1 POLITIK TAK BERJIWA: FENOMENA IKLAN POLITIK DAN ARTIS

advertisement
POLITIK TAK BERJIWA:
FENOMENA IKLAN POLITIK DAN ARTIS BERPOLITIK
DI INDONESIA
Wahyu Ishardino Satries
ABSTRACT
The aim in politics now has shifted to the direction of a very pragmatic, ie, profitoriented individuals or groups. This orientation is clearly an economic
orientation that is promoting the benefits and how that individual makes a profit.
These conditions make the current political and poisoned by the logic of economic
rationality, profit-oriented individuals and groups. This makes the political and
then lose his soul.
Keywords: politics, political parties, political communication, political marketing
PENDAHULUAN
Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi
oleh semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal
inilah yang kemudian menjadi ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah
perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Runtuhnya rezim otoriter
Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, sebenarnya membuka jalan bagi sistem
politik di Indonesia untuk menerapkan praktik politik yang sebenarnya. Praktik
politik di masa Orde Baru yang kental dengan budaya KKN (Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme), otoriter, dan demokrasi yang semu, diharapkan tidak terjadi lagi pada
masa reformasi pasca 1998. Dengan demikian, reformasi 1998 sebenarnya
merupakan pintu gerbang menuju sistem demokrasi di Indonesia yang lebih sehat.
Kondisi politik riil dalam kurun 10 tahun terakhir, terlihat secara nyata telah
terjadi pergeseran nilai. Tampak pada praktik politik yang ditunjukkan oleh sikap
para wakil rakyat yang duduk di parlemen. Praktik politik masih kental dengan
budaya
korupsi,
berorientasi
kepentingan
menghalalkan segala cara.
1
pribadi
dan
golongan,
serta
Toto Sugiarto dalam artikelnya yang berjudul “Politik yang Tak Berjiwa”
(TEMPO, 22 September 2008),mengambarkan fenomena yang dipraktikkan oleh
partai politik menjelang Pemilu. Sejalan dengan menyimpangnya orientasi politik,
partai politik pun ikut mengalami perubahan fungsi, yang seharusnya merupakan
wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat berubah menjadi
industri kekuasaan. Partai politik tidak menjadi sarana untuk mewujudkan dan
memperjuangan roh politik yang sesungguhnya. Cara-cara yang digunakan oleh
partai politik dalam meraih kekuasaan, yang secara konkrit berwujud pada
perolehan kursi di parlemen, merupakan cara-cara yang cenderung instan serta
tidak dimulai oleh perjuangan dari bawah.
Terdapat dua fenomena yang setidaknya menunjukkan hal tersebut.
Pertama adalah fenomena banyaknya artis yang dicalonkan atau mencalonkan diri
menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2009 lalu serta dalam Pemilukada 2010 ini.
Sesungguhnya bukan keberadaan artisnya yang menjadi masalah, tetapi
dijadikannya artis sebagai alat oleh partai politik untuk memperoleh kursi, hal
itulah yang menjadi masalah. Partai politik menjadikan artis sebagai jawaban atas
permintaan masyarakat yang telah bosan dan apatis terhadap politisi-politisi lama
dan menginginkan wajah-wajah baru.
Efek yang kemudian muncul adalah artis menjadi alat untuk meraih kursi,
dan dalam konteks inilah kekuasaan menjadi industri yang mengikuti hukum
ekonomi, yakni adanya permintaan pasar akan wajah baru dijawab oleh adanya
penawaran dari partai politik berupa wajah baru yang barasal dari kalangan artis.
Penawaran yang didasarkan oleh unsur popularitas yang bukan berasal dari hasil
perjuangan mewujudkan kebaikan rakyat, melainkan dari kompetensi yang lain,
seperti artis sinetron atau atlet, dan lain-lain. Penawaran yang pragmatis inilah
yang kemudian membuat dicalonkannya artis tersebut bermotif ekonomi, yakni
berorientasi pada keuntungan, bukan pada kebaikan umum.
Fenomena kedua adalah iklan politik. Iklan sebagai bentuk komunikasi
dan pemasaran politik merupakan hal yang sah dan wajar. Namun, ketika pola
pikir yang digunakan dalam membuat iklan tersebut adalah bahwa kekuasan dapat
2
diraih dengan cara meningkatkan popularitas melalui iklan dan rekayasa citra,
maka hal inilah yang menjadi masalah.
Pola pikir semacam itu seakan-akan menyamakan antara barang politik
(partai politik, caleg, dan sebagainya) dengan barang/produk ekonomi yang
sesungguhnya sangat jauh berbeda. Dalam hal ini, misalnya, sabun cuci sebagai
barang ekonomi yang dipromosikan melalui iklan, yang memang bisa bermanfaat
untuk mencuci, disamakan dengan caleg yang juga dipromosikan melalui iklan,
namun belum tentu bisa bermanfaat bagi rakyat. Hal ini berarti, yang menjadi
tujuan dalam iklan politik adalah hanya semata-mata untuk meraih popularitas
dengan cara instan, bukan untuk mensosialisasikan konsep perjuangan rakyat atau
hal-hal konkrit yang telah dilakukan oleh tokoh yang bersangkutan yang telah
diakui oleh rakyat. Dalam konteks inilah, iklan politik kemudian lebih cenderung
menipu rakyat ketimbang mempromosikan tokoh yang benar-benar dibutuhkan
oleh rakyat dan memang memiliki
kapasitas dan pengalaman dalam
memperjuangan aspirasi rakyat.
Dari kedua fenomena tersebut di atas, jelaslah bahwa politik telah
mengalami pergeseran nilai, dan partai politik yang menjadi salah satu komponen
dalam politik itu sendiri juga mengalami pergeseran fungsi. Tulisan ini akan
menganalisis masalah tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara
lain :
1.
Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab dari terjadinya pergeseran nilai
dan pergeseran fungsi tersebut, yang kemudian membuat politik menjadi
kehilangan ruhnya, atau juga disebut sebagai politik yang tak berjiwa?
2.
Apa yang kemudian menjadi dampak dari terjadinya pergeseran nilai dan
fungsi dari politik dan partai politik, yang secara langsung maupun tidak
langsung
berpengaruh
terhadap
proses
berlangsung di Indonesia?
3
demokratisasi
yang
sedang
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Politik
Mengenai politik, Harold D. Lasswell, menyatakan bahwa politics is who
gets what, when and how. Politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan dengan
cara bagaimana (Hamad, 2007). Dalam dunia politik, komponen siapa (who)
adalah lembaga politik (yakni yang termasuk didalamnya antara lain partai politik,
parlemen, lembaga kepresidenan, dan sebagainya), kandidat politik, aktivis
politik, dan pejabat politik sebagai aktor politik. Selain bermaksud mendapatkan
kedudukan dan jabatan politik (gets what), lembaga, pejabat, dan kandidat politik
juga tentu ingin meraih perolehan materi. Musim (masa) Pemilu (baik yang
merupakan Pemilu anggota legislatif, pilpres, serta pilkada) adalah saat-saat
(when) yang dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai waktu yang digunakan
oleh lembaga dan kandidat dalam upayanya memperoleh keuntungan-keuntungan
politik. Sedangkan how merujuk pada cara mencapai tujuan-tujuan yang
dilakukan oleh lembaga dan atau kandidat politik.
Teori Partai Politik
Selanjutnya mengenai partai politik itu sendiri, menurut Carl J. Friedrich
dalam Budiardjo (2004), partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan
penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat
idiil maupun materiil. Perolehan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil bagi
partai dan para anggotanya (sebagian maupun keseluruhan) telah dicantumkan
secara jelas dalam definisi ini.
Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties juga
dalam Budiardjo (2004) mengemukakan bahwa partai politik adalah organisasi
dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah
serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lain yang memiliki pandangan berbeda. Sigmund Neumann
4
telah menyatakan tentang adanya persaingan yang akan dilakukan oleh partai
politik dalam rangka merebut dukungan rakyat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik –biasanya dengan cara konstitusionil– untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Budiardjo, 2004).
Teori Komunikasi Politik
Selanjutnya mengenai cara untuk mencapai tujuan-tujuan politik adalah
melalui komunikasi politik. Komunikasi politik menurut Sumarno dan Didi
Suhandi dalam Erwantoro (1996) adalah suatu proses, prosedur, dan kegiatan
membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi dalam suatu sistem
politik. Pengertian ini menunjuk kepada sikap dan perilaku seluruh individu yang
berada dalam lingkup sistem politik, baik sebagai penyelenggara pemerintah
maupun sebagai warga negara, sehingga terwujud jalinan komunikasi antara
suasana kehidupan politik pemerintah dengan suasana kehidupan politik
masyarakat. Dengan demikian, secara prinsip komunikasi politik adalah proses
meneruskan informasi politik yang relevan dari satu bagian sistem politik kepada
bagian lainnya, juga diantara sistem-sistem sosial dengan sistem politik.
Proses itu merupakan proses yang berkesinambungan yang melibatkan
pertukaran informasi di antara individu-individu yang satu dengan kelompokkelompoknya pada semua tingkat masyarakat. Adapun sifat informasi tersebut
tidak hanya mencakup perwujudan pandangan-pandangan serta harapan para
anggota masyarakat, tetapi juga merupakan sarana bagi para komunikator politik
untuk menyampaikan pandangan, usulan, dan anjuran kepada anggota masyarakat.
Dalam melakukan komunikasi politik terdapat bermacam saluran
komunikasi politik yang secara umum terbagi atas enam kelompok (Hamad,
2007), yaitu saluran komunikasi politik lini atas (above the line), saluran
komunikasi politik lini bawah (below the line), saluran komunikasi politik melalui
special event dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dirancang khusus untuk tujuan
5
politik, saluran komunikasi politik melalui media baru (new media), saluran
komunikasi
politik
dengan
komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication), dan media tradisional (folk art).
Teori Pemasaran Politik
Kemudian dalam rangka meraih dukungan masyarakat demi tercapainya
kekuasaan politik dan pemerintahan, terdapat sebagian politikus dan partai politik
yang menggunakan pendekatan dan metode pemasaran. Penggunaan metode
pemasaran dalam bidang politik dikenal sebagai pemasaran politik (political
marketing). Penggunaan pendekatan dan metode pemasaran tersebut adalah untuk
membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam
membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini
diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan
komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa (Firmanzah,
2008).
Menurut Adman Nursal (2004), pada dasarnya pemasaran politik adalah
serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka
panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih.
Tujuannya membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan
perilaku pemilih.
Dalam pemasaran politik, terdapat elemen yang disebut periklanan yang
merupakan salah satu sub dalam pemasaran (Setiyono, 2008). Melalui iklan,
warga atau masyarakat mengetahui lebih banyak mengenai suatu produk atau ide
yang dapat dipilih. Di banyak negara, iklan terbukti efektif dan efisien melakukan
komunikasi massa. Dengan memahami profesionalismenya, praktisi periklanan
dan komunikasi dapat mengoptimalkan peran iklan dalam membantu kampanye
partai politik.
Fenomena Iklan Politik dan Caleg Artis
Babak baru kehidupan berpolitik di Indonesia yang ditandai dengan
penerapan sistem multipartai telah melahirkan pula berbagai fenomena baru yang
6
dilakukan oleh partai politik dalam upayanya meraih simpati dan suara rakyat
Indonesia. Sebagian kalangan menilai fenomena ini sebagai politik tak berjiwa
yang telah menggeser peran dan fungsi partai politik yang saat ini lebih
berorientasi kepada upaya meraih dukungan sebanyak-banyaknya tanpa
memperdulikan program, visi dan misi yang seharusnya ditawarkan kepada rakyat
Indonesia sebagai solusi permasalahan negari ini.
Iklan (dalam hal ini adalah iklan politik) yang merupakan suatu bentuk
pemasaran politik, yang biasanya disajikan secara berulang-ulang, akan dapat
menarik perhatian orang. Menurut Jalaludin Rakmat, apabila suatu hal disajikan
secara berulang-ulang akan dapat menarik perhatian dan akhirnya mempengaruhi
bawah sadar seseorang. Selain itu, Wells, Burnett & Moriarty (2000) menyatakan
bahwa seseorang butuh untuk mendengar atau melihat sesuatu minimal tiga kali
sebelum hal yang didengar atau dilihat menempel dalam memori seseorang.
Informasi yang berasal dari terpaan iklan dan perasaan-perasaan yang terbentuk
daripadanya dapat mempengaruhi sikap terhadap obyek iklan dan akhirnya dapat
mempengaruhi tindakan khalayak.
Fenomena-fenomena tersebut menurut Eep Saefulloh Fatah dinamakan
juga dengan “demokrasi electoral” (electoral democracy) yaitu suatu kondisi
iklim demokrasi yang memfasilitasi terbangunnya pemilih (electorate) sebagai
penentu. Selain itu terdapat perubahan langgam hubungan di antara partai politik
dengan pemilihnya yang kemudian membentuk pasar politik (political market)
dengan aktivitas utama dari pasar politik tersebut yaitu pertukaran (exchange)
antara partai politik dengan pemilihnya.
Menurut Adnan Nursal (2004), terdapat 5 (lima) faktor yang membuat
pemasaran politik berkembang di Indonesia :
1. Sistem multipartai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai
politik dan memiliki konsekuensi akan timbulnya persaingan tajam antar
partai politik.
2. Pemilih telah lebih bebas menentukan pilihannya dibandingkan Pemilu
sebelumnya, sehingga syarat bagi penerapan political marketing terpenuhi.
3. Partai-partai lebih bebas menentukan platform dan identitas organisasinya.
7
4. Pemilu merupakan momentum sejarah yg penting dalam perjalanan bangsa
sehingga pihak-pihak berkepentingan, terutama elit politik akan berusaha
keras untuk ambil bagian.
5. Sistem pemilihan anggota parlemen, Dewan Perwakilan Daerah, dan
presiden secara langsung, yang kelak akan diikuti oleh pemilihan
gubernur, bupati dan walikota.
Kelima faktor ini merupakan alasan utama yang menjadi pemikiran pelaku
politik, dalam hal ini partai politik agar aktivitas politik mereka dapat diterima
oleh masyarakat. Selain itu juga sebagai wahana pembuktikan eksistensi mereka
dalam dunia perpolitikan.
Terkait penggunaaan iklan politik, data AC Nielsen menunjukkan bahwa
belanja iklan 41 partai politik pada Pemilu tahun 1999 mencapai Rp. 35,6 milyar
dengan total dana kampanye partai politik dalam Pemilu tahun 1999 berdasarkan
iklan yang ditayangkan dari 10 partai politik yang paling besar mengalokasikan
dana adalah Rp.34,0 milyar.
Sedangkan pada Pemilu 2004, penggunaan strategi periklanan dalam
kampanye politik makin semarak. Belanja iklan nasional partai politik mengalami
peningkatan yang signifikan. hasil riset Nielsen Media Research (NMR) periode
Maret 2004 menunjukkan bahwa total belanja iklan partai politik mencapai Rp.
112,2 milyar.
Untuk Pemilu tahun 2009, total belanja iklan partai politik peserta Pemilu
diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 2 triliun. Semakin ketatnya aturan bagi
partai politik yaitu dengan adanya aturan parliamentary threshold dan electoral
threshold berdasarkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 202
ayat 1, diyakini semakin membuat belanja iklan partai politik melonjak tajam.
Dari data yang diperoleh berdasarkan riset AC Nielsen periode kuartal I tahun
2009, 3 besar partai politik yang memiliki belanja iklan terbesar adalah Partai
Golkar menempati posisi teratas dalam membelanjakan iklan mencapai
Rp 185,153 miliar. Kemudian disusul oleh Partai Demokrat dengan belanja
sebanyak Rp 123,056 miliar, sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Partai
Gerinda sebesar Rp 66,716 miliar.
8
Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan
rakyat Indonesia yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu
memanipulasi diri agar tampak baik dan mengagumkan. Agaknya sebab itu pula,
dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para politisi itu tak menjual programnya,
tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi beberapa menit.
Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi
kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information
rationality.
Sementara itu, terkait dengan kebijakan sebagian partai politik yang
menetapkan calon legislatif dari kalangan artis, banyak yang meyakini bahwa hal
tersebut adalah upaya partai politik memanfaatkan popularitas yang bersangkutan
untuk mendongkrak perolehan suara partai tersebut. Sejak Mahkamah Konstitusi
(MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar penetapan anggota
legislatif, maka tak ayal lagi kalau popularitas dari calon yang diusung merupakan
salah satu modal terbesar untuk meraup suara.
Menjelang Pemilu 2009 lalu sebagian besar partai politik saling berlomba
merekrut para artis menjadi calon anggota legislatif yang bertujuan mendulang
suara sebesar-besarnya dengan meminjam popularitas mereka. Kualifikasi tak
menjadi soal karena kompetensi, kapabilitas, dan kualitas legislator tidak
dianggap penting lagi oleh partai politik. Artis hanya dijadikan magnet untuk
memikat pemilih dan mengakumulasi suara dalam kontestasi Pemilu. Mereka
berfungsi sebagai vote-getter semata. Tidak heran banyak artis tenar menghiasi
daftar usulan caleg hampir semua partai politik. Partai politik kini bertaburan
bintang sinetron dan penghibur sehingga telah berubah laksana rumah produksi
tempat para artis menjalani karier profesional di dunia hiburan.
Gejala Mengkhawatirkan
Perkembangan politik mutakhir ini menggambarkan setidaknya tiga gejala
yang mengkhawatirkan. Pertama, sikap pragmatisme ketika partai politik
berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan menempuh
cara termudah. Salah satu fungsi utama partai politik sebagai mesin politik dalam
9
proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan
pemilih agar bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke partai
politik bersangkutan atas dasar visi, agenda, dan program yang cocok dengan
aspirasi mereka. Namun, partai politik gagal menjalankan fungsi elementer ini
sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para artis yang menjadi
idola masyarakat.
Kedua, kegagalan proses kaderisasi di lingkungan partai politik yang
membawa dampak negatif ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti
memotong mata rantai proses kaderisasi internal partai politik. Hal ini akan
menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan menekuni kerja-kerja
kepartaian di tingkat akar rumput. Jika kader-kader partai politik terhalang
melakukan mobilitas vertikal (baca: menjadi caleg), maka akan melemahkan
kerja-kerja kepartaian karena mereka merasa tak mendapat penghargaan
semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu proses pelapukan
internal, mengingat kader-kader partai politik yang jauh lebih menghayati ideologi
dan memahami cita-cita perjuangan partai politik justru tersisih atau dikalahkan
oleh para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, partai
politik tak bisa lagi dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional
karena tak mampu melakukan proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan
terstruktur.
Ketiga, gejala ini juga mencerminkan pemahaman yang dangkal di
kalangan elite politik dan pimpinan partai politik mengenai makna dan hakikat
politik, idealisasi praktik politik, tujuan, dan orientasi berpolitik. Parlemen
sebagai institusi politik sebaiknya dihuni oleh orang-orang berkualifikasi yang
tecermin pada kualitas, kapabilitas, dan kompetensi. Parlemen terkait-erat dengan
dimensi paling fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan dan praktik
kenegaraan, yakni pembuatan kebijakan publik dan legislasi. Jika orang-orang
yang direkrut menjadi anggota parlemen tidak memenuhi kualifikasi, tak punya
pemahaman yang baik mengenai isu-isu strategis dan permasalahan utama dalam
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, maka sulit diharapkan DPR dapat
10
melahirkan produk kebijakan publik bermutu dan mampu menjawab aneka ragam
persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Dampak Yang Ditimbulkan
Dari pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa saat ini politik di Indonesia
telah berubah menjadi industri kekuasaan yang telah pula merubah orientasi dari
partai politik. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan semakin
majunya teknologi ternyata turut berimbas pada dinamika partai politik di
Indonesia agar tetap survive di tengah semakin ketatnya persaingan menuju
kekuasaan.
Fenomena yang berkembang di partai politik dalam upaya meraih simpati
rakyat merupakan hal yang wajar apabila diimbangi dengan usaha melakukan
pencerdasan politik kepada para konstituen dan up grading pengetahuan kepada
para caleg yang diusungnya, sebab jika hal ini tidak dilakukan dengan optimal
maka rakyat Indonesia sebagai penentu arah politiklah yang akan menjadi
korbannya.
Beberapa dampak yang dikhawatirkan akan muncul apabila pakem politik
dari partai politik tidak segera dikembalikan sesuai fungsinya antara lain adalah :
1. Praktik politik tidak akan berjalan dengan baik. Semangat reformasi di
bidang politik yang berupaya mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat
pada akhirnya hanya sebatas jargon semata. Praktik-praktik jual beli suara,
manipulasi data, black campaign, dan lainnya yang masih kerap terjadi,
mengindikasikan bahwa para pelaku politik di negeri ini masih berfikir
pragmatis dan instan. Setelah menjadi anggota legislatif pun sebagian dari
para wakil rakyat tidak menunjukkan praktik politik yang ideal.
2. Sistem keterwakilan menjadi tidak sehat. Partai politik hanya mewakili
rakyat dari segi kuantitas suara bukan dari sisi aspirasi rakyat. Setelah
menjadi anggota dewan, aspirasi pemilih yang seharusnya tersalurkan
melalui wakilnya sering tidak berjalan efektif.
11
3. Kualitas wakil rakyat menurun. Gencarnya iklan dan tingginya tingkat
popularitas wakil rakyat, telah berhasil menutupi kekurangan wawasan
calon yang bersangkutan.
4. Kualitas rumusan kebijakan menurun. Dampak dari menurunnya kualitas
wakil rakyat adalah menurunnya pula kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
oleh anggota dewan.
5. Masa depan penyelenggaraan negara terancam. Akibat dari menurunnya
kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh wakil rakyat, maka masa depan
penyelenggaraan negara ini menjadi terancam, sehingga penyelenggaraan
negara pada akhirnya tidak dipandang lagi (non legitimite).
Kesimpulan
John Lazarus (1999) mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam Pemilu
merupakan wujud tindakan pengorbanan seseorang demi orang lain dengan
sukarela, telah muncul dalam konteks sejarah evolusi manusia dan budaya
(altruisme). Bagi kaum hedonis (juga politisi), semua perilaku dimotivasi hasrat
menghindari rasa sakit dan mengejar rasa senang, sehingga altruisme berkarakter
egoistis. Idealnya, altruisme berkembang dengan baik dalam lingkungan
masyarakat kecil yang egaliter dan interaksinya sangat kental, karena sumber daya
dan lingkungannya sangat terbatas dan tidak menjadi ajang perebutan (Sumartias,
2009).
Di negara-negara maju, salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan proses
demokrasi dapat dilihat dari sejauh mana partai politik menjalankan perannya
dalam kerangka mengartikulasikan kepentingan publik, untuk dijadikan sebagai
sebuah agenda dalam proses formulasi kebijakan. Hal lain yang dapat menjadi
indikator terhadap keberhasilan partai politik dalam menjalankan perannya adalah,
apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang tercermin dalam janji politiknya
dapat diwujudkan. Dengan demikian, diharapkan partai politik senantiasa tampil
sebagai lokomotif dalam pencerahan proses demokrasi, termasuk pengembangan
pendidikan poltik dan budaya politik, yang pada akhirnya masyarakat dan elemenelemen lainnya lebih memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi.
12
Dengan demikian sudah selayaknya segala hingar-bingar politik yang
lebih mengedepankan hasil ketimbang proses ini segera di minimalisir agar
dampak negatif yang akan muncul dapat di atasi. Semoga harapan akan masa
depan bangsa Indonesia yang adil dan makmur dapat terwujud melalui prosesproses politik yang elegan dan dinamis serta benar-benar mencerminkan
kedaulatan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Cetakan ke-26). Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budi, Yohan. Fenomena Caleg Artis di Pemilu 2009, dalam www.KompasCetak.com
Erwantoro, H. (1996). Bahasa Politik di Indonesia dari Hiperbol ke Eufimisme
Suatu Analisis Komunikasi Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
POTENSIA.
Fatah, Eep Saefulloh. (2008). Dari Komunikasi Politik ke Political Marketing.
Makalah pada Diskusi Politk
Firmanzah. (2008). Marketing Politik antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Hamad, I. (2007). Political Marketing: Konsep dan Metode. Bisnis dan Birokrasi.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI
Nursal, Ahmad. (2004). Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Setiyono, B. (2008). Iklan dan Politik. Jakarta: AdGoal.com.
Sumartias, Suwandi. Politik Pencitraan Caleg. Harian Umum Pikiran Rakyat, 17
Februari 2009
Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Rakhmat, Jalaludin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Wells, W., Burnett, J., dan Moriarty, S. (2000). Advertising Principles and
Practice. New Jersey: Prentice-Hall International Inc..
13
Download