(PLTGU) di Perairan Pantai Pemaron

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Perairan
Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali
utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai
wisata berpasir yang sangat landai dan dangkal. Kawasan pesisir Bali Utara secara
umum merupakan pesisir yang memiliki substrat dasar perairan berupa pasir.
Kawasan Bali utara merupakan daerah dataran tinggi yang jarang ditemukan
sungai-sungai besar sehingga sangat sedikit proses sedimentasi. Berdasarkan peta
batimetri Dishidros tahun 1992, kawasan tersebut memiliki topografi pantai yang
landai. Pada jarak 200 m dari pantai kedalaman perairan hanya mencapai 20 m.
Kondisi pasang surut di daerah Pemaron dapat diketahui berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (BAKORSURTANAL). Secara umum tipe pasang surut pada lokasi
tersebut yaitu tipe pasut campuran, sedangkan perbedaan ketinggian pasutnya
mencapai 1 m. Arus permukaan laut di perairan Pemaron dominan dipengaruhi
oleh arus pasang surut (tidal current) karena cakupan wilayah perairan Pemaron
yang sempit. Saat pasang arus membawa massa air menuju pantai sedangkan saat
surut arus membawa massa air menuju laut Bali.
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Pemaron dikelola oleh
salah satu anak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yaitu PT. Indonesian Power.
PLTGU tersebut mulai dibangun tahun 2004 guna menambah pasokan listrik
lokal bagi Kabupaten dan Kota Singaraja. Keberadaan PLTGU ini mendapat
sambutan pro dan kontra dari masyarakat luas terutama para pengamat
lingkungan. Lokasi PLTGU berjarak 1 km dari pantai dan limbahnya dibuang
3
4
secara langsung ke Pantai sehingga sangat rentan terjadi pencemaran lingkungan.
Hal tersebut cukup berbahaya mengingat terdapat banyak objek wisata bahari
disekitarnya yang sering menjadi tujuan wisata.
2.2. Batimetri
Batimetri berasal dari bahasa Yunani yaitu „bathy‟ yang berarti kedalaman
dan „metry‟ yang berarti ilmu pengukuran. Jadi batimetri merupakan ilmu
pengukuran kedalaman, terutama di samudera dan laut serta memetakan topografi
dari kedalaman tersebut. Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk
konfigurasi dasar laut yang dinyatakan dengan angka-angka kedalaman dan garisgaris kedalaman (Pipkin et al., 1999).
Indonesia memiliki kontur dan batimetri dasar laut yang sangat kompleks
karena adanya benturan/gesekan antara lempeng litosfer, yaitu lempeng Eurasia,
Filipina, Pasifik dan Samudera Hindia-Australia. Benturan kedua lempeng
tersebut akan mengakibatkan salah satu lempeng akan bergerak relatif terhadap
lempeng lain, sehingga di zona benturan ini akan terbentuk palung yang dalam.
Sebaliknya pada lempeng yang satunya akan terjadi penonjolan ke atas dimana
energi panas dilepas dan membentuk gunung-gunung api (Defrimilsa, 2003).
Kondisi batimetri suatu perairan dirangkum dalam suatu bidang datar yang
disebut peta batimetri. Peta batimetri dalam bidang kelautan memiliki banyak
kegunaan seperti dalam penentuan alur pelayaran, pembangunan jaringan pipa
bawah laut, navigasi, serta survei geologi kelautan. Peta batimetri juga berperan
dalam usaha penangkapan ikan secara langsung ataupun tidak langsung, karena
pengetahuan mengenai topografi dasar perairan yang bervariasi dapat dilakukan
penangkapan dengan alat tangkap yang sesuai (Defrimilsa, 2003).
5
Perairan Pemaron memiliki topografi perairan yang landai dengan
kedalaman yang cukup bervariasi. Perairan Pemaron termasuk perairan yang
dangkal karena hanya memiliki kedalaman rata-rata sebesar 20 meter. Semakin ke
arah laut lepas ( > 200 meter dari pantai), kedalaman perairan dapat mencapai 250
meter. Pemodelan dispersi termal 2D cukup representatif dilakukan apabila lokasi
penelitian tersebut tergolong perairan yang dangkal.
2.3. Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara periodik. Fenomena pasang surut dipengaruhi oleh
faktor astronomis serta faktor non-astronomis. Faktor astronomis diakibatkan oleh
kombinasi gaya sentrifugal dan gaya tarik-menarik dari benda-benda astronomi
terutama oleh matahari dan bulan terhadap bumi. Pengaruh benda angkasa lainnya
dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya yang lebih kecil (Pond
dan Pickard, 1983). Faktor non-astronomis yang mempengaruhi pasang surut
terutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis pantai
dan topografi dasar perairan (Pond dan Pickard, 1983).
Setiap perairan memiliki karakteristik pasut yang berbeda. Tipe pasut suatu
perairan dapat ditentukan oleh amplitudo dari berbagai komponen harmonik pasut
yang memasuki suatu perairan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
respon setiap lokasi terhadap gaya pembangkit pasut. Jika suatu perairan
mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, maka perairan
tersebut dikatakan memiliki pasut bertipe tunggal (diurnal tide), namun jika
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari maka perairan tersebut
dikatakan bertipe ganda (semidiurnal tide). Tipe pasut lainnya merupakan
6
peralihan antara tipe tunggal dan tipe ganda atau disebut dengan tipe campuran
(mixed tide). Tipe pasut peralihan digolongkan menjadi dua bagian, yaitu tipe
campuran dominasi ganda serta tipe campuran dominasi tunggal (Wyrtki, 1961).
Tipe pasut dapat ditentukan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang
dinyatakan dalam bentuk (Wyrkti, 1961; Pond dan Pickard, 1983)
F
Dimana:
O1 K 1
M 2 S2
....................................... (1)
F
= Bilangan Formzal
O1
= Komponen pasang surut tunggal utama yang diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik bulan.
K1
= Komponen pasang surut tunggal utama yang diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik bulan dan matahari.
M2
= Komponen pasang surut ganda utama yang diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik bulan.
S2
= Komponen pasang surut ganda utama yang diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik matahari.
Berdasarkan formula tersebut nilai Formzal dapat ditentukan dengan mudah, Nilai
F akan menentukan tipe pasang surut perairan. Jika F bernilai :
0 – 0,24
: Pasut Ganda (Semidiurnal tide), terjadi dua kali pasang dan
dua kali surut dalam sehari dengan elevasi yang sama.
0,25 – 1,5 : Pasut campuran cenderung ganda (Mixed tide mainly
semidiurnal), kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut pada setiap harinya dengan elevasi yang berbeda
1,5 - 3,0 : Pasut Campuran cenderung tunggal (Mixed tide mainly
diurnal), kadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut,
dengan elevasi yang berbeda
≥ 3,0
: Pasut Tunggal (Diurnal tide), terjadi satu kali pasang dan satu
kali surut dalam sehari dengan elevasi yang sama.
7
Pasang surut yang terjadi di perairan Indonesia merupakan interaksi antara
pasang surut yang terjadi di samudera Pasifik dan samudera Hindia. Secara
umum, tipe pasut yang terjadi di perairan Indonesia dikelompokkan menjadi dua
yaitu pasut tunggal yang mendominasi perairan Indonesia bagian barat serta pasut
ganda yang mendominasi wilayah Indonesia bagian timur (Wyrkti, 1961).
2.4. Arus
Arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal massa air hingga massa air
tersebut mencapai suatu kondisi yang stabil. Pergerakan arus di laut dibangkitkan
oleh beberapa gaya yang bekerja di laut tersebut. Terdapat dua gaya utama yang
berperan dalam pembangkit arus di perairan yaitu, gaya primer dan gaya
sekunder. Gaya primer berperan dalam menggerakkan arus dan menentukan
kecepatannya. Gaya primer terdiri dari gravitasi, gaya gesek angin (wind stress),
gaya dorong ke atas dan ke bawah (buoyancy), serta tekanan atmosfer. Gaya
sekunder berperan mempengaruhi arah gerakan dan kondisi aliran arus. Gaya
sekunder meliputi gaya coriolis dan gesekan lapisan air laut itu sendiri (Pond dan
Pickard, 1983).
Dinamika pasang surut akan menimbulkan perbedaan tekanan hidrostatis di
beberapa tempat sehingga mengakibatkan terjadinya arus yang disebut arus pasut
(tidal current). Arus pasut dominan biasanya terjadi di perairan sempit seperti
teluk, estuary, dan perairan yang dangkal (Gross, 1979). Semakin sempit perairan
maka pengaruh arus pasut semakin besar dan sebaliknya, semakin terbuka suatu
perairan maka pengaruhnya akan semakin kecil (Supangkat dan Sussana, 2001).
Arus pasang (flood tide) terjadi ketika permukaan air laut naik, sedangkan
arus surut (ebb tide) terjadi ketika permukaan air laut sedang turun. Kecepatan
8
arus pasut mencapai maksimum pada kondisi air pasang dan surut purnama.
Kecepatan arus akan semakin berkurang saat kondisi menuju air pasang atau surut
(Pond dan Pickard, 1983).
2.5. Angin
Angin didefinisikan sebagai gerakan udara mendatar (horizontal) yang
disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antar dua tempat. Angin yang
berhembus di permukaan perairan akan menimbulkan wind wave, yaitu
gelombang yang ditimbulkan angin. Peristiwa ini merupakan pemindahan tenaga
gelombang di permukaan air dan gelombang itu sendiri meneruskan tenaganya
kepada peristiwa lainnya, diantaranya molekul air. Selain menimbulkan
gelombang di permukaan air, angin juga dapat menyebabkan terjadinya arus.
Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson. Angin
muson merupakan angin yang bertiup secara konstan ke arah tertentu pada satu
musim sedangkan pada musim yang lainnya angin bertiup secara konstan pula
pada arah yang berlawanan. Bulan Desember-Februari adalah musim dingin di
belahan bumi utara dan musim panas di belahan bumi selatan. Pada saat itu
terbentuklah pusat tekanan udara tinggi di atas daratan asia dan pusat tekanan
rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari
Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin muson
barat. Sebaliknya pada bulan Juli-Agustus terjadilah pusat tekanan tinggi di atas
daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia sehingga
mengakibatkan berhembusnya angin muson timur di Indonesia. Angin muson
berganti arah sebanyak dua kali dalam setahun (Wyrkti, 1961).
9
2.6. Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia
Pengelolaan limbah air pendingin (cooling water) di Indonesia cukup
mendapat perhatian, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan
yang menetapkan baku mutu parameter suhu. Demi menjaga kelestarian fungsi
lingkungan laut, pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup
telah melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat
mencemari atau merusak lingkungan laut. Salah upaya yang dilakukan adalah
menetapkan baku mutu suhu air laut serta kehidupan biota laut yang ditetapkan
melalui Keputussan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Tabel 1).
Keputusan Menteri tersebut memberi batasan bagi industri yang beroperasi
di wilayah pesisir agar tidak membuang limbah pada perairan yang ditentukan
adanya biota laut diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun demikian,
kebijakan ini menimbulkan masalah dalam implementasinya mengingat aktivitas
industri di wilayah pesisir selama ini menggunakan baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat yang bersifat sangat longgar sehingga beberapa
industri telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam keputusan Menteri
tersebut.
Untuk menangani masalah ini, pemerintah kemudian mengaturnya di dalam
Kepmen LH No.51 Tahun 2004 Pasal 5 (2) yang berbunyi “Dalam hal daerah
telah menetapkan baku mutu air laut lebih longgar sebelum ditetapkannya
keputusan ini, maka baku mutu air laut tersebut perlu disesuaikan dengan
keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
ditetapkannya Keputusan ini”. Dalam hal ini pemerintah daerah harus segera
10
melakukan evaluasi terhadap Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
di atas.
Tabel1. Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 tahun 2004
No
Parameter
Satuan
1
Kecerahana
m
2
Suhub
0
C
3
Salinitasc
‰
4
5
Oksigen terlarut (DO)
BOD5
mg/l
mg/l
Baku mutu
coral : >5
mangrove : lamun : >3
Alami
alami 3(b)
coral : 28-30(b)
mangrove : 28-32(b)
lamun : 28-30(b)
alami 3(c)
coral : 33-34(c)
mangrove : s/d 34(c)
lamun : 33-34(c)
>5
20
(Sumber : Diadaptasi dari Lampiran 3 Kepmen LH No.51 Tahun 2004)
Keterangan :
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% dari kedalaman
Euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata
musiman
2.7. Model Dispersi Termal
Model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan
langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab
akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat asumsi mengenai suatu
sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki
sifat beragam. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa
11
mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan
peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta menemukan hubunganhubungan antar peubah di dalam sistem tersebut.
Model dispersi termal telah dijadikan sebagai salah satu alat pendukung
dalam tahap desain perusahaaan yang bertujuan untuk menentukan metode dan
penempatan yang optimal dari masukan (intake) buangan air pendingin (cooling
water) dan untuk menghindari naiknya suhu alami diatas baku mutu yang
diizinkan. Dengan demikian model merupakan suatu alat yang wajib bagi
perusahaan untuk mendapatkan surat ijin operasional melalui studi penilaian
dampak buangan air pendingin yang berkenaan dengan dibebaskannya panas ke
lingkungan terutama pada air permukaan (Maderich et al., 2008).
Download