Lecture Notes: Discrete Dynamical System and Chaos Johan

advertisement
Lecture Notes: Discrete Dynamical
System and Chaos
Johan Matheus Tuwankotta
Departemen Matematika, FMIPA, Institut Teknologi Bandung, jl.
Ganesha no. 10, Bandung, Indonesia.
mailto:[email protected].
Contents
List of Figures
5
Pengantar
Sekelumit sejarah sistem dinamik
Apa yang ditawarkan buku ini
9
9
9
Chapter 1. Teori Pendahuluan
1. Lapangan bilangan real
2. Kalkulus fungsi
3. Teorema-teorema penting dalam medan vektor
11
11
14
15
Chapter 2. Sistem Dinamik Diskrit: suatu pengantar
1. Pendahuluan
2. Definisi Sistem Dinamik Diskrit
3. Representasi grafis dari suatu sistem dinamik
21
21
22
25
Chapter 3. Solusi Khusus dan Masalah Kestabilan
1. Pendahuluan
2. Titik tetap sistem dinamik
3. Solusi Periodik
4. Titik Iterasi Berhingga
5. Masalah kestabilan titik tetap
29
29
29
30
32
33
Chapter 4. Bifurkasi Titik Tetap Berkodimensi Satu
1. Pendahuluan
2. Contoh bifurkasi sederhana
3. Bifurkasi fold
4. Bifurkasi flip
37
37
37
40
44
Chapter 5. Pemetaan Kuadratik
1. Analisis titik tetap
2. Bifurkasi flip pada pemetaan Kuadratik
3. Rute menuju Chaos
4. Ukuran atraktor chaotik pada pemetaan kuadratik
47
47
52
56
59
Chapter 6. CHAOS: Akhir dari sebuah kepastian.
1. Ketidakpastian vs. kepastian
2. Sebuah mimpi: ramalan cuaca
3. Chaos: Sains atau fiksi?
4. So much to do, so little time
63
63
65
66
67
3
4
Bibliography
CONTENTS
69
List of Figures
1.1
Ilustrasi Teorema Fungsi Implisit.
2.1
Grafik deret waktu dari sistem dinamik (2.7).
Titik-titik yang digambarkan dengan ◦ adalah untuk
µ = 1, 2 dan populasi awal 10. Titik-titik yang
digambarkan dengan ∗ adalah untuk µ = 0, 8 dan
populasi awal 80. .
26
2.2
Grafik deret waktu dari sistem dinamik (2.8) untuk
µ = 0, 95, C = 10 dan populasi awal 60.
27
2.3
Representasi dua dimensi dari sistem dinamik.
28
3.1
Kurva yang digambar dengan garis putus-putus pada
kedua grafik adalah y = x. Kurva yang digambar
dengan titik-titik adalah y = f (x), dengan garis
tegas adalah y = f 2 (x) dan dengan garis dan titik
adalah y = f 4 (x). Titik potong dengan kurva y = x
menyatakan titik tetap dari masing-masing fungsi.
Ilustrasi ini untuk µ = 3, 5.
31
3.2
Pada Gambar ini digambarkan solusi periodik untuk
µ = 3, 25 (kiri) dan µ = 3.5 (kanan). Nilai µ tersebut
dipilih berbeda untuk kepentingan ilustrasi (sebab
pada saat µ = 3, 5 solusi 2-periodik tidak lagi stabil). 32
3.3
Ilustrasi dua buah titik iterasi berhingga.
32
3.4
Representasi grafis dari sistem dinamika xn+1 =
f (xn ), dengan f (x) = x + x2 .
35
Representasi grafis dari sistem dinamika xn+1 =
f (xn ), dengan f (x) = x − x3 .
35
Representasi grafis dari sistem dinamika xn+1 =
f (xn ), dengan f (x) = −x − x3 .
36
Representasi grafis dari sistem dinamika xn+1 =
f (xn ), dengan f (x) = x + x3 . .
36
3.5
3.6
3.7
17
4.1
38
4.2
39
4.3
40
5
6
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
5.9
5.10
5.11
LIST OF FIGURES
Ilustrasi grafik fµ (x) untuk dua nilai µ yang berbeda.
Gambar yang kiri adalah untuk 1 < µ2 sedangkan
yang kanan adalah untuk 2 < µ < 3.
Pada kasus 2 < µ < 3, dinamika dari sistem x = fµ (x)
berbeda dengan kasus 1 < µ < 2. Pada kasus ini
terdapat rotasi di sekitar titik tetapnya.
Pada gambar ini diperlihatkan himpunan limit yang
stabil dari pemetaan kuadratik jika 0 < µ < 3.
Dinamika sistem didonimasi oleh sebuah titik tetap
yang stabil.
Pada gambar ini diperlihatkan dinamika pemetaan
kuadratik untuk nilai µ yang lebih kecil dari 3, sama
dengan 3 dan lebih besar dari 3. Jika µ melewati nilai
3, terbentuk suatu solusi periodik dengan periode
dua.
Pada gambar ini diperlihatkan grafik dari fungsi
fµ2 (x). Untuk tiga nilai µ seperti pada gambar 5.4.
Ilustrasi ini memperlihatkan proses terciptanya solusi
periodik berperiode 2.
Gambar ini memperlihatkan terjadinya bifurkasi flip
yang kedua pada pemetaan kuadratik. Bifurkasi
ini menghasilkan solusi periodik berperiode 4 dari
solusi periodik
berperiode 2. Ini terjadi di sekitar
√
µ = 1 + 6.
Himpunan limit dari pemetaan kuadratik untuk
3 < µ < µ∞ .
Himpunan limit yang stabil dari pemetaan kuadratik
untuk 0 < µ < 4. Gambar ini dapat dipandang
sebagai gambar dari atraktor yang ada pada
pemetaan kuadratik untuk nilai µ ∈ [0, 4]. Perhatikan
tingkat kompleksitas dari atraktor tersebut jika µ
membesar menuju 4.
Transisi menuju Chaos pada pemetaan kuadratik.
Dari kiri ke kanan, mulai pada baris pertama, nilai
µ = 2, 25, µ = 3, 25, µ = 3, 5, µ = 3, 56, µ = 3, 57,
dan µ ≈ µ∞ .
Atraktor chaotik pada saat µ ≈ µ∞ . Gambar kiri
adalah bentuk atraktor setelah 2500 iterasi sedangkan
gambar kanan setelah 5000 iterasi.
Himpunan limit di sekitar µ = µ∞ . Dinamika chaotik
pada pemetaan kuadratik tiba-tiba hilang ketika µ
melewati nilai µ∞ . Hilangnya dinamika chaotik ini
disebabkan terciptanya suatu solusi periodik yang
49
49
51
52
53
54
55
55
57
58
LIST OF FIGURES
5.12
5.13
5.14
6.1
6.2
stabil dengan periode 10. Kehadiran suatu solusi
periodik yang stabil, membuat dinamika sistem
kembali menjadi regular.
Atraktor periodik dengan periode 10. Gambar yang
kiri adalah himpunan limit dari pemetaan x = fµ10 (x)
sedangkan yang kanan adalah dinamika pemetaan
kuadratik pada nilai µ = 3, 6055.
Himpunan limit dari pemetaan kuadratik untuk
3 < µ < 4. Di antara kabut titik hitam, di beberapa
tempat terdapat daerah putih. Daerah putih tersebut
menyatakan daerah di mana dinamika chaotik
tidak muncul pada pemetaan kuadratik. Hilangnya
dinamika chaotik tersebut senantiasa disebabkan oleh
munculnya solusi periodik yang stabil.
Atraktor periodik dengan periode 10. Gambar yang
kiri adalah himpunan limit dari pemetaan x = fµ10 (x)
sedangkan yang kanan adalah dinamika pemetaan
kuadratik pada nilai µ = 3, 6055.
Ilustrasi percobaan yang dilakukan oleh E. Lorenz.
Transisi menuju Chaos.
7
58
59
60
61
65
67
CHAPTER 1
Teori Pendahuluan
1. Lapangan bilangan real
1.1. Struktur aljabar dari himpunan bilangan. Manusia telah
mengenal bilangan sejak lama. Pada awalnya manusia hanya mengenal
bilangan asli (natural numbers). Keperluan ini sangat jelas yaitu untuk
menghitung (counting) misalkan banyaknya kuda. Bilangan-bilangan
tersebut jika dihimpun menjadi suatu himpunan ternyata memiliki suatu struktur aljabar yang sangat menarik.
Salah satu struktur aljabar yang sangat fundamental adalah grup.
Grup adalah suatu himpunan yang memuat satu operasi yang dikenal
dengan nama penjumlahan. Grup G adalah struktur yang mengakomodasi persamaan linear monik: x + a = b dengan a, b ∈ G dan x
adalah variabel. Pada grup G semua persamaan linear monik seperti
itu memiliki solusi1. Contoh dari suatu grup adalah himpunan bilangan
bulat Z.
Jika struktur tersebut kita lengkapi dengan perkalian antar unsurnya, maka kita dapat berbicara tentang persamaan linear yang lebih
umum yaitu: a · x + b = c, dengan a, b, c ∈ G. Pertanyaan pertama adalah untuk mendefinisikan persamaan linear seperti ini adalah
ketertutupkan. Jika kita memiliki tiga elemen himpunan yang memiliki struktur tertentu (misalkan a1 , a2 , dan a3 ), maka kita inginkan
a1 · a2 + a3 juga berada di dalam himpunan tersebut. Struktur yang
dapat mengakomodasi sifat ini adalah Ring. Bilangan bulat Z juga
memiliki struktur ring. Meskipun persamaan linear umum dapat diakomodasi oleh ring, struktur aljabar ring tidaklah cukup untuk memuat
solusi dari persamaan linear umum.
Struktur aljabar yang mengakomodasi solusi dari suatu persamaan
linear umum seperti ini disebut Lapangan. Untuk persamaan linear
umum dengan koefisien bilangan bulat Z, struktur yang tepat adalah
lapangan bilangan rasional Q = { ab |a, b ∈ Z, b 6= 0}. Persamaan linear umum dengan koefisien bilangan rasional juga diakomodasi dengan
baik oleh lapangan bilangan rasional.
1.2. Kelengkapan lapangan bilangan real. Lapangan bilangan rasional dapat mengakomodasi persamaan linear umum dengan
1Menurut
pendapat saya, pendekatan ini memberi alasan yang lebih natural
tentang lahirnya konsep bilangan negatif.
9
10
1. TEORI PENDAHULUAN
baik, namun lapangan tersebut tidaklah lengkap. Apa yang dimaksud
dengan lengkap akan menjadi jelas pada bagian ini.
Himpunan bilangan real (dan juga bilangan rasional) memiliki suatu sifat yang menarik yaitu himpunan bilangan real adalah himpunan
yang terurut secara linear. Artinya setiap dua bilangan real x dan y
akan memenuhi salah satu dari
x < y, atau x = y atau x > y.
Sifat ini disebut trikotomi bilangan real.
Misalkan A ⊂ R adalah sebuah himpunan. Batas atas A adalah u ∈ R
yang memenuhi u ≥ x untuk setiap x ∈ A. Batas atas terkecil atau
supremum adalah suatu batas atas us yang memenuhi jika u adalah
batas atas maka u ≥ us . Dengan cara yang serupa kita mendefinisikan
batas bawah dan batas bawah terkecil atau infimum.
Definition 1.1. Suatu himpunan dikatakan lengkap jika setiap
himpunan bagian darinya yang tak kosong dan yang bukan keseluruhan
himpunan, senantiasa memiliki infimum dan supremum.
Misalkan {xn } adalah sebuah barisan bilangan.
Definition 1.2. Barisan bilangan {xn } dikatakan barisan Cauchy
jika memenuhi untuk setiap ε > 0, terdapat M ∈ N sehingga |xn −
xm | < ε jika n, m > M .
Exercise 1.1. Misalkan xn suatu barisan yang memenuhi: ∀p ∈ N
dan ε > 0 berlaku ∃M ∈ N sehingga |xn+p − xn | < ε jika n > M .
Buktikan bahwa xn tidaklah harus merupakan barisan Cauchy.
Exercise 1.2. Tunjukkan bahwa setiap barisan Cauchy di lapangan yang lengkap konvergen.
Ada barisan bilangan rasional yang merupakan barisan Cauchy
tetapi tidak konvergen di Q. Ini berarti lapangan bilangan rasional
tidak lengkap. Suatu lapangan yang lengkap dan memuat bilangan rasional adalah lapangan bilangan real R. Dalam lapangan yang lengkap,
semua barisan bilangan Cauchy konvergen.
1.3. Lapangan bilangan real sebagai ruang metrik. Fungsi
”harga mutlak” seperti di atas dapat kita perumum ke ruang yang
lebih umum misalkan X.
Definition 1.3. Misalka sebuah himpunan X yang elemen-elemennya
akan kita sebut sebagai titik. Definisikan sebuah fungsi
d: X ×X → R
(x, y)
7→ d(x, y),
yang memenuhi
(1) d(x, y) > 0 jika x 6= y dan d(x, x) = 0,
1. LAPANGAN BILANGAN REAL
11
(2) d(x, y) = d(y, x),
(3) d(x, y) ≤ d(x, z) + d(z, y) untuk sebarang z ∈ X.
Fungsi d di sebut metrik dan ruang X yang dilengkapi dengan X disebut ruang metrik.
Jadi barisan bilangan Cauchy dalam hal ini menjadi seperti berikut.
Definition 1.4. Barisan bilangan {xn } ⊂ X dikatakan barisan
Cauchy jika memenuhi untuk setiap ε > 0, terdapat M ∈ N sehingga
d(xn , xm ) < ε jika n, m > M .
1.4. Topologi bilangan real. Beberapa definisi kita perlukan sebelum berbicara tentang topologi. Alat utama dalam topologi adalah
himpunan buka.
Definition 1.5. Misalkan x◦ adalah suatu bilangan real dan ε > 0.
Suatu lingkungan dari x◦ adalah suatu interval buka (x◦ − ε, x◦ + ε) =
{x ∈ R | x◦ − ε < x < x◦ + ε}.
Definition 1.6. Misalkan I adalah suatu himpunan bagian tak
kosong dari R (definisi di bawah dapat diperluas dengan mudah jika I
adalah sebarang himpunan tak kosong).
(1) Titik x ∈ I disebut titik dalam dari I jika ada ε > 0 sehingga
(x − ε, x + ε) ⊂ I.
(2) Titik x disebut titik batas dari I jika untuk setiap ε > 0,
(x − ε, x + ε) ∩ I 6= ∅ dan (x − ε, x + ε) ∩ I c 6= ∅ di mana I c
adalah komplemen dari I.
(3) Titik x disebut titik limit dari I jika terdapat barisan bilangan
di I yang konvergen ke x.
(4) Titik x disebut titik akumulasi dari I jika untuk setiap ε > 0,
terdapat y ∈ (x − ε, x + ε) ∩ I dengan y 6= x.
Exercise 1.3. Tunjukkan bahwa jika x adalah titik limit dari I
maka x ∈ I atau untuk setiap ε > 0 terdapat y ∈ I sehingga |x−y| < ε.
Definition 1.7. Misalkan I adalah suatu himpunan bagian dari
R.
(1) I dikatakan himpunan buka jika setiap elemennya adalah titik
dalam.
(2) I dikatakan himpunan tutup jika I memuat semua titik limitnya.
(3) I dikatakan himpunan sempurna jika semua elemen I adalah
titik akumulasi dari I.
Seringkali kita memiliki sebuah himpunan yang tidak tutup I. Kita
ingin mencari himpunan tutup terkecil yang memuat I. Himpunan itu
disebut pembuat-tutup dari I dan dinotasikan dengan I.
Perhatikan kembali lapangan bilangan rasional Q. Misalkan q1 dan
q2 adalah bilangan rasional sebarang dengan q1 < q2 . Karena q1 dan
12
1. TEORI PENDAHULUAN
q2 adalah bilangan rasional maka terdapat a1 , a2 , b1 dan b2 bilanganbilangan bulat sehingga q1 = a1 /b1 dan q2 = a2 /b2 . Maka
q1 + q2
a1 b2 + a2 b1
q12 =
=
∈Q
2
2b1 b2
dan q1 < q12 < q2 . Jadi di antara dua bilangan rasional terdapat
sebuah bilangan rasional, seberapa dekatnya kedua bilangan rasional
tidak menjadi masalah. Hal ini memperlihatkan betapa rapatnya bilangan rasional tersebar.
Meskipun demikian, di antara dua bilangan rasional senantiasa terdapat bilangan irasional. Ambil dua buah bilangan rasional sebarang.
Tanpa mengurangi keumuman bukti, pilih
a1
a2
0<
< , dan a1 < b.
b
b
√
Jelas a1 <√a1 + 1 ≤ a2 . Kita tahu bahwa 0 < 22 < 1. Akibatnya
a1 < a1 + 22 < a1 + 1. Jadi
√
a1
2a1 + 2
a1 + 1
a2
<
<
≤ .
b
2b
b
b
Exercise 1.4. Tunjukkan bahwa
√
2a1 + 2
2b
adalah bilangan irasional.
Definition 1.8. Suatu himpunan I ⊂ J ⊂ R dikatakan padat di
J jika memenuhi I = J.
Theorem 1.9. Himpunan I ⊂ J dikatakan padat di J jika untuk
setiap elemen b ∈ J dan ε > 0 terdapat a ∈ I sehingga |a − b| < ε.
Proof. Ambil b ∈ J sebarang. Karena I = J maka terdapat suatu
barisan di I, misalkan {an } sehingga an → b. Ambil ε > 0 sebarang.
Maka terdapat N sehingga |an − b| < ε jika n > N . Pilih a = an untuk
suatu n > N .
¤
Bilangan rasional Q padat di R. Himpunan padat akan memainkan
peranan penting dalam analisis sistem dinamik diskrit dan chaos.
2. Kalkulus fungsi
Pada buku ini kita akan mempelajari fungsi dan iterasi sebuah
fungsi. Kita akan memulai dengan memberikan beberapa definisi dan
menyeragamkan notasi.
Definition 1.10. Misalkan I dan J adalah dua buah himpunan
tak kosong. Pandang suatu fungsi f : I → J.
(1) f dikatakan fungsi satu satu jika dipenuhi: f (x) 6= f (y) berakibat x 6= y. Fungsi satu satu juga disebut fungsi injektif.
(2) f dikatakan fungsi pada jika dipenuhi untuk setiap y ∈ J
terdapat x ∈ I sehingga f (x) = y. Fungsi satu satu pada
disebut fungsi surjektif.
3. TEOREMA-TEOREMA PENTING DALAM MEDAN VEKTOR
13
(3) f dikatakan fungsi satu satu pada, jika f satu satu dan f pada.
Fungsi seperti ini dikatakan fungsi bijektif.
Secara umum, kita dapat mendefinisikan turunan dari sebuah fungsi
sebagai berikut. Pandang F : Rn −→ Rm . Turunan dari fungsi F di
titik ξ ∈ Rn adalah suatu transformasi linear DF (ξ) : Rn −→ Rm yang
memenuhi:
k F (ξ + h) − F (ξ) − DF (ξ)h k
lim
= 0,
khk→0
khk
k k adalah norm standard di Rn . Pandang L(Rn , Rm ) = {T : Rn −→
Rm , T linear}. Maka DF (ξ) ∈ L(Rn , Rm ).
Exercise 1.5. Buktikan bahwa L(Rn , Rm ) ≡ Rm×n .
Definition 1.11. Pandang f : I → J.
(1) Fungsi f dikatakan sebuah homeomorfisma jika f bijektif dan
kontinu, akibatnya f −1 juga kontinu.
(2) Fungsi f dikatakan C r -difeomorfisma jika f homeomorfisma,
terdiferensialkan r-kali, serta f −1 juga terdiferensialkan r-kali.
Misalkan dua buah himpunan A dan B. Misalkan pula terdapat
homeomorfisma f dari A ke B, maka A dikatakan homeomorfik dengan B. Dalam hal f adalah C r -difeomorfisma, maka A dikatakan C r difeomorfik dengan B.
3. Teorema-teorema penting dalam medan vektor
3.1. Prinsip kontraksi.
Definition 1.12. Misalkan X adalah suatu ruang metrik dengan
metrik d. Suatu fungsi (medan vektor) F : X → X dikatakan suatu
pemetaan kontraktif jika terdapat 0 ≤ c < 1 sehingga
d(F (x), F (y)) ≤ cd(x, y).
Suatu pemetaan kontraktif di ruang metrik yang lengkap memiliki
sifat yang bagus.
Theorem 1.13. Jika X adalah ruang metrik lengkap dan F adalah
suatu kontraksi, maka terdapat secara tunggal x ∈ X sehingga F (x) =
x.
Proof. Ambil x0 ∈ X sebarang. Definisikan xn+1 = F (xn ). Maka
untuk suatu 0 ≤ c < 1 berlaku
d(xn+1 , xn ) = d(F (xn ), F (xn−1 )) ≤ cd(xn , xn−1 ).
Dengan menggunakan induksi matematika kita dapatkan
d(xn+1 , xn ) ≤ cn d(x1 , x0 ).
14
1. TEORI PENDAHULUAN
Dengan menggunakan ketaksamaan segitiga didapat, jika m > n
¡
¢
cn
d(xn , xm ) ≤ cn + cn−1 + . . . + cm−1 d(x1 , x0 ) ≤
d(x1 , x0 ).
1−c
Jadi xn adalah barisan Cauchy. Karena X lengkap maka xn konvergen.
Kekontinuan dari F mengakibatkan F (x) = x.
¤
3.2. Teorema Fungsi Invers.
Theorem 1.14. Misalkan F adalah fungsi dari E ⊂ Rn ke Rn
yang terdiferensialkan secara kontinu. Jika DF (a) untuk suatu a ∈ E
memiliki invers dan F (a) = b, maka terdapat G sehingga G(F (x) =
x. dan G juga terdiferensialkan secara kontinu.
Proof. Misalkan DF (a) = A dan pilih λ sehingga 2λ k A−1 k= 1.
Karena DF adalah fungsi yang kontinu di x = a, maka terdapat suatu
bola buka U ⊂ E yang berpusat di a sehingga
k DF (x) − A k< λ, untuk x ∈ U.
Ambil y ∈ Rn sebarang. Definisikan sebuah fungsi ϕy (x) = x +
A−1 (y − F (x)), untuk x ∈ E. Jika kita dapat membuktikan bahwa
fungsi ϕy memenuhi prinsip kontraksi, maka dari Teorema 1.13, ϕy
memiliki tepat satu titik tetap xy .
Exercise 1.6. Tunjukkan bahwa ϕy kontraktif.
Pada titik tetap tersebut berlaku ϕy (xy ) = xy . Ini berakibat y =
F (xy ). Jadi, kita dapat mendefinisikan suatu fungsi
G: V
y
−→ Rn
7−→ xy
dengan xy adalah titik tetap dari ϕy dan V = F (U ). Jelas, G(F (xy )) =
G(y) = xy .
Ambil y dan y + k, keduanya di V . Dengan argumentasi seperti di
atas, terdapat secara tunggal x dan x + h sehingga F (x) = y dan
F (x + h) = y + k. Perhatikan bahwa
G(y + k) − G(y) =
=
=
=
x+h−x
ϕy+k (x + h) − ϕy (x).
h + A−1 (k − F (x + h) + F (x))
A−1 (k − F (x + h) + F (x) + Ah)
Dengan menggunakan argumentasi kekontinuan dari ϕ, kita simpulkan
bahwa jika h → 0 maka k → 0 secara linear. Jadi
|G(y + k) − G(y) − Bk|
=0
|k→0
|k|
lim
untuk suatu B yang adalah turunan dari G.
¤
3. TEOREMA-TEOREMA PENTING DALAM MEDAN VEKTOR
15
3.3. Teorema Fungsi Implisit. Pandang suatu fungsi f : R2 →
R yang terdiferensialkan secara kontinu secukupnya. Sebagai contoh,
pandang f (x, y) = x2 + y 2 − 1. Himpunan f −1 (0) = {(x, y)|f (x, y) =
0} mendefinisikan apa yang disebut lengkungan ketinggian-0 dari f .
Misalkan (a, b) ∈ f −1 (0) seperti pada gambar Gbr 1.1.
(a,b)
Figure 1.1. Ilustrasi Teorema Fungsi Implisit.
Jika −1 < a < 1, senantiasa ada δ > 0 dan ε > 0 sehingga
√ untuk
setiap x ∈ (a−δ, a+δ) terdapat y ∈ (b−ε, b+ε) sehingga y = 1 − x2 .
Hal ini mengatakan bahwa pada lingkungan (a, b) yaitu (a − δ, a + δ) ×
(b − ε, b + ε), terdapat secara tunggal fungsi y(x) sehingga f (x, y(x)) =
0. Hal ini tidak dapat kita lakukan jika a = 1 atau a = −1.
Masalah ini adalah masalah yang akan kita bahas dalam Teorema
Fungsi Implisit. Syarat apakah yang harus dipenuhi oleh f (x, y) di
titik (a, b) sehingga kita dapat mempunyai fungsi y(x) yang membuat
f (x, y(x)) = 0.
Untuk kesederhanaan notasi, misalkan x = (x1 , . . . , xn ) ∈ Rn , y =
(y1 , . . . , ym ) ∈ Rm , dan (x, y) = (x1 , . . . , xn , y1 , . . . , ym ) ∈ Rn+m .
Example 1.15 (Versi Linear Teorema Fungsi Implisit). Misalkan
A ∈ L(Rn+m , Rn ) sebarang. Definisikan matriks-matriks Ax ∈ Rn×n
dan Ay ∈ Rn×m sehingga
µ
¶
h
Ax h = A
, dengan h ∈ Rn , 0 ∈ Rm ,
0
dan
µ
Ay k = A
0
k
¶
, dengan 0 ∈ Rn , k ∈ Rm .
Perhatikan persamaan:
µ
¶
h
A
= Ax h + Ay k = 0.
k
16
1. TEORI PENDAHULUAN
Jika Ax memiliki invers (yaitu jika det(Ax ) 6= 0) maka
h = − (Ax )−1 Ay k.
Contoh di atas menjadi suatu pengantar untuk Teorema Fungsi
Implisit di bawah ini. Pandang E ⊆ Rn+m . Misalkan C 1 (E, Rn ) = {f :
E −→ Rn | yang terdiferensialkan secara kontinu }. Kita notasikan:
 ∂f1
∂f1
f1
∂f1 ¯¯
. . . ∂x
. . . ∂y
∂x1
∂y1
n
m
¯
 f2 . . . ∂f2 f2 . . . ∂f2 ¯

∂xn
∂y1
∂ym ¯
,
A = Df (a, b) =  ∂x. 1 .
¯
.
.
.. 
.
.
.
.
.
.
 .
. .
.
.
. ¯¯
∂fn
fn
∂fn
fn
¯
. . . ∂x
. . . ∂y
∂x1
∂y1
n
m
(a,b)
¯
 ∂f1
 ∂f1
∂f1 ¯¯
∂f1 ¯
.
.
.
.
.
.
∂y1
∂ym
∂x1
∂xn
¯
¯
 f2 . . . ∂f2 ¯
 f2 . . . ∂f2 ¯


∂ym ¯
∂xn ¯
Ax =  ∂x. 1 .
dan Ay =  ∂y. 1 .
¯
¯
.. 
. . ... 
..
 ..
 ..
¯
¯
.
¯
¯
fn
∂fn
fn
∂fn
¯
¯
.
.
.
.
.
.
∂x1
∂xn
∂y1
∂ym
(a,b)
(a,b)
Theorem 1.16 (Teorema Fungsi Implisit). Misalkan f ∈ C 1 (E, Rn ).
dan matriks Ax seperti di atas . Asumsikan,
(A1 ) terdapat (a, b) ∈ E sehingga f (a, b) = 0,
(A2 ) matriks Ax seperti yang didefinisikan di atas memiliki invers.
Maka, terdapat U ⊂ E yang memuat (a, b), V ⊂ Rm yang membuat b
dan suatu fungsi g ∈ C 1 (V, Rn ) sehingga: f (g(y), y) = 0 dan (g(y), y)
adalah satu-satunya solusi f (x, y) = 0 pada U .
Proof. Definsikan fungsi
F : E
−→ Rn+m
(x, y) 7−→ (f (x, y), y)
Jelas F ∈ C 1 (E, Rn+m ). Turunan dari fungsi F di (a, b) adalah:
µ
¶
A
DF (a, b) =
0 Im
di mana A = Df (a, b), 0 adalah matriks nol berukuran m × n dan Im
adalah matriks identitas berukuran m × m. DF (a, b) mendefinisikan
suatu transformasi (operator) linear di Rn+m . Transformasi tersebut
ialah:
DF (a, b) : Rn+m −→ Rn+m
(h, k) 7−→ (Ax h + Ay k, k)
Misalkan (h, k) anggota kernel dari transformasi linear di atas, yaitu
DF (a, b)(h, k) = 0 ∈ Rn+m . Maka k = 0 ∈ Rm . Jadi semua anggota
kernel dari DF (a, b) berbentuk (h, 0) dan karena Ax memiliki invers
maka h = 0 ∈ Rn . Kesimpulannya adalah kernel dari DF (a, b) adalah
{0 ∈ Rn+m }, dengan perkataan lain DF (a, b) adalah transformasi satu
satu.
3. TEOREMA-TEOREMA PENTING DALAM MEDAN VEKTOR
17
Karena f (a, b) = 0 maka F (a, b) = (0, b). Dari Teorema Fungsi
Invers, terdapat himpunan buka di Rn+m yaitu U dan V yang memenuhi:
(1) (a, b) ∈ U dan (0, b) ∈ V .
(2) F (U ) = V , dan
(3) F satu satu di U .
Definisikan W = {y ∈ Rm |(0, y) ∈ V }. Untuk setiap y ∈ W
terdapat (x, y) ∈ U sehingga F (x, y) = (0, y) dan karena F satu satu
maka (x, y) yang demikian tunggal. Karena F (x, y) = (0, y) jika dan
hanya jika f (x, y) = 0 maka kita dapat mendefinisikan suatu fungsi
x(y) sehingga f (x(y), y) = 0 dan pendefinisian tersebut tunggal. ¤
CHAPTER 2
Sistem Dinamik Diskrit: suatu pengantar
1. Pendahuluan
Pada perkuliahan Kalkulus kita sudah mengenal apa yang disebut
dengan barisan bilangan real. Bahkan sejak di sekolah menengah telah
diperkenalkan dengan barisan Aritmatika dan barisan Geometri.
Barisan bilangan real didefinisikan sebagai suatu fungsi atau pemetaan
dari himpunan bilangan asli (N) ke himpunan bilangan real (R). Misalkan barisan Aritmatika didefinisikan sebagai an = a + (n − 1)b, di
mana a adalah suku pertama dan b adalah jarak antara dua suku yang
berturutan.
Perhatikan bahwa kita dapat menghitung suku ke-n tanpa terlebih
dahulu menghitung n − 1 buah suku sebelumnya. Ini dikarenakan kita
dapat mendefinisikan barisan bilangan tersebut secara eksplisit sebagai
fungsi dari n. Barisan Aritmatika di atas juga dapat kita definsikan
melalui formula: an = an−1 + b. Formula ini dinamakan formula rekursif. Pada sebuah formula rekursif, untuk menghitung suku ke-n kita
perlu menghitung suku-suku sebelumnya.
Secara umum, permasalahan dalam aplikasi matematika yang solusinya berupa sebuah barisan hanya dapat dinyatakan secara rekursif.
Untuk itu kita akan memusatkan perhatian kita pada barisan-barisan
yang dinyatakan dengan formula rekursif.
Example 2.1. Misalkan f : R → R adalah sebuah fungsi nonlinear.
Kita ingin menentukan solusi dari persamaan f (x) = 0 secara numerik.
Pada setiap titik x = a, kita dapat menghampiri fungsi f dengan
hampiran linearnya, yaitu: l(x) = f (a)+f 0 (a)(x−a). Dengan membuat
l(x) = 0 dan menyelesaikannya untuk x, kita mendapatkan formula
x=a−
f (a)
,
f 0 (a)
dengan asumsi f 0 (a) 6= 0. Formula ini dapat kita gunakan untuk
mendefinisikan sebuah barisan bilangan real, yaitu:
xn = xn−1 −
19
f (xn−1 )
,
f 0 (xn−1 )
20
2. SISTEM DINAMIK DISKRIT: SUATU PENGANTAR
dengan syarat f 0 (xm ) 6= 0, m = 1, . . . , n − 1. Misalkan barisan ini
konvergen ke x∞ . Maka haruslah berlaku
x∞ = x∞ −
f (x∞ )
.
f 0 (x∞ )
Jadi, haruslah dipenuhi: f (x∞ ) = 0.
Example 2.2. Pandang persamaan diferensial orde satu di R, sebagai berikut: ẋ = f (x, t). Turunan pertama terhadap waktu ẋ kita
hampiri dengan menggunakan
x(t + ∆t) − x(t)
,
∆t
di mana ∆t ¿ 1 konstan dan t = n∆t, n ∈ Z. Jadi, kita dapat
mendefinisikan barisan bilangan real yaitu
ẋ ≈
xn+1 = xn + f (xn , n∆t)∆t.
Barisan ini dikenal dengan nama metode Euler untuk integrasi numerik.
2. Definisi Sistem Dinamik Diskrit
Sebuah sistem dinamik didefinisikan secara umum pada sebuah
manifold. Namun untuk sederhananya kita misalkan manifold tersebut adalah sebuah ruang linear (ruang vektor). Sebutlah ruang vektor tersebut adalah X (contohnya X = Rn ). Pandang suatu keluarga berparameter satu dari transformasi-transformasi pada X. Secara
matematis, ini dapat dituliskan sebagai:
Φ = {ϕt |∀t ∈ T , ϕt : X → X}.
Secara umum, himpunan T hanya perlu membentuk suatu semigrup
komutatif. Ingat, suatu himpunan G dikatakan membentuk grup terhadap operasi + jika memenuhi sifat:
(1) ∀t, s ∈ G berlaku t + s = s + t,
(2) ∀t, s, r ∈ G berlaku (t + s) + r = t + (s + r),
(3) ∃0 ∈ G sehingga ∀t ∈ G berlaku t + 0 = 0 + t = t.
(4) ∀t ∈ G senantiasa ∃ − t sehingga t + −t = 0.
Jika G hanya membentuk semigrup, maka sifat ke-4 tidak dipenuhi.
Definition 2.3. Sistem dinamik didefinisikan sebagai keluarga transformasi berparameter satu Φ, di mana
(1) T ⊆ Z.
(2) ∀t, s ∈ T berlaku ϕs ◦ ϕt = ϕt+s .
(3) ϕ0 transformasi identitas di X.
Jika T = R maka sistem dinamik Φ disebut sistem dinamik kontinu
(dalam hal ini T adalah grup komutatif). Jika T = Z maka sistem
dinamik Φ disebut sistem dinamik diskrit
2. DEFINISI SISTEM DINAMIK DISKRIT
21
Example 2.4 (Persamaan Diferensial Linear orde dua). Pandang persamaan diferensial linear order dua sebagai berikut:
(2.1)
ẍ + aẋ + bx = 0.
Dengan mengingat bahwa solusi persamaan diferensial linear orde satu:
ẋ = λx adalah x(t) = Keλt , kita juga akan menebak solusi dari persamaan (2.1) adalah eλt . Substitusikan tebakan kita ini ke dalam persamaan (2.1), didapat
¡
¢
eλt λ2 + aλ + b = 0.
Jika a2 − 4b > 0 maka ada λ1 6= λ2 sehingga
¡ 2
¢
¡
¢
λ1 + aλ1 + b = 0, dan λ2 2 + aλ2 + b = 0.
Dengan demikian jika a2 − 4b > 0, maka selesaian dari persamaan
diferensial (2.1) adalah,
(2.2)
x(t) = Aeλ1 t + Beλ2 t .
Jika a2 − 4b = 0, dapat ditunjukkan bahwa
(2.3)
x(t) = (At + B)e−a/2t ,
sedangkan jika a2 − 4b < 0, dapat ditunjukkan bahwa
³
³√
´
³√
´´
−at/2
2
2
(2.4)
x(t) = e
A cos
4b − a t + B sin
4b − a t .
Dengan memisalkan y = ẋ kita dapat memandang persamaan (2.1)
sebagai sistem persamaan diferensial orde satu di R2 :
(2.5)
ẋ = y
ẏ = −bx − ay.
Jadi, untuk a2 − 4b > 0, solusi dari sistem (2.5) adalah
µ
¶ µ λt
¶µ
¶
x(t)
e 1
eλ2 t
A
=
y(t)
B
λ1 eλ1 t λ2 eλ2 t
Misalkan untuk t = 0, x(0) = x◦ dan y(0) = y◦ . Maka didapat:
µ
µ
¶
¶
¶µ
x(t)
−λ2 eλ1 t + λ1 eλ2 t
eλ1 t − eλ2 t
x◦
1
= λ1 −λ2
y(t)
y◦
−λ1 λ2 eλ1 t + λ1 λ2 eλ2 t λ1 eλ1 t − λ2 eλ2 t
Jika kita mengacu pada Definisi 2.3 maka
(2.6) ½
¾
¶¯
µ
¯
−λ2 eλ1 t + λ1 eλ2 t
eλ1 t − eλ2 t
1
¯t ∈ R .
Φ = λ1 −λ2
−λ1 λ2 eλ1 t + λ1 λ2 eλ2 t λ1 eλ1 t − λ2 eλ2 t ¯
Sistem dinamik diskrit dapat didefinisikan melalui iterasi dari suatu
fungsi. Misalkan suatu sistem dinamik diskrit didefinisikan melalui
persamaan:
xn+1 = f (xn ),
22
2. SISTEM DINAMIK DISKRIT: SUATU PENGANTAR
di mana f adalah fungsi yang kontinu. Jika diberikan suatu nilai awal
x0 , kita dapat menghitung x1 . Setelah mendapat x1 tentunya kita dapat menghitung x2 dan seterusnya. Jadi kita memiliki barisan bilangan
real,
x0 ,
x1 = f (x0 ),
x2 = f (x1 ) = f 2 (x0 ),
x3 = f (x2 ) = f 3 (x0 ),
x4 = f (x3 ) = f 4 (x0 ),
x5 = f (x4 ) = f 5 (x0 ),
..
.
xn = f n (x0 ).
Penyajian seperti ini dinamakan iterasi dari suatu fungsi.
Theorem 2.5 (Eksistensi solusi dari sistem dinamik diskrit).
Misalkan f : R → R. Maka xn+1 = f (xn ) mempunyai solusi berupa
sebuah barisan bilangan real dengan syarat awal x0 ∈ Df (domain dari
f ) jika range dari f , Rf ⊆ Df .
Example 2.6. Pandang suatu sistem dinamik xn+1 = 2xn . Jika
kita memulai iterasi ini pada x0 = 13 , kita akan mendapatkan barisan
berupa
1
2
22
23
2n
x0 = , x 1 = , x 2 = , x 3 = , . . . , x n = , . . . .
3
3
3
3
3
Dengan mudah kita akan melihat bahwa jika n → ∞, maka xn → ∞.
Seberapapun kecilnya x0 , jika n → ∞, maka xn → ∞.
Example 2.7. Pandang suatu sistem dinamik xn+1 =
Sistem dinamik ini dapat dituliskan sebagai:
xn+1 =
=
=
..
.
=
1
x +1
2 ¡n
¢
¡
¢
1
1
1 1
x
+
1
+
1
=
x
+
1
+
n−1
n−1
2
2 ¡2
2 ¡
¢ ¡ 2 ¢
1 1
x
+ 1 + 1 + 12 = 213 xn−2 + 1
22 2 n−2
1
2n+1
¡
x0 + 1 + 12 +
1
22
+ ... +
1
2n
¢
+ 12 +
1
x
2 n
1
22
+ 1.
¢
.
¡
¢
1
Perhatikan bahwa jika n → ∞, maka 2n+1
→ 0 dan 1 + 12 + 212 + . . . + 21n →
1
= 2. Jadi xn → 2. Secara umum, sistem dinamik berbentuk:
1− 12
c
xn+1 = µxn + cm jika µ < 1 akan konvergen ke 1−µ
.
Example 2.8. Pandang sistem dinamik berbentuk:
xn+2 = αxn+1 + (1 − α)xn .
Definisikan yn = xn+1 , maka sistem di atas dapat ditulis sebagai
xn+1 = yn
yn+1 = (1 − α)xn + αyn .
3. REPRESENTASI GRAFIS DARI SUATU SISTEM DINAMIK
23
Dalam bentuk matriks, persamaan di atas dapat ditulis menjadi:
µ
¶ µ
¶µ
¶
xn+1
0
1
xn
=
.
yn+1
(1 − α) α
yn
Jika kita menuliskan z n = (xn , yn ), sistem dinamik di atas dapat kita
tuliskan dalam bentuk: z n+1 = An+1 z 0 , di mana
µ
¶
0
1
A=
.
(1 − α) α
Perhatikan bahwa
µ
¶µ
¶µ
¶−1
1
1
1
0
1
1
A=
.
1 (α − 1)
0 (α − 1)
1 (α − 1)
Dengan demikian, kita dapat menghitung
¶µ
¶−1
µ
¶µ
1
1
1
0
1
1
n
.
A =
1 (α − 1)
0 (α − 1)n
1 (α − 1)
Jadi, jika −1 < α − 1 < 1, maka
µ
¶
µ
¶
1
0
1 0
→
0 (α − 1)n
0 0
apabila n → ∞.
Akibatnya, jika z0 = (x0 , y0 ) maka
µ
¶
−x0 + x0 α − y0 −x0 + x0 α − y0
zn →
,
−2 + α
−2 + α
Jadi
−x0 + x0 α − y0
.
−2 + α
maka y0 = x1 . Akibatnya kita dapatkan:
xn →
Karena yn = xn+1
xn →
−x0 + x0 α − x1
x0 (−2 + α) − x1 + x0
x1 − x0
=
= x0 +
.
−2 + α
−2 + α
2−α
Exercise 2.1. Tentukan apa yang terjadi pada Contoh 2.3 jika α
adalah nol atau dua.
3. Representasi grafis dari suatu sistem dinamik
A picture speaks a thousand words
Ekspresi di atas adalah ekspresi yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana sebuah gambar dapat menjelaskan banyak hal lebih dari
kata-kata. Pada bagian ini akan diperagakan beberapa cara untuk
merepresentasikan sistem dinamis secara grafis. Untuk keperluan ini
kita akan memilih suatu contoh sistem dinamis diskrit yang sederhana,
yaitu yang berdimensi satu.
24
2. SISTEM DINAMIK DISKRIT: SUATU PENGANTAR
Example 2.9. Pandang suatu habitat yang dihuni oleh suatu populasi hewan tertentu. Misalkan banyaknya hewan (atau besar populasi
tersebut) dinyatakan oleh Nt , di mana t ∈ Z. Rata-rata kelahiran bayi
per individu diasumsikan konstan (terhadap t) sebesar a. Rata-rata
kematian per individu adalah b. Maka banyaknya individu pada saat
t + 1 adalah:
(2.7)
Nt+1 = (1 + a − b)Nt .
Untuk kesederhanaan notasi kita tuliskan µ = 1 + a − b. Dapat disimpulkan dengan mudah bahwa
Nt+1 = µNt = µ2 Nt−1 = . . . = µt+1 N0 ,
di mana N0 adalah banyaknya individu pada saat awal. Jika 0 < µ < 1
kita dapatkan µt+1 → 0 apabila t → ∞. Ini berarti populasi akan
punah setelah waktu tertentu. Di lain pihak, jika µ > 1 populasi akan
meledak.
3.1. Menggunakan deret waktu. Cara pertama yang sangat
mudah untuk dilakukan adalah menggambarkan Nt terhadap t pada
sistem koordinat kartesius. Grafik ini dinamakan deret waktu dari suatu solusi dari sistem dinamik diskrit. Lihat ilustrasi pada Gbr 2.1.
Nt
70
60
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
t
Figure 2.1. Grafik deret waktu dari sistem dinamik
(2.7). Titik-titik yang digambarkan dengan ◦ adalah
untuk µ = 1, 2 dan populasi awal 10. Titik-titik yang
digambarkan dengan ∗ adalah untuk µ = 0, 8 dan populasi awal 80. .
3. REPRESENTASI GRAFIS DARI SUATU SISTEM DINAMIK
25
Kelemahan penyajian dengan menggunakan deret waktu adalah untuk menyimpulkan perilaku limit (limiting behavior) dari sistem dinamik di tak hingga, kita perlu menggambarkan keseluruhan sistem
dinamik. Bahkan jika solusinya konvergen ke suatu tempat tertentu
kita perlu grafik yang panjang untuk menggambarkannya. Lihat Gbr
2.2.
Example 2.10. Jika 0 < µ < 1, untuk mencegah kepunahan pada
populasi pada Contoh 2.9, pada setiap waktu t kita dapat menambahkan sejumlah individu, misalkan sebanyak C individu. Maka model
tersebut menjadi:
(2.8)
Nt+1 = µNt + C.
Seperti sebelumnya, kita dapat menuliskan sistem dinamik tersebut
dalam bentuk
Nt+1 = µNt + C = µ (µNt−1 + C) + C = . . .
= µt+1 N0 + C(1 + µ + µ2 + . . . + µt ).
Akibatnya,
Nt →
Nt
C
, jika t → ∞.
1−µ
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
t
Figure 2.2. Grafik deret waktu dari sistem dinamik
(2.8) untuk µ = 0, 95, C = 10 dan populasi awal 60.
26
2. SISTEM DINAMIK DISKRIT: SUATU PENGANTAR
3.2. Representasi dua dimensi. Sistem dinamik berdimensi satu
dapat juga direpresentasikan pada ruang berdimensia dua. Pandang
sistem dinamik tersebut untuk suatu tebakan awal tertentu, misalkan
N0 pada contoh-contoh di atas, sebagai berikut:
N0 , N 1 , N 2 , N 3 , N 4 , N 5 , N 6 , . . . , N t , . . . .
Iterasi di atas disajikan sebagai barisan di R2 sebagai berikut:
(0, N0 ), (N0 , N1 ), (N1 , N2 ), (N2 , N3 ), (N3 , N4 ), . . . , (Nt , Nt+1 ), . . . .
Lihat ilustrasi pada Gbr 2.3. Pada gambar tersebut, garis Nt+1 =
Nt ditambahkan untuk memperjelas dinamika dari masing-masing solusi.Garis tersebut disajikan pada Gbr 2.3 dengan garis putus-putus.
Nt+1
90
70
Nt+1
80
60
70
50
60
40
50
40
30
30
20
20
10
10
0
0
10
20
30
40
Nt+1
50
60
70
Nt
0
0
10
20
30
40
50
60
70
Nt
120
100
80
60
40
20
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Nt
Figure 2.3. Representasi dua dimensi dari sistem dinamik.
Garis tegas menyatakan kurva Nt+1 = f (Nt ). Pada ketiga grafik pada
Gbr. 2.3, kekonvergenan dari sistem dinamik masing-masing dapat
disimpulkan tanpa perlu menyatakan keseluruhan iterasi.
Remark 2.11. Untuk sistem dinamik yang berdimensi dua, kita
akan membahasnya secara khusus pada bab selanjutnya. Untuk sistem
dinamik yang berdimensi lebih tinggi dari dua, sangatlah sulit untuk
memberikan representasi grafis dari sistem dinamik tersebut.
CHAPTER 3
Solusi Khusus dan Masalah Kestabilan
1. Pendahuluan
Dalam perkuliahan analisis real kita sudah mengenal barisan bilangan real. Pertanyaan yang sering ditanyakan adalah masalah kekonvergenan dari barisan tersebut. Pada prinsipnya, kita ingin mempelajari
perilaku limit dari suatu barisan. Dalam sistem dinamik diskrit, kita
juga ingin memplejari perilaku sistem di sekitar solusi-solusi khusus
dari sistem tersebut. Solusi khusus tersebut dapat berupa titik tetap,
solusi periodik dan lain sebagainya.
2. Titik tetap sistem dinamik
Pada Gbr 2.3, secara grafis dapat dilihat bahwa garis Nt+1 = Nt
berpotongan pada dengan garis Nt+1 = f (Nt ). Sebutlah titik potong
tersebut dicapai pada Nt = N ∗ . Maka haruslah berlaku: N ∗ = f (N ∗ ).
Akibatnya, jika Nt = N ∗ untuk suatu t, maka Nt+1 = N ∗ . Jadi, oleh
sistem dinamik: Nt+1 = f (Nt ), titik N ∗ dipetakan ke dirinya sendiri.
Definition 3.1. Pandang suatu sistem dinamik yang didefinisikan
pada suatu ruang linear X, yaitu xn+1 = f (xn ). Titik x = p ∈ X yang
memenuhi f (p) = p disebut titik tetap dari sistem dinamik xn+1 =
f (xn ).
Example 3.2. Pandang sistem dinamik: xn+1 = f (xn ) dengan
f (x) = 12 x + 2. Maka titik tetap dari sistem dinamik tersebut adalah
x◦ yang memenuhi: x◦ = 21 x◦ + 2. Ini dipenuhi oleh x = 4.
Perhatikan kembali Contoh 2.8, yaitu:
Nt+1 = µNt + C,
di mana 0 < µ < 1. Titik tetap dari sistem dinamik ini adalah solusi
C
. Perhatikan bahwa dari
dari persamaan Nt = µNt +C, yaitu: Nt = 1−µ
Contoh 2.8, berapapun N0 , barisan yang dibentuk oleh Nt+1 = µNt +C
C
. Pertanyaannya apakah ini berlaku secara
senantiasa konvergen ke 1−µ
umum? Sebelumnya kita akan membuktikan terlebih dahulu suatu
lemma yang sudah kita kenal di perkuliahan analisis real.
Lemma 3.3. Misalkan {an } adalah suatu barisan bilangan real yang
konvergen ke a. Misalkan pula f adalah suatu fungsi yang kontinu
di suatu interval buka yang memuat a. Maka f (an ) adalah barisan
bilangan real yang konvergen ke f (a).
27
28
3. SOLUSI KHUSUS DAN MASALAH KESTABILAN
Proof. Ambil ε > 0 sebarang. Karena f kontinu pada selang
buka yang memuat a (sebutlah I), maka terdapat δ > 0 sehingga, jika
|x − a| < δ maka |f (x) − f (a)| < ε. Karena an → a, maka terdapat
N ∈ N sehingga |an − a| < δ jika n > N . Jadi, jika n > N berlaku
|f (an ) − f (a)| < ε.
¤
Theorem 3.4. Pandang sistem dinamik: xn+1 = f (xn ). Misalkan,
untuk suatu x0 , barisan yang didefiniskan melalui sistem dinamik di
atas konvergen ke p ∈ R, jika n → ∞. Maka p adalah titik tetap bagi
sistem dinamik tersebut.
Proof. Misalkan barisan bilangan yang didefinisikan oleh sistem
dinamik di atas, dengan syarat awal x0 , dituliskan sebagai {xn }. Asumsikan xn → p jika n → ∞. Definisikan suatu barisan baru yaitu {yn }
di mana yn = xn+1 . Barisan {yn } tidak lain adalah barisan {xn }; akibatnya yn → p jika n → ∞. Dari Lemma 3.3 kita simpulkan bahwa
f (xn ) → p, jika n → ∞. Tetapi, f (xn ) = xn+1 = yn . Jadi yn → p jika
n → ∞. Dari ketunggalan limit haruslah berlaku: f (p) = p. Jadi p
adalah titik tetap dari sistem dinamik xn+1 = f (xn ).
¤
Exercise 3.1. Apakah konvers dari Teorema 3.4 juga berlaku?
Theorem 3.5. Misalkan f adalah fungsi yang kontinu pada suatu
selang tutup. Asumsikan {f n (x)} terbatas dan monoton untuk suatu x
pada selang tersebut. Maka sistem dinamik xn+1 = f (xn ) mempunyai
titik tetap pada interval tersebut.
Proof. Definisikan xn = f n (x) suatu barisan pada interval tutup
I. Maka xn+1 = f (xn ). Karena {xn } terbatas dan monoton, maka
xn → p, jika n → ∞ untuk suatu p pada I. Menurut Teorema 3.4 p
adalah titik tetap dari xn+1 = f (xn ).
¤
Exercise 3.2. Jika f adalah fungsi yang kontinu pada suatu selang
buka, apakah Teorema 3.5 berlaku?
Exercise 3.3. Tunjukkan bahwa, jika f adalah fungsi yang kontinu
dan terbatas, maka sistem dinamik xn+1 = f (xn ) mempunyai titik
tetap.
3. Solusi Periodik
Selain titik tetap, solusi lain dari suatu sistem dinamik, yang menarik
untuk dipelajari adalah solusi periodik. Dalam kaitannya dengan barisan
bilangan real, titik periodik berkorespondensi dengan suatu barisan
yang divergen. Namun ”kedivergenannya” tidak terlampau parah. Kita
masih tetap dapat menemukan pola keteraturan dalam solusi periodik.
Definition 3.6. Pandang suatu sistem dinamik diskrit xn+1 =
f (xn ). Misalkan terdapat suatu titik x0 sehingga
(1) f m (x0 ) = x0 ,
3. SOLUSI PERIODIK
29
(2) f k (x0 ) 6= x0 jika k = 1, 2, . . . , m − 1.
Titik x0 disebut titik m-periodik.
Dari definisi di atas sangatlah mudah untuk melihat bahwa titik
m-periodik berkorespondensi dengan titik tetap dari sistem dinamik:
xn+1 = g(xn ) di mana g(x) = f m (x). Kondisi (2) pada Definisi
3.6, menjamin bahwa m adalah bilangan bulat positif terkecil yang
memenuhi kondisi (1). Inilah yang membuat tidak semua titik tetap
dari xn+1 = g(xn ) adalah titik m-periodik dari xn+1 = f (xn ).
Example 3.7. Pandang sistem dinamik diskrit: xn+1 = f (xn ) dengan f (x) = µx(1 − x2 ). Pandang
G(x, µ) = f 2 (x) − x
= (−µ3 x3 + 2µ3 x2 − (µ3 + µ2 )x + (µ2 − 1)) x.
Perhatikan bahwa titik yang memenuhi: f (x(µ)) = x(µ) juga akan
memenuhi: G(x, µ) = 0. Itu sebabnya kita tahu bahwa G(x, µ) habis
dibagi x dan (1 − µ + µx). Maka
G(x, µ) = −x(1 − µ + µx)(µ2 x2 − µ2 x + µ − µx + 1).
Jadi didapat akar-akar dari G(x, µ) = 0 adalah:
p
p
µ + 1 + µ2 − 2µ − 3
µ − 1 µ + 1 + µ2 − 2µ − 3
0,
,
, dan
.
µ
2µ
2µ
Dua akar yang terakhir hanya ada jika µ > 3 dan merupakan titik
2-periodik.
Kedua akar yang pertama juga merupakan solusi dari
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
0.2
0.4
x
0.6
0.8
1
0
0.2
0.4
x
0.6
0.8
1
Figure 3.1. Kurva yang digambar dengan garis putusputus pada kedua grafik adalah y = x. Kurva yang
digambar dengan titik-titik adalah y = f (x), dengan
garis tegas adalah y = f 2 (x) dan dengan garis dan titik
adalah y = f 4 (x). Titik potong dengan kurva y = x
menyatakan titik tetap dari masing-masing fungsi. Ilustrasi ini untuk µ = 3, 5.
f (x) = x. Jadi kedua titik tersebut bukanlah titik 2-periodik. Sebagai ilustrasi, lihat Gambar Gbr 3.1. Solusi 2-periodik dan 4-periodik
digambarkan pada Gambar Gbr 3.2.
30
3. SOLUSI KHUSUS DAN MASALAH KESTABILAN
1
1
x
x
n+1
n+1
0.5
0
0.5
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
xn
0
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
xn
Figure 3.2. Pada Gambar ini digambarkan solusi periodik untuk µ = 3, 25 (kiri) dan µ = 3.5 (kanan). Nilai µ
tersebut dipilih berbeda untuk kepentingan ilustrasi (sebab pada saat µ = 3, 5 solusi 2-periodik tidak lagi stabil).
4. Titik Iterasi Berhingga
Titik tetap pada sistem dinamik diskrit mempunyai padanan dengan titik kesetimbangan (equilibrium) pada sistem dinamik kontinu.
Demikian pula titik n-periodik mempunyai padanan yaitu solusi T periodik. Titik iterasi berhingga adalah titik yang khusus dalam artian
tidak mempunyai padanan dengan solusi persamaan diferensial.
Definition 3.8. Misalkan f adalah suatu fungsi real yang kontinu.
x0 disebut titik iterasi berhingga jika ada m ∈ N sehingga f m+1 (x0 ) =
f m (x0 ). Jelas dalam hal ini, p = f m (x0 ) adalah titik tetap dari sistem
dinamik xn+1 = f (xn ).
b
a
Figure 3.3. Ilustrasi dua buah titik iterasi berhingga.
5. MASALAH KESTABILAN TITIK TETAP
31
Himpunan titik-titik iterasi berhingga membentuk subsistem dinamik diskrit. Misalkan S = {x ∈ R|∃m ∈ N 3 f m+1 (x) = f m (x)}.
Maka f (S) ⊆ S. Titik iterasi hingga mempunyai arti dinamik sebagai
titik-titik yang setelah beberapa iterasi akan sampai ke titik tetap dari
sistem dinamik tersebut. Dengan memandang titik k-periodik sebagai
titik tetap dari sistem xn+1 = g(xn ) dengan g(x) = f k (x), kita dapat
menentukan titik iterasi hingga untuk sistem dinamik xn+1 = g(xn ).
Titik-titik ini akan menjadi titik-titik yang setelah berhingga iterasi
akan tiba pada titik k-periodik dari sistem dinamik xn+1 = f (xn ). Lihat ilustrasi pada Gbr 3.3.
5. Masalah kestabilan titik tetap
Misalkan diberikan suatu sistem dinamik tertentu. Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bagaimana menentukan titik tetap dari sistem dinamik tersebut. Kita sekarang ini mempelajari dinamika dari sistem tersebut, tidak hanya pada satu titik (yaitu titik tetapnya) tetapi
pada suatu lingkungan di sekitar titik tetap tersebut. Pada kasus-kasus
tertentu, biasanya jika dimensinya rendah, kita dapat menyimpulkan
dinamika sistem tersebut untuk lingkungan di sekitar titik tetap yang
cukup besar, bahkan keseluruhan ruang keadaan. Dalam hal tersebut,
analisis tersebut disebut analisis global.
Definition 3.9 (Kestabilan asimtotik). Titik tetap p dari suatu
sistem dinamik diskrit xn+1 = f (xn ), dikatakan titik tetap stabil secara
asimtotik jika terdapat suatu selang buka I yang memuat p sehingga
untuk setiap x0 ∈ I, barisan yang dibentuk melalui sistem dinamik
tersebut konvergen ke p.
Definition 3.10 (Kestabilan netral). Titik p dikatakan stabil netral jika terdapat suatu selang buka I yang memuat p sehingga untuk
setiap x0 ∈ I, sehingga xn ∈ I, ∀n.
Seperti biasanya, definisi matematis sering tidak praktis untuk kepentingan komputasi. Oleh karena itu kita memiliki teorema berikut.
Theorem 3.11. Misalkan f terdiferensialkan pada p dan f (p) = p.
(1) Jika |f 0 (p)| < 1 maka p adalah titik tetap stabil asimtotik.
(2) Jika |f 0 (p)| > 1 maka p adalah titik tetap tak stabil.
(3) Jika |f 0 (p)| = 1, titik p dapat berupa titik tetap stabil maupun
tak stabil.
Proof. Kita hanya akan membuktikan bagian (a) dari teorema di
atas. Jika |f 0 (p)| < 1 maka
−1 < lim
x→p
f (x) − f (p)
< 1.
x−p
32
3. SOLUSI KHUSUS DAN MASALAH KESTABILAN
Akibatnya, terdapat 0 < A < 1 dan interval (p − δ, p + δ) (δ > 0)
sehingga
f (x) − f (p)
−A ≤
≤ A, ∀x ∈ (p − δ, p + δ).
x−p
Jadi,
(3.1)
|f (x) − f (p)| ≤ A|x − p|.
Karena f (p) = p, maka |f (x) − p| ≤ A|x − p|.
Misalkan |xn − p| ≤ An |x0 − p|. Maka
|xn+1 − p| = |f (xn ) − p| ≤ A|xn − p|
dengan menggunakan (3.1). Jadi didapat: |xn+1 − p| ≤ An+1 |x0 − p|.
Ambil ε > 0 sebarang. Pilih N sehingga
ε
AN +1 <
.
|x0 − p|
Maka jika n > N , |xn+1 − p| < ε.
¤
Yang menarik adalah apa yang terjadi jika |f 0 (p)| = 1. Ini akan kita
bahas secara lebih mendetil. Jika titik tetap p memenuhi |f 0 (p)| 6= 1
maka titik tetap tersebut disebut titik tetap hiperbolik. Berikut adalah
contoh-contoh sistem dinamik yang memiliki titik tetap di 0 yang tidak
hiperbolik.
Example 3.12. Pandang sistem dinamik yang didefinisikan oleh:
xn+1 = f (xn ),
di mana f (x) = x + x2 . Sistem dinamik ini mempunyai titik tetap di
x = 0. Dapat dihitung dengan mudah turunan dari f yaitu f 0 (x) =
1 + 2x. Karena f 0 (0) = 1 maka x = 0 adalah titik tetap yang tidak
hiperbolik. Dinamika dari sistem tersebut di sekitar 0 dapat dilihat
pada Gambar Gbr 3.4.
Dalam contoh ini titik tetap 0 adalah titik tetap tak stabil. Ketakstabilannya hanya terjadi di satu arah.
Example 3.13. Pandang sistem dinamik yang didefinisikan oleh
fungsi f (x) = x−x3 . Salah satu titik tetap dari sistem dinamik tersebut
adalah 0 dengan f 0 (0) = 1. Untuk contoh ini titik 0 adalah titik tetap
yang stabil. Lihat Gambar Gbr 3.5.
Example 3.14. Pandang sistem dinamik yang didefinisikan oleh
fungsi f (x) = −x + x3 . Salah satu titik tetap dari sistem dinamik
tersebut adalah 0 dengan f 0 (0) = −1. Untuk contoh ini 0 adalah titik
tetap yang stabil. Lihat Gambar Gbr 3.5.
Example 3.15. Pandang sistem dinamik yang didefinisikan oleh
fungsi f (x) = −x + x3 . Salah satu titik tetap dari sistem dinamik
tersebut adalah 0 dengan f 0 (0) = −1. Untuk contoh ini 0 adalah titik
tetap yang tak stabil. Lihat Gambar Gbr 3.5.
5. MASALAH KESTABILAN TITIK TETAP
33
2
1.5
1
0.5
0
−0.5
−1
−1
−0.5
0
0.5
1
1.5
2
Figure 3.4. Representasi grafis dari sistem dinamika
xn+1 = f (xn ), dengan f (x) = x + x2 .
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
−0.1
−0.2
−0.3
−0.4
−0.5
−0.5
−0.4
−0.3
−0.2
−0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Figure 3.5. Representasi grafis dari sistem dinamika
xn+1 = f (xn ), dengan f (x) = x − x3 .
Dari keempat contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kestabilan
dari titik tetap yang tak hiperbolik sangat bergantung dari suku-suku
berikutnya. Kondisi ini disebut sensitif terhadap perturbasi. Kita akan
kembali lagi pada topik ini ketika membahas masalah bifurkasi.
Remark 3.16. Teorema Kestabilan 3.11 juga dapat diterapkan untuk menentukan kestabilan dari titik m-periodik dengan memandang
titik tersebut sebagai titik tetap dari f m (x). Perhatikan kembali Gambar Gbr 3.1 dan Gbr 3.2. Dari gambar di kiri pada Gbr 3.1, titik
2-periodik tetap ada ketika titik 4-periodik ditemukan. Tetapi pada
Gbr 3.2 solusi 2-periodik tidak muncul. Ini disebabkan karena titik
2-periodik menjadi tidak stabil ketika titik 4-periodik tercipta. Secara
numerik, sesuatu yang tidak stabil tidak dapat ditemukan dengan cara
34
3. SOLUSI KHUSUS DAN MASALAH KESTABILAN
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
−0.1
−0.2
−0.3
−0.4
−0.5
−0.5
−0.4
−0.3
−0.2
−0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Figure 3.6. Representasi grafis dari sistem dinamika
xn+1 = f (xn ), dengan f (x) = −x − x3 .
0.8
0.6
0.4
0.2
0
−0.2
−0.4
−0.6
−0.8
−0.5
−0.4
−0.3
−0.2
−0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Figure 3.7. Representasi grafis dari sistem dinamika
xn+1 = f (xn ), dengan f (x) = x + x3 . .
yang sederhana. Untuk mengertik perubahan kestabilan ini kita perlu
apa yang disebut Teori Bifurkasi.
Exercise 3.4. Tuliskan Teorema Kestabilan untuk titik 2-periodik
dan buktikan.
CHAPTER 4
Bifurkasi Titik Tetap Berkodimensi Satu
1. Pendahuluan
Misalkan kita berhadapan dengan persoalan dalam dunia nyata.
Langkah pertama untuk mempelajari permasalahan tersebut adalah
dengan memodelkan persamaan tersebut ke dalam sebuah model matematis. Untuk menentukan parameter-parameter dalam model, seringkali
perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran tentunya tidak pernah memberikan hasil yang eksak. Kesalahan ini tentunya tidak kita harapkan
mempengaruhi hasil analisis dari model kita. Selain kesalahan ini, pada
prinsipnya ketika kita memodelkan ada penyederhanaan. Itu sebabnya
juga ada kesalahan yang bersumber pada asumsi yang digunakan pada
model tersebut.
Itu sebabnya, fenomena yang semenarik apapun tidaklah banyak
gunanya untuk dipelajari jika hanya terjadi pada suatu kombinasi nilai parameter-parameter tertentu. Kita ingin mempelajari fenomena
menarik yang ”cukup umum”. Tentunya frase ”cukup umum” harus
kita definisikan secara lebih tepat.
Pada bab sebelumnya, kita sudah melihat bahwa suatu sistem dinamik
diskrit dapat mempunyai titik tetap. Kestabilan titik tetap tersebut
dapat kita simpulkan melalui turunan dari fungsi f yang mendefinisikan sistem tersebut. Jika besar turunan dari f pada titik tetap
tersebut kurang dari satu, maka titik tetap itu stabil dan sebaliknya
jika lebih besar dari satu, tidak stabil. Apa yang terjadi jika besar turunannya satu tidak dapat disimpulkan melalui analisis linear seperti
itu. Dua permasalahan di atas menjadi motivasi mengapa kita perlu
mempelajari teori bifurkasi. Teori bifurkasi adalah suatu pendekatan
modern untuk mengerti dinamika suatu sistem terutama dalam hal
sistem memuat suatu kondisi yang degenerate.
2. Contoh bifurkasi sederhana
2.1. Bifurkasi pada akar persamaan kuadrat. Pandang suatu
persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0. Persamaan ini dapat dengan
mudah disederhanakan menjadi:
(4.1)
c
b
x2 + x + = 0.
a
a
35
36
4. BIFURKASI TITIK TETAP BERKODIMENSI SATU
Persamaan kuadrat yang terakhir dapat dipandang sebagai:
µ
¶2
µ ¶2
b
c
b
x+
+ −
= 0.
2a
a
2a
Dengan mendefinisikan transformasi:
ϕ : R −→ R
x 7−→ y = x +
b
,
2a
persamaan kuadrat yang mula-mula, ”identik” dengan persamaan kuadrat
y 2 − α = 0,
(4.2)
jika a > 0. Akar-akar persamaan kuadrat semula, dapat direkonstruksi
dari akar persamaan kuadrat y 2 + α = 0.
Secara kualitatif, kedua persamaan kuadrat tidak berbeda. Banyaknya
akar dari persamaan kuadrat (4.1) tergantung dari tanda b2 −4ac. Jika
b2 − 4ac > 0, persamaan kuadrat (4.1) mempunyai dua akar real. Ini
identik dengan persamaan kuadrat (4.2) memiliki dua akar jika α > 0.
2.2. Bifurkasi pada akar persamaan pangkat tiga. Sekarang
pandang persamaan pangkat tiga: ax3 + bx2 + cx + d = 0, a 6= 0.
Persamaan tersebut dapat diubah ke bentuk
b
c
d
x3 + x2 + x + = 0.
a
a
a
b
Dengan melakukan translasi, x = y − 3a didapat:
µ
¶
c
b2
2b3 + 27a2 d − 3abc
3
y +
− 2 y+
.
a 3a
27a3
Jadi semua persamaan pangkat tiga dapat diubah ke bentuk
y 3 + py + q = 0.
8
6
q
4
2
–2
–1
1
–2
2
3
p
–4
–6
–8
Figure 4.1.
4
5
2. CONTOH BIFURKASI SEDERHANA
37
Secara umum persamaan pangkat tiga dapat memiliki satu, dua
atau tiga akar. Jika persamaan tersebut memiliki dua akar, maka persamaan pangkat tiga tersebut memiliki satu pasang akar kembar, misalkan y◦ . Akar kembar ini haruslah dicapai pada titik stasioner dari
fungsi:
f (y) = y 3 − py + q.
Jadi y◦ memenuhi:
3y◦ 2 − p = 0 dan y◦ 3 − py◦ + q = 0.
Persamaan
p pertama mempunyai solusi jika p ≥ 0 dan solusinya adalah
y◦ = ± p/3. Jika kita substitusikan solusi tersebut ke persamaan
kedua, kita dapatkan persamaan:
³ p ´3 ³ q ´2
+
= 0.
3
2
Persamaan ini mendefinisikan sebuah kurva di bidang (p, q). Lihat
Gambar Gbf 4.1. Kurva ini menyatakan kombinasi nilai parameter
(p, q) yang menyebabkan persamaan pangkat tiga di atas memiliki dua
akar.
Example 4.1. Misalkan persamaan pangkat tiga: x3 +x2 −ax+b =
0. Seperti pada gambar Gbr 4.1, kurva pada ruang parameter sehingga
padanya persamaan pangkat tiga x3 + x2 − ax + b = 0 memiliki dua
akar digambarkan pada gambar Gbr. 4.2.
0.2
0.1
a
–0.4
–0.2
0.2
0.4
0
–0.1
–0.2
b
–0.3
–0.4
–0.5
Figure 4.2.
Perhatikan gambar Gbr 4.2. Misalkan kita bergerak sepanjang garis
a = 0, 2. Grafik fungsi pangkat tiga f (x) = x3 + x2 − ax + b, jika
a = 0, 2 dan empat buah nilai b digambarkan pada Gbr (4.3). Dari
atas ke bawah, grafik-grafik tersebut adalah untuk b = 1, b = 0, 0 . . .,
b = −0.3 . . . dan b = −2. Banyaknya titik potong kurva dengan sumbu
38
4. BIFURKASI TITIK TETAP BERKODIMENSI SATU
2
1
–1.5
–0.5
–1
0
0.5
1
x
–1
–2
Figure 4.3.
x menyatakan banyaknya akar persamaan pangkat tiga di atas. Perubahan banyaknya akar pada persamaan pangkat tiga tersebut merupakan contoh bifurkasi yang sederhana.
3. Bifurkasi fold
Pandang suatu sistem dinamik diskrit berdimensi satu
(4.3)
x = f (x, α),
di mana f : R × R → R terdiferensialkan secara kontinu secukupnya.
α disebut parameter, suatu konstanta yang besarnya tidak diketahui.
Sistem dinamik (4.3) dituliskan dalam bentuk seperti di atas untuk
membedakan sistem dinamik umum dengan suatu solusi khusus xn+1 =
f (xn , α).
Theorem 4.2. Misalkan diberikan suatu sistem dinamik diskrit
x = f (x, α),
seperti pada (4.3). Kita asumsikan berikut ini berlaku
(A1 ) f (0, 0) = 0.
∂f
(0, 0) = 1.
∂x
∂2f
(A3 )
(0, 0) 6= 0.
∂x2
∂f
(A4 )
(0, 0) 6= 0.
∂α
(A2 )
3. BIFURKASI FOLD
39
Maka terdapat suatu transformasi
φ:
U
−→ R × R
(x, α) 7−→ (y, β)
U ⊂ R × R yang memuat (0, 0) sehingga φ memiliki invers dan terdiferensialkan secara kontinu, dan sistem dinamik (4.3) akan ditransformasikan menjadi:
y = β + y ± y 2 + O(y 3 ).
Remark 4.3. Kita menggunakan notasi asimtotik O(y 3 ) untuk
menyatakan suku sisa yaitu: a3 y 3 + a4 y 4 + . . .. Pandang suatu fungsi
m(x) = a3 y 3 + a4 y 4 + . . .. Maka terdapat suatu fungsi r(x) sehingga
m(x) = x3 r(x).
Proof. Bukti dimulai dengan menuliskan uraian Taylor terhadap
x dari f (x, α) di sekitar x = 0, yaitu:
f (x, α) = f0 (α) + f1 (α)x + f2 (α)x2 + O(x3 ).
Karena (A1 ) dan (A2 ) dipenuhi f0 (0) = 0 dan f1 (0) = 1. Misalkan
f1 (α) = 1 + g(α). Maka g adalah fungsi kontinu dan g(0) = 0. Jadi,
f (x, α) = f0 (α) + (1 + g(α)) x + f2 (α)x2 + O(x3 ).
Definisikan suatu transformasi koordinat ξ = x + δ dengan δ akan
ditentukan kemudian. Sistem dinamik (4.3) ditransformasikan menjadi
ξ = f (ξ − δ, α) + δ.
Dengan mensubstitusikan uraian Taylor untuk f , kita dapatkan
(4.4)
ξ = a0 (α, δ) + ξ + a1 (α, δ)ξ + a2 (α, δ)ξ 2 + O(y 3 ),
di mana
a0 (α, δ) = f0 (α) + g(α)δ + f2 (α)δ 2 + O(δ 3 )
a1 (α, δ) = g(α) − 2f2 (α)δ + O(δ 2 )
a2 (α, δ) = f2 (α) + O(δ).
Misalkan a1 (α, δ) = g(α) − 2f2 (α)δ + δ 2 ϕ(α, δ) dan
¯
∂a1 ¯¯
= −2f2 (0) 6= 0,
∂δ ¯(0,0)
karena
∂ 2f
(0, 0) = f2 (0) 6= 0.
∂x2
40
4. BIFURKASI TITIK TETAP BERKODIMENSI SATU
Dari Teorema Fungsi Implisit, terdapat suatu fungsi δ = δ(α) sehingga
δ(0) = 0 dan a1 (α, δ(α)) = 0. Secara eksplisit
δ(α) =
g 0 (0)
α + O(α2 ).
2f2 (0)
Dengan memilih δ seperti ini, kita dapatkan a1 (α, δ) = 0 sehingga
sistem (4.4) menjadi:
ξ = a0 (α, δ) + ξ + a2 (α, δ)ξ 2 + O(ξ 3 )
Perhatikan bahwa
a0 (α, δ) = f0 (α) + g(α)δ + f2 (α)δ 2 + O(δ 3 )
2
= f0 (0) + f0 0 (0)α + O(α
³ )
g 0 (0)
α
2f2 (0)
+ (g 0 (0)α + O(α2 ))
= f0 0 (0)α + α2 ψ(α).
´
+ O(α2 ) + O(α2 )
Tuliskan β̃(α) = f0 0 (0)α + α2 ψ(α). Jelas β̃(0) = 0 sedangkan
dβ̃
∂f
(0) = f0 0 (0) =
(0) 6= 0
dα
∂α
karena asumsi (A4 ). Dengan menggunakan Teorema Fungsi Invers, di
sekitar α = 0 terdapat fungsi α(β̃) yang merupakan invers (lokal) dari
α(β̃) dan memenuhi β̃(0) = 0. Akibatnya, sistem dinamik diskrit
ξ = a0 (α, δ) + ξ + a2 (α, δ)ξ 2 + O(ξ 3 ),
dapat ditulis menjadi
ξ = β̃ + ξ + ae2 (β̃)ξ 2 + O(ξ 3 ),
di mana ae2 (β̃) = f2 (α(β̃)) + O(α(β̃)). Lebih jauh lagi, berlaku jika
β̃ = 0 maka α = 0 dan akibatnya ae2 (0) = f2 (0) 6= 0.
Akhirnya, tuliskan y = |ae2 (β̃)|ξ. Maka
y = |ae2 (β̃)|ξ³
´
= |ae2 (β̃)| β̃ + ξ + ae2 (β̃)ξ + O(ξ )
³
´
= |ae2 (β̃)|β̃ + |ae2 (β̃)|ξ + ae2 (β̃)|ae2 (β̃)|ξ 2 + O(ξ 3 ) .
2
3
Perhatikan bahwa ae2 (β̃)|ae2 (β̃)| = sign(ae2 (β̃))|ae2 (β̃)|2 . Jadi
y = β + y ± y 2 + O(y 3 ),
dengan β = |ae2 (β̃)|β̃.
¤
Remark 4.4. Asumsi (A1 ) mengatakan bahwa jika α = 0 maka
x = 0 adalah titik tetap. Titik tetap tersebut adalah titik tetap yang
nonhiperbolik karena asumsi (A2 ). Suatu titik tetap p dikatakan hiperbolik jika nilai mutlak dari turunan fungsi yang mendefinisikan sistem
3. BIFURKASI FOLD
41
dinamik tersebut di p tidak sama dengan satu. Dalam hal x = 0 hiperbolik maka Teorema 3.11 berlaku.
Remark 4.5. Teorema 3.11 mengatakan, dinamika suatu sistem
dinamik diskrit disekitar titik tetap yang hiperbolik identik dengan
dinamika linearisasi sistem di sekitar titik tetap. Teorema 4.2 bekerja
dengan sistem yang bagian linearnya degenerate. Menurut Teorema
4.2, sistem tersebut dapat dihampiri oleh oleh suatu sistem kuadratik.
Jadi untuk mempelajari dinamika di sekitar titik tetap yang degenerate
tersebut, kita perlu menambahkan suku kuadratik. Ini hanya berlaku
jika suatu kondisi non-degeneracy dipenuhi yaitu: asumsi (A3 ).
∂f
Remark 4.6. Asumsi terakhir adalah ∂α
(0, 0) 6= 0. Ini adalah
asumsi geometrik yang dikenal dengan kondisi ketransversalan. Dua
buah submanifold U dan V dari manifold E berdimensi n (biasanya
disebut ambient manifold dikatakan saling transversal jika untuk setiap x ∈ U ∩ V berlaku Tx U + Tx V ≡ Rn . Kondisi ketransversalan
ini diperlukan untuk menjamin bahwa semua fenomena yang mungkin
terjadi telah tercakup.
Teorema (4.2) menjamin bahwa setiap sistem dinamik diskrit yang
didefinisikan oleh fungsi f yang memenuhi asumsi pada teorema tersebut, memiliki dinamika yang secara lokal identik dengan sistem
y = β + y ± y2.
Ini membuat hidup kita menjadi lebih mudah. Kita tidak perlu mempelajari satu persatu sistem dinamik yang memenuhi asumsi, tetapi
cukup mempeljari apa yang terjadi pada
y = β + y ± y2.
3.1. Dinamika sistem: y = β + y + y 2 . Titik tetap dari sistem
dinamik di atas di dapat dengan menyelesaikan persamaan y 2 + β = 0.
Persamaan
tersebut hanya memiliki akar real jika β ≤ 0 yaitu y =
√
± −β.
√
0
0
Pandang
g(y) = β + y + y 2 maka
√ g (y) = 1 + 2y. g ( −β) =
√
titik tetap tak stabil.
1 + 2 −β > 1. Jadi,
√ titik0 tetap
√ y = −β adalah
√
Untuk y = − −β,√g (− −β) = 1 − 2 −β. Titik tetap tersebut
akan stabil jika |1 − 2 −β| < 1 atau
−1 < β < 0.
Titik tetap tersebut memiliki dua titik bifurkasi (nilai di mana terjadi
perubahan kestabilan ketika parameter β melewati nilai tersebut) yaitu
β = 0 dan β = −1. Ketika β melewati
nol (dari arah negatif), √
yang
√
terjadi adalah titik tetap stabil − −β dan titik tetap tak stabil −β
bergerak saling mendekati dan akhirnya bersatu menjadi titik tetap
yang tak hiperbolik ketika β = 0. Setelah itu, ketika β menjadi positif,
titik tetap tersebut hilang dan sistem tidak lagi memiliki titik tetap.
42
4. BIFURKASI TITIK TETAP BERKODIMENSI SATU
3.2. Dinamika sistem: y = β +y −y 2 . Analisis yang sama dapat
diterapkan untuk sistem y = β + y − y 2 . Yang terjadi kini adalah kebalikan dari apa yang terjadi pada sistem sebelumnya. Sekarang, titik
kritis hanya ada jika β ≥ 0. Ketika β melalui 0 (dari arah negatif) sebuah titik tetap yang nonhiperbolik tercipta. Ketika β menjadi positif,
titik tetap tersebut pecah menjadi dua buah titik kritis, salah satunya
stabil dan yang lainnya tidak stabil.
4. Bifurkasi flip
Perhatikan bahwa titik tetap stabil pada kedua sistem dinamik y =
β + y ± y 2 memiliki sifat yang sama, yaitu titik tetap tersebut memiliki
dua titik bifurkasi. Bifurkasi pertama ialah Bifurkasi Fold, yaitu ketika
titik tetap stabil bersatu dengan titik tetap tak stabil kemudian hilang
(atau ketika satu titik tetap nonhiperbolik pecah menjadi satu titik
tetap stabil dan satu titik tetap tak stabil). Bifurkasi ini terjadi ketika
g 0 (p) (dengan p adalah titik tetapnya) melewati nilai 1. Bifurkasi yang
kedua terjadi ketika g 0 (p) melewati −1. Apa yang terjadi dalah hal ini?
Theorem 4.7. Misalkan diberikan suatu sistem dinamik diskrit
x = f (x, α),
seperti pada (4.3). Kita asumsikan berikut ini berlaku
(A1 ) f (0, 0) = 0.
∂f
(0, 0) = −1.
∂x
µ
¶2
1 ∂2f
1 ∂ 3f
+
(A3 )
(0,
0)
(0, 0) 6= 0.
2 ∂x2
3 ∂x3
∂2f
(A4 )
(0, 0) 6= 0.
∂x∂α
(A2 )
Maka terdapat suatu transformasi
φ:
U
−→ R × R
(x, α) 7−→ (y, β)
U ⊂ R × R yang memuat (0, 0) sehingga φ memiliki invers dan terdiferensialkan secara kontinu, dan sistem dinamik (4.3) akan ditransformasikan menjadi:
y = −(1 + β)y ± y 3 + O(y 4 ).
Proof. Dengan menggunakan Teorema Fungsi Implisit dapat ditunjukkan bahwa sistem dinamik di atas memiliki titik tetap berbentuk
x◦ (α) di suatu lingkungan di sekitar α = 0. Dengan translasi koordinat, titik tetap tersebut dapat diletakan pada titik pusat: x◦ (α) = 0.
Exercise 4.1. Buktikan pernyataan di atas.
4. BIFURKASI FLIP
43
Akibatnya, tanpa mengurangi keumuman bukti, kita dapat mengasumsikan
(4.5)
f (x, α) = f1 (α)x + f2 (α)x2 + f3 (α)x3 + O(x4 ),
di mana f1 (α) = − (1 + g(α)), g(0) = 0. Perhatikan bahwa
∂f 2
g (0) =
(0, 0) 6= 0,
∂x∂α
sehingga fungsi g memiliki invers secara lokal. Definisikan parameter
β = g(α). Akibatnya sistem dinamik yang didefinisikan oleh fungsi
(4.5) menjadi
0
(4.6)
x̄ = µ(β)x + a(β)x2 + b(β)x3 + O(x4 ),
di mana µ(β) = −(1 + β), a(β) dan b(β) adalah fungsi yang terdiferensialkan secukupnya. Perhatikan bahwa
1 ∂2f
1 ∂ 3f
a(0) = f2 (0) =
(0, 0), dan b(0) =
(0, 0).
2 ∂x2
6 ∂x3
Seperti sebelumnya, kita ingin mendefinisikan suatu transformasi koordinat agar pada koordinat yang baru, suku kuadratik dari (4.6). Misalkan transformasi tersebut adalah: x = ξ + δξ 2 (perhatikan perbedaannya dengan transformasi pada bukti Teorema 4.2).
Tranformasi koordinat di atas memiliki invers secara lokal (dari Teorema Fungsi Invers). Misalkan invers tersebut adalah: ξ = x + γ1 x2 +
γ2 x3 + O(x4 ). Maka
x = x + γ1 x2 + γ2 x3 + O(x4 )+
2
δ (x + γ1 x2 + γ2 x3 + O(x4 ))
= x + (γ1 + δ) x2 + (γ2 + 2γ1 δ) x3 + O(x4 ).
Persamaan di atas dapat diselesaikan suku demi suku. Mulai dengan
suku x2 disimpulkan γ1 = −δ dan suku x3 memberikan γ2 = 2δ 2 . Jadi
invers tersebut (jika δ cukup kecil) dapat ditulis sebagai:
ξ = x − δx2 + 2δ 2 x3 + O(x4 ).
Jika kita substitusikan persamaan terakhir ke dalam (4.6) didapat
ξ = µξ + (a + δµ − δµ2 ) ξ 2 +
(b + 2δa − 2δµ (δµ + a) + 2δ 2 µ3 ) ξ 3 + O(ξ 4 ).
Jadi dengan memilih
δ(β) =
a(β)
.
− µ(β)
µ2 (beta)
Hal ini tentu saja dapat dilakukan karena µ2 (0) − µ(0) = 2 6= 0. Jadi
³
´
2a
ξ = µξ + b + µ2 −µ ξ 3 + O(ξ 4 )
= −(1 + β)ξ + c(β)ξ 3 + O(ξ 4 ).
44
4. BIFURKASI TITIK TETAP BERKODIMENSI SATU
di mana
µ
¶2
1 ∂ 2f
1 ∂ 3f
c(0) = a (0) + b(0) =
(0,
0)
+
(0, 0) 6= 0.
4 ∂x2
6 ∂x3
p
Dengan mendefinisikan ξ = y/ |c(β)| kita dapatkan bentuk yang kita
inginkan:
y = −(1 + β)y ± y 3 + O(y 4 ).
¤
2
4.1. Dinamika sistem y = −(1 + β)y + y 3 = fβ (y). Perhatikan
bahwa sistem dinamik diskrit tersebut memiliki titik tetap x = 0 untuk
setiap β. Linearisasi disekitar titik tetap tersebut memberikan f 0 (0) =
−1 + β. Apa yang terjadi ketika β bergerak melalui nol dari kiri?
Perhatikan ketika β < 0 titik tetap x = 0 stabil sedangkan pada
saat β > 0 titik tetap tersebut tak stabil. Ketika titik tetap x = 0
menjadi tak stabil kita mengharapkan adanya solusi lain yang stabil.
Bayangkan sebutir kelereng yang bergerak turun dari puncak sebuah gundukan tanah. Kelereng tersebut akan bergerak terus sampai
ia mencapai suatu kesetimbangan yang baru, misalkan dasar sebuah
lembah. Hal yang sama terjadi pada sistem dinamik secara umum,
ketika suatu kondisi stabil berubah, kita mengharapkan adanya suatu
kestabilan yang baru.
Sistem dinamik diskrit di atas, tidak memiliki titik tetap lain di sekitar titik x = 0. Jadi ketika titik nol berubah kestabilannya, kita perlu
mencari solusi lain yang bukan titik tetap di sekitar x = 0. Untuk itu
kita mencoba mencari titik tetap dari y = fβ2 (y). Dapat ditunjukkan
bahwa
fβ2 (y) = (1 + β)2 y − (1 + β)(2 + 2β + β 2 )y 3 + O(y 5 ).
Exercise 4.2. Tunjukkan.
√
Jika β > 0, y = fβ2 (y) mempunyai titik tetap yaitu: y = ± β +
O(β). Titik tetap ini tentunya berarti titik 2-periodik pada sistem
dinamik semula.
Exercise 4.3. Pelajari dinamika sistem dinamik: y = −(1 + β)y −
y 3 ketika β melewati nol.
CHAPTER 5
Pemetaan Kuadratik
Pada model populasi hewan yang kita bahas pada contoh-contoh
pada Bab 2, ada satu hal yang kita asumsikan berlaku yaitu habitat di
mana populasi itu tinggal memiliki persediaan makanan yang tidak terbatas. Asumsi ini tentunya tidak realistis dalam kehidupan sehari-hari.
Pada kenyataannya, suatu saat makanan pada habitat itu berkurang
sehingga reproduksi tidak dapat berlangsung seperti biasanya. Kita
sekarang ingin memperbaiki model tersebut dengan memperhitungkan
faktor logistik (ketersediaan makanan). Faktor ini juga dapat berupa
keterbatasan tempat tinggal.
Misalkan kapasistas dari habitat di mana populasi tersebut hidup
adalah K. Pertumbuhan populasi tersebut seperti pada bagian sebelumnya dapat dimodelkan dengan menggunakan model pertumbuhan
eksponensial: Nt+1 = aNt , dengan a menyatakan tingkat (derajat) pertumbuhan. Tentu saja pertumbuhan populasi akan berkurang jika Nt
mendekati K. Populasi masih dapat terus bertambah selama Nt lebih
kecil dari K. Di lain pihak, populasi akan berkurang jika Nt lebih besar
dari K. Model yang tepat adalah Nt+1 = aNt (K − Nt )/K. Dengan
melakukan penskalaan pada Nt , didapat model yang disebut model
logistik atau pemetaar kuadratik:
(5.1)
Nt+1 = µNt (1 − Nt ).
Sistem dinamik (5.1) akan kita bahas pada bagian ini terutama dalam
kaitannya dengan kestabilan titik tetapnya.
1. Analisis titik tetap
Untuk kemudahan notasi, kita definisikan fµ (x) = µx(1−x) dengan
µ > 0. Salah satu hal yang penting dilakukan oleh seseorang yang
menganalisis suatu sistem dinamik adalah memeriksa apakah semua
solusi sistem tersebut terbatas.
Lemma 5.1. Jika 0 < µ ≤ 4 maka f mendefinisikan suatu pemetaan
dari [0, 1] ke [0, 1].
Proof. Perhatikan bahwa f mencapai maksimum pada x = 21
yaitu sebesar fmaks = 14 µ. Jika 0 < µ ≤ 4 maka berlaku 0 < fmaks ≤ 1.
Akibatnya f ([0, 1]) ⊆ [0, 1].
¤
Corollary 5.2. Setiap barisan bilangan real yang didefinisikan
oleh xn+1 = f (xn ) terbatas, jika 0 < µ ≤ 4 dan x0 ∈ [0, 1].
45
46
5. PEMETAAN KUADRATIK
Pandang sistem dinamik diskrit:
(5.2)
xn+1 = f (xn ),
di mana f (x) = µx(1 − x). Titik tetap dari sistem dinamik (5.2)
ditentukan oleh persamaan x = f (x) atau
µx2 + (1 − µ)x = 0.
Kita dapatkan lemma berikut.
Lemma 5.3. Titik tetap dari sistem dinamik (5.2) adalah x = 0
dan jika 1 ≤ µ ≤ 4, x = xµ = 1 − µ1 .
Dapat diperiksa dengan mudah bahwa turunan dari f adalah f 0 (x) =
µ − 2µx. Karena f 0 (0) = µ, maka 0 adalah titik tetap stabil asimtotik
secara lokal jika 0 < µ < 1. Meskipun demikian, kita ingin memeriksa
apakah kestabilan dari x = 0 adalah juga kestabilan secara global.
Lemma 5.4. Jika 0 < µ < 1 pemetaan kuadratik mempunyai titik
tetap stabil yang tunggal dan untuk setiap x◦ ∈ [0, 1], iterasi dari fµ
atas x◦ akan konvergen ke 0.
Proof. Bagian pertama dari Lemma di atas mudah untuk dilihat.
Ambil 0 < x◦ < 1 dan definisikan xn = f n (x◦ ).
fµn+1 (x◦ ) − f n (x◦ ) = µxn (1 − xn ) − xn = xn (µ(1 − xn ) − 1) < 0.
Jadi, xn barisan yang monoton turun. Karena semua solusi dari pemetaan
quadratic terbatas, maka barisan xn konvergen ke suatu titik x. Karena
pada selang 0 < µ < 1 hanya terdapat satu titik tetap, maka xn →
0.
¤
Pada saat µ = 1, titik tetap x = 0 menjadi titik tetap yang nonhiperbolik. Meskipun demikian, solusi x = 0 tetap merupakan solusi
stabil di mana iterasi f1 dengan kondisi awal apapun, tetap konvergen
ke x = 0.
Lemma 5.5. Jika 1 < µ ≤ 2, pemetaan kuadratik memiliki dua titik
tetap yaitu x = 0 yang tak stabil dan x = xµ yang stabil. Setiap iterasi
dari fµ dengan kondisi awal apapun senantiasa konvergen ke x = xµ .
¡1¢
<
Proof.¡¡Lihat
Gbr
5.1
untuk
ilustrasi.
Perhatikan
bahwa
f
µ
2
¤¢ £ 1 ¤
1
1
. Jadi fµ 2 , 1 ⊂ 0, 2 . Dengan
kita dapat membatasi
2
¤
£ 1 demikian,
analisis kita hanya pada interval 0, 2 .
Jika 0 < x < xµ berlaku: 0 < x < fµ (x) < fµ (xµ ) = xµ . Jadi fµn (x)
adalah barisan yang monoton naik jika 0 < x < xµ . Karena fµn (x)
terbatas, maka barisan tersebut konvergen. Karena xµ titik tetap yang
stabil, maka barisan tersebut konvergen ke xµ . Sebaliknya, jika xµ <
x < 12 , berlaku: fµ (x) < x, yang berakibat barisan yang terbentuk
monoton turun.
¤
1. ANALISIS TITIK TETAP
1
1
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
0.2
0.4
x
0.6
0.8
0
1
0.2
47
0.4
x
0.6
0.8
1
Figure 5.1. Ilustrasi grafik fµ (x) untuk dua nilai µ
yang berbeda. Gambar yang kiri adalah untuk 1 < µ2
sedangkan yang kanan adalah untuk 2 < µ < 3.
Untuk 2 < µ < 3 dinamika sistem agak berbeda dengan sebelumnya. Namun secara kualitatif masih sama: iterasi fµn (x) konvergen ke
x = xµ .
Lemma 5.6. Jika 2 < µ < 3, pemetaan kuadratik memiliki dua titik
tetap yaitu x = 0 yang tak stabil dan x = xµ yang stabil. Setiap iterasi
dari fµ dengan kondisi awal apapun senantiasa konvergen ke x = xµ .
Dalam kasus ini, fµ (x) = xµ mempunyai dua solusi yaitu: x = xµ
dan x = x1µ dengan x1µ < xµ . Perhatikan bahwa fµn (x) adalah barisan
monoton naik jika 0 < x < x1µ dan barisan monoton turun jika xµ <
x < 1. Pertama-tama kita akan mencoba mengerti secara numerik apa
yang terjadi pada kasus 2 < µ < 3. Perhatikan Gbr. 5.2.
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.2. Pada kasus 2 < µ < 3, dinamika dari sistem x = fµ (x) berbeda dengan kasus 1 < µ < 2. Pada
kasus ini terdapat rotasi di sekitar titik tetapnya.
48
5. PEMETAAN KUADRATIK
Perbedaan dengan kasus sebelumnya adalah adanya rotasi di sekitar
titik tetap dari pemetaan kuadratik xµ . Jadi, jika kita dapat menunjukkan bahwa fµ2 adalah barisan monoton dan fµ2 (x) hanya memiliki
dua titik tetap yaitu 0 dan xµ maka bukti selesai.
Proof. Ambil x ∈ (0, x1µ ) sebarang. Untuk x ∈ (0, x1µ ) berlaku
x < fµ (x) sehingga fµn (x) monoton naik. Jika fµn (x) ∈ (0, x1µ ) untuk
setiap n, maka fµn (x) konvergen ke suatu titik tetap. Karena di dalam
(0, x1µ ) tidak terdapat titik tetap, maka fµn (x) > x1µ untuk suatu n. Jika
x1µ < x < xµ berlaku xµ ≤ fµ (x) ≤ µ4 .
£ ¤
Selanjutnya, karena x1µ < fµ ( µ4 ) dan fµ monoton turun pada 12 , 1 ,
kita dapat menyimpulkan bahwa
³µ´
µ
jika xµ < x ≤ maka qµ < fµ
≤ fµ (x) < xµ .
4
4
Lebih jauh lagi, karena xµ < µ4 dan fµ monoton turun pada [xµ , 1], kita
simpulkan
µ
jika < x < 1 maka 0 < fµ (x) < xµ .
4
Jadi, kesimpulannya adalah untuk setiap x ∈ [0, 1], senantiasa terdapat
n sehingga fµn (x) ∈ (x1µ , xµ ]. Lebih jauh
lagi,
fµn (x) akan berosilasi
¤
£
µ
terhadap n dari interval (x1µ , xµ ] ke xµ , 4 dan sebaliknya. Secara
matematis, ini dapat dibuktikan:
1
2n
1
jika x ∈ (x
£ µ , xµµ¤].
£ µ , xµµ¤] maka fµ2n (x) ∈ (x
jika x ∈ xµ , 4 maka fµ (x) ∈ xµ , 4 .
Dengan menghitung fµ2 (x) − x = 0 dapat ditunjukkan bahwa f 2 tidak
mempunyai titik tetap pada interval [0, 1] kecuali 0 dan xµ .
Exercise 5.1. Tunjukkan bahwa f 2 tidak mempunyai titik tetap
pada interval [0, 1] kecuali 0 dan xµ .
Karena f 2 tidak mempunyai titik tetap pada interval [0, 1] kecuali
0 dan xµ , maka f 2 definit dalam tanda (sebab f 2 kontinu). Akibatnya,
dapat ditunjukkan
fµ2 (x) monoton naik jika x ∈ (x1µ , xµ ] dan
£ bahwa
¤
turun pada x ∈ xµ , µ4 .
¡ ¢n
Exercise 5.2. Tunjukkan bahwa fµ2 (x) adalah barisan monoton
£
¤
naik di (x1µ , xµ ] dan turun di xµ , µ4 .
Jadi (fµ2 )n (x) akan konvergen ke xµ untuk setiap x.
¤
Diagram himpunan limit dari pemetaan kuadratik. Pandang suatu sistem dinamik berdimensi satu yang didefinisikan oleh
x = fµ (x),
di mana µ adalah suatu parameter. Misalkan kita pilih µ = µ◦ sebarang namun tetap. Kita asumsikan bahwa untuk semua nilai µ◦
yang kita pilih, fµ◦ mendefinisikan suatu pemetaan dari himpunan
1. ANALISIS TITIK TETAP
49
kompak X ke dirinya sendiri. Misalkan kita ambil sejumlah (besar)
kondisi awal x dan kemudian kita hitung iterasi fµn◦ (x). Dengan menggunakan komputer, kita hitung iterasi tersebut untuk n = 1, 2, . . . , N
untuk suatu N yang cukup besar. Setelah itu, kita gambarkan sejumlah iterasi fungsi yang terakhir, misalkan m buah yang terakhir.
Iterasi tersebut kita bentuk menjadi titik-titik di bidang (µ◦ , x), yaitu:
{(µ◦ , xN −m ), (µ◦ , xN −m+1 ), . . . , (µ◦ , xN −1 ), (µ◦ , xN )}. Setelah itu kita
ulangi proses untuk nilai µ◦ yang baru. Untuk pemetaan kuadratik,
diagram himpunan limit digambarkan pada Gbr 5.3.
1
0.5
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Figure 5.3. Pada gambar ini diperlihatkan himpunan
limit yang stabil dari pemetaan kuadratik jika 0 < µ < 3.
Dinamika sistem didonimasi oleh sebuah titik tetap yang
stabil.
Perhatikan bahwa x = 0 senantiasa merupakan titik tetap untuk
pemetaan kuadratik. Solusi tersebut tidaklah muncul pada Gbr 5.3 jika
µ > 1. Hal ini disebabkan karena solusi x = 0 tidak stabil jika µ > 1.
Secara umum, solusi tidak stabil tidak dapat ditemukan secara numerik kecuali jika fungsi fµ yang mendefinisikan sistem dinamik tersebut memiliki invers. Kebanyakan sistem yang dinamikanya menarik
tidak memiliki invers.
Pada µ = 1, terjadi suatu solusi yang baru. Ini terjadi ketika
x = 0 menjadi titik tetap yang tidak hiperbolik. Perhatikan bahwa
fµ0 (x) = µ − 2µx dan sama dengan 1 ketika x = 0 dan µ = 1. Mari kita
periksa kondisi (A3 ) dan (A4 ) pada Teorema 4.2, yaitu:
∂2
(1)
fµ (x) = −2µ. Ini tak nol jika µ = 1.
∂x2
∂
(2)
fµ (x) = x(1 − x). Ini sama dengan nol jika x = 0.
∂α
Jadi, kondisi untuk bifurkasi fold tidak dipenuhi. Bifurkasi yang terjadi
di sini adalah bifurkasi yang dikenal dengan nama Pitchfork. Bifurkasi
ini tidak di bahas dalam buku ini.
50
5. PEMETAAN KUADRATIK
2. Bifurkasi flip pada pemetaan Kuadratik
Jika µ = 3, titik tetap xµ = 1 − µ1 kembali mengalami bifurkasi.
Ingat bahwa fµ0 (x) = µ − 2µx sehingga fµ0 (1 − µ1 ) = µ − 2µ(1 − µ1 ) =
2 − µ = −1 jika µ = 3. Dapat diperiksa bahwa kedua kondisi pada
bifurkasi flip dipenuhi jika µ = 3 pada titik tetap xµ . Jadi di sekitar
titik tetap tersebut terdapat titik 2-periodik.
1
1
1
0.9
0.9
0.9
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.6
0.6
0.6
0.5
0.5
0.5
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.4. Pada gambar ini diperlihatkan dinamika
pemetaan kuadratik untuk nilai µ yang lebih kecil dari
3, sama dengan 3 dan lebih besar dari 3. Jika µ melewati
nilai 3, terbentuk suatu solusi periodik dengan periode
dua.
Titik 2-periodik yang kita lihat pada Gbr. 5.4 masih dapat kita
hitung secara analitik. Ingat bahwa titik 2-periodik adalah titik tetap
dari pemetaan
x = fµ2 (x) = µ2 x(1 − x)(1 − µx(1 − x)).
Ingat pula bahwa baik x = 0 maupun xµ = 1 − f rac1µ, keduanya
akan muncul sebagai salah satu dari titik tetap di atas (lihat Gbr. ??).
Dengan menggunakan sifat dalam aljabar linear berikut:
jika p(x) adalah polinom yang memenuhi p(x◦ ) = 0 maka
p(x) = (x − x◦ )q(x) dengan q(x) suatu polinom lain,
kita dapat menghitung titik 2-periodik tersebut di atas.
Dengan perhitungan aljabar di atas di dapat:
fµ2 (x) − x = −x(µx − µ + 1)(µ2 x2 − (µ2 + µ)x + µ + 1) = 0.
Didapat:
x1 =
µ+1+
p
p
µ2 − 2µ − 3)
µ + 1 − µ2 − 2µ − 3)
dan x2 =
.
2µ
2µ
Kedua titik 2-periodik ini hanya ada jika µ2 − 2µ − 3 ≥ 0 yaitu jika
µ ≥ 3 (sebab µ < 0 tidak termasuk dalam daerah definisi parameter
µ).
2. BIFURKASI FLIP PADA PEMETAAN KUADRATIK
1
1
1
0.8
0.8
0.8
0.6
0.6
0.6
0.4
0.4
0.4
0.2
0.2
0.2
0
0.2
0.4
x
0.6
0.8
1
0
0.2
0.4
x
0.6
0.8
1
0
0.2
0.4
x
51
0.6
0.8
1
Figure 5.5. Pada gambar ini diperlihatkan grafik dari
fungsi fµ2 (x). Untuk tiga nilai µ seperti pada gambar
5.4. Ilustrasi ini memperlihatkan proses terciptanya solusi periodik berperiode 2.
Jika kita hitung turunan dari fµ2 terhadap x di salah satu titik di
atas didapat:
d ¡ 2 ¢ ¯¯
f (x) x=x = 4 − µ2 + 2µ.
1
dx µ
√
Nilai turunan tersebut sama dengan −1 jika µ = 1 + 6.
Exercise 5.3. Jelaskan mengapa kita cukup memeriksa turunan
pada salah satu titik tetap saja.
√
Untuk 3 ≤ µ < 1 + 6. dapat diperiksa bahwa
¯
¯
¯ d ¡ 2¢ ¯
¯
¯
¯
¯
¯ dx fµ (x) x=x1 ¯ < 1.
Lebih jauh lagi, dengan cara seperti analisis titik tetap, kita dapat
membuktikan lemma berikut.
√
Lemma 5.7. Jika 3 < µ < 1 + 6 maka titik 2-periodik di atas
stabil dengan daerah kestabilan seluruh interval (0, 1).
Exercise 5.4. Buktikan Lemma 5.7 di atas.
√
Dinamika di sekitar
√ µ = 1 + 6 dapat dilihat pada Gbr. ?? Jadi,
disekitar µ = 1 + 6 Gbr ?? memberikan indikasi bahwa terjadi bifurkasi flip yang kedua. Sekarang yang mengalami bifurkasi adalah titi
2-periodik dan yang dihasilkan setelah bifurkasi adalah titik 4-periodik.
Perhitungan analitik dari titik 4-periodik cukup rumit untuk untuk
dilakukan (sekalipun dengan menggunakan Maple).
√ Tetapi dapat kita
katakan ada barisan bilangan µ0 = 3, µ1 = 1 + 6, µ2 , . . ., µn , . . .
sehingga berlaku:
• jika µ0 < µ ≤ µ1 maka pemetaan kuadratik memiliki titik 2periodik yang stabil dan titik tetap tak trivial yang tak stabil.
• jika µ1 < µ ≤ µ2 maka pemetaan kuadratik memiliki titik 22 periodik yang stabil, titik 2-periodik yang tak stabil dan titik
tetap tak trivial yang tak stabil.
52
5. PEMETAAN KUADRATIK
1
1
1
0.9
0.9
0.9
0.8
0.8
0.8
0.7
0.7
0.7
0.6
0.6
0.6
0.5
0.5
0.5
0.4
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.6. Gambar ini memperlihatkan terjadinya bifurkasi flip yang kedua pada pemetaan kuadratik. Bifurkasi ini menghasilkan solusi periodik berperiode 4
dari solusi
√ periodik berperiode 2. Ini terjadi di sekitar
µ = 1 + 6.
• jika µ2 < µ ≤ µ3 maka pemetaan kuadratik memiliki titik
23 -periodik yang stabil, 22 -periodik yang tak stabil, titik 2periodik yang tak stabil dan titik tetap tak trivial yang tak
stabil.
• dan seterusnya.
Secara umum: µn−1 < µ ≤ µn memiliki titik 2n -periodik yang stabil dan titik 2k−1 -periodik yang tak stabil untuk k = 0, 1, . . . , n − 1.
Pernyataan berikut benar, tetapi sangat sulit untuk dibuktikan.
Lemma 5.8. Barisan bilangan {µn } konvergen ke µ∞ = 3, 61547 · · · .
Bilangan ini disebut bilangan Feigenbaum.
Apa yang dapat kita simpulkan melalui hasil ini? Jika µ = µ∞ ,
sistem dinamik x = fµ (x) memiliki tak berhingga banyaknya solusi
periodik dengan periode: 2, 4, 8, 16, dan seterusnya. Akibatnya, dinamika sistem pada saat µ = µ∞ memiliki kompleksitas yang tinggi.
Pada Gbr 5.7 kita gambarkan kembali semua himpunan limit yang
stabil dalam diagram (µ, x) untuk 3 < µ < µ∞ .
Lemma ini memperlihatkan bahwa eksplorasi yang kita lakukan
belumlah selesai karena masih menyisakan µ yang berada dalam interval (µ∞ , 4).
Sebelum kita lanjutkan, ada hal yang sangat menarik dalam barisan
{µn }. Kita dapat membentuk barisan baru yaitu:
µk − µk−1
, k = 2, 3, 4, . . . .
dk =
µk+1 − µk
Barisan ini juga konvergen ke d∞ = 4, 669202 · · · .
Conjecture 5.9. Misalkan gµ (x) adalah keluarga fungsi yang mempunyai bentuk geometris seperti fµ (x). Sistem dinamik x = gµ (x) gua
mengalami barisan bifurkasi flip seperti pemetaan kuadratik. Lebih jauh
lagi terdapat barisan bilangan {µn } dan {dn } seperti pada pemetaan
2. BIFURKASI FLIP PADA PEMETAAN KUADRATIK
53
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
Figure 5.7. Himpunan limit dari pemetaan kuadratik
untuk 3 < µ < µ∞ .
kuadratik dan besarnya d∞ = 4, 669202 · · · (tidak bergantung pada
fungsi g). Bilangan d∞ = 4, 669202 · · · disebut konstanta Feigenbaum.
1
0.5
0
−0.1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Figure 5.8. Himpunan limit yang stabil dari pemetaan
kuadratik untuk 0 < µ < 4. Gambar ini dapat dipandang sebagai gambar dari atraktor yang ada pada
pemetaan kuadratik untuk nilai µ ∈ [0, 4]. Perhatikan
tingkat kompleksitas dari atraktor tersebut jika µ membesar menuju 4.
54
5. PEMETAAN KUADRATIK
Konjektur di atas memberikan indikasi yang luar biasa menarik
dalam teori tentang Chaos. Indikasinya adalah fenomena yang dikenal
dengan nama Chaos ini mempunyai suatu sifat universal. Apapun keluarga fungsi yang membentuknya, konstanta Feigenbaum tetap karakteristik.
3. Rute menuju Chaos
3.1. Barisan bifurkasi flip. Pada bagian sebelumnya anda sudah melihat ada nya suatu dinamika yang memiliki kompleksitas yang
tinggi pada pemetaan kuadratik. Kompleksitas itu terkait dengan
adanya barisan bifurkasi flip atau biasa dikenal dengan barisan bifurkasi penggandaan periode (period-doubling bifurcations). Pada Gbr
5.9 kita gambarkan transisi tersebut untuk nilai µ yang berbeda-beda.
Bayangkan sebuah himpunan yang terbatas, dalam kasus ini interval [0, 1]. Di dalam ruang yang terbatas seperti itu, pada saat µ = µ∞
kita memiliki solusi periodik dengan periode 2n untuk setiap n ∈ N.
Semua solusi periodik tersebut tidak stabil. Karena ruang yang kita
miliki terbatas, dan tidak ada solusi yang konvergen ke titik tetap
ataupun solusi periodik apapun, akibatnya kita harus memiliki sebuah
himpunan limit yang tidak periodik.
Perhatikan bahwa pada saat µ ≈ µ∞ , dinamika sistem konvergen
ke suatu attraktor (himpunan invariant yang stabil secara asimptotik),
tetapi atraktor tersebut mempunyai ukuran yang besar. Pada saat
µ < µ∞ dinamika sistem konvergen ke suatu solusi periodik. Pada Gbr
5.10 kita gambarkan dinamika sistem pada saat µ ≈ µ∞ setelah 2500
iterasi dan setelah 5000 iterasi. Titik yang digambar sebanyak 200
buah, seperti pada gambar terakhir pada Gbr 5.9. Bentuk atraktor
tersebut secara kualitatif sulit dibedakan.
Barisan bifurkasi flip adalah salah satu dari skenario untuk mendapatkan chaos dalam suatu sistem dinamik. Bifurkasi seperti ini dapat
terjadi pada sistem dinamik kontinu maupun sistem dinamik diskrit.
Pada pemetaan kuadratik yang sederhana seperti di bahas pada bab
ini, cukup mengejutkan bahwa dinamika sistem tersebut memiliki kompleksitas yang tinggi. Tingkat kompleksitas ini tidak berhenti sampai
di sini saja. Perhatikan bahwa µ∞ masih cukup kecil dibandingkan
dengan 4. Apa yang terjadi pada nilai µ > µ∞ ?
3.2. Dinamika nonchaotik jika µ > µ∞ . Pada gambar 5.11,
kita gambarkan apa yang terjadi jika µ sedikit lebih besar dari µ∞ .
Himpunan limit yang digambarkan memperlihatkan terhentinya dinamika chaotik pada pemetaan kuadratik. Terhentinya dinamika yang
chaotik ini disebabkan oleh terciptanya suatu solusi periodik yang stabil. Solusi periodik ini memiliki periode 10. Solusi periodik ini tidak
3. RUTE MENUJU CHAOS
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
55
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.9. Transisi menuju Chaos pada pemetaan
kuadratik. Dari kiri ke kanan, mulai pada baris pertama,
nilai µ = 2, 25, µ = 3, 25, µ = 3, 5, µ = 3, 56, µ = 3, 57,
dan µ ≈ µ∞ .
mungkin diciptakan melalui bifurkasi flip yang terjadi sebelumnya. Untuk mengerti lebih dalam tentang penciptaan solusi periodik ini, kita
perlu mempelajari sistem dinamik x = fµ10 (x).
56
5. PEMETAAN KUADRATIK
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.10. Atraktor chaotik pada saat µ ≈ µ∞ .
Gambar kiri adalah bentuk atraktor setelah 2500 iterasi
sedangkan gambar kanan setelah 5000 iterasi.
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
3.605
3.6055
3.606
3.6065
3.607
3.6075
Figure 5.11. Himpunan limit di sekitar µ = µ∞ . Dinamika chaotik pada pemetaan kuadratik tiba-tiba hilang ketika µ melewati nilai µ∞ . Hilangnya dinamika
chaotik ini disebabkan terciptanya suatu solusi periodik
yang stabil dengan periode 10. Kehadiran suatu solusi
periodik yang stabil, membuat dinamika sistem kembali
menjadi regular.
Pada gambar 5.12 bagian kiri, digambarkan dinamika dari sistem
x = fµ10 (x) jika µ = 3, 6055. Secara geometris, gambar tersebut
memperlihatkan adanya suatu titik tetap yang stabil secara asimtotik.
Hadirnya solusi periodik stabil ini membuat dinamika chaotic yang sebelumnya ada hilang. Ingat bahwa dinamika chaotik tersebut tercipta
4. UKURAN ATRAKTOR CHAOTIK PADA PEMETAAN KUADRATIK
57
melalui suatu barisan bifurkasi flip. Akibatnya, ada sejumlah besar
solusi periodik yang tak stabil sehingga dinamika sistem menjadi kompleks.
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.12. Atraktor periodik dengan periode 10.
Gambar yang kiri adalah himpunan limit dari pemetaan
x = fµ10 (x) sedangkan yang kanan adalah dinamika
pemetaan kuadratik pada nilai µ = 3, 6055.
Kestabilan solusi periodik ini hanya terjadi untuk interval µ yang
pendek. Setelah itu, solusi periodik tersebut kembali mengalami bifurkasi dan menjadi tak stabil. Akhirnya, dinamika chaotik kembali
hadir dalam sistem. Lahirnya solusi periodik lain kemudian akan membuat sistem kembali tenang. Inilah penjelasan dari adanya bagianbagian putih dalam gambar 5.7.
4. Ukuran atraktor chaotik pada pemetaan kuadratik
Untuk nilai µ yang berbeda, atraktor chaotik yang muncul juga
berbeda dalam ukuran. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5.13. Semakin besar µ, semakin besar pula ukuran chaotik atraktor yang muncul.
Puncaknya adalah ketika µ = 4 dimana chaotik atraktor tersebut
bahkan padat di seluruh [0, 1]. Hal ini sangat menarik karena kita perlu
mengingat bahwa atraktor ini terbentuk dari himpunan titik-titik yang
membentuk suatu barisan bilangan di [0, 1]. Kita juga tahu bahwa semua barisan isomorf dengan bilangan asli N. Pertanyaan yang hendak
kita kaji adalah apakah ukuran dari suatu atraktor yang chaotik nol?
Sampai sejauh ini, yang dapat kita katakan tentang atraktor chaotik
dalam sistem adalah sebagai berikut. Misalkan S = {x0 , x1 , x2 , . . . , xn−1 }
adalah suatu atraktor periodik. Maka pembuat tutup dari S yaitu
overlineS = S. Suatu atraktor chaotik C memiliki sifat C = ∪An dengan An adalah interval tutup di [0, 1]. Jadi ukuran dari suatu atraktor
periodik adalah 0 sedangkan suatu atraktor chaotik belum tentu nol.
Lihat gambar 5.14.
58
5. PEMETAAN KUADRATIK
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
4
Figure 5.13. Himpunan limit dari pemetaan kuadratik
untuk 3 < µ < 4. Di antara kabut titik hitam, di beberapa tempat terdapat daerah putih. Daerah putih tersebut menyatakan daerah di mana dinamika chaotik tidak
muncul pada pemetaan kuadratik. Hilangnya dinamika
chaotik tersebut senantiasa disebabkan oleh munculnya
solusi periodik yang stabil.
4. UKURAN ATRAKTOR CHAOTIK PADA PEMETAAN KUADRATIK
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
1
1
0.9
0.9
0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
Figure 5.14. Atraktor periodik dengan periode 10.
Gambar yang kiri adalah himpunan limit dari pemetaan
x = fµ10 (x) sedangkan yang kanan adalah dinamika
pemetaan kuadratik pada nilai µ = 3, 6055.
59
CHAPTER 6
CHAOS: Akhir dari sebuah kepastian.
There are more things in heaven and earth, Horatio,
than are dreamt of in your philosophy.
(W. Shakespeare, Hamlet, Act. I, Scene 5)
Chaos adalah topik yang sangat menarik dalam dunia matematika
modern terutama yang melibatkan sistem dinamis. Telah cukup banyak
hasil yang diketahui tentang topik ini meskipun harus diakui masih
jauh dari lengkap. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran singkat
tentang fenomena menarik yang bernama Chaos ini.
1. Ketidakpastian vs. kepastian
Bayangkan sebuah percobaan dengan dadu (anda dapat lakukan
dengan bantuan teman anda di rumah). Lemparkan sebuah dadu sebanyak n kali dan catat keluarannya. Setelah itu anda ulang lagi percobaan itu yaitu melemparkan dadu sebanyak n kali, f kali. Anda akan
mendapatkan f buah daftar yang masing-masing berisi n angka antara
1,2,3,4,5, atau 6. Pada setiap daftar tersebut, anda dapat memeriksa
bahwa masing-masing angka keluar sebanyak px (x ∈ {1, 2, 3, 4, 5, 6})
kali dan nilai px adalah kurang lebih n/6 kali. Semakin tinggi nilai
n, semakin dekatlah nilai px dan n/6. Ini adalah contoh dari percobaan di atas. Sayangnya karena kita tidak punya banyak waktu untuk melakukan percobaan, saya meminta MATLAB untuk melakukan
simulasi percobaan ini. Inilah hasilnya. Dilakukan dua kali pelemparan
sebanyak 100 kali.
Pelemparan pertama : 4, 3, 6, 5, 3, 1, 5, 3, 4, 5, 6,
5, 2, 3, 6, 6, 3, 6, 1, 3, 5, 1,
1, 2, 2, 4, 2, 2, 1, 5, . . .
Pelemparan kedua :
4, 3, 3, 2, 4, 5, 4, 4, 2, 3, 5,
5, 3, 4, 5, 1, 4, 1, 3, 2, 6, 1,
5, 6, 6, 5, 3, 3, 2, 4, . . .
Hasil ini tentunya tidaklah mengejutkan. Ini merupakan contoh
yang bisa ditemukan di hampir semua buku yang membahas teori peluang. Yang menarik adalah jika anda mencoba mencari pola keteraturan
61
62
6. CHAOS: AKHIR DARI SEBUAH KEPASTIAN.
dari daftar tersebut. Adakah pola keteraturannya?
Percobaan di atas dikenal sebagai contoh dari apa yang dikenal dengan proses acak. Jika anda melempar dadu, anda tahu nilai yang akan
keluar adalah 1,2,3,4,5, atau 6, tetapi pada setiap lemparan anda tidak
tahu apa yang akan keluar. Ini adalah contoh sebuah proses acak.
Keluaran dari proses acak tentunya juga acak. Karena pelemparan
dadu adalah proses acak, daftar keluaran di atas juga tidak beraturan.
Bagaimana dengan proses yang tidak acak? Begitu banyak hal di
fisika, kimia, biologi, ekonomi dan lain sebagainya yang dimodelkan
berdasarkan suatu model yang deterministik (tidak acak). Harapan
kita tentunya hasil keluaran dari proses yang deterministik akan juga
deterministik; tidak acak.
Percobaan yang kedua, tidak akan dapat anda lakukan di rumah atau
dimanapun juga. Percobaan ini hanyalah khayalan dari seorang matematikawan. Namun cukup menarik untuk kita perhatikan. Bayangkan
anda punya seutas tali yang elastik, misalkan memiliki panjang l1 .
Tarik tali itu sehingga sepuluh kali lebih panjang dari semula (10l1 ).
Gulungkan tali itu ke sebuah roda yang kelilingnya 1. Hitung berapa
lingkaran penuh yang dapat dibuat oleh tali yang 10l1 itu. Itulah yang
menjadi keluaran t1 dari percobaan ini. Sisa tali yang tidak cukup
membuat satu lingkaran dipotong dan disebut l2 . Dengan menggunakan l2 sebagai awal, ulangi percobaan ini: tarik menjadi 10 kali lebih
panjang dan gulungkan dan seterusnya.
Percobaan ini bukan proses acak, semuanya deterministik. Tidak
ada ketidakpastiaan yang terlibat. Misalkan kita mulai dengan tali
yang panjangnya 0.32323232323232 . . .. Anda menarik tali itu menjadi
10 kali lebih panjang: 3.2323232323232 . . .. Gulungkan ke roda, kita
mendapatkan 3 lingkaran penuh dan sisanya 0.2323232323232 . . .. Kita
akan mendapatkan barisan keluaran sebagai berikut {3, 2, 3, 2, 3, 2, . . .}.
Misalkan kita mulai dengan tali sepanjang
π/10 = 0.314159265358979 . . . .
Keluaran proses ini adalah barisan
{3, 1, 4, 1, 5, 9, 2, 6, 5, 3, 5, 8, 9, 7, 9, . . .}.
Adakah suatu keteraturan? Mengapa suatu proses yang deterministik
menghasilkan keluaran yang seperti proses acak? Lebih hebat lagi,
misalkan sebuah bilangan irasional, yaitu π/10. Bilangan tersebut kita
tuliskan dalam 5000 bilangan decimal. Yang dihasilkan melalui proses
di atas adalah barisan bilangan yang tiap sukunya adalah anggota dari
himpunan {0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9}. Bukan hanya plot dari suku ke-n
terhadap n saja yang bentuknya seperti proses acak melempar dadu,
tetapi juga masing-masing angka keluar sebanyak kurang lebih 500kali. Tentunya anda bisa menduga bahwa bilangan 500 didapat dari
2. SEBUAH MIMPI: RAMALAN CUACA
63
5000
√ × 1/10.
√ Ini juga berlaku untuk jika bilangan irasionalnya adalah:
2, dan 3.
2. Sebuah mimpi: ramalan cuaca
Pada sekitar tahun 1960-an, seorang peneliti muda bernama E.
Lorenz, seorang berdarah muda yang optimistik. Ia terlibat dalam
suatu mega proyek bersama-sama dengan ahli-ahli di Amerika Serikat
sepeti John von Neumann dalam penelitian di bidang atmosfer dan
iklim. Tujuan utama penelitian yang dia lakukan adalah menjawab
keraguan orang, jika kita memiliki model yang baik, komputer yang
kuat, mungkinkah kita melakukan prediksi ke depan, apakah hari esok
akan hujan atau tidak.
Untuk keperluan ini, Lorenz menyederhanakan model yang saat itu
ada menjadi model di ruang berdimensi tiga. Mari kita mengulang percobaan yang dilakukan oleh Lorenz. Kita menuliskan program untuk
45
40
35
x
30
25
20
15
10
5
40
Figure 6.1.
E. Lorenz.
41
42
43
44
45
Waktu
46
47
48
49
50
Ilustrasi percobaan yang dilakukan oleh
menghitung selesaian dari model Lorenz. Solusi tersebut berbentuk
empat buah barisan bilangan x(i), y(i), z(i), t(i), i ≥ 0. Perhitungan
kita lakukan selama 50 detik. Kemudian dengan menggunakan data
pada saat t = 39 dari hasil perhitingan lama, kita lakukan lagi perhitungan sampai ke t = 50. Lorenz berharap bahwa hasil perhitungan
lama untuk waktu 39 sampai 50 akan sama dengan perhitungan baru
(paling tidak mirip). Coba perhatikan gambar 6.1. Ia begitu terkejut
ketika hasil perhitungan yang baru hanya mirip dengan hasil yang lama
untuk waktu yang sangat singkat (hanya 4 detik). Setelah itu kedua
perhitungan itu menjadi berbeda sama sekali.
Lorenz kebingungan menghadapi masalah ini. Selama beberapa
lama ia mencoba mencari kesalahan dalam program yang ia tulis. Sampai ia akhirnya mulai percaya bahwa hasil yang dia lihat itu tidaklah
salah melainkan yang sesungguhnya. Fenomena ini yang dinamakan
kebergantungan terhadap kondisi awal secara sensitif. Ini merupakan
salah satu dari indikator adanya Chaos dalam sistem yang ditinjau.
64
6. CHAOS: AKHIR DARI SEBUAH KEPASTIAN.
3. Chaos: Sains atau fiksi?
Dunia tidak siap menerima hasil E. Lorenz. Para fisikawan dunia
begitu yakin bahwa dunia ini tidak mungkin menyediakan tempat bagi
Chaos. Lorenz harus menjalani masa-masa sulit di mana tidak ada
orang yang mau mempublikasikan pekerjaannya. Namun, pekerjaan
E. Lorenz membuka mata banyak ahli-ahli di dunia. S. Smale, M.
Henon, D. Ruelle, F. Takens dan lain sebagainya adalah sedikit dari
nama orang-orang yang menjadi pelopor dalam teori Chaos.
Chaos dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya Chaos mudah
sekali di lihat di mana-mana. Bahkan percobaan sederhana ini dapat anda lakukan sendiri di rumah. Coba anda buka keran air yakinkan dahulu bahwa PDAM saat itu memang mengalirkan air kecil sekali. Anda akan melihat air menetes secara periodik. Satu
tetes demi satu tetes. Buka sedikit besar, tetesannya menjadi semakin
kerap. Perlahan-lahan anda buka terus, keteraturannya mulai hilang.
Sebelum menjadi aliran yang tunak (steady flow), aliran air itu akan
bertetesan secara tidak beraturan. Anda telah menyaksikan suatu transisi dari keadaan yang teratur: periodik, menjadi tidak terartur: aperiodik (bahkan chaotic), dan kembali teratur: aliran tunak. Mau tidak
mau anda harus mengakui keberadaannya, Chaos ada di mana-mana.
Transisi menuju Chaos. Bayangkan sebuah bola yang elastik sempurna. Bola itu dijatuhkan dari ketinggian tertentu ke sebuah meja
yang digerakan secara periodik dengan amplitudo (simpangan maksimum) a. Untuk nilai a yang berbeda-beda, pada gambar 6.2 digambarkan kecepatan bola memantul vn terhadap ketinggian bola maksimum setelah memantul ke n kali Sn . Semakin tinggi aplitudonya,
gerakan bola semakin tidak beraturan.
Gambar 6.2 memperlihatkan suatu proses menuju Chaos. Pada
masing-masing gambar diperlihatkan berbagai trayektori untuk ketinggian awal yang berbeda-beda. Mulai dari gambar pada sudut kiri atas
berputar searah jarum jam, besarnya amplitudo dari getaran periodik
dari meja membesar. Pada gambar yang pertama, nilai a cukup kecil
perilaku sistem regular. Ini diperlihatkan dari struktur pada gambar
tersebut yang memiliki keteraturan. Ketika a dibuat membesar, keregularan sistem tersebut mulai terambil alih dan muncul ketakberaturan
yang cukup dominan. Menarik sekali untuk dilihat bahwa dalam gambar kedua, chaos (ketakberaturanan) dan keregularan muncul saling
bergantian. Semakin besar a, chaos semakin mendominasi.
Chaos pada kalkulator. Jika anda memiliki scientific calculator,
anda dapat melakukan percobaan ini. Masukkan suatu bilangan, sebutlah x1 kemudian kurangkan dengan 1/2. Hasilnya anda kuadratkan lalu
4. SO MUCH TO DO, SO LITTLE TIME
vn
4
vn
65
4
3
3
2
2
1
1
0
0
−1
−1
vn
0
1
2
3
4
5
6
us
nn
4
−2
vn
3
2
2
1
1
0
0
−2
1
2
3
4
5
6
0
1
2
3
4
5
6
usn
n
4
3
−1
0
−1
0
1
2
3
4
5
6
usn
n
−2
usn
n
Figure 6.2. Transisi menuju Chaos.
kalikan dengan −4. Hasil terakhir anda tambahkan dengan satu. Bilangan yang dihasilkan anda tulis sebagai x2 . Kemudian anda ulang proses
tadi terhadap bilangan x2 untuk mendapatkan bilangan x3 dan seterusnya. Jangan lupa, atur ketelitian kalkulator anda sampai ketelitian 4
decimal, lalu ulangi percobaan untuk ketelitian 16 decimal. Periksa
hasil anda untuk 20 iterasi; apakah sama dengan hasil dibawah ini?
Pada setiap iterasi anda membuat kesalahan pembulatan. Kesalahan
ini relatif kecil, tetapi jika sistem yang kita hadapi bersifat chaotic,
kesalahan kecil tersebut tidak memerlukan waktu lama untuk tumbuh
menjadi besar dan signifikan.
4. So much to do, so little time
Pengetahuan matematika dewasa ini telah berkembang cukup pesat. Ini memberikan orang-orang kesempatan untuk mencoba menjawab pertanyaan seperti: asal mula Chaos, bagaimana mengendalikannya (atau mungkinkah dikendalikan), seberapa besar Chaos itu
dalam suatu sistem, bagaimana mengukurnya, dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi pertanyaan besar di kalangan matematikawan dan juga para rekayasawan dan ilmuwan umum.
Ilmuwan sosial menanti penuh harap bisa mengaplikasikan teori chaos
(jika saya boleh menyebutnya sebagai teori) dalam pasar saham, masalah
sosial, politik dan lain sebagainya. Para artis pun terpesona dengan
geometri dari benda-benda chaotic yang disebut memiliki struktur fraktal. Jadi, chaos itu fiksi atau sains?
66
6. CHAOS: AKHIR DARI SEBUAH KEPASTIAN.
Iterasi 4 decimal. 16 decimal.
1
0.1147
0.1147
2
0.4061
0.4062
3
0.9647
0.9648
4
0.1362
0.1359
5
0.4705
0.4698
6
0.9965
0.9963
7
0.0139
0.0146
8
0.0548
0.0576
9
0.2071
0.2172
10
0.6568
0.6801
11
0.9016
0.8703
12
0.3548
0.4515
13
0.9156
0.9906
14
0.3091
0.0372
15
0.8542
0.1434
16
0.4981
0.4914
17
0.9999
0.9997
18
0.0003
0.0012
19
0.0011
0.0048
20
0.0043
0.0189
Bibliography
[1] Arnol’d, V.I., Mathematical Methods of Classical Mechanics, Springer-Verlag,
[2] Birkhoff, G.D., Dynamical Systems, reprinted by American Mathematical Society, 1972.
[3] Coddington, E.A., Levinson, N, Theory of Ordinary Differential Equations,
McGraw-Hill, New York, 1955.
[4] Nayfeh, A.H., Mook, D.T., Nonlinear Oscillations, Wiley-Interscience, New
York, 1979.
[5] Sanders, J.A., Verhulst, F., Averaging Method on Nonlinear Dynamical System, Applied Math. Sciences 59, Springer-Verlag, New York etc., 1985.
[6] Smale, S., Differentiable Dynamical Systems, Bull. Amer. Math. Soc., 73, pp.
747-817, 1967.
[7] Verhulst, F., Nonlinear Differential Equations and Dynamical Systems, 2nd
ed., Springer Verlag, Berlin,1996.
67
Download