iklan “obat kuat” (stimulan seksual) di media massa

advertisement
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 119-125
IKLAN “OBAT KUAT” (STIMULAN SEKSUAL) DI MEDIA MASSA
THE IMAGE OF SEXUAL RELATION IN SEXUAL STIMULANT OF
ADVERTISING IN MASS MEDIA
Yayan Sakti Suryandaru, Liestianingsih D1)
ABSTRACT
This paper is based on a sexual stimulant research of advertising in mass media. The
research uses content analysis research method by semiotic approach technics. The result of
research is the image of sexual relation in sexual stimulant of advertising still show old
values about sexual relation between men and woman. However, in another side there is an
effort to deconstruktion old values of sexual relation. Beside that the construction equality
of gender values which is built by gate keepers media in sexual stimulant of advertising still
male- bias, streotipe, and haven’t equality of gender yet.
Keywords: Stimulant sexual, advertising, mass media
PENDAHULUAN
Di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota
besar di Indonesia, toko-toko yang menjual
alat bantu seks semakin menjamur
keberadaannya. Sex shop ini, selain menjual
“obat kuat” dari Cina seperti obat perangsang,
obat oles untuk memperbesar penis dan
payudara, dan viagra, juga memperdagangkan
sextoys (vibrator, kondom bergerigi
berbahan silikon, cicin penis (magic ring),
penis buatan berkepala dua berukir,
vaginator, hingga boneka seks buatan
Jepang atau Taiwan). Tidak jarang selain
berpromosi lewat selebaran, leaflet, atau
layanan via telepon, pengelola sex shop
juga menawarkan barang dagangannya
lewat iklan di media massa.
Iklan-iklan ini selain berasal dari toko
obat yang menjual obat untuk meningkatkan
gairah seksual maupun alat bantu seks,
juga menampilkan paranormal atau tabib
yang menawarkan pengobatan alternatif
bagi siapapun yang merasa memiliki
kelemahan seksual. Hanya dengan tarif
puluhan hingga ratusan ribu rupiah, iklaniklan semacam ini menjanjikan bagi lakilaki untuk mampu membesarkan alat vital,
menyembuhkan disfungsi ereksi (DE), dan
bagi perempuan untuk menyenangkan
1)
suami dalam berhubungan seks lewat
pemasangan susuk di alat kelamin atau
dengan metode gurah vagina.
Jika dianalisis lebih lanjut terdapat
nilai-nilai gender yang selalu berusaha
diusung oleh iklan obat kuat atau stimulan
seksual. Laiknya iklan di media massa yang
mengabadikan atau mereproduksi stereotip
laki-laki dan perempuan dalam peran
tradisional mereka, dalam iklan obat kuat,
relasi antara laki-laki dan perempuan
dalam urusan hubungan seksual masih
menunjukkan ketimpangan. Perempuan
dalam iklan stimulan seksual dicitrakan
untuk menjadi pihak yang "kalah" atau
selalu harus melayani dan memenuhi
kebutuhan laki-laki dalam hubungan
seksual. Dicitrakan laki-laki memiliki
kontrol terhadap seksualitas kaum perempuan
jika mengonsumsi alat atau obat seks
tersebut (Widodo, 1998:17). Dari paparan
tersebut dapat dikatakan bahwa iklan obatobatan (terutama dalam hal ini stimulan
seksual), memiliki kekuatan untuk
mengkonstruksikan nilai-nilai patriarkhi
dan melestarikan konsep-konsep gender
tradisional, yang memposisikan hubungan
laki-laki dan perempuan sebagai hubungan
yang subordinat di pihak perempuan.
Pusat Penelitian dan Studi Wanita (PP/SW) Universitas Airlangga
117
Iklan Obat Kuat (Stimulan Seksual) di Media Massa (Yayan S.S., Liestianingsih D.)
Sehubungan dengan uraian di atas,
rumusan permasalahan penelitian ini
adalah “Bagaimanakah isi iklan stimulan
seksual di media massa.” Untuk lebih
memfokuskan permasalahan penelitian ini,
peneliti juga mengajukan pertanyaan
penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah
citra (penggambaran) relasi seksual antara
laki-laki dan perempuan dalam iklan
stimulan seksual yang dimuat di media
massa?; (2) Bagaimanakah konstruksi nilainilai gender yang berusaha dibangun oleh
media dalam pemuatan iklan stimulan
seksual di media massa?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
yang bersifat kualitatif terhadap isi iklan
stimulan seksual di media massa. Metode
yang digunakan analisis isi dengan
pendekatan semiotik diskursif. Pendekatan
semiotika dalam komunikasi menurut Fiske
(1996:2) mempelajari tentang tanda (sign)
dan makna dari sign tersebut. Bentukbentuk sign dalam penelitian ini antara lain
berupa kata-kata, kalimat, dan objek berupa
gambar atau foto.
Dalam penelitian ini, analisis diskursif
tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi
juga pada konteks, proses produksi suatu
pesan dan ideologi dibalik pesan tersebut.
Analisis diskursif dalam penelitian ini
menggunakan model yang diperkenalkan
oleh Teun A.van Dijk. Pendekatan yang
dipakai oleh van Dijk sering disebut
sebagai model “kognisi sosial” (Fairclough,
1995:20-25), dimana diskursif digambarkan
mempunyai tiga dimensi atau perspektif
yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks. Titik
berat
analisis
van
Dijk
adalah
menghubungkan analisis tekstual, yang
memusatkan perhatian hanya pada teks, ke
arah analisa diskursif yang komprehensif,
yaitu bagaimana teks itu diproduksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra Relasi Seksual Iklan Stimulan Seksual
Penggunaan anatomi tubuh: otot
lengan, tubuh berotot, atau tubuh sensual
Iklan stimulan seksual yang ditasbihkan
sebagai “obat kuat” dalam visualisasinya
kental dengan simbol-simbol yang berkonotasi
maskulinitas dan feminisitas. Penggunaan
118
visualisasi otot lengan yang kuat berisi,
misalnya dalam iklan “King Kobra”
mencitrakan
nilai-nilai
maskulinitas.
Apalagi ditunjang dengan teks yang
bertujuan memperkuat ikon dari obat ini
sebagai “kapsul spesial untuk memulihkan
stamina yang loyo serta mengembalikan
keperkasaan pria dengan cepat, tahan lama,
obati lemah syahwat, kencing manis,
prematur ejakulasi, …..” Atau bisa dilihat
pada iklan “Berkat Pacet Mahesa Juragan
Bakso itu Mampu Memuaskan Sang Istri”
yang visualisasi gambarnya menampilkan
laki-laki yang berotot seperti layaknya atlet
binaraga, sedang memegang barbel, dan
terlihat sedang berkonsentrasi untuk
memperlihatkan lekukan-lekukan otot yang
keras dan berisi pada sekujur tubuhnya.
Laki-laki muda yang tampan, terlihat
ekspresi wajahnya yang tajam dan dingin
(tanpa emosi) ini mencitrakan sebagai
kejantanan (macho), keberanian, kekerasan,
kekukuhan yang hanya dimiliki oleh lakilaki yang maskulin. Menurut ideologi
patriarkhal yang sudah disosialisasikan
sedemikian rupa (media massa sebagai
salah agen sosialisasi dalam hal ini) dan
tertanam
kuat
dalam
kehidupan
masyarakat, otot adalah lambang kekuatan
dan kekuasaan, dan ini sangat identik
dengan keberadaan laki-laki.
Sebaliknya, nilai-nilai femininitas yang
identik dengan kelembutan, keayuan, dan
tubuh yang seksi dan sensual dalam iklan
stimulan seksual divisualisasikan dengan
gambar perempuan muda yang berpenampilan
anggun, berkepribadian, dan bertubuh
langsing. Seperti pada iklan stimulan
seksual yang berasal dari paranormal,
penggunaan model perempuan yang
dikonstruksi dengan mengacu pada
ideologi kapitalisme media dan nilai-nilai
kultural tertentu, ditampilkan untuk dicitrakan
sebagai tubuh yang feminim. Seperti pada
iklan “Menarik Pacar Berpaling Lewat
Dahsyatnya” ditampakkan seorang model
perempuan muda yang bertubuh langsing,
berkulit mulus, hanya mengenakan handuk
di badannya– untuk mengesankan citra
sensual, sikap badan dan duduknya di atas
ranjang tempat tidur terkesan diatur
seanggun mungkin. Tatapan mata dan
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 119-125
ekspresi wajah sang perempuan terlihat
sangat pasrah. Jika ditilik dari ilustrasi teks
yang terdapat pada iklan ini, model
perempuan ini diposisikan sebagai tokoh
Dita yang hanya bisa pasrah melihat
suaminya berpaling kepada janda beranak
dua (stigmatisasi dan stereotipe kepada
perempuan berstatus janda masih kuat
melekat pada iklan jenis ini). Celakanya
kepasrahan Dita ini juga distimulir oleh
anggapan adanya “kekurangan” atau
ketidaksempurnaan pada organ vital milik
Dita. Sehingga diperlukan terapi khusus
dengan metode “Gurah Vagina” untuk
membuat vagina milik Dita kembali seperti
masih perawan dan mengembalikan
suaminya ke pelukannya. Media dan
pengiklan dalam hal ini mempersuasi
perampuan untuk berilusi terhadap tubuhnya
ketika dianggap kurang sempurna. Efek
yang tercipta dari fenomena ini, bisa saja
justru makin menambah krisis kepercayaan
diri pada konsumen perempuan. Perempuan
akan selalu mengidap rasa kegagalan bila
secara fisik tidak sempurna di mata lakilaki. Sehingga ia disugesti lewat iklan
stimulan seksual, agar mengusahakan
organ vital tubuhnya selalu “sempurna”
dan mencitrakan dirinya seperti perempuan
lain yang dianggap berhasil mempertahankan kesetiaan pasangannya.
Hampir sama maknanya,, pada iklan
“Jangan Biarkan Suami Berpaling pada
Orang lain” terdapat model perempuan
yang mengenakan bikini tengah memegang
bunga di tangan kirinya. Citra tubuh yang
sering digambarkan oleh media massa
sebagai tubuh yang seksi dan sempurna,
ditampilkan melalui model perempuan
yang berkulit putih bersih (mulus),
berambut panjang, berhidung mancung,
dan bentuk tubuh yang ‘padat berisi’ (tidak
gemuk). Untuk membuat sinkron teks iklan
dengan visualisasi gambar, pada iklan itu
tampak pada bagian alat vital sang model
perempuan ‘disorot’ dengan kaca pembesar.
Dengan kata lain, kreator iklan ingin
menunjukkan bahwa vagina merupakan
penentu terciptanya keharmonisan rumah
tangga (seperti isi teks iklan di bagian awal
iklan tersebut). Pemberhalaan (fetish)
terhadap tubuh dan bagian-bagian paling
sensitif dari perempuan seperti ini,
menunjukkan telah terjadi feminisasi
kebudayaan massa. Lewat iklan terutama,
tubuh perempuan dipajang untuk dicitrakan
sebagai obyek seksual laki-laki. Makna isi
pesan dalam iklan ini kurang lebih adalah:
“guna mendapatkan tubuh feminim
sebagai sesuatu yang terdekorasi indah di
mata laki-laki, maka perempuan sendirilah
yang dituntut untuk menguasainya, yaitu
dengan merawat vaginanya yang (dimitoskan)
sebagai milik laki-laki”. Citra yang sangat
male bias ini justru mensubordinasi keberadaan
organ seksual perempuan. Citra yang
terbangun pada akhirnya adalah kenikmatan
hubungan seksual semata akan tercipta
sewaktu terjadi penetrasi phalus ke dalam
vagina yang sudah dirawat oleh perempuan
dan khusus dipersembahkan bagi laki-laki.
Padahal, kenyataannya organ seksual
perempuan itu ada dimana-mana. Ia dapat
merasakan kenikmatan hampir dimanapun,
di setiap pelosok tubuhnya.
Gambaran ini menunjukkan telah
terjadi simbiosis mutualisme antara media
massa dengan pengiklan. Kedua belah pihak
telah berhasil melakukan komersialisasi penis
dan vagina. Eksploitasi atas organ vital
laki-laki dan perempuan ini, menafikan
pilihan pribadi atau ‘personal choice’ dari
laki-laki maupun perempuan sebagai
individu. Terutama bagi konsumen perempuan,
terkadang ‘pilihan’ perempuan tersebut
diambil secara ‘tidak sadar’ yang pada
kenyataannya bersifat lebih untuk
menyenangkan orang lain daripada dirinya
sendiri. Tetapi itulah yang terjadi.
Konstruksi sosial yang hidup di dalam
masyarakat – dan dipertahankan oleh
media – telah menyebabkan perempuan
terindoktrinasi dalam membuat pilihan
pribadinya yang berhubungan erat dengan
perasaan nyaman atas tubuhnya. Dengan
kata lain, sangat sulit untuk membedakan
apakah pengeksposan penis atau vagina ini
dilakukan atas dasar ‘kebebasan untuk
menentukan pilihan bagi laki-laki atau
perempuan” atau karena adanya dorongan
ekonomi yang tidak terelakkan.
Citra relasi seksual lewat bahasa
Penggunaan bahasa dalam iklan
stimulan seksual dapat mencitrakan relasi
119
Iklan Obat Kuat (Stimulan Seksual) di Media Massa (Yayan S.S., Liestianingsih D.)
seksual antara laki-laki dan perempuan.
Pada beberapa iklan yang dianalisis,
terdapat citra relasi seksual yang sangat
timpang, dimana perempuan masih
digambarkan dengan nilai-nilai lama
(konservatif). Misalnya, perempuan hanya
menjadi obyek seksual laki-laki (meskipun
itu suaminya sendiri), atau bermakna
perempuan dituntut untuk mendisiplinkan
tubuh dan organ vitalnya hanya untuk
memenuhi kepuasan seksual pasangannya
agar tidak berpaling pada perempuan lain.
Selain itu dalam iklan stimulan seksual juga
masih mengukuhkan nilai keperawanan
sebagai simbol “kesempurnaan” seorang
perempuan. Dengan kata lain, dicitrakan
vagina harus selalu dalam kondisi layaknya
seorang gadis yang masih perawan agar
pasangannya terpuaskan dalam hubungan
seksual.
Di lain pihak, laki-laki masih dicitrakan
sebagai makhluk yang kuat, perkasa, dan
tidak boleh “kalah” dalam relasi seksual
dengan pasangannnya. Citra ini ditampilkan
misalnya dengan penggunaan kata-kata
pria perkasa, macho, atau lelaki sejati.
Beberapa ilustrasi cerita dalam iklan
stimulan seksual juga masih mencitrakan
laki-laki memiliki dorongan seksual yang
lebih kuat dibandingkan dengan perempuan,
misalnya dicantumkan kalimat “istrinya
dibuatnya puas lantaran lebih dulu ‘keluar’.
Akibat citra sebagai pihak yang selalu tidak
terpuaskan dalam relasi seksual, sehingga
jika sang perempuan tidak mampu merawat
organ vitalnya maka digambarkan wajar
saja jika sang laki-laki berselingkuh atau
beraktivitas seksual di luar rumah. Contoh
dari hal ini bisa tergambarkan dalam
penggunaan kalimat:
“jangan biarkan suami berpaling pada
orang lain. Salah satu penyebab lunturnya
keharmonisan rumah tangga adalah karena
si istri tidak lagi memperhatikan keindahan
fisiknya. “
ukuran atau standard yang telah ditetapkan
oleh laki-laki pasangannya.
Ada pula hal yang menarik jika
mencermati ilustrasi kalimat pada dua iklan
berikut ini:
….istrinya tak rewel lagi dan begitu
puas dengan layanan biologis yang diberikan
suaminya
….hanya gara-gara sang istri tidak
puas di ranjang, rumahtangga bisa berantakan
dan berujung ke perceraian
Makna dari kalimat-kalimat dua iklan
ini jika dianalisis dengan cermat, di satu sisi
berusaha untuk mendekonstruksi nilai-nilai
tradisional. Perempuan yang selama ini
distereotipkan dan dikonstruksi secara
sosial budaya hanya bisa bersikap pasif dan
hanya menjadi obyek dalam hubungan
seksual, dalam dua iklan ini digambarkan
menjadi subyek, inisiator, dan aktif secara
seksual. Tokoh perempuan dalam iklan ini
dicitrakan mengambil peran yang selama
ini dijalankan oleh laki-laki. Ia berani
menuntut pemenuhan kepuasan dalam
aktivitas seksual yang dilakukan dengan
pasangannya. Bahkan, tokoh perempuan
dalam iklan ini digambarkan berani
menuntut perceraian ketika suaminya
dianggap tidak mampu memberikan
kepuasan pada dirinya ketika berhubungan
seksual.
Akan tetapi di sisi yang lain, pencitraan
semacam ini tetap saja memunculkan
dominasi satu pihak (perempuan dalam hal
ini) terhadap pihak lain (laki-laki). Dengan
kata lain, relasi seksual yang tercipta
tidaklah egaliter, tidak memenuhi prinsip
keadilan dan kesetaraan gender. Perempuan,
secara tersirat dalam iklan ini yang
dijadikan
sebagai
aktor
patriarkhi,
menjadikan laki-laki sebagai obyek seksual
bagi dirinya yang kapasitas libidonya
sangat tinggi.
Ideologi
Pada iklan ini lagi-lagi perempuan
masih ditempatkan hanya sebagai pajangan
dan obyek seksual laki-laki yang setiap saat
harus tampil menarik dan sensual, sesuai
120
Sebuah iklan dapat mendukung nilai
atau norma yang telah ada dalam
masyarakat. Posisi makna iklan seperti ini
menjadikannya sebagai medium legitimasi
yang memihak kepada nilai dan norma
yang konservatif dan ortodoks. Namun
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 119-125
iklan juga dapat menjadi medium
legitimasi untuk sebuah perubahan tata
nilai dan norma masyarakat.
Boleh dibilang iklan adalah cermin
dari langgam kehidupan masyarakatnya.
Untuk dapat berhasil, iklan harus masuk ke
dalam idiom-idiom khalayak sasarannya.
Jika tidak, ia akan teralienasi, dan pesanpesan yang disampaikannya akan semata
pemborosan belaka. Dalam konteks
semacam ini kita sedang mengalami masa
perubahan yang tampaknya tidak mungkin
berbalik lagi. Pencitraan relasi seksual
misalnya, kini telah semakin permisif.
Upaya mengeksplorasi potensi tubuh
(libinal power) sebagai tontonan dalam
menjual produk atau jasa, juga semakin
gencar dijalankan pelaku usaha periklanan.
Akhirnya pencitraan seksual dalam iklan
menjadi letupan-letupan perubahan budaya
yang semakin sulit untuk dibendung.
Dalam iklan stimulan seksual, terdapat
nilai-nilai lama tentang relasi seksual antara
laki-laki dan perempuan yang tetap
dipertahankan untuk ditampilkan. Akan
tetapi pada sisi yang lain, juga muncul
upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai
lama tentang relasi seksual. Penggambaran
model iklan yang mengusung nilai lama
(tradisionil dan stereotip), antara lain
mencitrakan perempuan bersikap pasif
dalam aktivitas seksual, atau perempuan
hanya menjadi obyek seksual laki-laki.
Citra tubuh dan organ vital perempuan
harus indah dan seksi lewat pesan berupa
anjuran pendisiplinan tubuh / organ vital
perempuan, semata-mata selalu masih
untuk kepentingan laki-laki. Sedangkan di
sisi lain, laki-laki masih dominan dicitrakan
sebagai mahkluk yang macho, perkasa,
aktif secara seksual atau memiliki potensi
seksual yang luar biasa. Laki-laki juga
masih dicitrakan sebagai pengendali utama
dalam aktivitas seksual dan tidak boleh
terlihat “lemah dan kalah” dalam relasi
seksual. Beberapa iklan stimulan seksual
yang dianalisis juga mencitrakan dalam hal
penyaluran kebutuhan biologis, laki-laki
“serba boleh”. Dengan kata lain, laki-laki
dimaklumi kalau menyeleweng, berselingkuh,
atau “jajan” dengan perempuan lain, ketika
pasangannya (sang istri) dianggap tidak
mampu merawat organ vitalnya atau
dorongan seksualnya tidak “sehebat”
suaminya.
Ada pula iklan stimulan seksual yang
dalam visualisasi teks dan gambarnya
mencitrakan pendobrakan nilai-nilai lama
yang stereotip. Misalnya digambarkan
perempuan bisa aktif dalam aktivitas
seksual, menuntut kepuasan seksual dan
kesempurnaan organ vital laki-laki, serta
dapat pula “kecewa” jika potensi seksual
pasangannya mulai meredup (ejakulasi
dini, atau impoten). Hanya saja, citra yang
terbangun dalam iklan jenis ini, justru tidak
berkesetaraan dan berkeadilan gender
karena secara tersirat muncul idiologi
kekuasaan di dalamnya. Artinya, ada pihak
yang lebih berkuasa atas tubuh dan organ
vital pihak lain dalam relasi seksual.
Perempuan dalam hal ini digambarkan
selalu “menang” dan laki-laki selalu
“kalah” dalam relasi seksual. Misalnya
dalam ilustrasi kalimat pada iklan “Pacet
Mahesa” yang menggambarkan kekecewaan
Ellen karena kecilnya ukuran penis sang
suami (Udin). “Aduh Pa, punya kok kecil?
Kalau segitu, mana aku bisa puas.” …Garagara organ vitalnya yang kelewat kecil, …
sang istri kecewa berat. “Kalau itu yang
disinggung, saya tak bisa apa-apa. Sebab itu
memang kelemahan saya. Ilustrasi kalimat
ini menunjukkan sang perempuan lebih
memegang kendali dalam hubungan
seksual dibandingkan laki-laki. Bahkan, ia
dengan beraninya mampu merendahkan
kemampuan seksual sang laki-laki , akibat
ukuran penis pasangannya tidak sesuai
menurut pandangannya. Kalau dicermati
pada lanjutan teks iklan ini, menunjukkan
adanya pembongkaran atas nilai-nilai lama,
meskipun dalam pengungkapannya sangat
seksis. “Yang saya khawatirkan sekarang,
istri saya yang kecewa itu nantinya berkhianat,
menyeleweng dengan pria lain,” kata Udin
agak cemas. Makna teks ini kurang
lebihnya adalah, perempuan pun dapat
menyeleweng dan meninggalkan pasangannya
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
biologisnya. Padahal konstruksi sosial dan
idiologi patriarkhis seringkali masih
membenarkan dan memaklumi kalau
penyelewengan itu dilakukan oleh laki-laki
121
Iklan Obat Kuat (Stimulan Seksual) di Media Massa (Yayan S.S., Liestianingsih D.)
dibandingkan jika hal yang sama dilakukan
oleh perempuan.
Di sisi lain, laki-laki bisa menjadi
korban dari bias gender, karena selalu
dikonstruksikan dalam media dan secara
kultur sebagai pihak yang perkasa, kuat,
dan bertanggungjawab, sehingga laki-laki
yang “ideal” harus mampu memerankan
predikat atau sifat-sifat tersebut. Nilai-nilai
maskulinitas yang distereotipkan sebagai
miliknya laki-laki ini, dalam kehidupan
laki-laki menimbulkan berbagai tekanan
dan beban yang sangat berat. Ada berbagai
“code of conduct” yang harus selalu diikuti
laki-laki jika taruhannya adalah menjadi
bagian dari manhood. Sebut saja misalnya,
dalam iklan stimulan seksual yang diteliti,
divisualisasikan dan dicitrakan untuk
menjadi ‘be a real man’ (laki-laki sejati)
tidak boleh terlihat pasif dan kalah dalam
aktivitas seksual, harus tampil selalu macho
dengan tampilan fisik yang berotot, kuat,
dan terkesan agresif.
Konstruksi Relasi Seksual dalam Iklan
Stimulan Seksual yang Berkeadilan dan
Berkesetaraan Gender
Frame yang ditonjolkan oleh TOP
untuk menghasilkan sebuah iklan stimulan
seksual yang menarik, menurut informan
dari TOP dan telah digariskan oleh pemilik
media tersebut, haruslah disesuaikan dengan
segmen pembaca TOP yang sebagian besar
laki-laki. Untuk memenuhi selera pembaca
laki-laki ini, manajemen TOP berusaha
menampilkan desain iklan yang di dalamnya
selalu mengandung unsur (1) judul iklan
yang menarik, provokatif, mampu mempersuasi
konsumen untuk mengkonsumsi produk/
jasa iklan yang ditampilkan (2) model
perempuan lengkap dengan atribut
sensualitasnya, (3) penggambaran laki-laki
sebagai pihak yang kuat, macho, dan selalu
bisa memuaskan pasangannya dalam relasi
seksual.
Dorongan
untuk
memperbesar
keuntungan, dan ketidakberdayaan media
atas permintaan produsen atau pemasang
iklan, acapkali juga menyebabkan media
menjadi pihak yang dipersalahkan atas
tampilan iklan stimulan seksual yang
dianggap mengeksploitasi tubuh perempuan.
Seperti ungkapan informan dari tabloid
122
Gugat ketika ditanya frame yang ditonjolkan
oleh Gugat dalam penggambaran relasi
seksual antara laki-laki dan perempuan
dalan iklan stimulan seksual.
Beberapa sajian dalam rubrik yang ada
di Gugat menurut analisa peneliti secara
eksplisit masih saja memperlihatkan begitu
“perkasanya” ideologi patriarkhi dan
kapitalisme yang mereka anut. Artinya,
visualisasi yang menampakkan relasi
seksual yang timpang di pihak perempuan,
mencitrakan perempuan tidak berhak atas
tubuhnya
sendiri
(menjadi
wilayah
kekusaan otonom pasangan laki-lakinya),
perempuan
hanya
memenuhi
citra
peraduan (menjadi obyek seksual yang
pasif), seksis, stereotipe, dan bias gender.
Ketika peneliti menanyakan mengapa
tampilan Gugat semacam ini, menurut
alasan gate keepers hal ini sepenuhnya
merupakan permintaan klien. Selain itu
menurut salah satu informan dari Gugat,
perempuan
secara
kodrat
memang
memiliki “keindahan” yang layak untuk
selalu ditampilkan. Apalagi dari segi
segmentasi pembaca, mayoritas pembaca
laki-laki di Gugat sangat menyukai model
perempuan yang dicitrakan “piawai”
melayani pasangannya ketika berhubungan
seksual, menampilkan feature yang lebih
banyak berupa teknik dalam berhubungan
seksual dan menampilkan sifat dan
kebiasaan perempuan ketika berhubungan
seksual yang dihubungkan dengan ciri-ciri
fisik tertentu yang dimilikinya. Ungkapan
yang disampaikan pengelola Gugat ini
lebih banyak hanya disandarkan pada
asumsinya saja. Artinya, penggambaran
relasi seksual yang selama ini ada belum
tentu seperti yang diinginkan oleh khalayak
pembacanya – apalagi belum melalui
survey pembaca.
Pendapat
hampir
senada
juga
disampaikan informan Memorandum. Iklan
stimulan seksual yang ada di Memorandum
diperuntukkan untuk segmen pasar orang
dewasa, tingkat sosial menengah ke bawah
dengan tingkat pendidikan yang berjenjang
mulai tidak sekolah sampai sarjana (S1),
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Dalam pengerjaan visualisasi dan desain
grafis iklan stimulan seksual terkadang
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 119-125
seluruhnya berasal dari pemasang iklan,
tetapi tidak menutup kemungkinan bagian
kreatif iklan di Memorandum yang
mengerjakan seluruh desainnya sesuai
dengan permintaan klien.
Menurut Abdul Aziz, informan
Memorandum, nilai-nilai kesetaraan gender
dalam relasi seksual ditandai oleh adanya
situasi komunikatif antara laki-laki dan
perempuan tentang apapun. Soal ketimpangan
relasional antara laki-laki dan perempuan
memang ada. Frame inilah yang menurut
Abdul Azis selalu diketengahkan oleh
Memorandum, meskipun ketika dituangkan
dalam bahasa gambar, pihak pemasang
iklan diberi otoritas penuh untuk
menerjemahkan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh Memorandum.
Kesadaran untuk melakukan dekonstruksi
atas nilai-nilai gender yang tradisional,
memang yang dibutuhkan untuk menghasilkan
produk media yang berperspektif keadilan
dan kesetaraan gender. Untuk mengharapkan
kondisi ini bisa terwujud, paling tidak
secara individual para profesional media
massa harus memiliki kesadaran gender.
Jika
masing-masing
individu sudah
memiliki kepekaan dan responsif gender,
maka corporate culture dan kebijakan
manajemen perusahaan media tersebut
diharapkan bisa menjadi lebih sensitif
gender pula.
Akan tetapi sebaliknya, jika media
tidak berkehendak untuk mendekonstruksi
nilai-nilai gender tradisional, bahkan
melanggengkannya dengan alasan sesuai
dengan konstruksi sosial di lingkungannya
dan sesuai dengan kodratnya, maka yang
muncul bisa dipastikan adalah produk
media yang sarat dengan stereotipe dan
bias gender. Seperti ungkapan informan
dari Liberty berikut ini menggambarkan
bagaimana konstruksi relasi seksual dalam
iklan stimulan seksual dengan menggunakan
kerangka kesetaraan dan keadilan gender,
masih sering terkalahkan oleh nilai-nilai
kapitalisme.
Jelas sekali bahwa kesadaran gender
ikut memberi makna pada ukuran-ukuran
yang digunakan pada iklan. Media massa
sebetulnya bisa menempatkan iklan sebagai
produk yang juga memproyeksikan visi
dan misi media mereka, sekaligus ikut
melakukan pendidikan pada masyarakat.
Materi iklan yang kurang pantas, berkonotasi
negatif, tidak mendidik dijauhkan dari media,
sehingga media tersebut tidak ikut andil
dalam penyebarannya meski mungkin
media lain menerima materi iklan seperti
itu. Materi iklan gurah vagina, ramuan
yang mampu mengharumkan organ vital
perempuan, atau penurun berat badan
misalnya, sebetulnya bisa saja ditolak oleh
media karena dianggap tidak mendidik,
memberi pembelajaran yang keliru tantang
cara pandang perempuan terhadap tubuhnya.
Penolakan itu sekaligus merupakan
penegasan sekaligus proses pembelajaran
bahwa perempuan tidak hanya dilihat
kondisi fisiknya, misalnya harus langsing
dan sebagainya, akan tetapi tanpa tubuh
idealpun perempuan tetap punya arti.
Di sini terlihat ada keterkaitan antara
tujuan perusahaan dengan konsep isi
media. Gate keepers media ini berusaha
untuk mendekonstruksi nilai kecantikan
dan fungsi organ vital seorang perempuan
tidak harus untuk laki-laki pasangannya.
Akan tetapi lebih dari upaya untuk berani
tampil dan percaya diri dan menghargai
kepemilikannya atas tubuhnya sendiri.
Hanya saja sebagai institusi sosial dan
bisnis, banyak media dalam hal ini tetap
saja harus menampilkan sesuatu yang
indah, cantik, menarik, atau sensual untuk
mendatangkan minat bagi khalayaknya.
Untuk tujuan ini, masih saja digunakan
pola pikir yang stereotipe dan bias gender,
yaitu tidak memberi peluang tampilnya
realitas
yang
sebenarnya
tentang
perempuan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Beberapa simpulan yang kiranya dapat
ditarik dari hasil temuan data dan
analisisnya dapat disebutkan sebagai
berikut.
Pertama, Citra relasi seksual dalam
iklan stimulan seksual menunjukkan,
terdapat nilai-nilai lama tentang relasi
seksual antara laki-laki dan perempuan
yang tetap dipertahankan untuk ditampilkan.
Akan tetapi pada sisi yang lain, juga
123
Iklan Obat Kuat (Stimulan Seksual) di Media Massa (Yayan S.S., Liestianingsih D.)
muncul upaya untuk mendekonstruksi
nilai-nilai lama tentang relasi seksual.
Penggambaran model iklan yang
mengusung nilai lama (tradisionil dan
stereotip),
antara
lain
mencitrakan
perempuan bersikap pasif dalam aktivitas
seksual, atau perempuan hanya menjadi
obyek seksual laki-laki. Citra tubuh dan
organ vital perempuan harus indah dan
sensual lewat pesan berupa anjuran
pendisiplinan tubuh/organ vital perempuan,
semata-mata selalu masih untuk kepentingan
laki-laki. Sedangkan di sisi lain, laki-laki
masih dominan dicitrakan sebagai mahkluk
yang macho, perkasa, aktif secara seksual
atau memiliki potensi seksual yang luar
biasa. Laki-laki juga masih dicitrakan
sebagai pengendali utama dalam aktivitas
seksual dan tidak boleh terlihat “lemah dan
kalah” dalam relasi seksual. Beberapa iklan
stimulan seksual yang dianalisis juga
mencitrakan dalam hal penyaluran kebutuhan
biologis, laki-laki “serba boleh”. Dengan
kata lain, laki-laki dimaklumi kalau
menyeleweng, berselingkuh, atau “jajan”
dengan perempuan lain, ketika pasangannya
(sang istri) dianggap tidak mampu
merawat organ vitalnya atau dorongan
seksualnya tidak “sehebat” suaminya.
Ada pula iklan stimulan seksual yang
dalam visualisasi teks dan gambarnya
mencitrakan pendobrakan nilai-nilai lama
yang stereotip. Misalnya digambarkan
perempuan bisa aktif dalam aktivitas
seksual, menuntut kepuasan seksual dan
kesempurnaan organ vital laki-laki, serta
dapat pula “kecewa” jika potensi seksual
pasangannya mulai meredup (ejakulasi
dini, atau impoten). Hanya saja, citra yang
terbangun dalam iklan jenis ini, justru tidak
berkesetaraan dan berkeadilan gender
karena secara tersirat muncul ideologi
kekuasaan di dalamnya. Artinya, ada pihak
yang lebih berkuasa atas tubuh dan organ
vital pihak lain dalam relasi seksual.
Perempuan dalam hal ini digambarkan
selalu “menang” dan laki-laki selalu
“kalah” dalam relasi seksual.
Kedua, Konstruksi nilai-nilai gender
yang dibangun oleh media dalam pemuatan
iklan stimulan seksual masih belum
optimal. Dalam penelitian ini, menurut
124
kajian peneliti telah muncul hegemoni
ideologi yang tertanam melalui nilai-nilai
dan praktek-praktek kultural seperti
rutinitas media dan hubungan antara
media dan pihak luar (extramedia) seperti
pengiklan misalnya. Rutinas media akan
mengembangkan persyaratan yang hegemonik
yang bukan hanya sekedar sebagai
kebutuhan organisasional. Melainkan
rutinas media bekerja untuk menguntungkan
ideologi dominan. Ideologi dominan yang
dimaksud dalam hal ini adalah ideologi
patriarkhi (terutama dengan konsep
kekuasaanya) dan ideologi kapitalisme.
Ideologi patriarkhi masih menjadi latar
belakang mengapa tampilan iklan stimulan
seksual masih saja mencitrakan stereotipe
sex role perempuan dan laki-laki, masih
minimnya upaya dari media untuk
melakukan dekonstruksi atas nilai-nilai
lama tentang relasi seksual yang male-bias
dan menjadikan pihak lain lebih “berkuasa”
atas lainnya. Ideologi yang dianut oleh
media ini pada akhirnya juga dibenarkan
dan dijalankan oleh para gate keepers di
media tersebut. Semua media yang
dianalisis belum berkehendak untuk
mendekonstruksi nilai-nilai gender tradisional,
bahkan melanggengkannya dengan alasan
sesuai dengan konstruksi sosial dan nilainilai masyarakat yang menjadi target
khalayaknya dan sesuai dengan kodratnya.
Sebagai institusi bisnis, pihak media tidak
ingin produknya tidak laku di pasaran
hanya gara-gara menampilkan nilai-nilai
kesetaraan dan keadilan gender dalam
iklan stimulan seksual, yang justru
menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang dipercayai secara umum oleh
masyarakat. Selain itu, pihak media tidak
kuasa untuk menolak keinginan pengiklan
yang mengusung ideologi kapitalisme –
dan juga ideologi patriarkhi lewat citra
yang dibangun dalam iklan stimulan
seksual - selalu berkeinginan agar
produknya diminati oleh konsumennya.
Sehingga meskipun desain iklan yang
disodorkan oleh pengiklan mengandung
muatan yang bias, stereotip, dan tidak
berkesetaraan gender, maka sepanjang
manajemen media memandang peluang ini
sebagai “mesin penghasil kekayaan bagi
J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7, No. 2, Agust 2008: 119-125
perusahaan media” maka permintaan klien
akan
selalu
dipenuhi
dan
lebih
diprioritaskan.
Saran
Apakah yang bisa dilakukan pengelola
(kreator iklan) media massa dalam
menumbuhkan dan menerapkan perspektif
gender dalam pemuatan iklan stimulan
seksual? Hal-hal berikut ini diharapkan
menjadi pertimbangan penentu kebijakan
(gate keepers) media massa agar tidak
semakin mengukuhkan stereotipe dan bias
gender dalam kemasan iklan stimulan
seksual:
Pertama, menumbuhkan sikap empati
dan keberpihakan pada kesetaraan dan
keadilan gender bagi pengelola media
massa. Sikap ini dapat dimulai dengan
membuat kebijakan semacam standardisasi
atau acuan dalam mengemas produk media
massa, agar tidak makin mengukuhkan
stereotipe dan peran gender tradisional
yang masih banyak terjadi dalam realita
keseharian masyarakat Indonesia.
Kedua,
mengikutsertakan
para
pengelola dan pekerja media massa dalam
pelatihan atau kursus gender. Bahkan lebih
baik lagi kalau institusi media massa itu
sendiri yang menyelenggarakan pelatihan
kursus gender tersebut. Hal ini dimaksudkan
untuk menumbuhkan sensitivitas dan
perspektif gender para profesional media
massa.
Ketiga, pembuatan buku pedoman
(guidance book) tentang peliputan dan
penulisan produk media massa yang
berperspektif gender.
Keempat, saran ini juga ditujukan
kepada masyarakat sebagai konsumen
media massa. Masyarakat diharapkan
semakin kritis untuk tidak mengkonsumsi
dan jika diperlukan melancarkan kritik dan
masukan, kepada pengelola media massa
yang menghasilkan produk media yang
melecehkan perempuan, dan masih saja
melestarikan stereotipe dan peran gender
laki-laki dan perempuan secara tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Baudrillard, Jean. 1995. The Gulf War Did
Not Take Place, Power Publication.
Bennet, Tony. 1982. Media, Reality
Signification, dalam Michel Gurevitch
(ed), Culture, Society and the Media,
Cambridge University Press
Fairclough,
Norman.
1995.
Media
Discourse. London: Edward Arnold
Fiske, John. 1996. Introduction to
Communication
Studies,
second
edition, London and New York: The
Guernsey Press Co Ltd.
Janet Piece dan Margrit Shildrick (eds).
1999. Feminist Theory and the Body,
London: Routledge
Leung, Lisa, 1995. Fashioning (Western)
Sexuality for Sale: the Case of Sex and
Fashion Articles in Cosmopolitan
Hong Kong, in Barbara Eintorn &
Eileen James Yeo (eds.), Women and
Market Societies, Edward Elgar
Publishing Limited, Aldershot
Rosaldo, EZ, 1983. Women, Culture and
Society, California: Stanford University
Press
Stanko, Elizabeth, 1985. Intimate intrusions,
London: Routledge.
125
Download