Emotional Intelegence dan Psychological Well

advertisement
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada
Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis
Keagamaan di Jakarta
Bonar Hutapea
Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I
Abstract.
The empirical validations of relationship between emotional intelligence and psychological wellbeing remained inconsistent, particularly among older adults. This research was intended to
examine the relationship between the emotional intelligence and psychological well-being
among elderly people in Jakarta. A sample of 72 elderly men and women of religion-based group
completed a set of questionnaires on demographic factors and psychological measurement of
emotional intelligence and psychological well-being. These results support previous studies that
found positive and significant association between two variable and several demographic factors
related. The discussion focuses on finding and limitations of this research for implication and in
the light of theoretical and methodological consideration for further research.
Keywords: emotional intelligence, psychological well-being, and elderly people
Abstrak.
Validasi empiris hubungan antara kecerdasan emosional dan psychological well-being diwarnai
dengan hasil penelitian yang tidak konsisten, khususnya di kalangan manusia lanjut usia
(manula). Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional
dengan psychological well-being pada manula di Jakarta. Sebuah sampel dari 72 pria usia lanjut
dan wanita dari kelompok berbasis keagamaan menyelesaikan satu set kuesioner faktor
demografi, pengukuran psikologis kecerdasan emosional, dan psychological well-being. Hasil
dalam penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan positif dan
signifikan antara kedua faktor demografi dan beberapa variabel terkait. Diskusi dalam
penelitian ini berfokus pada penemuan dan keterbatasan implikasi penelitian sebagai
pencerahan terhadap pandangan teoritis dan metodologis untuk penelitian lebih lanjut.
Keywords: kecerdasan emosional, psychological well-being, dan orang lansia
Menjadi tua memang bukan pilihan
melainkan sesuatu yang pasti dialami. Setiap
orang, tanpa kecuali, jika berumur panjang akan
menjadi tua. Hal ini sesuai dengan siklus
kehidupan dan perkembangan yang dialami
manusia dengan ciri yang sangat jelas, seperti yang
dinyatakan oleh Hurlock (1996:308), yakni
terjadinya perubahan fisik dan psikologis tertentu.
Setiap tahun terjadi peningkatan jumlah
lanjut usia (lansia) pada berbagai negara. Survei
Biro Sensus Amerika Serikat dalam laporannya
tentang data demograf i kependudukan
Korespondensi: Bonar Hutapea. Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat
Telp. +6221-3926000 ext. 1501, 1551. E-mail: [email protected] atau [email protected]
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
64
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
internasional menyebutkan bahwa di berbagai
negara terjadi peningkatan sangat signifikan.
Angka kenaikan jumlah paling tinggi di dunia
ditemukan di Indonesia. Dalam kurun waktu
antara tahun 1990 hingga 2025, diperkirakan
jumlah lanjut usia di Indonesia meningkat hingga
414% (Suara Merdeka, Senin, 24 Juni 2002). Karena
kondisi kehidupan dan perawatan cenderung
lebih baik, terdapat kecenderungan peningkatan
angka harapan hidup.
Peningkatan kuantitas lanjut usia belum
tentu diikuti dengan meningkatnya kualitas
hidup. Di Indonesia, kualitas lansia masih
dianggap rendah. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa indikator antara lain adalah banyaknya
lansia yang memiliki ketergantungan kuat pada
anak atau keluarga lain, selain kurang produktif.
Dari segi pendidikan, ditemukan bahwa secara
umum lansia berpendidikan rendah. Rendahnya
tingkat pendidikan ini berkorelasi positif dan
signifikan dengan buruknya kondisi sosial
ekonomi, derajat kesehatan, dan kemandirian
(Depsos RI, 2002:2).
Perubahan fisik dan psikologis yang dialami
lansia menentukan, sampai taraf tertentu, apakah
lanjut usia akan melakukan penyesuaian sosial
yang baik atau buruk. Menurut Hurlock
(1996:308), ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju
dan membawa penyesuaian diri yang buruk
daripada yang baik dan kepada kesengsaraan
daripada ke kebahagiaan. Karena itu, usia lanjut
lebih takuti daripada usia madya, khususnya
dalam kebudayaan Amerika.
Perasaan tidak berguna dan tidak diinginkan
membuat banyak lansia mengembangkan
perasaan rendah diri dan marah. Perasaan ini
tentu saja tidak membantu untuk penyesuaian
sosial dan pribadi yang baik. Sehubungan dengan
itu, Butler (dalam Hurlock, 1996:384) menyatakan
bahwa orang lanjut usia secara tidak proporsional
menjadi subyek bagi masalah emosional dan
mental yang berat. Insiden psikopatologi timbul
seiring dengan bertambahnya usia. Gangguan
fungsional–keadaan depresi dan paranoid- terus
bertambah, sama seperti penyakit otak setelah
usia 60 tahun... Kasus bunuh diri juga meningkat
seiring dengan usia...”
Disfungsional dan psikopatologi yang
dialami lansia, seperti yang dikatakan Butler
tersebut, disebabkan oleh beberapa bahaya yang
65
terjadi pada masa lansia antara lain masalah
kesehatan, ekonomi, hubungan dalan keluarga,
dan masalah psikologis (Hurlock, 1996:405-409).
Bahaya psikologis pada lansia dianggap memiliki
dampak yang lebih besar dibandingkan pada usia
muda. Akibatnya penyesuaian pribadi dan sosial
pada lansia menjadi jauh lebih sulit. Dengan
demikian, dibutuhkan
kondisi hidup yang
menunjang agar lansia dapat menjalani masa
lansia dengan baik dan memuaskan. Selain untuk
dapat menjalani masa lansia secara memuaskan,
kondisi hidup yang menunjang juga amat
dibutuhkan agar lansia tidak merasa tertekan
karena ketidaksiapan memasuki masa lansia.
Kondisi hidup yang menunjang tersebut antara
lain adalah sosial ekonomi, kesehatan,
kemandirian, kesehatan mental (Depsos RI,
2003:4). Ilmuwan sosial, pembuat kebijakan dan
para profesional khususnya yang bekerja dalam
bidang lanjut usia memiliki sasaran meningkatkan
kualitas hidup para manula (manusia usia lanjut).
Peningkatan harapan hidup, di mana pada
prinsipnya menghasilkan prestasi positif,
membutuhkan kondisi hidup yang sangat
diperhitungkan dalam parameter kepuasan hidup.
Untuk menjaga keseimbangan kualitas
hidup pada lansia, salah satu yang amat penting,
menurut Hardywinoto dan Setiabudhi (1999: 99117) adalah aspek psikologis dan perilaku.
Menurutnya, para lansia yang mempunyai mental
yang sehat masih dapat melakukan hal yang
positif. Berdasarkan teori psikososial dari Erik
Erikson, lansia matang berada pada tahap
perkembangan kepribadian yakni Integritas Ego,
yaitu berbentuk suatu keutuhan kebijaksanaan.
Pada masa ini seorang yang merasa dirinya
diterima dan dihargai oleh sekelilingnya
merupakan anugerah yang tidak mungkin dapat
dinilai dengan materi (Hardywinoto & Setiabudhi,
1999:106). Keadaan seseorang yang sehat secara
mental yang memiliki sejumlah kualitas
kesehatan mental yang positif seperti penyesuaian
aktif terhadap lingkungan, dan kesatuan
kepribadian, disebut Shek (1992) sebagai
psychological well-being. Shek mendefinisikan
psychological well-being sebagai “keadaan
seseorang yang sehat secara mental yang memiliki
sejumlah kualitas kesehatan mental yang positif
seperti penyesuaian aktif terhadap lingkungan,
dan kesatuan kepribadian”.
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Bonar Hutapea
Psychological well-being dapat diartikan
sebagai kebahagiaan, dalam arti bebas dari
distress yang dicerminkan oleh keseimbangan afek
positif dan negatif (Diener & Larsen, 1993). Selain
itu, dapat pula diartikan sebagai kepuasan hidup.
Keadaan sehat secara mental, kebahagiaan, dan
kepuasan hidup ini sangat penting agar para lansia
dapat menjalani masa lansia dengan baik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
Psychological well-being antara lain adalah
demografi, kepribadian, dukungan sosial, dan
evaluasi terhadap pengalaman hidup. Salah satu
dari unsur kepribadian yang dianggap
mempengaruhi Psychological well-being adalah
masalah emosi (De Lazzari, 2000).
Emosi adalah salah satu aspek
perkembangan manusia yang sangat penting, dan
dalam masyarakat secara keseluruhan, khususnya
lansia, aspek ini seringkali diabaikan (Gross &
John, 2003). Para lansia seringkali dipersoalkan
dan diteliti aspek psikologis dan perilakunya
dalam kerangka kognitif. Misalnya, penurunan
tingkat kecerdasan, memori, berbahasa, dan lain
sebagainya Namun, aspek intrinsik lansia seperti
halnya juga pada orang dewasa, salah satu yang
biasanya tidak diuji, adalah apa yang dikenal
sebagai kecerdasan emosional. (Gross & John,
2003).
Mayer dan Salovey, 1993 (dalam Goleman,
1995) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai satu tipe kecerdasan sosial yang meliputi
kemampuan untuk memonitor emosi sendiri dan
emosi orang lain, menbedakan keduanya, dan
menggunakan informasi untuk memandu
pemikiran dan tindakan sendiri. Kecerdasan
emosional kini dianggap esensial bagi kesuksesan
hidup (Goleman, 1995). Membantu lansia perihal
emosinya dan bagaimana menangani tindakan
sendiri seperti halnya tindakan orang lain bisa
sangat membantu dalam perjuangan hidup seharihari dalam menjalani masa tua. Selanjutnya,
dalam rangka mendorong kehidupan lansia yang
memuaskan, sebuah pemahaman emosi bagi
lansia sangat penting dalam menentukan
psychological well-being.
Dari uraian di atas, emotional intelligence
dapat dianggap sebagai faktor yang berkontribusi
pada psychological well-being. Meskipun banyak
yang memandang periode lansia sebagai waktu
yang tidak memerlukan perjuangan hebat dan
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
penuh kekacauan, beberapa peneliti justru
melihat periode lansia dari perspektif yang lebih
negatif di mana dirasakan bahwa sebagian besar
lansia kurang mampu menangani periode
perkembangan ini dengan baik. Inilah tahap
perkembangan di mana individu berusaha
m e n e m u k a n i n te g r i t a s p r i b a d i s a m b i l
mengupayakan kebahagian dan kepuasan dalam
hidup. Lansia juga menghadapi perjuangan
menemukan makna diri sendiri dengan benarbenar menemukan seperti apa sesungguhnya
menjadi manusia. Dalam melihat perjuangan ini,
terdapat banyak perhatian mengenai kegagalan
penyesuaian sosial, stres, penyesalan, kekecewaan,
dan keputusasaan, dan bentuk perilaku negatif
lainnya. Dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk
perilaku negatif ini, yang dapat dianggap sebagai
perwujudan ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan
dalam hidup, dikaitkan dengan rendahnya
kecerdasan emosional dan kebermaknaan hidup
pada sebagian lansia. Akibatnya, banyak
paguyuban lansia mengembangkan program
seputar kecerdasan emosional sebagai upaya
menghambat bentuk-bentuk perilaku negatif.
Hasil tinjauan De Lazzari, (2000) terhadap
berbagai hasil penelitian menunjukkan beberapa
faktor yang mempengaruhi Psychological wellbeing antara lain adalah demografi, kepribadian,
dukungan sosial, dan evaluasi terhadap
pengalaman hidup. Salah satu dari unsur
kepribadian yang dianggap mempengaruhi
Psychological well-being adalah masalah emosi
Hasil penelitian Gross dan John (2003)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
individual dalam pengalaman dan ekspresi emosi
dan selanjutnya berdampak secara berbeda
terhadap kebahagiaan. Pengalaman emosi
berdampak signifikan tehadap Psychological wellbeing. Apabila emosi negatif menurun dan emosi
positif meningkat berdampak terhadap kepuasan
hidup yang lebih besar. Hal ini didukung oleh
pendapat Ryff, 1998 (dalam Gross & John, 2003)
bahwa perbedaan individual dalam regulasi emosi
berdampak pada kebahagiaan hidup.
Penelitian Shek, 1992; Zika dan Zamberlain,
1992 sebagaimana dikutip De Lazzari, (2000)
menyimpulkan bahwa selain makna hidup,
kepuasan hidup, dan variabel gaya hidup,
emotional intelligence juga diduga prediktor
terhadap psychological well-being, meskipun
66
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
bukan merupakan prediktor kuat. Namun De
Lazzari (2000) juga menjelaskan bahwa emotional
intelliegence seringkali juga tidak terbukti sebagai
prediktor terhadap well-being. Sebagai dikatakan
De Lazzari (2000) bahwa: “..from an empirical
basis, it has been shown in a variety of studies as
outlined above that a sense of meaning and sense of
well-being tend to almost co-exist, while the
literatur points out that there is not much
indication of what emotional intelligence predicts”
Dari pernyataan De Lazzari ini ditunjukkan
bahwa dari beragam kajian secara empiris
ditemukan bahwa rasa akan makna dan well-being
tidak cukup kuat indikasi bahwa keduanya
diprediksikan oleh emotional intelligence.
Dari uraian ini, terdapat dua pendapat yang
agak berbeda tentang sejauhmana keterkaitan
antara emotional intelligence dengan
psychological well-being. Dengan demikian masih
perlu kajian untuk menguji hubungan keduanya.
Dalam penelitian ini diduga bahwa terdapat
hubungan antara emotional intelligence dengan
psychological well-being
Bentuk-bentuk perilaku negatif ini dapat
juga dilekatkan pada makna hidup. Banyak lansia
yang terlibat dalam bentuk perilaku negatif dan
patologi kejiawaan sebagai akibat dari kebosanan.
Fabry (1968) mencatat bahwa kebosanan
merupakan akibat dari hidup yang tanpa makna
dan tidak adanya tantangan. Dengan demikian,
adalah sama pentingnya untuk mencoba dan
membantu lansia menemukan makna hidup
maupun identitas sebagai upaya menghadang
bentuk-bentuk perilaku negatif dan patologi
kejiwaan tersebut dengan upaya untuk membantu
memunculkan rasa psychological well-being.
Dalam penelitian ini, psychological wellbeing ditelaah dalam hubungannya dengan
emotional intelligence, sedangkan keterkaitannya
dengan makna hidup tidak diikutkan sebagai
variabel yang diukur disebabkan kebermaknaan
hidup, menurut Ryff (1995) merupakan salah satu
dimensi psychological well-being yakni purpose in
life. Artinya, kebermaknaan hidup merupakan
bagian atau indikasi dari psychological well-being.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa penting memandang lebih
dekat emotional intelligence dengan psychological
well-being pada lansia. Studi ini akan
mengeksplorasi hubungan antara emotional
67
intelligence dengan psychological well-being pada
lansia di salah satu perhimpunan lansia di bawah
koordinasi salah satu gereja di Jakarta Pusat yang
mengorganisir pertemuan berkala perkumpulan
lansia sebagai bagian dari pelayanan terhadap
jemaat dan terbuka untuk lansia di luar jemaat
gereja tersebut.
Berdasarkan percakapan informal dan
pengamatan, secara umum, diperoleh kesan
bahwa terdapat dua kelompok pada lansia di
perkumpulan ini. Sebagian lansia dapat dianggap
memiliki karakteristik seperti yang terdapat pada
konsep psychological well-being, secara khusus
adalah kejelasan tujuan dan kemampuan mencari
makna dalam hidup. Para lansia ini mengakui
d i r i n y a m e n i k m a t i h i d u p, m e n g a l a m i
kebahagiaan, dan mampu mengisi hari tua dengan
penghayatan mendalam akan hakekat hidup. Hal
ini tampak antara lain dari aktivitas dan partisipasi
yang cukup intensif dalam kegiatan-kegiatan para
lansia di gereja seperti paduan suara, beribadah
mingguan di gereja maupun wilayah tempat
tinggal masing-masing, pengumpulan dana
kemanusiaan dan kunjungan sosial. Sebaliknya,
beberapa lansia menggambarkan dirinya sangat
menderita, tidak bahagia, sangat tertekan, dan
berbagai pandangan negatif lainnya. Secara
umum, tidak terdapat ciri-ciri individu yang
memiliki psychological well-being.
Secara terbatas diamati pula perilaku para
lansia yang mengakui dirinya bahagia ini dari segi
emotional intelligence. Tampak para lansia
memiliki kecakapan emosional, yang terlihat dari
kemampuannya memonitor emosi sendiri dan
orang lain. Hal ini dapat diperhatikan dari
percakapan yang bisa disimak bahwa mereka
mengerti, mengenali emosi yang dialami dan juga
mampu memahami emosi orang lain, yang
dengannya para lansia tersebut berinteraksi. Hal
yang sebaliknya diakui para lansia yang kurang
bahagia dan tertekan bahwa seringkali merasa
tidak mampu mengedalikan emosi sehingga tidak
jarang menyinggung perasaan anak-anak dan
cucu maupun anggota keluarga lainnya. Juga
diakui bahwa seringkali merasakan kebingungan
akan penyebab emosi tertentu yang dialami.
Berdasarkan uraian di atas, layak diduga
bahwa kesejahteraan psikologis para lansia
tersebut berkaitan dengan kecakapan mengelola
emosi. Pychological well-being pada lansia di
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Bonar Hutapea
organisasi berbasis keagamaan di Jakarta Pusat
kemungkinan sangat terkait erat dengan
emotional Intelligence yang dimiliki.
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah lanjut usia
anggota perkumpulan manula dalam asuhan
gereja di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Adapun
kriteria yang ditetapkan dalam populasi penelitian
ini adalah: Berusia 60 tahun ke atas (Hurlock,
1996:308; UU No. 13 Tahun 1998 Pasal 1 ayat 2),
tidak sedang sakit, kelima indera masih berfungsi
dengan baik dan mampu mendayagunakan
motorik untuk menulis. Mengingat tidak
tersedianya data yang jelas tentang jumlah lansia
sebab sifat perkumpulan ini sangat terbuka dan
cair serta tidak menetap dalam jadwal pertemuan,
dan status kesehatan maka jumlah populasi tidak
diketahui dengan pasti, maka sampel diperoleh
dengan menggunakan teknik insidental sampling.
Penelitian ini mengumpulkan data 2 variabel
yakni emotional intelligence sebagai variabel bebas
(X), dan Psychological well-being sebagai variabel
terikat (Y). Psychological well-being adalah
keadaan individu yang ditandai dengan kualitaskualitas kesehatan mental, yang dioperasionalkan
melalui skor total yang diperoleh dari skor setiap
aspek-aspek yang diukur menggunakan Skala
Psychological well-being yang disusun penulis
berdasarkan teori Ryff (1989a) meliputi dimensidimensi seperti penerimaan diri, hubungan
dengan orang lain, tujuan dalam hidup,
pertumbuhan pribadi, penguasaan lingkungan,
dan otonomi. Emotional Intelligence adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali dan
mengelola emosi sendiri dan orang lain sehingga
mampu menjalankan hubungan interpersonal
yang hangat dan memuaskan, yang
dioperasionalkan melalui skor total yang
diperoleh melalui skor setiap aspek yang diukur
menggunakan Skala Emotional Intelligence yang
disusun penulis sendiri berdasarkan teori
Goleman (1995) meliputi dimensi-dimensi:
kesadaran diri, mengelola emosi, memotivasi diri
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
sendiri, empati, dan menangani hubungan dengan
baik.
Kedua instrumen tersebut dikonstruksi
berdasarkan model Likert dengan lima pilihan
respon mulai dari “sangat jarang” (1) hingga
“sangat sering” (5) untuk item favorabel, dengan
pensekoran (scoring) sebaliknya bagi item
unfavorabel. Kualitas instrumen sebelum
digunakan untuk mengumpulkan data ditentukan
melalui pengujian validitas dengan teknik korelasi
Product Moment dari Pearson dan reliabilitas
konsistensi internal Cronbach Alpha (Azwar,
2003). Item yang valid pada skala psychological
well-being dan skala emotional intelligence dengan
rit ≥ 0.3, sedangkan koefisien reliabilitas dengan
menggunakan teknik Alpha Cronbach masingmasing adalah 0,926 dan 0,937 mana keduanya
tergolong sangat reliabel. Data demografis yang
diminta diisikan dalam kuesioner/skala tersebut
antara lain adalah usia, status pernikahan, tempat
tinggal, suku bangsa (etnis), status pekerjaan, dan
pendidikan terakhir.
Analisis data penelitian menggunakan
Pearson Product Moment, uji t (t-test), dan analisis
varians. Semua analisis menggunakan statistik
dengan bantuan SPSS versi 16.0 for Windows.
HASIL DAN BAHASAN
Hasil analisis statistik deskriptif
menunjukkan gambaran umum subyek penelitian
sebagaimana ditunjukkan dalam table 1 di bawah
ini:
68
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
Table 1. Gambaran umum subyek penelitian
Jenis kelamin
Status pernikahan
Usia
Pendidikan terakhir
Etnis/suku bangsa
Tempat tinggal
Status pekerjaan
Data personal
Laki-laki
Perempuan
Lajang/Tidak Menikah
Menikah
Duda/Janda
60-65 tahun
65-70 tahun
70-75 tahun
Di atas 75 tahun
Dasar
Menengah pertama
Menengah atas
Diploma
Sarjana
Pasca sarjana
Batak
Etnis lain
Bersama Pasangan
Bersama Keluarga Anak
Panti Werdha
Tinggal Sendiri
Lain-lain
Masih Bekerja
Tidak Bekerja
Pensiunan
Wiraswasta
Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas
responden berjenis kelamin pria, berstatus
menikah. Usia responden bervariasi antara di
bawah 65 hingga di atas 75 tahun dengan per
terbesar pada usia 60-65 dan 65-70 tahun. Tingkat
pendidikan responden dengan persentasi terbesar
tingkat responden adalah diploma dan sekolah
menengah atas. Dari daftar isian diketahui bahwa
latar belakang etnis termasuk (kebetulan)
homogen dan mayoritas tinggal bersama
pasangan dan tinggal bersama keluarga anak dan
tak ada yang tinggal di Panti Werdha. Mayoritas
responden adalah pensiunan dan tidak bekerja.
Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson
Product Moment diperoleh rxy=0,249 dengan
p=0,035(p<0,05). Hal ini berarti ada hubungan
emotional intelligence dengan psychological wellbeing pada lanjut usia yang menjadi responden
penelitian ini. Maksudnya semakin tinggi
emotional intelligence maka akan diikuti dengan
semakin baiknya psychological well-being yang
69
Jumlah (%)
41 (56,94%)
31 (43,06 %)
2 (2,78%)
52 (72,22 %)
18 (25%)
41 (56,94%)
24 (33,33%)
1 (1,39%)
54(44.62%)
5 (6,94%)
6 (8,33 %)
23 (31,94%)
26 (36,11%)
12 (16,67%)
0 (0 %)
100 (100%)
0 (0%)
32 (44,44 %)
23 (31,94 %)
0 (0%)
3 (4,17%)
14 (19,44 %)
7 (9,72 %)
23 (31,94%)
38 (52,78 %)
4 (5,56 %)
dimiliki para lansia tersebut dan sebaliknya.
Temuan ini tidak mengagetkan peneliti
mengingatkan studi awal lewat pengamatan dan
percakapan-meskipun amat terbatas dalam
jumlah subyek maupun waktu- menunjukkan
kemungkinan adanya keterkaitan yang positif
antara keduanya. Demikian pula melalui kajian
kepustakaan dan penelitian terdahulu, sejauh
yang dapat disimpulkan, lebih banyak pernyataan
yang mendukung bahwa terdapat korelasi yang
positif dan signifikan antara kedua variabel
tersebut. Hanya saja koefisien korelasi antara
kedua variabel tergolong rendah. Hasil temuan
dalam penelitian ini mendukung studi terdahulu
yang menyimpulkan adanya hubungan, dapat
dijelaskan melalui pendapat Shek, 1992; Reker,
Peacock & Wong, 1987 (dalam De Lazzari, 2000)
bahwa emotional intelligence.bukan merupakan
prediktor kuat dari psychological well-being.
Demikian juga dengan pendapat dari De Lazzari
(2000) menyatakan bahwa dari dasar empiris
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Bonar Hutapea
ditunjukkan bahwa dalam beragam studi
ditemukan bahwa tidak cukup kuat indikasi
adanya prediksi yang kuat dari
emotional
intelligence. Hal ini sesuai dengan penelitian
Fredrickson (2000) yang menyimpulkan bahwa
emosi positif sangat penting untuk mendorong
kesehatan yang optimum dan well-being.
Kurang tingginya korelasi antar varibel dapat
disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang
mungkin berkaitan erat dengan psychological
well-being. Berdasarkan uraian Hurlock
(1996:444), disimpulkan ada beberapa kondisi
penting yang menunjang pencapaian kebahagiaan
pada masa lansia, yaitu: a) sikap yang
menyenangkan terhadap usia lanjut berkembang
sebagai akibat dari kontak pada usia sebelumnya
dengan orang lansia yang menyenangkan; b)
kenangan yang menggembirakan sejak masa
kanak-kanak sampai masa dewasanya; c) bebas
untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan tanpa
ada interferensi dari luar; d) sikap yang realistis
terhadap kenyataan tentang perubahan fisik dan
psikis sebagai akibat dari usia lanjut yang tidak
dapat dihindari; e) menerima kenyataan diri dan
kondisi hidup yang ada sekarang walaupun
kenyataan tersebut berada di bawah kondisi yang
diharapkan; f) mempunyai kesempatan untuk
memantapkan kepuasan dan pola hidup yang
diterima oleh kelompok sosial di mana ia sebagai
anggota; g) terus berpartisipasi dengan kegiatan
yang berarti dan menarik; h) diterima oleh dan
memperoleh respek dari kelompok sosial; i)
perasaan puas dengan status yang ada sekarang
dan prestasi masa lalu; j) puas dengan status
perkawinan dan kehidupan seksualnya; k)
kesehatan cukup bagus tanpa mengalami masalah
kesehatan yang kronis; l) menikmati kegiatan
rekreasional yang direncanakan khusus bagi orang
usia lanjut; m) menikmati kegiatan sosial yang
dilakukan dengan kerabat keluarga dan temanteman; n) melakukan kegiatan produktif, baik
kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara
sukarela dilakukan; dan o) situasi keluarganya
memadai untuk memenuhi seluruh keinginan dan
kebutuhan.
Selain itu, ada beberapa variabel lain yang
merupakan prediktor dari psychological well-being
menurut Shek, 1992; Zika dan Zamberlain, 1992;
Reker, Peacock & Wong, 1987 (dalam De Lazzari,
2000) antara lain adalah makna hidup, kepuasan
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
hidup, dan variabel gaya hidup. Sedangkan Ryff,
dkk (1995), mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi Psychological well-being antara
lain adalah demografi, kepribadian, dukungan
sosial, dan evaluasi terhadap pengalaman hidup.
Dari hasil analisis terhadap beberapa faktor
demografis ditemukan antara lain: hasil uji t (ttest) terhadap psychological well-being ditinjau
dari jenis kelamin ditemukan bahwa tidak ada
perbedaan di antara perempuan dan laki-laki.
Salah satu alasan yang mungkin bahwa sangat
mungkin bahwa psychological well-being lebih
rendah pada perempuan dalam hal penguasaan
terhadap lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan
relasi yang positif dengan orang lain namun
sebaliknya terkait tujuan dalam hidup, dan
penerimaan diri
Hal ini juga mengkonfirmasi sebagian dari
temuan Bowling et al., (2003) pada lansia di Inggris
bahwa relasi sosial yang baik dengan orang lain
merupakan faktor utama yang berpengaruh pada
kesejahteraan psikologis lansia. Demikian pula
temuan Landa, et al. (2006) pada responden yang
berbeda. Terkait kontroversi dan inkonsistensi
keterkaitan emotional intelligence dengan
psychological well-being pada sejumlah studi
hingga saat ini, temuan sederhana ini
mengkonfirmasikan korelasi positif dan signifikan
di antara keduanya sebagaimana temuan De
Lazzari (2000) dan Gross dan John (2003).
Analisis terhadap perbedaan psychological
well-being ditinjau dari status pekerjaan
ditemukan bahwa perempuan memiliki skor yang
lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini berkaitan
dengan temuan penelitian sebelumnya yang
menyimpulkan bahwa perempuan cenderung
memiliki masalah serius dalam beradaptasi
dengan masa pensiun, baik sebagai pensiunan
maupun sebagai pasangan hidup dari individu
yang pensiun. Kemungkinan disebabkan
kewajiban dan urusan pengeluaran dalam rumah
tangga tetap atau tak berubah maka kenyataan
menjadi pensiunan menjadi tak menarik sama
sekali bagi perempuan (Sproat, 1983; Vinokur,
Price, & Caplan 1996; Szinovacz, 1982, dalam Van
Solinge & Henkens, 2005).
Ha s i l a n a l i s i s te rh a d a p p e rb e d a a n
psychological well-being ditinjau dari tempat
tinggal menunjukkan bahwa individu yang tinggal
bersama dengan anak (mungkin juga cucu)
70
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
memiliki skor psychological well-being yang lebih
baik. Hal ini mengkonfirmasi temuan studi
tentang lingkungan tempat tinggal dalam
penelitian Kahana, et al. (2003) pada faktor
kesesuaian pribadi dengan lingkungan yang
sangat menentukan kepuasan hidup para lansia.
Demikian pula faktor lingkungan, secara khusus
lingkungan pertetanggaan (neighborhood
environment) dan komunitas pemukiman sangat
berperan penting dalam interaksi mereka.
Terkait status pernikahan, dari analisis
varians tidak ditemukan adanya perbedaan pada
psychological well-being. Hasil ini tampaknya
bersesuaian dengan temuan Marks (1996) bahwa
status pernikahan tidak berkait langsung dengan
well-being meski secara parsial ditemukan bahwa
perempuan yang melajang memiliki sedikit skor
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang
menikah. Dalam hal ini, perlu penyelidikan
interaksi jenis kelamin dan status pernikahan
dengan psychological well-being.
Dari hasil korelasi antar faktor pada skala
psychological well-being, pertumbuhan pribadi
merupakan dimensi yang berkorelasi sangat tinggi
dengan total yaitu sebesar 0,906. Hal ini dapat
dimaknai bahwa segi pertumbuhan pribadi aspek
terpenting bagi lansia dalam mempertahankan
kesejahteraan psikologisnya.
Berdasarkan perhitungan kategorisasi,
ditemukan bahwa Psychological well-being para
lansia ini termasuk tinggi (mean temuan 118,4861
diantara interval 117-160, dengan mean teoritis 96).
Demikian pula dengan Emotional Intelligence,
berada pada kategori tinggi (mean temuan
159,5278 diantara interval 154-210, dengan mean
teoritis 126). Artinya, secara psikologis para lansia
ini sangat sehat dan kecerdasan emosionalnya
sangat baik.
Penelitian ini mengandung sejumlah
keterbatasan. Yang pertama adalah jumlah sampel
yang tergolong kecil bila dibandingkan jumlah
lansia umumnya dan di Jakarta pada khususnya.
Teknik ini berimplikasi pada terbatasnya
generalisasi temuan penelitian semata-mata
kepada subyek yang menjadi responden penelitian
ini. Artinya, penelitian ini memiliki kelemahan
dalam validitas terkait sampel. Selain itu, dari
penelitian ini tidak dimungkinkan prediksi
terhadap variabel dependen yakni psychological
well-being mengingat penelitian ini merupakan
71
studi korelasi sederhana dan bersifat ex post
factum atau non-eksperimental
Kelemahan lain adalah tidak adanya faktor
kontrol, misalnya harga diri, depresi, dan locus of
control (Murphy, 2006), karena harga diri dan
locus of control merupakan elemen kepribadian
yang dianggap terkait erat dengan kesejahteraan
psikologis atau kepuasan hidup, sedangkan
depresi merupakan salah satu aspek kesehatan
yang juga dianggap berpengaruh langsung
terhadap kepuasan hidup.
Terlepas dari keterbatasan di atas, penelitian
ini memiliki kontribusi dalam khazanah
kepustakaan kajian psikologi usia lanjut di
Indonesia mengingat masih terbatasnya literatur
empiris mengenai permasalahan ini sekaligus
sebagai dasar bagi penelitian lanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari analisis statistik diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan dengan arah
positif antara emotional intelligence dengan
psychological well-being pada lansia yang menjadi
responden penelitian ini. Disarankan bagi para
lansia yang menjadi subyek penelitian ini agar
mempertahankan sebaik mungkin emotional
intelligence yang dimiliki, mengingat terdapatnya
korelasi positif dan signif ikan dengan
psychological well-being. Diperlukan emotional
intelligence yang cukup tinggi jika ingin
psychological well-being tetap berada pada taraf
yang baik.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya
diterapkan teknik sampel secara random dengan
jumlah yang lebih besar dan populasi yang lebih
luas. Selain itu, juga disarankan untuk
mempertimbangkan variabel-variabel lain yang
dapat mempengaruhi dan terkait psychological
well-being pada lansia, seperti religiusitas (Ellison,
1998), kebijaksanaan yang merupakan komposit
dari kualitas kognitif, reflektif, dan afektif (Ardelt,
1997), penerimaan psikologis khususnya terhadap
perasaan-perasaan tak menyenangkan (Butler &
Ciarrochi, 2007)
Selain itu, hendaknya dipertimbangkan
meneliti kesejahteraan psikologis lansia yang
berstatus sebagai perantau di Jakarta mengingat
etnis Batak dikenal sebagai perantau terutama
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Bonar Hutapea
lansia yang tak tinggal bersama anaknya dan juga
tak tinggal di panti jompo melainkan tinggal
bersama dengan pasangan dan datang dari desa
serta belum lama menetap di Jakarta.
Sebagaimana ditemukan oleh Lai (2004) pada
imigran lansia Cina yang menyimpulkan bahwa
faktor kultural dan psikososial imigrasi menjadi
faktor determinan pada kesehatan mental lansia
tersebut.
Secara khusus pada lansia yang berusia di
atas 75 tahun perlu dilakukan studi khusus
mengingat umur tersebut melampaui angka
harapan hidup pada umumnya di kota besar
(urban living) di Indonesia, selain mengacu pada
pendapat Smith (2000) bahwa lansia berusia 70-an
dan 80-an merupakan usia period ke-empat yang
memiliki permasalahan psikologis tertentu dan
berbeda dengan periode sebelumnya sebab
dianggap terlalu dekat momen mortalitas
(kematian). Faktor kecemasan menghadapi
kematian mungkin menjadi perhatian tersendiri
dan relevan.
Hal ini akan menjadi kajian menarik bagi
pemahaman tentang psychological well-being
pada lansia di Indonesia selain menambah
khazanah kepustakaan yang masih sangat minim
dalam bidang psikologi sosial perkembangan
khususnya psikologi usia lanjut.
PUSTAKA ACUAN
Ardelt, M. (1997). Wisdom and life satisfaction in old age. Journal of Gerontology: Psychological Sciences,
Vol.52B, No.1, P15-P27
Azwar, S. (2003a). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2003b). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bowling, A., Gabriel, Z., Dykes, J., Dowding, L.M., Evans, O., Fleissig, A., Banister, D., & Sutton, S (2003). Let's
ask them: A national survey of definitions of quality of life and its enhancement among people aged 65 and
over. Int'l. J. Aging And Human Development, Vol. 56(4), 269-306
Butler, J. & Ciarrochi, J. (2007). Psychological acceptance and quality of life in the elderly. Qual Life Res,
16:607–615
De Lazzari, S.A. (2000). Emotional intelligence, meaning, and psychological well-being: a comparison between
early and late adolescence.
Diunduh dari http://www2.twu.ca/cpsy/assets/studenttheses/delazzaristeven.pdf
Ellison, C.G. (1998). Religion, health, and well-being among African Americans. African American Research
Perspectives 4 (2, Spring), 94-103
Goleman, D. (1996). Emotional intelligence (alihbahasa T. Hermaya), Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama
Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence, London: Bloombury Publishing
Gross, J.J. & John, O.P.(2003). Individual differences in two emotion regulation processes: implications for affect,
relationship, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 2003, Vol. 85, No. 2, 348-362
Hardywinoto & Setiabudi, T. (1999). Panduan gerontologi, tinjauan dari berbagai aspek, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Hurlock, E.B. (1996). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (terjemahan),
Jakarta: Penerbit Erlangga
Kahana, E., Lovegreen, L., Kahana, B., & Kahana, M. (2003). Person, environment, and person-environment fit as
influences on residential satisfaction of elders. Environment and Behavior, Vol. 35 No. 3, May, 434-453
Lai, D.W.L. (2004). Impact of culture on depressive symptoms of elderly Chinese immigrants. Can J Psychiatry,
Vol. 49, No 12, December, 820-827
Landa, J.M.A., Lopez-Zafra, E., de Antonana, R. M. & Pulido, M. (2006). Perceived emotional intelligence and life
satisfaction among university teachers. Psicothema. Vol. 18, supl., 152-157
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
72
Emotional Intelegence dan Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia
Anggota Organisasi berbasis Keagamaan di Jakarta
Marks, N.F. (1996). Flying solo at midlife: Gender, marital status, and psychological well-being. Journal of
Marriage and the Family, Vol. 58, No. 4, Nov, 917-932.
Mills, T.L. (2000) Depression, mental health and psychosocial well-being among older african american: A
selective review of the literatur. Perspectives (Spring/Summer), 93-104. Diunduh dari
ttp://rcgd.isr.umich.edu/prba/perspectives/springsummer2000/tmills.pdf
Murphy, K.T. (2006). The relationship between emotional intelligence and satisfaction with life after controlling
for self-esteem, depression, and locus of control among community college students" Theses and
Dissertations. Paper 2640. http://scholarcommons.usf.edu/etd/2640
Reker, G. T., Peacock, E. J. , & Wong, P. T. P. (1987). Meaning and purpose in life and wellbeing: A life-span
perspective. Journal of Gerontology, 42, 44-49
Ryff, C.D (1989). Happines is everything or is it? Exploration on meaning of psychological well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, Vol. 57, No. 6, 1069-1081
Ryff, C.D (1989). In the eye of the beholder: Views of psychological well-being among middle aged and older adults.
Psychology and Aging, 1989, Vol. 4, No.2, 195-210
Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and
Social Psychology, Vol. 57, No. 69, 719-727
Ryff, C.D. & Singer, D. (1993). Psychological well-being: Meaning, measurement, and implications for therapy
research. Psychoter Psychosom, 65, 14-23 pada Harnack-Haus Forum, December 2000 Biomolecular
Aspects of Aging: Social and Ethical Implications. Diunduh dari
http://www.demogr.mpg.de/Papers/workshops/010730_paper01.pdf
Sproat, K. (1983). How do families fare when the breadwinner retires? Monthly Labor Review, December, 40-44
Van Solinge, H. & Henkens. K., (2005) Couples' adjustment to retirement: A multi-actor panel study. Journal of
Gerontology: Social Sciences, Vol. 60B, No. 1, S11–S20
Vinokur, A.D.,. Price, R.H, & Caplan, R.D.(1996). Hard times and hurtful partners: How financial strain affects
depression and relationship satisfaction of unemployed persons and their spouses. Journal of Personality
and Social Psychology, Vol. 7 I, No. 1, 166-179
73
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011
Download