Penilaian Ekonomi Ganti Rugi Lahan Pada

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,
dimana hampir semua aktifitas ekonomi dipusatkan di Jakarta. Hal ini secara tidak
langsung menjadi daya tarik masyarakat untuk mencari nafkah dan tinggal di
Jakarta, sehingga menimbulkan banyak persoalan antara lain masalah urbanisasi,
kemacetan, konversi lahan, banjir, dan kerusakan lingkungan.
Sekitar 40 % atau ± 24 000 ha dari seluruh wilayah DKI Jakarta adalah
dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut (Firman et al. 2010).
Dataran yang rendah ini dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa.
Ketiga belas sungai tersebut adalah S. Mookervaart, S. Angke, S. Pesanggrahan,
S. Grogol, S. Krukut, S. Baru Barat, S. Ciliwung, S. Baru Timur, S. Cipinang, S.
Sunter, S. Buaran, S. Jati Keramat dan S. Cakung. Saat ini Jakarta merupakan
kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus
bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia.
Jumlah penduduk Jakarta tahun 2010 sebesar 9 588 198 jiwa (BPS 2010). Data
statistik Dinas Kependudukan DKI Jakarta pada Maret tahun 2011 menunjukkan
bahwa rata-rata kepadatan penduduk Jakarta adalah 13 995 orang/km 2, sementara
luas Jakarta hanya 661.52 km2. Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota terpadat
di Indonesia atau ke empat di dunia1.
Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi ini menimbulkan tekanan pada
lingkungan hidup Jakarta yang semakin lama semakin berat. Perpaduan antara
1
http://www.koleksiweb.com/opini-n-note/10-kota-terpadat-di-dunia-termasuk-jakarta.html diakses 26 Januari
2011
1
kondisi topografi yang rendah dan dialiri oleh banyak sungai serta semakin
rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan
Jakarta semakin lama semakin rentan terhadap ancaman bencana banjir.
Perkembangan penduduk yang pesat di DKI Jakarta memberikan konsekuensi
terjadinya alih fungsi lahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti fungsi
perumahan, perdagangan dan industri. Luas ruang terbuka hijau (RTH) DKI
Jakarta tahun 2007 diperkirakan tersisa 6.2 % karena semua ruang tersisa sudah
dikonversi atau dikomersialisasi. Hal ini berdampak pada menurunnya daya resap
air oleh tanah ketika turun hujan. Ekstraksi air tanah di Jakarta semakin tidak
terkendali. Batas pengambilan air bawah tanah Jakarta hanya berkisar 186.2 juta
m3/tahun. Namun, volume air tanah yang diambil mencapai 251.8 juta m3 per
tahun. Defisit pengambilan air tanah telah mencapai 66.6 juta m3/tahun2.
Banyaknya air yang diekstraksi dari dalam tanah dan minimnya air yang terserap
ke dalam tanah akibat minimnya RTH menyebabkan timbulnya ruang kosong. Hal
ini semakin ditambah dengan gedung-gedung tinggi yang membuat penurunan
permukaan tanah di Jakarta berlangsung cepat.
Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran
permukaan (run-off) (Kodoatie dan Sjarief 2008). Lahan terbuka digantikan oleh
rumah dan bangunan. Tanah yang tersisa pun ditutupi oleh jalan aspal atau
pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air. Air hujan yang tidak
terserap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, selanjutnya
dialirkan ke laut sesuai kapasitas sungai-sungai yang ada dalam menampung air.
Curah hujan yang tinggi tidak dapat tertampung, sehingga menjadi banjir.
2
http://megapolitan.kompas.com/Banjir.Jakarta.Kurang.Ruang.Terbuka.Hijau.htm diakses tanggal 26 Januari 2011
2
Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di
wilayah Jakarta. Selain itu volume sampah yang tinggi yang membuat sungaisungai menjadi tersumbat dan dangkal.
Menurut UNDP dalam Marschiavelli (2008) terdapat korelasi yang sangat
kuat antara peningkatan jumlah penduduk dengan tingkat kerusakan akibat
bencana. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman
kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam itu banyak dibangun
di bantaran sungai sehingga menimbulkan penyempitan sungai-sungai di Jakarta.
Bila hujan deras turun di hulu atau pun di Jakarta, volume air akan meningkat
tinggi sehingga tidak dapat tertampung oleh sungai-sungai yang telah mengalami
penyempitan akibat berdirinya pemukiman kumuh. Hal ini mengakibatkan
pengaliran air ke laut terhambat lalu banjir pun terjadi. Perilaku warga yang sering
membuang sampah ke sungai juga memicu pendangkalan sungai yang dapat
mengakibatkan banjir. Hal tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap
terjadinya banjir di Jakarta. Menurut Rashed and Weeks dalam Marschiavelli
(2008) kerentanan merupakan fungsi dari kebiasaan manusia, yang menjelaskan
bagaimana aset fisik dan karakteristik sosial ekonomi di daerah perkotaan baik
yang rentan atau tahan terhadap dampak bencana. Kerentanan bervariasi antara
ruang dan waktu karena selalu berubah oleh aktivitas manusia, pengetahuan, dan
sosial capital (Marschiavelli 2008).
Terdapat banyak tindakan struktural dan non struktural yang dapat
diterapkan untuk mengurangi dampak dari bencana banjir, seperti pembuatan
tanggul atau bendungan, early warning system, peramalan banjir, dan peraturan
penggunaan lahan (Marschiavelli 2008). Penanganan banjir di DKI Jakarta telah
3
berlangsung lama mulai dari masa kolonial Belanda yang membangun banjir
kanal barat (BKB) sepanjang 17.5 km. Saat itu kanal ini cukup mampu mengatur
air yang masuk ke Kota Batavia dan menampung air S. Ciliwung, S. Cideng, S.
Krukut, dan S. Grogol. Setelah pembangunan BKB pemerintah DKI pun
membangun banjir kanal timur (BKT) yang direncanakan dapat menampung
aliran S. Ciliwung, S. Cililitan, S. Cipinang, S. Sunter, S. Buaran, S. Jati Kramat,
dan S. Cakung3. Selain banjir kanal solusi untuk menanggulangi banjir seperti
rencana pembangunan waduk, pembangunan polder, perbaikan drainase,
pompanisasi, dan normalisasi sungai.
Umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan
perbaikan penampang sungai atau disebut dengan normalisasi. Perbaikan sungai
yang dilakukan umumnya dengan melebarkan atau memperdalam (pengerukan)
sungai (Kodoatie dan Sjarief 2008). Lima sungai makro yang tersebar di wilayah
DKI Jakarta akan dilebarkan tahun 2011 untuk mengatasi banjir di ibukota.
Kelima sungai itu yakni, S. Sunter, S. Pesanggrahan, S. Krukut, S. Cipinang, dan
S. Grogol. Pelebaran ke lima sungai makro itu, tidak sepenuhnya dilakukan
Pemprov DKI Jakarta, sebab empat diantaranya menjadi kewenangan pemerintah
pusat. Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki kewenangan melebarkan satu sungai
yakni, S. Grogol. Namun, pembebasan lahan untuk keperluan pelebaran sungai
tetap menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta4.
Pelebaran sungai tergantung dari tata guna lahan di sekitarnya. Apabila
sudah dipadati penduduk maka masalah utama yang terjadi adalah pembebasan
lahan. Semakin padat penduduk dan semakin strategis lokasinya, biaya
3
4
http:/www.wikipedia.com/BANJIR/Banjir_Kanal_Jakarta.htm diakses 26 Januari 2011
http://www.primaironline.com/berita/sosial/pelebaran-5-sungai-makro-di-jakarta-dilakukan-2011 diakses 27 Januari 2011
4
pembebasan akan semakin mahal (Kodoatie dan Sjarief 2008). Pelebaran sungai
tentunya akan menggusur pemukiman-pemukiman yang berdiri di sepanjang
bantaran sungai. Masalah yang sampai saat ini menghambat pelaksanaan
normalisasi sungai adalah masalah ganti rugi lahan. Hal ini karena sulitnya untuk
mencapai kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah dalam menentukan
besaran ganti rugi.
1.2.
Perumusan Masalah
Jakarta adalah wilayah yang tak pernah lepas dari bencana banjir. Musibah
banjir sering terjadi di kawasan ini akibat meluapnya sungai. Keberadaan
pemukiman di sepanjang sungai memberikan dampak yang cukup besar terjadinya
banjir. Hal tersebut membuat sungai menjadi dangkal dan semakin sempit,
sehingga dapat mengganggu aliran air. Dampak terburuk dari banjir saat ini
adalah cenderung terjadi pada orang-orang yang memiliki kerentanan tinggi baik
secara sosial ekonomi dan lingkungan tempat tinggalnya. Terutama penduduk
yang tinggal di daerah kumuh, di sepanjang tepi sungai, kawasan rawan banjir,
dan masyarakat yang tergolong memiliki penghasilan yang rendah (Marschiavelli
2008).
Daerah atau lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air
kini telah berubah fungsi menjadi lahan pemukiman. Hal ini menyebabkan
penyempitan bantaran sungai. Ketika, suatu kawasan berubah menjadi
pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup
lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran air (Kodoatie dan
Sjarief 2008). Pembangunan pemukiman yang menjorok ke arah sungai dengan
ditopang tiang-tiang penyangga menyebabkan sampah tersangkut, sehingga ketika
5
hujan air tidak dapat mengalir dengan baik. Air hujan yang tidak dapat diserap
akhirnya mengalir langsung ke sungai. Hal ini menyebabkan sungai tidak dapat
menampung jumlah volume air, akhirnya air sungai meluap dan menyebabkan
banjir pada daerah pemukiman sekitarnya.
Kondisi sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, harus
segera dikembalikan seperti kondisi semula bahkan kapasitas sungai harus
ditingkatkan. Pengerukan dan pelebaran sungai harus segera dilaksanakan untuk
mengurangi resiko terjadinya banjir. Pengerukan adalah proses mengeluarkan
lumpur dari dalam dan sisi saluran sungai. Pengerukan sungai dilakukan untuk
meningkatkan aliran air dengan meningkatkan kedalaman, memperlebar, dan
meluruskan saluran. Pengerukan dilakukan terhadap sungai yang mengalami
pendangkalan akibat sedimen yang tinggi, sampah, dan tidak teraturnya bentuk
dari alur sungai, sehingga sungai tidak mampu lagi mengalirkan debit air
(Masyhuri 2007).
Pemerintah dalam hal ini melakukan beberapa usaha untuk penanganan
banjir salah satunya adalah program normalisasi sungai meliputi pengerukan dan
pelebaran. Beberapa sungai di Jakarta yang akan dinormalisasi adalah S.
Pesanggrahan, S. Sunter, S. Krukut, S. Cipinang, S. Grogol. Salah satu daerah
yang akan terkena normalisasi adalah Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, dan
Kelurahan Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dua kelurahan ini
merupakan salah satu wilayah yang sering dilanda banjir akibat meluapnya Sungai
Krukut. Program normalisasi sungai akan menyebabkan penggusuran terhadap
pemukiman yang berada disepanjang bantaran sungai. Akan tetapi permasalahan
yang terjadi hingga saat ini adalah ganti rugi lahan. Selama ini lahan di sepanjang
6
bantaran sungai dijadikan tempat pemukiman bagi masyarakat. Masyarakat tidak
mau tempat tinggalnya digusur karena warga merasa tempat tinggal mereka
selama ini dekat dengan tempat mata pencahariannya. Sulitnya menentukan
kesepakatan terkait besaran ganti rugi yang harus dibayarkan pemerintah kepada
masyarakat, menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan normalisasi sungai.
Padahal
program
normalisasi
sungai
harus segera
dilaksanakan
untuk
menanggulangi banjir. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut maka
perumusan masalah penelitian antara lain:
1. Bagaimana gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut di
Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang?
2. Bagaimana persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang
terhadap program normalisasi Sungai Krukut?
3. Berapa besarnya nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat terhadap
tanah dan bangunan yang terkena program normalisasi sungai dan faktorfaktor yang mempengaruhinya?
1.3
1.
Tujuan Penelitian
Mengkaji gambaran desain dan manfaat normalisasi Sungai Krukut di
Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang.
2. Mengkaji persepsi masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela Mampang
terhadap program normalisasi Sungai Krukut.
3.
Mengestimasi besarnya nilai ganti rugi yang bersedia diterima masyarakat
terhadap tanah dan bangunan yang terkena program normalisasi Sungai
Krukut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
7
1.4.
1.
Manfaat Penelitian
Akademisi dan peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap disiplin
keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan.
2.
Pemerintah DKI Jakarta sebagai bahan masukan dalam menetapkan kebijakan
mengenai normalisasi sungai khususnya masalah biaya ganti rugi lahan.
3.
Masyarakat luas, khususnya masyarakat Kelurahan Petogogan dan Pela
Mampang agar lebih mengedepankan permasalahan lingkungan dalam
kehidupan mereka.
1.5.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Petogogan, Kebayoran Baru, dan
Kelurahan Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Penelitian ini
difokuskan pada masyarakat sekitar Sungai Krukut yang terkena dampak program
normalisasi sungai. Program pelebaran sungai menyebabkan masyarakat yang
tinggal di bantaran sungai harus meninggalkan tempat tinggalnya. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui gambaran normalisasi Sungai Krukut, mengkaji
persepsi masyarakat yang terkena dampak normalisasi sungai, dan mengestimasi
nilai ganti rugi tanah dan bangunan yang terkena dampak normalisasi.
8
Download