BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Agensi Teori keagenan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Teori Agensi
Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori
ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini
menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.
Teori agensi menurut Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008),
menyatakan bahwa pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen sebagai
agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk
bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan
sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik
pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua upayanya kepada pemegang saham.
(Ahmad Elqorni,2009) dalam artikelnya mengatakan Teori agensi
mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri.
Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil
keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang
para agen disumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan
syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
10
11
Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika
satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agent) untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agent tersebut. Hubungan antara principal dan agent dapat
mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information)
karena agent berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak
tentang perusahaan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka
dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam
kondisi yang asimetri tersebut, agent dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi
yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.
B.
Teori Signal
Teori sinyal (signaling theory) merupakan teori yang beresensikan
bagaimana sinyal-sinyal yang mempengaruhi naik turunya harga saham pada
pasar modal. Oleh karena itu, investor diwajibkan untuk memahami bagaimana
setiap informasi sebagai sinyal. Signal adalah proses yang memakan biaya berupa
deadweight costing, bertujuan untuk menyakinkan investor tentang nilai
peruahaan. Signal yang baik adalah yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain
yang memeiliki nilai lebih redah, karena faktor biaya.
Menurut Wolk, et al. (2001) teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan
menyajikan informasi untuk pasar modal. Teori sinyal menunjukkan adanya
12
asimetri informasi antara manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan informasi tersebut. Teori sinyal mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya perusahaan memberikan sinyal-sinyal pada pengguna
laporan keuangan.
Menurut
Maria
Immaculatta
(2006)
kualitas
keputusan
investor
dipengaruhi oleh kualitas informasi yang diungkapkan perusahaan dalam laporan
keuangan. Kualitas informasi tersebut bertujuan untuk mengurangi asimetri
informasi yang timbul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan
prospek perusahaan di masa mendatang dibanding pihak eksternal perusahaan.
Informasi
yang berupa pemberian peringkat obligasi perusahaan
yang
dipublikasikan diharapkan dapat menjadi sinyal kondisi keuangan perusahaan
tertentu dan menggambarkan kemungkinan yang terjadi terkait dengan utang yang
dimiliki.
Menurut Jama’an (2008) Signaling Theory mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna
laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah
dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat
berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut
lebih baik dari pada perusahaan lain. Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian
sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer
memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan
kebijakan akuntansi konservatisme yang menghasilkan laba yang lebih berkualitas
karena prinsip ini mencegah perusahaan melakukan tindakan membesar-besarkan
13
laba dan membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan
aktiva yang tidak overstate.
Salah satu jenis informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat
menjadi signal bagi pihak di luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah
laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat
berupa informasi akuntansi yaitu informasi yang berkaitan dengan laporan
keuangan dan informasi non-akuntansi yaitu informasi yang tidak berkaitan
dengan laporan keuangan. Laporan tahunan hendaknya memuat informasi yang
relevan dan mengungkapkan informasi yang dianggap penting untuk diketahui
oleh pengguna laporan baik pihak dalam maupun pihak luar. Semua investor
memerlukan informasi untuk mengevaluasi risiko relatif setiap perusahaan
sehingga dapat melakukan diversifikasi portofolio dan kombinasi investasi dengan
preferensi risiko yang diinginkan. Jika suatu perusahaan ingin sahamnya dibeli
oleh investor maka perusahaan harus melakukan pengungkapan laporan keuangan
secara terbuka dan transparan.
Kelebihan teori ini adalah kemampuan menjelaskan mengapa terjadi
peningkatan harga saham sebagai tanggapan terhadap peningkatan financial
leverage. Kelemahan dari model ini adalah ketidakmampuan dalam menjelaskan
hubungan kebalikan antara profitabilitas dan laveragge. Kelemahan lain adalah
tidak dapat menjelaskan mengapa perusahaan yang memiliki potensi pertumbuhan
dan nilai intangible asset tinggi harus menggunakan lebih banyak hutang dari
pada perusahaan yang mature (tangible asset tinngi) yang tidak menggunakan
14
hutang, akan tetapi didalam teori diperlukan untuk mengurangi efek dari
ketidaksimetrisan informasi.
C.
Teori Stakeholder
Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau
masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun
komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki
karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk, 2008 yaitu
mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.
Teori stakeholder dalam penelitian Ghozali dan Chariri, 2007 menyatakan
bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan
sendiri namun harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholdernya. Dengan
demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang
diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut.
Menurut the Clarkson Centre for Business Ethics (1999) dalam Magness
(2008) stakeholder perusahaan dibagi kedalam dua bentuk besar yaitu primary
stakeholders dan secondary stakeholders. Primary stakeholders merupakan pihakpihak yang mempunyai kepentingan secara ekonomi terhadap perusahaan dan
menanggung risiko seperti misalnya investor, kreditor,karyawan, komunitas lokal
namun disisi lain pemerintah juga termasuk kedalam golongan primary
stakeholders walaupun tidak secara langsung mempunyai hubungan secara
ekonomi namun hubungan diantara keduanya lebih bersifat non-kontraktual.
15
Bentuk yang kedua adalah secondary stakeholders dimana sifat hubungan
keduanya saling mempengaruhi namun kelangsungan hidup perusahaan secara
ekonomi tidak ditentukan oleh stakeholder jenis ini. Contoh secondary
stakeholders adalah media dan kelompok kepentingan seperti lembaga sosial
masyarakat, serikat buruh, dan sebagainya. Perkembangan teori stakeholders
membawa perubahan terhadap indikator kesusuksesan perusahaan. Hal tersebut
tercermin dengan munculnya paradigma Triple Bottom Line.
Stakeholder
pada
dasarnya
dapat
mengendalikan
atau
memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang
digunakan perusahaan. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan untuk
membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja),
akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan,
atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang
dihasilkan perusahaan. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber
ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan berusaha
memuaskan keinginan stakeholder. Ini erat kaitannya dengan usaha manajemen
laba untuk tetap mempertahankan existensi perusahaan, dan upaya manejemen
laba dalam mendapatkan modal tersebut.
D.
Asemetri Informasi
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik
(pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer berkewajiban
16
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang
diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti
laporan keuangan.
Laporan keuangan dimaksudkan untuk digunakan oleh berbagai pihak,
termasuk manajemen perusahaan itu sendiri. Namun yang paling berkepentingan
dengan laporan keuangan sebenarnya adalah para pengguna eksternal (diluar
manajemen). Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal
terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar
ketidakpastiannya (Ali, 2002). Para pengguna internal (para manajemen) memiliki
kontak langsung dengan entitas atau perusahannya dan mengetahui peristiwaperistiwa signifikan yang terjadi, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap
informasi akuntansi tidak sebesar para pengguna eksternal.
Situasi ini akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai
asimetri informasi (information asymmetry). Yaitu suatu kondisi di mana ada
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai
penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan stakeholder
pada umumnya sebagai pengguna informasi (user).
Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1. Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya
biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut
tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham.
17
2. Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer
tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman.
Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma
mungkin tidak layak dilakukan.
Adanya asimetri informasi memungkinkan adanya konflik yang terjadi
antara principal dan agent untuk saling mencoba memanfatkan pihak lain untuk
kepentingan sendiri.
Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga asumsi sifat dasar manusia yaitu:
1. Manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest).
2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality).
3. Manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat
dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi yang dihasilkan
manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat
dipercaya tidaknya informasi yang disampaikan.
Asimetri informasi terjadi karena manajer lebih superior dalam menguasai
informasi dibanding pihak lain (pemilik atau pemegang saham). Dengan asumsi
bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri
sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent
untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal.
Sehingga dengan adanya asimetri antara manajemen (agent) dengan pemilik
(principal)
memberikan
kesempatan
kepada
manajer
untuk
melakukan
18
manajemen laba (earnings management) dalam rangka memaksimumkan
utilitynya.
E.
Manajemen Laba
1.
Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba didefinisikan oleh Setiawati dan Na’im (2000) adalah
campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal
dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Definisi ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen (1999, p.368) bahwa
manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan di
(dalam) pelaporan keuangan dan di (dalam) transaksi yang terstruktur untuk
mengubah laporan keuangan bagi yang manapun menyesatkan beberapa
stakeholders tentang dasar kinerja ekonomi perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil sesuai kontrak yang tergantung pada angka-angka
akuntansi dilaporkan.
Pengertian manajemen laba menurut Scott (2003) membagi cara
pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai
perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs
(opportunistic
earnings
management).
Kedua,
dengan
memandang
manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earnings
Management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas
untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-
19
kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak. Apabila manajemen laba bersifat oportunis, maka informasi laba
tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah
bagi investor. Karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi manajemen laba yang dilakukan perusahaan.
Manajemen laba timbul karena adanya terori asimetri informasi dan
teori keagenan. Asimetri informasi yaitu suatu kondisi di mana ada
ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai
penyedia informasi (prepaper) dengan pihak pemegang saham dan
stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Dalam hal
ini manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi
internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan
pemilik (pemegang saham). Oleh karena itu sebagai pengelola, manajer
berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada
pemilik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba bisa
dikategorikan menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas
laporan keuangan jika . Manajemen laba menambah bias dalam laporan
keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang
mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa
rekayasa.
20
2.
Faktor-faktor Manajemen Laba
(Sugiri,1998 dalam Septi,2012) mengemukakan beberapa faktor-faktor dari
manajemen laba yaitu :
a. Bonus Plan Hypothesis
Manajer perusahaan yang memberikan bonus terbesar berdasarkan
earnings
lebih
banyak
menggunakan
metode
akuntansi
yang
meningkatkan laba yang dilaporkan.
b.
Debt to equity Hypothesis.
Perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity cukup tinggi akan
mendorong manajer perusahaan untuk menggunakan metode akuntansi
yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba, menyebabkan perusahaan
kesulitan dalam memperoleh dana tambahan dari pihak kreditor bahkan
perusahaan terancam melanggar perjanjian hutang.
c.
Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tersebut memilih metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut
dikarenakan laba yang tinggi membuat pemerintah akan segera mengambil
tindakan seperti: menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
3.
Motivasi Manajemen Laba
Menurut Scott (1997, p. 302), motivasi perusahaan dalam hal ini
manajer melakukan manajemen laba adalah :
21
(a) Bonus scheme (rencana bonus). Secara lebih spesifik, ini merupakan
perluasan hipotesis rencana bonus, yang menyatakan bahwa manajermanajer
perusahaan
yang
menggunakan
rencana
bonus
akan
memaksimalisasikan pendapatan masa kini atau tahun berjalan mereka.
Manajer yang bekerja di perusahaan dengan rencana bonus akan berusaha
mengatur laba yang dilaporkan agar dapat memaksimalkan bonus yang
akan diterimanya.
(b) Debt covenant (kontrak utang jangka panjang). Motivasi ini sejalan dengan
hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat
suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian utang maka manajer akan
cenderung memilih metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba
periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi
kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak.
(c) Political motivation (motivasi politik). Perusahaan-perusahaan besar dan
industri strategis cenderung menurunkan laba untuk mengurangi
visibilitasnya, khususnya selama periode kemakmuran tinggi. Tindakan ini
dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah
misalnya subsidi.
(d) Taxation motivation (motivasi perpajakan). Perpajakan merupakan salah
satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan.
Dengan mengurangi laba yang dilaporkan maka perusahaan dapat
meminimalkan besar pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
22
(e) Pergantian CEO. CEO yang akan habis masa penugasannya atau pensiun
akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan
bonusnya. Demikian pula dengan CEO yang kinerjanya kurang baik, ia
akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan
pemecatannya.
(f) Initial Public Offering (penawaran saham perdana). Saat perusahaan go
public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber
informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada
calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan
calon investor maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan.
4. Bentuk Manajemen Laba
Scott (2003 : 383-384) menyebutkan bentuk dari manajemen laba,
yaitu :
1. “Tindakan kepalang basah” (taking a big bath), dilakukan ketika keadaan
buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode
berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode-periode yang
akan datang dan kerugian periode berjalan.
2. Meminimumkan laba (income minimation), dilakukan saat perusahaan
memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat
perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa pembebanan
pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya.
23
3. Memaksimumkan laba (income maximization), yaitu memaksimalkan laba
agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan
perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak utang jangka
panjang,
manajer
perusahaan
tersebut
akan
cenderung
untuk
memaksimalkan laba.
4. Perataan laba (income smoothing), merupakan bentuk manajemen laba
yang dilakukan dengan cara menaikkan dan menurunkan laba untuk
mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat
stabil dan tidak berrisiko tinggi.
5. Offsetting Extraordinary / Unusual Gain, teknik ini dilakukan dengan
memindahkan efek-efek laba yang tidak biasa atau temporal yang
berlawanan dengan trend laba.
6. Aggressive Accounting Applications, teknik ini diartikan sebagai salah saji
(misstatement) dan dipakai untuk membagi laba antar periode.
7. Timming Revenue and Expense Recognition, teknik ini dilakuka dengan
membuat kebijakan tertentu yang berkaitan dengan timming suatu
transaksi, misalnya pengakuan prematur atas pendapatan.
5. Pengukuran Manajemen Laba
Untuk mendeteksi ada tidaknya manajemen laba, maka pengukuran
atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Akrual secara
teknis merupakan selisih laba dengan kas. Akrual muncul karena aturan-aturan
akuntansi seperti depresiasi, cadangan kerugian, dan sebagainya. Secara
24
umum, walaupun diputuskan oleh managemen, akrual terikat dengan
fenomena ekonomik perusahaan. Namun demikian, ada kalanya managemen
membuat keputusan terkait akrual yang tidak sesuai dengan fenomena
ekonomik perusahaan.
Konsep akrual dapat dibedakan menjadi 2 yaitu discretionary accrual
dan nondiscretionary accrual. Discretionary accrual adalah pengakuan laba
atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan
manajemen. Nondiscretionary accrual adalah sebaliknya, pengakuan akrual
laba yang wajar yang tunduk suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Oleh karena itu, nondiscretionary accrual merupakan akrual yang
wajar dan apabila dilanggar akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan
(tidak wajar) maka nondiscretionary accrual ini tidak relevan dalam objek
penelitian ini. Oleh karena itu, bentuk akrual yang dianalisis dalam penelitian
ini adalah bentuk discretionary accrual yang merupakan akrual tidak normal
dan merupakan pilihan kebijakan manajemen dalam pemilihan metode
akuntansi.
Menurut Beneish (2001) ada tiga pendekatan yang dapat digunakan
untuk proksi manajemen laba yaitu :
1. Pendekatan yang mendasarkan pada model agregat akrual, misal model
Jones (1991) dan modified Jones.
2. Pendekatan yang mendasarkan pada model spesifik akrual, misal Beneish
(1997) serta Beaver, McNichols dan Nelson (2000).
25
3. Pendekatan berdasarkan distribusi frekuensi, fokusnya adalah perilaku
laba yang dikaitkan dengan spesifik benchmark dimana praktik
manajemen laba dapat dilihat dari banyaknya frekuensi perusahaan yang
melaporkan laba di atas atau di bawah benchmark, misal Burgstahler, Hail
dan Leuz (2006) serta Myers dan Skinner (1999).
Berdasarkan pada kajian Dechow dan Skinner (2000) maka proksi manajemen
laba yang digunakan penulis adalah model spesifik akrual yaitu akrual modal
kerja. Akrual diskresioner tidak diestimasi berdasarkan kesalahan residual
karena teknik tersebut dianggap relatif rumit, oleh karena itu digunakan proksi
rasio akrual modal kerja dengan penjualan. Alasan pemakaian penjualan
sebagai deflator akrual modal kerja adalah karena manajemen laba banyak
terjadi pada akun penjualan sebagaimana yang diungkapkan oleh Nelson,
Elliot dan Tarpley (2000).
F.
Biaya Modal Ekuitas
1. Definisi Biaya Modal Ekuitas
Konsep biaya modal merupakan suatu konsep yang penting dalam
analisis struktur modal karena biaya modal itu sendiri timbul akibat adanya
penggunaan sumber-sumber modal jangka panjang dalam struktur modal
perusahaan. Penggunaan sumber-sumber modal memerlukan suatu kombinasi
untuk menghasilkan biaya modal yang rendah dari masing-masing sumber
modal, untuk itu pihak manajemen terlebih dahulu harus memahami dan
mengetahui konsep biaya modal tersebut.
26
Biaya modal adalah merupakan konsep yang dinamis yang dipengaruhi
oleh faktor ekonomi. Asumsi yang berkaitan dengan risiko dan pajak
seringkali mendasari struktur biaya modal. Asumsi dasar yang digunakan
dalam estimasi biaya modal adalah risiko bisnis dan risiko keuangan adalah
tetap (relatif stabil).
Pengertian biaya modal menurut Awat (1999) adalah biaya modal
didefinisikan sebagai biaya yang diperhitungkan karena penggunaan modal
tertentu, baik biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh modal tersebut
maupun biaya yang terpaksa diperhitungkan selama penggunaan modal yang
dimaksud. Husnan (1997), menambahkan bahwa biaya modal dalam bentuk
modal sendiri merupakan tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik
dana tersebut sebelum mereka menyerahkan dananya ke perusahaan. Jadi,
pemahaman tentang biaya modal bisa diartikan sebagai suatu tingkat
pengembalian yang diharapkan investor atas dana yang dipergunakan
perusahaan.
Agar manajemen perusahaan mampu menentukan struktur biaya modal
yang optimal atas penggunaan sumber-sumber modal perusahaan maka
diperlukan konsep biaya modal yang sesuai. Hal ini dimaksudkan agar dapat
menentukan besarnya biaya riil dari penggunaan modal dari masing-masing
sumber dana dan untuk keseluruhan dana tersebut dapat ditentukan biaya
modal rata-rata yang merupakan bagian dari biaya modal masing-masing
komponen struktur modal.
27
Menurut Warsono (1998) dalam menentukan biaya modal perusahaan,
penentuan biaya modal sendiri adalah yang paling sulit dilakukan karena yang
dijadikan sebagai dasar untuk penentuan biaya modal adalah arus kas terutama
deviden dan pertumbuhannya. Biaya modal sendiri (cost of equity capital)
dapat diartikan “Tingkat hasil minimum (minimum rate of return) yang harus
dihasilkan oleh perusahaan atas dana yang diinvestasikan dalam suatu proyek
yang bersumber dari modal sendiri, agar harga saham perusahaan di pasar
saham tidak berubah.”
Menurut (Sujana Isyama,2006 dalam Dhiba,2011) mengatakan bahwa
Biaya modal ekuitas merupakan sebuah konsep yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor ekonomi dan jumlah biaya yang diukur sebagai tingkat bunga
dari berbagai sumber modal yang masing-masing ditimbang menurut
peranannya dalam struktur modal dan permodalan yang digunakan oleh
perusahaan.
Biaya modal ekuitas dapat diperoleh perusahaan dari laba ditahan atau
mengeluarkan saham baru dan menjualnya kepada investor yang berniat
menanamkan modalnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dana
yang diperlukan oleh perusahaan.
2. Sumber Biaya Modal Ekuitas
Perusahaan memiliki beberapa sumber dana agar memiliki struktur
biaya modal yang optimal. Biaya modal dihitung atas beberapa sumber dana
28
yang tersedia bagi perusahaan. Menurut Brigham dan Gapenski (1993, p. 179)
ada empat sumber dana dalam perhitungan biaya modal yaitu :
1. Hutang jangka panjang
Biaya hutang jangka panjang didapat dari pembagian antara beban bunga
hutang jangka panjang yang ditanggung dengan total hutang jangka
panjang yang digunakan oleh perusahaan pada periode tertentu. Dalam
perhitungan biaya hutang jangka panjang perlu diperhitungkan adanya
pajak penghasilan untuk mendapatkan dana jangka panjang melalui
pinjaman.
2. Saham preferen
Pembayaran biaya saham preferen dilakukan dengan pemberian dividen
dalam jumlah tertentu. Besarnya biaya saham preferen sama dengan
tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor pemegang saham
preferen. Perhitungan biaya saham preferen adalah deviden saham
preferen tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen.
3. Saham biasa
Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh
investor untuk mendiskontokan deviden yang diharapkan diterima di masa
yang akan datang.
4. Laba ditahan
Penggunaan laba ditahan untuk mendanai suatu proyek akan membawa
konsekuensi berupa biaya internal common equity atau cost of retained
earning. Laba ditahan adalah bagian dari laba tahunan yang diinvestasikan
29
kembali dalam usaha selain dibayarkan dalam kas sebagai deviden dan
bukan merupakan akumulasi surplus suatu neraca. Alasan mengapa biaya
modal diterapkan pada laba ditahan adalah menyangkut prinsip biaya
oportunities (opportunity cost principle).
3.
Pengukuran Biaya Modal Ekuitas
Pengukuran biaya modal ekuitas, dipengaruhi oleh model penilaian
perusahaan yang digunakan. Menurut Botosan dan Plumlee (2000) ada
beberapa model penilaian perusahaan, antara lain :
1. Model penilaian pertumbuhan konstan (constant growth valuation model)
Model ini dikenal dengan sebutan Gordon Model. Dasar pemikiran yang
digunakan adalah bahwa nilai saham dengan nilai tunai (present value)
dari semua deviden yang akan diterima di masa yang akan datang
(diasumsikan pada tingkat pertumbuhan konstan) dalam waktu yang tidak
terbatas.
2. Capital Asset Pricing Model (CAPM) Berdasarkan model CAPM, biaya
modal saham biasa adalah tingkat return yang diharapkan oleh investor
sebagai kompensasi atas resiko yang tidak dapat didiversifikasi yang
diukur dengan beta. Prosedur penentuan biaya laba ditahan dengan
menggunakan pendekatan CAPM adalah sebagai berikut :
a. Tetapkan perkiraan tarif bebas resiko (R) yang umumnya ditetapkan
berdasarkan suku bunga obligasi atau promes pemerintah.
30
b. Tentukan koefisien beta saham (β) dan gunakan sebagai indeks resiko
saham.
c. Cari tingkat pengembalian menurut pasar atau rata-rata saham (k).
d. Tentukan perkiraan tingkat pengembalian disyaratkan dari saham
dengan nilai (k-R) adalah premi resiko pada rata-rata saham,
sedangkan β adalah indeks resiko saham bersangkutan yang sedang
dianalisis.
Kelebihan dari pendekatan CAPM adalah memberikan perkiraan k yang
akurat. Kelemahan metode ini adalah :
1.
Bila diversifikasi pemegang saham suatu perusahaan tidak luas maka
mereka akan lebih tertarik pada masalah total resiko dan bukannya
hanya resiko pasar saja.
2. Adanya perubahan tingkat resiko saham versus hasil sehingga premi
resiko pasar menjadi tidak stabil.
3. Model Ohlson
Model Ohlson digunakan untuk mengestimasi nilai perusahaan
dengan mendasarkan pada nilai buku ekuitas ditambah dengan nilai
tunai dari laba abnormal.
T
Pt = yt + ∑ ( i + r )-T Et { XT+1 – ( r ) YT + t – 1 }
T=1
setelah disederhanakan secara matematik, maka rumus biaya modal
ekuitas akan menjadi :
r = ( Bt + Xt+1 – Pt ) / ( Pt )
31
Keterangan:
Pt
= harga saham pada periode t
Bt
= nilai buku per lembar saham pada periode t
Xt+1
= laba per lembar saham pada periode t+1
r
= biaya modal ekuitas
“Pada dasarnya menggunakan model Ohlson ini untuk mengestimasikan
biaya modal ekuitas” (Botoson,1997). Botoson (1997) dalam Utami (2005)
mengungkapkan untuk perhitungan ekspektasi biaya modal ekuitas dengan
menggunakan estimasi laba per lembar saham untuk periode tahun ke
depan (t=4) dan memakai data forecast laba per saham yang
dipublikasikan oleh Value Line. Di Indonesia sendiri publikasi data
forecast laba per saham tidak ada. Karena itu, estimasi laba per saham
dalam penelitian menggunakan random walk model, sesuai dengan
penelitian Rini (2002) dengan penggunaan random walk model tersebut
adalah untuk dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengukur prakiraan
laba. Dan penelitian sejenis juga dilakukan oleh Qizam (2001) yang
menyimpulkan bahwa laba tahunan di Indonesia mengikuti random walk.
G.
Manajemen Laba dan Biaya Modal Ekuitas
Menurut Copeland dalam Utami (2005), manajemen laba mencakup usaha
manajemen untuk memaksimalkan atau meminimalkan laba, termasuk perataan
laba sesuai dengan keinginan manajemen. Sedangkan pengertian biaya modal
ekuitas
adalah
besarnya
rate
yang
digunakan
oleh
investor
unntuk
32
mendiskontokan dividen yang diharapkan diterima di masa yang akan datang
(Utami, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh (Deschow et el, 1996 dalam Utami, 2005)
untuk meneliti penyebab dan konsekuensi dari tindakan pemanipulasian laba,
dimana salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana dampak
manipulasi laba terhadap biaya modal ekuitas.
Hubungan antara manajemen laba dengan biaya modal ekuitas dapat
dilihat dari penelitian (Scoot, 1997 dalam Dhiba, 2011) manajemen laba dilihat
dari perspektif pasar modal. Menyatakan bahwa manajemen laba dapat
menghubungkan informasi yang terkandung dalam pasar tentang pengaruh
earnings management terhadap biaya. Artinya informasi laba yang diatur oleh
pihak manajer perusahaan dapat memberikan sinyal informasi pada pasar tentang
jumlah biaya atas modal yang dibayarkan oleh perusahaan.
Berikut adalah model penelitian :
Manajemen Laba
H.
Biaya Modal Ekuitas
Penelitian Terdahulu
Halim dkk, 2005 meneliti mengenai pengaruh manajemen laba pada
tingkat pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang
termasuk dalam indeks LQ-45 dengan menggunakan sembilan variabel dan
didapatkan bukti bahwa manajemen laba berpengaruh signifikan positif pada
33
tingkat pengungkapan laporan keuangan sejalan dengan perspektif efficient
earnings management.
Utami, 2005 yang menjadi acuan dalam penelitian ini, membuktikan
bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal
ekuitas dengan menggunakan model pengukuran Ohslon sebagai proksi
pengukuran biaya modal ekuitas, artinya semakin tinggi tingkat akrual, maka
semakin tinggi pula biaya modal ekuitas. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
manajemen laba di Indonesia yang relatif tinggi telah diantisipasi dengan cermat
oleh investor di Bursa Efek Indonesia.
Kharisma, 2006 Penelitiannya menunjukkan bahwa praktik manajemen
laba yang dilakukan perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Jakarta mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap biaya modal
ekuitas. Kapitalisasi pasar yang memiliki pengaruh negatif yang signifikan
terhadap biaya modal ekuitas. Sedangkan variabel beta saham tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap biaya modal ekuitas.
Dhiba, 2011 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa manajemen laba
berpengaruh positif secara signifikan terhadap biaya modal ekuitas. Hal ini
menjelaskan bahwa investor sudah mengantisipasi dengan baik tentang informasi
yang terkait dengan manajemen laba.
Septi, 2012 dalam penilitian menunjukkan bahwa manajemen laba tidak
berpengaruh positif dan signifikkan terhadap biaya modal ekuitas. Artinya bahwa
manajemen laba tidak sepenuhnya meningkatkan biaya modal ekuitas perusahaan.
34
Asti, 2012 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa manajemen laba
secara signifikan tidak berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas suatu
perusahaan.
Download