analisis dampak pertambangan emas terhadap sosial ekonomi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Alam
Rees dalam Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya
harus: 1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya dan
2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain
sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang
dan jasa dalam kegiatan ekonomi.
Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi kedalam dua kelompok,
yaitu:
1) Kelompok Stok (Non Renewable)
Sumberdaya
ini
dianggap
memiliki
cadangan
yang
terbatas, sehingga
eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan
sumberdaya, sumber stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable)
atau terhabiskan (exhuastible).
2) Kelompok flow
Jenis sumberdaya ini dimana jumlah dan kualitas fisik dari sumberdaya berubah
sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, bisa
mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya
di masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable)
yang regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.
6
Universitas Sumatera Utara
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai
sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan
regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses geologi
yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam
yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah
yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula.
Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat terbarukan
adalah tambang minyak. Tambang minyak memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan
tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan sumberdaya tersebut untuk
melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita sebut juga sebagai sumberdaya
yang mempunyai stok yang tetap.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak
terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan
(renewable). Pengusaha pertambangan, harus memutuskan kombinasi yang tepat dari
berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga seberapa
cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas.
Beberapa perbedaan pokok antara pengelolaan sumberdaya alam tidak
terbarukan dengan model ekonomi konvensional:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Pengelolaan Sumber Daya Alam
Parameter
Model Ekonomi Kompetetif
Model Sumberdaya Non
Renewable
Maksimasi keuntungan
(maksimasi profit, n)
Penerimaan marjinal (p) sama
dengan biaya marjinal (BM)
atau p = BM
Stok yang tidak diekstraksi,
mempunyai nilai
opportunitasnya atau P=BM+A
Ekstraksi sumberdaya
Investasi karena nilai rente
sumberdaya terkiat waktu.
Penetuan rente/keuntungan
tidak dihitung masa kini juga
masa sekarang
Terkendala stok, pada waktu
tertentu (terminal period), stok
akan habis. Peran waktu sangat
krusial, intertemporal
Sumber: Fauzi (2004).
Masalah utama dalam usaha pertambangan (termasuk penambangan minyak
dan batu bara) adalah menemukan atau menaksir jumlah kandungan sumberdaya
alam yang kita miliki dan menurunkan tingkat kesulitan (pemanfaatan) yang akan
dihadapi. Menurut Sahat 1997, informasi mengenai letak dan jumlah kandungan
sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat berharga dan vital, baik bagi
pemilik sumberdaya (pemerintah) maupun kontraktor (penambang). Jika pemilik
tidak mengetahui berapa jumlah dan nilai sumberdaya yang dimiliki, maka
perusahaan pertambangan akan menekan harga sewa atau bagi hasil tambang
tersebut. Bisa juga dengan menaikan nilai tambang melebihi nilai sebenarnya,
sehingga pemilik atau orang lain mau menanamkan modalnya pada usaha patungan
yang akan dibuat. Kasus pendugaan stok tambang tembaga (yang sebenarnya lebih
banyak kandungan emasnya) di Tembagapura Timika merupakan salah satu contoh
ketidakmampuan kita untuk mengetahui jumlah dan jenis kandungan tambang yang
ada secara tepat.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan teknologi saat ini, telah mampu menekan biaya dan waktu
untuk pendugaan besar kandungan. Dengan bantuan teknologi penginderaan jauh
(citra satelit dan foto udara) menjadikan kegiatan lebih mudah, namun survei
lapangan atau eksplorasi permukaan (ground survey) dan pengujian contoh masih
tetap sangat diperlukan. Sementara itu, tingkat ketidak pastian dari tahap ekplorasi
masih tinggi sebagai salah satu ciri khas usaha pertambangan, waktu yang lama untuk
penelitian, risiko dan capital intensive. Hasil penelitian di AS mengenai minyak bumi
dan gas menunjukkan bahwa nilai kiraan eksplorasi berada diantara sepersepuluh
sampai sepuluh kali dari jumlah deposit sebenarnya yang diperoleh pada saat/sesudah
produksi berjalan. Artinya kiraan eksplorasi deposit bisa melesat sepuluh kali dari
nilai sebenarnya (M. Uman et.al 1979, dalam Sahat 1997).
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Mineral secara Berkelanjutan
Sebagai sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources)
seperti mineral disebut juga sumberdaya terhabiskan (depletable) adalah sumberdaya
alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis maka suatu saat
akan habis. Selain itu sumberdaya mineral memerlukan waktu yang lama untuk siap
ditambang. Sebagai basis dari teori ekstraksi sumberdaya alam tidak pulih secara
optimal adalah model Hotteling yang telah dikembangkan oleh Harold Hotteling
(1931). Prinsip model Hotteling adalah bagaimana mengekstrak sumberdaya mineral
secara optimal dengan kendala stok dan waktu. Aplikasi dari teori ini adalah bagi
pihak perusahaan pertambangan, untuk mendapatkan produksi sumberdaya mineral
Universitas Sumatera Utara
secara optimal harus mampu menentukan berbagai faktor produksi yang tepat dengan
kendala waktu dan stok (deposit). Sedangkan bagi pihak pemilik sumberdaya dalam
hal ini negara harus bersikap mengabaikan (indifferent) terhadap sumberdaya
mineral, apakah akan mengekstrak sekarang atau pada masa yang akan datang. Jadi
sebagai pengambil kebijakan peran negara sangat menentukan terhadap eksploitasi
sumberdaya mineral yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi (economic
oriented) tetapi juga harus mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan,
social, kesiapan kelembagaan baik pemerintah maupun masyarakat.
Eksploitasi dari sumberdaya mineral dapat dibuat berlanjut (economically
sustainable), jika dapat membuat sumber permanen dari pemasukan. Sebagaimana
Visi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral yakni: Terwujudnya sektor energi
dan sumberdaya mineral yang menghasilkan nilai tambah sebagai salah satu sumber
kemakmuran rakyat melalui pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan, adil,
transparan, bertanggungjawab, efisien serta sesuai standart etika yang tinggi. Namun
yang dimaksud berkelanjutan pada pembahasan ini bukanlah upaya untuk
menemukan cadangan baru dari sumberdaya mineral tetapi lebih kepada mencari
sumberdaya pengganti jika sumberdaya mineral benar-benar telah habis.
Pembangunan yang berkelanjutan harus diarahkan untuk mencapai tiga tujuan
yang mencakup sekurang-kurangnya tiga dimensi, yaitu tujuan ekonomi, tujuan
sosial, dan tujuan ekosistem. Hubungan antara ketiga tujuan dan unsur-unsur penting
yang harus diperhatikan dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Sumber: M. Uman et.al 1979, dalam Sahat 1997.
Gambar 2.1. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan
Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan adalah:
1) Tujuan Ekonomi dan Sosial
Kedalam tujuan ekonomi sosial, terdapat tiga unsur penting yang harus
diperhatikan agar tujuan ekonomi dan tujuan sosial dapat dicapai secara
bersamaan, yaitu distribusi pendapatan, kesempatan kerja (employment), dan
bantuan bersasaran (targeted assistence). Pertumbuhan ekonomi harus disertai
dengan upaya peningkatan kesempatan kerja dan upaya pemerataan hasil-hasil
pembangunan. Untuk mencapai hal tersebut, segala bentuk rintangan (barriers)
yang menghalangi akses masyarakat, terutama masyarakat miskin untuk ikut serta
dalam pembangunan, pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain, harus ditekan
sekecil mungkin atau dihilangkan sama sekali.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks industri pertambangan, misalnya dengan memberikan kesempatan
berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat kecil melalui pemberian
pinjaman modal (peningkatan sumberdaya kapital), penyediaan berbagai fasilitas
yang mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan lain-lain.
Keberpihakan terhadap kelompok masyarakat miskin, masyarakat dipedesaan,
wanita dan anak-anak, ataupun kelompok masyarakat lain yang selama ini
diabaikan, perlu dilakukan sehingga tujuan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan sekaligus pemerataan dan pengentasan kemiskinan dapat terealisasi.
Intinya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat adalah hal yang sangat penting
untuk dilaksanakan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
2) Tujuan Ekonomi dan Tujuan Ekosistem
Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan sebagian besar
mempunyai relevansi terhadap konservasi sumberdaya alam dan lingkungan yang
berkelanjutan. Response dan akselerasi pembangunan ekonomi membutuhkan
pemeliharaan lingkungan hidup yang mendukung kegiatan ekonomi dan sosial
yang
dinamis,
selain
menentukan
kebijaksaan
juga
ditingkat
nasional
membutuhkan program-program di tingkat lokal dan wilayah yang dapat
dilaksanakan. Pembangunan nasional tidak akan tumbuh pesat apabila kehidupan
ekonomi wilayah dan lokal tidak dinamis, stabil dan penuh ketidakpastian.
Pembangunan juga tidak akan berjalan pesat apabila anggaran belanja
pembangunan tidak akan mencukupi.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan yang terjadi dalam pembangunan ekonomi adalah tidak
memperhitungkan nilai-nilai pemanfaatan sumberdaya yang tidak memiliki harga,
seperti nilai-nilai intrinsik sumberdaya alam maupun beban sosial masyarakat
akibat pemanfaatan sumberdaya. Tidak adanya penilaian terhadap sumberdaya ini
selanjutnya
menimbulkan
eksternalitas-eksternalitas
tersendiri
(terutama
eksternalitas negatif) yang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat harus menanggung beban/biaya sosial yang timbul dalam setiap,
pemanfaatan sumberdaya tanpa sedikitpun diberi “kompensasi”. Beban/biaya
sosial terbesar yang harus ditanggung oleh masyarakat saat ini maupun masyarakat
dimasa yang akan datang adalah penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan,
yang tentu saja dalam jangka panjang tidak menjamin pengelolaan sumberdaya
yang berkelanjutan (tujuan ekosistem dalam pembangunan berkelanjutan tidak
akan tercapai).
Oleh karena itu, maka dalam program-program pembangunan wilayah dan
pemukiman sekelompok masyarakat, harus memperhatikan tujuan ekosistem ini.
Setiap program yang akan dilaksanakan harus dievaluasi dampaknya terhadap
lingkungan. Selain itu, penilaian terhadap sumberdaya-sumberdaya yang
dimanfaatkan (baik nilai ekstrinsik maupun intrinsiknya) sangat diperlukan untuk
menghindari, setidaknya mengurangi, eksternalitas. Jikalau eksternalitas telah
terjadi, maka upaya-upaya internalisasi berbagai dampak keluar (eksternalitas) ini
harus dilakukan, misalnya dengan bentuk-bentuk kompensasi. Dengan demikian,
segala aktifitas yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Universitas Sumatera Utara
ataupun efisiensi kapital (tujuan ekonomi) akan tetap memperhatikan pengelolaan
yang berkelanjutan.
3) Tujuan Sosial dan Tujuan Ekosistem
Untuk dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan, kebijaksanaan
lingkungan yang lebih menekankan pada konservasi dan perlindungan
sumberdaya, perlu memperhitungkan mereka yang masih bergantung kepada
sumberdaya tersebut, untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Bila hal ini tidak
diperhatikan, akan memberikan dampak yang buruk terhadap kemiskinan dan
mempengaruhi keberhasilan jangka panjang dalam upaya konservasi sumberdaya
dan lingkungan.
Selain itu, masalah hak kepemilikan merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan
sumberdaya yang efisien, merata dan berkelanjutan. Sumberdaya yang dimiliki
oleh umum (tidak jelas hak kepemilikannya) telah mengarah pada sumberdaya
akses terbuka (open access), dimana dalam keadaan ini, siapapun dapat
memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa sedikitpun mempunyai insentif untuk
memelihara kelestariannya. Pengukuhan hak-hak kepemilikan akan memperjelas
posisi kepemilikan suatu pihak sehingga pihak tersebut dapat mencapai kelestarian
(upaya konservasi) dan mempertahankan apa yang telah menjadi miliknya dari
intervensi maupun ancaman dari pihak luar.
Kearifan-kearifan (wisdoms) lokal harus dipahami dan dijadikan sebagai
dasar/landasan dalam membuat program-program pengembangan wilayah
tersebut. Untuk itu, masyarakat lokal, sebagai pihak yang menguasai pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
tradisional (traditional knowledge) yang dimilikinya harus diikutkan dalam upaya
perumusan/pembuatan program-prpgram tersebut. Jika hal ini dapat dilakukan dan
terealisasi, maka partisipasi aktif dari masyarakat dalam pembangunan akan
muncul dengan sendirinya.
2.3. Pembangunan Sosial Ekonomi dan Pengembangan Wilayah
2.3.1. Konsep Pembangunan Ekonomi
Pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman dalam penelitian
ini didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita riil
penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno 1996).
Berdasarkan atas definisi ini dapat diketahui bahwa pembangunan ekonomi berarti
adanya suatu proses pembangunan yang terjadi terus menerus yang bersifat
menambah dan memperbaiki segala sesuatu menjadi lebih baik lagi. Adanya proses
pembangunan itu diharapkan adanya kenaikan pendapatan riil masyarakat
berlangsung untuk jangka panjang.
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang terjadi
terus-menerus yang bersifat dinamis. Apapun yang dilakukan, hakikat dari sifat dan
proses pembangunan itu mencerminkan adanya terobosan yang baru, jadi bukan
merupakan gambaran ekonomi suatu saat saja. Pembangunan ekonomi berkaitan pula
dengan pendapatan perkapita riil, di sini ada dua aspek penting yang saling berkaitan
yaitu pendapatan total atau yang lebih banyak dikenal dengan pendapatan nasional
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita berarti pendapatan total dibagi dengan
jumlah penduduk.
Pembangunan ekonomi dipandang sebagai proses multidimensional yang
mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensif baik ekonomi maupun
non ekonomi. Oleh sebab itu, sasaran pembangunan yang minimal dan pasti ada
menurut Todaro dalam Suryana (2000) adalah:
1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian atau pemerataan bahan
pokok yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan
lingkungan.
2. Mengangkat taraf hidup temasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan
penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih
besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan materi, akan tetapi untuk meningkatkan kesadaran akan
harga diri baik individu maupun nasional.
3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua individu dan
nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan ketergantungan,
tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi dari sumbersumber kebodohan dan penderitaan.
Suryana (2000) menyebutkan ada empat model pembangunan, yaitu model
pembangunan ekonomi yang beorientasi pada pertumbuhan, penciptaan lapangan
kerja, penghapusan kemiskinan dan model pembangunan yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan dasar. Berdasarkan atas model pembangunan tersebut, semua
Universitas Sumatera Utara
itu bertujuan pada perbaikan kualitas hidup, peningkatan barang-barang dan jasa,
penciptaan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, dengan harapan tercapainya
tingkat hidup minimal untuk semua rumah tangga yang kemudian sampai batas
maksimal.
Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada
pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota. Ekonomi
perdesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat
dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas
primer dari perdesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan
pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2005).
Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung
mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang
diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah
hinterland-nya. Ternyata net-effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive
backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi
transfer sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besarbesaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai
barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktifitas pertanian.
Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan
terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital
dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai
akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan
Universitas Sumatera Utara
kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan oleh Yudhoyono (2004) bahwa
pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan
pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Untuk itu tantangan
pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan
perdesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat perdesaan
secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama
semakin deras (speed up proccesses), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka
akan mendapatkan pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan
harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan
persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya
pemukiman kumuh dan rumah liar, masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air
bersih yang buruk, menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan
menurunkan produktifitas masyarakat di kawasan perkotaan.
Model pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan sulit
dijadikan model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila
tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholder dari awal perencanaan hingga
pasca proyek. Pengembangan wilayah dengan pendekatan sistim agropolitan harus
menyentuh (1) pembangunan fisik wilayah, seperti: pembangunan jalan, pasar,
terminal, dan lain lain , (2) sumberdaya manusia dan sosial yaitu: koordinasi antar
stakeholder dan pemahaman tentang konsep agropolitan, (3) aspek tehnologi yaitu:
pengolahan hasil pertanian dan peralatannya.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Pembangunan Sosial
Pembangunan sosial muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun 1990an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut
terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada
beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif,
Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan
tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan,
yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development),
berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered
development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan
memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal
mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa
masalah yang sulit dicari pemecahannya (Tangdilintin, 1999).
Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang
dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran
yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul
berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan
sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan
(services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic
need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan
etnis (ethnodevelopment).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Paiva (1977) dalam Munandar (2002), pembangunan sosial adalah
“development of the capacity of people to work continuosly for their own and
society’s welfare.” Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang
akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development. Pembangunan
sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari
proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia.
Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan
manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan
melindungi kelangsungan lingkungan hidup.
Menurut Margareth dan Midgley (1982) model pembangunan sosial pada
dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan
kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki
kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya
menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara
ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan
pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan,
perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama
mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi.
Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut
dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal
ini diperlukan adanya intervensi pemerintah, misalnya melalui perundang-undangan
Universitas Sumatera Utara
yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan
bagi golongan penduduk yang lemah.
Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan
aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang
bermatra
pelayanan
sosial,
penyembuhan
sosial,
perlindungan
sosial
dan
pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006). Pembangunan melalui investasi sosial
mempunyai dampak langsung berupa penciptaan lapangan kerja, prakarsa partisipasi
dalam pembangunan yang lebih luas biarpun pada awalnya dalam lapangan
pembangunan sosial yang sederhana. Investasi dalam pembangunan sosial akan
meningkatkan produktivitas karena adanya rasa ikut memiliki serta kepercayaan
melalui partisipasi yang lebih ikhlas. Karena partisipasi itu dilakukan dengan ikhlas,
maka lebih mudah memberikan kepuasan berkat dipenuhinya hak-hak sosial ekonomi
dan budaya yang sangat mendasar.
Intervensi pembangunan sosial yang mulai marak di berbagai negara maju
menghendaki pendekatan pembangunan bukan lagi untuk mengembangkan negara
kesejahteraan (welfare state) dalam arti sempit, tetapi menciptakan suatu komunitas
yang bekerja keras (workfare community) yang akhirnya akan menciptakan suatu
workfare state yang mengharuskan negara memberikan dukungan fasilitasi yang kuat
dalam proses pemberdayaan yang lebih adil dan merata, yang memihak kepada
keluarga atau penduduk yang tertinggal.
Universitas Sumatera Utara
Biarpun pendekatan baru ini memerlukan dukungan pertumbuhan ekonomi
yang memadai, namun bukan tidak mungkin bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada awalnya tidak akan tercapai. Proses pemerataan akan mengharuskan
kesempatan kerja diupayakan meluas secara horizontal sehingga keluarga dan
penduduk yang tingkat produktifitasnya rendah harus diberikan kesempatan
pemberdayaan untuk dapat bekerja agar rasa keadilan bisa ditegakkan. Karena
penduduk yang kualitas dan produktifitasnya masih rendah harus diusahakan bekerja
secara merata, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi bisa tidak tercapai. Kegiatan
ekonomi harus lebih dikuasi oleh pelaku yang terdiri dari rakyat biasa yang sedang
berjuang untuk maju. Karenanya, ketika pemberdayaan atau kesempatan kerja
diberikan kepada rakyat secara luas, pertumbuhan ekonomi tidak mungkin setinggi
upaya yang berorientasi pertumbuhan tinggi.
Namun dapat dipastikan penduduk berubah, dari sekadar sebagai penonton
pembangunan menjadi pelaku pembangunan. Kalau proses ini dilakukan dengan baik
dan konsisten, pada waktunya akan menumbuhkan massa baru, workfare society/
yang lebih berkualitas dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang disertai
kepuasan sosial yang sangat tinggi.
2.3.3. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
Universitas Sumatera Utara
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana
komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit
geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik, Hagget, Cliff dan Frey (1977)
dalam Rustiadi et al. (2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning
region atau programming region).
Sejalan dengan klasifikasi tersebut, Glason (1974) dalam Tarigan (2005)
berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah
menjadi : 1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/
homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut
kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2) fase
kedua
yaitu
wilayah
fungsional
yang
berkenaan
dengan
koherensi
dan
interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah
tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari
satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling
Universitas Sumatera Utara
berkaitan. 3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi
atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis
yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah
mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara
geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
pewilayahan untuk tujuan pengembangan/ pembangunan/development. Tujuan-tujuan
pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan
keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi
berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat
alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan
dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang
paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah
dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek
pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam
sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi
pembangunan
yang
menekankan
kepada
pertumbuhan
ekonomi,
kemudian
pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada
kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan
pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development).
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa
memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri
(Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan
memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado, 2002).
Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan
Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar
dalam pengembangan wilayah adalah :
1. Sebagai growth center
Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus
diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat
ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.
Universitas Sumatera Utara
2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar
daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari
daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat
bagi perencanaan pengembangan kawasan.
Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan
diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi
sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme
di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).
Studi pengembangan wilayah melalui tiga indikator, yakni: penghasilan
resipien (recipient’a income), pengembangan daerah (regional development) dan
pertumbuhan
kelembagaan
(institusional
growth).
Keberhasilan
program
pengembangan wilayah diukur dari ada tidaknya “perubahan” (dan atau peningkatan)
dalam ketiga indikator tersebut. Suatu program dinilai berhasil apabila program ini
berhasil membawakan kenaikan dalam penghasilan resipien (keluarga), membantu
mengembangkan daerah, dan mendorong pertumbuhan kelembagaan.
Pembangunan regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan
nasional. Karena itu diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi
dan teralokasi ke tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama
dalam perkembangan ekonominya maka diperlukan beberapa kebijaksanaan dan
Universitas Sumatera Utara
program pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau
perwilayahan. Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan
aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep pusat-pusat
pertumbuhan ini menekankan pada fakta bahwa pembangunan tidak terjadi dimanamana secara serentak, tetapi di tempat-tempat tertentu yang disebut sebagai pusat
pertumbuhan dan pada akhirnya akan menyebar melalui berbagai saluran dan
mempunyai akibat akhir yang berlainan pada perekonomian secara keseluruhan.
Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu
daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan
yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah
yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan
ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.
Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-daerah
yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing,
manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu
mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep
pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan
bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Pembangunan Daerah
Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan
ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang
secara parsial dapat membantu bagaimana memahami arti penting pembangunan
ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori-teori tersebut berkisar pada dua hal,
yaitu pembahasan yang berkisar tentang metode dalam menganalisis perekonomian
suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad 1999).
Pengembangan metode untuk menganalisis suatu perekonomian suatu daerah
penting sekali kegunaanya sebagai sarana mengumpulkan data tentang perekonomian
daerah yang bersangkutan serta proses pertumbuhannya. Pengembangan metode
analisis ini kemudian dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan tindakantindakan apa yang harus diambil guna mempercepat laju pertumbuhan yang ada.
Akan tetapi di pihak lain harus diakui, menganalisis perekonomian suatu daerah
sangat sulit (Arsyad 1999). Beberapa faktor yang sering menjadi penghambat dalam
melakukan analisis perekonomian di antaranya:
a. Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan
berdasarkan pengertian daerah nodal (berdasarkan fungsinya).
b. Data yang dibutuhkan umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan
untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional.
Universitas Sumatera Utara
c. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan sebab
perekonomian daerah lebih terbuka jika dibandingkan dengan perekonomian
nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliranaliran yang masuk dan
keluar dari suatu daerah sukar diperoleh.
d. Bagi Negara Sedang Berkembang, disamping kekurangan data sebagai
kenyataan yang umum, data yang terbatas itu pun banyak yang kurang akurat
dan terkadang relatif sulit dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk
melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian yang
sebenarnya di suatu daerah.
Ada beberapa teori dalam pembangunan daerah yang berhubungan dengan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Harry W. Richardson yang
menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar
daerah (Arsyad 1999). Dalam penjelasan selanjutnya dijelaskan bahwa
pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk
tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah
dan penciptaan peluang kerja (job creation). Asumsi ini memberikan pengertian
bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut
dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain
sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno 2000).
Universitas Sumatera Utara
Ada serangkaian teori ekonomi sebagai teori yang berusaha menjalankan
perubahan-perubahan regional yang menekankan hubungan antara sektor-sektor
yang terdapat dalam perekonomian daerah. Teori yang paling sederhana dan
populer adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Menurut Glasson
(1990), konsep dasar basis ekonomi membagi perekonomian menjadi dua sektor
yaitu:
1) Sektor-sektor Basis adalah sektor-sektor yang mengekspor barang-barang dan
jasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atas
masukan barang dan jasa mereka kepada masyarakat yang datang dari luar
perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
2) Sektor-sektor Bukan Basis adalah sektor-sektor yang menjadikan barangbarang yang dibutuhkan oleh orang yang bertempat tinggal di dalam batas
perekonomian masyarakat bersangkutan. Sektor-sektor tidak mengekspor
barang-barang. Ruang lingkup mereka dan daerah pasar terutama adalah
bersifat lokal.
Secara implisit pembagian perekonomian regional yang dibagi menjadi dua
sektor tersebut terdapat hubungan sebab-akibat dimana keduanya kemudian
menjadi pijakan dalam membentuk teori basis ekonomi. Bertambahnya kegiatan
basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke dalam daerah yang
bersangkutan sehingga menambah permintaan terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan, akibatnya akan menambah volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya
semakin berkurangnya kegiatan basis akan menurunkan permintaan terhadap
Universitas Sumatera Utara
produk dari kegiatan bukan basis yang berarti berkurangnya pendapatan yang
masuk ke daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan basis mempunyai
peran sebagai penggerak utama.
b. Teori Tempat Sentral
Teori Tempat Sentral (central place theory) menganggap bahwa ada hirarki
tempat dimana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat lebih kecil
yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral
tersebut merupakan suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk
daerah yang mendukungnya. Teori tempat sentral memperlihatkan bagaimana
pola-pola lahan dari industri yang berbeda-beda terpadu membentuk suatu sistem
regional kota-kota (Supomo 2000).
Teori tempat sentral ini bisa diterapkan pada pembangunan ekonomi daerah,
baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaaan. Misalnya, perlunya
melakukan
pembedaan
fungsi
antara
daerah-daerah
yang
bertetangga
(berbatasan). Beberapa daerah bisa menjadi wilayah penyedia jasa sedangkan
daerah lainnya hanya sebagai wilayah pemukiman. Seorang ahli pembangunan
ekonomi daerah dapat membantu masyarakat untuk mengembangkan peranan
fungsional mereka dalam sistem ekonomi daerah.
c. Teori interaksi spasial
Merupakan arus gerak yang terjadi antara pusat-pusat pelayanan baik berupa
barang, penduduk, uang maupun yang lainnya. Untuk itu perlu adanya hubungan
antar daerah satu dengan yang lain karena dengan adanya interaksi antar wilayah
Universitas Sumatera Utara
maka suatu daerah akan saling melengkapi dan bekerja sama untuk meningkatkan
laju pertumbuhan ekonominya.
Dalam teori ini didasarkan pada teori gravitasi, dimana dijelaskan bahwa
interaksi antar dua daerah merupakan perbandingan terbalik antara besarnya
massa wilayah yang bersangkutan dengan jarak keduanya. Dimana massa wilayah
diukur dengan jumlah penduduk. Model interaksi spasial ini mempunyai
kegunaan untuk:
1) Menganalisa gerakan antar aktivitas dan kekuatan pusat dalam suatu daerah.
2) Memperkirakan pengaruh yang ada dan ditetapkannya lokasi pusat
pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya.
Interaksi antar kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain
sebagai produsen dan konsumen serta barang-barang yang diperlukan
menunjukkan adanya gerakan. Produsen suatu barang pada umumnya terletak
pada tempat tertentu dalam ruang geografis, sedangkan para langganannya
tersebar dengan berbagai jarak di sekitar produsen.
2.5. Penelitian Sebelumnya
Hadi (2004) melakukan penelitian dengan judul: Persepsi Komunitas
Setempat Terhadap Perusahaan Pertambangan di Kawasan Batu Hijau Kabupaten
Sumbawa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dan
teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan diskusi kelompok terarah.
Populasi penelitian adalah anggota komunitas di sekitar lokasi pertambangan Batu
Universitas Sumatera Utara
Hijau yang meliputi Kecamatan Jereweh dan Kecamatan Taliwang, dengan jumlah
responden seluruhnya 150 orang. Persepsi tentang perusahaan diukur dari
pengamatan dan pengalaman responden menyangkut keberadaan perusahaan. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berbasiskan tabulasi, dan setelah diolah
kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
anggota komunitas yang memiliki persepsi negatif terhadap perusahaan lebih banyak
dari yang bersikap positif, sehingga dari keragaan persepsi komunitas tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
program
pengembangan
komunitas
yang
dilaksanakan
perusahaan belum mampu menciptakan persepsi positif komunitas terhadap
perusahaan. Hal ini disebabkan karena dalam program pengembangan komunitas
perusahaan lebih berorientasi pada kegiatan fisik daripada mengupayakan perubahan
perilaku komunitas melalui pendekatan budaya dan psikologis.
Siregar (2007) melakukan penelitian dengan judul: Persepsi Masyarakat
Terhadap Pembukaan Pertambangan Emas di Hutan Batang Toru (Studi Kasus
di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan). Penelitian dilaksanakan
dengan metode deskriptif, pada tingkat persepsi menggunakan skala Likert dan untuk
melihat hubungan sosio-ekonomi terhadap persepsi masyarakat setempat tentang
pembukaan pertambangan emas di Kawasan Hutan Batang Toru dengan
menggunakan korelasi Spearman Rank. Jumlah sampel sebanyak 80 KK.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuisioner, wawancara, observasi dan studi
literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Aek Pining dan Desa
Napa belum memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang pertambangan dan hutan.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat juga memandang positif keberadaan pertambangan di Kecamatan Batang
Toru
karena
mampu
meningkatkan
pendapatan
masyarakat,
mengurangi
pengangguran meskipun hal tersebut baru dirasakan sebagian masyarakat.
Suriansyah
(2009),
melakukan
penelitian
dengan
judul:
Dampak
Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi Lingkungan dan Pendapatan Masyarakat
(Studi Kasus Pertambangan Bijih Besi PT Juya Aceh Mining di Kabupaten Aceh
Barat Daya Propinsi NAD). Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang
merupakan kombinasi dari “descriptive research” dan “problem solving research”.
Jumlah responden sebanyak 91 orang yaitu (20% dari populasi). Analisis data
dilakukan secara kuantitatif, dan deskriptif dengan menggunakan teknik triangulasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambangan yang telah mengubah manfaat
sumberdaya bersifat common pool goods yaitu sumberdaya yang dikuasai bersama
yang mampu menghasilkan tambahan pendapatan yang cukup nyata, menjadi
sumberdaya alam bersifat private goods yaitu sumberdaya apabila dimanfaatkan oleh
individu-individu secara sendiri akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang
lain. Dengan berubahnya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut sangat berpengaruh
terhadap pendapatan masyarakat, hal ini terbukti sebelum adanya pertambangan
pendapatan
rata-rata
masyarakat
Rp1.253.571/KK/bulan
setelah
adanya
pertambangan menjadi Rp1.193.565/KK/bulan, penurunan pendapatan masyarakat
dikarenakan oleh hilangnya lahan perkebunan dan pertanian serta akses pemanfaatan
hutan. Kenyataan menunjukkan bahwa konversi lahan perkebunan dan hutan untuk
KP (Kuasa Pertambangan) oleh PT Juya Aceh Mining bagi masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
berdomisili di sekitar pertambangan tidak menguntungkan. Namun demikian dilihat
dari segi persepsi terhadap kehadiran pertambangan, sebesar 56,1% masyarakat
menunjukkan sikap setuju dan 35,2% masyarakat tidak setuju. Persepsi yang
dikemukakan oleh masyarakat sangat tergantung pada dampak yang dirasakan dari
hadirnya pertambangan. Masyarakat yang setuju karena merasakan dampak positif,
atau tidak merasa dirugikan dengan kehadiran pertambangan. Sedangkan yang tidak
setuju karena besarnya dampak negatif yang mereka rasakan seperti hilangnya lahan
perkebunan dan pertanian, lapangan kerja serta akses ke hutan akibat dari kegiatan
pertambangan.
2.6. Kerangka Pemikiran
Sosial
- Pendidikan
- Kesehatan
Pengembangan
Wilayah
Pertambangan
Emas
Ekonomi
- Penyerapan
Tenaga Kerja
- Kesempatan
berusaha
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.7. Hipotesis
1. Pertambangan emas berdampak positif terhadap sosial ekonomi masyarakat
berdasarkan rata-rata pendapatan di Kecamatan Batang Toru.
2. Dampak sosial dan dampak ekonomi pertambangan emas berpengaruh
positif terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan,
khususnya Kecamatan Batang Toru.
Universitas Sumatera Utara
Download