1 TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN

advertisement
1
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN
DAN KECELAKAAN NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
OLEH:
IRIANTI MEILISA
050200124
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
2
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN
DAN KECELAKAAN NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
OLEH :
IRIANTI MEILISA
050200124
Diketahui dan Disahkan Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
(SUTIARNOTO, SH, M.H)
NIP. 131. 616. 321
DOSEN PEMBIMBING I
DOSEN PEMBIMBING II
ABDUL RAHMAN, SH, MH
Dr. JELLY LEVIZA, SH, M.HUM
NIP. 131. 413. 649
NIP. 132. 300. 077
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2009
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
3
ABSTRAK
1. Irianti Meilisa 1
2. Abdul Rahman 2
3. Jelly Leviza 3
Masalah-masalah nuklir merupakan masalah yang bersifat global karena
menyangkut perdamaian dunia dan perlindungan lingkungan. Masalah-masalah tersebut
secara spesifik antara lain : norma-norma hukum internasional yang berkaitan, masalah
pertanggungjawaban negara dan ratifikasi norma hukum internasional tersebut ke dalam
hukum nasional Negara yang bersangkutan.
Norma hukum internasional yang mengatur masalah nuklir antara lain : NonProliferation Treaty yang bersifat global; Tlatelolco Treaty, Ratotonga Treaty dan
Bangkok Treaty yang bersifat regional; serta perjanjian bilateral nuklir seperti :
perjanjian nuklir bilateral antara Amerika Serikat-India dan perjanjian nuklir bilateral
antara Cina-Australia.
Tanggung jawab Negara juga merupakan masalah yang penting untuk dibahas
karena nuklir merupakan bahan yang berpotensi beresiko tinggi (ultra-hazardous risk).
Tanggung jawab Negara itu antara lain diatur dalam : The convention on Third Party
Liability in The Field of Nuclear Energy (Paris Convention, The Vienna Convention on
Civil Liability for Nuclear Damage (Vienna convention), The convention Supplementary
to the Paris Convention (Brussels convention) dan The Joint Protocol Relating to the
Application of the Vienna Convention and the Paris Convention.
Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional yang telah ditandatangani
berkaitan dengan masalah nuklir. Hasil ratifikasi itu diatur dalam Undang-Undang
No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam Undang-undang tersebut, diatur
mengenai pelaksanaan kegiatan nuklir dan pertanggungjawaban yang mungkin terjadi
akibat kecelakaan nuklir.
Kata kunci :
- Tanggung Jawab Negara
- Nuklir
- Hukum internasional
1
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
2
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
3
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
mencurahkan hikmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga akhirnya Penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini Penulis susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syaratsyarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul yang Penulis angkat adalah :
“TANGGUNG
PENGGUNAAN
DAN
JAWAB
NEGARA
KECELAKAAN
TERHADAP
NUKLIR
KEPEMILIKAN,
MENURUT
HUKUM
INTERNASIONAL”
Penulis sadar benar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Penulis serta sedikitnya literatur-literatur yang
menunjang sebagai bahan untuk menunjang judul yang Penulis majukan dalam skipsi ini.
Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
konstruktif untuk menciptakan keadaan yang mendekati kesempurnaan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu Penulis
dalam menyusun skripsi ini dan juga mendukung Penulis selama masa perkuliahan, khususnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
5
2. Bapak Prof. Suhaidi, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Abdul Rahman, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini
8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah memberikan
petunjuk kepada Penulis selama Penulis melaksanakan perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
9. Kedua orang tua Penulis, Mayor. Purn. Selamat Tambunan dan Ny. Yulinda
Nainggolan, yang tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang berlimpah kepada
Penulis
sejak lahir hingga sekarang dan mendorong Penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini
10. Saudara Penulis yang terkasih, Samuel Tambunan
11. Teman-teman seangkatan Penulis Stambuk 2005 Program Reguler Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih juga Penulis haturkan kepada semua pihak yang turut mendukung proses
penyelesaian skripsi ini.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
6
Semoga skripsi ini berguna bagi Penulis secara khusus dan bagi masyarakat secara
umum.
Medan,
Maret 2009
Hormat Penulis,
(Irianti Meilisa)
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
7
DAFTAR ISI
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN. .................................................................................... 1
A. Latar Belakang . .......................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah. .................................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ................................................................... 5
D. Keaslian Penulisan. ..................................................................................... 6
E. Tinjauan Kepustakaan . ............................................................................... 7
F. Metode Penelitian.. ...................................................................................... 9
G. Sistematika Penulis. ................................................................................. ..10
BAB
II
NORMA-NORMA
HUKUM
INTERNASIONAL
MENGENAI
KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR. ........... 13
A. Pengertian Norma Hukum Internasional. .................................................. 13
B. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan
dan Kecelakaan Nuklir secara Global ....................................................... 15
C. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan
dan Kecelakaan Nuklir secara Regional. ................................................... 19
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
8
D. Norma Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan
dan Kecelakaan Nuklir secara Bilateral. .................................................... 51
BAB
III
TANGGUNG
JAWAB
NEGARA
DALAM
KEPEMILIKAN,
PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR ........................................... 63
A. Prinsip Tanggung Jawab Negara ............................................................... 63
B. Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Pengaturan Lingkungan
Global Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir ............. 70
C. Bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Kepemilikan, Penggunaan
dan Kecelakaan Nuklir ............................................................................. 74
D. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Kepemilikan,
Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir .......................................................... 78
BAB IV
RATIFIKASI TERHADAP NORMA HUKUM INTERNASIONAL
MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN
NUKLIR ........................................................................................................... 87
A. Proses Pembuatan Perjanjian Internasional ............................................... 87
B. Pengertian dan Prosedur Ratifikasi ........................................................... 89
C. Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional ........................ 91
D. Ratifikasi
Hukum
Internasional
Mengenai
Kepemilikan,
Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir .......................................................... 95
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 103
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
9
A. Kesimpulan .............................................................................................. 103
B. Saran ........................................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 106
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan-pembahasan mengenai nuklir di Indonesia dewasa ini masih
terbatas peminatnya, baik di kalangan akademisi atau apalagi pada masyarakat pada
umumnya. Bagi kebanyakan orang Indonesia masalah perlucutan senjata tidak penting
dibandingkan dengan isu-isu sosial, ekonomi, budaya dan politik lain karena jauh lebih
menarik, lebih dekat dan melekat pada kehidupan masyarakat. Mungkin karena itu pula
masih sedikit tulisan atau karya tulis yang membahas masalah senjata nuklir.
Kenyataan di atas dapat dimengerti karena banyak anggapan bahwa senjata
nuklir atau senjata-senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) hanya
merupakan urusan-urusan negara-negara besar. Padahal, hal ini juga berkaitan dengan
aspek politik, ekonomi, pembangunan, lingkungan hidup dan bahkan hubungan
antarnegara karena masalah ini sering menjadi isu dalam rangka pengembangan
hubungan bilateral, regional ataupun multilateral. Bagi negara-negara berkembang
khususnya, perlucutan senjata kerap menjadi pemersatu dalam rangka memperjuangkan
kepentingan bersama di berbagai forum internasional untuk perdamaian abadi dan
ketertiban dunia.
Keberhasilan upaya perlucutan senjata akan memberi dampak positif bagi semua
negara, bukan hanya bagi negara-negara adikuasa pemilik senjata-senjata pemusnah
massal tersebut melainkan juga bagi negara-negara berkembang umumnya. Upaya
perlucutan senjata terutama senjata-senjata pemusnah massal akan memberi kesempatan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
11
lebih besar bagi pembangunan bagi semua negara terutama negara-negara berkembang
(peace deviden) yang diperjuangkan neegar-negara berkembang pasca Perang Dingin
agar biaya yang dikeluarkan oleh negara-negara besar untuk persenjataan dan keperluan
militer dapat dialihkan untuk kepentingan pembangunan dan tujuan-tujuan damai. Jelas
berkaitan erat dengan upaya perlucutan senjata dalam hubungan ini negara-negara
berkembang dapat dikatakan pelopor dan sponsor utama upaya perlucutan senjata di
berbagai forum internasional khususnya dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. 4
Indonesia merupakan salah satu negara yang giat yang cukup menonjol
perananya dalam upaya semacam ini. Sejalan dengan tuntutan konstitusionalnya,
Indonesia bersama negara berkembang lainnya secara konsisten terus memperjuangkan
perlucutan senjata baik di tingkat global dalam kerangka PBB dan non-PBB seperti
melalui forum Gerakan Non-Blok maupun di tingkat regional melalui mekanisme
Association of South East Asia Nations (ASEAN) yang berjalan paralel. Beberapa
waktu terakhir, isu pengembangan senjata nuklir menjadi salah satu sumber
kekhawatiran utama yang menerpa kalangan internasional. Isu kepemilikan senjata
nuklir itu, sempat memancing ketegangan di sejumlah kawasan, sebut saja
Semenanjung Korea, ketika beberapa kali Korea Utara melakukan uji coba senjata
nuklir atau Timur Tengah terkait kepemilikan senjata nuklir oleh Israel dan tuduhan
kepemilikan fasilitas nuklir Iran.
Masyarakat internasional mencatat sejumlah peristiwa buruk dimasa lalu ketika
akibat ambisi manusia, senjata nuklir menoreh luka mendalam. Tragedi kemanusiaan
yang pernah ditimbulkan umat manusia dengan teknologi nuklir tetap menyisakan
4
Dian Wirengjurit, Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, PT. Alumni, Bandung, 2002, hal 2.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
12
catatan sedih di generasi berikutnya dan tidak serta merta lenyap dengan berlalunya
waktu. Catatan tentang tragedi kemanusiaan akibat jatuhnya bom atom di dua kota besar
di Jepang, Nagasaki dan Hirosima, seakan tidak pernah habis dibahas.
Perang Dingin telah lama usai. Namun, bukan berarti upaya perlucutan senjata
menjadi tidak relevan. Sebaliknya mengingat ancaman perang dan penggunaan senjatasenjata pemusnah massal belum sepenuhnya hilang. Upaya ini sebenarnya justru
mendapatkan momentumnya. Di tingkat global, upaya ini telah cukup berhasil dalam
membuka hasil ke arah perlucutan senjata yang menyeluruh seperti terwujudnya
Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapon Convention-CWC) pada tahun 1993.
Disepakatinya perpanjangan masa berlaku Traktrat Non-Proliferasi Senjata Nuklir
(Nuclear Non-Proliferation Treaty-NPT) hingga waktu yang tidak terbatas atau
indefinity pada tahun 1995, dirampungkannya Traktat Pelarangan Uji Coba Senjata
Nuklir (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty-CTBT) pada tahun 1996 dan yang
terakhir ditandatanganinya Konvensi Pelarangan Ranjau Darat Anti-Personil (Ottawa
Convention) pada tahun 1997. 5
Di tingkat regional, upaya ini dapat dilihat dari munculnya berbagai gagasan
pembentukan kawasan-kawasan damai dan bebas senjata nuklir di berbagai kawasan
dunia seperti di Afrika, Samudera Hindia, Atlantik Selatan hinggga sampai ke Timur
Tengah. Di Asia khususnya, Indonesia bersama negara-negara ASEAN sejak tahun
1971 telah memperjuangkan terwujudnya kawasan damai, bebas dan netral (zone of
peace, freedom and neutrality/ZOPFAN) yang bertujuan menjadikan kawasan ini bebas
5
Ibid, hal 3.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
13
dan terhindar dari ancaman perang (nuklir) akibat persaingan antar negara-negara besar
dalam kerangka Perang Dingin. 6
Sejalan dengan suasana internasional yang semakin kondusif upaya semacam ini
makin menampakkan bentuk dan menunjukkan hasilnya, antara lain dengan
ditandatanganinya Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir (KBSN Asia Tenggara) atau
South East Asia Nuclear Weapon Free Zone (SEA-NWFZ) pada tahun 1995 yang kini
telah diratifikasi oleh hampir semua negara di kawasan ini. 7
Pengaturan mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir
merupakan keadaan yang dapat memberikan dampak baik yang bersifat lokal maupun
regional bahkan global. Oleh sebab itu, masalah-masalah mengenai perlucutan senjata
hendaknya diatur leih rinci lagi karena menyangkut perdamaian dunia baik secara
nasional maupun internasional.
B. Perumusan Masalah
Berdasakan pemikiran di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir ?
2.
Bagaimana penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir ?
6
Ibid.
7
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
14
3.
Bagaimana ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk menjelaskan pengaturan hukum internasional terhadap kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir
2.
Untuk menjelaskan penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir
3.
Untuk menjelaskan ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai
kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah :
Secara Teoritis
Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah ini dapat memberi
informasi kepada pembaca tentang teori dan praktek hukum internasional di dalam
kaitannya dengan bentuk-bentuk umum penerapan prinsip tanggung jawab negara
dalam pengaturan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, daya jangkau
ketentuan yang berlaku terhadap dampak yang terjadi atau mungkin terjadi akibat
kecelakaan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir, penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengendalian
dampak baik lokal maupun global dari kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, norma-norma hukum yang mengatur
mengenai masalah-masalah nuklir serta ratifikasi hukum nasional terhadap norma-
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
15
norma hukum internasional terkait masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir.
Secara Praktis
Secara praktis pembahasan ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para
pembaca dan dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan sikap dan kebijaksanaan
dalam kesertaannya dalam untuk mengatur pengendalian dampak akibat kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir dalam kaitannya dengan kedudukan Indonesia
sebagai subjek aktif kegiatan ketenaganukliran.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini didasarkan kepada ide serta pemikiran sendiri, dengan melihat
kepada perkembangan hukum internasional khususnya yang menyangkut masalah
kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Penulisan ini telah diperoleh dari
literatur perpustakaan, informasi dan ilmu yang diperoleh dari perkuliahan serta dari
media massa baik cetak maupun elektronik yang pada akhirmya dituangkan dalam
bentuk skripsi. Maka keaslian penulisan terjamin adanya meskipun ada pendapat atau
kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai penunjang dalam penulisan ini
karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan demi memenuhi kesempurnaan
penulisan penelitian ini.
Di dalam penulisan skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB NEGARA
TERHADAP
KEPEMILIKAN,
PENGGUNAAN
DAN
KECELAKAAN
NUKLIR” ini adalah asli tulisan penulis sendiri karena menurut data yang pada
administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Departemen
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
16
Hukum Internasional menyatakan tulisan dengan judul di atas belum pernah diangkat
atau diulas sebelumnya oleh pihak lain.
E. Tinjauan Kepustakaan
Di dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mengambil ataupun
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan pokok bahasan dari berbagai
macam sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, hal itu
dilakukan demi keakuratan uraian ilmiah serta bukanlah hasil daya imajinasi penulis
sendiri.
Bahan-bahan tersebut diperoleh berdasarkan Library Research yaitu mengambil
data kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum baik primer maupun sekunder berupa
konvensi-konvensi dan peraturan perundang-undangan
baik
nasional
maupun
internasional seperti serta buku-buku dan situs-situs internet yang memberikan
informasi dan data yang dapat digunakan sebagai bahan dan pedoman penulisan
penelitian ini.
Secara etimologi, pengertian judul “TANGGUNG JAWAB NEGARA
TERHADAP KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL” dapat diartikan sebagai berikut :
•
Tanggung jawab artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu 8, negara artinya
daerah di lingkungan suatu pemerintah yang teratur. 9 Menurut Harold J. Laski,
negara artinya suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang
8
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal 1014.
9
Ibid, hal 673.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
17
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. 10Sedangkan tanggung
jawab negara menurut J. G. Starke artinya hal-hal yang menyangkut keadaankeadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan menjadi
berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. 11
•
Nuklir yang dalam hal ini dimaksudkan senjata nuklir artinya “devices capable of
releasing nuclear energy in an uncontrolled manner and having characteristics
appropriate for use for warlike purposes.” 12 (Alat-alat yang dapat menghasilkan
energi kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir melalui tata cara yang tidak
terkontrol dan memiliki karakteristik yang sesuai untuk tujuan-tujuan perang)
•
Kepemilikan nuklir artinya merupakan bagian dari kegiatan ketenaganukliran. 13
•
Penggunaan nuklir artinya merupakan bagian dari kegiatan ketenaganukliran. 14
•
Kecelakaan nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang
menimbulkan kerugian nuklir, setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat,
cedera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat
mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar
nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai
10
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal 39.
11
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada Indonesia,
Jakarta, 1988, hal 115.
12
The Tlatelolco Treaty Article 3.
13
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,
Pasal 1 angka 1.
14
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
18
akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk
pemulihan lingkungan hidup. 15
•
Hukum artinya himpunan petunjuk hidup, yang berupa perintah dan larangan, yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut
dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu
16
sedangkan internasional artinya antar negara. Jadi hukum internasional adalah
hukum yang mengatur segala kejadian dalam sejarah politik internasional dan
hubungan internasional. 17
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini digunakan metode penelitian yuridis normatif.
Metode penelitan yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif ini dikenal juga sebagai penelitian
doktrinal (doctrinal research) yang menganalisis norma-norma hukum yang ersumber
pada law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through
judicial process. Dalam pnelitian metode yuridis normatif yang dipergunakan terutama
adalah yang merujuk pada sumber yang telah disebutkan yakni penelitian yang mengacu
pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan
15
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,
Pasal 1 angka 15 dan 16.
16
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta,1983, hal 3.
17
Ibid, hal 445.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
19
perundang-undangan yang berupa konvensi-konvensi, kovenan-kovenan dan juga
peraturan perundang-undangan nasional. Oleh karena itu, penelitian ini juga
mempergunakan pendekatan transnasional artinya pendekatan yang dilakukan tidak
hanya dari segi hukum internasional tetapi juga dari segi hukum nasional.
Dilihat dari ruang lingkup pembahasannya, bentuk yang sesuai dengan
penelitian ini adalah penelitian hukum positif karena penelitian ini memfokuskan diri
pada norma hukum semata dan penerapan norma hukum tersebut di antara masyarakat
internasional.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Bahan-bahan kepustakaan
yang dipakai dapat dibedakan berdasakan sumber data dari mana ia diperoleh. Bahanbahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat yakni sumber-sumber
hukum internasional dan sumber-sumber hukum nasional. Sedangkan bahan hukum
sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
hasil-hasil penelitian, jurnal-jurnal, makalah dan sebagainya. Dan bahan hukum tersier
adalah bahan yang memberi petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini secara garis besarnya terbagi atas lima bab. Masing-masing
bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan pembahasan dalam bab
tersebut. Adapun sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut :
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
20
BAB I :
Merupakan Bab Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas latar belakang
penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjaun pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II :
Norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan
dan kecelakaan nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang pengertian norma
hukum internasional, norma-norma hukum internasional mengenai
kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara global, normanorma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir secara regional, dan pengaturan hukum internasional
mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir secara
bilateral.
BAB III :
Tanggung jawab negara dalam kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang prinsip tanggung jawab negara,
prinsip tanggung
jawab negara dalam pengaturan perlindungan
lingkungan global akibat kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir, bentuk tanggung jawab negara dalam pengaturan lingkungan
global akibat kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir serta
penerapan
prinsip
tanggung
jawab
negara
dalam
kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir.
BAB IV :
Ratifikasi terhadap norma hukum internasional mengenai kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir. Dalam bab ini dibahas tentang proses
pembuatan perjanjian internasional, pengertian dan prosedur ratifikasi,
hubungan hukum nasional dengan hukum internasional, serta ratifikasi
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
21
hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir.
BAB V :
Kesimpulan dan saran. Pada bagian kesimpulan dipaparkan jawabanjawaban dari semua permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam
penulisan ini sedangkan pada bagian saran dipaparkan gagasan-gagasan
penulis berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
22
BAB II
NORMA-NORMA HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEPEMILIKAN,
PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR
A. Pengertian Norma Hukum Internasional
Kehidupan manusia terdiri dari kepentingan-kepentingan dan kebutuhankeutuhan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan kepentingan ini
memungkinkan terjadinya perselisihan bahkan pertikaian dalam memenuhi kepentingan
dan kebutuhannya tersebut. Oleh karena itu perlu adanya suatu kaidah atau norma yang
nantinya diharapkan dapat mengatur hubungan antar-manusia dalam memenuhi
kebutuhannya tersebut. Kita dapat menimpulkan bahwa norma adalah pedoman,
patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini. 18
Hubungan lintas batas negara atau secara internasional juga mengalami hal yang
sama. Setiap subjek hukum internasional memiliki kepentingan dan kebutuhan yang
berbeda-beda. Oleh sebab itu, juga diperlukan adanya aturan atau norma hukum untuk
mengatur kepentingan-kepentingan tersebut.
Norma-norma hukum yang mengatur antar-kepentingan para subjek hukum
berasal dari banyak sumber. Norma hukum yang formil dari hukum internasional dapat
dilihat dalam pasal 38 ayat 1 Piagam Masyarakat Mahkamah Internasional , yang isinya
antara lain :
18
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar, PT. Liberty, Yogyakarta, 2003,
hal 4.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
23
1. Perjanjian internasional (international convention), yaitu perjanjian yang dibuat oleh
anggota masyarakat internasional untuk menimbuklan akibat-akibat hukum
tertentu. 19
2. Kebiasaan internasional (international custom), yaitu kebiasaan yang bersifat umum
dan diterima oleh masyarakat internasional sebagai hukum. 20
3. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (general
principles of law recognize by civilized nations), yaitu prinsip hukum umum dan
tidak hanya asas hukum internasional. 21
4. Doktrin (doctrine) dan yurisprudensi (judicial decisions/jurisprudence), yaitu
putusan hakim dan anggapan-anggapan para ahli hukum internasional. 22
Kelima sumber formil ini sangat dipengaruhi oleh “power polities among
nations” yang menjadi sumber hukum yang materil dari hukum internasional. Antara
tata tertib hukum dan tata tertib hukum internasional ada perbedaan asasi. Tata tertib
hukum internasional tidak mengenal suatu kekuasaan pusat. Dalam pergaulan antara
negara-negara belum ada kekuasaan pusat yang seharusnya melalui jalan hukum jadi
tidak melaluinya yang secara efektif memaksa anggota-anggota pergaulan antara
negara-negara itu menaati tata tertib yang dibuat kekuasaan pusat itu atau membawa
perselisihan mereka pada suatu badan pengadilan atau arbitrase supaya diselesaikan
secara peradilan hukum dalam hal anggota-anggota tersebut karena kepentingan mereka
19
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal 202.
20
Ibid, hal 204.
21
Ibid, hal 205.
22
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta , 2007, hal 218.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
24
sendiri melanggar traktat atau berbuat sesuatu yang lain yang tidak sesuai dengan asasasas hukum internasional , misalnya agresi atau jalan-jalan kekerasan lainnya.
B. Norma Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan
Kecelakaan Nuklir secara Global
Salah satu bentuk dari norma hukum internasional adalah perjanjian
internasional. Dalam hal kepemilikan, penggunan dan kecelakaan nuklir yang diatur
secara global (mengikat banyak negara tanpa memandang letak negara pihak) di
antaranya diatur dalam NPT.
Perjanjian Nonproliferasi Nuklir adalah suatu perjanjian yang ditandatangi pada
1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan dan penggunaan senjata nuklir. Sebagian besar
negara berdaulat yankni sebanyak 187 negara mengikuti perjanjian ini, walaupun dua di
antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara yang mungkin
memiliki senjata nuklir belumlah meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian ini diusulkan
oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia. Pada tanggal 11 Mei 1995,
di New York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian ini tanpa batas
waktu dan tanpa syarat.
Pertama kali terbuka untuk penandatanganan pada 1 Juli 1968 di New York.
Perjanjian ini mulai berlaku sejak 5 Maret 1970 setelah diratifikasi oleh Inggris, Uni
Soviet, Amerika Serikat, dan 40 negara lainnya. Pada tanggal 11 Mei 1995, di New
York, lebih dari 170 negara sepakat untuk melanjutkan perjanjian ini tanpa batas waktu
dan tanpa syarat.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
25
Pasal X membolehkan sebuah negara untuk mundur dari perjanjian jika terjadi
“hal-hal penting, yang berhubungan dengan subjek perjanjian ini, telah mengacaukan
kepentingan utama negara tersebut”, memberikan pemberitahuan 3 bulan sebelumnya.
Dan negara tersebut harus memberikan alasannya keluar dari perjanjian ini.
Negara-negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) mengatakan
jika salah satu negara anggotanya berperang, maka perjanjian ini tidak lagi berlaku.
Artinya negara tersebut dapat keluar tanpa pemberitahuan. Argumen ini dibutuhkan
untuk mendukung kesepakatan “senjata nuklir bersama” North Atlantic Treaty
Organization, namun bertolak belakang dengan Perjanjian Non-Proliferasi ini.
Perjanjian ini memiliki tiga pokok utama, yaitu nonproliferasi, perlucutan, dan
hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.
1. Pokok Pertama: Non-Proliferasi
Terdapat 5 negara yang diperbolehkan oleh Non-Proliferation Treaty untuk
memiliki senjata nuklir, yaitu : Perancis (masuk tahun 1992) ; Republik Rakyat Cina
(1992) ; Uni Soviet (1968, kewajiban dan haknya diteruskan oleh Rusia) ; Inggris
(1968) ; Amerika Serikat (1968)
Hanya lima negara ini yang memiliki senjata nuklir saat perjanjian ini mulai
dibuka, dan juga termasuk lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lima negara
pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) ini setuju untuk tidak mentransfer
teknologi senjata nuklir maupun hulu ledak nuklir ke negara lain, dan negara-negara
non-nuklir setuju untuk tidak meneliti atau mengembangkan senjata nuklir.
Kelima negara NWS telah menyetujui untuk tidak menggunakan senjata nuklir
terhadap negara-negara non-nuklir, kecuali untuk merespon serangan nuklir atau
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
26
serangan konvensional yang bersekutu dengan negara nuklir. Namun, persetujuan ini
belum secara
formal dimasukkan dalam perjanjian, dan kepastian-kepastian
mengenainya berubah-ubah sepanjang waktu. Amerika Serikat telah mengindikasikan
bahwa mereka akan dapat menggunakan senjata nuklir untuk membalas penyerangan
non-konvensional
yang
dilakukan
oleh
negara-negara
yang
mereka
anggap
“berbahaya”. Mantan Menteri Pertahanan Inggris, Geoff Hoon, juga telah menyatakan
secara eksplisit mengenai kemungkinan digunakannya senjata nuklir untuk membalas
serangan seperti itu. Pada Januari 2006, Presiden Perancis, Jacques Chirac menerangkan
bahwa sebuah serangan teroris ke Perancis, jika didalangi oleh sebuah negara, akan
memicu pembalasan nuklir (dalam skala kecil) yang diarahkan ke pusat kekuatan
“negara-negara berbahaya” tersebut.
2. Pokok Kedua : Perlucutan
Pasal VI dan Pembukaan perjanjian menerangkan bahwa negara-negara pemilik
senjata nuklir berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan
simpanan mereka. Pasal VI juga menyatakan “…Perjanjian dalam perlucutan umum dan
lengkap di bawah kendali internasional yang tegas dan efektif.” Dalam Pasal I, negaranegara pemilik senjata nuklir menyatakan untuk tidak “membujuk negara non-Nuklir
manapun untuk mendapatkan senjata nuklir.” Doktrin serangan pre-emptive dan bentuk
ancaman lainnya bisa dianggap sebagai bujukan/godaan oleh negara-negara non-nuklir.
Pasal X menyatakan bahwa negara manapun dapat mundur dari perjanjian jika mereka
merasakan adanya ancaman, yang memaksa mereka keluar.
3. Pokok Ketiga : Hak untuk menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
27
Karena sangat sedikit dari negara-negara nuklir dan negara-negara pengguna
energi nuklir yang mau benar-benar membuang kepemilikan bahan bakar nuklir, pokok
ketiga dari perjanjian ini memberikan negara-negara lainnya kemungkinan untuk
melakukan hal yang sama, namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuatnya
tidak mungkin mengembangkan senjata nuklir.
Bagi beberapa negara, pokok ketiga perjanjian ini, yang memperbolehkan
penambangan uranium dengan alasan bahan bakar, merupakan sebuah keuntungan.
Namun perjanjian ini juga memberikan hak pada setiap negara untuk menggunakan
tenaga nuklir untuk kepentingan damai, dan karena populernya pembangkit tenaga
nuklir. Tidak ada negara yang diketahui telah berhasil mengembangkan senjata nuklir
secara rahasia, jika dalam pengawasan NPT.
Negara-negara yang telah menandatangani perjanjian ini sebagai negara nonsenjata nuklir dan mempertahankan status tersebut memiliki catatan baik untuk tidak
mengembangkan senjata nuklir. Di beberapa wilayah, fakta bahwa negara-negara
tetangga bebas dari senjata nuklir mengurangi tekanan bagi negara tersebut untuk
mengembangkan senjata nuklir sendiri, biarpun negara tetangga tersebut diketahui
memiliki program tenaga nuklir damai yang bisa memicu kecurigaan. Dalam hal ini,
perjanjian Non-Proliferasi bekerja sebagaimana mestinya.
Mohamed El Baradei, ketua dari International Atomic Energy Agency (IAEA),
mengatakan bahwa jika negara-negara itu mau, 40 negara dapat mengembangkan
sebuah bom nuklir. 23
23
Perjanjian Non-ProliferasiNuklir, http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian NonProliferasi
Nuklir, diakses tanggal 23 September 2008.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
28
C. Norma Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan
Kecelakaan Nuklir secara Regional
Norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir secara regional memungkinkan untuk memberikan dampak kepada negara-negara
lain secara internasional untuk dapat menghormati hak-hak dan kepentingan negaranegara yang terlibat dalan perjanjian perlucutan senjata nuklir atas perdamaian dan
keamanan yang hendak diciptakan di wilayah mereka masing-masing. Di samping itu
lahirnya suatu perjanjian internasional yang merupakan salah satu bentuk dari norma
hukum internasional juga dapat meningkatkan kesadaran dan keinginan negara-negara
lainnya di kawasan-kawasan lain di belahan dunia untuk melahirkan suatu perjanjian
regional di wilayah mereka semata-mata untuk stabilitas, perdamaian dan keamanan
wilayah mereka sendiri.
Beberapa negara di kawasan yang sama telah menerapkan perjanjian mengenai
proliferasi nuklir, diantaranya di kawasan Amerika Latin dan Karibia, kawasan Pasifik
Selatan dan Asia Tenggara. Berikut ini adalah beberapa perjanjian internasional secara
regional yang berkaitan dengan masalah kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan
nuklir.
1. Traktat Tlatelolco 24
(Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the
Caribbean 25)
24
Nama Tlatelolco diambil dari nama kota kuno Aztec yang kemudian menjadi salah satu distrik
di Mexico City, dimana Departemen Luar Negeri Mexico berlokasi dan tempat berlangsungnya sidang
regional negara-negara Amerika Latin dan sekaligus tempat ditandatanganinya traktat ini pada 14
Februari 1967.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
29
Meningkatnya suasana Perang Dingin dan perlombaan senjata antara Amerika
Serikat dan Uni Sovet pada awal dekade 1960- an telah menimbulkan kekhawatiran
masyarakat internasional akan kemungkinan terjadinya konfrontasi kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir di antara kedua negara adidaya tersebut. Di Amerika
Latin kekhawatiran ini sangat terasa karena persaingan antara kedua negara adidaya
tersebut nyaris membawa dunia pada konfrontasi kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir. Negara-negara Amerika Latin mengamati dengan seksama krisis
tersebut dari berbagai aspek dan mereka menyadari bahwa perdamaian dan keamanan
internasional merupakan keutuhan yang mendasar bagi kawasan itu. Krisis Kuba telah
memberi pelajaran yang sangat berarti bagi negara- negara di kawasan ini bahwa
keberadaan senjata senjata kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir di kawasan
mereka memungkinkan mereka menjadi sasaran serangan kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir. Karena itu, mereka kemudian secara tegas menyatakan sikap mereka
untuk tidak melibatkan diri dalam konflik antara kedua ngara adidaya tersebut. 26
Realisasinya adalah bahwa pada tahun 1962 wakil Brazil di PBB telah
mengajukan usul untuk menjadikan kawasan Amerika Latin sebagai suatu kawasan
bebas senjata kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir. Pada Sidang Majelis
Umum PBB delegasi Brazil yang didukung oleh Bolivia, Chili dan Ekuador
menyampaikan suatau rancangan Resolusi yang menyerukan pembentukan zona
semacam itu di Amerika Latin. Gagasan itu mendapat dukungan luas dari negara-negara
25
Pada tanggal 3 Juli 1990, the Agency for the Prohibition for Nuclear Weapons in Latin
America memutuskan dalam Resolusi 267 (E-V) untuk menambahkan kata-kata “and the Carebbean” ke
dalam judul resmi traktat ini sesuai dengan pasal 7.
26
Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 185.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
30
anggota PBB, khususnya dari sebahagian besar negara-negara Amerika Latin karena
ada pula negara-negara di Amerika Latin yang masih belum yakin ataupun
bermasalah. 27
Negara-negara Amerika Latin kemudian menindaklanjuti inisiatif itu dengan
mengadakan serangkaian negosiasi secara ekstensif dan lebih terperinci di antara
mereka, khususnya dengan melaksanakan konferensi “Preliminary Session on
theDenuclearization of Latin America” dimana negara-negara Amerika Latin sepakat
untuk membentuk suatau Komisi Persiapan (Preparatory Commission) bagai
Denuklirisasi Amerika Latin dengan tugas utama menyiapkan suatau rancangan traktat
mengenai hal ini dan untuk itu perlu melakukan studi pendahuluan dan langkah-langkah
lainnya yang dianggap perlu. 28 Secara garis besar dapat dikatakan, proses pembuatan
atau penyusunan Traktat Tlatelolco ini sempat menghadapi berbagai masalah,
khususnya dalam menjabarkan aspek-aspek yang akan dicakup dan akan menjadi
ketentuan yang disepakati bersama. 29
Ketika itu terdapat kekhawatiran akan adanya kesalahpahaman mengenai ruang
lingkup traktat dan mengenai status denuklirisasi yang dikehendakai yaitu bahwa yang
dikehendaki adalah bukannya denuklirisasi sipil (civil denuclearization) melainkan
denuklirisasi militer (military denuclearization). Karena itu untuk menghindari hal
tersebut, komisi memutuskan pada pertemuan terakhir untuk mengubah nama traktat ini
27
Ibid, hal 186.
28
Ibid, hal 190.
29
Ibid, hal 192.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
31
dari “Treaty for the Denuclearization of Latin America” menjadi “Treaty for the
Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America” 30
Apa yang dicapai melalui tarktat ini tidak terlepas dari upaya bersama dan kerja
keras yang dilakukan oleh tiga badan utama dalam the OPANAL (the Agency for the
Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the Caribbean) yaitu Sidang
Umum (General Conference), Dewan (Council) dan Sekretariat (General Secretariat)
dari Good Offices Committee 31
Sejalan dengan perkembangannya, traktat ini mengalami perubahan-perubahan
(amandemen-amandemen) yang memungkinkan negara-negara yang memiliki fasilitas
dan aktivitas nuklir untuk menjadi negara pihak secara penuh pada Traktat Tlatelolco.
Salah satu hambatan utama implementasi traktat ini adalah adanya persaingan
kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir antara Argentina dan Brazil.dimana
kedua negara saling mencurigai satu sama lain mengenai kegian kepemilikan,
penggunaan dan kecelakaan nuklir masing-masing yang dilakukan secara rahasia, yang
bertujuan untuk mempertahankan upaya nuklirnya. 32
Peledakan alat ledak kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir (nuclear
explosive device) untuk tujauan damai diizinkan di bawah traktat ini dan prosedur
pelaksanaannya juga diatur secara jelas. Ketentuan didalamnya mengatur bahwa
30
Ibid, hal 193.
31
Ibid, hal 198.
32
Ibid, hal 199.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
32
kegiatan semacam itu harus dilaksanakan sesuai dalam pasal-pasal dalam traktat yang
melarang sepenuhnya senjata nuklir. 33
Kawasan aplikasi traktat Tlatelolco meliputi wilayah teritorial, termasuk lautan
dan udara dimana negara-negara kawasan memiliki kedaulatan sesuai dengan ketentuan
hukumnya. Kawasan ini juga mencakup kawasan yang luasa di Samudera Atlantik dan
Pasifik, dan ratusan kilometer di lepas pantai Amerika Latin. Bahkan mencakup pula
sebagian dari laut bebas, apabila seluruh persyaratannya telah dipenuhi yaitu antara lain
: a. pematuhan terhadap traktat oleh semua negara di kawasan; b. penandatanganan dan
ratifikasi terhadap protokol oleh negara-negara yang bersangkutan; c. penyelesaian
kesepakatan dengan IAEA mengenai aplikasi IAEA safeguard terhadap fasilitas nuklir
di negara-negara pihak (for the purposes of this treaty, the term “territory” shall
include the territorial sea, air space and any other space over which the State exersices
sovereignty in accordance with its own legislation). 34
Protocol II traktat Tlatelolco memberikan jaminan negara-negara nuklir untuk
tidak menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir terhadap
negara-negara pihak meskipun hal ini dilakukan secara bersyarat. Mengenai hal ini,
ketika menandatangani protokol ini, Amerika Serikat dan Inggris telah membuat
“interpretative statement” yang mencerminkan doktrin militer yang mereka anut. Kedua
negara ini menganggap kewajiban tersebut tidak berlaku dalam situasi dimana terjadi
serangan bersenjata oleh negara-negara di kawasan bebas senjata nuklir itu yang
didukung atau dibantu oleh negara-negara nuklir. Hal yang sama juga berlaku bagi Uni
33
The Tlatelolco Treaty Article 18.
34
The Tlatelolco Treaty Article 3.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
33
Soviet, dengan tambahan bahwa bukan hanya serangan bersenjata tetapi juga apabila
terjadi agresi yang dilakukan negara-negara kawasan dengan bantuan negara-negara
nuklir. 35
Ketentuan-ketentuan yang penting lainnya dalam traktat ini adalah berkaitan
dengan verifikasi. Negara-negara pihak berketetapan untuk menegosiasikan perjanjian
dengan IAEA untuk aplikasi safeguard terhadap aplikasi nuklir mereka. Untuk itu
traktat ini juga membentuk suatau organisasi yang akan membantu menjamin
pematuhan terhadap ketentuan-ketentuan traktat.
Hal lain yang perlu dikemukakan secara khusus sehubungan implementasi
traktat ini adalah kaitan antara Traktat Tlatelolco dengan NPT. Karena sebagian besar
pihak traktat ini juga merupakan negara pihak NPT, sering kali bahwa Traktat
Tlatelolco adalah versi regional dari NPT. Dengan demikian prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan NPT secara otomatis berlaku untuk Traktat Tlatelolco atau paling
tidak merupakan preseden. Padahal diketahui bahwa dalam kenyataannya Traktat
Tlatelolco dijajaki, dirundingkan dan dirampungkan secara independen bahkan sebelum
NPT terbentuk. Dalam hubungan ini traktat Tlatelolco jelas merujuk pada paragraf
preambul Resolusi PBB No. 2028 (XX) Non-Proliferation of Nuclear Weapons yang
disahkan Sidang Majelis Umum PBB, sementara NPT justru sengaja tidak
menyebutnya. 36
Protokol Internasional menyerukan agar negara-negara internasional luar
kawasan traktat ini menerapkan ketentuan-ketentuan denuklirisasi terhadap wilayah-
35
Dian Wirengjurit, Op. Cit. hal 205.
36
Ibid, hal 206.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
34
wilayah yang secara de facto atau de jure mereka bertanggung jawab secara
internasional. Semua negara yang memiliki wilayah seperti yang dimaksudkan itu telah
menandatanganinya dan mereka juga telah meratifikasinya masing-masing Inggris,
Belanda, Amerika Serikat dan Perancis.
Traktat Tlatelolco dimaksudkan untuk menghindarkan atau munculnya negara
nuklir di Amerika Latin dan untuk itu diperlukan kepatuhan negara-negara kawasan
terhadap traktat ini. Namun, selama kurang lebih seperempat abad setelah
ditandatangani beberapa negara kawasan yang masih melakukan kegiatan nuklir ingin
tetap mempertahankan agar upaya nuklirnya tetap terbuka. Meskipun demikian, di
samping kelemahan dan ambiguitasnya Traktat Tlatelolco tetap merupakan model bagi
upaya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di berbagai kawasan dunia. 37
Pembentukan Traktat Tlatelolco telah membawa dampak positif dan menjadi
perangsang bagi negara-negara Amerika Latin untuk mengupayakan lebih lanjut
penghapusan senjata-senjata pemusnah massal dari kawasan itu, baik secara bilateral
maupun di antara beberapa negara kawasan. Upaya ini dilakukan diantaranya melalui
Deklarasi Ayacucho (the Ayacucho Declaration) tahun 1974, Gagasan Contadora (the
Contadora
Proposals)
tahun 1985
yang
khusus
menyangkut
senjata-senjata
konvensional serta Perjanjian Iguazu (the Iguazu Falls Agreement) tahun 1990,
Perjanjian mendoza (the Mendoza Agreement) dan Deklarasi Cartagena (the Cartagena
Declaration) yang keduanya ditandatangani tahun 1991. 38
37
Ibid, hal 210.
38
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
35
Traktat Tlatelolco memberi dampak terhadap perlucutan senjata dan pengawasan
senjata di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa :
1. Traktat Tlatelolco merupakan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan berpenghuni
2. Komitmen negara pihak terhadap full-scope safeguard IAEA
3. Larangan kontrol pangkalan nuklir oleh negara asing
4. Prosedur berlakunya traktat yang inovatif
5. Dimaksudkannya protokol yang mengikat bagi negara-negara nuklir dan negara yang
memiliki kepentingan di kawasan
6. Adanya organisasi dengan struktur yang lengkap
7. Traktat ini menjadi model bagi kawasan lain
Keberhasilan Traktat Tlatelolco diakui secara luas oleh masyarakat internasional
pada umumnya. Bahkan dalam proses perampungannya, ketika teks traktat berhasil
disepakati oleh Preparatory Committee, Sekretaris Jenderal PBB, U Thant telah
menyampaikan penghargaannya :
“...the success you have achieved in your work here will stand not only as a landmark
but will be an encourageing example, and I trust also an important stimulant, for
progress in other disarmamaent measures of world wide as well as of regional
significance...
The nations of Latin America can, with ample justification, take pride in what they heve
wrought by their own initiative and through their own efforts”.39
Negara-negara nuklir memang bersikeras mempertahankan sikap bahwa senjata
nuklir masih tetap dibutuhkan namun tekanan terhadap mereka untuk menandatangai
protokol kawasan bebas senjata nuklir semakin meningkat karena keinginan kuat
negara-negara kawasan utuk memperkuat rezim non-proliferasi dan mencegah
pembelotan dari Non-Proliferation Treaty dan mendorong negara nuklir untuk
39
Ibid, hal 215.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
36
mengupayakan perlucutan senjata nuklir lebih lanjut ke arah pencapaian tujuan dunia
yang bebas senjata nuklir. 40
Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan lainnya dan
perjanjian-perjanjian ke arah perlucutan senjata nuklir tampaknya tidak dapat dihindari.
Dari berbagai aspek, meskipun terdapat perbedaan karakteristik di antara masingmasing kawasan Traktat Tlatelolco merupakan inspirasi dan pelajaran yang berguna
bagi negara-negara yang ingin turut menyumbang bagi perluasan kawasan semacam ini
di dunia.
2. Traktat Ratoronga 41
(The South Pasific Nuclear Free Zone Treaty)
Kawasan Asia Pasifik yang sering kali dianggap sebagai kawasan paling
strategis di dunia, telah terlibat dalam isu-isu yang berhubungan dengan senjata nuklir
semenjak awal era nuklir tahun 1945. Penggunaan senjata nuklir yang pertama dan
terakhir kali dalam suatau peperangan dilakukan oleh negara pesisir Pasifik terhadap
negara Pasifik lainnya (Amerika Serikat terhadap Jepang). Di pihak lain, laetak kawasan
ini yang secara relatif dapat dikatakan terisolasi telah mengundang minat negara-negara
nuklir untuk melaksanakan program kegiatan nuklir mereka, terutama program uji coba
nuklir mereka. 42
40
Ibid, hal 219.
41
Ratotonga adalah pulau terbesar di kelompok Cook Islands, tempat diselenggarakannya KTT
South Pasific Forum ke-16 Traktat Ratotonga berhasil disepakati dan ditandatangani pada tanggal 8
Agustus 1985.
42
Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 221.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
37
Amerika Serikat dan Inggris telah melakukan tidak kurang dari 120 kali uji coba
nuklir di kawasan Pasifik dimana sebagian besar merupakan uji coba di atmosfir dan
sebagian lagi dilakukan di bawah laut. Setelah rangkaian uji coba tersebut, penduduk
Marshall Island mengalami masalah kesehatan dan lingkungan yang cukup parah akibat
radioaktif yang dihasilkan dari rangkaian uji coba tersebut. 43
Kekhawatiran dan kemarahan negara-negara Pasifik Selatan mengenai isu nuklir
ini semakin bertambah karena keputusan Prancis untuk mendirikan Pusat Eksperimen
Pasifik (Centre d’experimentation du Pasifique) di Moruroa 44, di gugusan pulau
Toamotu di Polinesia pada tahun 1963. Hal ini dilakukan setelah Perancis terpaksa
meninggalkan padang uji coba nuklirnya di kawasan Raggane Gurun Sahara, Aljazair
menyusul perang kemerdekaan yang terjadi di sana. Sebagai hasilnya, pada tahun 1966
untuk pertama kalinya Perancis melaksanakan uji coba nuklir di atmosfir di kawasan
Pasifik Selatan dan kemudian melakukannya secara teratur. Sejak saat itu Perancis telah
melakukan tidak kurang dari 41 uji coba di atmosfir dan 120 kali uji coba di bawah
tanah di Moruroa atau sekitarnya (Fatanguafa). 45
Sejalan dengan berkembangnya oposisi terhadap program uji coba Perancis,
berkaembang pula kekhawatiran mengenai isu nuklir lainnya di antaranya masalah
pembuangan limbah nuklir di lautan dan dampak proliferasi senjata nuklir terhadap
keamanan regional dan global. 46
43
Ibid, hal 222.
44
Nama Moruroa dari bahasa setempat yang artinya “a place of great secret”, namun kata ini
diubah menjadi Mururoa oleh kartograf Angkatan Laut Perancis.
45
DRS Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 223.
46
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
38
Penggunaan pulau-pulau di Pasifik serta berlanjutnya program uji coba nuklir
Perancis dan kekhawatiran kan tercemarnya sumber daya alam yang vital bagi kawasan
telah menimbulkan kecurigaan dan dorongan yang kuat di antara negara-negara yang
kecil ekonomi komoditi tunggal (single-commodity economies) di Pasifik untuk
melindungi kawasan mereka dari akibat burut dari segala sesuatu yang berbau nuklir.
Sejak itu pula negara-negara di kawasan ini terutama Australia dan Selandia Baru mulai
menggalang kesatuan di antara mereka untuk menentang program uji coba nuklir
Perancis. 47
Tanda-tanda bahwa negara-negara Pasifik akan bergabung untuk membentuk
suatu kawasan bebas senjata nuklir di kawasan itu sebenarnya mulai muncul pada awal
tahun 1960-an dalam resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Partai Buruh baik di
Australia ataupun di Selandia Baru. 48
Tingkat politik regional sebagai langkah awal menuju pembentukan kawasan
bebas senjata nuklir Pasifik Selatan, pada awal tahun 1970-an Partai Buruh Selandia
Baru mengusulkan di bentuknya South Pasific Forum (SPF) 49 yang terdiri dari semua
negara merdeka dan berpemerintahan sendiri di Pasifik Barat Daya. 50
Tahun 1972 pemerintah Selandia Baru menyatakan komitmen terhadap upaya
internasional untuk menentang uji coba nuklir khususnya terhadap program uji coba
47
Ibid, hal 224.
48
Ibid.
49
South Pasific Forum didirikan pada tanggal 5 Agustus 1971 untuk mempromosikan kerja sama
regional dalam bidang politik. SPF memiliki 15 negara anggota yaitu Australia, Cook Island, Fiji,
Kiribati, Marshall Island, Federated States of Micronesia, Nauru, New Zealand, Niue, Papua New
Guinea, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, Vanuatu dan Western Samoa.
50
Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 225.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
39
Perancis di Polinesia. Pada tahun itu juga Selandia Baru mulai melaksanakan lobi
terhadap negara-negara Pasifik Selatan agar memberikan dukungan terhadap gagasan
pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di kawasan itu. 51
Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan ini sempat
mengalami pasang surut dalam tahun-tahun berikutnya sejalan dengan terjadinya
pergantian pemerintahan, terutama di kedua negara SPF yaitu Australia dan Selandia
Baru. Masa pemerintahan Partai Buruh dianggap terlalu singkat untuk mengembangkan
kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan dari mulai gagasan hingga program
aksinya. Partai nasional pimpinan Robert Muldoon yang terpilih pada tahun 1976,
misalnya, juga memutuskan untuk meninggalkan kebijakan tersebut dan tidak
menganggap gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir sebagai proritas. Pada
bulan Februari 1976, Perdana Menteri Muldoon menyatakan sikapnya bahwa tanpa
adanya jaminan dari negara nuklir deklarasi mengenai pembentukan kawasan bebas
senjata nuklir akan hanya merupakan gerakan hampa (empty gesture) 52
Tahun 1979 SPF sempat mengeluarkan pernyataan keras mengutuk rencna
penggunaan pulau-pulau yang tidak berpenghuni di Pasifik Selatan sebagai tempat
pembuangan limbah nuklir. Sikap keras ini yang disertai oposisi terhadap rencana
Jepang untuk membuang limbah nuklirnya di Samudera Pasifik ditegaskan kembali
dalam pertemuan-pertemuan SPF berikutnya.Tidak lama setelah Partai Buruh
memerintah
kembali
di
bawah
Perdana
Menteri
Robert
Hawke,
Australia
menghidupkan kembali gagasan lama untuk membentuk kawasan bebas nuklir Pasifik
51
Ibid.
52
Ibid, hal 227
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
40
Selatan pada pertemuan ke-14 SPF ynag diadakan pada bulan Agustus 1983 di
Canberra. 53
Perkembangan lain yang juga penting artinya dalamupaya ini adalah terjadinya
pergantian pemerintahan di Selandia Baru pada bulan Juli 1984, dengan munculnya
Perdana Menteri, David Lange, yang merupakan pendukung kuat gagasan ini dan
mengakhiri pemerintahan Perdana Menteri Robert Muldoon yang menentang upaya ini.
Ketika itu tidak kurang dari 94 kota di Selandia Baru telah menyatakan diri sebagai
daerah bebes nuklir yang berarti lebih dari separuh penduduk negara itu berdiam di
kawasan bebas nuklir. Kebijakan bebas nuklir itu disahkan oleh 3 dari 4 partai poltik
yang ada dan memperoleh 63 persen suara. Berbeda dengan gagasan awal Australia,
Perdana Menteri David Lange lebih memilih pendekatan yang pragmatis karena
menyadari bahwa gagasan yang radikal tidaka akan mendapatkan dukungan yang
diharapkan. Untuk itu David Lange telah menetapkan 4 strategi pemerintahanya, yaitu :
1. Mengakhiri uji coba nuklir Prancis di Pasifik Selatan
2. Mencegah pembuangan limbah nuklir di Pasifik
3. Membentuk kawasan bebas nuklir di Pasifik Selatan
4. Menolak senjata nuklir di Selandia Baru 54
David Lange juga memasukkan keempat strategi ini ke dalam undang-undang
negaranya dan meminta agar Amerika Serikat mematuhi UU tersebut apabila kapalkapal lautnya ingin memasuki pelabuhan di Selandia Baru.
53
Ibid, hal 228
54
Ibid, hal 229
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
41
Bulan November 1984 dan Juni 1985, setelah melalui 5 kali pertemuan, di Suva,
Fiji kelompok kerja yang dibentuk oleh SPF elah erhasil menyusun suatu rancangan
traktat yang terdiri dari preambul, 16 pasal dan 4 annex serta suatu rancangan protokol.
Rancangan ini direncanakan akan dibawa ke dalam KTT SPF ke-16 yang diadakan di
Ratotonga, Cook Island, pada bulan Agustus 1985. Namun menjelang berlangsungnya
pertemuan di Ratotonga itu terdapat indikasi bahwa beberapa negara justru ingin
mempertimbangkan kembali gagasan ini. 55
Diakui bahwa ketika Australia pertama kali mengajukan gagasan pada tahun
1983 hal ini telah mengundang tanggapan baik dari kalangan Partai Konservatif maupun
dari gerakan perdamaian (peace movement) yang menganggap gagasan ini sebagai
“empty concept”. Baik kelompok kiri maupun kanan menilai bahwa gagasan ini hanya
merupakan permainan politik yang sama sekali tidak akan mencapai hasil apapun dalam
konteks pengawasan senjata yang sesungguhya. Karena itu, tidak mengherankan apabila
pada awalnya gagasan ini diremehkan dan diragukan akan dapat diwujudkan sesuai
dengan harapan negara-negara Pasifik Selatan.
Di lain pihak, ada pula yang beranggapan bahwa traktat ini lebih banyak
ditujukan kepada Australia sendiri, yang merupakan satu-satunya negara yang memiliki
potensi untuk menjadi kekuatan nuklir di Pasifik Selatan. Pada tingkat tertentu traktat
ini juga merupakan sinyal politik dan jaminan khusus kepada negara-negara di lau
kawasan terutama Indonesia, bahwa Australia tidak akan memekai senjata nuklir dalam
kaitan dengan keamanan di kawasan itu. Sedangkan Indonesia yang juga merupakan
negara pihak NPT, ketika itu juga sedang menempuh jalan yang sama dengan
55
Ibid, hal 230
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
42
menunjukkan keinginannya untuk membentuk suatu kawasan bebas senjata nuklir di
kawasan Asia Tenggara. 56
Apapun perkembangan selanjutnya, diakui atau tidak, traktat ini pada dasarnya
bukan hanya merupakan pernyataan hukum mengenai sentimen regional yang ada di
kalangan negara-negara Pasifik Selatan, tetapi juga merupakan pernyataan komitmen
mereka terhadap masalah lingkungan hidup. Negara-negara pihak bukan hanya
enentang kehadiran alat-alat ledak nuklir di Pasifik Selatan tetapi mereka juga ingin
melestarikan keseimbangan ekologis yang telah dinikmati oleh masyarakat di kawasan
sejak lama. Dengan demikian Traktat Ratotonga bukan hanya meruupakan simbol
keprihatinan tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap mereka. 57
Traktat Ratotonga mencakup kawasan yang amat luas dari pantai Australia di
sebelah barat sampai ke Kepulauan Galapagos di lepas pantai Equador di sebelah timur
dan dari garis khatulistiwa sebelah selatan sampai di atas sedikit Benua Antartika.
Traktat ini terdiri dari satu kawasan samudera yang sangat luas, satu benua dan begitu
banyak pulau-pulau. Traktat ini bukan hanya mencakup wilayah teritorial negara-negara
pihak tetapi juga mencakup laut pedalaman (internal waters), wilayah teritorial laut
(territorial sea) dan perairan nusantara (archipelagic waters), dasar laut, wilayah
daratan dan ruang angkasa di atasnya. Luasnya cakupan kawasa aplikasi traktat ini
memang oleh para perncangnya dibuat seluas mungkin atau juga dikenal senagai
“picture-frame approach”. Dalam kaitan in ketentuan traktat dibuat sedemikian rupa
56
Namun keengganan Australia untuk mendukung pembentukan kawasan bebas senjata nuklir
Pasifik Selatan pada pertengahan tahun 1970-an antara lain disebabkan karena kekhawatiran terhadap
Indonesia menyusul perkembangan tang terjadi di Timor Timur ketika itu.
57
Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 234.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
43
sehingga kawasan aplikasi kawasan bebas senjata nuklir ini dapat diperluas apabila
negara-negara anggota baru SPF kemudian menyatakan juga menjadi negara pihak pada
traktat ini. Bahkan, masing-masing negara pihak memiliki kewajiban yang berlaku
terhadap seluruh kawasan bebas senjata nuklir ini, misalnya dalam hal menahan diri
untuk tidak membuang limbah radioaktif di manapun dalam kawasan aplikasi.
Kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan ini telah lebih maju dibandingkan
dengan Traktat Tlatelolco dan bahkan NPT sekalipun. Traktat Ratotonga memperbaiki
kekurangan yang ada pada Traktat Tlatelolco antata lain dengan secara eksplisit
melarang pemilikan, pengembangan dan penggunaan alat ledak nuklir dan melarang
pembuangan limbah nuklir. Traktat Ratotonga juga lebih jelas menyebutkan hak negaranegara anggota untuk secara sendiri-sendiri, sesuai dengan kebijakan keamanannya,
menyetujui atau menolak kunjungan atau transit kapal-kapal yang membawa senjata
nuklir.
Kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan dibentuk melalui traktat regional
untuk jangka waktu yang tak terbatas. Namun, Traktat Ratotonga tidak membentuk
suatu Sekretariat yang permanen untuk mengamati atau memantau pelaksanaan traktat
ini, melainkan mempercayakan kegiatan dan fungsinya kepada Direktur Biro Pasifik
Selatan untuk kerja sama ekonomi yang berpusat di Suva, Fiji yang juga berfungsi
sebagai Sekretariat SPF.
Kewajiban-kewajiban yang ada dalam Traktat Ratotonga dapat dikatakan
mencerminkan karakteristik suatu kawasan bebas senjata nuklir. Kewajiban untuk tidak
membuat (manufacture), tidak mendapatkan (acquire), tidak memiliki (posses), tidak
menguji coba (test) alat ledak nuklir ataupun membantun lain dalam melakukannya,
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
44
serta tidak mengizinkan untuk menempatkannya (station) di wilayah teritorial nasional
(national territory) merupakn ketentuan-ketentuan standar yang ada dalam suatu
kawasan bebas senjata nuklir. Kecuali ketentuan stationing, semua ketentuan lainnya
sebenarnya sejalan dan juga diatur secara global melalui NPT, khususnya dalam pasal
VII. 58
Memang traktat ini pada dasarnya lebih merupakan perjanjian pengawasan
senjata (arms control agreement), meskipun di dalamnya juga dimaksudkan “nonweapon prohibition” yaitu larangan membuang limbah radioaktif di kawasan.
Sedangkan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan nuklir tetap tidak terpengaruh
karena tidak dilarang, seperti misalnya energi, bio-medis dan penelitian yang
menggunakan teknologi nuklir. Dengan kata lain, pemanfaatan atau penggunaan nuklir
untuk tujuan damai dan pembangunana masih tetap dapat dilakukan oleh negara-negara
kawasan.
Memang benar bahwa tidak ada satupun negara SPF yang mengindikasikan
keinginannya untuk mendapatkan alat ledak nuklir maupun menyediakan fasilitas
penampungan atau penimbunan (storage) di wilayah teritorialnya. Namun, beberapa
negara
anggota
SPF
ketika
itu
telah
memiliki
kemampuan
teknis
untuk
mengembangkan alat ledak semacam itu sehingga sulit untuk membayangkan ada
negara nuklir yang dapat membuat perjanjian strategis menyangkut hak penempatan
atau penyimpanan dengan negara-negara SPF. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
Traktat Ratotonga merupakan
58
pernyataan resmi secara hukum mengenai sentimen
Ibid, hal 238.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
45
regional menentang kehadiran persejataan nuklir di Pasifik Selatan dan kesungguhan
untuk menegakkannya. 59
Negara-negara SPF juga dapat dikatakan membuat langkah lebih maju dalam
menerapkan formula kawasan bebas senjata nuklir di kawasannya. Bagi negara-negara
SPF, Traktat Antartika yang melarang pembuangan limbah radioaktif di kawasan
aplikasinya baik di darat maupun di laut, dinilai kurang memadai mengingat hal ini
lebih tepat diatur dalam suatu konvensi mengenai lingkungan hidup dan bukannya
dalam suatu traktat perlucutan senjata nuklir.demikian pula Traktat Tlatelolco juga tidak
memiliki ketentuan serupa ini. Namun, negara-negara SPF menilai bahwa pelestarian
lingkungan bukan hanya menyangkut isu keamanan melainkan secara spesifik juga
menyangkut isu persenjataan nuklir. Karena itu, ketentuan dalam pasal 7 yang melarang
pembuangan (dumping) limbah radioaktif di lautuan secara alamiah memang cocok
untuk lingkungan Samudera Pasifik dan sesuai dengan kerangka Traktat Ratotonga.
Keputusan untuk memasukkan pasal ini mencerminkan keprihatinan negara-negara SPF
agar kawasannya tidak dijadikan tempat penimbunan limbah radioaktif, mengingat
Samudera Pasifik telah menampung limbah semacam ini dalam jumlah besar akibat
program uji coba senjata nuklir yang dilakukan negara-negara nuklir. Negara-negara
SPF menginginkan agar kawasan Pasifik Selatan menjadi terbebas sama sekali (offlimits) dari penimbunan limbah radioaktif oleh negara lain. 60
Traktat Ratotonga memiliki 3 protokol yang ditujukan kepada negara-negara
nuklir untuk ditandatangani dan diratifikasi. Di bawah Protokol I, Amerika Serikat,
59
Ibid, hal 239.
60
Ibid, hal 240.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
46
Inggris dan Perancis yang merupakan 3 negara yang bertanggung jawab secara
internasional (internationally responsible) atas kawasan bebas senjata nuklir ini,
berjanji untuk tidak membuat, menempatkan dan melakukan uji coba alat ledak nuklir
di wilayah-wilayah teritorial mereka yang berada di kawasan itu. Dalam hubungan ini,
ketentuan dalam protokol tersebut jelas ditujukan kepada Amerika Serikat. Protokol I
ini tidak berlaku bagi Cina dan Rusia karena kedua negara ini tidak memiliki wilayah
teritorial atau tidak bertanggung jawab atas sebagian wilayah di kawasan ini. 61
Protokol II yang mirip dengan Protokol II Traktat Tlatelolco terbuka bagi kelima
negara nuklir yang ada. Di bawah protokol ini kelima negara nuklir berjanji untuk tidak
menggunakan atau mengancam untuk menggunakan alat ledak nuklir kepada negara
pihak manapun dalam traktat ini atau terhadap wilayah teritorial negara pihak protokol
di dalam kawasan ini. Dalam hal ini, meskipun kelima negara nuklir telah membuat
pernyataan umum mengenai jaminan keamanan negatif (negative security guarantees)
terhadap negara non-nuklir, tetapi hanya Cina ynag memberikan jaminan tanpa syarat
(unconditional).62
Protokol III yang tidak secara langsung menyerupai Traktat Tlatelolco
memerintahkan kelima negara nuklir berjanji untuk tidak mengadakan uji coba alt ledak
nuklir di manapun di dalam kawasan kawasan bebas senjata nuklir ini. Dalam
prakteknya protokol ini lebih ditujukan kepada Cina dan Perancis untuk mengambil
langkah-langkah atau kebijakan baru yang sesuai dengan misi yang hendak dicapai
dalam pembentukan Traktat Ratotonga ini.
61
62
Ibid, hal 241.
Ibid, hal 242.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
47
Traktat Ratotonga banyak dikritik oleh sebagian negara nuklir karena bersifat
selektif dan terbatas dalam ketentuan-ketentuannya dan tidak dapat berbuat banyak
dalam meningkatkan keamanan kawasan dari kemungkinan serangan nuklir, limbah
radioaktif, dan kecelakaan nuklir, diakui pula bahwa traktat ini memiliki sejumlah aspek
positif. Pertama, pasca Perang Dingin tidak merubah arti penting traktat ini karena
perlucutan senjata nuklir tetap merupakan tujuan utama SPF dan masyarakat
internasional pada umumnya. Peredaan ketegangan yang terjadi justru menujukkan
kenyataan bahwa tujuan traktat ini memang realistis. Kedua, traktat memainkan peran
moral dan politis yang penting dalam meningkatkan keamnan kawasan. Traktat ini
menunjukkan adanya komitmen regional terhadap perlucutan senjata nuklir yang
mendorong mendorong munculnya sentimen anti-uji coba nuklir sehingga kelima
negara nuklir memberlakukan moratorium uji cona nuklir mereka. Ketiga, ketentuanketentuan mengenai lingkungan dalam traktat jelas tidak terpengaruh oleh berakhirnya
Perang Dingin. Komitmen untuk tidak membunag limbah radioaktif di laut masih tetap
penting dan relevan dan telah mempengaruhi opini internasional sehingga telah
membuka jalan terwujudnya Konvensi London (the London Convention) mengenai
larangan pembuangan limbah nuklir. Keempat, traktat ini dilihat sebagai sumbangan
negara-negara kawasan terhadap upaya memperkuat rezim non-proliferasi internasional.
Hingga saat ini potensi pengembangan senjata nuklir masih diakui merupakan isu yang
harus dihadapi dalam masa pasca Perang Dingin. 63
Saat ini Traktat Ratotonga telah ditandatangani dan diratifikasi oleh 12 negara
anggota SPF : Australia, Cook Island, Fiji, Kiribati, Nauru, New Zealand, Niue, Papua
63
Ibid, hal 250.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
48
New Guinea, Solomon Island, Tuvalu, Vanuatu dan Western Samoa. Dewasa ini tidak
ada negara nuklir atau kawasan nuklir yang ditempatkan di dalam kawasan aplikasi
traktat ini.
Prancis telah melaksanakan sekitar 140 kali uji coba nuklir di kawasan ini sejak
tahun 1966, dan kini telah menghentikan program uji coba nuklirnya. Dengan
diratifikasinya traktat ini oleh ketiga negara nuklir lainnya (Amerika Serikat, Inggris
dan Perancis), hal ini menjadikan kawasan sepenuhnya bebas senjata nuklir.
Tidak dapat disangkal bahwa kawasan bebas senjata nuklir Pasifik Selatan
sangat penting dalam kerangka mekanisme pengawasan senjata dan hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama, traktat ini dapat mencegah penempatan senjata nuklir di
kawasan meskipun tadinya belum semua negara nuklir mematuhi perjanjian ini. Karena
adanya dukungan yang luas dari negara-negara kawasan, hampir tidak mungkin negaranegara nuklir memaksa untuk memasukkan senjata nuklir ke kawasan ini. Kedua, traktat
ini memberikan sumbangan penting terhadap keamanan dan perdamaian di kawasan
yang berdekatan seperti Indonesia, Malaysia dan kawasan Asia Tenggara. Bagi
Australia yang merupakan negara potensial menjadi negara nuklir, traktat ini
memberikan pesan khusus kepada negara-negara disekitarnya yang juga dinilai
berpotensi menjadi negara nuklir seperti Indonesia. Ketiga, traktat ini akan dapat
mendorong munculnya inisiatif yang serupa di kawasan yang berdekatan, dalam hal ini,
ASEAN senantiasa mengikuti dengan seksama perkembangan dan kemajuan Traktat
Ratotonga dan diharapkan akan berupaya membentuk kawasan yang serupa di Asia
Tenggara.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
49
Keberhasilan Traktat Ratotonga mencerminkan keberhasilan SPF sebagai suatu
organisasi regional yang dewasa, asertif dan bertanggung jawab (mature, assertive and
responsible) serta dapat dan mampu bekerja untuk konsensus dan dialog regional
mampu menjalankan pandangannya ke dalam kancah yang lebih luas (able and willing
to work for regional consensus and dialogue, and able to project its views onto the
wider stage). Traktat ini juga mewakili eratnya hubungan antara negara-negara Pasifik
Selatan dengan masyarakat dunia. Yang penting, Traktat Ratotonga tidak salah lagi
merupakan dokumen hukum tetapi juga sebagai simbol dari jangkauan hubungan yang
menunjukkan komunitas global. Traktat ini juga merupakan upaya oleh suatu bagian
kecil dunia yang memberikan kontribusi untuk keberadaan komunitas dunia itu sendiri.
(Ratotonga Treaty is a legal document, but it is also a symbol of the range of
relationships which charactreize the global community. It is also an attemp by one
small part of the world to make a contribution to the survival of that community)64
3. Traktat Bangkok
(The South East Asia Nuclear Weapaon Free Zone Treaty)
Kawasan Asia Tenggara yang strategis telah lama menjadi incaran negaranegara besar, khususnya dalam konteks persaingan Perang Dingin. Baik Amerika
Serikat maupun Uni Soviet senantiasa berusaha menanamkan dan meluaskan
pangaruhnya di kawasan ini. Persaingan antara kedua negara adi kuasa ini ditambah
dengan potensi konflik yang memang ada di kawasan ini menjadikan kawasan ini sejak
lama dikenal sebagai kawasan konflik (region of conflict) atau juga kawasan instabilitas
(region of instability). Sudah sejak lama masyarakat Asia Tenggara menyaksikan dan
64
Ibid, hal 253.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
50
mengalami berbagai konflik bersenjata di kawasan ini semenjak akhir Perang Dunia II.
Mengingat situasi seperti ini, dari sejak lama memang sulit dibayangkan bahwa Asia
Tenggara akan dapat menjadi suatu kawasan yang aman dan damai.
ASEAN dibentuk untuk mengubah citra Asia Tenggara yang penuh konflik
menjadi wahana kerjasama ekonomi dan sosial-budaya di antara negara-negara kawasan
Asia Tenggara demi pembangunan nasional masing-masing negara. Gagasan
pembentukan kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari
gagasan pembentukan ZOPFAN. Gagasan pembentukan ini pertama kali diajukan
berkaitan dengan kebijakan politik dalam negeri dan perkembangan situasi politik di
Asia Tenggara ketika itu. Gagasan ini diterima oleh negara-negara ASEAN peda
pertemuan para Menteri Luar Negeri yang diadakan pada tanggal 27 November 1971
yang menyepakati Deklarasi Kuala Lumpur mengenai ZOPFAN. 65
Gagasan ZOPFAN bukan dimaksudkan sebagai netralisasi Asia Tenggara dalam
pengertian umum meskipun pengakuan dari negara-negara luar kawasan sangat
diharapkan. ZOPFAN lebih merupakan pernyataan negara-negara Asia Tenggara untuk
bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya dengan menolak asumsi bahwa nasib
kawasan ini ditentukan oleh negara-negara luar. Gagasan ini juga mencerminkan
keyakinan kuat bahwa hanya dengan kerjasama erat di antara sesama negara kawasan
berdasarkan kemampuan diri sendiri, perdamaian, keamanan dan stabilitas dapat
diwujudkan di Asia Tenggara.
Konsep ZOPFAN tidak menyangkal adanya kepentingan-kepentingan negaranegara luar kawasan. Namun, hal itu harus dilihat sebagai suatu kesatuan (a set of
65
Ibid, hal 256.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
51
conduct), di antara negara-negara ASEAN dan antara ASEAN dengan negara-negara
luar, dalam konteks mempertahankan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan.
Dengan demikian, konsep ini jelas merupakan bagian dari upaya atau pendekatan
regional dalam mewujudkan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan. Dengan
membentuk kawasan damai dan dengan melembagakan kerjasama regional dan interregional dalam pembangunan sosio-ekonomi dan pengaturan keamanan, upaya ini
dengan sendirinya akan turut membantu meringankan PBB dalam melaksanakan tugas
yang dimandatkan sesuai piagamnya. 66
Kesepakatan mengenai konsepsi ZOPFAN melalui KTT I ASEAN yang
diadakan pada 23-25 Februari 1976 di Bali telah mengeluarkan Declaration of ASEAN
Concord yang intinya berisikan program-program aksi yang akan menjadi kerangka
kerjasama ASEAN selanjutnya. Kesepakatan negara-negara ASEAN terhadap ZOPFAN
ini kemudian ditegaskan kembali dalam KTT II ASEAN yang diadakan di Kuala
Lumpur, Malaysia pada tanggal 4-5 Agustus 1977. Dalam komunike akhir yang
dikeluarkan oleh para pemimpin ASEAN, masalah pembentukan ZOPFAN telah
menjadi salah satu topik utama.
Perkembangan dan situasi kawasan yang belum kondusif mengakibatkan
pembahasan mengenai pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara pada
awalnya juga berjalan agak lambat. Dalam kerangka ASEAN pada tahun 1977
Indonesia dan Malaysia sudah mengajukan gagasan mengenai denuklirisasi Asia
Tenggara. Kesulitan yang dihadapi adalah adanya keengganan dari sebagian dari
anggota ASEAN untuk membahas masalah ini sebelum naskah Kamboja dapat
66
Ibid, hal 258.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
52
diselesaikan, walaupun ketika itu pula sebagian negara Asia Tenggara terutama
Indonesia dan Malaysia tetap bersikap tegas mengenai pembentukan kawasan bebas
senjata nuklir ini. Meskipun demikian, memang diakui bahwa kaitan yang erat antara
gagasan pembentukan ZOPFAN dan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini
telah beberapa kali diungkapkan dalam pernyataan menteri-menteri ASEAN. 67
Tidak lama setelah disepakatinya konsep ZOPFAN, gagasan akan suatu
denuklirisasi Asia Tenggara sudah pernah dilontarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja
yang menyatakan bahwa apabila netralisasi kawasan merupakan tujuan utama maka
kenon-aktifan negara-negara kawasan dalam pakta-pakta militer dengan negara-negara
besar (nuklir) merupakan condisio sine qua non atau harus segera diselesaikan.
Menurutnya, denuklirisasi bukan merupakan tujuan yang tidak masuk akal mengingat
perkembangan teknologi dan strategi nuklir yang terjadi di kedua negara adidaya ketika
itu, terutama dengan dikembangkannya sistem senjata nuklir MIRV dan SLBM 68.
Dengan sistem MIRV konsep keseimbangan teror (balance of terror) yang didasarkan
pada kemampuan serangan kedua (second strike capability) negara-negara nuklir
menjadi tidak berlaku karena masing-masing pihak tidak akan dapat melepaskan diri
dari ancaman serangan nuklir yang digelar di daratan (land-based missile). Sedangkan
peranan kapal selam yang berkemampuan membawa SLBM menjadi semakin penting
dengan adanya Traktat Dasar Laut 1971 yang melarang penempatan senjata nuklir di
dasar laut.
67
Ibid, hal 263.
68
MIRV (Multiple Independently targetable Re-entry Vehicle) dimana satu rudal nuklir memiliki
sejumlah kepala nuklir yang masing-masing dapat diarahkan kepada berbagai sasaran yang berbeda.
Sedangkan SLBM (Sea Launched Ballistic Missiles) yang berpangkalan di kapal-kapal selam nuklir
sehingga lebih mudah.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
53
Bergesernya prinsip penangkalan nuklir (nuclear deterrence) dari daratan ke
lautan telah memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi negara-negara dunia
termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan konsep semacam ini sasaran potensial dari
serangan nuklir juga beralih dari daratan ke lautan mengingat senjata-senjata nuklir
yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut juga menjadi serangan senjata nuklir. Dengan
demikian, negara-negara Asia Tenggara tidak lagi dapat dianggap immune terhadap
ancaman serangan nuklir terutama dengan perkembangan yang terjadi di sekitar
kawasan Asia Tenggara antara lain dengan perkembangan yang terjadi di Samudera
Hindia dengan didirikannya pangkalan militer Amerika Serikat di Diego Garcia. 69
Tidak dapat disangkal bahwa gagasan Mochtar Kusumaatmadja bahwa gagasan
denuklirisasi Asia Tenggara diilhami oleh gagasan serupa di Amerika Latin. Dengan
latar belakang itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, pembentukan traktat serupa di
Asia Tenggara yang tidak kurang rawannya dibanding dengan kawasan Amerika Latin
merupakan langkah awal yang realistis dan signifikan menuju suatu Asia Tenggara yang
netraldengan demikian denuklirisasi kawasan Asia Tenggara seharusnya tidak
menimbulkan kesulitan bagi negara-negara kawasan meskipun mungkin negara-negara
tersebut memiliki kesulitan mengenai aspek militer dalam upaya mencapai netralisasi
tersebut.
Khusus dalam kaitan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara
ini ada 2 hal yang perlu ditegaskan yaitu : pertama, pembentukan kawasan bebas
senjata nuklir Asia Tenggara ini telah lama diperjuangkan oleh kedua negara ASEAN
yaitu Indonesia dan Malaysia ; kedua, pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia
69
Dian Wirengjurit, Op.Cit, hal 264.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
54
Tenggara ini merupakan salah satu atribut penting dari gagasan ZOPFAN. Dalam upaya
pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara ini tidak dapat disangkal
bahwa Indonesia dan Malaysia dapat dikatakan sebagai penggerak, terutama dalam
meyakinkan negara-negara lainnya di kawasan mengenai pentingnya hal ini. Sikap
Indonesia dan Malaysia disebabkan oleh adanya kesamaan pandangan dalam hal
keamanan. Bagi kedua negara ini upaya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir
Asia Tenggara dinilai akan memberikan pengaruh positif terhadap stabilitas dan
keamanan nasional.
Gagasan pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara telah resmi
disepakati dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN ke XVII. Para Menteri
Luar Negeri ASEAN pada dasarnya merasa khawatir namun Indonesia dan Malaysia
berinisiatif untuk menghidupkan kembali kelompok kerja ZOPFAN untuk mengadakan
studi komprehensif mengenai konsep kawasan bebas senjata nuklir ini.
Dalam pertemuan kelompok kerja ZOPFAN di Kuala Lumpur delegasi
Indonesia menyampaikan suatu kertas kerja berjudul “Southeast Asia as a Nuclear
Weapon Free Zone”. Setelah beberapa pertemuan, kelompok kerja ZOPFAN ini
akhirnya mulai menunjukkan perubahan sikap dari Singapura dan Thailand karena
sudah bersedia membahas kertas kerja Indonesia. 70
Pertimbangan strategis negara-negara nuklir tersebut terhadap kawasan Asia
Tenggara dalam kerangka keamanan global, yang meliputi 2 aspek : pertama, adalah
pentingnya kawasan ini dikaitkan dengan perimbangan strategis negara-negara nuklir.
70
Ibid, hal 272.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
55
Ketika itu strategi nuklir (the nuclear triad) 71 Uni Soviet lebih difokuskan kepada landbased ICBM dan bukannya pada SLBM dan pewasat pembom yang mampu membawa
senjata nuklir sementara bagi Amerika Serikat ketiga komponen itu dinilai sama
pentingnya dalam strategi nuklirnya. Karena itu, gagasan pembentukan kawasan bebas
senjata nuklir ini dinilai hanya ditujukan pada Amerika Serikat karena akan
menghambat dan merugikan mobilitas yang dimilikinya. Akibatnya, Amerika Serikat
menolak untuk memberikan dukungannya pada gagasan ini, sementara Uni Soviet
sebaliknya ; kedua, dengan mobilitas yang dimilikinya Amerika Serikat membutuhkan
tempat transit bagi kapal-kapal perangnya yang akan berperan sebagai pengaman jalur
laut bagi Amerika Serikat dan juga Jepang yang juga mitra utamanya di Asia dan
ekonominya banyak bergantung kepada keamanan di jalur yang menghubungkan Teluk
Persia dan Samudera Pasifik ini. Selain itu Amerika Serikat juga memang berperan
sebagai pelindung bagi sekutu-sekutunya di kawasan Asia Pasfik, sehingga di mata
Amerika Serikat pembentukan kawasan bebas senjata nuklir haruslah memperhatikan
kepentingan mereka. 72
Prinsip yang telah disepakati adalah gagasan pembentukan ZOPFAN dan
kawasan bebas senjata nuklir mencakup wilayah teritorial kesepuluh negara Asia
Tenggara dan lingkungan terdekatnya termasuk sebagian kawasan Laut Cina Selatan
yang memiliki potensi konflik. Mengingat situasi tersebut disadari paling tidak
diperlukan 3 syarat untuk mewujudkan konsep di Asia Tenggara : pertama, adanya
71
Kelompok the nuclear triad yang dianut negara-negara nuklir seperti Amerika Serikat dan Uni
Soviet ini terdiri dari Inter-Continental Ballistic Missiles (ICBM), Sea Launched Ballistic Missile
(SLBM) dan pesawat bomber yang mampu mengangkut senjata nuklir.
72
Dian Wirengjurit, Op. Cit, hal 276.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
56
kesepakatan dari semua negara di Asia Tenggara terhadap gagasan ZOPFAN ini
sehingga menyatukan padangan kesepuluh negara ; kedua, perlunya diperhatikan
kepentingan negara-negara besar yang ada di kawasan ini, tanpa hal ini negara-negara
besar tersebut kemungkinan besar akan menentang pembentukan ZOPFAN ; ketiga,
perlu diperhitungkan kepentingan dan persepsi keamanan semua negara di kawasan ini
mengingat masing-masing negara memiliki kepentingan dan persepsi berbeda satu
dengan yang lainnya. 73
Kesepuluh negara penandatangan Traktat Bangkok adalah semua negara yang
masuk dalam kawasan Asia Tenggara. Traktat Bangkok merupakan traktat pertama
yang sejak awal proses pembentukannya melibatkan semua negara kawasan yang akan
menjadi pihak.
Kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara memiliki tujuan yang pada
umumnya sama dengan kawasan-kawasan serupa lainya. Karena tidak satupun negara
Asia Tenggara yang memiliki atau dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau
berambisi untuk menjadi negara nuklir (non-proliferasi horizontal), dapat dikatakan
bahwa tujuan utama kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara adalah untuk
meregulasi kebijakan oleh negara-negara yang memiliki senjata nuklir (to regulate the
polities of the nuclear weapon states) sekaligus untuk mere-konfirmasi komitmen
negara-negara terhadap non-proliferasi nuklir (to reconfirm their commitment to nuclear
non-proliferation). Namun dengan situasi politik dan karakteristik kawasan ini
pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara juga memiliki tujuan yang
73
Ibid, hal 278.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
57
spesifik baik dilihat secara regional, sub-regional ataupun dari sudut pandang
kepentingan Indonesia pada khususnya.
Semua negara ASEAN merupakan negara NPT. Karena itu dengan membentuk
kawasan bebas senjata nuklir di kawasan ini pada dasarnya negara-negara ini telah
menerima norma mengenai perilaku nuklir yang melebihi dari yang sebagaimana diatur
dalam NPT. Seperti dinyatakan dalam preambulnya, Traktat Bangkok menegaskan
kembali pentingnya NPT dalam mencegah proliferasi senjata nuklir di dunia dan
menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Sebagaimana traktat kawasan
bebas senjata nuklir sebelumna Traktat Ratotonga pembentukan Traktat Bangkok juga
memang dimaksudkan untuk memperkuat rezim non-proliferasi.
Traktat Bangkok mengartikan senjata nuklir sebagai semua benda yang dapat
meledak yang menghasilkan energi nuklir untuk tujuan yang tidak terkendali (any
explosive device capable of releasing nuclear energy in an uncontrolled manner) 74
sehingga dengan demikian mencakup larangan terhadap peledakan nuklir untuk tujuan
damai sekalipun. Akan tetapi, definisi seperti ini ternyata tidak mencakup suatu senjata
atau alat yang belum terakit secara utuh atau hanya terakit sebahagian. Lebih jauh lagi
di dalam traktat ini juga tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang menyangkut
perlindungan fisik terhadap fasilitas atau materi nuklir atau yang melarang pemrosesan
kembali bahan bakar nuklir beberapa negara Asia Tenggara dikatakan memiliki rencana
pengembangan program nuklir mereka. Dalam kawasan bebas senjata nuklir Asia
Tenggara memang ruang gerak kapal-kapal bertenaga nuklir atau bermuatan senjata
74
The Bangkok Treaty Article 1
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
58
nuklir memang sangat dibatasi dan selain itu pengaturan keamanan regional antara
negara-negara nuklir negara kawasan menjadi terganggu.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa terbentuknya kawasan bebas senjata
nuklir Asia Tenggara merupakan prestasi tersendiri bagi negara-negara di kawasan ini.
pembentukan ZOPFAN dan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara jelas bukan
hanya meningkatkan stabilitas, keamanan dan perdamaian kawasan tetapi juga turut
memberikan sumbangan terhadap keamanan dan perdamaian internasional pada
umumnya.
Akhirnya pembentukan kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara belum
menjamin terbebasnya kawasan ini dari ancaman senjata nuklir negara-negara besar.
Dengan demikian memang dapat dikatakan bahwa manfaat kawasan bebas senjata
nuklir Asia Tenggara hanya akan tetap bersifat politis dan simbolis dan sikap untuk
menentang senjata nuklir semacam itu masih tetap perlu untuk menunjukkan
kemerdekaan dan otonomi regional. Dengan membentuk suatu mekanisme regional
sendiri untuk menjamin non-proliferasi horizontal, negara-negara Asia Tenggara paling
tidak, dapat mengurangi kemungkinan pengawasan yang dipaksakan oleh lembagalembaga internasional. 75
Perkembangan selanjutnya berdasarkan Perjanjian SEA-NWFZ, negara-negara
anggota ASEAN setuju untuk tidak mengembangkan, membangun, mengendalikan atau
memiliki senjata nuklir serta melakukan uji-coba atau menggunakan senjata nuklir
untuk tujuan pemusnahan massal. Perjanjian itu juga melarang pembuangan materi
radioaktif di perairan Asia Tenggara.
75
Dian Wirengjurit, Op. Cit., hal 293.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
59
Sebelum para Menteri Luar Negeri ASEAN melakukan kajian terhadap SEANWFZ, komisi SEA-NWFZ terlebih dahulu melakukan perundingan dua hari, 27-28
Juli 2007 untuk mencapai kesepatan atas empat hal yang masih menjadi isu di ASEAN
yaitu masalah transit dan lewatnya senjata nuklir di perairan atau udara Asia Tenggara,
kedaulatan, wilayah penerapan dan jaminan keamanan.
Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri RI, yang juga ketua delegasi
Indonesia untuk SEA-NWFZ mengatakan bahwa negara-negara ASEAN sepakat untuk
melakukan langkah nyata guna membahas upaya untuk mewujudkan wilayah bebas
nuklir di kawasan Asia Tenggara dalam lima tahun mendatang, 2007-2012.
ASEAN juga diharapkan terus melanjutkan upayanya untuk mencapai konsensus
secapat mungkin tentang empat isu utama, melakukan konsultasi langsung dengan lima
negara besar pemilik senjata nuklir seperti : Amerika Serikat, China, Perancis, Rusia
dan Inggris setelah tercapai ASEAN konsensus, memastikan bahwa deklarasi unilateral
atau kolektif tidak akan melanggar perjanjian SEA-NWFZ selama belum tercapai
konsensus.
Berdasarkan kerangka kerja SEA-NWFZ negara-negara ASEAN juga sepakat
untuk memperkuat kerjasama dengan IAEA atau badan internasional yang lain dalam
hal pengembangan kerangka hukum yang seuai dengan standar internasional mengenai
keamanan nuklir, membangun kerjasama regional mengenai peringatan dini dan
membangun kesiapan kawasan untuk menghadapi keadaan darurat. 76
76
Gusti N.C Aryani, ASEAN Nantikan konsensus Zona Bebas Nuklir ASEAN 2012,
http://beritasore.com/2007/07/30/asean-nantikan-konsensus-zona-bebas-nuklir-asean-2012/,
diakses
tanggal 28 Januari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
60
D. Pengaturan Hukum Internasional mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan
Kecelakaan Nuklir secara Bilateral
Pembahasan mengenai nuklir pada masa sekarang ini adalah hal yang sangat
luas dan rumit dimana banyak aspek saling mempengaruhi, bahkan besar kecilnya
pengaruh juga mempengaruhi kadar pengaruh suatu aspek terhadap aspek lainnya.
Dunia berjalan dengan sangat dinamik dan sulit untuk dikontrol. Tetapi, kontrol ini
harus dilakukan oleh seseorang. dan dunia menjadi seperti sekarang ini karena kita
memiliki pengontrol. Hal inilah yang disampaikan oleh pihak Amerika Serikat dalam
seminar tersebut dan barangkali bisa kita nyatakan pernyataan yang subyektif
tergantung dari sudut pandangnya.
Seminar di Albuquerque dimulai dengan pembahasan beberapa topik hangat
yang selalu dijadikan arah oleh komunitas dan industri nuklir di dunia, baik para
peneliti, akademik, pelaku industri, dan semua pihak termasuk regulator. Isu pertama
adalah kekuatiran Amerika Serikat terhadap program pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) secara besar-besaran oleh China yang akan memberikan efek
global diberbagai bidang, perkembangan ekonomi China, nonprofilerasi atau keamanan,
bisnis, dan ketersediaan uranium. Pandangan yang sama diperkuat oleh pernyataan 2
senator dari New Mexico, termasuk pembangunan PLTN di India dan Korea Selatan.
Kondisi yang diinginkan adalah menjaga supaya perkembangan teknologi nuklir
diperlambat supaya negara-negara yang belum mengenal nuklir juga memperlambat
penguasaan di bidang nuklir sehingga ancaman penyalahgunaannnyapun juga akan tetap
kecil. Oleh karena itu, Amerika Serikat menginvestasikan milyaran dollar untuk
membangun teknologi safeguard sehingga mampu memonitor seluruh aktifitas nuklir di
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
61
seluruh dunia. Amerika Serikat memiliki laboratorium khusus untuk pengembangan
teknologi safeguard di Sadia Laboratory dan Los Alamos Laboratory.
Daerah nuklir kedua akan terjadi dalam waktu dekat terkait dengan rencana
pembangunan PLTN yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Bagi Amerika
Serikat, sudah bukan waktuanya lagi membicarakan kompetisi tenaga nuklir dengan
tenaga gas, batubara atau sumber energi lainnya, karena pada saat yang sama kita akan
disibukkan dengan masalah pengawasan pemanfaatan energi nuklir. Keberhasilan
Prancis memproses bahan bakar bekas dapat dijadikan contoh bagi pemanfaatan energi
secara benar. Contoh lain adalah transformasi para ahli bom nuklir di Rusia menjadi
ahli di bidang tenaga nuklir dan memenuhi harapan Amerika Serikat. Hal ini karena
kecerdikan Amerika Serikat menganalisis situasi sehingga kondisi Rusia benar-benar
bias dikontrol.
Dalam hal NPT, Amerika Serikat adalah negara yang unik dimana suara terbesar
untuk pencegahan senjata nuklir justru dari negara yang memiliki senjata nuklir
terbesar. Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Amerika Serikat sendiri, bahkan masih
ditambahkan bahwa confidence terhadap penggunaan yang benar senjata nuklir dimiliki
oleh Amerika Serikat, karena itulah Amerika Serikat selalu tidak disalahkan atas
penggunaan senjata nuklir karena tanggung jawab sebagai polisi dunia diperlukan.
Harus ada yang mau menjadi polisi demi ketentraman dunia.
Kasus Iran adalah masalah sederhana dimana kepercayaan diri penggunaan
senjata nuklir yang benar oleh Iran tdk dimilikinya (kalau Iran berhasil memilikinya).
Kasus pada Korea Utara adalah masalah klasik sisa dari Perang Dingin. Seharusnya Iran
lebih baik kondisinya karena Iran memiliki partisipasi yang besar dalam komunitas
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
62
nuklir dalam pengembangan teknologi nuklir dan menandatangani NPT serta banyak
bekerja sama dengan IAEA. Untuk masa depan, adalah hal yang penting untuk
memastikan pengembangan teknologi dengan benar dengan keyakinan yang kuat.
Keunikan yang sesungguhnya terjadi adalah pengaruh terbesar dari nuklir industri,
dimana keamanan dunia sangat ditentukan oleh peran, kejujuran, dan niat baik dari
industri nuklir. Karena itulah mengapa regulator selalu menekan dengan keras segala
peraturan untuk diterapkan dengan baik untuk menjamin segala sesuatu berjalan sesuai
rencana, dan hal ini juga yang menghantam Iran disamping ada keinginan politik dibalik
kasus Iran. 77
Berikut adalah beberapa di antara banyak perjanjian bilateral yang dilakukan
oleh negara-negara di dunia yang berkaitan dengan kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir.
1. Perjanjian Nuklir Bilateral Antara Amerika Serikat dan India
Badan pengawas atom PBB, 1 Agustus 2008 lalu bertemu untuk membahas
rancangan perjanjian keamanan dengan India.
Mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri India,
Manmohan Singh, telah membentuk perjanjian yang kontroversial pada tahun 2005
untuk berandil dalam pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan sipil, yang
77
Seminar Energi Nuklir dan Instrumentasi Reaktor di USA tanggal 28 November 2006, http://
metnet.wordpress.com/2006/11/28/seminar-energi-nuklir-dan-instrumentasi-di-usa/, diakses tanggal 24
Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
63
akan membuat India memasuki tahapan komersil nuklir global setelah terhenti selama
beberapa dasawarsa.
Namun, kesepakatan tersebut menghadapi tentangan di dalam negeri di India,
berkaitan dengan ketakutan bahwa negara tersebut akan menjalin hubungan terlalu
dekat dengan Amerika Serikat. Kecaman-kecaman memperdebatkan bahwa kesepakatan
telah merusak Perjanjian Non-Penyebaran Nuklir (NPT) internasional karena hal
kesepakatan itu memberikan peluang satu negara yang tidak terikat perjanjian. Selain
itu, India dianggap sebagai negara yang mengembangkan bom atom secara rahasia,
serta telah melakukan percobaan nuklir pada tahun 1974, namun kemudian mendapat
akses terhadap bahan bakar nuklir serta teknologi reaktor Amerika Serikat.
Sebelum kesepakatan berlangsung, India harus menandatangani apa yang
dinamakan Perjanjian Keamanan dengan IAEA, membuka pintu reaktor-reaktor nuklir
sipil mereka kepada para pengawas PBB. Selain itu, India harus mendapatkan surat
pernyataan dari Kelompok Pemasok Nuklir (KPN) suatu kelompok 45 negara yang
mengekspor bahan bakar nuklir dan teknologi yang dilarang untuk diperdagangkan
dengan negara-negara non-NPT, sedangkan India bukan negara penandatangan NPT.
Pada akhirnya, kesepakatan Amerika Serikat-India selanjutnya harus diratifikasi
oleh Kongres Amerika Serikat. KPN diperkirakan tidak akan membahas pengecualian
peraturan bagi India sampai
September, dan itu akan berarti bahwa kesepakatan
Amerika Serikat-India tidak mungkin akan diratifikasi sebelum Presiden George W.
Bush meninggalkan kantornya Januari.
Kecaman-kecaman menandaskan bahwa perjanjian keamanan dengan IAEA
hendaknya berisikan terobosan-terobosan besar. Suatu dokumen terdiri 23 halaman,
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
64
adalah sejalur dengan perjanjian-perjanjian keamanan yang ditandatangani antara IAEA
dengan negara-negara lainnya. Namun, para kritikus menyatakan khawatir bahwa satu
klausul dalam mukadimah perjanjian tersebut bisa saja akan memberikan peluang bagi
India untuk menghentikan pengawasan terhadap pabrik-pabrik nuklirnya, dan akan
menggunakannya untuk pembuatan bahan baku senjata-senjata nuklir, selain untuk
keperluan bahan bakar nuklir.
Klausul yang ada pada rancangan itu menyatakan, India mungkin akan
mengoreksi tindakan-tindakannya untuk menjamin kesinambungan operasional reaktorreaktor nuklir sipilnya, dan bahkan mengganggu pasokan bahan bakar nuklir negara
lain. Sebaliknya, dokumen itu tidak berisikan daftar fasilitas 14 dari total 22 reaktor
nuklir India, yang akan di bawah pengawasan IAEA. Mereka sebelumnya telah dicatat
dalam Rencana Separasi Nuklir Sipil secara terpisah yang disusun dua tahun yang lalu
oleh India. 78
Pemerintah India dan Amerika Serikat sibuk melakukan finalisasi perjanjian
nuklir bilateral yang dianggap sebagai titik baru hubungan bilateral India-Amerika
Serikat dan penghilangan kebijakan apartheid teknologi nuklir. Awal bulan Juni ini,
wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk urusan Asia Selatan, Nicholas Burns,
berada di India untuk melanjutkan perundingan dengan pemerintah India. Kedua negara
berharap bahwa masalah yang selama ini masih mengganjal akan segera diselesaikan
melalui perundingan ini. Tetapi, setelah melakukan perundingan intensif selama tiga
hari di New Delhi, kata sepakat masih sulit untuk dicapai.
78
IAEA Segera Bahas Nuklir India, http://www.antaranews.com/IAEA-segera-bahas-nuklirindia, diakses tanggal 24 Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
65
Presiden Amerika Serikat George W Bush menandatangani rancangan undangundang perjanjian perdagangan nuklir dengan India. Perjanjian tersebut mengakhiri
pelarangan perdagangan nuklir antara kedua negara selama 3 dekade terakhir. Perjanjian
tersebut akan memberikan kemudahan bagi India untuk mengakses teknologi nuklir
Amerika Serikat. Namun, akses tersebut terbatas untuk kepentingan sipil, bukan milter
dan sewaktu-waktu dapat dibatalkan.
Perjanjian itu memungkinkan India mengembangkan industri tenaga nuklir tanpa
harus menandatangani NPT seperti negara lain. Melalui perjanjian ini pemerintah
Amerika Serikat seolah mengindikasikan bahwa negara yang mengikuti jejak demokrasi
dan berperilaku bertanggung jawab akan bersahabat dengan negara adi kuasa tersebut.
Pemerintah India menyatakan perjanjian itu memberikan harapan baru untuk mengatasi
krisis energi. Namun, sejumlah pihak khawatir perjanjian tersebut menciptakan bahaya
yang tidak terduga.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dan Menteri Luar
Negeri India Pranab Mukherjee pada masaa itu, telah menandatangani perjanjian kerja
sama nuklir tersebut. Senat Amerika Serikat menyetujui perjanjian itu setelah melalui
pemungutan suara dengan perbandingan 86 suara setuju dan 13 suara menolak.
Sebelumnya House of Representative meloloskan perjanjian tersebut melalui voting
dengan perbandingan 298 suara setuju dan 117 suara menolak. 79
Sejak awal penandatangan perjanjian nuklir ini pada 18 Juli 2005 (J18) dan 2
Maret 2006 (M2), hingga persetujuan Kongres Amerika Serikat pada akhir 2006 (Hyde
Act), masih terdapat beberapa masalah sensitif yang mengganjal. Yaitu: pertama, pinalti
79
Amerika-India
Tandatangani
Perjanjian
Nuklir,
http://www.vhrmedia.com/vhrnews/berita,Amerika-India-Tandatangani-Perjanjian-Nuklir-2572.html, diakses tanggal 24 Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
66
atau hukuman kepada India apabila India melakukan uji coba nuklir; kedua, tuntutan
jaminan suplai bahan bakar seumur hidup kepada India untuk reaktor-reaktor nuklir
yang diimpor; dan ketiga, hak India untuk memproses ulang bahan bakar nuklir yang
telah digunakan.
Tiga masalah ini bisa diurai sebagai berikut : pertama, India tidak ingin
keputusan politiknya untuk tidak melakukan percobaan nuklir setelah percobaan nuklir
tahun 1998 dijadikan dalih oleh Amerika Serikat untuk menekan India supaya
menyetujui klausa tentang pinalti atau hukuman kepada India apabila India melakukan
percobaan nuklir di masa depan. India berpendapat bahwa keputusan untuk tidak
melakukan percobaan nuklir ini adalah keputusan internal pemerintah India yang tidak
bisa disangkut-pautkan dengan perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. India adalah
negara nuklir dan melakukan percobaan nuklir menjadi hak prerogatif sebuah negara
nuklir, seperti halnya Amerika Serikat, Cina ataupun Rusia; kedua, menurut pemerintah
India, tuntutan jaminan suplai bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklir
impor adalah wajar. India tidak ingin pengalaman buruk yang menimpa reaktor nuklir di
Tarapur terulang lagi karena tiadanya jaminan suplai bahan nuklir. Sebagai catatan,
ketika India melakukan percobaan nuklir tahun 1998, embargo ekonomi yang diberikan
dunia internasional telah mengakibatkan terputusnya jaringan suplai bahan bakar nuklir
untuk menjalankan reaktor nuklir yang dimiliki India. Untuk menghindari pengalaman
buruk ini, India meminta kepada Amerika Serikat untuk memberikan jaminan suplai
bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklirnya. Konsesi besar yang akan
diberikan India atas tuntutan ini adalah ijin pengawasan terus-menerus (permanent
international safeguards) oleh badan energi atom internasional terhadap reaktor-reaktor
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
67
sipil yang dimiliki oleh India; ketiga, tuntutan India untuk memroses ulang sendiri
bahan bakar nuklir yang telah digunakannya juga wajar. Pemerintah India yakin bahwa
ilmuwan India telah menguasai teknologi pemrosesan ulang dan mempunyai
kemampuan untuk melakukannya. Kesiapan ini ditunjukkan oleh teknologi tiga tahap
(three-stage technology) yang digunakan di Tarapur.
Akan tetapi, meskipun pemerintah Amerika Serikat sekarang sudah mempunyai
itikad untuk memerhatikan limbah nuklir dengan melakukan pemrosesan ulang melalui
Global Nuclear Energy Partnership, pemerintah Amerika Serikat berpendapat bahwa
hak untuk melakukan pemrosesan ini hanya berlaku untuk negara-negara dengan
teknologi nuklir yang telah maju seperti Amerika Serikat, Perancis ataupun Rusia.
Amerika Serikat menilai India belum cukup mampu untuk melakukan proses ini dan
India hanyalah penerima bahan bakar nuklir yang tidak mempunyai hak untuk
melakukan pemrosesan ulang bahan bakar nuklir.
Selain itu, mungkin pemerintah Amerika Serikat juga mempunyai kekhawatiran
bahwa India akan menyalahgunakan hasil pemrosesan spent nuclear fuel tersebut untuk
kebutuhan militernya. Tetapi, apabila kita memerhatikan dengan seksama jejak rekam
teknologi nuklir India, tiga tuntutan ini seharusnya bisa dengan mudah untuk dipenuhi.
India adalah negara besar di Asia yang terus merangkak maju. Kebutuhan energi India
akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Meskipun opsi untuk mendapatkan tambahan sumber energi dari teknologi nuklir tidak
akan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan energi India, tetapi dengan kemampuan
teknologi yang dimiliki India, sudah sewajarnya bila India memperoleh status dan hak
sebagai sebuah kekuatan nuklir di Asia.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
68
Dari sisi politik, India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dimana praktek
demokrasi telah mengakar dengan kuat. Militer India tidak pernah ikut campur dalam
masalah politik dan proses politik di India bisa menjamin keamanan teknologi nuklir
yang saat ini terus dibangun. Oleh karena itu, meskipun perundingan di awal bulan ini
di New Delhi menemui jalan buntu, tetapi ini bukanlah akhir dari awal yang
menjanjikan. Suksesnya perjanjian nuklir India-Amerika Serikat hanyalah menunggu
waktu saja. Selama Washington siap menjaga semangat yang telah tertuang didalam
perjanjian J18/M2, kemajuan teknologi nuklir India sudah diujung mata. 80
Selama 16 bulan terakhir, penjanjian nuklir India-Amerika Serikat telah sukses
melewati berbagai tahapan legislatif yang ketat di Amerika Serikat. Dalam
perkembangan terakhir, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pernjanjian nuklir
India-Amerika Serikat telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat pada
bulan Juli lalu dan selanjutnya harus melewati tiga tahapan lagi untuk bisa disahkan
menjadi sebuah Undang-Undang yang bisa ditandatangi oleh presiden. Tiga tahapan ini
adalah: pengambilan suara di Senat; pembenahan bahasa RUU sebagaimana yang telah
disetujui oleh Dewan Perwakilan dan Senat; dan terakhir pengambilan suara di
Kongress.
Dengan kemenangan mutlak Partai Demokrat, dan kenyataan bahwa usaha
pengambilan suara di Senat yang didominasi oleh Partai Republik telah dua kali gagal
dilaksanakan, adalah satu hal yang wajar apabila kemudian muncul kekhawatiran di
New Delhi terhadap masa depan perjanjian yang sangat bersejarah ini. Apabila New
Delhi berharap RUU ini lolos, Presiden Bush dan Partai Republik harus bekerja ekstra
80
Menunggu Kesepakatan Perjanjian Nuklir India, http://qisaiindo.blogspot.com/menunggukesepakatan-perjanjian-nuklir.html, di akses tanggal 24 Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
69
keras untuk meyakinkan para anggota Senat di dalam Kongres Amerika Serikat yang
dimulai pada 13 Nopember 2006.
Tetapi dengan memperhatikan beberapa faktor berikut, rasa optimis yang
muncul dikalangan para pengamat di India juga merupakan satu hal yang wajar.
Pertama, titik temu para pendukung perjanjian ini yang berasal dari kedua kubu, baik
Demokrat maupun Republik, adalah keinginan bersama mereka untuk membangun
kerjasama yang lebih dekat dengan India diawal abad ke-21. Oleh karenanya, meskipun
sampai saat ini masih ada penentangan terhadap pernjanjian nuklir India-Amerika
Serikat dari kelompok pendukung non-proliferasi nuklir di Amerika Serikat, tetapi
mengingat pentingnya India bagi masa depan Amerika Serikat di Asia, para pembuat
kebijakan di Amerika Serikat telah setuju untuk membuka pintu kerjasama nuklir
dengan India yang selama ini telah menjadi pengganjal hubungan India-Amerika
Serikat. Kedua, meskipun Partai Demokrat berhasil mengambil alih kontrol atas
Kongress dengan menggunakan sentimen anti-Bush dan bahwa para penentang utama
perjanjian ini berasal dari Partai Demokrat, akan tetapi selama beberapa bulan terakhir
ini telah muncul lebih dari 80 persen dukungan atas perjanjian ini yang berasal dari
berbagai komite-komite di Kongress yang mana anggotanya bukan hanya berasal dari
Partai Republik tatapi juga berasal dari Partai Demokrat. Tokoh-tokoh senior Partai
Demokrat seperti Senator John Kerry dan anggota Kongress Tom Lantos telah
menyatakan dukungan kuat mereka terhadap perjanjian ini. Lebih lanjut lagi, setelah
perayaan kemenangan hari Selasa lalu, beberapa tokoh penting pembuat kebijakan dari
Partai Demokrat telah menyatakan dukungan positif mereka terhadap perjanjian ini.
Ketiga, jaminan Presiden Bush bahwa prioritas utama pertemuan Senat minggu depan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
70
adalah meloloskan RUU perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. David C. Mulford,
Dubes Amerika Serikat untuk India, membuat pernyataan senada di New Delhi hari
Kamis lalu bahwa pemerintah Presiden Bush akan berusaha keras untuk meloloskan
RUU ini minggu depan. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa meskipun isi pembahasan
didalam Kongress nanti masih sangat sulit diprediksi dan RUU yang lain bisa menjadi
prioritas utama, tetapi dengan memperhatikan dukungan bulat dari segala penjuru Senat
terhadap perjanjian nuklir India-Amerika Serikat. Hingga saat ini, RUU ini akan lolos
dengan suara mayoritas.
Namun begitu, sampai akhirnya keputusan diambil di Senat, harapan positif
yang muncul dari faktor-faktor diatas akanlah tetap menjadi sebuah harapan. Dan
apabila nantinya RUU ini gagal disetujui didalam sesi Kongress kali ini, New Delhi
tidak seharusnya berputus asa.
Alasan pertama dan kedua tersebut diatas sudah cukup menjadi dasar bagi setiap
pendukung perjanjian ini bahwa apabila Kongress Amerika Serikat yang baru nanti
bertemu pada bulan Januari 2007, RUU tentang perjanjian nuklir India- Amerika
Serikat akan mendapatkan tempat utama. Sebab inti utama dari perjanjian ini bukanlah
kerjasama nuklir belaka tetapi penekanan terhadap pentingnya membangun kerjasama
India-Amerika Serikat demi pengembangan pengaruh Amerika Serikat di Asia Selatan
dimasa depan. Siapapun yang mendominasi Kongress Amerika Serikat, Partai
Demokrat ataupun Partai Republik, India akan tetap mendapatkan tempat yang utama.
Perjanjian nuklir India-Amerika Serikat tidak akan mati, hanya tertunda. 81
81
Akhir Perjanjian Nuklir India-Amerika Serikat?, http://qisai-indo.blogspot.com/2006/11/akhirperjanjian-nuklir-india-as.html, diakses tanggal 24 Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
71
2. Perjanjian Nuklir Bilateral Antara Cina dan Australia
Cina menginginkan perluasan perjanjian kesepakatan “nuklir aman” dengan
pihak Australia termasuk hak untuk mengeksplorasi uranium, namun Menteri Luar
Negeri Australia Alexander Downer mengatakan Senin hal itu berarti perlunya dibuat
perubahan kebijakan pada tingkat negara. Downer menyatakan ia telah melakukan
pembicaraan mengenai usul Cina tresebut dengan pihak Beijing namun mengatakan
dalam hal eksplorasi uranium Cina di Australia akan memerlukan perubahan sikap
oposisi, Partai Buruh Australia yang melarang pembukaan tambang uranium yang baru.
Kebutuhan pasokan listrik yang tinggi di Cina diperkirakan akan membawa lanjakan
kenaiakan produksi energi nuklir sehingga mencapai empat kali lipat pada tahun 2020
dan Cina dan Australia telah sepakat untuk memulai pembicaraan bilateral yang akan
membuka kesempatan bagi Cina untuk membeli uranium Australia.
Cina menginginkan memperoleh ijin untuk membeli dan mengeksplorasi
tambang uranium Australia dan mengingingkan diteingkatkan kerja sama di bidang
pengetahuan dan teknologi nuklir. Downer menyatakan, perjanjian kesepakatan nuklir
aman yang memastikan uranium tidak akan digunakan untuk senjata ataupun tujuan
militer lainnya harus memperoleh ijin sebelum dijual. Harga uranium melonjak tiga kali
lipat sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dengan posisi energi nuklir sebagai
alternatif sumber energi. 82
82
Perjanjian Nuklir Aman, http://www.kapanlagi.com/Perjanjian-nuklir-aman, diakses tanggal
24 Februari 2009.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
72
BAB III
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM KEPEMILIKAN,
PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR
A. Prinsip Tanggung Jawab Negara
1. Istilah dan Pengertian Prinsip Tanggung Jawab Negara
Secara etimologis istilah tanggung jawab negara atau responsibility (dalam
Bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin yaitu respondere yang berarti “to undertake in
return to perform one’s part in a solemn engagement”. Pengertian ini merupakan
pengertian yang umum dipergunakan dalam pembahasan hukum internasional, termasuk
penerapannya dalam perjanjian internasional “keputusan pengadilan” dan praktek
hukum internasional pada umumnya. 83
Di Indonesia, istilah “tanggung jawab negara” digunakan untuk mewakili dua
istilah, yang dalam pembahasan hukum intenasional umunya dibedakan yaitu : “state
responsibility” dan “liability of states” 84 Pertanggungjawaban negara berarti kewajiban
memberi jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan
kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Tanggung jawab negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan
pemulihan kerugian (duty to make reparation) yang timbul dari akibat adanya tindakan
83
Ida Bagus Wyasa Putra, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang
Angkasa, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal 56.
84
Ibid, hal 53.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
73
(act ar ommission) yang dapat di persalahkan (wrongful act), akrena melanggar
kewajiban internasional (international obligation).85
J. G. Starke menjelaskan tentang tanggung jawab negara yaitu sebagai berikut :
“Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut
keadaan-keadaan dimana dan prinsip-prinsip dengan mana negara yang dirugikan
menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara
telah dinyatakan secara proriatif untuk dibatasi hanya pada tanggung jawab negara
untuk tindakan-tindakan salah secara internasional.” 86
Pengertian tanggung jawab negara adalah suatu bentuk tanggung jawab
internasional yang meliputi unsur-unsur sebagai berikut : (1). ada tindakan (act or
ommission) ; (2). Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban
internasional (wrongful act) ; (3). Mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap negara
tertentu.87
Pengertian demikian ini bersifat sangat umum dan kurang memperhatikan
aspek-aspek khusus yang timbul darai akibat perkembangan kegiatan internasional.
Dalam perkembangan kegiatan internasional telah muncul berbagai gejala yang
menunjukkan bahwa suatu negara tidak selalu melakukan kegiatan yang bersifat
dilarang, dan kerugian yang timbul tidak selalu merupakan kerugian yang timbul karena
tindakan yang dapat dipersalahkan. Terdapat juga kerugian yang timbul dari tindakan
85
Ibid, hal 55.
86
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada Indonesia,
Jakarta, 1988, hal 115.
87
Ibid, hal 8.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
74
yang dibenarkan oleh hukum internasional (lawful act) seperti kerugian yang timbul
dari akibat pemanfaatan lingkungan hidup pada umumnya.
Gejala ini dapat dilihat dalam berbagai ketentuan yang tidak melarang kegiatan
tertentu tetapi tetap mewajibkan negara pelaku keiatan bertanggungjawab terhadap
kerugian yang timbul akibat dari kegiatannya. Ketentuan serupa banyak digunakan
dalam ketentuan internasional tentang pemanfaatan lngkungan dalam pasal 21 Deklarasi
Stockholm 1972 dan dalam ketentuan pemanfaatan lingkungan laut dan ketentuan
hukum internasional lainnya seperti Space Treaty 1967, Liability Convention 1972
Ketentuan-ketentuan tersebut tidak melarang kegiatan pada bidangnya masing-masing
tetapi tetap kewajiban negara pelaku kegiatan untuk bertanggung jawab terhadap akibatakibat (kerugian) yang ditimbulkan dari akibat kegiatan yang dilakukannya. 88
Pemulihan atas pelanggaran itu dapat berupa “satisfaction” atau “pecuniary
reparation”. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar
kehormatan negara. Satisfaction dilakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup
diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya
perbuatan itu. Pecuniary reparation dilakukan apabila pelanggaran itu menimbulkan
kerugian material. 89
Perkembangan berikutnya adanya kerugian yang bersifat global, yaitu kerugian
yang timbul dari akibat rusaknya elemen-elemen global (global damage). Kerugian ini
timbul dari tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional (lawful act), bersifat
tidak langsung dan tidak dapat diperhitungkan. Untuk itu pengertian tanggung jawab
88
Ibid, hal 59.
89
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
75
negara harus diperluas lagi, tidak terbatas pada kerugian yang dapat diperhitungkan
yang timbul dari akibat salah dan menyangkut hak milik pihak tertentu (individual
damage) melainkan juga krugian yang bersifat tidak dapat diperhitungkan yang timbul
dari tindakan yang dibenarkan hukum dan berkaitan dengan kepentingan bersama
masyarakat internasional.
Orientasi penerapan prinsip tanggung jawab negara telah berkembang kearah
perlindungan hak milik negara tertentu dari akibat-akibat yang datang dari luar
wilayahnya.
Hal ini terlihat dalam ketentuan Deklarasi Stockholm 1972, Space Treaty 1967,
dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam konvensi tersebut setiap negara tidak dilarang
untuk melakukan kegiatan baik di dalam maupun di luar wilayah negaranya (areas
beyond its national jurisdiction), tetapi dengan kewajiban untuk memperhatikan
kepentingan negara lain agar kegiatannya tidak merugikan negara lain atau jika akibat
demikian itu terjadi maka negara yang bersangkutan diwajibkan membayar ganti rugi. 90
Dalam kaitannya dengan kerugian yang bersifat demikian, prinsip tanggung
jawab negara harus diterapkan berdasarkan prinsip pencegahan kerugian. Weiss
menyatakan bahwa :
“... most would agreed that it is usually sheaper and more effective to prevent
environmental damage from occuring”
Pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional hanya timbul karena
pelanggaran hukum internasional. Pertanggungjawaban itu tetap timbul meskipun
menurut hukum nasional negara yang bersangkutan perbuatan itu tidaklah merupakan
pelanggaran hukum. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh karena perbuatan itu oleh
90
Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit. hal 65.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
76
hukum nasional negara tersebut tidak ditetapkan sebagai perbuatan yang melanggar
hukum atau karena pelaku perbuatan itu menurut hukum nasional negara tersebut tidak
menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Pelaku pelanggaran yang menurut hukum nasional tidak menimbulkan
pertanggungjawaban negara misalnya alat perlengkapan negara yang bertindak
melampaui batas wewenang yang ditetapkan hukum nasionalnya.
1. Sifat dan Jenis-Jenis Tanggung Jawab Negara
Pengenaan kewajiban yang diberikan bagi tindakan-tindakan yang secara
internasional tidak sah akan bergantung pada keadaan-keadaan kasusnya. Yang paling
lazim negara yang dirugikan akan berusaha untuk mendapat pelunasan melalui
perundingan-perundingan diplomatik dan apabila hanya menyangkut kehormatan pada
umumnya akan cukup dengan suatu pernyataan maaf secara resmi dari negara yang
bertanggung jawab atau suatu jaminan bahwa persoalan yang diprotes tersebut tidak
akan berulang lagi. Namun, penggantian dalam bentuk uang yang dibedakan dari
pelunasan kadang-kadang perlu khususnya apabila terjadi kerugian materi dalam
banyak contoh persoalan tanggung jawab (liability) serta jumlah penggantian kerugian
harus dibawa ke muka pengadilan arbitrase internasional untuk memperoleh
keputusan. 91
Pada analis terakhir, tanggung jawab negara diatur oleh standar-standar
internasional (meskipun dalam pelanggaran khusus suatu standar internasional dapat
memasukkan suatu standar nasional) dan hal itu bergantung kepada hukum
internasional apakah dan sejauh mana tindakan atau kelalaian dari suatu negara tertentu
91
J. G. Starke, Op. Cit, hal 392.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
77
dianggap sah atau tidak sah. Apabila tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian suatau
negara yang diukur oleh standar-standar tersebut dinyatakna sah, maka tanggung jawab
negara tidak akan timbul. 92
Masalah penting yang mungkin timbul dari pengembangan hukum internasional
tentang tanggung jawab negara adalah sejauh mana negara terlibat atau dapat dilibatkan
dalam pengawasan aktifitas-aktifitas yang dapat membahayakan misalnya percobaan
percobaan nuklir, pengembangan energi nuklir eksplorasi ruang angkasa dan “sonic
boom” atau “sonic bang” dari jenis-jenis pesawat udara baru. Hal ini bukan merupakan
bidang dimana prosedur-prosedur protes diplomatik tradisional, tuntutan-tuntutan untuk
pelunasan dan klaim-klaim dianggap telah mencukupi. Bahaya-bahaya harus
diantisipasi dan andaikata mungkin sama sekali ditiadakan.
2. Pengecualian Tanggung Jawab Negara.
Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatau pelanggaran-pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan negara tersebut bertanggung jawab
terhadapnya. 93 Secara umum keadaan-keadaan yang dimaksud adalah :
a. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (concent)
Persetujuan tersebut dilakukan oleh negara yang dirugikan. Persetujuan ini harus
diberikan sebelum atau pada saat pelanggaran tersebut terjadi. Persetujuan yang
diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan penanggalan hak untuk
92
Ibid.
93
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional-edisi revisi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta , 2002, hal 271.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
78
mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu
tidak menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional.
b. Keadaan memaksa (force majeure)
Force majeure telah lama diterima seabagai alasan pembebasan tanggung jawab
negara.Pasal 23 Rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab
negara menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan tersebut
disebabkan karena adanya kekuatan yang tidak dapat dihindari ataukarena adanya
kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya di luar kontrol/pengawasan suatau negara
yang membuatnya dan yang secara materil tidak mungkin bagi negara yang
bersangkutan untuk memenhi kewajiban internasional tersebut.
c. Tindakan yang sangat Diperlukan (Doctrine of Necessity)
Doctrine of Necessity menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan suatau
tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang
esensil terhadap bahaya yang sangat besar.
Ada perbedaan antara doctrine of necessity dengan force majeure. Dalam
doctrine of necessity, tindakan pelanggaran hukum suatu negara terpaksa dilakukan
karena tindakan tersebut adaalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan
vitalnya. Sedangakan force majeure adaalh suatu keadaan dimana kekeuatan yang
bersifat di luar kemampuan dan tidak dapat dihindari serta suatu tindakan pelanggaran
yang dilakukan karena adanya kondisi yang berada di luar kontrol atau pengawasan
negara.
d. Tindakan Bela Diri (Self-defense)
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
79
Negara dapat juga dibebaskan dari tanggung jawab atas perbuatan yang tidak sah
apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk membela diri. Yang menjadi tolok ukur dari
tindakan pembelaan diri adalah bahwa tindakan tersebut harus sesuai denga Piagam
PBB. Jika tidak, tindakan tersebut tidak menghapus tanggung jawab negara. 94
B. Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Pengaturan Perlindungan Lingkungan
Global Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir
Berbicara mengenai tanggung jawab negara maka dapat dibedakan antara
penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam hukum internasional secara umum
dengan penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam pengaturan lingkungan global.
Prinsip yang berlaku terhadap negara yang berdaulat adalah adanya kewajiban
untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Karena itu suatu negara dapat
dimintai pertanggungjawabannya untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum
atau kelalaiannya. 95
Menurur Rebecca M.M. Wallace, tanggung jawab negara dalam hukum
internasional merujuk pada pertanggungjawaban yaitu suatu negara terhadap yang lain
akan ketidaktaatannya memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem hukum
internasional suatu negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada
negara tergugat itu sendiri. 96 Tanggung jawab negara secara ringkas dapat diartikan
94
Ibid.
95
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hal 208.
96
Bachtiar Hamzah, Sulaiman Hamid, Hukum Internasional II, USU Press, Medan, 1997, hal
111.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
80
sebagai segala sesuatu yang berkenaan tentang penentuan atas dasar apa dan pada
situasi yang bagaimana suatu negara dapat dianggap telah melakukan kesalahan atau
tindakan
yang
salah
secara
internasional dimana
hal
itu
menjadi sumber
pertanggungjawaban negara, serta apa yang dilakukan oleh negara itu untuk
memperbaiki kesalahannya atau memenuhi pertanggungjawabannya. 97
Dalam keputusan badan-badan peradilan internasional pengertian tanggung
jawab negara dikemukakan dalam dua preposisi, Yaitu :
1. Pelanggaran terhadap kewajiban internasional, yang menunjukkan adanya perbuatan
yang salah (illegal act) atau kesalahan internasional (internasional tort)
2. Perbuatan itu berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan pemulihan.
Dengan lebih memberatkan perhatian terhadap unsur “tindakan yang salah”, ILC
(International Law Commission) mengartikan tanggung jawab negara sebagai suatu
kewajiban yang timbul setelah adanya tindakan salah. Pasal 1 Draft Tanggung Jawab
Negara menyatakan bahwa :
“...Every internationally wrongful act of a State entails the international
responsibility of a State...”
Tindakan yang salah (internationally wrongful act) menurut Draft itu adalah
tindakan (act or ommission) yang secar hukum dapat diartikan dengan negara
(attributable to State), dan merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional
(breach of an international obligation). Suatu tindakan dianggap melanggar bila
97
Ibid, hal 111-112.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
81
tindakan tersebut menunjukkan ketidak sesuaian dengan standar tindakan yang
ditentukan secara internasional. 98
Walaupun tidak secara eksplisit memasukkan kerugian sebagai unsur tanggung
jawab namun ILC tidak bermaksud memendang unsur itu sebagai unsur yang terpisah,
bahkan ILC memandang unsur itu sbagai unsur yang tak terpisahkan. Dua alasan yang
dikemukakan oleh ILC dalam menjawab pertanyaan yangberkaitan dengan masalah itu
adalah : pertama, bahwa unsur objektif dari “tindakan salah” adalah pelanggaran
kewajiban; kedua, dalam hukum internasional ide tentang pelanggaran kewajiban oleh
suatu negara setara denagn ide cacatnya hak negara lainnya. Karena itu, unsur
“kerugian” adalah unsur implisit dari suatu tanggung jawab. Unsur kerugian, menurut
ILC adalah unsur alamiah suatu tanggung jawab. 99
Berbagai ketentuan dalam hukum internasional tidak melarang kegiatan tertentu,
tetapi tetap mewajibkan negara pelakukegiatan bertanggung jawab terhadap kerugian
yang timbul akibat kegiatannya. Ketentuan ini dapat dilihat dari seperti : Space Treaty
1967, Liability Convention 1972 dan pasal 21 Deklarasi Stockholm yang menyatakan :
“...States have,... the sovereign right to exploit their own resources...and the
responsibility to ensure that activities within their jurisdiction...do not cause damage to
the environment of other States...”
Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting
adanya tanggung jawab (negara) tergantung kepada faktor-faktor dasar seperti berikut :
1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tertentu
98
Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit. hal 57.
99
Ibid ,hal 59.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
82
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atatu kelalaian. 100
Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban internasional yang bersifat
primer yaitu prinsip hak dan kewajiban negara. Bila suatu negara menerapkan haknya
secara melanggar hak negara lain dan menimbulkan kerugian, maka bersamaan dengan
itu lahirlah kewajiban bagi negara untuk melakukan pemulihan kerugian. Prinsip ini
dikenal dengan prinsip abuse of right, yaitu suatu prinsip yang menunjuk pada
kewajiban setiapnegara untuk menggunakan haknya dengan tidak melanggar hak pihak
lain.
Dengan demikian, fungsi dasar prinsip tanggung jawab negara dalam sistem
hukum internasional adalah memberikan perlindungan kepada setiap negara antara lain
dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara
penderita kerugian. 101
Perkembangan ini sejalan dengan meluasnya aktifitas negara dalam kaitan
dengan pemanfaatan lingkungan yang akibat-akibatnya melampaui batas-batas wilayah
negar tersebut dan penerapannya dapat dilihat dalam ketentuan pemanfaatan lingkungan
sebagaimana dalam Deklarasi Stockholm 1972 pada Prinsip 21 yang menyatakan bahwa
semua negara mempunyai hak kedaulatan untuk menggali sumber daya sesuai dengan
kebijaksanaan lingkungan hidup mereka masing-masing dan memiliki tanggung jawab
100
Huala Adolf, Op. Cit., hal 174-175.
101
Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hal 63.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
83
bahwa aktifitas dalamkawasan atau penguasaan mereka tidak menimbulkan kerusakan
lingkungan negara-negara lain.
Dalam
permasalahan
lingkungan
hidup,
Deklarasi
Stockholm
1972
menunjukkan bahwa kerugian yang timbul akibat kegiatan negara telah berkembang
dari kerugian yang bersifat lokal menjadi kerugian yang bersifat lintas batas negara dan
kerugian yang bersifat global.
C. Bentuk Tanggung Jawab Negara Dalam Pengaturan Lingkungan Global
Akibat Kepemilikan, Penggunaan dan Kecelakaan Nuklir
Perkembangan masyarakat internasional mulai menerima perkembangan baru
dalam pergaulan hidupnya yaitu suatu perkembangan yang menunjukkan adanya jenis
kerugian yang timbul dari tindakan yang dilarang oleh hukum internasional tetapi tetap
harus dipertanggungjawabkan oleh negara pelaku kegiatan. 102
Perkembangan ini menunjukkan bahwa unsur “tindakan salah” (wrongful act)
bukan merupakan unsur mutlak suatu tanggung jawab negara. Terdapat juga tanggung
jawab negara yang timbul dari “tindakan yang tidak salah” atau “tidak dilarang” oleh
hukum internasional. Karena itu pengertian tanggung jawab negara harus diperluas,
tidak terbatas pada tanggung jawab yang timbul dari tindakan yang dilarang atau dapat
dipersalahkan secara internasional melainkan juga yang tidak dilarang tetapi akibatakibatna merugikan negara tertentu. 103
102
Ibid, hal 60.
103
Ibid, hal 60.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
84
Perluasan pengertian ini tetap belum memadai. Dalam perkembangan berikutnya
timbul kerugian yang bersifat lobal (global damage), yaitu kerusakan yang timbul akbat
rusaknya elemen-elemen ekosistem global. Kerugian ini timbul dari tindakan yang tidak
dilarang oleh hukum internasional (lawful act), bersifat tidak langsung dan bersifat
tiidak dapat diperhitungkan. Bersifat tidak langsung karena secara tidak langsung
menunjuk negara penyebab kerugian dan negra penderita kerugian. Kerugian tersebut
merupakan kerugian yang bersifat umun dan dirita oleh masyarakat internasional secara
keseluruhan. Bersifat tidak dapat diperhitungkan karena timbul dari akibat rusaknya
komponen penjaga ekosistem gloabl. Hal ini menyebabkan beberapa prinsip tanggung
jawab negara seperti prinsip pemulihan (reparation, restitution, compensation) dan
prinsip ganti rugi (based on fault, strict or absolute liability), tidak dapat diterapkan
dalam kaitan dengan jenis kerugian ini.
Dengan demikian prinsip tanggung jawab negara dapat diartiakan sebagai
kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap setiap kerugian yang timbul dari akibat
setiap kegiatan, baik yang timbul dari tindakan yang dilarang maupun yang tidak
dilarang oleh hukum internasional termasuk kewajiban untuk mencegah timbulnya
kerugian (preventive measures) dalam hal kerugian demikian itu tidak dapat
diselesaikan melalui pembayaran ganti rugi. 104
Pengertian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab negara dapat direalisasikan
dalam dua bentuk menurut sifat kerugian yang harus diatasinya yaitu : pertama, yang
berbentuk tindakan pemulihan kerugian atau pembayaran ganti rugi (represif); dan
kedua, yang berbentuk pencegahan timbulnya kerugian (preventif). Wujud yang
104
Ibid, hal 61.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
85
pertama berkaitan dengan kerugian yang dapat diperhitungkan dan dipulihkan,
sedangkan
wujud
yang
kedua
berkaitan
dengan
kerugian
yang
tidak
dapatdiperhitungkan ayau dipulihkan melalui proses pembayaran ganti rugi. 105
Dalam pengaturan perlindungan lingkungan global, prinsip tanggung jawab
negara sepenuhnya diterapkan dalam bentuk preventif, yaitu dalam bentuk standar
tindakan dan standar teknologi, dituangkan dalam bentuk standar kewajiban dan secara
khusus dituangkan dalam suatu paket perjanjian, termasuk kelengkapan kelembagaan
dan mekanisme penerapannya. 106
Penerapan ini sangat berbeda dengan penerapan sebelumnya dimana prinsip
tanggung jawab negara cendeung diterapkan represif, dalam bentuk rumusan tertentu
tentang tanggung jawab atau ganti rugi, dan ditempatkan sebagai bagian khusus dari
perjanjian tertentu. Penerapan ini didasarkan pada dua pertimbangan yaitu : pertama,
sifat objek yang harus dilindungi, yaitu ekosistem global, dan kedua, sifat dampak atau
kerugian yang harus dicegah.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa dalam rangka perlindungan lingkungan
global, prinsip tanggung jawab negara diterapkan dalam bentuk sebagai berikut :
1. Penerapan standar teknologi, termasuk standar energi, emisi dan standar waktu
penerapan standar-standar tersebut
2. Penerapan standar tindakan untuk melakukan pencegahan melalui kerja sama
internasional dan penerapan langsung standar-standar tersebut melalui kebijakan
105
Ibid, hal 60.
106
Ibid, hal 67.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
86
nasional setiap negara termasuk kewajiban untuk menyertakan analisis dampak dari
setiap kegiatan.
Penerapan prinsip tersebut didasarkan pada mekanisme sebagai berikut :
pertama, penerapan standar internasional melalui pembentukan perjanjian internasional,
termasuk pembentukan sistem kelembagaan dan mekanisme penerapnnya ; kedua,
penerapan standar internasional itu melalui kebijakan nasional atau ketentuan nasional
setiap negara dengan maksud untuk memberikan efek langsung kepada setiap kegiatan
yang diduga mengadung dampak yang dapat membahayakan elemen-elemen
lingkungan global.
Perjajian ini sangat mudah dan cepat disesuaikan dengan alternatif-alternatif
baru pencegahan dampak yang dihasilkan oleh setiap pengkajian yang dimaksudkan
untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sifat ini dapat dilihat pada sifat progresif dan
fleksibel dari Konvensi Wina 1985. Dengan demikian, sifat yang paling menonjol dari
ketentuan hukum internasional global adalah sifat global dan sifat fleksibelnya.
D. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Kepemilikan, Penggunaan
dan Kecelakaan Nuklir
a. Sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional.
Tujuan dari sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah untuk
memberikan pertanggungjawaban terhadap adanya kerusakan akibat dari kecelakaan
nuklir yang terjadi dan memenuhi penggantian kerugian dengan memberikan
kompensasi kepada semua pihak ketiga yang menderita tanpa kecuali atau pembuktian.
Dasar dari sistem ini adalah berasal dari perjanjian atau konvensi internasional, sebagai
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
87
dasar dimana negara-negara yang terikat perjanjian (contracting state) mengundangkan
di negaranya masing-masing dalam perundangan pertanggungjawaban nuklir nasional.
Perjanjian atau konvensi internasional yang terkait dengan pertanggungjawaban
kerugian nuklir terhadap pihak ketiga yaitu:
1. The convention on Third Party Liability in The Field of Nuclear Energy (Paris
Convention). Ditandatangani di Paris tahun 1960. Nilai kompensasi kerugian nuklir
yang harus ditanggung PIN bila terjadi kecelakaan nuklir sebesar 15 juta SDRs
(Special Drawing Rights).
2. The Vienna convention on civil liability for nuclear damage (Vienna convention).
Ditandatangani di Vienna tahun 1963. Nilai kompensasi kerugian nuklir yang harus
ditanggung PIN bila terjadi kecelakaan nuklir sebesar US$ 5 juta. Direvisi tahun
1997 yaitu The Protocol to Amend the Vienna Convention on Civil Liability for
Nuclear Damage belum berlaku.
3. The convention Supplementary to the Paris Convention (Brussels convention).
Ditandatangani di Brussels tahun 1963. Diputuskan menambah besar batas
kompensasi dari dana nasional dan internasional (national and international public
fund) bila kompensasi atas dasar Konvensi Paris tidak mencukupi.
4. The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the
Paris Convention. Ditandatangani di Vienna tahun 1988. Berhubungan dengan
aplikasi dari Vienna dan Paris Convention. Bertujuan menghubungkan penerapan
konvensi Wina dan Paris, dengan maksud agar manfaat yang diperoleh oleh anggota
dari salah satu konvensi dapat juga dimanfaatkan oleh anggota konvensi yang lain.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
88
b. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Dalam Norma Hukum Internasional
Penerapan tanggung jawab negara dapat dilihat dalam Liability Convention 1972
dan Declarasi Stockholm 1972. Dalam ketentuan tersebut, istilah tanggung jawab
negara dituangkan dalam dua istilah yaitu responsibility dan liability. Istilah tersebut
mengadung konotasi yang berbeda. Istilah responsibility lebih menunjuk kepada
indikator penentu lahirnya tanggung jawab, yaitu standar perilaku yang telah ditetapkan
terlebih dahulu dalam bentuk kewajiban yang harus ditaati serta lahirnya suatu tanggung
jawab sedangkan istilah liability lebih menunjuk kepada akibat yang timbul dari akibat
kegagalan untuk memenuhi standar itu, dan bentuk tanggung jawab yang
harusdiwujudkan dalam kaitan dengan akibat atau kerugian yang timbul akibat
kegagalan memenuhi kewajiban tersebut yaitu pemulihan (legal redress).
Berdasarkan sifat itu, menurut Soldie, istilah responsibility dan istilah liability
harus dibedakan, karena yang satu menunjuk standar perilaku dan kegagalan
pemenuhan standar itu sedangkan yang lainnya menunjuk pada kerusakan atau kerugian
yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu, termasuk cara untuk memulihkan
kerusakan atau kerugian itu.
Pada mulanya istilah itu hanya digunakan untuk menunjuk standar, perilaku dan
saat lahirnya tanggung jawab serta tidak terlalu dihubungkan dengan masalh kerugian,
besar kerugian ataupun pembayarannya tetapi dalam perkembangannya istilah itu
mendapat pengertian yang agak berbeda, yaitu lebih menujuk kepada pengertian
liability yaitu tanggung jawab berdasarkan prinsip ganti rugi, besar kerugian dan cara
pemulihannya. Menurut Bin Cheng, perkembangan ini merupakan akibat dari praktek
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
89
pengadilan yang terlalu banyak berurusan dengan masalah kerugian atau tindakan
hukum yang mengakibatkan timbulnya kerugian.
Penerapan ini menunjukkan besarnya pengaruh doktrin kedaulatan negara
terhdap penerapan prinsip tanggung jawab negara, yang mengakibatkan terpusatnya
orientasi penerapan prinsip tersebut kepada perlindungan kepentingan negara tertentu.
Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa segala kegiatan yang berkaitan
dengan kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir merupakan kegiatan yang
potensial dampak. Dampaknya terjadi karena sifat nuklir yang tergolong ke dalam
kegiatan yang beresiko tinggi (ultra hazardous risk).
Berdasarkan derajat dampak yang dihasilkan, bahan pencemaran dapat
diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu : pertama, yang bersifat merusak (degradable) :
kedua, yang bersifat tidak merusak (nondegradable) : dan ketiga, yang bersifat merusak,
tetapi tidak secara besar-besaran (persistent). 107
Dampak adalah akibat berupa perubahan yang bersifat kerusakan (detrimental
change) yang terjadi pada lingkungan, baik terhadap komponen lingkungan tertentu
maupun terhadap ligkungan secara keseluruhan. Dampak lingkungan berdasarkan
sifatnya dapat diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu : pertama, yang bersifat langsung
dan kedua, yang bersifat tidak langsung. Dampak yang bersifat langsung adalah dampak
yang terjadi seketika, yaitu pada saat terjadi kontak antara bahan pencemar dengan
lingkungan. Sedangkan dampak tidak langsung terjadi dalam jangka waktu tertentu.
107
Ida Bagus Wyasa Putra, Op. Cit., hal 78.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
90
Biasanya setelah suatu bahan pencemar berakumulasi dengan bahan pencemar
lainnya. 108
Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabakan karena
kegiatan-kegiatannya di bidang eksplorasi nuklir. Sistem pertanggungjawabannya pun
adalah tanggung jawab absolut. Dalam hal ini, suatu negara tidak dapat mnggunakan
alasan bahwa negara tersebut sebelumnya telah melakukan tindakan-tindakan
pencegahan agar eksplorasi nuklir tidak merugikan negara (orang) lain. Yang menjadi
latar belakang di terapkannya tanggung jawab absolut adalah karena kegiatan di bidang
eksplorasi nuklir mengandung resiko bahaya yang sangat tinggi (a highly hazardous
activity).
Perjanjian internasional yang mengatur tentang eksplorasi nuklir adalah The
Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku
efektif tanggal 27 November 1977. Menurut konvensi ini, operator nuklir bertanggung
jawab terhadap kerusakan (reaktor) nuklir (pasal 2). Tanggung jawab tersebut sifatnya
adalah absolut (pasal 4).
Meskipun pelaksanaan pengoperasian instalasi nuklir dilakukan pada kondisi
standar keselamatan yang paling tinggi, tetapi asumsi terjadi kecelakaan tidak dapat
diabaikan secara mutlak. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor teknis,
pemanfaatan tenaga nuklir selain bermanfaat bagi kehidupan manusia, dapat juga
menimbulkan risiko berupa kerugian kepada manusia, harta benda, dan lingkungan.
Serta pemanfaatan tenaga nuklir akan melibatkan banyak kelompok seperti masyarakat,
organisasi penelitian dan pengembangan, pemroses bahan nuklir, manufaktur/pabrik
108
Ibid.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
91
peralatan nuklir atau sumber radiasi pengion, pelaksana medis, operator instalasi nuklir,
lembaga keuangan, asuransi dan badan pengawas. Oleh karena itu, untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat maupun lingkungan akibat dari kecelakaan tersebut
maka harus disusun dan ditetapkan besar kerugian yang harus dipertanggungjawabkan
Pengusaha
Instalasi
Nuklir
(Operator)
dan
sistem
hukum
terkait
dengan
pertanggungjawaban kerugian nuklir untuk memberikan kompensasi kerugian nuklir
terhadap pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir. Sistem hukum yang mengatur tentang
hal tersebut dikenal sebagai sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir.
Pertanggungjawaban kerugian nuklir merupakan suatu pertanggungjawaban
yang disusun dengan pengaturan khusus pada kecelakaan yang disebabkan oleh
kecelakaan nuklir. Dasar dari pertanggungjawaban kerugian nuklir adalah bersifat
internasional. Hal ini disebabkan karena efek bahaya dari suatu kecelakaan nuklir yang
parah dapat meluas ke teritorial negara lain, selain itu juga harus disusun suatu bentuk
hukum mengenai kompensasi penggantian kerugian nuklir dan kerusakan yang mungkin
terjadi terkait dengan pengangkutan bahan nuklir.
Pengaturan khusus terhadap pemanfaatan bahan nuklir ini nampak dalam hal
terjadi kecelakaan nuklir. Dalam hal demikian pertanggungjawabannya terhadap
pembayaran kompensasi, digunakan aturan yang berlaku secara universal atau
internasional, yaitu sistem pertanggungjawaban mutlak (absolut liability, no-fault
liability), pembatasan tanggung jawab dalam jumlah dan waktu. Kalau tidak diatur
khusus, maka pihak yang menjadi korban akan mengalami kesulitan dalam
membuktikan adanya kesalahan. Lagipula siapapun yang terlibat dalam pembangunan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
92
instalasi nuklir itu akan berusaha mengamankan dirinya dengan cara mengambil
asuransi.
Sistem ini dituangkan dalam berbagai konvensi internasional (Konvensi Wina
1963 yang kemudian diubah dengan Protokol 1997, dan Convention on the
Supplementary Compensation 1997) maupun regional (Konvensi Paris 1960). Indonesia
sudah menandatangani Protokol dan Convention on the Supplementary Compensation,
tetapi belum menjadi negara pihak.
Hal khusus pada sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir memiliki
perbedaan dibandingkan dengan sistem pertanggungjawaban umum lainnya. Pada
sistem pertanggungjawaban umum lainnya pertanggungjawaban didasarkan pada
kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk
membayar ganti rugi seteiah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh
kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan
akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal
tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu,
bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan
satu sistem tanggung jawab mutlak. Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang
bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa
adanya pembuktian oleh pihak ketiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada
pengusaha instalasi nuklir, kecuali kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari
pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana
alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan
keselamatan yang telah ditetapkan. Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
93
pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada
pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk
batas pertanggungjawaban, baik batas maksimum jumlah pembayaran ganti rugi
maupun jangka waktu penuntutan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak
ketiga dan pengusaha instalasi nuklir tersebut, maka dipandang perlu menggunakan satu
sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh
kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sistem tersebut
memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian
nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri
sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara
berkembang.
c. Peninjauan kembali besar batas pertanggungjawaban
Nilai batas pertanggungjawaban kerugian nuklir di Indonesia diambil dengan
membandingkan fasilitas-fasilitas yang ada di Indonesia sendiri, Korea dan Jepang.
Untuk memperjelas, maka besar batas pertanggungjawaban setiap instalasi nuklir di
Indonesia diperkirakan seperti dalam tabel berikut: .109
Tabel perkiraan besar batas pertanggungjawaban kerugian nuklir di Indonesia :
No.
Kategori
1
Reaktor daya komersil
2
Reaktor daya non-komersil
Jumlah (Rp)
3.600.000.000,000,360.000.000.000,-
109
Sistem Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir, http://www.technologyindonesia.com/column,
diakses tanggal 22 Oktober 2008
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
94
3
Reaktor non-daya komersil
1.800.000.000.000,-
4
Reaktor non-daya dengan daya lebih dari 10 MWt
90.000.000.000,-
5
Reaktor non-daya dengan daya dari 2 MWt-10
45.000.000.000.,-
MWt
6
Reaktor non-daya dengan daya kurang dari 2 MWt
10.000.000.000,-
7
Instalasi fabrikasi bahan bakar nuklir
10.000.000.000,-
8
Fasilitas penyimpanan bahan bakar nuklir bekas
10.000.000.000,-
9
Pengangkutan bahan bakar nuklir
1.000.000.000,-
10
Pengangkutan bahan bakar nuklir bekas
1.000.000.000,-
Aturan tegas yang mengatur tentang pertanggungjawaban kerugian nuklir
dinyatakan dalam UU Ketenaganukliran pada pasal berikut :
Pasal 34
1. Pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling
banyak Rp 900.000.000.000,00 (sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap
kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap
pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.
2. Besar batas pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Presiden.
3. Jumlah pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
digunakan untuk pembayaran kerugian nuklir, tidak termasuk bunga dan biaya
perkara.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
95
4. Batas pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
1. Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya
sebesar jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) melalui
asuransi atau jaminan keuangan lainnya.
Dari Pasal 34 tersebut mengamanatkan perlunya dibentuk aturan yang
mengimplementasi pelaksanaan sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir dalam
bentuk Keputusan Presiden (sekarang berbentuk Peraturan Presiden) yang bertujuan
untuk menetapkan besar batas pertanggungjawaban bagi Pengusaha instalasi nuklir
untuk setiap instalasi nuklir dan/atau dalam hal pengangkutan bahan nuklir atau bahan
nuklir bekas yang ditujukan untuk memberikan perlindungan jaminan ganti rugi bagi
masyarakat dan lingkungan hidup akibat kecelakaan nuklir tetapi tidak termasuk
fasilitas yang dimiliki oleh pemerintah yang bukan Badan Usaha Milik Negara.
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) diatas, maka ternyata potensi
terjadinya kecelakaan nuklir dapat terjadi tidak hanya pada reaktor nuklir, tetapi juga
pada instalasi nuklir lain serta dalam hal pengangkutan bahan nuklir atau bahan nuklir
bekas.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
96
BAB IV
RATIFIKASI TERHADAP NORMA HUKUM INTERNASIONAL
MENGENAI KEPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN KECELAKAAN NUKLIR
A. Proses Pembuatan Perjanjian Internasional
Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional.
Seseorang dianggap mewakili suatu negara untuk maksud menyetujui atau
mengesahkan teks perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu
untuk diikat oleh suatu perjanjian jika :
1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya, atau
2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa
maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tersebut mewakili negaranya untuk
maksud-maksud tertentu.110
Sah berarti berlaku menurut hukum. Dengan demikian perjanjian internasional
adalah sah bila memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, baik ketentuan hukum yang
mengatur wewenang pihak yang berjanji maupun ketentuan hukum ynag mengatur
proses pembuatan perjanjian internasional yang bersangkutan.
Proses yang harus dilakukan dalam pembentukan/pembuatan perjanjian
internasional, antara lain :
a. Akreditasi petugas perundingan
110
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002, hal 54
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
97
Untuk membuat perjanjian internasional negara yang bersangkutan terlebih
dahulu mengakreditasi petugasnya yang akan mengadakan perundingan. Akreditasi
itumenetapkan status petugas tersebut sebagai perutusan beserta wewenag yang
dipunyainya. Wewenang perutusan yang lengkap berupa wewenang untuk menghadiri
perundingan, untuk ikut serta berunding, untuk menetapkan keputusan yang
diperjanjikan dan untuk menandatangani perjanjian.
b. Perundingan
Perundingan dalam pembuatan perjanjian internasional bilateral dilakukan
dengan berembus saling berbicara (pourparles). Dalam pembuatan perjanjian
internasional multilateral perundingan dilakukan dalam konferensi diplomatik.
Konferensi diplomatik itu merupakan perundingan yang resmi.
c. Penandatanganan keputusan hasil perundingan
Keputusan hasil perundingan pada umumnya ditandatangani oleh kepala
perutusan negara yang berunding. Penandatanganan itu peda umumnya dilakukan di
tempat dan waktu yang sama dalam kehadiran pihak lawan yang berjanji.
Penandatanganan itu dimaksudkan sebagai otentikasi naskah keputusan hasil
perundingan
Dengan ditandatanganinya perjanjian internasional tersebut maka perjanjian itu
dapat dianggap telah diterima oleh negara yang bersangkutan. Namun, untuk
memberlakukannya secara nasional perjanjian tersebut terlebih dahulu harus diratifikasi
oleh negara yang bersangkutan. Dengan diratifikasinya perjanjian internasional beik
berupa Undang-Undang ataupun
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
98
B. Pengertian dan Prosedur Ratifikasi Pengertian Ratifikasi
1. Pengertian Ratifikasi
Istilah ratifikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu ratificare yang terbentuk dari
kata ratus yang berarti dimantapkan (fixed) dan facto yang berarti dibuat atau dibentuk
(made). Jadi, ratifikasi secara harafiah dapat dikatakan dibuat mantap atau disahkan
melalui persetujuan (make valid by approving). Dalam hal ini, jika suatu perjanjian
internasional telah ditandatangani maka diperlukan kekuatan secara hukum agar dapat
berlaku secara mantap dengan melalui persetujuan yang dilakukan dengan lembaga
ratifikasi.
Ratifikasi itu sendiri dalam Bahasa Latin memiliki dua arti. Pertama, ratum
babare dan ratum ducere, ratifikasi dalam hal ini bersifat deklarator karena hanya
mengesahkan suatu perjanjian yang telah disepakayti oleh wakil-wakil negara, kedua,
ratum facare dan ratum alicui esse, ratifikasi dalam hal ini bersifat konstitutif karena
merupakan pengesahan semua ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang berarti
dapat mengikat bagi negara peserta. Sedangkan apabila kita lihat pada ketentuan
Konvensi Wina mengenai hukum perjanjian pada pasal 2 (1 a) menentukan :
“Ratification means in each case the international act so named whereby a state
establishes on the international plan its concent to be bound by treaty.”111
Dari ketentuan tersebut jelaslah menurut Konvensi Wina istilah ratifikasi adalah
sebagai suatu bentuk persetujuan yang ditingkatkan dalam perjanjian yang kemudian
mengikat para pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian. Pernyataan terikatnya suatu
negara pada perjanjian dengan ratifikasi ini perlu, oleh karena sebagai kontrol agar
111
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, UNISDA Press,
Lamongan, 2005, hal 15
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
99
wewenang yang telah diberikan kepada treaty making power tidak melampaui batas
wewenangnya. 112
2. Prosedur Ratifikasi
Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui akreditasi petugas
perundingan-perundingan, penandatanganan keputusan hasil perundingan, ratifikasi,
tukar-menukar naskah ratifikasi, saat mulai mengikatnya perjanjian internasional,
pendaftaran serta pengumuman perjanjian internasional dan sahnya perjanjian
internasional. 113
Yang dimaksud dengan ratifikasi ialah perbuatan negara yang dalam taraf
internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat dalam suatu perjanjian
internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaan ratifikasi itu
tergantung pada hukum nasional negara yang bersangkutan. Di Indonesia ratifikasi
dapat berupa Undang-Undang ataupun berupa Keputusan Presiden (Pasal 9 ayat 2 UU
No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional)
Langkah selanjutnya yang juga termasuk dalam proses ratifikasi adalah naskah
ratifikasi perjanjian internasional (bila hanya melibatkan beberapa negara saja)
dipertukarkan dengan pihak lawan yang berjanji, sedang naskah ratifikasi perjanjian
internasional multilateral kemudian diserahkan kepada negara penyimpan. Ratifikasi
menetapkan terikatnya negara pada sutau perjanjian internasional tetapi ratifikasi tidak
menetapkan saat mulai terikatnya negara tersebut pada perjanjian yang diratifikasinya.
Saat mulai mengikatnya perjanjian internasional yang diratifikasi terjadi pada saat
112
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional-Buku I, Bina Cipta, Bandung,
1976, hal 121
113
M. Hafiz Hasbullah, Op.Cit,hal 17.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
100
penekaran naskah ratifikasi kepada pihak lawan berjanji atau penyerahan naskah
ratifikasi kepada negara penyimpan naskah ratifikasi.
d. Pendaftaran dan pengumuman perjanjian internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa mewajibkan anggotanya untuk mendaftarkan
semua perjanjian dan persetujuan internasional yang dibuatnya kepada Sekretariat PBB
yang kemudian akan mengumumkannya dalam kumpulan perjanjian PBB (United
States Treaty Series).
C. Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional
1.Hubungan antara hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan
Persoalan tempat hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum secara
umum merupakan persoalan yang menarik dilihat dari sudut teori (ilmu hukum) maupun
dari sudut praktis. Pembahasan persoalan tempat kedudukan hukum internasional dalam
rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis
atau bidang hukum,hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya.
Anggapan demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum
internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif ynag benar-benar
hidup dalam kenyataan sehingga memiliki hubungan yang efektif pula dengan
ketentuan dan asas yang efektif pula dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya
diantaranya yang paling penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan
manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan nama
hukum nasional. Pentingnya hukum nasional masing-masing negara dalam konstalasi
politik dunia dewasa ini, dengan sendirinya penting pula persoalan bagaimanakah
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
101
hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional. Di sinilah
letak pentingnya persoalan kedudukan hukum internasional dalam keseluruhan tata
hukum dilihat dari sudut praktis.
Dari sudut teoritis persoalan hunungan antara hukum internasional dan hukum
nasional merukan suatu masalah yang menarik untuk dibahas. Seperti banyak persolan
lainnya, persoalan hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional
bergantung dari mana kita memendang persoalan itu. Ada dua pandangan dalam hukum
internasional yaitu pandangan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum
internasional pada kemauan negara dan pandangan objektivisme, yang menganggap ada
dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda karena sudut
pandang yang satu akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum
nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah
sedangkan yang lainnya menganggap hukum internasional dan hukum nasional sebagai
dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Hal ini erat kaitannya dengan hierarkie
antara hukum internasional dan hukum nasional, baik merupakan dua perangkat hukum
yang masing-masing berdiri sendiri ataupun merupakan dua perangkat hukum yang
pada hakekatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
Ada dua aliran mengenai kedudukan hukum internasional dan hukum nasional
yaitu : pertama, aliran dualisme yang mendasarkan pemikirannya pada kedua perangkat
hukum tersebut mempunyai sumber, struktur dan subjek yang berlainan; kedua, aliran
monisme yang mendasarkan pemikiran kesatuan dari sluruh hukum yang mengatur
hidup manusia.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
102
Aliran monisme terbagi atas dua pandangan lagi yaitu pandangan yang
menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang utama adalah hukum nasional (monisme dengan primat hukum nasional) dan
pandangan yang menganggap bahwa dalan hubungan antara hukum nasional dengan
hukum internasional yang utama ialah hukum internasional (monisme dengan primat
hukum internasional)
Dewasa ini terlihat bahwa negara-negara modern telah mengakui hukum
internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Pandangan ini dinamakan doctrine of
incoorperation yang pada mulanya berasal dari negara Anglo Saxon. Ajaran bahwa
hukum internasional dipandang sebaga hukum nasional terlihat di putusan Mahkamah
Agung Amerika Serikat dalam kasus The Paquette Habana-The Loba.
b. Primat hukum internasional menurut praktek internasional
Praktek hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi
kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional
dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum
nasional itu pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional.
Pada umumnya negara-negara di dunia saling menghormati tanpa batas atau
garis batas lainnya yang memisahkan wilayah negara yang satu dari lainnya. Dengan
kata lain, negara-negara menaati hukum internasional mengenai batas wilayah sebagai
suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain khususnya
dengan negara tetangganya.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
103
Perlu ada pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak
(unilateral act) suatu negara dengan hukum internasional. Bahkan, kita melihat bahwa
tindakan sepihak negara yang didorong oleh kebutuhannya dapat melahirkan kaidah
hukum baru melalui proses hukum kebiasaan.
Yang penting ialah bukan terjadinya tindakan sepihak oleh negara itu yang
dianggap tidak sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku, tetapi ada
tidaknya kesediaan menyesuaikan diri dengan apa yang menurut pendapat masyarakat
internasional merupakan kaidah hukum internasional. Dari contoh di atas dapat
dikatakan bahwa kemauan demikian pada negara-negara itu ada, sekalipun mengenai
persoalan yang sangat penting seperti batas negara.
Sebaliknya harus diakui pula bahwa proses pembentukan kaidah hukum
internasional sangatlah lamban dan bergantung kepada banyak faktor di antaranya
faktor politik. Hal ini juga menjelaskan mengapa dalammasa-masa terjadinya perubahan
politik yang besar seperti merdekanya bangsa-bangsa yang tadinya terjajah,
pembentukan kaidah hukum internasional menjadi lebih rumit. Salah satu penyebabnya
adalah emansipasi politik bangsa-bangsa itu sendiri mencetuskan suatu gerakan yang
hendak mengubah kaidah tradisional yang ditinggalkan oleh masyarakat lama yang
didominasi oleh negara-negara besar bekas penjajah.
Lambatnya proses pembentukan kaidah hukum internasional baru ini apabila
dibandingkan dengan proses pengundang-undangan suatau negara menyebabkan kenapa
orang kadang-kadang tergoda untuk menyangkal adanya hukum internasional. Proses
pembentukan dan pertumbuhan kaidah hukum internasional itu lambat karena belum
kuatnya hukum internasional sebagai suatu sistem hukum. Hal ini tidak bisa dilepaskan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
104
dari belum tingginya taraf integrasi masyarakat internasional dan kesederhanaan
masyarakat internasional sebagai suatu sistem atau bentuk masyarakat pada masa
sekarang. Namun, semuanya itu bukan alasan untuk menyangkal adanya suatu
masyarakat internasional maupun hukum internasional yang mengaturnya.
D. Ratifikasi Hukum Internasional Mengenai Kepemilikan, Penggunaan dan
Kecelakaan Nuklir
Lingkungan hidup Indonesia merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha
Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala
aspek sesuai dengan Wawasan Nusantara, dan dalam rangka mendayagunakan sumber
daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UndangUndang Dasar 1945, serta untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila
perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
berdasarkan
kebijaksanaan
nasional
yang
terpadu
dan
menyeluruh
dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Atas dasar
tersebut
maka perlunya
melaksanakan pengelolaan
lingkungan
hidup
untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras
dan seimbang guna menunjang terlaksannya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup, dimana penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup
harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran
masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional
yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
105
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain,
dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup. Oleh sebab itulah, maka sangat perlu untuk dilakukannya
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya dasar
dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya kedalam
proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan, dengan mempersiapkan sumber daya yang
merupakan sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya manusia,
sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan serta
melindungi lingkungan dari dampak pemanfaatan energi termasuk di antaranya energi
nuklir yang kegiatannya termasuk ke dalam kategori sangat berbahaya (ultra-hazardous
risk).
Upaya pencegahan terhadap pencemaran tersebut harus melihat kepada hal
mengani baku mutu lingkungan hidup, yang merupakan sebagai tolok ukur batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada/atau unsur
pencemaran yang tenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup. Dimana pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat energi atau komponnen lain kedalam lingkungan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
106
hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Hukum merupakan alat kontrol sosial (social control) terhadap akibat
pencemaran lingkungan hidup. Oleh sebab itu, haruslah ada ketentuan peraturan dan
perundang-undanag yang mengatur serta membatasi/ mencegah agar tidak terjadi
pencemaran lingkungan hidup disegala aspek kehidupan manusia baik secara sadar atau
tidak sadar pencemaran tersebut terjadi.
Pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam
mewujudkan masyarakat yang maju serta adil dan makmur yang merata materiil dan
spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Selama ini pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan atas dasar
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga
Atom. Dengan perkembangan zaman dan makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, banyak ketentuan dalam undang-undang
tersebut yang sudah tidak sesuai lagi, misalnya wewenang pelaksanaan dan pengawasan
atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan
sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, bahan nuklir harus dimiliki dan
dikuasai oleh negara, sedangkan jual beli bahan tersebut sudah dilakukan secara
internasional sehingga persyaratan yang harus dimiliki oleh negara akan menghambat
perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir. Akan tetapi, persyaratan yang harus dikuasai
oleh negara tetap dipertahankan karena walaupun sudah terjadi perdagangan bebas
bahan nuklir secara internasional, Pemerintah tetap diminta melakukan pengawasan
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
107
agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan pemanfaatan bahan nuklir tersebut. Oleh
karena itu, dipandang perlu dibuat undang-undang baru tentang ketenaganukliran untuk
menggantikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Tenaga Atom.
Dalam undang-undang ini wewenang pelaksanaan dan pengawasan dipisahkan
dalam dua lembaga yang berbeda untuk menghindari tumpang tindih kegiatan
pemanfaatan dan pengawasan dan sekaligus mengoptimalkan pengawasan yang
ditujukan untuk lebih meningkatkan keselamatan nuklir.
Banyaknya norma hukum internasional mengenai nuklir seperti yang telah
dijelaskan dalam bab-bab terdahulu, termasuk di antaranya perjanjian internasional
mengenaii kepemilikan, penggunaan dan kecelakaan nuklir, Indonesia meratifikasi
seluruh perjanjian tersebut terutama NPT dan Bangkok Treaty dimana Indonesia
menjadi negara pihak dalam perjanjian tersebut ke dalam suatu peraturan perundangundangan yang berlaku secara nasional di Indonesia. Peraturan yang dimaksudkan di
sini adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU
Ketenaganukliran).
Saat ini pemerintah Indonesia sedang giat melakukan promosi Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang direncanakan beroperasi tahun 2016.
Untuk pelaksanaan pembangunan PLTN untuk program ketenagalistrikan, maka harus
ada pengawasan ketenaganukliran secara regulasi. UU Ketenaganukliran memuat aturan
selain mengatur perizinan untuk pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir juga
mengatur hal pertanggungjawaban kerugian nuklir oleh pengusaha instalasi nuklir untuk
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
108
setiap instalasi nuklir atau pengangkutan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir
bekas apabila terjadi kecelakaan nuklir.
Meskipun pelaksanaan pengoperasian instalasi nuklir dilakukan pada kondisi
standar keselamatan yang paling tinggi, tetapi asumsi terjadi kecelakaan tidak dapat
diabaikan secara mutlak. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor teknis,
pemanfaatan tenaga nuklir selain bermanfaat bagi kehidupan manusia, dapat juga
menimbulkan risiko berupa kerugian kepada manusia, harta benda, dan lingkungan.
Serta pemanfaatan tenaga nuklir akan melibatkan banyak kelompok seperti masyarakat,
organisasi penelitian dan pengembangan, pemroses bahan nuklir, manufaktur/pabrik
peralatan nuklir atau sumber radiasi pengion, pelaksana medis, operator instalasi nuklir,
lembaga keuangan, asuransi dan badan pengawas. Oleh karena itu, untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat maupun lingkungan akibat dari kecelakaan tersebut
maka harus disusun dan ditetapkan besar kerugian yang harus dipertanggungjawabkan
Pengusaha
Instalasi
Nuklir
(operator)
dan
sistem
hukum
terkait
dengan
pertanggungjawaban kerugian nuklir untuk memberikan kompensasi kerugian nuklir
terhadap pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir
Pengertian kecelakaan nuklir dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenaganukliran
disebutkan yaitu setiap kejadian atau rangkaian kejadian yang menimbulkan kerugian
nuklir. Sedangkan kerugian nuklir didefinisikan dalam pasal 1 angka 16 sebagai setiap
kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan harta benda,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau
gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
109
sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi nuklir atau selama
pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian
sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan hidup.
Berdasarkan batasan pengertian di atas, sistem hukum yang mengatur mengenai
bila terjadi kecelakaan nuklir sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam
instalasi nuklir atau selama pengangkutan dikenal sebagai sistem pertanggungjawaban
kerugian nuklir.
Sedangkan pengertian instalasi nuklir di jelaskan pada Pasal 1 angka 12 UU No.
10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran adalah:
1. reaktor nuklir;
2. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir,
fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas;
dan/atau
3.
fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan
bakar nuklir bekas.
Pengusaha Instalasi Nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang
diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi dalam
instalasi nuklir tersebut (Pasal 28 UU Ketenaganukliran), sedangkan selama
pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang bertanggung
jawab atas kerugian nuklir yang diderita pihak ketiga adalah juga pengusaha instalasi
nuklir pengirim (Pasal 29 UU Ketenaganukliran).
Hal khusus pada sistem pertanggungjawaban kerugian nuklir merniliki
perbedaan dibandingkan dengan sistem pertanggungjawaban umum lainnya. Pada
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
110
sistem pertanggungjawaban umum lainnya pertanggungjawaban didasarkan pada
kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk
membayar ganti rugi seteiah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh
kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan
akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal
tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu,
bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan
satu sistem tanggung jawab mutlak. Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan
pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada
pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk
batas pertanggungjawaban, baik batas maksimum jumlah pembayaran ganti rugi
maupun jangka waktu penuntutan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak
ketiga dan pengusaha instalasi nuklir tersebut, maka dipandang perlu menggunakan satu
sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh
kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sistem tersebut
memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian
nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri
sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara
berkembang.
UU Ketenaganukliran mewajibkan dibentuknya Badan Pengawas yang bertugas
melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan penggunaan energi nuklir, yang
kewenangannya meliputi penyelenggaraan peraturan, perizinan, dan
inspeksi.
Pembentukan sebuah badan regulator ini sesuai dengan Konvensi Keselamatan Nuklir
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
111
(Convention on Nuclear Safety) yang menegaskan perlunya pemisahan yang efektif
antara fungsi pengaturan atau pengawasan, dan fungsi promosi atau penggunaan energi
nuklir.
Meski demikian, menurut konvensi tersebut, wewenang badan ini juga
mencakup penegakan peraturan dan perizinan, mulai dari pembekuan hingga
pencabutan izin. UU Ketenaganukliran sama sekali tidak menyinggung wewenang
penegakan peraturan dan perizinan tersebut. Sebaliknya, UU Ketenaganukliran justru
memberi wewenang kepada Badan Pengawas untuk melakukan pembinaan berupa
bimbingan dan penyuluhan untuk menimbulkan motivasi dan kesadaran keselamatan
dalam penggunaan energi nuklir.
Berlawanan dengan prinsip umum bahwa setiap kegiatan bebas dilakukan,
kecuali bila dilarang oleh hukum, hukum nuklir menegaskan bahwa setiap kegiatan
yang menyangkut bahan fisi dan radioisotop adalah terlarang, kecuali yang telah
diizinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah konsekuensi dari
bahaya yang terkait dengan teknologi nuklir tersebut. UU Ketenaganukliran secara tegas
juga menganut prinsip itu di dalam Pasal 17. Menurut Pasal 5, Badan Pengawas harus
melakukan penilaian dan memutuskan pemberian atau penolakan suatu permohonan
izin dalam jangka waktu 14 atau 60 hari kerja. 114
114
Dian
Abraham,
Mempertanyakan
(Lagi)
Keselamatan
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/25/nasional.htm, diakses tanggal 28 Januari 2009
Nuklir,
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
112
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan sesuai dengan
permasalahan yang ada di dalam skripsi ini yaitu :
1. Hukum internasional secara umum telah mengatur masalah kepemilikan, penggunaan dan
kecelakaan nuklir. Norma-norma hukum itu dapat dilihat dari telah lahirnya perjanjianperjanjian internasional mengenai nuklir. Diantaranya : pertama, secara global telah ada
perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Non-Proliferation Treaty-NPT) yakni perjanjian
mengenai nuklir yang diikutsertai oleh 187 negara dari seluruh kawasan di dunia; kedua,
secara regional, telah ada perjanjian Tlatelolco (Tlatelolco Treaty) yakni perjanjian
mengenai nuklir untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia, perjanjian
Ratotonga (Ratotonga Treaty) yakni perjanjian mengenai nuklir untuk negara-negara di
kawasan Pasifik Selatan dan perjanjian Bangkok (Bangkok Treaty)yakni perjanjian
mengenai nuklir untuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara; ketiga, secara bilateral
antara dua negara, seperti : Amerika Serikat-India dan Cina dan Australia.
2. Penerapan tanggung jawab negara dapat dilihat dalam Liability Convention 1972
dan Declarasi Stockholm 1972. Negara bertanggung jawab terhadap setiap
kerusakan yang disebabakan karena kegiatan-kegiatannya di bidang eksplorasi
nuklir. Sistem pertanggungjawabannya pun adalah tanggung jawab absolut.
Perjanjian internasional yang mengatur tentang eksplorasi nuklir adalah The Vienna
Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi mulai berlaku efektif
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
113
tanggal 27 November 1977. Menurut konvensi ini, operator nuklir bertanggung
jawab terhadap kerusakan (reaktor) nuklir (pasal 2). Dasar dari pertanggungjawaban
kerugian nuklir adalah bersifat internasional. Hal ini disebabkan karena efek bahaya
dari suatu kecelakaan nuklir yang parah dapat meluas ke teritorial negara lain, selain
itu juga harus disusun suatu bentuk hukum mengenai kompensasi penggantian
kerugian nuklir dan kerusakan yang mungkin terjadi terkait dengan pengangkutan
bahan nuklir.
3. Ratifikasi norma-norma hukum internasional mengenai kepemilikan, penggunaan
dan kecelakaan nuklir dapat dilihat dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UU Ketenaganukliran).
UU Ketenaganukliran ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan reaktor
nuklir dan pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan
kegiatan nuklir serta bentuk pertanggungjawabannya masing-masing.
B. Saran
1. Norma-norma hukum internasional yang mengatur masalah nuklir seperti yang
disebutkan di atas hanya mengatur tentang upaya-upaya kegiatan nuklir secara
umum.
Sedangkan
norma
hukum
internasional
yang
menyangkut
pertanggungjawaban terhadap akibat yang ditimbulkan akibat kegiatan nuklir
cenderung hanya untuk kepentingan manusia, tanpa memperhatikan hal-hal yang
telah terjadi atau yang mungkin akan terjadi terhadap lingkungan yang rusak akibat
kegiatan nuklir. Seharusnya dalam perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan di
atas juga melindungi hak –hak lingkungan agar tetap terjaga.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
114
2. Nuklir yang merupakan bahan yang sangat berbahaya yang mengandung
kemungkinan resiko yang sangat berbahaya mengakibatkan sulitnya melihat sejauh
apa pertanggungjawaban negara atas kegiatannya tersebut terutama akibat
kegiatannya terhadap kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya
suatu aturan yang lebih terperinci lagi mengenai akibat kegiatan nuklir terhadap
lingkungan.
3. Ratifikasi norma internasional telah dilakukan oleh Indonesia yaitu melalui UndangUndang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran namun, tidak semua negara
yang telah meratifikasi NPT ke dalam Undang-Undang negaranya masing-masing.
Seharusnya semua negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut harus dengan
serta-merta meratifikasinya ke dalam peraturan nasional negara masing-masing
mengingat masalah-masalah nuklir adalah masalah yang harus lebih diprioritaskan.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
115
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Adolf, Huala, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional-edisi revisi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
__________ , 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Daliyo, J.B., 2001, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta.
Djamali, R. Abdoel, 2007, Pengantar Hukum Internasional-Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Hamzah, Bachtiar, 1997, Hukum Internasional II, USU Press, Medan.
Hasbullah, M. Afif, 2005, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia,
UNISDA Press, Lamongan.
Kansil, C.S.T., 2002, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Pengantar Hukum Internasional-Buku I, Bina Cipta,
Bandung
Mertokusumo, Soedikno, 2003, Mengenal Hukum suatu Pengantar, PT. Liberty, Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Putra, Ida Bagus Wyasa, 2001, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi
Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung.
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
116
Starke, J.G., 1988, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Aksara Persada
Indonesia, Jakarta.
Utrecht, E., 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta.
Wirengjurit, Dian, 2002, Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir, PT. Alumni, Bandung.
II. PERJANJIAN INTERNASIONAL
The Bangkok Treaty (the South East Asia Nuclear Weapons Free Zone Treaty).
The Tlatelolco Treaty (Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America and the
Caribbean).
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
IV. WEBSITE
Dian Abraham, Mempertanyakan (Lagi) Keselamatan Nuklir, http://www.kompas.com/kompascetak/0706/25/nasional.htm, diakses tanggal 28 Januari 2009
Gusti N.C Aryani, ASEAN Nantikan konsensus Zona Bebas Nuklir ASEAN 2012,
http://beritasore.com/2007/07/30/asean-nantikan-konsensus-zona-bebas-nuklir-asean2012/, diakses tanggal 28 Januari 2009.
Akhir
Perjanjian
Nuklir
India-Amerika
Serikat?,
indo.blogspot.com/2006/11/akhir-perjanjian-nuklir-india-as.html,
tanggal 24 Februari 2009.
http://qisaidiakses
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
117
Amerika-India
Tandatangani
Perjanjian
Nuklir,
http://www.vhrmedia.com/vhrnews/berita,Amerika-India-Tandatangani-Perjanjian-Nuklir-2572.html, diakses tanggal
24 Februari 2009
IAEA Segera Bahas Nuklir India, http://www.antaranews.com/IAEA-segera-bahasnuklir-india, diakses tanggal 24 Februari 2009.
Menunggu Kesepakatan Perjanjian Nuklir India, http://qisaiindo.blogspot.com/menunggukesepakatan-perjanjian-nuklir.html, di akses tanggal 24 Februari 2009.
Perjanjian
Non-ProliferasiNuklir,
http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian
Proliferasi Nuklir, diakses tanggal 23 September 2008.
Non-
Perjanjian Nuklir Aman, http://www.kapanlagi.com/Perjanjian-nuklir-aman, diakses tanggal 24
Februari 2009
Seminar Energi Nuklir dan Instrumentasi Reaktor di USA tanggal 28 November 2006, http://
metnet.wordpress.com/2006/11/28/seminar-energi-nuklir-dan-instrumentasi-di-usa/,
diakses tanggal 24 Februari 2009.
Sistem Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir, http://www.technologyindonesia.com/column,
diakses tanggal 22 Oktober 2008
Irianti Meilisa : Tanggung Jawab Negara Terhadap Kepemilikan, Penggunaan Dan Kecelakaan Nuklir Menurut Hukum
Internasional, 2009.
USU Repository © 2009
Download