodians of the State
Constitutions: Experience of East European Countries”, Tulane Law Review, Vol. 61, 1987, hlm.
1285.
804
Putusan No. 6 Tahun 1994.
805
Putusan No. 11 Tahun 1993, Putusan No. 6 Tahun 1994, Putusan No. 13 Tahun
1994, dan Putusan No. 1 Tahun 1995.
806
Putusan No. 10 Tahun 1992, Putusan No. 5 Tahun 1993,
807
commit
toNo.
user
Putusan No, 11 Tahun 1990,
Putusan
12 Tahun 1992.
808
Putusan No. 8 Tahun 1990, Putusan No. 26 Tahun 1996.
803
241
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putusan tersebut mempunya efek besar fiskal, sosial, dan ekonomi.
Sebagai contoh, putusan yang berimplikasi terhadap keuangan dan
kemudian merubaha kebijakan adalah putusan MK terkait dengan
pelaksanaan anggaran negara.811 Tidak ada keraguan, dalam fase kedua
ini, MK berpartisipasi penting dalam proses pemerintahan. Semua
putusan MK membawa pesan yang seragam: semua badan harus
menyesuaikan dengan kosntitusi yang baru.
Setelah pemberlakuan Konstitusi 1997, yang penulis sebagai
sebagai Fase Ketiga MK Polandia, tidak ada keragu-raguan mengenai
posisi MK sebagai lembaga pengadilan yang bebas dan terpisah. Tidak
ada lagi ketentuan yang mencoba membatasi fungsi MK. Sekalipun
pada diskusi di Parlemen muncul kekhawatiran menguatnya MK, pada
akhirnya pengaturan bersifat positif bagi pengadilan, yang mengikuti
standar peradilan Eropa. Dalam fase yang ketiga ini, perubahan
penting yang terjadi adalah penghapusan wewenang DPR untuk
mengesampingkan putusan MK serta pemberlakukan ketentuan
“constitutional complaint” dan wewenang baru untuk menguji
perjanjian internasional. Sekalipun demikian, ketentuan baru itu tidak
mendorong terjadi perubahan revolusioner bagi MK. Pelaksanaan
fungsi MK mengambil dasar praktik di tahun 1990-an, sehingga
putusan setelah 1997 banyak yang merujuk kepada putusan
sebelumnya sehingga terdapat kontinuitas.
b. Kasus Slovenia
(1) Desain Transisi Politik
Lepasnya Slovenia dari federasi dipicu oleh kegagalan transisi
di Yugoslavia. Reformasi ekonomi di tingkat federal dimulai sejak
1950 dan menghasilkan 4 sistem ekonomi yang diimplementasikan
809
Lustrasi adalah kebijakan yang melarang semua pejabat semasa rezim komunis
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan di rezim baru demokratis. Lihat Putusan No. 6 Tahun
1992.
810
Putusan No. 3 Tahun 1994.
811
commit
to ini
user
Putusan No. 14 Tahun 1991.
Putusan
melarang pemberlakuan surut sistem dana
pensiun dan tingkat upah menurut tingkat inflasi.
242
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara
berbeda
yaitu
pemerintahan
sosialisme
(1954-1952),
pemerintahan pasar sosialisme (1953-1962), sosialisme pasar (19631973), dan sosialisme kontraktual (1974-1988). Sistem yang terakhi ini
menolak pasar sebagai basar alokasi sumber daya dan memanfaatkan
pengaturan tidak langsung terhadap aktivitas ekonomi. Kegagalan
sistem sosialisme kontraktual setelah kematian Presiden Josip Broz
Tito (1980), meningkatnya harga minyak, dan pengetatan pasar
keuangan global, di awal tahun 1980-an, menciptakan krissi ekonomi,
sosial, dan politik yang dalam di Yugoslavia. Untuk pertama kali
pemerintah federal gagal menciptakan keputusan-keputusan yang
efektif untuk mengendalikan situasi.
Usaha reformasi ekonomi yang diputuskan pada 1982
menemukan
jalan
buntu.
Ekonomi
memburuk
dan
tingkat
pertumbuhan rendah, sementara inflasi dan pengangguran bertambah
dan anggaran mengalami defisit. Pada bulan Mei 1988, Perdana
Menteri Branko Mikulic memperkenalkan program stabilisasi ekonomi
yang meliberalisasi tingkat harga, impor, dan pasar modal sekaligus
membaatsi kebijakan fiskal dan moneter serta mengontrol upah.
Kebijakan itu segera menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam
menjalankan disiplin fiskal dan moneter. Pada bulan Oktober,
kebijakan upaha memicu reaksi sosial. Pemerintah mengundurkan diri
dan digantikan oleh Ante Markovis, yang dengan tidak sabar
melanjutkan usaha reformasi ekonomi dan meluncurkan program
stabilisasi baru.
Masih di tahun 1988, saat pemikir ideologis dan pakar
ekonomi
berspekulasi
untuk
mengubah
sistem
sosialisme,
pemerintahan Mikulic menyatakan tidak mampu untuk mengatasi
masalah ekonomi jika bertahan dengan sistem yang ada dan
membentuk
suatu
komisi
untuk
mengkaji
sistem
reformasi.
Bertentangan dengan harapan yang muncul, usulan Mikulic begit
commit to
user
radikal, dan secara teoritis
membingungkan
dan tidak konsisten.
243
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Usulan ini menjanjikan kepemilikan bersama alat produksi merupakan
jantung dari permasalahan ekonomi sehingga larangan kepemilikan
individu akan dihapus. Relasi buruh dan pelaku usaha dijanjikan
diubah dan pembagian keuntungan didasarkan atas saham. Sekalipun
mengakui kepemilikan pribadi, komisi ini juga mengusulkan supaya
kepemilikan bersama dipertahankan di atas kepentingan pribadi.
Kebijakan reformasi ekonomi kemudian ditetapkan pada
Oktober 1988 dan diadakan perubahan UUD beberapa bulan
kemudian. Pengaturan yang sistematik hubungan buruh dan pelaku
usaha dityetapkan pada 1988 dan 1989, yang jauh lebih radikal
dibandingkan usulan komisi. Ketentuan UU Penanaman Modal Asing
dan UU Perseroan diumungkan pada akhir Desember 1988. Ketentuan
UU Modal Sosial (1989_ memungkinkan serikat kerja untuk menjual
perusahaan kepada swasta. Hingga paruh pertama tahun 1990,
reformasi ekonomi nampaknya berhasil. Akan tetapi suatu kesalahan
fatal dibuat sebelum Desember, saat pemerintah memacu alokasi
anggaran untuk sektor pertanian melalui kredit selektif dan
diberikannya
pendapatan
ganda
bagi
pegawai
federal.
Pada
pertengahan 1990, program ditinggalkan kecuali nilai tukar mata uang.
Belanja publik dan swasta meningkat tajam tetapi aktivitas ekonomi
anjlok.
Usaha reformasi ekonomi bersamaan dengan percobaan
perubahan politik. Liberalisasi partai politik ditetapkan 1989 dan
dipersiapkan pelaksanaan pemilu yang bebas. Pelaksanaan pemilu di
bulan Mei 1990 kemudian memecah belah negara; munculnya
pemerintahan nasional secara yang didorong oleh kebencian terhadap
federal dan mendorong Kroasia dan Serbia mempercepat pemisahan
diri. Segala upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan ekonomi
dan pembangunan politik digagalkan. Fungsi negara kemudian
berantakan: pajak tidak dipungut, pemalsuan uang merajalela, dan
commit“barang
to user impor” oleh negara bagian. Pada
tugas-tugas khusus dianggap
244
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertengahan musim gugur 1990, Yugoslavia sebagai negara kemudian
bubar. Meskipun demikian, sekalipun terjadi kegagalan sistemik di
tingkat federal, negara bagian memperoleh banyak keuntungan untuk
mencapai transisi ekonomi dan politik. Syarat untuk transisi seperti
desentralisasi, liberalisasi harga, keterbukaan global, dan diversifikasi
kepemilikan, secara minimal berkesesuaian dengan kegagalan ideologi
sosialisme dan federasi.
Sejak tahun 1945, Slovenia menjadi negara bagian Republik
Federasi Yugoslavia. Selama bergabung dengan Yugoslavia, Slovenia
merupakan negara yang paling “liberal” dalam sistem sosialisme
tersebut. “Liberal” di sini dihubungkan dengan sistem komunisme:
larangan kemajemukan politik dikompensasikan dengan sistem “check
and balances” yang aneh dibandingkan dengan negara bagian yang
lain. Sebagai wilayah yang paling menguntungkan di kawasan utara
secara ekonomi, Slovenia dan Kroasia (dan dalam waktu singkat juga
Serbia), merupakan negara yang paling tidak berhasil dalam
mendorong liberalisasi politik di tingkat federal. Pada pertengahan
1980-an, Partai Komunis Slovenia menyadari pentingnya menghadapi
tantangan globalisasi lebih cepat dibandingkan partai komunis di
belahan dunia lainnya, yaitu sejak tahun 1960-an dan 1970-an, dengan
pemimpin yang terkemuka adalah Stane Kavic.812 Malangnya, karena
memperoleh tentangan dari lawan partai, maka perubahan yang
dilaksanakan begitu pelan dan datang terlambat. Akan tetapi
terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (cikal bakal Uni Eropa)
menawarkan kesempatan baru untuk perkembangan lebih lanjut. Di
kalangan intelektual Slovenia, seperti Dimitrij Rupel, yang kelak
menjadi menteri luar negeri, mengatakan bahwa Eropa baru tidaklah
seperti kerajaan Austro Hongaria, Uni Soviet, dan Federasi
Yugoslavia. Eropa lebih merupakan kumpulan negara bangsa dan
user Path: Democratic Transition and
Rudolf Martin Rizman,commit
2006, to
Uncertain
Consolidation in Slovenia, Texas, Texas A&M University Press, hlm. 39.
812
245
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bukan pemerintah yang didominasi oleh kalangan mayortias, seperti di
Yugoslavia. Untuk mencapai posisi ini, Slovenia meyakini bahwa
hanya perubahan signifikan di Beograd yang mampu mendorong ke
arah itu.
Slovenia sebelumnya menyerahkan kedaulatan terbatas
kepada Beograd, dan karena Beograd dan Serbia tidak tertarik
bergabung
ke
Uni
Eropa,
Slovenia
kemudian
menyatakan
kemerdekaannya.
Transisi demokrasi di Slovenia
sebenarnya dimulai pada
pemilu di tahun 1990. Pada awalnya, partai komunis menyampaikan
bahwa pemerintah akan menerima apapun hasil pemilu dan
menyerahkan
kekuasaan.
Hasil
pemilu
sendiri
menunjukkan
kemenangan kelompok antikomunis sebesar 55% yang tergabung
dalam koalisi “Demos” (meliputi Partai Uni Demokrasi Slovenia,
Partai Kristen Demokrat, Partai Uni Petani, Partai Uni Demokratik
Sosial, dan Partai Hijau Slovenia). Partai komunis memperoleh 36%
suara. Koalisi Demos kemudian membentuk pemerintahan yang
mencita-citakan demokrasi pluralism dan mencapai kemerdekaan
Slovenia.813
Setelah pemilu 1990 tersebut, Slovenia menawarkan sistem
konfederasi kepada negara bagian lain. Akan tetapi Slobodan
Milosevic—Presiden Serbia, negara bagian yang pertama kali
melepaskan diri dari Yugoslavia (1989) dan memimpikan suatu Serbia
Raya—secara arogan menolak usul Slovenia tersebut. Slovenia
kemudian menghapus harapan terjadinya demokratisasi apabila
bergabung dengan Yugoslavia. Pemerintah dan parlemen menyetujui
suatu referendum untuk menentukan masa depan Slovenia. Dengan
pengawasan internasional, referendum dilaksanakan pada akhir 1990
dan sebanyak 82% suara mendukung berdirinya negara Slovenia
merdeka.
commit to user
813
Ibid., hlm. 47.
246
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada 26 Juni 1991, Slovenia mengumumkan proklamasi
kemerdekaan. Pemerintah Yugoslavvia mengirimkan pasukan untuk
mencegah pelepasan diri itu. Rakyat Slovenia melawan intervensi itu
dengan penuh semangat untuk mempertahankan wilayah dan polisi
berhasil mencegah pergerakan pasukan Yugoslavia, yang sama sekali
tidak menduga akan memperoleh perlawanan keras. Pada hari ke-5,
sesudah mengalami kekalahan hebat, Beograd mengancam akan
menghancurkan secara total wilayah Slovenia. Uni Eropa akhirnya
turun tangan, mengirim misi ke Slovenia untuk melakukan mediasi.
Akhirnya, pemerintah dan militer Yugoslavia secara mengejutkan
menyatakan penarikan seluruh unit dan perlengkapan selama 3 bulan.
Hal ini memberikan kesempatan kepada pemerintah Slovenia untuk
secara efektif mengontrol seluruh wilayah dan memperoleh pengakuan
secara internasional.814 Pada Juni 1992, Slovenia diterima sebagai
anggota PBB.
Dalam perkembangan setelah transisi demokrasi, Slovenia
dikategorikan sebagai salah satu negara yang berhasil menjalani masa
transisi. Pada tahun 1998, GDP mencapai US $11.200, yang sekalipun
lebih rendah dibandingkan dengan Austria dan Italia, akan tetapi
merupakan yang tertinggi di kawasan bekas negara komunis. Dalam
tahun itu, Slovenia menikmati tingkat pendapatan yang lebih tinggi
dibandingkan Portugal dan Yunani. Slovenia juga mempunyai
komposisi demografi yang tingkat homogenitasnya tinggi, sehingga
nasionalisme yang dikembangkan tidak merupakan nasionalisme yang
defensif.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi: Perluasan Kekuasaan Mahkamah
Konstitusi
Dibandingkan
dengan
Polandia,
Slovenia
mempunyai
pengalaman dengan pembentukan MK yang pertama kali dibentuk
melalui Konstitusi 1963. Sebelum ini, Konstitusi Federal Yugoslavia
commit to user
814
Ibid., hlm. 48.
247
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Konstitusi Slovenia menyatakan bahwa pengawasan pemenuhan
prinsip konstitusi dan hukum dilaksanakan melalui prinsip pengaturan
mandiri (self regulation) dalam sistem majelis (assembly system).
Meskipun demikian, pengawsan ini terbukti tidak efektif. Pengawasan
tersebut lebih merupakan usaha “to ensuring the coherence of policy
expressed in certain legal acts and less to the assessment of legality in
the proper sense in the world.”815
Majelis Federal Yugoslavia dan Majelis Negara Bagian
kemudian dibentuk pada tahun 1963 berypa sebuah MK Federal dan
MK Negara Bagian. Sementara itu untuk wilayah otonom, Vojvodina
dan Kosovo dibentuk pada 1972, yang cukup mengejutkan karena
tidak ada sistem komunis yang mendirikan badan semacam itu.
816
Untuk pertama kali, implementasi MK diselenggarakan dengan suatu
perdebatan apakah pengadilan konstitusi menyesuaikan dengan prinsip
dasar konstitusi sebagai suatu kesatuan, meskipun fungsi MK
diharapkan sebagai faktor untuk menjamin konstitusionalitas dan
legalitas, sesuatu yang merupakan perdebatan yang dipicu oleh
kenyataan bahwa fungsi pengadilan tetap berhubungan dengan batasbatas sistem dan ideologi komunis, yang ditujukan untuk keterbitan
konstitusi itu sendiri. Bahkan, kewenangan MK tidak mengizinkan
pengadilan untuk mencampuri secara langsung ketentuan isi peraturan
(misalnya membatalkan keputusan tata usaha), meskipun menurut
Konstitusi 1963, misalnya, dalam kasus tertentu MK menentukan
substansi pengertian keputusan tata usaha melalui pendapat hukum
pengadilan atas konstitusi dan perundang-undangan.
Konstitusi baru Yugoslavia 1974 mempertahankan keberadaan
MK. Setiap MK di masing-masing negara bagian dijamin independen,
dalam arti, MK di tingkat federal tidak secara langsung menjadi
puncak hierarki. Tiap-tiap negara bagian akan mengatur lebih lanjut
815
Lihat: Miro Cerar, “Slovenia’s Constitutional Court within the Separation of
commit to user
Power”, hlm. 212.
816
Ibid.
248
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MK dalam suatu UU, termasuk hukum acara, organisasi, dan tata cara
internal. Sistem ini mengatur MK negara bagian dalam banyak aspek
yang serupa (misalnya pemilihan hakim konstitusi), meskipun terdapat
perbedaan
mendasar
(misalnya
menyangkut
jumlah
hakim).
Amandemen Konstitusi Slovenia (1974) mengatur bahwa MK meliputi
9 hakim yang dipilih oleh Parlemen untuk masa jabatan 8 tahun dan
tidak boleh dipilih kembali (Pasal 425). Fungsi MK (misalnya dengar
pendapat dalam persidangan terbuka, Pasal 418 dan 421) dan putusan
ditetapkan menurut suara mayoritas hakim (Pasal 420). Konstitusi
mengatur bahwa putusan MK berisfta mengingat dan dapat
dilaksanakan, dan jika perlu Pemerintah memastikan eksekusi putusan
tersebut, sementara MK juga dapat melakukan gugatan jika putusan
tidak dapat dilaksanakan (Pasal 423). Sejumlah ketentuan Konstitusi
menyangkut yurisdiksi dan hukum acara dan konsekuensi putusan MK
(Pasal 408-424).
Jika dibandingkan dengan ketentuan lama, Konstitusi 1991
meletakkan kekuasaan baru bagi MK, yaitu (i) melakukan harmonisasi
hukum dan peraturan perundang-undangan lain; (ii) menetapkan
pendapat
mengenai
konstitusionalitas
ratifikasi
perjanjian
internasional; (iii) memeriksa perkara Constitutional Complaint; (iv)
memeriksa
sengketa
kewenangan
antarlembaga
negara;
(v)
inkonstitusionalitas aktivitas partai politik; (vi) pendapat dalam
impeachment Presiden, Perdana Menteri, dan menteri (Pasal 160, Pasal
109, dan Pasal 119). Ketentuan 1991 juga mengizinkan MK untuk
memeriksa keputusan tata usaha. Dalam tahun 1994 ditetapkan UU
MK dan peraturan internal untuk mengatur lebih lanjut hukum acara.
Para hakim ditunjuk segera setelah proklamasi kemerdekaan tahun
1991.
Jika diperiksa putusan MK dalam fase awal (1991-1998),
kinerja MK tidak hanya berdasarkan prinsip konstitusi saja, akan tetapi
to user“judicial activism”, yang dalam
secara eksplisit juga commit
melakukan
perpustakaan.uns.ac.id
249
digilib.uns.ac.id
perkara tertentu bermuatan politik dan sifat putusan yang demikian
menimbulkan efek negatif dalam kehidupan masyarakat. Sejak 1998,
dilakukan perubahan terhadap komposisi MK, aktivitas negatif seperti
itu tidak lagi dijumpai, di mana MK benar-benar melaksanakan fungsi
menurut standar hukum yang ditetapkan dalam Konstitusi 1991.817
Karena pengaruh model Prancis, maka MK juga melakukan
“preventive review.” Perkara ini harus diajukan oleh Presiden, minimal
1/3 anggota Parlemen sepanjang menyangkut ratifikasi konstitusi, guna
memperoleh konfirmasi kesesuaian perjanjian itu dengan UUD.
Majelis Nasional terikat dengan pendapat MK (Psal 160 ayat [2[
Konstitusi). Di samping itu, pengujian meliputi pengujian abstrak
maupun konrkit. Dalam hal pengujian konkrit, diajukan oleh
pengadilan umum, jaksa penuntut umum, Bank Sentral atau Badan
Audit untuk menguji konstitusionalitas sehubungan dengan procedural
yang ditempuh oleh badan-badan ini. Dalam kasus yang sama,
Ombudsman Hak Asasi Manusia juga daapt mengajukan permohonan
pengujian sehubungan dengan kasus-kasus tertentu. Untuk selanjutnya,
fungsi utama MK adalah melakukan CR dalambentuk pengujian
abstrak.
Sesudah tahun 1991, MK menjalankan peran penting
sehubungan dengan perluasan kewenanagannya. Suatu opini yang
menarik adalah pengujian UU Kekuasahaan Kehakiman menyangkut
masa jabatan hakim.818 Ketentuan UU melarang kandidat untuk
mengisi posisi hakim agung apabila pernah memutus perkara di rezim
lama dan dinilai bertentangan dengan hak asasi. Dalam ketentuan
negatif seperti itu MK berpendapat, antara lain,”This is why the
Dalam teori, dikenal “judicial activism” dalam pengertian positif dan negatif. Dalam
arti positif, putusan tersebut dilakukan menurut UUD dan pendapat ahli yang independen.
Sementara dalam arti negatif, putusan MK dikendalikan oleh politik atau faktor lain atau secara
sengaja watak putusan menjadi bias, misalnya memberikan keuntungan terhadap pandangan
politik tertentu. Lihat lebih lanjut: Cass R. Sunstein, “The Legitimacy of Constitutional Courts:
Notes on Theory and Practice, East Europeran Constitutional Review, Vol. 6, No. 1, 1997, hlm.
commit to user
62-63.
818
Putusan No. U-I-83/1994.
817
250
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Legislature was justified, from the point of view of a State by the Rule
of Law, in the transisional period, to have also set this precondition for
the performance of judicial functions…” “A candidate for the office of
judge mus be given a chance of providing counterevidence and opinion
with a view to disputing a review made in connection with his/her past
performance of judicial function.” Penilaian kontemporer kemudian
menganggap bahwa MK telah menjadi “negative legislators.”
Selanjutnya, MK juga memastikan supaya semua ketentuan UU tidak
bertentangan dengan perjanjian internasional yang diratifikasi,
termasuk prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab.819
Salah satu hal yang penting lainnya adalah MK menganggap
penting bahwa,”it is important that it restricts itself so that regarding
political issues it does not, in the name of the Constitution, force its
solutions on society and the state.”820 Dalam CR, MK berpendapat
bahwa “it is also not disputable that the Constitutional Court has the
competence whether legal interest (still) exist subsequently, and not
onlu when the petion was lodged.”821 Dalam putusan yang lain, MK
menyatakan bahwa, “the constitutional right to the equal protection of
right822 yang mencerminkan kesetaraan di muka hukum.
c. Kasus Hongaria
(1) Desain Transisi Demokrasi
Hongaria mempunyai UUD pertama kali pada tahun 1949 dan
banyak dipengaruhi oleh pola UUD Uni Soviet. Partai resmi negara
(Hungarian Socialist Worker’s Party, yang dalam bahasa setempat
sering disebut MSZMP), yang pada saat itu dipimpin oleh Matyas
Rakosi sekaligus secara riil menjadi pemimpin Hongaria. Rakosi
819
Putusan No. U-I-6/1993.
Putusan No. U-I-12/1997.
821
Putusan No. U-I-302/2007.commit to user
822
Putusan No. U-I-22/1994; Putusan No. U-I-156/1997, dan Putusan No. U-I-18/1996.
820
perpustakaan.uns.ac.id
251
digilib.uns.ac.id
mempounyai kekuasaan tidak terbatas dan ditaati semua anggota
partai, termasuk sekutu dekatnya, Erno Gero dan Mihaly Farkas.
Sesudah kepulangan mereka dari Moskow ke Hongaria, ketiga orang
itu tetap menjalin kedekatan dengan para pemimpin Soviet. Selama
perang di Hongaria, mereka mendirikan MSZMP yang dicap sebagai
organisasi terlarang. Sesudah menjadi partai terkemuka, ketiga pendiri
partai itu memperoleh tentangan dari internal mereka. Laszlo Rajk,
yang menjadi pemuka partai paling populer, memperoleh jabatan
Menteri Luar Negeri. Akan tetapi Rajk kemudian ditahan pada Mei
1949 dengan tuduhan menjalin kerjasama dengan Barat dan Yugslavia,
negara yang tidak mempunyai hubungan dekat dengan Soviet. Di
samping itu, Rajk juga dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan
terhadap Gero dan Rakosi. Sesudah dipaksa membuat pengakuan
dalam suatu persidangan di September 1949, Rajk dijatuhi hukuman
mati. Pemuka partai lain, seperti Janos Kadar (kelak menjadi Presiden
Hongaria, 1956-1988) ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara.
Sesudah itu, Rakosi menjalankan sistem pemerintahan totaliter.
Di samping memaksa potret dirinya dipasang di semua tempat, melalui
pemimpin polisi rahasia Gabor Peter, Rakosi memerintahkan
pembunuhan terhadap hampir 2.000 orang dan penahanan terhadap tak
kurang 10.000 orang yang dicap sebagai “class enemy” dan “enemy of
the people.” Lebih dari 40.000 orang dikirim ke kamp kerja paksa dan
banyak diantaranya tewas akibat kekurangan gisi dan penyiksaan.
Sebanyak 15.000 dipaksa ke luar Hongaria yang terdiri atas kalangan
industrialis, perwira militer, bekas bangsawan, dan orang-orang kaya
serta banyak orang yang tinggal di pedewasaan dipaksa mengelola
pertanian. Saat kebijakan itu ditentang oleh anggota MSZMP, Rakosi
makin kejam dan memecat tidak kurang dari 200.000 anggota partai.823
commit
to user
Richard J. Crampton, 2003,
Eastern
Europe in Twentieth Century and After,
London, Routledge, hlm. 295.
823
252
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kematian Stalin di Soviet (1953) mendorong terjadiya
pergolakan politik dan memecat Rakosi (1956). Waldyslaw Gomulka
kemudian menjadi pemimpin partai, namun justru memancing protes
di kalangan mahasiswa. Akan tetapi banyak mahasiswa ini yang
kemudian mengalami penahanan dan memicu terjadinya Revolusi
Hongaria. Aksi massa selanjutnya didukung oleh militer dan para
pejabat yang mendorong pejabat MSZMP untuk meminta intervensi
Uni Soviet. Bersamaan dengan itu, Imre Nagy ditunjuk menjadi
Presiden. Suatu hal yang sangat mengejutkan adalah tindakan Nagy
pada 3 November 1956 yang mengumumkan tidak hanya memutuskan
hubungan dengan Pakta Warsawa, akan tetapi menetapkan Hongaria
menjadi negara netral. Sebagai akibatnya, Nikita Kruschev, pemimpin
Soviet saat itu mengirimkan pasukan ke Hongaria pada 4 November
1956 dan berhasil memukul kekuatan pertahanan negara itu. Presiden
Nagy kemudian ditahan (hingga meninggal dunia tahun 1958) dan
loyalis Soviet, Janos Kahar ditunjuk menjadi Presiden.824
Suatu perubahan yang signifikan dilakukan pada tahun 1972
yang mempengaruhi sistem pemerintahan sosialis. Namun demikian,
sejak tahun 1965-1968, pelaksanaan sistem sosialisme di Hongaria
sudah berbeda jauh dengan apa yang lazim dipraktikkan sistem sejenis
di banyak negara di dunia dan bahkan memberikan bentuk khusus
pelaksanaan sistem itu dalam kerangka otoritarianisme di Eropa. Sejak
tahun 1980-an ciri sosialisme begitu kental, sistem ekonomi yang
terpusat, yang menunda industrialisasi, secara perlahan diubah menjadi
semakin rasional dan beberapa aspek dari ekonomi pasar menjadi
bagian dari sistem ekonomi. Tipe dictatorial dan dominasi kekuasaan
semakin berkurang dan mulai tumbuh sistem “a softened dictatorship.”
Bahkan mulai muncul apa yang dinamakan sebagai “socialist lobbies”
yang terdiri dari kalangan petani, indutri, dan sebagainya dan juga
commit to user
824
Ibid.
253
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mulai terjadi rasionalisasi keputusan-keputusan politik.825 Presiden
Kadar memperkenalkan model ekonomi yang mengizinkan para
pekerja untuk berpindah pekerjaan dan sebagai hasilnya mengurani
monopoli negara dalam mengelola sumber pendapatan. Bahkan, negara
gagal mengendalikan liberalisasi perumahan karena pada 1984,
sebanyak 55% perumahan baru dibangun oleh swasta. Undang-undang
yang mengizinkan kepemilikan kekayaan di keluarkan yang kemudian
memperluas proteksi hak milik dan membuka peluang tiap anggota
partai untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Kelak, saat transisi
demokrasi dimulai pada 1989, suatu susunan masyarakat telah
dibangun untuk menuju kepada ekonomi pasar.
Sistem
politik
bekerja
dengan
partai
tunggal
dan
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kebijakan partai. Partai
resmi negara menguasai dan menggunakan otoritas, tanpa mengizinkan
partisipasi bagi kekuatan politik lain. Walaupun demikian, dalam
sistem yang menganut konsentrasi kekuasaan tersebut beberapa elemen
pluralisme birokrasi mulai muncul. Inovasi sistem politik dan
keterampilan untuk memperbaiki masyarakat pelan-pelan mulai
muncul dan sistem politik semacam kemudian dianggap sebagai
ancaman terberat untuk mempertahankan kehidupan masyarakat.
Partai MSZMP menyandarkan legitimasinya kepada ketentuan
Pasal 3 UUD yang berbunyi,”the leading power of the society is the
Marxist-Leninist Party of the working class.” Dari ketentuan ini lahir
perintah langsung kepada partai untuk mengelola negara dan
memberikan kekuasaan khusus kepada Sekretaris Partai (semacam
Ketua Umum). Partai dijalankan oleh sebuah badan yang dikenal
sebagai Politbiro yang juga menjadi pemuka negara dan lembagalembaga lain pada saat yang sama. Pasal 3 UUD dan ketimpangan
commit
to user
Andrea Mezekei, “The Role
of Constitution-Building
Processes in Democratization:
Case Study Hungary”, International IDEA, 2005, hlm. 4.
825
254
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketentuan-ketentuan yang lahir darinya telah menciptakan struktur
dasar kekuasaan dalam partai negara.
Pada musim gugur dan musim panas 1987, hampir berurutan, 3
program reformasi radikal diumumkan, yang menunjukkan adanya
krisis terhadap sistem politik dan usaha untuk mengatasinya pada satu
sisi, dan menyediakan solusi dan alternatif lain pada sisi yang lain.
Rekomendasi dan program, yang dikenal sebagai “Societal Contract”
dikeluarkan pada Juni 1987 dan penyusunnya mengatakan bahwa
mereka mengizinkan adanya oposisi demokratis.826 Para penyusunnya
mengatakan bahwa ada kesepakatan tidak langsung untuk menyatakan
adanya
perpecahan
memperoleh
“the
dalam
Socieatal
masyarakat
Contract”
dan
masyarakat
terhadap
harus
kedikatoran.
Selanjutnya, suatu perubahan politik yang radikal harus dijalankan dan
Janos Kadar (yang telah berkuasa hampir 30 tahun sejak revolusi
1956) harus disingkirkan dan wajib mempertanggungjawabkan
keadaan negara.
Pengumuman program radikal tersebut diperdebatkan secara
menyeluruh oleh kalangan profesional dalam serangkaian seri
pertemuan.
Sesudah
pengumuman
program
itu,
usulan
dan
pembahasan mengenai reformasi kemudian bergulir meluas. Gambaran
krisis total sistem sosialisme memancing perlawanan terhadap partai
dan pemimpin-pemimpinnya. Janos Kadar menolak untuk mengakui
adanya krisis ekonomi dan dalam suatu Konferensi Nasional Partai
pada Mei 1988, dia mengatakan, “Tidak ada krisis apapun di Hongaria.
Hanya ratusan intelektual yang berpendapat adanya krisis semacam
itu.”827 Tuntutan untuk reformasi total kemudian menjadi persoalan
sosial yang meluas dan gerakan-gerakan politik tidak resmi menyusun
program reformasi sebagai cara untuk menanggapi keinginan dan
permintaan politik. Para perancang program profesional dan kekuatan
826
827
Ibid., hlm. 5.
Ibid., hlm. 8.
commit to user
255
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
radikal menuntut pemimpin partai untuk melaksanakan dialog melalui
perdebatan dan diskusi publik. Adanya tuntutan itu mendorong
pemimpin partai pemerintah, yang mempunyai komitmen terhadap
reformasi untuk tampil mengemuka dengan semakin terang-terangan.
Reformasi ekonomi radikal, oposisi nasional, oposisi demokratis, dan
pertentangan kepada partai komunis telah menjadi satu paket tuntutan.
Berbagai tuntuan itu kemudian menjadi dasar bagi rencana-rencana
yang mendorong munculnya banyak partai politik.
Sistem partai tunggal, yang nampak tidak mungkin diubah pada
musim panas 1988, berkembang menjadi sistem multipartai, yang
saling membutuhkan satu sama lain, dan menyediakan diri untuk
perubahan
secara
kompromistis.
Sejak
setahun
sebelumnya,
bermunculan banyak partai atau kekuatan politik oposisional dan
kemudian berhimpun dalam satu forum yang dinamakan dengan
“Opposition Roundtable” (dalam bahasa setempat disebut EKA).828
Perhimpunan ini menjadi rintisan pusat kekuatan, yang kemudian
berkemabng menjadi faktor makro politik dan kekuatan tandingan bagi
partai yang berkuasa. Sejak musim semi 1989 sistem politik Hongaria
sudah berwatak “a bipolar system of forces.”
Partai pemerintah, MSZMP, sejak musim semi 1988, mulai
menunjukkan keretakkan internal akibat munculnya
2 kubu yaitu
kalangan konservatif (yang dipimpin oleh Janos Kadar) dan kalangan
reformasi. Di dalam suatu konferensi pada Mei 1988, kalangan
konservatif terdesak dan digantikan oleh kalangan reformasi. Karoly
Grosz, yang saat itu menjadi Perdana Menteri, ditunjuk untuk menjadi
Sekretaris Partai. Akan tetapi ia mengundurkan diri dari jabatan
Perdana Menteri pada 28 November 1988. Dia membuat semacam
pernyataan bahwa ada ancaman kepada dirinya selama musim panas
1988 saat ia berkehendak untuk memperluas program reformasi. Akan
commit to user
828
Ibid., hlm. 10.
256
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetapi selama itu ia menyembunyikan dari kalangan partai dan sejak itu
merasa semakin terisisih dari kepengurusan partai.
Sesudah konferensi partai, pada bulan Agustus 1988 Menteri
Kehakiman mengumumkan persiapan penyusunan Konstitusi baru oleh
sebuah komisi yang dipimpin oleh Wakil Menteri Kehakiman. Pada 10
September 1988 Komisi ini mulai bekerja dan mempersiapkan 10 bab
Konstitusi.829 Komisi juga mengundang kalangan oposisi dan partaipartai lain untuk membahas substansi UUD. Untuk pertama kali,
perubahan UUD itu disahkan pada April 1989, yang bertujuan untuk
“the reform of the political institutions, with the purpose of enlarging
the sosicalist rule of law. Perubahan UUD ini memuat pendirian
Parlemen independen dan ketentuan-ketentuan transisional yang lain
seperti hak berserikat, hak berkumpul, dan referendum nasional.
Ketentuan mengenai hak berserikat dan berkumpul telah mengesahkan
pendirian berbagai kekuata politik yang muncul sebelumnya.
Sesudah pendirian EKA, maka MSZMP menerima gagasan
untuk menciptakan forum rekonsiliasi. Pada 28 Juli 1989, dengan
tekanan politik dari masyarakat dan anggota partai, MSZMP menerima
usul rekonsiliasi nasional sehubungan dengan gerakan revolusi pada
tahun 1956. Bagi MSZMP hal ini akan menjadi dasar dilaksanakannya
negosiasi dengan kalangan oposisi. Selanjutnya, perundingan dengan
kalangan oposisi dilaksanakan pada 22 Maret-18 September 1989.
Kesepakatan diumumkan pada 10-11 Februari 1989 yang pada intinya
bertajuk, “acceleration and confirmation of the democratic process,
resting on wide political base.” Dalam proses negosiasi ini dihasilkan
banyak hal yang kemudian menjadi UU setelah dibahas Parlemen
dalam
rangka
pelaksanaan
perubahan
UUD
1989,
termasuk
pembentukan MK pada 1 Januari 1990. Gagasan awal pendirian MK
adalah untuk melindungi hak dan menyelesaikan perselisihan diantara
user
Andrew Arato dan Zoltancommit
Miklosi,to“Constitution
Making and Transitional Politics
in Hungary”, diunduh dari www.usip.org, diakses pada 2 Juni 2013.
829
257
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pusat-pusat kekuasaan baru, seperti Presiden dan Parlemen. Untuk itu,
MK diberikan wewenang besar meskipun ada pembatasan-pembatasan
tertentu. Bagi kalangan oposisi, diberikannya kekuasaan besar kepada
MK karena badan ini merupakan lembaga baru dan diharapkan benarbenar
independen.
Sementara
itu,
kalangan
komunis
juga
menginginkan suatu pengadilan yang kuat karena mereka berharap
akan melindungi mereka dari pembalasan apabila mereka terlempar
dari panggung kekuasaan. Bahkan ada suatu pernyataan, bahwa
diantara perancang konstitusi sekalipun, sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan bagaimanakah desain dari MK tersebut.830 Dalam masa
transisi demokrasi “there was much reliance on the Constitutional
Court.”831
Kongres
Partai
MSZMP
pada
Oktober
1989
merekomendasikan bahwa partai diubah menjadi Partai Sosialis
Hongaria (dalam bahasa setempat diubah menjadi MSZP) dan bersedia
untuk menyerahkan monopoli kekuasaan selama ini melalui suatu
pemilu yang bebas pada Maret 1990. Hanya dalam beberapa minggu
kemudian, pada 23 Oktober 1989, pemerintah mengumumkan
Republik Hongaria baru. Uni Soviet sendiri kemudian setuju untuk
menarik semua pasukannya pada Juni 1991.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Lembaga MK didirikan dengan Konstitusi 1989 dan secara
detai diatur lebih lanjut dalam Act XXXI 1989 (dapat disebut sebagai
“the Constitutional Court Act”). Pembentukan MK mengikuti model
Jerman, sebagaimana juga bentuk Konstitusi 1989 itu sendiri. Pada 1
Januari 1990, MK mulai bertugas dan dipimpin oleh Laszlo Soylom,
seorang dosen berusia 47 tahun, yang memiliki spesialisasi dalam
830
Herman Schwartz, The Struggle for Constitutional Justice in Post-Communist
Europe, op.cit., hlm. 77.
831
commitoftotheuser
Peter Peczolay, “Judicial Review
Compensation Law in Hungary”, Michigan
Journal of International Law, Vol. 13, 1992.
258
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bidang gugatan melawan hukum dan hukum lingkungan, yang juga
pernah mempelajari HAM di Jerman.832
Konstitusi 1989 termasuk sedikit memberikan pengaturan
terhadap MK. Jumlah bab yang khusus membicarakan MK terbatas.
Ketentuan lebih lanjut dari aturan UUD tersebut diatur dalam UU MK
yang ditetapkan pada bulan November 1989. Perlu dicatat bahwa MK
didirikan sebelum pelaksanaan pemilu legislatif untuk menjamin
konstitusionalitas UU dan masa transisi dan pengadilan ini dibentuk
terutama oleh pemerintahan partai komunis, sehingga kalangan ini
mempunyai kesempatan yang lebih besar guna mengajukan namanama hakim sebelum pemilu dibandingkan jika dibentuk sesudah
pelaksanaan pemilu. Sebagai salah satu pelaksanaan hasil negosiasi
Partai Komunis dan kalangan oposisi, kalangan partai komunis
mengajukan 2 hakim diantara 5 hakim yang dibutuhkan oleh MK.
Untuk selanjutnya 2 hakim diberikan jatah bagi kalangan poposisi,
sementara 1 orang hakim lagi disepakati kedua belah pihak. Tentu saja
hal tersebut menimbulkan perdebatan ketika sebuah lembaga baru
membutuhkan legitimasi karena ditetapkan oleh Parlemen yang
legitimasinya juga masih diragukan. Oleh sebab itu, ketika UU MK
berhasil ditetapkan pada November 1989, MK hanya mempunyai 5
hakim dan nominasi kelima hakim yang lain ditunda Parlemen hingga
musim semi tahun 1990. Kenyataannya, kelima posisi hakim itu baru
diisi oleh Parlemen sesudah 5 tahun MK beroperasi yang diikuti
dengan pemilu periode kedua. Di akhir 1994, secara keseluruhan
jumlah hakim konstitusi adalah 11 orang, karena menurut pengalaman
sebelumnya, apabila jumlah hakim mencapai 15 orang maka akan
menghambat pelaksanaan fungsi pengadilan dan tidak akan bijaksana
apabila dilakukan pengisian karena akan melibatkan 2 masa jabatan
commit to user
832
Ibid.
259
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Senat. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam mengadopsi model
Jerman bagi MK Hongaria.833
Faktanya, MK menjalankan fungsi hanya dengan 9 hakim dari
seharusnya 10 hakim, sejak Hakim Geza Herczegh mengundurkan diri
karena menjadi hakim di Mahkamah Internasional di Den Haag dan
Parlemen gagal mengisi lowongan itu. Para hakim bertugas selama 9
tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Para hakim
tersebut memilih Ketua MK diantara mereka tiap 3 tahun sekali.
Untuk masa jabatan 1993-1998, Ketua MK dijabat oleh Laszlo
Soylom, yang terpilih kembali pada 1996 untuk posisi itu. Namun
jabatan hakim konstitusi tidak diperpanjang oleh pemerintahan Orban
pada 1998 dan Soylom meninggalkan MK dengan pengalaman 9 tahun
sebagai hakim. Dalam pengambilan keputusan, Ketua MK akan
menunjuk salah satu hakim untuk mempersiapkan putusan dan apabila
mayoritas hakim lain menyetujuinya, maka putusan itu diumumkan.834
Para hakim memiliki immunitas sebagaimana para anggota Parlemen,
pengaturan disiplin tersendiri, dan menentukan anggaran sendiri
dengan persetujuan parlemen.
Diantara komposisi hakim konstitusi untuk pertama kalinya, 2
orang hakim diantaranya merupakan hakim agung pada MA dan salah
satu diantaranya pernah menjabat sebagai Ketua MA, sedangkan yang
satu lagi dikritik pengamat karena dianggap tidak memiliki
pengetahuan memadai mengenai CR karena berlatar belakang hukum
perdata. Sementara itu, mayoritas lainnya adalah dosen hukum atau
peneliti. Oleh karena mayoritas merupakan dosen atau peneliti maka
sudah tentu mereka menguasai masalah yang akan diputus, akan tetapi
sama sekali tidak diketahui referensi politiknya. Sebagai contoh,
833
Ibid., hlm. 78.
Uraian yang lengkap mengenai perbandingan peran Ketua MK dalam negara postcommunist dapat dilihat pada: “Guardian of the Cosntitution: Constitutional Court President and
commitEurope”,
to userUniversity of Pennsylvania Law Review,
the Struggle for the Rule of Law in Post-Soviet
Vol. 154, 2006.
834
260
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diantara hakim konstitusi generasi pertama ini adalah Geza Kilenyi,
yang sebelumnya adalah Wakil Menteri Kehakiman. Kemudian, Ketua
MK periode kedua adalah Janos Nemeth yang sebelumnya
berpengalaman sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum selama 7
tahun. Walaupun keduanya merupakan pejabat politik, akan tetapi
jabatannya itu tidak menyebabkan mereka menjadi partisan. Namun
akhir-akhir ini jabatan politik itu menunjukkan keterikatan politik yang
kuat. Ketua MK saat ini adalah Mihaly Bihari, yang pernah mewakili
Partai Sosialis sebagai anggota Parlemen (1994-1998).
Jika dicermati, MK memiliki kompetensi yang sangat luas.
Aktivitas dasar berkaitan dengan pengawasan konstitusionalitas hukum
peraturan yang ditetapkan oleh DPR, pemerintah pusat, dan
pemerintah daerah. Selain itu, MK mempunyai kompetensi untuk
pengawasan awal keputusan yang disahkan oleh Parlemen,tetapi tidak
ditandatangani oleh Presiden. Selanjutnya, MK berwenang untuk
menafsirkan konstitusi dan untuk memutuskan apakah legislatif
menghilangkan kewajibannya dan, karena itu, apakah situasi
inkonstitusional muncul. Pengadilan memiliki hak untuk memutuskan
sengketa konstitusional antar organ-organ negara yang berbeda atas
kekuasaan mereka dan bahkan pemberhentian Presiden. Tampak jelas
bahwa MK dalam konteks tertentu merupakan organ negara yang
paling kuat di Hongaria. Kekuatan ini tidak dalam membuatmemutuskan dengan cara yang positif-UU di Hongaria, tetapi dapat
mencegah–dalam
cara
yang
negatif-terhadap
konstitusionalitas
Keputusan DPR, pemerintah atau pemerintah daerah, dengan
membatalkan UU. Oleh karena itu, selama masa transisi antara tahun
1990 dan 1995, semua UU yang paling penting, yang telah selama
beberapa dekade memutuskan "wajah" dari demokrasi Hungaria,
dimohonkan pemeriksaan ke MK; sengketa dari Parlemen akhirnya
diputuskan dalam proses penyelidikan dalam kerangka konstitusi dan
commit to user
di MK.
261
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan demikian, MK memainkan peranan yang sangat
penting dalam pembentukan demokrasi, UU, dan sistem sosial
ekonomi. Sebelum tahun 1989 dengan konstitusi komunis, orang
kesulitan mengungkapkan persoalan hak konstitusional sebagaimana
lazim dipraktikkan di negara demokrasi modern mengingat sistem
hukum secara keseluruhan, dan UUD, telah menutup kemungkinan
bagi legislatif untuk "meminjam" pengalaman dari Barat. Solusi dalam
konstitusi Hungaria yang dipinjam dari konstitusi nasional demokrasi
Barat seperti UUD Amerika, Jerman, Perancis, Spanyol dan Italia
semua dianggap sama dengan praktek pengadilan konstitusi masingmasing. Perhatian diberikan juga kepada konvensi internasional di
lapangan ak asasi manusia antara lain, Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (1948), Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi
Manusia dan Kebebasan Fundamental (1950), International Konvensi
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan Konvensi Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966). Mengingat
konvensi internasional telah menjadi bagian dari ketentuan UUD
konstitusi maka menjadi tugas MK untuk menyelaraskan hukum
internal dengan hukum internasional.
Hal ini terjadi karena kompetensi luar biasa MK sehubungan
dengan sifat permohonan perkara yang populars actio untuk individu
dan bahkan orang asing, bahkan jika mereka tidak memiliki
kepentingan hukum yang pasti. Akibatnya, hampir semua UU yang
penting dibawa depan Pengadilan oleh masyarakat baik individu atau
badan hukum atau orang asing. Sementara di negara lain CR dapat
diajukan oleh pejabat tinggi dan anggota Parlemen, di Hongaria
memlih nampaknya memilih pendekatan yang lebih umum.835 Setiap
warganegara diperbolehkan mengajukan permohonan CR jika percaya
to user
Herman Schwartz, “Thecommit
New East
European Constitutional Court”, Michigan
Journal of International Law, Vol. 13, 1992, hlm. 754.
835
262
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa ketentuan hukum, keputusan, produk hukum Parlemen
bertentangan dengan UUD.
Mekanisme CR hanya mencakup pengujian konstitusionalitas
norma, sehingga keputusan individual (penerapan suatu norma hukum)
tidak dapat dimohonkan. Dalam persoalan konstitusinalitas, setiap
orang dapat mengajukan keluhan mengenai pengadilan atau keputusan
pejabat resmi lainnya hanya menurut alasan bahwa penerapan hukum
itu bertentangan dengan UUD. Dalam kasus ini, pengadilan tidak
hanya membatalkan UU, tetapi dapat menyatakan keberlakuan surut
(retroactivity) penerapan ukum terhadap seseorang menurut UU yang
sudah diperiksa. Dejarat CR bersifat abstrak. Tidak diperlukan sebuah
kasus konkrit atau pertentangan: pengadilan memeriksa ketentuan UU,
keputusan, dan perjanjian internasional. Terhadap keputusan dan UU,
pengujian
dapat
diajukan
oleh
warganegara
atau
kelompok
warganegara.
Kemudian
MK
menafsirkan
ketentuan
UUD
menurut
permohonan yang diajukan oleh Pemerintah atau Parlemen. Presiden
dimungkinkan
untuk
mengajukan
permohonan
CR
sebelum
pengundangan UU. Pengadilan dapat melakukan penilaian atas potensi
pertentangan dengan UUD. Potensi pertentangan itu termasuk
kegagalan pengundangan dalam hal Parlemen atau Pemerintah tidak
memenuhi persyaratan penyusunan UU atau bertentangan dengan hak
asasi yang ditetapkan oleh UUD.
Ketentuan UU MK mengatur bahwa dalam hal permohonan
oleh Pemerintah atau sekurang-kurannya oleh 50 anggota Parlemen,
pengadilan harus memeriksa Rancangan UU itu sebelum diadakan
pemungutan suara. Pegadilan dapat menolak permohonan sejenis yang
diajukan oleh kalangan oposisi. Pengadilan berpendapat, bahwa
sebelum
pemungutan
suara
dilakukan,
tidak
mungkin
untuk
menentukan apaka yang menjadi usul relevan untuk dimohonkan
commit to user
263
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengujian dalam rangka mengubah UU. Suatu rancangan UU terlalu
ambigu jika akan diuji terhadap UUD.
Yang unik, MK mempunyai wewenang untuk melakukan
pengujian terhadap UU atau sebuah keputusan atas inisiatifnya sendiri.
Bahkan, sekurang-kurangnya secara teoritis, MK dapat memutuskan
atas inisiatf sendiri bahwa Parlemen gagal menyetujui UU menurut
persyaratan UUD. Dalam bulan-bulan pertama bekerja, kewenangan
ini digunakan oleh MK, akan tetapi sudah tidak lagi dilaksanakan
akhir-akhir ini.
Dalam 3 tahun pertama (1989-1992), MK menerima perkara
rata-rata tiap tahun mencapai 2.000 permohonan dan kebanyakan
berasal dari warganegara. Setiap tahun 90 UU dan sebuah keputusan
diperiksa MK; suatu jumlah yang snagat tinggi jika dibandingkan
dengan MK Polandia yang dalam 5 tahun memeriksa 30 UU dan
hampir selama 40 tahun, MK Jerman memeriksa 37 perkara. Hanya
MK Italia yang mampu menandingi rekor MK Hongaria ini dengan
rata-rata menghasilkan 250 putusan tiap tahun selama 20 tahun
pertama.
Dapat
saja
dilakukan
perkiraan
bahwa
banyaknya
permohonan itu disebabkan oleh karena masih eksisnya UU sejak
zaman komunis dan perlu disesuaikan dengan politik hukum baru.
Meskipun demikian, tetap tidak dapat diprediksi tingginya tingkat
pembatalan untuk UU terbaru. Satu atau lebih pasal-pasal dalam 40
UU dan 111 keputusan lainnya dinyatakan bertentangan dengan UUD
sepanjang 3 tahun dan 40% ketentuan tersebut ditetapkan setelah
transisi demokrasi. Bahkan, MK secara mengejutkan mempunyai
proporsi yang tinggi dalam putusan yang menyatakan suatu UU
bertentangan dengan UUD. Pada tahun 1991, 19% CR atas produk
Parlemen dan 47% keputusan dinyatakan bertentangan dengan UUD.
Sebagai perbandingan, rata-rata tiap tahun ketentuan federal dan
produk negara bagian Jerman yang dibatalkan hanya 10 perkara. Figur
user
MK Hongaria secara commit
dramatisto berbeda
juga dengan MK Italia yang
264
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya memutus perkara bertentangan dengan UUD tidak lebih dari
11%. Kasus Hongaria ini perlu dicatat mengingat jika putusan
pembatalan UU yang terbaru menyangkut isu favorit, seperti ketentuan
pensiun dan UU Perpajakan.
Awalnya, CR UU yang mengatur hukuman mati dimohonkan
pengujian. Dalam perkara ini, MK menyatakan hukuman mati
merupakan peraturan yang inkonstitusional.836 Salah satu rujukan
putusan itu adalah putusan MA Amerika dalam perkara Furman v
Georgia (1976). Pada tahun 1993, MK memeriksa konstitusionalitas
BUMN. Dalam perkara ini, MK menganalisis sifat ekonomi pasar dan
menekankan bahwa sesuai dengan prinsip ekonomi pasar yang diatur
dalam Pasal 9 UUD . Oleh karena itu, kebijakan ekonomi tidak dapat
dievaluasi sesuai dengan konstitusi ketentuan di dalamnya bersifat
netral.837 Dalam kasus UU Flat, MK terutama berpedoman kepada
putusan Pengadilan HAM Eropa dalam perkara James and the others.
Putusan ini diperiksa berdasarkan lembaga hukum dalam sejarah
Inggris klasik yaitu masa jabatan sewa jangka panjang. Namun, MK
menyelidiki konstitusionalitas aturan UU Flat dengan merujuk UU
Sewa di Inggris. Perbandingan demikian salah, karena subjek-lembaga
hukum yang bersangkutan-dalam perkara Hungaria dan putusan
Pengadilan Eropa benar-benar berbeda.838
Dalam kasus lahan pertanian, konstitusionalitas larangan
terhadap
akuisisi
lahan
pertanian
oleh
koperasi
pertanian
dipertanyakan. Putusan MK merujuk kepada yurisprudensi Amerika.
Yurisprudensi tersebut seperti Putusan MA AS dalam perkara Board of
Regent V.
Roth, "di mana pengadilan menyatakan bahwa
hak
konstitusional untuk properti hanya melindungi keuntungan pribadi.”
Dalam perkara serupa, pertanyaan tentang kebebasan kontrak diselidiki
juga, dan putusan MA AS dalam perkara Holden v Hardy yang
836
Putusan No. 23/1990.
Putusan No. 33/1993.
838
Putusan No. 64/1993.
837
commit to user
265
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menekankan bahwa melarang kekuasaan umum untuk membeli
properti merupakan ketentuan yang inkonstitusional.839 Mengambilalih
yurisprudensi Amerika bukan monopoli MK, tetapi juga dalil-dalil
yang diajukan oleh pemohon. Pada tahun 1994, seorang warga negara
mengkritik KUHP Hungaria dan mengambil referensi ke pembakaran
bendera dalam perkara Texas v Johnson. Dalam hal ini, gagasan
pemrakarsa berpendapat dalam konstitusional Amerika sehubungan
degan perlindungan mengenai kebebasan berbicara bisa mengarahkan
MK.
Sikap kritis MK terhadap Parlemen menghasilkan penilaian
negatif dari Parlemen. Beberapa politisi menuduh MK menghina
kedaulatan parlemen atau faksionalisme politik. Ancaman dilontarkan
untuk melakukan perubahan UUD sebagai menghilangkan wewenang
CR, tetapi dengan syarat perubahan itu memerlukan dukungan 2/3
mayoritas suara, tetap saja sulit untukdilakukan. Parlemen memang
mempunyai hak untuk mengajukan CR, akan tetapi beberapa putusan
justru menghukum Parlemen atas tindakan-tindakannya. Dalam kasus
ini, permohonan hukum dilakukan terhadap suatu UU yang sudah
diundangkan sekalipun jauh sebelumnya sudah dimohonkan adanya
penundaan. Keberhasilan perubahan UUD hanya berlangsung satu kali
sebelum pelaksanaan pemilu (1990), di mana atas dukungan oposisi
pada waktu itu Parlemen mengubah ketentuan UUD sehingga
melarang tiap warganegara yang berdomisili di luar negeri untuk
memberikan suara karena dianggap akan menimbulkan kesulitankesulitan teknis.
Tidak ada penjelasan yang memadai mengapa kualitas UU di
Hongaria
begitu
buruk
dibandingkan
dengan
negara
lain.
Bagaimanapun, secara tradisional Hongaria sering kali memberikan
julukan negaranya sebagai “bangsa pendekar hukum.” Tentu saja,
kesalahan-kesalahan teknis dalam penyusunan legislasi sering terjadi
commit to user
839
Putusan No. 35/1994.
266
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saat terjadi transisi menuju demorkasi berbasis pasar. Para hakim di
MK,
bagaiamnapun,
menganggap
misi
mereka
tidak
boleh
membiarkan ada pertentangan UUD dalam setiap UU yang disusun.
Diantara putusan MK yang berpengaruh secara sosial dan
politik adalah putusan yang mengatakan bahwa konstitusionalisme
harus ditafsirkan menurut keunikan dan kekhususan lingkungan
transformasi pemerintahan.840 Dalam putusan pembatalan ketentuan
pidana mati MK menganggap dirinya berfungsi untuk “a secure
standard of constitutionality, as an inivisible constitution above the
Constitution in force which is still subject to modifications dictated by
daily political interest.”841
Pada tahun 1993 Hongaria meratifikasi Kovenan Hak Asasi
Manusia Eropa dan MK berpendirianuntuk meralisasikan ketentuanketentuan di dalamnya. Dengan pijakan “martabat”, MK bahkan
merumuskan hak asasi yang tidak diatur dalam UUD seperti “the right
individual to know his origins.” Asas praduga tidak bersalah, yang juga
tidak tercantum dalam UUD, bukan saja diakui, akan tetapi diperluas
dari prinsip hukum acara pidana ke hukum administrasi. Hak-hak
narapidana juga dilindungi. Ketika UU melarang tiap narapidana untuk
mengajukan putusan peninjauan putusan pengadilan dalam masa
pembebasan bersyarat, maka UU itu kemudian dibatalkan oleh MK.
Putusan MK menimbulkan popularitas lembaga ini bagi
kalangan masyarakat kecil dan MK semakin menjadi pelindung bagi
timbulnya peraturan-peraturan pajak yang ditunggangi oleh kalangan
menengah atas.
Namun, dalam kasus perlindungan hak atas
kesejahteraan sosial, MK justru bersifat restriktif sekalipun hak-hak itu
dicantumkan dalam UUD. Sebagai contoh, MK melarang penetapan
indeks pensiun menurut laju inflasi.842 Atas pengaturan kebebasan
berserikat bagi kalangan militer dalam sauatu keputusan pemerintah,
840
Putusan No. 11/1992.
Puutsan No. 23/1990.
842
Putusan No 26/1993.
841
commit to user
267
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MK membatalkan ketentuan tersebut karena menurut UUD pengaturan
hal-hal semacam itu harus dilakukan dengan UU.843
Jika dalam hak asasi dapat dibatasi untuk menjamin hak
konstitusional, akan tetapi dalam setiap pembentukan UU, prinsip itu
menjadi dasar yang utama.844 Dalam kasus kebebasan menyatakan
pendapat, MK menegaskan tidak ada kebutuhan secara tegas dan
berbahaya, jika hasutan-hasutan karena kemedekaan berbicara akan
memperburuk hak-hak subyektif yang bernilai tinggi.845 Dalam kasus
yang lain, sehubungan dengan fitnah, MK menilai tidak akan
membahayakan kebebasan menyatakan pendapat apabila terhadap hal
itu dilakukan kriminalisasi secara proporsional menurut peraturan yang
berlaku.846 Pada tahun 1991, MK mengatakan bahwa “not all kinds of
relations with fundamental rights require regulation by an Act of
Parliament…in case of indirect and remote relations, restriction by
decree is acceptable. If this were not the case, everything would need
to be regulated by legislation.”847
d. Kasus Romania
(1) Desain Transisi Demokrasi
Dibandingkan dengan negara lain dalam satu kawasan,
Romania
merupakan
negara
yang
paling
“malas”
dalam
mempersiapkan demokratisasi memasuki dekade 1980-an, akan tetapi
merupakan negara yang paling independen terhadap Uni Soviet. Dalam
sejarah, tidak pernah Uni Soviet mengerahkan pasukan untuk
melakukan intervensi politik. Sepanjang sejarah juga menunjukkan,
sekalipun merupakan sekutu Uni Soviet, namun Romania seringkali
mengambil posisi yang bertentangan dengan kebijakan Moskow dan
cenderung pragmatis untuk hubungan luar negeri. Romania adalah
843
Putusan No. 51/1991.
Putusan No. 30/1999.
845
Putusan No. 21/1993.
846
Putusan No. 30/1992.
847
Putusan No. 64/1991.
844
commit to user
268
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara pertama di Eropa Timur yang menjalin hubungan dengan
Jerman Barat dan kemudian aktif di berbagai forum internasional
seperti IMF, GATT, GPS, dan Bank Dunia.
Konfigurasi ketatanegaraan modern Romania diletakkan
sesudah pembicaraan damai di Versailles (1919) dengan mengambil
bentuk monarki konstitusional (1923). Selama 15 tahun pertama
pelaksanaan demokrasi modern Romania diselengi dengan gerakan
fasis internal, partai politik yang rapuh, dan gugatan terhadap integrasi
wilayah. Pada tahun 1938, Raja Karol II (15 Oktober 1953-4 April
1953, bertahta 8 Juni 1930-6 September 1930)848 menghapus semua
partai
politik
dan
melaksanakan
sistem
otoritarian
hingga
mengundurkan diri pada 5 September 1940, saat terjadi kudeta militer
yang dipimpin oleh Marsekal Ion Antonescu dengan dukungan
gerakan “Iron Guard”. Kudeta itu memaksa Raja Karol II untuk
menyerahkan seluruh kekuasaan kepada Antonescu sebagai Perdana
Menteri.849 Selanjutnya, di samping memimpin pemerintahan militer,
Antonescu bersekutu dengan Jerman dalam Perang Dunia II, dalam
rangka memperoleh kembali dukungan atas wilayah Rumania yang
diduduki oleh Soviet. Namun, pemerintahan Antonescu dijatuhkan
pada 23 Agustus 1944 saat pengganti Raja Karol II, Raja Michel I
(lahir 25 Oktober 1921 dan bertahta pada 20 Juli 1927 hingga 8 Juni
848
Raja Karol II merupakan putra tertua dari Raja Ferdinand. Ibunya, Ratu Marie,
merupakan putri dari Pangeran Alferd (Duke of Edinburg), salah satu putra tertua dari Ratu
Victoria. Ia merupakan bangsawan Rumania pertama yang dibaptis dalam trasisi Kristen. Secara
controversial, ia menikah pertama kali di Gereja Kathedral, Ukraina pada 31 Agustus 1918 dengan
Joanna Marie Vallentine Lambino, tetapi pernikahan ini dibatalkan oleh pengadilan pada 1919.
Dia menikah kembali di Yunani dengan Putri Helen (dari Denmark) pada 10 Maret 1921.
Pernikahan ini berantakan karena Karol II berselingkuh dengan isteri pejabat militer Rumania, Ion
Tempeanu, bernama Elena Lupescu. Akibatnya ia diturunkan dari tahta pada 28 Desember 1925
dan digantikan oleh anaknya, Michel, pada Juli 1927. Akan tetapi setelah kembali dari
pengasingan, dia kembali naik tahta pada 3 Juni 1930.
849
Dalam situs Wikipidea dikemukakan bahwa Iron Guard merupakan gerakan politik
kanan di Rumania yang berkembang pada tahun 1927 hingga awal Perang Dunia II. Sifat gerakan
ini adalah fasis, ultranasionalis, antisemit dan mencoba menafsirkan spirit Kristen Ortodok.
commit
to pada
user24 Juli 1927 dan memimpin gerakan ini
Gerakan ini didirikan oleh Corneliu Zelea
Codrianu
hingga tewas terbunuh pada 1938.
269
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1930, dan 6 September 1940-30 Desember 1947)850, bersekutu dengan
Uni Soviet untuk mengusir Jerman. Dengan peristiwa ini, maka Letnan
Jenderal Constantin Sanatescu ditunjuk sebagai Perdana Menteri.
Selanjutnya, Sanatescu memerintahkan penahanan Antonescu hingga
dijatuhi hukuman mati.
Konstitusi dipulihkan pada 1944 dan demokrasi parlementer
kembali dijalankan pada November 1946 dengan menempatkan the
National Democratic Front (yang didukung oleh kekuatan komunis
Soviet) menguasai 86% kursi parlemen. Pada Maret 1945, situasi
politik memaksa Raja Michel I untuk menunjuk Petru Goza, yang
halauan politiknya dekat dengan Uni Soviet sebagai Perdana Menteri,
dan tidak memberikan kekuasaan berarti kepada monarki. Antara
Agustus 1945-Januari 1946, Raja Michel I gagal melakukan “kudeta”
terhadap pemerintahan Goza dan atas desakan Inggris, Amerika, dan
Uni
Soviet,
akhirnya
Raja
Michel
I
menyerahkan
seluruh
kekuasaannya pada pemerintahan komunis dan berhenti menuntut
pemulihan monarki. Pada 30 Desember 1947, Raja Michel I dipaksa
turun tahta oleh Goza maupun pemimpin Partai Komunis, Georghe
Georghiu-Dej. Sejak 3 Januari 1948, Raja Michel I dipaksa
meninggalkan Rumania.
Sesudah itu, pemerintahan Rumania dikuasai oleh diktator
komunis. Georghe Georghiu-Dej mengendalikan pemerintahan (19461965). Ia mengembangkan hubungan dengan Soviet, menandatangani
Pakta Warsawa, dan mengadopsi gaya Stalin untuk sistem ekonomi. Ia
memerintah dengan represif, mengembangkan angkatan bersenjata atas
nasehat Stalin, dan membentuk unit polisi rahasia, the Securitate.
Namun demikian, ia relatif independen terhadap Soviet851 dan antara
850
Dari orang tuanya, Raja Michel I mewarisi darah kerajaan Inggris karena nenek
buyutnya adalah Ratu Victoria dan terhitung sebagai sepupu jauh dari ratu Inggris yang sekarang,
Ratu Elizabeth II. Ia merupakan satu-satunya raja yang bertahan di Eropa selama Perang Dunia II,
selain Raja Simeon II (Bulgaria).
851
commit to mengeluarkan
user
Pada April 1964, Georghiu-Dej
pernyataan bahwa Rumania
mempunyai hak untuk menentukan kedaulatan nasionalnya. Dikatakan bahwa “Romanian
270
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain tercermin dari keenggan menjadikan Rumania sebagai lumbung
pangan Eropa Timur852, dan berminat mengembangkan industri
berat.853
Dengan kematian Georghe Georghiu-Dej (Maret 1965), maka
kedudukannya
digantikan
oleh
Nicolac
Ceausescu,
dengan
menyingkirkan pemuka partai lain seperti Chivu Stoica (Ketua Dewan
Negara), Emil Bodnaras (Menteri Dalam Negeri), dan Alexandru
Draghici (Kepala Polisi Rahasia). Ceausescu mengambilalih semua lini
kekuasaan dengan menyingkirkan semua saingan politiknya dan
upayanya untuk mengakui status sebagai Presiden. Dalam masa Maret
1965 hingga Desember 1967, Rumania dikendalikan oleh triumvirat
yaitu Ceausescu (sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis), Chivu
Stoica (Kepala Dewan Negara), dan Maurer (Perdana Menteri). Untuk
menyingkirkan saingan politiknya, Ceausescu memanfaatkan aturan
partai sehingga Draghici dan Stoica dipecat melalui Konggres Partai
(1965 dan 1968). Sistem kolektif kepemimpin partai dihilangkan. Pada
Desember 1967, Majelis Nasional memilih Ceausescu sebagai Ketua
Dewan Negara, Sekretaris Jenderal Partai Komunis, dan Ketua Komite
Sentral. Namun sejak tahun 1969, semua kelengkapan partai dihapus,
dan Konggres menjadi mekanisme tunggal untuk pusat keputusan.854
Pada 28 Maret 1974, Ceasescu terpilih pertama kali sebagai Presiden
communist brokew with the Soviet concept of socialist internationalism and emphasized their
commitment the principle of national independence and sovereignty, full equaty, nonitergerence in
the domestic affairs of other state and parties and cooperation on mutual advantage.” Relasi
dengan Soviet kemudian beku sejak 1958 sesudah pemerintahan Dej berhasil menegosiasikan
penarikan pasukan Soviet setelah peristiwa politik di Hongaria (1956). Pada tahun 1963, sejarah
Rusia tidak diajarkan lagi, semua nama jalan dan gedung pemerintahan diganti. Pembekuan
hubungan ini penting untuk menarik perhatian sentiment negatif dari kebanyakan rakyat Rumania
saat itu. Lihat: Caterine Preda, 2009, Dictator and Dictatorship: Artistic Expression of the
Political in, Florida, Florida University Press, hlm 59.
852
Kebijakan ini ditempuh Uni Soviet melalui COMECON (Council for Mutual
Economic Assistance) di mana tiap-tiap negara sekutunya menjalankan produktivitas ekonomi
tertentu dan Rumania ditunjuk untuk menjadi “agricultural hinterland.” Lihat: Ibid.
853
Ibid.
854
Penghapusan ini karena, “the instrument that was most potentially useful for
commit
to user and the Central Committee had the
collective leadership was the fact that
the Politbiro
prerogatives of appointing and removing the General Secretary…”. Lihat: Ibid., hlm. 51.
271
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rumania oleh Majelis Nasional, yang semakin “completed the fucion
of all key parts and state roles”855 dan “was perhaps the first palpable
sign of an unfolding diynastic scenario.”856
Ceausescu melanjutkan pendahulunya untuk independen
terhadap Moscow dalam hubungan luar negeri (yang dalam waktu
tertentu
bahkan
membekukan
hubungan
dengan
Soviet)857,
menjanjikan liberalisasi dalam waktu singkat (1965-1971)858, dan
mengumumkan “July Thesis” (1971) sebagai awal dari transformasi
Rumania. Ceausescu membebaskan politisi yang ditahan pada masa
sebelumnya.859 Ceausescu diterima dengan hangat di Paris, London,
Bonn, dan juga Washington. Pada 21 Agustus 1968, Ceausescu
mengecam invasi Uni Soviet ke Cekoslovakia, yang menunjukkan
“that Stalinism was never questioned by Romanian Communist”860;
suatu hal yang mampu mengatrol popularitasnya di dalam negeri.
Namun, sesudah tahun 1971, kepemimpinan Ceausescu menjadi
otoriter, terutama setelah melihat praktik politik di Cina dan Korea
Utara. Ceausescu juga bersandar kepada fungsi Securitate untuk
mengembangkan
teror
sistematis
dengan
pemenjaraan
atau
pengasingan bagi setiap penentangnya. Dengan posisi ini, maka
pemerintahan Ceausescu berkembang menjadi “governed exclusively
by a dictator that imposed the cult of his personality, exerted power
through the party apparatus and the Securitate, while conferring it, so
as to mask its true face, with the traits of operate nationalism.”861
Konfigurasi politik demikian dikatakan sebagai “a combination of
anti-Soviet nationalism and domestic liberalization…[as] period
855
Ibid., hlm. 52.
Ibid.
857
“For the Romanian leader the policy of autonomy in relation to Moscwow is used
for the consolidation of the myth of the ‘liberal leader’, the ‘myth of political reformer.’” Ibid.,
hlm. 56.
858
Ibid., hlm. 57.
859
Ibid.
860
commit to user
Ibid., hlm. 58.
861
Ibid., hlm. 60.
856
272
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merits classifying Romania as regime that exhibited both strong
sultanic and strong totalitarian qualities.”862 Dalam bahasa Trond
Gilberg, kepemimpinan itu ditegaskkan dengan “a form of national,
personal, and nepotism communism”863 atau dengan penelitian Mary
Ellen Fischer bercirikan 4 hal yaitu “the personalization of power,
nationalism, rapid industrialization of the economy at the expense of
imporved living standars, and centralized political and economic
control.”864
Pada tahun 1980-an, sekalipun menyakitkan, akan tetapi
Ceausescu membayar hutang luar negeri sebesar US$ 13 miliar.
Sepanjang dasawarsa tersebut, Rumania menjual minyak, bahan
pangan, dan komoditi lain dengan kurs yang terkendali. Tak ada satu
pun penduduk yang tidak menderita akibat kekurangan ketersediaan
pangan selama program ekonomi Ceausescu. Dalam politik, kekuasaan
menjadi terpersonalisasi ke dalam diri Ceausescu dan isterinya, Elena.
Sang isteri, di samping kader partai, juga menentukan kebijakan
ekonomi, riset dan teknologi, serta pengisian jabatan pemuka militer
dan mengendalikan kementerian dalam negeri. Sekalipun tidak
berminat
secara
politik,
anak
mereka
yang
bernama
Nicu,
dipromosikan menjadi pemimpin organisasi pemuda sayap partai dan
diprediksi akan menjadi penerus orang tuanya.
Sekalipun sistem komunisme di kawasan Eropa Timur mulai
berjatuhan pada tahun 1989, akan tetapi Ceasusescu tidak melakukan
apapun kecuali berusaha memperketat jangkauan kekuasaannya.
Konggres Partai Komunis ke-14 pada 1989 justru memuji dan memuja
Ceasuscu telah menjalani kebijakan yang benar dalam sistem sosialis.
Gerakan aksi massa yang dipicu protes di Timisoara yang menuntut
perubahan rezim didukung oleh kalangan Protestan, Serbia, dan
minoritas Hongaria, sekalipun tidak bersatu dalam satu kesatuan dan
862
Ibid.
Dalam Ibid., hlm. 61.
864
Dalam Ibid., hlm. 62.
863
commit to user
273
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
makin mengarah untuk menduduki ibukota. Pemuka militer, seperti
Menteri Pertahanan Vasile Milea (akhirnya tewas secara misterius
pada 22 Desember 1989) dan deputinya, Jenderal Stefan Gusa dan
Victor
Stanculescu
menolak
perintah
untuk
menembak
para
demonstran, bahkan justru bergabung dengan aksi massa. Berbagai
aksi massa itu kemudian melambungkan nama organisasi sipil “the
National Salvation Front” (NSF), yang dipimpin oleh bekas ideolog
partai, Ion Iliescu dan berhasil mengajak bergabung figur berpengaruh
seperti Jenderal Nicolae Militaru (bekas Panglima Angkatan
Bersenjata), Cornliu Manscu (bekas Menteri Luar Negeri), Ion Maurer
(bekas Perdana Menteri), dan Silviu Brucan, intelektual partai yang
menerbitkan karyanya di Barat. Selain itu, berhasil menghimpun
kalangan oposisi lain. Organisasi ini menuntut penggulingan Ceasescu
dan membentuk pemerintahan sementara.
Aksi massa telah menimbulkan kekacauan politik dan pada
tanggal 21 Desember 1989, ketika sedang memberikan pidato di
markas partai, Ceausescu diserang oleh demonstran. Bersama
isterinya, Elena, mencoba melarikan diri melalui helikopter, akan
tetapi dapat ditangkap oleh aparat keamanan. Ceausescu dan Elena
kemudian diadili secara kilat dalam pengadilan militer pada 25
Desember 1989 dengan tuduhan berlapis mulai dari tuduhan
memperkaya diri sendiri hingga genosida dan dijatuhi hukuman mati.
Hari itu itu juga mereka diikat dan dibawa ke luar gedung pengadilan
untuk ditembak, dan semua itu disiarkan langsung melalui televisi dan
media Barat. Kedua orang itu merupakan orang terakhir yang dihukum
mati setelah pada 7 Januari 1990 pemerintahan baru menghapus
ketentuan itu. Pengamat Barat memperkirakan bahwa akibat revolusi
itu 64 ribu rakyat tewas, tetapi disangkal oleh pemerintah Rumania.
Sesudah revolusi, maka Front of National Salvation (FSN)
tumbuh cepat dan kemudian mengubah dirinya menjadi partai politik
to user
di awal 1990. Sebagai commit
penentang
partai komunis, maka FSN kemudian
274
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memengani pemilu yang relatif jujur pada bulan Mei 1990. Partai
Komunis dilarang dan dibubarkan setelah kejatuhan rezim Ceausescu
pada Desember 1989.
Dalam hal ini, FSN memperoleh kursi
mayoritas Parlemen dan pemimpinnya, Ion Iliescu terpilih menjadi
Presiden dalam pemilu kepresidenan. Kemudian, Petrer Roman
menjadi Perdana Menteri. Suatu protes massa pada bulan September
1991 menyebabkan pengunduran diri Roman. Posisi Perdana Menteri
diganti oleh bekas Menteri Keuangan Theodor Stolojan. Pemerintah
kemudian melakukan perundingan dengan kalangan oposisi dan tidak
lama kemudian Parlemen menetapkan UUD baru pada 21 November
1991. Referendum untuk persetujuan UUD dilaksanakan pada 8
Desember 1991.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Sesudah memasuki masa pemberlakuan UUD yang baru,
kekuasaan kehakiman Rumania kemudian tampil dengan “baju baru”,
tetapi serupa dengan jubah raja dalam dongeng yang terkenal, baju
barutersebut gagal membuat sistem ini tampil lebih visibel untuk
jangka panjang. Mengikuti model “continental judiciary” (pendekatan
positivisme, ketimpangan preseden, penerapan hukum acara ketat)
memberikan prinsip keadilan komuniosme dan kepatuhan kepada
hierarki yang kaku865, maka pengadilan Rumania merupakan salah
institusi yang amat sulit diubah sesudah masa transisi. Jika legislatif
dan eksekutif dipaksa berubah secara dratis dan dengan jalan
spektakuler lewat pemilu dan sorotan media,
pengadilan bertahan
terhadap aturan dan keistimewaan “judicial cast” hampir sepanjang
waktu hingga hari ini. Perubahan hukum mengenai organisasi
Sebagai contoh, ada praktik “penafsiran pernyataan atau putusan” yang dilakukan
oleh MA di negara-negara komunis, bahwa putusan-putusan pengadilan di tingkat lebih rendah
tidak pernah mempunyai efek langsung terhadap masing-masing pihak, akan tetapi yang
berpngaruh adalah putusan dalam perkara-perkara abstrak. Mekanisme ini masih dipraktikkan di
sistem pengadilan pada semua negara bekas komunis, tetapi dengan kecaman yang keras dari sisi
teori dan praktik hukum Barat. Lebih lanjut, liha, Zdenek Kuhn, “Precedent in the Czech
commit
to Precedent
user
Republic” dalam Bruxelles Bruylant (Editor),
2007,
and the Rule of Law, Reports to the
XVIIth Congres, Internasional Academy of Comparative Law, hlm. 387-388.
865
275
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengadilan begitu sedikit dan lambat. Bahkan penataan ulang untuk
menyesuaikan dengan standar Uni Eropa saja tidak mampu untuk
memecahkan persoalan struktural dalam kekuasaan kehakiman
Rumania, tidak berdaya untuk menyesuaikan diri terhadap realitas
baru.
Bahkan, ditinjau dari “judicial activity”, sebagaimana dicatat
oleh Zdenek Kuhn, pada umumnya pengadilan di negara bekas
komunis “have never acted as one might expect transitional courts
would act.”866
Hal ini terutama disebabkan oleh keberlanjutan
kebiasaan pengadilan untuk “formalist reading of the law”, yang
diterapkan di masa lampau, dengan mengabdikan terhadap penolakan
mencari apa yang ada di balik ketentuan undang-undang, dengan
menolak ketimpangan yurisprudensi (yang diarahkan oleh undangundang, yang dalam kata-kata Kuhn, “post-communist judgfes
understand the role of precedent in judicial decision making as taking
away from the competence of the legislature”867) dengan melakukan
“judicial activism” dan keterbukaan sehingga “the courts try to follow
the letter of the law, however problematic and absurd the results this
produces.”868 Bahkan, mereka gagal untuk memahami bahwa
preseden, semestinya digunakan untuk mekanisme pembebasan
daripada menjabarkan peraturan, justru melayani ketimpangan
keseragaman atau “anarchy”869 dalam menerapkan undang-undang.
Dalam hal ini, kontradiksi yurisprudensi terjadi dalam penyeragaman
penerapan aturan, dalam hal ini merupakan pelanggaran terhadap hakhak individu.
Tentu saja bahwa keadaan itu dapat dianggap sebagai “the
exceptional nature” dari periode transisi (ketegangan dan instabilitas
Zdenek Kuhn, “World Apart: Western and Central European Judicial Culture at the
Onset of the European Enlargement”, American Journal of Comparative Law, Vol. 52, 2004, hlm.
550.
867
Ibid., hlm. 560.
868
commit to user
Ibid., hlm. 553.
869
Ibid., hlm. 560.
866
276
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
politik dan ekonomi, perubahan sosial, dan pergerakan sosial) yang
merupakan termuat dalam protes mengenai disfungsi kekuasaan,
termasuk kekuasaan kehakiman. Namun demikian, apakah ada aturan
yang “special times call for special measures” yang secara penuh
diterapkan dalam perlaku pengadilan atau bahkan justru mereka di
bawah kendali aktor politik? Atau apakah lebih tepat bahwa elemen
stabilitas dan koherensi hukum di dalam masa-masa yang kacau,
merupakan lokomotif transformasi, sebagai suatu jaminan mencapai
tujuan akhir yang ditetapkan? Dengan kata lain, kepercayaan
masyarakat
terhadap
pengadilan
akan
tertutup,
sebagaimana
ditunjukkan situasi sosial yang terjadi.870
Masalah utama lain bagi pengadilan di Rumania adalah
pemahaman yang timang mengenai peranan konstitusi dan hak-hak
individu sebagai suatu “objective legal order.” Bahkan penyatuan
terhadap keinginan budaya konstitusional (budaya konstitusional
mengasumsikan tidak hanya tingkat yang dangkal mengenai “aturan
konsitusi di atas kertas” akan tetapi juga masyarakat sebagai
keseluruhan) pengadilan Rumania menciptakan “budaya konstitusional
transisional” sendiri, yang didominasi oleh relativitas, ketidakpastian,
dan ketidakpercayaan. Menganggap bahwa satu-satunya kualitas
“penerap undang-undang”, ketidakmampuan melaksanakan beban
masalah transisional (adaptasi, harmonisasi terhadap standar Eropa,
penafsiran hukum), para hakim “transisional” tidak menghadapi
harapan-harapan keadilan di dalam masyarakay. Meskipun demikian,
seperti dikatakan oleh Dusan Nikolic bahwa,”hal ini tidak berarti
bahwa kekuasaan kehakiman di Eropa Timur sepenuhnya buruk
(…)karena situasi tersebut terjadi akibat pegadilan dituntut untuk
870
Baca lebih lanjut dalam: Wojciech Sadurski, 2004, Rights Before Couts: A Study of
to Central
user and Eastern Europe, Springer, hlm.
Constitutional Courts in Postcommunistcommit
States of
296-297.
277
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyelesaikan, hanya dalam beberapa tahun, apa yang oleh pengadilan
di Barat telah dilaksanakan selama bertahun-tahun.”871
Dalam kondisi keseluruhan kekuasaan kehakiman semacam itu,
mandat MK harus dijalankan. Dibentuk menurut UUD 1991, MK
terdiri atas 9 hakim yang menjabat selama 9 tahun. Wewenang untuk
mencalonkan hakim terbagi diantara DPR, Senat, dan Presiden, yang
masing-masing mengajukan 3 orang.
Dalam hal ini, MK miorip
dengan MK di kawasan Eropa Timur lain jika yurisdiksinya dipahami
sebatas persoalan-persoalan konstitusional, dan berbeda dengan model
Amerika untuk alasan yang sama. Dalam 5 tahun (1990-1995), MK
telah memutus perkara 56 perkara pengujian preventif, 9 pengujian
keputusan Parlemen,
43 sengketa pemilu Presiden, 1 usulan
pemberhentian Presiden (1994), 2 petisi hak inisiatif Parlemen, dan 1
pembubaran partai politik (1993).
Serupa dengan Dewan Konstitusi di Prancis, UUD 1991
memberikan MK wewenang untuk memeriksa keputusan Parlemen
dan peraturan perundang-undangan tertentu. Bahkan, seperti model
Prancis, MK diberi wewenang untuk memeriksa keputusan dan
Undang-Undang sebelum berlaku efektif. Walaupun demikian,
dibandingkan dengan model Prancis, MK mempunyai perbedaan. Jika
dalam model Prancis rancangan keputusan dan undang-undang harus
diperiksa Dewan Konstitusil, maka pemeriksaan semacam itu oleh MK
harus dilakukan jika sudah ada permohonan. Lembaga ini juga
berwenang untuk memeriksa UU yang sudah diundangkan jika sebuah
pengadilan di lingkungan peradilan lain mengajukan persoalan
konstitusioonal. Pada akhirnya, UUD mengatur bahwa dalam hal
putusan MK menyatakan suatu UU bertentangan dengan UUD, maka
Parlemen dapat menunda putusan itu dengan dukungan minimal 2/3
suara Parlemen (Pasal 145 UUD). Sekali Parlemen menolak putusan
to userlaw in the Serbian Legal System”, dalam
Dusan Nikolic, “Elementscommit
of Judge-made
Bruxelles Bruylant (Editor), op.cit., hlm. 461.
871
278
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
itu, maka pengadilan tidak lagi berwenang untuk memeriksa UU yang
bersangkutan.
Dengan demikian, kekuasaan Parlemen melampaui
kekuasaan putusan MK, suatu hal yang membedakan dengan model
Eropa dan Amerika atau wewenang MA yang menjadi pemutus akhir
dari persoalan konstitusional.
Kedua
kamar
Parlemen—DPR
dan
Senat—ditentukan
konstitusi untuk mengatur hukum prosedural masing-masing (Pasal 61
UUD), dengan dukungan mayoritas absolut (Pasal 74). Ketua DPR
atau Ketua Senat, sekelompok anggota, sekurang-kurangnya meliputi
50 anggota Parlemen atau 25 Senator (Pasal 341 dan Pasal 143 UUD),
mempunyai wewenang untuk mengajukan peninjauan jika putusan MK
membatalkan keputusan Parlemen. Permintaan itu diajukan oleh
masing-masing ketua kamar Parlemen.872
Selama lebih dari 19 tahun melaksanakan kewenangannya, MK
telah memutus lebih dari 11.000 perkara, yang mayoritas mencakup
CR terhadap UU atau RUU, perjanjian internasional, permohonan
Parlemen, delegasi legislasi, sengketa kewenangan antarlembaga, dan
beberapa putusan menyangkut pemilu kepresidenan dan referendum.
Ada beberapa putusan yang menurut penulis dapat dikatakan sebagai
putusan yang bersifat “landmark decision.” Perlu diketahui, bahwa
dalam rangka CR, MK “in order to determine-even in the framework
of the constitutionality review - whether a legal provision is or is not
contrary to the Constitution it is first necessary to construe the content,
the exact meaning of that legal provision, and then to compare this
exact meaning and content with the provisions of the Constitution.”873
1 Bahkan, beberapa putusan MK yang disebut keputusan interpretatiftelah menemukan ketentuan hukum tertentu sebagai inkonstitusional
sepanjang arti tertentu yangbertentangan dengan Konstitusi muncul
872
Putusan No. 45/1994 dan Putusan No. 46/1994.
G. Kozsokár “Jurisprudence of the Constitutional Court of Romania and the
commit
to user
European Convention on Human Rights”
Kertas Kerja
pada the National Conference, Sinaia, 1516 June 2005, hlm. 53.
873
279
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
darinya, yang selalu melibatkan proses penafsiran norma diperiksa.874
Dalam memeriksa CR, MK “must proceed to examine the
constitutionality of the text criticized, the provisions relative to
suspension, discontinuance or extinction of proceedings being not
applicable.”875 Pengecualian untuk inkonstitusional adalah ketertiban
umum, dalam pengertian bahwa “the exception of unconstitutionality
does not rest at the discretion of the party who raised it and is not
susceptible of being covered, not even by express waiver or
renunciation to its being settled by the court.”876
Dalam pengujian UU mengani batas usia pensiun877, diajukan
dalih oleh para pemohon bahwa ada pertentangan terhadap hak
kesetaraan di muka hukum saat usia pensiun perempuan adalah 60
tahun dan dapat diperpanjang hingga usia 62 tahun, sementara untuk
laki-laki adalah 65 tahun dan dapat diperpanjang hingga usia 67 tahun.
Akan tetapi, MK memutuskan bahwa ketentuan yang membedakan
usia pensiun tersebut bukanlah merupakan hal yang diskriminatif,
sekalipun mengakui kesetaraan jender akan tetapi pembentuk UU tidak
terikat dengan komitmen itu dengan alasan-alasan yang dapat
dibenarkan berdasarkan realitas sosial atau tuntutan profesional. Dalam
hal ini, MK merujuk kepada putusan serupa yang telah diperiksa oleh
MK Jerman (1987) dan MK Austria (1990).
Terkait dengan kebebasan bereskpresi yang dikaitkan dengan
penghinaan pejabat publik, MK dalam putusannya878 menolak
argumentasi
pemohon
bahwa
ketentuan
mengenai
tuntutan
pencemaran nama baik akan bertentangan dengan hak untuk
menyatakan pendapat. Suatu hal yang menarik dicatat di sini, bahwa
pemohon menggunakan putusan MK Hongaria (1994) yang telah
874
Putusan No. 606/2007; Putusan No. 818/2008.
Putusan No. 126/1995.
876
Putusan No. 73/1996.
877
Putusan No. 107/1995. commit to user
878
Putusan No. 140/1996.
875
280
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memutuskan ketentuan KUHP mengenai pencemaran nama baik
merupakan ketentuan yang bertentangan dengan UUD. Akan tetapi
MK menolak untuk merujuk yurisprudensi tersebut karena “for the
current proceeding and the reasoning made there can not be examined
by the Constitutional Court of Romania.”
Terkait dengan ratifikasi Piagam Eropa untuk Daerah dan
Bahasa Minoritas, MK Rumania mengatakan bahwa piagam tersebut
sesungguhnya telah menjadi perdebatan di Komisi Eropa. Ratifikasi
tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1, 6, 13, 114, dan 148
UUD Romania (mengenai karakter negara Rumania, perlindungan
konstitusional untuk kalangan minoritas, bahasa resmi negara, delegasi
legislasi, dan perubahan UUD). Jika ratifikasi itu dilaksanakan maka
harus diikuti dengan perubahan UUD padahal substansi yang sama
telah ditetapkan dalam UUD.879
Terhadap akses
publik terhadap informasi,
MK telah
memutuskan bahwa terhadap arsip Securete tidak diperbolehkan
adanya pembatasan dan larangan, karena bertentangan dengan
ketentuan Pasal 31 UUD.880 Mengenai hak untuk membela diri, MK
menolak untuk membatalkan ketentuan KUHAP Rumania yang
mengatur bahwa akses terhadap penasehat bagi terdakwa ditentukan
sepanjang dan sebatas pemeriksaan di pengadilan.881 Pemohon
mendalilkan hal itu sebagai pelanggaran UUD karena semestinya akses
terhadap penasehat hukum harus diberikan di semua tingkatan
pemeriksaan hukum acara pidana. Dalam pandangan MK, dengan
merujuk putusan Miranda Vs. Arizona (1966) di Amerika Serikat, di
mana negara wajib memberikan perlindungan hak asasi termasuk akses
terhadap penasehat hukum bagi terdakwa. Jika terdakwa tidak
mempunyai kemampuan untuk menyediakan penasehat hukum, maka
negara dapat menunjuk seseorang untuk menjadi pendamping
879
Putusan No. 113/1999.
Putusan No. 203/1999.
881
Putusan No. 124/2001.
880
commit to user
281
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdakwa dan hal ini harus dengan persetujuan terdakwa. Dengan
demikian, ketika terdakwa menguasakan kepada penasehat hukum
untuk melaksanakan hak konstitusionalnya, telah dilakukan dengan
penuh kesadaran. Selama proses pemeriksaan pidana, tidak diartikan
bahwa dengan menjawab pertanyaan atau memberikan keterangan
mengenai perkara itu dianggap terdakwa menyerahkan semua hakhaknya kepada negara. Terdakwa tetap setiap saat dapat melakukan
konsultasi dengan penasehat hukum sepanjang ia telah menjalani
pemeriksaan terlebih dahulu.
Menyangkut hukum acara perdata, MK menolak untuk
membatalkan ketentuan prinsip “res judicata.”882 Menurut pandangan
MK, prinsip itu telah dikenal sebagai kaidah hukum umum dalam
trandisi Romano-Jerman dan Anglo Saxon. Sesudah memutus
perselisihan diantara para pihak pengadilan tidak mempunyai
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut. Dengan
adanya prinsip tersebut, maka putusan pengadilan hanya dapat
dikoreksi melalui upaya hukum lain yang tersedia.
Praktik peradilan di Rumania juga menyiratkan keinginan MK
untuk secara tidak langsung menjamin dan melindungi hak asasi
warganegara melalui penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga
negara. Sengketa kewenangan konstitusional ini terjadi “concern
breaches of the principle of the separation of powers, referring to
interferences by certain authorities in the competence of the one that
deems itself to be affected.”883 Dalam pandangan MK, sengketa
kewenangan konstitusional lembaga “meant concrete acts or actions
by which one or several authorities are assuming powers, prerogatives
or competences that, according to the Constitution, belong to other
public authorities, or the failure of certain public authorities, by
declining their competence or refusing to fulfill certain acts that are
882
Putusan No. 478/2006.
commit
to user
Sambutan Ketua MK Rumania,
Augustin
Zegrean, dalam peringatan ulang tahun ke50 MK Turki, hlm. 4.
883
282
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
part
of
their
obligations.[…]”884
Selanjutnya,
MK
kembali
menekankan bahwa “a legal dispute of constitutional nature exists
between two or more authorities and can concern the content or the
scope of their prerogatives as referred to by the Constitution, which
means that these are conflicts of competence, either positive or
negative, that can generate an institutional impasse.”885 Dalam
putusan lain MK menandaskan bahwa sengketa kewenangan
konstitusional “can arise between two or more authorities and can
regard the content and the extent of their attributes established by the
Constitution, which means that they are conflicts of competence,
positive or negative, and which can create institutional blockages.”886
Berkaitan dengan produk hukum yang ditetapkan Parlemen,
MK dapat memeriksa sebuah keputusan DPR atau sebuah keputusan
Senat atau keputusan yang ditetapkan bersama-sama oleh kedua
lembaga tersebut. Produk hukum kedua lembaga tersebut hanya boleh
mengatur persoalan peran dan struktur Parlemen menurut Pasal 61 dan
Pasal 64 UUD 1991. Permohonan itu diajukan oleh minimal 50 orang
anggota DPR atau 25 orang anggota Senat. Alasan-alasan yang dat
diajukan untuk menguji keputusan Parlemen adalah “even if the
constitutional provisions do not expressly state, legal considerations
set forth, reconfirming the autonomy of the Chambers of Parliament,
demonstrate the lack of active quality of members of any of the
Chambers of Parliament in controlling the provisions of Regulation of
the other Chamber.”887 Permohonan pengujian itu dapat mencakup
salah satu ketentuan atau seluruh ketentuan keputusan Parlemen
tersebut. Dalam sebuah putusan yang diajukan oleh 27 Senator, MK
hanya membatalkan satu ketentuan saja dari Keputusan Bersama DPR
884
Putusan No. 53/2005.
Putusan No. 97/2008.
886
Putusan No. 838/2009. commit to user
887
Putusan No. 68/1992 dan Putusan No. 1009/2009.
885
283
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Senat.888 Namun demikian, dalam beberapa putusan, MK
menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa penafsiran keputusan
Parlemen dan implementasi keputusan tersebut.889 Demikian juga,
apabila pengujian diajukan terhadap kata-kata yang tidak memadai
atau tidak lengkap yang termuat dalam keputusan Parlemen, maka MK
juga menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa.890
Dalam putusan yang lain, MK membatalkan Keputusan Senat
yang mengandung materi muatan melebihi mandat ketentuan Pasal 64
UUD 1991.891 Selanjutnya, MK menafsirkan bahwa “That has been
the Court’s constant case-law, in the sense that Regulations of the
Chambers of Parliament, being enacted by resolutions which concern
the Chamber’s internal organization, can only determine rights and
obligations in regard to MPs, as well as authorities, officials and civil
servants, as the case may be, depending on their constitutional
relationship with that Chamber.”892
e. Kasus Rusia
(1) Desain Transisi Demokrasi
Membicarakan transisi demokrasi di Rusia tidak bisa
dilepasan dari Uni Soviet, sebuah negara adidaya akan tetapi akhirnya
tidak mampu memperhatikan kesatuan wilayahnya dan harus bubar
pada tahun 1991.
Sebagai sebuah negara federasi, Uni Soviet 15
negara bagian yang terletak di kawasan Eropa Utara dan Asia Utara.
Diantara negara bagian tersebut adalah Ukraina, Belarusa, Georgia,
Lituania, Uzbekiztan, dan Kazakhstan, akan tetapi yang paling besar
adalah Rusia. Moskow, ibukota Uni Soviet terletak di Rusia, dan
bahasa utama adalah bahasa Rusia. Sampai dengan tahun 1989, Soviet
dikendalikan oleh Partai Komunis.
888
889
Putusan No. 95/1998.
Putusan No. 44/1993, Putusan No. 98/1995, Putusan No. 17/2000, dan Putusan No.
47/2000.
890
Putusan No. 317/2006.
Putusan No. 601/2005. commit to user
892
Putusan No. 45/1994 dan Putusan No. 46/1994, Putusan No. 317/2006.
891
284
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sejarah Soviet dimulai dari Revolusi Bolshevik (Maret
1917), yang meruntuhkan monarki Tsar Nicholas II. Pada bulan
Oktober 1917, sesudah Tsar Nicholas II dan keluarganya dieksekusi,
segera dibentuk pemerintahan baru yang berpusat di Moskow. Ideologi
komunisme—yang sudah diorganisasikan sejak 1800-an893, yang
disusun oleh Lenin dan berkiblat kepada ajaran Karl Mark894, yang
memicu revolusi itu begitu laku di kalangan masyarakat Soviet pada
waktu itu karena penindasan dan kesewenang-wenangan monarki
(Tsar) di seluruh negeri.895 Lenin kemudian mengubah wajah
pemerintahan Soviet menjadi bentuk kediktatoran896 dan akibatnya,
timbul perang saudara (1918-1921) yang memecah belah negara
tersebut.
Meskipun
demikian,
kalangan
Bolsheviks
mampu
mempertahankan kemenangan dan segera membentuk Partai Komunis
dan mendirikan Uni Soviet (1922).
Kematian Lenin pada tahun 1924 menimbulkan persoalan
panjang siapa yang akan mampu menjadi pemimpin negara tersebut
sampai akhirnya Joseph Stalian mengendalikan kekuasaan (1929).897
893
Susan Muaddi Darraj, 2010, The Collapse of Soviet Union, New Yok, Infobase
Publishing, hlm. 25.
894
Ajaran Mark yang paling berpengaruh tersusun dalam The Communist Manifesto,
yang diterbitkan di Jerman pada 1848 oleh Mark dan pemikir Jerman Friedrich Engels, yang antara
lain mengemukakan bahwa pemerintahan yang dipimpin kelas pekerja akan lebih menguntungkan
masyarakat dibandingkan dnega sistem kapitalisme. Hal yang menarik, Lenin, yang merupakan
warga negara Rusia dapat mengakses ajaran tersebut sesungguhnya merupakan hasil dari reformasi
dan pencerahan yang dilakukan oleh penguasa Rusia, Ratu Catherine yang Agung (bertahta 21
April 1729-17 November 1796), di mana kelompok intelektual Rusia mampu memperkuat
masyakarakat dan dapat mengikuti perkembangan dunia luar. Ibid., hlm. 18 dan 26.
895
Kesan ini mungkin merupakan kesan yang paling umum. Suatu hal perlu dicatat
bahwa pada 30 Oktober 1905, Tsar Nicholas II telah mengeluarkan Manifesto Oktober yang
mengikis kekuasaannya dan membentuk Parlemen yang dikenal sebagai Duma. Tiap-tiap
penduduk Rusia akan memberikan suara dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Duma.
Tidak akan ada suatu UU yang berlaku tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan Duma.
Lihat: Ibid.
896
Hal inilah yang menurut para ahli sejarah dikatakan bahwa Lenin memang
mengikuti ajaran Mark, akan tetapi melakukan modifikasi dan menjadi doktrin tersendiri untuk
menyesuaikan dengan kondisi Rusia. Bagi Lenin, selain kelas pekerja dan petani, kalangan industri
juga perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sistem komunisme tersebut. Ibid., hlm. 28.
897
Di saat kesehatan Lenin mulai menurun pada Mei 1922, Stalin telah diberi
kepercayaan memegang jabatan Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis. Jabatan itu,
to tambahan
user
yang belum dinilai strategis, tak lebihcommit
dari tugas
partai, mulai digenggamnya sejak
April 1922. Pilihan itu dengan pertimbangan bahwa Lenin tidak pernah mempertimbangkan Stalin
285
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kebijakan Stalin yang penting adalah industrialisasi dan pertanian.
Stalian merancang Rencana Pembangunan 5 Tahun (the Five-Year
Plan) dan memerintahkan pembentukan industri berat seperti kimia,
pertambangan, dan besi baja.898 Stalin menuntut ketersediaan pangan
domestik
dengan
cara
merampas
kepemilikan
lahan-lahan
perseorangan dan untuk kemudian digabungkan dan dikerjakan secara
kolektif.899 Stalin menandatangani perjanjian dengan Jerman, bahwa
kedua negara tidak akan saling menyerang satu sama lain (1939).900
Perjanjian itu menyebabkan Uni Soviet mampu menduduki wilayah
Estonia, Latvia, dan Lituania. Stalin juga menguasai wilayah timur
Polandia. Akan tetapi pada Juni 1941, Hitler memerintahkan pasukan
Jerman untuk menyerang Rusia melalui Operasi Barbarossa.901
Bahkan, salah satu anak laki-laki Stalin, Yukov Dzhugashvili, yang
menjadi letnan altileri Resimen ke-14, tertawan tentara Jerman dan
kemudian pihak Jerman memotret serta mengirimkan gambar itu ke
Stalin, dengan harapan akan ada negosiasi.902 Namun, Stalin sama
sekali menolak menunjukkan komitmen itu dan keluarlah kata-katanya
sebagai penggantinya karena ia tidak mempunyai kecermelangan seperti Leod Trotsky dan
keunggulannya hanyalah wataknya yang keras seperti baja. Dalam testamen, Lenin mewasiatkan
agar Leod Trotsky ditunjuk sebagai penggantinya jika ia meninggal dunia. Namun testamen itu
disembunyikan oleh Stalin. Selanjutnya, Stalin menggalang kekuatan bersama dengan Lev
Kamenev dan Grigori Zinoviev (yang kelak juga disingkirkannya) untuk mengasingkan Leod
Trotsky. Lihat: Syamdani, Kisah Diktator-PsikopatL KOntroversi Kehidupan Pribadi dan
Kebengisan Para Diktator, Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm. 188-189.
898
Industrialisasi ini kelak memberikan sumbangan penting bagi kemenangan Soviet
atas Jerman (1945). Akibat kebijakan ini, menurut pengamatan Barat dalam tahun 1928-1941,
telah meningkatkan jumlah industri sipil menjadi 2,6 kali lipat dan menghasilkan mesiu sebesar 70
kali lipat dari sebelumnya. Selama 12 tahun industrialisasi ini, konstruksi dan transportasi
mengembangkan sumbangan bagi pendapatan negara tidak kurang dari ¼ kali lipat dalam masa
separuh waktu ini. Lihat: Mark Harrison, “Stalinist Industrialisation and the Test of War”, History
Workshop Journal, Vol. 29, 1990, hlm. 65.
899
Andrew Langley, 2007, The Collaps of the Soviet Union: The End of an Empire,
Minneapolis, Compass Poin Book, hlm. 21.
900
Latar belakang perjanjian ini, lihat: R.C. Raack, “Stalin’s Plans for World War II”,
Journal of Contemporary History, Vol. 6, No. 2, 1991, hlm. 215.
901
Muhammad Daud Darmawan, 2010, Kendaraan Tempur (Perang Dunia II),
Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm. 26.
902
commit
to user
Brenda Haugen, 2005, Joseph
Stalin:
Dictator of the Soviet Union, Minneapolis,
Compass Point Book, hlm. 9-10.
286
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang terkenal “War is war.”903 Stalin kemudian menjalin hubungan
dengan Amerika dan Inggris untuk membebaskan wilayah yang
diduduki oleh Jerman dan Soviet berhasil menyingkirkan tentara Nazi
pada tahun 1943. Sejak awal tahun 1950-an, Stalin kemudian mulai
berpandangan untuk mengembangkan jaringan komunisme ke seluruh
dunia. Hal itu dimulai saat Stalin mengontrol negara-negara Eropa
Timur.904
Setelah kematian Stalin (1953), posisi Sekretaris Jenderal
Partai Komunis diisi oleh Nikita Sergeyevich Khrushchev, yang
sebelumnya menjadi Perdana Menteri (1958-1964). Pada masa
kepemimpinan Khrushchev inilah dibentuk Pakta Warsawa untuk
menandingi NATO sebagai persekutuan pertahanan. Sejak saat itulah
mulai dilancarkan Perang Dingin (Cold War) sebagai cara “grew out of
Moscow’s imposition of system of the Soviet type on countries that
came under its control as a result of the Second World War.”905 Jadi,
Perang Dingin merupakan “the hostile East-West confrontation that
basically arose out of the empire-building process through which
Moscow installed Soviet-controlled client states, initially called
‘people’s democracies’ in countries of East-Central Europe and the
Balkans.”906
903
Ibid., hlm. 10. Akibat sikap Stalin tersebut, nyawa anaknya menjadi taruhannya.
Beberapa pakar sejarah yakin bahwa Yakov tewas dibunuh oleh tentara Jerman, sementara pakar
yang lain meyakini bahwa ia bunuh diri. Menurut laporan resmi, Yakov tewas pada April 1943,
setelah melarikan diri melalui pagar kawat listrik yang mengelilingi tempat ia ditahan. Stalin sama
sekali tidak pernah menyesal akan penahanan dan kematian anaknya tersebut. Bahkan ia pernah
mengatakan,”I have no son named Yakov<’ seperti dilaporkan wartawan setelah penahanan
Yakov.
904
Kebijakan ini berbeda dengan rencana awal di mana Uni Soviet menganggap Italia
menjadi pintu masuk untuk persebaran ikatan ideologi komunis. Menurut Pons, “In the postwar
peace process Moscow attached much lower priority to Italy than to the East Eurupean countries
that had been occupied by Nazi Germany. Italy was of limited significance for Soviet foreign
policy, and political and economic relations between the two countries never fully developed.”
Lihat: Silvio Pons, “Stalin, Togliatti, and the Origins of the Cold War in Europe”, dalam
www.fas.harvard.edu, diakses di Surakarta, 5 Juni 2013, pukul 16.22 WIB.
905
Robert C. Tucker, “The Cold War in Stalin’s Time: What the New Sources Reveal”,
commit
to user
Journal of Diplomatic History, Vol. 21, No.
2, 1997,
hlm. 273.
906
Ibid., hlm. 274.
287
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Posisi Khrushchev kemudian digantikan oleh Leonid
Brezhnev (1964) hingga meninggal dunia pada tahun 1982. Gaya
kendali kaku Partai Komunis Soviet terhadap dipertahankan. Sejak
tahun
1968,
Brezhnev
berusaha
mendefinisikan
batas-batas
kebijaksanaan independen dengan sekutu sosialisnya dibandingkan
jaringan ideologi yang ortodok, terutama setelah melakukan intervensi
militer ke Cekoslovakia, saat tuntutan demokratisasi di negara itu
menggeliat. Sepanjang masa jabatan Brezhnev, sistem berjalan
stagnan. Akan tetapi dengan semakin besarnya sentralisasi partai dan
sistem ekonomi komando, justru proyek-proyek pembangunan
memberikan keuntungan besar. Bidang pertanian tergeser dengan
industrialisasi yang berjalan cepat dan tingkat melek huruf di kalangan
anak-anak meningkat menjadi 98%. Uni Soviet tidak hanya menantang
Amerika di bumi, akan tetapi juga berlomba mencapai dan menguasai
ruang angkasa (1969).
Namun, memasuki dasawarsa 1970-an dan 1980-an, sistem
itu mulai merosot. Mulai muncul krisis legitimasi pemerintah di mata
masyarakat. Keadaan masyarakat seperti digambarkan oleh Timothy
Colton di tahun 1986, “studies of Soviet buying habits observe that
citizens now feel entitled to more and better goods than in the past and
that the demands of people have significantly grown and industry trails
along behind them.”907 Berbeda dengan sesumbar Khrushchev pada
1961 ketika mengatakan bahwa tingkat pendapatan per kapita Soviet
akan melampaui Amerika untuk waktu 20 tahun, akan tetapi pada 1980
realitanya hanya mencapai 1/3 pendapatan Amerika.908 Sudah sejak
awal 1970-an pertumbuhan menyusut menjadi rata-rata 3% saja,
bahkan pada 1985 sudah menjadi 1,6%. Penuruhan pertumbuhan ini
juga diikuti dengan kemorosotan produksi terutama pertambangan dan
baja. Bahkan, produksi minyak juga menurun pada pertengahan 1980907
Timothy J. Colton, 1986, Dillemma of Reform in the Soviet Union, New York,
Council on Foreign Relations, hlm. 49. commit to user
908
Ibid., hlm. 47.
288
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
an dan pertanian juga tidak dapat diharapkan.909 Yang mencengangkan
pada era tersebut, mulai muncul gugatan-gugatan dari negara bagian
Uni Soviet atas integrasi mereka ke sistem komunis. Aneksasi kawasan
Baltik oleh Soviet pada 1939 misalnya, mendorong penduduk
Lithuania, Latvia, dan Estonia, menentang upaya pemerintah untuk
mendorong asimilasi dengan penduduk asli Soviet. Muncul kecaman
publik atas kebijakan penerapan bahasa di Lithuania (1972) dan
Georgia (1978). Sebuah bom diledakkan di stasiun Moskow oleh
pejuang Armenia (1977). Pada saat yang sama, penduduk dari
kalangan non Rusia dan non Eropa meningkat 4 kali lipat
dibandingkan pertumbuhan etnik Rusia.910 Data-data yang mengerikan
itu disodorkan oleh Michail Gorbachev, yang ditunjuk menjadi
Sekretaris Jenderal menggantikan Brezhnev.
Situasi itu mendorong Gorbachev mengumumkan kebijakan
restrukturisasi (perestroika) pada 1985 untuk melakukan reformasi
ekonomi dan sosial. Selama periode ini, Uni Soviet “was copying eith
the challenges of ths so-called ‘Third Wave’ revolution hich was
characterized by an extremely turbulent internal and external
environment, the need for extensive knowledge and a technologically
intense
environment.”911
Langkah-langkah
pembaruan
ekonomi
diluncurkan seperti liberalisasi (1986), UU Perseroan (1988), dan UU
Koperasi (1988).
Usul demokratisasi telah mendorong terciptanya
pemilihan bebas yang tidak pernah dijumpai dalam sistem sebelumnya.
Guna membantu
dalam menyusun dan merejamakan Politbiro,
Gorbachev menempatkan Boris Yeltsin sebagai Sekretaris Partai di
Moskow. Namun saat menyaksikan bahwa upaya pembaruan berjalan
begitu lambat, Yeltsin kemudian memutuskan hubungan dengan
Gorbachev dan mengkritik kinerja pemerintah untuk pertama kali
909
Ibid., hlm. 35.
Ibid., hlm. 45.
911
commit
user
Alvin dan Heidi Tiffler, 1994,
Warto
and
Anti War, Survival at the Dawn of the 21th
Century, London, Warner Books, hlm. 71-78.
910
289
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam suatu sidang pleno partai di bulan Oktober 1987, termasuk
kecaman terhadap upaya mengkultuskan Gorbachev itu sendiri. Akibat
tindakan ini, maka Gorbachev kemudian memecat Yeltsin, suatu
tindakan yang mencerminkan keragu-raguannya terhadap sosok ini.
Akan tetapi pada pemilu Maret 1989—pemilu bebas yang pertama kali
dilaksanakan di Uni Soviet, Yeltsin berhasil terpilih sebagai anggota
Parlemen Uni Soviet dan pada tahun 1990 terpilih sebagai Ketua
Parlemen. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnaze
dan pengurus Politbiro Aleksandr Yakovlev mulai menunjukkan
pembangkangan terhadap Gorbachev. Menyadari situasi itu, maka
Gorbachev tidak mempunyai pilihan lain, kecuali merapat ke kalangan
konservatif dan untuk pertama kalinya ia memerintahkan pengerahan
pasukan guna mengatasi pembangkangan negara bagian pada Januari
1991 di Lithuania dan Latvia yang memproklamasikan kemerdekaan
pada 1990. Dalam suatu peristiwa aksi massa di sebuah stasiun televisi
di Lithuania, 14 orang tewas dan 500 orang terluka akibat serangan
Tentara Merah.
Usaha Gorbachev untuk melakukan renegosiasi ulang dengan
15 negara bagian ditentang kalangan Politbiro). Puncaknya pada 17
Agustus 1991 Komite Darurat Negara912 mengadakan usaha kudeta
terhadap Gorbachev dan menempatkan pasukan militer dan kendaraan
lapis baja di Moskow, termasuk di Parlemen.913 Pada saat bersamaan
negara bagian Moldova, Estonia, Belarusia, Azerbaijan, Armenia, dan
Republik Asia Tengah menyatakan kemerdekaan. Rusia dan Ukraina
menyusul kemerdekaan pada Desember 1991. Pelaku kudeta tersebut
mengira dengan menahan dan mengisolasi Gorbachev maka negara
912
Komite ini beranggotakan Wakil Presiden Uni Soviet, Perdana Menteri, Kepala
Dinas Rahasia (KGB), Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Ketua Persatuan Petani, Wakil
Ketua I Dewan Pertahanan, dan Ketua Asosiasi Negara-Negara Industri Uni Soviet.
913
Komite ini, di samping menentang usaha Gorbachev untuk melakukan negosiasi
ulang terhadap 15 negara bagian, juga mengatakan bahwa negara berada dalam “kematian yang
user akan mengembalikan Uni Soviet pada
membahayakan, dan sebagai pendukungcommit
unitaris,tomereka
tempat yang sesuai dan kejayaan seperti masa lalu.
290
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan dikuasai, padahal mereka melupakan sosok lain yang
berpengaruh, yaitu Boris Yeltsin. Menyadari situasi yang terjadi,
Yeltsin kemudian menuju Moskow dan di atas sebuah tank
mengucapkan pidato yang mengecam aksi kudeta tersebut. Yeltsin
berhasil meyakinkan militer untuk berpihak pada dirinya dan Rusia
dan tidak melakukan aksi terhadap penduduk sipil.914 Tindakan Yeltsin
disiarkan oleh media di seluruh dunia dan setelah itu Amerika Serikat,
Inggris, Prancis, dan negara-negara barat lain mengakui kepemimpinan
Yeltsin atas Rusia.915 Sedangkan kudeta itu sendiri gagal dan pada 21
Agustus 1991 negara mampu dikendalikan oleh Yeltsin. Di akhir 1991,
Yeltsin secara efektif mengambilalih kementerian dan institusi politik
lainnya, untuk kemudian dikendalikan oleh Rusia, di mana ia terpilih
sebagai Presiden sejak Juni 1991.
Berbeda dengan transisi demokrasi di Amerika Latin, tak ada
perjanjian antara Gorbachev atau aktor pemerintahan lama lainnya
untuk mengakhiri Uni Soviet. Tidak pula terjadi kebuntuan negosiasi
ataupun
hasil
kesepakatan
untuk
mengubah
politik
menjadi
demokratis. Militer tidak menjalankan peran utama dalam proses
transisi tersebut.
Oposisi demokratik yang dipelopori oleh Yeltsin
secara meyakinkan
mengambilalih Rusia pada 1991 dan
sesaat
kemudian menjalankan demokrasi serta mulai melaksanakan reformasi
pada Januari 1992.
Sesudah
mengambilalih
pemerintahan,
Yeltsin,
selaku
pemimpin Rusia, mengadakan perundingan dengan Ukraina dan
Belarusia dan
perjanjian
pada
menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam
Desember
1991.
Kesepakatan
itu
menandai
pembubaran federasi Uni Soviet. Tidak lama setelah itu, Yeltsin
menganggap bahwa Republik Federasi Rusia yang dipimpinnya
memerlkan suatu perjanjian internal untuk pelaksanaan pemerintahan.
914
John Dunlop, 1993, The Rise of Russia and the Fall of the Soviet Empire,
toBab
user
Princenton, Princenton University Press,commit
khususnya
V.
915
Ibid., hlm. 11.
291
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sesudah serangkaian negosiasi yang melelahkan, pada 31 Maret 1992,
Federation Treaty ditandatangani. Perjanjian ini berlaku untuk Rusia,
satuan pemerintah daerah (distrik, teritori, dan Kota Moskow dan St.
Petersburg) serta daerah otonom lainnya. Federaration Treaty menjadi
ketentuan tambahan dalam UUD Rusia (1978). Perjanjian ini
menekankan yurisdiksi dan kekuasaan pemerintahan federal dan satuan
pemerintahan daerah lainnya.
pemerintah
daerah
yaitu
Perlu dicatat, bahwa 2 satuaan
Tatarstan
dan
Chechnia,
tidak
menandatangani perjanjian tersebut.
Penandantanganan Federation Treaty itu menjadi salah satu
langkah penting dalam transisi demokrasi di Rusia. Bahkan, pada saat
disetujui, para pengamat mengemukakan banyak manfaat dari
perjanjian tersebut. Mereka menekankan posisi pemerintah federal
sebagai negara merdeka yang telah melakukan pembagian kekuasaan
antara pusat dan daerah. Perjanjian itu tidak hanya menekankan
hubungan Rusia dengan negara bagian saja, akan tetapi juga satuan
daerah otonom lainnya. Sebagai salah satu bentuk kesuksesan politik,
perjanjian itu telah menentukan cara penyelenggaraan negara, setelah
sebelumnya diramalkan bahwa Rusia akan mengikuti pola bekas Uni
Soviet.
Federation Treaty selanjutnya dapat dianggap sebagai salah
satu dasar hukum pada pasca Uni Soviet. Sesudah berjalan selama 2
tahun, dengan ditetapkannya UUD 1993, maka dokumen itu telah
menjadi ketentuan hukum dasar, sekalipun tidak pernah disertakan
dalam referendum Desember 1993. Namun, Federation Treaty telah
dikurangi keberlakuannya atas ketentuan UUD 1993, yang mengatakan
bahwa apabila ada pertentangan antara Federation Treaty dengan
UUD, maka UUD dimenangkan. Oleh pakar hukum Rusia, dengan
kenyataan itu, maka perjanjian tersebut posisinya menjadi sekunder
dalam hierarki tata hukum, tidak pararel dengan UU 1993 atau bukan
commit to user
292
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pula pelengkap UUD. Bahkan, perjanjian itu hanya berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan UUD.
Dalam 9 tahun kepresidenan Boris Yeltsin, dimulai sejak
sebelum Uni Soviet pecah, Rusia secara sistematis mulai melakukan
reformasi pengadilan dan kekuasaan kehakiman dengan meletakkan
dasar-dasar yang berhubungan dengan independensi peradilan. Pada
saat yang sama masa jabatan hakim pada kebanyakan pengadilan
memperoleh ditentukan seumur hidup dan diawasi oleh Komisi
Yudisial. Kemudian saat administrasi pengadilan berpindah dari
cabang eksekutif di Departemen Kehakiman kemudian di bawah MA,
diikuti dengan ekspansi besar kapasitas pengadilan yang berwenang
melalui penciptaan Hakim Perdamaian.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Cikal bakal MK dimulai pada 1990 dengan penciptaan Komite
Pengawasan Konstitusional (Constitutional Supervision Committee) di
sejumlah negara bagian Uni Soviet dan berlangsung sampai penundaan
pembentukan MK Rusia pada 1993. Hanya 11 negara bagian komite
pengawasan pada gelombang ini. Mengapa Negara Bagian Rusia
membuat MK lebih cepat dibandingkan negara bagian lain di Uni
Soviet? Ada suatu kemungkinan bahwa Rusia memiliki otonomi yang
relatif lebih tinggi dibandingkan negara bagian lainnya. Pada waktu itu
Rusia memiliki wewenang untuk mengesahkan UU secara otonom,
suatu kewenangan yang absen dari negara bagian lain. Melonjaknya
kapasitas pembentukan UU diantara negara bagian memaksa
pertimbangan dibentuknya suatu Komite Pengawasan Konstitusional
guna memeriksa kualitas UU.
Pembentukan CR di tingkat federal sangat dipengaruhi
penciptaan badan-badan regional serupa. Segera setelah itu pada tahun
1990, sejumlah negara bagian (Komi, North Ossetiya, dan Tatarstan)
menciptakan badan sendiri untuk menentukan konstitusionalitas UU
commit
to user serta Keputusan Perkumpulan
dan Keputusan Badan
Pemerintah
293
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Publik. Komite Pengawasan Konstitusional di 3 negara bagian tersebut
mulai beroperasi pada Desember 1990 dengan latar belakang
pemikiran otonomi versi elit politik Rusia dan penguasa Uni Soviet.
Pada 1990-1991, Parlemen Rusia menciptakan jabatan Presiden dan
MK dalam upaya untuk memastikan integritas teritorial dan status
kedaulatan dalam Uni Soviet. Pembentukan MK Rusia dirintis pada
12 Juli 1991 (5 minggu sebelum kudeta Agustus 1991). Pendirian ini
ditetapkan dengan UU dengan mengambil nasehat dari Jerman.
Sebanyak 13 dari 15 orang hakim telah disetujui oleh Parlemen pada
Oktober 1991.
Setelah Parlemen Rusia membuat MK, beberapa negara
bagian Uni Soviet memilih untuk mendirikan MK pada model ini.
Pengadilan diberdayakan untuk melindungi fondasi konstitusional
negara bagian, pengujian UU Federal menurut UUD Rusia dan
erjanjian antara Negara Bagian dan Moskow. Para pembentuk MK
tersebut melihat pengadilan ini sebagai langkah pertama ke arah
modern, berdaulat, berbasis negara hukum dengan pemisahan
kekuasaan dan sistem peradilannya mandiri, seperti di Amerika
Serikat, di mana negara memiliki sistem hukum sendiri, dan Jerman, di
mana Negara Bagian memiliki MK sendiri. Bersamaan dengan itu,
popularitas Yeltsin semakin melambung dan sorotan kekuasaan terlah
bergeser dari Uni Soviet ke Rusia. Saat pengadilan melaksanakan
wewenang dengan menerima perkara pertama kali pada Januari 1992,
Uni Soviet telah bubar dan kendali pemerintahan ada pada Federasi
Rusia dengan Presiden Boris Yeltsin. Dengan situasi semacam itu,
“one would expect that the court would be beholden to the Russian
President.”916 Akan tetapi hal itu tidak terjadi, karena “the Russian
Court was substantially different from that of oversight committee
commit Judicial
to userReview, and the Russian Constitutional
Carla L. Thorson, 2012, Politics,
Court, hlm. 26.
916
294
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
leaving judge in a position to act independently from the executive
branch.”917
Untuk pertama kali, MK di tingkat negara bagian didirikan di
Negara Bagian Dagestan, sebuah wilayah miskin kecil di Kaukasus
Utara yang dihuni oleh sebelas kelompok etnis. Pembentukan MK
berhasila dilaksanakan pada Desember 1991 dan mengeluarkan
putusan untuk pertama kali pada tanggal 6 Maret 1992 yaitu putusa
untuk membatalkan penggelembungan harga pada distribusi alkohol
(Kriazhkov 1999:285). Meskipun beragam, komposisi multi-etnis di
negara bagian ini bisa berkontribusi pada pengenalan CR guna
menyelesaikan sengketa antar etnis sebagai salah satu keberhasilan
konsolidasi oleh kalangan elit politik di mana
Ketua Parlemen
Magomedali Magomedov918 memainkan peran signifikan dalam proses
tersebut.
Selanjutnya, MK di tingkat negara bagian dibentuk di Siberia
Sakha-Iakutiia, yang sekarang merupakan negara bagian terbesar
dalam Federasi Rusia. Pada Februari 1992, UUD Negara Bagian
menetapkan pembentukan MK. Para hakim yang dipilih pada bulan
Juni 1992, mengeluarkan putusan pertama kali pada tanggal 18
Desember 1992, mengenai kewajiban
untuk menghormati kontrak
antara pemerintah kota dengan individu. Pembentukan MK dilakukan
setelah Presiden Sakha Mikhail Nikolaev itu tertanam kuat dalam
kekuasaan. Sebelum memenangkan pemilu presiden dengan 77% dari
suara rakyat pada Desember 1991, Nikolaev merupakan Ketua
Parlemen selama 2 tahun. Pada tahun 1991, ia menolak untuk
memasok kas Pemerintah Federal dengan emas dan berlian dan
menahan pendapatan pajak federal. Nikolaev terpilih kembali pada
917
Ibid.
Magemedov merupakan mantan Ketua Partai Komunis yang telah berkuasa sejak
Agustus 1987. Pada tahun 1990, ia terpilih untuk memimpin negara bagian ini, dan terpilih
kembali terus menerus pada pada tahun 1994, 1998, dan 2002. Saat menjadi Gubernur Dagestan,
Magomedov secara luas diharapkan untuk
memenangkan
commit
to user pemilu di tahun 2006 dan untuk
mempertahankan jabatannya hingga 2010.
918
295
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tahun 1996 dan diberhentikan setelah menjabat 3 bulan pada
Desember 2001 dengan intervensi Pemerintah Federal.
Pada
1992-1993,
beberapa
negara
bagian
yang
lain
(Bashkortostan, Chechnya, Kabardino-Balkariia, Mordoviia, Tatarstan,
dan Tyva) menetapkan UUD dan berhasil menyetujui pendirian MK,
tetapi lambat untuk memilih hakim. Oleh sebab itu, MK di Negara
Bagian Kabardino-Balkariia mulai bekerja pada Juli 1994, setelah
Ketua Parlemen, Valerii Kokov, memenangkan pemilihan presiden di
1992 dengan 89% suara. Presiden Kokov mengulangi keberhasilannya
dalam pemilu 1997 dengan memenangkan 93% suara, dan, jika terpilih
kembali, dia bisa mempertahankan jabatannya hingga 2012. Pada
tahun yang sama, MK untuk pertama kali menerima permohonan CR.
Namun demikian, putusan MK menunjukkan adanya formulasi
terbatas terkait dengan pelaksanaan CR tersebut. sementara itu, MK
Bashkortostan memulai melaksanakan kewenangan pada bulan
Oktober 1997, artinya 5 tahun sesudah ditetapkan oleh UUD Negara
Bagian 1992. Pengadilan ini mulai bekerja pada saat puncak posisi
politik kekuasaan Presiden Bashkortostan yaitu Murtaza Rakhimov.
Rakhimov telah memerintah sejak tahun 1990 dan memenangkan kursi
kepresidenan pada tahun 1993 dan 1998 dengan dukungan suara
masing-masing 64% dan 70%. Pada sisi yang lain, MK di negara
bagian Tatarstan, didirikan pada November 1992 dan mulai bekerja
pada bulan Juni 2000 ketika Presiden Tatarstan Mintimer Shaimiev
begitu begitu berkuasa dan bahkan pemerintahan Putin tidak bisa
mencegah dia dari pencalonan dan memenangkan jabatan Presiden
untuk ketiga kalinya dalam pemilu 2001. Kemudian, MK di negara
bagian Tyva, didirikan pada bulan Desember 1992 dan para hakim
diangkat pada bulan Juli 2003. Presiden Tyva Sherig-ool Oorzhak
telah berkuasa sejak April 1992 setelah memenangkan pemilu dengan
83% suara. Oorzhak mengulangi keberhasilannya pada tahun 1997
commit to user
296
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(71% suara) dan 2002.919 Dengan demikian, tampak bahwa para elit
politik lokal di Federasi Rusia mendirikan MK hanya setelah mereka
melakukan konsolidasi kekuatan politik.
Banyak MK di negara bagian menghadapi masalah dalam
tahun-tahun awal pembentukannya. Bahkan semangat pembentukan
pengadilan kemudian diikuti dengan kejadian yang mencengangkan
yaitu, pembubaran MK. Dimulai pada Juni 1993, ketika Presiden
Chechnya Dzhokhar Dudaev dipecat oleh MK setelah mendakwa pada
Mei 1993. Parlemen Chechnya membentuk MK pada Oktober 1992
dan terpilih 9 hakim konstitusi lewat persaingan sengit. Dudaev
menentang MK dalam pertentangan dengan Parlemen dan kemudian
dibubarkan pada bulan Juni 1993. Keputusan tersebut sebelum
munculnya popularitas Dudaev yang melejit pada pertengahan 1994
saat muncul gelombang sentimen anti-Rusia.920
Di
Negara
Bagian
Mordoviia,
Parlemen
menciptakan
pengadilan pada April 1993 dan dengan cepat menunjuk para hakim.
Sebelum pembentukan MK, 8 calon hakim tersebut bersaing dalam
pemilu presiden 1991 yang hanya diikuti oleh figur nonkomunis dan
bukan kalangan incumbent. Ketua Parlemen Mordoviia, Nikolai
Biriukov menjelaskan bahwa MK diperlukan untuk menegakkan
konstitusi negara bagian dan untuk menyelesaikan sengketa antara
Parlemen dan Presiden Mordoviia, yang mengikuti strategi Yeltsin
untuk
merongrong
dan
mengabaikan
pengambilan
keputusan
parlemen. Parlemen kemudian terampil menggunakan MK untuk
menghapuskan jabatan Presiden dan Wakil Presiden Mordoviia pada
tahun 1993. Ketua MK Mordoviia Pavel Eremkin mengakui bahwa
MK dibentuk sangat cepat untuk menyelesaikan konflik politik yang
919
Jeffrey Kahn, 2002, Federalism, Democratization, and the Rule of Law in Russia,
New York: Oxford University Press, hlm. 212.
920
Jane Ormrod, ‘‘The North Caucasus: Confederation in Conflict,’’ dalam I.
Bremmer dan R. Taras (Editors), 1997,
New to
States,
commit
userNew Politics: Building the Post-Soviet
Nations, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 103-107.
297
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serius antara legislatif dan eksekutif (1994). Dia bersikeras bahwa MK
mewakili
cara
beradab
untuk
menyelesaikan
perselisihan
konstitusional dalam negara demokratis. Meskipun Eremkin tidak
percaya
bahwa
MK
akan
dihapuskan,
Parlemen
kemudian
berkeinginan untuk membubarkan pengadilan ini pada Februari 1994,
setelah hakim mengkritik secara terbuka para pembentuk hukum. Para
elit politik Mordoviia kemudian meniru tindakanYeltsin, yang
menangguhkan aktivitas MK Rusia pada bulan Oktober 1993 dalam
usahanya menghadapi tentangan Parlemen Rusia.
Pada awal 1990, para pejabat federal sebagian besar acuh tak
acuh terhadap MK dan strategi pembubarannya di negara bagian. Pada
awal tahun 1992, sejumlah hakim di beberapa MK negara bagian
meminta Parlemen Rusia untuk mengkonfirmasi legitimasi mereka dan
untuk menyetujui ide pembiayaan federal. Mereka berhasil dalam
mendapatkan persetujuan pembentukan MK daerah sebagai tindakan
sah menurut Federation Treaty, yang menempatkan CR negara bagin
dalam yurisdiksi eksklusif daerah. Tetapi, Moskow menolak
pembiayaan federal atas pengadilan tersebut karena bukan bagian dari
peradilan federal dan, dengan demikian, hanya daerah sendiri bisa
membiayai mereka.
Meskipun Konvensi Konstitusi yang diselenggarakan oleh
Presiden Yeltsin pada 1993 berusaha untuk menyamakan status semua
unit federasi, pejabat federal secara informal memberi jaminan bahwa
negara bagian akan memiliki pengadilan sendiri. Banyak utusan negara
bagian ingin memasukkan norma-norma tentang pengadilan daerah
dalam UUD Federal. Utusan federal berpendapat bahwa hal itu
terserah kepada setiap rnegara bagian untuk memutuskan apakah akan
memiliki MK sendiri dan menentang otorisasi MK negara bagian
menurut UUD Federal karena akan meningkatkan negara bagian atas
daerah lain.
commit to user
298
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pembahasan berikutnya merujuk kepada eksistensi MK di
tingkat federal. Untuk periode pertama ini, MK diberi wewenang
penting dengan 2 alasan. Pertama, MK merupakan sarana lain dari
propaganda bagi pemerintah Rusia untuk memperoleh modal politik
dari pemerintah Soviet. Guna memperoleh popularitas, Yeltsin dan
Parlemen bekerjasama untuk memberikan independensi yang lebih
besar kepada MK dibandingkan apa yang pernah direncanakan oleh
Gorbachev. Kedua, pada 1991, Presiden Yeltsin tidak memiliki
persoalan dengan Parlemen dalam merumuskan kekuasaan mereka
sampai kemudian meletus peristiwa Oktober 1993. Dengan demikian
kedua cabang kekuasaan bersedia untuk memberikan dukungan bagi
independensi pengadilan pada 1991 dan mereka terjamin terhadap
pengadilan.
Saat pertama kali membentuk rancangan UUD Rusia dan
dipublikasikan
1991,
konstitusi
ini
memberikan
kewenangan
substansial bagi MK. Secara garis besar, fungsi MK mencakup:
melakukan CR terhadap UU dan Keputusan Presiden, menyelesaikan
sengketa antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian,
memeriksa pelanggaran UUD oleh Presiden, dan melakukan inisiatif
untuk memecatnya. Semula, pengadilan akan diberi wewenang untuk
memeriksa perjanjian internasional sebelum dilakukan ratifikasi,
namun ditolak oleh kalangan politisi untuk mencegah intervensi MK
terhadap negosiasi internasional. Putusan pengadilan berlaku di
seluruh wilayah dan mengikat semua badan negara. Setiap badan yang
membentuk hukum diberikan waktu 30 hari untuk melakukan revisi.
Putusan untuk CR berlaku sejak saat diumumkan.
Seperti sudah diuraikan di atas, MK telah memiliki 13 orang
hakim dan pada mulanya dipilih dari 23 hakim yang diajukan oleh
Yeltsin akan tetapi kenyataannya mereka dikonfirmasi oleh bermacamcommit to user
299
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
macam faksi di Parlemen.921 Sejak tahap pencalonan dilakukan, sudah
muncul kecaman terhadap para calon hakim tersebut. Parlemen hanya
memberikan waktu 5 menit bagi kandidat untuk “hearing.” Banyak
keluhan terhadap kandidat karena banyak yang tidak terlatih dengan
baik, kecuali Valerii Zorkin (yang kelak menjadi Ketua MK), yang
telah mempunyai reputusai nasional sehubungan dengan jabatan ini.
Untuk memastikan independensi, para hakim memegang jabatan
sampai usia 65 tahun. Hakim tidak dapat dipaksa untuk pensiun atau
dimutasi ke jabatan lain, tetapi Parlemen dapatr mengajukan
pemberhentian jika para wakil rakyat menghendaki pengurangan
komposisi hakim. Para hakim tidak boleh bersifat partisan, kesetiaan
hanya kepada UUD, dan dilarang menjalankan profesi hukum lain,
kecuali izin mengajar kepada mereka yang semula adalah dosen.
Sesudah akhir Desember 1993, situasi politik berubah dratis.
Presiden
Yeltsin
memenangkan
perebutan
kekuasaan
dengan
Parlemen. Namun UUD 1993 yang berlaku tidak memuat aturan
khusus untuk MK. Sehubungan dengan perubahan konfigurasi politik
ini, “one would have expected any new constitutional court to be
substantially weakned by the event of 1993, and that members of the
court might be replaced. One might also have expected that the
executive would exercise greater oversight of the court, and reduce the
independent powers of judicial review, and that new appoipment
would be dictated by the executive branch..”922 Namun semua
kekhawatiran ini tidak terjadi. Hal ini karena, “despite threats by the
president to the contrary, the judiciary maintained its independence
and the constitutional court continued to exest.”923
921
Para hakim ini adalah Valerii Zorkin (kemudian menjadi Ketua), Alksander Rutskoi
(kemudian menjadi Wakil Ketua), Viktor Luchin, Oleg Tiunovm, Nikolai Vedernikov, Ernest
Ametistov, Tamara Morshchakova, Nikolai Vitruk,Gadis Gadzhiev, Boris Ebzeev, Niolai
Seleznev, Anatlii Konovov, Vladimir Olenik, dan Yurii Rudkin.
922
commit to user
Ibid., hlm. 28.
923
Ibid., hlm. 29.
300
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal yang baru adalah wewenang MK untuk menguji
perjanjian internasonal (Pasal 125 ayat [2] huruf d). Kemudian,
Presiden memiliki kewenangan “quasi judicial” yang untuk menunda
efek putusan sehubungan dengan masalah federalisme. Presiden
berwenang untuk melakukan mediasi atas perselisihan antara lembaga
federal dan lembaga negara lain, termasuk negara bagian. Presiden
juga berwenang untuk membatalkan berbagai peraturan perundangundangan yang ditetapkan oleh pemerintah Federal, jika bertentangan
dengan UUD, peraturan federal, atau perjanjian internasional HAM.
Sebelumnya, wewenang ini ada pada MK.
Komposisi hakim yang semula 15 orang diperluas menjadi 19
orang dengan tujuan untuk mencegah mengurangi hakim yang
bersikap anti Yeltsin. Ketentuan masa jabatan dari semula hingga usia
65 tahun diubah menjadi 12 tahun tanpa dapat dipilih kembali dan
wajib mengundurkan diri jika sudah mencapai 70 tahun. Para hakim
juga berhasil mencegah usaha Yeltsin untuk memecat Zorkin (Ketua
MK) dan beberapa hakim lain, yang jelas-jelas berpihak pada
Parlement.924
Selanjutnya, akan diuraikan kinerja MK pada fase I (19921993). Hampir
2 tahun bekerja, MK telah menerima 30.000
permohonan, memeriksa 30 perkara dan menetapkan 27 putusan. Di
samping itu MK, sudah memeriksa 2 permohonan pengujian keputusan
Presiden Yeltsin, dan 86 keputusan pemecatan. Sebanyak 7 hakim
menulis 25 pendapat berbeda (dissenting opinion) dan cara berpikir
yang sama (concurring opinion). 925 Para pemohon paling banyak dari
politisi federal dan lokal, perkumpulan publik, dan perorangan. Dalam
pelaksanaan wewenang tersebut, MK sudah membatalkan (baik secara
keseluruhan maupun untuk sebagian) 10 keputusan pemerintah federal,
10 UU Federal dan keputusan parlemen, dan 4 peraturan daerah negara
924
925
Ibid., hlm. 30.
Ibid., hlm. 96.
commit to user
301
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagian.
926
Kemudian, pada periode 1995 sampai dengan bulan April
2000, MK menerima 49 permohonan dan menolak 75 permohonan
yang diajukan negara bagian. Selama kepresidenan Putin, dalam
rentang waktu 2000-2005, pemerintah negara bagian mengajukan
permohonan sebanyak 27 perkara dan menolak memeriksa 116 perkara
yang lain. Pada tahun 2003, negara bagian melanjutkan permohonan
kepada MK dalam jumlah yang semakin banyak karena Ketua MK
Zorkin telah memerintahkan beberapa negara bagian untuk menunda
permohonan mereka. Bahkan, terutama menyangkut isu federalisme,
MK telah menyusun ratusan pendapat hakim berbeda (dissenting
opinion).
Mengapa permohonan itu paling banyak diajukan oleh politisi
lokal dan federal? Identifikasi masalah sistem federal yang baru adalah
pemerintah pusat yang lemah,yang tidak bisa menetapkan UU Federal
yang sesuai pada 1995-2000. Ketentuan federal untuk pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan, perlindungan hak-hak minoritas
dan isu-isu penting lainnya menunggu Duma yang terdiri dari beberapa
partai dan kelompok dan Dewan Federasi Sementara ini terjadi di
mana pemerintah daerah melewati UUD mereka sendiri. Pada akhir
1990-an,
konflik
antara
UU
Federal
dan
peraturan
daerah
menyebabkan apa yang disebut "Pertempuran Undang-Undang´(War
of Laws). Pemerintah federal mulai mengecam ke daerah bahwa
mereka perlu untuk membawa UUD regional dan hukum di daerah
agar sejalan dengan UUD Rusia dan UU federal, tetapi daerah
berargumen bahwa UU yang ditetapkan mereka diadakan didahulukan
dan sering mengabaikan tuntutan federal untuk reformasi.927 Sebuah
krisis besar dalam sistem federal ada pada saat ini, adalah terjadi antar
daerah, yang mendukung Federasi Treaty, perjanjian bilateral dan
926
Ibid.
Jeffrey Kahn, 2002, Federalism,
and the Rule of Law in Russia.
commitDemocratization
to user
Oxford, Oxford University Press, hlm. 174-176.
927
302
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan-peraturan daerah dan pemerintah federal. pemahaman yang
dari sistem federal bergantung pada UUD, undang-undang federal
yang sekarang sedang berlalu, dan prinsip supremasi federal atas
hukum lokal. Melihat keuntungan yang lebih besar diberikan kepada
Negara Bagian Tatarstan, daerah lain mulai mendorong perjanjian
bilateral diantara mereka sendiri. Sebuah struktur federal yang
diciptakan dari perjanjian ini yang asimetris, dengan daerah yang
memiliki kekuatan yang berbeda dalam kaitannya dengan pusat dan
kekuatan yang berbeda dibandingkan dengan satu sama lain.
Pada awalnya MK menahan diri dari terlibat dalam konflik
antara pemerintah federal dan daerah sampai akhir 1990-an, ketika
kasus-kasus tertentu dibawa ke pengadilan untuk dimintakan
pengujian. Karena persyaratan khusus untuk mengajukan permohonan
tersebut, MK tidak dapat mempertimbangkan pengujian ini sampai
daerah atau pemerintah federal mengajukannya. Kemampuan untuk
menegakkan putusan MK juga merupakan faktor utama mengapa
hanya beberapa perkara yang diperiksa selama periode "Pertempuran
Undang-Undang."
Struktur fiskal pemerintah federal
lemah
dibandingkan dengan banyak daerah yang menolak untuk melakukan
pembaruan hukum dan
tidak memiliki mekanisme sanksi untuk
memaksa perubahan. Walaupun demikian, situasi ini akan berubah
pada tahun 2000.
Sejak tahun 1995, MK dengan cepat mengizinkan negara
bagian untuk membuat peraturan bersama “until the adaption of a
federal statute on the matter.”928 Menurut Hakim Ebzeev, MK
“melakukan terobosan” kewenangan ini dengan semangat konstitusi,
dan bukan menurut huruf-huruf dalam teks konstitusi. Meskipun
demikian, MK mengingatkan bahwa peraturan bersama semacam itu
harus disesuaikan dengan ketentuan federal, kebebasan konstitusional,
dan tunduk kepada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah federal
commit to user
928
Putusan MK No. 16-P/1995, Putusan No. 3-P/1996, dan Putusan No. 9-P/1996.
303
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam masalah yang akan diatur. Para pengamat mengkritik
“penemuan hukum” oleh MK ini telah mengeluarkan negara bagian
dari cakupan kewenangan pemerintah federal.
Bahkan, MK dengan mudah mengakui bahwa “the life of the
regions goes on outside of legal norms”, seperti pernah diucapkan oleh
Hakim Vedernikov pada awal tahun 1995. Dengan diizikannya semua
satuan pemerintahan daerah untuk tidak menunggu persetujuan
pemerintah federal yang seringkali tertunda, MK telah menciptakan
federalisme simetris dan membatasi kekacaun seporadis aktor-aktor
federal dalam politik hubungan pusat dan daerah. Misalnya, pada tahun
1996, sesaat setelah pemilu presiden, MK menolak permintaan
Presiden Yeltsin untuk menunjuk gubernur di tiap negara bagian, yang
melanggar ketentuan pemilu, berbeda pendapat dengan Yeltsin dalam
menunda pemilu lokal, dan menolak permohonan anggota Parlemen
untuk mencabut UU Pemilu di negara bagian Sverdlovsk.929 Putusan
ini termasuk yang berpengaruh terhadap Yeltsin untuk masa jabatan
yang kedua. Bahkan, pembatasan wewenang pemerintah federal untuk
mencampuri proses pemilu telah menciptakan stabilitas dalam politik
lokal dan memperkuat baik kompetisi politik lokal yang baru di
beberapa daerah maupun menghindarkan dari “otoritarianisme
merayap.” Meskipun demikian, MK tetap mempertahankan diri untuk
memberikan pendapat dalam persoalan politik.
Menghadapi
percekcokan politik, MK secara konsisten menolak untuk mematri
bersamaan dengan waktu pelaksanaan pemilu baik pada tingkat federal
maupun lokal, untuk menunda pemilu atau untuk mempersoalkan
legitimasi pemilu legislatif yang baru saja berlangsung.930 Pendeknya,
MK menolak untuk memasuki keributan politik dan mengubah
peraturan pemilu sebelum pemenang diumumkan.
929
Putusan No. 11-P/1996, Putusan No. 13-P/1996.
commitNo.
to 11-P/1996,
user
Putusan No. 77-O/1995, Putusan
Putusan No. 105-O/1996, Putusan
No. 9-P/1995, dan Putusan No. 16-P/1998.
930
304
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di bawah kepresidenan Putin931, MK melanjutkan usaha untuk
memperhatikan persoalan regionalisme. Pada tahun 2000, 3 perubahan
besar dalam UU Federal telah mendukung reformasi untuk
memastikan bahwa peraturan daerah agar sesuai dengan UU Rusia dan
UU Federal. Keanggotaan Dewan Federasi (majelis tinggi Parlemen
Federal) telah diubah dari semula terdiri atas dari Gebernur Negara
Bagian dan pemimpin legislatif lokal diganti dengan wakil yang
ditunjuk oleh daerah. Perubahan ini penting karena 2 alasan, yaitu
pertama, hilangnya kemampuan pemimpin lokal untuk mempengaruhi
langsung pengesahan UU Federal serta dihapuskannya kekebalan
terhadap penuntutan jika mereka menolak untuk menerapkan UU
Federal.932 Kedua, undang-undang yang baru memungkinkan Presiden
untuk memecat Gubernur jika dianggap melakukan tindak pidana,
termasuk penolakan untuk menerapkan UU Federal.933 Ketentuan UU
yang baru juga memungkinkan Duma untuk membubarkan legislatif
daerah jika UU Federal dan peraturan perundang-undangan lain
ditentang oleh daerah. Dengan mekanisme baru dapat memaksa daerah
untuk
mematuhi
dan
mendesak
pemerintah
lokal
untuk
memberlakukan perubahan yang diperlukan. Proses ini membutuhkan
931
Vladimir Putin lahir pada tahun 1952. Ayahnya bekerja di pabrik dan kakeknya
telah menjadi juru masak untuk Stalin. Mereka tinggal di sebuah flat bersama di Petersburg,
berbagi dapur dengan dua keluarga lainnya. Ia belajar hukum dan Jerman di Leningrad State
University 1970-75, dan menjadi atlet judo dan memenangkan kejuaraan kota. Ia bergabung
dengan KGB, yang merupakan cita-citanya bahkan sebelum memasuki perguruan tinggi. Dia
bekerja sebagai intel asing di Leningrad, dan dikirim ke Jerman Timur pada 1985. Putin kemudian
memperoleh kenaikan pangkat. Dia menyaksikan trauma runtuhnya Jerman Timur. Kembali ke
Rusia ia bekerja di KGB, tapi kemudian direkrut sebagai asisten oleh walikota Anatolii Sobchak,
mantan dosen Fakultas Hukum di mana ia menuntut ilmu. Pada hari pertama kudeta Agustus
1991 kudeta, Putin mengundurkan diri dari KGB. Pada Maret 1997 Putin dipromosikan menjadi
wakil kepala staf kepresidenan bidang hubungan daerah, dan setahun kemudian menjadi wakil
kepala pertama staf. Pada Juli 1998 Yeltsin menunjuknya sebagai kepala Badan Keamanan Federal
(FSB). Setelah pengunduran diri Yeltsin pada 31 Desember 1999, Putin ditunjuk menjadi Pejabat
Presiden dengan pengalaman menjadi Perdana Menteri sejak Agustus 1999.
Matthew Hyde, “Putin’s Federal Reforms and Their Implications for Presidential
Power in Russia”, Europe-Asia Studies, 2001, Vol. 53, No. 5, hlm. 719-743.
933
Peter Reddaway, “Will Putin
Be Able
to Consolidate Power?”, Post-Soviet Affairs,
commit
to user
2001, Vol. 17, hlm. 23-43.
932
305
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waktu beberapa tahun, namun sistem federal menjadi lebih legal dan
menghasilkan struktur yang lebih koheren.
Upaya untuk menemukan hubungan yang sesuai antara
pemerintah federal dan lokal juga terbukti dari perkara-perkara MK
yang berhubungan dengan keuangan federal. Pada satu sisi, MK
mengatakan bahwa negara bagian tidak dapat mengatur tersendiri
karena hanya peraturan federal yang dapat menetapkan dasar-dasar
pasar tunggal: distrubusi barang secara bebas dan kompetisi yang
adil.934 Ketentuan dasar ini, menurut MK, sehubungan dengan
supremasi
federal
atas
kebijakan
fiskal,
sehingga
tidak
memperkenankan perluasan pajak lokal dan pengutan-pungutan yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah federal.935 Selanjutnya, daerah juga
dapat menetapkan pajak lokal jika peraturan federal secara khusus
melimpahkan wewenang tersebut.936 Visi pengadilan atas keuangan
federal merupakan perkara yang banyak diperiksa oleh MK, karena
mayoritas peraturan oleh pemerintah lokal yang muncul tidak
berhubungan dengan hak-hak konstitusional.937 Lebih penting lagi,
MK menentang keputusan Presiden Yeltsin pada 1993, yang
mengizinkan pemerintah lokal untuk menentukan sendiri jenis pajak
daerah. Yeltsin menganggap keputusan itu sesuai karena tidak
mencampuri otonomi fiskal regional. Pemerintah negara bagian
mempertahankan pemungutan pajak lokal dan telah menciptakan
rintangan-rintangan perdagangan yang bermacam-macam, khususnya
di tengah kelemahan atas krisis finansial di bulan Agustus 1998.
Sebagai akibatnya, menjadi hal yang mustahil untuk mengakhiri
keragaman kebijakan fsikal di wilayah Rusia. Dengan demikian,
perluasan wewenang untuk menciptakan jenis pajak lokal, pungutan,
934
Putusan No. 4-P/1997.
Putusan No. 5-P/1997.
936
Putusan No. 22-O/1998.
937
Putusan No. 9-P/1996.
935
commit to user
306
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan hambatan-hambatan perdagangan membuat para hakim begitu
cemas atas masa depan pasar bebas dan eksistensi Rusia itu sendiri.
Meskipun
demikian,
pemerintah
daerah
memperoleh
keuntungan atas perintah MK yang mensyaratkan adanya perundangundangan untuk jenis-jenis pajak karena MK menolak diciptakannya
aturan-aturan pajak dan pungutan yang terlalu sering seperti yang
secara sepihak dinyatakan oleh Kabinet Federal. Para pemimpin
regional, hingga 2001, menjadi anggota Dewan Federal dan
mengendalikan anggota parlemen yang daerah pemilihannya berasal
dari negara bagian tersebut, sehingga mempunyai kesempatan besar
untuk mengusulkan perundang-undangan pajak daripada mematuhi
peraturan yang ditetapkan oleh Kabinet Federal. Bahkan, pada 1997,
MK berpihak kepada permohonan pemerintah negara bahian dalam
persoalan oembatasan lisensi minuman beralkohol, air minum, dan
pajak lintas wilayah atas persoalan ini.938 Meskipun demikian, untuk
selanjutnya MK mengubah putusan tersebut dan mengizinkan
pemerintah federal untuk mengajukan dan menentukan pungutan dan
pembayaran pengangkutan, paten, dan polusi lingkungan.939
Di masa kepresidenan Putin, para hakim melanjutkan usaha
untuk menyeimbangkan keuangan federal dalam suatu jalan yang
kreatif. Pada satu sisi, MK menolak untuk membatlakn kewenangan
pemerintah federal dalam mengendalikan keuangan daerah. Dengan
demikian,
MK
menetapkan
bahwa
persyaratan
konstitusional
sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 UUD 1993 dan batasan sistem
anggaran tunggal atas anggaran daerah yang harus mendukung usaha
pemerintah federal dalam menjamin perlindungan sosial, dalam hal in,
pemerintah federal dapat memerintahkan negara bagian untuk
menambah gaji dan tunjangan bagi pegawai negeri.940 Kemudian MK
menetapkan
938
bahwa
Putusan No. 3-P/1997.
Putusan No. 22-P/1998.
940
Putusan No. 43-O/2000.
939
Kabinet
Federal
commit to user
dapat
secara
sepihak
307
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengeluarkan lisensi penjualan alkohol941 dan menetapkan kuota dan
pungutan untuk uji keselamatan kendaraan bermotor, sementara dalam
peredaran di tingkat lokal, undian, dan pajak transportasi tidak dapat
dipungut melebihi batas-batas yang ditetapkan oleh pemerintah
federal. Dalam hal ini, MK juga memerintahkan agar perundangundangan federal mengatur negara bagian untuk membayar aparatur
pengadilan perdamaian, sekalipun gaji aparatur pengadilan ini sudah
diberikan oleh pemerintah federal.942
Pada
sisi
yang
lain,
MK
mengakui
bahwa
daerah
membutuhkan kepastian untuk otonomi kebijakan fiskal. MK
menentukan hak negara bagian untuk membentuk dana nonbudgeter
dn menentukan sendiri pembelanjaan untuk perlindungan hak-hak
konstitusional, bahkan
ketika pada 1999, Kitab Undang-Undang
Anggaran Federal tidak memberikan kewenangan itu kepada daerah,
padahal MA Rusia telah menetapkan bahwa pembentukan dana
nonbudgeter bertentangan dengan perundang-undangan federal.943
Lebih lanjut MK juga memerintahkan negara bagian untuk berperan
aktif dalam harga bahan bakar dengan membentuk komisi energy lokal
dan melalui komisi ini kemudian negara bagian berpartisipasi dalam
pembentukan kebijakan energi di tingkat federal. Menurut MK, UUD
Rusia mepersyaratkan harmonisasi kepentingan diantara anggota
federasi dan hal itu mencakup persoalan pengaturan negara bagian atas
penyediaan pembangkit listrik tenaga air.944
Dalam putusan yang lain, MK Rusia menolak untuk
memeriksa permohonan yang diajukan Kabinet Federal untuk
meninjau putusan pengadilan pada September 1993 yang membatalkan
keputusan Presiden Yeltsin untuk melakukan transfer kewenangan
pengelolaan stasiun di Negara Bagian Irkutsk dari yang awalnya oleh
941
Putusan No. 17-P/2003.
Putusan No. 182-O/2001.
943
Putusan No. 228-O/2001. commit
944
Putusan No. 7-O/2001.
942
to user
308
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
negara bagian menjadi wewenang pemerintah federal. Dalam hal ini,
MK berpendirian bahwa pembatasan kepemilikan kekayaan antara
federasi
dan
anggota-anggotanya
ditujukan
untuk
mencapai
keseimbangan kepentingan antara pemerintah federal dan negara
bagian melalui UU Federal.945
Hingga sebelum tahun 1998, MK menetapkan dirinya sebagai
sosok lembaga federal yang “bersahabat dengan daerah” (region
friendly) di tingkat federal. Pencapaian ini dilakukan MK melalui
kesediannya untuk menjadi sumber daya politik penting terhadap
negara bagian dan pemerintah daerah: menjadi pelindung pemilu lokal
dari campur tangan pemerintah federal, menjadi pendukung daerah
untuk membentuk peraturan lokal dalam wewenang bersama antara
pemerintah federal dan lokal, serta penerimaan keberatan dari satuan
pemerintah daerah lain.
Namun kemudian terjadi perubahan sikap MK yang
berhubungan hubungan Pusat dan Daerah ini ketika pada 1998 UU
Kehutanan telah dimohonkan pengujian kepada MK oleh pemerintah
Negara Bagian Karelia dan Khabarovsk.946 Ketentuan UU Kehutanan
merupakan bagian utama ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah
Federal guna mengatur penggunaan sumber daya alam serta
pengaturan prinsip-prinsip kepemilikan dan penggunaan tanah publik
yang dilihat oleh pemerintah daerah sebagai upaya menghapus kontrol
daerah atas tanah menurut Federation Treaty. Dalam hal ini MK
berpihak
pada
pemerintah
federal
dalam
putusannya
dengan
mempertimbangkan p fakta bahwa sumber daya alam adalah masalah
pengendalian bersama antara Pemerintah Federal dan daerah, tetapi
945
Putusan No. 112-O/2002.
MK periode 1992-1995 lebih banyak melakukan CR dalam bentuk abstrak
dibandingkan dalam bentuk konkrit apabila dibandingkan MK pada periode berikutnya, termasuk
kewenangan untuk menguji konstitusionalitas UU dan keputusan Presiden. Setelah terjadinya
kudeta 1993 oleh Parlemen di mana MKberpihak pada Parlemen dibandingkan terhadap presiden,
pengadilan dibubarkan dan direformasi menurut UUD 1993. Sebagai akibatnya, MK kehilangan
commitCR
to dan
usersejak itu terpaksa menunggu para pihak
kemampuannya untuk secara aktif mendorong
mengajukan perkara ke pengadilan.
946
perpustakaan.uns.ac.id
309
digilib.uns.ac.id
bahwa tetapi kewenangan utama harus diletakkan di tingkat federal.
Pembenaran untuk putusan MK jelas didasarkan pada supremasi
hukum federal, tapi juga ada pesan implisit bahwa terlepas dari
Federation Treaty yang semestinya didahulukan, yaitu UUD Rusia
adalah dasar utama dari perjanjian tersebut. Putusan ini menjawab
mengenai daya ikat Federation Treaty bagi Pemerintah Federal.
Usaha untuk melakukan reformasi peraturan lokal tidak
muncul ke permukaan sampai 2000 dan dorongan pengujian perkara
itu berasal dari Negara Bagian dan bukan dari Pemerintah Federal.
Gubernur Negara Bagian Altai mengajukan perkara itu untuk diuji ke
Parlemen dan kemudian ke MK. Permohonan itu menyangkut CR atas
UUD Negara Bagian Altai menyangkut masalah kekuasaan eksekutif
terhadap legislatif. Kasus yang pada akhirnya diterima oleh MK karena
peran Parlemen Federal dalam sengketa dianggap bukan hanya
pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang regional dari pemerintah,
tetapi juga pengaturan UUD Negara Bagian Altai tentang kedaulatan,
kekuasaan atas penggunaan sumber daya alam, kontrol atas
penyimpanan bahan atom, dan isu-isu lainnya. Dalam putusan, MK
berpihak pada Pemerintah Federal dengan mempertimbangkan bahwa
karena rakyat Rusia adalah fondasi dari kedaulatan dalam Federasi dan
bahwa Pemerintah Federal adalah pelaksana kedaualatan rakyat
sehingga Daerah tidak bisa menuntut diberikannya kedaulatan terpisah.
Berpijak pada putusan CR atas UU Kehutanan (1998), MK mencatat
bahwa masalah apapun mengenai kekuasaan bersama seperti kontrol
atas sumber daya alam ditetapkan dengan UU Federal. Putusan dalam
perkara lalu menjadi dasar untuk putusan yang lain serta dianggap
berlaku bagi UUD 6 Negara Bagian lainnya, termasuk bagi Tatarstan
dan Bashkortostan, 2 Negara Bagian yang paling resisten dalam
masalah otonomi daerah dan kekuasaan dalam sistem federal. Sebagai
akibatnya, Parlemen Federal membuat kesimpulan bahwa MK telah
to user
mengabaikan UUD commit
di daerah
termasuk dalam isu kedaulatan,
310
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, dan supremasi
hukum daerah atas yang UU Federal. Sekalipun ada sorotan terhadap
mekanisme prosedural dalam perkara ini947, akan tetapi putusan ini
memberikan dukungan hukum Putin diperlukan untuk menekan
pemerintah daerah agar melakukan perubahan dalam hukum regional
dalam masa jabatannya.
Pada April 2000, MK memberikan lampu hijau bagi MA dan
pengadilan di bawahnya untuk menguji legalisasi pembentukan hukum
lokal. Sebagai hasilnya, ribuan peraturan regional dan lokal dibatalkan.
Meskipun demikian, MK mempertahankan kewenangannya untuk
memeriksa “harmonisasi” hukum.
Misalnya, pada Maret 2003,
pemerintah negara bagian Bashkortosyan dan Taraestan melakukan
upaya hukum atas putusan MA dan perluasan wewenang pemerintah
negara bagian untuk memperluas keberlakuan UUD negara bagian
sebagai persoalan federalisme. Dalam perkara ini, MK menentukan
bahwa negara bagian dapat memperluas kekuasaan konstitusional
untuk persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh pemerintah federal,
sepanjang wewenang itu tidak melanggar kekuasaan pemerintah
federal.948 Pada bulan Juli 2003, MK menolak permohonan kedua
negara
bagian
ini
untuk
mengatur masalah pengadilan dan
memberdayakan Kejaksaan Agung untuk membatalkan peraturan
semacam ini di MK.949 Pada Desember 2003, MK menyetujui
permohonan negara bagian Ivanovodan mengizinkan peraturan
setempat berlaku untuk pengangkatan pejabat lokal.950 Terakhir, pada
Mei 2004, Gubernur Negara Bagian Pskov memperoleh dukungan MK
dalam
947
pengakuan
wewenangnya
untuk
mengangkat
dan
Hakim Konstitusi Victor Luchin menulis pendapat berbeda (dissenting opinion)
penting pada perkara ini. Putusan ini adalah opredeleniye (penetapan) dan bukan postanovleniye
(pengaturan), sehingga diperlukan pemeriksaan yang melibatkan semua pihak yang terlibat,
termasuk berbagai daerah. Luchin mempertanyakan legitimasi daerah yang lain untuk menerima
putusan.
948
Putusan No. 103-O/2003.
949
Putusan No. 13-P/2003. commit to user
950
Putusan No. 19-P/2003.
311
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberhentikan kepala perangkat daerah setempat.951 Sebelumnya
kedua wewenang itu dibatalkan oleh MK dalam rangka harmonisasi
dengan peraturan federal.
Dengan demikian, MK melaksanakan harmonisasi produk
hukum lokal di masa kepresidenan Putin dan mencoba untuk
menentukan batas-batas tegas dalam CR di tahun 2003. Namun dapat
saja terjadi, bahwa pemilu lokal di bawah Yeltsin dan pelaksanaan
peraturan lokal di masa Putin tidak menjadi persoalan mendesak bagi
negara bagian. Sementara itu banyak pengamat yang percaya bahwa
perubahan dari 2000-2003 yang diperlukan untuk menciptakan
berfungsinya sistem federal ternyata memunculkan pula akibat negatif
karena mendorong pemerintah federal untuk menyalahgunakan
kekuasaan. Kekhawatiran lebih lanjut muncul setelah 2004, ketika
timbul krisis di Beslan952 yang memberi landasan bagi Presiden Putin
untuk melakukan sentralisasi lebih lanjut. Mengklaim bahwa krisis
telah mendorong dibutuhkannya struktur eksekutif lebih koheren di
seluruh sistem federal, Putin menetapkan perubahan UU yang
termasuk memungkinkan Presiden untuk menunjuk gubernur daerah
dan parlemen lokal yang diisi oleh bukan warga setempat. Ketentuan
ini berhasil ditetapkan pada tahun 2004. Birokrasi
Federal
juga
meningkat, dengan UU Federal selama kurun waktu 2000-2005 yang
memusatkan kebijakan pada isu-isu seperti kesejahteraan, tetapi
meninggalkan peran pemerintah daerah.
Lebih penting lagi, MK akhir-akhir ini mulai menerima
permohonan dari pemerintah daerah otonomi khusus dalam pergerakan
yang jelas untuk mengawasi konstitusionalitas reformasi pemerintahan
daerah yang dilakukan oleh Presiden Putin. Pada UUD 1993 sama
951
Putusan No. 10-P/2004.
Krisis ini adalah serangan teroris Chechnya dan multinasional pada sebuah sekolah
di Beslan, Ossetia Utara pada bulan September 2004. Sebuah protes publik mengikuti kejadian ini,
commit
to userdaerah dan pusat yang semestinya bisa
dengan fokus kritik atas kelemahan baik
di pemerintah
mencegah kejadian tersebut.
952
312
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekali tidak mengatur mereka sebagai subyek permohonan di MK.
Sampai April 2002, MK menolak segala keberatan mengenai putusan
yang memberikan hak kepada pemerintah daerah otonomi khusus.
Misalnya, dalam keberatan Walikota Volgograd mengenai keputusan
pemerintah federal sehubungan dengan daerah otonomi khsusus yang
memerintahkan daerah untuk menyediakan dana bagi pembangunan
perumahan, telepon, dan perawatan anak bagi para hakim federal.
Dalam putusan ini, jika diimplementasikan, akan memperkuat
perlindungan pengadilan dan keuangan pemerintah daerah otonomi
khusus, seperti komitmen Putin dalam pertemuan dengan ratusan
hakim federal 4 tahun yang lalu. Serupa dengan hal itu, MK
memutuskan bahwa pemerintah federal harus memberikan dana
pengganti secara penuh atas pembiayaan perumahan bagi aparat
kepolisian dan petugas lembaga pemasyararakatan.953 Terakhir, pada
Mei 2006, MK menetapkan bahwa pemerintah federal dan pemerintah
daerah harus mendukung daerah untuk memberikan subsidi bagi
perawatan anak-anak. Dengan demikian, MK menginginkan untuk
memberhentikan praktik “unfounded mandates” dan menjadi forum
untuk perlindungan pemerintah daerah otonomi khusus,
yang
kehilangan kekuatan dalam menghadapi pemerintahan kuat di Rusia
dalam kepresidenan Putin. Meskipun demikian, masih terlalu jauh
untuk menentukan bahwa pemerintah federal akan mendukung visi
MK mengenai keuangan daerah ini.
Meskipun berbagai putusan MK sejak 1998 menunjukkan
bahwa
selain
kepentingan
politik
dari
Pemerintah
Federal)kecenderungan menunjukkan bahwa ini benar-benar dapat
menjadi pilihan yang buruk untuk banyak kepentingan di luar.
Hasilnya, terjadi pemerintahan yang terbelah di mana ditunjukkan saat
MK kurang mendukung permohonan secara umum di era Putin (20002005). Berbagai permohonan CR dari daerah mungkin tidak menurun
commit to user
953
Putusan No. 303-O/2004.
perpustakaan.uns.ac.id
di era Putin,
313
digilib.uns.ac.id
tapi kemungkinan menang bagi daerah jelas telah
menurun. Melihat kasus-kasus tertentu dari era Putin, tampak bahwa
daerah telah mulai mengakui fakta mengenai kegagalan mereka dalam
sengketa di MK. Apabila hingga tahun 2003 terlihat kemenangan yang
signifikan bagi daerah dalam membatasi Pemerintah Federal dalam
memaksa perubahan akan tetapi pada tahun 2004 dan 2005 mungkin
mendorong daerah untuk semakin tidak bergairah dalam membawa
perkara ke MK.
2. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Eropa Selatan
Seperti sudah diuraikan di atas, runtuhnya kekuasaan komunisme
diikuti dengan gelombang baru reformasi konstitusi. Semua negara di
Eropa Timur memperkenalkan organ konstitusi baru untuk melakukan
peran sebagai pengadilan konstitus dengan terutama mengikuti model
yang dirintis oleh Hans Kelsen. Fenomena yang sama terjadi di kawasan
Eropa Selatan hampir 40 tahun yang lalu setelah runtuhnya pemerintahan
otoritarian fasis di Yunani, Portugal, dan Spanyol. Hal yang sama terjadi
sesudah Perang Dunia II di Austria, Italia, dan Jerman. Hal inilah yang
mendasari penulis untuk mengatakan bahwa pengendalian konstitusi
dalam situasi pasca otoritarianisme nampak menjadi bagian dari
perkembangan di Eropa Selatan. Sehubungan dengan ini, akan dilakukan
kajian mengenai transisi demokrasi di Spanyol dan Portugal.
Spanyol dan Portugal merupakan laboratorium sempurna di mana
dapat ditemukan dinamika keadilan transisional sepanjang mengalami
proses transisi demokrasi. Bagi pemula, akan merupakan suatu kesulitan
untuk menghindari pararelisme sejarah secara kaku dalam perkembangan
politik pada kedua negara. Spanyol dan Portugal mengalami demokratisasi
hampir dalam waktu yang bersamaan, yaitu di pertengahan 1970-an,
setelah mengalami kediktatoran panjang sepanjang abad ke-20. Rezim
Salazar di Portugal dan rezim Franco di Spanyol didirikan selama
timbulnya perang suadara, yang keduanya muncul dari kudeta militer
commit
to karena
user penerapan demokrasi. Salazar
untuk mengatasi kekacauan
situasi
314
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan kudeta pada tahun 1926 yang kemudian mengakhiri Republik I
(1911-1926); Franco melakukan kudeta pada 1936 menyusul runtuhnya
Republik
II
(1931-1936)
akibat
Perang
Saudara
(1936-1939).
Kediktatoran keduanya berumur panjang hingga 1970-an, sesudah
demokrasi menjadi kelaziman di Eropa Barat, yang menjadikan keduanya
sebagai negara yang aneh dalam tradisi politik Eropa saat itu dan
menyajikan rakyat di kedua negara menyukai sosok despot. Diantara
kedua rezim itu ada kemiripan satu sama lain.
Rezim Salazar maupun Franco menampakkan sosok sebagai
“kediktatoran kembar” (twin dictatorships), karena keduanya dapat
dikatakan sebagai tipe pemerintahan otoritarianisme.
Franco
membangun
(sebagaimana
pemerintahan
layaknya
rezim
fasis
tidak
yang
Salazar maupun
berwatak
menjadi
totalitarian
dasar
kedua
pemerintahan) dan juga tidak demokratis, akan tetapi sebagai “otoritarian”,
suatu pemerintahan yang menunjukkan mentalitas seperti absenya
elaborasi ideologi dan struktur kepartaian yang kuat, pluralisme terbatas
dalam hubungan negara dan rakyat, dan kepercayaan yang rendah atas
mobilisasi massa guna mempertahankan dukungan rezim.
Sesuai dengan watak otoritarianisme yang menolak keterikatan
pragmatisme yang kuat dalam kedua rezim, hal mana yang menjadi dasar
penjelas mengapa pemerintahan mereka berumur panjang. Selanjutnya,
saat memasuki senjakala pemerintahan otoriter, baik Salazar maupun
Franco, dapat dengan tegas dikatakan sebagai rezim militer. Oleh sebab
itu, berbeda dengan asal mula mereka yang berlatar belakang militer,
kedua
rezim
pemerintahan
berkembang
menjadi
“civilianized
authoritarian regimes”, sebuah kategorisasi yang menunjukkan pengakuan
pergeseran militer terhadap pemimpin sipil dalam melaksanakan
pemerintahan sehari-hari.954
Keadilan transisional tidak dapat dijalankan di kedua rezim ini. Di
Portugal, upaya pembersihan yang berlangsung pada 1974-1976,
commit to user
954
Lins dan Stepan, 1996, 117.
315
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan guna menyingkirkan pejabat militer yang konservatif, dan
mengelola jalan perbaikan oleh perwira militer rendah, pegawai negeri,
dan kelompok pengusaha serta melalui sistem pendidikan, media, dan
gereja. Di Spanyol dilupakan dan menuju kemenangan. Sesudah
meninggalnya Franco, pemerintah segera memperbaiki legislasi terhadap
korban rezim Franco, yaitu mereka yang dipecat dari jabatannya karena
pandangan politik dan segera diorganisasikan dalam Pact of Forgetting.
Kesepakatan ini merupakan perjanjian tidak tertulis antara golongan kiri
dan kanan yang dipandang sebagai amnesti kolektif atas pelaksanaan
politik di masa lalu. Kesepakatan itu secara efektif dilembagakan dalam
UU Amensti 1977. Sebagai konsekuensinya, tak ada keadilan transisional
yang bermakna di Spanyol: tidak ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
tidak ada pembersihan birokrasi, dan tanpa peradilan militer.
Ada semacam argumentasi teoritis bahwa pelembagaan keadilan
transisional sangat tergantung kepada derajat “kekejaman” rezim masa
lalu. Dengan asumsi ini, maka dapat dikatakan kekejian rezim Franco
lebih rendah dibandingkan dengan situasi di Portugal. Kediktatoran
Salazar begitu represif. Kontrol sipil oleh negara begitu kuat dan luas
dengan polisi dibentuk untuk memastikan ketaatan 3 juta penduduk.955 Hal
ini merupakan suatu hal yang mengejutkan jika diperhatikan bahwa saat
kediktatoran berakhir terdapat 8 juta penduduk di Portugal. Tetapi represi
di Portugal “was not especially bloody”956 dan dapat dipastikan tidak sama
dengan yang dilakukan oleh Franco. Sekalipun terbuka di menjelang akhir
pemerintahan Franco (1959-1975), otoritarianisme berhubungan dengan
banyak pelanggaran di Spanyol dibandingkan dengan Portugal. Seperti
ditulis oleh Mary Vincent, “The Francoist regime was born in violence
and depended on violence. Killing was essential to its initial display of
power.”957 Pasukan Franco secara langsung bertanggung jawab terhadap
sejumlah besar pelanggaran selama berlangsungnya Perang Sipil, yang
955
Bermeo, 2007, 396.
commit
Ibid.
957
Mary Vincent, 2007, hlm. 157.
956
to user
316
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mana menimbulkan korban hampir 1 juta penduduk, yang menjadikan
perang ini merupakan pergolakan paling berdarah dalam konflik internal di
Eropa.
a. Kasus Portugal
(1) Desain Transisi Demokrasi
Sistem konstitusi Portugal sudah dimulai pada awal abad
ke-18. Sebagai tindak lanjut dari Perang Napoleon (1803-1815),
di mana Prancis menyerang Portugal 3 kali dan ketika penguasa
kerajaan Portugal, Raja Joao VI mengungsi ke Brazil (koloni
Portugal), telah mendorong munculnya gerakan liberal. Kalangan
liberal menuntut tidak hanya pemulangan kembali raja, akan tetapi
juga kemerdekaan Portugal. Aspirasi kalangan liberal itu terwujud
pada 1822 ketika Portugal berhasil menyusun konstitusi. Raja
Joao VI kembali ke Lisabon dan Portugal menjadi negara monarki
konstitusional. Namun, dengan paksaan dari pendukung monarki
yang dipimpin oleh putra raja Miguel, maka Raja Joao VI
membatalkan konstitusi dan kembali memerintah secara absolut
hingga kematiannya pada 1826. Penggantinya, Raja Pedro IV,
yang masih di Brazil, terpaksa menerima sistem konstitusi baru,
yang dikenal sebagai Constitutional Charter, sesudah ia
menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Maria II. Namun dua tahun
kemudian, Miguel, putra raja yang menentang ayahnya untuk
menuntut kembalinya monarki absolut menyerang Raja Pedro IV
di Brazilia dan memicu Perang Saudara. Dengan kemenangannya,
pada 1834, Miguel menyingkirkan Ratu Maria II dan mengangkat
dirinya sendiri menjadi raja. Akan tetapi pada 1836, dalam
peristiwa
Revolusi
September,
kalangan
liberal
berhasil
mengendalikan kekuatan politik dan memulihkan konstitusi 1822.
Sebagai kompromi, suatu konstitusi baru dibentuk pada
1838. Namun kalangan moderat yang dipimpin oleh Costa Cabral
to user dan mengganti konstitusi 1838
melakukan kudetacommit
tidak berdarah
317
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan Constitutional Charter.
Dengan adanya pertentangan
diantara kalangan liberal dan moderat, menyusul makin
menguatnya golongan pendukung republik, maka Raja Carlos I
membubarkan parlemen dan menunjuk Joao Franco sebagai
Perdana Menteri yang kemudian menjalanakn pemerintahan
otoriter. Dalam suatu hura hara menyusul aksi massa di tahun
1908, Raja Carlos I tewas dan putra tertuanya kemudian menjadi
raja dengan gelar Raja Manuel II. Dalam suatu peristiwa revolusi
5 Oktober 1910, kalangan militer melakukan kudeta dan
menyerang istana dan memaksa para bangsawan untuk menuju
pengasingan. Peristiwa ini kemudian mengakhiri kerajaan.
Dengan
Konstitusi
1911,
Portugal
menjadi
republic.selama 15 tahun keberadaannya, Republik I ini telah
memiliki 45 pemerintahan, termasuk 2 periode pemerintahan
militer dan pemberontakan sipil yang didukung oleh kalangan
monarki. Suatu kudeta pada 28 Mei 1926 mengakhiri republik
dan selama 50 tahun kemudian Portugal berada di bawah
kediktatoran. Pada 1932, pemerintahan militer menunjuk Antonio
Salazar sebagai Perdana Menteri, yang sebelumnya sukses
memulihkan ekonomi dalam jabatan sebagai Menteri Keuangan.
Transisi menuju pemerintahan otoriter mencapai puncaknya saat
pemberlakuan Konstitusi 1933. Salazar kemudian mempimpin
pemerintahan sebagai Presiden melalui pemilu sampai tahun
1959. Salazar bukan saja memimpin pemerintahan akan tetapi
juga mengendalikan legislatif dan mengontrol pemerintah daerah.
Suatu momentum dramatik terjadi pada tahun 1968-1971
menyusul serangan stroke terhadap Salazar dan penunjukkan
Marcello Caetano sebagai Perdana Menteri. Suatu harapan besar
untuk mewujudkan perubahan di Portugal telah lahir. Caetano
sendiri mempunyai harapan untuk melakukan pembebasan
to user
terhadap koloni commit
Portugal.
Hanya saja faktor eksternal justru
318
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi hal yang menahan kebijakan tersebut. sehubungan
dengan tekanan yang terjadi di Portugal, Presiden Richard Nixon
justru membuat usulan atas pertimbangan Dewan Keamana
Nasional bahwa “the Portugese are in Africa to stay.”958 Caetano
mengunjungi Washington untuk menghadiri pemakaman mantan
Presiden Eisenhower (Maret 1969) dan menemui Nixon untuk
memperoleh dukungan dan sebagai konsekuensinya, Nixon
memerintahkan supaya segala hubungan terhadap kalangan
nasionalis di Afrika dihentikan. `Menyusul Perang Arab Israel
dan diikuti dengan embargo minyak ke negara Eropa dari OPEC
(1973), Portugal mengalami resesi dengan tingkat inflasi yang
tinggi, sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya.
Permulaan transisi demokrasi di Portugal adalah saat
terjadi kudeta militer pada 25 April 1974.959 Kudeta ini
mengakhiri pemerintahan diktator paling panjang di Eropa, yang
ketika itu dipimpin oleh Marcelo Caetano, yang menggantikan
Antonio de Oliveira Salzar pada tahun 1968. Perwira muda dan
yunior menolak kelanjutan rezim diktator yang membiarkan
terjadinya revolusi pada wilayah jajahan di Afrika. Tidak seperti
negara penjajah seperti Inggris dan Prancis,Portugal menolak
dekolonisasi atas Afrika sejak 1950-an, yang menganggap
wilayah itu merupakan provinsi yang tidak terpisahkan dari
integrasi
958
teritorial
Portugal.
Antara
1961-1974,
Portugal
Kenneth Maxwell, 1997, The Making of Portuguese Democracy, New York,
Cambridge University Press, hlm. 53.
959
Atas desakan Amerika Serikat, pada awal 1960-an, juga pernah terjadi kudeta
militer yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan, Jenderal Julia Botelho Moniz. Dalam suatu
percakapan dengan Moniz, Duta Besar Amerika Serikat Burke Elbrick mengatakan bahwa “urgent
and drastic liberalization” diperlukan. Moniz setuju karena reformasi dibutuhkan untuk
mempersiapkan otonomi koloni dibutuhkan dan reformasi domestik harus melibatkan partisipasi
semua kekuatan antikomunis di pemerintahan. Namun pelaku kudeta ini lalai memperhitungkan
kelenturan hierarki militer terhadap Salazar sehingga tindakan Moniz ditolak dengan membolisasi
pasukan yang loyal kepada pemerintah dan memutus semua peralatan komunikasi kementerian
pertahanan. Salazar kemudian memecat Moniz dan mengambil alih jabatan Menteri Pertahanan.
commit
to user
“The Americans may succeed in killing me
or I might
die, but if not, the will have to fight for years
to bring me down”, ujar Salazar dengan penuh amarah. Lihat: Ibid., hlm. 51.
319
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melancarkan “colonial war” melawan gerakan kemerdekaan,
pertama di Angola dan kemudian di Afrika Barat, dan di
Mozambik (Afrika Timur).960 Ongkos atas peperangan ini
dirasakan sangat besar bagi masyarakat sehingga mendorong
terjadinya kudeta militer guna mengakhiri pemerintahan SalazarCaetano. Sampai tahun 1978, 1 diantara 4 penduduk laki-laki
menjadi anggota angkatan bersenjata. Pasukan ini meliputi 170
ribu orang dan sebanyak 135 ribu berada di Afrika. Secara
kolektif, angkatan bersenjata mencapai 30,83% dari tiap 1.000
penduduk, yang dapat ditandingi oleh Israel yang mencapai
40,09%, Vietnam Utara dan Selatan masing-masing 31,66% dan
55,35%; 5 kali lipat dibandingkan Inggris dan 3 kali lipat
dibandingkan Amerika Serikat. Belanja militer mencapai minimal
7% GDP, yang setiap prajurit tidak terlatih dan tidak mempunyai
persenjataan cukup, dan suap kepada pejabat militer begitu tinggi.
Tidak mengejutkan, kebanyakan pejabat di angkatan bersenjata
Portugal “became unreliable in military action” dan bertekad
pulang untuk menggulingkan pemerintah.
Sekalipun pergantian rezim di Portugal didorong oleh
militer, akan tetapi peranan massa cukup penting dalam waktu itu.
Sesaat setelah kudeta, rakyat mendukung kudeta tersebut dan
pelakunya dinilai sebagai pahlawan sehingga dalam aksinya
membagi-bagikan bunga anyelir, sehingga memunculkan istilah
“Revolusi Anyelir.” Penerimaan rakyat ini memberikan legitimasi
kepada tindakan militer.
Kudeta yang berlangsung cepat dan
tidak berdarah tersebut menggulingkan kediktatoran Slazar960
Gerakan kemerdekaan di Angola (dipimpon oleh Holden Roberto) dan Mozambik
(dipimpin oleh Eduardo Mondlane) pada masa itu didukung oleh Amerika Serikat secara rahasia.
Salazar memberikan reaksi penuh amarah atas intervensi tersebut. menurutnya pemerintahan
Amerika sudah melakukan hal yang gila karena melindungi pemberontak dan kebijakan tersebut
jauh lebih imperialis dibandingkan dengan Uni Soviet. Menyusul tindakan embargo sepihak oleh
Amerika dalam menjual perlengkapan militer yang mungkin digunakan oleh Portugal di Afrika,
commit
user that the US is now identified as public
Duta Besar Elbrick melaporkan bahwa “there
is notoquestion
enemy number one.” Lihat: Kenneth Maxwell, ibid.
320
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Caetano didominasi oleh “the Movement of the Armed Forces
(MFA).
Personel MFA kemudian menjalankan pemerintahan
pasca kudeta dengan membentuk “the National Salvation Junta
(JSN), dan menunjuk Jenderal Antonio de Spinola sebagai
Presiden.
Pemerintahan baru mempunyai program “3 D”
(demokratisasi, development, dan dekolonisasi) dan menghadapi
situasi
ketidakpastian
politik,
yang
ditunjukan
dengan
pembentukan tidak kurang dari 5 pemerintahan sementara, yang
seluruhnya dipimpin oleh militer dan dipengaruhi oleh Partai
Komunis, sehingga dikenal dengan periode “difficult transition.”
Di
tengah
pergolakan
politik
dan
bertambahnya
mobilisasi massa, suatu counter kudeta berhasil dilaksanakan pada
25 November 1975, dengan dukungan Amerika dan negara utama
Eropa, yang khawatir dengan kemunculan pemerintahan radikal
kiri di negara anggota NATO dalam situasi perang dingin.961
Tindakan
kudeta
ini
membawa
pengaruh
besar
dalam
perkembangan demokrasi di Portugal yang mengakhiri situasi
kacau dalam masa keadilan transisional.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Pada 25 April 1976, 2 tahun setelah kudeta militer yang
mengakhiri otoritarianisme, UUD Portugal 1976 dinyatakan
berlaku.962 Walaupun sistem konstitusi sudah dikenal sebelumnya
(pada tahun 1822, 1826, 1838, 1911, dan 1933) akan tetapi UUD
961
Bahkan sejak masa pemerintahan Salzar eksis, kalangan oposisi memberikan
harapan bahwa seandainya terjadi perubahan, maka akan melibatkan Sekutu. Bagaimanapun,
keberhasilan Sekutu selama Perang Dunia II telah memungkinkan untuk provokasi bagi gerakan
massa di Portugal. Namun Salazar, yang dipengaruhi Sosialisme Nasional dan fasisme Italia,
hanya menjanjikan suatu kompromi yang tidak pasti. Hal ini seperti dikatakan oleh
Maxwell,”Between 1945 and 1947, many opponents of Salzar had hoped that a process of
democratization would followe the Allied victory at the end of the war, and within Portugal the
victory of the Allies provoked considerable political mobilization. The Salazar regime was
compromised. It was a regime with the trappings of National Socialism and Italian Facism. The
regime, therefore, was for from comfortable in a democratic world.” Lihat: Kenneth Maxwell,
op.cit., , hlm. 48.
962
commit
Dalam perkembangannya,
UUD to
iniuser
beberapa kali mengalami perubahan dan
terakhir pada 2005.
321
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini merupakan dokumen pertama yang melaksanakan demokrasi
parlementer. Saat pengambilan keputusan terakhir kali pada 2 April
1976, hampir 10 bulan sejak pelantikan Majelis Konstituante dan
hampir setahun sesudah pelaksanaan pemilu, hanya 16 diantara 250
anggota yang menolak UUD ini, yang semua berasal dari Cetro
Democractico e Social (CDS),
partai yang beraliran ideologi
kanan.
Ketentuan UUD 1976 memuat secara sistematis antara lain
mengenai hak asasi.
Makna konstitusionalitas hak asasi ini
menjadi penting karena sejak 22 November 1976 Portugal
mengadopsi Konvensi HAM Eropa. Sebagai konsekeunsinya, ada
sejumlah HAM yang termuat dalam UUD harus dilengkapi.
Sepertid iatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD, ketentuan UUD yang
memuat hak, kebebasan, dan jaminan harus dapat segera
diterapkan dan mengikat baik bagi pemerintah maupun lembaga
swasta. Pasal 18, yang menentukan penerapan langsung dan tanpa
syarat terhadap hak, kebebasan, dan jaminan sebagaimana diatur
dalam Bab I, Bagian II, juga penerapan hak serupa sebagaimana
diatur dalam Pasal 17.
Salah satu implikasi sehubungan dengan ketentuan UUD
ini adalah ketentuan Pasal 204 yang mengatakan bahwa, “in matter
brought before them for decision, the courts shall not apply any
rule sthat contravene the provisions of this Constitution or the
principles contained there.” Oleh sebab itu, putusan pengadilan
yang bertentangan dengan UUD dapat dimintakan pemeriksaan ke
MK. Menurut Pasal 221 UUD, MK merupakan pengadilan “that
has the specific power to administer justice in matters involving
questions of legal and constitutional nature.” Namun perlu diingat,
bahwa Portugal tidak mempunyai mekanisme petisi individual
(constitutional complanint) sebagaimana Jerman atau recurso de
to user
amparo di Spanyol.commit
Oleh sebab
itu, “the Portuguese Constitutional
322
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Court only controls the constitutionality of legal norms, not the
concrete decisions involving violations of human rights.” Jadi, MK
tidak menguji konstitusionalitas putusan tersebut, akan tetapi hana
menguji konstitusionalitas terhadap UU yang diterapkan dalam
kasus yang bersangkutan. Sistem CR di Portugal berdasarkan “on
pure control of legal norms, even if the Court has a very broad
concept of legal norm when it defines its own competence of
Selain itu, MK juga memiliki wewenang CR dalam
control.”
bentuk abstak, termasuk pengujian antisipatif (anticipatory review)
dan pengujian represif (ex post review), yang semuanya dapat
diajukan oleh Presiden, Ketua Parlemen, Perdana Menteri,
Ombudsman, Jaksa Agung atau 1/10 dari anggota Parlemen.
Kekuasaan
MK
untuk
menyelidiki
dan
menguji
konstitusionalitas kelalaian legislatif pada dasarnya ditentukan oleh
Pasal 283 (1) Konstitusi. Atas permintaan salah satu dari badan
yang menjadi pemohon, MK bertanggung jawab untuk mengkaji
dan memverifikasi "kegagalan untuk mematuhi Konstitusi ini
dengan
cara
diperlukan
penghilangan
untuk
membuat
langkah-langkah
aturan
legislatif
konstitusional
yang
dapat
dilaksanakan." Menurut UUD Portugal, yang dapat menjadi
pemohon adalah "Presiden, Ombudsman, atau, Ketua Parlemen
Otonom dalam hal terjadi pelanggaran suatu hak daerah otonom
(Pasal 283 ayat [1]). Presiden, Perdana Menteri, 1/5 dari Anggota
Parlemen, dan Perwakilan Negara daerah otonom di Azores dan
Madeira memiliki legitimasi untuk meminta MK untuk penilaian
konstitusionalitas UU secara antisipatif (Pasal 278 dari Konstitusi).
Kewenangan menjadi pemohon bagi masing-masing badan
tergantung
pada
jenis
tindakan
pembuatan
aturan
yang
bersangkutan (misalnya, Perwakilan Negara terbatas pada aturan
yang ditetapkan dalam legislatif daerah). Presiden, Ketua
to user
Parlemen, Perdanacommit
Menteri,
Ombudsman, Jaksa Agung, dan 1/10
323
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari Anggota Parlemen dapat mengajuan pengujian represif. Dalam
hal pengujian inkonstitusionalitas didasarkan pada pelanggaran
hak-hak daerah otonom, maka wewenang ada pada Perwakilan
Negara, Parlemen daerah otonom, Ketua Parlemen Daerah
Otonom, Kepala Daerah, dan 1/10 dari Anggota Parlemen daerah
otonom.
Pelaksanaan CR oleh MK Portugal cukup menarik untuk
diamati. Setelah pelaksanaan tugas sejak 1983 hingga tahun 2012,
keseluruhan perkara yang diterima oleh MK didominasi oleh
pemeriksaan CR dalam pengujian konkrit (88%). Kemudian untuk
pengujian abstrak sebanyak 4%, diikuti dengan pengujian prosedur
pemilu (8%) dan perkara lain seperti dana kampanye, koalisi partai,
dan impeachment masing-masing 1%. Sekurang-kurangnya dalam
masa transisi pertama 1983-1989 terdapat beberapa putusan
menarik dalam masa transisi demokrasi. Sepanjang 6 tahun
pertama,
MK
lebih
banyak
memeriksa
dan
merumuskan
persyaratan-persyaratan dalam rangka pemeriksaan CR dalam
bentuk pengujian konkrit. Putusan pertama membahas mengenai
pengertian
“rule”
sebagai
dasar
permohonan.963
Perkara
selanjutnya menyangkut identifikasi jenis-jenis putusan pengadilan
umum yang dapat dimohonkan pengujian di MK.964
Dalam hal prasyarat prosedural pengujian konkrit terpenuhi
akan tetapi terdapat fakta bahwa para pihak keliru dalam
menyebutkan aturan yang ditafsrikan memberikan kerugian dalam
penerapannya, maka MK tetap memeriksa perkara tersebut.965
Dalam perkara lain, MK menentukan batas-batas persoalan
963
Putusan No. 40/1984, Putusan No. 26/1985, Putusan No. 156/1986, Putusan No.
8/1987, dan Putusan No. 156/1988.
964
Putusan No. 151/1985, Putusan No. 211/1986, Putusan No. 238/1986, Putusan No.
commit to user
266/1986, dan Putusan No. 92/1987.
965
Putusan No. 47/2007.
324
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusionalitas saat dimulainya pemeriksaan perkara lainnya.966
Pemeriksaan perkara lain yang sangat sensitif dan sempat
menimbulkan perpecahan diantara hakim MK adalah pengujian
rancangan UU Pajak Penghasilan.967
Namun, kadang-kadang terjadi bahwa pemohon dalam
banding melibatkan pengujian terhadap inkonstitusionalitas aturan
yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan umum. Dalam
perkara ini MK tidak akan memeriksa masalah inkonstitusionalitas
UU yang diterapkan, karena tidak ada kewenangan pemohon dan
fakta bahwa mereka tidak menggunakan upaya hukum yang
tersedia.968 Mahkamah mengacu pada kemungkinan keberadaan
inkonstitusionalitas oleh kelalaian, akan tetapi pengadilan tidak
dalam posisi untuk memutuskan apakah seseorang benar-benar
bersalah atau tidak Ada juga perkara terjadi sebelum pembentukan
MK.969 Dalam sebuah putusan, MK menolak untuk memeriksa
perkara yang menyangkut tindakan Dewan Revolusi.970
Pada sebuah perkara, MK mengizinkan Ombudsman untuk
mengajukan permohonan pengujian antisipatif dan sekaligus
berturut-turut
dan
penilaian
terhadap
keberadaan
inkonstitusionalitas di dalam satu permohonan yang sama.
Mahkamah menilai permohonan mengenai perkara kemungkinan
transmisi hak untuk menyewa properti perumahan yang melibatkan
penghentian de facto penyatuan pasangan dengan anak di bawah
umur tersebut dan mengeluarkan penetapan dalam satu putusan.971
966
Putusan No. 3/1983, Putusan No. 62/1985, Putusan No. 90/1985, Putusan No.
136/1985, Putusan No. 206.1986, dan Putusan No. 176/1988.
967
Putusan No. 11/1983.
968
Putusan No. 32/1990; Putusan No. 79/1994; Putusan No. 190/1997; Putusan No.
238/1997; Putusan No. 499/1997; Putusan No. 125/1998; Putusan No. 232/1998; Putusan No.
330/1998; dan Putusan No. 326/2001).
969
Putusan No. 55/1985
Putusan No. 9/1983.
971
Putusan No. 351/1991.
970
commit to user
325
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Saat pertama kali menjalankan kewenangan dan memasuki
tahun kedua, MK menghadapi salah satu perkara paling pelik dan
telah dihadapkan di hampir setiap sistem peradilan konstitusi yaitu
aborsi.972 Topik ini kemudian diperiksa kembali oleh MK
sehubungan dengan referendum usul perubahan UU yang mengatur
masalah ini.973
Dalam pemeriksaan preventif, saat memeriksa RUU, MK
telah dihadapkan kepada banyak persoalan sensitif. Seperti
misalnya usulan pengaturan aborsi974. Kemudian, unsur-unsur
dasar sebagai elemen perusahan publik975, rancangan KUHAP976,
denasionalisasi perusahaan-perusahaan negara977, kerangka kerja
anggaran negara978, aturan-aturan mengenai kontrak kerja979,
ketentuan mengenai batas-batas kepemilikan kekayaan pribadi980,
dan reformasi agraria.981
Sementara itu, untuk pengujian abstrak, ada ratusan putusan
yang ditetapkan MK. Hal ini dapat dilihat dari putusan MK
mengenai biaya resep untuk menebus obat982, personalia logistik
pada Angkatan Bersenjata983, jaminan kesehatan nasional984,
jenjang karier pegawai negeri985, dan kepemilikan apotek.986
Putusan yang lain menyangkut konstitusionalitas pengajaran moral
dan agama Katolik987, jaminan asuransi kecelakaan kerja988, dan
972
Putusan No. 24/1984 dan Putusan No. 85/1985.
Putusan No. 288/1998 dan Putusan No. 617/2008.
974
Putusan No. 25/1984.
975
Putusan No. 212/1986.
976
Putusan No. 7/1987.
977
Putusan No. 102/1987.
978
Putusan No. 205/1987.
979
Putusan No. 107/1988.
980
Putusan No. 186/1988.
981
Putusan No. 187/1988.
982
Putusan No. 24/1983.
983
Putusan No. 31/1984.
984
Putusan No. 39/1984 dan Putusan No. 330/1989.
985
Putusan No. 84/1984.
986
commit to user
Putusan No. 76/1985.
987
Putusan No. 423/1987.
973
326
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
konstitusionalitas pemindahan organ jenzah.989 Tindakan legislatif
yang membahas sebuah materi yang sedang dimohonkan pengujian
atas perkara yang tertunda dan kemudian diterbitkan dalam Berita
Negara (Diario da República). Dalam perkara semacam ini, MK
dengan suara bulat memutuskan untuk memeriksa permohonan
(sehingga menghilangkan kemungkinan bahwa hal itu tidak akan
diperiksa), dan kemudian memutuskan bahwa mengumumkan
tersebut merupakan tindakan normatif, sehingga tidak ada
inkonstitusionalitas.990 Perlakuan yang sama ditetapkan oleh MK
dalam hal tidak ada tindakan normatif yang dimumkan dalam
Berita Negara.991
Hampir 50 tahun berada dalam pemerintahan diktator,
menyebabkan tuntutan pemenuhan hak-hak konstitusional menjadi
mengemuka. Dengan meneliti putusan MK maka dapat diketahui
dalam masa transisi demokrais tersebut Mahkamah menghadapi
problematika kompleks mengenai doktrin hak-hak dasar, seperti
definisi hak yang 'analog' dengan hak, kebebasan dan jaminan yang
ditetapkan dalam Konstitusil.992 Kemudian masalah kepemilikan
hak-hak dasar oleh badan hukum.993 Selanjutnya masalah: (i)
kepemilikan hak-hak dasar oleh orang asing dan stateless994; (ii)
penerapan langsung hak-hak fundamental menurut ketentuan
UUD995;
(iii)
keterikatan
badan
swasta
terhadap
hak
konstitusional996, (iv) UU tentang hak, kebebasan dan jaminan hak
milik997; (v) pembatasan hak-hak konstitusional998; dan (vi)
988
Putusan No. 12/1988.
Putusan No. 130/1988.
990
Putusan No. 276/1989, Putusan No. 638/1995, dan Putusan No. 424/2001.
991
Putusan No. 36/1990.
992
Putusan No. 38/1984, Putusan No. 76/1985, Putusan No. 156/1985, Putusan No.
103/1987, dan Putusan No. 404/1987.
993
Putusan No. 198/1985.
994
Putusan No. 154/1987.
995
Putusan No. 90/1984.
996
Putusan No. 198/1985. commit to user
997
Putusan No. 248/1986.
989
327
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peraturan yang mengatur mengenai hak-hak sosial.999 Dalam hal
permohonan pengujian melibatkan pelaksanan hak konstitusional,
maka sebagian besar perkara yang diajukan ke MK yang telah
mendasarkan ketentuan UUD mengenai “hak, kebebasan dan
jaminan.”1000
Perlu dicatat bahwa dalam tahap pertama keberadaannya
MK telah mengembangkan beragam hubungan internasional,
puncak dari yang bergabung dengan Konferensi MK Eropa, sebuah
asosiasi yang telah terbentuk pada awal tahun 1970-an dalam
rangka untuk memperdalam hubungan antara MK di Jerman, Italia,
Swiss, Austria, dan Yugoslavia. Dalam hal ini MK Portugis
bergabung dengan organisasi ini hampir bersamaan sejak pelaksaan
wewenang pada bulan April 1983 dan diakui sebagai anggota
penuh ke Konferensi MK Eropa pada pertemuan Madrid yang
terakhir pada tahun 1984, ketika Lisbon terpilih sebagai kota tuan
rumah
untuk
pertemuan
berikutnya.
Pertemuan
persiapan
dilaksanakan di Portugal pada April 1986 dan dihadiri oleh
delegasi dari Portugal, Austria, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss dan
Yugoslavia.
b. Kasus Spanyol
(1) Desain Transisi Demokrasi
Dibandingkan dengan Portugal, Spanyol terlebih dahulu
mengalami situasi kacau dalam masa transisi. Perlu diketahui,
bahwa pelaksanaan transisi demokrasi di Spanyol didorong oleh
kekhawatiran
elit
politik
terhadap
pengaruh
penggulingan
pemerintah model Portugal. Seperti dicatat oleh Linz dan Stepan1001
revolusi Portugal mengajarkan kalangan elit politik Spanyol
998
Putusan No. 74/1984, Putusan No. 248/1986, Putusan No. 225/1985, Putusan No.
244/1985, Putusan No. 37 / 1987, Putusan No. 103/1987, dan Putusan No. 99/1988.
999
. Putusan No. 39/1984, Putusan No. 181/1987, dan Putusan No. 449/1987.
1000
commit
to359/1991,
user dan Putusan No.638/1995.
Putusan No. 182/1989, Putusan
No.
1001
Op.cit., hlm. 17.
328
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengenai “how not to make transition.”
Menurut pandangan
Spanyol, transisi Portugal dimenangkan baik oleh golongan kiri
maupun golongan kanan. Namun demikian, lama sebelum
terjadinya revolusi Portugal, yang menunjukkan pekerja yang secara
tidak sah mengambialih toko-toko, pabrik, dan lahan pertanian telah
mengingatkan Spanyol akan pengalaman mereka sendiri dalam
Perang Sipil. Untuk satu hal, Franco menghindari usaha berlebihan
kalangan militer seperti yang terjadi di Portugal, sehingga berbeda
dengan militer yang disaksikan di Portugal dan memimpin perang
sebagai sesuatu yang tidak realistis di Spanyol. Bagaimanapun,
Spanyol mempertimbangkan cukup lama sebelum terjadinya
trandisi demokrasi. Oleh sebab itu, transisi demokrasi diawali
dengan tercapainya kesepakatan diantara elit politik nasional untuk
mengambil kompromi dalam rangka mengganti kepemimpinan
Franco.
Secara makro, pertimbangan itu itu juga didorong oleh
keadaan negara Spanyol yang pada tahun 1970-an sudah berbeda
dibandingkan pada 1930-an. Cakupan perubahan ekonomi, politik,
dan sosial telah menciptakan landasan politik tersendiri pada 1970an dibandingkan 1930-an. Pertumbuhan ekonomi di bawah Franco
mengimplikasikan cakupan perubahan tersebut. Akan tetapi,
kesuksesan ekonomi pada 1960-an justru menghasilkan dukungan
yang semakin menurun terhadap pemerintah. Pada tahun 1960-an,
GDP Spanyol per kapita, hampir mendekati negara-negara Eropa
Barat lainnya. Pertumbuhan ekonomi menciptakan pertumbuhan
kelas menengah dan orang-orang yang menginginkan posisi itu.
Spanyol jauh lebih kaya dan penduduk berada dalam kemantapan
sosial politik. Kondisi demografi berperan dalam perubahan ini.
Pengendalian penduduk memicu pengurangan penduduk miskin
yang begitu tinggi pada 1930-an. Seperti diungkapkan oleh seorang
commit
user 9% penduduk yang masih aktif
penulis, bahwa pada
1976,tohanya
329
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menggarap lahan pertanian dan itu 2 kali lipat lebih kecil
dibandingkan mereka yang bekerja di perusahaan. Pada tahun 1970an, tidak ada lagi perang antar kelas di seluruh negeri yang
menunjukkan
perubahan
masyarakat
menjadi
konservatif
dibandingkan di masa lalu yang berwatak reaksioner sehingga
menyediakan landasan yang cukup bagi Franco untuk melakukan
kudeta.1002
Perubahan ini juga mendobrak ketertutupan rezim
Franco. Banyak kalangan industrialis yang berusaha untuk
menggabungkan
diri
dengan
Eropa,
membantu
tersebarnya
pandangan internasionalis yang kontras dengan program Franco
yang kental akan isolasi dan otorki. Keterbukaan pasar akan
mendorong industrialisasi Spanyol menjadi semakin kompetitif.
Sejak akhir 1960-an, banyak perusahaan
yang melakukan
kesepakatan terhadap buruh dibandingkan mematuhi kendali resmi
negara. Di samping itu, mulai tumbuh gerakan sipil. Geraka ini
termasuk pertumbuhan pekerja dan organisasi mahasiswa serta pers.
Pertumbuhan ini telah menciptakan ruang bagi organisasi politik,
partisipasi, dan penentangan.
Usaha kompromi itu dirintis oleh Aldofo Suarez, loyalis
Franco dan bekas pemimpin “the Movimiento Nacional”, sebuah
cikal bakal partai politik yang dekat dengan rezim berkuasa, serta
Raja Juan Carlos, yang diperkirkan mampu mengendalikan Spanyol
setelah kematian Franco (November 1975). Pada tahun Juli 1976,
Raja menunjuk Suarez sebagai Presiden untuk mengelola transisi
demokrasi, suatu tindakan yang menunjukkan komitmen monarki
melakukan “Francoism without Franco.” Suarez dianggap mampu
melakukan reformasi di dalam tubuh pemerintahan.
menguasai
diplomasi
domestik
dan
hubungan
Suarez
keduanya
menimbulkan kepercayaan di kalangan reformasi maupun oposisi
demokratis. Suarez secara berbeda menginginkan perubahan
commit to user
1002
Tarrow, 1995, hlm. 224.
330
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintahan yang kemudian dikelola oleh kalangan demokratis.
Dengan cara ini, transisi demokrasi terlaksana di bawah aturan
Franco. Pada tahun 1976, “Hukum Dasar” (Fundamental Law),
suatu ketentuan dasar dari pemerintahan Franco, diubah oleh
Parlemen untuk menghapus otoritarian dengan mengatur paket
reformasi politik (membentuk monarki konstitusional), termasuk
legalisasi partai politik dan serikat buruh dan merencanakan pemilu
demokratis di tahun berikutnya.
Sebuah pemilu yang bebas dilaksanakan pada Juni 1977.
Dalam pemilu ini, Suarez menghimpun kekuatan politik kanan
tengah dalam Union de Centro Democratico (UCD) dan mampu
memenangkan kursi parlemen dengan meraih 34,5% suara (166
kursi), diikuti oleh Partai Sosialis (29,4% suara, 118 kursi), Partai
Komunis (9,3% suara, 19 kursi), Partai Aliansi Rakyat (8,2% suara,
16 kursi), koalisi Sosialist Unity (4,5% suara, 6 kursi), the
Democratic Agreement for Catalonia (2,8% suara, 11 kursi), dan
the Basque Nationalist Party (1,6% suara, 8 kursi). Sisa suara dan 4
kursi lainnya diperuntukkan bagi partai minoritas lain. Di Senat,
UCD menguasai 106 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan dan
kalangan sosialis menguasai 47 kursi; sedangkan 41 senator lainnya
ditunjuk oleh Raja dan sisanya diperuntukkan bagi partai minoritas.
Parlemen baru ini kemudian mempersiapkan konstitusi baru. Proses
pembentukan konstitusi ini sendiri berjalan cukup lama. Diawali
pada Oktober 1977 dan selesai pada Desember 1978. Dalam praktik
rancangan konstitusi disiapkan oleh sebuah komisi yang dibentuk
oleh Parlemen. Konstitusi ini disetujui oleh 250 anggota Parlemen
dari jumlah 325 orang dan Senat sebanyak 226 dari 248. Dalam
referendum konstitusi ini didukung oleh 88,5% suara.
Dalam masa transisi demokrasi ini tidak pernah dilupakan
upaya kudeta tanggal 23 Februari 1981. Pada hari itu, Kolonel
commit
to user gedung Konggres dengan 200
Antonio Tejero Molina
memasuki
331
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prajurit dan menahan anggota Konggres hingga pukul 10 malam di
hari berikutnya. Akan tetapi usaha itu tidak memperoleh dukungan
Raja Juan Carlos, sehingga Molina menyerah dan ditangkap oleh
polisi.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Konstitusi 1978 merupakan konstitusi yang pertama kali
mengakui secara eksplisit pengaturan dan kepatuhan terhadap
konstitusi, di mana ketentuan Pasal 9 ayat (1) menegaskan,”The
citizens and the public powers shall be subject to the Constitution and
the rest of the legal system.” Di samping itu, Konstitusi tidak hanya
merupakan merupakan instrumen hukum yang efektif, akan tetapi
merupakan instrumen hukum yang paling penting. Secara tegas,
supremasi konstitusi tidak hanya merupakan prinsip yang bersifat
retoris, karena diikuti dengan mekanisme untuk pengendaliannya guna
memastikan keberlakuan UUD. Oleh sebab itu, dalam Bab IX
Konstitusi 1978 dibentuk MK. Pembentukan pengadilan konstitusi ini
sudah pernah dilaksanakan dalam Konstitusi Republik II (19311936)1003 dan ketentuan 1978 tersebut mengikuti pengaturan di Italia,
dan
di
atas
segalanya,
mengikuti
model
Jerman
dalam
pelembagaannya. Berdasarkan pengertian ini, maka konstitusi Spanyol
telah memiliki model terpusat dalam yurisdiksi pengadilan konstitusi
di mana MK dapat menyatakan UU dibatalkan karena bertentangan
dengan UUD.
Dalam hal ini, MK sebagai organ konstitusi hanya tunduk
kepada UUD dan UU organiknya (UU No. 2/1979). Komposisi MK
meliputi 12 hakim yang diangkat oleh Raja dengan ketentuan 4 orang
dipilih oleh Konggres dengan dukungan minimal 3/5 suara, 4 diajukan
1003
Pada masa Republik II ini pembentukan Tribunal de Garantias Constitucionales
gagal dalam pelaksanaanya karena mayoritas politisi enggan mendukung pengadilan konstitusi.
Pengadilan konsttiusi ini kemudian dihapus oleh Franco setelah kudeta (1936), yang berarti hanya
commit tohak-hak
user warga sipil. Akan tetapi, MA secara
MA saja yang berwenang untuk mempertahankan
tegas terjerat oleh kekuasaan Franco sehingga menjadi badan yang konservatif.
332
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh Senat, 2 diajukan oleh Pemerintah dan 2 hakim lainnya diajukan
oleh Komisi Yudisial. Lembaga MK merupakan interpreter tertinggi
UUD dan diberikan monopoli dalam memutuskan konstitusionalitas
UU.
Sehubungan dengan masa transisi demokrasi, MK telah
menjalankan peran aktif tidak hanya menafsirkan UUD dan
melindungi HAM, akan tetapi juga sehubungan dengan elaborasi
kewenangan daerah otonom.
Pengadilan MK mulai bekerja pada Juli 1980. Dalam putusan
yang dikeluarkan pertama kali, MK mengklarifikasi persoalan
konstitusionalitas UU yang dibentuk sebelum pemberlakuan UUD
1978. Dalam hal ini, MK mengatakan bahwa hakim peradilan umum
dapat secara langsung menguji UU tersebut atau jika dalam kondisi
ragu-ragu, mengajukan permohonan CR kepada MK.1004 Bahkan,
dalam putusan tersebut, MK dengan tegas mengikuti prosedur yang
ditempuh oleh MK Jerman yang mempersilakan hakim peradilan
umum untuk menguji UU yang masih berlaku sehubungan dengan
efektifitas Basic Law 1949. Jika dicermati, putusan itu jelas
bertentangan dengan UUD karena penafsir tunggal konstitusi adalah
MK.
Dalam kerja di tahun-tahun pertama sejak pendiriannya, MK
sering mendukung nilai-nilai hukum UUD.1005 Bahkan, dalam kasus
yang serupa, konstitusi ditafsirkan sebagai “teks yang pragmatik” atau
“deklarasi prinsip-prinsip hukum.” Sebagai contoh, MK berpandangan
kesetaraan hukum yang diatur dalam Pasal 14 UUD merupakan
ketentuan deklaratif dan tidak serta merta berlaku efektif.1006 Karena
menganggap hak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 139
UUD
merupakan
hak
asasi
yang
harus
dilaksanakan
tanpa
diskriminatif, maka MK melarang dikeluarkannya siswa di sekolah
1004
Putusan No. 4/1981 dan Putusan No. 11/1981.
commit
user dan Putusan No. 22/1984.
Putusan No. 15/1982, Putusan
No. to
101/1983,
1006
Putusan No. 80/1982.
1005
333
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
karena melanggar ketentuan disiplin.1007 Suatu kasus yang sangat
sensitif, yaitu soal aborsi telah diputuskan oleh MK, bahwa rencana
mengubah Pasal 417 KUHP bukan menyebabkan sifat inkonstusional
dari aborsi, akan tetapi ternyata MK menemukan bahwa syarat-syarat
yang ditentukan untuk membentuk UU tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana mestinya sehingga rencana perubahan itu menjadi
bertentangan dengan UUD.1008
Sebuah putusan sehubungan dengan kebebasan berpendapat
dan mengeluarkan pikiran pernah diputus oleh MK pada tahun 1990.
Menurut MK, hak menyatakan pendapat dan pikiran tidak hanya untuk
menjamin hak asasi, namun juga untuk menciptakan negara demokratis
yang mengakui adanya pluralisme politik. Oleh sebab itu, tuduhan
fitnah dalam penulisan suatu artikel di media massa dan kemudian
dilakukan kriminalisasi, telah menjungkirbalikkan makna hak asasi
menurut Pasal 20 UUD ini.1009 Selanjutnya, MK juga mengakui
perlunya diberikan “legal standing” kepada organisasi kegamaan
dan/kepercayaan untuk mengajukan gugatan dan/atau melakukan
tindakan hukum secara perdata atau pidana apabila tindakan-tindakan
asasi mereka—sepanjang dilaksanakan dalam lingkup kepentingan
umum. Pengakuan itu penting bukan saja untuk mengikuti Deklarasi
HAM PBB yang diratifikasi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, akan
tetapi juga untuk menghindarkan diskriminasi dan senophobia yang
justru merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam konstitusi
Spanyol.” kepada organisasi kegamaan dan/kepercayaan untuk
mengajukan gugatan dan/atau melakukan tindakan hukum secara
perdata atau pidana apabila tindakan-tindakan asasi mereka—
sepanjang dilaksanakan dalam lingkup kepentingan umum. Pengakuan
itu penting bukan saja untuk mengikuti Deklarasi HAM PBB yang
1007
Putusan No. 5/1981.
Putusan No. 53/1985.
1009
commit
user No. 6/1981, Putusan No. 12/1982,
Putusan No. 20/1990. Lihat
jugato Putusan
Putusan No. 104/1986, dan Putusan No. 159/1986,
1008
334
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diratifikasi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, akan tetapi juga untuk
menghindarkan diskriminasi dan senophobia yang justru merupakan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam konstitusi Spanyol.1010
Dalam perkara yang lain, MK berpendapat bahwa penyebaran
foto-foto yang dilakukan oleh fotografer dan telah memenuhi kaidah
jurnalistik meskipun tanpa persetujuan model dalam foto tersebut dan
apabila ternyata model mengharapkan adanya keuntungan pribadi atau
keuntungan lain dari publikasi tersebut, tidak merupakan tindakan
yang melanggar hak atas privasi menurut UUD Spanyol.1011 Demikian
pula, menurut MK, pemidanaan atas dasar kelalaian ayah dan ibu
akibat kematian anak mereka yang masih di bawah umur karena
diabaikannya kebutuhan transfusi darah yang dalam kepercayaan
agama
diyakini
sebagai
tindakan
yang
dilarang,
merupakan
pemidanaan yang bertentangan kebebasan beragama menurut UUD.1012
3. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Amerika Latin
Transisi demokrasi di Amerika Latin ditandai dengan momen “the
lost decade.” Yang disebut "dekade yang hilang" (tahun 1980) ditandai
oleh utang luar negeri yang besar dan masalah-termasuk makroekonomi
serius, seperti inflasi yang sangat tinggi dan defisit fiskalt yang timbul dari
kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh berbagai pemerintah, seperti
Presiden Raúl Alfonsín (1983-1989) di Argentina, Presiden José Sarney
(1985-1990) di Brazil, dan Presiden Alan García (1985-1990) di Peru.
Selanjutnya, pada 1990-an wilayah ini mengalami pengenalan reformasi
ekonomi yang dikenal sebagai "neoliberal," dan dihubungkan dengan apa
yang kemudian disebut "Washington Consensus."1013 Dalam menghadapi
1010
Putusan No. 214/1991.
Putusan No. 117/1994.
1012
Putusan No. 154/2002.
1013
Yang dinamakan sebagai “Washington Consensus”, adalah “The set of economic
policies advocated for developing countries in general by official Washington, meaning the
international financial institutions to be desirable in just about all the countries of Latin America,
as of 1989.” Lihat: John Williamson,” The Washington Consensus as Policy Prescription for
commit to user
Development”, A lecture in the series "Practitioners
of Development" delivered at the World Bank
on January 13, 2004, hlm. 1.
1011
335
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
realitas yang dijelaskan di atas, terutama dilema fiskal dan inflasi,
“Washington Consensus” mengusulkan 10 proposal perbaikan, antara lain:
(i) kontrol defisit fiskal, (ii) standar yang jelas mengenai prioritas belanja
publik, (iii) reformasi pajak, (iv) suku bunga dan nilai tukar (keduanya
akan ditentukan oleh pasar), (v) liberalisasi perdagangan; (vii) keterbukaan
investasi asing; (viii) privatisasi perusahaan negara; (ix) deregulasi; dan
(x) memperkuat hak kepemilikan.1014
Evolusi demokrasi Amerika Latin dalam konteks reformasi
ekonomi diadopsi oleh sebagian besar negara pada awal tahun 1980-an
dan 1990-an. Banyak pakar yang menganalisis bagaimana kombinasi dari
kelembagaan yang lemah, ketimpangan serius mengenai pendapatan dan
kekayaan, karakter oportunistik masyarakat Amerika Latin, dan reaksi
negatif terhadap beberapa dampak yang merugikan dari reformasi
ekonomi versi “Washington Consensus” hingga akhirnya mendorong
munculnya
penampilan populisme. Dalam menganalisis pengalaman
berbagai negara Amerika Latin, banyak informasi yang menunjukkan
bagaimana lembaga-lembaga yang kuat dan kebijakan sosial dan ekonomi
yang sehat memberikan kontribusi yang baik untuk konsolidasi demokrasi
di beberapa negara di wilayah ini. Namun, sebagaian pengamat
berpendapat bahwa di negara-negara lain kombinasi institusi demokratis
baik konsolidasi kurang dipromosikan oleh kepemimpinan populis
sehingga kebijakan politik dan sosial kurang menjadi kurang kondusif baik
untuk pembangunan berkelanjutan atau pengurangan kemiskinan dan
ketidaksetaraan.
Oposisi telah muncul dengan kekuatan yang tidak biasa di mana
reformasi ekonomi neoliberal adalah kekerangan yang paling mendalam
atas lembaga (atau elit politik) paling lemah, seperti inVenezuela, Bolivia,
Argentina, Meksiko, dan Peru. Kemunculan oposisi ini termasuk reaksi
populis atau neopopulis yang dipersonifikasikan oleh Hugo Chavez di
1014
John Williamson, “A Short History of the Washington Consensus”, Paper
to user
commissioned by Fundación CIDOB forcommit
a conference
“From the Washington Consensus towards
a new Global Governance”, Barcelona, September 24–25, 2004, hlm. 3-4.
336
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Venezuela (1998-2013), Nestor Kirchner (2003-2007) di Argentina, Evo
Morales (2006) di Bolivia, dan juga mereka yang telah kalah dalam
pemilihan presiden baru-baru ini yaitu Andrés Manuel López Obrador di
Meksiko dan Ollanta Humala di Peru, untuk menyebutkan hanya beberapa
eksponen reaksioner yang paling simbolik. Rafael Correa di Ekuador
muncul
untuk
menuju
arah
yang
sama,
setelah
pemilu
yang
mempersaingkan kalangan populis kanan (Novoa) terhadap kalangan
populis kiri (Correa), di negara yang telah memiliki 8 Presiden dalam 10
tahun.1015 Semua pemimpin ini berbagi wacana atau retorika tentang
antiglobalisasi dan anti-neoliberalisme, menentang IMF dan Washington
Consencus di negara-negara yang didahului dengan reformasi ekonomi
neoliberal pada masa 1990-an (Carlos Andrés Pérez di Venezuela, Carlos
Menem di Argentina, Gonzalo Sánchez de Lozada di Bolivia, Carlos
Salinas de Gortari di Meksiko, Alberto Fujimori di Peru), dan dalam
keadaan elit lembaga-lembaga politik dan tradisional lemah, kemampuan
mereka untuk menyalurkan muncul tuntutan sosial merupakan suatu hal
yang menecengangkan. Reaksi ini jelas bertentangan dengan respon nonpopulis yang ditemukan dalam kasus lain di wilayah ini, terutama di
bawah pemerintahan Fernando H. Cardoso (1994-2002) dan Ignacio
"Lula" da Silva (2000-2006) di Brazil, di bawah 4 pemerintah concertation
di Chili oleh Patricio Aylwin (1990-1994), Eduardo Frei (1994-2000),
Ricardo Lagos (2000-2006), dan Michelle Bachelet (2006-2010), dan di
Meksiko, di bawah pemerintahan Ernesto Zedillo (1994 -2000) dan
Vicente Fox (2002-2006). Untuk ini bisa ditambahkan pemerintah Tabare
Vásquez (2005 -) di Uruguay, Leonel Fernández (2004) di Republik
Dominika-terutama setelah pernah dipimpin oleh kalangan populis
Hipólito Mejía (2000-2004) , Martín Torrijos di Panama, Elías Saca di El
Salvador, bersama dengan negara itu 3 pemerintahan terakhir-, Alvaro
commitmengenai
to user hal ini,lihat: Ignacio Walker, 2006,
Bahasan yang lebih lengkap
“Democracy in América Latin,” Foreign Affairs en Español, Vol. 6, 2006, hlm. 3-24.
1015
337
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Uribe di Kolombia, dan pemerintah Oscar Arias dan Alan García, masingmasing di Kosta Rika dan Peru.
Ketiga kasus yang disebutkan sebagai yang paling simbol dari
reaksi non-populis (Brazil, Chili, dan Meksiko) sangat menarik. Setelah
didahului oleh pemerintah yang menerapkan reformasi ekonomi neoliberal
maka Chile yang paling nyata di bawah kediktatoran Pinochet, dengan
kebijakan
"Chicago
Boys"-pemerintah
negara-negara
telah
memperkenalkan koreksi signifikan yang lebih heterodoks dan kurang
dogmatis baik. Selain itu, dalam setiap kasus proses pembangunan
kelembagaan telah membentuk perisai bagi munculnya kalangan
neopopulis.
Hasil dari proses ini adalah terutama jelas di Chile, di mana partai
koalisi setiap presiden tertentu, berusaha untuk menerapkan strategi
"growth with equity," dengan kritik yang konsisten dari kedua
neoliberalisme dan neopopulisme, dan dalam kerangka kerja yang telah
berupaya untuk menimbulkan konsensus yang luas. Di Brazil, kontinuitas
mendasar antara kebijakan ekonomi Cardoso dan Lula telah memberikan
stabilitas proses politik dan ekonomi pada dekade terakhir, setelah
penerapan “Real Plan” di bawah pemerintahan Itamar Franco pada tahun
1994. Terutama layak untuk diperhatikan bahwa Presiden Lula, dengan
pengalaman panjang sebagai pemimpin serikat buruh, telah menolak
tampil untuk populisme, sehingga memberikan kontribusi untuk
meringankan kecemasan masyarakat keuangan internasional dan bisnis
Brasil. Terakhir, kasus Meksiko adalah layak memperoleh perhatian tidak
hanya dari segi pemerintahan yang demokratis tetapi juga untuk transisi
menuju demokrasi yang luar biasa antara Ernesto Zedillo dan Vicente Fox.
Kemenangan Felipe Calderon dari Partai Aksi Nasional (PAN) dan
kekalahan Andrés Manuel López Obrador dalam pemilihan presiden 2006
adalah fenomena lain dari bagaimana Meksiko memiliki sumber daya
politik dan kelembagaan untuk menolak gerakan populis meskipun segala
commit to user
338
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesuatu, termasuk margin pemilu sangat sempit antara dua kandidat dan
kondisi menekan kemiskinan, ketimpangan sosial dan keterpinggiran.
Terakhir, kasus Paraguay, Nikaragua, Guatemala, dan Honduras
adalah "lintasan yang belum selesai," suatu tempat antara institusi dan
personalistik, mengingat reaksi mereka, non-populis dan merakyat, dengan
reformasi neoliberal tahun 1990an. Penulis setuju dengan yang ditemukan
dalam karya Mainwaring dan Pérez-Linan pada pasca-1978 bahwa
demokrasi di Amerika Latin dengan kasus di 4 negara tersebut merupakan
contoh "stagnasi rezim semidemocratic" di wilayah tersebut.
Di Amerika Latin, di mana sistem presidensial adalah norma,
berbagai pendapat mempertanyakan kesesuaian mempertahankan sistem
presidensial dan telah menganjurkan penerapan sistem parlementer.1016
Karena sistem presidensial
berhubungan dengan stabilitas yang lebih
besar dan karena mereka membiarkan kekuatan untuk menjadi kurang
terkonsentrasi, sistem parlementer sering tampil sebagai alternatif yang
cocok. Secara khusus, konstitusi negara-negara di kawasan Amerika Latin
secara unik cenderung untuk memberdayakan wewenang Presiden untuk
membentuk hukum, mengajukan usul RUU kepada Parlemen, dan
menetapkan negara dalam kondisi darurat. Segala kekuasaan tidak
disangkal menjadi sehubungan dengan konsekuensi yang berpotensi
signifikan bagi pemerintahan, perwakilan dan, stabilitas mungkin, bahkan
politik. Memang,
dalam konteks ini dimensi kewenangan pembuatan
peraturan eksekutif ditemukan sama pentingnya dengan klasifikasi
konstitusi menjadi presiden atau parlemen.1017
1016
Latin America provides a useful context to explore variety within constitutional
forms given its mono-typical history: since the emergence of the first independent states in the
region early in the 19th century, the region has been dominated by the presidential model.
Indeed,of the former Spanish and Portuguese colonies in the Americas, the only country that has
adopted a lasting non-presidential constitution was Brazil from 1824-91. This apparent uniformity
presents an opportunity to examine internal diversity within a single over-arching category of
presidential systems. Lihat: José Antonio Cheibub, et.al., “Latin American Presidentialism in
Comparative and Historical Perspective”, Latin American Research Review, Vol. 39, 2004, hlm.
141.
1017
commit
to user
Richard Albert, “The Fusion
of Presidentialism
and Parliamentarism:, 57 American
Journal of Compreative Politics, Vol. 57, 2009, hlm. 531.
339
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Diskusi tentang demokrasi di Amerika Latin dapat dimulai dari
elaborasi sejarah pengaruh Konstitusi Amerika Serikat konstitusionalisme
negara-negara di kawasan ini. Pengaruh Konstitusi AS di Amerika Latin
tidak diragukan lagi begitu signifikan pada awal abad ke-19. Antara lain,
Konstitusi Venezuela (1811), Konstitusi Meksiko (1824), Argentina
(1826), Ekuador (1830) menarik secara signifikan pada model
Amerika.1018 Bahkan ketika tidak diadopsi, lembaga Amerika adalah
bagian dari campuran model yang dipertimbangkan. Konstitusi Argentina
(1853) itu sangat dekat dengan model Amerika Serikat, sehingga begitu
banyak sehingga hakim
yurisprudensi
perkara
Argentina
konstitusional
yang secara
Amerika
rutin
dalam
mengutip
menafsirkan
konstitusi mereka sendiri selama lebih 1 abad.1019
Yang pasti, model Amerika hanya salah satu dari beberapa yang
ditawarkan. Elit Amerika Latin sepenuhnya berhubungan dengan
pencerahan pemikiran dan berpijak pada sumber eklektik, termasuk
pemikiran Perancis dan Inggris dan, terutama, 1812 Konstitusi Cadiz
(1812) sebagai perwujudan kemerdekaan Spanyol. Hanya saja, beberapa
lembaga dari model Amerika tersebut sangat menarik. Federalisme adalah
contoh terkemuka yang memfalisitasi mengakomodasi tradisi otonomi
daerah dan kota dalam Kerajaan Spanyol, dan dipilih sebagai model yang
menarik bagi elit pedesaan karena takut dominasi oleh pusat perkotaan.
Konstitusi Venezuela (1811) secara sadar dan penuh mengutip
ketentuan federasi di Amerika. Bentuk federasi ini berpengaruh juga di
negara lain, meskipun hal itu tidak bisa dipertahankan, seperti Chile.
Federasi Amerika Tengah, yang meliputi sebagian besar wilayah itu pada
1823-1840, secara eksplisit mengutip federasi di Amerika Serikat. Gran
Kolombia (1819-1831), yang meliputi daerah yang sekarang menjadi
wilayah Kolombia, Venezuela, Panama dan Ekuador, juga sebuah republik
1018
Miguel Schor, “Constitutionalism through the Looking Glass of Latin America”,
commit
to user
Texas International Law Journal, Vol. 41,
2006, hlm.
15.
1019
Ibid.
340
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
federal. Hingga dewasa ini Argentina, Brasil, Meksiko dan Venezuela
tetap negara federal.
Setelah
menguraikan
sepintas
lalu
historiografi
sistem
pemerintahan dan konstitusionalisme di Amerika Latin, maka untuk
penelitian ini akan dibahas transisi demokrasi dan implikasinya terhadap
kinerja MK pada 3 negara yaitu Bolivia, Chili, dan Kolumbia. Adapun
pertimbangannya adalah bahwa ke-3 negara tersebut mempunyai
pengadilan konstitusi sebagai lembaga yang terpisah. Di Amerika Latin, 7
negara saat ini memiliki MK secara khusus yaitu Bolivia (1995), Brasil
(1988), Chili (1970-1973, 1980), Kolombia (1991), Ekuador (1945),
Guatemala (1965), dan Peru (1979). Venezuela memiliki MK 1953-1960
tetapi dalam UUD 1961 MA menjadi pengadilan konstitusional hingga
dewasa ini.
a. Kasus Bolivia
(1) Desain Transisi Demokrasi1020
Bolivia telah lama menarik perhatian karena ketidakstabilan
politik, dengan terjadinya kudeta di tahun 1960-an dan akhir 1970-an,
serta kemiskinan dan keragaman etnis. Bolivia adalah salah satu
negara yang paling multi-etnis di belahan bumi Amerika, dengan
tingkat ketimpangan yang tinggi. Namun, jarang dicatat bahwa dalam
hal kekerasan politik di negara ini relatif rendah dibandingkan dengan
negara lain dalam satu kawasan sampai saat ini. Sejak 2000 konflik
sosial dan politik telah meningkat seiring dengan gugatan dari warga
sipil, polisi dan militer, dan telah mencapai intensitas tidak terduga
sejak Revolusi Nasional 1952. Masuknya arus modal internasional
untuk mengeksploitasi minyak dan gas bumi di tahun 1970 hingga
1980-an telah mendorong ekspor hasil pertanian seperti kedelai, kapas,
dan gula. Kawasan Timur Bolivia merupakan basis bagi sebagian besar
1020
Keseluruhan uraian dari bagian ini, sepanjang tidak disebutkan kutipan lain dengan
tegas, mengutip dengan meringkas seperlunya dari Juan Antonio Morales dan Jeffry J. Sach,
commit
to user
“Bolivia’s Economic Crisis”, dalam Jeffry
D. Sach,
1989, Developing Country Debt and World
Economic, Chicago, University of Chicago, hlm. 58-79.
341
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
produksi
hidrokarbon
dan
gas
alam.
Akibatnya,
elit
lokal
mempertahankan hubungan dekat dengan jaringan agroindustri
internasional, perdagangan narkoba, dan kepentingan hidrokarbon.
Pada tahun 1500-an dan 1600-an perusahaan Spanyol Cerro Rico
melakukan usaha pertambangan di Potosí, sebuah bukit yang penuh
dengan perak
yang kemudian menjadi sumber keuangan Spanyol
selama hampir 200 tahun. Fakta bahwa Bolivia merupakan salah satu
sumber terbesar dari kekayaan mineral di planet ini dan akhirnya
menjadi negara termiskin kawasan tersebut. telah menyiratkan
ketidakadilan.
Pada tahun 1825, Bolivia memperoleh kemerdekaan dari
Spanyol, tetapi kemudian sering mengalami kudeta militer dan kontrakudeta sampai pemerintahan sipil yang demokratis berhasil dibentuk
pada tahun 1982. Sebagai hasil dari Perang Pasifik (1879-1883)
dengan Chile, Bolivia kehilangan bagian dari wilayahnya sepanjang
pantai Pasifik dan tidak memiliki akses berdaulat ke laut berdaulat.
Bolivia memiliki hak istimewa untuk akses ke Pelabuhan Antofagasta
dan Arica Chile serta pelabuhan Ilo di Peru. Sebagai hasil dari Perang
Chaco dengan Paraguay (1932-1935), Bolivia kehilangan akses ke
Samudera Atlantik yang melalui sungai Paraguay. Bolivia kaya
sumber daya alam, dengan cadangan terbesar gas alam di Amerika
Latin kedua setelah Venezuela dan deposit mineral yang signifikan,
namun 63% orang Bolivia hidup dalam kemiskinan dengan 34,3%
penghasilan kurang dari $ 2 per hari, menurut Bank Dunia.
Periode antara 1931 dan Revolusi tahun 1952 adalah era
ketidakpastian politik dankerusuhan. Bolivia kehilangan semangat dan
Perang Chaco dengan Paraguay yang begitu menghabiskan biaya di
pertengahan 1930-an,
sebuah pengalaman
yang mempertinggi
mobilisasi politik pekerja dan kelas menengah tidak puas dengan
kepemimpinan oligarki. Sebuah pemerintahan militer dengan fasis
commit toberkuasa
user
campuran dan revolusioner
pada tahun 1943, namun
342
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digulingkan pada tahun 1946. Oligarki kembali kontrol pada tahun
1946, namun tersingkir oleh Revolusi 1952.
Revolusi 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Revolusioner
Nasional (MNR) di bawah pimpinan Dr Victor Paz Estenssoro dan ia
kemudian
menjadi
Presiden
(1952-1956).
Selanjutnya,
negara
dikendalikan oleh Preisden Hernan Siles Zuazo (1956-1960) dan
terpilih kembali untuk periode kedua (1960-1964). Semestinya Zuazo
memerintah kembali untuk masa jabatan yang ketiga (1964), akan
tetapi digulingkan melalui kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal
Renc Barrientos Ortuno. Antara tahun 1964-1966, pemerintah
dijalankan dengan kepresidenan bersama antara Alfredo Ovando
Candia dan Barrientos Ortuno. Transisi ke pemerintahan sipil dimulai
pada akhir tahun 1966 saat Barrientos Ortuno terpilih sebagai Presiden
akan tetapi meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat (1969).
Selanjutnya, Wakil Presiden Luis Siles Salinas dilantik menjadi
Presiden, namun kemudian digulingkan dalam kudeta militer oleh
Ovando Candia (1969). Kemudian Candia dikudeta oleh Jenderal
Miranda (1970), dan Miranda kembali dikudeta oleh Jenderal Juan
Jose Torres (1970). Rezim Torres kemudian dikudeta oleh militer
dengan dukungan politisi sipil dan negara dikendalikan oleh Jenderal
Hugo
Banzer
(1974-1978)
dengan
dukungan
MRN.
Banzer
memerintah di bawah supervise militer dan kemudian MRN menarik
diri dari pemerintahan (1974). Sebuah pemilu diadakan pada 1978 dan
mengantarkan Pareda menjadi Presiden, akan tetapi hasilnya
dibatalkan oleh militer dengan tuduhan pemungutan suara yang
curang, kemudian untuk sementara pemerinthan dipimpin oleh
Jenderal David Padila yang merencakan pemilu pada 1979. Namun
pemilu 1979 tidak ada kandidat yang memperoleh suara meyakinkan
sehingga Ketua Senat Walter Guevera Arze akan tetapi kemudian
digulingkan oleh Kolonel Natuch Busch yang hanya memimpin
user
pemerintahan selama commit
15 hari.to Kemudian
Ketua DPR Lidia Gueiler
343
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditunjuk menjadi Pejabat Presiden. Karena rencana pemilu gagal, maka
Guiler kemudian dikudeta oleh Mayor Jenderal Louis Garcia Merza
(1981). Selanjutnya dalam waktu singkat (1982) militer silih berganti
mengendalikan neggara masing-masing Jenderal Benrad, Jenderal
Torario, dan Jenderal Vildoso Calderon (1982). Kemudian Konggres
menunjuk Siles Suazo sebagai Presiden yang kemudian melaksanakan
pemilu pada 1985.
Seperti di negara-negara Amerika Latin lainnya, silih
bergantinya kekuasaan di Bolivia juga mencerminkan pergantian
antara politik populis dan nonpopulis. Namun pergantian ini berjalan
sangat tajam. Pada umumnya, pemerintahan militer berwatak
nonpopulis dan terutama menekan buruh. Fase populi pemerintahan
militer di bawah Jenderal Torres berlangsung (1970-1971), yang
bertepatan dengan pemerintahan militer sayap kiri di Peru di bawah
Velasco. Pemerintah sipil telah dijalankan semua oleh MNR dan
bervariasi luas dalam kebijakan mereka, dengan fase populis selama
1952-1956 dan 1982 -1985, dan fase konservatif selama 1956-1964
dan 1985 hingga 2006. Di tengah krisis ekonomi yang parah yang
memicu protes massa dan pemogokan umum pada tahun 1982, militer
memutuskan untuk kembali ke barak.
Sejak 1974 tidak ada Presiden memiliki dukungan politik
untuk mengatasi masalah ekonomi akut yang dihadapi negara.
Berbagai pemerintahan setelah Banzer selama 1978-1982 berada di
tidak dalam posisi untuk menaikkan pajak atau menegakkan
penghematan ekonomi, dan sehingga terpaksa mencetak uang. Di atas
masalah mendapatkan kredit segar, harga komoditas turun pada 1981,
dan tingkat suku bunga pada pinjaman internasional melonjak. Pada
bulan Oktober 1982, ketika Pemerintah Zuazo Siles berkuasa,
perekonomian berada dalam kondisi terpuruk. GNP riil telah menurun
sekitar 0,9% (1981) dan sebesar 8,% (1982). Tingkat harga telah naik
commit
to user
sebesar 308 persen dalam
12 bulan
masa jabatan Siles dimulai. Inflasi
344
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
di bawah Siles melonjak dari tingkat tahunan beberapa ratus persen
tiap tahun (1982-1983) menjadi beberapa ribu persen (1984-1985).
Di tengah krisis itu kemudian dilaksanakan pemilu presiden
(1985) dan menghantarkan Paz Enterzeno sebagai Presiden dengan
halauan politik liberal. Enterzeno berkuasa dalam keadaan tidak
menguntungkan
sehingga
memaksanya
menyusun
kebijakan
rehabilitas ekonomi. Program pemerintahan Paz diresmikan hanya 3
minggu sesudah pelantikan dan dikenal sebagai “New Policy
Economy.” Program menjangkau sasaran yang luas dan memang
radikal karena meliputi tidak hanya rencana stabilisasi makroekonomi,
tetapi juga untuk liberalisasi perdagangan, administrasi dan reformasi
pajak, serta
deregulasi dan privatisasi di dalam negeri. Program
tersebut jga membongkar sistem kapitalisme negara telah mengakar
selama hampir 30 tahun.
Dengan rencana kebijakan itu, inflasi segera dapat ditekan
menjadi tidak lebih dari 50% per bulan dan tercapai stabilitas harga
dengan indikator nilai tukar yang stabil disertai kebijakan fiskal dan
moneter secara ketat. Ketika pemerintah mencoba menyimpang dari
kebijakan pada akhir 1985, inflasi kembali naik tetapi dapat segera
dihentikan melalui disilin fiskal. Dari Februari 1986 sampai Juli 1987,
inflasi telah menjadi rata-rata per tahun 10%-15%, yang berarti
merupakan laju yang paling rendah di kawasan Amerika Latin.
Keberhasilan stabilisasi ekonomi harus dipertimbangkan karena
berbeda dengan pelaksanaan di Argentina, Brasil, dan Peru.
Pemerintah menjalankan ekonomi konservatif sejauh menyangkut
moneter, fiskal, dan nilai tukar, sekalipun diikuti dengan penangguhan
hutang luar negeri. Selanjutnya, pemerintah menghindari pengendalian
upah dan nilai tukar yang diperlonggar pada permulaan program.
Namun memasuki tahun 2000, mayoritas warga Bolivia
merasakan bahwa reformasi pro-pasar telah gagal untuk meningkatkan
commitjuga
to user
kondisi ekonomi dan sosial,
mulai menilai negatif investasi asing
345
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang
mengeksploitasi
kekayaan
dari
timah
dan
termasuk
pengembangan cadangan gas alam yang kemudian mendorong sikap
anti-globalisasi. Protes politik selama tahun 2003 menyebabkan
pengunduran diri Presiden Gonzalo Sánchez de Lozada pada 17
Oktober 2003, hanya 15 bulan setelah ia terpilih. Protes ini dipimpin
oleh kelompok-kelompok dan pekerja pribumi terkait dipinggirkannya
akses ekonomi dari kelompok yang lebih miskin. Pengganti Sánchez
de Lozada sebagai presiden adalah Wakil Presiden Carlos Mesa,
seorang jurnalis
televisi, sejarawan, dan politis independen. Mesa
menunjuk kabinet baru, juga sebagian besar dari kalangan independen,
dan menunjukkan kepekaan terhadap masalah-masalah pribumi.
Meskipun melakukan langkah-langkah proaktif, Presiden
Mesa,
seperti
pendahulunya,
terbukti
gagal
menyelesaikan
perselisihan atas isu-isu yang berkaitan dengan eksploitasi sumber
daya alam, program pemberantasan kokain, hak masyarakat pribumi,
dan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan 9 negara
bagian. Pada bulan Juni 2005, Mesa mengundurkan diri setelah ditekan
dalam aksi massa yang melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi
negara. Ketua MA Eduardo Rodriguez ditunjuk menjadi Pejabat
Presiden. Setelah itu Presiden Rodriguez berjanji untuk mengadakan
pemilihan presiden dan legislatif awal, yang kemudian tidak
dijadwalkan sampai dengan Juni 2007.
Pada tanggal 18 Desember 2005, sebanyak 85% pemilih
berpartisipasi dalam pemungutan suaradianggap bebas dan adil. Evo
Morales meraih kemenangan meyakinkandalam pemilihan presiden
dengan 54%, sementara sebanyak 29% diraih bekas Presiden Jorge
Quiroga dari Partai Kekuatan Sosial dan Demokratis(Podemos),
sebuah partai politik tengah-kanan baru, dan 8% untuk Samuel Doria
Medina, seorang tokoh tokoh beraliran kanan-tengah dari Persatuan
Nasional(UN).
commit to user
346
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setahun setelah resmi menjadi Presiden, Evo Morales dan
MAS, partai pendukungnya yang berhalauan
kiri dan termasuk
perintis dalam gerakan sosial, telah memiliki efek mendalam pada
sistem politik Bolivia. Para pendukung berpendapat meskipun ada
penentangan terhadap kebijakannya, Presiden Morales dan MAS telah
melaksanakan beberapa reformasi sosial dan ekonomi yang signifikan,
seperti land reform, yang berusaha untuk memperbaiki ketidakadilan
terhadap mayoritas penduduk Bolivia. Para kritikus berpendapat
bahwa Morales telah menggunakan metode anti-demokrasi, seperti
penunjukkan sepihak para hakim agung untuk memastikan tidak ada
pengendalian pengadilan terhadap pemerintahnya. Meskipun dengan
interpretasi yang berbeda, sebagian besar analis setuju bahwa
pemerintah Morales telah diuntungkan melonjaknya harga minyak
sehingga meskipun kerusuhan sipil meningkat, Presiden Morales terus
menikmati dukungan.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Pembentukan MK Bolivia menandai berakhirnya CR secara
tersebar pada 1995-1998. Dengan diadosinya pelembagaan MK ini,
maka sekurang-kurangnya menunjukkan 3 hal penting. Pertama, MK
mempunyai kewenangan besar untuk memeriksa CR Undang-Undang,
keputusan tata usaha negara, dan sengketa kewenangan antarlembaga
negara. Kedua, kekuatan berlaku putusan MK tidak bersifat inter partes
tetapi mengikat umum (erga omnes). Ketiga, MK memiliki
kewenangan untuk CR baik yang bersifat antisipatif maupun represif,
sesuatu yang tidak dimiliki oleh MA sebelumnya yang sama sekali
dilarang menyatakan batal suatu UU jika betentangan dengan UUD.
Sekalipun sudah ditetapkan tahun 1995, tetapi lembaga ini
tidak pernah beekrja hingga tahun 1998-1999.pembentukan MK
ditentang oleh MK tetapi didukung oleh kalangan pakar hukum. Saat
rintisan gagasan pembentukan badan independen untu melakukan CR
commit
to user
di luar pengadilan yang
telah
ada, MA menentangnya dan tidak
347
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersedia untuk menyerahkan wewenang tersebut ke badan semacam
itu. Menurut Ketua MA Edgar Oblitas Fernández, secara asasi
wewenang CR ada pada MA dan melepaskan fungsi ini, akan
mengaburkan hakekat keberadaan MA. Sebuah dokumen publik
menyebutkan pendapat MA yang mengatakan bahwa pembentukan
MK akan mengaburkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman karena
wewenang CR kemudian tersebar diantara badan-badan yang berbeda.
Seperti ditegaskan oleh Edgar Oblitas Fernández bahwa pernyataan itu
mencerminkan
keengganan
hakim
agung
untuk
menyerahkan
wewenang CR tersebut. Namun akhirnya MK dapat dibentuk sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman yang independen. Desain tersebut
dicemaskan oleh pengamat karena dalam praktik ideal, semestinya MK
benar-benar mandiri dari pengaruh organ negara lainnya.
Hakim Konstitusi sebanyak 5 orang dan dipilih dengan
dukungan minimal 2/3 suara Konggres. Para hakim memegang jabatan
selama 10 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Di dalam
praktik, sekalipun ditentukan 10 tahun, akan tetapi para hakim rata-rata
memegang jabatan hanya 3,6 tahun. Bahkan, tidak pernah ada hakim
yang menyelesaikan jabatan selama 10 tahun, sementara yang paling
lama adalah Elizabeth Iñiquez de Salinas (1998-2007).
Ketentuan
UUD 2009 bahkan sama sekali tidak menentukan komposisi hakim
dan hanya dipastikan bahwa hakim memegang jabatan setelah terpilih
secara demokratis untuk 6 tahun dan tidak boleh dipilih kembali.
Pembentukan MK melahirkan aktivitas hukum (legal activity)
dan memberikan profil baru bagi kekuasaan kehakiman. Sejak Januari
1999 hingga Februari 2009, MK telah menerima 19.250 perkara dan
telah
memutus
sebanyak
15.787
perkara
(82%)
diantaranya.
Kebanyakan perkara adalah amparo, semacam “constitutional
complaint” dalam MK Jerman, berkaitan dengan putusan Pengadilan
Tinggi (58%) dan penerapan KUHAP dalam putusan pengadilan
commit
user
negeri (29%). Aktivitas
MK tobertambah
dari memutus 475 perkara
348
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1999) menjadi 2.357 (2004) dan kemudian semakin menurun hanya
memutus 107 perkara pada 2008.
Aktivitas MK menunjukkan progresifitas yang tinggi, yaitu
membatalkan 3 ketentuan UU (1999), di mana 2 putusan menyangkut
CR UU Telekomunikasi dan UU Organisasi Kekuasaan Kehakiman,
serta 1 putusan menyangkut CR keputusan Gubernur La Paz. Pada
2006, MK membatalkan 7 UU, 5 keputusan tata usaha negara, dan 2
peraturan kebijakan.
Pada bulan September 2003, pecah aksi massa yang menolak
keputusan Presiden Sanchez untuk menjual gas alam melalui Chile.
Alasan yang dikemukakan pelaku aksi adalah keadaan kekurangan
pangan dan gas di La Paz dan hingga Oktober, media melaporkan
bahwa 82% rakyat menolak kebijakan Presiden. Upaya menghalau
pelaku aksi massa justru menciptakan kematian beberapa demonstran,
yang mempercepat pengunduran diri Presiden. Saat Wakil Presiden
Moza membangkang terhadap keputusan presiden, maka kemelut
politik mulai mereda. Presiden Sanchez mengundurkan diri dan sejak
17 Oktober 2003, Moza menjadi Presiden.
Pada masa kepresidenan Moza, MA bekerja hanya dengan 7
hakim dari yang seharusnya 12 hakim. Hakim Salazar Solanio
meninggal
dunia dalam
jabatan (1999),
Hakim
Hassentuefel
mengundurkan diri dengan alasan kesehatan (Mei 2001), Hakim
Aranbica Lopez pensiun (Januari 2002), Hakim Reynolds Euygia
mengundurkan diri (Januari 2003, saat teman dekatnya Toffar Gultzaf,
diangkat menjadi Ketua Muda Pidana, tetapi dikecam karena dianggap
tidak cakap oleh kolega yang lain), dan tak lama kemudian Gultzaf
juga mengundurkan diri. Sehubungan dengan perkembangan aksi
massa pada 2000-2003 yang mengecam kebijakan neoliberalisme
pemerintah dan kemudian Presiden Banzer mengundurkan diri setelah
divonis kanker dan ketidakmampuan Presiden Sanchez dalam
user
menggalang dukungancommit
atas to
kebijakannya,
menyebabkan Konggres
349
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gagal memperoleh kesepakatan untuk mengisi jabatan hakim agung
yang baru. Menambah keadaan menjadi buruk, Hakim Kenny Priato
mengundurkan diri sebagai protes atas pengangkatan Edgar Oblitas
Fernández sebagai Ketua MA, mengingat dirinya lebih senior. Dengan
hanya memiliki 6 hakim, maka MA sulit mencapai jumlah suara
minimum untuk memutus perkara.
Dengan alasan Konggres memasuki masa reses, maka
Presiden Moza kemudian menunjuk 6 hakim baru (2004), tetapi
keputusan ini dikecam oleh Konggres. Pada bulan November 2004,
MK memutuskan bahwa pengisian jabatan sementara para hakim
bertentangan dengan UUD dan memberi waktu 60 hari bagi para
pejabat itu untuk meninggalkan jabatannya. Presiden Moza mencoba
mengeluhkan putusan itu tetapi MK menolak untuk menilai
permohonan itu. Presiden Moza mencela para hakim konstitusi, tetapi
Perhimpunan Advokad mendukung posisi MK. Setelah negosiasi yang
melelahkan akhirnya Presiden Moza mengajukan 6 calon hakim di
pertengahan Desember 2004.
Presiden Moza menolak untuk renasionalisasi perusahaan
migas dan bulan Maret 2005 ia mengajukan pengunduran diri kepada
Konggres, tetapi ditolak. Namun aksi massa semakin meluas sesudah
itu dan bulan Juni, kembali Moza mengajukan pengunduran diri ke
Konggres, dan secara mengejutkan permintaan itu dikabulkan. Namun
aksi massa juga memaksa pengunduran diri Ketua DPR dan Ketua
Senat, sehingga menurut UUD, maka Ketua MA yang kemudian
menjalankan tugas kepresidenan.
Segera sesudah terpilihnya Morales menjadi Presiden dalam
Pemilu 2005, para hakim MA dan MK mengundurkan diri. Ketua MA
Eduardo Rodríguez Veltzé mengundurkan diri (Februari 2006) dan
rumor yang berkembang di media massa mengatakan bahwa Presiden
Morales yang memaksa pengunduran diri itu dengan ancaman bahwa
commitdugaan
to userkorupsi selama ia menjadi Pejabat
pemerintah akan memeriksa
350
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Presiden. Hakim Villavuerte mengundurkan diri dengan alasan
isterinya sakit (Maret 2006). Hakim Rocha Orozco mengundurkan diri
sebagai respon penurunan gaji hakim hingga 32% (April 2006), dan
kemudian Hakim
Ruis Perez mengundurkan diri dengan alasan
kesehatan (Mei 2006). Pemerintahan Morales menganggap peristiwa
itu sebagai pembangkangan politik karena kekhawatiran terhadap
rencana persidangan mantan Presiden Sanchez, sehingga harus
digagalkan dengan cara pengadilan tidak kuorum.
Serupa dengan itu, hakim konstitusi juga banyak yang
meninggalkan jabatan. Hakim Baldivieso dan Roca Aguilera
mengundurkan diri pada Januari 2005 dan April 2005 untuk alasan
yang bersifat pribadi. Pada Januari 2006, Hakim Rivera Santiváñez
mengundurkan diri menyusul sorotan publik terhadapnya. Selanjutnya,
Hakim Durán Ribera mengundurkan diri pada Maret 2006. Pada
November 2006, Hakim Tredinnick Abasto mengundurkan diri karena
menjadi Duta Besar di Brazil. Hingga akhir 2006, MK memiliki 2
hakim (Iñiquez de Salinas dan Rojas Alvarez) dan 3 asisten hakim
(Arias Romano, Salame Farjat, dan Rana Arana).
Pada Desember 2006, Konggres melakukan reses tahunan.
Presiden Morales menunjuk 4 orang sebagai pelaksana tugas hakim
MA. Oleh MK keputusan itu dianggap konstitusional, dengan syarat
hanya berlaku untuk 90 hari. Presiden Morales mengeluhkan putusan
itu karena dinyatakan konstitusional tetapi hanya untuk 90 hari. Pada
pertengahan Mei 2007, Presiden Morales dan hakim ad interim
Villaroel mengajukan permohonan supaya MK meninjau ulang
putusan tersebut, akan tetapi permohonan itu ditolak. Sebagai
akibatnya, Presiden Morales memaksa Konggres untuk menggelar
pemecatan terhadap semua hakim, kecuali Salame Farjat.
Kejadian itu menimbulkan perselisihan diantara profesi
hukum dan Konggres berhadapan dengan persoalan yang rumit.
to usermenuding adanya korupsi dan
Bahkan, pemerintah commit
selanjutnya
351
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
politisasi pengadilan, sehingga mengusulkan untuk memecat seluruh
hakim agung dan hakim MK. Hakim González Ossio mengundurkan
diri saat itu juga dan selanjutnya Konggres menyetujui 4 orang hakim
agung (antara lain Tarquino Mujica, sebagai hakim pertama dari
kalangan pribumi Maya). Hingga tahun 2009, saat UUD baru
diberlakukan, MA telah memiliki 11 hakim dan 1 lowongan tidak diisi.
Selanjutnya, Konggres memulihkan posisi semua hakim
konstitusi, tetapi
keadaan sudah tidak terkendali (Oktober 2007).
Hakim Elizabeth Iñiquez de Salinas dan Martha Rojas Alvarez
kemudian mengundurkan diri tidak lama setelah itu dengan alasan
sudah ada serangan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Pada
bulan Desember Hakim Wálter Rana Arana juga mengundurkan diri
dengan alasan serupa, sehingga menyebabkan MK tidak kuorum.
Sampai akhir 2007, MK hanya memiliki 2 hakim yaitu Silvia Salame
Farjat dan Artemio Arias Romano. Namun pada bulan Maret 2008,
hakim Artemio Arias Romano mengundurkan diri, dan MK hanya
memiliki 1 orang hakim. Konggres gagal untuk memenuhi komposisi
MK, sampai diberlakukannya UUD 2009, yang mengubah desain
organisasi kekuasaan kehakiman.
b. Kasus Chile
(1) Desain Transisi Demokrasi
Perubahan UUD merupakan penanda transisi demokrasi di
Chile.1021 Pengalaman Chile menunjukkan bahwa transisi Chile
menuju demokrasi berlangsung di bawah bayang-bayang rezim militer
dan keterbelahan sikap dalam memandang model demokrasi yang
tepat.1022 Sejarah menunjukkan bahwa konflik selalu memberlakukan
1021
Meskipun Chile telah merdeka dari Spanyol pada tahun 1818, akan tetapi hingga
tahun 1833 tidak pernah memiliki dokumen UUD untuk mengatur dan membentuk sistem politik.
Lihat: Druscilla L. Scribner, “The Judicialization (Separation of Power) Politics: Lesson From
Chile”, Journal of Political Latin America, Vol. 3, 2010, hlm. 71.
1022
Mengenai demokrasi ini bukan kasus Chile secara spesifik. Pada tahun 1990-an,
commit
to user
there was widespread consensus throuhtout
the region
as to the virtues of liberal democracy and
the model of constitutionalism prevalent in Western Europe, the United States, and other former
perpustakaan.uns.ac.id
352
digilib.uns.ac.id
UUD yang baru. UUD 1833 dan UUD 1925 diberlakukan oleh pihak
yang menang segera setelah perang sipil atau kudeta militer.1023
Konstitusi 1833 itu diberlakukan oleh kalangan konservatif (dikenal
sebagai "Pelucones") setelah mereka mengalahkan kaum liberal
(disebut "Pipiolos") dalam Perang Sipil 1829-1830.1024 Dalam kasus
UUD 1925, UUD yang baru ditetapkan setelah kudeta militer
dijalankan oleh kelompok berhaluan kiri yang ingin mengganti rezim
quasiparliamentary dengan menampilkan corak presidensial.1025
Kelompok militer kemudian mendukung mantan Presiden Arturo
Alessandri, yang mengambil kendali penuh dari proses pembentukan
UUD. Demikian juga UUD 1980 yang diperkenalkan oleh faksi
pemenang setelah konflik kekerasan. Ketentuan UUD tersebut sangat
ideologis dan ditujukan untuk mengabadikan model ekonomi dan
sosial yang dirancang oleh rezim militer. Memang, pada tanggal 11
September 1973, sebuah kudeta militer tiba-tiba mengakhiri rezim
konstitusional Chile yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun.
British colonies. Namun dalam tahun-tahun belakangan, sejumlah negara di Amerika Latin tidak
mencapai kesepakatan dan menjalankan bermacam-macam demokrasi. Misalnya, Venezuela,
Bolivia, dan Ekuador, mengadopsi bentuk pemerintahan demokratis yang radikl—demokrasi
multietnik di Bolivia dan Ekuador, kemudian Venezuela menyebut demokrasi Bolivirian yang
menunjukkan ketidakcocpkkan dengan elemen inti demokrasi seperti kemerdekaan pengadilan dan
kebebasan bereskpresi secara penuh. Lihat:Rodrigo Uprimny, “The Recent Tranformation of
Constitutional Law in Latin America: Trends and Challenges”, Texas Law Review, Vol. 89, 2011,
hlm. 1601.
1023
Sementara pakar berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan karena pembentukan
negara Chile yang belum sepenuhnya terikat dengan rule of law yang pada saat permuaan
merupakan hasil dari perpecahan politik yang secara perlahan-lahan berkembang saat negara sudah
terkonsilidasikan dalam sistem kepartaian yang kompetitif sekitar tahun 1860. Lihat: Javier Couso,
“Models of Democracy and Models of Constitutionalism: The Case of Chile’s Constitutional
Court 1970-2010, Texas Law Review, Vol. 89, 2011, hlm. 1523.
1024
Sekalipun lahir dari fragmentasi politik, akan tetapi UUD 1833 ini merupakan
konfirmasi terhadap diadopsinya rule of law walaupun tidak sempurna. Untuk pertama kali dalam
sejarah Chile modern, konstitutis, yang kemudian diikuti dengan pembentukan UU Organik
mengenai Organisasi Pengadilan (1875), berhasil membentuk sistem kekuasaan kehakiman yang
independen. Lihat: Ibid., hlm. 1524.
1025
Konstitusi 1925 mengikuti garis liberal dan demokratis klasik sebagai tatanan
konstitusionalisme sebelum perang. Berdasarkan konstitusi 1925, telah terpilih 8 Presiden dan 11
pemilihan Kongres. Sampai dengan tahun 1970-an, Chili menjadi contoh stabilitas konstitusi dan
demokrasi. Perlu dicatat bahwa pemberlakuan UUD 1925 ini “marked a basic constitutional state,
to user
which included an independent judiciary,commit
separation
of power,and a basic set of civil and political
right. Lihat: Ibid.
353
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tindakan ini, yang kemudian menandai pemerintahan diktator selama
17 tahun, seolah-olah tidak ditujukan untuk menggantikan sistem
demokrasi Chile yang telah berjalan 50 tahun, namun, seperti
pernyataan
militer
sesudah
kudeta,
ditujukan
hanya
untuk
"membangun kembali tatanan kelembagaan yang rusak." Dengan
demikian, ada harapan bahwa setelah beberapa bulan atau jadi militer
akan menyelenggarakan pemilu.1026 Namun, hal-hal tersebut ternyata
jauh dari harapan. Terlepas dari kenyataan bahwa penyebab kudeta
begitu kompleks dan ada banyak perdebatan tentang kudeta ini, akan
tetapi efek konsekuensi konstitusional secara langsung adalah
penghapusan parsial atas UUD 1925. Dikatakan penghapusan parsial
karena meskipun cabang eksekutif dan legislatif dikendalikan oleh
Junta Militer akan tetapi cabang kekuasaan lain kekuasaan kehakiman
dipertahankan menurut UUD 1925.1027
Mungkin karena fakta bahwa Perang Dingin memberikan
kredibilitas dengan anggapan bahwa penggulingan terhadap Presiden
Salvador Allende
tersebut mewakili bahaya yang akan membawa
Chile menjadi negara komunis, Junta Militer mulai menekankan tugas
dan tujuan yang ingin dicapai bukan untuk pemilu baru dan
pembentukan kembali pemerintahan demokratis Memang, wacana
militer baru mulai menyoroti kebutuhan untuk "membasmi hingga ke
1026
Dalam kasus Chile, sekitar tahun 1973, kekuatan konservatif, kelompok kelas
menengah, dan bahkan dari kelas pekerja, serta birokrat dan militer lainnya dala, lembaga seperti
MA dan Badan Pengawas Keuangan telah diinternalisasikan sesuatu yg berhubungan dgn
ketakutan takut bahwa Presiden Salvador Allende terikat untuk mengakhiri demokrasi. Entah
sekedar imajinasi atau nyata, ketakutan ini diterjemahkan menjadi kebencian, sesuatu tidak
diragukan lagi jauh lebih besar daripada yang dirasakan di setiap negara-negara Amerika Latin
lainnya yang tersapu oleh serangan birokrasi-otoriter pertengahan 1960-an dan awal 1970-an.
Lihat: : Nibaldo H. Galleguillos, “Checks and Balances in New Democracies: The Role of the
Judiciary in the Chilean and Mexican Transitions: A Comparative Analysis”, Prepared for delivery
at the 1997 meeting of the Latin American Studies Association, Continental Plaza Hotel,
Guadalajara, Mexico April 17-19, 1997, hlm. 6.
1027
Suatu pernyataan publik Mahkamah Agung pada bulan Agustus 1973 yang
menuduh bahwa Presiden Allende telah menempatkan dirinya di luar aturan hukum, memberikan
legitimasi untuk kudeta militer pada September 1973. Selanjutnya, selama 16 pemerintahan militer
commit tolegitimasi
user politik kepada pemerintah militer
berikutnya, Mahkamah Agung, meminjamkan
menolak untuk menegakkan hak-hak sipil dan politik rakyat. Lihat: Ibid., hlm. 3.
354
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akar-akarnya bahaya kanker Marxis. " Walaupun merebut kekuasaan
melalui tindakan jelas dilarang oleh UUD 1925, pemerintah akhirnya
menyatakan bahwa mereka mengganggap dirinya sebaga "kekuatan
konstituen" bangsa, yaitu badan untuk membuat UU. Oleh sebab itu,
dalam waktu selanjutnya, Junta Militer menetapkan serangkaian
"Dekrit Konstitusional" guna menyediakan landasan konstitusional
yang bertindak. Langkah tersebut menandakan timbulnya revolusioner,
dimulai dengan pembongkaran seluruh arsitektur kelembagaan rezim
sebelumnya. Selain mempersatuan semua kekuatan politik (kebijakan
"Doktrin Keamanan Nasional"), rezim baru memfokuskan pada
transformasi ekonomi negara. Tugas ini dibantu oleh sebuah kelompok
yang sangat kohesif dan ideologis, "Chicago Boys," sekelompok
teknokrat yang antipolitik, lulusan Fakultas Ekonomi University of
Chicago yang tunduk sepenuhnya terhadap ajaran kebijakan moneter
Milton Friedman dan pakar Chicago yang lain. Pengaruh “Chicago
Boys” di dalam junta militer merupakan konsekuensi dari antikomunisme dan fakta bahwa di tengah-tengah krisis ekonomi yang
parah pada tahun 1974-75, pemerintah menawarkan rencana yang
koheren dan sistematis. Rencana tersebut terbukti sangat sukses,
sesuatu yang memberi mereka legitimasi yang sangat besar dalam
pemerintahan. Setelah membuktikan diri dalam pengelolaan krisis
ekonomi, “Chicago Boys” menawarkan kepada rezim militer sesuatu
yang lebih ambisius yaitu menyelesaikan reformasi atau modernisasi
ekonomi Chile, untuk mengatasi apa yang mereka dipandang sebagai
keterbelakangan kronis ekonomi negara.
Hanya beberapa hari setelah kudeta militer 1973 militer,
Jenderal Pinochet membentuk sebuah komisi untuk merancang
konstitusi baru, yang disebut "Comisión de Estudios de la Nueva
Constitución Políticadel Estado." Komisi ini terdiri dari 8 profesor
hukum dan mantan anggota Konggres yang bersimpati kepada kudeta
commit
to user diri mereka sebagai demokrat
militer. Para sarjana ini
menganggap
355
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang membantu
untuk mencegah pelanggaran penegakan hukum,
seperti seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan Allende .
Kebanyakan dari mereka juga yakin bahwa militer akan hanya
sementara tetap berkuasa dan kemudian menciptakan transisi
pemerintahan. Pada bulan Juli 1978, setelah bekerja secara tertutup dan
absen partisipasi publik, Komisi menyelesaikan rancangan konstitusi
dan menyerahkan kepada Jenderal Pinochet. Selanjutnya, Pinochet
menyerahkan rancangan itu untuk dibahas di Dewan Negara (State
Council).1028 Badan ini mengkaji rancangan UUD dari bulan
November 1978 hingga Juli 1980. Setelah itu Pinochet menyerahkan
hasil kajian Dewan Negara kepada Junta Militer. Perlu dicatat bahwa
sepanjang 1973-1980, negara berstatus dalam keadaan darurat,
sehingga kebebasan politik dibatasi, partai politik dilarang, dan ada
penindasan keras oleh dinas kepolisian rahasia (DINA). Junta militer
membutuhkan 1 bulan untuk memeriksa rancangan UUD dalam sistem
kerja yang tertutup dan pada Agustus 1980, Pinochet mengumumkan
bahwa junta menyetujui untuk mengajukan rancangan UUD.
Selanjutnya, akan diadakan referendum guna memperoleh konfirmasi
rakyat akan rancangan UUD tersebut dan direncanakan pada bulan
September 1980.
Suatu referendum untuk mengesahkan UUD diselenggarakan
pada
tanggal 11 September 1980, dengan persetujuan 67% dari
pemilih, di tengah-tengah meluasnya tuduhan pemungutan suara yang
curang. Referendum itu dilaksanakan 11 September, hampir satu bulan
1028
Dewan Negara adalah badan penasehat yang diciptakan pada tahun 1976 oleh
pemerintah militer, yang anggotanya meliputi mantan Presiden, mantan Ketua MA, mantan
Panglima Angkatan Bersenjata dan Kepala Kepolisian, mantan pejabat negara, akademisi, dan
masing-masing satu orang sebagai perwakilan dari kalangan bisnis, serikat buruh, perempuan, dan
Seluruh anggota Dewan Negara ini berjumlah 18 orang dan semua ditunjuk oleh Pinochet. Hanya
2 mantan Presiden yang tergabung dalam badan ini yaitu Jorge Alessandri (1958-1964) dan
Gabriel González Videla (1952-1958). Mantan Presiden Eduardo Frei (1964-1970), dari Partai
Kristen Demokrat, menolak untuk berpartisipasi mengatakan bahwa Dewan tidak memiliki
kekuatan untuk memulai debat, hanya fungsi konsultatif dan militer tidak wajib untuk
commit
to user
berkonsultasi dalam hal apapun, dan semua
anggotanya.
356
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
setelah pengumuman, suatu tanggal yang sama pelaksanaan kudeta
militer 7 tahun sebelumnya. Kehidupan politik, sebelum dan selama
referendum, berada di bawah kendali penuh dari rezim militer dengan
cara represif. Semua partai politik dilarang, tidak ada kebebasan
berserikat. Pers dan media lain, khususnya televisi, sangat mendukung
rezim militer dan di bawah sensor. Konferensi Uskup Katolik Chili
menyerukan pembentukan kondisi minimal untuk pemungutan suara
yang valid. Namun, rezim tidak memperhatikan tuntutan mereka.
Pemberian
suara
dalam
referendum
merupakan
kewajiban
warganegara akan tetapi sebelumnya tidak ada proses pendaftaran
pemilih.Hal ini berarti bahwa tidak ada pengetahuan yang jelas tentang
berapa banyak pemilih ada di setiap TPS, membuat hasil pemungutan
suara rentan terhadap sejumlah penyimpangan. Semua pejabat yang
terlibat dalam penyusunan dan menjalankan pemungutan suara serta
dalam penghitungan suara ditunjuk oleh rezim militer. Tidak ada
pengawasan independen dalam semua tahapan referendum ini.
Secara normatif, UUD 1980 berlaku mulai tanggal 11 Maret
1981, akan konstitusi baru itu tidak sepenuhnya berlaku karena ada
penundaan berlakunya sejumlah ketentuan di dalamnya. Bahkan,
kemudian berlaku 2 konstitusi yaitu ketentuan permanen dan ketentuan
transitional.
Ketentuan
permanen
seharusnya
beroperasi
pada
pembangunan kembali pemerintahan sipil yang direncanakan pada
bulan Maret 1990. Dari 1981-1990 akan ada masa transisi dari
pemerintahan militer, dengan Pinochet sebagai Presiden dan Junta
memegang kekuasaan legislatif; dan dalam konteks ini, posisi MA
justru semakin dikuatkan dalam mendukung rezim militer.1029 Jadi,
1029
Menurut UUD 1980, MA secara signifikan diberi kekuasaan untuk dapat
melestarikan yuridis-institusional. Dalam hal ini, MA dapat menunjuk beberapa anggotanya untuk:
Dewan Keamanan Nasional, Senat, semua posisi di Pengadilan pemilu; semua posisi di pengadilan
pemilu provinsi dan, sebagian besar anggota Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin
pemeliharaan demokrasi terbatas selama bertahun-tahun yang akan datang, Jenderal Pinochet
meminta pengunduran diri semua hakimcommit
lebih darito70user
tahun dan di tempat mereka untuk kemudian
mengangkat tujuh hakim relatif muda ke Mahkamah Agung kepada siapa pensiun wajib pada usia
357
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada
dasarnya,
ketentuan
peralihanmemberikan
kerangka
konstitusional untuk kerja yang sebenarnya dari pemerintahan
militer.1030 Oleh sebab itu, tidak ada perubahan yang nyata dan untuk
alasan itu pemerintah sangat dikecam oleh oposisi demokratik.1031
Chile merupakan kasus transisi aneh
bahwa pemerintahan
diktator dikalahkan dalam referendum yang bertujuan melegitimasi
kekuasaannya, bukan sebagai cara untuk membuka transisi ke
demokrasi. Pada setiap tingkat, kekalahan dalam rerferendum
sebenarnya membuka pintu bagi rezim untuk secara bertahap
melakukan konsolidasi perubahan menurut UUD yang ditentukan oleh
rezim militer sendiri. Jadi, meskipun Pinochet harus meninggalkan
kekuasaan, ketentuan konstitusi secara hati-hati hati-hati dirancang
untuk memastikan bahwa pemerintahan otoriter akan bertahan.
Menurut ketentuan peralihan, pada tahun 1988 junta harus menunjuk
seorang calon Presiden untuk masa jabatan 8 tahun berikutnya (19891997) yang harus disetujui dalam referendum. Ketentuan yang jelas
disesuaikan untuk Pinochet.
Pada tahun 1988, seperti yang diramalkan, calon junta adalah
Pinochet. Namun, pada saat dilaksanakannya referendum
tingkat
wajar keterbukaan politik secara wajar telah dicapai dicapai, partai
politik yang terorganisasi, serta dan pers yang relatif bebas. Ada juga
dukungan yang jelas untuk referendum dari masyarakat internasional.
Selain itu, ada konsensus umum, bahkan di antara tiap matra angkatan
bersenjata, bahwa referendum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan
dan bahwa hasilnya harus dihormati. Namun, referendum itu ternyata
tujuh puluh lima tidak berlaku. Kebijakan ini ditambahkan ke hakim muda lainnya ditunjuk selama
tahun-tahun kediktatoran. Akibatnya, seperti angkatan bersenjata, senat, dan kantor pengawas
keuangan umum, MA didominasi oleh individu yang terkait erat dengan rezim militer yang tidak
dapat dihapus oleh pemerintah sipil dan/atau parlemen selama bertahun-tahun yang akan datang.
Lihat: Nibaldo H. Galleguillos, op.cit., hlm. 4.
1030
Ribert Barros, 2002, Constitutionalism and Dictatorship. Pinochet, the Junta and
commit
to hlm.
user169-170.
the 1980 Constitution, Cambridge University
Press,
1031
Ibid., hlm. 177.
358
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berakibat fatal bagi Pinochet karena hanya memperoleh suara sebesar
43% pada referendum Oktober 1988.
Menurut Konstitusi, kekalahan Pinochet membuka pintu
pemilihan presiden dan parlemen pada bulan Desember 1989.
Kekalahan pemerintah dalam referendum 1988 mendorong negosiasi
antara militer dan partai-partai oposisi yang akhirnya mengarah pada
amandemen pertama UUD 1980. Perubahan ini telah disetujui dalam
referendum Juli 1989. Beberapa bulan kemudian,
untuk pertama
sesudah hampir 20 tahun, seorang Presiden terpilih secara demokratis.
Kemudian, dalam 1998, satu paket perubahan baru yang
penting dari amandemen konstitusi disetujui dalam rangka reformasi
MA, pembaruan hukum acara pidana, dan penghapusan hukuman mati.
Reformasi lebih penting, akan datang hanya 15 tahun setelah
berakhirnya rezim militer, pada tahun 2005. Presiden Ricardo Lagos
tahun mampu membujuk partai sayap kanan (ahli waris politik rezim
militer) untuk menghapus ketentuan dari UUD 1980 yang awalnya
menguntungkan militer: untuk menjadi Senator tanpa pemilihan dan
menghapus larangan pengendalian Angkatan Bersenjata dari Presiden.
Meskipun
amandemen
konstitusi
tahun
2005
telah
banyak
menghilangkan aspek anti-demokrasi dari UUD 1980 sehingga
membawa Chile menjadi negara demokratis konstitusional.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Menjelang dilaksanakannya referendum 1988, rezim dipaksa
untuk mengatur lembaga guna mendukung referendum dan pemilihan
parlemen pada tahun berikutnya (1989). Untuk itu diperlukan UU yang
menciptakan sistem pemilu, partai politik terorganisir, dan mengatur
pembentukan MK pada
akhir 1985 dan awal 1988. Dalam kasus
hukum penyelesaian sengketa pemilu MK memainkan peran penting.
Menurut ketentuan peralihan UUD, MK telah dapat beroperasi untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
359
digilib.uns.ac.id
pemilihan parlemen, tetapi belum dibentuk dalam rangka referendum.
1032
Sejak diberlakukannya UUD 1925, MA memiliki kekuasaan
untuk menafsirkan UUD dan menyatakan sebuah UU bertentangan
dengan UUD (Pasal 86). Tetapi MA tidak pernah menggunakan
kewenangan ini. Faktanya, kewenangan untuk melakukan CR
dijalankan oleh salah satu alat perlengkapan Senat yang begitu
berkuasa yang dikenal sebagai Senate Committee on Constitution,
Legislation, and Justice dengan kewenangan untuk melakukan
pengujian abstrak dan antisipatif. Senat sendiri menjalakan fungsi ini
dengan begitu antusias dan MA bersedia menerima kewenangan
tersebut diikuti penolakan untuk menjadi “the guardian political of the
constitution.”1033 Secara moderat, sistem pengujian internal ini
didiukung oleh Presiden Arturo Alessandri (1958-1964), sosok politisi
kharismatis yang berpengaruh dalam pembentukan UUD 1925 dan
dipengaruhi oleh pemikiran filosof Prancis, Leon Dugit.1034
Gagasan untuk membentuk MK sebagai lembaga mandiri
muncul kembali pada tahun 1960-an, saat Presiden Alessandri
mengajukan usul perubahan UUD untuk mengadopsi suatu badan yang
mampu menjadi penengah antara eksekutif dan legislatif.1035 Namun
gagasan Allesandri ini ditolak. Meskipun demikian, penggantinya
Presiden Eduardo Frei Montalva (1964-1970), yang mengalami
frustasi atas semakin seringnya Konggres melakukan intervensi
terhadap keputusan-keputusan eksekutif, melanjutkan gagasan untuk
1032
Ibid., hlm. 257.
Javier Couso, op.cit., hlm. 1525.
1034
John C. Reitz, “Political Economy and Separation of Powers, Transnational Law
and Contemporer Problems, Vol. 15, 2006, hlm. 612.
1035
Hal ini menunjukkan perubahan sikap dari Presiden Allesandri yang awalnya
enggan membentuk pengadilan konstitusi. Perubahan sikap ini dilatarbelakangi oleh serangan
legislatif yang dinilai sudah melakukan intervensi atas perencanaan anggaran kepresidenan.
Sebagai sosok yang memperhatikan sejarah Prancis, Allesandri terkesan terhadap keberhasilan
Jenderal de Ghaulle yang merancang UUD 1958 dan antara lain membentuk Dewan Konstitusi
user
sebagai badan yang melakukan CR atas commit
rancangantoUU
yang sudah disetujui oleh Parlemen. Lihat.
Javier Couso, op.cit., hlm. 1528.
1033
360
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembentukan MK. Frei benar-benar berhasil dengan gagasannya itu
dan di bulan terakhir masa jabatannya sebagai Presiden, Konggres
menerima usul pembentukan MK. Salaam periode 1925-1973, MA
absen dari pelaksanaan wewenang CR, hal yang mendorong gagasan
pembentukan MK.1036 Komposisi MK meliputi 5 orang hakim dan
badan ini melaksanakan wewenang antara Januari 1970 hingga
terjadinya kudeta militer 11 September 1973. Namun, MK secara
sungguh-sungguh tidak pernah bekerja sampai pemulihan lembaga ini
pada 1989. Menurut pengakuan Enrique Silva Cimma, bekas Ketua
MK dalam periode ini, salah satu penyebabnya antara lain bahwa
diantara komposisi hakim, 3 diantaranya dikenal dekat dengan
Presiden Allende. Kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Pinochet
kemudian membatalkan UUD 1925 dan menjalankan pemerintahan
dengan dekrit.
Dengan berlakunya UUD 1980, MK kembali dibentuk dan
resmi bekerja pada tahun 1982. Seluruh hakim konstitusi yang
berjumlah 7 orang sepenuhnya ditunjuk oleh Pinochet. Selama masa
itu, MK memilih untuk “low profile” dan sepanjang 1982-1989, MK
dicirikan sebagai “tukang stempel” keputusan yang ditetapkan oleh
Junta (yang menjalankan fungsi legislatif) dan Pinochet (yang
menjalankan esekutif). Dengan sedikit pengecualian, MK pernah pula
menolak kebijaksanaan junta. Dalam sebuah keputusan (1988), MK
menyetujui pembentukan partai politik beberapa bulan sebelum
dilaksanakan referendum 1988.
Keengganan untuk terlibat dalam praktik asertif kekuasaan
kehakiman yang terjadi baik di tingkat peradilan umum maupun di
1036
Seperti dikaji oleh Jorge Brahm, yang memaparkan frustasinya mengenai rekam
jejak MA dalam melindungi hak-hak asasi. Brahm berpendapat bahwa dalam kasus hak
kepemilikan yang dibatasi dengan tegas oleh UU, telah menciptakan situasi “proprety without
freedom.” Demikian pula kajian Julio Fernandez yang mengatakan bahwa “the Chilean supreme
court utterly failed to defend even the most fundamental civil and political right, particuallary in
to user
the case of legislation banning the civiccommit
and political
partiscipation of members of the Chilean
Communist Party during years of the Cold War.”Lihat: Javier Couso, op.cit., hlm. 1526.
361
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MK. Hal ini terutama terlihat pada MK, di mana sebetulnya UUD
1980 memberikan kekuasaan MK yang sangat kuat dari tuntutan
kontrol konstitusionalitas sebelum sebuah UU diundangkan (dalam apa
yang dikenal sebagai “antisipative review”). Memang, MK tertarik
dalam menggunakan kekuasaan penting dari CR antara tahun 1990 dan
2005, tetapi hal itu hampir tidak dikenal oleh penduduk dan dianggap
berdampak kecil oleh elit politik. Adapun pengadilan umum, dalam
beberapa kesempatan selama abad 20 mereka benar-benar membela
hak-hak. Dan ketika dihadapkan terhadap sengketa kewenangan
antarlembaga negara, justru pengadilan menolak untuk menggunakan
kekuasaannya.
Sesudah pemilu Konggres dan Presiden pada 1989 yang
dimenangkan oleh Koalisi kiri-tengah Concetation), MK menjadi lebih
proaktif. Pinochet ditetapkan menjadi senator dan sebelum mengakhiri
jabatannya, Pinochet melakukan negosiasi dengan kalangan oposisi
untuk menetapkan jabatan tertentu, termasuk para hakim konstitusi.
Pada Maret 1997, 4 diantara 7 hakim memasuki purna tugas. Pengisian
jabatan hakim kemudian menjadi kontroversi. Senat mengajukan
Eugino Valenzuela (yang pernah menduduki jabatan hakim di awal
1980-an), militer yang mengendalikan Dewan Keamanan Nasional
mengajukan calon yang diusulkan oleh Presiden Frei (Luz Bulnes dan
Mario Verdugo) dan MA mengajukan Ketua MA, Severado Jordan.
Sementara itu, tiga hakim yang lain akan purna tugas pada 2001, yaitu
Marcos Arbuto, Osvaldo Faoundez, dan Juan Colombo.
Perlu ditekankan bahwa sampai reformasi tahun 2005,
hampir separuh hakim konstitusi ditunjuk sementara dari para hakim
MA, yang membagi waktu mereka untuk bekerja di kedua pengadilan.
Akibatnya, dalam tubuh MK berpotensi kinerja hakim dengan budaya
tradisional yang rentan terhadap kepasifan dan menolak untuk terlibat
konflik politik. Dalam konteks ini, penghapusan hakim yang berasal
commitumum
to userdan diisi dengan individu yang
dari lingkungan peradilan
362
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berasal dari dunia akademis dan politik mewakili faktor utama baru
dalam sikap yang lebih aktif yang ditampilkan oleh MK pada semua
putusan CR setelah tahun 2006.
Selanjutnya, reformasi penting untuk MK yaitu pemindahan
kewenangan untuk memeriksa “recurso de inaplicabilidad” dari MA
ke MK yang berimplikasi untuk pertama kalinya dalam sejarah, MK
terlibat dalam CR yang bersifat konkrit. Transfer kewenangan tersebut
memungkinkan bagi warga biasa yang mendapatkan putusan kasus
konkrit untuk dimohonkan pemeriksaan konstitusionalitas UU yang
diterapkan.
Kasus yang pertama setelah reformasi konstitusi 2005 adalah
mengenai konstitusionalitas peredaran umum dari apa yang dinamakan
“Morning
After
diperintahkan
Pill”
larangan
yang
dalam
menetapkan
pengadilan
surat
sebelumnya
peredaran
apabila
menyangkut obat-obatan yang ditujukan untuk kepentingan aborsi, dan
lagipula aborsi sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1980.
Sesudah putusan itu ditetapkan, ribuan orang turun ke jalan-jalan di
ibukota Santiago guna memprotes putusan tersebut. Bertentangan
dengan putusan tersebut, para wakil rakyat yang terlibat dalam
reformasi 2005 untuk memperluas jangkauan CR MK menjadi frustasi
dengan lahirnya penetapan itu. Tingkat relevansi atas putusan itu
sendiri tidak jelas. Hal itu menjadi bahan pembicaraan di media secara
luas. Faktanya, putusan ini telah menarik perhatian khalayak lebih
banyak dibandingkan dengan putusan MK yang lain, bahkan terhadap
putusan persidangan Pinochet oleh MA.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada September 2008,
MK mengejutkan seluruh negeri dengan putusan yang berhubungan
dengan kebijakan pemerintah. Dalam putusan ini, MK menyatakan
tindakan eksekutif yang memperoleh pinjaman dari Inter American
Development Bank guna membiayai sistem transportasi umum di
commit to userdengan UUD, karena pemerintah
Santiago dinyatakan bertentangan
363
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilarang melakukan pinjaman luar negeri tanpa terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Konggres. Putusan tersebut, di tengah upaya
pemerintahan Presiden Bellet untuk memperbaiki sistem transportasi
umum, menjadi pesan terang-terangan bahwa MK telah berkonfrontasi
dengan pemerintah, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelum
tahun 2006.
Putusan terakhir yang transformatif adalah menyangkut UU
yang memberikan wewenang kepada perusahaan asuransi swasta untuk
menawarkan skema asuransi kesehatan premium kepada perempuan
lanjut usia. Dalam pandangan MK, yang mengutip doktrin hukum
HAM internasional, ketentuan UU semacam itu tidak dapat diterapkan.
Putusan ini kemudian banyak dikritik oleh penyelenggara jasa asuransi
kesehatan dan politisi liberal, yang menunjukkan bahwa untuk pertama
kalinya MK melibatkan diri dalam pemenuhan hak ekonomi dan
sosial.
c. Kasus Kolombia
(1) Desain Transisi Demokrasi
Sejarah Kolombia telah berlangsung lama dan penuh
kejadian penting, dan berujung kepada upaya untuk memehami benihbenih konflik modern.1037 Negara ini menggapai kemerdekaan pertama
kali dengan pelrindungan Simon Balivar (1819),
akan tetapi
“Kolumbia Raya” yang dicita-citakannya segera tumbang, menyusul
pembentukan negara-negara modern Kolumbia, Venezuela, Ekuador,
dan Panama. Selama terjadinya peristiwa ini, perang antara pengikut
Bolivar dengan loyalis wakilnya, Fransisco de Paiula Santander,
mengerucut kepada frasionalisme dominan, yang kemudian menjadi
penanda partai politik modern yang saling berkompetisi satu sama lain
dewasa ini yaitu Partai Liberal dan Partai Konservatif, “as collection of
notables who engineered votes by manipulating largely rural
Patrick Delaney, “Legislatif
Eqaulity in Colombia: Constitutional
commit toforuser
Jurisprudence, Tutelas, and Social Reform”, The Equal Rights Review, Vol. 1, 2008, hlm. 50.
1037
perpustakaan.uns.ac.id
364
digilib.uns.ac.id
patronage network.”1038 Kompetesi diantara kedua partai politik “were
originally separated by different stances on certain ideological issues,
particularlt federalism and religion, but more importantly they were
separated by intense personal dislikes and factional conflict.”1039
Sesudah masa modern, persaingan ini memuncak dengan
kejadian perang sipil berdarah “La Violencia.” Dipicu dengan
pembunuhan terhadap Jorge Eliecer Gaitan, seorang pemimpin
berhalauan kiri dan kharismatis pada April 1948.1040 Peristiwa itu
menghasilkan konflik berkepanjangan sampai 1958 dan telah
menewaskan 300 ribu jiwa. Dengan pembentukan “Front Nasional”
sebagai wadah pemerintahan gabungan antara Partai Liberal dan Partai
Konservatif1041 segera meredam kekacauan, yang menandai untuk
masa lama dominasi partai dan kekuatan tradisional1042, dan akhirnya
memicu lahirnya gerakan gerilyawan modern yang berlanjut sebagai
bencana di Kolombia. Kegagalan Front Nasional yang justru
memperluas ketidaksetaraan, hasil dari keragu-raguan terhadap pemilu,
memperpanjang semangat golongan kiri untuk bergabung dengan
pemberontak. Beberapa diantara gerilyawan pemberontak tersebut
David Landau, “Political Institutions and Judicial Role in Constitutional Law”,
Harvard International Law Journal, Vol. 51, 2010, hlm. 335.
1038
1039
Ibid.
1040
Salah satu kebijakan Gaitan yang berpengaruh dalam sistem politik Kolombia
adalah kebijakan demobilisasi penduduk perkotaan. Gaitan khawatir akan munculnya radikalisme
di kawasan urban yang bisa membahayakan pemerintahan. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Front
Nasional (1958-1974) yang ditujukan untuk mengendalikan konflik politik lebih tajam lagi yang
sudah berlangsung selama 60 tahun terakhir. Sekalipun minoritas, tetap saja kalangan penduduk
perkotaan merupakan penyumbang suara yang penting dalam proses pemilu di Kolombia. Uraian
lebih lanjut, lihat: Gary Hoskin, “The Democratric Opening in Colombia: How Do Party and
Elecotral Behaviour Relate to It?”, papar presented at 45th meeting of the International Congress
of Americanist, Bogoto, Coplumbia, July, 1-7, 1995.
1041
Piagam pembentukan Front Nasional sesungguhnya untuk menentang kedikatoran
Jenderal Gustavo Rojas Pinila. Pinila telah mengambilalih kekuasaan guna menghentikan aksi
kekerasan partisan, tetapi tidak berhasil mencapai tujuan tersebut; selanjutnya, kebijakan
ekonominya justru mengancam keberadaan kelas menengah atas. Lihat: loc.cit.
1042
Kedua partai politik setuju untuk melaksanakan pemilu dengan kesepakatan bahwa
mereka akan merotasi Presiden, pembagian
kabinet secara seimbang, dan membagi
commitkursi
to user
dukungan bagi penunjukkan para hakim agung. Ibid.
365
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah the Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC), the
National Liberation Army (ELN), dan the April 9 Movement (M-19).
Hingga sekarang, hanya M-19 yang surut, sementara FARC dan ELN
masih aktif di Kolombia, sekalipun telah terjadi berbagai upaya
negosiasi. Watak ideologis dari masing-masing gerakan ini bisa
diperdebatkan, akan tetapi jelas bahwa perdagangan narkotika tidak
bisa dipisahkan diantara mereka.1043 Sesudah jatuhnya kartel Medllin
dan Cali pada tahun 1980-an dan 1990-an, di mana masing-masing
gerakan gerilyawan menjalin hubungan yang tidak seimbang, kalangan
pemberontak kemudian mendominasi produksi kokain. Hasil produksi
itu jelas digunakan untuk membiayai perjuangan melawan pemerintah.
Kekerasan paramiliter yang lahir dari resistensi gerilyawan terbentuk
dari jeratan jaringan perdangan kokain, dan sekalipun paramiliter ini
tersebar, jelas bahwa suatu kelompok bersenjata baru telah mengambil
alih posisi mereka.1044
Pada sisi lain, Kolombia memiliki struktur yang kompleks,
diantaranya keberadaan kelompok rentan karena keterpinggiran sosial.
Diantara kelompok rentan itu adalah golongan Afro-Colombian, yang
jumlahnya mencakup separuh penduduk Kolombia. Kebanyakan dari
mereka tinggal di wilayah yang terisolasi, seperti Choco, di kawasan
laut barat, dan di kawasan pantai Karibia. Penduduk di kawasan ini
mayoritas
mengalami
kemiskinan
ekstrem
dan
mengalami
ketimpangan dalam akses pelayanan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan. Parahnya, sekalipun kalangan ini mayoritas, secara politik
tidak memiliki tingkat represenatif yang cukup, mengingat diantara
268 anggota Konggres, hanya 9 orang berasal dari Afro-Kolombia.
Bagaimanapun, “each armed group is to varying degree simultaneously a political
project, a military apparatus, and actor in social conflict, a rent seeker, a way of life, and a
territorial state.” Lihat: Catalina Diaz, “Colombia’s Bid for Justice and Peace”, International
Center for Transitional Justice, Mei 2007, hlm. 6.
1043
1044
Ibid., hlm. 51.
commit to user
366
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagai hasil dari bermacam-macam tekanan, komunitas AfroKolombia terancam kehilangan identitas budaya mereka.
Sementara itu, kalangan penduduk pribumi, yang berjumlah
tidak lebih dari 2% dari seluruh penduduk, juga mengalami
deskriminasi. Kelompok ini tersebar ke dalam 90 suku dan mempunyai
64 bahasa. Mereka disingkirkan dari diskusi mengenai pengelolaan
tanah, dan mayoritas terpuruk dalam kemiskinan, bersamaan dengan
langkanya tingkat layanan kesehatan dan pendidikan. Mereka juga
sering menjadi korban kewenang-wenangan mengingat tanah-tanah
ulayat mereka secara sepihak diambil alih oleh militer atau pelaku
konflik yang lain. Sejarah dan peradaban mereka terus menerus di
bawah ancaman.
Sumber perpecahan yang lain adalah isu-isu seperti hak-hak
lesbian, gay, biseksual, dan keperibadian transgender. Sekalipun
jumlahnya banyak, kelompok paramiliter kanan seringkali melakukan
“pembersihan” terhadap orang yang dianggap tidak normal, termasuk
kalangan homoseksual. Lesbian, gay, biseksual, dan kepribadian
transgender terus menerus menjadi korban pembunuhan, diancam, dan
diserang oleh masyarakat pada umumnya dan juga oleh polisi dan
otoritas keamanan.1045
Upaya pemerintah untuk melakukan reformasi dengan
memperluas tingkat keterwakilan sistem politik dan menambah
kapasitas serta efektifitas peran pembangunan telah banyak mengalami
kegagalan. Hampir 20 tahun lamanya 3 gagasan reformasi diajukan
oleh Presiden Kolombia tetapi menemui kegagalan yaitu Alfonso
Lopez Michelsen (1974-1978), Belisario Betancur (1982-1986), dan
Virgilio Barco (1986-1990). Pada semua usaha reformasi ini,
pemerintah merengkuh partai dan lembaga perwakilan (khususnya
Konggres) tetapi usaha itu dipatahkan oleh para wakil rakyat. Sebagai
1045
Ibid., hlm. 52.
commit to user
367
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
contoh dalam kasus Lopez, upayanya untuk membentuk Majelis
Konstituante untuk melakukan perubahan UUD digagalkan oleh
pengadilan. Usaha Betancur untuk menggalang opini publik, melalui
mekanisme informal termasuk negosiasi dengan kalangan kiri,
memperoleh tentangan dari militer dan mayoritas pemuka politik
lainnya. Akhirnya, usaha Barco untuk mematahkan perilaku Konggres
melalui referendum untuk memperoleh dukungan UUD baru juga
dipatahkan oleh pengadilan, mengingat dalam sistem waktu itu, hanya
Konggres yang berwenang untuk mengubah UUD.1046
Namun demikian, setelah pembunuhan terhadap pemimpin
liberal Luis Carlos Galan (1989) oleh kelompok pedagang obat bius
dan gerakan mahasiswa yang menekan pemerintahan Presiden Vigillio
Barco untuk membentuk suatu Majelis Konstituante Nasional, barulah
gagasan perubahan UUD diterima. Majelis tersebut meliputi para
utusan yang menunjukkan keterwakilan kalangan dari bermacammacam latar belakang sosial dan politik di Kolombia, seperti buruh,
mahasiswa, kelas politik tradisional, akademisi, kalangan pribumi,
kalangan minoritas religus,dan bekas pelaku gerakan M-19. Semua
anggota Majelis, dipilih dalam pemilu Desember 1990 dan ditetapkan
sebanyak 70 orang.1047 Pelaksanaan tugas Majelis Konstituante
diperlukan “because of pervasive violence, and because of a sense that
country’s political instititution were failing.”1048
Sebagai hasilnya, UUD yang berhasil dirumuskan adalah
ketentuan yang menunjukkan kedermawanan sosial dan demokrasi.
Lihat; Ronald P. Archer, “State Inaction and Social Conflit: Colombia in 1990s”,
papar presented at the Annual Meeting of tha Canadian Assosiation for Latin America and
Carribea Studies, 5-7 Oktober 1989, hlm. 20-21.
1046
1047
Diantara ke-70 anggota tersebut, sebanyak 19 orang berasal dari M-19, 2 dari
Patriotic Union, 2 kalangan non Katolik, 2 orang masing-masing mewakili mahasiswa dan remaja,
3 dari gerilyawan yang demobilisasi. Artinya, lebih dari 40% anggota Majelis tidak berafiliasi
dengan Partai Konservatif maupun Partai Liberal, yang selama ini mendominasi sistem politik
Kolombia.
Renata Segura dan Ana Maria
Bejarano,
commit
to user“Exclusion, Inclusion, and the Politics of
Constitution-Making in the Andes”, Constelation, Vol. 11, 2004, hlm. 219.
1048
368
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagai efeknya, UUD ini mengisyaratkan poembentukan “a social
state of law” dan sebuah republik yang “democratic, partisipatory and
pluralistic, founded in the respect for human dignity”, dan untuk
selanjutnya memuat secara luas ketentuan yang berhubungan dengan
hak asasi, sosial, ekonomi, kultural, kolektif, dan lingkungan, yang
mana pemenuhannya dilakukan menurut prosedur yang lazim dan luar
biasa untuk mencapai percepatan dan efisiensi.
Ketentuan UUD baru juga mencoba untuk menghapus
diskriminasi dan ketidaksetaraan. Pada intinya, UUD memuat
serangkaian hak-hak fundamental, termasuk jaminan kesetaraan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13. Ketentuan ini ditujukan untuk
perlindungan kelompok rentan, dalam konteks nyata, efektif, dan
kesetaraan
materi,
dan
melindungi
kelompok
ini
karena
ketidakmampuan ekonomi, fisik, dan mental. Selanjutnya, terdapat
sejumlah perlindungan tambahan yang terdapat dalam UUD. Sebagai
contoh, Pasal 43 melarang diskriminasi antara laki-laki dan
perempuan, dan Pasal 68 memuat penghormatan terhadap indentitas
penduduk asli. Seperti mayoritas sistem konstitusional yang lain,
jangkauan nyata dari hak-hak ini hanya dapat dipertahankan melalui
penafsiran pengadilan. Dalam hal ini, UUD mengizinkan penafsiran
pemenuhan hak-hak fundamental tersebut melalui ketentuan hukum
internasional HAM yang diratifikasi oleh pemerintah Kolombia. Oleh
sebab
itu,
instrumen
internasional
mempunyai
derajat
konstitusionalitas di hadapan kekuasaan pengadilan.1049
Dari segi institusional, UUD yang baru membenetuk
serangkaian badan dan lembaga baru, diantaranya adalah pembentukan
MK. Tujuan pembentukan MK adalah to “keeper of the integrity and
supremacy of the Constitution”, dengan pelekatan fungsi seperti
menguji konstitusionalitas tindakan pemerintah yang mana oleh tiap
1049
Ibid., hlm. 57.
commit to user
369
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
warganegara dapat diajukan pengujian dengan alasan bahwa tindakan
itu melanggarUUD dan pengujian itu dapat dilakukan oleh setiap
warganegara di hadapan hakim untuk mempertahankan hak-hak
asasinya.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Keberadaan MK memang dibentuk sejak permberlakuan UUD
1991. Meskipun demikian, Kolombia telah mempunyai tradisi panjang
sehubungan dengan pengendalian konstitusi. Sekurang-kurangnya
sejak 1910, MA diberi wewenang untuk CR. sebagai konsekuensinya,
saat MK mulai menjalankan peran pada 1992, budaya hukum dan
politik Kolombia sudah terbiasa dengan CR, sebagai ketetapan
komunitas yudisial setempat percaya bahwa MK akan mampu
membatalkan UU yang sudah disepakati oleh Konggres. Dalam hal ini,
MK akan bekerja dengan penuh semangat tanpa khawatir bahwa
eksekutif
atau
kekuatan
politik
akan
menghapus
perannya,
sebagaimana terjadi di banyak negara saat MK sedang berjuang
mencari legitimasinya.
Hukum acara CR begitu mudah dan berbiaya ringan. Dengan
demikian, sejak 1910, saat gugatan publik diajukan, banyak
warganegara memohon pemeriksaan CR tanpa perlu didampingi oleh
kuasa hukum atau formalitas yang lain. UUD 1991 juga menciptakan
ketentuan serupa, yang dikenal sebagai “tutela”, di mana setiap orang
tanpa persyaratan tertentu, dapat langsung mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk melindungi hak asasinya. Ketentuan ini
relatif mudah bagi setiap warganegara untuk mentransformasikan
keluhan ke dalam persoalan hukum yang oleh MK kemudian diperiksa
dan diputus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebagaimana sering
ditunjukkan dalam studi perbandingan hukum, “greater access to
justice brings about greater political influence for the courts.”1050
1050
commit to user
Jacob et.all., 1996, hlm. 396.
370
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum acara MK juga melekatkan berbagai wewenang kepada
MK. Di dalam praktik, sehubungan dengan CR yang bersifat konkrit,
MK menjadi “a super court.” Hal ini juga memfasilitasi keaktifan MK
yang dalam kajian perbandingan sosiologi, maka MK kemudian “there
tends to be more judicial activism and leadership, as in countries
where most of the authority is concentraced in a single supreme court,
such as in United States.”1051 Hal ini berbeda dengan negara seperti
Prancis di mana kekuasaan terbagi diantara banyak pengadilan dengan
yurisdiksi berbeda-beda.1052
Pertanyaan lebih lanjut adalah, mengapa MK mengambil
peranan yang progresif, di saat pengadilan dapat menempuh banyak
jalan untuk melancarkan aktivismenya? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, pertama-tama harus dipahami karakter transisi demokrasi
yang dijalankan di Kolumbia. Ketentuan UUD 1991 bukan diproduksi
melalui revolusi, akan tetapi diperoleh dalam konteks kompleksitas
sejarah sebagai usaha untuk mencapai kesepakatan memperluas
demokrasi untuk mencegah kekerasan dan korupsi politik. Para
pembentuk konstitusi sepakat bahwa ketimpangan partisipasi dan
kelemahan perlindungan HAM menjadi dasar atau penyebab terjadinya
krisis. Hal ini yang menjelaskan sisi lain dari ideologi UUD:
memperluas mekanisme partisipasi, perintah kepada negara untuk
memenuhi kewajiban peningkatan keadilan sosial dan kesetaraan, dan
pembentukan bermacam-macam UU yang menjamin hak asasi,
termasuk mekanisme pengadilan untuk menjamin pelaksanannya. Oleh
sebab itu, dalam bahasa Teitel, UUD 1991 selanjutnya tidak berwatak
“backward looking” akan tetapi “forward looking.”1053
Komposisi MK terdiri atas 9 orang hakim yang memegang
jabatan selama 8 tahun dan tidak boleh dipilih kembali. Para hakim
1051
Ibid., hlm. 389.
1052
Ibid.
1053
Teitel, 1997, hlm. 214.
commit to user
371
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipilih oleh Presiden, KY, dan MA, yang masing-masing mengirimkan
3 orang calon kepada Senat. Selanjutnya, Senat memilih satu orang
hakim dari tiap usulan untuk ditetapkan menjadi hakim konstitusi
(Pasal 239 UUD). Proses ini relative mengurangi peran Presiden untuk
guna melindungi independensi MK.
Bagian
selanjutnya
secara
purposif
dan
parsial
akan
menguraikan beberapa contoh putusan MK yang menunjukkan
progresifitas MK dalam mengembangkan pemenuhan hak asasi dan
perlindungan warganegara dari tindakan pemerintah. Perkara utama
adalah menyangkut kesetaraan pribumi. Isu ini banyak mewarnai
putusan MK. Elemen-elemen yang tercakup di dalamnya meliputi
dasar hak atas kebudayaan berhadapan dengan pertimbangan ekonomi,
sehingga menciptakan aliansi “intelektual pribumi” dengan MK serta
internasionalisasi perjuangan kalangan pribumi. Diantaranya dapat
disebut di sini putusan MK yang melindungi otonomi budaya dari suku
U’Wa melawan eksploitasi perusahaan minyak multinasional, OXI,
dan
pemerintah
Kolombia.
Putusan
ini
mennyatakan
bahwa
penguasaan masyarakat akan tanah termasuk kandungan minyak bumi
di dalamnya bersifat suci.
Kemudian dalam putusan lain, MK
membatasi kebebasan beragama di kalangan suku Arauca yang
menganut Protestan dan mencoba untuk menghargai tradisi asli
setempat. Putusan lain yang berhubungan dengan tradisi adalah
penghormatan penjatuhan sanksi fisik sebagai pemidanaan bagi pelaku
kejahatan yang sebenarnya bertentangan dengan KUHP.
Terkait dengan transisi demokrasi, MK telah memfasilitasi
untuk reorientasi gerakan buruh. Ketentuan UUD 1991 diberlakukan
saat gerakan sosial, termasuk gerakan kiri pada umumnya, sedang
mengalami
krisis.
Telah
muncul
gerakan
sosial
baru
yang
mengupayakan perlindungan minoritas. Gerakan buruh kesulitan untuk
menyesuaikan dengan kondisi ini. Putusan MK, yang menuntut
commit togerakan
user buruh untuk menyesuaikan diri
kesetaraan, telah memfasilitasi
372
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan kondisi baru ini. Di dalam perkara yang lain, MK
memerintahkan 209 organisasi buruh untuk menyesuaikan diri dengan
ketentuan ILO.
Dalam putusan lain, MK mengizinkan untuk mengkonsumsi
obat-obat terlarang bagi individu dan euthanasia dengan alasan untuk
menghormati
otonomi
pribadi
dan
martabat
kemanusiaan.1054
Selanjutnya, MK mengembangkan paket hak asasi sosial dan ekonomi
yang kuat, yang dibuktikan dengan adanya putusan yang mendorong
badan hukum publik untuk membayar dana pensiun, melarang sekolah
untuk mengeluarkan peserta didik karena tidak mampu membayar, dan
memerintahkan dinas kesehatan untuk membayar perawatan korban
AIDS.1055
Berkaitan dengan CR UU, MK menyadari bahwa dalam tradisi
sejarah yang panjang, sistem legislasi Kolumbia mengalami disfungsi.
Oleh sebab itu, MK sering mengeluh bahwa UU sering dihasilkan
tanpa proses deliberatif oleh wakil rakyat. Konggres seringkali hanya
menerima begitu saja usulan eksekutif tanpa pembahasan yang
memadai
sehingga
dalam
sebuah
putusan
MK
mengatakan
dibutuhkannya suatu reformasi “was the result of and indiscriminate
decision to tax a great quantity of completely different goods and
services that was not accompanied by even a minimum of legislative
deliberation,
raising
the
principle
of
“no
taxation
without
representation.”1056 Pada perkara yang lain, MK menegaskan bahwa
kebutuhan untuk melakukan pembahasan secara terbuka suatu UU
diperlukan guna menjamin bahwa “keterwakilan rakyat benar-benar
terwujud secara efektif…dan nilai-nilai demokrasi dan prinsip-prinsip
transparansi serta publisitas sehubungan dengan aktivitas legislatif
1054
David Landau, op.cit., hlm. 343.
1055
Ibid.
1056
Putusan No. C-776/2003.
commit to user
373
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan terjamin.”1057 Dalam putusan yang lain, MK mengakui adanya
praktik pemberian uang sogok dari pemerintah kepada wakil rakyat
untuk memperoleh persetujuan dalam pembahasan UU. Mengenai
penyebabnya, MK mendiagnosisi bahwa, ”Disebabkan oleh kelemahan
partai politik di Kolumbia, pemberian uang terang-terangan dari
pemerintah kepada wakil rakyat di Konggres untuk memperoleh
dukungan mereka…hendaknya dipahami….Hal ini karena pergerakan
politik dan kepartaian di Kolumbia tidak bekerja sebagai organisasi
yang koheren tetapi sebagai perkumpulan politisi regional, yang
menempatkan kepentingan lokal dan spesifik.”1058 Masih berhubungan
dengan CR terhadap UU, di mana ketika tidak ditemukan dominasi
eksekutif sekalipun, tetapi MK akan membatalkan UU yang diketahui
bahwa
dalam
proses
pembahasannya
Ketua
Konggres
tidak
memberikan waktu yang cukup untuk perdebatan (misalnya hanya
secara resmi membuka sidang, lalu menutupnya tak lama kemudian
untuk segera dilakukan pemungutan suara tanpa ada pernyataan
apapun).1059 Bahkan, MK tidak segan untuk membatalkan UU yang
ternyata diketahui bahwa Pimpinan Konggres gagal melakukan
rekaman pembahasan, mencetak di dalam jurnal legislasi, atau
publisitas lain yang menyangkut isi pembahasan UU, yang mana
bahwa pembahasan suatu UU mencakup juga debat dan voting.1060
Dalam beberapa putusan yang lain, MK membatalkan UU yang
seolah-olah dilakukan pembahasan akan tetapi pimpinan rapat
menghambat pembicaraan dan sebaliknya mengarahkan debat agar
segera mengambil putusan.1061
1057
Putusan No. C-754/2004.
1058
Putusan No.C-1168/2001.
1059
Putusan No. C-754/2004.
1060
Putusan No. C-760/2001.
Putusan No. C-754/2004,commit
Putusan No.
C-668/2004
to user
Putusan No. C-370/2004 dan Putusan No. C-801/2003.
1061
, Putusan No. C-372/2004,
374
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam perkembangan kinerjanya, MK mendorong terciptanya
teori baru mengenai sistem pemisahan kekuasaan yang menempatkan
peran MK sebagai pengawas bagi cabang eksekutif dan bahkan sebagai
inisiator kebijakan yang berdasarkan nilai-nilai substantif yang
diturunkan dari ketentuan UUD. Dalam sebuah kasus yang terkenal,
MK menegaskan bahwa pelembagaan “tutela” merupakan “sebuah
kompensasi, di dalam demokrasi konstitusional, dengan memperkuat
pengujian UU, di mana secara sempurna akan mengendalikan dan
mempertahankan tertib konstitusi. Cara ini hanya merupakan hal untuk
membangun
keseimbangan
dan
kolaborasi
sejati
diantara
penyelenggara negara; di satu sisi, dominasi kehendak eksekutif.”1062
Dalam
menyeimbangkan
konteks
kembali
transisi
otonomi
demokrasi,
Presiden
MK
berhasil
untuk
membuat
keputusan sepihak (yang tidak berhubungan dengan pembentukan
UU), sekalipun ditetapkan oleh UUD, atau dalam hal menyatakan
negara dalam keadaan darurat. Menurut MK, delegasi legislasi
merupakan sesuatu yang luar biasa yang bersifat istimewa dan harus
dipahami memiliki keterbatasan di segala hal.1063 Delegasi semacam
itu bertujuan “to reduce the capacity of the government to exercise
legislative functions through constitutional delegation.”1064
Sehubungan dengan pemberlakuaan keadaan darurat, statistik
menunjukkan bahwa diantara 12 keputusan pemberlakuan sejak 1991,
MK membatalkan 3 keputusan presiden dan membatalkan untuk
sebagian keputusan tersebut sebanyak 3 perkara. Bahkan, saat MK
mengesahkan pemberlakuan darurat, tetapi MK juga membatalkan
keputusan-keputusan substantif yang dikeluarkan sebagai efek
pemberlakuan tersebut.1065 Diantara mayoritas perkara yang diajukan
1062
Putusan No. C-406/1992.
1063
Putusan No. C-702/1999.
1064
Putusan No. C-702/1999.
1065
David Landau, op.cit., hlm. 351.
commit to user
375
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemeriksaan di awal keberadaan MK (1992-1994), ada 6 keputusan
yang dibatalkan baik untuk keseluruhan maupun sebagian. Perlu
diketahui,
bahwa Kolumbia telah menghabiskan 82% waktu
penyelenggaraan negara di bawah keadaan darurat yang ditetapkan
oleh Presiden dalam dekade 1970-1980-an, tetapi kemudian menurun
menjadi 17,5% antara 1991-2002.1066
4. Transisi Demokrasi dan Mahkamah Konstitusi di Asia
a. Kasus Korea Selatan
(1) Desain Transisi Demokrasi
Politik Korea Selatan ditandai dengan intervensi militer jangka
panjang. Dominasi militer dan pengaruh membentang untuk jangka
waktu tiga dekade. Petualangan politik militer dimulai pada tahun
1961 ketika militer yang dipimpin oleh Jenderal Park Chung Hee
melancarkan kudeta terhadap Presiden Chang Myon. Myang
merupakan politisi sipil dan penggantinya, Syngman Rhee, yang
dipaksa mengundurkan diri oleh demonstrasi mahasiswa pada tahun
1960. Motif kudeta itu karena pemerintah Myon Chang dianggap gagal
menangani kerusuhan sosial, kekacauan publik dan protes mahasiswa
yang berlebihan.1067 Chang Myon dan kepemimpinan sipil juga
dianggap tidak mampu untuk meningkatkan kinerja ekonomi negara
dan menangani ancaman komunis secara memuaskan.
Meskipun wacana dominasi militer dan pengaruh dalam
politik Korea Selatan telah stabil dibandingkan dengan Thailand,
Korea Selatan juga mengalami kudeta militer kedua 1979/1980 yang
membawa Chun Doo Hwan kekuasaan.1068 Sebelumnya terjadi
1066
Ibid.
1067
B.C. Koh, “South Korea in 1996: Internal Strains and External Challenges,” Asian
Survey, Vol. 32, No. 1, 1997, hlm. 260.
1068
Kebanyakan ahli politik Korea Selatan mengakui bahwa Korea Selatan mengalami
2 kali kudeta. Kudeta yang pertama adalah sebagaimana dipahami umum (klasik) pada tahun 1961,
sementara kudeta yang kedua adalah khas dan diinterpretasikan secara berbeda di antara para
to user
sarjana mengenai waktu pelaksanaannya.commit
Young-Chul
Paik, misalnya, berpendapat bahwa kudeta
kedua terjadi pada tanggal 12 Desember tahun 1979 ketika Chun Doo Hwan dan pengikutnya
376
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembunuhan terhadap Park pada tahun 1979 oleh Direktur Korean
Central Intelligence Agency (KCIA), Kim Jae-kyu, yang menciptakan
ketegangan politik. Sebuah kepemimpinan sipil di bawah Choi Kyuhah tidak mampu mengurangi ketegangan dan memenuhi tuntutan
mahasiswa untuk penghentian kekuasaan militer, liberalisasi politik
dan demokratisasi. Bahkan, ketegangan meningkat, demonstrasi dan
mendorong kerusuhan publik.1069 Situasi ini memberikan alasan bagi
militer untuk mengambil semacam "langkah yang diperlukan" dengan
menyatakan darurat militer, mahasiswa menekan dan memaksa Choi
Kyu-hah untuk mengundurkan diri. Sejak Chun Doo Hwan terpilih
menjadi Presiden, ia telah mengabaikan tuntutan mahasiswa dan terus
menerapkan aturan Park sampai ia digantikan oleh mantan teman
sekelasnya, Roh Tae Woo Umum, pada tahun 1988. Selama periode
1961-1988, sifat rezim Park dan Chun adalah otoriter. Perbedaan
antara Park dan rezim Chun terletak pada sumber basis kekuatan.
Sementara Park menikmati kekuatan pribadi untuk mengendalikan dan
menggunakan kekuatan militer, basis kekuatan Chun lebih bergantung
pada New Militer Group, "kepemimpinan kolektif pemimpin (militer)
di lingkaran senior.”1070
Transisi demokrasi di Korea Selatan dimulai pada bulan Juni
1987 yang menandai langkah awal penarikan militer dari politik
bertahap. Pada saat itu, Presiden Chun berjanji untuk menyerahkan
ditangkap Penguasa Darurat Militer, Jenderal Chong Lagu-hwa, dan mengambil alih komando
militer. Tim Sorrock dan C.I. Eugene, di sisi lain berpendapat bahwa kudeta terjadi pada 17 Mei
1980 saat Chun menyatakan darurat militer nasional yang memberinya tugas untuk
mempertahankan hukum dan ketertiban dan untuk mengendalikan urusan pemerintahan. Dengan
ini "perselisihan pendapat" ini, Kwang H. Ro mencoba untuk moderat dengan menyatakan bahwa
tahun 1979 adalah terjadinya "kudeta awal" dari kudeta tahun 1980. Sementara itu, SM Koh
mengatakan bahwa gerakan militer 1979 adalah "langkah pertama dalam pengambilalihan Chun
pemerintah tahun berikutnya.” Lihat: Young-CulPaik, “Political Reform and Democratic
Consolidation in Korea,” loc.cit.
1069
Lihat: ; C.I. Eugene, “The South Korean Military and Its Political Role,” dalam
Ilpyong J. Kim dan Young Whan Kihl (Editors), 1988, Political Change in South Korea, New
York: The Korean PWPA, Inc., hlm. 99-101.
1070
Ibid.
commit to user
377
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuasaan pada tahun berikutnya dan untuk mengamandemen
konstitusi. Perdebatan adalah tentang sistem pemilihan presiden
berikutnya, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.
Seperti
perdebatan
menciptakan
ketegangan
Chun
ditangguhkan dan menegaskan bahwa pemilihan presiden berikutnya
akan dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan konstitusi
yang ada. Hal ini membuat marah mahasiswa, partai oposisi, dan
aktivis buruh. Dalam pikiran dari kelompok-kelompok pro demokrasi,
pemilihan langsung presiden itu "dirancang oleh Chun dan DJP untuk
menjaga oposisi dari mengambil kekuasaan dan mengabadikan kontrol
militer atas negara.”1071 Dalam beberapa bulan berikutnya, partai-partai
oposisi, mahasiswa, kelompok agama Protestan dan Katolik, anggota
serikat buruh, dan kelas menengah yang terorganisir melakukan
demonstrasi besar-besaran. Menariknya, beberapa anggota Parlemen
dari partai yang berkuasa mendukung gerakan tersebut. Mereka
mendukung slogan demonstran, "Orang ingin pemilihan langsung.
Orang-orang sudah muak dengan politik berjalan militer" dan "Kita
harus menyingkirkan bau barak militer dari partai kami." Gerakan ini
akhirnya memaksa militer untuk menerima tuntutan publik untuk
pemilihan presiden langsung dan reformasi politik.1072Konstitusi 1987
kemudian disahkan. Ketentuan UUD mengaturn pemilihan presiden
langsung dan reformasi politik yang dengan segala cara berimplikasi
terhadap militer. Dalam hal ini, salah satu analis berpendapat bahwa
"Orang-orang, mungkin untuk pertama kalinya, telah memaksa militer
untuk kembali ke barak dan siap untuk pemerintahan sipil."1073
Roh Tae Woo, kandidat Presiden dari partai penguasa
Democratic Justice Party (DJP), pada pemilu yang diselenggarakan
Tim Shorrock, “South Korea, Chun, the Kims and the Constitutional Struggle”,
Third World Quarterly, Vol. 10, 1988, hlm. 96.
1071
1072
Ibid., hlm. 103.
1073
Ibid.
commit to user
378
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada bulan Desember 1987 melalukan terobosan demokratisasi.
Terobosan itu diawali dengan peluncuran terlebih dahulu apa yang
dikenal sebagai “Deklarasi 29 Juni.” Sejak saat itulah, Korea Selatan
telah melaksanakan 5 kali pemilu dan 4 kali pemilihan presiden,
tindakan
untuk
mempertahankan
demokrasi
presidensial.1074
Persetujuan pemilihan presiden langsung, membuat pemilu adalah
satu-satunya jalan untuk membentuk pemerintahan, menggerogoti
kekuatan basis militer. Dengan mekanisme baru ini, militer tidak
mempersiapkan skenario untuk kepemimpinan nasional dan bagi
kelangsungan kekuasaan militer. Terpilihnya Jenderal Roh Tae Woo
karena perpecahan dari kekuatan oposisi. Bahkan, di bawah konstitusi
baru Roh memainkan peran dalam mengurangi kekuatan militer.
Sekalipun Presiden Roh dipilih oleh rakyat, legitimasinya
rendah karena ia juga merupakan pemimpin militer. Meskipun Roh
Tae Woo memberikan kontribusi yang signifikan dalam liberalisasi
politik, hubungannya dengan New Militer Group dan keterlibatannya
dalam pembantaian Kwangju, membuat dia setengah hati dalam
membangun demokrasi. Dengan demikian otoritarianisme masih
ditandai rezimnya. Di bawah pemerintahannya militer itu "masih
pasukan kuat dalam masyarakat Korea, tetapi memegang pengaruh
yang kuat dalam politik Korea dan mantan petugas masih
mendominasi bidang utama politik dan masyarakat." Elit otoritarian
Korea Selatan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkelanjutan dengan
kalangan
democrat.
Selanjutnya,
sesudah
permulaan
transisi
demokrasi, bermacam-macam tuntutan publik tidak terpenuhi secara
memuaskan. Situasi ketidakstabilan sosial ekonomi berlanjut dengan
1074
Sistem presidensial sudah dijalankan di Korea Selatan sejak negara ini memperoleh
kemerdekaan pada 1948, dengan diselingi masa pendek parlementer pada 1960. Sekalipun pilihan
parlementerisme ini sudah mengemuka sejak 1948, realisasinya menimbulkan kelemahan politisi
dan kemungkinan untuk terjadinya kudeta miluter. Dalam demokratisasi pada 1987, rakyat
menghendaki pemilihan presiden langsung dan bukan dengan pilihan tidak langsung oleh rezim
otoritarian. Sebagai konsekeunsinya, implementasi presidensial berdasarkan pemilihan langsung,
yang mengakhiri pemerintahan militer. Lihat:
De-Kyu
Yoon, “Constitutionalism in Korea”, Asian
commit
to user
Affairs, Vol. 25, 1994, hlm. 181.
379
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aksi para mahasiswa dan buruh yang menyebabkan pemerintah tidak
bisa bekerja secara efisien. Guna melindungi jabatan dan jaminan
keamanan pribadi sesudah tidak di pemerintahan, Presiden Roh
menyusun sebuah “grand conservative rulling coalition” dengan
kalangan pemimpin oposisi terkemuka.
Jalan transisi demokrasi selanjutnya berdasarkan kompromi
antara kelompok otoritarian dan kalangan oposisi. Konsolidasi
demokrasi tercipta saat pelantikan Presiden Kim Young Sam, presiden
sipil pertama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, pada 25 Februari
1993. Sebagai sosok sipil, Kim memperoleh dukungan tinggi (41,4%)
dibandingkan Roh. Dampak dari pemilu presiden diberikan terhadap
pemerintahannya baik legitimasi untuk menjalankan pemerintahan
maupun untuk memperkuat kebangsaan.1075 Dengan dukungan tinggi
publik
dalam
pemerintahannya,
Kim
menjalankan
program
pemberantasan korupsi, menjalankan supremasi sipil sebagai bentuk
reformasi militer, menjalankan sistem transaksi keuangan nyata, dan
mengubah UU politik. Dengan gagasan dan kendalinya sendiri,
reformasi Kim menyumbang kepada konsolidasi demokrasi dengan
mengurangi kepentingan rezim otoritarian, dengan memperkuat
legitimasi pemerintahan sipil, dan melengkapi aspek legal dan formal
dari demokrasi “to create a climate for clean and frugal politics.”1076
Tetapi, sekalipun ditentukan dan dikendalikan sendiri oleh
Kim, program-program tersebut begitu luas dan terlalu ambisius. Oleh
sebab itu, program tersebut tidak memperoleh dukungan baik dari
kelompok berkepentingan maupun kalangan reformasi. Ketimpangan
dukungan ditunjukkan dengan gaya kepemimpinan Kim, yang dinilai
“disregarded laws, and to the democratic decision-making process
1075
Soong-Hoom Kil, “Political Reforms of the Kim Young Sam Government”, Korea
and World Affairs, Vol. 17, 1993, hlm. 419.
Young-Chul Palk, “Political
Reform
and Democratic Consolidation in Korea”,
commit
to user
Korea and World Afairs, Vol. 18, 1994, hlm. 734-735.
1076
380
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
that was characteristic of his staff.”1077 Jadi, sekalipun Kim
mempunyai motivasi dan kehendak yang kuat, “his capabilities did not
backup his desire.”1078
Krisis ekonomi 1997 menyapu dan menghapus dukungan
publik terhadap kepemimpinan Kim. Pada bulan Maret 1993, tingkat
dukungan publik masih 70,9%, tetapi di Desember 1997 merosot
hanya tinggal 6,1%. Kim sungguh-sungguh kehilangan popularitas di
akhir masajabatan. Pemerintahannya juga mengalami krisis legitimasi
karena anak laki-lakinya, Kim Hyun-Choul terlibat dalam skandal
korupsi.
Sesudah pemilu Desember 1997, Kim Dae-jung terpilih
sebagai Presiden. Setelah pelantikannya pada bulan Februari 1998,
pemerintah Kim dimulai dengan program reformasi sistem politik dan
ekonomi. Dengan kegigihan tersendiri, tim transisi Kim mengadopsi
100 langkah-langkah reformasi yang akan dicapai selama masa
jabatannya. Namun, kebijakan reformasi ekonomi pemerintah akan
efektif jika dukungan politik dalam negeri yang tersedia untuk
meneruskan legislasi di Majelis Nasional. Presiden Kim mengalami
kesulitan sejak awal dalam mendorong langkah-langkah reformasi
yang diperlukan berlakunya legislatif melalui Majelis Nasional.
Selama 6 bulan pertama tahun 1998, mayotias dari 100 tindakan
reformasi besar gagal terwujud karena kurangnya dukungan legislatif
dan
kompromi
partisan.
Untungnya
Majelis
Nasional
telah
memberlakukan 13 UU reformasi keuangan bulan Desember 1997,
yang memungkinkan Presiden Kim Dae-jung untuk mengidentifikasi
dan mengkonsolidasikan paket besar reformasi menjadi 4 hal khusus
yaitu keuangan, perusahaan, tenaga kerja, dan sektor perusahaan
publik. Ironi sejarah menunjukkan Presiden Kim Dae-jung mencapai
1077
Jun-ki Miin, “Democratization in South Korea and Evaluation of Kim Young Sam
Government”, Social Science Research, Vol. 23, 1997, hlm. 46.
1078
Ibid., hlm. 55.
commit to user
381
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prestasi lebih dari standar kebanyakan presiden Korea sejak tahun
1987. Membawa perekonomian Korea Selatan keluar dari jurang krisis
keuangan Asia 1997-98 dalam 2,5 tahun, menjelang target 4 tahun
sebagaimana yang ditetapkan oleh IMF, Kim meletakkan dasar bagi
ekonomi Korea yang kompetitif dan lebih transparan.
Selama kepresidenan Kim, Korea Selatan menjadi lebih
demokratis, terhubung ke Internet, dan berdasarkan pada infrastruktur
pengetahuan intensif. Pemerintahan Kim mempromosikan diri lebih
bebas, lebih terbuka ke masyarakat global, dengan menunjukkan
prestasi ke seluruh dunia selama co-hosting dari Piala Dunia dan Asia
Games Busan pada tahun 2002. Rakyat Korea cenderung keras
terhadap kewajiban presiden menjelang akhir masa jabatannya
berakhir. Akan tetapi, Presiden Kim Dae-jung kehilangan popularitas
dan dukungan di tahun terakhir, yang sebagian besar keputusan
sendiri. Kim hanya menyalahkan dirinya sendiri. "Bahkan para
pendukungnya mengatakan Kim lebih baik sebagai oposisi daripada
menjadi
Presiden."
Kebiasaan
Presiden
Kim
Dae-jung
yang
mengandalkan sebuah lingkaran kecil keluarga dan teman-teman
dengan rasa percaya diri yang berbatasan dengan kesombongan
membantunya
bertahan
hidup
sebagai
pembangkang.
Sebagai
Presiden, sifat itu menjadi kewajiban. Kim berlari menjalankan
kepresidenan layaknya seorang Kaisar.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Sebelum demokratisasi pada 1987, Korea Selatan telah memiliki
sejarah panjang dengan pembentukan badan yang berfungsi untuk
mempertahankan UUD. Sejak merdeka tahun 1948, Korea telah
mempunyai badan untuk melakukan fungsi CR. sekalipun mempunyai
nama yang berbeda-beda untuk setiap periode, badan serupa itu tetap
bertahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Korea Selatan
merupakan negara yang memiliki pengalaman dengan banyak
commit to user
382
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perubahan mengenai sistem CR dalam periode yang berbeda-beda.1079
Menurut Yan,”since its establishment of the first Democratic
Constitution in 1948, Korea has had a judicial system in one from or
another varying from the European to the American mixed. With
eachchange of government and the consequent Constitutional revision,
the judicial review system also changed.”1080 Sejak kemerdekaan 1948
hingga dewasa ini, perubahan sistem CR dibagi ke dalam 6 periode.
Dalam Republik I (1948-1960), CR dilakukan oleh Komite
Konstitusi (Constitutional Committee). Di dalam praktik, badan ini
mencerminkan kelembagaan yang menggabungkan antara model
Jerman dan model Prancis. Selama 11 tahun keberadaannya, komite ini
hanya menyelesaikan 7 perkara, dan diantaranya adalah membatalkan
2 UU.1081 Pada masa Republik II (1960-1961), nama ini diubah
menjadi MK. Pembentukan badan ini dipengaruhi oleh keberhasilan
fungsi MK Jerman Barat. Hal ini nampak pada saat pembentukan
UUD 1960, para perancang sesudah memperhatikan tuntutan
mahasiswa, mengadopsi model Eropa dalam membentuk pengadilan
konstitusi. Sayangnya, MK tidak pernah menjalankan fungsinya
karena pada tahun 1961 terjadi kudeta militer.1082 Dalam periode
Republik III (1961-1972), fungsi CR dilekatkan kepada MA. Dalam
hal ini, berarti fungsi CR mengadopsi model Amerika. Di dalam
praktik, sekalipun pengadilan di tingkat lebih rendah kadang-kadang
melakukan CR, akan tetapi karena kecemasan terjadinya politisasi
maka MA memilih untuk tidak menggunakan wewenang tersebut.
1079
Kun Yan, 2005. Judicial Review and Social Change in the Korean Democratizing
Process, Seoul, University of National Press, hlm. 1.
1080
Ibid.
1081
Ibid., hlm. 11.
1082
Ibid., hlm. 12.
commit to user
383
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Oleh sebab itu, dalam 10 tahun pelaksanaan fungsi ini, hanya sekali
MA membatalkan UU.1083
Sementara itu, pada masa Republik IV (1972-1981) dan pada
Republik V (1981-1987) CR dipertahankan dijalankan oleh Komite
Konstitusi. Komite ini tidak pernah melaksaanakan CR. Hal ini
disebabkan karena berada dalam lingkungan pemerintah yang otoriter.
Dapat dikatakan sepanjang perideo ini, tidak pernah sekalipun komite
ini memutus perkara CR. sepanjang 1972-1987, MA mengambill alih
peran untuk mendefisinikan konstitusionalisme, sementara komite
bersifat pasif.1084
Dewasa ini, dalam masa Republik VI (1987-sekarang),
kelembagaan CR dilakukan oleh MK. Di samping pembatasan masa
jabatan Presiden, pembentukan MK merupakan ciri substansi paling
penting dari UUD 1987. Mengenai alasan pembentukan MK, Hakim
Yon Joon Kim mengatakan, “for those countries lacking a tradition of
judicial review, and especially those still struggling to cast aside their
historical baggage of authoritarianism, the establishment of an
independent constitutional court will hel to promote specialized
adjudication of constitutional issues as well as uniformity and
effieciency in the application of constitutional norms.”1085
Pembentuk UUD menganggap pembentukan MK diharapkan
menjadi “quiescent institution” dan pembadanan demokrasi baru di
Korea Selatan. Ketentuan UUD Korea Selatan memiliki bab tersendiri
(Bab 6) yang didedikasikan untuk kompetensi, status, dan fungsi MK
selain
pengadilan
umum,
yang
menekankan
identitas
dan
independensi. Berdasarkan kompetensi tersebut MK berkedudukan
sebagai salah satu lembaga tinggi negara, yang mempraktekkan prinsip
1083
Ibid., hlm. 14.
1084
Ibid., hlm. 21.
Kim Yong-Joon, “Constitutional
commitAdjuciation
to user and the Korean Experience”, Harvard
Asia Quarterly, Vol. 4, No. 1, 2000.
1085
384
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemisahan kekuasaan dan mengendalikan pelanggaran pemerintah
kekuasaan
dengan
mengasumsikan
fungsi
pengendalian
dan
menyeimbangkan kekuasaan negara. Meskipun MK diatur dalam bab
tersendiri dan terpisah dari pengadilan umum (termasuk MA), tidak
berarti inti dari fungsi yudisial tidak diatur, yaitu ajudikasi
konstitusional. Sebaliknya, pemisahan pengaturan dalam UUD dapat
dianggap sah sebagai dasar konstitusional bagi sifat dan fungsi unik
MK. Sementara itu, Pasal 111 ayat [1] UUD menetapkan 5 bidang
sebagai yuridiksi MK: CR atas UU menurut permohonan pengadilan
umum, pemakzulan, pembubaran partai politik, sengketa kompetensi
antar lembaga negara, antara lembaga negara bagian dan pemerintah
lokal dan antara pemerintah daerah, dan keluhan konstitusional
(constitutional complaint) seperti yang ditentukan oleh UU. Yurisdiksi
Mahkamah Konstitusi Korea pada jenis kasus tersebut mirip dengan
sistem pengadilan konstitusional lainnya dengan beberapa variasi.
Sejak didirikan pada akhir 1988 dan sampai dengan 31 Mei
2013 MK telah menghasilkan 23.040 putusan. Sementara khusus
kewenangan CR, hingga 31 Mei 2013 telah diselesaikan 763
perkara.1086 Kinerja ini menunjukkan MK sebagai institusi yang paling
efektif di Korea Selatan. Dalam jajak pendapat terbaru, MK
memperoleh peringkat tertinggi diantara badan-badan pemerintahan.
Bagi lembaga yang awalnya dipandang remeh, catatan ini merupakan
pencapaian yang luar biasa.
Tidak ada keragu-raguan terhadap putusan MK, yang dalam
mayoritas perkara mampu menyelesaikan perselisihan diantara para
pihak dan dianggap netral dan mimiliki legitimasi. Tetapi ada juga
faktor struktural yang menyumbang bagi prestasi MK, yang
diantaranya adalah seringnya muncul sengketa kewenangan diantara
badan-badan pemerintah. Oleh sebab itu, MK memandu secara
1086
commit to user
Lihat data: www.ccourt.go.kr, diakses 18 Juni 2013 di Surakarta.
385
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertahap mekanisme peradilan politik, yang mana mayoritas masalah
politik dan sosial semakin ditentukan di ruang persidangan
dibandingkan dengan cara penyelesaian politik konvensional.
Pengadilan terdiri dari 9 hakim yang memegang jabatan 6 tahun
yang diangkat dan berhenti bersama-sama. Sebanyak 3 orang hakim
masing-masing diajukan oleh MA, Majelis Nasional, dan Presiden.
Hingga sekarang sudah ada 25 orang yang (pernah) menjadi hakim
dengan beragam latar belakang profesi seperti hakim, penuntut umum,
dan politisi. Setiap pelaksanaan wewenang MK, dapat ditetapkan
putusan apabila didukung oleh sekurang-kurangnya 2 orang hakim.
Di dalam praktik MK telah banyak terlibat dalam mengubah
rezim militer-birokrasi Korea menjadi demokrasi konstitusional,
sebagian besar dengan CR terhadap UU yang ditetapkan oleh rezim
sebelumya.1087 Pada saat yang sama, kekuatan politik baru dalam
demokrasi sering berusaha untuk menempatkan posisi mereka melalui
politisasi UU secara curang. Sehubungan dengan ini, MK telah
melakukan beberapa pekerjaan penting dalam menyeimbangkan antara
kekuatan politik baru dan di saat yang sama berperan sebagai alat
transformasi
menandai
keterputusan
dari
masa
lalu.
Banyak
perselisihan yang dirancang untuk membatasi peran serta dalam proses
politik, dan MK telah konsisten untuk memihak kepentingan minoritas
politik. Misalnya, partai minoritas mengajukan pemeriksaan CR
terhadap UU Pemilu Lokal Tahun 1990, yang mengharuskan biaya
pendaftaran yang besar dari setiap calon. Ketentuan ini dianggap
sebagai disinsentif yang kuat bagi partai minoritas untuk mengajukan
calon. Dalam putusan, MK menganggap ketentuan tersebut melanggar
jaminan kesetaraan menurut UUD, karena mencegah calon yang tulus
tapi miskin sumber daya untuk berpartisipasi.1088 Demikian pula, pada
tahun 1989 MK memabtalkan Pasal 33 Undang-Undang Pemilu
1087
Tom Ginsburg, JudicialReview in New Democracies, op.cit., hlm. 226-246.
1088
Putusan No. 91/2000, Putusan No. 12/2000, Putusan No. 134/2000.
commit to user
386
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anggota DPRD Nasional, yang memerlukan uang jaminan yang lebih
tinggi bagi calon independen dibandingkan kandidat yang berafiliasi
dengan partai. Dalam putusannya, MK mengidentifikasi hak untuk
memilih dan mencalonkan diri sebagai
inti kebebasan demokratis
yang harus diberikan setara.1089 Pada tahun 1992, MK membatalkan
ketentuan UU yang sama yang menentukan calon berbasis partai lebih
diprioritaskan dibandingkan calon independen dalam penampilan
kampanye dan selebaran.1090
Pada tahun 1995, MK menemukan ketentuan dalam UU Pemilu
Nasional tidak sesuai karena secara proporsional terjadi representasi
berlebihan untuk daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan.1091
Seperti di Jepang, Korea telah merancang untuk memaksimalkan
pengaruh daerah pedesaan dengan mengorbankan pemilih perkotaan.
Merujuk sebagain kasus di Jepang, Jerman dan Amerika, MK
menetapkan batas eksplisit 01:04 disproporsionalitas antara daerah
pemilihan di perkotaan dan pedesaan. Pengadilan juga telah banyak
terlibat dalam isu-isu politik dan sejarah yang sensitif. Misalnya, MK
memeriksa untuk mempertimbangkan apakah legislatif melakukan
suatu kelalaian inkonstitusional karena gagal untuk memulai
penyelidikan ke dalam pembantaian yang dilakukan dalam Perang
Korea. Dalam putusan tersebut, MK menemukan bahwa Konstitusi
tidak menciptakan hak individual berkeadilan dengan merujuk kepada
pertimbangan legislatif.1092
Dalam
salah
satu
rangkaian
terkemuka
perkara
pada
pertengahan 1990-an, MK ditarik ke persoalan keadilan retroaktif
untuk sebuah kasus yang terjadi pada 1980 dan terkenal sebagai
peristiwa “Insiden Kwangju”, di mana personil militer membantai
1089
Putusan No. 89/1989.
1090
Putusan No. 1/1992.
1091
Putusan No. 95/1995.
1092
Putusan No. 192/2000.
commit to user
387
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ratusan demonstran yang melakukan aksi damai.1093 Dua perwira yang
terlibat dalam insiden itu (dan kudeta militer sebelumnya dari tahun
1979) di kemudian hari menjadi Presiden, yaitu Chun Doo-hwan
(1979-1987) dan Roh Tae-woo (1988-1993). Ketika Presiden Kim
Young-Sam (1993-1998) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1992,
jaksa menyelidiki Chun dan Roh dan menemukan bahwa pemeriksaan
itu akan menimbulkan risiko politik yang tinggi sehingga harus
dihentikan. Penghentian perkara ini diajukan ke MK dan pengadilan
diminta untuk menguji ketentuan UU mengenai batas kadaluwarsa
pemeriksaan yang diatur selama 15 tahun. Pada Januari 1995, MK
mempertahankan masa kedaluwarsa itu dengan juga menegaskan
bahwa menurut UUD, setiap Presiden tidak dapat dituntut secara
hukum,
kecuali
pemberontakan.
atas
alasan
Namun,
MK
melakukan
tidak
pernah
pengkhianatan
melarang
dan
adanya
penuntutan kepada Chun dan Roh terkait dengan kebijaksanaan
sepanjang kepresidenan mereka.
Majelis Nasional, yang dikendalikan oleh partai Kim Youngsam, lalu mengeluarkan undang-undang khusus untuk memfasilitasi
penuntutan terhadap Chun dan Roh. Akan tetapi UU ini diajukan
pemeriksaan ke MK dan dalam sebuah putusan yang controversial
pada tahun 1996, MK mendukung UU tersebut, walaupun mayoritas
hakim menyatakan penolakan dalam dissenting opinion. Putusan MK
memungkinkan jaksa untuk mendakwa Chun dan Roh, dan kedua
orang itu dinyatakan bersalah. Chun dijatuhi hukuman mati dan Roh
dipidana 22 tahun penjara. Akan tetapi kedua orang itu kemudian
memperoleh pengampunan melalui inisiatif Presiden terpilih Kim Daejung pada bulan Desember 1997. Padahal Kim, yang saat Insiden
Kwanju merupakan aktivis pro-demokrasi, merupakan sosok yang
ditargetkan untuk dibunuh oleh kedua mantan presiden itu.
J.M. West, “Martial Lawlessness:
theuser
Legal Aftermath of Kwangju”, Pasific Rim
commit to
Law and Policy Journal, Vol. 6, 1997, hlm. 85.
1093
388
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Kasus Taiwan
(1) Desain Transisi Demokrasi
Taiwan merupakan kasus yang sangat menarik karena
pembentukan dan pengembangan CR sesuai dengan transisi dari rezim
otoriter ke demokrasi yang muncul. Sarjana lain telah mengidentifikasi
kasus Taiwan sebagai salah satu keberhasilan di mana MK telah
semakin diasumsikan menjalankan peran dengan relevan, tetapi pada
saat yang sama telah mampu menghindari reaksi yang berlebihan dari
para aktor politik. Taiwan mengalami hampir seabad kekuasaan
kolonial dan otoriter sebelum berubah menjadi demokrasi yang muncul
pada 1990-an.1094 Taiwan mempunyai konstitusi pertama kali saat
berada dalam koloni Jepang, sehingga termasuk dalam yurisdiksi
Konstitusi Meiji (1889). Akan tetapi, konstitusi ini diterapkan di
Taiwan hanya dalam konteks nominal saja, karena bagaimana
Konstitusi Meiji bukanlah konstitusi yang seluruhnya berwatak
demokratis.1095 Walaupun secara legal berada dalam cengkeraman
kekuasaan Jepang (1895-1945), Taiwan sebagai wilayah jajahan
dikecualikan dalam “ketentuan konstitusional” (constitutional rule)
yang berlaku di Kekaisaran Jepang. Misalnya, Jepang mendelegasikan
sebagian besar kewenangannya termasuk kekuasaan eksekutif dan
legislasi, kepada Gubernur Taiwan. Saat itu belum ada Parlemen di
Lihat ulasan soal ini dalam T.S. Wang, “The Legal Development of Taiwan in the
20th Century: Toward a Liberal and Democratic Country”, Pacific Rim Law & Policy, Vol. 11,
2002, hlm. 531-539. Lebih khusus, Taiwan diserahkan oleh Imperial China (Dinasti Ching) ke
Jepang pada tahun 1895 sebagai akibat dari Perang Sino-Jepang, dan menjadi koloni Jepang
selama lima puluh tahun sampai Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945.
1094
1095
Diundangkan pada tanggal 11 Februari 1889, Konstitusi Meiji menjadi ciri utama
dalam formasi negara Jepang modern dan dalam perjalanan Jepang untuk menjadi salah satu
kekuatan dunia yang beradab. Dirancang oleh Itō Hirobumi, sekelompok pemimpin pemerintah
lainnya, dan beberapa sarjana hukum Barat, dokumen itu disahkan oleh Kaisar Meiji dan
menetapkan Jepang sebagai monarki konstitusional dengan parlemen (disebut Diet) yang dipilih.
Itō dan rekan-rekannya mengambil banyak dari model konstitusi Barat dan terutama tradisi
konservatif Prusia, dalam menciptakan konstitusi yang masih mengakui kekuasaan yang hampir
tak terbatas untuk Kaisar. Kajian selengkapnya, antara lain: Timoty S. George, “Civic
Constitutional Activism in Modern Japan”, Paper presented as part of the symposium on
“Revising Japan’s Constitution: History,commit
Headlines,
Prospects” Reischauer Institute of Japanese
to user
Studies, Harvard University, November 21, 2008, hlm. 1-4.
389
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Taiwan, tidak pernah dilaksanakan pemilu demokratis. Sistem CR
tidak sepenuhnya berlaku, seperti halnya di Jepang. Hak dan
kebebasan individu secara tegas ditolak dan kemudian ditindas
pertama-tama oleh militer kolonial dan kemudian oleh kepolisian
setempat. Dengan kondisi itu, jika ditinjau dari perspektif sekarang,
“pemerintahan konstitusional” (constitutional government) merupakan
barang mewah.
Sesudah
Perang
Dunia
II1096,
Taiwan
mengalami
perkembangan yang unik karena memberlakuan 2 sistem bersamasama. Pertama, Taiwan mengadopsi ketentuan UUD China1097, tetapi
kemudian diterima dalam konteks lokalitas setempat.1098 Kedua,
1096
Pada akhir Perang Dunia II, pasukan Chiang Kai-shek, Presiden Taiwan (ROC) dan
Direktur Jenderal Partai Nasionalis China (Kuomintang, KMT) serta Panglima Tertinggi Sekutu di
wilayah Asia pada waktu itu, mengambil alih Taiwan atas nama Sekutu pada tahun 1945. Diikuti
oleh kekalahan Chiang dalam Perang Sipil Cina, pemerintah Taiwan KMT yang dipimpin
mengumumkan darurat militer di Taiwan pada Mei 1949, dan kemudian pada tahun yang sama
mundur dari daratan China ke Taiwan. Chiang dan KMT terus memerintah Taiwan, Penghu, dan
beberapa pulau terpencil Fujianese selama 55 sampai Partai Progresif Demokratik (DPP)
memenangi pemilihan presiden pada tahun 2000. Calon yang diajukan oleh DPP, Chen Shui-bian,
terpilih pada tahun 2000 dan terpilih kembali pada tahun 2004. Namun, KMT kembali berkuasa
setelah kandidatnya, Ma Ying-jeou, memenangkan pemilihan presiden tahun 2008.
1097
Cita-cita pembentukan konstitusi China mengadopsi gagasan Konstitusi Meiji.
Bahkan, menurut tokoh pergerakan China, Sun Yat Sen, Konstitusi Meiji telah memberikan
dorongan untuk tumbuhnya revolusi yang menumbangkan kekaisaran Dinasti Qing dan
membentuk dasar-dasar bagi republic China. Dikatakan oleh Koji Tanama, “When the Qing
government decided to reform political system in the last period of government in the beginning of
20th century, it sent the biggest delegation to Japan in order to hear the constitutional
governmental system. However, the reform was unsuccessful: the Qing dynasty collapsed by the
Xinhai Revolution. While the Xinhai Revolution was going on, Sun Yat-sen (孫中山) said, that the
Chinese National Party is on earth the loyalist in the Meiji restoration 50 year before, that Japan
was in those days only a weak state in the eastside, but since the growth of Imperial loyalists,
Japan stimulated to become a powerful state, and that patriots of our party also intended to
reform China, following after Japanese patriots. According to Sun Yat-sen, the Meiji restoration
in Japan was the cause of the Chinese revolution; the Chinese revolution was a result of Japan's
Meiji Restoration. Both were primarily connected with each other to achieve the reconstruction of
East Asia.” Lihat: Koji Tonami, “The Development of the Rule of Constitutional Law in Japan
after World War II“, Waseda University, hlm. 2.
1098
Pada kenyataannya, Konstitusi 1947 belum pernah benar-benar ditegakkan di
Taiwan karena beberapa alasan. Pertama, Majelis Nasional mengesahkan "Ketentuan Sementara
Efektif selama Periode Pemberontakan Komunis" ("Ketentuan Sementara") di Cina pada tahun
1948. Ketentuan ini menunda sementara banyak ketentuan konstitusi, dan memperkuat kekuasaan
Presiden sampai penghapusan ketentuan itu pada tahun 1991. Kedua, Konstitusi itu sendiri telah
commit tersebut
to user(disebut "Ketentuan Tambahan") dengan
diubah 7 sejak tahun 1991. Meskipun perubahan
tetap melestarikan teks asli Konstitusi, namun berbagai perubahan itu telah mengubah struktur
perpustakaan.uns.ac.id
390
digilib.uns.ac.id
Taiwan mengalami transformasi konstitusional dalam konteks
perubahan yang inkramental dan berpengaruh pada kehidupan
politik.1099 Ketiga, demokratisasi Taiwan telah bergerak tanpa identitas
nasional, walaupun rintisan pencarian itu sudah berlangsung sejak
1970-an.1100 Bersamaan dengan hal itu, Taiwan masih mencari
identitas nasional dalam kondisi terisolasi secara internasional dan
ancaman militer China.1101 Konstitusi (1947) yang dewasa ini berlaku
pemerintahan di dalam praktik politik secara signifikan. Konstitusi 1947 telah diubah pada tahun
1991, 1992, 1994, 1997, 1999, 2000, dan 2005. Namun, MK, menyatakan tahun Ketentuan
Tambahan 1999 inkonstitusional dan batal dalam Penafsiran Nomor 499 Tahun 2000 karena
perubahan itu mengizinkan Perwakilan dari Majelis Nasional untuk memperpanjang masa jabatan
sendiri selama hampir 3 tahun. Lihat: Sean Cooney, “Why Taiwan Is Not Hong Kong: A Review
of the PRC’s “One Country Two Systems” Model for Reunification with Taiwan”, Pacific Rim
Law & Policy, Vol. 6, 1997, hlm. 514.
1099
Sebuah contoh yang baik adalah pengaturan pemerintah pusat. Dalam Perubahan
Konstitusi tahun 1994 dan 1997, Presiden dipilih langsung oleh warga Taiwan, untuk masa jabatan
4 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu periode. Pengundangan perintah eksekutif tidak
memerlukan countersignature dengan Perdana Menteri dan pengangkatan Perdana Menteri tidak
lagi memerlukan persetujuan dari Parlemen. Selain itu, Presiden memiliki kekuasaan untuk
membubarkan Parlemen ketika melewati mosi tidak percaya terhadap Perdana Menteri.Ini
menunjukkan bahwa Taiwan telah mengadopsi sistem semi-presidensial sejak 1997. Namun, tidak
seperti negara-negara semi-presidensial lainnya, Taiwan tidak memiliki mekanisme konstitusional
atau ketentuan yang mengharuskan Presiden untuk memperhitungkan hasil pemilu parlemen dalam
memilih perdana menteri maupun budaya politik dari legislatif yang kuat, seperti tradisi Perancis,
yang mendesak Presiden untuk menerima "kohabitasi." Akibatnya, Taiwan mengalami kebuntuan
politik kronis antara eksekutif dan legislatif saat Presiden Chen Shui-bian dari partai DPP menolak
untuk berkoalisi dengan oposisi (disebut "Pan-Blue" Alliance: Aliansi ini dibentuk oleh KMT dan
Partai Rakyat Pertama (PFP), yang mendominasi Parlemen (2000-2008).
1100
Pada 1970-an, ada gerakan diselenggarakan oleh intelektual untuk membawa
budaya asli Taiwan ke dalam pikiran dan hati masyarakat umum, bisa disebut sebagai pencarian
jiwa budaya. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan mentalitas: "Taiwan adalah tanah air dan
kita akan tinggal di sini selamanya." Budaya Taiwan memiliki karakter yang unik dan tidak harus
dilihat hanya di bawah bayang-bayang budaya Cina. Pada 1970-an, melalui gerakan masyarakat
adat sastra, gerakan musik kampus, gerakan tari modern Taiwan, dan gerakan lokalisasi ilmu
sosial, yang membawa Taiwan sebagai tanah air dan sebagai budaya ke dalam kesadaran kolektif.
Lihat: Hsin-huang Michael Hsiao, “Recapturing Taiwan’s Democratization Experience”, First
Biennial Conference, 15-17 September 2005 International Convention Centre Taipei, Taiwan,
hlm. 2.
1101
Konflik saat ini antara China dan Taiwan awalnya dimulai pada tahun 1949 ketika
Chiang Kai Shek dan para pengikutnya melarikan diri ke Taiwan setelah kekalahan mereka oleh
komunis Cina dalam perang sipil China, yang meletus segera setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Beberapa krisis lintas-selat telah terjadi sejak saat itu, dan konflik antara Cina dan Taiwan telah
berlanjut sampai awal abad 21. Meskipun tampaknya tidak ada solusi akhir untuk masalah Taiwan
di masa mendatang, salah satu perkembangan di Selat Taiwan yang menarik perhatian banyak ahli
'adalah peningkatan secara drastis hubungan ekonomi antara China dan Taiwan. Banyak orang
commit
user pada hubungan China-Taiwan karena
percaya bahwa perkembangan ini memiliki
efektopositif
menurut pandangan liberal, hubungan ekonomi antara negara negara akan mengarah ke
perpustakaan.uns.ac.id
391
digilib.uns.ac.id
di Taiwan, bukanlah berasal dari negara ini, akan tetapi dipaksakan
berlaku oleh China sesudah pengesahan tahun 1947. Tranplantasi
konstitusi China tersebut tidak pernah menciptakan pemerintahan
demokratis, karena pemilu untuk pertama kali baru dilaksanakan pada
1991.
Transisi demokrasi dipicu oleh gelombang protes dan aksi
massa pada pertengahan 1980-an, yang kemudian mendorong
munculnya partai politik oposisi yang pertama kali, yaitu Democratic
Progresive Party (DPP) pada 28 September 1986. Partai pemerintah,
Kuomintang (KMT), yang dipimpin oleh Presiden Chiang Ching-kuo
(menjabat 1978 hingga kematiannya 19881102), tidak menghalangi
inisiatif oposisi itu.1103 Bersamaan dengan itu pemberlakuan negara
dalam keadaan darurat yang diberlakukan sejak 20 Mei 1949 dihapus
mulai 15 Juli 1987 untuk mengendorkan tekanan negara atas hak dan
kebebasan individu.1104 Pada September 1987, kebijakan lama yang
perdamaian. Lihat: Chien Kai Chen, “China and Taiwan: A Furute of Peace”, Josef Korbel Journal
of Advanced International Studies, Vo. 1, 2011, hlm. 17.
1102
Sesudah kematian Chiang Ching-kuo, wakil presidennya, Lee Teng-hui, menjadi
Presiden. Banyak pengamat menilai bahwa Lee, seorang Taiwan yang melejit posisinya di KMT
karena patronase langsung Chiang, tidak memiliki kedalaman dukungan partai untuk memegang
kursi kepresidenan. Tapi Lee menantang anggapan itu dengan menggunakan mendukung proses
reformasi untuk meminggirkan musuh-musuhnya, memperkuat teman-temannya, dan
memenangkan niat baik oposisi.
1103
Secara ideologis historis, KMT sebenarnya didasarkan pada gagasan Sun Yat-sen
mengenaii Tiga Prinsip Kerakyatan: nasionalisme, keadilan ekonomi, dan demokrasi. Dengan
demikian, pemerintah KMT yang mengambil alih Taiwan ketika pemerintah kolonial Jepang
mundur pada tahun 1945 berdasarkan legitimasi aspirasi demokrasi. Ini ditetapkan sebagai upaya
besar untuk mengindoktrinasi rakyat Taiwan dalam pemikiran Sun Yat-sen, yang mencakup
pengertian pengawasan politik. KMT juga mempromosikan ide ini di luar negeri dan membuat
banyak identitas sebagai'' Free China”, setelah Republik Rakyat Cina memperkuat kontrol atas
Cina daratan, legitimasi internasional Taiwan bertumpu hampir sepenuhnya pada klaim untuk
menjadi demokrasi. Lihat: Shelley Rigger, “Democratization in Greater China Taiwan’s Best-Case
Democratization”, Foreign Policy Research Institute, 2004, hlm. 287.
1104
Chiang Ching-kuo memutuskan untuk mencabut keadaan darurat dan dia
mengatakan kepada Katherine Graham, dari Washington Post, bahwa Taiwan akan kebijakan
darurat. Ada banyak perlawanan terhadap langkah tersebut dari dalam lingkaran KMT. Mengapa
ia masih melakukannya? Dalam rangka mempertahankan kontrol KMT rezim. Dengan demikian,
ia juga bisa mempertahankan posisi tertinggi dalam partai KMT. Setelah semua itu, Chiang masih
seorang tokoh otoriter. Oleh karena itu dalam konteks ini ia menggunakan cara yang otoriter untuk
commit
usermasyarakat. Lihat: Hsin-huang Michael
mengakhiri kekuasaan otoriter partainya
sendiritoatas
Hsiao, op.cit., hlm. 4.
perpustakaan.uns.ac.id
392
digilib.uns.ac.id
melarang warga Taiwan mengunjungi Cina Daratan dihapus.1105 Sejak
1 Januari 1988, ketentuan mengenai larangan penerbitan surat kabar
dan sensor represif dihapus. Di samping segala usaha liberalisasi ini,
setiap hari terjadi demonstrasi di banyak tempat dan Parlemen hampir
setiap hari mengalami boikot dari partai oposisi. Posisi KMT di
Parlemen juga mulai menyusut. Sejak awal, diantara 101 kursi
Parlemen, KMT mengendalikan mayoritas kursi, dengan 82% (1983),
81,2% (1986), dan 71,29% (1996). Sementara perolehan oposisi
bergerak naik dari 20% menjadi 28,5% (1989). Perlu dicatat, bahwa
demokratisasi di Taiwan—berbeda dengan negara Eropa Timur—sama
sekali tidak terkait dengan dinamika di Uni Soviet maupun konstelasi
perang dingin.1106 Artinya, “In the specific case of Taiwan, what really
mattered was avoiding control by mainland China (or better still, to
control mainland China from Taipei) rather than resisting Moscow or
proving undying loyalty to Washington.”1107 Sekalipun demikian,
peranan faktor internasional penting bagi legitimasi Taiwan sehingga
bersedia untuk melakukan demokratisasi.1108
1105
Sejak November 1988, sebaliknya, penduduk Cina Daratan diizinkan memasuki
Taiwan dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
1106
Sampai memasuki transisi demokrasi, kediktatoran di Taiwan tidak terancam oleh
Moskow. Sebaliknya, Kuomintang (KMT) pada awalnya menjalin relasi dengan Uni Sovietdan
tidak sedikit menriu kebijakan dalam praktik. Untuk seperempat abad sebelum pencabutan negara
dalam keadaan darurat, Taipei telah mengetahui keretakan hubungan Beijing-Moskow. Semakin
buruk hubungan antara Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi semakin sedikit
alasan bagi Taiwan untuk menjadi anti-Soviet. Demikian pula, semakin dekat Washington
terhadap Beijing, semakin diperlukan bagi KMT untuk bergerak keluar orbit dari Amerika
Serikat dalam Perang Dingin dan mendirikan kembali legitimasi kekuasaannya secara berbeda.
Lebih lanjut lihat: Laurence Whitehead, “Taiwan’s Democratization A Critical Test for the
International Dimensions Perspective”, Taiwan Journal of Democracy, Vol. 3, No. 2, 2007, hlm.
15-16.
1107
Ibid., hlm. 16-17.
1108
Demokratisasi menguntungkan Taiwan secara internasional dan domestik. Selama
bertahun-tahun dari tahun 1950 sampai tahun 1970-an, masyarakat dunia telah mengakui RRC
secara permanen dan sah. Ini melucuti Taiwan dari posisi istimewa sebagai perwakilan negara
Cina. Untuk mempertahankan dukungan internasional KMT mencitrakan diri sebagai “Free
China”. Namun pencitraan itu dianggap tidak meyakinkan selama demokrasi ditangguhkan oleh
partai tunggal, rezim otoriter yang memberlakukan
darurat militer dan menekan oposisi. Lihat:
commit to user
Shelley Rigger, op.cit., hlm. 288.
393
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karena Konstitusi 1947 sendiri mengatur mengenai HAM,
legitimasi konstitusi ini sendiri tidak pernah ditentang secara langsung.
Dalam hal ini, liberalisasi hanya menyangkut tindakan eksekutif dan
legislasi, atau putusan pengadilan, yang sungguh-sungguh diperlukan.
Sesudah
perubahan
UUD
menyangkut
pemilu
dan
struktur
pemerintahan, untuk pertama kali pada Maret 1996, Taiwan
melaksanakan pemilu Presiden. Pada 1997, Majelis Nasional
mengukuhkan ketentuan UUD mengenai sistem semi presidensial.1109
Penting untuk dicatat bahwa dalam masa demokratisasi di 1990-an ini,
peranan Presiden Lee Teng-hui cukup signifikan.1110
Transisi demokrasi di Taiwan telah memperluas akuntabilitas
dan
demokrasi.
Namun,
proses
tersebut
juga
kepentingan strategis dan perhitungan tertentu
mencerminkan
dari para pelaku.
Hasilnya adalah demokratisasi yang evolusioner, damai, dan berlarutlarut, yang semuanya terkait dengan transisi demokrasi yang sukses.
Namun, Taiwan juga membentuk demokratisasi secara top-down, di
mana partai yang berkuasa mengontrol baik kecepatan maupun isi
reformasi. Dan elemen ini, tampaknya, telah menghasilkan beberapa
hasil yang lebih bermasalah. Sebagaimana dikatakan Gretchen Casper
dari University of Michigan bahwa, “kompromi yang dicapai selama
masa transisi telah menghambat peluang demokrasi baru untuk
1109
Selama transisi demokrasi, peran presiden ditingkatkan dengan secara hati-hati,
namun kekuasaan legislatif tidak disesuaikan. Misalnya, pemilihan langsung membuat Presiden
lebih bergengsi dan memberikannya aura mandat. Dikombinasikan dengan kekuasaan de facto
presiden sejak Chiang Kaishek, harapan yang dibuat oleh pemilihan langsung sangat sulit untuk
menempatkan Taiwan bukanlah sistem presidensial. Namun, Presiden tidak ditempatkan dalam
proses legislasi, juga tidak memiliki hak veto yang efektif kekuasaan atas Parlemen. Perubahan
secara serampangan tersebut menciptakan destabilisasi keseimbangan kekuasaan diantara kedua
cabang. Lihat: Shelley Rigger, op.cit., hlm. 290.
1110
Selama 1990-an, masih ada banyak perlawanan dan kebencian dalam KMT untuk
menindaklanjuti tuntutan pro-demokrasi, bahkan untuk mencegah Taiwan mencapai demokrasi
sejati. Saat itu Lee kembali mengambil strategi tidak begitu demokratis untuk berurusan dengan
tekanan di dalam partainya sendiri. Ia tahu bahwa ia bisa bertahan sebagai ketua partai hanya
dengan mengendarai gelombang demokratisasi
di user
luar partainya. Lihat: Hsin-huang Michael
commit to
Hsiao, op.cit. hlm. 5.
394
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terkonsolidasi, karena rezim lama mampu mempertahankan tingkat
pengaruh yang signifikan."1111
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Konstitusi Taiwan 1947, merupakan salah satu konstitusi yang
hadir tertua di dunia dan bukan merupakan karya asli bangsa
Taiwan.1112 Demikian pula, pengadilan konstitusi hampir mendahului
semua pengadilan lain. Meskipun komposisi dan kompetensi telah
direformasi dalam 50 tahun terakhir, MK Taiwan bukan produk baru,
seperti di banyak negara demokrasi baru (misalnya, Spanyol, Portugal,
negara-negara Eropa Timur, dan Chile), tapi lembaga yang telah
berlaku selama periode otoriter dan untuk kemudian muncul dalam
format baru sesudah demokratisasi. Durasi dan peran MK Taiwan
membuatnya sangat berbeda dari pengadilan konstitusional lainnya di
seluruh dunia, dan oleh karena itu sangat unik untuk dikaji. Dalam
Konstitusi 1947 pengadilan konstitusi tersebut dikenal sebagai bagian
dari Judicial Yuan, yang sering disebut sebagai Council of Grand
Justices.1113 Lembaga inilah, yang menurut penulis, merupakan salah
satu bentuk dari pelembagaaan MK.1114 Dalam Pasal 79 ayat [2]
Gretchen Casper, ‘‘The Benefits of Difficult Transitions,’’ Democratization,
Autumn 2000, hlm. 54.
1111
1112
Selain struktur politik yang rumit, legitimasi Konstitusi 1947 juga dipertanyakan setidaknya selama rezim otoriter. Pertama, Konstitusi dipaksakan dari luar tanpa persetujuan atau
persetujuan rakyat Taiwan. Kedua, pemerintah didominasi oleh "orang-orang yang berasal dari
China daratan" (sekitar 13% dari population meskipun fakta bahwa "asli Taiwan" adalah
mayoritas, sekitar 87% dari populasi). Yang dikatakan penduduk asli secara harfiah "orang dari
provinsi ini”, merujuk kepada orang-orang yang mendiami Taiwan sebelum tahun 1945 dan
keturunan mereka.
1113
Dalam kaidah asli UUD 1947, pemerintah pusat, menurut doktrin politik Sun Yatsen, dipisahkan menjadi 5 cabang kekuasaan (disebut "Yuan") - Eksekutif, Legislatif, Yudisial,
Pemeriksaan, dan Pengawas, dengan Presiden dan Majelis Nasional di luar skema 5 kekuasaan. Di
antara cabang-cabang kekuasaan negara ini, Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif sesuai dengan
kerangka konvensional Montesquieuan. Adapun Pemeriksaan dan Pengawasan, yang pertama
mengendalikan pelayanan sipil, dan yang terakhir adalah bertanggungjawab untuk audit serta
impeachment pejabat publik. Sementara itu, pemerintah dibagi menjadi tingkat pusat, provinsi /
kota, dan kabupaten.
1114
Sampai awal 1990-an, digunakan nama Council of Grand Justices. Sejak tahun
to user
1993, nama "Dewan Grand Hakim"commit
tidak lagi
digunakan oleh Yudisial Yuan. Untuk
mempermudah, penelitian ini menggunakan istilah MK untuk merujuk kepada lembaga Grand
perpustakaan.uns.ac.id
395
digilib.uns.ac.id
Konstitusi 1947, MK telah diberi kekuasaan untuk melakukan
intepretasi konstitusi. Intepretasi tersebut selanjutnya memiliki
kekuatan mengikat (binding interpretation) sebagaimana konstitusi itu
sendiri. Kelembagaan MK Taiwan merupakan salah satu ayng tertua di
Asia karena secara resmi didirikan pada Agustus 1948 dan
mengadakan permusyawaratan pertama kali pada 15 September 1948
di Nanking, China.1115 Untuk pertama kali MK mengadakan
persidangan di Taiwan pada 14 April 1952. Namun, badan ini tidak
berfungsi dengan baik selama 40 tahun pemerintahan otoriter di bawah
rezim KMT.1116 Hanya mulai dari akhir 1980-an, MK memulai
reformasi yang signifikan seiring dengan proses demokratisasi. Dibuat
sebagai penafsir yang netral terhadap Konstitusi, MK tidak bisa segera
melaksanakan tugasnya karena intervensi dari lembaga negara yang
lain.1117 Sejak awal, Sun Yat Sen memiliki respek yang tinggi untuk
pemisahan kekuasaan konsep pada saat ia mengembangkan teori
tentang politik dan struktur pemerintahan yang kemudian menjiwai
Konstitusi 1947.1118
Justices yang bertanggung jawab atas penafsiran konstitusi sepanjang sejarahnya, kecuali
dinyatakan lain.
1115
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies : Constitutional Courts in
Asian Cases, op.cit., hlm. 115.
1116
Watak pemerintahan yang otoriter ini justru dikehendaki oleh ketentuan UUD
1947. Pada tahun 1948, Majelis Nasional bersidang di Nanjing untuk mengkonfirmasi Chiang
sebagai Presiden dan mengadopsi satu paket Ketentuan Sementara (Temporary Provision) yang
bertujuan membantu pemerintah dalam memerangi pengaruh komunisme. Ketentuan tersebut
memberikan kekuasaan yang luas kepada Presiden untuk menjalankan negara tanpa terbelenggu
dalam prosedur konstitusional. Di bawah Ketentuan Sementara Pasal 1 dan Pasal 2, Presiden bisa
mengambil langkah darurat yang diperlukan untuk melindungi negara atau rakyat dari bahaya
langsung atau krisis keuangan yang serius. Penerapan Ketentuan Sementara ini berarti menunda
pemberlakuan Konstitusi, dan mulai periode darurat militer cukup lama di Taiwan. Lihat: Achmad
Syahrizal, op.cit., hlm. 137.
1117
Faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya jumlah interpretasi, di samping
kontrol KMT, adalah bahwa supremasi Interpretasi konstitusional MK belum melembaga. Hal ini
karena konstitusi memberikan kewenangan Dewan untuk membuat interpretasi konstitusi yang
mana interpretasi ini s mengikat seperti UU yang ditetapkan oleh legislatif. F. Fraser Mendel,
“Judicial Power & Illusion: The Republic of China’s Council of Grand Justices and Constitutional
Intepretation”, Pasific Rim Law & Policy Journal, Vol. 2, No. 1, 1993, hlm. 170.
commit
to user
Taiwan mengikuti model
Jepang
dan Jerman dalam membangun sistem
peradilannya, sebagaimana dibuktikan oleh banyak bagian dari kodifikasi hukum yang mengacu
1118
396
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Konstitusi 1947, sebelum tahun 2003, MK terdiri atas
17 hakim yang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Badan
Pengawas1119 (1948-1992) atau Majelis Nasional (1992-2000) dan
diangkat untuk masa jabatan 9 tahun dan dapat dipilih kembali. Akan
tetapi sejak perubahan UUD pada 1997, jumlah anggota diperkecil
menjadi 15 anggota, dan masa jabatan menjadi 8 tahun tanpa
kemungkinan untuk dipilih kembali. Ketentuan konstitusi terbaru juga
memerintahkan penggantian para hakim dalam sebagian-sebagian
sehingga mengikuti siklus 4 tahunan pemilu presiden.1120 Meskipun
konstitusi Taiwan menciptakan MK sebagai pengadilan khusus untuk
CR, keberadaannya tidak terpisahkan dari MA1121. Lembaga ini
mengontrol anggaran dan mengawasi tidak hanya MK, tetapi juga
semua pengadilan lain.1122 Bahkan, sejak tahun 1997, Ketua MA
merupakan salah satu hakim MK. Ketua MA memimpin pertemuan
pada preseden dari negara-negara tersebut. Pengaruh Konstitusi Amerika juga terlihat, khususnya
terkait dengan pemisahan kekuasaan. Lihat:. Ibid., hlm. 168.
1119
Menurut Perubahan UUD 1992 dan 2000, status Badan Pengawas juga telah jauh
berubah karena tidak lagi merupakan lembaga yang dipilih dan sekarang anggotanya semuanya
ditunjuk oleh Presiden dengan persetujuan dari Parlemen. Bahkan lebih dramatis, Perubahan 2005
menghapuskan Majelis Nasional dan menetapkan ambang batas sangat tinggi untuk amendmen.
Sejak itu Konstitusi telah sangat sulit untuk diubah.
1120
Mekanisme penunjukan, seperti disebutkan di atas, sangat didominasi oleh Presiden
dan partai-partai politik dari badan yang memberikan konfirmasi (di bawah pengaruh KMT dan
sekutunya). Dalam hal ini, penunjukkan Hakim harus sesuai dengan preferensi Presiden dengan
memperhatikan pendapat Badan Pengawas, Majelis Nasional atau Parlemen (yang seharusnya
menimbulkan sedikit masalah bagi Presiden KMT tapi bisa memberikan pengaruh tertentu dalam
kasus DPP Presiden Chen). Oleh karena itu, penulis berharap preferensi untuk sebagian besar
penunjukkan itu berkesesuaian. Selain itu, MK telah dibatasi oleh masa jabatan dan sebelum tahun
2003, ada kemungkinan pengangkatan kembali. Dengan demikian, ada harapan bahwa kedua
faktor ini memperkuat kemungkinan bahwa para Hakim serius akan membawa kepentingan para
pengusungnya menjadi pertimbangan. Dalam kerangka ini, perlu penulis tidak menetapkan Hakim
ke KMT atau oposisi (DPP), melainkan memperhatikan kontrol oleh Presiden terhadap setiap
hakim. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dibedakan antara Hakim diangkat sebelum awal
transisi (yaitu, 1985 dan sebelumnya) dan yang ditunjuk setelah demokratisasi (yaitu, 1994, 1999,
2003 dan 2007).
1121
Menurut Konstitusi 1947, MA sebagai organ peradilan tertinggi, memiliki
kekuasaan: (i) mengadili perkara perdata, pidana, dan administratif, dan kasus-kasus mengenai
tindakan disipliner terhadap pejabat publik; dan (ii) menafsirkan Konstitusi termasuk menguji UU
dan peraturan-peraturan yang lain.
1122
Ibid., hlm. 97.
commit to user
397
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MK, meskipun mereka tidak merupakan hakim konstitusi. Fakta ini
menimbulkan pertanyaan apakah MK dapat dikualifikasikan sebagai
badan konstitusional utama maka harus dijawab negatif. Meskipun
MK adalah merupakan pengadilan yang independen, namun badan ini
tidak otonom, melainkan dapat dilihat sebagai bagian dari MA. Untuk
batas tertentu ini adalah implementasi doktrin Sun Yat Sen tentang
pemisahan kekuasaan. Namun demikian, konstruksi ini, bahkan
berbeda dengan asal muasal sebelum 1997, telah membatasi MK untuk
melakukan CR.1123 Hanya saja sejak tahun 2003, Ketua dan Wakil
Ketua MK ditetapkan diantara hakim konstitusi. Kecuali untuk 8
Hakim diangkat pada tahun 2003 memegang jabatan selama 4 tahun,
para hakim sekarang diangkat oleh Presiden dengan persetujuan
mayoritas Parlemen dan untuk masa jabatan 8 tahun dan tidak dapat
dipilih kembali. Karena setengah dari komposisi Hakim diperbarui
setiap 4 tahun, secara teoritis, seorang Presiden memiliki kesempatan
untuk menunjuk 7 atau 8 hakim Hakim selama 4 tahun masa
jabatannya.1124
Pengisian jabatan hakim dari kategori yang sama tidak boleh
melampaui jumlah 1/3 dari keseluruhan anggota. Artinya, komposisi
MK harus berasal dari latar belakang yang berbeda. Melalui cara ini,
diharapkan MK akan memiliki legitimasi yang bersumber dari aneka
1123
Ibid.
1124
Mengingat pengaruh KMT dalam proses pengangkatan hampir seluruh periode
MK, para hakim yang ditunjuk oleh Presiden dari partai KMT (tahun 1985, 1994 dan 1999)
diduga mendukung kepentingan KMT. Pada saat yang sama, para hakim yang diangkat oleh
Presiden dari DPP, oposisi utama KMT, (tahun 2003 dan 2007) didguga akan merugikan
kepentingan KMT. Namun, mengingat bahwa oposisi tidak pernah benar-benar mendominasi
Parlemen dan badan lain yang memberikan persetujuan pengangkatan hakim konstitusi (yaitu
Badan Pengawas, Majelis Nasional, atau Parlemen), penulis berasumsi kedua efek (keselarasan
antara kepentingan oposisi dan pola suara hakim yang ditunjuk oleh Presiden DPP) menjadi
kurang penting dibandingkan efek pertama (keselarasan antara kepentingan KMT dan pola suara
hakim ditunjuk oleh Presiden KMT). Berdasarkan hipotesis ini, afiliasi dari Hakim, yang diukur
oleh Presiden yang mengangkat mereka, adalah prediktor yang baik dari pola suara mereka di
pengadilan. Para Presiden Taiwan tersebut adalah Presiden Taiwan telah Chiang Kai-shek (19501975, KMT), Yen Chia-kan (1975-1978, KMT), Chiang Ching-kuo (1978-1988, KMT), Lee Tenghui (1988-2000 , KMT), Chen Shui-bian
(2000-2008,
commit
to userDPP), dan Ma Ying-jeou (sejak 2008,
KMT).
398
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuatan.1125 Meskipun kecenderungan memperlihatkan dominasi
kalangan univesitas dan hakim karier, namun demikian, faktor politik
tetap memainkan peranan penting pada tahap proses pengangkatan
para hakim itu.1126 Meskipun demikian, hakim MK wajib tetap
menjaga jarak dari pengaruh politik partisan dan keberadaanya telah
memperoleh jaminan secara konstitusional dari potensi intervensi
politik.1127 Dari tahun 1948 hingga sekarang, telah terdapat 6 generasi
komposisi hakim.1128
Menurut Pasal 78 Konstitusi 1947, MK memiliki kekuasaan
untuk (i) melakukan penafsiran atas kaidah-kaidah konstitusi; (ii)
melaksanakan kesatuan penafsiran (unfied interpretation) atas
peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Artinya,
obyek penafsiran MK adalah produk legislasi dan eksekutif. Namun
dapat pula diarahkan secara langsung terhadap ketentuan UUD, dalam
hal ini misalnya adalah perubahan konstitusi.
Dalam hal ini, MK tidak diberikan diskresi untuk memilih
kasus yang ingin diperiksa.1129 Jika petisi untuk meminta penafsiran
1125
Berbeda dengan mekanisme penunjukan pengadilan di Jerman, Italia, Portugal,
atau Spanyol, secara de facto sistem kuota tidak ada di Taiwan. Artinya, tidak ada mekanisme bagi
partai politik Taiwan untuk memilih hakim sesuai dengan kursi mereka di Parlemen atau
kepentingan relatif mereka dalam masyarakat Taiwan. Oleh karena itu, relatif sulit untuk
mengidentifikasi hakim tertentu dengan partai politik, setidaknya dibandingkan dengan kasus
Jerman, Italia, Portugis, dan Spanyol. Selain itu, hakim karir di Taiwan dilarang memiliki afiliasi
partai, sehingga lebih sulit untuk mengenali preferensi pesta Kehakiman jika ia / dia digunakan
untuk menjadi hakim karir. Namun, bahkan tanpa sistem kuota partai, secara praktis, Presiden
masih perlu untuk memperhatikan hasil pemilu, reputasi calon hakim, dan sebagainya dalam
perhitungan. Jika tidak, calon dapat ditolak bila ada Parlemen bila dikuasai oleh oposisi (karena
diajukan oleh Presiden Chen dari Partai DPP). Sebuah contoh yang baik terjadi pada tahun 2007
ketika, di antara calon 8 calon hakim yang dicalonkan oleh Presiden Chen, hanya empat yang
disetujui oleh Parlemen.
1126
Ahmad Syahrizal, op.cit., hlm. 145.
1127
Ibid., hlm. 146.
1128
Generasi pertama (14 Juli 1948-24-9-1958), generasi kedua (25 September 1958-10
Januari 1967), generasi ketiga (2 Januari 1967-1 Oktober 1967), generasi ketiga (2 Oktober 1967-1
Oktober 1976), generasi keempat (2 Oktober 1976-1 Oktober 1985), generasi kelima (2 Oktober
1985-1 Oktober 1994), dan generasi keenam (2 Oktober 1994-1 Oktober 2012).
to user
Tidak seperti hakim daricommit
Mahkamah
Agung AS, hakim konstitusi tidak memiliki
kebijaksanaan ketika menentukan kasus mana yang ingin mereka periksa. Dengan kata lain, MK
1129
perpustakaan.uns.ac.id
399
digilib.uns.ac.id
konstitusi memenuhi persyaratan yang dijabarkan dalam UU, MK
tidak bisa menolak permohonan tersebut.1130 Penyelesaian kasus ini
bisa sulit karena UU mewajibkan “3/4 ganda" sebagai persyaratan
untuk menetapkan putusan, yaitu ¾ hakim harus hadir untuk
memenuhi kuorum, dan ¾ kuorum harus setuju dengan penafsiran
yang diputuskan, terutama dalam hal MK menguji UU atau peraturan
administratif yang lain.1131 Pembatasan seperti ini sebenarnya
bertentangan dengan UUD dan mengaburkan esensi CR, apalagi
mengingat dalam generasi pertama (14-7-1948 hingga 24-9-1958) dan
generasi kedua MK (25-9-1958 hingga 10-1-1967), perkara yang
banyak diperiksa adalah pengujian UU.1132 Sejak tahun 1957 para
hakim diizinkan untuk menyampaikan pendapat yang berbeda
harus berurusan dengan semua petisi kecuali permohonan tidak memenuhi persyaratan dan dalam
kasus ini, MK harus membatalkan kasus ini tanpa mengeluarkan penafsiran apapun.
1130
Sebuah petisi untuk interpretasi konstitusi dapat diajukan karena salah satu alasan
sebagai berikut: (i) Apabila suatu badan pemerintah pusat atau daerah ambigu dalam penerapan
konstitusi guna menjalankan kekuasaannya atau saat melaksanakan kekuasaannya badan tersebut
terlibat sengketa dengan instansi lain mengenai penerapan Konstitusi atau di mana badan ini
membutuhkan kepastian penerapan konstitusionalitas suatu undang-undang atau perintah, (ii)
Dalam hal orang pribadi, badan hukum, atau partai politik , setelah menggunakan semua upaya
pemulihan hukum yang disediakan oleh hukum, beranggapan bahwa hak konstitusionalnya telah
dilanggar dan dengan demikian pertanyaan konstitusionalitas hukum atau perintah diterapkan oleh
pengadilan terakhir dalam putusan akhir, (iii) Saat anggota Parlemen, dalam menjalankan
kekuasaan mereka, tidak yakin tentang penerapan Konstitusi atau mengenai konstitusionalitas
suatu undang-undangdan setidaknya sepertiga dari para anggota Parlemenn telah mengajukan
permohonan. Selain itu, karena Putusan No. 371 (2009) telah memperluas penerapan UU,
sekarang ketika setiap hakim pengadilan yakin bahwa undang-undang atau peraturan yang
dipermasalahkan di pengadilan bertentangan dengan Konstitusi, pengadilan dapat menunda proses
dan mengajukan petisi kepada MK untuk menafsirkan konstitusionalitas undang-undang atau
peraturan tersebut.
1131
Sebelum tahun 1993, hakim yang memiliki pendapat terpisah hanya bisa
mengeluarkan apa yang disebut "perbedaan pendapat (dissenting opinion)," meskipun mereka
setuju dengan keputusan itu dan hanya memiliki perbedaan mengenai alasan-alasan berfikir.
Namun, sejak tahun 1993, para Hakim yang memiliki pendapat berbeda dapat menuliskan baik
concurring atau perbedaan pendapat, dan pendapat-pendapat disertakan dalam putusan MK.
1132
Untuk generasi pertama, dari total 79 perkara, terdapat perkara penafsiran
konstitusi sebanyak 25 (31,65%) perkara sementara pengujian UU sebanyak 64 perkara (58,35%).
Sementara dalam generasi kedua, penafsiran konstitusi sebanyak 8 perkara (18,6%), sedangkan
pengujian UU meliputi 35 perkara (81,4%). Ketentuan ini diubah sejak 1993 di mana kuorum
untuk perkara penafsiran konstitusi menjadi
2/3 kehadiran
commit
to user hakim dan untuk pengujian UU menjadi
½ jumlah hakim.
400
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(dissenting opinion) dan sejak 1977, pendapat tersebut menjadi satu
kesatuan dengan putusan MK.
Pada tahun 1987, Parlemen akhirnya mencabut Dekrit Keadaan
Darurat (1948) yang mengurangi kekuasaan Presiden dan menghapus
salah satu keterbatasan struktural pada MK.1133 Dengan pertumbuhan
ekonomi yang cepat dan meningkatnya standar hidup, orang menuntut
politik dan kebebasan pribadi. Pemerintah harus menanggapi tekanan
yang disampaikan oleh warga negara yang semakin makmur dan
berpendidikan.
Ini
mengakibatkan
pergeseran
dari
struktur
pemerintahan yang sangat terpusat ke kapitalisme demokratis. Dalam
konteks ini, MK menanggapi ketidakpuasan publik terhadap
pemerintah dengan mengeluarkan interpretasi yang menekankan hak
konstitusional. Jumlah interpretasi konstitusional MK yang dibuat per
tahun meningkat dari 3 menjadi 18, masing-masing pada tahun 1976
dan pada tahun 1991. Dalam perkembangannya, MK tidak hanya
diberikan wewenang lebih besar untuk melakukan interpretasi
konstitusi, tetapi juga memeriksa lebih banyak kasus yang diajukan
oleh individu1134, setelah sebelumnya hanya mengizinkan hal itu bagi
1133
Sejak pencabutan darurat militer pada tahun 1987, MK telah memiliki 50 hakim.
Kecuali 5 Hakim yang baru ditunjuk oleh Presiden Ma Ying-jeou tahun 1985 (dalam hal ini
merupakan generasi kelima) 45 Hakim ditunjuk oleh oleh Presiden Lee Teng-hui pada tahun
1994, 1999 (yaitu generasi ke-6), dan oleh Presiden Chen Shui-bian pada tahun 2003 serta pada
tahun 2007. Di antara mereka, 23 Hakim ditunjuk dari hakim MA dan pengadilan umum; 19
hakim berasal dari akademisi; 2 orang jaksa senior,. dan hanya satu dari politisi. Selain itu, 81%
hakim yang ditunjuk Chiang berasal dari Cina Daratan, sebaliknya, 79% dan 74% dari hakim yang
ditunjuk Lee dan Chen masing-masing yang asli Taiwan. Jelas, karena kelahiran Cina daratan
Presiden Chiang cenderung untuk menunjuk hakim dari wilayah itu, meskipun fakta bahwa
mereka hanya mewakili 13-15% dari populasi. Sebaliknya, Presiden kelahiran asli (yaitu Lee dan
Chen) cenderung untuk menunjuk orang asli Taiwan, meskipun masih tidak mencerminkan rasio
penduduk.
1134
Perubahan UUD 1997 dan 2005 telah memperluas wewenang MK untuk dapat
memainkan peran penting dalam skenario berikut: (i) berurusan dengan "masalah kontroversi
moral dan politik" seperti halnya MK di negara demokrasi lainnya, (ii) menjadi arbiter saat
kebuntuan politik terjadi antara eksekutif dan legislatif di bawah sistem semi-presidensial; (iii)
menafsirkan Konstitusi otoritatif, terutama ketika UUD menjadi sangat sulit untuk diubah, dan (iv)
memutuskan beberapa kasus yang paling kontroversial politik (misalnya, impeaching Presiden
atau membubarkan partai politik yang "inkonstitusional"). Tidak mengherankan, hal itu telah
commit
to useraktor politik, ekonomi, dan yudikatif
menjadi obyek yang begitu didambakan
berbagai
dibandingkan masa sebelumnya. Meski begitu, orang tidak boleh mengabaikan bahwa di era
401
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lembaga negara saja.1135 Supremasi MK terletak pada kenyataan bahwa
“because other courts are prevented from delivering judgments, which
do not comply with the Grand Justices’ interpretation of the
constitution.”1136
Menurut UUD, MK berwenang untuk menyatakan UU
bertentangan dengan UUD dan menyatakan batal.1137 Namun, mirip
dengan
pengadilan
konstitusional
lainnya
misalnya,
Jerman
(Bundersverfassungsgericht) dan Austria (Verfassungsgerichtshof),
MK tidak selalu secara eksplisit menyatakan UU atau tindakan
pemerintah konstitusional atau tidak valid bahkan ketika UU atau
tindakan adalah tidak sesuai dengan Konstitusi.1138 Misalnya,
meskipun pengadilan tidak menyatakan bahwa status Wakil Presiden
merangkap Perdana Menteri Yuan Eksekutif tidak konstitusional, MK
menyimpulkan bahwa situasi ini adalah "konstitusional yang tidak
pantas."1139 Dalam putusan lain, MK menolak keberlakuan UU yang
otoriter, pengadilan dioperasikan sebagai alat rezim KMT, bukan penjaga Konstitusi. Yang paling
terkenal adalah Putusan No. 31 Tahun 1954, di mana pengadilan mengizinkan Anggota Legislatif,
Badan Pengawas dan Majelis Nasional yang terpilih di Cina pada tahun 1948 untuk tetap berkuasa
selama lebih dari 40 tahun. Lihat: T.S. Wang, op.cit., hlm. 543-544.
1135
Khususnya terjadi pada masa persidangan pertama MK (Agustus 1948-Agustus
1958). Namun sejak Putusan No. 371/1995, jarak antara negara dengan warganegara semakin
didekatkan.
1136
Meskipun seorang individu atau hakim dari pengadilan lain dapat mengajukan
permohonan untuk penafsiran konstitusi, harus dicatat bahwa tidak ada efek pengujian seperti
model Amerika karena MK tidak bisa secara langsung menyatakan keputusan akhir pengadilan itu
inkonstitusional seperti halnya MA Amerika Serikat atau Jepang. Sebaliknya MK hanya bisa
menafsirkan konstitusionalitas undang-undang, peraturan, atau preseden hukum menurut putusan
pengadilan. Selain perbedaan ini, ada perbedaan lain antara MK Taiwan dan MA Amerika Serikat
atau Jepang. Misalnya, di Taiwan, Presiden, 4 cabang kekuasaan yang lain, atau bahkan 1/3 dari
legislator memiliki hak untuk menmgajukan pengujian konstitusionalitas undang-undang yang
sudah disahkan oleh Parlemen. Dalam hal ini, banyak doktrin yang merupakan bagian penting dari
yurisprudensi konstitusional AS tidak dapat diterapkan secara alami. Lihat: Thilo Tetzlaff,
“Kelsen’s Concept of Constitutional Review Accord in Europe and Asia: The Grand Justices in
Taiwan”, National Taiwan University Law Review, Vol. 1, No. 2, 2006, hlm. 95.
1137
1138
Kewenangan ini pertama kali ditafsirkan dalam Putusan No. 2/1949.
Pembatasan ruang lingkup CR ini pertama kali ditafisrkan dalam Putusan No.
760/1957.
to Mahkamah
user
Putusan No. 419/1996. commit
Meskipun
Konstitusi Taiwan tidak secara
eksplisit melarang Wakil Presiden menjabat sebagai Perdana Menteri secara bersamaan, setelah
1139
402
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengatur mengai pengadilan tapi tidak menyatakan UU ini batal dan
sebagai gantinya diberikan kesempatan bagi Parlemen untuk merevisi
UU tersebut dalam 2 tahun.1140
Hingga 9 Juli 1999, MK telah memeriksa dan memutus
sebanyak 487 perkara. Diantara putusan itu, sebanyak 70% merupakan
perkara permohonan penafsiran konstitusi, sementara 30% merupakan
perkaa pengujian UU. Bahkan, permohonan penafsiran konstitusi
cenderung bertambah sejak 1976. Perkara tersebut menyangkut
pengujian abstrak maupun pengujian konkrit, di mana dari 339
perkara, sebanyak 257 atau ¾ nya merupakan pengujian abstrak.
Untuk generasi pertama, dari 25 perkara CR, pengujian abstrak
mencakup 23 perkara, sementara sisanya merupakan pengujian
konkrit.1141 Untuk generasi kedua, pengujian abstrak sebanyak 7
perkara, sedangkan pengujian konkrit 1 perkara.1142 Generasi ketiga
hanya memutus pengujian abstrak sebanyak 2 perkara.1143 Generasi
keempat memutus 31 perkara, meliputi pengujian abstrak sebanyak 28
perkara dan pengujian konkrit sebanyak 3 perkara.1144 Sementara itu,
pada generasi kelima, dari 148 perkara, telah diputus perkara pengujian
abstrak sebanyak 21, sedangkan pengujian konkrit sebanyak 127
perkara.1145 Untuk generasi keenam, dari 119 perkara, pengujian
abstrak sebanyak 20, sedangkan pengujian konkrit sebanyak 76
perkara.1146
putusan ini dirilis, maka Wakil Presiden Lien Chanmengundurkan diri jabatannya sebagai Perdana
Menteri.
1140
Putusan No. 530/2001. Faktanya, sampai 9 tahun sesudah putusan ditetapkan, UU
itu tidak pernah diubah oleh Parlemen.
1141
Putusan No. 1/1949 hingga Putusan No. 79/1958.
1142
Putusan No. 80/1958 hingga Putusan No. 122/1967.
1143
Putusan No. 123/1967 dan Putusan No. 146/1976.
1144
Putusan No. 147/1976 hingga Putusan No. 199/1985.
1145
Putusan No. 200/1985 hingga Putusan No. 366/1994.
1146
Putusan No. 357/1994 hingga Putusan No. 487/1999.
commit to user
403
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berkaitan dengan demokratisasi, MK membatalkan putusan
tahun
1954
dan
memerintahkan
pemilihan
baru
yang
akan
diadakan.1147 Putusan ini merupakan kasus yang paling penting dalam
sejarah MK.1148 Karena putusan itu membatalkan putusan sebelumnya
yang menggunakan alasan peristiwa "tak terduga" yang telah memaksa
perwakilan
untuk
terus
memegang
jabatan
guna
menjamin
keberlangsungan sistem ketatanegaraan.1149 Saat masa jabatan anggota
Parlemen telah usai pada Januari 1954, kembali pemerintah
mengajukan permohonan penafsiran kepada MK. Dalam putusannya,
MK mengatakan bahwa “given the country is currently facing
a
serious crisis it is not lawfully possible to hold an election for the
members of the following term. Where the Legislative Yuan and
Control Yuan to remain nonfunctioning, the constitutional purpose for
establishing the five Yuans (branches) would then be violated.
Therefore, before the members of a second term can be lawfully
elected and convened, the first-term members of the Legislative Yuan
and Control Yuan should continue to exercise their duties.”1150
1147
Putusan No. 261/1990.
1148
Putusan No. 31/1996.
1149
Sesudah mengundurkan diri dari Cina daratan, pemerintahan nasionalis Presiden
Chiang Kai-shek melanjutkan dirinya sebagai pemerintahan Taiwan dengan secara aktif berusaha
untuk kembali ke Cina daatan. Pemerintahan menyatakan hal itu saat masa jabatan Parlemen
generasi pertama akan habis masa jabatan pada 7 Mei 1951. Namun pemerintah enggan untuk
melaksanakan pemilu yang hanya dapat dilaksanakan di Taiwan dan pulau-pulau sekitarnya.
Kebanyakan anggota Parlemen itu mengikuti Chiang Kai-shek ke Taiwan. Dengan demikian jelas
Parlemen merupakan perwakilan penduduk Cina daratan. Setelah kehilangan kontrol atas Cina
daratan, pelaksanaan pemilu menurut Pasal 26, Pasal 64, dan Pasal 91 Konstitusi 1947 jelas tidak
mungkin dlkasanakan. Oleh sebab itu, Kabinet mengusulkan kepada Presiden untuk membuat
resolusi yang memperpanjang masa jabatan Parlemen hingga setahun, tetapi justru kemudian
diperpanjang lagi sejak 1952 dan diperpanjang kembali pada 1953, termasuk dengan persetujuan
MK.
Putusan No. 31/1954. Dengan putusan ini, Parlemen menjadi “millennium
congress” karena memiliki masa jabatan yang tidak terbatas dan faktanya berlangsung selama 40
tahun. Pelaksanaan putusan ini kemudian menimbulkan masalah karena menimbulkan stagnasi
politik dan mulai muncul tuntutan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
sehubungan dengan bertambahnya penduduk Taiwan dan semakin berkurangnya penduduk
“sepuh.” Untuk itu, pada tahun 1966, Majelis Nasional memerintahkan kepada Presiden untuk
commit
to user
menyusun regulasi yang memungkinkan
pengisian
jabatan dan penambahan jumlah anggota
anggota badan yang dipilih termasuk Parlemen. Bahkan pada 1972, Parlemen memberikan
1150
404
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebagaimana lazimnya pengadilan konstitusi, MK juga
mengambil konstitusi sebagai norma hukum utama dari sistem hukum
Taiwan.1151 Suatu hal yang luar biasa adalah putusan MK yang
menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa perubahan UUD.1152
Dalam putusan yang lain, MK menyatakan bahwa “ketentuan
mengenai batas negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUD
merupakan persoalan poliitk yang tidak tunduk kepada mekanisme
CR.”1153 Serupa dengan putusan tersebut, MK sejauh ini mencoba
untuk mengatasi untuk tidak melibatkan diri dalam persoalan politik,
mirip dengan MA AS tetapi mereka tetap dianggap hanyut ke
pendekatan yang lebih politis.1154 Kemudian pada tahun 1994, 12
serikat buruh BUMN berusaha untuk meninggalkan Chinesse
Federation of Labour (CFL) dan membentuk serikat pekerja baru, dan
setelah ditolak oleh pihak berwenang, mengajukan petisi ke MK.
Tahun berikutnya MK merilis putusan yang memungkinkan para guru
untuk membentuk serikat pekerja dan membatalkan ketentuan UU
Serikat Pekerja. Hukum konstitusi Jerman dan Jepang memainkan
peran penting dalam penalaran minoritas hakim.1155
Selain itu, selama delapan tahun pemerintahan terbelah (20002008)
MK telah mengeluarkan 143 putusan (dari Putusan No.
508/2000 hingga Putusan No. 642/2008). Di antara putusan ini, 100
putusan merupakan petisi warga. Dari 100 putusan ini, 61 memuat
putusan konstitusional
yang berarti bahwa MK mengabulkan
pemohon, yaitu warga. Pada pandangan pertama, mungkin tampak
persetujuan kepada Presiden untuk mengisi jabatan badan-badan yang dipilih tanpa
memperhatikan masa jabatan yang diatur dalam konstitusi.
1151
Putusan No. 371/1995.
1152
Putusan No. 499/2000.
1153
Putusan No. 328/1990.
1154
Putusan No. 382/1996.
1155
Putusan No. 373/1995.
commit to user
405
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa MKi selama ini membuat sedikit kemajuan dengan menekankan
pada UU yang melanggar HAM.
c. Kasus Thailand
(1) Desain Transisi Demokrasi
Kerajaan Thailand adalah monarki absolut sampai 1932,
ketika sekelompok perwira militer muda memimpin kudeta tak
berdarah
Penerus
dan mendirikan sebuah monarki konstitusional.1156
Raja
Chulalongkorn,
Raja
Vajiravudh
dan
Raja
Prajadhipok, memiliki minat yang besar dalam demokrasi
parlementer. Namun, beberapa intelektual yang dididik di luar
negeri, menyerukan transisi demokrasi langsung. Pada 24 Juni
1932,
mereka
melakukan
kudeta
abloodless,
menuntut
pembentukan sebuah monarki konstitusional. Untuk menghindari
pertumpahan darah, Raja Prajadhipok menyetujui penghapusan
monarki absolut demi rakyat, mentransfer kekuasaan untuk sebuah
sistem pemerintahan berbasis konstitusi. Pada 10 Desember 1932,
konstitusi pertama Thailand ditandatangani. Sistem baru tersebut
tidak berbentuk republik: mereka melakukan revolusi mereka
sambil menanggapi raja sebagai subyek dan bersikeras bahwa ia
memiliki keputusan akhir tentang apakah akan memungkinkan
pembentukan pemerintahan konstitusional. Kekuatan politik di
balik kudeta termasuk elemen sayap kanan di militer1157 dan
1156
Sebelumnya, Raja Chulalongkorn (1868-1910), melihat perlunya reformasi politik
dan desentralisasi pemerintah. Ia melakukan reorganisasi besar terhadap pemerintahan pusat dan
daerah, yang membentuk dasar dari sistem ini. Pemerintah pusat selanjutnya dibagi menjadi
beberapa propinsi dan setiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur. Reformasi administrasi dan
modernisasi yang cepat terbukti berhasil baik dalam mempertahankan kemerdekaan negara itu
selama bertahun-tahun yang penuh gejolak ancaman kolonial dan memberikan landasan bagi
sebuah sistem pemerintahan.
1157
Sebuah peristiwa penting berlangsung di Royal Plaza ketika pemimpin militer
Kolonel Phraya Phahon Phonphayuhasena, mengumumkan bahwa Siam sekarang menjadi
monarki konstitusional. Dia telah mengumpulkan 2.000 tentara dan setelah melakukan pidatonya
meminta tentara untuk mengambil satu langkah maju jika mereka setuju dengan tindakannya. Pada
awalnya ada keheningan. Kemudian untuk menghilangkan kaum revolusioner, sorak-sorai chai-yo
(bravo) memenuhi alun-alun dan tentara
kemudian
commit
to usermelangkah maju, hal yang selamanya
mengubah sejarah Thailand.
406
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
birokrasi, dan nasionalis sayap kiri
di sekitar intelektual Pridi
Banomyong.1158 Ketegangan antara kedua (dan dengan kelompok
ketiga, royalis yang akhirnya selaras dengan militer pada tahun
1957) boleh dibilang telah mendominasi politik Thailand, dalam
satu bentuk atau lain, selama 70 tahun berikutnya. Pridi adalah
seorang nasionalis antikolonial, dari generasi dan orientasi yang
sama seperti Aung San, Nehru, dan Ho Chi Minh. Tidak seperti
tokoh-tokoh tersebut, yang ia hadapi bukan kekuasaan kolonial
tapi lingkungan domestik lebih kompleks. Pridi adalah salah satu
perancang utama dari konstitusi 1932, yang menjanjikan pemilihan
langsung setelah setengah warga menyelesaikan pendidikan
dasarnya. Pada awalnya para pelaku revolusi berharap bahwa
mereka bisa bekerja dengan anggota pemerintahan kerajaan dan
mereka menunjuk Phraya Monopakon, seorang hakim yang
dihormati, sebagai perdana menteri pertama Siam. Namun
Monopokon jelas kemudian ia tidak benar-benar mendukung
tujuan revolusi
'dan ia bekerja melawan pemerintah baru.
Kalangan Konservatif juga mulai menyerang Pridi yang dituduh
sebagai komunis dan sebagai hasilnya ia dipaksa ke dalam
pengasingan singkat di luar negeri. Akhirnya Monopokon dipecat
dan Phahon Phonphayuhasena, seorang pemimpin militer, menjadi
perdana menteri. Tantangan paling serius adalah kontra-revolusi
yang dipimpin oleh sepupu raja, Pangeran Boworadet. Pada tahun
1933, ia mengorganisir pasukan di luar Bangkok untuk berbaris
1158
Pridi Banomyong lahir tahun 1900 dari kalangan keluarga yang sejahtera dan petani
padi berpengaruh. Ibunya adalah setengah-Cina, ayahnya Thailand. Pridi adalah seorang anak
ajaib dan dididik di tempat bergengsi Suan Kulab College. Pada usia 19 tahun dia telah menjadi
seorang pengacara membela klien di pengadilan. Ketika ia memenangkan beasiswa kerajaan untuk
belajar hukum di Paris, Raja Vajiravudh mengatakan bahwa Pridi akan menjadi aset bagi negara.
Dia adalah anggota pendiri Partai Rakyat dan menteri kabinet dalam monarki konstitusional baru.
Dia percaya bahwa pemerintah harus menyediakan hukum, pendidikan, kesehatan dan membantu
perekonomian sehingga individu bisa mengembangkan dan makmur. Dia memodernisasi sistem
hukum Thailand dan mendirikan Universitas Thammasat. Lihat: “The Thai Revolustion 19231932”, dalam http://www.peteranthony.org/The%20Thai%20Revolution.pdf,
diakses di Surakarta,
commit to user
21 Juni 2013.
407
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menuju ibukota dan menuntut kembalinya pemerintahan kerajaan.
Pasukannya mencapai Don Muang dan siap memasuki ibukota.
Meskipun tidak ada pihak menginginkan konflik berdarah,
negosiasi gagal dan Phibun meluncurkan serangan-serangan
terhadapnya pada 13 Oktober. Kedua belah pihak membagikan
selebaran untuk mendapatkan dukungan. Sebagian besar tentara
tetap setia dan tidak bergabung pasukanBoworadet ini dan sesudah
itu politik stabil di bawah antiroyalist Phibun. Phibun mendukung
Jepang selama Perang Dunia II, dan mengubah nama negara dari
Siam ke Thailand.
Setelah perang, pada 1941 Pridi terpilih sebagai perdana
menteri pertama negara itu, tapi Phibun segera berhasil merebut
kembali kekuasaan, mengasingkan Pridi hingga meninggal dunia di
Paris (1983).1159 Phibun selanjutnya digulingkan oleh kudeta lain
pada tahun 19571160. Dalam 50 tahun kemudian terjadi osilasi
antara kekuasaan militer dan pemerintah sipil, disertai dengan
perubahan konstitusional yang begitu sering. Hingga tahun 76
tahun kemudian terhitung sejak berdirinya monarki konstitusional,
1159
Setelah Perang Dunia II, arti konstitusi mulai berubah sesuai dengan perkembangan
baru dalam faksi-faksi politik dan konflik. Mempertahankan parlemen dan stabilitas pemerintah
terbukti semakin sulit. Dalam rangka untuk mengatasi dengan situasi politik dan ekonomi baru
secara internal dan eksternal, Konstitusi 1946 menggantikan parlemen unikameral dengan
bikameral, di mana kamar kedua merupakan lembaa semacam dewan penasehat. Sejak saat itu
majelis tinggi, kemudian disebut sebagai senat, akan menjadi institusi lain dalam pertumbuhan dan
perkembangan pemerintahan parlementer di Thailand. Tahun 1946 Konstitusi dihentikan oleh
kudeta militer tahun 1947.
1160
Meskipun ia memenangkan pemilu pada tahun 1957, Phibun digulingkan dalam
kudeta yang dipimpin oleh kuat militer Sarit Thannarat, yang didukung oleh istana. Sarit kemudian
berkuasa dan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh kematiannya pada tahun 1963
menandakan awal intervensi monarki secara berlebihan. Lihat selengkapnya:Kevin Hewison, “The
Monarchy and Democratisation”, dalam
Kevinto user
Hewison (ed.), 1997, Political Change in
commit
Thailand. Democracy and Participation, London: Routledge, hlm. 58–74.
408
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Thailand telah memiliki 18 konstitusi1161, kemudian mengalami 17
kudeta dan 23 upaya kudeta1162, dan 56 pemerintahan.
Seperti di setiap negara, yang mendasari naskah konstitusi
formal di Thailand adalah seperangkat norma-norma informal dan
aturan yang membatasi pelaksanaan kekuasaan politik. Konstitusi
tidak tertulis membentuk tantangan untuk penelitian komparatif,
karena tidak memiliki kejelasan dan definitif yang kita kaitkan
dengan aturan-aturan hukum, tetapi sangat bermanfaat untuk
memahami Thailand, di mana aturan-aturan formal yang tidak
stabil. Kendala konstitusional yang nyata berasal dari norma
konstitusi tidak tertulis, terutama menyangkut peran lama berkuasa
dan dihormati raja negara itu, Raja Bhumibol Adulyadej, yang naik
takhta setelah pembunuhan tak terpecahkan saudaranya pada tahun
1946.1163
1161
Konstitusi tersebut termasuk UUD 1932 (di tahun ini ada 2 dokumen yang
diumumkan), 1946, 1947 (interim), 1949, 1952 (revisi 1932 konstitusi), 1957, 1968, 1972
(sementara), 1974, 1976, 1977, 1978, 1991 (dua dokumen), 1997, 2006 (interim), dan 2007.
1162
Dari 1947-1958 ada 7 upaya untuk menggulingkan pemerintah dengan kekerasan, 4
di antaranya berhasil: pada tahun 1947, 1951, 1957 dan 1958. Dua pemberontakan terhadap rezim,
yang dikenal sebagai peristiwa Grand Palace Coup tahun 1949 dan Manhattan Coup1951-gagal,
dan satu percobaan kudeta oleh sekelompok perwira militer yang ditekan sebelum itu terjadi.
1163
Meskipun selama tahun-tahun berikutnya Perdana Menteri militer Phibun
Sonkhram berhasil melemahkan pengadilan, bangsawan masih aktif memanipulasi jalannya politik
Thailand ketika pada pertengahan tahun 1946, tak lama setelah ia kembali ke Thailand, Raja Rama
VIII ditemukan tertembak di kamarnya di kediaman kerajaan Borom Phiman. Kobkua mencatat
bahwa ada rumor yang menyebutkan kaum bangsawan berada di balik pembunuhan raja dalam
rangka untuk memanfaatkan kematian Rama VIII guna melakukan kudeta terhadap pemerintah.
Bhumibol menggantikan tahta saudaranya. Dia adalah seorang raja muda dan relatif tidak terlatih,
rentan terhadap bisikan dari penasihat kerajaan, yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam
operasi politik. Monarki absolute baru dihapus hanya 14 tahun lalu, dan dengan muslihat licik
dengan kenangan hari-hari pemerintahan kerajaan, bangsawan senior, terutama Pangeran Rangsit
dan Pangeran Dhani Nivat, menggunakan kematian Raja untuk mendiskreditkan pemerintahan
liberal pasca-perang dan untuk menghidupkan kembali mitos dan ritual kerajaan. Mereka
mencoba untuk mengajar Bhumibol budaya dan sejarah Thailand yang pada dasarnya antidemokratis dan di alam paternalistik. Mereka menegaskan bahwa demokrasi elektoral tidak cocok
untuk Thailand karena rakyat yang tidak berpendidikan cukup bijaksana memberikan suara
mereka dan bahwa raja Thailand yang demokratis "dipilih" oleh persetujuan rakyat, dan
pendeknya, mereka berusaha untuk menanamkan raja muda itu dengan pandangan konservatif.
Lihat: Suwannathat-Pian Kobkua,
2003,
commit
to Kings,
user Country and Constitutions. Thailand’s
Political Development 1932–2000, London: Routledge/Curzon, hlm. 134.
perpustakaan.uns.ac.id
409
digilib.uns.ac.id
Status konstitusional tertulis raja tidak muncul secara
otomatis di 1932, tetapi merupakan hasil dari puluhan tahun
pertarungan politik antara monarki, politisi yang terpilih, dan
militer. Pada tahun 1956, misalnya, raja membuat kritik
terselubung terhadap junta militer, memprovokasi reaksi keras dari
Phibun yang mengancam otonomi kerajaan.1164 Sejak kudeta Sarit
tahun 1957 istana secara bertahap memperluas kewenangannya,
dan pengesahan kudeta telah menjadi standar politik Thailand.1165
Hal ini dikonfirmasi terhadap kejadian pada tahun 1981, ketika
para pemimpin kudeta bergerak melawan Perdana Menteri Prem
Tinsulanond (mantan jenderal) dan mengambil alih sebagian besar
Bangkok.1166 Penolakan raja untuk memberikan dukungan para
pemimpin sangat penting sehingga meruntuhkan kudeta, yang
1164
Pada periode 1957-1992 konstitusi Thailand mengalami banyak pemaknaan ulang.
Dengan pasang surut dalam kehidupan konstitusi, elit politik selama era Perang Dingin telah
memunculkan kecaman bahwa rezim demokrasi liberal Barat sebagai "lembaga asing" tidak sesuai
dengan kebiasaan masyarakat Thailand. Paradoks sikap ini diadopsi meskipun pemerintah
memiliki hubungan erat dengan pemerintah Amerika Serikat, tapi telah menjadi kebutuhan
bersama dan kepentingan pemerintah Thailand dan Amerika Serikat dalam melawan komunisme
selama Perang Dingin. Dalam rangka untuk menciptakan pemerintahan, pemimpin politik lebih
stabil, terutama dari tentara, berpaling dari konsep barat konstitusionalisme dan mengandalkan
hanya pada ide-ide politik tradisional, yaitu paternalisme dan hubungan patron-klien antara
pemerintah dan rakyat.
1165
Fase pemerintahan Sarit merupakan periode pertama redefinisi kembali
konstitusionalisme Thailand vis a vis tuntutan tradisi setempat. Selama rezim Sarit Thanarat ini
(1959-1963)diterapkan sebagai "demokrasi gaya Thailand", cabang eksekutif pemerintah
ditekankan dengan mengorbankan legislatif dan yudikatif. Sarit mendefinisi ulang peran dan
makna konstitusi, menunjuk Majelis Konstituante berfungsi baik sebagai Majelis Perancang
Konstitusi dan legislatif. Lembaga-lembaga demokrasi lain baik dibatasi atau dihapuskan. Partaipartai politik, serikat buruh, organisasi, dan kebebasan pers dan berekspresi dilarang atau ditekan
atas nama perdamaian dan ketertiban nasional. Di tempat modern teori demokrasi, Sarit
memperkenalkan paternalisme Thailand menyerukan apa yang ia klaim sebagai praktik dan
gagasan kuno monarki, di mana pemerintah itu seperti hati ayah dan orang-orang adalah anakanak. Mengklaim kekuatan untuk membimbing dan tanggung jawab untuk merawat kesejahteraan
rakyat, Pemerintah tidak memiliki kebutuhan untuk menerapkan kerangka demokrasi Barat.
Dengan kontrol penuh kekuasaan pemerintah, aturan Sarit dikenal sebagai paternalisme despotik.
Ide-ide politik seperti dan praktek berlanjut di rezim Kittikachorn Thanom sampai rakyat
pemberontakan pada bulan Oktober 1973, menyerukan pemerintahan demokratis penuh. Konstitusi
1974 disahkan sebagai dasar fundamental bagi perkembangan demokrasi, namun, Konstitusi ini
telah dibatalkan oleh kudeta militer Oktober 1976.
1166
Selama pemerintahan Prem Tinsulanond pada 1980-an, telah diadopsi gaya
"demokrasi setengah hati" Thailand yang
memungkinkan
untuk adanya relaksasi terhadap
commit
to user
pembatasan partai politik, gerakan buruh dan media.
410
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gagal setelah 3 hari. Raja telah mengembangkan hubungan dengan
semua kelompok kuat dalam masyarakat, dan monarki telah
memantapkan dirinya sebagai wasit utama konflik politik, berbagi
kekuasaan dengan para politisi, birokrat, dan jenderal yang
memerintah negara pada sehari-hari.
Monarki tetap menjadi faktor stabilisasi, menjauhkan diri
dari politik dan mencegah intervensi pada waktu yang penting
untuk menjaga sistem dalam beberapa kemiripan keseimbangan.
Peran ini telah dimainkan sebagai masalah politik informal dan
bukannya otoritas kelembagaan formal. Misalnya, kekuasaan
formal yang diberikan kepada raja dalam UUD 1997 yang
mungkin lebih besar dari apa yang diberikan dalam monarki
konstitusional dibandingkan Eropa, tetapi kenyataannya tidak
bermakna. Kadang-kadang, bagaimanapun, intervensi raja itu telah
jauh melampaui peran formal yang terbatas.
Sebagai contoh, pada tahun 1992, Raja Bhumibol
menunjuk teknokrat Anand Panyarachun sebagai perdana menteri
walaupun sudah terpilih Somboon Rahong, yang telah dicalonkan
oleh parlemen. Pilihan ini diterima secara luas, meskipun kurang
mengikuti ketentuan konstitusi.1167 Sebuah daftar lengkap dari
aturan konstitusi tidak tertulis adalah sebagai berikut:
Raja merupakan kepala negara, sangat dihormati dan akan
membatasi
intervensi
dalam
ranah
politik.
Namun,
pada
kesempatan ketika ia menjalankan kekuasaannya, ia akan
dihormati. Militer dapat melangkah masuk untuk menyelesaikan
krisis dan kudeta adalah metode yang bisa diterima perubahan
1167
Ketika junta kemudian menerima penunjukkan Anand Punyarachun sebagai
perdana menteri sementara, dia juga telah secara luas diterima dan dipuji sebagai "orang yang
tepat untuk pekerjaan itu". Seorang diplomat dan pengusaha, bukan pejabat karir militer dan teman
pribadi para pemimpin kudeta seperti pada peristiwa terkini, Anand bekerja tegas untuk
kepentingan umum. Namun, pada akhirnya dia tidak juga mampu mencegah militer dari
memperoleh konstitusi yang menegaskan kembali peran politik dan membuka jalan bagi pemimpin
kudeta untuk menjadi perdana menteri, commit
yang mendorong
to user protes dan pertumpahan darah dari Mei
1992.
411
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepemimpinan. Namun, setiap kudeta harus selalu mencari berkat
pribadi dari Raja dan kemudian publik. Sementara itu, kekerasan
terhadap rakyat jarang, jika pernah dianggap sah dan tidak ada
kekuatan politik yang berhak terlalu membatasi kebebasan rakyat.
Selain itu, tampaknya ada pemahaman konstitusi sekarang bahwa
pemimpin
kudeta
harus
memulihkan
demokrasi
dengan
menjanjikan pemilu baru dan konstitusi baru. Para pemimpin
kudeta selalu menyebarluaskan UUD sementara yang baru sebagai
fakta bahwa Thailand telah memiliki begitu banyak konstitusi
membuktikan tradisi kudeta karena cara seperti ini. Seperti
ditunjukkan oleh seorang komentator, Thailand telah menerima
proses konstitusional tanpa menerima cita-cita dan praktek
konstitusional, berulang kali mengadopsi teks baru yang gagal
untuk bertahan atau menghambat.1168
Transisi demokrasi dimulai pada tahun 1991. Pada tahun
1991, salah satu dari banyak kudeta negara itu telah dipicu oleh
intra politik faksi militer. Setelah berkuasa, pemimpin baru mulai
merancang reformasi konstitusi untuk mempertahankan kekuasaan,
dan seorang militer, Jenderal Suchinda, terpilih sebagai perdana
menteri. Partai politik memprotes, dan demonstrasi besar
dikembangkan di jalan-jalan Bangkok pada Mei 1992, menuntut
reformasi konstitusi yang lebih luas dan kembali ke demokrasi.
Protes ini dipenuhi dengan kekerasan oleh militer. Krisis itu
dihindari hanya ketika raja mengkritik perdana menteri militer dan
1168
Peran bersejarah konstitusi dalam politik Thailand mencerminkan posisi unik dalam
kelangsungan pemerintahan. Setelah penghapusan monarki absolut, negara belum mampu
membangun institusi dan kebiasaan baru untuk melegitimasi transfer kekuasaan dengan kekerasan.
Dalam tradisi pemerintah Thailand kuno kudeta istana dan penggunaan kekuatan untuk
menggulingkan atau mengambil alih kekuasaan raja itu dibenarkan dan dilegitimasi oleh konsep
kekuasaan dan meryst berdasarkan keyakinan agama Buddha. Menurut kepercayaan tradisional,
perilaku yang benar dari pemimpin adalah prasyarat untuk memiliki kekuasaan mereka. Itu berarti
bahwa mereka yang memiliki kekuatan yang dianggap baik dan layak itu. Tapi legitimasi rezim
modern yang berasal tidak hanya berasal proses rumit konstitusional, menyerukan pemilu baru,
menunjuk tokoh layak di pemerintahan,commit
dan menyatakan
to user kesetiaan kepada monarki, tetapi lebih
menunjukkan kemampuan rezim untuk mempertahankan otoritas dan kekuasaan .
perpustakaan.uns.ac.id
412
digilib.uns.ac.id
pemimpin protes sipil di televisi. Setelah itu diikuti penyusunan
pemerintah sementara yang terdiri atas teknokrat dengan beberapa
perwakilan militer bertugas mengawal demokratisasi. Awalnya,
pemerintah berusaha untuk menyelenggarakan transisi melalui
proses amandemen konstitusi, tapi akhirnya diputuskan bahwa
perlu UUD yang sama sekali baru.1169 Suatu komisi perancang
UUD diusulkan dalam 1995 akan tetapi susunan keanggotaannya
ditentang oleh kepentingan politik lain di Thailand.1170 Komisi
perancang ini terdiri dari akademisi yang dihormati, serta
pengacara dan teknokrat lainnya, tetapi mendapat dukungan dari
militer.1171 Meskipun Raja mengusulkan suatu konstitusi yang
sederhana, rancangan UUD menghasilkan 336 artikel dan 142
halaman dalam terjemahan bahasa Inggris.1172 Proses ini dirancang
sebagai model keterlibatan publik dan musyawarah, dengan
konsultasi luas dan mengandung sesi pendidikan. Proses adopsi
juga, termasuk usulan masyarakat sebagai pilihan cadangan:
konstitusi itu harus diadopsi oleh Majelis Nasional, tapi kalau
majelis menolak rancangan tersebut, maka akan diikuti referendum
publik yang merupakan pertama kali dalam sejarah Thailand.
Diskusi publik yang sangat besar dengan menggunakan t-shirt
(hijau untuk mendukung konstitusi, kuning untuk oposisi) melalui
debat dan diskusi publik. Pada akhirnya, referendum itu tidak
perlu, sehingga Majelis Nasional menerima rancangan di tengah
dukungan publik yang besar. Konstitusi 1997 dapat dianggap telah
1169
Ada juga sebenarnya faktor pendorong yang lain, yaitu untuk menghindari
kekerasan politik setelah kematian raja saat ini, pernyataan sensitif yang tidak dilaporkan di media
lokal. Lihat: Duncan McCargo, “A Hollow Crown”, New Left Review, Vol. 43, 2007, hlm.. 135.
Peter Leyland, “Thailand’s Constitutional Watchdogs: Dobermans, Bloodhounds or
Lapdogs?”, Journal of Compulsory Law, Vol. 2, 2008, hlm. 151.
1170
1171
Andrew Harding, “Buddhism, Human Rights and Constitutional
Thailand”, Journal of Compulsory Law, Vol. 1, 2007, hlm. 239.
Reform in
Setelah rancangan konstitusi
disebarluaskan,
commit
to user mantan pemimpin kudeta Suchinda
Kraprayoon berpendapat bahwa konstitusi itu terlalu rinci.
1172
413
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibentuk oleh rakyat daripada ditunjuk oleh militer, raja, atau
pemerintah, dan melakukannya dengan cara yang masuk akal
dalam konteks ketidakpercayaan politisi lokal dan partai politik.
Konstitusi 1997 menandai kemajuan besar dalam pemikiran
orang di Thailand pada isu-isu konstitusional dan pengelolaan
masyarakat mereka. Ini memperkaya jutaan perilaku. Ini juga
merupakan kemajuan besar dalam gagasan konsensus. Sedangkan
"konsensus" sebelumnya telah dipahami dalam hal patronase yaitu
apa elit putuskan atas nama orang lain, tetapi sekarang dipahami
sebagai kesepakatan matang di kalangan masyarakat umum.
Rakyat di seluruh negeri segera menunjukkan pemahaman yang
lebih baik tentang makna sebenarnya dari konsensus daripada
memiliki otoritas tradisional.1173
Konstitusi yang baik tidak mati hanya karena pemerintah
buruk menyiksa mereka. Konstitusi India tidak hancur oleh
keadaan darurat yang ditetapkan oleh diktator Indira Gandhi di
pertengahan 1970-an, bahkan digunakan oleh rakyat untuk
menentang dan mengalahkannya. Konstitusi Nepal tidak mati
meskipun upaya Raja Gyanendra menerapkan kembali monarki
absolut, lali rakyat berjuang kembali dan memulihkan demokrasi
mereka. Juga Konstitusi Amerika Serikat tidak mati, meskipun
penyalahgunaan kekuasaan besar oleh pemerintahan Bush.
1173
Meskipun konstitusi kadang-kadang memasukkan ketentuan dari praktek dengan
rezim terdahulu, namun ketentuan-ketentuan tersebut untuk sebagian besar merupakanpenemuan
baru. Nasib ketentuan-ketentuan baru tersebut tetap terikat dengan sejarah politik suatu negara
tertentu, terutama berkaitan dengan aspirasi untuk demokrasi. Konstitusi Thailand tidak
terkecuali. Thailand terlempar ke dalam demokrasi, atau setidaknya demokratisasi, setelah kudeta
tahun 1932. Para pemimpin kudeta ini segera berhadapan dengan dilema karena harus
menyesuaikan cita-cita konstitusionalisme Barat dengan realitas masyarakat Thailand dan politik:
yaitu masyarakat yang sangat bertingkat dengan sejumlah besar orang berpendidikan dan
konsentrasi sumber daya politik dan ekonomi di tangan sebagian kecil dari populasi. Selain itu
kehadiran militer dalam kapasitas mereka sebagai 'bidan' demokrasi Thailand, meskipun awalnya
tidak dianggap sebagai halangan untuk kemajuan
demokrasi,
commit to
user menjadi semakin bermasalah karena
mereka mendapatkan kekuatan selama periode Perang Dingin dan seterusnya.
414
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemahaman ini penting karena proses transisi demokrasi
dengan
pemberlakuan
Konstitusi
1997
di
Thailand
akan
memperoleh perubahan mendasar dengan terpilihnya Thaksin
Shinawatra1174 pada Januari 2001. Thaksin yang telah membangun
sebuah keberuntungan dalam bisnis telekomunikasi, dan kemudian
masuk politik pada tahun 1994, menjadi anggota parlemen dan
anggota kabinet di tahun-tahun awal kembali ke demokrasi.1175
Digambarkan sebagai Thailand’s Silvio Berlusconi, Thaksin
menawarkan sedikit di jalan kebijakan substantif, tapi ia menyadap
kebencian regional dan membangun pengikut di Utara dan Timur
Laut pedesaan. Pada pemilu bulan Februari 2005 pemilu, Thaksin
memenangkan kemenangan telak dengan memperoleh 374 dari 500
kursi di parlemen dan melanjutkan jabatan perdana menteri untuk
periode kedua.
Namun kemenangan itu diikuti krisis politik dengan
meluasnya demonstrasi oleh gabungan akademisi, mahasiswa,
pendukung controversial Santi Asoke Buddha sekte yang dipimpin
oleh mantan mentor Thanksin, Chamlong Srimuang, pengikut
kontroversial biksu Luang Ta Bua Maha, dan karyawan perusahaan
negara menentang privatisasi. Thaksin dituduh otoriter dalam
1174
Mantan pemimpin populis Partai Thai Rak Thai ini lahir pada 26 Juli 1949 di
distrik San Kamphaeng, Chiangmai. Thaksin adalah anak kedua dari Lert Shinawatra and Yindi
(Ramingwong). Pada tahun 1968, Lert Shinawatra memasuki dunia politik dan menjadi anggota
parlemen untuk Chiangmai, tetapi Lert Shinawatra mundur dari politik pada tahun 1976. Kakek
Thaksin, Seng Sae Kh adalah seorang imigran China dari Meizhou, Guangdong, mengumpulkan
kekayaannya melalui usaha pertanian. Khu / Shinawatra kemudian menemukan menjadi
pengusaha sutra dan mengembangkan bisnis keuangan, konstruksi dan properti. Lert Shinawatra
membuka kedai kopi, mengelola usaha jeruk dan bunga di distrik San Kamphaeng Chiangmai,
dan membuka dua bioskop, pompa bensin, dan dealer mobil dan sepeda motor. Pada saat Thaksin
lahir, keluarga Shinawatra adalah salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di
Chiangmai. Lihat: Chinda Tejavanija, “Ethic of Political Leader: The Comparative Study of
George W. Bush and Thaksin Sinawatra”, A Report Submitted in Partial Fulfillment of the
Requirements for The Political Leaders in the New Era Program King Prajadhipok’s Institute ,
June – November 2007, hlm. 7.
1175
Pada bulan Agustus 1997, Thaksin ditunjuk menjadi Wakil Perdana Menteri dalam
Pemerintah Chavalit Yongchaiyudh. Ini terjadi segera setelah devaluasi bath di 2 Juli 1997
akibatkrisis keuangan Asia. Thaksin menjabat
hanya
3 bulan, meninggalkan jabatan pada tanggal
commit
to user
14 November setelah Chavalit mengundurkan diri.
415
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyelesaikan
konflik
di
wilayah
muslim
Phattani
dan
memperoleh keuntungan pribadi atas penjualan perusahaan
telekomunikasi milikinya, Shin Corp, ke Temasek Holding. Pada
tanggal 24 Februari 2006, dengan seruan baginya untuk
mengundurkan diri atas masalah dan protes jalanan besar-besaran,
Thaksin mengumumkan pembubaran Parlemen dalam upaya untuk
mengakhiri krisis politik. Thaksin merencanakan melaksanakan
pemilus segera pada April 2006, namun partai-partai oposisi utama
mengumumkan boikot pemilu pada tanggal 27 Februari.
Setelah berbulan-bulan mengalami ketidakpastian politik,
pada malam 19 September 2006, saat Thaksin mengikuti
pertemuan PBB di New York, Kepala Angkatan Darat Sonthi
Boonyaratglin memimpin kudeta yang melucuti pemerintah
Thaksin dari semua kekuasan. Thaksin tinggal di luar negeri sejak
kudeta, dan diancam akan ditangkap jika ia kembali ke Thailand.
Urusan bisnis keluarganya dan tuntutan pidana terhadap Thaksin
dan anggota pemerintahan yang digulingkan sekarang sedang
diselidiki. Pemerintahan dilaksanakan oleh the Council of National
Security.
(2) Kinerja Mahkamah Konstitusi
Sebelum pembentukan Konstitusi 1997, Thailand tidak
pernah mempunyai tradisi atau preseden hukum mengenai sebuah
badan independen
yang mengelola persoalan hukum dan
politik.1176 Di dalam praktik, 15 konstitusi yang telah berlaku
1176
Pengadilan telah lama menjadi kaki terlemah dari negara Thailand. Secara historis,
peran pengadilan terbatas menegakkan undang-undang dan bekerja sama dengan eksekutif dengan
maksud untuk membentuk suatu masyarakat yang stabil. Peran interpretatif diberikan pengadilan
dengan yurisdiksi yang lain, dan pentingnya mereka dalam menyeimbangkan kewenangan
eksekutif dan legislatif, yang belum lama telah diakui di Thailand. Akibatnya, politisi dan
pengusaha bersama-sama dengan perwira militer elit, polisi korup dan birokrat selama beberapa
dekade mengendalikan secara kuat gangguan urusan nasional. Berakhirnya kediktatoran militer
pada tahun 1992 dan konstitusi progresif tahun 1997 membuka pintu bagi pengadilan untuk
memainkan peran baru dalam membentuk masa depan negara, terutama dengan diperkenalkannya
dua pengadilan unggul baru. Namun, peran
ini memerlukan
commit
to user beberapa tahun untuk kemungkinankemungkinan baru untuk diakui dan dipertahankan.
416
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebelumnya memerintahkan kodifikasi dan hukum tata usaha
negara yang disusun oleh birokrasi untuk mengatur rakyat di dalam
masyarakat dengan membatasi hak-hak fundamental dan tuntutan
kebebasan. Politisi, militer, dan birokrat sipil senior di Thailand
menganggap diri mereka layak untuk menafsirkan setiap
perundang-undangan dan substansi
UUD. Konstitusi
1997
berusaha untuk mengatasi persoalan ini mempertahankan hukum
konstitusi Thailand. Hal ini dilaksanakan dengan menyatakan UUD
sebagai dasar dari segala peraturan perundang-undangan, kemudian
mengurangi pengaruh politisi dan birokrat untuk memastikan
kepatuhan terhadap UUD. Selanjutnya, dilakukan upaya CR
melalui proses yang bebas dari cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudisial, kemudian memastikan akuntabilitas
pemerintahan dan melindungi kebebasan sipil.
Dengan pertimbangan tersebut, maka digagas pembentukan
MK. Pembentukan MK ini merupakan salah satu isu yang
menonjol dalam perdebatan selama persiapan rancangan UUD.
Gagasan ini secara terang-terangan ditentang oleh para hakim
senior dengan anggapan bahwa CR semestinya dilaksanakan oleh
MA.
Mereka
berpendapat
bahwa
keberadaan
MK
akan
menciptakan cabang kekuasaan ke-4 yang lebih berkuasa
dibandingkan yudisial, legislatif, dan eksekutif. Para hakim juga
cemas mengenai intervensi politik dalam rekrutmen dan pemecatan
hakim konstitusi. Sesudah 5 bulan perdebatan, Komisi Konstitusi
mengkonfirmasi pembentukan MK tetapi dengan konsensi adanya
pertentangan kekuasaan kehakiman mengenai komposisi dan
wewenang Mk. Konsensi ini telah menarik perhatian diantara
pendukung reformasi UUD dan penganjur negara berdasarkan
hukum.
Pada konsesi yang pertama, komisi memutuskan bahwa
commit towewenang
user
MK tidak akan mempunyai
untuk menguji putusan final
417
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
MA. Jika para pihak atau hakim, percaya bahwa kasus tersebut
melibatkan isu konstitusionalitas, pengadilan dapat mengajukan
pendapat
ke
MK.
Pengadilan
menunda
pemeriksaan
dan
persidangan hingga MK mengeluarkan putusan mengenai hal
itu.1177 Dengan demikian, pihak yang keberatan dapat mengajukan
permohonan kepada MK sepanjang pelaksanaan persidangan
tersebut tetapi sekali MA sudah memutus perkara yang
bersangkutan, tidak ada wewenang MK untuk meninjau putusan
MA. Meskipun demikian, hal ini tidak akan melarang MK untuk
mempertimbangkan pengujian UU pada kasus yang identik
lainnya.1178 Semua pengadilan akan mematuhi putusan MK
meskpun putusan tersebut tidak berlaku surut atas putusan-putusan
pengadilan sebelumnya., Komisi juga menghapus formulasi awal
mengenai wewenang MK untuk memutus perkara di mana UUD
tidak mendelegasikan kekuasaan badan untuk mengadilan,
sehingga membiarkan hal itu dilaksanakan oleh sistem pengadilan
yang ada.
Komisi juga melakukan konsesi yang kedua, guna
mengurangi campur tangan politik terhadap MK. Komisi
1177
Meskipun Konstitusi Thailand adalah hukum tertinggi negara, pengadilan enggan
untuk menerapkan ketentuan secara langsung. Pasal 6 menyatakan bahwa, "Ketentuan-ketentuan
UU, peraturan perundang-undangan atau peraturan lain yang bertentangan atau tidak konsisten
dengan Konstitusi harus dinyatakan tidak berlaku." Namun, dalam kenyataannya pengadilan telah
menunggu pengesahan dan revisi hukum domestik sejalan dengan konstitusi , dan sampai batas
tertentu, bimbingan dari pengadilan yang lebih tinggi, sebelum bertindak atas ketentuanketentuannya. Akibatnya, masih banyak hukum nasional yang diberlakukan di Thailand saat ini
yang bertentangan dengan hukum konstitusional. Ada juga ketentuan konstitusional yang tidak
ditindaklanjuti dengan pembentukan UU, sehingga sulit bagi pemohon menjadi sulit untuk
memperoleh ganti rugi karena melalui jalur hukum dan kelembagaan.
1178
Dalam beberapa tahun terakhir, pengadilan di Thailand telah berusaha menghindari
implikasi dari kontradiksi dan kesenjangan yang ditemukan antara konstitusi dan undang-undang
bawahan, karena semakin banyak terdakwa dan penggugat sama-sama mendalilkan bahwa hak
konstitusional mereka telah dilanggar dengan undang-undang dan peraturan tertentu. Hal ini
telah menyebabkan kebingungan dan ketidaknyamanan, seperti pasal 28 konstitusi
dengan jelas menyatakan bahwa, "Seseorang yang hak dan kebebasan yang diakui oleh Konstitusi
ini dilanggar dapat menggunakan ketentuan
Konstitusi
ini untuk membawa gugatan atau membela
commit
to user
dirinya sendiri di pengadilan. "
418
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghapus draf awal sebagaimana ketentuan Pasal 260 yang
menentukan 10% anggota gabungan Senat dan DPR untuk
mengusulkan pemecatan terhadap para hakim, dan ketentuan
mengenai 1/3 forum gabungan tersebut untuk memecat hakim.
Sebagai gantinya, usulan pemecatan hakim dapat diajukan oleh
50.000 pemilih atau separuh anggota DPR yang mengajukan
kepada senat untuk memulai proses tersebut. Putusan pemecatan
itu harus didukung oleh sekurang-kurangnya 1/5 anggota Senat.
Sampai hari ini, hanya sekali usulan pemecatan itu diajukan oleh
50 ribu pemilih, yaitu berhubungan dengan keberatan KPK
terhadap 4 hakim dalam perkara Thaksin Shinawatra yang
memutuskan ketentuan Pasal 295 tidak dapat diterapkan.
Ketiga, untuk meredakan ketegangan di kalangan hakim,
Komisi memperbaiki mekanisme seleksi untuk memastikan bahwa
kekuasaan kehakiman mempunyai pengaruh yang lebih kuat
terhadap komposisi MK. Pada awalnya MK direncanakan
mempunyai 9 hakim yang meliputi 6 orang pakar hukum dan 3
pakar ilmu politik. Sebuah panitia yang beranggotakan 17 orang
akan mengajukan kandidat sebanyak 18 nama kepada Parlemen
dan kemudian Parlemen akan memutuskan 9 hakim terplih.
Sekalipun Ketua Panitia tersebut karena jabatannya diisi oleh
Ketua MA, tetapi anggota panitia lain mencakup 4 perwakilan
partai politik di Parlemen. Cara tersebut memperkuat pengaruh
kekuasaan kehakiman adalah memasukkan hakim MA dan hakim
PTUN, juga aparatur pengadilan yang lain dalam sebagai hakim
konstitusi Tetapi, gagasan ini dianggap bertentangan dengan
prinsip bahwa MK harus merupakan sebuah badan yang
independen dan para hakim bekerja penuh waktu.
Komisi kemudian memutuskan untuk menambah komposisi
MK dari awalnya 9 hakim menjadi 15 hakim, di mana 7
commit
to userdari lingkungan pengadilan lain.
diantaranya ditetapkan
berasal
419
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebanyak 5 hakim dipilih secara rahasia diantara para hakim
agung. Sebanyak 2 hakim akan dipilih oleh MA TUN. Sementara
jumlah hakim yang akan diseleksi oleh Senat yang awalnya 8 pakar
hukum dan politik, dikurangi hanya menjadi 3 hakim. Sebelumnya
direncanakan, seleksi itu akan melalui panel gabungan Senat dan
DPR.
Sesudah pemilihan hakim, MK secara resmi didirikan pada
tanggal 11 April 1998. Dalam komposisi ini, MKk memiliki
seorang Ketua dan 14 hakim. Awalnya, hanya ada 13 hakim karena
PTUN belum mencalonkan 2 hakim sesuai ketentuan Konsttiusi.
Untuk pertama kali, para hakim memilih diplomat karir Chao
Saichua sebagai Ketua mereka, dan Deputi Sekretaris Kabinet
Jenderal Noppadol Hengcharoen menjadi Sekretaris Jenderal MK.
Untuk menginformasikan kepada publik mengenai kinerjanya, MK
mulai
mengeluarkan
sebuah
jurnal
triwulan,
Warasan
Rattathamanun [Jurnal MK] pada Januari 1999. Jurnal ini
memberikan gambaran kasus terpilih dan serangkaian dokumen
dan artikel akademis tentang isu-isu hukum konstitusi.
Dari 1998, sampai dengan 10 Oktober 2002, MK telah
mengeluarkan 237 putusan. Dari jumlah perkara tersebut, lebih dari
separuh perkara menyangkut CR (132 perkara atau 55,7%). Isu
partai politik (39 perkara atau 16,5%) dan pemecatan pejabat (25
perkara atau 10,5%) secara keseluruhan mencakup 27% putusan
yang ditetapkan oleh MK. Jumlah putusan yang paling sedikit
menyangkut konstitusionalitas tindakan parlemen (18 perkara atau
7,6%) dan pemerintah (23 perkara atau 9,7%).
Hampir 56% dari permohonan yang diajukan ke MK
selama 4 tahun pertama menyangkut CR. Perkara ini diajukan
terutama oleh Pengadilan Sipil, Pidana dan Provinsi atas
permintaan pihak yang terlibat dalam kasus. Pasal 264 UUD
commit pengadilan
to user
menyatakan kewenangan
untuk menunda persidangan
420
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan ajudikasi saat mengajukan mosi ke MK "jika pengadilan atau
para pihak berpendapat bahwa dalam kasus tersebut menyebutkan
keberatan menyangkut penerapan UU yang dianggap bertentangan
dengan Pasal 6 dari Konstitusi. Pasal 6 UUD menyatakan:
"Konstitusi adalah hukum tertinggi negara. Ketentuan UU,
peraturan perundang-undangan atau regulasi, yang bertentangan
atau tidak konsisten dengan Konstitusi ini tidak berlaku mengikat."
Untuk memperkuat preseden ini dalam hukum konstitusi Thailand,
Pasal 29 menetapkan bahwa satu-satunya pembatasan UU terhadap
hak warga negara adalah sepanjang ditentukan dalam Konstitusi.
Dalam putusan CR yang pertama kali1179, menyangkut
perkara yang diajukan oleh Ny. Ubol Bunyachalothorn. Dalam hal
ini, Ny. Ubol berusaha untuk meminta pengujian konstitusionalitas
penolakan Kejaksaan Nonthaburi Kejaksaan untuk menyerahkan
bukti bahwa dia telah diperiksa dalam sidang pembunuhan dan
penolakan Pengadilan Tinggi Nonthaburi untuk mengirimkan
permohonannya ke Mahkamah Konstitusi. Pengadilan menolak
permohonan itu karena Pasal 264 tidak mengizinkan tiap orang
untuk menyerahkan mosi langsung ke MK; hakim menyimpulkan
permohonan hanya dapat dilakukan oleh pengadilan umum.
Dampak dari putusan ini adalah setiap hakim pengadilan umum
mungkin secara subyektif akan menahan permintaan terdakwa
untuk mengajukan CR. Meskipun pengadilan umum terikat oleh
konstitusi untuk menyerahkan semua petisi ke MK, kalangan
pengacara menuturkan kecenderungan yang sedang berkembang di
antara para hakim untuk menolak mengajukan permohonan itu
berdasarkan pertimbangan hukum mereka sendiri. Saat ini ada
sedikit jalan bagi para pemohon untuk memaksa hakim untuk
menyerahkan permohonan semacam itu. Sebuah keputusan penting
1179
commit to user
Putusan No. 5/2541, 1998.
421
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mungkin diperlukan oleh KY untuk menghentikan kecenderungan
ini.
Putusan lain yang mempunyai efek signifikan adalah
permohonan yang diajukan oleh Pengadilan Tinggi Songkhla atas
nama penggugat Kriangsak Saelao.1180 Pengacara Kriangsak
berargumen bahwa Suku Bunga Maksimum yang diumumkan oleh
Siam Commercial Bank, yang dikeluarkan di bawah peraturan
Bank Sentral Thailand tidak konstitusional. Dengan suara
mayoritas, MK menolak permohonan ini. Ini adalah indikasi
pertama bahwa MK melaksanakan p[engujian menurut Pasal 264
terbatas meliputi peraturan parlemen dan regulasi pemerintah. Hal
diperjelas dalam putusan atas permohonan Pengadilan Tinggi
Ayutthaya yang memohon pengujian konstitusionalitas Peraturan
Perdana Menteri yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan UndangUndang Perlindungan Lingkungan 1992.1181
Selain menerapkan tafsiran sempit atas Pasal 264, MK
kurang berminat dalam dalam menegakkan hak-hak warga negara
yang diamanatkan oleh konstitusi bila hak-hak tersebut dilaggar
oleh UU, peraturan perundang-undangan, maupun regulasi. Contoh
yang paling mencolok dari hal ini adalah putusan MK atas
permohonan yang diajukan oleh Ombudsman atas nama Sirimit
Boonmul dan Boonjuti Klubprasert.1182
Meskipun MK telah mengeluarkan beberapa putusan yang
sangat kontroversial yang telah membagi hakim ke dalam kubu
yang
berlawanan,
sebagian
besar
putusannya
berdasarkan
kesepakatan mayoritas. Dari perspektif reformis liberal, yang
berniat menggunakan UUD 1997 sebagai alat untuk mengakhiri
pemerintahan pemerintahan birokrasi yang telah memerintah
1180
Putusan No. 4/2542, 1999.
1181
Putusan No. 14/2543, 2000.
1182
Putusan No. 16/2545, 2002.
commit to user
422
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Thailand selama lebih dari 60 tahun terakhir, MK telah konservatif
dan segan untuk mempromosikan perlindungan hak-hak warga
negara atas kekuasaan negara. Dari perspektif reformis konservatif,
dan kalangan konservatif pada umumnya, MK telah melakukan
tindakan keras terhadap perubahan sistem yang selama ini mereka
nikmati dan yang mereka yakin akan dapat mempertahankan daya
saing Thailand dalam ekonomi global tanpa terlalu mengabaikan
cita-cita demokrasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI
INSTRUMENTALISME HUKUM DALAM RUANG POLITIK
DIKAITKAN DENGAN CONSTITUTIONAL REVIEW DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA MAHKAMAH KONSITITUSI
DALAM TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Desain Transisi Demokrasi di Indonesia
(1) Struktur dan Ciri Otoritarian Orde Baru
Diantara negara-negara mengalami demokratisasi, Indonesia
menunjukkan diri sebagai kasus yang unik ”as far as external influences
on processes of regime change are concerned.”1183 Sekalipun pengaruh
internasional menjalankan peran yang signifikan dalam transisi demokrasi,
pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1998 “was not the
consequence of diplomatic pressure or other deliberately targeted,
external
democracy
promotion.”1184
Diantara
rentang
waktu
pemerintahannya, yang dikenal sebagai rezim Orde Baru1185, Soeharto-Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Economic Criss, Foreign Pressure, and
Regime Change”, hlm. 144.
1183
1184
Ibid.
“Orde Baru” adalalah rezim yang secara formal lahir pada 12 Maret 1967 dan
secara prematur telah menumbuhkan dirinya sejak 11 Maret 1966 tatkalah Soeharto menerima
“Surat Perintah” dari Soekarno. Di satu sisi, rezim Orde Baru dikenal sebagai pembaharu. Namun
di sisi lain, dalam perkembangan selanjutnya, menjadi otoriter dan militeristik yang mengontrol
dengan cara sentralistik elemen masyarakat, seperti media, partai politik, organisasi, buruh,
pegawai pemerintah, dan kegiatan lainnya dalam ruang publik. Lihat: Eep Saefullah Fatah, 2012,
Konflik, Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru, Jakarta, Penerbit Burung Merak Press, hlm.
70. Baca juga: Michael R.J. Vatikiotis, 1993, Indonesian Politics Under Soeharto, Chicago, Taylor
& Francis, khususnya Bab II, hlm. 32-59. Dalam buku ini diuraikan bahwa Setelah 25 tahun
berkuasa, Presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Baru menghadapi krisis pembaharuan. Rezim
ini, yang meraih kekuasaan di belakang sebuah kudeta militer pada tahun 1965, telah membawa
stabilitas abadi dan kemakmuran ekonomi bagi negara, tetapi tidak menunjukkan kecenderungan
untuk menyerahkan tampuk kekuasaan kepada generasi berikutnya. Akibatnya, tekanan untuk
perubahan politik berkembang. Buku ini menawarkan analisis informasi secara seimbang
mengenai Orde Baru Soeharto saat mendekati suatu titik politik penting. Stabilitas politik yang
luar biasa di Indonesia untuk sebagian besar negara menjadi dasar kajian yang utama. Diam-diam,
Indonesia telah berpindah ke posisi yang kuat melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat di
kawasan. Dengan menjalankan reformasi ekonomi liberal dan pemberian lebih banyak kebebasan
untuk sektor swasta, pemerintah telah mengubah ekonomi yang tergantung pada komoditas
Indonesia ke industri baru. Tetapi sekarang, keberhasilan ekonomi berjalan melawan
ketidakpastian politik dalam negeri. Penulis menelusuri asal muasal Orde Baru dan akar militer,
to userdicapai di bawah Suharto. Dia juga
dan mengevaluasi kemajuan ekonomicommit
yang cukup
menganalisis Soeharto sendiri, seorang pria yang low profile secara internasional dan kharismatik
1185
423
perpustakaan.uns.ac.id
424
digilib.uns.ac.id
yang memutuskan hubungan diplomatik dengan China1186--memperoleh
dukungan dari pemerintahan negara-negara Barat1187, sebagai penghargaan
atas perjuangan antikomunisme1188, mempertahankan stabilitas di kawasan
tetapi telah membuatnya menjadi salah satu sosok yang paling sedikit dipahami tetapi menarik
sebagai pemimpin yang telah lama menjabat.
1186
Aliansi China dengan Indonesia pada pertengahan enam puluhan tampaknya
menjadi prestasi spektakuler strategi diplomasi, namun menjadi bencana kebijakan luar negeri
utama bagi Cina. Untuk mengeksplorasi sekitar isu ini, Mozingo menawarkan analisis persuasif
dari kekuatan bersaing yang mempengaruhi kebijakan Beijing terhadap Jakarta dan faktor-faktor
yang pada akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Dia menjelaskan bagaimana dan mengapa
kebijakan Cina di Indonesia bergeser secara dramatis dari permusuhan terhadap koeksistensi
damai dan kembali lagi ke permusuhan. "Meskipun pertimbangan strategi global dominan
dipengaruhi desain dan pelaksanaan kebijakan itu," tulisnya, "faktor penentu yang mempengaruhi
hasil dari hubungan Sino-Indonesia secara konsisten terbukti menjadi proses politik dalam negeri
di Indonesia, di mana Beijing memiliki sedikit atau justru sama sekali tidak ada kontrol." Pada
akhirnya, Cina tidak mampu menyelesaikan kontradiksi antara pertimbangan real-politics dan etos
revolusioner mereka sendiri. Mozingo berpendapat bahwa kontradiksi yang sama bertanggung
jawab untuk sikap yang sangat ambivalen di mana Beijing telah menjalin hubungan dengan
negara-negara Asia lainnya sejak tahun 1949. Lihat selengkapnya: David Mozingo, 2007, Chinese
Policy Toward Indonesia 1949-1967, Jakarta-Kuala Lumpur, Equinox Publishing.
1187
Pemerintah asing memuji prestasi ekonomi Orde Baru. Misalnya, duta besar
Amerika Serikat untuk Indonesia, John H Holdridge berkomentar pada tahun 1983 sebagai berikut:
"Ini merupakan prestasi yang luar biasa, di mana semua orang Indonesia bisa bangga ... prestasi
ekonomi Indonesia di bawah Presiden Soeharto telah sama-sama mengesankan. Mulai dari titik
hampir bangkrut, Indonesia mampu mencapai swasembada dalam industri tekstil, semen, pupuk,
dan komoditas penting lainnya selama tahun 1970. Dalam produksi beras, Indonesia telah
membuat keuntungan yang luar biasa. Hasil per hektar telah tumbuh sebesar 4% per tahun dan
sekarang merupakan yang tertinggi di daerah tropis. Sebagai hasil dari kemajuan ini, Indonesia
mempunyai akses yang lebih baik dalam pendidikan, pangan, dan memiliki standar hidup yang
lebih tinggi daripada sebelumnya. Dan ada setiap alasan untuk percaya kemajuan ini akan terus
berlanjut. Bank Dunia baru-baru ini melaporkan bahwa pada tahun 1983 Indonesia benar-benar
meningkatkan posisinya di antara negara-negara berpenghasilan menengah ... Amerika Serikat
telah dan akan terus mendukung program Indonesia untuk memenuhi aspirasi pembangunan
masyarakatnya. Kami bangga dalam kerjasama kami dalam program perdagangan, investasi dan
pembangunan yang memberikan kontribusi untuk kemajuan Indonesia ... " Lihat: Mohammad Ali,
Muhamad Ali, “Islam and Economic Development in New Order’s Indonesia (1967-1998)”, Paper
was presented at the 3rd East-West Center International Graduate Student Conference, February
19-21, 2004 in Honolulu, Hawaii, hlm. 10-11.
1188
Dukungan ini terutama sekali dari Amerika Serikat. Serangan Suharto terhadap
kaum komunis dan perebutan kekuasaan presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan
sepenuhnya peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah Indonesia berubah
dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin dengan garang menyuarakan netralitas dan
antiimperialisme menjadi rekanan pendiam yang patuh kepada tatanan dunia Amerika. Sebelum
G-30-S terjadi, kedutaan Amerika telah memulangkan hampir semua personil mereka dan
menutup konsulat-konsulatnya di luar Jakarta, karena gelombang-gelombang demonstrasi militan
yang dipimpin PKI. Presiden Sukarno kelihatannya menutup mata dan merestui aksi-aksi itu
dengan tidak memberikan perlindungan keamanan yang cukup bagi konsulat-konsulat Amerika.
Sementara serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah Amerika sudah begitu
commit
user
mengkhawatirkan, kaum buruh mengambil
alihto perkebunan-perkebunan
dan sumber-sumber
minyak milik perusahaan-perusahaan Amerika, dan pemerintah Indonesia mengancam akan
perpustakaan.uns.ac.id
425
digilib.uns.ac.id
Asia Tenggara1189, dan pengelolaan ekonomi pragmatis yang memberi
ruang bagi investasi asing sebagai manajemen pembangunan yang cukup
berhasil.1190 Bahkan hingga penghujung Perang Dingin1191, sikap kritis
menasionalisasi perusahaan-perusahaan tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah Amerika sempat
mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali. Tampaknya Washington harus
melupakan Indonesia dan menganggapnya sebagai bagian dari dunia komunis. Sebuah laporan
intelijen tingkat tinggi yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa, “Indonesia di
bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara Komunis,
dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri Komunis.” Laporan
itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau tiga tahun, akan
sepenuhnya didominasi PKI.” Walaupun tersita oleh urusan Indocina pada 1965, Washington
sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan merangsak menghantam kaum
komunis. Ketidakberpihakan Sukarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar
telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak mampu
dilakukan negara boneka Amerika di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar
dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya.Lihat: Audrey R. Kahin
dan George McT. Kahin, 1995, Subversion of Foreign Policy: The Screet of Eisenhower and
Dulles Debacles in Indonesia, New York, New Press, hlm. 29-33.
1189
Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Dewi Fortuna Anwar, 1994, Indonesia in
ASEAN: Foreign Policy and Regionalism, Singapore, Institute of Southeast Asia Studies, hlm. 3856.
1190
Muhammad Hatta, wakil presiden, pertama kali memperkenalkan istilah
“pembangunan” pada tahun 1948 ketika ia menjadi perdana menteri, tapi bermakna sempit yaitu
mengarah kepada rasionalisasi tentara dan kemampuan pejabat pemerintah untuk meningkatkan
produksi. Dari tahun 1950 hingga 1966, konsep demokrasi (Demokrasi) menggantikan konsep
pembangunan (Pembangunan) dan Soekarno menciptakan Demokrasi Terpimpin. Namun Hatta
masih berusaha untuk mempopulerkan konsep pembangunan. Pada tahun 1951, Hatta berpendapat
mengenai hubungan yang erat antara budaya dan pembangunan dengan mengatakan bahwa
perkembangan budaya merupakan dasar pembangunan ekonomi, karena tanpa pengembangan
budaya, pembangunan ekonomi akan kehilangan arah. Pada tahun 1958 di depan Dewan
Koordinasi Organisasi Islam, Jakarta, Hatta bahkan lebih khusus berbicara tentang hubungan
antara Islam dan pembangunan, menunjukkan bahwa Islam adalah sumber nilai dan motivasi bagi
pembangunan untuk menciptakan sebuah masyarakat baru. Tapi jargon lain politik selama periode
ini, revolusi (Revolusi) untuk transformasi sosial jauh lebih meresap dan cepat sebuah jargon
dominan dalam perjuangan politik. Oleh karena itu, pemerintah Soekarno lebih terfokus pada
perjuangan politik dan diplomatik, dengan beberapa program ekonomi. Lihat: Muhamad Ali,
op.cit., hlm. 7.
1191
Politik regional dan arsitektur keamanan selama era Perang Dingin juga telah
memperkuat pandangan dunia seperti Indonesia. Fakta bahwa beberapa negara tetangga seperti
Malaysia, Singapura, Filipina dan Australia membangun sendi fakta pertahanan dengan Amerika,
Australia dan Inggris (di FPDA dan ANZUS), sementara Vietnam dan Korea Utara yang didukung
oleh China atau dan/ Uni Soviet, membuat Indonesia merasa unconvinience: sendiri, terlindungi,
aman dan terancam. Mengalami konflik dengan Malaysia dan juga pemberontakan komunisme
tahun 1960-an telah memperkuat perasaan semacam itu. Sementara itu, di dalam negeri Indonesia
juga menghadapi masalah keamanan serius seperti gerakan separatis di Aceh, Papua (Irian Jaya),
Ambon dan Timor Timur. Dengan latar belakang seperti itu, Indonesia sangat menolak (setidaknya
dalam retorika) untuk bergabung dengan salah satu blok (Barat dan Timur) dan memutuskan untuk
mengambil posisi yang disebut kebebasan dan kebijakan luar negeri aktif (Politik Luar Negeri
commit
tobergabung
user
bebas Aktif). Indonesia merasa lebih yakin
untuk
dengan organisasi-organisasi yang
secara historis, kultural dan emosional tertutup untuk Indonesia seperti Gerakan Non-aligment,
perpustakaan.uns.ac.id
426
digilib.uns.ac.id
yang semakin berkembang sehubungan dengan masalah HAM1192 dan
semakin bertambahnya dukungan luar negeri terhadap masyarakat sipil1193,
tidak secara serius mengancam kedudukan pemerintahan Orde Baru,
termasuk kebijakan luar negerinya.1194
Pada saat tekanan politik tidak efektif, ancaman terhadap otokrasi
Soeharto justru berasal dari integrasi gradual Indonesia ke sistem ekonomi
global, suatu hal yang sudah dirintis sejak era kolonial.1195 Bertentangan
Konferensi oragnization Islam (ICO), dan ASEAN. Bergabung dengan organisasi-organisasi
tersebut tidak hanya telah membuat Indonesia merasa lebih aman tetapi juga, mengingat
keuntungan dalam kekuatan militer dan ekonomi, telah memberikan ruang untuk itu untuk
memainkan peran yang lebih penting dalam arena internasional.
1192
Salah satu referensi menarik soal ini, lihat: Marlies Glacius, 1999, Foreign Policy
on Human Rights: Its Influence on Indonesia Under Soeharto, Utrecht, Intersentia Uitgevers.
1193
Diskusi lebih lanjut soal ini, periksa: Franklin B. Weinstein, 2007, Indonesia
Foreing Policy and Dilemma of Dependence, Cornell University Press. Bagaimana bisa sebuah
negara berkembang seperti Indonesia memanfaatkan sumber daya luar untuk pembangunan
nasional tanpa mengorbankan kemerdekaannya? Mendekati masalah dari sudut pandang elite
Indonesia, buku ini penting karena mengeksplorasi interaksi yang kompleks antara faktor-faktor
politik dalam negeri dan pembentukan kebijakan luar negeri. Untuk menggambarkan cara di mana
perkembangan telah mempengaruhi partisipasi internasional di Indonesia, Profesor Weinstein
menyajikan gambaran grafis apa yang dilihat pemimpin Indonesia ketika mereka melihat dunia
luar, dan ia secara sistematis berusaha keluar sumber persepsi mereka. Dia menunjukkan bahwa
sebagian besar elit melihat sistem internasional didominasi oleh kekuatan eksploitatif yang tidak
dapat diandalkan untuk membantu pembangunan Indonesia. Dia meneliti hubungan antara persepsi
dan politik di bawah Soekarno dan Soeharto dan menawarkan perbandingan penjelasan dasar
kebijakan luar negeri di bawah kedua pemimpin itu dengan mengungkapkan perubahan dramatis
dan kesinambungan mengejutkan. Analisis tersebut meyakinkan membantu untuk menjelaskan
pembalikan tajam kebijakan pada tahun 1966, dan membentuk hipotesis yang meyakinkan yang
dapat diuji di negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Buku ini, diterbitkan kembali sebagai
rangkaian seri Equinox Publishing Klasik Indonesia.
Lihat: Leo Suryadinata, 2007, Indonesia’s Foreign Policy: Aspiring the
International Leadership, Singapore, Marshall Cavendish International (Asia) Private Limited.
Menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri dan budaya politik, buku ini memberikan
wawasan dan penjelasan analitis kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Soeharto. Pembahasan
dalam buku ini menguji berbagai faktor yang telah berkontribusi untuk kebijakan luar negeri
Suharto, tujuan kebijakan ini dan cara mencapainya. Buku ini juga membahas hubungan Indonesia
dengan negara-negara Asia, dan seterusnya, mengidentifikasi masalah dan prospek. Dikatakan
antara lain bahwa Soeharto telah memainkan peran penting dalam mengarahkan kebijakan,
perhatian khusus telah difokuskan pada dirinya. Meskipun banyak perbedaan dari era Soekarno,
aspirasi Indonesia untuk kepemimpinan internasional di bawah Suharto tetap konstan. Buku adalah
buku yang paling up-to-date yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah
Soeharto.
1194
1195
Di era kolonial, kolonial Belanda berusaha untuk mengintegrasikan perekonomian
Indonesia ke dalam perekonomian dunia khususnya di Jawa. Tapi ini terjadi dalam konteks
eksploitasi kolonial dan kerja paksa yang menciptakan anti-kolonialisme di wilayah tersebut
user
sebagaimana juga di wilayah lain. Olehscommit
sebab itutosejak
Indonesia merdeka tahun 1945, pemimpin
bangsa yang baru lahir, Soekarno, berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah
perpustakaan.uns.ac.id
427
digilib.uns.ac.id
dengan latar belakang rezim yang semakin bergantung kepada aliran
investasi dan pasar modal yang stabil, krisis ekonomi Asia menjadi
penyebab terhadap kejatuhan Soeharto. Hampir bersamaan, kemunduran
rezim juga didukung oleh intervensi IMF. Sebagaimana terlihat, program
bantuan ekonomi IMF disusun untuk menyelamatkan dibandingkan
meroboh pemerintahan Soeharto, akan tetapi hal itu tidak membantu
memulihkan kredibilitas pemerintahan, akan tetapi justru memperburuk
krisis ekonomi, dan pemulihan ekonomi kemudian dikaitkan dengan
reformasi politik.1196 Dalam kontesk ini, “Indonesia’s democratic
transition was not a case of regime change successfully induced by
external threats, sanctions, or incentives. Rather, it was triggered by a
regional economic disaster and further stimulated by the bungled IMF aid
package.”1197
Dalam menguraikan konfigurasi politik Orde Baru, peran Soeharto
sebagai seorang politikus ulung yang menggunakan berbagai sumber yang
ada padanya untuk memperbesar kekuasaan serta mempunyai tujuan yang
dianggapnya baik untuk Indonesia.1198 Soeharto menikmati posisi yang
relatif otonom karena dia berhasil mengendalikan berbagai instrumen
kekuasaan—paksaan, bujukan, pertukuran, dan organisasi—demi menjaga
tujuan ganda yaitu mengendalikan masyarakat serta melanggengkan
dideklarasikan dan untuk memastikan integritas politik di dalam keragaman etnis dan agama, dan
mencari pengakuan internasional. Istilah politik penting selama periode 1945-1950 adalah
kebebasan (kebebasan) dari kekuatan asing. Muhamad Ali, op.cit., hlm. 3.
1196
Diskusi lebih lanjut mengenai masalah ini, periksa: Eva Reisenhuber, 2001, The
International Monetery Fund Under Constraint, Den Haag, Kluwer International Law, hlm. 99106 dan 133-169.
1197
1198
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, op.cit., hlm. 145.
Menurut Kuntowijoyo, Soeharto adalah tipe jenis manusia yang mendasarkan diri
pada “an act of faith” (perbuatan yang berdasarkan keyakinan) dan bukan tipe manusi jenis “an
act of reason” (perbuatan berdasarkan akal). Seoharto selalu memutuskan untuk dirinya sendiri
apa yang dia anggap penting atau tidak. Soeharto adalahs eorang yang membuat keputusan hanya
menurut kepentingannya sendiri. Lihat:commit
Kuntowijoyo,
“An Act of Reason dan An Act of Faith
to user
dalam Sejarah Indonesia”, Kompas, 24 Maret 1998, hlm. 4.
428
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dukungan para pengikut utamanya.1199 Dengan otonomi relatif tersebut
Soeharto
mengendalikan
proses
pembangunan
ekonomi.1200
Para
pembantu terdekatnya, para menteri, serta kaum ekonom, boleh saja
mengusulkan ini dan itu akan tetapi pada akhirnya Soeharto sendirilah
yang bertanggung jawab terhadap berbagai kebijakan yang penting yang
dipilih oleh pemerintah Orde Baru. Oleh sebab itu, setiap analisis
mengenai arah kebijakan Indonsia, seperti perubahan proteksionisme
menuju kepada kebijakan pintu terbuka, harus diawali dengan pemahaman
terhadap kendala dan peluang yang dihadapi Soeharto dalam mengelola
kekuasaannya.1201
1199
Semua hal itu bermuara pada satu hal yaitu kontrol dan inilah bongkahan terbesar
kepribadian Soeharto. Di situlah tampaknya sumber kekuasaan dan sumber keinginannya untuk
terus menerus berkuasa di atas yang lain, di atas segala hal yang dianggap kacau dan sebab itu
mengancam eksistensi. Mungkin sebab itu secara fisik dan psikis bisa lebih bertahan ketimbang
seorang Soekarno atau Sjahrir setelah ia jatuh dari kursi yang tinggi. Lihat: Gunawan Muhammad,
“Catatan Pinggir: Soeharto”, Tempo, 30 November 1998.
1200
Kajian-kajian mengenai politik Orde Baru akan menempatkan isu ini menjadi
legitimasi rezim Soeharto. Pengendalian ini sangat menekankan pertumbuhan ekonomi, membuka
negara untuk investasi asing, tetapi juga memobilisasi BUMN dan sektor bisnis kroni dalam
negeri. Pendapatan riil per kapita meningkat dari US $ 70 pada tahun 1969 menjadi US $ 1.100 di
1997. Pada 1973-1983, banyak diantara pertumbuhan itu didorong oleh lonjakan harga minyak
internasional, yang menyediakan Soeharto dana yang cukup untuk mengatasi kemerosotan
ekonomi domestik dan krisis politik. Pada 1985-86 dan selama dekade berikutnya Indonesia
melaksanakan deregulasi ekonomi dan membangun sektor manufaktur berorientasi ekspor ke pasar
dunia. Ini berhasil menarik investasi asing yang cukup besar di sektor-sektor seperti tekstil,
pakaian dan alas kaki, yang menumbuhkan kapitalisasi pengusaha besar, dan negara menjadi
kurang bergantung pada ekspor minyak. Lihat: Tulus Tambunan, “The Development of Industry
and Industrialization Policy since the New Governance Era to the Post-Crisis Era”, Jakarta:
Kadin, 2006, hlm. 2 dan Anne Booth, “Development: Achievement and Weakness”, dalam Donald
K. Emmerson (editor), 1999, Indonesia Beyond Soeharto: Polity, Economy, Society, Transition,
Armonk and London: M.E. Sharpe, hlm. 112-113.
1201
Liberalisasi ekonomi yang dikelola oleh sektor swasta sebenarnya prinsip utama
kebijakan Soeharto. Pemerintah menyederhanakan status kebanyakan BUMN menjadi (PT
(Persero)). Yurisdiksi atas perusahaan-perusahaan negara dari berbagai kementerian ke
Departemen Keuangan. Pada tahun 1974, jumlah perusahaan negara menurun menjadi 178. Hanya
saja kebijakan ekonomi dasar - liberalisasi modal asing, mobilisasi modal Cina, dan konsolidasi
BUMN - berubah pada tahun 1974. Tahun itu ditandai oleh dua kejadian – tindakan anti-Jepang
dan kerusuhan anti-Cina yang dikenal sebagai peristiwa Malari dan timbulnya booming minyak.
Sebagai dampaknya, pemerintah beralih kepada kebijakan untuk regulasi modal asing, regulasi
modal etnis Cina, dan perluasan sektor BUMN. Dari ketiga kebijakan tersebut, yang pertama dan
ketiga berfungsi dengan baik, akan tetapi yang kedua tidak. Lihat: Yuri Sato, “Post-Crisis
Economic Reform in Indonesia: Policy commit
for Intervening
to userin Ownership in Historical Perspective”,
IDE Research Paper No. 4, 2003, hlm. 15.
perpustakaan.uns.ac.id
429
digilib.uns.ac.id
Pembahasan mengenai transisi demokrasi dalam penelitian ini
tidak dapat dilepaskan dari masa kekuasaan Soeharto (1967-1998). Rezim
Orde Baru dirintis sesudah peristiwa G 30 S, yang dicap sebagai kudeta
gagal1202 dan menimbulkan banyak korban jiwa yang terisolir dari memori
kolektif bangsa1203, yang kemudian memunculkan konflik keyakinan
antara Presiden Soekarno dan Soeharto mengenai perlakuan terhadap
partai komunis.1204 Sudah demikian banyak studi yang mencoba
memahami dan mencari pijakan teoritis terhadap sistem pemerintah Orde
Baru tersebut. Diantara studi tersebut misalnya, pertama, studi yang
1202
Menurut sejarawan, kegagalan inilah yang menyebabkan peristiwa ini masih
menjadi salah satu tragedi nasional yang misterius. Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena
gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya.
Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya. Kendati bernapas pendek, G-30-S
mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan
Sukarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Bagi sejarawan yang ingin memahami
perjalanan sejarah Indonesia modern, hal yang terkadang menimbulkan rasa frustrasi ialah justru
karena kejadian yang paling misterius ternyata merupakan salah satu babak kejadian yang
terpentingLihat: John Roosa, 2008, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Suharto, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, hlm. 3-4.
1203
Rezim Orde Baru hanya membernarkan satu versi mengenai peristiwa I Oktober
1965, sedangkan berbagai versi lainnya yang ditulis oleh pengamat Barat hampir tidak dikenal
masyarakat luas. Pembantaian yang terjadi sesudah percobaan kudeta yang gagal itu hanya tinggal
trauma. Penelitian tentang sejarah 1965 tertutup rapat bagi warga tanah air kita. Lihat: Asvi
Warman Adam, 2004, Soeharto: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Yogayakarta, Penerbit Ombak,
hlm. 29.
Banyaknya korban jiwa tersebut merupakan dampak dari kebijakan Soeharto setelah
menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memerintahkan pembubaran PKI dan organisasi
massanya. Setelah Suharto mengeluarkan kebijakan itu, kemudian mulai para tentara (RPKAD)
bergerak menuju daerah yang dianggap menjadi basis PKI. Pelaksanaan pembersihan dipimpin
oleh Sarwo Edhi. “Pertengahan bulan Oktober Suharto mengutus Sarwo Edhi dan para
komandannya ke Jawa Tengah untuk mengadakan operasi pembersihan.” Pasukan kemudian
sampai di Jawa Tengah dan “Sarwo Edhi menyuruh pasukannya menyerang apa yang ia anggap
kubu-kubu perlawanan komunis. Tetapi sebenarnya tidak ada perlawanan. Baik kader maupun
berjuta-juta anggota Partai Komunis dan organisasi-organisasinya menanti dengan pasrah”. Lihat:
Lambert J. Giebels, 2005, Pembantaian yang Ditutup-tutupi: Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan
Bung Karno, Jakarta, Penerbit Grasindo, hlm. 131-132.
1204
Soekarno tampak ragu, penuh pertimbangan rasional ketika ada tuntutan untuk
pembubaran PKI. Ia harus memilih komunis atau antikomunis. PKI mempunyai teori dan praksis
yang teruji. Di mata Soekarno, PKI adalah organisasi besar, rapi, dan sistematis. Islam memang
besar, tetapi jauh dari sistematis dan solid. Demikian pula golongan-golongan masyarakat lain
termasuk ABRI. Menurut perhitungannya, yang rasional menang adalah PKI dan menolak untuk
membubarkannya. Berlawanan dengan Soekarno, Soeharto justru amat yakin bahwa PKI harus
dibubarkan. Lihat: Soeharto, 1989, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Seperti Ditututkan
kepada G. Dwipayana dan Ramadha K.H.,
Jakarta,
Penerbit Citra Lamtorogung Persada, hlm.
commit
to user
169.
perpustakaan.uns.ac.id
430
digilib.uns.ac.id
memfokuskan diri pada aspek-aspek korporatisme1205 dari Orde Baru
sebagaimana dilakukan oleh David Reeve.1206 Kedua, studi sejarah politik
tentang pergulatan kekuasaan dan konflik yang tidak diteorisasikan dalam
hubungan keduanya dengan struktur ekonomi dan sosial luar negeri,
sebagaimana dilakukan oleh David Jenkins1207 dan Ulf Sundhaussen.1208
Ketiga, studi tentang kekuasaan dan konflik yang dilandasi pemikiran
1205
Dalam arti yang paling dasar, korporativisme mengacu pada struktur kekuasaan
politik dan praktik pembentukan konsensus didasarkan pada representasi fungsional kelompok
profesional. Asosiasi petani, pengrajin, industrialis, para pekerja, pengacara, dokter atau gereja,
bertindak sebagai badan pemerintahan sendiri atas nama mereka sendiri dan sebagai perantara
antara pemerintah dan anggota mereka. Orde Baru melaksanakan korporatisme ini mempersatukan
elemen masyarakat supaya lebih mudah untuk mengelola. Elemen masyarakat tersebut adalah
FBSI, Federasi Buruh Seluruh Indonesia dan SOKSI, Sekretariat Organisasi Keburuhan Seluruh
Indonesia, organisasi buruh, KNPI, Komite Nasional Pemuda Indonesia dan AMPI, Angkatan
Muda Persatuan Indonesia, asosiasi pemuda; PWI, Persatuan Wartawan Indonesia dan SPSI,
Serikat Pers Seluruh Indonesia, asosiasi wartawan, HKTI, Himpunan Kerukunani tani Indonesia,
asosiasi petani dan nelayan, KADIN, Kamar Dagang Indonesia, asosiasi pengusaha, KORPRI,
Korps pegawai Negeri Indonesia, asosiasi PNS, PGRI, Persatuan Guru Republik Indonesia ,
asosiasi guru sekolah. Selain itu, banyak organisasi eksis jika ada pengakuan oleh pemerintah.
Selain itu, konsep penggabungan semua elemen masyarakat tersebut diterjemahkan ke dalam
larangan pluralisme di bawah payung konsepsi Pancasila.
1206
Lihat: David Reeve, 1985, Golkar of Indonesia: An Alternative Political System,
Oxford, Oxford University Press. Pada garis besarnya buku ini menguraikan Rezim Suharto
mengedepankan konsep "kelompok fungsional" (Golkar) sebagai alternatif untuk partai politik
gaya Barat. Dengan menjelaskan latar belakang kisruh politik Indonesia sejak kemerdekaan, buku
ini menceritakan kisah menarik tentang bagaimana konsep Golkar berkembang dan akhirnya
membentuk dasar dari sistem perwakilan pemerintahan di Indonesia. Studi Reeve termasuk
rintisan dan kemudian diikuti oleh Leo Suryadinata, 1989, Military Ascedancy and Political
Culture, Ohio, Center International Studies. Sebagian besar penelitian sebelumnya pada partai
politik di Indonesia, Golkar, cenderung memandang organisasi tersebut semata-mata sebagai
mesin pemilu yang digunakan oleh militer untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, penelitian
ini berbeda karena menganggap Golkar tidak melulu mesin pemilu dan lebih sebagai organisasi
politik yang mewarisi tradisi politik dari partai Islam nominal dan Jawa yang mengatur elit pra1965, sebelum peresmian Orde Baru Indonesia. Golkar, kemudian, sebagaimana uraian dalam
buku ini ditujukan untuk membedakannya dari partai politik sebelumnya di negeri ini.
1207
Ia salah satu dari segelintir war-tawan yang berhasil mewawancarai Soeharto.
Sempat dicekal masuk Indonesia, karya Jenkins kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia. David
Jenkins adalah jurnalis The Sydney Morning Herald yang pernah membuat heboh hubungan
diplomatik Australia dengan Indonesia. Artikelnya pada 10 April 1986 yang berjudul "After
Marcos, Now for the Suharto Billion" membuat pria 67 tahun itu diusir dan dilarang masuk
Indonesia. Cekalnya baru dihapus ketika digelar Konferensi APEC di Jakarta pada 1994. Barubaru ini, dia menerbitkan buku yang berjudul Soeharto dan Barisan Jenderal Orde Baru dalam
bahasa Indonesia, sebuah terjemahan dari Soeharto and His Generals. "Saya sedang mengerjakan
buku tentang masa muda Soeharto," ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Melbourne ini.
Kelihaiannya mendekati narasumber membuat dia dikenal dan berhasil mewawancarai sejumlah
tokoh pen-ting, terutama di tubuh Tentara Nasional Indonesia (ABRI waktu itu).
to user
Karya Ulf Sundhaussen commit
yang klasik
mengenai Indonesia adalah The Military In
Indonesia, 1974, Center for International Studies, Massachusetts Institute of Technology.
1208
perpustakaan.uns.ac.id
431
digilib.uns.ac.id
ketergantungan hierarki kekuasaan dan eksploitasi, seperti dilakukan oleh
Adi Sasono1209, Rex Mortimer1210, dan Herbeth Feith1211. Keempat, studi
ekonomi politik yang dilandasi oleh analisis kelas dan korporatisme,
sebagaimana dilakukan oleh Richard Robinson.1212 Kelima, studi ekonomi
politik yang menenkankan aspek kepentingan dan jalinan kepentingan
antara negara (penguasa) dengan kekuatan ekonomi, sebagaimana
dilakukan oleh Yoshishara Kunio1213, Yahya Muhaimin1214, dan Mochtar
Mas’oed.1215
Sejak awal, Pemerintah Orde Baru Presiden Soeharto1216 bertekad
untuk kembali ke menegakkan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD
1945 secara murni dan dengan menghormati Pancasila sebagai falsafah
1209
Bersama Sritua Arief, Adi Sasono mengembangkan teori ketergantungan untuk
menjelaskan ekonomi politik di Indonesia. Teori Ketergantungan dikembangkan pada akhir 1950an di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch.
Prebisch dan rekan-rekannya tidak puas oleh fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara
industri maju tidak selalu mengarah pada pertumbuhan di negara-negara miskin. Memang, studi
mereka menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya sering menyebabkan
masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi
oleh teori neoklasik, yang berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi semua (Pareto
optimal) bahkan jika manfaat tidak selalu ditanggung bersama. Lihat: Vincent Ferraro,
“Dependency
Theory:
An
Introduction”,
diakses
dari
http://marriottschool.net/emp/WPW/pdf/class/Class_6-The_Dependency_Perspective.pdf, diakses
di Surakarta, 24 Juni 2013.
Rex Mortimer, 1973, Showcase State: The Illusion of Indonesia’s Accelarated
Modernization, Angus and Roberson.
1210
1211
Ulasan mengenai karya Feith, lihat: Jemma Purdey, 2011, From Vienna to
Yogyakarta: the Life of Herb Feith, Sidney, The New South Wales University Press.
1212
Richard Robinson, 2012, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, Jalarta,
Penerbit Komunitas Bambu. Buku ini terbit pertama kali tahun 1986 dengan judul Indonesia: The
Rise of Capital, akan tetapi kemudian dibredel dan dilarang beredar di Indonesia mengingat salah
satu isinya menyinggung keterlibat penguasa dalam praktik ekonomi politik saat itu.
1213
Yoshira Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (diterjemahkan oleh A.
Setiawan Abadi), Jakarta, LP3ES.
1214
Yahya Muhaimin, 1993, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia
1950-1980, Jakarta, LP3ES.
Mochtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971,
Jakarta, Penerbit LP3ES.
1215
1216
Menurut pengakuan Soeharto, ketika terjadi konflik politik 1966, ia sebenarnya
didorong oleh banyak orang untuk maju ke depan. Dikatakan oleh Soeharto,”Saya sebenarnya
didorong-dorong di tengah suasaan konflik politik untuk tampil ke depan. Ada politisi yang tidak
sabar akan perubahan dan pergantiancommit
pimpinan.
Sampai-sampai mengusulkan supaya saya
to user
mengoper begitu saja kekuasaan negara.” Lihat: Soeharto, op.cit., hlm. 185.
perpustakaan.uns.ac.id
432
digilib.uns.ac.id
negara dan ideologi.1217 Untuk membedakan dari warisan politik1218 dan
ekonomi era Soekarno1219, pemerintah baru dibentuk untuk melakukan
prioritas sebagai berikut: (i) untuk menjaga stabilitas politik melalui
menyelesaikan pemulihan ketertiban dan keamanan melalui skema
stabilitas otorkratis1220; dan (ii) untuk melakukan rehabilitasi ekonomi
melalui kebijakan yang pragmatis1221, dan (iii) untuk mempersiapkan
rencana pembangunan nasional;1222 dan (iv) menjalankan pemerintahan
1217
Komitmen ini terus menerus menjadi bagian dari teks resmi Soeharto dalam Pidato
Kenegaraan. Pentingnya Pancasila di dalam ikon ideologi Orde Baru disajikan dalam teks
diantaranya degan memberikan latar historis di masa lampau dan diantara latar historis yang terus
menerus diintroduksi adalah peristiwa G-30-S. Latar historis ini merupakan pintu masuk bagi
Soeharto untuk menekankan kepada khalayak agar peristiwa kelam itu tidak terulang. Dikatakan
oleh Soeharto dalam salah satu pidato kenegaraannya:”Pemberontakan PKI pada akhir tahun 1965
merupakan tragedi nasional dan meninggalkan luka-luka yang dalam dan lama pada tubuh bangsa
kita. Itulah sebabnya, secara konstitusional PKI dengan ideologi yang mendukungnya kita larang
buat selama-lamanya di bumi Indonesia….Sebagai bangsa kita menyimpulkan bahwa semuanya
tadi terjadi karena kita tidak setia dan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Itulah sebabnya
Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.”
Lihat: Eriyanto, op.cit., hlm. 105.
1218
Sampai saat itu Sukarno merupakan satu-satunya pemimpin nasional yang paling
terkemuka selama dua dasawarsa lebih, yaitu dari sejak ia bersama pemimpin nasional lain,
Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden
negara-bangsa baru itu. Dengan kharisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang menggelora,
ia tetap sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik dan salah urus perekonomian
pascakemerdekaan. Sampai 1965 kedudukannya sebagai presiden tidak tergoyahkan. LIhat: John
Roosa, op.cit., hlm 4.
1219
Sewaktu Orde Soekarno runtuh, negara berada dalam situasi ekonomi yang sangat
gawat. Dengan Produyk Domestik Bruto (PDB) per kapita sekitar US$ 300 Indonesia pada waktu
itu, dikenal sebagai “a chronic dropout” (negeri yang gagal terus menerus). Inflasi mencapai 3
digit pada periode 1962-1966, pabrik-pabrik beroperasi hanya dengan kapasitas sekitar 20%,
sementara utang dan defisit negara meroket. Lebih dari itu, saaat produksi beras tidak bertambah
dalam 5 tahun, jumlah penduduk meningkat 10 juta. Lihat: Rizal Mallarangeng, 2002, Mendobrak
Sentralisme Rezim, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia dan Freedom Institute, hlm. 47.
Mengenai penjelasan istilah “stabilitas otokratis” lihat: Dennis C. Pirages, 1982,
Stabilitas Politik dan Pengelolaan Konflik, terjemahan Zulkarnain Nasution, Jakarta, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Indonesia, hlm. 16.
1220
1221
Upaya awal yang dilakukan oleh Orde Baru adalah pembenahan keuangan negara.
Dalam tahun 1950-an, anggaran negara mengalami defisit 10-30% dan tahun 1960-an melonjak
menjadi 100%. Sedangkan pada tahun 1965 defisit membumbung tinggi menjadi 300%.
Pemerintah kemudian mengambil langkah penghematan dalam semua aspek pemerintahan,
memperbaiki sistem pengelolaan dan pengawasan keuangan, serta meninjau dan memperbaiki
sistem perpajakan. Lihat: Yahya Muhaimin, op.cit., hlm. 51-52.
1222
Perencanaan pembangunan ini kelak menjadi ciri penting dari sistem politik Orde
Baru dengan formulasi strategi yang bercorak teknokratis dan birokratis. Yaitu pembangunan yang
commit
to userteknis dan rasional, serta didukung oleh
mendasarkan diri pada peranan keahlian,
pertimbangan
maksimalisasi peran birokrasi negara. Ciri ini dapat dikonfirmasi pada karya-karya Ali Moertopo,
perpustakaan.uns.ac.id
433
digilib.uns.ac.id
dengan penekanan pada pembangunan ekonomi yang mengarah pada
model liberal.1223 Dengan komitmen ini, pemerintah Soeharto berhasil
mendapatkan dukungan asing dalam bentuk konsorsium negara-negara
kreditor, yang disebut Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI),
yang mencakup Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru,
Jepang, Inggris , dan sejumlah Eropa Barat lainnya, yang dipimpin oleh
Belanda1224, termasuk dalam masalah pengelolaan hutang luar negeri.1225
Dalam rangka membangun masyarakat yang adil-dan-adil-makmur dalam
material dan spiritual berdasarkan Pancasila,1226 MPR menetapkan GBHN
sebagai pola sistematis Pembangunan Nasional. Pemerintah Orde Baru
berusaha untuk melaksanakan Trilogi Pembangunan: pertumbuhan
ekonomi, pemerataan ekonomi, dan stabilitas politik (pertumbuhan,
pemerataan, dan stabilitas).1227 Berdasarkan premis dasar bahwa esensi
seorang perwira yang dekat dengan Soeharto dan kemudian menjadi Wakil Kepala Badan Intelijen
(1971-1978), Menteri Penerangan (1978-1983), dan Wakil Ketua DPA (1983-1984). Lihat: Ali
Moertopo, 1972, Dasar-Dasar Pemikiran tentang Akselesari Pembangunan 25 Tahun, Jakarta,
Penerbit CSIS; Ali Moertopo, 1974, Strategi Politik Nasional, Jakarta, Penerbit CSIS, dan Ali
Moertopo, 1974, Pembinaan Hukum dalam Masa Pembangunan, Yogyakarta, Penerbit Fakultas
Hukum UGM.
1223
Prioritas ini nampaknya sejalan dengan tesis Belger yang kemudian berkembang
pada dekade 1990-an, yaitu pembangunan kapitalisme dengan ciri liberalnya lebih manjur
dibandingkan pembangunan bercorak sosialis. Lihat: Peter L. Berger, 1990, Revolusi Kapitalis,
terjemahan Mohamd Oemar, Jakarta, Penerbit LP3ES.
1224
Muhamad Ali, op.cit., hlm. 8.
1225
Orde Baru mewarisi hutang luar negeri yang besar dan ini mengandung persoalan
politik sekaligus ekonomi. Persoalan politik mengingat bahwa hutang periode pemerintahan
sebelumnya sebagian besar berasal dari negara Blok Timur, utamanya Uni Soviet, yang memang
memberikan persyaratan yang lebih lunak dibandingkan dengan Barat dan negara-negara tersebut
“dianggap terlibat” peristiwa G 30 S. Lihat: Marshal Green, 1992, Dari Sukarno ke Soeharto, G 30
S/PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar, Jakarta, Penerbit Grafiti Press, hlm. 117-118.
Mengenai rincian jumlah hutang luar negeri sampai 31 Desember 1965, periksa: Mochtar Mas’ed,
op.cit., hlm. 233.
Frase “masyarakat yang adil-dan-adil-makmur dalam material dan spiritual
berdasarkan Pancasila” merupakan salah satu kata-kata mistik yang selalu muncul dalam logika
politik Orde Baru, bersama-sama dengan kata: (i) persatuan dan kesatuan; (ii)pembangunan; (iii)
kemanunggalan ABRI dan Rakyat; (iv) stabilitas dan keamanan nasional; (v) kepribadian bangsa;
(vi) gaya hidup sederhana; (vii) konstitusional; dan (viii) swasembada pangan. Lihat: Zeffry
Alkatri, “The Words of Magic During Soeharto’s Indonesian New Order Military Era 1980-1997”,
Asian Journal of Social Sciences and Humanities, Vol. 2, No. 1, 2013, hlm. 185-190.
1226
Radius Prawiro, 1998,
Indonesia’s
commit
to userStruggle for Economic Development:
Pragmatism in Action, Kuala Lumpur, Oxford University Press, hlm. 61.
1227
perpustakaan.uns.ac.id
434
digilib.uns.ac.id
Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya di segala
aspek kehidupan dan pembangunan seluruh masyarakat1228, oleh karena itu
dasar untuk pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan
UUD 1945.1229 Orde Baru mengaku mendukung sistem ekonomi
Pancasila, bukan sistem kapitalis atau sosialis. Ekonomi Pancasila,
menurut ekonom Indonesia Mubyarto, terinspirasi oleh nilai-nilai
Pancasila seperti aksi kolektif berdasarkan kebersamaan (kekeluargaan)
dan solidaritas nasional. Dengan kata lain, ekonomi Pancasila seharusnya
lebih berhubungan dengan keadilan sosial daripada akumulasi modal oleh
minoritas.1230 Namun, meskipun mengambil jarak dari sosialisme dan
kapitalisme dalam hal ideologi, Orde Baru merekrut ekonom neo-klasik
kebanyakan lulus dari universitas Amerika, terutama University of
California, Berkeley.1231 Sejak saat itulah dimulai era teknokrasi di
1228
Strategi ini pada kenyataannya memiliki kemiripan yang signifikan terhadap apa
yang disebut Politik Etis pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada awal abad ke-20.
Kebijakan ini merupakan pemulihan yang luar biasa dari kebijakan eksploitatif dari abad ke-19
dan sebelumnya dan sebagai upaya berkelanjutan pertama di dunia untuk merancang serangkaian
kebijakan guna pembangunan ekonomi di daerah tropis. Program ini, dalam banyak kajian
dianggap mengalami kegagalan, sebagian karena karakter eksperimental, sebagian karena dana
yang terlalu terbatas untuk menindaklanjuti tujuan ambisius kebijakan, dan sebagian karena
Belanda terlalu cepat kecewa dengan hasil-hasilnya. Pada 1930 an, strategi pembangunan ekonomi
sebagian besar telah lenyap dari agenda politik kolonial, dan ketika mereka muncul kembali di
Indonesia pada akhir tahun 1960, mereka datang dari para pemikir di bagian dunia lain. Dalam hal
bahwa Orde Baru tidak lebih keturunan langsung dari tatanan kolonial Belanda daripada yang
salah satu negara berkembang yang menerapkan model yang direkomendasikan oleh Rostow dan
lain-lain. Lihat: Robert Cribb, “The Historical Roots of Indonesia’s New Order: Beyond The
Colonial Comparison”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (Editors), 2009, Soeharto’s New
Order and Its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch, Canberra, Griffin Press, hlm. 77.
1229
Ibid.
1230
Mubyarto, 1987, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, Jakarta, LP3ES,
hlm. 5.
1231
Para ekonom tersebut adalah Prof.Dr.Wijoyo Nitisastro (Menteri Negara Ekonomi
Keuangan Industri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 1966-1983); Prof.Dr.Ali
Wardhana (Menteri Keuangan, 1968-1983, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan
Industri, 1983-1988), Prof.Dr.Ir.Moch.Sadli (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, 19661973, Menteri Pertambangan dan Energi, 1973-1983), Prof. Dr.Emil Salim (Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, 1971-1973, Menteri Perhubungan, 1973-1978, Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan HIdup, 1978-1983, dan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1983-1993), Prof.Dr.Subroto (Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi, dan Koperasi, 1973-1983, Menteri Pertambangan dan Energi, 1983-1988), dan
commit
to user Aparatur Negara, 1973-1983, Menteri
Prof. Dr. J.B. Sumarlin (Menteri Negara
Pendayagunaan
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, 1983-1988, Menteri Keuangan, 1988-1993, dan
perpustakaan.uns.ac.id
435
digilib.uns.ac.id
Indonesia. Pada tahun-tahun awal Orde Baru, tidak banyak orang
Indonesia yang memiliki keahlian teknis untuk merumuskan dan
mengelola kebijakan ekonomi makro dan untuk berkomunikasi dengan
rekan-rekan mereka di negara-negara lain yang menggunakan teknis
lingua franca dipekerjakan oleh pemerintah asing seperti Amerika Serikat,
Jepang, dan negara-negara Eropa Barat, serta badan-badan internasional
seperti IMF1232, Bank Dunia, dan ADB.1233 Pada saat yang sama, jumlah
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, 1993-1998). Di samping para alumni Barkeley tersebut,
Soeharto juga merekrut ekonom terkemuka yang pernah terlibat pemberontakan PRRI, Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo (Menteri Perdagangan, 1966-1973, dan Menteri Negara Urusan
Riset, 1973-1978). Adapula teknokrat liberal hasil didikan Belanda seperti Drs. Radius Prawiro
(Gubernur Bank Indonesia, 1968-1973, Menteri Perdagangan dan Koperasi, 1973-1983, Menteri
Keuangan, 1983-1988, dan Menteri Negara Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan
Pembangunan (1988-1993) dan Drs. Frans Seda (Menteri Keuangan, 1966-1971, dan Menteri
Perhubungan, 1971-1973). Ada pula nama lain yang dapat dikatakan sebagai teknokrat generasi
kedua seperti: Saleh Afif, lulusan UI, yang memperoleh gelar Ph.D. dari University of Oregon dan
memulai karirnya sebagai Menteri Negara Aparatur Negara dan Wakil Ketua Badan Perencanaan
Pembanguna Nasional (1983-1988), kemudian Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1988-1993) dan akhirnya
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan (1993-1998).
Kemudian, Soedradjat Djiwandono, Gubernur BI (1993-1998), adalah lulusan UGM (1963) dan
memiliki Ph.D. dari Universitas Boston (1980). Menikah dengan putri Sumitro Djojohadikusumo,
pendiri Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, ia bergabung dengan Departemen Keuangan
(Depkeu) sebagai anggota staf Direktur Jenderal untuk Urusan Moneter pada tahun 1964, dan naik
menjadi Menteri Muda Perdagangan (1988-1993) di bawah Arifin Siregar, dan kemudian
Gubernur BI pada tahun 1993.
1232
Hubungan Indonesia dengan IMF tanggal pada 1966. Setelah menggulingkan
pendahulunya dalam, Soeharto mewarisi perekonomian dalam kekacauan, terganggu oleh
hiperinflasi dan terputus dari pembiayaan internasional. Pada Desember 1966, pemerintahan
negara kreditur Indonesia menyetujui untuk menjadwal ulang pembayaran hutang, dan pemerintah
baru berkomitmen untuk mengurangi antara lain hambatan perdagangan dan investasi asing.
Langkah-langkah tersebut dipantau dan dibantu oleh IMF, yang merancang rencana stabilisasi
ekonomi makro. Pengalaman tersebut kemudian memulihkan hubungan Indonesia dengan
lembaga-lembaga Bretton Woods, jaring yang telah dipotong setelah kedekatan Soekarno dengan
Moskow dan setelah deklarasi yang terkenal kepada donor Barat: "Pergilah ke neraka dengan
bantuan Anda" (Go to Hell with Your Aid). Pada bulan Februari tahun 1967, Indonesia secara
resmi kembali bergabung keanggotaan IMF. Lihat: Leonardo Martinez-Dias, “Indonesia Pathway
Trough Financial Crisis”, GEG Working Paper, Juni 2006, hlm. 7.
1233
Pemerintah Orde Baru pada tahun 1966/1967 melalui berbagai pernyataan publik
yang banyak dilontarkan pada waktu itu mengumumkan bahwa selain reformasi anggaran dan
sektor perbankan, pembangunan bangsa akan dilaksanakan dengan memanfaatkan bantuan modal,
baik domestik maupun asing. Kaum pengusaha, sekalipun berasal dari luar negeri, tidak lagi
dianggap sebagai musuh besar dan kaki tangan imperalisme. Sebaliknya, merka dipandang sebagai
prasyarat yang dibutuhkan untuk membangun bangsa Indonesia sehingga harus didorong dan
dikembangkan. Dengan gagasan seperti itu, tidaklah mengherankan bila salah satu langkah
Pemerintah Soeharto yang paling awal adalah mengirim kawat kepada lembaga-lembaga
commit
to user
internasional seperti IMF dan Bank Dunia
berisi
pesan bahwa Indonesia ingin memperbarui
keanggotannya. Lihat: Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 49-50.
perpustakaan.uns.ac.id
436
digilib.uns.ac.id
mereka yang sedikit dan hubungan pribadi yang dekat satu sama lain
terpisah dari sebagian besar birokrasi Indonesia.1234 Sementara teknokrat
ini bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan ekonomi
yang luas, di atas semua kebijakan moneter dan alokasi utama sumber
daya, mereka memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap atau kontrol
atas proses politik dan birokrasi yang memungkinkan implementasi
kebijakan kontrak, lisensi, promosi, hadiah, dan rincian mikroekonomi
lainnya.1235 Tetapi semua teknokrat menikmati kepercayaan Soeharto dan
terbukti efektif dalam menyusun kebijakan ekonomi selama ia mendukung
mereka.1236 Tetapi mereka hanya mewakili satu aliran pemikiran pada
pembangunan ekonomi Indonesia. Faktanya, ada 2 aliran pemikiran. Para
teknokrat yang semua ekonom UI dan Gadjah Mada dan Widjojo1237
dianggap sebagai pemimpin mereka-merupakan aliran pemikiran yang
pertama, yang berpegang pada doktrin perdagangan bebas berdasarkan
ekonomi pasar, dan menganjurkan membatasi intervensi negara dalam
pasar untuk minimum dan menjamin sebanyak mungkin kegiatan ekonomi
bebas dari sektor swasta. Mereka juga mengemuka dengan gagasan
1234
Terdapat faktor lain sebagai penjelas hal ini. Para teknokrat membawahi aparatur
negara yang sangat besar yang merupakan agen terpenting dalam eplaksanaan kebijakan. Selain itu
kedudukan baru mereka juga mengisyaratkan bahwa Soeharto yang secara bertahap berhasil
mengkonsolidasikan kekuasaan politiknya pada awal dan pertengahan 1970-an, sudah semakin
percaya pada kuam teknokrat.
Takashi Shiraishi, “Technocracy in Indonesia: A Preliminary Analysis”, RIETI
Discussion Paper Series 05-E -008, Maret 2006, hlm. 12.
1235
1236
Seorang wartawan kiri Amerika Serikat. David Ransom, pada 1970 menyebut
Wijoyo dan kelompoknya dengan julukan “Mafia Berkeley.” Istilah ini kemudian menjadi sangat
populer dan sering digunakan untuk mengkritik Widjojo dan ekonom lainnya. Lihat: Rizal
Mallarangeng, op.cit., hlm. 48.
1237
Sebagai konseptor dan arsitek utama pembangunan ekonomi Indonesia 1966-1997,
Widjojo leluasa menempatkan kolega dan kadernya untuk menduduki posisi penting di berbagai
kementrian. Emil Salim, Sumarlin, Saleh Afiff, diorbitkan ke posisi menteri setelah “magang” di
Bappenas. Demikian pula generasi ekonom yang lebih muda, mendaki ke posisi empuk di
pemerintahan setelah berkarier di Bappenas. Mereka, antara lain, Adrianus Mooy (Gubernur BI,
1983-1988), B. S. Moelyana (Menteri Muda Perencanaan Pembanguna Nasional, 1988-1993),
Sudradjad Djiwandono (Menteri Muda Perdagangan, 1988-1993; Gubernur BI, 1993-1998), dan
Boediono. Kebijakan makro ekonomi yang diusung Mafia Berkeley adalah pengendalian laju
inflasi lewat kebijakan fiskal dan moneter yang ketat, liberalisasi sektor keuangan – dikenal
dengan istilah deregulasi dan debirokratisasi
padatotahun
commit
user1980-an, liberalisasi sektor industri dan
perdagangan, dan privatisasi alias penjualan aset milik negara.
perpustakaan.uns.ac.id
437
digilib.uns.ac.id
"keunggulan komparatif" suatu negara untuk pembangunan ekonomi.
Yang lainnya, aliran pemikiran yang berlawanan terutama diwakili oleh
para insinyur, mayoritas lulusan ITB, yang percaya terhadap kebijakan
industri dan menjunjung nasionalisme ekonomi yang dipimpin oleh
negara, dengan alasan bahwa negara harus secara aktif campur tangan
untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang industri dalam negeri,
jika diperlukan perisai industri dalam negeri dari persaingan luar. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merupakan bentuk fisik
dari kubu teknokrat pasar bebas baik formal maupun informal dianggap
dipimpin oleh Widjojo1238, sedangkan aliran nasionalis diwakili oleh
pejabat tinggi seperti BJ Habibie, yang menjabat sebagai Menteri Negara
Riset dan Teknologi dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,
BPPT) 1978-1998, Ginandjar Kartasasmita yang menjabat sebagai Menteri
Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (19831988)1239, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Badan Koordinasi
1238
Sedemikian penting peran dan fungsi Bappenas ini dalam strategi pembangunan
nasional, maka sekalipun dirintis oleh Soekarno pada tahun 1963 dan dipimpin oleh seorang
dokter, Soeharto, akan tetapi rintisan itu benar-benar terwujud setelah kepemimpinan Soeharto.
Sejak 1966-1973, Widjojo Nitisastro dipercaya sebagai Kepala Bappenas dan diberikan titel
menteri negara. Seterusnya, 1973-1983, posisi Wijoyo Nitisastro dipertahankan dengan rangkap
jabatan sebagai Menteri Negara Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Sesudah Widjojo
tidak lagi berkiprah dalam pemerintahan—sekalipun tetap ditunjuk sebagai Penasehat Ekonomi
Soeharto hingga pengunduran dirinya—J.B. Sumarlin mengambilalih untuk memimpin badan ini
dengan posisi sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1983-1988),
dilanjutkan oleh Saleh Afif (1988-1983), dan era teknokrasi ekonom berakhir saat Ginandjar
Kartasasmita—perwira Angkatan Udara yang aktif di birokrasi dan merupakan insinyur
nasionalis—menjadi Kepala Bappenas. Bahkan dalam kabinet terakhir Soeharto, Ginandjar
dipertahankan posisinya dengan mengikuti presden Widjojo Nitisastro (merangkap sebagai
Menteri Negara Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri). Masa pemerintahan Habibie yang
singkat, memisahkan jabatan Kepala Bappenas dari posisi Menteri Koordinator, dan menunjuk
Boediono sebagai pemimpin badan ini dengan titel Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional. Presiden Abdurrahman Wahid menolak menempatkan Bappenas sebagai lembaga supra
kabinet dan menghapus jabatan menteri untuk memimpin badan ini, tetapi keberadaannya sebagai
lembaga eksekutif di bawah Presiden dengan Djunaidi Hadisoemarto sebagai Kepala Bappenas.
Untuk memberikan tempat bagi kader yang dianggap loyal, Presiden Megawati kemudian
menunjuk Kwik Kian Gie sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas, akan tetapi tidak di bawah kaukus Menteri Koordinator Perekonomian, melainkan
langsung di bawah Presiden. Posisi ini dipertahankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu
dasawarsa terakhir kepresidenannya dengan menempatkan Sri Mulyani Indrawati (2004-2005),
Paskah Suzetta (2005-2009), dan Armaida Alisyahbana (2009-2014).
commit
to user
Dengan berdalih ketentuan
Pasal 17
UUD 1945, Soeharto menafsirkan ketentuan
itu sebagai hak eksklusif Presiden untuk mengangkat seorang menteri, termasuk menentukan
1239
438
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penanaman Modal , BKPM) (1985-1988), dan Menteri Pertambangan dan
Energi (1988-1993), Hartarto, Menteri Perindustrian (1988-1993), dan
Tunky Ariwibowo, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (19951997).1240
Orde
Baru
mengklaim
bahwa
sistem
ekonomi
bukanlah
kapitalisme maupun sosialisme.1241 Sebaliknya, banyak pejabat dan
pemimpin suka menggunakan ekonomi Pancasila. Namun, bagi banyak
pengamat, Orde Baru justru mengadopsi sistem kapitalis—sekalipun sejak
lama diingatkan bahayanya sistem ini dikaitkan dengan tujuan UUD
19451242--karena kebijakan dan strategi yang sebagian besar didasarkan
pada konsep dan institusi Barat. Nasionalisme Indonesia mempengaruhi
cara di mana Orde Baru melihat konsep dan strategi asing.1243 Hal ini,
lepas dari bentuk persaingan antara kelompok teknokrat dan para insinyur
pembentukan, penghapusan, penggabungan dari organisasi kementerian. Jabatan menteri muda
diperkenalkan Soeharto sejak Kabinet Pembangunan III (1978-1983) yang dimaksudkan sebagai
unit birokrasi yang melaksanakan program-program tertentu yang menjadi prioritas pemerintah
akan tetapi pengambilan keputusan melekat kepada kementerian yang berbentuk departemen.
Pembentukan jabatan tersebut terus berlangsung dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan
Kabinet Pembangunan V (1988-1993), akan tetapi dihapus dalam Kabinet Pembangunan VI
(1993-1998) dan Kabinet Pembangunan VII (1998). Di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid
jabatan ini kembali diperkenalkan akan tetapi hanya bertahan 1 tahun (2000) dan sejak Presiden
Megawati dan kini Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan itu tidak diteruskan kembali. Sejak 2008,
Yudhoyono memberlakukan UU Kementerian Negara, yang kemudian mengizinkan beberapa
kementerian tertentu mempunyai Wakil Menteri, yang kemudian menimbulkan kontroversi sampai
akhirnya MK memutuskan jabatan ini adalah hak eksklusif Presiden.
1240
Takashi Siraishi, op.cit., hlm. 17-18.
1241
Menghindari ideologi-ideologi asing yang dirasakan kapitalisme dan sosialisme,
Soeharto memberi nama kabinet dengan Kabinet Pembangunan (Kabinet Pembangunan): 1968-73,
1973-78,1978-83, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998, dan 1998 serta menyebut pemerintahannya
sebagai Orde Pembangunan. Sepanjang masa jabatannya, Soeharto menekankan Trilogi
Pembangunan. Pembangunan ekonomi harus mencegah 3 fenomena: a) free fight liberalism yang
tumbuh eksploitasi atas bangsa-bangsa lain, b) Etatism di mana negara dan perangkatnya menjadi
dominan dan represif terhadap pribadi sektor ekonomi, dan c) pemusatan kekuatan ekonomi di
tangan minoritas pada bentuk monopoli yang berbahaya bagi rakyat. Lihat: Tjahyadi Nugroho,
1984, Soeharto Bapak Pembangunan Bangsa , Semarang: Penerbit Yayasan Telapak, hlm. 258.
1242
Sudah sejak 1934 M. Hatta menyatakan bahaya pasar bebas Adam Smith yang akan
memperbesar yang kuat dan menghancurkan yang lemah. Terdapat pula sederetan kaum
strukturalis di Indonesia yang memahami betul bahwa mekanisme pasar besar yang bertentangan
dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, terutama Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 serta pasal-pasal
pendukungnya yaitu Pasal 18, Pasal 23, dan Pasal 34 UUD 1945. Lihat: Sri-Edi Swasono,
“Koperasi dan UUD Borjuis”, Kompas, 12 Juli 2013, hlm. 5.
1243
commit to user
Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta: Penerbit Airlangga, hlm.35.
439
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nasionalis, tampak antara lain dari kontrol negara terhadap sejumlah
aktivitas perdagangan dan perindustrian. Pada tahun 1982, guna mengatasi
keterancaman ekonomi Indonesia akibat jatuhnya harga minya di pasar
internasional1244, sebuah "approved traders" diperkenalkan. Sistem ini
menetapkan daftar kategori bahan baku, komponen, dan produk yang
dapat diimpor hanya oleh lembaga tertentu.
Pada tahun 1965 perekonomian Indonesia amburadul. Ekonomi
mengalami stagnasi sejak kemerdekaan. Antara tahun 1960 dan 1965 PDB
riil per kapita di Indonesia begitu rendah karena hanya sekitar 10%. Pada
tahun 1965 inflasi sangat tinggi (229%). Investasi domestik bruto hanya
6,5% dari PDB dan mengalami penurunan. Posisi eksternal Indonesia
dengan cepat memburuk dalam menghadapi pelarian modal yang
merajalela, sementara suku cadang, bahan baku dan makanan yang dalam
pasokan rendah dan makanan yang dalam pasokan rendah.1245 Produksi
yang menguntungkan telah berhenti semua.1246 Setelah program stabilisasi
makroekonomi berhasil dilaksanakan oleh para teknokrat ekonomi dalam
pemerintahan Soeharto yang baru, inflasi melambat, investasi naik, dan
pertumbuhan berkembang baik. Antara tahun 1966 hingga 1997, PDB riil
1244
Pada 1980-an, perekonomian dihadapkan dengan berbagai masalah. Melemah
harga minyak pada awal tahun 1980 secara signifikan mengurangi pendapatan ekspor dan
pendapatan anggaran. Penurunan signifikan harga minyak sangat mempengaruhi neraca
pembayaran Indonesia. Selama tahun 1980 -1985 ekonomi tumbuh sebesar 3,7% pa, yang jauh
lebih lambat dari 7,5% selama periode 1975-1980. Sebagai respon terhadap situasi ini, pemerintah
Indonesia melakukan beberapa program penyesuaian untuk meningkatkan efisiensi ekonomi,
mengubah rezim perdagangan untuk menjadi lebih outward looking, dan memberikan prioritas
tinggi untuk mengembangkan ekspor non-minyak dan gas. Tidak kurang dari 24 paket reformasi
ekonomi yang diperkenalkan dari 1983 sampai 1995, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi
ekonomi dan mendorong investasi serta ekspor non-minyak. Seiring dengan perubahan orientasi
ini, pemerintah mengubahnya kebijakan investasi dari salah satu kontrol ke salah satu promosi.
Selain itu, berbagai reformasi perdagangan dan rezim kebijakan industri diperkenalkan untuk
meningkatkan perdagangan. Rezim perdagangan Indonesia sebelum pertengahan 1980-an relatif
terproteksi. Namun, dari Tahun 1985, ketika reformasi perdagangan telah dimulai, tingkat proteksi
tersebut menurun dan Indonesia memasuki era orientasi ekspor. Lihat: Hadi Soesastro dan M.
Chatib Basri, “The Political Economy of Trade Policy in Indonesia”, CSIS Working Paper Series,
Maret 2005, hlm. 1.
1245
J.A. Winters, 1996, Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State,
Ithaca: Cornell University Press, hlm. 47.
1246
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
440
digilib.uns.ac.id
per kapita tumbuh 5,03% per tahun. Pada tahun 1997 PDB riil per kapita
tersebut kira-kira sama dengan yang di India dan China pada tahun 1966
($ 960 di India, $ 815 di China dan $ 804 di Indonesia), adalah telah
tumbuh 1,6 kali India ($ 4114 vs $ 2360) dan 1,3 kali cepat dari China ($
3.058). Pertumbuhan yang cepat bergandengan tangan dengan diversifikasi
besar produksi, tenaga kerja, dan ekspor. Dalam produksi, tenaga kerja dan
ekspor terkonsentrasi di sejumlah kecil produk pertanian (beras, kopi,
minyak sawit, dan gula)1247 dan sumber daya alam (minyak).1248
Manufaktur kurang dari 10% dari PDB dan ekspor diproduksi yang tidak
ada. Pada tahun 1996, manufaktur meningkat menjadi lebih dari 25% dari
1247
Dalam sejarah modern, pertanian Indonesia telah mengalami pasang dan surut
sepanjang proses transformasi struktural dalam perekonomian. Setelah berhasil melewati fase
stagnasi awal selama rezim Soekarno pada pertengahan 1960-an, pertanian telah memainkan peran
penting dalam transformasi struktural dan dilakukan cukup baik selama paruh pertama
pemerintahan Soeharto (1967-1986). Indonesia memiliki mengadopsi kebijakan afirmatif yang
mendukung sektor pertanian, khususnya yang berasal dari sumber-sumber pendapatan pemerintah
di sektor minyak sejak 1970-an. Namun, selama periode kedua pemerintahan Soeharto (19861998), ketika bias perhatian memiliki bergeser lebih ke sektor industri, kinerja sektor pertanian
menurun signifikan. Tingkat pertumbuhan yang lambat di sektor pertanian terjadi pada saat yang
sama ketika sektor pertanian mengalami penurunan pangsa dalam perekonomian nasional,
menciptakan kesulitan dalam mengembalikan tingkat pertumbuhan. Lihat: Bustanul Arifin,
“Decomposing
the
Performance
of
Indonesian
Agriculture”,
dalam
http://barifin.files.wordpress.com/2012/12/2004-arifin-decomposing-agricultural-growth.pdf,
diakses di Surakarta, 29 Juni 2013.
1248
Ekspor minyak (termasuk juga gas alam) berpengaruh besar terhadap kinerja
perekonomian Indonesia untuk sebagian besar periode 1960-2007. Ekspor minyak menyumbang
lebih dari 50% total ekspor barang pada periode 1972-1986, dan penerimaan negara dari industri
minyak menyumbang proporsi yang signifikan dari yaitu 28% pada tahun 1970, 58% pada tahun
1975, 69% pada tahun 1980, 58% pada tahun 1985 dan 34% pada tahun 1990. Produksi minyak
mulai terus menurun mulai tahun 1997, dan dikombinasikan dengan meningkatnya konsumsi
migas dalam negeri, Indonesia menjadi pengimpor minyak bersih dari tahun 2004 dan seterusnya.
Pada tahun 1980, Nigeria melebihi Indonesia dalam tingkat ketergantungan pendapatan ekspor
dan (potensial) penerimaan negara terhadap industri minyak. Ekspor minyak dibandingkan
keseluruhan ekspor untuk Nigeria dan Indonesia adalah masing0masing adalah 91,4% dan 81,1%,
dan rasio ekspor minyak terhadap penerimaan negara adalah 111,5% dan 107,1%, masing-masing.
Pada tahun 1980, pendapatan ekspor minyak China menyumbang porsi yang signifikan dari
pendapatan ekspor (21,4%) tetapi tidak untuk potensi pendapatan negara (5,3%). Malaysia secara
signifikan tergantung pada industri minyak pada tahun 1980, ekspor minyaknya adalah 50,3% dari
total ekspor dan 30,4% dari potensi penerimaan negara. Malaysia tentu saja lebih kecil dalam
populasi dan daratan dibandingkan dengan Indonesia, Meksiko dan Nigeria dan karenanya
menghadapi beban administrasi yang minimal (demikian pula untuk tingkat permasalahan sosial)
dalam pengelolaan ekonomi daripada ketiga pengekspor minyak lainnya. Lihat: Wing Thye Woo,”
Indonesia’s Economic Performance in Comparative Perspective, and a New Policy Framework for
2049”, Paper for Central University of commit
Finance and
Economics, Beijing, 1 Januari 2010, hlm. 3
to user
dan 5.
441
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
PDB sebagai nilai tambah diproduksi riil yang meningkat lebih dari 12
kali dari $ 4,4 milyar dolar dengan $ 57,3 miliar.1249 Pada 1993, ekspor
manufaktur mencapai 21 miliar dolar dari 53% dari total ekspor.
Akibatnya, pangsa manufaktur di PDB dan pangsa ekspor manufaktur
dalam total ekspor secara substansial lebih tinggi dari yang diharapkan dan
indeks konsentrasi ekspor secara substansial lebih rendah daripada yang
diharapkan untuk sebuah negara dengan ketersediaan sumber daya dan
tingkat pertumbuhan seperti Indonesia.1250 Hasil dari upaya pembangunan
sebagian besar mengesankan bagi Indonesia dan masyarakat internasional.
Secara umum, peningkatan kesejahteraan rakyat telah terwujud: jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari 60,0% atau
70 juta dari total penduduk pada tahun 1970 menjadi, dari 40,1% dari total
penduduk pada tahun 1976 menjadi sekitar 26,9% pada 1981, dan
kemudian turun menjadi sekitar 16,4% pada tahun 1987, dan kemudian
menurun lagi menjadi 13,7% atau 25,9 juta pada tahun 1993. Tingkat
tahunan rata-rata selama pertumbuhan jangka panjang adalah antara 5%
sampai 7% dalam dua dekade terakhir, sebelum krisis moneter Asia yang
dimulai pada tahun 1997.1251
Mengingat kinerja perekonomian Indonesia sebelum Orde Baru
dan kinerja pembangunan atas beberapa negara-negara berkembang
lainnya antara tahun 1966 dan 1997, kinerja pembangunan Indonesia di
masa Orde Baru menakjubkan. Apa yang membuatnya bahkan lebih luar
1249
Berbeda dengan Pemerintahan Era Lama, sektor industri merupakan prioritas utama
dalam Orde Baru. Dalam rangka mendukung pengembangan industri nasional, pemerintah
mematuhi dua industrialisasi yang berbeda strategi diterapkan secara bertahap mulai dari substitusi
impor yang berfokus pada industri padat karya seperti tekstil dan produk-produk tekstil, alas kaki,
produk kayu (terutama kayu lapis itu), makanan dan minuman, dan kemudian diikuti oleh
pengembangan industri perakitan otomotif, dan dalam dekade awal 1980-an, strategi bergeser ke
mempromosikan ekspor. Dua kebijakan industrialisasi tersebut didukung oleh beberapa kebijakan
reformasi ekonomi dan membawa hasil dramatis yang berada di luar harapan paling optimis pada
saat itu. Lihat: Tulus Tambunan, “The Development of Industry and Industrialization Since the
New Governance Era to The Post Crisis Periode”, Kadin-Jetro, November 2006, hlm. 1.
1250
Michael T. Rock, “The Politics of Development Policy and Development Policy
Reform in New Order Indonesia”, William Davidson Institute Working Paper Number 632
November 2003, hlm. 5.
1251
commit to user
Mohammad Ali, op.cit., hlm. 10.
perpustakaan.uns.ac.id
442
digilib.uns.ac.id
biasa adalah bahwa hal itu terjadi dalam konteks apa yang tampaknya
menjadi korupsi besar-besaran, sistemik, dan endemik dan rent-seeking.
Meskipun sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk memperkirakan ukuran
korupsi Indonesia selama Orde Baru hampir semua survei internasional
mengenai korupsi secara rutin menempatkan Indonesia sebagai salah satu
negara paling korup di dunia.1252 Survei terbaru rakyat Indonesia
mengungkapkan bahwa mayoritas (78%) mengatakan mereka membayar
suap ketika rutin berinteraksi dengan pejabat pemerintah.1253 Suap dibayar
untuk mendaftarkan kelahiran seorang anak, ketika melamar SIM atau
surat nikah, atau saat mengajukan permohonan kartu identitas wajib.1254
Ini merupakan korupsi kecil-kecilan yang hampir pasti dikerdilkan
dibandingkan dengan pelembagaan korupsi besar-besaran di dalam
pemerintah dan antara pejabat pemerintah dan pengusaha. Dalam
pemerintahan, besar pengeluaran di luar anggaran di beberapa lini,
khususnya di Pertamina, perusahaan minyak negara, tetapi juga di
Perhutani, perusahaan kehutanan negara, dan di Bulog, makanan lembaga
logistik negara hampir diendapkan.1255 Untuk membuat keadaan menjadi
lebih buruk, pejabat pemerintah di Departemen Perdagangan dan
Perindustrian dan Sekretariat Negara rutin digunakan sebagai hubungan
patron-klien sebagai kroni, termasuk anak-anak presiden, akses monopoli
ke pasar tertentu, dan akses yang disukai untuk kontrak-kontrak
pemerintah, hak promosi dan bersubsidi kredit dari BUMN.1256 Beberapa
kritik yang disampaikan mengatakan bahwa korupsi secara sistematis
memberikan kontribusi terhadap sektor manufaktur yang lemah dan
Transparency International (2002) “Historical Comparisons”, Internet Center for
Corruption Research. Accessed on June 8, 2002. http://www.gwdg.de/∼uwvw/histor.htm, diakses
di Surakarta, 22 Juni 2013,
1252
F. Robertson-Snape, “Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia, Third
World Quarterly, 1999, Vol. 20, No. 3, hlm. 589.
1253
1254
Ibid.
1255
Michael T. Rock, op.cit., hlm. 7.
R. Elson, 2001, Suharto:commit
A Political
Cambridge: Cambridge University
to Biography,
user
Press, hlm. 194-201 dan 250-253.
1256
443
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dangkal sehingga menyebabkan produktivitas rendah serta lebih
tergantung pada impor.
Untuk sektor politik, restrukturisasi dikendalikan oleh militer,
mengingat partai politik sudah dilumpuhkan sejak era sebelumnya.1257
Soeharto
bersama
pemimpin
militer
yang
dipercayai
berhasil
menggenggam kekuasaan dengan melakukan rekayasa terhadap struktur
politik dan mendelegitimasi kekuasaan Soekarno.1258 Akan tetapi,
Soeharto tidak berminat untuk membentuk pemerintahan junta militer atau
melakukan kudeta paksa untuk merebut pemerintahan1259 seperti misalnya
di Amerika Latin1260 dan Afrika1261. Ketika pembangunan ekonomi
1257
Diskusi lebih lanjut soal ini, lihat: M. Rusli Karim, 1993, Perjalanan Partai Politik
di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta, Penerbit Rajawali Press, hlm. 137-151 dan
Bambang Sunggono, 1992, Partai Politik dalam Kerangka Pembangunan Politik di Indonesia,
Surabaya, Penerbit Bina Ilmu, hlm. 77-87.
1258
Tindakan ini disebabkan karena Orde Baru lahir di tengah-tengah 4 realitas politik.
Pertama, polarisasi ideologis primordial. Kedua, adanya trauma tentang konglik politik dan
instabilitas yang pernah terjadi sepanjang masa sebelumnya. Ketiga, keterlambatan industrialisasi
dan kerusakan ekonomi secara nasional. Keempat, tumbuhnya persepsi negara mengenai adanya
ancaman bahaya laten komunis dan para pendukung Soekarno. Lihat: Mochtar Mas’oed, Ekonomi
dan Struktur Politik Orde Baru, op.cit., hlm. 23.
1259
Menurut Alfian, kalau seandainya militer mau, pada waktu itu mereka bisa
memonopoli kekuasaan politik, namun hal itu tidak terjadi karena dalam diri militer berkmbang
ideologi antidiktator atau oligarki militer. Lihat: Alfian, 1992, Pemikiran dan Perubahan Politik di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, hlm. 4-5.
1260
Kudeta merupakan hal yang biasa terjadi atau bahkan nyaris menjadi bagian yang
hampir normal dalam proses politik Amerika Latin. Ada harapan bahwa kudeta dapat dihindari
akan tetapi kenyataannya selalu terjadi, dan masyarakat internasional harus berurusan dengan fakta
ini secara realistis. Kudeta dapat mengambil arah inkonstitusional tetapi mungkin memiliki
kekuatanyang cukup untuk memperoleh legitimasi konstitusional. Kudeta cenderung terjadi ketika
sistem politik sipil biasa mengalami krisis, lumpuh, atau ketika keamanan internal terancam.
Kudeta juga cenderung terjadi di negara-negara berkembang, kurang kuat atau lembaga
masyarakat sipil yang kuat, ketika lembaga-lembaga telah gagal, angkatan bersenjata sering
terdorong dan memiliki kewajiban konstitusional, untuk masuk dan mengisi kekosongan itu.
Mereka tidak selalu merebut kekuasaan, tetapi paling sering memenuhi tanggung jawab
konstitusionalnya. Tiga negara Amerika Latin (Kosta Rika, Haiti, dan Panama) tidak memiliki
angkatan bersenjata reguler, namun, polisi mungkin memainkan peran politik. Di lima negara
Amerika Latin (Argentina, Chili, Kuba, Meksiko, dan Uruguay), angkatan bersenjata disebutkan
dalam konstitusi mereka atau memiliki peran konstitusional yang terbatas. Tapi di 12 negara
Amerika Latin (60 persen), angkatan bersenjata memiliki peran konstitusional, biasanya berputar
di sekitar pemeliharaan ketertiban internal atau resolusi krisis jika sistem politik menemui jalan
buntu. Semakin berkembang dan dilembagakan sebuah negara Amerika Latin (Chile, Kosta Rika,
dan Uruguay), semakin kecil kemungkinan akan terjadi untuk angkatan bersenjata untuk campur
commit
to user
tangan dalam sistem politik. Masalah banyak
intervensi
militer disebabkan karena keterbelakangan
dan kelembagaan yang lemah. Ada yang menjadi konflik seperti di Honduras pada tahun 2009.
perpustakaan.uns.ac.id
444
digilib.uns.ac.id
menjadi fokus utama, maka Orde Baru memandang tertib politik adalah
prasyarat penting. Dalam rangka mencapai tertib politik ini, Orde Baru
melakukan penataan lembaga-lembaga negara1262, penataan birokrasi
dengan memperkuat kewenangan dan memperluas jaringannya1263 serta
Lihat: Howards J. Wiarda dan Hilalary Coins, 2011, Constitutional Coups? Military Interventions
in Latin America, Washington D.C., Center for Strategis and International Studies, hlm. 10-15.
1261
Di Afrika, lebih dari 200 kudeta militer telah terjadi sejak era pasca-kemerdekaan
tahun 1960, dengan 45% dari mereka yang sukses dan menghasilkan perubahan dalam kekuasaan,
yaitu pergantian kepala negara dan pejabat pemerintah, dan/atau pembubaran struktur
konstitusional yang sudah ada sebelumnya. Dari 51 negara-negara Afrika, hanya 10 negara tidak
pernah mengalami kudeta (sukses, percobaan, atau sekedar percobaan), yaitu: Botswana, Cape
Verde, Mesir, Eritrea, Malawi, Mauritius, Maroko, Namibia, Afrika Selatan, dan Tunisia. Dalam
52 tahun terakhir, 80% dari negara-negara Afrika telah mengalami setidaknya satu kudeta atau
upaya kudeta gagal, dan 61% telah mengalami beberapa kudeta militer (2 sampai 10 kali).
Sementara sejumlah besar kudeta terjadi di era pasca-kemerdekaan (selama tahun 1960), tahun
1970-an dan 1980-an ditandai oleh sejumlah besar upaya kudeta yang berhasil maupun yang gagal.
Dari 39 kudeta yang terjadi selama tahun 1960, di 27 negara (atau 69%) berhasil menggulingkan
rezim mapan. Kudeta militer yang gagal (61%) selama tahun 1970 dan 1980 sebagian besar
disebabkan oleh fakta bahwa negara-negara Afrika yang paling mandiri untuk jangka waktu yang
cukup lama. Hal ini memungkinkan mereka telah membentuk sistem politik permanen, berhasil
menahan upaya kudeta militer. Tahun 1990-an dan 2000-an, di sisi lain, menyaksikan penurunan
dalam jumlah kudeta berhasil maupun gagal, dengan sekitar setengah dari negara-negara Afrika
menjadi bebas kudeta. Alasan tidak adanya kudeta dan upaya kudeta selama periode ini banyak
ragamnya, mulai dari kekuatan asing menjamin stabilitas di beberapa negara, manifestasi yang
berbeda dari kekerasan politik (misalnya sipil atau perang antar negara), atau rezim yang didirikan
yang dilengkapi dengan ukuran legitimasi sistemik pretorian yang minim serangan dari angkatan
bersenjata. Lihat: Habiba Ben Barka & Mthuli Ncube, “Political Fragility in Africa: Are Military
d’Etat a Never Ending Phenomenon?”, AfDB Economist Complex, September 2012, hlm. 1-5.
1262
Lihat: Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua LembagaLembaga Negara di Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang Diatur dalam UUD
1945.
1263
Penataan birokrasi yang dilakukan oleh Orde Baru lebih bersifat Parkonisasi dan
Orwelilisasi dibandingkan Weberisasi. Penataan tersebut ditujukan untuk 2 tujuan utama yaitu
penumbuhan apoaratur yang kuat secara kuantitatif (Parkinsonsonisasi) dan penambahan
pengawasan yang bersifat birokratis (Orwellisasi). Pada tahun 1960, jumlah PNS adalah 393.000
orang, kemudian meningkat menjadi 515.000 orang (1970) dan bertambah lagi menjadi 2.047.000
(1980). Jabatan-jabatan di semua birokrasi tertinggi—mulai Menteri sampai dengan Direktur
Jenderal di departemen—diduduki oleh militer dalam jumlah besar. Pada tahun 1986, militert etap
mengambil posisi dominan dalam jabatan sentral birokrasi tertinggi. Militer menduduki jabatan
pembantu dekat Presiden (64%), menteri (38%), Sekretaris Jenderal (67%), Inspektur Jenderal
(67%), dan Direktur Jenderal (20%).
Penguasaan birokrasi juga dilakukan dengan
mengintegrasikan ke dalam jajaran partai politik Golkar. Birokrasi dikooptasi Golkar dengan
kebijakan monoloyalitas yang tidak memperkenankan PNS menjadi anggota partai politik nonGolkar dan hanya bisa menyalurkan partisipasinya melalui Golkar. Diskusi lebih lanjut atas
pernyataan-pernyataan ini, lihat: Hans Diester Evers dan Tilman Schiel, 1990, KelompokKelompok Strategies: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di
Dunia Ketiga, terjemahan oleh Aan Effendi, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm. 236;
Lance Castles, 1992, Birokrasi dan Masyarakat, Jakarta, Penerbit Fakultas Ilmu Sosial UI, hlm.
to user
18; Harold Crouch, “Pasca Angkatan 45:commit
Militer dan
Politik di Indonesia”, Prisma, Tahun 15, No.
8, Agustus 1986.
perpustakaan.uns.ac.id
445
digilib.uns.ac.id
mampu menjadi instrumen kekuasaan1264, penataan partai tunggal antara
lain dengan fusi1265 dan pemberlakuan asas tunggal1266, pelembagaan Dwi
Fungsi ABRI1267, memperkuat lembaga kepresidenan diantaranya dengan
1264
Menurut Afan Gaffar, instrumen birokrasi tersebut diwujudkan ke dalam 3 pola.
Pertama, pada setiap pemilu dukungan langsung diberikan kepada Gplkar. Pada pemilu 1997
misalnya, tidak kurang dari 4,1 juta PNS memberikan suaranya kepada Golkar. Kalau ditambah
dengan suara keluarga mereka, Golkar akan mendapatkan 10 juta suara. Kalau satu kursi bernilai
400 ribu suara, maka PNS menyumbangkan 20 kursi bagi Golkar. Kedua, birokrasi mendominasi
semua struktur panitia pemilu demi menjamin kemenangan Golkar. Ketiga, dalam setiap pemilu
birokrasi adalah penyedia dana bagi kemenangan Golkar, lewat para pejabat daerah dengan
memotong biaya proyek tertentu. Lihat: Afan Gaffar, 1999, Politik Indonesia Transisi Menuju
Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 235-237.
1265
Kebijakan fusi merupakan implementasi dari proyek restrukturisasi politik Orde
Baru yang diarahkan kepada partai politik, meliputi jumlah, pola dukungan, basis massa, dan garis
ideologis (aliran). Alasannya jumlah partai yang terlalu banyak hanya akan membawa konflik
politik yang menghambat pembangunan. Fusi dirintis dengan pengelompokkan partai untuk
mempermudah kampanye pemilu 1971. Di bawah tekanan dan operasi intelijen Orde Baru, partai
politik tidak mempunyai pilihan, kecuali harus memfusikan diri. Pada 10 Januari 1973, terbentuk
PDI yang merupakan fusi dari IPKI, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, dan PNI.
Kemudian pada 13 Februari 1973, fusi diikuti oleh partai Islam: NU, Parmusi, PSII, dan Perti
dengan membentuk PPP. Lihat: Munafrizal Manan, op.cit., hlm. 48-49.
1266
Rezim Orde Baru melakukan restriksi ideologi diberlakukan secara ketat melalui
asas tunggal Pancasila terhadap orsospol maupun ormas sosial keagamaan dengan UU No. 8/1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Bahkan, melalui UU tersebut dan PP No 18/1986, pemerintah
ORBA dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat apabila ormas melakukan kegiatan yang
mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa
persetujuan pemerintah, serta memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan
kepentingan bangsa dan negara.
1267
Di bawah dwi fungsi ABRI telah datang untuk diterima sebagai pengaruh yang
dominan dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia, sementara pemerintahan sipil tumumnya
tidak responsif, efisien dan terang-terangan korup. ABRI bertindak sebagai alat utama untuk
pengembangan dan implementasi kebijakan pemerintah, dan sebagai diamisator dan fasilitator
pembangunan nasional. ABRI juga mempunyai otoritas sentral dari etnis negara plural dengan
memiliki tidak hanya senjata, tetapi juga kewenangan konstitusional, dan menjadi telinga presiden.
Untuk waktu yang lama militer Indonesia mendominasi kehidupan sosial-politik nasional dengan
menggunakan berbagai justifikasi, seperti konsep dwifungsi ABRI. Secara bertahap dwifungsi
ABRI, atau khususnya peran militer di bidang sosial-politik (dan ekonomi) itu dikukuhkan terus
menerus dalam berbagai perangkat hukum: Ketetapan No. XXIV/MPRS/1966 tentang
Kebijaksanaan Dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan (integrasi tiga angkatan dan kepolisian
dalam ABRI dan Dephankam), Keppres No. 132/1967 (24 Agustus 1967) tentang pokok-pokok
organisasi departemen Hankam (ABRI terdiri atas tiga angkatan dan kepolisian, semuanya di
bawah Dephankam), berbagai “undang-undang politik” (UU No. 15/1969, UU No. 16/1969, UU
No. 3/1975), UU No. 20/1982 (Pasal 28) dan perbaikannya, berbagai Ketetapan MPR yang
“mempertahankan kemurnian UUD 1945” dan Ketetapan No. IV/MPR/1983 tentang Referendum
yo. UU No. 5/1985, hingga UU No. 28/1997 tentang Kepolisian RI. Lihat: Soebijono et.al., 1997,
Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 46-55. Baca juga: Andrew Renton-Green,
“Indonesia After Soeharto: Civil or Military
Rule”,
Center for Strategic Studies, Working Paper
commit
to user
No. 128, 1998, hlm. 4-5.
perpustakaan.uns.ac.id
446
digilib.uns.ac.id
mendayagunakan Sekretariat Negara1268, memberi kekuasaan kontrol
kepada otoritas keamanan1269, dan penataan organisasi kemahasiswaan.1270
(2) Krisis Ekonomi dan Delegitimasi Orde Baru
Perubahan perekonomian Indonesia telah mengalami yang
dramatis. Dari bulan Desember 1996 sampai Juli 1997, rupiah
diperdagangkan di kisaran sekitar 2.400 per dolar AS. Indeks harga
konsumen (CPI) yang disediakan oleh Bank Indonesia menunjukkan harga
stabil untuk masing-masing 4 kebutuhan pokok yaitu makanan,
perumahan, sandang, dan kesehatan. Pada bulan Juli 1997, bhat Thailand
dan rupiah mengalami depresiasi. Hal ini muncul memasuki masa Agustus
1997, di mana nilai tukar rupiah dilaporkan pada 3.035 terhadap dolar.
Meskipun merupakan depresiasi tajam dalam tingkatan 20 persen,
kenaikan harga ini begitu timpang. Sepanjang sisa tahun 1997, nilai tukar
rupiah terus terdepresiasi terhadap dolar dan (kecuali pada bulan
1268
Sekretariat Negara sejak 1973 hingga 1988 dipimpin oleh perwira militer
kepercayaan Soeharto, Soedharmono. Akibat persaingan kebijakan ekonomi antara para teknokrat
dengan kelompok insinyur nasionalis, menyebabkan para teknokrat merapat ke figur Sudharmono
guna mengefektifkan usul-usul ekonomi mereka yang liberal. Karena serangan gencar yang
dilancarkan oleh berbagai pihak terhadap gagasan dan kebijakan mereka pada 1972-9174, Widjojo
dan kawan-kawannya tidak memiliki ruang gerak yang memadai untuk membendung pengaruh
para pembela sentralisme yang semakin besar. Bahkan, Widjojo dan kawan-kawan akhirnya
mendukung kebijakan ini, yang tercermin dari keterlibatan Widjojo dalam penyusunan mekanise
pengalokasian anggaran untuk kaum pengusaha pribumi yang disalurkan melalui Sekretariat
Negara. Di samping itu, Widjojo berhasil meyakinkan Soeharto untuk membentuk Tim
Pengendalian Pengadaan Barang Pemerintah yang dipimpin oleh Sudharmono. Demikianlah, maka
Sekretariat Negara berkembang dari fungsi administrasi pemerintah dan mendukung tugas-tugas
kepresidenan menjadi fungsi politik lain sebagai sandaran persaingan elit politik di sekitar
Soeharto. Lihat: Rizal Mallarangeng, op.cit., hlm. 109-111.
1269
Lewat pendekatan koersif, Soeharto memainkan militer sebagai ujung tombak
lapangan dan pasal-pasal subversive untuk menjaring semua penentangnya. Lembaga-lembaga
ekstra konstitusional seperti Kopkamtib, Opstib, Bakorstanas/da, dan Posko Kewaspadaan
digunakan untuk menekan rakyat. Apparatus intelijen seperti Bakin, BIAS, Intelpompal,
Kaditsospol juga berperan melancarkan represi, pengawasan, koreksi ideologis, dan pengarahan
terhadap penentang Orde Baru. Lihat: Munafrizal Manan, op.cit., hlm. 55.
1270
Sejak peristiwa Malari, pemerintah melumpuhkan kebebasan mahasiswa. Melalui
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 028/U/1974, pemerintah memberi wewenang
kepada perguruan tinggi untuk membina kegiatan nonkurikuler mahasiswa. Tujuannya agar
mahasiswa tidak lagi gencar melakukan aksi-aksi politik. Pada masa Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Daoed Joesoef (1978-1983), Dewan Mahasiswa dibekukan, pers mahasiswa dilarang,
dan depolisisasi kampus dijalankan. Menteri
kebijakan Normalisasi Kehidupan
commitmeluncurkan
to user
Kampus (NKK) dan menetapkan pembentukan Badan Koordinasi Kampus (BKK).
perpustakaan.uns.ac.id
447
digilib.uns.ac.id
November) terhadap yen. Indeks CPI untuk pangan naik dari 105 sampai
120-peningkatan yang nyata tetapi bukan hal yang luar biasa. CPI untuk
perumahan, sandang, dan perawatan kesehatan meningkat namun lebih
rendah. Di sisi kebijakan ekonomi, IMF menyetujui pinjaman $ 10 miliar,
sementara Bank Dunia berjanji $ 4,5 miliar untuk program 3 tahun. Tetapi
sampai 1998 krisis telah berkembang luar biasa. Pada tanggal 8 Januari
1998, yang kadang-kadang disebut sebagai "Black Thursday," rupiah
mulai terjun bebas, dan laporan berita melaporkan telah terjadi kepanikan
seperti pembelian makanan. Nilai tukar jatuh pada satu titik pada bulan
Januari sampai di atas 16.000 rupiah per dolar, dan CPI untuk makanan
melonjak hampir sama pada bulan Januari seperti itu enam bulan
sebelumnya. CPI untuk pakaian melonjak bahkan lebih tinggi lagi. Karena
tekanan internasional untuk menerapkan dewan mata uang (currency
board system)1271 yang diusulkan meningkat dan bantuan ditangguhkan,
telah menyebabkan ketidakpastian. Untuk 4 bulan pertama dalam tahun
1998, harga-harga terus meningkat.1272
Banyak birokrat menunjuk faktor eksternal sebagai alasan utama
dari krisis ekonomi di Indonesia. Hal itu bisa dimengerti karena Indonesia
masih tumbuh rata-rata 7,3% (1989-1996). Banyak lembaga multilateral
juga menyatakan Indonesia sebagai salah satu keajaiban Asia. Meskipun
1271
Dewan mata uang adalah lembaga yang menerbitkan uang kertas dan mata uang
logam untuk diubah menjadi "cadangan" mata uang asing pada tingkat bunga tetap dan sesuai
permintaan. Institusi ini tidak menerima deposito. Sebagai cadangan, dewan mata uang memegang
mata uang yang berkualitas tinggi dan menerbitkan surat berharga dalam mata uang cadangan.
Dalam dewan mata uang nilai cadangan setara dengan 100 persen atau sedikit lebih dari mata
uang yang beredar menurut ketetapan U. Dewan menghasilkan keuntungan (seigniorage) dari
perbedaan antara bunga yang diperoleh pada surat berharga yang dimilikinya dan biaya
pemeliharaan mata uang kertas dan mata uang logram yang beredar. Dewan memberikan
keuntungan kepada pemiliknya (yang secara historis adalah pemerintah) yang meliputi semua
keuntungan di luar apa yang dibutuhkan untuk menutupi biaya dan mempertahankan cadangan
pada tingkat yang ditetapkan oleh UU. Dewan mata uang tidak mempunyai kewenangan dalam
kebijakan moneter dan hanya kekuatan pasar saja yang menentukan jumlah uang beredar. Lihat:
Steve Hanke, “The Disregard for Currency Board Realities”, Cato Journal, Vol. 20, No. 1.
James Levinsohn, Steven Berry dan Jed Friedman, “Impacts of the Indonesian
Economic Crisis Price Changes and the Poor”, dalam Michael P. Dooley and Jeffrey A. Frankel,
2003, Managing Currency Crises in Emerging
commitMarkets,
to user University of Chicago Press, hlm. 394396.
1272
448
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demikian, hal itu tidak dapat dibenarkan. Pada tahap awal, gejolak
ekonomi dimulai oleh krisis di Thailand, tapi krisis memburuk lebih
banyak disebabkan karena kelemahan dalam struktur ekonomi Indonesia.
Krisis ekonomi Indonesia bahkan lebih parah sebagai akibat dari
kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan krisis ekonomi
dan serangkaian kesalahan dalam menilai dan kesalahan kebijakan dari
para pembuat kebijakan selama periode tersebut. Sebelum krisis ekonomi
terjadi tahun 1997/1998, perekonomian Indonesia sudah menghadapi
masalah serius di sektor keuangan, yaitu: kepemilikan dan manajemen
lembaga keuangan
lintas, nilai tukar rupiah yang terlalu ketat, dan
pencairan pinjaman secara ceroboh.1273
Ekonomi politik pembalikan ekonomi yang menakjubkan di
Indonesia tahun 1997/1998 berbeda dari yang di Thailand dalam beberapa
hal yang penting. Yang pasti, ada beberapa kerentanan sebagai faktor
kunci: sistem keuangan terbuka dengan pengawasan yang lemah, nilai
tukar efektif yang terkendali, dan arus masuk dan keluar modal asing
dalam jumlah besar, terutama utang jangka pendek. Seperti di Thailand,
koeksistensi kondisi ini berarti bahwa mata uang berada di bawah tekanan
yang secara ekonomi menjadi begitu berbahaya. Dengan demikian, kita
melihat lingkaran setan yang sama di tempat kerja: modal jangka pendek
awalnya pindah di self-fulfilling sebagai antisipasi terhadap depresiasi
nilai tukar dan dengan cepat menciptakan masalah serius bagi debitur
pinjaman luar negeri. Persaingan untuk membeli dolar oleh debitur
mendorong nilai tukar turun lebih lanjut, membuat pembayaran utang
lebih sulit untuk pembayaran kembali.. Dan karena hal ini disebabkan
lebih banyak modal yang keluar dan mata uang yang jatuh lebih rendah
Hendri Saparini, “Policy Response to Overcome Crisis: A Lesson from Indonesian
Case”,
diunduh
dari
http://www.networkideas.org/ideasact/feb09/Beijing_Conference_09/Hendri_Saparini.pdf,
diakses
commit to user
di Surakarta, 24 Juni 2013.
1273
perpustakaan.uns.ac.id
449
digilib.uns.ac.id
lagi, maka gagal bayar (default) pada utang luar negeri menjadi
kenyataan.1274
Sejak Oktober 1997 Indonesia telah mengajukan bantuan
pinjaman luar negeri dengan mengikuti syarat-syarat reformasi ekonomi
dari IMF.1275 Namun, seperti dikatakan oleh Rizal Ramli dalam sebuah
artikel yang diterbitkan secara luas awal Oktober 1997, tindakan
melibatkan IMF dalam program pemulihan Indonesia pasti akan
menjerumuskan negara itu ke dalam krisis ekonomi yang lebih mendalam.
Berdasarkan kinerja masa lalu lembaga tersebut, Rizal Ramli merasa
bahwa IMF akan bertindak sebagai dokter bedah dibandingkan sebagai
penyelamat, yang
memutus kaki perekonomian Indonesia dan negara
kreditur. Tingkat keberhasilan IMF dalam operasi semacam ini kurang dari
30 persen, dan banyak pasien mengalami pemulihan sementara diikuti oleh
kekacauan baru yang membutuhkan operasi tambahan. Banyak contoh dari
Amerika Latin dan Afrika yang telah menunjukkan bahwa diagnosis dan
pengobatan IMF telah gagal untuk menyembuhkan pasien.1276
Peran IMF di Indonesia berlangsung dalam 3 tahap sejak tahun
1997. Pada tahap pertama, kebijakan moneter super ketat IMF ditujukan
mencegah ketidakstabilan di pasar keuangan. Tingkat suku bunga antar
bank meroket 20-300% pada kuartal ketiga tahun 1997 sehingga
menciptakan krisis likuiditas di sektor perbankan sehingga bank merasa
1274
Andrew MacIntyre, “Political Institutions and the Economic Crisis in Thailand and
Indonesia”, Working Paper Series Vol. 99-98, Graduate School of International Relations and
Pacific Studies University of California, San Diego, April 1999, hlm. 15-16.
1275
Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah memutuskan untuk mencari bantuan
IMF, dan mencapa kesepakatan dengan IMF, antara lain, penutupan enam belas bank swasta,
termasuk yang dimiliki oleh anak Soeharto dan langkah-langkah reformasi struktural lainnya.
Menurut pengakuan Ginandjar Kartassmita (yang saat itu menjadi Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), tidak pernah ada
penjelasan resmi mengenai siapa yang mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk mengajukan
permintaan bantuan ke IMF. Dugaan mengarah kepada Widjojo Nitisastro, penasehat ekonomi
Presiden. Bagaimanapun, pada Februari 1998, Soeharto pernah mengecam kesepakatan dengan
IMF itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan mengarah kepada liberalisme. Lihat:Takashi
Siraishi, op.cit., hlm. 25.
Rizal
Ramli,
“The
IMF’s
Myth”,
dalam
http://www.networkideas.org/featart/may2002/imf_myths.pdf,
diakses
di
Surakarta
pada
24
Juni
commit to user
2013.
1276
450
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesulitan mendapatkan kredit jangka pendek untuk menutupi kewajiban
langsung mereka.
Kemudian pada bulan
November 1997
IMF
merekomendasikan penutupan 16 bank meskipun dengan persiapan sangat
tidak memadai. Hal ini diikuti oleh arus keluar modal sekitar US $ 5 miliar
yang memberikan lebih lanjut pada rupiah. Akibatnya, pengusaha
Indonesia menjadi terkena pukulan 2 hal dalam waktu yang bersamaan:
tingginya suku bunga dan depresiasi nilai tukar. Konsekuensi dari
kebijakan ini adalah kebangkrutan massal di sektor korporasi dan
hilangnya ribuan pekerjaan. Pada tahun 1998 perekonomian mengalami
kontraksi sebesar 13%, kinerja terburuk dalam sejarah bangsa. Pada tahap
kedua, utang swasta Indonesia diubah menjadi utang publik. Padahal
sebelum krisis Indonesia tidak memiliki utang sektor publik domestik,
tetapi di bawah kebijakan IMF utang dalam negeri pemerintah
membengkak menjadi US$ 65 miliar. Sementara itu, utang sektor publik
internasional naik dari US$ 54 miliar sampai $ 74 miliar sedangkan utang
swasta internasional menurun dari US $ 82 menjadi US$ 67 miliar karena
pembayaran dipercepat dan restrukturisasi. Pada tahap ketiga, kebijakan
IMF telah memberikan pukulan berkelanjutan pada anggaran pemerintah.
Untuk tahun fiskal 2002, pembayaran hutang diperkirakan mencapai
sebesar US $ 13 milyar (Rp 130 triliun) yang meliputi pembayaran hutang
domestik dan luar negeri. Pembayaran ini berjumlah lebih dari 3 kali lipat
gaji belanja sektor publik termasuk militer, dan 8 kali anggaran
pendidikan. Ukuran dari utang dalam negeri terkait erat dengan kebijakan
uang ketat BI. Di bawah bimbingan IMF, BI telah melakukan kebijakan
anti-inflasi berdasarkan pada peningkatan suku bunga surat berharga
(SBI). Namun sebagian besar kenaikan tingkat inflasi adalah akibat
langsung dari harga pemerintah meningkat bukan karena faktor moneter.
Efek utama kebijakan uang ketat BI adalah untuk meningkatkan defisit
fiskal. Setiap kenaikan satu persen dalam tingkat SBI memperlebar defisit
pemerintah dengan Rp 2,3 triliun. Bank Indonesia juga bertanggung jawab
user kredit likuiditas (BLBI) selama
untuk misalokasi Rp. 144commit
triliun todalam
perpustakaan.uns.ac.id
451
digilib.uns.ac.id
tahap awal dari krisis keuangan. Skandal ini sendiri telah membebani
keuangan rakyat Indonesia sepanjang sejarah.1277
Ukuran krisis yang paling utama adalah APBN 1998 yang
dibacakan oleh Soeharto di depan DPR. Rancangan anggaran tersebut
dikritik karena "tidak realistis" sehubungan dengan asumsi penerimaan
pajak dan nilai tukar. Akibatnya, nilai tukar rupiah anjlok hingga 70
persen, mencapai Rp 10.000 per dolar. Putaran lain pembicaraan antara
pemerintah dan IMF dimulai. Negosiasi dengan perwakilan IMF, Stanley
Fisher kali ini dilakukan oleh Soeharto sendiri, tanda yang jelas bahwa
Presiden telah kehilangan kepercayaan pada tim ekonominya. Dalam hal
ini, Soeharto tegas memilih untuk tidak mengundang Menteri Keuangan
dan Gubernur BI dalam penandatanganan resmi Letter of Intent.1278
Dalam Sidang Umum MPR 1998 pada sesi Rabu, 11 Maret 1998,
Soeharto dipilih kembali dengan suara bulat sebagai Presiden. Selanjutnya,
pada tanggal yang sama di malam hari, B.J. Habibie terpilih dan dilantik
sebagai Wakil Presiden.1279 Pada 14 Maret 1998, Soeharto mengumumkan
1277
Ibid.
1278
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, pada bulan-bulan itu mulai muncul
gagasan untuk menerapkan Sistem Dewan Mata Uang (currency board system) , yang dituding
akan menguntungkan bisnis anak-anak Soeharto yang terlilit hutang luar negeri dalam jumlah
besar dan bahkan Soeharto sendiri telah mengundang penggagas kebijakan tersebut, Steve Heanke
untuk mengkaji penerapannya di Indonesia, setelah sebelumnya diterapkan di Argentina. Tetapi,
Gubernur BI, Soedrajat Djiwandono menolak gagasan tersebut. Tidak seperti preseden dalam
kabinet sebelumnya, tiba-tiba Soeharto mencopot Soedrajat dari posisinya pada Februari 1998 dan
digantikan oleh Syahril Sabirin. Tidak lama kemudian, Direktur BI Boediono (kelak Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, 1998-1999, Menteri Keuangan, 2001-2004, Menteri
Koordinator Perekonomian, 2005-2008, Gubernur BI, 2008-2009, dan sekarang Wakil Presiden,
2009-2014) juga diberhentikan. Menurut kesaksian Ginanjar, Menteri Keuangan Mar’ie
Mohammad—yang oleh media dijuluki “Mr. Clean”—diprediksi akan mengalami nasib serupa,
akan tetapi ternyata bertahan hingga akhir masa bakti Kabinet Pembangunan VI tanpa diketahui
alasan-alasannya. Lihat: Takashi Siraishi, op.cit., hlm. 28-29.
1279
Sudah sejak 1988, B.J. Habibie dinominasikan oleh Soeharto dalam posisi Wakil
Presiden. Memasuki tahun 1993, saat Wakil Presiden Sudharmono telah purna tugas dan
pentingnya jabatan Wakil Presiden mengingat usia Soeharto yang sudah 77 tahun pada 1998, maka
telah dinominasikan berturut-turut nama B.J. Habibie (Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak
1978 dan mengelola banyak industri strategis dan pertahanan), Soesilo Soedarman (Menteri
Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi), dan Try Sutrisno (Panglima ABRI). Namun saat sidang
to user
umum MPR 1993, Fraksi ABRI (yangcommit
dikendalikan
Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B.
Moerdani) tiba-tiba mengajukan nama Try Sutrisno, sehingga untuk menjaga situasi Soeharto
452
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kabinet Pembangunan VII” yang kontroversial.1280 Di samping
perubahan dan penambahan jabatan baru1281, juga masuk sosok-sosok
yang oleh publik di cap “tidak bersih”1282 serta dikukuhkannya semangat
nepotisme dalam susunan menteri tersebut.1283 Seiring dengan semakin
gencarnya
mahasiswa,
tuntutan
reformasi
akademisi,
dan
yang
aktivis
disuarakan oleh
masyarakat
demonstrasi
sipil1284--beberapa
diantaranya menimbulkan kerusahan sporadis dan jatuhnya korban jiwa
karena bentrokan dengan aparat keamanan—tetapi Soeharto tetap
bergeming. Hasil konsultasi antara Presiden dan fraksi-fraksi di DPR
Jumat 1 Mei 1998 mengisyaratkan bahwa Soeharto menolak reformasi
terpaksa menerima pencalonan tersebut. Lihat: A. Pambudi, 2009, Kalau Prabowo Menjadi
Presiden, Yogyakarta, Penerbit Narasi, hlm.47-50.
1280
Pembentukan kabinet ini tidak lepas dari keperibadian Soeharto yang introvert dan
terlalu yakin akan kemampuan dirinya. Orang luar banyak mengharapkan kabinet yang ramping,
profesional, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mengatasi krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Soeharto konsisten dengan kepribadiannya. Lihat: Eriyanto, 2000, Kekuasaan
Otoriter: Dari Gerakan Penindasan Meunju Politik Hegemoni, Yogyakarta, Penerbit Pustaka
Pelajar bekerjasama dengan Insist, hlm. 52.
1281
Di samping jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan yang sudah ada
sejak Kabinet Pembangunan III (1978-1983), ada perubahan nama untuk jabatan menteri
koordinator yang lain, yaitu Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri merangkap
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (sudah dikenal sejak 1973-1983, tetapi
kemudian diubah menjadi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan
Pembangunan) dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan
merangkap Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan Menteri Koordinator
Pengawasan Pembangunan/Pendayagunaan Aparatur Negara. Perubahan juga menyangkut nama
Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi menjadi Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya.
Diperkenalkan jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara dan Menteri
Negara Pangan, Hortikultura, dan Obat-obatan (dalam Kabinet Pembangunan VI disebut Menteri
Negara Pangan merangkap Kepala Badan Urusan Logistik).
1282
Misalnya nama Haryanto Dhanutirto (sebelumnya Menteri Perhubungan) dan nama
Abdul Latief (sebelumnya Menteri Tenaga Kerja).
1283
Subiyakto Tjakrawerdaya, yang dituding dekat dengan Hutomo Mandala Putra
dipertahankan sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Lalu, Fuad Bawazier
(sebelumnya Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan) yang dikenal dekat dengan keluarga
Cendana menjadi Menteri Keuangan. Pengusaha yang dijuluki “kasir keluarga Cendana”
Mohammad Hassan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Terakhir, putra sulung
Presiden, Siti Hardiyanti Indra Rukmana yang juga pengurus Golkar ditunjuk menjadi Menteri
Sosial.
1284
Jika disarikan aspirasi pada masa itu mengerucut pada 6 tuntutan yaitu (i)
pengunduran diri Soeharto; (ii) perubahan UUD 1945; (iii) pencabutan dwifungsi ABRI; (iv)
dilaksanakannya ekonomi kerakyatan; commit
(v) otonomi
yang seluas-luasnya; dan (vi) pengadilan
to user
terhadap Soeharto, keluarga, dan kroni-kroninya.
perpustakaan.uns.ac.id
453
digilib.uns.ac.id
sebelum purna masa jabatan pada 2003.1285 Di bulan April, emosi publik
semakin tersulut seiring dengan keputusan Presiden—atas anjuran IMF—
yang menaikkan harga BBM.1286 Sementara Soeharto mengadakan
kunjungan ke luar negeri sejak 9 Mei 1998, tanggal 12 Mei 1998 terjadi
peristiwa penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti, menyusul
kerusuhan yang meluluhlantakan Jakarta tanggal 13-15 Mei1287, dan
kemudian merembet ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surakarta, Bandung,
Makassar, dan Medan.1288
Sepulang Soeharto dari luar negeri pada 15 Mei 1998, konfigurasi
politik menunjukkan situasi krisis keamanan yang dapat mengancam
penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab itu, Soeharto pada 18 Mei
1998 menetapkan Instruski Presiden No. 16 Tahun 1998 yang mengangkat
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto sebagai
Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional,
sedangkan sebagai wakilnya adalah Kepala Staf Angkatan Darat Soebagyo
1285
Hal ini dapat dilihat dalam kepala berita media cetak domestik saat itu, antara lain:
“Presiden: Boleh Reformasi Politik Setelah Tahun 2003 (Suara Pembaruan, 1 Mei 1998);
“Reformasi Politik Tahun 2003 ke atas (Kompas, 2 Mei 1998); “Tidak Ada Reformasi Politik
Sebelum 2003” (Media Indonesia, 2 Mei 1998); “Reformasi Sulit Dilakukan Sekarang. Presiden
Sarankan Gunakan Hak Inisiatif DPR” (Jawa Pos, 2 Mei 1998).
1286
Keputusan itu berarti mencabut subsidi energi sehingga harga BBM naik. Premium
menjadi Rp 1.200,00 sementara solar menjadi Rp 600,00 dan minyak tanah menjadi Rp 350,00.
1287
Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah pada 23
Juli 1998 dan dipublikasikan pada 23 Oktober 1998, mengindikasikan bahwa kerusuhan ini tidak
dapat dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial politik masyarakat Indonesia pada
waktu itu, serta dampak ikutannya. Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilu 1997,
penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR 1998, unjuk rasa/demonstrasi
mahasiswa serta tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti, semua berkaitan dengan peristiwa 1315 Mei 1998. Di semua wilayah yang dikaji oleh TGPF didapati adanya kesamaan waktu pecahnya
kerusahan. Kedekatan, bahkan kesamaan pola kejadian mengindikasikan kondisi dan situasi sosial,
ekonomi, politik yang potensial memungkinkan pecahnya suatu kerusuhan. Lihat: Komisi
Nasional Perempuan dan New Zealnd Official Development, 2006, Temuan Tim Gabungan
Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Cetakan ke-3, hlm. 4-5.
1288
Setelah sempat dieksploitasi, Menteri Penerangan kemudian memerintahkan agar
seluruh media, termasuk stasiun televisi swasta menghentikan program pemberitaan dan
sepenuhnya merelai berita-berita TVRI. Sudah pasti, hal ini merupakan sensor dan kontrol ketat
dari negara karena tidak semua berita kerusuhan
itu user
disiarkan kepada publik. Sensor dan kendali
commit to
itu berlangsung sampai tanggal 21 Mei 1998.
perpustakaan.uns.ac.id
454
digilib.uns.ac.id
H.S.1289 Namun Wiranto akhirnya menolak untuk melaksanakan Instruksi
Presiden tersebut.1290 Sementara gedung parlemen diduduki oleh
mahasiswa, tanggal 18 Mei 1998, Ketua DPR/MPR membuat pernyataan
pers yang meminta Soeharto untuk mengundurkan diri, akan tetapi segera
ditepis oleh Wiranto yang mengatakan bahwa pernyataan tersebut bukan
pernyataan DPR secara kelembagaan sehingga tidak berlaku mengikat. Di
lain pihak, usaha Soeharto bertemua dengan sejumlah tokoh politik dan
masyarakat sipil pada 19 Mei 1998 tidak membuahkan hasil 1291, dan di
1289
Instruksi Presiden ini berisi 3 hal penting, yaitu, pertama, menentukan kebijakan
tingkat nasional untukm enghadapi krisis yang sedang atau akan dihadapi. Kedua, mengambil
langkah-langkah untuk secepatnya mencegah dan meniadakan sumber-sumber penyebab ataupun
mengatasi peristiwa yang mengakibatkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban. Ketiga,
para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah, membantu
pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Instrusi
Presiden ini secara substantif mirip dengan Surat Perintah Sebelas Maret 1966 dan pembentukan
Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional mengingatkan orang akan lembaga
ekstra kabinet dengan fungsi yudisial dan intelijen kuat di masa lalu, yaitu Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang dibentuk pada 10 Oktober 1965 dan
dipimpin oleh Soeharto (waktu itu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, 1965-1969),
Maraden Panggabean (1969-1974), Soemitro (1973-1974), Soedomo (1978-1983), dan L.B.
Moerdani (1983-1988). Menyusul kerusuhan Malari dan mundurnya Soemitro, maka Presiden
Soeharto mengambilalih Kopkamtib (1974-1978) dengan Kepala Pelaksana Soedomo. Bisa
dikatakan lembaga ini merupakan jantung kekuasaan Orde Baru yang mengkoordinasi sejumlah
badan intelejen, mulai dari Bakin sampai dengan intelejen dalam setiap bagian ABRI. Malahan
pada kasus-kasus yang dianggap dapat mengganggu stabilitas politik dan ekonomi, Kopkamtib
dapat menerobos wewenang departemen sipil, bahkan wewenang ABRI sekalipun. Dengan
memperkerjakan personel militer tepercaya untuk melaksanakan tugas-tugas yang bertujuan politik
dalam artian luas dan luar biasa, maka Kopkamtib merupakan inti pemerintah Indonesia pada masa
hukum darurat perang yang permanen. Ditahun 1974 presiden mengambil alih Kopkamtib sebagai
organisasi yang berada dibawah pemerintah dengan mengeluarkan Keppres No 9/1974. Bahkan
pada tahun 1982, Kopkamtib telah menjadi lembaga militer yang benar-benar tidak bisa dikontrol
masyarakat dengan tidak disebutnya lembaga tersebut dalam UU Hankam
1982.
Tahun 1988, Presiden Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan
Koordinasi
Bantuan
Pemantapan
Stabilitas
Nasional (Bakorstanas).
Bakorstanas
bertujuan memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional, juga bertindak
sebagai penasehat dan dikepalai oleh Panglima ABRI yang langsung melapor kepada presiden.
Walaupun begitu hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh peran yang dimainkan oleh
organisasi terdahulu juga dilakukan oleh Lembaga baru ini.
1290
Lihat: Aidul Fitriciada Azhari, 2003, Dari Catatan Wiranto: Bersaksi di Tengah
Badai, Jakarta, Penerbit Institut of Democracy for Indonesia, hlm. 82-85.
1291
Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat,
yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib,
Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof
Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril
Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta
user
Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin daricommit
NU. Usaitopertemuan,
Presiden Soeharto mengemukakan,
akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya
perpustakaan.uns.ac.id
455
digilib.uns.ac.id
saat bersamaan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri
beserta seluruh menteri di bawah koordinasinya (kecuali Menteri
Keuangan Fuad Bawazier, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Mohammad Hassan, dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Arie
Mardjono) menyerahkan surat pengunduran diri.1292 Dalam suatu langkah
yang mengejutkan dan tidak diberitahukan secara rinci kepada Pimpinan
DPR/MPR, tanggal 20 Mei 1998 Soeharto membuat pernyataan publik
yang “menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden.”1293 Segera
menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari
mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni
dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.
1292
Tanggal 20 Mei 1998, Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan
pertemuan di Gedung Bappenas. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi,
ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil
pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan
menyampaikannya lewat sepucuk surat. Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada
Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto. Soeharto
langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia
merasa ditinggalkan. Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat
ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah "diselamatkan" Soeharto. Ke-14 menteri
yang menandatangani surat tersebut, secara berurutan adalah Ir Akbar Tandjung (Menteri Negara
Perumahan dan Permukiman); Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA (Menteri Transmigrasi
dan Pemukiman Perambah Hutan); Ir Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin/Kepala Bappenas); Ir
Giri Suseno Hadihardjono MSME (Menteri Perhubungan); Dr Haryanto Dhanutirto (Menteri
Negara Pangan, Holtikultura, dan Obat-obatan); Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah M.Sc. (Menteri
Pertanian); Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc (Menteri Pertambangan dan Energi); Ir Rachmadi
Bambang Sumadhijo (Menteri Pekerjaan Umum); Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc (Menteri
Negara Riset dan Teknologi); Subiakto Tjakrawerdaya SE (Menteri Koperasi dan Pembinaan
Pengusaha Kecil); Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc (Menteri Negara Penggerak Dana
Investasi/Kepala BKPM); Ir Sumahadi MBA (Menteri Kehutanan); Drs Theo L. Sambuaga
(Menteri Tenaga Kerja); dan Tanri Abeng MBA. (Menteri Negara Pendayagunaan BUMN).
Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan
ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan
untuk mundur. Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima surat seperti itu.
Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun
Kabinet Reformasi. Ginandjar masih memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu
diganti, sekaligus nama penggantinya. Lihat: Konspirasi Mei 1998: Kisah Para Brutus di Sekitar
Jenderal Soeharto, dalam http://socio-politica.com/2012/05/30/konspirasi-mei-1998-kisah-parabrutus-di-sekitar-jenderal-soeharto-3/, diakses di Surakarta, 26 Juni 2013.
1293
Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah
menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet
Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi
tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara
sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi,
commit to VII
usermenjadi tidak diperlukan lagi. Dengan
maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan
memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat
456
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesudahnya disaksikan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda MA, Wakil
Presiden mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden.1294
Dari paparan di atas menunjukkan bahwa penyebab krisis tidak
hanya faktor ekonomi, akan tetapi juga sosial-politik dan korupsi. Dalam
konteks ini, sistem keuangan Indonesia begitu lemah; krisis ekonomi
menyebabkan ekspansi berlebihan ekonomi Indonesia dan menggunakan
pembiayaan untuk sektor-sektor tidak produktif. Pembayaran pinjaman
luar negeri menyebabkan runtuhnya ekonomi. Hal Hill, seorang ekonom
Australia, menguraikan hal yang sistematis saat dia berpendapat bahwa
ada sejumlah hal sebagai “pre crisis vulnerability factors”, termasuk
dalam hal ini hutang ekternal dan mobilitas modal, pengelolaan ekonomi
yang buruk, peraturan finansial yang jelaek, korupsi, dan pengelolaan
pemerintahan yang tidak becus. Meskipun demikian, Hill menegaskan
bahwa sekalipun korupsi merupakan masalah utama, tetap saja sulit untuk
dipertahankan sebagai satu-satunya faktor penjelas. Menurut Hill, “more
plausible is the thesis that the particular forms of corruption, and the
political system in general, that had assumed by the 1990s rendered the
Soeharto government unwilling—indeed unable—to move decisively and
swiftly once the crisis hit.”1295 Selanjutnya Hill menegaskanbahwa
“corruption deserves freat emphasis at this stage of process, rather than
as an initial participating factor.”1296
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan
pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan
untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.
1294
Dalam bagian lain dari pidato pengunduran diri Soeharto dan kemudian
dikonfirmasi oleh Yusril Ihza Mahendra, dikatakan bahwa situasi tidak memungkinkan DPR/MPR
mengadakan persidangan. Oleh sebab itu, upacara pelantikan Wapres dilaksanakan di Istana
Negara dan disaksikan oleh MA. Hal ini tidak dijumpai dalam UUD 1945, akan tetapi diatur dalam
Pasal 2 Ketetapan MPR No. VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Republik Indonesia Berhalangan.
1295
Lihat dalam Leo Suryadinata, 2002, Election and Politics in Indonesia, Singapore,
Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 45.
1296
Ibid.
commit to user
457
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Leo Suryadianata, jumlah hutang luar negeri yang
membengkak, pengelolaan ekonomi yang buruk, dan kejelekan pengaturan
keuangan, merupakan produk sistem politik.1297 Otoritarianisme dan
kroniisme menjadi hal yang menyebabkan semua kekurangan ini. Korupsi
merupakan komponen kroniisme yang utama. Konfigurasi politik di
bawah Soeharto membentuk kerajaan Jawa baru1298, diperintah oleh
Soeharto, para kroni dan keluarga, khususunya sejak tahun 1980-an ketika
anak-anaknya mulai berbisnis.1299 Rasionalitas ekonomi mulai surut dan
kepentingan para kroni mengemuka. Kroniisme dan korupsi menghasilkan
hutang dalam jumlah besar baik hutang swasta (US$ 74 miliar) dan hutang
publik (US$ 63,4 miliar).
Hutang swasta itu dimiliki oleh berbagai
perusahaan yang dimiliki oleh elit Orde Baru dan konglomerat China.
Keluarga Cendana dan kroni-kroninya telah melakukan monopoli atas
ekonomi Indonesia sejak 1980-an dan seterusnya. Mereka berkecimpung
dalam berbagai sektor, dan menurut media Barat, berhasil menghimpun
kekayaan senilai kira-kira antara US$ 16 miliar-US$ 40 miliar. Dalam
konteks ini, “Corruption and cronyism were rampant. It was only a matter
of time before this hollow economy collapsed.”1300
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah militer. Hal yang
paling penting adalah saat sejumlah pemimpin militer seperti Panglima
ABRI Jenderal Wiranto dan Kepala Staf Urusan Sosial-Politik Susilo
Bambang Yudhoyono telah menyimpulkan di bulan April 1998 bahwa
1297
Ibid.
Jenis kekuasaan seperti ini oleh Stepan dan Linz disebut sebagai “sultanic ruler.”
Lihat: Alfred Stepan dan Juan Linz, “Arab, not Muslim, Exceptionalism”, Journal of Democracy,
Vol. 15, 2004, hlm. 140–146.
1298
Hal ini seperti dikemukakan oleh Jeffry Winters, yang mengatakan, “Anak-anak
merupakana alasan utama rezim Soeharto menjadi sangat lemah seperti terlihat tahun 1997 saat
dimulainya krisis. Anak-anaknya mendorong terciptanya aliansi kepentingan yang kuat antara
oligarki domestik dengan pelaku binis yang sudah mulai lelah terhadap tngkah laku anak-anak
Soeharto, demikian pula investor asing, khususnya Kementerian Keuangan Amerika, yang
mewakili kepentingan investor Amerika.” Lihat: David Barsamian dan Siok Lian Liem, 2008,
Menembus Batas Damai Untuk Semesta, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.201.
1299
1300
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
458
digilib.uns.ac.id
posisi Soeharto tidak dapat dipertahankan lagi, dan telah aktif terlibat
dalam negosiasi elit yang mendorong otokrat tersebut mengundurkan
diri.1301 Tindakan Wiranto dan Yudhoyono bertentangan dengan elemen
garis keras dalam angkatan bersenjata yang mencoba untuk meyakinkan
Soeharto guna mengumumkan keadaan darurat dan memerintahkan
tindakan keras terhadap pembangkang pemerintah. Kelompok garis keras
ini, termasuk menantu Soeharto, Prabowo Subianto (Panglima Komando
Strategis Cadangan Angkatan Darat), mantan Panglima ABRI Feisal
Tanjung, dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Hartono (yang saat itu
Menteri Dalam Negeri), yang telah membangun hubungan dekat dengan
jaringan militan Islam dan siap untuk memobilisasi mereka untuk
mempertahankan Soeharto.1302 Upaya mereka akhirnya gagal dan Soeharto
menyadari bahwa kemungkinan memperpanjang kekuasaannya sudah
mustahil. Gerakan mahasiswa telah cepat mendapatkan momentum, dan
semakin banyak sebelumnya loyalis Orde Baru yang berpaling dari
Soeharto. Terisolasi dari seluruh masyarakat dan ditinggalkan oleh mantan
loyalis, Soeharto menolak tawaran elemen garis keras untuk menyatakan
keadaan darurat, dan memilih untuk menyerahkan kekuasaan dalam format
pemerintahan konstitusional.
(3) Reformasi dan Transisi Politik yang Konfliktual
Sekalipun memicu kontroversi di kalangan akademisi dan
masyarakat sipil1303, akan tetapi mayoritas elit menganggap pernyataan
Selengkapnya baca: Takashi Shiraishi, “The Indonesian Military in Politics”, dalam
Adam Schwarz dan Jonathan Paris (Editors), 1999, The Politics of Post-Suharto Indonesia, New
York: Council on Foreign Relations Press, hlm. 73-86.
1301
1302
1303
Ibid., hlm. 337.
Pada waktu itu, terutama di kalangan akademisi hukum, tindakan Soeharto
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Diantara pakar yang berpendapat seperti ini adalah
Dimyati Hartono. Menurut Dimyati, sesuai Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden harus
mengucapkan sumpah/janji di hadapan MPR. Sementara itu, ketentuan Ketetapan MPR tidak
pernah memperoleh delegasi dalam UUD 1945. Harun Alrasid, guru besar UI, berpendapat bahwa
Ketetapan MPR memang produk “haram”, akan tetapi dalam kasus Soeharto, tindakan itu sah
menurut Pasal 8 UUD 1945. Secara teknis, persoalan di mana suksesi dilangsungkan tidak
termasuk kategori isu konstitusi. Perdebatan kemudian berhenti beberapa bulan kemudian, saat
commit
user yang tidak berlatar belakang hukum tata
Ismail Sunny, guru besar senior UI, meminta
agarto
mereka
negara tidak berkomentar mengenai suksesi tersebut sembari menyimpulkan bahwa suksesi Mei
perpustakaan.uns.ac.id
459
digilib.uns.ac.id
berhenti Soeharto harus diterima sebagai jalan untuk demokratisasi.1304
Presiden B.J. Habibie—yang tidak pernah diberitahu rencana Soeharto dan
tidak pernah mempersiapkan diri menjadi pengganti—secara normatif
menjadi Presiden untuk masa bakti hingga 5 tahun (2003). Akan tetapi,
B.J. Habibie berkomitmen untuk menjadi Presiden hanya untuk
pemerintahan transisi dan mengantarkan pemilu untuk membentuk
pemerintahan yang diharapkan akan lebih demokratis dan berlegitimasi
tinggi.1305 Dengan kata lain, pemerintahan Habibie tidak mampu bertahan
karena pemerintahannya lebih dipandang sebagai reproduksi Orde Baru
ketimbang suatu pemerintahan demokratis produk reformasi.1306 Alfred
Stephan, pakar yang mendalami kajian mengenai transisi, mentgatakan
bahwa pemerintahan Habibie adalah “rezim nondemokrasi
yang
melanjutkan kekuasaan lama.”1307
Untuk itu, dalam Sidang Istimewa MPR yang digelar pada
November 19981308 di tengah maraknya demonstrasi dan ancaman
1998 sudah sesuai dengan UUD 1945. Jauh sebelumnya, Bambang Kesowo (Wakil Sekretaris
Kabinet) saat bersama-sama Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid dan Yusril Ihza
Mahendra (penulis pidato Soeharto) menyusun pernyataan berhenti Soeharto, telah pula
memperdebatkan, dalam hal Pasal 8 UUD 1945, apakah Wakil Presiden merupakan Presiden atau
pelaksana tugas presiden sampai akhir masa bakti. Pernyataan perdebatan konstitusionalitas
kepresidenan Habibie dapat dilihat dalam Dewi Fortuna Anwar, “The Habibie Presidency”, dalam
Geoff Forrester (Editor), 1999, Post-Soeharto Indonesia: Renewal of Chaos, Canberra, National
University Press, hlm. 34-35.
Michael S. Malley, “Inchoate Opposition, Divided Incumbent: Muddling Toward
Democracy in Indonesia 1998-1999”, dalam Karen Guttieri dan Jessica Piombo (Editors), 2007,
Interm Government: Institutional Bridges to Peace and Democracy?, Washington, United States
Institute of Peace, hlm. 147.
1304
1305
Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 85.
1306
Lihat Harold Crouch, “Wiranto dan Habibie: Hubungan Militer-Sipil sejak Mei
1998”, dalam Arief Budiman, et.al., 2000, Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi
Indonesia, Jakarta, Bigraf Publishing, hlm. 86-117. Baca juga: Michael S. Mallay, op.cit., hlm.
139-169.
1307
Wawancara dengan Tempo, 15 Agustus 1998. Baca juga: Herry van Klinken,
“Bagaimana Sebuah Kesepakatan Demokratis Tercapai?”, dalam Arief Budiman, ibid., hlm. 7386.
1308
Sidang Istimewa merupakan awal mata rantai dari tiga agenda nasional yang telah
disepakati bersama antara Presiden dan pimpinan DPR/MPR. Sidang Istimewa diperlukan sebagai
pembuka jalan ke arah penyelesaian masalah nasional secara menyeluruh. Salah satu tujuan utama
commit to user
Sidang Istimewa adalah percepatan pelaksanaan
Pemilihan Umum dari jadwal yang telah
ditetapkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2002. Agenda nasional ke dua adalah penyelenggaraan
460
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekacauan politik,1309 diantara 12 Ketetapan MPR yang dibentuk1310, salah
satunya mengamanatkan untuk pelaksanaan pemilu pada 7 Juni 1999.1311
Persiapan pemilu 1999 berlanjut dengan diberlakukannya 3 UU yang
terkait dengan pemilu yaitu UU Pemilu1312, UU Partai Politik1313, dan UU
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.1314 Sayangnya, DPR
yang bertanggung jawab untuk mengkaji semua UU
itu melakukan
sebagian besar proses legislasi di ruang-ruang tertutup.1315 Rapat-rapat
dengan masyarakat dilakukan sekedar untuk basa-basi.1316 Menurut Denny
Indrayana, dengan proses seperti itu telah “mempengaruhi pembahasanpembahasan itu dan melahirkan sejumlah cacat dan kekurangan dalam UU
Pemilihan Umum yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Dari hasil Pemilihan Umum,
diharapkan dapat menciptakan infrastruktur politik baru yang tercermin dalam susunan
keanggotaan DPR/ MPR baru. Setelah itu, akan dilaksanakan agenda nasional ketiga yaitu Sidang
Umum MPR, termasuk di dalamnya memilih Presiden dan Wakil Presiden.
1309
Sidang itu sendiri dapat diselenggarakan karena militer diminta untuk mengerahkan
ribuan demonstran sipil untuk mendukung rencana Habibie untuk melegalkan kepemimpinannya
dalam sidang khusus MPR. Menentang oposisi yang signifikan di tubuh militer, Wiranto
memutuskan sekali lagi untuk memenuhi permintaan Habibie. Selain melayani kepentingan
pribadi presiden, militer juga enggan mendukung perubahan besar pada kerangka politik.
Sementara memperingatkan bahwa beberapa langkah-langkah reformasi akan terlalu jauh, korps
perwira tidak secara terbuka menantang otoritas pemerintah untuk menerapkannya. Lihat: Kivlan
Zen, 2004, Konflik dan Integrasi TNI-AD, Jakarta: Institute for Policy Studies, hlm. 95.
1310
Banyak diantara ketetapan-ketetapan MPR tersebut merupakan embrio dari
reformasi konstitusi yang akan dilaksanakan kemudian. Diantara embrio tadi, dapat disebut di sini
3 diantaranya adalah Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR
No. IV/MPR/1983 tentang Referendum (yang sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlaku
UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum); (ii) Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden (yang berarti melakukan intepretasi
terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 1945); dan (iii) Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang
HAM (yang menjadi landasan hukum UU No. 29/1999) dan kelak sebagian besar pasal-pasal
dalam UU ini akan ditetapkan dalam Perubahan UUD 1945.
Moh. Fajrul Falaakh, “Megawati dan Suksesi Pola Habibie”, Kompas, 6 Maret
2000, hlm. 4. Baca juga: ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan
Tambahan atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum.
1311
1312
UU No. 3/1999.
1313
UU No. 2/1999.
1314
UU No. 4/1999.
1315
National Democratic Institute, “The New Legal Framework for Election in
Infonesia: A Report of an NDI Assessment Team, 23 Februari 1999, hlm. 2.
1316
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
461
digilib.uns.ac.id
baru yang mengatur mengenai pemilu.”1317 Namun proses demokrasi yang
memperkenankan Habibie untuk menginisiasi aturan-aturan baru tersebut
didukung oleh para pemimpin oposisi berbasis massa luas dalam Deklarasi
Ciganjur, yang bahkan antara lain memperkenankan militer untuk bertahan
di Parlemen hingga 6 tahun yang akan datang.1318 Akan tetapi, Deklarasi
Paso, yang merupakan kesepakatan antara Abdurrahman Wahid, Amien
Rais, dan Megawati Soekarnoputri, sebenarnya telah memberikan harapan
yang lebih kuat untuk melakukan reformasi total karena pada intinya
menyerukan tekad untuk menghapus status quo dalam pemilu 1999.1319
Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum, maka dalam rangka penyelenggaraan
Pemilihan Umum sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk,
persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan LPU dan untuk itu Ketua Umum
LPU telah membentuk Tim-111320 yang bertugas membantu LPU terutama
dalam verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu. Untuk mewujudkan
penyelenggaraan Pemilihan Umum secara demokratis dan transparan,
berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, serta
pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui wakil-wakil
partai politik, maka dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
1317
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran,
Bandung, Mizan Pustaka Utama, hlm. 169.
1318
Deklarasi Ciganjur merupakan kesepakatan yang dirumuskan atas hasil pertemuan
Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X
pada 10 November 1998. Deklarasi itu menegaskan sikap politik moderat para tokoh tersebut
yang lebih memilih reformasi secara evolusioner dan bertahap ketimbang revolusioner dan radikal.
Secara tidak langsung, deklarasi itu itu memberikan kesempatan kepada Habibie untuk melakukan
reformasi dari atas, terutama melalui perubahan atas UU Politik dalam rangka percepatan Pemilu.
Lihat: Tajuk Rencana Kompas, 11 November 1998.
1319
Deklarasi itu diberi nama Deklarasi Paso, mengacu kepada kediaman Alwi Shihab,
salah seorang pemuka PKB di Jalan Paso, No. 22, Ciganjur dan disampaikan pada 17 Mei 1999.
1320
Susunan keanggotaan Tim 11 sebagai berikut: (i)Prof. DR. Nurcholis Madjid,
Sebagai Ketua; (ii) DR. Adnan Buyung Nasution, SH. Sebagai Wakil Ketua; (iii) Adi Andoyo,
SH. Sebagai Wakil Ketua; (iv) DR. Andi A. Malarangeng, Sebagai Sekretaris; (v) Rama Pratama,
Sebagai Wakil Sekretaris; (vi) Prof. DR. Miriam Budiardjo, MA, Sebagai Anggota; (vii) DR.
Afan Gafar, Sebagai Anggota; (viii) Drs. Mulyana W. Kusumah, Sebagai Anggota ; (ix) DR.
Kastorius Sinaga, Sebagai Anggota; (x) commit
DR. Eep to
Saefulloh
user Fattah, Sebagai Anggota; dan (xi) Drs.
Anas Urbaningrum, Sebagai Anggota.
462
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengganti Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Anggota KPU ini terdiri
dari 5 wakil pemerintah dan 48 orang wakil dari partai politik.1321 Pada sisi
lain, masih terkait dengan penyelenggaraan pemilu, telah muncul banyak
sekali partai politik, yang artinya “demokrasi multipartai seolah dilihat
sebagai satu-satunya pilihan yang paling layak.”1322 Menurut Bourchier,
keadaan ini mirip dengan situasi di bulan November 1945, masa ketika
partai politik tumbuh subur di Indonesia.1323 Bahkan pandangan lain
mengatakan bahwa kelahiran partai politik dalam hitungan yang sangat
singkat
sebagai
fenomena
yang
mengalahkan
periode
awal
berkembangnya partai politik pasca Maklumat No. X Wakil Presiden.1324
Sebanyak 141 partai politik telah tercatat di Departemen Kehakiman1325
baik partai utama1326 maupun partai yang tidak jelas visinya.1327 Akan
tetapi berdasarkan verifikasi Tim 11, hanya 48 partai politik yang layak
mengikuti pemilu.1328
1321
Keputusan Presiden No. 77/1999.
1322
Sigit Pamungkas, 2009, Sistem Pemilu, Yogyakarta, Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIPOL UGM, hlm. 87.
David Bourchier, “Pemerintahan Peralihan Habibie: Reformasi, Pemilihan Umum,
Regionalisme, dan Pergulatan Meraih Kekuasaan” dalam Chirs Manning dan Peter Van Dierman,
2000, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta, LKiS,
hlm. 19.
1323
1324
Cornelis Lay, 2006, Involusi Politik: Esai-Esai Transisi Indonesia, Yogyakarta,
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, hlm. 65.
1325
Profil lengkap dari 141 partai politik tersebut dapat disimak dalam: Julia
Suryakusuma, 1999, Almanakah Parpol Indonesia, Bogor, SMK Grafika Mardi Yuana.
1326
Menurut penulis, partai utama tersebut umpamanya Partai Amanat Nasional yang
dirintis oleh Amien Rais dan sekaligus diproyeksikan untuk menampung aspirasi kaum
Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa yang dirintis oleh Abdurrahman Wahid dan para
kyai NU lainnya, untuk menampung aspirasi kaum nahdiyin.
1327
Termasuk dalam kategori ini menurut penulis adalah Partai Perempuan, Partai
Remaja dan Pemuda Progresif, Partai Reformasi Sopir Sejahtera Indonesia, Partai Kemakmuran
Tani dan Nelayan, dan Partai Aliansi Rakyat Miskin Indonesia.
1328
Dilihat dari sudut kategorisasi generasi kelahiran partai politik, ke-48 partai politik
itu dapat dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, partai-partai yang memiliki garis asal usul yang bisa
ditelusuri sampai ke partai angkatan pertama sebelum perang dan tahun 1980-an (ada 15 partai).
Kedua, partai-partai yang mempunyai hubungan emosional dengan partai-partai terdahulu yang
commit
user
tidak dengan sendirinya memegang mandat
untuk to
melanjutkan
partai itu. Ketiga, partai-partai baru
dengan pemikiran politik baru. Lihat; Daniel Dhakidae, 1999, Partai-Partai Politik Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id
463
digilib.uns.ac.id
Sebagai pemilu yang dilaksanakan dalam konfigurasi politik baru,
dari 117.736.682 pemilih yang terdaftar, angka partisipasi mencapai
91,69%, hampir sebanding dengan pemilu 1955.1329 Pemilu itu sendiri
ditujukan antara lain untuk mengisi 462 kursi DPR, karena untuk 38 kursi
selebihnya diperuntukkan bagi TNI/Polri.1330 Sekalipun komposisi KPU
dikritik, akan tetapi hanya dalam waktu 5 bulan, lembaga penyelenggara
pemilu ini mampu melaksanakan pemilu dengan baik. Dalam hal ini, KPU
mampu merumuskan 136 peraturan dan keputusan mengenai tata cara
pemilu. Tidak hanya itu, KPU juga berhasil merencanakan dan
menyelenggarakan pemilu secara relative lebih lancar seperti yang
diperintahkan oleh UU.1331 Akan tetapi, pengesahan hasil pemilu
mengalami kebuntuan. Ada 27 partai yang menolak menandatangani hasil
pemilu. Alasannya adalah adanya indikasi pelanggaran dan kecurangan
dalam pemilu. Pengesahan hasil pemilu yang seharusnya dilakukan oleh
KPU, akhirnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah sebelumnya
meminta kepada Panitia Pengawas Pemilu untuk meneliti keberatan yang
ditujukan oleh partai-partai yang menolak menandatangani.
Konfigurasi DPR/MPR hasil pemilu 1999 ternyata membuahkan
pertikaian politik dibandingkan kesanggupan untuk meneruskan agenda
reformasi. Pemilihan presiden—di samping perubahan UUD 1945—
Kisah Pergerakan dan Organisasi dalam Patahan-Patahan Sejarah, Jakarta, Penerbit Kompas,
hlm. 37.
1329
Sigit Pamungkas, op.cit., hlm. 93.
1330
Masih diberikannya kursi gratis bagi TNI/Polri—di saat timbul sentiment buruk
terhadap institusi ini di kalangan oposisi dan mahasiswa—mengindikasikan bahwa pembahasan
UU Pemilu “reflected a compromise between old and new forces.” Hal ini karena, “The Habibie
regime prepared the drafts and his Interior Minister, Syarwan Hamid, submitted them to the
Parliament for debate. The parlament then comprised military appointee and representatives of
the three parties (Golkar, the PPP, and PDI)—without participation of newly established parties.
Although new parties were not represented, the parlementarians had to take into consideration the
forces outside the Parliament.” Lihat: Leo Suryadinata, op.cit., hlm. 86. Jumlah kursi TNI/Polri
yang semula diusulkan adalah 50 kursi, akan tetapi kemudian dicapai kesepakatan sebanyak 38
kursi (hampir separuh dari susunan yang ditetapkan dalam Pemilu 1997, yaitu sebanyak 75 kursi).
Untuk DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, TNI/Polri memperoleh jatah 10% dari total kursi yang
tersedia.
Ramlan Surbakti, “Proses
Pelaksanaan
Pemilu 1999” dalam Saifullah Ma’shum,
commit
to user
2001, KPU dan Kontroversi Pemilu 1999, Jakarta, Pustaka Indonesia Satu, hlm. xxvi.
1331
464
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi arena persaingan baru diantara format politik baru yang terbentuk.
Dalam Sidang Umum MPR 1999, terkristalisasi 3 kelompok kekuatan
yang saling bersaing. Pertama, PDIP yang hendak menjadikan Megawati
sebagai Presiden, sekaligus representasi paling terkemuka dalam menolak
Perubahan UUD. Kedua, koalisi Poros Tengah yang mengakomodasi
kekuatan-kekuatan politik Islam, terutama PAN, PPP, PK, dan PBB, dan
memperjuangkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ketiga, Golkar
serta TNI/Polri yang berusaha untuk mempertahankan Habibie sebagai
Presiden.1332 Persaingan tersebut kemudian semakin tidak terbendung
setelah MPR menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie1333, sehingga
Habibie menghentikan keinginannya untuk bersaing dalam perebutan
kepemimpinan nasional.1334
Kegagalan Megawati
melakukan lobi
politik1335, fanatisme massa pendukungnya yang dikhawatirkan akan
1332
Cris Manning dan Peter van Diemen (Editors), 2000, Indonesia di Tengah Transisi:
Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta, Penerbit LKis, hlm. 45-66.
1333
Seperti dijabarkan dalam konstitusi Indonesia, pada akhir setiap jangka waktu 5
tahun, presiden diharuskan untuk memberikan pidato pertanggungjawaban kepada MPR, merinci
pencapaian administrasi dan upaya untuk memenuhi pedoman kebijakan yang ditetapkan oleh
Majelis . MPR kemudian menerima atau menolak pidato pertanggungjawaban presiden. Tindakan
ini tidak memiliki bobot yang sama sebagai mosi tidak percaya, tapi juga tidak menunjukkan
disposisi Majelis terhadap pemerintahan presiden. Semua pidato pertanggungjawaban masa lalu, di
bawah kedua Soekarno dan Soeharto, telah diterima secara aklamasi, dengan pengecualian pidato
pertanggungjawaban terakhir Sukarno, yang ditolak secara aklamasi setelah Soeharto telah efektif
mengambil alih pemerintahan. Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa,
MPR menghadapi tugas berat untuk menilai pencapaian seorang presiden dan sebagai badan yang
terpecah secara politik yang mewakili kepentingan politik beragam. Pertanggungjawaban Habibie
ditolak dengan pemungutan suara melalui komposisi 355-322.
1334
Sejak awal Habibie telah pula mengetahui bahwa melihat konfigurasi MPR sulit
bagi dirinya untuk mengandalkan Golkar semata dalam memperoleh validitas dukungan bagi
kandidasi dirinya. Dikatakan oleh Thomposon,” Nevertheless, Habibie remained Megawati’s
closest rival for the presidency. Golkar’s 22% of the popular vote translated into 120 seats in the
DPR compared to PDI-P’s 153 seats. Habibie could also count on the support of the United
Development Party (PPP), another holdover from the New Order’s three-party system. The
Islamic-oriented PPP gained 11.3 million votes in the June elections. As a beneficiary of the
complex electoral system which worked to the advantage of parties drawing support from smaller
constituencies outside of Java, the PPP commanded a disproportionately high 58 seats in the
DPR.” Lihat: Eric C. Thompson,”Indonesia in Transition: The 1999 Presidential Elections”, NBR
Briefing Policy Report, No. 9, Oktober 1999, hlm. 3.
1335
Menurut Thompson, “Despite the PDI-P’s strong showing in the polls, Megawati
was not the only contender for the presidency. Before the June general election, speculation ran
commit
to user of Suharto’s three decades in power. In
rampant as to the fate of Golkar, the political
instrument
New Order elections, Golkar had maintained a consistent popular vote of around 70%. While
465
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bentrok dengan massa pendukung Habibie1336, dan realitas bahwa
Megawati seorang perempuan yang menjadi kontroversi bagi kalangan
tertentu atas dalih agama, dipromosikan oleh penentangnya untuk
mempromosikan Abdurrahman Wahid sebagai “jalan tengah” karena
dianggap memiliki risiko minimal bagi bangsa ketimbang kedua calon
yang lain, Habibie dan Megawati.1337 Situasi ini dianggap bahwa “The
election of Indonesia’s fourth president by the People’s Consultative
Assembly (MPR) in October 1999 concluded a long and chaotic period of
political transition.”1338 Dengan proses pemungutan suara yang dramatis,
MPR berhasil memilih secara demokratis Abdurrahman Wahid dan
some expected Golkar to be wiped out in the wake of Suharto’s downfall, it was able to obtain
23.7 million votes in 1999, or 22%, making it the second largest vote-getter among the 48
contesting parties. This gave some hope to the candidacy of the then current President B.J.
Habibie.” Lihat: Ibid.
1336
Dalam menanggapi ketidakpastian dan ketidakpercayaan yang mendasari proses
politik, pendukung PDI-P mulai membanjiri Jakarta. Menampilkan spanduk menyatakan
"Megawati atau Revolusi" mereka menduduki persimpangan penting di Jakarta dan daerah sekitar
gedung MPR / DPR. Demonstran, yang telah memainkan peran penting dalam menurunkan
Soeharto dengan menduduki gedung MPR / DPR pada tahun 1998, meningkatkan aktivitas mereka
di luar parlemen. Tuntutan mahasiswa bertujuan untuk mencegah pemerintahan militer,
menjatuhkan Habibie (yang melihat mereka sebagai adik Soeharto), dan mengejar tindakan hukum
terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme Soeharto, keluarganya, dan kroni-kroninya. Mahasiswa,
yang berada di jalan-jalan memprotes penetapan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya menjelang
sidang umum MPR, keluar lagi di jalanan dan terlibat bentrokan dengan militer dan polisi. Sebagai
upaya untuk merespon kekuatan-kekuatan populis pro-Megawati dan anti-Habibie, kelompok
pendukung Habibie, terutama pemuda-sayap PPP, memobilisasi massa mereka sendiri. Menjelang
Sidang Umum MPT, kekerasan dan ancaman kekerasan di jalanan terjadi di Jakarta. Dengan
penguasaan pendukung PDI-P dan pendukung PPP yang mengitari ibukota dalam konvoi bus dan
menduduki jalan utama kota ini, pengamat menimbulkan kekhawatiran bahwa bentrokan antar
kelompok mungkin terjadi. Terlepas dari hasil keputusan yang dihadapi MPR, satu sisi atau yang
lain tampaknya pasti akan kecewa. Sebuah kekalahan bagi PDI-P adalah skenario yang paling
mengkhawatirkan. Jika MPR memilih untuk menerima pidato pertanggungjawaban BJ Habibie,
tanda bahwa ia mungkin terpilih kembali presiden, atau jika badan ini menolak pencalonan
Megawati, orang takut akan muncul kerusuhan seperti sebelum jatuhnya Suharto, atau bahkan
lebih buruk lagi.
1337
Menurut penulis, di samping faktor ekstralegal tersebut, ketentuan UUD 1945
membuka jalan bagi munculnya persaingan politik. Bagaimanapun, UUD 1945 tidak mengatur
bahwa pemilu legislatif “satu tarikan nafas” dengan pemilu presiden. Ketentuan Pasal 6 ayat (2)
menegaskan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.”
Dengan demikian, sekalipun Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P memimpin
kekuatan politik terbesar, akan tetapi hal itu bukan jaminan konstitusional bahwa dirinya otomatis
menjadi Presiden. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer di mana lazimnya Ketua Umum
partai otomatis akan memperoleh mandate membentuk pemerintahan apabila berhasil
mengendalikan komposisi Parlemen.
1338
commit to user
Eric C. Thompson, op.cit., hlm. 1.
466
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 1339 Selama
3 bulan pertama masa pemerintahnnya, duet Abdurrahman WahidMegawati dipuji sebagai pasangan “dwitunggal” yang ideal karena
dianggap merefleksikan perpaduan dua kekuatan besar bangsa Indonesia.
(4) Perubahan UUD 1945
Di tengah hiruk pikuk politik dalam masa transisi tersebut,
bagaimanapun, MPR berhasil untuk melakukan salah satu agenda penting
reformasi yaitu Perubahan UUD 1945. Di mata Liddle, hubungan antara
UUD 1945 dan rezim otoriter Orde Baru sangatlah jelas. Dalam
pandangannya, UUD 1945 mempunyai peran sentral bagi hadirnya
konsepsi Soeharto tentang rezm Orde Baru, dengan didominasinya
kekuasaan pemerintahan oleh Soeharto.1340 Di sisi lain, Mahfud percaya
bahwa
UUD
1945
belum
pernah
menghasilkan
pemerintahan
demokratis.1341 Dalam sebuah kajian, dikatakan bahwa UUD 1945
mengandung kekosongan hukum karena terlalu singkat dan ramping.1342
Salah satu kritik terhadap UUD 1945 adalah keberadaannya sebagai
konstitusi “yang sarat eksekutif” karena, di samping kekuasaan-kekuasaan
1339
Setelah ketidakikutsertaan Habibie dan Wiranto dalam bursa calon Presiden, pada
20 Oktober 1999 menetapkan Megawati Soekarnoputri (diusung oleh PDI-P), Abdurrahman
Wahid (diusung oleh Poros Tengah, PKB, dan didukung oleh Golkar dan Fraksi TNI/Polri), dan
Yusril Ihza Mahendra (diusung oleh Partai Bulan Bintang) sebagai calon Presiden. Sesaat sebelum
pemungutan suara berlangsung, Yusril mengundurkan diri dan akhirnya dengan komposisi suara
373-313, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden. Dukungan terhadap Abdurrahman Wahid
diperkirakan berasal dari Golkar (100 suara), PPP (57), PKB (51), PAN (35), PBB (12), PK (6),
Partai Islam lainnya (10), Utusan Daerah (57), Utusan Golongan (15), dan TNI/Polri (30).
Sementara itu dukungan untuk Megawati diperkirakan berasal dari PDIP (154), Utusan Golongan
(69), Utusan Daerah (50), Golkar (20), Partai nasionalis lain (17), dan TNI/Polri (3). Ada 5 suara
abstain, yang diperkirakan berasal dari TNI/Polri. Lihat: Leo Suryadinata, Election and Politics in
Indonesia, op.cit., hlm. 149.
R. William Liddle, “Indonesia Unexpected Failure of Leadership”, dalam Adam
Schwarz dan Jonathan Paris (Editors), New York, 1999, Council for Foreign Relation Press, hlm.
36.
1340
1341
Moh. Mahfud M.D., 1999, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,
Yogyakarta, UII Press, hlm. 26.
1342
Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000,
Amandemen UUD 1945: Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang Berubah, Jakarta,
Rajawali, hlm. 14. Kekosongan-kekosongan itu adalah (i) sistem ekonomi Indonesia; (ii)
pelrindungan terhadap HAM; (iii) pembatasan
terhadap
kekuasaan Presiden yang begitu besar; dan
commit
to user
(iv) sistem pemilu.
perpustakaan.uns.ac.id
467
digilib.uns.ac.id
eksekutif yang demikian besar, Presiden juga memiliki kekuasaan
legislatif.1343 Namun, sepanjang Orde Baru, telah muncul semacam mitos
bahwa UUD 1945 tidak dapat diubah, baik karena otoritas politik
Soeharto1344 maupun keinginan sendiri dari MPR.1345 Padahal jika
menelisik pembentukan UUD 1945 untuk pertama kalinya, konstitusi ini
dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.1346 Lagipula, selama
berdirinya Negara Republik Indonesia, telah beberapa kali mengalami
perubahan dan/atau penggantian UUD 1945.1347
Dalam naskah asli UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa, “Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.”
Adapun bagian Penjelasan
mengatakan,”Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan
legislative power dalam negara.”
1343
1344
Menjelang pemilu 1971, terdapat konsensus nasional untuk memberikan wewenang
kepada Soeharto guna menetapkan orang-orang yang dianggapnya loyal dalam mengisi 1/3
keanggotaan MPR. Dengan demikian, segala upaya untuk melakukan perubahan UUD 1945 tidak
pernah dapat dilaksanakan mengingat ketentuan Pasal 37 UUD 1945 menegaskan bahwa salah
satu syarat untuk memutuskan hal itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR.
Soeharto mengingatkan betapa pentingnya kuorum ini, sehingga dalam sebuah pidato di hadapan
Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru pada 27 Maret 1980 menandaskan bahwa militer bertekad
untuk tidak melakukan perubahan konstitusi. Maka ABRI siap untuk menggunakan senjata kalau
ada yang melakukannya atau menculik sepertiga anggota MPR untuk mencegah terjadinya
perubahan. Pidato Soeharto ini kemudian memperoleh tanggapan keras dari kelompok oposisi
yang dikenal sebagai Petisi 50. Diskusi yang menarik soal ini, lihat: Ikrar Nusa Bakti, 1999,
Tentara Mendamba Mitra, Bandung, Penerbit Mizan, hlm. 118-125; Eep Saefullah Fatah, Konflik,
Manipulasi, dan Kebangkrutan Orde Baru, op.cit., hlm. 205-220; dan Denny Indrayana,
Amandemen UUD 1945, op.cit., hlm. 148.
1345
Dalam Sidang Umum 1983, ditetapkan Ketetapan MPR No. IV/MOR/1983 tentang
Referendum. Dalam ketetapan ini, “MPR sudah bertekad bulat untuk melestarikan UUD 1945 dan
tidak ingin, dan tidak akan mengubahnya dan bertekad untuk melaksanakannya secara murni dan
konsekuen.” Ketetapan itu juga memerintahkan Presiden untuk membentuk aturan pelaksananya
dan kemudian ditetapkan UU No. 5/1985 tentang Referendum. Sekalipun UU Ini memberikan
peluang untuk mengubah UUD 1945, namun syarat-syaratnya diatur sulit sekali. Untuk merubah
UUD 1945, UU mensyaratkan referendum, dengan minimal 90% pemilih menggunakan hak
pilihnya dan 90% dari suara tersebut menyatakan setuju untuk mengubah UUD 1945. Ketetapan
MPR ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam Sidang Istimewa MPR November 1998.
Dalam hal ini terkenal kata-kata Soekarno,”Undang-Undang Dasar yang dibuat
sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini
adalah undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih
tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat
membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.” Lihat dalam Adnan
Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia, op.cit., hlm. 29.
1346
1347
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan disahkannya
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, Negara Indonesia telah mengalami beberapa kali
perubahan konstitusi dalam art formal. Pertama, perubahan dilakukan dengan cara pemberlakuan
commit
user sedangkan khusus UUD 1945 masih
naskah Konstitusi RIS Tahun 1949 untuk
seluruhto
Indonesia,
tetap berlaku hanya di lingkungan Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta
perpustakaan.uns.ac.id
468
digilib.uns.ac.id
Sesudah MPR hasil pemilu 1999 bekerja, sekalipun isu perubahan
UUD 1945 kalah panas dengan isu pemilihan presiden, akan tetapi pada 6
Oktober 1999 semua fraksi sepakat untuk mengamandemen dan bukan
memperbarui konstitusi.1348 Menurut Denny Indrayana, “kesepakatan ini
adalah salah satu momentum sejarah karena MPR sudah lama menjadi
salah satu lembaga terkemuka yang selalu menolak upaya-upaya untuk
mengubah UUD 1945.”1349 Namun, di kalangan akademisi, terdapat
perbedaan pendapat mengenai sifat UUD 1945 yang diberlakukan sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut.1350 Perbedaan itu mengandung
konsekuensi bahwa proses perubahan UUD 1945 akan melibatkan 2
masalah teknis, yaitu (i) pasal mana yang harus digunakan untuk
sebagai salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, pemberlakuan
UUDS 1950 untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga UUD 1945 dan
Konstitusi RIS tidak berlaku lagi. Ketiga, pemberlakuan kembali naskah UUD 1945 yang
dilengkapi dengan naskah Penjelasan UUD 1945 yang ditetapkan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari naskah UUD 1945. Karena itu, pada hakikatnya, naskah UUD 1945 yang
diberlakukan sejak Dekrit 5 Juli 1959, berbeda dari naskah UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945.
1348
Kedua bentuk perubahan Undang-Undang Dasar seperti tersebut, yaitu amandemen
dan penggantian pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari
UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah
contoh tindakan penggantian Undang-Undang Dasar. Di samping itu, ada pula bentuk perubahan
lain seperti yang biasa dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan
dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Cara
terakhir ini, boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap naskah lama menjadi
naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan tambahan materi baru
tersebut.
1349
Denny Indrayana, op.cit., hlm. 183.
1350
Dekrit Presiden ini secara hukum tata negara merupakan penggunaan wewenang
Presiden yang bersifat ekstra konstitusional dengan dalih negara dalam keadaan darurat yang di
samping memberlakukan kembali UUD 1945 (setelah sejak 1950 menggunakan UUD sementara),
juga membubarkan badan pembentuk UUD atau Konstituante yang telah dibentuk berdasarkan
pemilu 29 Desember 1955. Di samping membentuk konstituante, pemilu untuk menetapkan badan
perwakilan rakyat sudah menjadi ambisi republic sejak keluarnya Maklumat No. X 1 November
1945 dan kemudian dicita-cita oleh kabinet terutama setelah penyerahan kedaulatan (1949) yaitu
kabinet Hatta (1949-1950), Kabinet Wilopo (PNI, 1952-1953), dan akhirnya berhasil dilaksanakan
pada tahun 1955 di bawah Kabi
Download