BAB II STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN NILAI Bab

advertisement
BAB II
STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN NILAI
Bab ini memuat teori-teori tentang variabel besar yang diteliti, penulis
berusaha menguraikan secara lengkap dan konsisten dengan permasalahan yang
diajukan serta menghindari melebar serta meluasnya pembahasan dalam
penelitian ini. Adapun yang ingin penulis uraikan meliputi teori tentang strategi
pembelajaran dan pendidikan nilai.
A. Strategi Pembelajaran
1. Pengertian Strategi Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method,
or series of activities designed to achieves a particular educational goal
(David, 1976), di kutip dalam buku karangan Sutarjo Adisulo. Maka
strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
serangkaian kegiatan yang di desain untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.1
Dalam pendapat Trianto, secara umum strategi mempunyai
pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha
mencapai sasaran yang telah ditentukan.2 Sedangkan Pembelajaran
merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak
1
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai- Karakter (Konstruktivisme dan VCT sebagai
Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif)-Ed.1-Cet.2.-, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 85.
2
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif (konsep landasan dan
implementasinya pada kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP), (Jakarta: Kencana Media
Group, cetakan ke-4, 2011), hlm. 139.
20
21
sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan
sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan
pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran
hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan
siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya)
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dari makna ini jelas
terlihat bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang
guru dan peserta didik, di mana antara keduanya menjadi komunikasi
(transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah
ditetapkan sebelumnya.3 Dari rumusan tersebut ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan
termasuk metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya dalam
pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu.
Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi harus dirumuskan terlebih
dahulu
tujuan
pembelajaran
yang
ingin
dicapai.
Maka
strategi
pembelajaran sebagai suatu kegiatan pembelajaran harus dikerjakan baik
oleh pendidik maupun peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat
dicapai secara efektif dan efisien.4
Reigeluth (1983: 31) di kutip dalam buku karangan Rusmono,
mendifinisikan
(blueprint)
strategi
yang
berisi
pembelajaran
merupakan
komponen-komponen
pedoman
yang
berbeda
umum
dari
pembelajaran agar mampu mencapai keluaran yang diinginkan secara
3
4
Ibid., hlm. 17
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 85.
22
optimal di bawah kondisi-kondisi yang diciptakan. Seperti pada situasi
kelas dengan karakteristik siswa yang heterogen, baik kelas kecil maupun
kelas
besar,
penanganannya
jelas
berbeda,
baik
dalam
strategi
pengorganisasian maupun strategi pengelolaannya. Hal ini dimaksudkan
agar hasil pembelajarannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien
serta memiliki daya tarik tersendiri, ini semua digambarkan dalam strategi
pembelajaran Reigeluth.
Pendapat lain di kemukakan oleh Romizowsky (1981 : 214) di
kutip
dalam
buku
karangan
Rusmono,
mendifinisikan
strategi
pembelajaran adalah kegiatan yang digunakan seseorang dalam usaha
untuk memilih metode pembelajaran. Plomp dan Ely (1996 : 78)
menyebutkan bahwa strategi pembelajaran meliputi identifikasi tujuan
khusus, merancang solusi yang optimum, mengembangkan intervensi, dan
membandingkan hasil belajar.5
Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan
perencanaan dalam usaha mencapai sasaran, dari seorang guru untuk
membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber
belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
5
Rusmono, Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning itu perlu (untuk
meningkatkan profesional guru), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 21-22.
23
2. Prinsip-prinsip Penggunaan Strategi Pembelajaran
Permen Diknas nomor 19 Tahun 2005 mengatakan bahwa proses
pembelajaran pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpasitipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta
psikologis peserta didik. Dari peraturan pemerintah tersebut, tampak ada
sejumlah prinsip dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
a. Interaktif
Prinsip interaktif mengandung makna bahwa mengajar bukan
hanya sekadar menyampaikan pengetahuan dari pendidik ke peserta
didik; akan tetapi mengajar dianggap sebagai proses mengatur
lingkungan yang dapat merangsang peserta didik untuk belajar.
Dengan demikian, proses pembelajaran adalah proses interaksi baik
antara pendidik dan peserta didik, antara sesama peserta didik,
maupun peserta didik dengan lingkungannya. Dengan cara tersebut
dimungkinkan kemampuan peserta didik akan berkembang baik
secara mental-spiritual, intelektual, emosional, sosial, dan fisik.6
Senada dengan Abdul Majid, strategi pembelajaran interaktif
merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi antara peserta
6
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87
24
didik,7 dan di kembangkan dalam rentang pengelompokan dan
metode-metode interaktif.
Dapat dijelaskan bahwa strategi pembelajaran interaktif yakni,
mengajar dianggap sebagai proses mengatur lingkungan yang dapat
merangsang peserta didik untuk belajar bentuk diskusi dan saling
berbagi antara peserta didik.
b. Inspiratif
Proses
pembelajaran
dikatakan
inspiratif
jika
proses
pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk mencoba dan
melakukan sesuatu. Dalam proses pembelajaran pendidik harus
membuka berbagai peluang agar peserta didik dapat melakukan
sesuatu yang terkait dengan materi pembelajaran. Peserta didik
dimotivasi untuk mengembangkan inspirasinya sendiri, sehingga
pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya dapat dikembangkan
sendiri lebih bermakna dan kontekstual.8
Berbagai informasi dan proses pemecahan masalah dalam
pembelajaran bukan harga mati, yang bersifat mutlak, akan tetapi
merupakan hipotesis yang merangsang siswa untuk mau mencoba dan
mengujinya. Oleh karena itu, guru mesti membuka berbagai
kemungkinan yang dapat di kerjakan siswa berbuat dan berpikir sesuai
7
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya cetakan kedua,
2013), hlm. 11
8
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87
25
dengan inspirasinya sendiri, sebab pengetahuan pada dasarnya bersifat
subjektif yang bisa dimaknai oleh setiap subjek belajar.9
c. Menyenangkan
Proses pembelajaran harus memungkinkan seluruh potensi
peserta didik dapat dikembangkan. Hal ini hanya mungkin terjadi jika
proses
pembelajaran
di
sekolah
tidak
menegangkan,
tidak
menakutkan, tetapi menyenangkan, menggembirakan bagi peserta
didik. Proses pembelajaran yang menyenangkan atau bermakna bisa
dilakukan pendidik dengan cara, pertama, dengan menata ruangan
yang apik dan menarik, yaitu memenuhi unsur kesehatan, seperti
ventilasi, cahaya dan lain-lain dan memenuhi unsur keindahan, seperti
keindahan, cat tembok yang segar, lukisan yang cocok, dan lain-lain.
Kedua, pengelolaan pembelajaran yang hidup dan bervariasi, yaitu
dengan menggunakan model pembelajaran, media pembelajaran, dan
sumber belajar yang relevan serta kontekstual. Namun yang paling
mudah untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan adalah sikap pendidik sendiri, masuklah ruang kelas/
kuliah dengan senyum sebab senyum dapat membuat suasana terasa
damai tidak menakutkan; menerima peserta didik seperti apa adanya
tidak perlu mulai menuntut ini dan itu, menyapa setiap peserta didik
dengan ramah sebagai bentuk memberi perhatian. Komunikasi
9
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran (berorientasi standar proses pendidikan),
(Jakarta: Kencana Prenada Group, cetakan ke 3, 2007)., hlm. 134
26
pendidik dan peserta didik harus dialogis, lancar dan tanpa beban,
sehingga peserta didik merasa di dalam kelas seperti di rumahnya.
d. Menantang
Proses pembelajaran haruslah membuat peserta didik tertantang
untuk
mengembangkan
kemampuan
berpikir,
kemampuan
keterampilan aplikatif dan keterampilan bersosial. Kemampuan
tersebut dapat ditumbuhkan dengan cara mengembangkan rasa ingin
tahu dengan kegiatan mencoba-coba, berpikir secara intuitif dan
analisis. Peserta didik perlu dilatih untuk belajar berpikir (learning
how to learn) dan belajar melakukan sesuatu (learning how to do).
Informasi awal yang harus dikembangkan sendiri oleh peserta didik.
Informasi dari pendidik bukan untuk “ditelan” tetapi untuk
“dikunyah” sehingga informasi menjadi bagian diri dari peserta didik
bukan sekedar sesuatu yang ditempelkannya.
e. Motivasi
Motivasi adalah daya dorong yang memungkinkan peserta
didik untuk bertindak atau melalukan sesuatu. Motivasi ini hanya
muncul manakala peserta didik merasa membutuhkan. Terkait dengan
proses pembelajaran,pendidik amat berperan dalam menumbuhkan
motivasi belajar peserta didik, dengan jalan menunjukkan pentingnya
pengalaman dan materi pembelajaran bagi kehidupan peserta didik di
kemudian hari. Peserta didik harus ingat pepatah kuno Romawi:
Decimus nun scholae set vitae (terjemahan bebasnya: kita belajar
27
bukan untuk sekolah/cari ijazah, tetapi untuk hidup). Motivasi belajar
yang utama adalah kebutuhan untuk dapat hidup di kemudian hari
dengan baik,bukan untuk mencari gelar atau ijazah.10
3. Tujuan Strategi Pembelajaran
Kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi, tujuan
yang harus dicapai oleh siswa dirumuskan dalam bentuk kompetensi.
Dalam konteks pengembangan kurikulum, kompetensi adalah perpaduan
dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam
kebiasaan berpikir dan bertindak. Dalam kurikulum kompetensi sebagai
tujuan pembelajaran itu dideskripsikan secara eksplisit, sehingga di
jadikan standar dalam pencapaian tujuan kurikulum. Baik guru maupun
siswa perlu memahami kompetensi yang harus yang dicapai dalam proses
pendidikan dan pembelajaran.
Dalam kompetensi sebagai tujuan strategi pembelajaran, di
dalamnya terdapat beberapa aspek, yaitu:
a. Pengetahuan (kwowledge)
Yaitu, kemampuan dalam bidang kognitif. Misalnya, seorang
guru sekolah dasar mengetahui teknik-teknik mengidentifikasi
kebutuhan siswa, dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat
sesuai dengan kebutuhan siswa.
10
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 87-90.
28
b. Pemahaman (understanding)
Yaitu, kedalaman pengetahuan yang dimiliki setiap individu.
Misalnya, guru sekolah dasar bukan hanya sekedar tahu tentang teknik
mengidentifikasi siswa, tapi juga memahami langkah-langkah yang
harus dilaksanakan dalam proses mengidentifikasi tersebut.
c. Kemahiran (skill)
Yaitu, kemampuan individu untuk melaksanakan secara
praktek tentang tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Misalnya, kemahiran guru dalam menggunakan media dan sumber
pembelajaran dalam proses belajar mengajar di dalam kelas;
kemahiran guru dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran.
d. Nilai (value)
Yaitu, norma-norma yang dianggap baik oleh setiap individu.
Nilai inilah yang selanjutnya akan menuntun setiap individu dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya, nilai kejujuran, nilai
kesederhanaan, nilai keterbukaan, dan lain sebagainya.
e. Sikap (attitude)
Yaitu, pandangan individu terhadap sesuatu. Misalnya, senang
tidak senang, suka tidak suka, dan lain sebagainya. Sikap erat
kaitannya dengan nilai yang dimiliki individu, artinya mengapa
individu bersikap demikian? Itu disebabkan nilai yang dimilikinya.
29
f. Minat (Intertest)
Yaitu kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu
perbuatan. Minat adalah aspek yang dapat menentukan motivasi
seseorang melakukan aktivitas tertentu.
Sesuai dengan aspek-aspek di atas, maka tampak bahwa
kompetensi sebagai tujuan dalam kurikulum itu bersifat kompleks.11 Maka
tujuan merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem
pembelajaran, sebab seluruh aktivitas guru dan siswa di arahkan untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran.
Tujuan
pembelajaran
merupakan
kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang diharapkan dapat
dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran
tertentu.12
4. Macam-Macam Strategi Pembelajaran
a. Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE)
Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE) adalah strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi
secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan
maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori. Pertama,
strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi
pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat
utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang
11
12
Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 70-71
Ibid., hlm. 86
30
mengidentikannya dengan ceramah. Kedua, biasanya materi pelajaran
data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga
pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya,
setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat
memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan
kembali materi yang telah diuraikan.
Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori,
yaitu: (1) persiapan (preparation), (2) penyajian (presentation), (3)
menghubungkan (correlation), (4) menyimpulkan (generalization),
(5) penerapan (aplication).13
b. Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta
didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka (Johnson; dalam Sutarjo Adisusilo).14
Senada dengan Abdul Majid, strategi pembelajaran kontekstual
merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut terhadap konteks
kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural)
13
14
Ibid., hlm. 185
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 90
31
sehingga siswa memiliki pengetahuan/ Keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/ konteks
ke permasalahan konteks lainnya.15
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih
merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi
skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama
siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam
program
tercermin
tujuan
pembelajaran,
langkah-langkah
pembelajaran dan authentic assessment-nya.16
c. Strategi Pembelajaran Inkuiri
Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI) merupakan rangkaian
kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara
kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari
suatu masalah yang dipertanyakan.
Menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri. Pertama,
strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas peserta didik secara
maksimal untuk mencari dan menemukan, itu berarti strategi inkuiri
menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar. Kedua, seluruh
aktivitas yang dilakukan peserta didik diarahkan untuk mencari dan
menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan,
sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Ketiga,
tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah
15
16
Abdul Majid, op. cit., hlm. 228
Ibid., hlm. 230
32
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan
kritis. Dengan demikian, dalam strategi pembelajaran inkuiri peserta
didik tidak hanya dituntut agar menguasai materi pembelajaran, akan
tetapi
bagaimana
mereka
dapat
menggunakan
potensi
yang
dimilikinya.17
Strategi
pembelajaran
inkuiri
merupakan
bentuk
dari
pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student
centrered approach). Dikatakan demikian karena dalam strategi ini
siswa memegang peran yang sangat dominan dalam proses
pembelajaran.18
Pelaksanaan strategi pembelajaran inkuiri, pendidik perlu
memperhatikan karakteristik inkuiri, yaitu: pertama, bahwa ada
masalah sosial di dalam kelas yang dapat sebagai titik tolak untuk
diskusi kelas. Kedua, dari masalah sosial dalam kelas dapat
dirumuskan
suatu
hipotesis
sebagai
fokus
inkuiri.
Ketiga,
menggunakan fakta yang ada dalam masyarakat untuk menguji
hipotesis.19
d. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM) merupakan
Strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk merumuskan dan memilih topik masalah yang ingin
17
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 102
Abdul Majid, op. cit., hlm. 223
19
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 107
18
33
dijawab terkait dengan materi pembelajaran tertentu. Peserta didik
diarahkan pada aktivitas pembelajaran
yang mengarah pada
penyelesaian masalah secara sistematis dan logis.
Strategi
Pembelajaran
Pembelajaran
Berbasis
Inkuiri
Masalah
(SPI)
(SPBM)
dengan
sama-sama
Strategi
strategi
pembelajaran yang berbasis masalah antara keduanya terdapat
perbedaan. Masalah dalam SPI sifatnya tertutup dalam arti jawaban
atas masalah sudah pasti dan pendidik mengetahui hal ini. Tugas
pendidik adalah menggiring peserta didik agar lewat tanya jawab
peserta didik menemukan jawaban sendiri. Sedangkan SPBM masalah
sifatnya terbuka, dalam arti jawaban belum pasti; setiap peserta didik
dapat mengembangkan berbagai kemungkinan jawaban tergantung
dari permasalahan yang dirumuskan peserta didik. Peserta didik harus
melakukan eksplorasi dan analisis agar menemukan jawaban dari
permasalahan yang dirumuskan.
Melihat
dari
sudut
tujuan,
maka
tujuan
SPI
adalah
menumbuhkan keyakinan dalam diri peserta didik tentang jawaban
dari masalah yang mereka rumuskan. Sedangkan dalam SPBM,
tujuannya adalah agar peserta didik terlatih berpikir kritis, analitis,
sistematis dan logis dalam rangka memecahkan masalah yang
dirumuskannya.20
20
Ibid., hlm. 108
34
e. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB)
Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir atau
SPPKB merupakan model pembelajaran yang bertumpu pada proses
perbaikan dan peningkatan kemampuan berpikir siswa. Menurut Peter
Reason dalam buku Wina Sanjaya, berpikir (thinking) adalah proses
mental seseorang yang lebih dari sekedar mengingat (remembering)
dan memahami (comprehending). Mengingat pada dasarnya hanya
melibatkan usaha penyimpanan sesuatu yang telah dialami untuk suatu
saat dikeluarkan kembali atas permintaan; sedangkan memahami
memerlukan pemerolehan apa yang didengar dan dibaca serta melihat
keterkaitan antar aspek dalam memori. Berpikir menyebabkan
seseorang harus bergerak hingga di luar informasi yang didengarnya.
Misalkan kemampuan berpikir seseorang untuk menemukan solusi
baru dari suatu persoalan yang dihadapi.
SPPKB bukan hanya sekedar model pembelajaran yang
diarahkan agar peserta didik dapat mengingat dan memahami berbagai
data, fakta, atau konsep, akan tetapi bagaimana data, fakta, dan konsep
tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk melatih kemampuan
berpikir siswa dalam menghadapi dan memecahkan suatu persoalan.21
21
Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 231
35
f. Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)
Model pembelajaran kelompok adalah rangkaian kegiatan
belajar yang dilakukan oleh peserta didik dalam kelompok untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.22
Pada hakikatnya, pembelajaran kooperatif sama dengan kerja
kelompok. Oleh karena itu, banyak guru yang menyatakan tidak ada
sesuatu yang aneh dalam cooperative learning, karena mereka telah
biasa melakukan pembelajaran cooperative learning dalam bentuk
belajar kelompok, walaupun tidak semua belajar kelompok disebut
sebagai cooperative learning.23
Salah satu strategi model pembelajaran kelompok adalah
Strategi Pembelajaran Kooperatif (kooperatif learning) (SPK). SPK
akhir-akhir ini dianjurkan untuk digunakan dalam PBM karena: (1)
strategi ini selain mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik,
juga mampu meningkatkan prestasi belajar peserta didik, juga mampu
meningkatkan
hubungan
sosial,
meningkatkan
toleransi
dan
meningkatkan harga diri; (2) dapat memenuhi berbagai kebutuhan
peserta
didik
dalam
belajar
berpikir,
memecahkan
mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan.
22
23
Ibid., hlm. 113
Abdul Majid, op. cit., hlm. 174
masalah,
36
g. Strategi Pembelajaran Afektif
Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 dijelaskan
bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermaktabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan
pendidikan di atas, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan
demikian, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran
tidak membahas strategi pembelajaran yang berhubungan dengan
pembentukan sikap dan nilai.24
Strategi pembelajaran afektif adalah strategi pembelajaran
pembentukan sikap, moral, atau karakter peserta didik melalui semua
mata pelajaran. Hal ini dikarenakan ranah afektif peserta didik sangat
berkaitan dengan komitmen, tanggung jawab, kerja sama, disiplin,
percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, mengendalikan
diri, dan lain sebagainya.25
Setiap
strategi
pembelajaran
sikap
pada
umumnya
menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau
24
Wina Sanjaya, op. cit., hlm. 273
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya Offset, cetakan ke-2, 2013)., hlm. 190
25
37
situasi yang problematis. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat
mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik.26
Beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap. Yakni; (1)
model konsiderasi, (2) model pengembangan kognitif, (3) teknik
mengklarifikasi nilai.
Beberapa contoh nilai-nilai berikut ini adalah bukti empiris
bahwa strategi pembelajran afektif memuat pendidikan nilai secara
utuh.
1. Religius
Kebermaknaan hidup ini akan sampai pada puncaknya
ketika peserta didik berkeyakinan bahwa belajar tidak ubahnya
ibadah kepada Tuhan,27 yakni mempelajari ciptaan-ciptaan-Nya
dan ritual peribadatan adalah salah satu manifestasi nilai-nilai
religius. Contoh sederhana, termasuk teori Big Benk, peserta
didik dapat mengagumi betapa dahsyatnya karya-karya Tuhan.
2. Kejujuran
Strategi pembelajaran afektif sarat dengan pelibatan
mental dan emosi positif. Dua enititas ini hanya bisa diketahui
oleh peserta didik yang bersangkutan. Sedangkan guru hanya
bisa mengetahui dari gejala-gejala yang ditimbulkan. Atas dasar
ini, dapat ditegaskan bahwa mental dan emosi positif sifatnya
26
27
Ibid., hlm. 279
Suyadi, op. cit., hlm. 194
38
selalu jujur dan mustahil melakukan tipu daya. Sebab tidak
mungkin seseorang menupu sendiri. Dengan demikian, strategi
pembelajaran afektif pasti memuat nilai kejujuran yang
terdalam.28
3. Tanggung jawab
Ketika pemikiran dan perbuatan didasarkan pada
kesadaran mental dan emosi positif, maka secara psikologi
terdapat kesiapan untuk berani mengambil resiko atas pilihan
hidupnya. Sedangkan pilihan hidup itu sendiri diambil
berdasarkan pada pemikiran mendalam dan mental yang
matang, serta emosi positif yang suci atau jernih. Atas dasar ini
peserta didik akan memiliki nilai-nilai kuat untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang diambil serta pantang
melempar kesalahan pada orang lain.29
4. Disiplin
Strategi pembelajaran afektif juga mengandung nilainilai disiplin. Namun disiplin dibentuk strategi ini berbeda
dengan disiplin bentukan strategi lain. Disiplin bentukan strategi
pembelajaran afektif bersumber pada kesadaran kritis yang
mendalam, dan kematangan mental serta emosi positif jernih
(suci), sehingga sikap disiplin bukan sebuah tuntutan yang
28
29
Suyadi, op. cit., hlm. 194
Ibid., hlm. 195
39
dipaksakan , melainkan kebutuhan batiniah yang dikonstruksi
dalam dirinya.30
5. Mandiri
Strategi pembelajaran afektif membentuk kesadara
dalam diri peserta didik bahwa segala bentuk kebaikan atau
keburukan, termasuk cerdas atau tidak atas dirinya ditentukan
sepenuhnya oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Hal ini
berimplikasi pada sikap kemandirian yang tinggi, sehingga tugas
apapun di tangannya selalu diselesaikan dengan sebaikbaiknya.31
Proses pembentukan sikap pada diri peserta didik tidaklah
terjadi secara tiba-tiba, melainkan melewati proses berliku dalam
rentang waktu yang cukup panjang. Banyak pola dalam rentang waktu
yang cukup panjang. Banyak pola dalam memproses pembentukan
sikap, dua diantaranya adalah pola pembiasaan dan modeling.
B. Pendidikan Nilai
1. Pengertian Pendidikan Nilai
Secara sederhana dan umum, pendidikan bermakna sebagai
usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi
30
31
Suyadi, op. cit., hlm. 195
Ibid.,
40
bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang
ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Bagi
kehidupan
umat
manusia,
pendidikan
merupakan
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa
pendidikan, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup dan
berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju sejahtera dan
bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka.
Definisi nilai, secara garis besar nilai dibagi dalam dua
kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai
memberi (value of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada
dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara
kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani
adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi,
disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi
adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan
diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilainilai memberi adalah setia, dapat di percaya, hormat, cinta, kasih
sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati (Linda,
1995, dalam Tianto).32
Berbagai penjelasan tentang definisi Pendidikan dan Nilai, maka
Pendidikan Nilai merupakan hakikat dan tujuan pendidikan itu
32
Zaim Elmubarok, op. cit., hlm. 7
41
sendiri.33 Menurut Sastrapratedja, Pendidikan Nilai ialah penanaman
dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seorang. Pedidikan nilai tidak
harus merupakan satu program atau pelajaran khusus, seperti pelajaran
menggambar atau bahasa Inggris, tetapi lebih merupakan suatu dimensi
dari seluruh usaha pendidikan.34
Dalam ranah ilmu pengetahuan disebutkan bahwa pengetahuan
disebutkan bahwa pengetahuan haruslah mengandung tiga dimensi
filosofis yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi berkaitan
dengan hakikat pengetahuan sedang epistemologi menyinggung sumber
pengetahuan dan aksiologi kepagian tugas menilai apa manfaat
pengetahuan itu bagi kehidupan. Yang terakhir inilah kajian pendidikan
nilai. Meneliti menelaah dan menemukan kaidah kebermanfaatan ilmu
pengetahuan bagi umat manusia. Dalam kanal pendidikan, istilah
pendidikan nilai mengacu pada aksiologi pendidikan, sejauh mana
pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/ moral kepada
peserta didik (Kosasih Jahiri, modul perkuliahan pendidikan nilai UPI,
dalam Zaim Elmubarok).
Secara lebih rinci pendidikan dan nilai bisa mempunyai makna
sendiri-sendiri, namun jika disatukan maka akan muncul beberapa
definisi tentang pendidikan nilai (Mulyana, 2004, dalam Zaim
Elmubarok), ini berarti makna pendidikan nilai, memicu banyak arti
33
Ibid,.
Sastrapratedja, Sj, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT. Grasindo,
1993),. hlm. 3
34
42
dan
pengertian.
Mardimadja
(1986)
dalam
Zaim
Elmubarok,
mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik
agar menyadari dan mengkaji nilai-nilai serta menempatkannya secara
integral dalam keseluruhan hidupnya. Telah sepakat bahwa konsep
pendidikan nilai bukanlah kurikulum tersendiri yang diajarkan lewat
beberapa mata kuliah akan tetapi mencakup seluruh proses pendidikan
(Mulyana, 2004, dalam Zaim Elmubarok). Pendidikan nilai adalah ruh
pendidikan itu sendiri, jadi dimanapun diajarkan pendidikan akan
muncul dengan sendirinya. Pendidikan nilai adalah nilai pendidikan
(Sukanta, 2007, dalam Zaim Elmubarok.35
Sementara itu dalam laporan National Resource Center for
Value Education, Pendidikan Nilai di negara India didefinisikan sebagai
usaha untuk membimbing peserta didik dalam memahami, mengalami,
dan mengamalkan nilai-nilai ilmiah, kewarganegaraan dan sosial yang
tidak secara khusus dipusatkan pada pandangan agama tertentu
(NRCVE; dalam Rohmat Mulyana). Lebih operasional (David Aspin
dalam Rohmat Mulyana) pendidikan nilai sebagai bantuan untuk
mengembangkan dan mengartikulasikan kemampuan pertimbangan
nilai atau keputusan moral yang dapat melembagakan kerangka
tindakan manusia.36
35
Ibid,. hlm. 11-12.
Rohmat Mulyana, Mengatikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung, CV. Alfabeta,
2011)., hlm. 119
36
43
Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan, dapat ditarik suatu
definisi pendidikan nilai yang mencakup keseluruhan aspek, yakni
pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai
kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai
yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
2. Tujuan Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik
agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu
menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk sampai pada
tujuan dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada
perilaku yang baik dan benar perlu diperkenalkan oleh para pendidik.
Komite APEID (Asia and The Pasific Programme of
Educational Innovation for Development), pendidikan nilai secara
khusus ditujukan untuk: (a) menerapkan pembentukan nilai kepada
anak; (b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang
diinginkan; dan (c) membimbing perilaku yang konsisten dengan nilainilai tersebut. Dengan demikian pendidikan nilai meliputi tindakan
mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai
pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO; dalam
buku Rohmat Mulyana)37
37
Ibid., hlm. 120
44
3. Subtansi nilai
Dikemukakan 18 nilai karakter versi Kemendinas sebagaimana
tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional,
2010).38
a. Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan
melaksanakan ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut,
termasuk dalam hal ini adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup rukun dan
berdampingan.
b. Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara
pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar,
mengatakan yang benar dan melakukan yang benar), sehingga
menjadikan orang yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat
dipercaya.
c. Toleransi,
yakni
sikap
dan
perilaku
yang
mencerminkan
penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku,
adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda
dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup tenang
di tengah perbedaan tersebut.
38
Suyadi, op. cit., hlm. 8
45
d. Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap
segala bentuk peraturan atau tata tertibyang berlaku.
e. Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara
sungguh-sungguh (berjuang hingga titik darah penghabisan) dalam
menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan, dan lainlain dengan sebaik-baiknya.
f. Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi
dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu
menemukan cara-cara baru, bahkan hasil-hasil baru yang lebih baik
dari sebelumnya.
g. Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantug pada orang
lain dalam menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan.
Namun hal ini bukan berarti tidak boleh kerja sama secara
kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan tugas dan
tanggung jawab kepada orang lain.
h. Demokratis, yakni sikap dan cara berpikir yang mencerminkan
persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya
dengan orang lain.
i. Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir, sikap dan perilaku yang
mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal
yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam.
46
j. Semangat kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap tindakan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau individu dan golongan.
k. Cinta tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa
bangga, setia, peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
budaya, ekonomi, politik dan sebagainya, sehingga tidak mudah
menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa
sendiri.
l. Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang
lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi
semangat berprestasi yang lebih tinggi.
m. Komunikatif, senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan
tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komukasi yang santun
sehingga tercipta kerjasama secara kolaboratif dengan baik.
n. Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana
damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam
komunitas atau masyarakat tertentu.
o. Gemar membaca, yakni kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk
menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai
informasi, baik buku, jurnal, majalah, koran dan sebagainya,
sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
p. Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang brupaya menjaga
dan melestarikan lingkungan sekitar.
47
q. Peduli sosial yakni sikap dan perbuatan yang mencerminkan
kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang
membutuhkannya.
r. Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik yang berkaitan dengan
diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.39
4. Ciri-ciri Nilai
a. Berkaitan dengan tanggung jawab kita
Nilai moral berikatan dengan pribadi manusia. Sedangkan
perbuatan sendiri berasalah dari inisiatif bebas. Oleh karenanya
harus kita katakan bahwa manusia sendiri menjadi sumber nilai
moral. manusia sendiri membuat tingkah lakunya menjadi baik
atau
buruk
dari
sudut
moral.
Hal
itu
tergantung pada
kebebasannya.
b. Berkaitan dengan hati nurani
Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan “imbauan” dari
hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya
nilai ini menimbulkan “suara” dari hati nurani yang meneduh kita
bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita
bila mewujudkan nilai-nilai moral.
39
Suyadi, op. cit., hlm. 8-9.
48
c. Mewajibkan
Nilai-nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan
dengan tidak bisa ditawar-tawar. Kita bisa memanfaatkan
pembedaan terkenal yang dikemukakan filsuf Jerman, Immanuel
Kant; dalam K. Bertens, antara imperatif hipotetis dan imperatif
kategoris. Dalam nilai moral terkandung suatu imperatif (perintah)
kategoris, sedangkan nilai-nilai lain hanya berkaitan dengan
imperatif hipotetis. Harus menempuh jalan tertentu. Kalau pemain
bulutangkis ingin menjadi juara, maka ia harus berlatih keras. Tapi
keharusan ini hanya berlaku dengan syarat: kalau ingin menjadi
juara. Sebaliknya, nilai moral itu mewajibkan kita begitu saja,
tanpa syarat. Kejujuran memerintahkan kita untuk mengembalikan
barang yang dipinjam, suka tidak suka. Barang itu harus
dikembalikan begitu saja. Keharusan itu berlaku mutlak tanpa
syarat.
d. Bersifat formal
Nilai moral merupakan suatu jenis nilai yang tidak bisa
ditempatkan begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Tidak
ada nilai-nilai moral yang “murni”, terlepas dari nilai-nilai lain.
Hal itulah yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa nilai
moral bersifat formal.
49
5. Pendekatan Pendidikan Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah
pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan
Budi Pekerti di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai
pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, seperti telah
diuraikan di atas, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya
bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang
paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara
lain sebagai berikut:
a. Tujuan pendidikan budi pekerti ialah penanaman nilai-nilai tertentu
dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial
tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa Indonesianya, yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat Indonesia.
b. Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan
hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban
dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban,
misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli
terhadap penjual. Dalam rangka pendidikan Budi Pekerti, siswa
perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya
menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut
dengan sebaik-baiknya.
50
c. Selanjutnya menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk
individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki
hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang
melekat eksistensi kemanusiaanya itu. Hak dan kewajiban asasi
tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka pendidikan
Budi Pekerti, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan
kewajiban asasinya sebagai manusia.
d. Dalam pengajaran Budi Pekerti di Indonesia, faktor isi atau nilai
merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini, berbeda dengan
pendidikan
moral
mementingkan
dalam
proses
masyarakat
atau
liberal,
keterampilan
yang
dalam
hanya
membuat
pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut
adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus diberikan
kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri.
Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur
bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Misalnya, berzina, berjudi, adalah perbuatan tercela, yang harus
dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini
harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran Budi
51
Pekerti faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama
dipentingkan.40
6. Lingkungan Pendidikan Nilai
Sejak lama Ki Hajar Dewantara memproklamirkan adanya tiga
lingkungan pendidikan yang disebut sebagai Tri Pusat Pendidikan. Tiga
lingkungan itu adalah sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam
program pengembangan pendidikan nasional ketiganya menjadi
wilayah garapan Pendidikan Nasional yang sering disebut sebagai
lingkungan pendidikan formal, informal, dan nonformal.
a. Lingkungan Sekolah
Sebagai salah satu sistem sosial, yang berinteraksi antara
satu dengan yang lainnya, lingkungan sekolah dapat dipastikan
melibatkan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa
nilai secara sengaja dilembagakan melalui sejumlah ketentuan
formal seperti kedisiplinan dan kerapihan yang diatur dalam tata
tertib sekolah atau nilai kecerdasan, kejujuran, tanggung jawab, dan
kesehatan yang diatur melalui kurikulum tertulis. Selain itu,
sekolah adalah tempat bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir
secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan
tindakan perorangan. Nilai-nilai seperti itu cenderung muncul
spontanitas dalam berbagai kekhasan pribadi setiap orang meski
agak tersembunyi dan tidak di rencanakan secara formal, nilai-nilai
40
Sutarjo Adisusilo, op. cit., hlm. 191-192
52
yang direfleksikan melalui tampilan perorangan itu berperan bagi
terbentuknya iklim budaya sekolah yang penuh makna.
Karena itu, para ahli pendidikan nilai selalu melihat adanya
pengembangan nilai di sekolah pada dua sisi kepentingan yang
berbeda. Pertama, sekolah secara restruktur membangun nilai yang
menyatu kurikulum tertulis. Kedua, perambatan nilai berlangsung
secara alamiah dan sukarela melalui jalinan hubungan interpersonal
antar warga sekolah, meski hal itu tidak diatur langsung dalam
kurikulum formal atau dengan kata lain berada dalam wilayah
kurikulum tersembunyi.41
b. Lingkungan Keluarga
Sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan
anak, keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis
bagi penyadaran, penanaman, dan pengembangan nilai. Nilai dapat
berkembang dan terpelihara melebihi jumlah dan intensitas nilai
yang terjadi di sekolah. Demikian pula ada internalisasi nilai pada
diri anak cenderung lebih melekat jika dibandingkan dengan hasil
penanaman nilai di sekolah. Perekat utamanya tiada lain adalah
perasaan yang terpadu antara sifat mengayomi pada orang tua
dengan sifat yang paing hakiki, proses pendidikan nilai di keluarga
sudah berlangsung sejak anak berada dalam kandungan sampai ia
meninggal dunia.
41
Rohmat Mulyana, op. cit., hlm 142
53
Hal krusial yang dihadapi pendidikan nilai di keluarga
adalah kecenderungan menipisnya ikatan emosional anak terhadap
orang tua, atau sebaliknya. Keadaan ini terjadi sebagai akibat
pergeseran nilai-nilai kehidupan manusia yang merembes ke dalam
kehidupan keluarga. Untuk itu, hal terpenting yang harus di tata
orang tua dalam membangun pendidikan nilai di keluarga adalah
menjadikan keluarga zona iklim pembelajaran nilai yang kondusif
bagi anak, sehingga ia dapat memenuhi sebagai hasrat untuk
mendapat sambutan dan penghargaan.42
c. Lingkungan Masyarakat
Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan peran-peran
dirinya sebagai anggota masyarakat. Hal itu berlaku pula bagi
seorang anak. Ia membutuhkan lingkungan masyarakat sebagai
tempat mendewasakan dirinya. Dengan cara bergaul di masyarakat,
ia belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya.
Semakin lama dan semakin banyak pengalaman, maka ia semakin
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan
dalam hidupnya. Untuk itu, lingkungan masyarakat merupakan
lingkungan penting lainnya yang ikut berpengaruh terhadap
kesadaran nilai pada anak.
Seperti halnya pada lingkungan keluarga, karakteristik
pergaulan anak dalam masyarakat dapat berlangsung secara
42
Ibid., hlm. 144
54
sukarela. Dalam arti yang positif, sukarela bermakna kebebasan
pada diri anak untuk memilih lingkungan atau teman, dan pilihanya
itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan moral yang
matang. Sifat sukarela terkadang dapat menjerumuskan anak pada
pergaulan yang merugikan bagi dirinya andaikata ia tidak cerdas
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kata
lain, pendidikan nilai dalam lingkungan masyarakat melibatkan
dua faktor penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan anak,
yaitu potensi anak dalam memilih nilai dan mozaik nilai yang
berkembang di masyarakat.
Dalam masyarakat yang serba primitif, mozaik nilai banyak
diwarnai oleh lahirnya nilai-nilai buruk atau hal yang destruktif
bagi
perkembangan
diri
anak.
Permusuhan,
kekerasan,
kemunafikan, kebohongan, ketidak-adilan, kekejaman, ketidaktaatan, kecintaan pada materi dan seterusnya, merupakan sederetan
nilai yang kurang menguntungkan bagi perkembangan anak. Sebab
itu, pendidikan nilai di masyarakat memerlukan kerja sama dari
semua pihak.43
43
Ibid., hlm. 145.
Download