Kajian proses pemurnian minyak biji bintaro

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
TANAMAN BINTARO (Cerbera manghas L)
Pohon Bintaro banyak digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai penghias taman
kota. Pohon bintaro juga disebut Pong-pong tree atau Indian suicide tree, mempunyai nama latin
Cerbera manghas L, termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan. Pohon bintaro
sering disebut juga sebagai mangga laut, buta badak, babuto, dan kayu gurita. Dalam bahasa
Inggris tanaman ini dikenal sebagai Sea Mango. Bintaro termasuk tumbuhan mangrove yang
berasal dari daerah tropis di Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera
pasifik (Gaillard at al. 2004). Tanaman bintaro dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pohon bintaro (Alamendah 2011)
Klasifikasi tanaman bintaro menurut Anonim (2011) :
Kingdom
: Plantae – Plants
Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants
Superdivision : Spermatophyta - Seed plants
Division
: Magnoliophyta - Flowering plants
Class
: Magnoliopsida – Dicotyledons
Subclass
: Asteridae
Order
: Gentianales
Family
: Apocynaceae - Dogbane family
Genus
: Cerbera L.
Species
: Cerbera manghas L.
Tanaman Bintaro memiliki daun yang bentuknya memanjang, simetris, dan menumpul
pada bagian ujung dengan ukuran bervariasi, tetapi rata-rata memiliki panjang 25 cm. Tersusun
secara spiral, terkadang berkumpul pada ujung roset. Bunga Bintaro terdapat pada ujung pedikel
simosa dengan lima petal yang sama atau disebut pentamery. Korola berbentuk tabung dan ada
warna kuning pada bagian tengahnya. Buah bintaro berbentuk bulat dan berwarna hijau pucat
dan ketika tua akan berwarna merah. Merupakan buah drupa (buah biji) yang terdiri dari tiga
2
lapisan yaitu epikarp atau eksokarp (kulit bagian terluar buah), mesokarp (lapisan tengah berupa
serat seperti sabut kelapa), dan endocarp (biji yang dilapisi kulit biji atau testa). Buah bintaro
terdiri atas 8% biji dan 92% daging buah. Bijinya sendiri terbagi dalam cangkang 14% dan
daging biji 86%. Buah bintaro tidak dapat dikonsumsi, karena mengandung zat yang bersifat
racun terhadap manusia (Chang et al. 2010)
Gambar 2. (a) daun, (b) bunga, (c) buah, (d) biji (Alamendah 2011)
Dinamakan Cerbera karena biji dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang
disebut “cerberin” yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung
manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap
dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan. Daun, buah dan kulit batang tanaman
bintaro mengandung saponin, polifenol terkandung pada daun, disamping itu kulit batangnya
mengandung tanin. Biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak (54.33%) dan
berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel (Gaillard et al. 2004) Komposisi kimia
minyak bintaro dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro
Asam Lemak
Nama Sistematik
Hasil Analisis (%)
Miristat
Tetradekanoat
0,17
Palmitat
Heksadekanoat
17,90
Stearat
Oktadekanoat
4,38
cis-9-oktadekenoat
36,64
Linoleat
cis-9,12-oktadekadienoat
23,44
Linolenat
cis-9,12,15-oktadekatrienoat
2,37
Oleat
Sumber : Endriana (2007)
3
2.2
PEMURNIAN MINYAK
Proses pemurnian minyak bertujuan menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak,
warna yang tidak menarik, dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau
digunakan sebagai bahan mentah dalam industri. Menurut Djatmiko dan Ketaren (1985), kotoran
yang terdapat dalam minyak terdiri dari tiga golongan, yaitu :
1. Komponen yang tidak larut dalam minyak atau lemak (fat insoluble dan terdispersi
dalam minyak). Kotoran ini terdiri atas jaringan – jaringan, serat, abu, mineral seperti
Fe, Mg, Cu, dan Ca, getah, lendir, dan air. Kotoran ini dapat dipisahkan dengan cara
mekanis seperti penyaringan, pengendapan, dan sentrifusi.
2. Komponen – komponen yang berbentuk suspensi koloid dalam minyak. Kotoran ini
terdiri atas fosfolipid, karbohidrat, senyawa yang mengandung nitrogen dan senyawa
kompleks lainnya. Kotoran ini dapat dihilangkan dengan menggunakan uap panas,
elektrolisa disusul dengan proses mekanik seperti pengendapan, sentrifusi, atau
penyaringan dengan menggunakan adsorben.
3. Komponen – komponen yang terlarut dalam minyak (fat soluble compound). Kotoran
yang termasuk golongan ini terdiri atas asam lemak bebas, sterol, hidrokarbon, turunan
dari mono dan digliserida yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserida, zat warna yang
terdiri dari karotenoid, klorofil, dan zat warna lainnya yang dihasilkan dari proses
dekomposisi minyak yang terdiri atas keton, aldehida dan resin serta zat lain yang
belum dapat diidentifikasi. Beberapa minyak juga mengandung senyawa beracun
seperti minyak biji kapas yang mengandung gossypol.
Menurut Ketaren (1986) pada umumnya, proses pemurnian minyak melalui tahapan
pemisahan bahan berupa suspensi dan dispersi koloid dengan cara penguapan, degumming, dan
pencucian dengan asam; pemisahan asam lemak bebas dengan netralisasi; dekolorisai dengan
proses pemucatan; deodorisasi; dan Pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara pendinginan
(chilling).
2.2.1
Degumming
Degumming merupakan pre-treatment yang dilakukan dengan tujuan utama yaitu
memisahkan gum (getah atau lendir) berupa fosfolipid, protein, karbohidrat, dan resin (polimer).
Selain itu, degumming ini juga bertujuan untuk mengurangi ion logam (Fe3+,Cu2+), memudahkan
proses pemurnian selanjutnya, dan memperkecil terjadinya loss pada minyak (Ketaren 1986).
Menurut Sahirman (2009) degumming merupakan treatment antara crude oils dengan
air, dilute acids (phosphoric acid atau citric acid), dan terkadang dilute caustic soda. Proses ini
dilakukan untuk menghilangkan phosphatides dan mucilaginous material (getah-getah) dari
crude oil. Penghilangan phosphatide ini bermanfaat untuk beberapa alasan yaitu phosphatide
merupakan emulsifier yang sangat baik dan dapat menyebabkan refining loses dimana
phosphatide berhubungan dengan logam-logam khususnya besi sehingga dapat menurunkan
oxidative stability serta phosphatide juga dapat menyebabkan inverse terhadap warna dan fiksasi
pada deodorize oil. Selain itu, pospatida membuat minyak menjadi keruh selama penyimpanan,
menstimulasi akumulasi air pada ester atau biodiesel, dan menyebabkan penggunaan katalis
alkali pada proses transesterifikasi lebih banyak.
4
Proses degumming ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pemanasan,
penambahan asam fosfat, penambahan natrium hidroksida, hidrasi, dan penggunaan pereaksi
khusus seperti asam format, natrium klorida, dan natrium fosfat. Secara garis besar, terdapat dua
jenis proses degumming: water degumming yang dilakukan dengan penambahan air pada suhu
minyak 60-90°C yang diikuti proses pemisahan dengan gaya sentrifugal dan acid degumming
yang dilakukan untuk pospatida yang tidak dapat dihilangkan melalui pemanasan, terdapat
penambahan larutan asam (asam sitrat atau asam pospat) dan sejumlah metanol. Proses
degumming dengan menambahkan asam fosfat adalah proses yang paling banyak dilakukan
dalam industri (Moestapa 1981).
Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Asam fosfat
lebih disukai penggunaanya oleh refiner minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih
murah dan penamganannya lebih mudah (Morad et al. 2006). Tujuan penambahan asam fosfat
adalah untuk mengendapkan fosfatida yang bersifat nonhydratable menjadi hydratable sehingga
dapat dipisahkan dari minyak melalui proses pencucian (Basiron 2005). Menurut Hendrix (1990)
sebelum proses netralisasi, minyak diberi perlakuan dengan penambahan 0.02 – 0.5% asam
fosfat pada suhu 60-90°C selama 15-30 menit, agar fosfatida yang larut dalam minyak menjadi
mudah dihilangkan. Reaksi yang terjadi antara asam fosfat dengan fosfolipid dapat dilihat pada
Gambar 3.
CH2OCOR
OH
CHOCOR
CH2O
+
PO2
Fosfolipid
O(CH2)2N+(CH3)3
O= P
OH
Asam fosfat
CH2OH
OH
OCOR
CHOH + O = P
CH2OH
Gliserol
OCOR
O PO2O(CH2)2N+(CH3)3
Residu gum
Gambar 3. reaksi proses degumming (Hendrix 1990)
Proses pemisahan gum (de – gumming) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi
dengan alasan sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik
soda pada proses netralisai akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses
pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. Selain itu, netralisasi minyak yang masih
mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi
rendemen trigliserida (Djatmoko dan Ketaren 1985).
2.2.2
Netralisasi
Netralisasi ialah suatu proses untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak atau
lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga
membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan dengan cara
penyulingan yang dikenal dengan istilah de-asidifikasi. Minyak terdiri dari tiga ikatan antara
asam lemak dengan gliserol seperti yang terlihat pada Gambar 4. Adanya reaksi hidrolisis dan
oksidasi bisa menyebabkan ikatan antara asam lemak dan gliserol terurai sehingga terbentuk
asam lemak bebas. Tujuan proses netralisasi adalah untuk menghilangkan asam lemak bebas
(FFA) yang terdapat pada minyak yang dapat menyebabkan bau tengik. Netralisasi dapat
5
dilakukan dalam beberapa cara, yaitu : netralisasi dengan kaustik soda (NaOH), netralisasi
dengan natrium karbonat (Na2CO3), netralisasi minyak dalam bentuk “miscella”, pemisahan
asam (de-acidification) dengan cara penyulingan serta pemisahan asam dengan menggunakan
pelarut organik (Ketaren 1986).
asam lemak
gliserol
H
H H H H H H H H H H H H H H H H H H O
H
C C C C C C C C C C C C C C C C C C C O C H
H H H H H H H H
H H H H H H H
H
H H H H H H H H H H H H H H H H H H O
C C C C C C C C C C C C C C C C C C C O C H
H H H H H H H H
H H H H H H H
H
H H H H H H H H H H H H H H H H H H
C C C C C C C C C C C C C C C C C C C O C H
H H H H H H H H
H H H H H H H
H
Satu
molekul
minyak
yang terdiri
atas tiga
asam lemak
yang
berikatan
dengan
gliserol
Gambar 4. Ikatan asam lemak dan gliserol (Berardini 1983)
Netralisasi menggunakan kaustik soda (NaOH) banyak digunakan dalam industri
karena lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu,
penggunaan kaustik soda membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang berupa getah
dan lendir dalam minyak. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun
secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan
fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan proses
pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin E dan
karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren 1986).
Menurut Herlina (2002) NaOH lebih banyak digunakan pada proses netralisasi karena memiliki
reaktifitas yang lebih baik. Selain itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan mudah didapat
di Indonesia (Priatna 1982).
Di Amerika, netralisasi dengan kaustik soda dilakukan terhadap minyak biji kapas dan
minyak kacang tanah dengan konsentrasi larutan kaustik soda 0.1 – 0.4 N pada suhu 70 - 95°C.
Menurut Ketaren (1986), beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih konsentrasi
larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi adalah keasaman dari minyak kasar, jumlah
minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin, jumlah minyak
netral yang terdapat dalam soap stock, suhu netralisasi dan warna minyak netral.
Konsentrasi dari alkali yang digunakan tergantung dari jumlah asam lemak bebas atau
derajat keasaman minyak. Makin besar jumlah asam lemak bebas, makin besar pula konsentrasi
alkali yang digunakan. Suhu netralisasi dipilih sedemikian rupa sehingga sabun (soap stock)
yang terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Pengendapan yang lambat
akan memperbesar kehilangan minyak karena sebagian minyak akan diserap oleh sabun. Makin
encer larutan alkali yang digunakan, makin besar jumlah larutan yang dibutuhkan untuk
netralisasi dan minyak netral yang dihasilkan berwarna lebih pucat. (Ketaren 1986).
6
Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam refining factor, yaitu perbandingan antara
kehilangan total karena netralisasi dan jumlah asam lemak bebas dalam lemak kasar. Semakin
kecil nilai RF maka efisiensi netralisasi semakin tinggi. Menurut (Ketaren 1986) Nilai refining
factor dapat dihitung berdasarkan persamaan (1.1).
(1.1)
Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas dalam minyak (sebagai asam
oleat), dibutuhkan sebanyak 0.142 kg kaustik soda kristal, atau untuk menetralkan 1 ton minyak
yang mengandung 1 persen asam lemak bebas (10 kg asam lemak bebas) dibutuhkan sebanyak
0.142 kg kaustik soda kristal. Pada proses netralisasi perlu ditambahkan kaustik soda berlebih
yang disebut excess dari jumlahnya tergantung dari sifat – sifat khas minyak. Penambahan alkali
dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan perhitungan kebutuhan
alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi lebih tepat dan sesuai. Untuk
minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah dengan kadar asam lemak bebas
kurang dari 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0.15N
atau 5°Be), sedangkan asam lemak bebas yang tinggi, lebih baik dinetralkan dengan larutan
alkali 10 – 24°Be (Basiron 1990). Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH dapat dilihat
pada Gambar 5.
O
R – C – OH
+
Asam Lemak Bebas
O
NaOH
Basa
R – C – ONa
Sabun
+
H 2O
Air
Gambar 5. Reaksi netralisasi asam lemak bebas (Bernardini 1983)
2.2.3. Bleaching
Kejernihan suatu minyak dipengaruhi oleh zat warna yang terkandung dalam minyak.
Proses bleaching dimaksudkan untuk menghilangkan zat warna yang tidak disukai dalam
minyak. Pigmen dalam minyak terdiri atas dua golongan yakni zat warna alamiah dan zat warna
hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna alamiah maupun zat warna hasil pengolahan dan
kerusakan akan terserap dalam proses ini. Zat warna alamiah terdiri atas karoten, xantofil,
klorofil dan anthosianin. Zat warna hasil degradasi misalnya chroman 5.6 quinone (Bernardini
1983)
Sabun dan komponen – komponen logam dapat dipisahkan dengan baik pada proses
bleaching. Menurut Bailey (1951) kandungan sabun akan berkurang sampai batas 5 – 10 ppm
sedangkan kandungan asam lemak bebas akan bertambah secara lambat. Kandungan logam juga
akan dikurangi walaupun prosesnya berjalan lambat. Umumnya proses bleaching ini dapat
mengurangi hanya 0.1 – 0.001 ppm kadar logam seperti besi dan tembaga (Djatmiko 1985).
Pemucatan dilakukan dengan cara adsorpsi dan chelasi. Adsorpsi dilakukan dengan cara
7
mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben (Ketaren 1986). Beberapa adsorben yang
dapat digunakan antara lain bentonit, arang, arang aktif, alumunium silika dan magnesium silika.
Sedangkan chelasi adalah pengikatan ion dengan zat pengkelat seperti asam sitrat. Komposisi
beberapa adsorben dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Adsorben “Landau Raw Clay” dan “Florida Clay”
Jenis adsorben
Komponen Kimia
(%)
Landau raw clay
Florida clay 8
SiO2
59,0
56,5
AL2O3
22,9
11,6
Fe2O3
3,4
3,3
CaO
0,9
3,1
MgO
1,2
6,3
Sumber : Andersen dan William (1962)
Bentonit adalah nama dagang untuk sejenis lempung yang mengandung mineral
montmorilonit (pembangun struktur bentonit). Di Inggris nama bentonite ditunjukkan untuk
sejenis lempung dari mineral montmorilonit-natrium, sedangkan dari jenis mineral
monmorilonit-kalsium disebut fuller earth (lempung pembersih). Rumus kimia bentonit adalah
(MgCa)O.Al2O3.5SiO2.nH2O, dengan nilai n sekitar 8. Bentonit berwarna dasar putih sedikit
kecoklatan, kemerahan atau kehijauan tergantung dari jenis komposisi mineralnya. Selain itu
juga bersifat sangat lunak, ringan, mudah menyerap air dan dapat melakukan pertukaran ion
(Priatna 1982).
Apabila bentonit diberi asam dalam proses aktivasi, maka dalam ruang interlamelar
pada struktur kristal terjadi penggantian ion K, Na, Ca dan ion H, sehingga pelepasan ion Al, Fe,
Mg dari kisi struktur. Akibatnya, sifat daya serap bertambah besar. Sifat penting yang
berhubungan dengan bentonit yaitu komposisi dan jenis mineral yang dikandung, komposisi
kimia, sifat teknologi dan sifat pertukaran ion (Endriana 2007). Efisensi penyerapan (Ef) dalam
proses adsorpsi CPO dengan bentonit sebagai bleaching earth dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain yaitu ukuran partikel adsoben, tingkat keaktifan adsorben, perbandingan asam dengan
adsorben, beban berat adsorben, pH proses adsorben, kecepatan pengadukan dan temperatur
adsorpsi serta waktu kontak (Ketaren 1986).
2.3
MINYAK NABATI
Kotoran yang ada dalam minyak yang akan digunakan sebagai bahan bakar selain dapat
merusak mesin juga mengakibatkan kualitas minyak yang dihasilkan kurang baik. Minyak yang
mengandung kotoran akan memiliki nilai viskositas yang rendah. Menurut Prihandana et al.
(2006), viskositas yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengurangi daya pembakaran
dan dapat menyebabkan konsumsi bahan bakar meningkat. Selain itu, viskositas kinematik
berpengaruh terhadap atomisasi bahan bakar, kesempurnaan pembakaran, injeksi bahan bakar,
8
dan umum digunakan sebagai indikator kualitas bahan bakar selama penyimpanan. Selain
berpengaruh pada viskositas bahan bakar yang dihasilkan, proses pemurnian juga berpengaruh
terhadap nilai bilangan asam lemak bebas, kandungan air dalam minyak, titik bakar, dan titik
didih minyak.
Minyak biji kapas
Minyak biji kapas mengandung banyak asam palmitat, asam oleat dan asam linoleat,
serta sebagian kecil asam miristat, asam stearat, asam arachidat, asam palmitoleat dan asam
miristoleat. Minyak kasar mengandung fosfatida, tetapi sesudah mengalami proses netralisasi
dan pemucatan, kadar fosfatida akan menurun. Minyak kapas juga mengandung tokoferol
sebesar 0.1 – 0.14 %, dan jika dimurnikan akan menurun menjadi 0.08 – 0.12 %. Selain itu,
minyak biji kapas mengandung senyawa beracun yang disebut gossypol. Komponen ini akan
bereaksi dengan alkali atau diserap oleh sabun dan terpisah pada proses netralissai. Proses
pemurnian pada pengolahan minyak biji kapas mampu menurunkan kadar asam lemak bebas
pada minyak sehingga mampu meningkatkan titik asap, titik nyala, dan titik api berturut – turut
menjadi 221.1 – 232.2°C; 323.8 – 329.4°C dan 357.2 – 362.7°C (Ketaren 1986).
Minyak Nyamplung
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di
sepenjang pantai di seluruh Indonesia. Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3.3% dan
minyak 71.4 % bila biji segar mengandung 55 % minyak sedangkan biji yang benar-benar kering
mengandung 70.5 % minyak. Minyak yang berasal dari bijinya dapat dipakai sebagai
penerangan, pembuatan sabun, pelitur, minyak rambut, minyak urut dan obat (Dephut 2008).
Komposisi asam lemak minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komponen asam lemak minyak nyamplung
Komponen Minyak Nyamplung
Nilai (persen)
Asam miristat
0,09
Asam palmitat
15,89
Asam stearat
12,30
Asam oleat
48,49
Asam linoleat
20,70
Asam lonolenat
0,27
Asam arachidat
0,94
Asam erukat
0,72
Sumber : Sudrajat (2007)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fathiyah (2010) diketahui bahwa proses
degumming hanya mampu menurunkan kadar asam lemak bebas ± 1% sedangkan proses
netralisasi lebih banyak berperan dalam penurunan kadar asam lemak bebas dan nilai viskositas
pada pada minyak. Proses pemurnian minyak nyamplung mampu menghasilkan minyak dengan
karakterisai yang dapat dilihat pada Tabel 4.
9
Tabel 4. Karakteristik minyak nyamplung hasil pemurnian
Parameter uji
Minyak kasar
Degumming
Netralisasi
Rendemen (%)
-
95.34
61.84
FFA (%)
24.56
23.68
0.63
Bil. asam
34.83
33.58
0.89
Bil. Penyabunan (mg
136.77
176.26
179.86
0.265
0.083
0.055
0.93
0.92
0.93
Bilangan iod (mg iod/g oil)
106.09
105.33
86.06
Bilangan Peroksida
36.65
18.21
13.24
63
55.5
43.5
KOH/gr)
Kadar abu (%)
3
Berat jenis (g/cm )
(meq/kg)
Viskositas (cP) pada 30°C
Sumber : Fathiyah (2010)
Minyak Jarak
Tanaman jarak (Jatropha curcas L) adalah tanaman semak yang tahan kekeringan dan
dapat tumbuh dengan cepat hingga mencapai 3-5 meter. Biji jarak pagar terdiri atas 75 persen
biji dan 25 persen kulit (Ketaren 1986). Komposisi kimia jarak pagar terdiri atas 54.59 %
minyak, 9.13 % karbohidrat, 2.82 serat, 4.13 % abu, 24.85 % protein (Achten et al. 2008).
Minyak jarak mempunyai sifat sangat beracun di samping kandungan asam esensialnya yang
sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak pangan atau bahan pangan
(Ketaren 1986). Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam palmitat,
asam oleat, dan asam linoleat (Tabel 5).
Tabel 5. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar
Jenis Asam lemak
Komposisi (%)
Asam palmitat
14.1
Asam palmitoleat
0.5
Asam stearat
6.8
Asam oleat
38.6
Asam linoleat
36.0
Asam arasidat
0.2
Asam gadoleat
3.6
Sumber :Janin dan Sharma (2010)
Menurut Pahan (2008) minyak jarak pagar sebelum ditransesterifikasi terlebih dahulu
mengalami tahapan pemurnian meliputi degumming dan netralisasi. Degumming bertujuan
menghilangkan gum yang terdapat pada minyak, sedangkan netralisasi bertujuan menghilangkan
10
asam lemak bebas sehingga minyak memenuhi syarat untuk reaksi transesterifikasi. Degumming
dilakukan dengan memanaskan minyak jarak sampai suhu 80°C kemudian ditambahkan air
panas bersuhu 60°C dan dilakukan pengadukan. Air dipisahkan dari minyak menggunakan labu
pemisah. Setelah itu dilakukan pencucian menggunakan air hangat. Tahap ini diulang sampai air
cucian bersifat netral.
Netralisasi minyak dilakukan dengan memanaskan minyak jarak hingga suhu 60°C,
kemudian ditambahkan NaOH 20°Beaume sebanyak jumlah yang telah diperhitungkan.
Kebutuhan larutan NaOH untuk netralisasi dihitung sebagai berikut: larutan diaduk selama dua
menit kemudian dipindahkan ke labu pemisah. Pada labu pemisah dituangkan air panas bersuhu
70°C sebanyak 5-10% volume minyak awal. Campuran didiamkan hingga minyak dan air dapat
dipisahkan. Prosedur pencucian diulang beberapa kali hingga pH minyak sama dengan pH air.
Terakhir ditambahkan gel silika untuk menyerap sisa air. Proses pemurnian pada minyak jarak
juga dapat menurunkan kadar risin dan risinin yang merupakan racun yang terdapat pada minyak
jarak (Susilo 2006).
Minyak kelapa sawit
Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak
inti kelapa sawit (palm kernel oil) dan sebagai hasil samping ialah bungkil inti kelapa sawit
(palm kenel meal atau pellet). Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80% perikarp dan 20%
buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kadar lemak yang terkandung dalam periskarp sekitar 34 –
40% (ketaren 1986).
Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap.
Rata – rata komposisi minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 6. Faktor – faktor yang
mempengaruhi mutu minyak kelapa sawit adalah air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan
peroksida dan daya pemucatan. Faktor – faktor lain adalah titik cair, kandungan gliserida padat,
refining loss, plasticity dan spreadability, sifat transparan, kandungan logam berat dan bilangan
penyabunan (Ketaren 1986). Sifat fisiko kimia minyak sawit sebelum dan sesudah mengalami
proses pemurnian dapat dilihat pada Tabel7.
Tabel 6. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit
Minyak Kelapa Sawit
Minyak Inti
Asam Lemak
(persen)
Sawit (persen)
Asam kaprilat
-
3–4
Asam kaproat
-
3–7
Asam laurat
-
46 – 52
Asam miristat
1.1 – 2.5
14 – 17
Asam palmitat
40 – 46
6.5 – 9
Asam stearat
3.6 – 4.7
1 – 2.5
Asam oleat
39 – 45
13 – 19
Asam linoleat
7 – 11
0.5 – 2
Sumber : Eckey, S.W (1955)
11
Tabel 7. Sifat minyak kelapa sawit sebelum dan sesudah pemurnian
Minyak sawit
Sifat
Minyak sawit murni
kasar
Titik cair : awal
21- 24
29.4
akhir
26 – 29
40.0
Bobot jenis 15°C
0.859 – 0.870
36.0 – 37.5
46 - 49
224 - 249
196 - 206
14.5 – 19.0
46 - 52
5.2 – 6.5
-
Bilangan Polenske
9.7 – 10.7
-
Bilangan Krichner
0.8 – 1.2
-
33
-
Indeks bias D 40°C
Bilangan pe nyabunan
Bilangan iod
Bilangan Reichert
Meissl
Bilangan Bartya
Sumber : Krischenbauer (1960)
12
Download