BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam setiap periode sejarah, masing-masing memiliki corak
perkembangan
pemikiran
dan
filosofi
hidup
yang
berbeda-beda
yang
dikembangkan secara turun-temurun, termasuk bagaimana manusia membangun
konsep hubungan antarsesama. Konsep hubungan antarmanusia yang tumbuh
disetiap kelompok masyarakat memiliki corak yang berbeda pula, karena manusia
memiliki banyak kearifan yang kaya dengan perbedaan. Banyaknya konsep yang
muncul akan menambah pemahaman manusia tentang, bagaimana membangun
hubungan antar sesama, demi sebuah hubungan yang lebih berkualitas.
Dunia modern yang merupakan simbol majunya pemikiran manusia dewasa
ini, seharusnya juga menjadi tonggak kemanusiaan dalam membangun relasi yang
jauh lebih baik lagi. Hal tersebut justru sangat jauh dari harapan jika melihat
kondisi kemanusiaan yang hadir di tengah masyarakat modern, masyarakat yang
memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dari masyarakat yang hidup di era pramodern. Telah tercatat dalam lembaran sejarah, bahwa kondisi hubungan
antarmanusia di zaman modern justru tidak jauh lebih baik dari zaman
sebelumnya, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa dunia modern juga tetap
memiliki sisi positifnya dalam hal tersebut.
Mencermati kondisi kemanusiaan dewasa ini yang tidak henti-hentinya
dirundung prahara, yang bukan hanya terjadi pada kelompok-kelompok
2
masyarakat yang hidup terisolir di pedalaman terpencil, tetapi kenyataan yang
sangat paradoksal justru lebih banyak terjadi pada masayarakat yang mengklaim
diri sebagai masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, masyarakat yang
berperadaban modern, masyarakat yang beragama.
Hampir setiap saat koran dan televisi memberitakan terjadinya tragedi
kemanusiaan di setiap sudut dunia ini. Pesatnya kemajuan teknologi informasi
menyebabkan nyaris tidak ada lagi kejadian yang tidak terberitakan, apalagi jika
yang terjadi adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh manusia
modern, manusia yang berilmu pengetahuan tinggi. Modernisasi dan ilmu
pengetahuan dewasa ini telah menjadi simbol tingginya peradaban sebuah bangsa,
namun apa jadinya jika tragedi kemanusiaan justru lebih banyak dilakukan oleh
manusia modern yang berilmu pengetahuan tinggi tersebut?
Hampir dapat
dipastikan jika tragedi tersebut merupakan efek dari perkembangan ilmu
pengetahuan modern yang dimiliki manusia, dan hasilnya akan sangat
mengerikan. Sejarah telah mencatat dan membuktikan itu semua di berbagai
belahan dunia ini.
Ketika sebuah peradaban mengklaim diri sebagai peradaban yang tinggi,
kemudian prahara kemanusiaan tidak henti-hentinya dipertontonkan, tentunya
akan menimbulkan pertanyaan, di mana letak ketinggian peradaban tersebut?
Masihkah layak dikatakan sebagai sebuah peradaban jika yang terjadi adalah
ketidakberadaban, saling meniadakan, saling mengobjektifikasi. Arnold Toynbee
mungkin tidak sepenuhnya keliru, ketika mengatakan bahwa peradaban tidak
pernah menjadi sebuah fakta.
3
“Para anggota masyarakat-masyarakat jenis ini menyebut dirinya “beradab” sampai
zaman kita sekarang, ketika pengalaman kita yang mengerikan dan memalukan
atas kekejaman-kekejaman manusia telah mengajarkan kepada kita bahwa
keberadaban tidak pernah menjadi sebuah fakta yang sungguh-sungguh terjadi,
namun hanyalah suatu upaya atau cita-cita yang, hingga kini, selalu jauh dari
sasarannya yang ambisius” (Toynbee, 2004: 37).
Apa yang dikatakan oleh Toynbee tersebut adalah sebuah fakta sejarah atas
tindakan manusia terhadap manusia lain yang saling meniadakan, namun bukan
berarti bahwa peradaban yang hidup di dunia ini tidak lagi memiliki pandangan
yang luhur terhadap eksistensi manusia, sekecil apa pun itu tetaplah sebuah
pandangan yang sangat luhur. Kebudayaan yang pernah hidup dan yang masih
hidup hingga saat ini masing-masing memiliki kearifan luhur, entah itu
masyarakat yang tergolong sebagai masyarakat yang masih berpola pikir
tradisional maupun masyarakat yang pola pikirnya sudah sangat maju dan
modern.
Setiap kebudayaan di dunia ini memiliki pandangannya masing-masing
tentang manusia, bagaimana manusia hadir, bagaimana manusia membangun
relasinya, bagaimana manusia berpengetahuan, bagaimana manusia berperilaku,
dan tentunya masih banyak lagi pandangan-pandangan tentang manusia yang
tersebar dalam alam pemikiran di setiap kebudayaan yang telah hadir di sepanjang
sejarah kehidupan dunia. Walaupun pandangan tentang manusia boleh dikatakan
sebagai sebuah pandangan yang universal, pandangan yang terdapat di setiap
kebudayaan, tetapi bukan berarti bahwa pandangan-pandangan tersebut, tidak
memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing. Setiap kebudayaan memiliki
ciri khasnya masing-masing dalam memandang manusia.
4
Perbedaan pandangan tentang manusia yang terdapat pada setiap
kebudayaan merupakan sebuah keunikan. Perbedaan, bukan berarti harus terjadi
konflik di antara yang berbeda, tetapi justru harus membangun sebuah
komunikasi, membangun sebuah relasi di antara keunikan-keunikan yang terjadi.
Berbeda itu unik dan tidak harus mencari keseragaman, karena dengan adanya
perbedaan akan terbangun perspektif baru.
Manusia tidak ada yang memiliki kesamaan yang persis antara satu dengan
lainnya, walaupun jumlah manusia di dunia ini setiap detiknya mengalami
pertumbuhan yang semakin banyak, tidak ada satu pun yang sama persis baik
fisik, sikap, sifat, karakter dan perilaku maupun mentalnya. Tidak ada satu pun
diantara miliaran jumlah manusia di dunia ini yang persis sama dengan yang
lainnya, karena setiap manusia yang dilahirkan, lahir dengan keunikannya
masing-masing, lahir dengan perbedaannya dengan manusia yang lain.
Salah satu persoalan sangat mendasar yang tidak terelakkan akan timbul jika
ingin membicarakan manusia, yaitu pertanyaan mengapa manusia dikatakan
sebagai manusia? Kadang untuk menjelaskan tentang manusia, harus berangkat
dari persoalan mendasar tersebut. Mencoba menjelaskan manusia berarti mencoba
untuk merefleksikan diri sendiri, memikirkan dan mengidentifikasi diri sendiri
sebagai manusia.
Kemampuan memikirkan dan mengidentifikasi dirinya merupakan salah
satu keunikan yang terdapat pada manusia, selain itu, manusia juga dianggap
sebagai makhluk yang memiliki ciri spiritual-intelektual. Secara intrinsik ciri ini
bersifat independen terhadap segala sesuatu yang bersifat material (Dagun, 1990:
5
8). Manusia memiliki keunikannya maka manusia dikatakan manusia, manusia
tidak bisa disamakan dengan makhluk hidup lainnya yang hanya hidup tanpa
kesadaran.
“Manusia bicara tentang diri sendiri. Dalam bicara ini dia berkata tentang jiwa dan
badan. Dasarnya: karena dia menangkap aspek rohani dan jasmani pada dirinya
atau akunya. Selanjutnya jiwa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (di
dalam) dan badan juga, tetapi kelihatan. Pikiran tentang badan dan jiwa ini salah.
Untuk membenarkan, katalah: aku ini ya rohani ya jasmani. Badan adalah bentuk
konkrit dari kejasmanianku, atau daripadaku sepanjang aku ini jasmani. Yang ada
bukan badan, yang ada ialah aku ini dan badan adalah aku dalam bentukku
jasmani. Badan adalah aku sendiri dalam kedudukanku sebagai makhluk jasmani,
badan adalah wujudku sebagai makhluk jasmani” (Drijarkara, 1989: 12).
Bersama keunikan-keunikan yang ada padanya, manusia kemudian
mengungkapkan dirinya dalam dunia material. Manusia beraktivitas dalam dunia
material dengan membangun interaksi dengan lingkungannya, dengan sesama
makhluk hidup, dan yang lebih khusus lagi adalah interaksi dengan sesamanya
manusia.
Dalam dunia material, manusia kemudian membangun relasi. Relasi dalam
artian bahwa manusia dengan sesamanya membangun hubungan-hubungan baik
yang saling menghargai, saling mencintai, bukan hubungan yang berbentuk saling
meniadakan. Relasi antarmanusia tersebut tidak mengenal apa yang dinamakan
objek, yang ada adalah subjek. Jadi dalam konsep relasi antarmanusia tidak
mengenal adanya objek, manusia itu adalah subjek. Manusia tidak dapat
dibendakan atau diobjektifikasi.
“Hubungan manusia dengan manusia bukan menambahkan sesuatu yang
serba baru pada pengertian dan penghendakan ‘biasa’. Komunikasi
antarmanusiawi tidak berbeda secara mutlak dari segala macam korelasi
‘normal’. Sebaliknya, justru hubungan subjek dengan partner sebagai
subjek lain merupakan penghayatan optimal dari struktur komunikasipartisipasi hakiki” (Bakker, 2008: 257).
6
Masyarakat Bugis adalah salah satu kelompok masyarakat yang hidup di
Nusantara, yang memiliki pandangan tentang eksistensi manusia. Eksistensi
manusia yang hidup dalam ranah kebudayaan Bugis tentunya memiliki ciri khas,
yang membedakannya dengan pandangan yang sama, yang hidup dalam
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Bugis menjadi sebuah identitas bagi mayoritas
masyarakat yang mendiami jazirah Sulawesi bagian Selatan, masyarakat yang
telah berabad-abad lamanya membangun kebudayaannya.
Kearifan-kearifan yang terdapat dalam kebudayaan Bugis merupakan salah
satu kekayaan kemanusiaan yang ada di dunia ini, khususnya di Indonesia, yang
telah diwariskan secara turun temurun, baik dengan tradisi lisan maupun dengan
tradisi tulis yang telah lama dikenal oleh masyarakat Bugis, yang berbentuk
folklore. Bersumber dari kedua tradisi itulah masyarakat Bugis kemudian
mengembangkan budayanya, yang tidak hanya menghasilkan teknologi tetapi juga
memikirkan tentang adanya manusia sebagai pribadi.
Dalam alam kebudayaan masyarakat Bugis tersebut, telah banyak
ditemukan catatan budaya dan cerita rakyat, yang mengungkapkan tentang
manusia dan bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya. Kitab epos
La Galigo merupakan salah satu rujukan tertulis nilai-nilai budaya yang hidup dan
berkembang di tengah masyarakat Bugis, epos yang telah memberikan gambaran
tentang masa lampau orang Bugis.
“Orang Bugis sendiri mengenal masa lampau mereka melalui dua macam
manuskrip anonim yang secara berturut-turut dapat disebut sebagai mitos/epos dan
teks sejarah/kronik. Jenis pertama berwujud sebuah karya sastra besar berisi cerita
bersyair, yang dinamakan Sure’ Galigo oleh orang Bugis, sesuai nama salah
seorang tokoh utama cerita tersebut, yakni La Galigo. Jenis kedua, ...., adalah
sejumlah besar kronik orang Bugis, Makassar, dan Mandar” (Pelras, 2006: 33).
7
Dalam kitab epos La Galigo, nilai-nilai kebudayaan Bugis sangat banyak
digambarkan. Penggambaran manusia Bugis dapat dilihat secara antropologis,
sosiologis, maupun psikologis dari epos panjang itu. Selain dari kitab La Galigo,
konstruksi kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat Bugis juga
banyak dihasilkan dari pemikiran para cerdik-cendekia atau pemikir-pemikir
Bugis di masa silam, diantaranya adalah To Ciung Maccae ri Luwu, La Pagala
Nenek Mallomo, Kajaolaliddo, La Waniaga Arung Bila dan masih banyak lagi
pemikir lainnya yang sezaman dengan mereka.
B. Rumusan Masalah
Pada latar belakang di atas telah diuraikan berbagai macam persoalan
tentang kemanusiaan, Berdasarkan hal tersebut maka persoalan atau masalah yang
akan diajukan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini adalah:
1. Apa hakikat manusia dalam pandangan budaya Bugis ditinjau dari
perspektif filsafat dialogis Martin Buber ?
2. Apa makna konsep relasi antarmanusia dalam budaya Bugis?
3. Bagaimana relevansi kajian relasi antarmanusia dengan pembangunan
Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia?
C. Keaslian Penelitian
Pada penelusuran pustaka yang telah dilakukan, banyak hasil penelitian dan
buku yang memiliki kedekatan dan keterkaitan yang erat dengan tema proposal
8
penelitian ini, misalnya saja buku yang berjudul Manusia Bugis Makassar, adalah
salah satu buku teks yang ditemukan dalam penelusuran pustaka, buku tersebut
ditulis oleh Hamid Abdullah yang diterbitkan oleh Inti Idayu Press Jakarta pada
tahun 1985. Tulisan Hamid Abdullah tersebut mengulas tentang pola tingkah laku
dan pandangan hidup manusia Bugis Makassar dengan menggunakan tinjauan
historis.
Buku yang ditulis oleh Christian Pelras, yang berjudul Manusia Bugis,
merupakan buku yang mengulas tentang manusia dan kebudayaan Bugis sebagai
objek materialnya. Buku tersebut diterbitkan dalam dua bahasa, Bahasa Inggris
dan Bahasa Indonesia. Edisi bahasa Indonesia buku tersebut diterbitkan oleh
Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris pada tahun 2006. Christian Pelras
yang berkebangsaan Perancis, menulis buku tersebut dari perspektif antropologis.
Buku lain yang mengulas tentang manusia dalam kebudayaan Bugis adalah
sebuah buku yang berjudul Manusia Bissu, yang ditulis oleh M. Farid W.
Makkulau, yang diterbitkan oleh Pustaka Refleksi Makassar pada tahun 2008.
Buku tersebut memanfaatkan bidang antropologi sebagai objek formal dan
komunitas Bissu dalam masyarakat Bugis sebagai objek materialnya.
Selain itu, ditemukan juga hasil penelitian tentang manusia Bugis berupa
tesis, di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, yang ditulis oleh
Syamsuddin pada tahun 2010, yang berjudul Studi Fenomenologi Dinamika
Psikologis Peran Gender Bissu, namun hasil penelitian tersebut lebih
memfokuskan pada fenomena perilaku komunitas Bissu. Komunitas Bissu
tersebut adalah sebuah komunitas calabai atau banci, yang dianggap sebagai
9
pendeta agama tradisional masyarakat Bugis. Penelitian ini menggunakan objek
formal Ilmu Psikologi untuk melihat salah satu komunitas unik dalam masyarakat
Bugis sebagai objek materialnya.
Sebuah hasil penelitian tesis Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
berjudul Konsep Lingkungan dalam Naskah La Galigo Ditinjau dari Perspektif
Etika Lingkungan, yang ditulis oleh Sitti Aaisyah Sungkilang pada tahun 2010,
mengambil objek material juga dari naskah La Galigo, namun memfokuskan
penelitiannya pada episode ri tumpenna walenrengnge, salah satu episode dalam
epos La Galigo. Selain hal tersebut, penelitian Sitti Aaisyah ini menggunakan
etika lingkungan sebagai objek formalnya.
Walaupun buku dan hasil penelitian yang telah disebutkan di atas memiliki
keterkaitan dan kedekatan dengan tema penelitian ini, tetapi tidak terdapat
kesamaan yang persis antara objek formal maupun objek material serta perspektif
yang digunakan. Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah dilakukan, bisa
dikatakan bahwa penelitian ini memiliki orisinalitasnya sendiri yang berbeda
dengan buku-buku dan hasil penelitian yang telah disebutkan di atas.
D. Manfaat Penelitian
Tanpa ada sedikit pun pretensi untuk menjadikan hasil penelitian ini sebagai
suatu bentuk pemicu bagi suatu perubahan besar dengan segera, terhadap kondisi
kemanusiaan dewasa ini, hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk:
10
1. Memberikan kontribusi gagasan dalam wacana keilmuan, dalam usaha
menemukan
jalan-jalan
alternatif
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang filsafat.
2. Bisa menjadi bahan pengembangan filsafat manusia khususnya pada
kajian kearifan lokal, guna memperkaya khasanah filsafat nusantara.
3. Memberikan kontribusi pemikiran terhadap pembangunan karakter
manusia Indonesia, agar bisa tercapai saling pengertian dalam berbangsa
dan bernegara.
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menggali dan merumuskan pemikiran tentang esensi manusia yang
terdapat dalam pandangan budaya Bugis.
2. Merefleksikan dan memahami makna, serta memberikan analisis kritis
terhadap prinsip-prinsip dasar relasi antarmanusia yang terdapat dalam
budaya Bugis.
3. Menjelaskan relevansi prinsip-prinsip relasi antarmanusia dengan usaha
pembangunan Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia.
F.
Tinjauan Pustaka
Salah satu aktivitas kerohanian yang terdapat pada manusia adalah aktivitas
berpikir. Sulit untuk mengatakan bahwa berpikir itu adalah aktivitas fisik yang
11
bersumber dari otak, karena binatang pun memiliki otak tetapi tidak pernah
dikatakan bahwa binatang itu berpikir, hanya manusialah yang dikatakan sebagai
makhluk yang berpikir, karena manusia memiliki aktivitas kerohanian yang
merupakan aspek dari interioritasnya. Aktivitas kerohanian merupakan aktivitas
mental atau aktivitas jiwa manusia. Bakker (2008: 101) menjelaskan apa yang
dimaksud dengan unsur kerohanian dalam manusia, “roh di dalam manusia juga
disebut jiwa, dan jiwa ini merupakan unsur spiritual di dalam manusia”.
Kebudayaan merupakan salah satu bentuk manifestasi dari aspek interioritas
atau jiwa manusia, seperti yang diungkapkan Hegel (1770–1831), kekuatan fisik
dan hukum alam memang ada, tetapi keberadaannya merupakan manifestasi dari
kekuatan atau kenyataan yang sejati dan lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Seperti
halnya kebudayaan dan kesenian merupakan manifestasi lahiriah dari jiwa
manusia (Hegel dalam Abidin, 2009: 28).
Kebudayaan merupakan ekspresi budi manusia yang tidak pernah dimiliki
oleh makhluk hidup lain selain manusia. Hal tersebut senada dengan penjelasan
Bakker di bawah ini, yang termuat dalam bukunya yang berjudul Filsafat
Kebudayaan (2005).
“Tiada orang yang menyangkal bahwa fenomena kebudayaan adalah
sesuatu yang khas insani. Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan
serba ganda dari manusia dalam alam dunia. Dari alam buta maupun dari
gairah hewani tidak diharapkan karya budaya. Pun pula tidak dari Roh yang
transenden terhadap dunia maddi. Manusialah pelaku kebudayaan. Ia
menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya,
dan dengan demikian kemanusiaannya menjadi lebih nyata. Melalui
kegiatan kebudayaan, sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan
kemungkinan belaka, diwujudkan dan diciptakan baru ...... Dari jumlah
kemungkinan tidak terbatas yang terbentang di depan manusia dia harus
memilih. Dalam memilih ini bersama dengan mengabaikan itu tampaklah
gaya dan arah usahanya serta corak kebudayaannya” (Bakker, 2005: 14).
12
Pemaparan Hegel dan Bakker di atas jelas menggambarkan bahwa yang
berkebudayaan hanyalah manusia, tidak ada makhluk lain yang berkebudayaan,
dan tidak akan ada kebudayaan jika yang ada hanya jiwa atau hanya tubuh.
Kebudayaan adalah hasil olah budi atau jiwa yang kemudian dimanifestasikan
secara lahiriah atau diekspresikan oleh tubuh. Kurang tepat kiranya jika dikatakan
bahwa kebudayaan hanyalah produk dari jiwa atau budi, karena dalam hal ini
tubuh ikut berperan aktif melahirkan apa yang disebut sebagai kebudayaan
tersebut, dalam bentuk pengekspresiannya. Kebudayaan lahir karena ada jiwa atau
budi dan tubuh yang merupakan kesatuan dan tidak terpisah.
Koentjaraningrat (2002: 180) menggambarkan kebudayaan itu sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Pengggambaran ini jelas memperlihatkan kesatuan antara jiwa-tubuh dalam
membentuk kebudayaan, tidak terdapat pengertian dikotomi dalam hal ini.
Berdasarkan penggambarannya tersebut, Koentjaraningrat (2002: 186-187)
kemudian merumuskan wujud kebudayaan dalam tiga bentuk yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
13
Karena hal-hal tersebut itulah, maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur
dasar dari semua kebudayaan adalah sama, setiap kebudayaan yang pernah hidup
dan yang masih hidup hingga saat ini memiliki unsur-unsur dasar tersebut,
Koentjaraningrat (2004: 2) menyebutnya dengan unsur-unsur kebudayaan yang
universal, dan merupakan unsur-unsur yang pasti bisa ditemukan di semua
kebudayaan di dunia, unsur-unsur tersebut adalah: bahasa, sistem pengetahuan,
organisasi sosial, sistem teknologi dan peralatan, sistem mata pencaharian hidup,
sistem religi dan upacara keagamaan, dan kesenian.
“Itulah sebabnya mengapa kategori-kategori fundamental (unsur-unsur
dasar) dari semua kebudayaan begitu banyak persamaan. Suatu kebudayaan
manusiawi tidak mungkin ada tanpa bahasa. Tidak ada satu kebudayaan pun
yang tidak mengenal kesenian dan penikmatan akan keindahan. Semua
kebudayaan menghasilkan sikap-sikap tertentu yang diseragamkan terhadap
persoalan-persoalan yang paling mendalam, misalnya seperti soal kematian.
Semua kebudayaan diatur sedemikian rupa untuk dapat menyelamatkan
solidaritas (rasa kesatuan) kelompok dengan cara memenuhi tuntutan yang
diajukan oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup yang
teratur, yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan vital mereka” (Leahy,
1989: 8).
Unsur-unsur dasar kebudayaan itulah yang kemudian menjadi identitas dan
pembentuk karakter di masing-masing kelompok masyarakat, tidak terkecuali
pada kelompok masyarakat yang hidup di pedesaan terpencil, maupun kelompok
masyarakat yang hidup di tengah-tengah kota yang paling modern dan komplex
sekalipun. Unsur-unsur dasar atau unsur-unsur kebudayaan universal tersebut
terdapat pada setiap kelompok masyarakat yang senantiasa membangun
kebudayaannya, mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia di mana pun
juga di dunia ini, termasuk masyarakat Bugis, salah satu kelompok masyarakat
yang hidup di wilayah pulau Sulawesi bagian selatan.
14
Kelompok
masyarakat
Bugis,
seperti
halnya
kelompok-kelompok
masyarakat lain yang hidup di jajaran kepulauan nusantara ini, terus bergeliat
membangun budayanya, namun tidak serta merta meninggalkan budaya-budaya
lama yang pernah hidup dan berkembang dalam kehidupan mereka.
Hingga saat ini, di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bugis, masih
banyak ditemukan aktivitas masyarakat yang merupakan aktivitas yang lahir dari
budaya lama, yang telah terwariskan secara turun-temurun. Masih sangat banyak
di antara mereka yang tetap memelihara adat, yang merupakan kebudayaan yang
lahir dari pemikiran leluhur mereka, dan tidak sedikit diantara mereka yang masih
memegang teguh nilai-nilai budaya tersebut.
“Dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, adat merupakan faktor yang
amat menentukan. Adat merupakan manifestasi dari “pandangan hidup”
manusia Bugis Makassar dalam institusi sosial mereka dan menempati
kedudukan tertinggi dalam norma sosial yang mengatur pola tingkah laku
kehidupan bermasyarakat.... Manusia-manusia Bugis Makassar yang telah
menerima adat secara total dalam kehidupan sistem sosial budaya mereka,
telah melahirkan keyakinan dan kepercayaan yang teguh bahwa hanya
dengan berpedoman pada adatlah ketenteraman dan kebahagiaan bagi setiap
anggota masyarakat dapat terjamin. Unsur kepercayaan dan keyakinan yang
telah dimanifestasikan oleh mereka dalam konteks mendukung dan
memelihara adat dalam sistem sosial itu, merupakan faktor penunjang utama
mengapa adat itu dapat bertahan sepanjang masa” (Abdullah, 1985: 5-6).
Sebelum masuknya Islam di Sulawesi Selatan, adatlah yang menjadi satusatunya pedoman dalam kehidupan masyarakat Bugis. Setelah Islam masuk dan
menjadi kepercayaan bagi sebagian besar masyarakat di Sulawesi Selatan,
khususnya pada kelompok masyarakat Bugis, maka adat dan Islam melakukan
proses sinkritisasi yang kemudian menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat
Bugis.
15
Sebuah ungkapan dalam bahasa Bugis yang berbunyi, “pattuppui ri ade’e
pasandre’i ri sara’e”, merupakan sebuah prinsip hidup yang lahir dari proses
kolaborasi tersebut di atas yang artinya adalah, bertumpulah pada adat dan
bersandarlah pada syariat. Maksud dari ungkapan tersebut, hendaknya setiap
perilaku manusia dalam kehidupan ini berpedoman pada adat dan syariat.
Mengenai perpaduan antara Islam dan kebudayaan Bugis, Rahim (1992: 85)
mengatakan, bahwa pengaruh Islam tampak dengan jelas bersebati dengan tubuh
kebudayaan Bugis. Ia memberikan coraknya pada pappangaja’ dan paseng.
Kenyataan ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan lontara’ sebagai hasil
kebudayaan, sebab apa yang telah dihasilkan sebelum Islam, masih tetap
terpelihara dalam zaman setelah mereka memeluk Islam.
Pappangaja’ dan paseng adalah dua dari beberapa bentuk sumber-sumber
nilai yang terdapat dalam kebudayaan Bugis. Pappangaja’ dan paseng yang
berarti nasehat dan amanat, pada awalnya merupakan tradisi lisan yang dituturkan
secara turun temurun, namun setelah masyarakat Bugis mengenal tradisi tulis
dengan aksara lontara’nya, maka tradisi-tradisi lisan tersebut tidak hanya sekedar
dituturkan lagi, tetapi mulai diabadikan dalam bentuk tulisan. Naskah-naskah
klasik itulah yang kemudian dikenal dengan naskah lontara’, naskah yang pada
awalnya digoreskan di atas lembaran-lembaran daun lontar.
Melalui tradisi lisan dan naskah-naskah klasik, nilai-nilai budaya
masyarakat Bugis dapat diteropong jauh ke belakang. Epos La Galigo adalah
salah satu naskah klasik yang lahir di tengah-tengah masyarakat Bugis, yang bisa
menjadi bahan untuk meneropong nilai-nilai budaya yang mengiringi perjalanan
16
hidup masyarakat Bugis. Selain naskah epos La Galigo, masih banyak naskah
klasik lainnya yang juga merupakan hasil kearifan leluhur masyarakat Bugis, yang
mencerminkan kondisi sosial budaya mereka ketika itu, dapat dijadikan sebagai
bahan dalam mengkaji manusia dan kebudayaan Bugis. Walaupun tradisi tulis
telah berkembang dalam kebudayaan Bugis, tetapi tradisi lisan tidak serta merta
ditinggalkan, tradisi lisan malah berkembang dalam bentuk-bentuknya yang lain
seiring perkembangan tradisi tulis tersebut.
Dua tradisi itu berkembang pesat mengiringi perjalanan panjang kehidupan
kebudayaan Bugis, dari kedua sumber tersebut saat ini telah banyak ditemukan
hasil penelitian dan kepustakaan yang mengulas tentang manusia dan kebudayaan
Bugis, tidak terkecuali minat yang sangat besar yang telah ditunjukkan oleh para
penulis dan peneliti-peneliti asing. Bahkan seorang sutradara teater asal Amerika
Serikat yang bernama Robert Wilson telah mengangkat naskah epos La Galigo ke
pentas seni teater, yang telah dipentaskan di kota-kota besar dunia.
Hingga saat ini, masih belum banyak peneliti bidang filsafat yang mencoba
menengok nilai-nilai kebudayaan Bugis, dan literatur yang diterbitkan pun masih
sangat kurang, yang banyak ditemukan selama ini adalah hasil penelitian di
bidang antropologi, bahasa dan sastra, sosiologi, filologi, sejarah, arkeologi dan
hukum. Literatur tentang manusia dan kebudayaan Bugis yang banyak diterbitkan
pun hanya datang dari bidang-bidang tersebut di atas.
Lliteratur-literatur dan hasil-hasil penelitian dalam bidang-bidang keilmuan
tersebut di atas, tidak dapat diabaikan karena akan memberi kontribusi yang
sangat besar bagi bidang filsafat yang bisa dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti
17
bidang filsafat. Hasil penelitian antropologi misalnya, merupakan data yang
sangat penting dan sangat bermanfaat bagi penelitian-penelitian filsafat, seperti
yang telah dilakukan oleh Franz Magnis-Suseno dalam melakukan penelitian dan
menulis bukunya yang berjudul Etika Jawa.
“Semua data tentang masyarakat Jawa dan bahkan pelbagai interpretasi
penting diambil alih dari kepustakaan para antropolog, sosiolog, dan
ilmuwan lain yang saya temukan. Sumbangan saya terbatas pada pemilihan
data dan interpretasi data itu dari segi etika, serta pada usaha untuk
menempatkannya ke dalam suatu kaitan yang dapat dipahami dan yang
kemudian dianalisis dengan peralatan etika falsafi dari beberapa segi”
(Magniz-Suseno, 1984: 2).
Pada penelitian ini, akan dilakukan hal yang serupa, dengan memanfaatkan
data-data kepustakaan dari berbagai bidang ilmu, khususnya antropologi,
sosiologi, psikologi dan sejarah, yang telah banyak melakukan eksplorasi terhadap
manusia dan kebudayaan Bugis.
G. Landasan Teori
Konsep relasi antarmanusia yang berkembang dalam filsafat manusia
khususnya pada aliran eksistensialisme, dikembangkan oleh dua orang pemikir
besar dalam aliran eksistensialisme, keduanya dikenal dengan eksistensialis
religius. Mereka adalah Martin Buber dan Gabriel Marcel. Kedua tokoh ini
memiliki dasar pemikiran yang tidak jauh berbeda dalam memandang manusia.
Keduanya berpikir tentang cinta dan Tuhan dalam bangunan konstruksi
eksistensialisme mereka. Namun dalam penelitian ini, konsep relasi antarmanusia
Martin Buber yang akan dijadikan sebagai pijakan untuk melihat konsep yang
sama yang terdapat dalam nilai-nilai kebudayaan Bugis.
18
Pemikiran filosofis Buber didasarkan pada pendekatan dialogis dalam
memahami manusia, dengan asumsi bahwa kehidupan yang nyata adalah sebuah
pertemuan. Manusia dilahirkan sebagai pribadi yang berlainan satu dengan yang
lainnya untuk saling berkomunikasi dan terjadinya sebuah dialog di antara mereka
(Lathief, 2010: 19).
Dengan asumsi dasar tersebut kemudian Buber membangun paradigmanya
terhadap manusia, manusia yang senantiasa membangun relasinya dengan
lingkungan, sesama manusia dan Tuhannya. Bertens menjelaskan pandangan
Buber tersebut dalam bukunya.
“Manusia mempunyai dua relasi yang fundamental berbeda: di satu pihak
relasi dengan benda-benda dan di lain pihak relasi dengan sesama manusia
dan Allah. Relasi yang pertama disebut Ich-Es (I-It), dan relasi yang kedua
diberi nama Ich-Du (I-Thou). Dalam bahasa Indonesia barangkali dapat
dikatakan Aku-Itu dan Aku-Engkau. Buber mengatakan bahwa karena dua
relasi ini “Aku” sendiri bersifat dwi-ganda, sebab “Aku” yang berhubungan
dengan “Itu” berlainan dengan “Aku” yang berhubungan dengan “Engkau”.
Tetapi biarpun relasi-relasi bisa berbeda, namun “Aku” tidak pernah tanpa
relasi; “Aku” tidak pernah merupakan suatu “Aku” yang terisolasi”
(Bertens, 2002: 180).
Relasi yang ada dalam pandangan Buber, selain relasi Aku-Engkau, yang
bermakna bahwa hubungan tersebut adalah hubungan antarsesama manusia dan
hubungan yang terjalin antara manusia sebagai umat dengan Tuhannya, juga
terdapat relasi Aku-Itu, yang bermakna bahwa manusia juga tetap menjalin
hubungan dengan benda-benda atau yang dibendakan di sekitarnya, atau bisa
dikatakan bahwa manusia menjalin relasi dengan alam atau lingkungannya.
Pada kedua bentuk relasi tersebut, Buber memberikan penyebutan lain. Pada
relasi Aku-Itu Buber menyebutnya “pengalaman”, sedangkan pada relasi Aku-
19
Engkau disebutnya dengan “hubungan”. Pandangan Buber tentang “pengalaman”
(erfahrung) dan “hubungan” (beziehung) diuraikan oleh Lathief dalam tulisannya.
“Jika yang terjadi hubungan Aku-Itu, maka dunia yang dicitrakan adalah
dunia benda-benda, sesuatu yang dibendakan, kepemilikan, dan penguasaan
atas yang lain. Hubungan yang demikian ini menandai dunia sebagai
Erfahrung (pengalaman), tetapi oleh Buber dipergunakan sebagai penunjuk
hubungan dengan benda-benda. Sedangkan istilah Beziehung (hubungan)
menandai relasi Aku-Engkau, hubungan yang dikuhususkan bagi manusiamanusia. Hal ini memberi citra hubungan yang sejati atau genuinitas dalam
dialog antarmanusia” (Lathief, 2010: 19).
Hal
tersebut
diungkapkan
oleh
Buber
(1937:
6)
dalam
karya
monumentalnya yang berjudul I and Thou atau dalam bahasa Jermannya Ich und
Du, yang kemudian membuatnya menjadi sangat dikenal sebagai seorang pemikir
dalam filsafat eksistensialisme. As Experience, the world belongs to the primary
word “I-It”. The primary word “I-Thou” establishes the world of relation.
Dalam perspektif Buber ini, kedua pola tersebut tidak pantas jika diputar
balikkan, misalnya Thou atau Engkau dianggap sebagai benda atau dibendakan,
maka di dalamnya tidak terdapat cinta. Thou bukanlah benda atau objek.
“When “Thou” is spoken, the speaker has no thing for his object. For
where there is a thing there is another thing. Every “It” is bounded by
others; “It” exists only through being bounded by others. But when “Thou”
is spoken, there is no thing. “Thou” has no bounds. When “Thou” is
spoken, the speaker has no thing; he has indeed nothing. But he takes his
stand in relation” (Buber, 1937: 4).
Memang manusia tidak dapat hidup tanpa It, tetapi bukan berarti bahwa
manusia harus tunduk kepada It. Orang yang hanya hidup dengan It saja, ia
sesungguhnya bukanlah manusia. If a man lets “It” have the mastery, the
continually growing world of “It” overruns him and robs him of the reality of his
own “I” (Buber, 1937: 46).
20
Ketika pola hubungan Aku-Itu atau I-It yang terbangun dalam hubungan
sesama manusia, maka Engkau tidak lagi sesama manusia bagi Aku, melainkan
Engkau adalah suatu benda, objek yang dapat aku gunakan. Perjalanan sejarah
telah mencatat, jika pola hubungan Aku-Engkau semakin terkikis dalam relasi
yang seharusnya terjalin antar sesama manusia yang penuh dengan cinta kasih.
Pola hubungan Aku-Itu atau I-It terhadap sesama manusia semakin menunjukkan
dominasinya, saling mengobjektifikasi. Berdasarkan anggapan tersebut, Buber
menyerupai kritik atas kebudayaan modern yang dikemukakan oleh begitu banyak
filsuf abad ke-20, khususnya berhubungan dengan peranan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mematikan relasi-relasi antarmanusia (Bertens, 2002: 181).
Dalam pola hubungan Aku-Itu yang diterapkan dalam hubungan sesama
manusia, tidak akan pernah tumbuh perasaan cinta sesama, yang ada adalah
subjek-objek atau hubungan antara pemilik benda dengan benda miliknya,
padahal seharusnya disadarai bahwa Aku menjadi Aku karena Engkau, bukan
karena Itu. Dalam hal ini tersirat makna bahwa manusia saling membutuhkan.
Relasi Aku-Engkau hanya bisa terealisasi jika di dalamnya terdapat cinta
kasih. Di sini, cinta merupakan spirit yang hadir antara Aku-Engkau, spirit tidak
hadir di dalam Aku. Spirit in its human manifestation is a response of man to his
Thou. .... Spirit is not in the I, but between I and Thou. It is not like the blood that
circulates in you, but like the air in which you breathe (Buber, 1937: 39).
Relasi Aku-Engkau tidak terbatas hanya pada hubungan sesama manusia,
justru relasi Aku-Engkau memuncak dalam relasi Aku dengan Allah sebagai
Engkau yang abadi .... Allah adalah Engkau yang tidak mungkin dijadikan Itu. Ia
21
tidak dapat didefinisikan atau dilukiskan. Manusia hanya dapat mengenal Allah
dalam ketaatan dan kepercayaan (Bertens, 2002: 181). Karena itulah sehingga
Buber dikenal sebagai salah seorang eksistensialis religius yang tidak menafikan
Tuhan sebagai Engkau yang absolut.
Dalam konsepnya tersebut, Buber berusaha menempatkan suatu hubungan
pada posisinya masing-masing, posisi yang tidak memungkinkan untuk diputar
balikkan. Pola Aku-Itu adalah hubungan yang seharusnya terjalin hanya antara
manusia dan benda. Ketika pola ini digunakan dalam membangun hubungan
antarmanusia, maka yang terjadi adalah objektifikasi manusia yang seharusnya
menjadi subjek, eksploitasi terhadap manusia, dan berbagai macam tragedi
kemanusiaan akan memunculkan sosok aslinya. Untuk membangun hubungan
yang harmonis antar sesama manusia, yang didasari atas cinta kasih, maka pola
hubungan yang tepat adalah pola Aku-Engkau, hubungan yang kemudian
memuncak pada Engkau yang absolut, Engkau yang bukan dan tidak mungkin
bisa dibendakan. Jadi, Aku-Itu adalah hubungan antara subjek-objek, dan AkuEngkau adalah bentuk hubungan antar subjek.
H. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan objek formal filsafat manusia, khususnya yang
terdapat dalam aliran eksistensialisme, dalam hal ini adalah pemikiran Martin
Buber tentang konsep relasi atau hubungan dalam kehidupan manusia. Sementara
22
itu, objek material dalam penelitian ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang
terdapat dalam kebudayaan masyarakat Bugis.
Sumber data primer dalam penelitian ini, selain kitab epos La Galigo pada
episode Mula Tau dan buku tulisan Martin Buber yang berjudul I and Thou dan
Between Man and Man, buku Latoa karya Mattulada, yang merupakan hasil
penelitian antropologi budaya terhadap sebuah naskah kuno yang berjudul Latoa
banyak memuat data-data primer yang sangat dibutuhkan. Selain itu, buku yang
berjudul Sulesana karya Anwar Ibrahim banyak memuat pemikiran-pemikiran
para cendekiawan Bugis, juga sangat representatif untuk dijadikan sebagai sumber
data primer dalam penelitian ini.
Selain sumber data primer tersebut di atas, dalam penelitian ini data-data
sekunder diharapkan berasal dari hasil-hasil penelitian dan kepustakaankepustakaan bidang antropologi, sejarah dan arkeologi yang berisi tentang nilainilai kemanusiaan dalam kebudayaan Bugis, diantaranya adalah:
1. Buku yang berjudul Manusia Bugis Makassar, Suatu Tinjauan Historis
terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis
Makassar, karya Hamid Abdullah, yang diterbitkan oleh Inti Idayu Press
pada tahun 1985.
2. Buku H. A. Rahman Rahim berjudul Nilai-nilai Utama Kebudayaan
Bugis, yang diterbitkan oleh Hasanuddin University Press pada tahun
1992.
3. Buku Andi Zainal Abidin, Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan,
yang diterbitkan oleh Hasanuddin University Press pada tahun 1999.
23
4. Buku kumpulan tulisan beberapa guru besar di Makassar berjudul Siri’
& Pesse, Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar Toraja, yang
diterbitkan pada tahun 2005 oleh penerbit Pustaka Refleksi Makassar.
5. Buku tulisan Christian Pelras berjudul Manusia Bugis, yang diterbitkan
dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 2006 oleh penerbit Nalar
bekerja sama dengan Forum Jakarta-Paris.
Selain sumber data sekunder tersebut di atas, sumber data sekunder lainnya
akan diusahakan berasal dari publikasi-publikasi media massa seperti koran dan
majalah serta jurnal-jurnal ilmiah, yang mengulas tentang filsafat manusia dan
nilai-nilai kebudayaan Bugis. Selain itu, artikel-artikel dan informasi-informasi di
dunia maya atau internet yang dianggap sangat erat kaitannya dengan penelitian
ini, tidak akan diabaikan sebagai salah satu sumber data sekunder.
2. Langkah-langkah Penelitian.
Tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap pengumpulan
data. Karena penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka yang harus dilakukan
adalah mengeksplorasi data-data yang terdapat pada kepustakaan-kepustakaan
primer maupun sekunder yang berkaitan erat dengan tema penelitian ini.
Tahap kedua setelah data terkumpul, akan dilakukan proses klasifikasi data
dengan maksud untuk mengidentifikasi data-data primer maupun data-data
sekunder, serta untuk menyisihkan data-data yang dianggap tidak relevan dengan
tema penelitian ini.
24
Langkah ketiga adalah tahap pengolahan data. Data yang telah terkumpul
dan telah teridentifikasi kemudian dianalisis untuk memperoleh deskripsi yang
lebih akurat mengenai objek penelitian ini. Tahapan akhir dari penelitian adalah
penyajian hasil penelitian dalam bentuk laporan hasil penelitian, dalam hal ini
laporan hasil penelitian tersebut akan berupa tesis.
3. Analisis Data
Dalam penelitian ini ada beberapa metode yang akan digunakan, untuk
menganalisis data-data yang telah terkumpul dan teridentifikasi dengan cermat,
agar dapat diperoleh penggambaran yang jauh lebih jelas terhadap objek material.
Metode-metode analisis tersebut adalah:
1. Metode historis, yaitu metode yang digunakan untuk menganalisis datadata secara historis. Dalam penelitian ini, metode historis akan
digunakan untuk menganalisis dimensi kesejarahan dari masyarakat
Bugis yang telah melahirkan pemikiran filosofis tentang manusia dalam
nilai-nilai kebudayaannya.
2. Metode
Hermeneutika,
dalam
hal
ini
akan
digunakan
untuk
mengungkapkan atau menafsirkan makna yang terkandung dalam
kebudayaan Bugis, khususnya nilai-nilai filosofis yang terkandung di
dalamnya. Metode hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan
berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam
ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yang muncul pada fenomena
kehidupan manusia (Kaelan, 2005: 80). Selain hal tersebut, sebagai
25
sebuah metode penafsiran, hermeneutika memerhatikan tiga hal sebagai
komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan
kontekstualisasi (Raharjo, 2008: 31).
3. Heuristika, merupakan salah satu metode yang akan digunakan dalam
penelitian ini, dengan harapan bisa mengembangkan pemikiran secara
dinamis dan juga diharapkan bisa menjadi sebuah bentuk kritis terhadap
kehidupan ini. Hal tersebut seperti yang telah diungkapkan Kaelan
(2005: 96), dalam setiap penelitian, harus mampu mengembangkan
pemikiran-pemikiran
secara
dinamis,
bahkan
kalau
perlu
mengungkapkan kritik atau menemukan teori-teori baru.
I.
Sistematika Penulisan
Urut-urutan penulisan akan disusun berdasarkan sistematika sebaga berikut,
yaitu bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang
penelitian yang meliputi: masalah penelitian, rumusan masalah, keaslian
penelitian, dan manfaat penelitian. Selanjutnya, tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, dan metode penelitian.
Pada bab kedua, akan diuraikan tentang manusia dan kebudayaan Bugis
yang meliputi, manusia Bugis dalam mitos La Galigo, epos La Galigo sebagai
sumber nilai dalam kebudayaan Bugis, dan yang terakhir adalah nilai-nilai utama
kebudayaan Bugis.
26
Bab ketiga, selanjutnya akan diuraikan tentang relasi antarmanusia dalam
pandangan Martin Buber, yang meliputi esensi manusia, relasi Aku-Itu, relasi
Aku-Engkau, dan cinta dalam pandangan Martin Buber.
Bab inti adalah bab analisis yang terletak pada bab keempat, yang
merupakan analisis dari dimensi relasi antarmanusia dalam nilai-nilai budaya
Bugis
yang terdiri dari, manusia dalam pandangan budaya Bugis, sipakatau
(saling memanusiakan), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling
mengingatkan), pesse (rasa empati), dan sipatuo sipatokkong (saling membantu).
Bab analisis ini akan diakhiri dengan mengulas, relevansi kajian relasi
antarmanusia dalam nilai-nilai budaya Bugis dengan usaha pembangunan Hak
Azasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atas
pembahasan bab-bab sebelumnya, dan saran bagi pengembangan penelitian
selanjutnya.
Download