Implementasi Integrasi Life Skills dalam Pembelajaran di MI

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan
Kecakapan
Hidup
(Life
Skill)
2.1.1 Konsep Dasar Pendidikan Kecakapan Hidup
Pendidikan kecakapan hidup atau yang biasa
disebut dengan pendidikan life skills merupakan perkembangan teori yang dikembangkan oleh Gagne
dalam teori klasifikasi (Seifert 1983). Walaupun tidak
secara eksplisit menyatakan teorinya sebagai life skill
namun dalam teori klasifikasinya, Gagne mengklasifikasikan hasil pembelajaran dalam beberapa bentuk
kecakapan (skills) sebagai hasil akhir sebuah pembelajaran dan bukan sebagai proses yang menyebabkan munculnya pengetahuan. Menurut Gagne kecakapan ini akan muncul dalam diri siswa dengan
adanya pengkondisian situasi pembelajaran. Proses
pengkondisian inilah yang akan mempengaruhi kecakapan sepanjang karir dan pendidikan siswa.
Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia,
pendidikan kecakapan hidup (life skills) dijadikan
salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan
hidup atau bekerja. Menurut Satori (2002):
13
Program pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan keterampilan
yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan
pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi
dan industri yang ada di masyarakat, apabila
dihubungan dengan pekerjaan tertentu.
Sementara Anwar (2004) menjelaskan bahwa
“life skills dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan vocational skills yang intinya
terletak pada penguasaan specific occupational job”.
Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan
bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific
occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa program life skills dalam
pemaknaan program pendidikan formal maupun nonformal diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri mencari nafkah
dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya.
Brolin
(dalam Nur 2010) mendefinisikan life
skills sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan
yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara
independen
dalam
kehidupan.
Pendapat
lain
mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar
sukses dalam menjalankan kehidupan (Slamet 2002).
Sedangkan
WHO
(Depdiknas
2004)
memberikan
pengertian bahwa:
Life skills adalah berbagai keteram-pilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang
14
mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif.
Sementara
itu
Tim
Broad-Based
Education
(Depdiknas 2002) menafsirkan:
Life skills adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema
hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa
tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif
mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian
life skills, namun esensinya sama yaitu bahwa life
skills adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Oleh
karena itu, pendidikan life skills adalah pendidikan
yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan
secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai
kehidupan
sehari-hari
agar
yang
bersangkutan
mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan
perkembangannya.
Dengan definisi tersebut, maka pendidikan life
skills harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata
sehari-hari, baik yang bersifat preservatif maupun
progresif. Pendidikan perlu diupayakan relevansinya
dengan
nilai-nilai
kehidupan
nyata
sehari-hari.
Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih
15
kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari
akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna
bagi peserta didik dan akan tumbuh subur. Seseorang
dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa,
dan kehidupan-kehidupan lainnya. Ciri kehidupan
adalah perubahan yang selalu menuntut kecakapankecakapan untuk menghadapinya. Oleh karena itu,
sudah sewajarnya jika pendidikan formal dan nonformal mengajarkan kecakapan hidup.
Menurut Slamet (2002) hasil yang diharapkan
dari pendidikan kecakapan hidup adalah:
(1) Peserta didik memiliki aset kualitas batiniyah,
sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk
menghadapi kehidupan masa depan sehingga yang
bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (2) peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan karir dalam dunia kerja yang sarat
perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki,
bersaing, dan maju dalam karir, (3) peserta didik
memiliki kemampuan berlatih untuk hidup
dengan cara yang benar, yang memungkinan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi, (4) peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya, (5) peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai
permasalahan hidup yang dihadapi.
16
Anwar (2004) mengungkapkan bahwa memasuki
era globalisasi di abad XXI diperlukan suatu paradigma baru dalam sistem pendidikan dunia dalam
rangka mencerdaskan umat manusia dan memelihara
persaudaraan.
Pemikiran
seperti
hal
tersebut
sesungguhnya telah disadari oleh UNESCO dengan
merekomendasikan “empat pilar pembelajaran” untuk
memasuki era globalisasi, yaitu program pembelajaran
yang
diberikan
hendaknya
mampu
memberikan
kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan
mampu belajar (learning know or learning to know).
Bahan belajar yang diberikan hendakanya mampu
memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta
didiknya (learning to do), dan mampu memberikan
motivasi
untuk
hidup
dalam
era
sekarang
dan
memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to
be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam
bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga
keterampilan untuk hidup bertetangga, berbangsa dan
hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan
semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to life
together).
Terkait dengan empat pilar pembelajaran tersebut, sesungguhnya program pendidikan life skills memiliki ciri yang relevan sebagaimana diungkapkan oleh
Depdiknas (2002) bahwa ciri pendidikan life skills
adalah:
17
(1) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar,
(2) terjadi proses penyadaran untuk belajar bersama, (3) terjadi keselarasan kegiatan belajar
untuk mengembangkan diri, usaha mandiri, usaha
bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan
personal, sosial, vokasional, akademik, manajerial,
kewira usahaan, (5) terjadi proses pemberian
pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan
benar, menghasilkan produk bermutu, (6) terjadi
proses interaksi saling belajar dari ahli, (7) terjadi
proses penilaian kompetensi, (8) terjadi proses
pendampingan untuk bekerja dan atau membentuk usaha bersama.
Dengan demikian, maka kedelapan ciri tersebut
merupakan suatu proses yang dapat mengantarkan
peserta didik kepada penguasaan suatu vokasi tertentu guna diwujudkan menjadi sesuatu yang berarti bagi
kehidupan pribadi dan kelompok untuk perbaikan
kualitas hidup mereka.
Adapun prinsip-prinsip pembelajaran kecakapan
hidup di antaranya (Depag, 2005):
(1) peran guru sebagai pembimbing siswa di
samping sebagai tutor, fasilitator, dan pengubah
lingkungan belajar untuk memajukan metakognisi
siswa, (2) peran siswa sebagai peran sentral dalam
proses pembelajaran dan (3) peran strategi pembelajaran sebagai suatu cara untuk menstransfer
kecakapan hidup yang dibutuhkan oleh siswa di
masa yang akan datang.
2.1.2 Macam-macam Pendidikan Life Skill
Seperti pada uraian sebelumnya konsep kecakapan hidup dikemukakan oleh seorang pakar bernama Robert Gagne dalam teori klasifikasi (Seifert
1983). Gagne meyakini bahwa berbagai bentuk keca 18
kapan disebabkan oleh proses pengkondisian kelas
yang dilakukan oleh guru. Berbagai bentuk kecakapan
yang dikemukanan oleh Gagne ada 5 yaitu: (1) kecakapan intelektual, (2) strategi kognitif, (3) kecakapan
verbal, (4) kecakapan motorik, (5) kecakapan sikap.
Dalam teori Gagne (Seifert 1983), kecakapan
intelektual meliputi tiga kecakapan yaitu:
Pertama kecakapan diskriminasi. Kecakapan ini
merupakan kecakapan anak untuk membedakan
objek dari ciri-ciri yang dimiliki oleh objek tersebut. Kedua Kecakapan konsep. Kecakapan ini
dimiliki oleh anak yang telah mampu mengelompokkan sebuah objek dengan objek yang lain
dengan memperhatikan ciri-ciri yang dimiliki.
Ketiga kecakapan aturan. Kecakapan ini dimiliki
anak jika anak tersebut telah mampu mengaplikasikan aturan-aturan yang diketahui dalam kehidupan.
Strategi-strategi kognitif merupakan kecakapan
dari siswa untuk mencari hal-hal baru atau aturan
baru untuk memudahkan kegiatan atau pekerjaan
mereka. Sedangkan kecakapan verbal kemampuan
siswa untuk mempelajari dan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk ucapan atau bahasa. Adapun
kecakapan motorik merupakan kecakapan seseorang
yang lebih berfokus pada kemampuan keterampilan
atau keterampilan bertindak terhadap sesuatu hal.
Sementara kecakapan sikap merupakan kecakapan
untuk bertindak yang terbaik bagi dirinya sendiri
dengan berlandaskan pada kecakapan intelektual yang
dimilikinya.
19
Agak berbeda dengan teori Gagne, pendidikan
kecakapan hidup dibedakan menjadi 4 jenis untuk
mengatasi 4 persoalan mendasar yang dialami manusia. Pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya
sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain, ketiga
persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di
suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat adalah
personalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik
yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni
sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang
hanya sekadar sebagai hobi. Empat jenis kecakapan
hidup yang harus dibekalkan pada peserta didik di
antaranya personal skills education, social skills education, environmental skills education, dan vocational
atau occupational skills education. Sama-sama membagi kecakapan hidup menjadi 4 jenis tetapi dalam
penjabarannya
agak
berbeda
dengan
penjabaran
sebelumnya. Anwar (2004) membagi kecakapan hidup
menjadi personal skill, social skill, academic skill dan
vocational skill.
Keempat jenis pendidikan kecakapan perlu diberikan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat
memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan
atau kemampuan untuk menempuh perjalanan hidup
itu, baik melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan
formal di sekolah. Keempat jenis kecakapan ini saling
melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
20
Dalam kehidupan sehari-hari ada seseorang
yang sangat menonjol dalam menguasai salah satu
kemampuan kecakapan, namun kurang dalam penguasaan kemampuan kecakapan lainnya. Ada juga yang
kemampuan kecakapannya merata untuk kesemuanya. Yang lebih baik adalah yang seimbang dalam
menguasai keempat jenis kecakapan tersebut. Adapun
yang terbaik adalah penguasaan yang bukan saja
seimbang, akan tetapi juga selaras karena dengan
keseimbangan dan keharmonisan itulah yang mampu
mewujudkan hidup yang indah.
Zulkarnaini
(2008)
mengelompokkan
empat
jenis kecakapan yang dibagi oleh Anwar (2004) menjadi dua jenis yaitu kecakapan hidup yang bersifat
umum (General Life Skill) dan kecakapan hidup yang
bersifat khusus (Specific Life Skill). Pengelompokan
Zulkarnaini (2008) ini senada dengan pengelompokan
Depdiknas (2004) dan Depag (2005).
21
Kesadaran potensi
diri
Personal
skill
Kecakapan berfikir
rasional
Kesadaran spiritual
General
life skill
(GLS)
Kecakapan
berkomunikasi
Social
skill
Kecakapan hidup
(life skill)
Kecakapan bekerja
sama
Mengidentifikasi
variabel
Akademik
life skill
Merumuskan hipotesa
Melaksanakan
penelitian
Speci fic life
skill
(SLF)
Vokasional dasar
Vokasional
skill
Vokasional khusus
Sumber: Depdiknas (2004)
Bagan 2.1
Pembagian Kecakapan Hidup (life skill)
22
General Life Skill (GLS) adalah kecakapan hidup
yang harus dimiliki seorang untuk dapat melakukan
hal-hal yang bersifat umum. Specific Life Skill (SLF)
adalah kecakapan yang harus dimiliki seseorang
untuk dapat melakukan hal-hal yang bersifat khusus.
Dari bagan 2.1 dapat dilihat bahwa General Life
Skill dapat dipilah lagi atas dua bagian yaitu kecakapan personal (Personal Skill) dan kecakapan sosial
(Social Skill). Kecakapan hidup yang bersifat khusus
(Specific Life Skill) dapat pula dipilah atas dua bagian.
Kedua
bagian
itu
adalah
kecakapan
akademika
(Academic Skill) dan kecakapan vokasional (Vocational
Skill).
Zulkarnaini (2008) mengatakan bahwa personal
skill merupakan kesadaran diri manusia sebagai
makhluk
Allah,
sebagai
makhluk
sosial,
sebagai
makhluk hidup, dan sebagainya. Kesadaran akan
potensi diri adalah kesadaran yang dimiliki seseorang
atas kemampuan dirinya. Personal skill oleh Depag
(2005) dibagi menjadi 3 kesadaran yang meliputi:
(1) Kesadaran spiritual yaitu kesadaran seseorang
sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran ini merupakan
kesadaran fitrah, dalam arti ketulusan dan kesucian sebagai potensi dasar manusia untuk mengesakan Tuhannya; (2) Kesadaran akan potensi diri
yang akan menjadikan manusia menyadari dan
mensukuri atas segala kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki, yang diwujudkannya dalam berbagai
bentuk diantaranya kesediaan menjaga kebersihan
dan kesehatan, mengukur kemampuan diri, merasa cukup atas apa yang dimiliki, percaya diri, bertindak bijak serta berkemampuan untuk mengem-
23
bangkan diri secara bertanggung jawab; (3) Kecakapan berfikir rasional yaitu kecakapan untuk
menggunakan akal untuk berfikir dan mempertimbangkan tindakan secara cerdas.
Kecakapan berpikir rasional (thinking skill) meliputi kecakapan menggali informasi, kecakapan mengolah informasi, kecakapan mengambil keputusan,
kecakapan memecahkan masalah (Zulkarnaini 2008).
Pertama kecakapan menggali dan menemukan informasi. Kecakapan ini memerlukan kecakapan dasar
seperti membaca, menghitung dan melakukan observasi. Kedua kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan secara cerdas. Kemampuan dasar
yang dibutuhkan adalah kecakapan membandingkan,
membuat perhitungan, analogi dan analisis sesuai
informasi yang diolah. Ketiga kecakapan memecahkan
masalah secara bijak dan kreatif. Dengan kecakapan
berpikir rasional ini, diharapkan seseorang tidak akan
gamang menghadapi kehidupan, sehingga dia dapat
menghadapi problema hidup dan kehidupan secara
wajar tanpa merasa tertekan.
Zulkarnaini (2008) merinci kecakapan sosial sebagai
kecakapan
yang
dimiliki
seseorang
untuk
mampu berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis,
dan bekerja sama, tetapi Depdiknas (2004) menambahkan yang termasuk dalam kecakapan sosial adalah
kecakapan untuk bernegosiasi, memilih dan mengambil posisi diri, mengelola konflik, dan kecakapan
mengambil keputusan secara sistematis.
24
Dalam pengembangan kecakapan sosial, empati
diperlukan. Empati merupakan sikap penuh pengertian, memberi perhatian dan menghargai orang lain
dalam seni komunikasi dua arah. Kecakapan sosial ini
diwujudkan dengan cara: (1) Kecakapan berkomunikasi dengan empati baik lisan, tulisan maupun alat
teknologi. Komunikasi secara lisan membutuhkan
kecakapan mendengarkan sehingga membuat lawan
bicara merasa diperhatikan dan dihargai, kecakapan
berbicara untuk menyampaikan gagasan dengan jelas
dan santun, serta kecakapan meyakinkan orang lain.
Komunikasi secara tertulis membutuhkan kecakapan
membaca dan menulis gagasan. Sedangkan komunikasi melalui teknologi dapat diberikan berupa etiket
saat bertelepon dan tata cara menggunakan internet.
(2) Kecakapan bekerja sama meliputi kecakapan bekerja dalam tim sebagai partner kerja yang menyenangkan dan terpercaya.
Kecakapan akademik (Academic Skill) adalah
kecakapan
yang
dimiliki
seseorang
di
bidang
akademik. Kecakapan akademik sering juga disebut
kecakapan berpikir ilmiah yang merupakan kelanjutan
dari keca-kapan berpikir rasional (Depag 2005). Jika
kecakapan berpikir rasional (thinking skill) masih
bersifat umum, kecakapan akademik sudah mengarah
kepada keca-kapan yang bersifat keilmuan (akademik).
Kecakapan akademik antara lain meliputi kecakapan
mengiden-tifikasi variabel, menghubungkan variabel
25
dengan fenomena tertentu, merumuskan hipotesis,
dan meran-cang serta melakukan penelitian. Hal ini
mungkin
dapat
dilatihkan
dalam
skala-skala
sederhana kepada siswa SD dan MI sehingga tidak
terkesan
memaksakan.
Kecakapan
akademik
ini
sudah mengarah pada ke-giatan keilmuan sehingga
kecakapan ini lebih cocok jika dikembangkan di
tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (Zulkarnaini
2008).
Kecakapan vokasional (Vocational Skill) sering
juga disebut kecakapan kejuruan. Kecakapan kejuruan
artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang
pekerjaan tertentu yang terdapat di dalam masyarakat
(Zulkarnaini 2008). Pada tingkat SD dan MI mungkin
dapat dilaksanakan dalam bentuk pravokasional seperti keterampilan-keterampilan sederhana yang tidak
terlalu memberatkan. Kecakapan vokasional lebih
cocok bagi siswa yang ingin menekuni pekerjaan yang
banyak membutuhkan ketrampilan psikomotorik daripada kecakapan akademik sehingga lebih tepat jika
dikembangkan di SMK. Terhadap kecakapan vokasional Depag (2004) merinci menjadi dua jenis yaitu kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional
khusus. Kecakapan vokasional dasar mencakup gerak
dasar, menggunakan alat sederhana yang secara
umum mencakup aspek nilai, taat asas, presisi dan
akurasi. Kecakapan vokasional khusus hanya diberikan bagi yang ingin menekuni bidang pekerjaan tertentu.
26
2.2 Strategi Implementasi Pendidikan Life
Skill
2.2.1 Dasar Hukum Implementasi Pendidikan Life
Skill dalam Pembelajaran
Sebagai sesuatu yang baru bagi pendidikan di
Indonesia, pendidikan life skill memerlukan undangundang sebagai dasar hukum pelaksanaan pendidikan
kecakapan hidup di sekolah atau madrasah. Pemerintah telah mempersiapkan dasar hukum tersebut sejak
tahun 2003 walaupun belum secara eksplisit dituliskan. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 tentang fungsi
dan tujuan menyatakan:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembagnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Meskipun rumusan itu tidak secara eksplisit
menyebutkan kecakapan hidup tetapi kalau fungsi
dan tujuan tersebut direalisasikan dalam pendidikan,
maka hasilnya adalah lulusan yang memiliki kecakapan hidup. Pernyataan pendidikan kecakapan hidup
terdapat dalam pasal 26 ayat 3 dalam Undang-Undang
yang sama sebagai rincian dari pendidikan non formal
27
bersama pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan dan lainnya. Sedangkan dalam penjelasan
pasal 26 ayat 3 dijelaskan bahwa pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan yang memberikan
berbagai
kecakapan
untuk
bekerja
atau
usaha
mandiri.
Sebagai dasar hukum realisasi di sekolah atau
madrasah formal pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah (PP) No 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan untuk lebih menguatkan pendidikan kecakapan hidup dalam Undang-Undang No 20
tahun 2003. Dalam peraturan pemerintah (PP) No 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
memuat pernyataan-pernyataan eksplisit tentang pendidikan kecakapan hidup. Pasal-pasal yang memuat
tentang pendidikan kecakapan hidup di antaranya
adalah pasal 6 ayat 3 yang menyatakan “satuan pendidikan non formal dalam bentuk kursus dan lembaga
pelatihan menggunakan KBK (kurikulum berbasis
kompetensi)
hidup”.
yang
Sedangkan
memuat
yang
pendidikan
kecakapan
menyatakan
pendidikan
kecakapan hidup dapat dimasukan di sekolah formal
adalah pasal 13 ayat 1 sampai 4.
2.2.2 Strategi Implementasi Pendidikan Life Skill
Menurut David (dalam Sanjaya 2011) strategi
diartikan sebagai a plan, method, or series activities
designed to archieves a particular education goal.
28
Pengertian ini menyatakan bahwa strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi
tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dari pengertian di atas
ada 2 hal yang dapat kita cermati. Pertama strategi
pembelajaran merupakan rencana tindakan termasuk
metode dan pemanfaatan berbagai sumber dalam
pembelajaran. Kedua strategi disusun untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Artinya semua rencana dan
pemanfaatan sumber daya yang digunakan untuk
pembelajaran bertujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu Kemp (dalam Sanjaya 2011)
menguatkan pendapat David yang menyatakan bahwa
strategi merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh guru dan siswa agar tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif dan efisien. Senada
dengan Kemp, Dick dan Carey (dalam Sanjaya 2011)
menyebutkan bahwa strategi pembelajaran adalah
satu set materi dan prosedur pembelajaran yang
digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan
hasil belajar siswa.
Berdasar pengertian strategi dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran
merupakan cara penyesuaian tindakan terhadap lingkungan baru dan khas dengan merencanakan serangkaian kegiatan pembelajaran untuk mencapai suatu
tujuan pendidikan.
29
Menurut Pardjono (dalam Fitrihana 2008), ada
beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan pendidikan kecakapan hidup di antaranya:
(1) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak
merubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini,
(2) tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai
suatu pelatihan, (3) etika dan religius bangsa
Indonesia dapat diintegrasikan, (4) memperhatikan
potensi wilayah setempat, (5) menerap kan
manajemen berbasis sekolah.
Berdasarkan kelima prinsip di atas Pardjono
(dalam Fitrihana 2008) menyarankan 3 model penerapan pendidikan kecakapan hidup di sekolah di
antaranya:
(1) pendidikan kecakapan hidup diintegrasikan
dalam mata pelajaran lain, (2) pendidikan kecakapan diimplementasikan dalam kegiatan ekstra
kurikuler seperti pramuka, PMR, olah raga dll,
(3) dilakukan diklat-diklat pra vokasional.
Sedangkan Saryono (dalam Fitrihana 2008) berpendapat tentang model lain yang dapat digunakan
dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup
antara lain model integratif, model komplementif dan
model diskrit. Model integratif yaitu menyatukan
pendidikan kecakapan hidup pada mata pelajaran
maupun ekstra kurikuler yang sudah ada. Model komplementif yaitu menjadikan pendidikan hidup sebagai
satu pelajaran tersendiri yang memerlukan waktu
khusus dalam struktur kurikulum. Model diskrit yaitu
menjadikan pendidikan kecakapan hidup bukan men 30
jadikan pendidikan kecakapan hidup masuk dalam
struktur kurikulum namun dalam jam khusus seperti
kegiatan kokurikuler ataupun ekstra kurikuler tersendiri.
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di
atas, model integratiflah yang paling mungkin diterapkan di MI Miftakhul Huda Bengkal. Hal ini karena
dengan model ini tidak memerlukan waktu khusus
untuk penerapan pendidikan kecakapan hidup, tidak
menambah biaya yang banyak serta tidak perlu merubah kurikulum yang sudah ada. Tetapi tetap saja
model ini membutuhkan kreativitas guru yang banyak
untuk dapat mencari kompetensi kecakapan hidup
yang dapat ditempelkan dalam mata pelajaran yang
ada, kreatifitas mencari metode pembelajaran yang
sesuai sehingga tujuan pembelajaran tercapai, termasuk di dalamnya tujuan pembelajaran life skills.
Ada 3 strategi implementasi pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran yaitu strategi yang
dikemukakan oleh Depag (2005), strategi yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983) dan strategi yang
dikemukakan oleh Arif (1986). Ketiga strategi implementasi pendidikan kecakapan hidup jika dicermati
hampir sama, tetapi ada penekanan yang berbeda dari
ketiganya. Depag lebih menekankan pada pola manajemen sekolahnya, sedangkan Napitupulu terfokus
pada pelaksanaan pembelajaran. Sementara Arif mengembangkan apa yang dikemukakan oleh Napitupulu
31
menjadi
langkah-langkah
yang
lebih
rinci
dalam
mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup.
Strategi yang dijelaskan oleh Depag (2005)
merupakan strategi dalam arti luas yang tidak hanya
strategi untuk mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran namun dijelaskan
pula strategi yang lain di antaranya strategi untuk
memberlakukan
manajemen
berbasis
madrasah,
pengembangan budaya sekolah, membuat hubungan
yang sinergis dengan masyarakat, membuat kurikulum tambahan untuk pendidikan pra vokasional.
Sedangkan strategi untuk mengimplementasikan pendidikan life skill dalam pembelajaran hanya diuraikan
dalam tahap reorientasi pembelajaran.
Tahap reorientasi pembelajaran inilah yang dikhususkan untuk menerapkan pendidikan kecakapan
hidup dalam pembelajaran. Dalam orientasi pembelajaran, sekolah dan guru dituntut melakukan 3 hal di
antaranya (1) menganalisis life skill yang akan dikembangkan, (2) mengembangkan model pembelajaran
yang tepat, (3) penilaian hasil belajar. Reorientasi
pembelajaran ini merupakan ujung tombak dalam
pelaksanaan implementasi pendidikan life skill dalam
pembelajaran karena berhubungan langsung dengan
siswa sebagai objek pelaksanaan program. Kegiatan
reorientasi pembelajaran dapat dilakukan oleh kepala
sekolah, guru atau TPS/M (tim pengembang sekolah
/madrasah) di sekolah yang bersangkutan.
32
Tahap reorientasi pembelajaran sebagai ujung
tombak pelaksanaan implementasi pendidikan life skill
oleh Napitupulu (1983) dijelaskan sebagai siklus sederhana yang terdiri dari tiga tahap yaitu tahap motivasi, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Siklus
yang dikemukakan oleh Napitupulu (1983) merupakan
siklus yang biasa diterapkan di jalur pendidikan non
formal namun bukan tidak mungkin dapat diadopsi
pada pendidikan formal. Adapun penjelasan tiap-tiap
tahap adalah sebagai berikut:
a. Tahap Motivasi
Tahap
motivasi ini meliputi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan untuk memotivasi kelompok sasaran
pendidikan yaitu siswa, guru dan warga masyarakat.
Guru dalam tahap ini berperan sebagai “sutradara”
proses belajar. Tahap motivasi merupakan tahap penciptaan kondisi khususnya di kalangan kelompok
sasaran pendidikan.
Dalam tahap ini merupakan tahap menyiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
program termasuk menyiapkan strategi pelaksanaan
program, kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran juga kesiapan siswa dan wali murid untuk
dapat menerima perubahan dari program baru yang
akan dilaksanakan.
33
b. Tahap Pelaksanaan Program
Dalam tahap ini merupakan inti dari program
yang akan dilaksanakan. Program ini berupa jenis
kegiatan pendidikan yang ditandai oleh kegiatan
“bekerja” dan “belajar” untuk mengejar ketertinggalan
dalam berbagai bidang kehidupan. Pada tahap kedua
ini merupakan pelaksanaan kegiatan proses belajar
mengajar dan proses belajar bekerja dalam kelompok
belajar sebagai realisasi dari tahap motivasi sebagai
tahap perencanaan kegiatan.
c. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tahap ini merupakan tahap evaluasi terhadap
program yang dilaksanakan. Evaluasi yang dilakukan
meliputi kesesuaian pelaksaan program dengan rencana dan ketercapaian tujuan program yang dilaksanakan. Jika pada tahap evaluasi, program ini dirasa
cukup sesuai dengan rencana baik dalam pelaksanaan
maupun pencapaian tujuan maka program ini dapat
dilakukan tindak lanjut.
Tindak lanjut yang dilakukan dengan mengimplementasikan program baru ini ke dalam lingkup
yang lebih luas. Namun jika hasil evaluasi dirasa
belum sesuai rencana atau belum sesuai dengan
tujuan maka perlu merefleksi program yang sudah
dilaksanakan dan perlu membuat rencana lagi untuk
mengimplementasikan sebuah program baru yang
lebih baik.
34
Di samping model sederhana yang diuraikan di
atas,
Arif (1986) memperkenalkan model induktif
dalam pelaksanaan pengembangan kelompok. Model
yang diperkenalkan Arif (1986) merupakan model yang
berbeda
dengan
model
yang
dikemukakan
oleh
Napitupulu (1983) dan reorientasi pembelajaran yang
dikemukakan oleh Depag (2005). Arif (1986) memerinci
tahap
pelaksanaan
yang
dikemukakan
oleh
Napitupulu. Perincian tahap motivasi dibagi menjadi 8
tahap, tahap pelaksanaan menjadi 1 tahap dan tahap
evaluasi dan tindak lanjut dirinci menjadi 2 tahap
sehingga tahap yang dikemukakan oleh Arif (1986)
menjadi 11 tahap dari 3 tahap yang dikemukakan oleh
Napitupulu (1983).
Adapun langkah-langkah implementasi pendidi
kan kecakapan hidup yang disarankan oleh Arif (1986)
dalam pembelajaran dapat dilakukan secara berurutan
berupa suatu daur (siklus) yang diharapkan akan
berkelanjutan, yaitu:
(1) pembentukan panitia perencana di tingkat desa
(lembaga) bagi pendidikan non formal dan pembentukan TPS/M bagi pendidikan formal, (2) mengidentifikasi kebutuhan, minat dan karakteristik
kelompok peserta didik, tujuannya untuk menjadi
bahan dalam penentuan jenis program yang akan
dilaksanakan, (3) merumuskan tujuan belajar yang
diharapkan dan menjadi arah dari setiap kegiatan
belajar yang akan dilaksanakan, (4) memilih isi
program serta metode-metode belajar yang akan
dilakukan dalam proses belajar mengajar, (5) memilih tenaga pendidik/pelatih/fasilitator beserta
sumber belajar yang akan dilaksanakan dalam
proses belajar mengajar bagi pendidikan non formal
35
sedangkan bagi pendidikan formal dapat dilakukan
dengan sosialisasi dan pelatihan bagi guru tentang
pelaksanaan program baru, (6) menyusun rencana
kegiatan, (7) menyusun rencana dana yang diperlukan dalam pelaksanaan program, (8) menyusun
fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk
pelaksanaan program, (9) melaksana kan proses
belajar mengajar dalam kelompok sesuai dengan
rencana belajar yang telah disusun, (10) mengadakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana
tujuan-tujuan belajar yang telah dirumuskan tersebut telah tercapai. Apabila tidak tercapai, faktorfaktor apa yang menghambat terhadap program
tersebut, (11) perencanaan kembali programprogram tersebut. Langkah ini akan dilaksanakan
apabila perancang program menilai bahwa tujuan
belajar telah tercapai, dan perancang program
menyusun kembali program, apakah program
tersebut merupakan program lanjutan dari program
lama atau merupakan program baru sama sekali
sesuai dengan kebutuhan belajar baru dari kelompok sasaran.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa antara Depag
(2005), Napitupulu (1983) dan Arif (1986) memiliki
strategi yang berbeda dalam mengimplementasikan
pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran
namun pada intinya adalah sama yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi. Masingmasing strategi yang telah diuraikan di atas memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Strategi
yang diuraikan Depag memang lengkap tetapi butuh
waktu yang relatif panjang. Mungkin dapat beberapa
tahun untuk mengimplementasikannya karena membutuhkan manajemen yang lebih luas dan tidak hanya
dalam pembelajaran saja melainkan manajemen berbasis madrasah, reorientasi pembelajaran, hubungan
36
yang sinergis antara madrasah dan masyarakat,
pengembangan
budaya
madrasah
dan
kurikulum
untuk pembelajaran pra vokasional. Sementara itu
pendapat dari Napitupulu hanya dalam pembelajaran
dan sangat sederhana. Sedangkan pendapat Arif lebih
luas dari pada pendapat Napitupulu namun rincian
yang dikemukakan arif digunakan untuk pembelajaran non formal yang masih perlu mencari pengajar,
dana dan pembentukan panitia.
Menurut hemat penulis strategi yang paling
tepat untuk mengimplementasikan pendidikan life
skills adalah mengambil strategi Napitupulu namun di
dalamnya terdapat strategi Depag sehingga strateginya
sederhana
tetapi
sudah
mencakup
banyak
hal.
Strategi untuk mengimplementasikan pendidikan life
skills menurut penulis di antaranya adalah langkah
strateginya ada 3 langkah yaitu langkah motivasi,
langkah implementasi, dan langkah evaluasi. Namun
dalam pelaksanaan evaluasi melibatkan wali murid.
Hal ini bertujuan menjalin hubungan yang sinergis
dengan masyarakat. Di samping itu dalam pelaksanaanya banyak melakukan pembiasaan di rumah siswa
maupun di sekolah. Pembiasaan ini bertujuan untuk
mengembangkan budaya sekolah yang baik. Kurikulum ditentukan oleh TPS/M (Tim Pengembang Sekolah/Madrasah). Hal ini bertujuan untuk menuju ke
arah manajemen berbasis masyarakat dan aspek life
skills yang diberikan benar-benar keterampilan bagi
37
siswa yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Adapun
metode implementasinya menggunakan metode integrasi yaitu pemberian pelajarannya ditempelkan pada
sejumlah mata pelajaran tertentu dan tidak berdiri
sendiri sebagai suatu mata pelajaran tersendiri.
2.3 Kesiapan Guru dalam Pembelajaran Arikunto
(1993),
memberikan
arti
terhadap
kesiapan guru sebagai kompetensi guru, sehingga
seorang guru yang berkompetensi berarti guru tersebut memiliki kesiapan yang cukup untuk melaksanakan pembelajaran. Terkait dengan kesiapan seorang
guru dalam mengajar Sudjana (1989) berpendapat
bahwa ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan
guru dalam melaksanakan strategi mengajar. Pertama
adalah tahap mengajar (merencanakan rencana belajar), kedua adalah menggunakan atau pendekatan
mengajar (alat peraga) dan tahap ketiga prinsip mengajar (persiapan mental). Sementara itu Nasution (2003)
membagi kesiapan guru sebagai pengajar dalam tiga
tahap yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengevaluasi pembelajaran.
2.3.1 Kesiapan Merencanakan Pembelajaran
Mempersiapkan diri sebelum mengajar akan
membuat pengajar siap serta penuh percaya diri
untuk memasuki ruangan kelas, karena pengajar
tersebut telah mengetahui cara yang akan digunakan
38
untuk menjelaskan bahan pelajaran. Pada dasarnya
konsep persiapan dalam melaksanakan proses belajar
mengajar adalah konsep yang sangat baik, namun
implementasi dalam proses persiapan ini memerlukan
waktu yang cukup panjang. Kemampuan merencanakan proses belajar mengajar merupakan salah satu
kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
(Hamalik 2001).
Proses belajar mengajar yang baik perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya berlangsung
dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Kesiapan seorang guru dalam merencanakan
pembelajaran khususnya yang berkaitan dengan implementasi pendidikan life skill meliputi mengidentifikasi life skill yang dibutuhkan siswa, menetapkan
tujuan pembelajaran, menentukan strategi dan skenario pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai, menentukan kriteria evaluasi (Hunt
dalam Majid 2005). Menguatkan pendapat Hunt,
Hatimah (2000) menyatakan bahwa peran guru dalam
mengembangkan strategi amat penting karena aktivitas belajar siswa sangat dipengaruhi oleh sikap dan
penyampaian guru. Sementara Mulyasa (2004) menuliskan
bahwa
pengembangan
persiapan
mengajar
harus disesuaikan dengan minat dan perhatian peserta didik terhadap materi yang akan dijadikan bahan
ajar.
39
Agar dapat membuat persiapan mengajar yang
baik, guru dituntut untuk memahami aspek yang
berkaitan dengan pengembangan persiapan mengajar.
Gagne dan Briggs (dalam Majid 2005) menyatakan
bahwa rencana pembelajaran yang baik meliputi 3 hal
yaitu (1) tujuan pembelajaran, (2) materi pembelajaran, bahan ajar, pendekatan dan metode, media
pengajaran, pengalaman belajar dan (3) evaluasi keberhasilan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
unsur-unsur yang harus ada dalam perencanaan pembelajaran adalah: (1) merumuskan tujuan pelajaran
yang hendak dicapai, (2) memilih dan mengembangkan
materi pembelajaran yang dapat digunakan untuk
dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan, (3) merumuskan kegiatan belajar mengajar, (4) merencanakan metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan, (5) merencanakan media dan sumber
belajar, (6) penilaian untuk mengetahui tujuan pembelajaran tercapai atau tidak.
Tujuan pembelajaran merupakan tujuan yang
berbentuk tingkah laku kemampuan yang diharapkan
dapat dilakukan oleh peserta didik setelah proses belajar mengajar (Sudirman dkk. 1991). Sedangkan Bloom
(dalam Usman 1994) menyatakan tujuan pembelajaran
digolongkan dalam 3 ranah yaitu ranah kognitif, afektif
dan psikomotorik. Sementara itu Nasution (2003)
mengemukakan beberapa syarat tujuan pembelajaran
yang baik adalah kata kerjanya hendaknya menunjuk 40
kan perbuatan yang dapat diamati, uraian tentang
stimulus respon siswa, menentukan alat yang digunakan oleh siswa dan penunjukan tentang sifat jawaban
yang diharapkan.
Memilih dan mengembangkan bahan pengajaran
harus dilakukan guru yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik karena dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan bahan pengajaran
yaitu berpedoman pada kurikulum, memilih sesuai
karakteristik siswa serta penyusunan disesuaikan
dengan taraf berfikir siswa (Usman 1994). Sementara
Sagala (2003) menyatakan ada 4 hal yang harus diperhatikan saat menyusun materi pelajaran di antaranya materi hendaknya menunjang tujuan yang hendak
dicapai, materi disesuaikan dengan perkembangan
siswa, materi teorganisir secara sistematik dan berkesinambungan, materi menyangkut hal-hal yang
faktual dan konseptual.
Usman (2004) merumuskan kegiatan belajar
yang meliputi kegiatan menentukan metode, langkah
kegiatan belajar mengajar, merencanakan alat dan
sumber belajar. Kegiatan pembelajaran diarahkan
untuk memberdayakan semua potensi peserta didik
untuk menguasai kompetensi yang diharapkan.
Merencanakan metode pembelajaran yang akan
digunakan. Metode mengajar adalah suatu cara yang
digunakan guru dalam mengorganisasi kelas pada
41
umumnya atau menyajikan bahan pelajaran pada
khususnya (Sagala 2003). Dalam pemilihan metode
mengajar diperlukan adanya pemahaman dan adanya
kesesuaian dengan bahan yang akan diajarkan. Menurut Surakhmad (1979), yang menjadi pertimbangan
utama dalam metode mengajar adalah kesesuaian
metode dengan tujuan pembelajaran, materi pelajaran,
sumber dan fasilitas yang tersedia, kondisi belajar
mengajar, kondisi siswa dan waktu yang tersedia.
Menurut Sanjaya (2011) metode yang dapat
diterapkan dalam mengimplementasi life skill hidup
antara lain metode ceramah, metode demonstrasi,
metode diskusi, metode simulasi. Sedangkan strategi
pembelajaran yang dapat digunakan antara lain strategi ekspositori, strategi inkuiri, strategi pembelajaran
berbasis masalah, strategi pembelajaran peningkatan
kemampuan berpikir, strategi pembelajaran kooperatif,
strategi pembelajaran kontekstual, dan strategi pembelajaran afektif.
Metode dan strategi apapun yang direncanakan
oleh guru hendaknya dapat mengakomodir secara menyeluruh terhadap prinsip prinsip KBM (Majid 2005) di
antaranya: (1) berpusat pada anak didik. Artinya guru
harus memahami antara siswa yang satu dengan
siswa yang lain memiliki karakteristik yang berbeda
dan harus dipahami sebagai individu yang berbedabeda; (2) Belajar dengan melakukan (learning by
doing). Guru harus memberi kesempatan siswa untuk
melakukan apa yang dipelajari sehingga siswa mem 42
peroleh pengalaman nyata; (3) Mengembangkan kemampuan sosial. Hendaknya pembelajaran digunakan
oleh siswa untuk sarana berinteraksi sosial dengan
lingkungan; (4) Mengembangkan imajinasi dan keingintahuan. Guru harus mampu memancing rasa
ingin tahu siswa dan memompa imajinasi siswa untuk
berfikir kritis dan kreatif; (5) Mengembangkan kreativitas dan ketrampilan memecahkan masalah.
Merencanakan media pembelajaran. Media pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan guru ketika
mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mengurangi
verbalisme (Usman 1994). Sesuai dengan fungsinya,
media dapat digunakan untuk membantu memudahkan pemahaman siswa dalam menangkap dan memahami konsep atau materi yang disampaikan. Media
juga dapat menghantarkan siswa ketingkat pemahaman yang lebih tinggi dari pada disampaikan dengan
ceramah atau lisan. Dalam memilih media yang akan
digunakan hendaknya memperhatikan beberapa hal di
antaranya objektivitas, program pengajaran, sasaran
program, situasi dan kondisi, kualitas teknik, efektivitas dan efisiensi media (Sudirman dkk., 1991).
Sementara itu Hoover (dalam Usman 1994)
mengingatkan tentang beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam merencanakan media pembelajaran di antaranya tidak ada peraga yang dianggap
paling baik, alat tertentu dianggap lebih tepat diban 43
dingkan yang lain sehubungan dengan tujuan yang
hendak dicapai, perlu persiapan sebelum menggunakan alat audio visual sehingga dalam pelaksanaan
tidak terganggu persiapan alat.
Merencanakan penilaian siswa. Penilaian adalah
suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan
hasil dari suatu rencana telah sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan (Suwandi 2011). Adapun pentingnya
penilaian
yang
dikemukakan
oleh
Baxter
(dalam
Suwandi 2011) di antaranya untuk membandingkan
siswa satu dengan lainnya, mengetahui apakah tujuan
pembelajaran sudah tercapai, membantu kegiatan
pembelajaran siswa, mengontrol pembelajaran apakah
sudah
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Penilaian
dalam kurikulum berbasis kurikulum (KBK) adalah
penilaian berbasis kelas sedangkan dalam kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah penilaian
kelas. Namun kedua istilah itu secara substansi adalah sama (Suwandi 2011). Penilaian pendidikan life
skills yang digulirkan bersama KBK juga dapat dilakukan dengan penilaian kelas.
Penilaian kelas dapat dilakukan dengan tes
dapat pula dilakukan dengan non tes. Penilaian non
tes yang dapat dilakukan dalam implementasi pendidikan kecakapan hidup antar lain penilaian kinerja,
penilaian sikap, penilaian proyek, penilaian produk,
penilaian portofolio dan penilaian diri. Dalam evaluasi
keberhasilan pendidikan life skills dalam pembelajaran, sistem penilaian yang banyak digunakan adalah
44
jenis
penilaian
non
tes
walaupun
bukan
tidak
mungkin penilaian tes juga dapat dilakukan. Penilaian
dapat dilakukan di awal pelajaran, selama proses atau
di akhir pelajaran (Sudirman 1991).
Dari beberapa uraian di atas maka dapat diketahui bahwa pembuatan rencana pembelajaran mutlak
diperlukan untuk mengetahui keberhasilan suatu
pembelajaran. Dalam integrasi pendidikan life skills ini
dokumen yang sangat dominan diperlukan adalah
rencana pelaksanaan pembelajaran yang didalamnya
mengacu segala hal yang akan dilakukan saat pembelajaran di antaranya tujuan pembelajaran. Dalam
tujuan pembelajaran harus ada dengan jelas aspek life
skills yang akan dicapai disamping tujuan pembelajaran yang sudah tercantum dalam standar isi. Selain
tujuan pembelajaran, bahan pelajaran seperti sumber
belajar, media, dan metode juga harus disesuaikan
dengan tujuan pembelajarannya.
Dalam pendidikan life skills sumber belajar tidak
mutlak dari guru atau buku tetapi lebih diarahkan
untuk lebih memanfaatkan lingkungan alam sekitar
siswa sehingga siswa menjadi terbiasa untuk memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya dan lingkungannya untuk hal yang berguna. Dengan begitu tentu
metode yang tepat dalam pembelajarannya adalah
metode kontekstual yang dapat digali dari pengalaman
dan lingkungan siswa di samping itu untuk media
45
pembelajarannya dapat beragam dan tidak hanya
menggunakan papan tulis dan kapur saja.
Teknik evaluasi yang digunakan dalam pendidikan life skills menurut penulis adalah teknik evaluasi non tes terutama unjuk kerja. Evaluasi ini perlu
melibatkan orang tua di rumah. Inilah yang membedakan antara pembelajaran biasa dengan pembelajaran yang terintegrasi life skills yaitu jika pada pembelajaran biasa teknik evaluasi hanya dari guru saja dan
biasanya lebih banyak aspek kognitif tetapi dalam
pembelajaran life skills evaluasi tidak hanya guru yang
terlibat tetapi orang tua juga ikut terlibat dalam proses
penilaian. Sehingga dalam penelitian ini teknik evaluasi bersama orang tua menjadi hal baru yang perlu
sosialisasi dan pengertian dari orang tua.
2.3.2 Kesiapan Melaksanakan Pembelajaran
Usman
(1994)
mengemukakan
pelaksanaan
pembelajaran mengikuti prosedur memulai pembelajaran, mengelola kegiatan belajar mengajar, mengorganisasi waktu, siswa dan fasilitas belajar, melaksanakan evaluasi dan mengakhiri pelajaran. Dari uraian
di atas pelaksanaan pembelajaran dapat dikelompokkan dalam 3 tahap yaitu membuka pelajaran, menyampaikan materi pelajaran dan menutup pelajaran.
a. Membuka Pelajaran
Membuka pelajaran dimaksudkan untuk memotivasi siswa, memusatkan perhatian dan mengetahui
46
kemampuan siswa berkaitan dengan bahan yang akan
dipelajari (Majid 2005). Membuka pelajaran menurut
Majid (2005) meliputi 2 cara yaitu melaksanakan
persepsi atau melakukan pretes untuk mengetahui
kemampuan awal siswa dan dilanjutkan motivasi
untuk menciptakan kondisi awal siswa mengikuti
pelajaran. Sedangkan menurut Usman (1994) memulai
pelajaran ada 4 cara yaitu menarik perhatian siswa,
memotivasi siswa, mengemukakan tujuan pembelajaran, membuat kaitan antara pengalaman siswa dengan
materi yang akan disampaikan.
b. Menyampaikan Materi Pelajaran
Menyampaikan
materi
pelajaran
merupakan
kegiatan inti untuk menanamkan, mengembangkan
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang berkaitan
dengan bahan kajian yang bersangkutan (Majid 2005).
Dalam menyampaikan materi pembelajaran Usman
(1994)
memberikan
rambu-rambu
di
antaranya:
(1) bahan yang disampaikan benar, (2) penyampaiannya lancar, (3) penyampaian sistematis, (4) mudah
dime ngerti oleh siswa, (5) memberi contoh yang tepat.
Menyampaikan materi pelajaran tidak bisa lepas
dengan pengelolaan kelas. Berkaitan dengan pengelolaan kelas, Usman (1994) mengingatkan beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu: (1) mengatur tempat
duduk sesuai strategi yang digunakan, (2) menentukan alokasi waktu pembelajaran, (3) menentukan cara
47
mengorganisasi murid yang terlibat aktif dalam proses
pembelajaran. Sementara Mulyasa (2004) menyebutkan 7 hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
kelas antara lain mengatur ruang kelas, mengatur
sarana belajar, mengatur susunan tempat duduk
siswa, penerangan ruang kelas yang cukup, pengaturan suhu ruangan, melakukan pemanasan sebelum
pelajaran dan bina suasana saat pembelajaran.
c. Menutup Pembelajaran
Menurut Majid (2005) kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang memberikan penegasan atau
kesimpulan dan penilaian terhadap penguasaan bahan
kajian yang diberikan pada kegiatan inti. Sementara
Usman (1994) berpendapat bahwa kegiatan menutup
pelajaran adalah adalah kegiatan yang dilakukan oleh
guru untuk mengakhiri kegiatan belajar mengajar.
Kegiatan yang harus dilaksanakan guru dalam
kegiatan menutup pelajaran menurut Majid (2005)
meliputi:
(1) melaksanakan penilaian akhir, (2) melaksanakan kegiatan tindak lanjut dan alternatif kegiatan
seperti pemberian tugas, pekerjaan rumah dan
pemberian motivasi, (3) mengakhiri proses pembelajaran dan menyampaikan materi yang akan disampaikan pada pertemuan yang akan datang.
Sedangkan menurut Usman (1994) dalam menutup pembelajaran guru perlu melakukan beberapa hal
di antaranya:
48
(1) merangkum materi yang baru saja dibahas,
(2) memotivasi siswa pada hal-hal tertentu sehingga siswa berminat pada materi selanjutnya,
(3) mengorganisasi semua kegiatan yang telah dipelajari, (4) memberikan saran agar materi jangan
dilupakan dan diterapkan dalam kehidupan seharihari.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
kegiatan menutup pelajaran terdiri dari kegiatan
memberikan simpulan, penguatan dan memberikan
tugas. Membuat kesimpulan merupakan komponen
strategi yang memuat semua bagaian sisi pelajaran
yang penting yang berupa pengertian singkat dari
konsep, prosedur atau prinsip yang baru dipelajari.
Pemberian kesimpulan dimaksudkan agar siswa lebih
mudah mencerna ide-ide pokok dari isi mata pelajaran
yang diajarkan. Penguatan diberikan untuk memperjelas materi yang telah diberikan dan memberikan
kesan yang mendalam kepada peserta didik. Pemberian tugas merupakan suatu metode dalam proses
belajar mengajar sebagai bentuk pengalaman belajar.
Metode tugas adalah cara mengajar dengan pemberian
tugas kepada siswa dalam bentuk pekerjaan rumah,
dan membuat tugas keterampilan tertentu.
Dalam pembelajaran life skills hal penting yang
harus diperhatikan guru menurut penulis antara lain
materi yang digunakan untuk menyampaikan aspek
life skills harus benar-benar materi yang tidak asing
bagi siswa atau dengan materi yang sehari-hari dapat
ditemui di lingkungan siswa sehingga siswa akan
49
mampu memanfaatkan lingkungannya baik lingkungan sosial maupun alam untuk kehidupannya.
2.3.3 Kesiapan Mengevaluasi Pembelajaran
Penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengukur keberhasilan mencapai tujuan (Sudirman, 1991).
Evaluasi atau penilaian merupakan kegiatan yang
harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam serangkaian kegiatan pembelajaran. Beberapa hal yang harus
disiapkan oleh guru dalam mengevaluasi pembelajaran
menurut Suwandi (2011) adalah penetapan indikator
pencapaian hasil belajar, penetapan teknik penilaian,
menginterpretasi hasil penilaian.
a. Penetapan Indikator Pencapaian Hasil Belajar
Indikator merupakan ukuran, karakteristik, ciriciri yang menunjukan ketercapaian suatu kompetensi
dasar (Suwandi 2011). Indikator dirumuskan dengan
kata kerja operasional yang dapat diukur. Indikator
dikembangkan oleh guru dengan memperhatikan perkembangan dan kemampuan peserta didik. Setiap
kompetensi dasar dapat dikembangkan menjadi dua
atau lebih indikator pencapaian hasil belajar tergantung kedalaman kompetensi dasar tersebut. Indikator
dari kompetensi dasar inilah yang digunakan sebagai
acuan dalam melakukan penilaian.
50
b. Penetapan Teknik Penilaian
Dalam memilih teknik penilaian, Suwandi (2011)
menyarankan guru harus memperhatikan beberapa
hal di antaranya:
(1) Apabila tuntutan indikator melakukan sesuatu
maka teknik penilaiannya adalah unjuk kerja;
(2) Apabila indikator berkaitan dengan pemahaman konsep maka teknik penilaiannya adalah
tertulis; (3) Apabila indikatornya adalah memuat
unsur penyelidikan maka penilaiannya adalah
penilaian proyek.
c. Interpretasi Hasil Penilaian
Penilaian dapat dilakukan pada saat pelajaran
berlangsung atau pada akhir pembelajaran. Sebuah
indikator dapat dijaring dengan beberapa soal dan
tugas. Kriteria ketuntasan belajar tiap indikator dalam
setiap kompetensi dasar (KD) ditetapkan antara 0%
sampai 100%. Kriteria ideal untuk tiap indikator
adalah lebih dari 60%, tetapi sekolah dapat menentukan sendiri kriteria ketuntasan belajar disesuaikan
dengan
kondisi
sekolah
masing-masing
(Suwandi
2011).
Apabila pencapaian nilai oleh peserta didik sama
atau lebih besar dari kriteria ketuntasan minimal
maka dapat dikatakan peserta didik telah menuntaskan indikator tersebut. Bila semua indikator sudah
dituntaskan maka peserta didik dikatakan sudah menuntaskan satu kompetensi dasar dan dapat melanjutkan ke kompetensi dasar berikutnya. Bila ketuntas 51
an semua indikator belum mencapai lebih 50% maka
peserta didik belum dapat melanjutkan ke kompetensi
dasar berikutnya (Suwandi 2011).
Jadi
dalam
pembelajaran
life
skills
teknik
penilaian yang paling tepat menurut penulis adalah
dengan penilaian unjuk kerja karena aspek life skills
yang diharapkan merupakan bentuk tindakan nyata
yang diharapkan dilakukan oleh siswa. Dengan unjuk
kerja, siswa diminta melakukan sesuatu sehingga
walaupun awalnya tindakan siswa itu dipaksakan
namun lama-lama akan biasa dilakukan oleh siswa
walaupun tanpa disuruh oleh guru maupun orang tua
karena siswa merasa butuh dan merasakan manfaat
dari tindakan pembiasaan itu.
2.4 Kendala Implementasi Life Skills
Dalam implementasi sebuah program baru tentu
menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang
dihadapi saat mengimplementasikan pendidikan life
skill di antaranya kendala yang dialami Khasanah
(2006)
saat
mengimplementasikan
life
skill
pada
Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang yaitu kurangnya
kemampuan pendidik dalam menyiapkan pendidikan
life skill dan juga keterbatasan sarana dan prasarana
dalam memfasilitasi pembelajaran yang berorientasi
life skill. Kendala yang hampir sama juga dialami oleh
Hasbullah (2008) saat mengimplementasikan life skill
bagi remaja putus sekolah di Bandung yaitu keterba 52
tasan sarana, kurang kemampuan pendidik, dan keterbatasan waktu. Kurangnya pemahaman guru, alokasi waktu yang minim, materi yang banyak dan
minimnya sosialisasi serta monitoring evaluasi merupakan kendala yang dialami Suryadi (2011) saat
mengimplementasikan pelajaran sejarah di sebuah
SMA di Klaten.
Dari beberapa uraian tentang kendala yang
dialami dalam mengimplementasikan pendidikan life
skills meskipun agak berbeda tetapi ada hal yang
dominan yaitu keterbatasan kemampuan tenaga pendidik baik itu dalam persiapan pembelajaran atau saat
implementasi pembelajaran. Di samping itu keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi kendala
dalam setiap implementasi life skills. Dalam pembelajaran waktu dan materi juga menjadi kendala yaitu
materi yang banyak dengan waktu yang relatif sedikit
sehingga menjadikan pembelajaran life skills belum
mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari berbagai hambatan atau kendala yang terjadi dalam implementasi life skills sebagai seorang
manajer, kepala sekolah atau madrasah tentunya
harus mempunyai langkah-langkah yang jitu untuk
menanggulangi permasalahan yang ada. Langkahlangkah yang dapat dilakukan kepala sekolah sebagai
seorang manajer dapat memanfaatkan fungsi manajemen yang pertama yaitu sebelum implementasi perlu
perencanaan yang matang dengan memberdayakan
53
semua sumber yang ada untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Misalnya
menanggulangi
keterbatasan
pendidik, dalam perencanaan perlu dilakukan prioritas peningkatan kualitas guru seperti pelatihan atau
studi banding ke sekolah yang sudah lebih dulu
mengimplementasikan pendidikan life skills.
Untuk menanggulangi keterbatasan sarana dan
prasaran
yang
digunakan
sebelum
pelaksanaan
program perlu dimanfaatkan fungsi manajemen yang
kedua yaitu pengorganisasian. Jika memang sarana
dan prasaran kurang memadahi perlu dilakukan pengorganisasian untuk memanfaatkan sarana yang ada
dulu semaksimal mungkin dengan materi yang sesuai
dengan sarana yang ada. Materi atau kurikulum tidak
perlu terlalu banyak tetapi dapat sesuai dengan lingkungan
siswa.
Sedangkan
untuk
menanggulangi
minimnya evaluasi, kepala sekolah perlu berkoordinasi
dengan instansi di atasnya untuk melakukan monitoring secara berkala sehingga instansi di bawahnya
menjadi lebih semangat dalam mengimplementasikan
pendidikan life skills.
2.5 Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Program Pendidikan
Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran
adalah kepemimpinan yang menekankan pada komponen-komponen yang terkait erat dengan pembelajaran, meliputi kurikulum, proses belajar mengajar,
54
penilaian, pengembangan guru, layanan prima dalam
pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di
sekolah. Tujuan utama kepemimpinan pembelajaran
adalah memberikan layanan prima kepada semua
siswa agar mereka mampu mengembangkan potensi,
bakat, minat dan kebutuhannya.
Kepemimpinan pembelajaran ditujukan juga
untuk memfasilitasi pembelajaran agar siswa meningkatkan prestasi belajarnya, kepuasan belajar semakin
tinggi, motivasi belajar semakin tinggi, keingintahuan
terwujudkan, kreativitas terpenuhi, inovasi terealisir,
jiwa kewirausahaan terbentuk, dan kesadaran untuk
belajar sepanjang hayat karena ilmu pengetahuan dan
teknologi serta seni berkembang dengan pesat tumbuh
dengan baik. Kepemimpinan pembelajaran jika diterapkan di sekolah akan mampu membangun komunitas belajar warganya dan bahkan mampu menjadikan
sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school).
Sekolah belajar memiliki perilaku-perilaku di
antaranya memberdayakan warga sekolah seoptimal
mungkin, memfasilitasi warga sekolah untuk belajar
terus dan belajar ulang, mendorong kemandirian
setiap warga sekolahnya, memberi kewenangan dan
tanggung jawab kepada warga sekolahnya, mendorong
warga
sekolah
untuk
mempertanggung
jawabkan
proses dan hasil kerjanya, mendorong teamwork yang
kompak, cerdas, dinamis, harmonis, dan lincah/cepat
tanggap terhadap pelanggan utama yaitu siswa, meng 55
ajak warga sekolahnya untuk menjadikan sekolahnya
berfokus pada layanan prima kepada siswa, mengajak
warga sekolahnya untuk siap dan akrab menghadapi
perubahan, mengajak warga sekolahnya untuk berpikir sistematis, mengajak warga sekolahnya untuk
komit terhadap keunggulan mutu, dan mengajak
warga sekolahnya untuk melakukan perbaikan secara
terus-menerus.
Dalam mengimplementasikan sebuah program
baru, kepala sekolah dituntut untuk mampu melaksananakan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi
perencanaan program, mengorganisasai program yang
akan dilaksanakan serta melakukan evaluasi dan
tindak lanjut terhadap program yang telah dilaksanakan. Jika program sesuai perencanaan maka tindak
lanjutnya dapat melanjutkan program yang sudah dilaksanakan tanpa harus merubah lagi dan tantangannya adalah meningkatkan jika program yang bersangkutan sudah berjalan tetapi jika sebuah program baru
yang baru diuji coba maka tindak lanjutnya adalah
melaksanakan program dalam skala besar atau dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah. Sebaliknya jika
program yang dilaksanakan kurang sesuai dengan
rencana maka tindak lanjutnya perlu menganalisis
apa penyebab ketidaksesuaian antara perencanaan
dengan pelaksanaan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional
(Depdiknas 2006), terdapat tujuh peran utama kepala
sekolah yaitu, sebagai (1) educator (pendidik), (2) ma 56
najer, (3) administrator, (4) supervisor (penyelia),
(5) leader (pemimpin), (6) pencipta iklim kerja, dan
(7) wirausahawan.
Peran pertama yaitu kepala sekolah sebagai
educator (pendidik). Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di
sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen
tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum
dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu
saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi
yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa
berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru
dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
Kepala sekolah sebagai manajer pendidikan
artinya dalam mengelola tenaga kependidikan, salah
satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah
adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan
pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini,
kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan
memberikan kesempatan yang luas kepada para guru
untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan
profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan
pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti
MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi
profesional dan sebagainya, atau melalui kegiatan
57
pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti
kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti
berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan
pihak lain.
Sedangkan kepala sekolah sebagai administrator, khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa
besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi
terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh
karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
Peran kepala sekolah sebagai supervisor adalah
untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah
perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat
dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk
mengamati proses pembelajaran secara langsung,
terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode,
media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam
proses pembelajaran (Mulyasa 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan
guru
dalam
melaksanakan
pembelajaran,
tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangku
tan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan
tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahan 58
kan keunggulannya dalam melaksana kan pembelajaran.
Peran kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
berkaiatan erat dengan gaya kepemimpinan kepala
sekolah. Setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru,
seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya
kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel,
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan
kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai
pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai
berikut: (1) jujur, (2) percaya diri, (3) tanggung jawab,
(4) berani mengambil resiko dan keputusan, (5) berjiwa
besar, (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (Mulyasa
2004).
Peran selanjutnya adalah peran kepala sekolah
sebagai pencipta iklim kerja karena iklim yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi
untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang
disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya.
Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya
dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut
(Sudrajat 2008):
59
(1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan
dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru
sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja,
para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu
diberitahu tentang hasil dari setiap pekerjaannya,
(4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman,
namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan,
(5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosiopsiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan
Peran kepala sekolah terakhir adalah sebagai
wirausahawan artinya dalam menerapkan prinsipprinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya
dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala
sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan
berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif
di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal
yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa
beserta kompetensi gurunya.
Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai
kepala madrasah sehingga dalam setiap kegiatan
selalu berkoordinasi dengan kepala madrasah. Peran
kepala madrasah dalam implementasi pendidikan life
skills di antaranya berperan sebagai edukator (pendidik) yaitu memberikan bimbingan kepada guru untuk
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi pendidikan life skills. Peran yang lain adalah
sebagai manajer yang bertanggung jawab atas semua
60
program kegiatan implementasi life skills termasuk
melakukan evaluasi setelah program dilaksanakan.
Peran selanjutnya adalah sebagai supervisor (penyelia)
yaitu melakukan supervisi atau observasi terhadap
persiapan maupun pelaksanaan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru disamping itu juga siap membimbing saat guru membutuhkan bimbingan saat persiapan maupun pelaksanaan implementasi life skills.
Peran kepala selanjunya dalam penelitian ini
adalah peran sebagai wira usaha yaitu ketika menyajikan sebuah program baru hendaknya yang mendatangkan keuntungan atau diminati konsumen. Konsumen yang dimaksud adalah wali murid. Jika dengan
program baru ini wali murid keberatan maka program
baru ini tidak perlu dilanjutkan namun jika wali murid
tidak keberatan dan mendukung maka ini merupakan
suatu cara untuk menarik minat konsumen atau
orang tua siswa yang belum menyekolahkan anaknya
di sekolah yang bersangkutan menjadi tertarik untuk
menyekolahkan
anaknya
di
MI
Miftakhul
Huda
Bengkal.
2.6 Tindakan
Implementasi
Pendidikan
Life Skills dalam Pembelajaran
Beberapa strategi implementasi yang sudah
diuraikan pada sub bab sebelumnya dapat dijadikan
dasar dalam implementasi pendidikan life skills yang
61
akan dilaksanakan oleh peneliti. Tindakan dalam
penelitian ini antara lain menggunakan 3 tahap strategi implementasi yaitu tahap motivasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Sedangkan model implementasinya adalah model integratif yaitu menempelkan aspek life skills ke dalam mata pelajaran yang
sudah ada tanpa menambah jam pelajaran serta tanpa
merubah struktur kurikulum. Kurikulumnya ditempelkan pada kurikulum yang sudah ada.
62
Download