Praktek Money Politics dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu

advertisement
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PRAKTIK MONEY POLITICS DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
DAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI
KABUPATEN SABU RAIJUA TAHUN 2014
OLEH:
TIM PENELITI
KERJA SAMA DENGAN
KOMISI PEMILIHAN UMUM SABU RAIJUA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena tuntunan dan
bimbingan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penulisan riset ini.
Tulisan ini disusun merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mengetahui
gambaran umum mengenai dalam Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden
tahun 2014 dan sekaligus mengidentifikasi harapan dan kecenderungan masyarakat dalam
pemilu selanjutnya di Kabupaten Sabu Raijua.
Kami menyadari selama penyusunan, banyak mendapat bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini ijinkan Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sabu Raijua yang telah memberikan kesempatan untuk
melakukan penelitian ini.
2. Para informan kunci yang telah meluangkan waktu dalam memberikan jawaban mengenai
pengaruh money politics dalam Pemilihan Umum Legislatif, dan pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Harapan kami, semoga bantuan Bapak, Ibu yang diberikan kepada kami mendapat
kelimpahan dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di sadari dalam penulisan ini mempunyai keterbatasan dan kekurangan dan masih jauh
dari harapan serta kesempurnaan. Untuk itu dengan lapang dada kami menerima setiap kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya.
Kupang, Agustus 2015
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI .................................................................................................
ii
ABSTRAKSI .................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar belakang...................................................................................
1
B. Rumusan masalah .............................................................................
6
C. Tujuan ...............................................................................................
6
D. Manfaat ............................................................................................
7
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................
8
A. Pengertian Politik Uang (Money Politics) ........................................
8
B. Dampak Politik Uang ....................................................................... 10
C. Pengaruh Politik Uang Terhadap Pemilih......................................... 11
D. Partisipasi Politik ............................................................................. 12
BAB III METODOLOGI .............................................................................. 17
A. Metode .............................................................................................. 17
B. Sumber Data...................................................................................... 17
C. Teknik Pengambilan Data................................................................. 17
D. Teknik Analisis Data......................................................................... 18
E. Lokasi Penelitian............................................................................... 18
BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 19
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian................................................. 19
B. Pembahasan Hasil Penelitian ............................................................ 22
BAB V PENUTUP......................................................................................... 39
A. Kesimpulan....................................................................................... 39
B. Saran................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA
ii
PRAKTIK MONEY POLITICS DALAM PEMILU LEGISLATIF DAN
PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI
KABUPATEN SABU RAIJUA TAHUN 2014
ABSTRAK
Adapun praktik money politics dalam Pemilu Legislatif dan Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden di Kabupaten Sabu Raijua tahun 2014 masih terlihat. Pada
proses demokrasi level akar rumput (grass root), praktik money politics tumbuh subur.
Karena dianggap sebagai suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya.
Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif harus
dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu
diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes. Masyarakat Kabupaten Sabu
Raijua menilai money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan
sebagaian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan pramagtisme
politik, yang tidak hanya dipraktikan oleh elit politik tetapi juga telah menyebar ke dalam
kultur terlihat masyarakat. Dalam penelitian ini nantinya akan dipelajari mengenai adanya
pergeseran nilai di masyarakat Kabupaten Sabu Raijua tentang praktik money politics yang
semula dianggap penyelewengan menjadi sesuatu yang wajar.
iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara hukum, pada kenyataannya supremasi bukannya
pada kekuatan Hukum namun kekuatan atau kekuasaan tertinggi sebelum amandemen
UUD 1945 masih ada pada MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat, sehingga
supremasinya adalah supremasi parlemen. Salah satu perubahan mendasar dari hasil
amandemen UUD 1945 adalah menyangkut masalah pengisian jabatan kepala daerah.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis. Frase “dipilih secara demokratis” mengisyaratkan bahwa proses
pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan (melalui institusi DPRD) yang
berlangsung sebelum amandemen UUD 1945 masih sangat jauh dari demokratis.
Menurut Jimly Asshiddiqie perkataan ‘dipilih secara demokratis’ bersifat
luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat
ataupun oleh DPRD seperti yang pada umumnya sekarang dipraktekkan di daerahdaerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai suatu sistem, Pemilihan Umum secara langsung mempunyai bagianbagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sistem
(subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process
dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau
aturan mengenai Pemilihan Umum, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi
penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masingmasing.
1
Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung
dengan Pemilihan Umum yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik
yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakkan
hukum terhadap aturan-aturan pemilihan umum baik politis, administratif atau
pidana.
Ketiga bagian sistem Pemilihan Umum langsung tersebut sangat menentukan
sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses
awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan
suatu kesatuan utuh yang komplementer. Termasuk halnya dengan sistem
pendaftaran dan penetapan daftar pemilih.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah bersepakat pengganti
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan sudah disahkan
oleh presiden menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Sebagian isi Undangundang yang baru ini (Pasal 56 s/d Pasal 119) berisi prosedur dan mekanisme
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Ramlan Surbakti menjawab pertanyaan mengapa calon anggota legislatif dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum? Jawaban yang pertama agar
lebih konsisten dengan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan
presidensial antara lain ditandai oleh pemilihan kepala pemerintahan secara langsung
oleh rakyat. Kedua, untuk menciptakan pembagian kekuasaan yang seimbang dan
saling mengecek antara DPRD dan kepala daerah/wakil kepala daerah. Salah satu ciri
pemerintahan yang menganut pembagian kekuasaan yang seimbang dan saling
mengecek adalah baik lembaga legislatif maupun eksekutif sama-sama dipilih secara
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
2
Pemilihan umum yang dipilih secara langsung di Indonesia yang dimulai Juni
2005 sering dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Istilah ini bisa diartikan positif
maupun negatif. Dalam pengertian positif, pemilihan umum secara langsung sebagai
sarana demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur
politik untuk memilih calon legislatif secara langsung melalui mekanisme
pemungutan suara. Sarana ini akan membuat keseimbangan dengan suprastruktur
politik, karena melalui pemilihan langsung rakyat dapat menentukan jalannya
pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia.
Dalam pengertian negatif, Pemilihan umum secara langsung sebagai “lompatan
demokrasi” mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dan proses pemilihan
umum. Proses ini sering dianggap sebagai ”pesta demokrasi rakyat” dimana rakyat
berhak untuk membuat apa saja, termasuk tindakan-tindakan anarki, baik atas
inisiatif sendiri maupun yang dimobilisasi oleh kandidat dan pendukungnya atau
karena dorongan partai politik sebagai pihak yang mengajukan kandidat tersebut.
Bagi masyarakat umum, pemilihan umum secara langsung sering juga ditafsirkan
sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat
menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi.
Itulah fenomena money politics dalam pemilihan umum legislatif yang di tengah
kegamangan ”lompatan demokrasi” tersebut lahirnya cenderung ditoleransi
keberadaannya. Dengan alasan, kedua belah pihak baik kandidat maupun rakyat
sama-sama membutuhkannya. Sepanjang tidak ada unsur pemaksaan dan intimidasi
atau bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya, praktek politik uang semacam itu
biasanya sulit untuk ditindak atau dikenai hukuman, kecuali yang tertangkap basah.
Pelaku yang tidak tertangkap akan sulit melacaknya, apalagi jika mempertimbangkan
suatu klausul bahwa calon pemilih bisa saja menerima pemberian uang oleh kandidat
3
atau tim suksesnya, namun dia bebas menentukan pilihannya. Klausul inilah yang
biasanya dianggap sebagai “jalan kompromi” untuk menoleransi politik uang
ditengah berlakunya hukum ekonomi pemilu, yaitu adanya supply and demand antara
pihak kandidat dan pemilih.
Harkristuti Harkrisnowo dalam diskusi bertema politik uang dalam pemilihan
umum di Jakarta menjelaskan bahwa:
ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan
pemilihan calon legislatif secara langsung dinilai masih terlalu longgar sehingga
belum bisa menjerat para pelaku politik uang (money politics) dengan hukuman
yang setimpal. Dengan undang-undang yang masih mempunyai banyak celah
yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan kecurangan,
termasuk praktek politik uang. Akibatnya, indikasi praktek politik uang oleh
seorang calon legislatif bisa dengan mudah dipatahkan dengan alasan si pemberi
materi atau uang bukanlah calon anggota legislatif yang bersangkutan atau tim
suksesnya.
Masyarakat Indonesia berharap pada pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif ini
dapat berjalan secara demokratis, jujur dan adil. Dari gambaran singkat diatas, sangat
banyak faktor-faktor untuk terjadinya pelanggaran politik uang dalam Pemilihan
Umum legislatif serta pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden serta juga
sangat sukar untuk menjerat pelaku-pelaku politik uang dalam Pemilihan Umum
sampai ke proses pengadilan.
Sistem Pemilihan Umum legislatif secara langsung tahun 2014 membuka
maraknya praktik money politics di Kabupaten Sabu Raijua. Dalam situasi serba sulit,
uang merupakan alat kampanye yang cukup ampuh untuk mempengaruhi masyarakat
guna memilih calon legislatif tertentu. Kecerdasan intelektual dan kesalehan pribadi
4
tidak menjadi tolak ukur kelayakan bagi calon legislatif, tetapi kekayaan
finansial turut menjadi penentu pemenangan dalam pemilu.
Pada proses demokrasi level akar rumput (grass root), praktik money politics
tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap
bahayanya.
Dalam perspektif sosiologi politik, fenomena bantuan politis ini dipahami
sebagai wujud sistem pertukaran sosial yang biasa terjadi dalam realitas permainan
politik. Karena interaksi politik memang meniscayakan sikap seseorang untuk
dipenuhi oleh penggarapan timbal balik (reciprocity). Dengan kata lain, relasi
resiprositas merupakan dasar bagi terciptanya sistem pertukaran sosial yang
seimbang.
Perilaku money politics dalam konteks politik sekarang, seringkali diatas
namakan sebagai bantuan, dan lain – lain. Pergeseran istilah money politics ke dalam
istilah moral ini secara tidak langsung telah menghasilkan perlindungan secara sosial
melalui norma kultural masyarakat yang melazimkan tindakan itu terjadi. Tatkala
masyarakat telah menganggapnya sebagai tindakan yang wajar, maka kekuatan legal
formal hukum akan kesulitan menjangkaunya. Karena itu dibutuhkan kerangka kerja
tafsir untuk memahami setiap makna yang tersimpan di balik perilaku politik
(political behaviour) sehingga dapat memudahkan dalam pemisahan secara analitik
antara pemberian yang sarat dengan nuansa suap, dan pemberian dalam arti
sesungguhnya sebagai bantuan (Umam, 2006:47).
Melihat kenyataan bahwa praktik money politics telah begitu melekat dalam
kehidupan masyarakat, mulai dari level tingkat bawah hingga atas, maka persoalan
yang pelik ini harus disikapi dengan serius. Persoalan yang terkesan remeh namun
memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan
5
penegakkan hukum (supremacy) di Indonesia. Money politics membuat proses politik
menjadi bias. Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran,
keadilan serta persaingan yang sehat. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan
pemerintah yang tidak memikirkan nasib serta kesejahteraan rakyat.
Namun demikian, masyarakat tidak bisa memberikan justifikasi hukum
terhadap semua pemberian politis sebagai bentuk money politics. Karena ketetapan
hukum atas pemberian politis ini harus melalui proses interpretasi berupa upaya
pemahaman secara mendalam terhadap makna kepentingan yang sesungguhnya di
balik perilaku politik terlebih dahulu, sehingga publik dapat mengetahui alasan yang
mendasari suatu tindakan atau bantuan tersebut. Berangkat dari latar belakang
pemikiran inilah kami ingin mengadakan penelitian mengenai tema diatas dengan
mengambil lokasi di Kabupaten Sabu Raijua.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang
menjadi fokus riset ini mencakup: Bagaimana Money Politics mempengaruhi
partisipasi politik dan dampaknya bagi masyarakat Kabupaten Sabu Raijua ?
C. Tujuan
Tujuan yang diharapkan dari riset ini adalah memperoleh deskripsi yang jelas
dan empirik lewat analisis komperehensif mengenai beberapa hal yang meliputi
sejumlah poin berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana Money Politics ?
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh Money Politics terhadap partisipasi
pemilih dalam menentukan pilihan.
3. Untuk mengetahui dampak dari Money Politics ?
6
D. Manfaat
Beberapa manfaat yang ingin didapat dari riset ini adalah :
1. Basis data analisis bagi evaluasi penyelenggaraan pemilu sebelumnya terutama
Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
tahun 2014, dan pijakan bagi perbaikan penyelenggaraan Pemilihan Umum
selanjutnya.
2. Basis empirik berdasarkan riset bagi peningkatan kualitas penyelenggara dan
penyelenggaraan Pemilihan Umum.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Politik Uang (Money Politics)
Istilah politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan
istilah korupsi politik (political corruption). Apabila penggunaan uang pribadi dalam
kampanye disebut sebagai money politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang
bersih dari korupsi. Indra J. Piliang (2011) menyatakan bahwa dalam sejumlah penelitian
tentang pemilihan umum, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan
bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Kalau
kepala desa itu terpilih, lalu dianggap melakukan politik uang, tentu akan menghadapi
krisis multilevel dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi atas pemerintahan atau
pimpinan formal. Pada titik inilah terjadi bias antara politik uang (money politics) dengan
biaya politik (cost politics).
Karena itulah belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics. Tidak ada
batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk
keperluan yang kongkrit. Garis demarkasi antara money politics (politik uang) dan
political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur. Indra Ismawan
(1999: 5-10) dalam bukunya Pengaruh Uang Dalam Pemilu, menyatakan bahwa politik
uang biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan
imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara
pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan
(range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara.
8
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menerbitkan aturan tentang
politik uang ini. Politik uang yang dimaksud mempunyai pengertian tindakan membagibagi uang bagi sebagai milik partai atau pribadi untuk membeli suara. Melalui Peraturan
Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye, Komisi Pemilihan Umum telah
dengan tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada peserta kampanye.
Selain itu dalam pasal 49 dijelaskan pula bahwa ancaman pelanggaran atas
praktek politik uang dapat dibatalkan keterpilihanya, apabila:
1) terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya
sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak
langsung untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tertentu;
atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu, dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang.
2) Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), inisiatifnya berasal dari pelaksana kampanye untuk mempengaruhi pemilih.
(3) Materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk barang-barang yang
merupakan alat peraga atau bahan kampanye pemilu.
9
Praktik politik uang paling marak terjadi pada saat kampanye. Menurut Robi
Cahyadi Kurniawan (2009), kampanye merupakan bagian penting dalam proses
pemilihan umum yang melibatkan dua unsur penting, yaitu: peserta pemilihan umum dan
warga yang mempunyai hak pilih. Analoginya adalah peserta pemilu merupakan penjual,
dan warga adalah pembeli yang dapat melakukan deal politik berkat ketertarikan visi,
program, dan/atau janji berupa uang dan barang. Politik uang dapat dilakukan oleh aktor
secara langsung ataupun tidak langsung, misalnya melalui tim sukses.
B. Dampak Politik Uang
Sabilal (2009) menyatakan bahwa praktek politik uang pada proses demokrasi
level akar rumput (grass root) tumbuh subur karena dianggap suatu kewajaran,
masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak
merasa bahwa money politics secara normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan
wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat,
namun tidak ada protes.
Fuji Hastuti (2012) berpendapat bahwa disadari atau tidak, penggunaan politik
uang sebagai alat mencapai tujuan politik telah mengesampingkan uang dari posisi
sebagai tujuan utama pelaku transaksi politik uang akhirnya mendapatkan uang sebagai
konsekuensi dari kekuasaan. Tetapi ketika mereka bertransaksi fokus tidak dilakukan
pada uang itu sendiri melainkan pada “kekuasaan”. Persoalan yang terkesan remeh namun
memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan
penegakan hukum di Indonesia. Politik uang membuat proses politik menjadi bias. Akibat
penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta
persaingan yang fair. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak
memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Mantan Presiden Susilo Bambang
10
Yudhoyono pun menegaskan bahwa politik uang dapat merusak demokrasi, mengkhianati
kepercayaan publik dan akan melahirkan demokrasi palsu.
Selain itu, politik uang adalah mata rantai dari terbentuknya kartel politik. Kartel
hanya terjadi bila kontrol keuangan dalam sistem kapitalistik tidak berlangsung dan
praktek money politics berlangsung liar. Pada tahap selanjutnya, hal tersebut akan
memicu munculnya praktek korupsi politik. Hamdan Zoelva (2013) menyebutkan bahwa
political corruption sendiri melibatkan pembentuk undang-undang (raja, diktator,
legislatif) yang berperan sebagai pembentuk peraturan dan standar-standar yang
diberlakukan negara, para pejabat menerima suap atau dana untuk kepentingan politik dan
pribadi mereka dan memberikan bantuan kepada pendukung mereka dengan
mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar.
C. Pengaruh Politik Uang Terhadap Pemilih
Sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku politik tidak dapat diukur secara
pasti. Perilaku politik masyarakat dapat berubah-ubah sesuai dengan prefensi yang
melatarinya. Kejadian itu sangat memungkinkan karena setiap manusia dan masyarakat
hidup dalam suatu ruang yang bergerak. Leo Agustino (2009) menyebutkan berbagai
perubahan perilaku politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi politik,
banyak ditunjukan oleh mereka diantaranya disebabkan oleh perubahan sistem politik,
tumbuhnya kesadaran kelas, termasuk orang yang berpengaruh pada suatu partai politik,
berkurangnya tingkat ketergantungan seseorang, program yang ditawarkan pasangan
calon, dan masih banyak lagi.
Menurut John Markoff (2002), Indonesia saat ini mengalami hybrid demokrasi.
Yang dimaksud hybrid demokrasi adalah mekanisme demokrasi berlangsung secara
bersama-sama dengan praktek-praktek non-demokratis. Pemilihan umum sebagai salah
satu pilar demokrasi politik berjalan beriringan dengan perilaku money politics yang
11
sejatinya merusak demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih menjadi layak untuk
dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon berdasarkan program dan visi yang
ditawarkan tapi hanya berdasar jumlah uang yang diterima menjelang pemilihan. Dalam
hal ini maka menurut teori John Markoff maka perilaku pemilih di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor non-demokratis.
Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak pilih tersebut
adalah partisipasi semu. Halili mengutip Larry Diamond menyebutkan bahwa partisipasi
demikian akan melahirkan sebagai demokrasi semu (pseudo democracy), dimana
keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi sebenarnya
(hakiki). Simbol-simbol demokrasi (misalnya prosedur electoral) mengandung elemenelemen yang hakikatnya penyelewengan terhadap demokrasi.
D. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan
taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang
bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung
guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo (1999:112) mengatakan, “Partisipasi adalah berbagai
corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbal
balik antara pemerintah dan warganya.”
Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa
bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis,
secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
12
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara
dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral
participation). Kedua, partisipasi kelompok (group participation). Ketiga, kontak antara
warga negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan keempat,
partisipasi warga negara secara langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice, (1997:3)
Political participation in developing. Sedangkan Ramlan Surbakti (Rahmat 1998:128)
mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam
mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan
pemimpin pemerintah.
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu:
pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup
kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan
komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik,
tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut
berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi
politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan
pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu, padahal justru
kajian ini pada warga negara biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang
dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan
misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara - cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara mengubah aspek-aspek
sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan
pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi
politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi
13
pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima,
partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh
pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung
melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang
dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi kegiatan dibagi menjadi dua,
yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi masukan dan keluaran
suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai
suatu kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan
kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan
pemerintahan.
b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada segi keluaran suatu sistem
politik. Misalnya, kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan
begitu saja setiap keputusan pemerintah. (Sastroadmojo, 1995:74)
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok orang yang
menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada dinilai telah menyinggung dari apa
yang dicita-citakan sehingga tidak ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut
dalam politik mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.
a. Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya
perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
b. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”,
dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat
14
dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak
ada hasilnya.
c. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan
pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan
politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.
d. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan
ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan
dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari
tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak (Michael Rush dan Althoff,
1989:131)
Menurut Rosenberg dalam Michael Rush dan Althoff, (1989:131) ada 3 alasan
mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik:
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman
terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik
dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena
kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang
ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini
individu merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena
jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tidak ada lagi aktifitas politik yang
kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat
atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk
mendorong aktifitas politik.
Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat
atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apatis. Disini
15
individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi
sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa
kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang
relatif kecil.
Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali
tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan
kebutuhan material individu itu.
16
BAB III
METODOLOGI
A. Metode
Riset ini merupakan survei ahli yang menggunakan metode campuran (mixed method)
antar metode kuantitatif dan kualitatif. Metode campuran yang digunakan di dalam
survei ini adalah menggabungkan sejumlah teknik yang biasa dipakai dalam riset
kuantitatif dan kualitatif.
B. Sumber Data
Riset ini dilakukan terhadap informan kunci yang tinggal di lokasi riset yang
diklasifikasikan sebagai orang yang berkecimpung langsung dengan penyelenggara
penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2014 lalu dan atau
mengamati pemilu dan pemilukada. Adapun para informan kunci dimaksud meliputi
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu), Gakumdu, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Panitia Penyelenggara
Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), aktifis Partai Politik, Relawan
Demokrasi dan wartawan.
C. Teknik Pengambilan Data
Riset ini menggunakan teknik pengambilan data gabungan antara teknik yang
biasa digunakan dalam riset kuantitatif dan kualitatif. Adapun teknik pengambilan
data dimaksud meliputi penggunaan kuisioner seperti yang dipakai dalam riset
kuantitatif digabungkan dengan wawancara mendalam yang dilakukan langsung oleh
peneliti layaknya dalam riset kualitatif dan juga termasuk focused group discussion
17
(FGD). Selain itu survey ahli ini juga memanfaatkan basis data sekunder sebagai
sumber data.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam riset ini adalah analisis deskriptif yang dilakukan dengan
melewati sejumlah proses yang diawali dengan kuantifikasi terhadap seluruh
tanggapan yang diberikan para informan kunci. Dikarenakan metode riset ini adalah
campuran, maka kuantifikasi dimaksud adalah inventarisasi semua tanggapan yang
muncul dari informan kunci untuk selanjutnya dilakukan klasifikasi. Dengan
demikian, hasil kuantifikasi nantinya bukanlah merupakan representasi dari sample
tetapi hanya untuk menunjukkan tinggi rendahnya hasil ukur terhadap indikator yang
mengejewantah melalui tanggapan – tanggapan para informasi kunci untuk
mengetahui pola sikap dan partisipasi pemilih. Kuantifikasi dari klasifikasi tersebut
pada gilirannya diinterpretasi untuk memenuhi kebutuhan induksi yang digunakan
dalam riset ini.
E. Lokasi Penelitian
Area yang menjadi lokasi riset ini adalah wilayah Kabupaten Sabu Raijua yang terdiri
dari 6 Kecamatan.
18
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Sabu Raijua merupakan daerah otonomi baru di Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang dimekarkan dari Kabupaten Kupang dan disahkan Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2008 dan diresmikan oleh Menteri Dalam
Negeri pada tanggal 26 Mei 2009. Ibukota Kabupaten Sabu Raijua berada di Seba,
Kecamatan Sabu Barat. Cakupan wilayah Kabupaten Sabu Raijua meliputi :
Kecamatan Sabu Barat
Kecamatan Sabu Tengah
Kecamatan Sabu Timur
Kecamatan Sabu Liae
Kecamatan Hawu Mehara
Kecamatan Raijua
-
Letak dan Batas Administrasi Daerah
Secara administratif, batas wilayah Kabupaten Sabu Raijua :
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sabu
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sabu
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sabu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia
-
Luas Wilayah
Luas Wilayah daratan 480,78 km2 atau 48.078 Ha. Meliputi Pulau Sabu, Pulau
Raijua, Pulau Dana dan Pulau Wadu Wea.
19
Pulau Sabu
: 44.172,48 Ha
Pulau Raijua
: 3.815,88 Ha
Pulau Dana
: 89,35 Ha
Pulau Wadu Wea
: 0,29 Ha
Panjang garis pantai
: 134, 36 Km
Luas wilayah laut 4 Mil : 136.954,74 Ha
Total luas wilayah daratan ditambah luas wilayah laut : 185.032, 74 Ha
2. Kondisi Topografi
Dari segi topografi, ketinggian tanah untuk wilayah Kabupaten Sabu Raijua rata – rata
antara 0 – 310 meter dari permukaan laut serta dari daratan rendah berada dipesisir.
Dataran agak tinggi berada di sebagian wilayah Kecamatan Sabu Barat, Hawu
Mehara, Sabu Liae dan Sabu Timur.
-
Batas Wilayah Kecamatan
 Kecamatan Sabu Barat
Kecamatan Sabu Barat adalah wilayah kecamatan terluas dalam Wilayah
Kabupaten Sabu Raijua dengan luas wilayah 152,44 km2 (28,81 %) dari luas
wilayah Kabupaten Sabu Raijua yang diapit oleh 3 kecamatan yakni bagian
timur berbatasan dengan Kecamatan Sabu Tengah, bagian selatan berbatasan
dengan Kecamatan Sabu Liae, bagian selatan berbatasan dengan Laut Sabu
sedangkan bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Hawu Mehara.
 Kecamatan Hawu Mehara
Letak geografis Kecamatan Hawu Mehara, bagian utara berbatasan dengan
Sabu Barat, bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Samudra Indonesia,
20
Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Sabu Liae, Bagian Barat
berbatasan dengan Laut Sabu dengan luas wilayah 65,36 km2 (12,35%)
 Kecamatan Raijua
Kecamatan Raijua, bagian utara berbatasan dengan Laut Sabu, bagian
selatan berbatasan dengan Laut Indonesia, Bagian Timur berbatasan dengan
Selat Raijua, bagian barat berbatasan dengan Laut Sabu dengan luas wilayah
126,9 km2 (23,99%) dari Luas Wilayah Kabupaten Sabu Raijua.
 Kecamatan Sabu Timur
Secara geografis Kecamatan Sabu Timur memilik luas wilayah 60,45 km 2
(11,4%) dari daerah Kabupaten Sabu Raijua yang berbatasan pada bagian
utara dengan Laut Sabu, bagian selatan dengan Samudra Indonesia, bagian
timur dengan Laut Sabu dan bagian baratdengan Kecamatan Sabu Tengah.
 Kecamatan Sabu Tengah
Kecamatan Sabu Tengah dengan luas wilayah 66,85 km2 (12,6%) dari luas
daerah Kabupaten yang berbatasan pada bagian utara dengan Laut Sabu,
bagian Selatan dengan Kecamatan Liae, bagian tim
ur berbatasan dengan Kecamatan Liae, bagian Timur berbatasan dengan
Sabu timur bagian barat dengan Kecamatan Sabu Barat.
 Kecamatan Sabu Liae
Kecamatan Sabu Liae dengan luas wilayah 57,05 km2 (10,78%) dari luas
daerah Kabupaten pada bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Sabu
Barat, bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, bagian timur
berbatasan dengan Kecamatan Sabu Tengah dan Bagian Barat berbatasan
dengan Laut Sabu.
21
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Bagaimana money politics mempengaruhi partisipasi pemilih legislatif di
Kabupaten Sabu Raijua
Berbicara tentang kekuasaan maka tidak terlepas dari kehidupan manusia dimana
dalam interaksi sosialnya manusia ada yang memimpin dan ada yang dipimpin.
Fenomena social ini di Negara Moderen untuk menetapkan seseorang menjadi pemimpin
dilakukan secara Demokratis yaitu lewat Pemilu. Kuasa disenangi semua orang, hal ini
karena didalam kuasa ada harta, takhta, peningkatan strata sosial dan sebagainya, yang
mana orang atau kelompok yang ingin mendapatkannya ada yang dilakukan dengan baik
atau sesuai ketentuan yang berlaku objektif tetapi ada juga yang dilakukan dengan cara –
cara yang oleh Michael Velli yaitu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, atau
dengan segala upaya baik benar atau tidak benar hasrat untuk mendapatkan kekuasaan
dicapai.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa fenomena sosial ini ada dalam konteks
pemilu legislatif, maupun
pemilihan presiden. Politik uang adalah suatu bentuk
pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya
untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang
adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden bahwa Politik uang
umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari
H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk
uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan
untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang
bersangkutan ataupun calon tersebut.
22
Menurut peneliti, kehidupan politik sejatinya adalah untuk mewujudkan idealisme
bagi masyarakat dan negara. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam prakteknya
politik uang adalah untuk mempengaruhi dan menggiring pilihan dan opini masyarakat
dengan segala cara. Sehingga, seseorang dan sekelompok orang bisa meraih kekuasaan
dengan pilihan dan opini masyarakat yang berhasil di bangunnya atau dipengaruhinya. Ini
memerlukan modal atau dukungan pemilik modal. Sehingga wajar jika seseorang dan
partai perlu mengarahkan dana yang tidak sedikit. Pemilu menjelma menjadi ajang
pertaruhan yang besar. Namun sangat sulit untuk mengharapkan ketulusan dan ketidak
pamrihan dari investasi dan resiko yang ditanggung politisi.
Selain itu penyebab terjadinya money politics bisa disebabkan kurang tegasnya
hukum di Indonesia. Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:
"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang
ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara
tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat
sesuatu.
Lebih lanjut untuk mempertegas pendapat diatas kami mengemukakan pendapat
responden mengenai Money politics yaitu menurut salah satu tokoh masyarakat Sabu
Raijua:
Money Politics adalah jual beli suara, dalam konteks Sabu Raijua, masyarakat
Sabu Raijua jika dilihat dari tingkat ekonominya kebanyakan masyarakat yang tidak
memiliki penghasilan tetap, sehingga jika di lihat money politics ada itu atau tidak sulit
untuk dibuktikan. Kalau kita memakai teori probabilitas, kemungkinan itu ada. Hanya
persoalannya seberapa persen kah money
23
politics berpengaruh terhadap pemilih,di
bandingkan dengan yang tidak melakukan money politics. Dalam penelitian ini peluang
untuk itu selalu ada. Tetapi tidak mendominasi seluruh tingkat partisipasi masyarakat
dalam menggunakan hak pilihnya. Boleh dikatakan bahwa di suatu masyarakat yang
tingkat ekonominya sangat rentan terhadap pendapatan yang tidak tetap, besar
kemungkinan oleh orang-orang tertentu akan menggunakan kekurangan itu untuk
kepentingan – kepentingan mereka, Hanya saja masyarakat kita masih terikat oleh rasa
emosional mereka untuk memilih siapa yang dekat dengan mereka. Dalam pemahaman
ini muncul anggapan mudah – mudahan dengan memilih berdasarkan unsur kedekatan
secara emosional dengan mereka itu berarti mereka tidak menjual harga diri mereka
hanya untuk 1 rupiah,atau katakanlah Rp. 25.000, ataupun Rp. 50.000,- tetapi pada
tingkat dimana partisipasi masyarakat yang sudah memahami hak politik dengan baik
dikategorikan sebagai pemilih rasional, kondisi ini berbanding terbalik dengan pemilih
yang menggunakan emosional, dimana julahnya tidak banyak, hanya berapa persen saja.
Untuk itu masih dibutuh orang – orang tertentu untuk melakukan pencerahan politik
sehingga dapat memberi perubahan dari waktu ke waktu, dalam pemilu legislatif, pemilu
presiden dan pemilu kepala daerah, orang – orang tersebut terus melakukan pencerahan –
pencerahan politik. Money Politics sebagai instrumen penting untuk mendapatkan
dukungan politik dari berbagai segmen politik, penggunaannya juga didistribusikan
kepada berbagai segmen penting dalam masyarakat seperti tokoh
agama, tokoh
masyarakat, tokoh kepemudaan di Kabupaten Sabu Raijua. Money Politics merupakan
model penyuapan dan salah satu cara pintas bagi seseorang yang ingin menduduki jabatan
atau meraih kesuksesan dalam pemilihan umum. Money Politics merupakan pelanggaran
kampanye yang sering digunakan atau ditempuh dalam memperoleh dukungan dalam
masyarakat. Suara rakyat yang sering didengungkan sebagai suara Tuhan, hanyalah
isapan jempol belaka. Yang sering diucapkan oleh para politikus dan ungkapan ini
24
bersifat manipulatif jika diperhadapakan dengan realitas bahwa uang dan kepentingan
dijadikan sebagai alat utama dalam mendapatkan kekuasaan. Praktik money Politics di
Kabupaten Sabu Raijua lebih mengarah kepada kalangan menengah ke bawah dengan
dasar kebutuhan ekonomi yang dirasakan kurang. Praktik ini dilakukan oleh oknum
politik yang memiliki kemampuan keuangan yang banyak. Praktik ini bahkan dilakukan
secara terang – terangan lewat sumbangan baik sarana maupun prasarana ataupun
renovasi sarana sosial bahkan individu – individu di pelosok pedesaan menerima
pemberian panas ini, dengan syarat memberikan suaranya pada ajang pemungutan suara.
Ini sudah menjadi rahasia umum bahwa para calon legislatif mengeluarkan uang yang
banyak untuk mendapatkan kursi di DPRD. Dengan penjelasan diatas maka menurut
peneliti jelaslah masalah dalam pertanyaan penelitian yaitu bagaimana Money Politics
mempengaruhi partisipasi politik dan dampaknya bagi masyarakat Kabupaten Sabu
Raijua telah dilihat jawabannya. Politik uang dapat mempengaruhi masyarakat yang tidak
mempunyai penghasilan tetap dengan sasaran pada pemilih tradisional.
Lebih lanjut dilihat dari aspek hukum, maka sesuai hasil penelitian sulit untuk
membuktikan adanya money politics. Karena yang tahu hanya si pemberi dan si penerima,
bagaimana cara komunikasi antara mereka pun tidak diketahui secara persis. Hanya orang
– orang tertentu yang sudah ahli dalam bidang ini. Yang bisa menentukan sasaran yang
tepat untuk dapat melakukan money politics.
Kampanye gerakan masyarakat untuk menolak politik uang, dilakukan secara
radikal terhadap politik uang, bahwa politik uang adalah sesuatu yang busuk, ini
bermaksud dalam rangka pembentukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
pencerahan secara terstruktur dilakukan melalui program pemerintah, penyelenggara
(KPU, Panwaslu)
dalam memberikan pencerahan nilai edukatif untuk masalah
pendidikan politik yang baik. Tidak hanya melihat yang salah lalu melaporkan. Tetapi di
25
setiap tubuh institusi harus membawa nilai – nilai yang memberikan pencerahan politik
kepada masyarakat.
Sesuai hasil penelitian maka didapati fakta bahwa masyarakat di Kabupaten Sabu
Raijua jika dilihat dari IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang berpendidikan rendah,
kemisikinan, di daerah yang terisolir itu sangat rentan terhadap permainan apapun.
Karena dalam diri mereka itu tidak mempunyai pendirian yang tetap dan labil sekali.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden dalam mendukung
penjelasan diatas maka peneliti menampilkan hasil wawancara penulis dengan beberapa
informan kunci sebagai berikut.
Wawancara penulis dengan Ketua KPUD Sabu Raijua didapati jawaban
bahwa money politics itu sebenarnya adalah upaya membeli suara dengan berupa
barang, uang ataupun jasa. Money Politics dalam pemilihan umum menunjukkan
betapa lemahnya pengawasan pemerintah yang sebenarnya memiliki tugas dalam
mengawasi dan mencegah money politics. Sehingga hasil yang didapatkan
berkualitas, bersih, santun dan beretika. Tidak jarang kita melihat kinerja perilaku
para pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum banyak
memberitakan penyimpangan – penyimpangan dan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh para wakil rakyat. Dan banyak pula anggota DPRD yang bermasalah
dalam kasus hukum seperti kasus korupsi, kode etik, ketidak hadiran dalam rapat
penting. Dalam pemilu legislatif di Kabupaten Sabu Raijua, money politics ibarat
sesuatu yang tidak dapat dibuktikan tetapi ada di tengah kehidupan masyarakat.
Dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden, money politics ibarat kentut, dapat
dicium baunya namun tidak dapat dilihat wujudnya. Money politics ini berjalan
seiring dengan peradaban demokrasi di daerah-daerah yang pendidikannya masih
rendah, tingkat ekonomi masih rendah dan pemahaman politik yang masih rendah.
26
Sehingga orang memilih bukan dasar kualitas tetapi orang memilih oleh karena dia
diberi imbalan seperti yang disebutkan diatas.
Selanjutnya menurut peneliti sebenarnya money politics ini menjadi tanggung
jawab seluruh lapisan masyarakat, partai politik, pemerintah dan penyelenggara (
KPU dan Panwaslu ) hal ini perlu dikendalikan sehingga orang tidak lagi harga
dirinya dibayar untuk menentukan pilihannya, tetapi orang memilih itu karena melihat
kualitas, orang memilih karena melihat kemampuan dari orang yang dipilih, bukan
atas dasar iming – iming uang yang diberikan.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden dalam kondisi struktur
masyarakat di Sabu Raijua, masyarakat yang memahami dan mengerti itu hanya
berada di kota. Sedangkan masyarakat yang berada di pedalaman kebanyakan pilihan
mengarah pada pilihan yang menggunakan hak pilihmya secara emosional. Pemilih
yang emosional itu gampang dipakai oleh oknum untuk membelanjakan pilihan
tersebut dengan janji atau barang yang dapat ditukar dengan pilihan – pilihan tersebut.
Kondisi masyarakat Sabu Raijua dilihat dari struktur masyarakat yang memiliki
tingkat pendidikan yang baik hanya berada pada wilayah perkotaan, yang kebanyakan
mereka adalah kaum terpelajar, atau mereka yang berstatus sebagai Pegawai Negeri
Sipil, mereka cenderung memilih dengan menggunakan rasional, artinya melihat
calon atau melihat figur dari sisi kemampuanya. Selanjutnya hasil penelitian
memperlihatkan jawaban responden terhadap pola pikir dan pola tindak ini berbeda
pada status domisilinya masyarakat yang berada di daerah – daerah pedalaman yang
lebih cenderung menjatuhkan pilihan yang sifatnya emosional, pemilih tersebut yang
dapat dimanfaatkan untuk menukar atau barter terhadap pilihan mereka.
Hasil wawancara dengan Anggota DPRD Kabupaten Sabu Raijua mengenai
apakah Money Politics mempengaruhi perilaku masyarakat dalam menggunakan hak
27
pilihnya didapati jawaban bahwa, money politics berpengaruh terhadap tingkat
partisipasi pemilih karena money politics itu bentuk rangsangan negatif. Dengan
melakukan intrik – intrik yang sifatnya politik uang itu berakibat pada pilihan yang
tidak melihat pada kemampuan kualitas. Jika kita melihat money politics berpengaruh
terhadap partisipasi pemilih di Sabu Raijua maka hal tersebut ada pengaruhnya
terhadap masyarakat Sabu Raijua, namun di sisi lain banyak juga masyarakat yang
memiliki rasa tanggung jawab terhadap pembangunan daerah, dan memiliki tanggung
jawab terhadap keberlangsungan demokrasi di Kabupaten Sabu Raijua. Tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa perilaku dari oknum yang membayar pilihan
masyarakat itu. Pada peristiwa demokrasi baik pemilu legislatif dan pemilu presiden
tingkat pasrtisipasi masyarakat itu bukan ditentukan dengan ada tidaknya money
politics tetapi money politics memang berjalan dan tumbuh subur karena kondisi latar
belakang pendidikan politik yang masih rendah, pertumbuhan ekonomi yang masih
rendah, sistem penegakan hukum yang rendah. Peluang itu memberikan dukungan
untuk pelaku dapat memainkan politik uang, Sehingga orang
dapat saja
menggunakan uang itu sebagai perantara agar oknum tersebut bisa menjalankan
tujuannnya sehingga masyarakat dapat menentukan pilihan. Namun partisipasi itu
tumbuh sebenarnya bukan karena adanya money politics semata tetapi adanya
tanggung jawab dari masyarakat untuk membangun daerah dan menentukan pilihan
untuk masa depan daerah juga masa depan bangsa.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden dalam menentukan
pilihan di Kabupaten Sabu Raijua masih menggunakan tolak ukur kekeluargaan,
suku, ras, agama. Faktor ini secara kultur terdapat di enam kecamatan terbagai atas
berbagai suku dan tiap suku biasanya dipimpin oleh seorang kepala suku atau kepala
adat. Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden bahwa biasanya pengaruh
28
politik uang itu dilakukan dengan kepala suku dan kepala suku mempengaruhi suku
yang dipimpinnya.
2. Dampak dari money politics (Politik Uang)
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden terhadap dampak dari money
politics, baik itu dampak bagi masyarakat maupun dampak bagi para calon legislatif itu
sendiri. Dampak bagi para calon legislatif sendiri ada dua sisi, yang pertama apabila
mereka berhasil terpilih karena suksesnya money politics yang mereka lakukan, maupun
dampak dari kekalahan para calon legislatif yang gagal dalam money politics.
Bagi para calon legislatif yang gagal dampaknya ialah bila mereka terlalu
berambisi, mereka dapat menjadi gila, atau psikologinya terganggu, hal tersebut kita bisa
temukan para calon legislatif yang gila karena mereka gagal menduduki kursi legislatif.
Selain karena kurang suara, tidak sedikit calon legislatif yang berurusan dengan hukum
karena terlibat masalah kasus korupsi, ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula,
sudah keluar uang banyak tidak terpilih dan akhirnya tertangkap pula, akibatnya rumah
sakitlah yang menjadi ujung perjuangan mereka.
Dampak lainnya kita perhatikan dari sisi apabila para calon legislatif itu berhasil
mendapatkan kursi legislatif akibat dari money politics. Dalam hal ini dampak yang harus
kita waspadai ialah penyalahgunaan jabatan, karena bisa kita lihat banyak kasus-kasus
korupsi di ranah legislatif. Mereka berfikir karena sebelum menduduki kursi legislatif
mereka sudah habis modal besar-besaran, sehingga saat menduduki jabatan, ada upaya
atau cara agar modal yang telah habis mereka gunakan (money politics) dapat
dikembalikan lagi, istilah lainnya mengembalikan dana atau ongkos politik yang telah
dikeluarkan. Tidak dapat dipungkiri banyak sekali proyek-proyek yang bisa menimbulkan
korupsi.
29
Selain itu akibat dari tidak kompetennya para legislator bisa semakin
memperkeruh keadaan pemerintahaan di Indonesia. Mereka para calon legislatif
umumnya hanya bisa mengumbar janji tidak tahu seperti apa kompetensi yang mereka
miliki dan hasilnya hanyalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden mengenai dampak dari
money politics bagi masyarakat sendiri. Money politics bisa dijadikan ajang mencari
penghasilan, masyarakat awam tidak mempedulikan nilai-nilai dari demokrasi yang
terpenting baginya ialah mereka telah mendapatkan uang atau bentuk penyuapan lainnya.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden bahwa dampak lainnya ialah
masyarakat harus berhutang budi kepada mereka yang telah memberikan uang agar
masyarakat memilih mereka. Dalam hal inilah hak asasi seseorang dalam menentukan
pilihan yang tidak diperhatikan. Selain itu dampaknya bisa tidak ada kepercayaan lagi
dari masyarakat kepada para wakil-wakil rakyat. Dengan adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit
dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Money politics bisa juga berdampak
perpecahan antar masyarakat, karena masyarakat telah berhutang budi kepada calon
legislatif yang telah memberikan bentuk penyuapan, sehingga sikap fanatik akan timbul
dan mereka menganggap para calon legislatif lainnya buruk dibandingkan yang mereka
dukung, disinilah akan terjadi konflik antar pendukung masing-masing para calon
legislatif. Sangat disayangkan apabila terjadi perpecahan yang terjadi di masyarakat
akibat permainan para politisi dengan money politics.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden mengenai dampak money
politics Jika dilihat dari resikonya para politisi menggunakan money politics untuk
kepentingan politiknya, hal ini merupakan insiden buruk bagi bangsa, bahwa para politisi
30
tidak lagi melihat tujuan utama dari menjadi seorang legislator. Menjadi seorang
legislator tujuannya ialah membawa aspirasi masyarakat, tapi kalau ada legislator yang
menggunakan politik uang, maka tentunya setelah dia terpilih, output dari money politics
menjadi kurang baik di parlemen. Seperti itu kesulitan – kesulitan ketika orang masuk
dalam ranah money politics, tujuannya menjadi bias. Jadi menurut penulis tujuan utama
sebagi seorang penyalur aspirasi menyuarakan aspisarsi masyarakat dengan sebaikbaiknya. Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden tentang pernahkah terlihat,
dalam pemilihan legislatif tahun 2014, ada partai lain, atau calon legislatif lain
menggunakan upaya money politics secara kasat mata sulit untuk membuktikannya.
Karena calon yang menggunakan cara yang terlarang, tentunya ia akan sangat hati – hati.
Tetapi yang penting kita bisa memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat,
memberikan penyadaran, sehingga kedepan masyarakat Sabu Raijua sulit dipengaruhi
oleh politik uang.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terjadinya money politics salah satunya
disebabkan oleh adanya suatu persaingan antara calon legislatif yang bersaing bebas
dalam pemilu legislatif 2014. Calon legislatif tersebut bersaing untuk mendapatkan suara
pemilih sebanyak-banyaknya. Namun cara untuk mendapatkan suara sering tidak sesuai
dengan aturan, karena masyarakat dipandang sebagai suatu komunitas yng materialistis.
Pandangan para calon legislatif yang seperti itu cukup wajar karena masyarakat
kebanyakan tidak mengetahui profil calon legislatif yang akan dipilihnya.
Di sisi lain berdasarkan Undang-undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai
Politik dan Undang-undang Nomor 10 tentang Pemilu, sangat dilarang untuk
menggunakan politik uang seperti yang telah banyak terjadi, karena politik uang sama
saja dengan “membeli” suara rakyat. Politik uang tidak akan memberikan pendidikan
politik yang baik bagi rakyat yang notabene baru masuk era demokratisasi sekarang ini.
31
Kesenjangan kepentingan antara calon legislatif dan aturan (undang-undang) yang
berlaku dapat dilihat dari teori ilmu sosial.
Fenomena di atas dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan atau teori
konflik. Teori konflik ini salah satunya mengkaji penyebab timbulnya konflik dalam
masyarakat. Salah satu teori yang menyebabkan timbulnya konflik adalah teori kebutuhan
masyarakat. Teori Kebutuhan Manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam
disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang tidak terpenuhi
atau dihalangi keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering
merupakan inti pembicaraan. Sasaran dari teori ini adalah membantu pihak-pihak yang
mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan
mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu, dan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai
kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. Dalam tataran pendekatan di
atas, money politics dapat dilihat dari latar belakang terjadinya. Calon legislatif dalam
kasus di atas melakukan politik uang karena mereka membutuhkan sesuatu dari usahanya
membagi-bagikan uang kepada konstituennya tersebut. Adapun kebutuhan yang mereka
inginkan adalah kedudukan dan uang, yang (mungkin) akan mereka dapatkan setelah
menjadi salah satu pemilik kursi di parlemen. Mungkin ketika seorang calon legislatif
tidak akan bersaing jika ia dipilih karena dukungan murni dari konstituennya. Namun
yang banyak terjadi pada pemilu legislatif tahun 2014, di Kabupaten Sabu Raijua, sesuai
hasil penelitian memperlihatkan bahwa adalah dominan konstituen yang mempunyai hak
pilih tidak mengenal calon wakil rakyat yang akan dipilihnya. Ditambah lagi calon
legislatif yang menjadi calon wakil rakyat. Inilah sebenarnya dapat dipandang sebagai
konflik yang terjadi antara calon legislatif yang bersaing dalam Pemilu. Karena mereka
32
merasa bahwa dirinya tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, maka para calon legislatif
tersebut melakukan politik uang (money politics).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bentuk konflik yang terjadi dalam
fenomena money politics ini adalah konflik laten, karena konflik yang terjadi tidak dapat
dilihat dengan kasat mata, namun dapat dirasakan dari fenomena yang terjadi, yaitu
persaingan para calon legislatif yang berusaha memperoleh suara konstituen dengan
membagi-bagikan uang. Namun ada kalanya bentuk konflik tersebut berubah menjadi
konflik over (manifest) ketika money politics ini muncul ke permukaan dan menimbulkan
konflik secara nyata, seperti saling menjatuhkan antara calon legislatif, dan bentuk
persaingan lain yang tidak sehat. Belum lagi konflik antara pendukung salah satu calon
legislatif yang agak fanatis untuk memenangkan calon legislatifnya, tentu akan
menghalalkan segala cara, termasuk dengan politik uang yang dianggap paling efektif
dalam mengumpulkan suara untuk para calon legislatif yang sedang bersaing. Teori
konflik yang lain yang dapat digunakan untuk mengkaji fenomena di atas adalah teori
hubungan masyarakat. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik
disebabkan
oleh
polarisasi
yang
terus
terjadi,
ketidakpercayaan
dan
permusuhan/persaingan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Hubungan seperti ini tentu saja mengancam posisi seorang calon legislatif, yang
kemungkinan akan gagal karena tidak mendapat suara dalam Pemilu yang digelar karena
para konstituen tidak mengenal dirinya. Sosialisasi baik melalui media massa, spanduk,
baliho, SMS, ataupun di internet, juga tidak begitu efektif untuk mengumpulkan suara
karena masyarakat merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan caleg yang
bersangkutan. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapat dukungan suara dari
masyarakat yang realistis dan (mungkin saja) materialistis adalah dengan politik uang,
33
yaitu membagikan uang kepada konstituen dengan timbal balik masyarakat mau memilih
calon legislatif yang memberikan uang.
Seharusnya politik uang tersebut tidak akan terjadi, jika seseorang yang akan
menjadi calon legislatif memang mempunyai hubungan yang baik dengan masyarakat.
Jika hubungan tersebut baik secara berkelanjutan dan ikhlas tanpa ada kepentingan
tertentu, maka tanpa dimintapun masyarakat pasti akan memilih orang tersebut jika ia
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Namun di jaman sekarang ini mungkin sulit sekali
untuk mencari orang yang demikian karena masyarakat lebih percaya kepada uang
(moneytheisme), dibandingkan dengan calon legislatif yang mengumbar janji belaka,
tanpa ada perjuangan nyata untuk rakyat yang memerlukan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ada faktor yang sebenarnya membuat
Money Politics masih tetap ada namun sulit untuk diungkap. Hal ini ada kaitan dengan
budaya masyarakat bahwa khusus di Kabupaten Sabu Raijua, misalnya ada calon yang
melakukan politik uang, dan ada masyarakat yang sudah menerima, rasanya sulit bagi
warga tersebut untuk melaporkan kejadian tersebut yang menyebabkan penyelenggara
kesulitan untuk mengungkap money politics.
Lebih lanjut secara geografis dan kultur budayan hasil penelitian memperlihatkan
jawaban responden megenai kecendrungan pemilih tradisional masih sangat relevan,
khusus di Kabupaten Sabu Raijua ini, kekerabatan masih sangat kental, sehingga orang
memilih karena kecenderungan punya hubungan kekeluargaan itu masih sangat relevan.
Pemilih yang rasional di Kabupaten Sabu Raijua itu masih sedikit dibandingkan dengan
pemilih yang tradisional.
Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden tentang bagaimana upaya
Komisi Pemilihan Umum dalam menghadapi calon legislatif yang melakukan money
politics tetapi berupaya berlindung di balik makna cost politic, Memang sulit dalam
34
membedakan cost politic dengan money politic, tetapi mengkambing hitamkan cost
politic dalam perlakuan money politics itu sebenarnya hal yang tidak wajar. Karena kita
sadari bahwa runtuhnya suatu demokrasi itu terjadi proses money politics. Di Kabupaten
Sabu Raijua, seringkali orang mengatakan bahwa tidak melakukan money politics,
contohnya hanya membeli sirih pinang, tembakau, rokok, dan mereka menganggap itu
adalah cost politic. Padahal itu money politic. Kondisi ini sulit diungkap, karena antara
pemberi dan penerima sulit untuk melaporkan kejadian yang telah terjadi. Menurut
peneliti kedekatan emosional antara pemberi dan penerima itu membuat tidak ada aduan
yang disampaikan kepada panwaslu. Panwas akan menindaklanjuti karena adanya aduan
dari masyarakat, namun jika tidak ada aduan, hal tersebut sulit untuk diungkap, apalagi
membuktikannya sangat susah. Akhirnya proses money politics yang sebenarnya terjadi
di dalam masyarakat itu tidak dapat di buktikan. Hasil penelitian memperlihatkan
jawaban responden mengenai bagaimana memberikan pendidikan politik kepada
masyarakat bahwa money politics itu adalah perbuatan yang haram. Perlu adanya
pemahaman yang sama tentang akibat buruk dari adanya politik uang.
Lebih lanjut menurut peneliti, harapan untuk pemilu yang akan datang, antara
partai politik dan semua yang berkepentingan di dalam, stakeholder, tokoh masyarakat,
tokoh agama, semuanya punya peran yang sama dalam membangun demokrasi. Dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan demokrasi terhalang, oleh karena adanya niat dari
sekelompok orang yang membangun pencitraan dengan uang sebagai pelicin atau
perantara. Demokrasi ini gugur karena pencitraan bahwa uang dapat melegalkan pilihan
masyarakat sehingga masyarakat ada di dalam pilihan tanpa melihat kualitas dan
kemampuan dari pada calon itu. Harapan terbesar yaitu jauhkan pikiran masyarakat dari
adanya iming – iming, dari adanya janji – janji yang sifatnya masuk dalam kategori
money politics. Janji politik itu bukan sesuatu yang haram tapi harus diwujudkan melalui
35
visi dan misi, kebanyakan janji yang dipakai adalah janji yang menjadi hambar, tidak
nyata, sehingga masyarakat itu tidak mendapat suatu yang nyata.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terhadap pertanyaan faktor apa saja yang
sebenarnya membuat Money Politics masih tetap ada namun sulit untuk diungkap serta
Langkah kongkrit apa saja yang dilakukan oleh KPU untuk dapat memberi pencerahan
kepada masyarakat tradisonal dalam mencegah praktik money politics menurut peneliti,
yaitu pembelajaran politik. Jadi pembelajaran politik bukan hanya menjadi tanggung
jawab KPU semata, tapi pembelajaran politik ini juga berlaku bagi lembaga politik itu
sendiri. Bagaimana lembaga politik ini memberikan pencitraan politik pada masyarakat
sehingga masyarakat dalam menentukan pilihannya bukan karena emosi, tetapi
berdasarkan pertimbangan rasio atau bagaimana menyalurkan pilihannya dengan pikiran,
nalar mereka, intelektual mereka, pendidikan politik, pencerahan politik. Sehingga boleh
dikatakan jangan memilih kucing dalam karung, itu artinya kita memilih tidak melihat
dari kualitas orang tersebut. Tapi orang tersebut harus menunjukan kualitas, kemampuan
sehingga
masyarakat
memilih
dengan
kecerdasan
mereka.
Hasil
penelitian
memperlihatkan jawaban responden mengenai bagaimana membangun kecerdasan politik
dalam masyarakat, harus dibangun bersama, antara KPU, Panwaslu, Partai Politik sendiri
yang memiliki kader – kader politik tersebut. Sehingga menurut penulis kepada partai
politik yang memiliki kader tersebut juga memberikan support bagaimana membangun
kecerdasan dalam masyarakat, sehingga jika ada kader yang melakukan hal – hal tersebut
partai politik bisa melakukan penekanan, baik apakah dia dikeluarkan sebagai calon atau
penekanan – penekanan lain. Sehingga yang dijual bukan uang, namun kualitas, visi dan
misi daripada kader tersebut, untuk menjadi perhatian bersama dari semua stake holder
dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik, berdemokrasi di Kabupaten Sabu Raijua.
36
Selanjutnya hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden tentang
peranan instansi terkait seperti KPU, PANWASLU dan pihak terkait berperan aktif
dalam upaya pencegahan money politics, berdasarkan hasil wawancara dengan salah
seorang Komisioner KPU Sabu Raijua mengatakan bahwa, politik uang tersebut
merupakan hal yang terlarang, sehingga orang sangat hati – hati. Tapi kalau bicara
kecenderungan,
pasti ada, dimanapun itu. Penyelenggara bukan melakukan
pembiaran, namun sulit untuk melacak pelaku yang melakukan money politics. Upaya
partai politik membekali kader – kadernya untuk tidak melakukan money politik
pasti, pendidikan politik seperti itu ada bagi seluruh kader, pengurus, hingga ke
bawah selalu ada himbauan, dan itu menjadi program utama atau program kerja yang
diutamakan. Program mirip dengan program pemerintah daerah. Kita juga melakukan
musyawarah untuk menyusun program kerja
yang nanti digabungkan dengan
program pemerintah daerah sehingga tiap akhir tahun kami selalu menyusun program
kerja, sehingga seluruh kader, pengurus bisa lebih fokus dengan program yang bisa
menarik simpatik masyarakat lewat program - program kerja bukan melalui money
politics.
Jawaban responden tentang langkah kongkrit apa saja yang dilakukan untuk
dapat mencegah praktik money politics ini dapat dilakukan misalnya saat kegiatan ke
desa-desa salah satu tugas ialah melakukan penyadaran - penyadaran, kalau dari sisi
legislator ada saat reses, kami bisa memanfaatkan masa reses, memilih itu bukan
karena diiming - imingi dalam bentuk uang dan sebagainya, namun seharusnya
menjadi pemilih yang cerdas, bahwa legislator yang terpilih itu benar - benar yang
bisa membawa aspirasi masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh partai politik atau calon legislatif dalam
mengantisipsi politik uang yaiu penyadaran dan menumbuh kembangkan pendidikan
37
politik yang benar. Hasil penelitian memperlihatkan jawaban responden tentang
hukuman bagi pelaku money politics belum optimal atau kurang malah hampir belum
terlihat karena mungkin kesulitan bagi panwas sebagai pihak yang berkompeten
kesulitan untuk merekam pelanggaran– pelanggaran seperti itu sehingga sanksi yang
diharapkan belum berdampak. Misalnya hukuman dianulir dari pencalonan sehingga
dapat menimbulkan efek jera, sehingga itu penting untuk kedepanya kalau boleh
misalnya ada laporan masyarakat yang masuk dan ditindaklanjuti secara baik dan
terbukti pihak penyelenggara tidak boleh sungkan untuk mencoret yang bersangkutan
dari pencalonan.
Harapan untuk pemilu yang akan datang selanjutnya hasil penelitian
memperlihatkan jawaban responden terhadap peran partai politik dan pihak
pemerintah
dalam melakukan sosilasiasi kepada masyarakat harusnya juga lebih
selektif saat melakukan perekrutan calon. Jika perekrutan sudah sangat ketat
harapannya bisa diminimalisir dari oknum-oknum yang melakukan politik uang. Dan
juga masalah regulasi syarat – syarat untuk calon, hal tersebut perlu disempurnakan
kembali untuk pencalonan sehingga bisa lebih baik ke depannya.
38
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Money politics atau politik uang itu merupakan tindakan penyimpangan dari
kampanye yang bentuknya dengan cara memberikan uang kepada simpatisan ataupun
masyarakat lainnya agar mereka yang telah mendapatkan uang itu agar mengikuti
keinginan orang yang memiliki kepentingan tersebut. Selain itu juga money politics bukan
hanya uang, namun juga bisa berbentuk bahan-bahan sembako.
Banyak sekali penyebab terjadinya Money politics diantaranya disebabkan
masyarakat masih belum siap untuk hidup berdemokrasi secara utuh. Selain itu money
politics bisa terjadi karena masih kurang di tegakkannya hukum. Tugas bawaslu yang
masih kurang efektif dalam mengawasi pemilihan umum agar berjalan sesuai tujuan. Ada
juga penyebab lainnya yaitu kurang diperhatikannya menganai Hak Asasi Manusia
(HAM), masyarakat tentunya akan bimbang apabila telah mendapatkan money politics
karena mereka berhutang budi kepada mereka, padahal dalam lubuk hatinya mereka tidak
mau memilih calon legislatif tersebut. Tetapi dari alasan penyebab terjadinya money
politics yang terpenting yaitu karena masih kurang iman dan taqwanya para politisi
maupun masyarakatnya itu sendiri. Apabila para politisi maupun masyarakatnya sendiri
dibentengi dengan iman yang kuat mungkin tidak akan ada bentuk-bentuk penyimpangan
yang terjadi.
Dampak dari adanya money politics tentunya banyak sekali. Dampak bagi para calon
legislatif yang lolos maupun para calon legislatif yang tidak berhasil lolos. Dampak bagi
calon legislatif yang berhasil lolos tentunya akan berdampak juga terhadap pemerintahan
karena yang berhasil menduduki kursi legisatif tidak bisa dipungkiri masih banyak yang
39
tidak kompeten aspirasi rakyat tidak kurang diperjuangkan. Lebih memperjuangkan
mengembalikan cost politic yang dikeluarkan.
B. Saran
1. Diharapakan adanya pencerahan politik yang benar pada masyarakat berkaitan dengan
Money Politics.
2. Perlunya penegakan hukum yang tegas bagi pelanggaran money politics.
3. Partai politik harus melakukan pembinaan politik pada kader dalam upaya
menjauhkan kadernya dari praktek politik uang.
4. Diharapkan Pemerintah sebagai Pembina politik dapat memberikan pendidikan politik
pada semua elemen masyarakat.
5. Diharapkan penyelenggara dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku
politik uang.
6. Diharapkan bagi penyelenggara lebih proaktif dalam melihat potensi terjadinya politik
uang.
40
Download