FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU TINDAK

advertisement
FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU
TINDAK PIDANA dan KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN
VONIS PIDANA
(Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SHANTI DESTIYANI
NIM: 107045100418
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKUKTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU
TINDAK PIDANA dan KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN
VONIS PIDANA
(Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
SHANTI DESTIYANI
107045100418
Dibawah Bimbingan :
Pembimbing I :
Pembimbing II :
Dr. Hj. Isnawati Rais
Al Fitra, SH., MH
NIP. 1957102719850323
NIP. 197220203200701034
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU
TINDAK PIDANA DAN KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN VONIS
PIDANA (Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program
Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam (Jinayah Syar’iyyah).
Jakarta, 20 September 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Dr. Asmawi M.Ag
NIP 197210101997031008
2. Sekretaris
: Afwan Faizin M.Ag
NIP 197210262003121001
3. Pembimbing I
: Dr. Hj. Isnawati Rais
NIP 195710271985032
4. Pembimbing II : Alfira, SH., MH
NIP 197220203200701034
5. Penguji I
: Dr. Asmawi M.Ag
NIP 197210101997031008
6. Penguji II
: Dr. Asep Saepudin Jahar, MA
NIP 196912161996031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi
salah satu memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 10 September 2011
Shanti Destiyani
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmaanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan
manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan rasa penuh tanggung jawab kepada Allah SWT dan
seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata
beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Ilsam yang menjadi
umat terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta
yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari akan pentingnya orang-orang
yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka
segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini
menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada yang terhormat bapak / ibu :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
2. Dr. Asmawi, MA., Ketua Program Studi Jinayyah Siyasah yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis
selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayyah Siyasah yang telah
banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan
berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaikbaiknya.
4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga skripsi ini
dapat diseminarkan dengan baik.
5. Dr. Hj. Isnawati Rais dan Alfitra SH. MH selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi
penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas
menyalurkan ilmu dan pengetahuan secara ihklas dalam kegiatan belajar
mengajar yang penulis jalani.
7. Kedua orang tua
penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan
pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda
ii
terkasih (alm) E. Affendy Ch. A dan Ibunda Yulia Ismayanti S.Pd juga
teruntuk kembaranku Shinta Destiyana adik-adikku Afeliani Tri Hapsari dan
Amelia Rahma Putri, serta semua keluarga.
8. Mr. Sng Yong Heng yang telah pembantu penulis semangat untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 yang telah
menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang
bersama dalam hidup, terutama ( Hurriyah, Ratu Ressa, Vinieska, Farhan,
Rido, Novita, Azwar ) yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi
maupun bertualang.
10. Teman-teman main yang selalu menemani penulis teruntuk Hastri dan Nainu.
Tiada cita yang terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah
SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinyadalam ilmu pengetahuan.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga
setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan dari Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 10 September 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian................................... 10
D. Metode Penelitian........................................................................ 11
E. Sistematika Pembahasan.............................................................. 13
BAB II
FAKTOR KEJIWAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINDAK PIDANA
A. Sekilas Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian tindak pidana........................................................ 15
2. Macam-macam tindak pidana................................................ 20
3. Sebab timbulnya tindak pidana.............................................. 22
4. Faktor seseorang melakukan tindak pidana........................... 24
B. Faktor Kejiwaan dan Tindak Pidana
1. Beberapa persoalan kejiwaan................................................ 30
2. Pengaruh kejiwaan terhadap pelaku tindak pidana................. 34
iv
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VONIS HAKIM
A. Tatacara Hakim Dalam Menetapkan Suatu Putusan.................... 38
B. Hal-hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim................................ 45
C. Dasar Pertimbangannya................................................................ 61
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP FAKTOR KEJIWAAN DALAM PENETAPAN
TINDAK PIDANA DAN VONIS HAKIM HAKIM
A. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Islam.......................... 66
B. Pandangan Hukum Positif............................................................ 69
C. Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif.............. 77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 80
B. Saran-saran.................................................................................. 82
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era demokrasi saat ini di Indonesia masalah kejahatan dirasa telah
mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat. Kejahatan memang
merupakan gejala masyarakat yang amat mengganggu ketentraman, kedamaian serta
ketenangan masyarakat yang seharusnya lenyap dari muka bumi ini. Namun demikian
seperti halnya siang dan malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka
kejahatan tersebut tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan, kebajikan
dan sebagainya.
Hampir setiap hari koran maupun televisi memberitakan kasus kriminalitas
yang menimpa masyarakat. Bentuknya beragam, ada perampokan, pemerasan,
perampasan, penjambretan, pembunuhan, perkosaan, pencopetan, penganiayaan,
dengan kata lain yang mengandung unsur pemaksaan atau kekerasan terhadap fisik
ataupun harta benda korban. Tindak pidana biasanya merugikan diri sendiri maupun
orang lain.1
Perkembangan dalam pendidikan masyarakat saat ini yang semakin bertambah
maju di bidang ilmu perngetahuan dan teknologi, telah melahirkan berbagai
kemudahan dalam kehidupan manusia. Kemudahan itu antara lain semakin dekatnya
1
Laden Merpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo,
1997), Cet Ke-1
1
2
hubungan manusia antar daerah, antar bangsa dan antar Negara, karena tersedianya
berbagai media transportasi, media komunikasi, serta media informasi, juga semakin
beraneka ragam tersedianya kebutuhan ekonomi manusia. Dengan bertambah
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi bertambah luas pula kehidupan manusia,
karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu semakin banyak menyediakan
macam ragam lapangan penghidupan, bertambah meningkat pula penghasilan
masyarakat sehingga semakin bertambah banyak pula anggota masyarakat yang
mampu memenuhi alat-alat kebutuhan hidupnya yang layak dalam kehidupan modern,
baik peralatan rumah tangga, transportasi, media komunikasi dan media informasi.
Kehidupan masyarakat Indonesia semakin terbuka dengan dunia luar dan semakin
terbuka dengan sesamanya di dalam masyarakat itu sendiri. Semakin meningkatnya
keterbukaan masyarakat Indonesia dengan dunia luar, maka semakin besar pula
pengaruh ideologi, budaya, dan peradaban masyarakat dari belahan dunia lain yang
lebih maju ke dalam masyarakat Indonesia.2
Secara ekonomi, persaingan hidup yang semakin memperlebar jurang
perbedaan status social ekonomi seseorang dimasyarakat, yang menimbulkan orang
merasa tertekan secara kejiwaan dan akhirnya mengambil jalan pintas melakukan
tindak pidana pencurian, pembunuhan, perkosaan dan sebagainya, karena ia ingin
hidup mapan secara instant dan cepat menjadi kaya. Begitu pula mengenai sulitnya
mencari lapangan pekerjaan, membuat tingkat kejahatan semakin tinggi karena
2
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta :
CV. Satelit Buana)
3
banyaknya pengangguran disana-sini mendorong seseorang untuk berbuat kriminal
melakukan tindak pidana pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, tindak pidana khusus
korupsi, terorisme, narkotika dan sebagainya, karena ia ingin memiliki penghasilan.
Faktor penyebab berikutnya adalah karena minimnya keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang dimiliki tidak memadai untuk orang tersebut memperoleh
keinginan yang diharapkannya, akhirnya ia melakukan tindakan bodoh yang menjurus
kearah kriminal.
Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan
fenomena tindak kriminal yang ada. Pada kesempatan ini penulis mencoba
menjelaskan psikologis pelaku tindak pidana. Bermula dari berdirinya psikology
sebagai ilmu pengetahuan dan beberapa kajian yang sebelumnya terkait dengan
perilaku kriminalitas, yang menjelaskan psikologi merupakan ilmu tentang perilaku
dengan pengertian bahwa perilaku atau aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi
kehidupan psikis.3
Penjelasan tentang pelaku kriminalitas telah diberikan oleh para ahli sejak
sejarah kriminalitas tercatat. Penjelasan itu diberikan oleh filosof, ahli genetika,
dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Berbagai macam pendekatan seperti pendekatan
fisik, pendekatan kepribadian, pendekatan psikoanalisis, pendekatan belajar sosial dan
pendekatan kognitif, bahwa pendekatan fisik merupakan sifat dan karakteristik fisik
manusia berhubungan dengan pelaku kriminal, salah satu contoh karakteristik pencuri
yang biasaya berambut pendek dan dicat. Pendekatan kepribadian
3
merupakan
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta : C. V Andy Offset, 2010).
4
kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan criminal salah satu sampelnya
adalah rendah kemampuan untuk mengontrol dirinya, orang yang cenderung
pemberani, dominasi yang sangat kuat, power yang lebih, dan dorongan untuk
memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi. Pendekatan psikoanalisis merupakan
representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego sampelnya
adalah yang disebabkan oleh resolusi yang tidak baik umumnya dilakukan pada saat
hilangnya ikatan cinta ibu-anak. Selanjutnya pendekatan belajar sosial merupakan
peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media dan
subculture tertentu merupakan contoh terbentuknya perilaku criminal orang lain.
Pendekatan kognitif merupakan perilaku pelaku yang memiliki fikiran yang berbeda
dengan orang lain, contohnya adalah pelaku criminal seperti ahli manipulasi, liar yang
kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya.4
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh
dilakukan serta beroperasi melalui orang yang memperhatikan batas antara perbuatan
yang menurut hukum dan perbuatan dan melawan hukum. Sasaran hukum yang
hendak dituju bukan saja kepada orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum
melainkan juga perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada
alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum
yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. Dalam hukum
pidana modern
4
yang merupakan bagian
dari politik kriminal disamping
Suryanto, Perilaku Kriminal Ditinjau Dari Aspek Psikologis Pelaku, Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga.
5
penanggulangan
menggunakan
sistem
pidana,
dari
usaha
yang
rasional
menanggulangi kejahatan masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan. Misalnya usaha peningkatan jiwa masyarakat, yakni dengan mengadakan
pengajian, pembagian sedekah maka setiap orang menjadi sadar untuk berperilaku
sesuai dengan hukum, dalam upaya menyelaraskan kehidupan masyarakat karena
mempertinggi tingkat kesadaran (kesehatan) jiwa manusia terhadap hukum berarti
sekaligus ikut menunjang sehatnya penegakan hukum.
Cesare Lombroso ialah seorang dokter yang menjadi bapak angkat para ahli
hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan dasar pemikiran hubungan antara
hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan faktor “manusia” pelaku
kejahatan. Demikian pula Anselm Von Feuerbach juga telah memperhatikan faktor
“kejiwaan” manusia dalam merumuskan hukum pidana dan penerapan sanksi pidana.5
Berbagai macam tentang adanya faktor kejiwaan, seperti kejahatan penculikan
yang dilakukan oleh wanita, kejahatan pencurian atau perampokan tertentu,
pembunuhan bayi, perkosaan, kejahatan sex tertentu, perbuatan kenakalan dan lainlainnya itu merupakan pelanggaran hukum yang berkaitan dengan kesehatan jiwa
seseorang. Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
dalam masyarakat terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil
yang maksimal, misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan
pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa dari pelaku, saksi, atau pihak-pihak yang
5
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran
Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara, 1984), Hal . 18
6
berkepentingan dengan perkara tersebut tidak memberikan keterangan yang akurat
atau dalam bahasa orang awam keterangan tersebut tidak sesuai dengan yang
sesungguhnya ia ketahui.
Dari uraian tentang beberapa macam tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan, dapat diketahui bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
dikenai hukum pidana. Pelakunya dapat dikatakan “subjek” tindak pidana.6 Dalam
hukum pidana subjektif (ius peonale) merupakan hak dari penguasa untuk
mengancamkan suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan
dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyidikan, menjatuhkan pidana, dan
mewajibkan terpidana untuk melaksanakan hukuman yang dijatuhkan.
Berbicara mengenai subjek tindak pidana, pikiran selanjutnya diarahkan
kepada wujud perbuatan tindak pidana. Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus
dilihat dari para perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan
pidana. Perumusan ini dalam bahasa belanda disebut delicts-omschrijving. Misalnya,
dalam tindak pidana pencurian, perbuatan dirumuskan sebagai mengambil barang. Ini
merupakan perumusan secara formal yaitu, benar- benar disebutkan dalam wujud
suatu gerakan tertentu dari badan manusia. Sebaliknya perumusan secara materiil
memuat penyebutan suatu akibat yang dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai
mengakibatkan matinya orang lain. Perbedaan perumusan formal dan materiil tidak
berarti bahwa dalam perumusan formal tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak
6
Wirjono. Prodjokiro, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia, (Jakarta : PT. Rafika Aditama,
2003). h. 19
7
pidana. Juga dalam tindak pidana formal selalu ada akibat yang merupakan alasan
diancamkan hukuman pidana. Akibat ini adalah suatu kerugian bagi kepentingan
orang lain atau kepentingan Negara.
Menurut Kin‟s Zulkarnain hukum pidana subjektif merupakan hak Negara
dan alat-alat perlengkapannya untuk menghukum berdasarkan aturan-aturan yang
telah ditentukan dalam hukum pidana objektif atau hukuman dari Negara bila aturanaturan yang ditentukan dilanggar. Menurut Bambang Poernomo hukum pidana
subjektif (ius puniendi) meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana,
menetapkan pidana, dan melaksanakan pidana yang dibebankan kepada negara dan
pejabat untuk itu.7
Dalam sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam
merupakan satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum barat. Hukum Islam
telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang
berlaku didalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula
bahwa mayoritas penduduk muslim disuatu Negara tidak selalu dapat diasumsikan
mayoritas dalam politik dan melaksanakan hukum Islam. Pada saat ini kecenderungan
masyarakat Indonesia menunjukkan muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti
kekuasaan politik serta aspirasi pembentukkan dan penerapan hukum didasarkan dan
bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam.
Dalam tindak pidana memang acap kali dikaitkan dengan persoalan
kematangan emosional, psikologis dan tanggung jawab. Seorang psikolog, boleh
7
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 2000)
8
dikata individu mereka yang melakukan tindak pidana adalah mereka yang masih
kurang memiliki rasa tanggung jawab dalam berperilaku, kurang matang, dan
cenderung melakukan perbuatan atas kemauan diri sendiri. Hal ini sangat berbeda
dengan individu yang bisa mengontrol emosional, yang memiliki rasa tanggung jawab
dan kecenderungan atas kepentingan umum.8
Berdasarkan permasalah tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun
skripsi yang
berjudul: “ FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG
PELAKU TINDAK PIDANA DAN KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN
VONIS PIDANA (ditinjau dalam Hukum Islam dan Hukum Positif)”
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah
Hukum sendiri sebenarnya sudah memberi peringatan bahwa barang siapa
yang mengadakan pelanggaran hukum baik itu laki-laki ataupun wanita dapat
dihukum yang sesuai dengan perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai
berikut: “Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi orang yang
dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa
pidana)”.
Berdasarkan pada KUHP pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di
Indonesia tidak membedakan golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria
8
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Prenada Media Group, 2003). Cet Ke-1
9
maupun wanita adalah sama dalam mentaati segala perundang-undangan atau hukum
yang berlaku di Indonesia.
Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita
penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensik
psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan foresnsik medicine (ilmu
kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi hukum terutama
dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum peradilan. Untuk
mendapatkan pembahasan yang lebih objektif, maka dalam skripsi ini penulis
membatasi bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang merupakan suatu
dorongan dari kejiwaan seseorang, alasan penghapus pidana dan kemampuan
bertanggung jawab menurut konsep KUHP, tinjauan hukum Islam dan hukum Positif
mengenai penjatuhan vonis pidana kepada seseorang yang melakukan tindak pidana
atas motivasi kejiwaan.
Dari pembatasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Apakah faktor kejiwaan seseorang mempengaruhinya untuk melakukan
tindak pidana?
2.
Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif dalam penetapan
vonis atas motivasi kejiwaan pelaku?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Untuk mengetahui pengaruh kejiwaan sebagai pendorong pelaku tindak
pidana
2.
Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan Hukum pisitif dalam
penetapan vonis pidanakepada pelaku tindak pidana terhadap faktor
kejiwaan
Sedangkan Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui seberapa besar
pengaruh kejiwaan seseorang yang melakukan tindak pidana. Hasil penelitian
ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta memperbanyak koleksi
khazanah keilmuan bagi pembaca.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan
masyarakat pada umumnya, agar berhati-hati untuk setiap adanya kejahatan
dalam ruang lingkup setempat.
b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam
memahami apa saja yang menjadi faktor pendorong seseorang untuk
melakukan kejahatan atau tindak pidana.
11
D. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Dalam melakukan suatu penelitian, kita tidak terlepas dari penggunaan
metode, dengan metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang harus
bertindak. Metode dapat dirumuskan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan
dalam penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu
pengetahuan, cara tertentu untuk melaksanakan suatu perosedur.9 Jenis
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode Deskriptif Analitis.10
Metode ini menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa
yang menjadi objek penelitian dengan data-data yang ada kemudian
menganalisanya. Setelah penulis mengumpulkan data-data yang sesuai dengan
tema penelitian, penulis melakukan analisa terhadap data-data tersebut
kemudian mendapat kesimpulan dari data-data yang didapat.
2. Metode Pengumpulan Data
Mengenai sumber data yang digunakan penulis adalah sumber data
primer. Data primer ini adalah data yang diperoleh dari hasil kajian hukum
terhadap perundang-undangan, yang dalam hal ini perundang-undangan
9
E. Sast Radonokusumo, Tuntutan Pidana, ( Jakarta : Siliwangi). Hal. 236.
10
Hal. 262
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Prenada Media Group), 2008,
12
sebagai acuan utama untuk membatasi permasalahan yang dihadapi. 11 Dalam
hal ini adalah buku-buku, majalah-majalah, dan literatur-literatur lainnya yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Setelah data-data terkumpul,
kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan
menggunakan metode.
Penulis menggunakan metode Deduktif, yang diartikan bahwa penulis
mengambil dari data yang umum kemudian penulis menarik kesimpulannya,
penulispun membandingkan data yang di peroleh dari beberapa sumber
kedalam hukum Islam dan hukum positif. 12
Dalam teknik kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam
bentuk teks naratif.13 Dengan melakukan analisis terhadap sumber dan materi
hukum pidana Islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis
(pendekatan
ushul fiqh, al qawaidh al fiqhiyyah dan maqasidu al syari‟ah). Sedangkan
dalam melakukan analisis terhadap hukum pidana melalui materi perundangundangan khusus dan doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normatifdoktriner dengan memanfaarkan model-model interpretasi hukum.
Dalam melakukan analisis diterapkan pula pola berfikir logika-dialektis
dalam format tesis-antitesis-sintesis, sehingga diperoleh pemahaman/pemikiran
yang padu dan komprehensif.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., (Jakarta:UI- Press. 1986). Cet, Ke-3
12
Meleong, Lexy J., Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Karya, 2002)
13
Matthew B. Miles dan A Michael Huberman, Analisis data kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru, terj.Tjetjep Rohendi Rohidi, (Jakarta; UI Press, 1992), hlm. 137
13
E. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan
pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan
dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk
lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut :
BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
penelitian
dan
manfaat
penelitian,
metode
tujuan
penelitian,
sistematika pembahasan, daftar pustaka sementara.
BAB II
Faktor kejiwaan dan hubungannya dengan tindak pidana, yang
terdiri dari lima sub bab. Yang pertama, pengertian tindak
pidana. Kedua, sebab timbulnya tindak pidana. Ketiga, faktor
seseorang melakukan tindak pidana. Keempat bentuk-bentuk
penyimpangan. Kelima, akibat penyimpangan kejiwaan
BAB III
Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan vonis Hakim, ada
tiga sub bab. Yang pertama, tugas hakim. Kedua, tatacara
menetapkan putusan. Ketiga, ketidakmampuan bertanggung
jawab
14
BAB IV
Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap faktor
yang mempengaruhi putusan hakim. Ada tiga sub bab. Yang
pertama, pandangan dalam hukum Islam. Kedua, pandangan
dalam hukum positif. Ketiga, perbandingan hukum Islam dan
hukum positif.
BAB V
Penutup
Sebagai bab terakhir, bab ini hanya terdiri dari kesimpulan
serta saran-saran
BAB II
FAKTOR KEJIWAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINDAK PIDANA
A.
Sekilas Tentang Tindak Pidana
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan
ciri tertentu dalam peristiwa hukum pidana. Di dalam perundang-undangan, dipakai
istilah perbuatan pidana (di dalam undang undang Darurat no 1 tahun 1951),
peristiwa pidana (di dalam konstitusi RIS maupun UUDS 1950), dan tindak pidana
(di dalam undang-undang pemberantasan korupsi, narkotika, suap, ekonomi, dan lainlain yang sering juga disebut delict). Di dalam bahasa Belanda dipakai dua istilah.
Kadang-kadang dipakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga pakai istilah delict.
Di dalam Bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan dari strafbaar feit itu, yaitu
peristiwa pidana dan perbuatan yang dapat dihukum.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dikenai hukuman
pidana. Prof. Moeljiatno, S.H. merumuskan perbuatan pidana dengan suatu perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana melanggar larangan tersebut dan dapat
juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana oleh suatu aturan hukum, namun perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada
15
16
perbuatannya (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang),
sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.14
Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah” atau
“Jarimah” pengertian jinayah yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah
jarimah, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah
yang pelanggarnya dikenakan hukuman baik berupa hal maupun ta‟zir.15
Para ahli hukum Islam. Jinayah adalah sinonim dengan kata kejahatan.
Namun di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk
kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau
penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan-kejahatan berat. Sementara
syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.16
Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang satu
persatu perbuatan beserta unsur-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi tiga
golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan hukuman
had, golongan kisas dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan hukuman
kisas dan diyat, golongan ta‟zir yaitu golongan yang diancam dengan hukuman
ta‟zir.17
14
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 51
15
Abdul Qadir Audah, At Tasyri Al Islami, (Beirut : Ar Risalah, 1998), Cet. 14. h. 66
16
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : As Syamil, 2001), Cet. 2. h.
132-133
17
Ahmad hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995),
Cet. 7. h. 48
17
Jarimah hudud terbagi kepada tujuh macam jarimah,antara lain : Jarimah zina,
jarimah qadhaf, jarimah syarb al khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah,
jarimah riddah dan jarimah pemberontakan. Sedangkan jarimah kisas dan diyat
terbagi dalam dua macam yakni pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila
diperluas jumlahnya terbagi menjadi lima macam yaitu pembunuhan sengaja,
pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan
sengaja dam penganiayaan tidak sengaja.
Selain dari kedua golongan jarimah tersebut termasuk golongan ta‟zir.
Jarimah-jarimah ta‟zir tidak ditentukan satu persatunya, sebab penentuan macammacam jarimah ta‟zir diserahkan kepada penguasa Negara pada suatu masa,
dengan disesuaikan kepada kepentingan yang ada padaa waktu itu.
Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah menolak dan mencegah, sedangkan
menurut istilah adalah hukuman-hukuman yang ketentuan hukumnya tidak
terdapat dalam nash syariat secara jelas dan diserahkan kepada ulil amri atau
ijtihad hakim.18
Adapun mengenai jarimah ta‟zir, dilihat dari segi sifatnya terbagi kepada tiga
bagian, yakni ta‟zir karena telah melakukan perbuatan maksiat, ta‟zir karena telah
melakukan perbuatan merugikan atau membahayakan kepentingan umum, dan
ta‟zir karena melakukan suatu pelanggaran.
18
Muhammad Abu Zahra, Al Jarimah Wal „Uqubah Fil Islami, (Kairo : Dar Al Fikr Al Arabi,
1998), h. 57
18
Di samping itu, apabila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), maka
ta‟zir dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu :
1. Golongan jarimah ta‟zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan
kisas, akan tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau terdapat syubhat,
seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau pencurian yang
dilakukan oleh keluarganya sendiri.
2. Golongan jarimah ta‟zir yang jenisnya terdapat di dalam nash syara, akan
tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap (risywah) dan
mengurangi takaran atau timbangan.
3. Golongan jarimah ta‟zir yang jenis dan hukumannya belum ditentukan
oleh syara‟. Dalam hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk
menentukannya, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Abdul Azis Amir, seperti yang dikutip dari buku Wardi Muslich yang
berjudul Hukum Pidana Islam, membagi jarimah ta‟zir secara rinci kepada
beberapa bagian, yaitu :19
1. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pembunuhan.
2. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pelukaan.
3. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan
kerusakan akhlak.
4. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan harta.
19
Muhammad Abu Zahrah, al Jarimah Wal „Uqubah al Fiqh Al islami, (Kairo : Dar Al Fikr
Al Arabi, 1998), h. 225-226
19
5. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu.
6. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan keamanan umun.
Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi seperti penimbunan bahan pokok,
mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikkan harga dengan semena-mena.
Dalam pidana Islam dijelskan tentang pembebasan seseorang dengan hasil
(akibat) perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat dari perbuatannya itu.20
Dalam syari‟at Islam pertanggung jawaban itu didasarkan pada tiga hal yaitu:
Kesatu, adanya perbuatan yang dilarang. Kedua, perbuatan tindak pidana itu
dikerjakan dengan kemauan sendiri. Ketiga, pelaku tindak pidana mengetahui akibat
perbuatan itu. Pembebasan jawaban ini didasarkan pada al-qur‟an dalam surat an-nahl
ayat 106 disebutkan tentang orang yang dipaksa
               
        
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar.
Penjelasan dari ayat di atas bahwasannya bagi umat Allah yang kafir kepadaNya padahal ia sudah beriman, kecuali jika ia dipaksa untuk kafir padahal ia tetap
20
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan bintang. 2005), h. 119
20
beriman ke pada Allah maka tidak berdosa baginya, tetapi jika ia melapangkan dan
berusa untuk kafir pada Allah, maka azab yang menimpa sangat besar baginya.
Sebagaimana kita ketahui, sifat-sifat hasud, iri, cepat marah, atau terlalu
banyak berangan-angan adalah sifat-sifat yang buruk dan merupakan sumber dari
berbagai tekanan jiwa. Betapa banyak manusia yang menderita stress, depresi, atau
penyakit kejiwaan lain sebagai akibat dari rasa iri dan hasudnya kepada orang lain.
Bila seorang manusia berhasil mendeteksi adanya sifat-sifat buruk ini dalam dirinya,
ia dapat mengobati penyakit kejiwaan yang menimpanya dengan cara menghilangkan
sifat-sifat buruk ini. Seperti dalam qur‟an surat As Sajadah ayat 15 yang berbunyi:
              
 
Artinya: Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat Kami
adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka
segera bersujud[1192] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula
mereka tidaklah sombong.
Dalam penjelasan ayat di atas yang mengandung dan yang terkat tentang
adanya berbagai tekanan kejiwaan hendaklah mereka kembali bersujud dan bertasbih
kepada Allah.
Selain itu, agama Islam juga memberikan ajaran yang akan mencegah manusia
tertimpa berbagai penyakit kejiwaan. Al-Quran dalam surat Al An‟am ayat 82
mengatakan:
21
           
Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Penjelasan ayat di atas mengkaitkan untuk melindungi diri agar tidak tertimpa
penyakit kejiwaan seperti stress, depresi, atau bahkan penyimpangan perilaku,
manusia harus tetap teguh memegang iman dan tidak melakukan berbagai perbuatan
yang dilarang oleh agama.21
c. Macam-macam tindak pidana
Suatu kejahatan yang merupakan delik hukum apabila perbuatan itu
bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari
rakyat, terlepas dari apakah asas-asas hukum tersebut dicantumkan atau tidak
dalam undang-undang pidana. Rechtdelictum adalah perbuatan dalam keinsyafan
batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil menurut undangundang dan perbuatan tidak adil menurut asas-asas hukum
yang tidak
dicantumkan secara tegas dalam undang-undang pidana. Misalnya kejahatan yang
telah ditentukan dalam undang- undang hukum pidana mengenai kejahatan
terhadap yang ditentukan oleh pasal 338 KUHP yang berbunyi: ” Barang siapa
yang sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun.”
21
http: tinjauan dari segi Islam. Hari Jum‟at, 22 April 2011.
22
Macam- macam kejahatan dalam KUHP kita yang terdapat dalam buku kedua
adalah yang berkenaan sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara.
2. Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden.
3. Kejahatan terhadap negara sahabat, kepala negara sahabat, dan wakilnya.
4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan.
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum.
6. Kejahatan yang membahayakan keamanan negara bagi orang atau barang.
7. Kejahatan terhadap penguasa umum.
8. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu.
9. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas.
10. Kejahatan pemalsuan materai dan perak.
11. Kejahatan pemalsuan surat.
12. Kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan.
13. Kejahatan terhadap kesusilaan.
14. Kejahatan yang meninggalkan orang yang memerlukan pertolongan.
15. Kejahatan penghinaan.
16. Kejahatan membuka rahasia.
17. Kejahatan terhadap nyawa.
18. Kejahatan penganiayaan.
19. Kejahatan menyebabkan mati atau luka karena kealpaan.
23
20. Kejahatan terhadap pencurian.
21. Kejahatan terhadap pemerasan dan pengancaman.
22. Kejahatan penggelapan.
23. Kejahatan perbuatan curang.
24. Kejahatan perbuatan merugikan pemihutang atau orang yang mempunyai
hak.
25. Kejahatan menghancurkan atau merusakkan barang.
26. Kejahatan jabatan.
27. Kejahatan pelayaran.
28. Kejahatan penadahan penerbitan dan percetakan.
29. Aturan tentang kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai Bab.
Itulah beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dicantumkan dalam KUHP
kita, tetapi banyak kejahatan-kejahatan yang diatur di luar KUHP, yang tercantum
dalam perundang-undangan lainnya. Seperti undang-undang Tindak Pidana
Narkotika, undang-undang Pajak, undang-undang Tindak Pidana Perbankan, dan lainlain.22
22
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2000. Hal : 58
24
d. Sebab-sebab Timbulnya Tindak Pidana
Sebab musabab kejahatan menurut penggolongan Paul Mudikno Moeliono
mengemukakan ada empat golongan.23 Pertama, golongan salahmu sendiri. Golongan
salahmu sendiri adalah golongan yang berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi
(pernyataan) kemauan jahat yang terdapat pada diri si petindak sendiri. Jadi, menurut
ajaran golongan ini sebab kejahatannya timbul dari kemauan si petindak sendiri.
Maka konsekuensinya, bila kamu berbuat kejahatan salahmu sendiri. Masyarakat dan
pihak lain sama sekali lepas dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatankejahatan dalam masyarakat yang dilakukan oleh anggotanya. Perlu diketahui bahwa
masyarakat dalam timbulnya kejahatan berusaha melepaskan diri (cuci tangan) dari
pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan dengan cara pengambinghitaman
terhadap orang-orang tertentu yang dicap sebagai penjahat, yaitu mereka yang
menghadapi kelemahan pada kondisi pribadi. Sikap ini merupakan suatu perbuatan
yang egoistis yang akan cuci tangan melalui kesalahan orang lain, dan orang yang
kebetulan melakukan kejahatan akan ditimbuni beban, baik dosa perbuatannya
maupun dosa orang-orang lain yang dilemparkan kepadanya.
Kedua, golongan tiada orang salah. Golongan ini menyebutkan bahwa
kejahatan adalah ekspresi manusia yang dilakukan tanpa ekspresi. Golongan ini
merupakan perlawanan terhadap golongan salahmu sendiri, sebab golongan tiada
23
Soerdjono Dirdjosisworo. Pengantar Penelitian Kriminologi”. (Bandung : CV Remaja
Karya. 2005). Hal. 87-113
25
orang salah, otang itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dipidana. Golongan
tiada orang salah, membebaskan diri dari pertanggungjawaban atas kesalahannya.
Ketiga, golongan salah lingkungan. Golongan ini menyanggah pendapat
Lambroso dan para pendukungnya. Menurut golongan ini bukan bakat yang
menyebabkan kejahatan tetapi lingkungan. Die welt ist mehr shuld anmir, as ich
(Dunia lebih bertanggung jawab terhadap bagaimana jadinya saya dari pada diri saya
sendiri). Pengertian Die Welt adalah lingkungan, maka lingkungan lebih menentukan
jadinya seseorang dari pada orang itu sendiri. Dengan demikian segala persoalan
dikembalikan kepada faktor lingkungan, juga sebab musabab kejahatan berasal dari
lingkungan pergaulan sekalipun aspek lingkungan berbeda-beda satu sama lain.
Tetapi jelas golongan ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan
adalah diwariskan.
Keempat, golongan kombinasi. Golongan ini merupakan kombinasi dari
ajaran-ajaran terdahulu. Dalam penggolongan Bonger dikemukakan golongan
kombinasi bio sosiologi atau menurut Noach dalam buku-buku kriminologi adalah
golongan bakat dan lingkungan, yang merupakan kombinasi, sebab kejahatan
bersumber pada diri pribadi (individu) dan faktor lingkungan pergaulan hidupnya.
e.
Faktor Seseorang Melakukan Tindak Pidana
Tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua
bentuk kriminalitas. Bagi pelaku tindak pidana ada beberapa faktor yang
mempengaruhi adanya tindak pidana, yaitu faktor ekonomi, faktor lingkungan dan
26
faktor pendidikan. Pada
faktor ekonomi, seseorang dituntut untuk memperoleh
kehidupan yang layak dengan cara singkat. Pada persoalan hubungan antara kejahatan
dan pengangguran, yaitu analisa tentang hubungan antara tindak kejahatan sebagai
penyebab dan pengangguran seseorang sebagai akibatnya.
Granovetter telah membuat suatu analisa kausalitas hubungan antara
kejahatan dan pengangguran dengan menempatkan kejahatan sebagai proximat
determinant terhadap pengangguran. Konsep ini merupakan suatu jawaban terhadap
model ekonomis dari suatu pengangguran, yang sama seperti model heterogenitas
kriminal. Granovetter mengatakan masa pengangguran yang lama yang dialami
seseorang biasanya disebabkan karena lemah pada awalnya, dan itu akan
membuatnya sulit dalam kontak-kontak untuk mendapatkan kerja.24
Faktor lingkungan penyebab seseorang melakukan kejahatan. Dapat timbul
dari faktor lingkungan dimana ia hidup dan berkediaman. Lingkungan dapat
mempengaruhi perkembangan diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu kejahatan.
Faktor lingkungan merupakan faktor yang dominan untuk menentukan
seseorang melakukan suatu kejahatan, sehingga tidak menjadi jaminan bahwa
seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, untuk tidak melakukan kejahatan,
oleh karena itu harus disesuaikan dengan iptek dan imtak (seimbang). sehingga tidak
mudah terpengaruh dengan lingkungan masyarakat tersebut.
24
Soerdhono Dirdjosisworo, Pengantar Penenelitian Kriminologi, (Bandung : CV. Remaja
Karya, 1984)
27
Faktor pendidikan, pertanyaan soal darimana sumbernya dan munculnya ada
tendensi manusia berbuat jahat dan darimana datangnya kejahatan itu, sudah menjadi
satu perdebatan yang panjang dan rumit adanya. Kejahatan timbul akibat manusia
hidup di dalam kemiskinan dan kebodohan. Maka menurut mereka, dunia akan
menjadi lebih baik jika dua hal ini diperbaiki, yaitu faktor pendidikan dan faktor
kesejahteraan hidup diperbaiki. Jika faktor pendidikan diperbaiki, jika orang lebih
tinggi edukasinya, jika orang diajarkan hal-hal yang baik di dalam kehidupannya,
maka dengan sendirinya meminimalkan segala pelanggaran di dalam dunia ini.
Optimisme kedua adalah kalau orang itu mendapatkan makanan dan kesejahteraan
hidup semakin dipelihara baik, kesenjangan antara kaya dan miskin tidak ada lagi,
maka dengan sendirinya dunia akan lebih baik, kita akan hidup seperti saudara satu
sama lain, dan lama-lama dunia ini tidak lagi memiliki faktor kejahatan. Justru makin
tingginya pendidikan seseorang, makin kayanya seseorang, makin mudah bagi
mereka melakukan kejahatan di dalam dunia ini. Cuma bedanya, yang bodoh
gampang ketahuan dan ketangkap, yang pintar bukan saja tidak mengaku dia
melakukan kesalahan, yang menangkapnya malah dipersalahkan.25
Dengan pengertian dari beberapa faktor tindakan kejahatan atas motivasi
kejiwaan cara menangani perilaku kriminalitas yang tidak mungkin bisa hilang dari
muka bumi ini. Cara penanganannya bisa dikurangi. Pertama, melalui tindakantindakan pencegahan dengan hukuman yang menjadi sarana utama untuk memebuat
25
Soerdhono Dirdjosisworo, Pengantar Penenelitian Kriminologi, (Bandung : CV. Remaja
Karya, 1984)
28
jera pelaku kriminal. Kedua, penghilang model melalui tanyangan media masa ibarat
dua sisi mata pisau, ditayangkan nanti penjahat tambah ahli tidak ditayangkan
masyarakat tidak siap-siap. Ketiga, membatasi kesempatan seseorang bisa mencegah
terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk
mencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu
termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri. Keempat, jaga diri dengan
keterampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal
bisa dilakukan oleh warga masyarakat.26
B. Faktor Kejiwaan dan Tindak Pidana
Kejiwaan menurut Sarlito Wirawan Sarsono adalah tingkat kecerdasan
seseorang, sifat dan perilaku serta kepribadian seperti emosi, adaptasi dan
minatnya terhadap sesuatu. Pembentukan kejiwaan dimulai sejak seseorang
terlahir ke dunia.27 Tiap-tiap individu telah membawa bibit-bibit sifat dari dalam
diri yang sepanjang proses kehidupannya akan senantiasa berkembang menjadi
kejiwaan
tertentu.
Selama
proses
itu,
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhinya. Diantaranya pengalama dan cara menghadapinya sesuai
tingkat kesadaran atau usia, periode dalam menghadapi suatu masalah. Kondisi
mental dan fisik, dan bentuk tekanan yang diterimanya. Bibit sifat dan faktor
yang mempengaruhinya akan menyatu dan membentuk sifat dan mental yang
26
Suryanto, Cara Penanganan Perilaku Kriminalitas, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
27
Anne Ahira. “Pembentuk Kepribadian Seseorang”. Bandung
29
kuat, akhlak, serta jiwa yang dipelajari berdasarkan ilmu psikologi. psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan seseorang. Pendekatan psikologi
meliputi observasi. Untuk bisa memahami psikologi seseorang hal paling utama
yang perlu kita lakukan adalah mengamati bagaimana cara ia bersikap di depan
orang lain, caranya duduk, dan pandangannya terhadap sesuatu.
Psikologi
kepribadian sangat erat kaitannya dengan psikologi kejiwaan. Kepribadian adalah
cerminan dari kejiwaan seseorang. Seseorang akan mengenal kepribadian dan jati
dirinya dalam hal beradaptasi dengan orang lain. Dari situlah orang lain bisa
menilai seperti apa orang tersebut.28
Hal yang mempengaruhi kejiwaan, sebagian besar manusia mengalami
penyakit kejiwaan, karena sebagian orang merasa cemas, takut, frustasi,
gelisah dalam menghadapi masa depan atau sesuatu yang belum jelas, dan ada
juga yang sering merasa kesepian walau memiliki banyak harta dan
keluarganya.
Kemajuan dan pertumbuhan yang begitu cepat Belakangan ini kita melihat
dunia berjalan begitu pesat. Segala sesuatu bergerak cepat dan alat-alat yang serba
cepat, seperti mobil, pesawat, dan alat-alat yang dapat bekerja cepat seperti halnya
makanan yang cepat saji yang tidak memiliki nilai gizi yang dapat memicu kanker
dan obesitas, Amatilah kehidupan di sekitar anda: semua berjalan begitu cepat, bukan
28
Anne Ahira. “Pembentuk Kepribadian Seseorang”. Bandung
30
berarti kecepatan tidak bermanfaat, tapi kecepatan juga menjadi salah satu penyebab
kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan yang sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan.
Perubahan, segala sesuatu berubah secepat perputaran dunia karena sewaktu
di tahun 60-90 an barang atau jasa yang merajai pasar dunia.tetapi sekarang,
perubahan terus terjadi setiap jam sampai 6 bulan kemudian dan biasanya segala jenis
hal-hal yang ada di dunia berubah dengan sangat cepat, kondisi ini memang memiliki
nilai positif, namun di sisi lain, mengambil keputusan jadi lebih sulit dengan
seiringnya perubahan dan juga perubahan yang membuat orang jadi lebih sulit dengan
seiringnya perubahan dan juga perubahan yang membuat orang sulit mencari kerja
karena tidak mampu menggunakan alat elektronik baru. Jadi, perubahan dan
kecepatan menjadi penyebab seseorang terdepak dari tempat yang nyaman dan aman.
Eksistensi diri dan keberlangsungan hidup terancam. Ia akan cemas,takut, dan
mengalami stres berat.
Persaingan persaingan ketat yang di sebabkan perubahan dan kecepatan
itu.pada tahun 1964, universitas Harvard melakukan penelitian tentang perubahan
kecepatan dan persaingan. Kesimpualannya, dunia akan menyaksikan perubahan
besar-besaran yang belum terlihat sebelumnya sehingga persaingan terjadi begitu
ketat. Jika seseorang tidak dapat cepat menyesuaikan diri dengan kecepatan yang
mewarnai dunia dan tidak segera beradaptasi dengan perubahan besar-besaran ini,
dan tidak kreatif dalam memberikan sesuatu yang baru serta berbeda maka ia akan
tertinggal di segala bidang, dalam kepribadian hal ini melahirkan penyakit kejiwaan
dan penyakit fisik, seperti meningkatnya tekanan darah, diabetes dan jantung.
31
Kehilangan semangat, hilang semangat adalah kondisi jiwa yang sering kita
alami dari waktu ke waktu. Kondisi ini emmbuat kita enggan melakukan sesuatu,
meski sederhana. Hal ini merasa perbuatannya tidak berguna, kehilangan semangat
menyebabkan kehilangan banyaknya kesempatan, dan juga orang-orang yang
kehilangan semangat biasanya melakukan hal-hal yang berlebihan tanpa di sadari.
makan mesti tidak lapar, menonton tv terus-menerus sehingga tidak memikirkan apaapa. Adapula yang merokok, minum-miniman keras dan mengkonsumsi narkoba.
Hal-hal ini negatif sebenarnya dan semua ini mempengaruhi kondisi kejiwaan kita
dan menyebabkan stress, cemas, takut, gelisah, frustasi, dsb.\
Desakan internal, hal ini berasal dari ketergantungan akan sesuatu dan hal
lainnya seperti merokok, minuman keras, dan mengkonsumsi narkoba. Teapi
kebanyakan orang ketergantungan akan rokok yaitu jika tidak akan di lakukan akan
membuat anda merasakan seperti kehilangan selera, tidak bergairah dalam melakukan
sesuatu, dan sebagainya.
Hal ini salah satu faktor kejiwaan yang negatif karena ketergantungan pada
hal-hal yang kurang bermanfaat. Akan tetapi, semua hal ini bersumber dari pikiran
anda. Jadi, pintar-pintarlah untuk mengembangkan pikiran-pikiran yang positif agar
dapat mengembalikan kestabilan jiwa dan hal ini telah di setujui 75 % perguruan
tinggi dunia bahwa penyakit kejiwaan di sebabkan oleh pikiran.29
29
http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2031125-hal-yang-mempengaruhikondisi-kejiwaan/#ixzz1VotGzp5z (artikel ini Diakses Pada 23 Agustus 2011)
32
1. Beberapa persoalan kejiwaan
Bahwa Tindak kejahatan secara garis besar tergantung tingkat kejiwaan
seseorang, maka dengan faktor kejiwaannya itu seseorang bisa melakukan
kejahatan, dengan kata lain seseorang bisa di vonis dengan tingkat
kejiwaannya, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Memang kalau
dilihat sepintas pada saat moment terjadinya kejahatan yang merugikan orang
lain, dalam banyak hal bersifat khusus dan sangat situasional. Biasanya
kondisi dari pelaku adalah sedang tertekan, stress, atau sedang kalap akibat
tidak kuat menanggung tekanan atau beban sosial tertentu yang sedang
dihadapinya.30
Dalam kajian yang lain
menyangkut tindak kriminalitas orang tua
terhadap anaknya. Yang mengemukakan orang tua yang biasanya melakukan
tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap anaknya adalah orang tua yang
memiliki ciri sebagagi berikut. Pertama, secara emosional belum matang.
Orang tua yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat kekanak-kanakan
dan menikah sebelum mencapai usia sesuai dengan tanggung jawab yang
harus diemban sebagai orang tua. Seringkali orang tua merasa tidak senang
dengan kehadiran anak dengan memaksa anak untuk memikul beban peranan
orang tua dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya.
Kedua, menderita gangguan emosional. Kebanyakan dari orang tua ini tidak
30
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak., (Jakarta: Kencana, 1974), Cet, ke-1
33
memiliki cara pengasuhan dan latar belakang yang baik, sehingga tidak
memiliki bekal sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Ketiga, secara
mental tidak sempurna. Pada golongan ini orang tua sulit untuk melakukan
adaptasi dan menerima anak-anaknya. Dengan masalah mental yang dihadapi
mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya
berfikir. Keempat, orang tua yang selalu berpegang pada disiplin. Orang tua
pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu
yang wajar untuk mendisiplinkan anaknya. Mereka menganggap bahwa
hukuman fisik adalah cara yang wajar untuk mendidik anak dan merupakan
cara yang sangat efektif. Kelima, orang tua yang memiliki sifat sadisme dan
berperilaku kriminal. Meskipun orang tua yang masuk golongan ini kecil
jumlahnya, tetapi perlu juga diwaspadai. Biasanya orang tua tipe ini suka
memukul, menyiksa, dan kadangkala membunuh anaknya untuk kepuasan
pribadinya. Keenam, pecandu minuman beralkohol, orang tua yang kecanduan
minuman keras atau minuman beralkohol meski tidak bermaksud untuk
melakukan tindak kekerasan pada anak-anaknya, tetapi karena pengaruh
minuman tersebut justru hal sebaliknya akan terjadi. 31
Untuk itu setiap tindak kejahatan yang dilakukan seseorang pasti
mempunyai niat tertentu, seperti yang telah kita ketahui mereka yang berbuat
kejahatan terhadap orang lain pasti menguntungkan diri sendiri, baik dalam
31
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak., (Jakarta: Kencana, 1974), Cet, ke-1, hal 37-39
34
suatu korporasi maupun tidak dalam satuan korporasi. Dalam segi
pengembangan ilmu pengetahuan bisa dikatakan sebagai ilmu jiwa disebut
psikology, yang merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang
pertama-tama timbul ialah apa yang dimaksud oleh jiwa itu.32 dan dalam
psikologipun ada yang khusus membahas tentang kejahatan atau kriminalitas
yang disebut psikologi kriminal.33
Mengenai jawaban tentang yang dimaksud oleh jiwa adalah kekuatan
yang menyebabkan hidupnya manusia, serta menyebabkan manusia dapat
berfikir, berperasaan dan berkehendak. Lagi pula menyebabkan orang
mengerti atau insyaf akan segala gerak jiwanya. Skinner membedakan pelaku
atas :
1) Perilaku yang alami (innate behavior) yang kemudian disebut juga
sebagai respondent behavior, yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh
stimulus yang jelas.
2) Perilaku operan (operant behavior) yaitu perilaku yang ditimbulkan
oleh stimulus yang tidak diketahui, tetapi semata-mata ditimbulkan
oleh organisme itu sendiri. Perilaku operan belum tentu didahului oleh
stimulus dari luar.34
32
Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum,. (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974) Cet,
ke-5. h. 3
33
Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974), Cet,
ke-5. h. 25
34
ke-5. h. 80
Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974), Cet,
35
Penyimpangan kejiwaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dilihat
berdasarkan kadar penyimpangannya dan dilihat berdasarkan pelaku
penyimpangannya. Penyimpangan primer disebut juga penyimpangan ringan.
Para pelaku penyimpangan ini umumnya tidak menyadari bahwa dirinya
melakukan penyimpangan. Penyimpangan primer dilakukan tidak secara terus
menerus (insidental saja) dan pada umumnya tidak begitu merugikan orang
lain, misalnya mabuk saat pesta, mencoret-coret tembok tetangga, ataupun
balapan liar di jalan. Penyimpangan jenis ini bersifat sementara (temporer),
maka orang yang melakukan penyimpangan primer, masih dapat diterima oleh
masyarakat. Penyimpangan sekunder disebut juga penyimpangan berat.
Umumnya perilaku penyimpangan dilakukan oleh seseorang secara berulangulang dan terus menerus meskipun pelakunya sudah dikenai sanksi. Bentuk
penyimpangan ini mengarah pada tindak kriminal, seperti pembunuhan,
perampokan, dan pencurian. Penyimpangan jenis ini sangat merugikan orang
lain, sehingga pelakunya dapat dikenai sanksi hukum atau pidana.
2. Pengaruh kejiwaan terhada pelaku tindak pidana
Setelah membahas tentang faktor kejiwaan dan hubungannya dengan
tindak pidana, baik sebab maupun pencegahannya dan bentuk penyimpangan
kejiwaan sampai akhirnya kita ketahui bahwa dengan menyimpangnya
kejiwaan seseorang menimbulkan tindak pidana, yang tentunya merugikan
orang lain.
36
Sebagian besar dari orang-orang yang melakukan tindak pidana
dengan tekanan dari dalam diri sendiri, dengan perencanaan, dengan
kesengajaan untuk memuaskan diri sendiri dan dengan tidak sengaja
melakukan tindak kejahatan. Dari beberapa faktor dengan kurangnya ilmu
pengetahuan dan minimnya lapangan kerja yang membuat kejiwaan mereka
semakin tinggi emosional untuk melakukan tindak pidana apapun. Dalam
psikologi kaitannya sangat erat karena mereka tidak menerima kebenaran
serta kenyataan hidup. Untuk penjatuhan vonis pidananya pun harus dilihat
bagaimana kejiwaan seseorang itu, oleh karena itu setiap terpidana sebelum ia
menjadi terdakwa harus ada pemeriksaan psikologi tentang sadar atau
tidaknya orang tersebut melakukan tindak pidana.
Mereka yang melakukan tindak pidana itu sebenarnya banyak
berdampak pada diri sendiri. Berbagai bentuk perilaku menyimpang yang
dilakukan oleh seseorang akan memberikan dampak bagi si pelaku. Berikut
ini beberapa dampak yaitu; Memberikan pengaruh psikologis atau penderitaan
kejiwaan serta tekanan mental terhadap pelaku karena akan dikucilkan dari
kehidupan
masyarakat,
dapat
menghancurkan
masa
penyimpangan, dapat menjauhkan diri dari Tuhan,dan
depan
pelaku
perbuatan tindak
pidana yang dilakukan dapat mencelakakan dirinya sendiri.
Perilaku penyimpangan juga membawa dampak bagi orang lain atau
kehidupan masyarakat pada umumnya. Beberapa di antaranya adalah meliputi
hal-hal berikut ini:
37
a.
Dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketidakharmonisan dalam
masyarakat.
b.
Merusak tatanan nilai, norma, dan berbagai pranata sosial yang berlaku di
masyarakat.
c.
Menimbulkan beban sosial, psikologis, dan ekonomi bagi keluarga
pelaku.
d.
Merusak unsur-unsur budaya dan unsur-unsur lain yang mengatur
perilaku individu dalam kehidupan masyarakat.
Dari faktor kejiwaan seseorang yang menimbulkan adanya tindak
pidana dampak yang ditimbulkan sebagai akibat perilaku penyimpangan
sosial, baik terhadap pelaku maupun terhadap orang lain pada umumnya
adalah bersifat negatif. Demikian pula, menurut pandangan umum, perilaku
menyimpang dianggap merugikan masyarakat. Namun demikian, menurut
Emile Durkheim, perilaku menyimpang tidak serta merta selalu membawa
dampak yang negatif. Menurutnya, perilaku menyimpang juga memiliki
kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat. Adapun beberapa kontribusi
penting dari perilaku menyimpang yang bersifat positif bagi masyarakat
meliputi hal-hal berikut ini:
a.
Perilaku menyimpang memperkokoh nilai-nilai dan norma dalam
masyarakat.
Bahwa setiap perbuatan baik merupakan lawan dari perbuatan yang tidak
baik. Dapat dikatakan bahwa tidak akan ada kebaikan tanpa ada ketidak-
38
baikan. Oleh karena itu perilaku penyimpangan diperlukan untuk semakin
menguatkan moral masyarakat.
b.
Tanggapan terhadap perilaku menyimpang akan memperjelas batas
moral.
Dengan dikatakan seseorang berperilaku menyimpang, berarti masyarakat
mengetahui kejelasan mengenai apa yang dianggap benar dan apa yang
dianggap salah.
c.
Tanggapan terhadap perilaku menyimpang akan menumbuhkan kesatuan
masyarakat.
Setiap ada perilaku penyimpangan masyarakat pada umumnya secara
bersama-sama akan menindak para pelaku penyimpangan. Hal tersebut
menegaskan bahwa ikatan moral akan mempersatukan masyarakat.
d.
Perilaku
menyimpang
mendorong
terjadinya
perubahan
sosial.
Para pelaku penyimpangan senantiasa menekan batas moral masyarakat,
berusaha memberikan alternatif baru terhadap kondisi masyarakat dan
mendorong
berlangsungnya
perubahan.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi saat ini akan menjadi
moralitas baru bagi masyarakat di masa depan.
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENETAPAN
VONIS HAKIM
A. Tatacara Hakim Dalam Menetapkan Suatu Putusan
Pada bab sebelumnya, telah diurai sedikit tentang adanya faktor kejiwaan yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana. Dalam hal peradilan, selalu saja
yang diungkap adalah memberikan suatu keadilan kepada pemiliknya. Pada bab ini
akan diuraikan bagaimana seorang hakim harus memberikan putusan terhadap suatu
perkara.
Hukuman adalah sesuatu yang diucapkan oleh hakim, yang menunjukkan kepada
seseorang yang terhukum memenuhi sesuatu hak untuk pihak terdakwa. Maka dari
itu, yang menjadi pedoman bagi hakim baik dia seorang mujtahid atau seorang
muqalid, atau seorang yang diperintah memutuskan suatu perkara dengan undangundang yang sudah ditentukan atau mazhab yang sudah ditetapkan.35
Keadilan merupakan prinsip dasar ideology Islam. Pelaksanaan keadilan tidak
boleh berat sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial seseorang, kekayaan,
kelas, ras, pengaruh politik, maupun keyakinan agama.
Walau lingkup pembahasan ini terbatas sehingga dapat dirinci lebih lanjut
tetntang praktik umum muslim dalam menegakkan keadilan dimasa permulaan Islam,
namun jelas bahwa pada masa-masa permulaan Islam keadilan pernah mencapai taraf
35
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 61
39
40
sangat tinggi, yang tidak pernah dapat dicapai dalam sejarah ummat manusia mana
pun.36
Al-Qur‟an mewajibkan ummat Islam agar memutuskan perkara secara adil, tidak
berat sebelah, dan menepati janji, karenanya seluruh ummat Islam bukan saja para
penguasanya, memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan. Ayat-ayat alQur‟an seperti berikut ini menggambarkan konsepsi Islam tentang keadilan, bukan
saja dalam pengertian teoritis, tetapi juga sebagaimana telah terlaksana oleh
Rasulallah Shallallahu „Alaihi Wasallama sendiri dan para sahabatnya.
Surat An Nisaa ayat 135
      
        
             
     
         
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau
ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa)
kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisaa :135).
Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang hakim
harus selalu menjaga tingkah lakunya dan menjaga mertabat serta kewibaan sebagai
36
Muhammad A. Al-Buraey, h. 86
41
hakim. Jangan sampai hakim mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, hakim
harus tetap istiqomah dengan pendiriannya walau hantaman akan menimpa dirinya.
Firman Allah :
             
                 
     
Artinya :
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik”.
Dalam surat Al-Maidah ayat 49, Allah Subhanahu wa Ta‟ala memperingatkan
bahwa jika engkau menghukum, maka hukumlah diantara mereka dengan adil, karena
sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. Selain itu, Allah juga
memperingatkan kepada seorang hakim untuk berlaku adil dalam mengambil segala
keputusan, berkata dan berlaku adil walau itu dengan kerabat.
Berkaitan dengan ini, maka hakim harus memiliki etika dalam memberikan suatu
putusan serta dalam pergaulan sehari-hari. Artinya, adab seorang hakim merupakan
tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim
dalam berinteraksi sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Artinya, seorang
42
hakim patut melakukan perbuatan yang terpuji dalam pergaulan (di luar mahkamah)
atau disaat bertugas menjadi seorang hakim (di dalam mahkamah).
Di luar mahkamah, seorang hakim tidak seharusnya ia bergaul bebas dengan
mereka, melainkan hanya sekedar perlunya saja. Hakim juga tidak dibenarkan
bersenda gurau secara berlebihan, hal ini dikhawatirkan akan menjatuhkan martabat
dan wibawanya sebagai hakim.37
selain itu, seseorang yang menjabat sebagai hakim tidak diperbolehkan menerima
hadiah dari pihak yang berperkara, dari orang-orang yang berada dalam lingkup
jabatannya, meskipun orang itu tidak sedang dalam perkara hukum, karena
dikhawatirkan hal itu dapat melemah ketika mengurus masalah hukum nantinya. Hal
ini didasarkan kepada sebuah hadits shahih, bahwa Rasulallah Salallahu „Alaihi wa
Sallam pernah bersabda : hadayal umarai ghululun, hadiah-hadiah yang diterima para
pejabat adalah suatu bentuk korupsi.38
Apabila seorang hakim telah menerima hadiah dari seseorang yang sedang dalam
masalah hukum, maka diharuskan untuk mengembalikannya. Jikalau pihak tersebut
tidak diketahuinya, maka hadiah tersebut diserahkan kepada pihak Baitul Maal,
karena Baitul Maal berhak atas hadiahnya. Walau ada beberapa pendapat yang tidak
melarang seorang hakim menerima hadiah, yang terpenting ada sangkut-pautnya
dengan perkara hukumannya. Menurut penulis, hal itu harus dihindari oleh seorang
37
Muhammad Bin Ahmad Al-Qarati, Qawanial- Ahkam As Syari‟ah, (Beirut : Lebanon, tanpa
penerbit), h. 324. Sebagaimana telah dikutip dari Abdul Manan, h. 34
38
Imam Al Mawardi dan Abu Al Hasan bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam Al
Sulhaniyyah, (Kairo : Mathaba‟at Al Halabi, 1375H), h. 155. Sebagaimana telah dikutip dari Abdul
Manan, h. 34
43
hakim demi menjaga kewibawaan dan kekhawatiran akan menjadi boomerang
baginya.
Di samping itu, hakim tidak boleh memberi suap atau melakukan penyogokan
untuk mendapatkan suatu jabatan, karena apabila hal tersebut dilakukan maka dalam
menjatuhkan putusan terhadap suatu kasus sedangkan putusannya itu didasarkan
kepada rusywah, maka putusan itu tidak boleh dijalankan, meskipun putusan itu
mendekati kebenaran. Memutus suatu perkara itu adalah ibadah, jika putusannya itu
didorong karena sogok, maka putusan itu tidak lagi didasarkan ibadah, tetapi karena
kepentingan pribadinya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Tarmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban,
Al Baihaqi dan Ibn Amru, Tsabit dari Rasulallah Salallahu „Alaihi wa Sallam
melaknat keras si pemberi suap, dan yang menjadi perantara transaksi suap-menyuap
itu. Umar bin Abi Salamah, dari Abu Hurairah radiyallahu‟anhu berkata, Rasulallah
bersabda : La‟anar Rasyi wal Murtasyi wa ar Raisya. Rasulallah Salallahu „Alaihi wa
Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam peradilan. (HR. Tarmidzi, nomor
1236).39
Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality
before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama
di muka bumi dan memutuskan perkara hakim harus menghadirkan ke dalam majelis
pihak-pihak yang berperkara dan hakim dilarang memutus perkara sebelum
39
Abu Fida‟ Abdul Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tzkiyyatun Nafs (Penyucian
Jiwa), (Jakarta : Republika, 2004),Cet. 1. h. 9
44
mendengar semua pihak yang terkait dengan perkara yang disidangkan itu. Hakim
dilarang berbicara dengan lembut dan bahasa yang hormat kepada salah satu pihak.
Tidak boleh menekan satu pihak dan menolong pihak lain. Hakim harus bersikap
berimbang dengan memeriksa keterangan para pihak yang berperkara, ia harus
bersikap adil.
As Syaukani menjelaskan, bahwa Rasulallah pernah bersabda yang maksudnya
siapa saja yang mengadili suatu perkara diantara orang-orang Islam, maka hendaklah
memeriksanya dengan adil, baik dalam percakapan, isyarat, duduknya, jangan terlalu
keras suaranya pada seseorang, tapi lemah-lembut kepada orang lain.40
Hakim dalam menghadapi masalah hukum, hendaklah selalu berlapang dada dan
sabar mendengar
segala keluhan pihak-pihak
yang berperkara.
Janganlah
menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan dari satu pihak saja, tetapi hendaknya
mendengar keterangan dari pihak yang terlibat dalam perkara tersebut.
Dapat dipahami, jika keadilan merupakan cita yang harus diterapkan dalam
hubungan dengan negara. Rosul sendiri melaksanakan keadilan yang tidak berat
sebelah, dan untuk menjamin pelaksanaanya, maka ditunjuklah hakim, yaitu mereka
yang bertaqwa kepada Allah, shaleh, tidak berkelakuan tercela, memahami syari‟ah
dan telah dilatih dengan baik.
40
Muhammad As Syaukani, Nailur Autar, (Mesir : Penerbit tidak terbaca), Juz 8, h. 282.
Sebagaimana telah dikutip dari Abdul Manan, h. 36
45
System keadilan seperti ini merupakan lembaga pertama yang didirikan oleh
Islam. Hal ini bukan saja disebut di dalam Al Qur‟an dan As Sunnah, namun juga
dilukiskan dalam banyak karya kepustakaan Arab.
“Celakalah suatu umat bila yang melakukan kejahatan itu orang bangsawan, tidak
berlaku baginya hukum. Dengarlah, sekiranya Fatimah anak kandungku melakukan
pencurian, akan diberlakukan hukum potong tangan akibat perbuatannya”. (Hadits
Nabi Muhammad Sholallahu „Alaihi wa Sallam).41
Disebut keadilan bukan hukum karena keadilan selalu menjadi hukum.
Sedangkan hukum belum tentu menjadi keadilan. Untuk tidak member peluang
penyalanggunaan dalam pemakaian sehari-hari digabungkan dua istilah itu, sehingga
bunyinya hukum dan keadilan.
B. Hal - hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim
Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada
prinsipnya majelis Hakim tidak diperkenankan menunda-nunda persidangan tersebut.
Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya
majelis hakim tidak berkenan menunda-nunda persidangan tersebut, pasal 159 ayat 4
HIR atau pasal 186 ayat 4 RBG menyebutkan :
“Pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah
pihak dan tidak boleh diperintahkan pengadilan negeri karena jabatannya, melainkan
41
Muhammad Al Buraey, h. 87
46
dalam hal yang teramat perlu. Dalam praktek hakim terkada selalu lunak sikapnya
terhadap permohonan sidang dari para pihak atas kuasanya.”
Proses
pengadilan
yang
lambat
mengenai
penentuan
kemampuan
bertanggungjawab seseorang yang dituduh melakukan kejahatan/ pelanggaran itu
mengurangi kewibawaan peradilan dijaman modern sekarang, bahkan dapat berakibat
luas diluar peradilan. Namun dalam perkembangannya juga para pelaku kejahatan
tersebut cenderung semakin lama tidak mengindahkan mengenai sanksi atau aturan
hukumnya dalam proses pengungkapan suatu perkara agar dapat diselesaikan dengan
baik.
Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan
keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa
yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam
konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.42
Mengenai keterangan ahli secara tertulis atau lisan untuk kepentingan peradilan
dahulu didasarkan pada pasal 306 HIR yang letaknya menyisip diantara ketentuan
pasal-pasal tentang surat bukti, adapun kewajiban ahli atau dokter untuk membantu
petugas hukum yang berwenang diatur dalam pasal 70 HIR. Sedangkan pasal-pasal
lainnya mengatur bantuan ahli kedokteran kehakiman, sehingga dianggap tidak
termasuk bantuan kedokteran jiwa.
42
Bambang Purnomo,
Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli
Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984). Hal : 24
47
Ketentuan dalam HIR tersebut sekarang sudah tidak berlaku secara formal, oleh
karena itu ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8
Tahun 1981 diharapkan untuk menjadi dasar bantuan ahli kedokteran jiwa. Peraturan
bantuan ahli di dalam KUHAP yang menyangkut peranan ahli kedokteran jiwa tidak
begitu jelas pasal-pasalnya, karena ungkapan dan istilah yang tercantum …”ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”…masih meragukan untuk
ditafsirkan termasuk bantuan ahli kedokteran jiwa mengingat makna rumusan pasal
dan susunan kronologis pasal yang bersangkutan dengan bantuan ahli tersebut.43
Dalam KUHAP sendiri pada Pasal 186 hanya
dikatakan didalamya bahwa
“Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan”.
Sehingga untuk medapatkan ketentuan mengenai keberadaan psychiatry forensik
tidak akan dapat ditemukan.
Dahulu menurut “Reglement Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” diatur
mengenai cara-cara atau syarat-syarat untuk memasukkan penderita penyakit jiwa ke
Rumah Sakit Jiwa, cara-cara meminta Psychiatry Attest, dan siapa-siapa saja yang
berhak menerimanya serta kepada siapa harus memintanya. Dan menurut “Reglement
Der Kranzinningenwezen Tahun 1887”
tersebut diatas hanya Jaksa atau hakim
(ketua) yang berhak mengirimkan seorang tertuduh yang disangka terganggu jiwanya
43
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran
Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara, 1984). Hal : 25
48
untuk di Observasi di fasilitas Psychiatry.44 Dengan tidak adanya ketentuan secara
jelas dalam KUHAP mengenai keberadaan ahli jiwa ini secara yuridis tidak akan
terjadi apa-apa, akan tetapi apabila dalam perkembangannya secara sosiologis
meributkan siapa yang berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut terkadang
untuk satu ahli psychiatry dengan satunya tentunya akan membawa hasil yang
maksimal untuk perkara-perkara yang telah dikemukakan diatas. Secara kenyataan
dapat kita sadari bahwa hasil pemeriksaan kedokteran jiwa bagi seseorang yang
menjadi obyek pemeriksaan atau keluarganya mempunyai nilai yang sangat pribadi
untuk nama baik dan dapat menyangkut hak asasi manusia. Adakalanya norma
hukum publik mengandung aturan yang bersifat perintah atau keharusan dengan
akibat mengurangi atau menghilangkan hak pribadi seseorang demi penegakkan
hukum mungkin sekali membebankan kewajiban hukum yang menurut kelaziman
dokter ada pertentangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan hubungan antar etika
kedokteran jiwa dengan tanggung jawab yuridis seorang dokter jiwa akan terwujud
keseimbangan.
Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai
rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan
perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka.
Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan
sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan
44
81
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Bandung : Tarsito, 1991). Hal :
49
tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan
kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut
perlindungan hak azasi manusia, juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak
diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.45
Dengan melihat pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak mengatur mengenai
keberadaan psychiatri forensik dengan jelas maka di sini dapat disimpulkan agar
dapat dicantumkannya ketentuan yang mengatur keberadaan psychiatri forensik ini
kepada pembuat perundang-undangan untuk mengamandemen isi dari beberapa
ketentuan KUHAP tersebut. sehingga baik secara yuridis maupun sosiologis nantinya
dalam perkembangan praktek sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan adanya
suatu tindak pidana atau perkara kejahatan
dapat terwujud dengan baik dan
mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun dalam Undang-undang kesehatan
mungkin terdapat ketentuan untuk praktis orang yang sakit jiwa saja.
Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim
mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.
Dengan demikian, diharapkan tidak adanya/campur tangan dari pihak manapun
terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara. Sebaliknya, dilain sisi begitu
pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaklah dapat bertindak arif dan
bijaksana, ketangguhan mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran
materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif,
45
Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli
Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara,1984). Hal : 28-29
50
melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga
kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya harus dapat
dipertanggung jawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa,
masyarakat dan negaara, diri sendiri, serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Konkretnya, dalam menerapkan hukum acara dan hukum materiil
hendaklah hakim tidak memihak dan bertindak adil sesuai pandangan yang objektif
guna menjatuhkan putusan secara konkret.46
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan pidana umum dilaksanakan
oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang masingmasing mempunyai kekusasaannya sendiri. Hakim diangkat dan diberhentikan okeh
kepala negara hal ini ada dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) No 8 Tahun 1981. Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan
terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan
nantinya akan mengadili dengan seadil-adilnya tanpa takut oleh pihak siapapun.47
Dengan demikian menurut hemat kami, keadilan harus ditegakkan dan menjadi
titik tekan dalam penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri.
Begitu pentingnya peran dan tugas Hakim dalam penegakan hukum, maka dalam
hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua persoalan hukumnya (ius curia
novit), di mana pada saatnya nanti akan menentukan „hitam putihnya” hukum melalui
46
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 2007)
47
M. Nur Said, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 15)
51
putusan-putusannya. Tidak mengherankan, Hakim sering menjadi tumpuan harapan
bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air ini, meskipun harapan tersebut tidak
selalu menjadi kenyataan.48
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka, diperlukan peranan hakim yang aktif
terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang cepat. Perlu ketegasan hakim untuk menolak permononan penundaan sidang
dari para pihak, kalau ia beranggapan hal itu tidak perlu. Berlarut-larutnya atu
ditunda-tundanya jalannya akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada
peradilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed
is justice deniyed).49
Eksistensi putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan,
sangat diperlukan untuk penyelesaian perkara pidana.
Asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan
perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu
dilarang.
Hanya
saja
oleh
karena
keadaan
pelaku
tidak
memungkinkan
dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya
hukuman ini ada empat macam, yaitu:
48
49
http://masyos.wordpress.com/2008/11/26/penafsiran-hukum-penegak-hukum.
Jimmly Asshidiqqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127
52
1.
Paksaan
Dalam uraian yang pertama menjelaskan paksaan menurut Muhammad
Al-Khudhari banyak memberikan definisi paksaan sebagai berikut. Paksaan
adalah mendorong orang lain atau sesuatu yang tidak diridhainya, baik berupa
ucapan atau perbuatan. Sebagai fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir
Audah, memberikan definisi sebagai berikut. Paksaan adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah
kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan
yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang
dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan
yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas
orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sehingga
karenanya hilang kerelaannya.50
Macam-macam paksaan dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai
berikut.
a) Paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan, yaitu
paksaan yang dikhawatirkan akan menghilangkan nyawa. Paksaan ini
disebut paksaan absolut. Daya paksa absolut (absolute overmacht)
adalah paksaan dimana orang yang dipaksa tidak bisa memilih, kecuali
apa yang diminta oleh yang memaksa. Contohnya, seperti orang yang
50
Hal. 563
Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
53
fisiknya lebih kuat menangkap tangan seseorang dan menyuruhnya
untuk membubuhkan tanda tangan pada suatu surat penting yang telah
disediakan.
b) Paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai merusak
pilihan, yaitu paksaan yang menurut kebiasaan tidak dikhawatirkan
akan mengakibatkan hilangnya nyawa seperti dipenjarakan atau
dipukuli dengan pukulan yang ringan. Paksaan ini disebut paksaan
relatif. Daya paksa relatif (relative overmacht) adalah paksaan dimana
orang yang dipaksa masih memiliki kesempatan untuk memilih
perbuatan lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak
mungkin dapat dielakkan. Contohnya, seorang kasir bank dengan
ancama senjata api harus menyerahkan uang kas yang berada di bawah
pengawasannya.
Syarat-syarat adanya paksaan, untuk terwujudnya suatu paksaan diperlukan
beberapa syarat. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, paksaan dianggap
tidak ada dan dengan demikian seseorang yang melakukan tindak pidana tidak
dianggap sebagai orang yang dipaksa. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a) Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat sehingga dapat menghilangkan
kerelaan, seperti ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang berat,
dikurung dalam waktu yang lama, dan sebagainya. Ukuran berat dan
ringannya suatu ancaman sifatnya subjektif, dan berbeda-beda menurut
perbedaan orang dan cara.seseorang mungkin tidak merasa takut dan masih
54
dapat bertahan dengan beberapa kali pukulan atau cambukan, sementara orang
yang lain sudah merasa ngeri dengan satu kali pukulan atau cambukan. Akan
tetapi, para ulama telah sepakat bahwa ancaman akan dimaki-maki atau
difitnah dengan tuduhan berzina tidak termasuk paksaan. Perintah seorang
kepala negara (pejabat) meskipun tanpa disertai ancaman, sudah cukup
dianggap sebagai paksaan, apabila dapat diambil kesan bahwa jika
perintahnya tidak dilaksanakan maka balasannya adalah adalah pembunuhan
atas dirinya, atau penganiayaan berat atau dipenjarakan dalam waktu yang
lama. Perintah suami terhadap istrinya disamakan dengan perintah seorang
atasan terhadap bawahannya, jika dikhawatirkan akan timbul cara-cara
pemaksaan dari suami apabila istri tersebut tidak taat.
Para ulama juga telah sepakat bahwa ancaman dianggap sebagai paksaan,
apabila ditujukan kepada diri orang yang dipaksa. Apabila ancaman tersebut
ditujukan kepada orang lain yang terdapat bersama-sama dengan orang yang
dipaksa maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyyah,
ancaman sudah merupakan paksaan, meskipun ditujukan kepada orang lain
dan bukan keluarganya. Menurut sebagian ulama Hanafiah, ancaman tidak
dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada orang yang dipaksa.
Akan tetap, ulama Hanafiah yang lain berpendapat bahwa paksaan dianggap
ada apabila ancama ditujukan kepada anaknya, atau orang tuanya, atau
keluarganya. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama Syafi‟iyyah. Ulama
Hanabillah berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancamannya
55
ditujukan kepada anak satu orang tuanya.51 Ancaman juga di isyaratkan harus
berupa pebuatan yang tidak sah. Apabila perkara yang diancamkan itu berupa
perbuatan yang sah atau dibenarkan oleh hukum maka tidak ada paksaan.
b) Ancaman harus seketika yang diduga kuat terjadi,jika orang yang dipaksa
tidak melaksanakan keinginan pemaksa. Apabila ancaman tidak seketika maka
tidak ada paksaan, karena orang yang dipaksa masih mempunyai kesempatan
untuk melindungi dirinya dan pada saat itu tidak ada dorongan yang kuat
untuk segera melaksanakan perintah pemaksa.
c) Orang yang memaksa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
ancamannya, walaupun ia bukan penguasa atau petugas tertentu. Apabila
orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan
ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan.
d) Ada dugaan yang kuat pada diri yang dipaksa, bahwa apabila ia tidak
memenuhi tuntutannya apa yang diancamkan itu benar-benar akan terjadi.
Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan yang
terjadi. Dalam konteks ini perbuatan dibagi menjaditiga kelompok. Pertama,
perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, artinya perbuatan
tersebut tetap dianggap sebagai jarimah. Kedua, perbuatan yang diperbolehkan sama
sekali karena adanya paksaan, artinya perbuatan tidak dianggap jarimah. Ketiga,
perbuatan yang dibolehkan sebagai pengecualian, artinya perbuatannya tetap
dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak dikenakan hukuman.
51
Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
Hal. 356-357
56
2. Mabuk
Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai mengakibatkan mabuk
maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman keras (syurbul khamar) termasuk
jarimah hudud yang ancamannya adalah delapan puluh kali cambukan.
Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, para ulama telah sepakat semua
jenis minuman yang memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau
banyak, hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan tetapi,
menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara khamar dan
minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit atau banyak, baik mabuk
atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk minuman keras selain khamar, baru
dihukum apabila sampai memabukkan.bahan minuman khamar itu adalah perasan
anggur yang direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.52
Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai
akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Menurut Imam Abu
Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah kehilangan akal pikirannya, baik
banyak ataupun sedikit, ia tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi, dan
antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam
Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau
pada pembicaraanya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam yang lain.
Alasan mereka ini adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 43 :
52
Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
Hal. 581-582
57
               
                  
              

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301],
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang
dikatakannya berarti ia sedang mabuk.
Adapun pertanggung jawaban pidana bagi orang yang mabuk, menurut
pendapat yang kuat dari ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas
jarimah-jarimah yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum
atau ia meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa yang
diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum minuman keras untuk berobat, lalu
ia mabuk. Orang yang mabuk tersebut ketika ia melakukan perbuatannya, sedang
hilang akal dan pikirannya, sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan
orang gila. Akan tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan
sendiri dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang
sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus bertanggung
jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia mabuk. Hukuman tersebut
58
diberikan kepadanya sebagai pengajaran, karena ia telah menghilangkan akalnya
sendiri secara disengaja.53
Di samping pendapat yang kuat tersebut, dikalangan ulama mazhab yang
empat ada pendapat yang tidak kuat, yaitu bahwa orang yang mabuk tidak dibebani
pertanggungjawaban
atas
semua
perbuatan
jarimah
yang
dilakukannya,
bagaimanapun terjadinya dan apa pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal
pikirannya sedang hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari
perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya pertanggung jawaban
pidana.54
Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap dikenakan,
sebab jiwa dan harta orang laintetap harus dijamin keselamatannya dan pembebasan
dari hukuman pidana tidak mempengaruhi hukuman perdata.
3.
Gila
Syariat Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berfikir dan memilih
(idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka
pertanggungjawaban menjadi terhapus. Kemampuan berfikir seseorang itu dapat
hilang karena faktor bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit
atau cacat fisik. Hilangnya kemampuan berfikir tersebut dalam bahasa sehari-hari
53
Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
54
Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby)
Hal. 583
59
disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai hilangnya akal,
rusak, atau lemah.55 Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas,
sehingga mencakup gila, dungu, dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya
menghilankan idrak (kemampuan berfikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis
penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berfikir maupun sebagainya.
a. Gila terus menerus, gila terus menerus adalah suatu keadaan di mana
seseorang tidak dapat berfikir sama sekali, baik baik hal itu diderita sejak
lahir maupun yang dating demikian. Dikalangan fuqaha gila semacam ini
disebut Al-Junun Al-Muthbaq.
b. Gila berselang orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat
berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya
maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut
telah berlalu (hilang) maka ia dapat berfikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus-menerus hilang sama sekali,
sedangkan pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban
pidana ketika ia dalam kondisi sehat.
c. Gila sebagian, gila sebagian ini menyebabkan seseorang tidak dapat
berfikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkar-perkara
yang lain masih tetap dapat berfikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat
berfikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak
dapat berfikir, ia bebas dari pertanggung jawaban pidana.
55
Hal. 585
Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
60
d. Dungu (al-ithu), para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah
memberikan definisi orang dungu sebagai berikut. Orang dungu adalah
orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak
beres fikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian
karena suatu penyakit.56
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan
gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda dengan gila, karena
dungu hanya mengakibatkan lemahnya berfikir bukan menghilangkannya,
sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berfikir, sesuai
tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak
sama kemampuan berfikirnya dengan orang biasa (normal).
Menurut sebagian fuqaha kekuatan berfikir orang dungu sama dengan
orang yang sudah mumayyiz (lebih kurang berumur antara tujuh sampai lima belas
tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan anak yang belum
mumayyiz, karena fikirannya yang tidak stabil itu secara umum orang dungu tidak
dibebani pertanggungjawaban pidana.
4. Di bawah umur
Konsep
yang
dikemukakan
dalam
Syariat
Islam
tentang
pertanggungjawaban anak dibawah umur merupakan konsep yang sangat baik.
56
Hal. 587
Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby).
61
Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara,
yaitu kekuatan berfikir dan pilihan. Sehubungan dengan kedua dasar tersebut
maka kedudukan anak dibawah umur berbeda-beda sesuai dngan perbedaan masa
yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki
kedua perkara tersebut. Secara ilmiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap
orang sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa. Pertama, masa tidak adanya
kemampuan berfikir. Kedua, masa kemampuan berfikir yang lemah. Ketiga, masa
kemampuan berfikir penuh.57
C. Dasar Pertimbangan Vonis Hakim
Setelah melihat bahwa tatacara hakim dalam menjatuhkan suatu vonis
hukuman dan hal yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan suatu vonis
hukuman, maka dalam dasar pertimbangan hukum, hakim melihat dan
menjelaskan bahwasannya seseorang yang melakukan tindak pidana atas
motivasi kejiwaan mendapat keringanan hukuman atau penghapusan hukuman,
karena adanya ketidakmampuan bertanggungjawab.
Ketidakmampuan bertanggung jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid) Pasal 44
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan, bahwa orang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam dua hal, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhan
57
Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayyah. (Jakarta :
Sinar Grafika. 2004). Hal. 134
62
dan
terganggu
karena
penyakit.
Ketidakmampuan
bertanggung
jawab
meniadakan kesalahan, dalam arti luas itu termasuk dasar pemaaf.
Menurut Pompe pertanggungjawaban pidana seseorang mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Kemampuan berfikir (psychisch) pembuat yang memungkinkan ia menguasai
pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2. Dan oleh sebab itu ia dapat memahami makna dari perbuatannya
3. Dan oleh sebab itu pula ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
Menurut Hazawinkel-Sulriga bahwa hakim dan penuntut umum karena
jabatannya wajib memperhatikan, sekalipun terdakwa atau penasihat
hukumnya tidak mengemukakannya. Jadi ketidakmampuan bertanggung
jawab merupakan penyakit yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat
adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan. 58
Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam
masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang
pemerintah
(negara)
sebagai
pelayan,
pelindung
masyarakat
untuk
menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilainilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat
sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana
untuk tindak pidana. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam
58
Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, cet ke-2, 2007
63
penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas
kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan
korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan
secara
preventif
(pencegahan)
dan
refresif
(penindakan).
Bentuk
penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak
pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang
kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana
suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika
merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia.
Dalam hukum pidana Islam ada dikenal dengan nama Jarimah.
Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu yaitu larangan-larangan
Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukum Had (hukuman yang sudah
ada nashnya) atau Ta‟zir (hukuman yang tidak ada nashnya).
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak.
Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang,
seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut,
64
apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar
atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan
dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang
mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas
pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang
yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini
tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai
kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu , kemampuan
bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat,
adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati
atau lalai, tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan
untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang
65
diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi
maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan
kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung
jawabkan.
Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur
kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus
dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan
waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab
dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal
bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini,
hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa
terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih
meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan
berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat
dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.”
BAB IV
PANDANGAN HUKUMISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP
FAKTOR KEJIWAAN DALAM PENETAPAN TINDAK PIDANA DAN
PENJATUHAN VONIS HAKIM
A. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Islam Serta Penjatuhan Vonis
Hakim
Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefinisikan
oleh
Abdul Qadir Audah hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat,karena adanya penyelenggaraan atas ketentuanketentuan syara.59 Dari define tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah
salah satu tindakan yang diberikan oleh syara‟ sebagai pembalasan atas perbuatan
yang melanggar ketentuan syara‟, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan
kepentingan masyaakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
Dalam uraian ini gugurnya suatu hukuman yang tentang sebab-sebab
hapusnya pertanggung jawaban pidana, baik yang berkaitan dengan perbuatan
maupun keadaan pelaku. Dalam kaitannya dengan hapusnya hukuman karena
keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang
terganggu, misalnya karena gila, paksa, mabuk, atau masih di bawah umur.
59
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), h. 132
66
67
Bebeda dengan hapusnya hukuman karena sebab-sebab tersebut maka yang
dimaksud dengan gugurnya hukum disini adalah tidak dapat dilaksanakannya
hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh hakim, berhubung
tempat untuk melaksanakan hukuman sudah tidak ada lagi, atau waktu untuk
melaksanakannya telah lewat.60
Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman tersebut adalah :
1. Meninggalnya pelaku
2. Hilangnya anggota badan yang akan diqishash
3. Tobatnya pelaku
4. Perdamaian (shuluh)
5. pengampunan
B. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Positif Serta Penjatuhan Vonis
Hakim
Tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari
segala
tuntutan
hukum
(ontslag
van
rechtsvervolging)
adalah
apabila
yangdidakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana. Pertimbangan hakim yang lain adalah apabila terdapat
keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu
adanya
alasan
pembenar
dan
alasan
pemaaf.
Alasan
penghapus
pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus
60
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), h. 173
68
dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi
menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi tidak dapat dijatuhi pidana.61 Dalam Konsep KUHP yang baru dikenal ada 2
alasan penghapus pidana yaitu:
1. Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana
(strafbaarfeit) yangdikenal dengan istilah actus reus diNegara Anglo
saxon.Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 31,32,33,34,35,yang berbunyi :
Pasal 31 menyatakan :
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
melaksanakan peraturan perundang-undangan.
Walaupun memenuhi rumusan tindak pidana, seseorang yang melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dianggap tidak melawan
hukum dan oleh karena itu tidak dipidana.
Pasal 32 menyatakan :
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang.
Seseorang dapat melaksanakan undang-undang oleh dirinya sendiri, akan
tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika ia melaksanakan
perintah tersebut maka ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum.
61
Nico Keijer, 1990 : 1
69
Pasal 33 menyatakan :
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan
darurat.
Ada beberapa ahli yang menggolongkan ” keadaan darurat ” sebagai alasan
pembenar namun adapula yang menggolongkannya sebagai alasan pembenar. Dalam
keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar,
paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat,
yaitu : Perbenturan antara dua kepentingan hukum, dalam hal ini pelaku harus
melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun
pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, dan begitu pula
sebaliknya. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dalam hal
ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum
atau melaksanakan kewajiban hukum. Perbenturan antara kewajiban hukum dan
kewajiban hokum, dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu,
namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu
pula sebaliknya.
Pasal 34 menyatakan :
Tidak dipidana, setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena
pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang
melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan,
harta benda sendiri atau orang lain.
70
Dalam pembelaan terpaksa perbuatan pelaku memenuhi rumusan suatu tindak
pidana, namun karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut maka
perbuatan tersebut dianggap tidak melawan hukum
Pasal 35 menyatakan :
Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
2. Alasan Pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan
terdakwa,
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban
(toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara
Anglo saxon. Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 42,43,44,45,46 yang
berbunyi :
Pasal 42 menyatakan :
a.
Tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai
keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan
bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali
ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan
kepadanya
b.
Jika
seseorang
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
patut
dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi
dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk
tindak pidana yang dilakukan
71
Ketentuan dalam Pasal ini berisikan ketentuan alasan pemaaf. Yang dimaksud
dengan “alasan pemaaf” adalah alasan yang meniadakan kesalahan terhadap pelaku
tindak pidana, oleh karena itu pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana.
Perbuatan pelaku tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat
alasan pemaaf tersebut maka pelaku tindak pidana tidak dipidana. Ketentuan dalam
Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal pembuat tindak pidana tindak pidana tidak
mengetahui keadaan yang merupakan unsure suatu tindak pidana, maka hal itu
menjadi alasan tidak dipidananya pembuat tindak pidana.
Pasal 43 menyatakan :
Tidak dipidana seseorang yang melakukan tindak pidana karena: a. Dipaksa
oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau b. Dipakasa oleh adanya
ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari
Ketentuan dalam Pasal ini sebagaimana juga dalam Pasal 42 berisi ketentuan
alasan pemaaf. Selanjutnya yang dimaksud dengan “daya paksa” adalah keadaan
sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali melakukan perbuatan tersebut. Mengingat keadaan yang ada pada diri
pembuat tindak pidana , maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih
ketika melakukan perbuatan tersebut. Pembuat tindak pidana tindak pidana yang
melakukan tindak pidana karena terdorong oleh daya paksa, terpaksa melakukan
perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu karena didorong oleh suatu tekanan
kejiwaan yang datangnya dari luar. Dalam keadaan demikian kehendak pembuat
tindak pidana menjadi tidak bebas. Dengan adanya tekanan dari luar tersebut, maka
72
keadaan kejiwaan pembuat tindak pidana tindak pidana pada saat itu tidak berfungsi
secara normal. Keadaan ini berbeda dengan keadaan tidak mampu bertanggung
jawab.
Dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, fungsi kejiwaannya tidak
normal bukan disebabkan karena tekanan dari luar, melainkan keadaan kejiwaanya itu
sendiri tidak berfungsi secara normal. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan
kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena
keberatan-keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal
yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.
Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” adalah vis
absoluta (daya paksa absolut). Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya
ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah vis compulsiva
(daya paksa relatif).
Pasal 44 menyatakan :
Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas,yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera.
Pasal 45 menyatakan :
Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan
hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik
mengira
bahwa
perintahTersebut
diberikan
dengan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
wewenang
dan
73
Pasal 46 menyatakan :
Termasuk alasan pemaaf ialah : a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita
gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40; atau c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1).
Begitu pula dalam hukum pidana suatu delik dapat diwujudkan dengan
kelakuan aktif atau positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya,
misalnya mencuri ada dalam pasal 362 KUHPidana, menipu pasal 378 KUHPidana
dan lain sebagainya. Kemampuan bertanggung jawab dalam kasus pidana umunya
tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang diatur malah
sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab seperti yang ada dalam sub bab
sebelumnya.62
Mengenai hapusnya hukuman maka ada empat perkara, yaitu terpaksa,
mabuk, gila, dan belum dewasa. Pada masing-masing perkara ini pembuat melakukan
perbuatan yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang seharusnya
dijatuhi hukuman, karena adanya hal-hal yang terdapat dari diri pembuat, bukan pada
perbuatannya itu sendiri. Jadi dasar pembebasan hukuman ialah keadaan diri pembuat
dan hal ini dengan kebolehan perbuatan yang dilarang karena dasar kebolehan ialah
sifat perbuatan yang mengakibatkan perbuatan tidak dilarang.
62
Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika. 2007
74
Pada hukum positif hal-hal yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana
tersebut tidak dipisah-pisahkan karena semuanya dimasukan dalam hal-hal yang
menghapuskan hukuman. Tanpa melihat
apakah perbuatan-perbuatan
yang
dikerjakan, karena hal-hal tersebut dibolehkan dan tidak dijatuhi hukuman, ataukah
perbuatan-perbuatan tersebut tetap dilarang tetapi perbuatannya tidak dijatuhi
hukuman.
Dalam pertanggung jawaban pidana (kesalahan), konsep menegaskan secara
explicit dalam pasal 35 ayat (1) ”asas tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf
zonder schuld), Keine Strafe onhe Schuld, no pusnishment without Guilt, yang di
dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental,
yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara explicit didalam konsep sebagai
pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula
dari ide keseimbangan monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu
sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolute. Oleh karena itu, konsep juga
kemungkinan dalam hal-hal tetentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas
vicarious liability dan asas pemberian maaf/pengampunan oleh hakim (rechterlijk
pardon atau judicial pardon).
Menurut Ruslan Saleh sehubungan dengan alasan penghapusan pidana mungkin
karena:
1) Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu kemudian dipandang tidak
bersifat melawan hukum atau dengan pendekatan adanya alasan pembenar
75
2) Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki
rumusan delik tetapi setelah dipertimbangkan keadaan-keadaan pada orangorangnya maka dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan
pendek adanya alasan pemaaf.63
Alasan penghapus pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan
khusus ( yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa ) yang
jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan
delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana.64
C.
Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif
Syariat Islam sama pendiriannya dengan hukum Positif dalam
menetapkan jarimah tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi
tujuannya. Baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum positif keduanya
sama-sama bertujuan memeliharakepentingan dan ketentraman masyarakat
serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat
perbedaan yang jauh antara keduanya karena, memang watak dan tabiat
keduanya jauh berbeda. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Hukum Islam sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi
pekerti yang luhur, karena akhlak yang luhur merupakan sendi atau
63
Sianturi. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta: Gunung Mulia.
1982
64
Nico Keijer, 1990 : 1
76
tiang untuk menegakkan masyarakat. Oleh karenanya, setiap perbuatan
yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan
hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikian. Menurut
hukum positif ada beberapa perbuatan yang walaupun bertentangan
dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai
tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian
langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. Sebagai
contoh adalah perbuatan zina. Menurut hukum Islam zina adalah
perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan mempunyai dampak
negative
terhadap
masyarakat.
Oleh
karenanya,
hukum
Islam
memandangnya sebagai jarimah dan mengancamnya dengan hukuman,
dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, baik dilakukan dengan
suka sama suka, oleh perjaka dan gadis maupun oleh orang-orang yang
sudah berkeluarga. Akan tetapi hukum positif tidak menganggap
hubungan kelamin diluar nikah sebagai tindak pidana dan karenanya
tidak mengancamnya dengan hukuman, kecuali apabila terjadi
perkosaan terhadap salah satu pihak atau pelakunya adalah orang yang
masih ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain.
2)
Undang-undang (hukum positif) adalah produk manusia, sedangkan
hukum Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dalam hukum Islam
beberapa macam tindak pidana yang hubungannya dengan al-qur‟an dan
as sunnah yaitu jarimah hudud dan qishash, dan yang diserahkan kepada
77
ulil amri yaitu jarimah ta‟zir. Dalam hukum positif merupakan produk
manusia tentu saja serba tidak lengkap dan tidak sempurna.65
65
Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana IslamFiqh Jinayyah. (Jakarta :
Sinar Grafika. 2004).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis mengambil kesimpulan bahwa faktor kejiwaan mempengaruhi
adanya tindak pidana. Dalam kejiwaan seseorang sangat erat sangat erat kaitannya
untuk melakukan suatu tindakan.
Pada hukum postitif tentang dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechtsvervolging adalah) adalah apabila yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Pertimbangan
hakim yang lain adalah apabila terdapat keadaan-keadaan istimewa yang
menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan
alasan pemaaf. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan
sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan
oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur
tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Dalam
Konsep KUHP yang baru dikenal ada dua alasan penghapus pidana yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf. Jadi ketidakmampuan bertanggung diartikan
perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakit yang disebabkan gangguan
kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan
perbuatan.
78
79
Begitu pun dalam hukum Islam penulis mengambil kesimpulan walaupun
ada persamaan dengan hukum positif bagi pelaku tindak pidana atas motivasi
kejiwaan, tetapi hukum Islam yang lebih istimewa.
B. Saran-saran
Mengingat pentingnya faktor kejiwaan atau tekanan kejiwaan seseorang
untuk melakukan tindak pidana berupa pelanggaran dan kejahatan dalam system
peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan lembaga
pemasyarakatan. Pada dasarnya bukanlah semata-mata menjatuhkan vonis hukum
semaunya saja, melainkan harus sesuai dengan KUHP bila perlu sesuai dengan
hukum Islam. Karena pada keduanya ada yang memberatkan dan ada yang
meringankan. Oleh karena itu harus jadi pertimbangan mereka terlebih dahulu,
yang tidak lain penetapan hukumannya sesuai dengan tindak pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan.
Dalam penjelasan dari beberapa faktor kejiwaan yang timbul dalam diri
seseorang hendaklah ditanggulangi dengan adanya pengajian-pengajian, dengan
adanya lapangan kerja yang menimbulkan skill atau kemampuan sehingga mereka
bisa menggunakan skill atau kemampuan mereka dengan bekerja. Untuk itulah
sebagai bahan pertimbangan berikutnya adalah :
1. Pentingnya untuk memahami beberapa sebab yang timbulkan dari akibat
kejiwaan seseorang sehingga orang tersebut melakukan tindak pidana baik
80
tindak pidana umum maupun khusus. Seperti pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan,terorisme, korupsi dan cyber crime serta lain sebagainya.
2. Usaha keras yang dilakukan dari para ahli baik dalam hukum pidana positif
maupun pakar pidana Islam dan para ahli psikology tentang factor kejiwaan
sebagai pendorong pelaku tindak pidana dan vonis dalam penjatuhan
hukuman.
81
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur‟an Al Kariim
Abidin, Zainal, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, cet ke-2
Abu Fida‟ Abdul Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tzkiyyatun Nafs (Penyucian Jiwa),
(Jakarta : Republika, 2004),Cet. 1. h. 9
Asshidiqqie, Jimmly, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127
Audhah Qadir Abdul, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby
Hanafi, Ahmad, “asas-asas hukum pidana Islam”. Jakarta : Bulan bintang. 2005, hal
119
Imam Al Mawardi dan Abu Al Hasan bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam Al
Sulhaniyyah, (Kairo : Mathaba‟at Al Halabi, 1375H), h. 155
Linton Sirait. Tugas Hakim Dalam Memutus Perkara. Jakarta: CV. Mandar Maju,
1998
M Nur Said, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 15
Merpaung, Laden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta : PT. Raja
Grafindo, 1997, Cet ke-1
Muhammad A. Al-Buraey, h. 86
82
Muhammad Bin Ahmad Al-Qarati, Qawanial- Ahkam As Syari‟ah, (Beirut : Lebanon, tanpa
penerbit), h. 324
Muhammad As Syaukani, Nailur Autar, (Mesir : Penerbit tidak terbaca), Juz 8, h. 282
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Bandung : PT. Alumni, 2007
Mustofa, Muhammad, Kriminologi Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku
Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Fisip UI Press : 2007
Ranoemihardja, Atang, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bandung : Tarsito, 1991
Purnomo, Bambang, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli
Kedokteran Jiwa, Yogyakarta : Bina Aksara, 1984.
Santoso, Topo, Kriminologi, Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal 67
Suryanto, Perilaku Kriminal Ditinjau Dari Aspek Psikologis Pelaku, Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga.
Sutantio, Retnowulan, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Manjur, 1997, hal. 109-110
Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak, , Jakarta : Prenada Media Group, 2003, cet
ke-1
Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2000
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 61
83
Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : C. V Andy Offset, 2010
Wirjono, Prodjokiro, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia, Jakarta : PT. Rafika
Aditama, 2003
http: tindak kejahatan dan hubungannya dengan kejiwaan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana No 1 Tahun 1946
Kitab Undang-undang Acara Pidana No 8 Tahun 1981
UUPKejaksaan UU No 16 Tahun 2004
UUPKehakiman UU No 48 Tahun 2009
Download