BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. GKPB, Jabatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1.1. GKPB, Jabatan Gerejawi & Jabatan Organisasi/Struktural
Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disingkat GKPB) berdiri pada
tahun 1948.1 Dalam tata gerejanya, GKPB mengakui lima jabatan gerejawi yaitu: penatua,
penginjil, diaken, pendeta dan bishop.2 Jabatan-jabatan ini diberikan kepada warga jemaat
W
D
melalui peneguhan/penahbisan dalam kebaktian khusus.3 Untuk menjadi pendeta, seseorang
harus menjalani masa vikariat sekurang-kurangnya dua tahun. Sedangkan untuk menjadi
bishop, seorang pendeta4 harus mendapat suara terbanyak dalam sidang pemilihan anggota
sinode sebagai Ketua Majelis Sinode Harian atau disebut Ketua Sinode GKPB. Ketua sinode
K
U
secara otomatis menjadi bishop, dilantik oleh bishop sebelumnya (bishop emeritus).5 Dalam
tata gereja dan peraturan-peraturan GKPB lainnya, tidak mengatur soal jenis kelamin bagi
jabatan-jabatan gerejawi. Namun melihat ditahbiskannya perempuan dan laki-laki ke dalam
jabatan pendeta, secara tersirat/implisit GKPB menerima perempuan6 dan laki-laki untuk
memangku jabatan tersebut (dan secara otomatis menjadi ketua Majelis Jemaat).7
1
@
I Nengah Ripa, dkk, Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah, (Bali: MS GKPB, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012), h. 266. Pada tahun 1948, GKPB melaksanakan sidang sinode yang pertama di Blimbingsari, Jembrana, Bali
Barat, setelah melepaskan diri dari GKJW. Hal utama dalam sidang tersebut adalah mengesahkan Anggaran Dasar (AD)
dan Anggaran Rumah Tangga (ART) dengan melengkapi Badan Pekerja Sinode yang diketuai oleh pdt. Made Rungu
sebagai ketua sinode pertama.
2
GKPB Tata Gereja, Bab XIII, Pasal 80, 81, 82, Penatua, Penginjil, Diaken, Pendeta, Bishop, 2006, h. 12,13. Tugas
Utama jabatan-jabatan Gerejawi adalah mengupayakan terselenggaranya tugas Persekutuan, tugas Pemberitaan Injil,
tugas Pelayanan Kasih, Pelayanan Firman, Sakramen, Pastoral bagi jemaat dan tugas Pastoral dari bishop kepada para
pendeta dan jemaat-jemaat.
3
GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 78, Jabatan Gerejawi, 2006, h.12.
4
Calon pendeta/vikaris dan pendeta dapat diterima di GKPB apabila telah menamatkan studi teologi, lihat Tata Gereja,
Bab XIII, Pasal 77, Vikaris dan Jabatan Gerejawi, 2006, h. 11. Sekolah teologi yang seasas dan diakui GKPB yaitu:
STT Jakarata, UKDW Yogyakarta, UKSW Salatiga, STT INTIM Makassar, dll. lihat Keputusan dalam Peraturanperaturan Kepegawaian GKPB.
5
GKPB, Tata Gereja, Bagian C, Bab XIII, Pasal 84, Jabatan Gerejawi, ayat 2, 3, 2006, h. 12.
6
Istilah yang dipakai dalam penulisan ini ialah perempuan bukan wanita. Istilah perempuan digunakan oleh kaum
feminsi di Indonesia yang diambil dari kata Melayu dengan arti “empu”, ibu dan “puan” bentuk feminin dari tuan.
Lihat, Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), h. 9.
7
Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, (Denpasar: GKPB, Malang: YPPII, 2001), h.
146. Beyer adalah mantan ketua sinode salah satu gereja mitra GKPB di Jerman. Karena kemitraan dengan GKPB,
Beyer sering ke Bali sehingga cukup paham tentang GKPB.
1
Selain jabatan gerejawi, GKPB memberikan jabatan organisasi atau struktural pada
lembaga-lembaga sinode, yakni: Majelis Sinode (MS8) atau Majelis Sinode Harian (MSH9),
Majelis Pertimbangan (MP10), dan Badan Pengawas Perbendaharaan (BPP11). Kemudian
MS12 memilih dan mengangkat pejabat-pejabat pada Departemen-departemen, Lembaga
8
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Syarat-syarat MSH, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 19-20.
Syarat Ketua Sinode/MSH ialah: 1). Seorang pendeta yang menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Sehat jasmani
rahani dan mental. 3). Berstatus pegawai tetap GKPB, atau pegawai GKPB yang sudah memasuki masa pensiunan
dengan umur setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB
sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun. 5). Pernah melayani jemaat GKPB sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun.
Syarat Sekum ialah: 1). Seorang pendeta yang menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Sehat jasmani rohani dan
mental. 3). Berstatus pegawai tetap GKPB. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurang-kurangnya
12 (dua belas ) tahun. 5). Pernah melayani jemaat GKPB sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun.
Syarat Bendara dari seorang pendeta ialah: 1). Menjadi panutan dalam hidup bergereja. 2). Berstatus pegawai tetap
GKPB. 3). Sehat jasmani rohani dan mental. 4). Mempunyai masa pengabdian di lingkungan GKPB sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun.
Syarat Bendahara bukan pendeta ialah: 1). Warga GKPB. 2). Menjadi panutan dalam hidup bergereja. 3). Sehat
jasmani rohani dan mental. 4). Pernah menjadi Majelis jemaat sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun. 5). Mempunyai
kemampuan di bidang perbendaharaan. 6). Umur setinggi-tingginya 60 tahun. 7). Harus mendapat rekomendasi dari
instansi tempat mereka bekerja.
9
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang MSH, Pasal 105, Ayat 1-11, 2006, h. 19.
Tugas dan wewenang MSH ialah: 1). Mewakili GKPB baik di luar maupun di dalam pengadilan. 2). Melaksanakan
Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 3). Mengundang, menyelenggarakan sidang, dan menandatangani keputusankeputusan MS. 4). Menyampaikan hasil peninjauan Tata Gereja kepada MS. 5). Mengajukan rancangan peraturanperaturan/ketentuan-ketentuan kepada MS untuk disahkan. 6). Mengusulkan perubahan dan pencabutan peraturanperaturan di lingkungan GKPB kepada MS dalam sidang MSL. 7). Mengusulkan pengangkatan, pemberhentian,
pemindahan, pemensiunan dan pendesiplinan pejabat-pejabat/pegawai-pegawai GKPB sesuai dengan peraturan
kepegawaian GKPB kepada MS dalam sidang MSL. 8). Melaksanakan pelantikan, pemindahan, pendisiplinan, dan
pemberhentian pejabat-pejabat gerejawi sesuai dengan keputusan MS dalam sidang MSL. 9). Menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan program kerja serta anggaran pendapatan dan belanja GKPB kepada MS. 10).
Mengajukan rancangan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB kepada MS. 11). Mengundang dan menyelenggarakan
sidang serta menandatangani keputusan-keputusan MS dalam sidang MSL.
10
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang MP, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 21.
Tugas dan Wewenang MP ialah: 1). Memberikan pertimbangan/nasehat, baik berdasarkan permintaan maupun tidak,
kepada MS, termasuk MSH, dan BPP. 2). Memberikan pertimbangan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan
yang terjadi dalam MS, MSH, dan BPP. 3). Semua pertimbangan MP itu bersifat konsultatif, artinya, tidak mengingat
yang diberikan pertimbangan. 4). Semua kegiatan MP dibiayai melalui angaran yang disusun oleh MSH.
11
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Tugas dan wewenang BPP, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 22.
Tugas dan Wewenang BPP ialah: 1). Mengadakan pembinaan terhadap para pengelola perbendaharaan GKPB secara
kesinambungan. 2). Melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap perbendaharaan GKPB. 3). Menyampaikan hasil
pembinaan, pemeriksaan, dan pengawasan dalam sidang MSL dan sinode. 4). Mengusulkan penggunaan jasa angkutan
publik kepada MS, bila dipandang perlu. 5). Mengusulkan pengangkatan tenaga penuh waktu untuk melaksanakan
tugas-tugasnya kepada MS dalam sidang MSL. 6). Semua kegiatan BPP dilayani melalui anggaran yang disusun oleh
MSH.
12
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Wewenang MS, Pasal 99, Ayat 1-14, 2006, h. 17-18.
Wewenang MS yaitu: 1). Menetapkan pelaksanaan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 2). Menetapkan Program
Kerja Tahunan dan Anggaran Pendapatan Belanjanya sesuai Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB. 3). Menetapkan
penyelenggaraan sinode. 4). Mengajukan hasil peninjauan Tata Gereja kepada sinode. 5). Menetapkan peraturanperaturan/ketentuan-ketentuan untuk melaksanakan Tata Gereja. 6). Menetapkan tentang tidak berlakunya lagi
peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan. 7). Menetapkan pengangkatan, pemberhentian/pemensiunan, pemindahan, dan
pendesiplinan pejabat dan pegawai GKPB. 8). Menetapkan penahbisan, pelantikan, dan pemberhentian pejabat-pejabat
gerejawi. 9). Memberikan pertanggungjawaban atas segala tugasnya kepada sinode. 10). Mengajukan rancangan GarisGaris Besar Pelayanan Gereja kepada sinode. 11). Menjalankan dan mengembangkan penyelenggaraan,
pengorganisasian Gereja yang sesuai dengan bentuk kelembagaan dan struktur GKPB. 12). Memberdayakan dan
menggali sumber daya-sumber daya Gereja dan mengelola harta milik Gereja sesuai dengan peraturan dan ketentuan
GKPB. 13). Membina, menjaga, dan mengembangkan persekutuan, pelayanan, dan kesaksian GKPB. 14).
W
D
K
U
@
2
Perguruan Tinggi Kristen, Badan Usaha Milik Gereja, dan Yayasan-yayasan, serta Lembaga
Kategorial.13 Sedangkan untuk Kepengurusan Pelayanan Wilayah, dipilih oleh semua
mejelis jemaat yang ada di wilayah tersebut. Ketua Wilayah, secara otomatis menjadi
Anggota MS.14 Semua jabatan organisasi di atas disebut sebagai Majelis Sinode Lengkap
(kemudian disingkat MSL). Jabatan MSL oleh penulis disebut dengan “jabatan strategis”
dalam penulisan ini.
1.2. Jabatan Strategis Sinode GKPB
Istilah jabatan strategis tidak disebutkan dalam tata gereja maupun peraturan-
W
D
peraturan GKPB lainnya. Istilah ini digunakan oleh penulis untuk menunjukan posisi
pengambil keputusan15, dan kebijakan kepemimpinan di tingkat sinode GKPB”. MSL
disebut jabatan strategis, hal itu dapat dilihat pada tugas dan wewenangnya di dalam tata
gereja yang menunjukan bahwa posisi atau jabatan tersebut sangat menentukan ‘langkah’
GKPB seperti yang ditegaskan oleh Ulrich Beyer, “walaupun GKPB menganut struktur
K
U
presbiterial-sinodal, namun posisi dan peran MSL sangat menentukan kebijakan dalam
perjalanan bersinode di Bali.”16 Hal ini terlihat jelas dalam sidang lembaga-lembaga
sinode.17 Sebagai seorang pendeta di GKPB, penulis memiliki beberapa pengalaman di
mana hasil keputusan sidang sinode kemudian berubah dengan alasan tertentu setelah
dibahas ulang dalam sidang MSL, sehingga menimbulkan protes dari jemaat-jemaat.18
@
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Garis-Garis Besar Pelayanan GKPB, program kerja dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja (APB), Tata Gereja, dan peraturan dan ketentuan Tata Gereja.
13
Buku Direktorat, Periode 2008-2012, Edisi Kelima (Revisi), Bali: Deplitdakom, (Percetaka GKPB, 2009), h. 1-32.
14
Kesimpulan: semua jabatan organisasi maupun jabatan gerejawi, kecuali pendeta memakai sistem pemilihan dengan
suara terbanyak, artinya semua jabatan organisasi/struktural di GKPB pasti dikompetisikan.
15
Menurut Eddy Gibbs, kepemimpinan adalah bagaimana para pemimpin menghadapi berbagai tantangan baru dan
karena itu harus membuat keputusan-keputusan. Eddy Gibbs, Pemimpin Gereja Masa Mendatang, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), h. 1-9.
16
Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, h. 146.
17
GKPB, Tata Gereja, Bagian D, Bab XVI, Sidang Lembaga-lembaga Sinode, Pasal 105, Ayat 1-14, 2006, h. 23.
Sidang lembaga-lembaga Sinode ialah: 1). Sidang Majelis Sinode (MS)/Majelis Sinode Harian (MSH), Majelis
Pertimbangan (MP) dan Badan Pemeriksa Perbendaharaan (BPP) disebut sidang Majelis Sinode Lengkap. 2). Dalam
sidang Majelis Sinode Lengkap, dilakukan koordinasi, evaluasi dan pengambilan keputusan. 3). Sidang Majelis Sinode
Lengkap dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam 4 (empat) bulan atas undangan MSH. 4). Sidang itu sah jika
dihadiri oleh sekurang-kurangnya ½ (setengah) ditambah seorang anggota MS. 5). Rapat MSH bersama staf sekurangkurangnya sekali 1 (satu) bulan. 6). Pengambilan keputusan dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 75 tata gereja ini.
18
Salah satu keputusan Sinode ke 43 bulan Juni 2012 adalah, GKPB harus mengelola hotel Dhyana Pura secara
mandiri, namun kemudian sidang MSL memutuskan untuk mengontrak hotel tersebut kepada pihak lain, mengakibatkan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada puluhan anggota jemaat yang bekerja di Hotel tersebut. Hal ini
menimbulkan polemik di GKPB, beberapa gereja memohon untuk diadakan sidang istimewa namun hal tersebut tidak
terwujud. Walapun demikian harus diakui bahwa perubuhan keputusan sidang sinode tersebut adalah sebuah kebijakan
MSL dalam merespon persoalan tanah hotel tersebut yang masih diperkarakan hak kepemilikannya di pengadilan,
3
Protes tersebut dilakukan karena MSL dianggap otoriter dalam pengambilan keputusan,
misalnya mengenai kasus hotel Dhyana Pura (hotel milik GKPB) yang masih menjadi
persoalan sampai saat ini di GKPB. Walaupun demikian harus diakui bahwa banyak
keputusan dan kebijakan MSL yang cukup efektif dalam dinamika pelayanan ber-GKPB
baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
Sama seperti jabatan gerejawi, jabatan organisasi/struktural atau jabatan strategis
memberi tempat kepada perempuan dan laki-laki, dari kalangan pendeta maupun non
pendeta. Selanjutnya, penulis menggambarkan dinamika perempuan pendeta dan data para
pendeta serta calon pendeta dalam hubungan dengan jabatan strategis dimaksud.
W
D
1.3. Perempuan Pendeta, Data Pendeta & Calon Pendeta/Vikaris GKPB
Setelah 16 tahun berdirinya sinode GKPB, barulah ada penahbisan perempuan
pendeta19 tepatnya tahun 1964 yakni ibu Siluh Ketut Nyeneng dan ibu Siluh Rai Nestari
bersama lima orang laki-laki. Jumlah pendeta sudah mencapai dua puluh tiga orang. Adapun
K
U
perempuan GKPB yang Sekolah Teologi (sering disebut sekolah pendeta) sangat sedikit
bahkan hampir tidak ada. Sampai dengan tahun 1985 atau 21 tahun kemudian baru ada
tambahan satu orang perempuan pendeta. Total perempuan pendeta saat itu tiga orang dari
lima puluh sembilan orang pendeta aktif maupun yang pensiun/emeritus.20 Kalau
dipresentase; 5% perempuan dan 95% laki-laki.
@
Data selanjutnya, pendeta aktif GKPB sampai pertengahan tahun 2013 berjumlah
lima puluh dua orang, laki-laki tiga puluh delapan dan perempuan empat belas orang.
Peningkatan jumlah perempuan pendeta terlihat pada jumlah vikaris perempuan yang lebih
banyak dari laki-laki. Vikaris yang diterima di akhir tahun 2012 berjumlah sebelas orang,
enam diantaranya perempuan, lima laki-laki. Di tahun 2010 dan 2012, GKPB menahbiskan
sebelas orang vikaris ke dalam jabatan pendeta, tiga laki-laki dan delapan perempuan.21
Total pendeta aktif dan vikaris sampai dengan awal tahun 2013 berjumlah enam puluh tiga
sehingga keputusan ini cukup positif karena dari sisi bisnis GKPB sangat diuntungkan dengan jumlah kontrakan yang
lebih besar ketimbang dikelolah sendiri.
19
Perempuan pendeta yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah perempuan yang berjabatan sebagai seorang pendeta
di GKPB. Pengalamannya sebagai seorang perempuan dan sekaligus sebagai seorang pendeta menjadi aspek penting
dalam kajian ini. Pengalaman perempuan yang dipahami di sini ialah pengalaman yang muncul pada saat perempuan
menyadari pengalaman menyesatkan dan pengasingan yang dipaksakan kepada mereka oleh kebudayaan yang
didominasi oleh laki-laki, Lihat Rosemary R. Ruether, ‘Penafsiran Feminis-Suatu Metode Korelasi’, dalam (editor).
Letty M. Russel, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 123.
20
Deplitdakom, GKPB, Profil Pendeta dan Vikaris, (Bali: Percetakan GKPB, 2012), h 6-31.
21
Ibid, h. 26-56.
4
orang; dua puluh perempuan atau 32% dan empat puluh tiga laki-laki atau 68%. Kemudian
di awal bulan Maret 2014, jumlah vikaris sebelas orang, laki-laki empat orang, perempuan
tujuh orang. Jumlah pendeta aktif lima puluh tiga orang, laki-laki empat puluh orang,
perempuan tiga belas orang. Dengan demikian, total pendeta aktif dan calon pendeta/vikaris
GKPB per Maret 2014 adalah enam puluh empat orang, laki-laki empat puluh empat,
sedangkan perempuan berjumlah dua puluh orang (atau laki-laki 68%, perempuan 32%).22
Data di atas menunjukkan peningkatan jumlah perempuan pendeta yang signifikan.
Mungkin saja realita tersebut merupakan aplikasi dari keputusan Sidang Raya PGI23, atau
hasil dari upaya-upaya yang dilakukan GKPB, atau ada hal-hal pendukung lainnya. Namun
demikian harus diakui bahwa secara kuantitatif belum menunjukkan keseimbangan (jika
W
D
melihat data jumlah anggota jemaat GKPB sampai dengan pertengahan tahun 2014, menurut
Made Kertiyana, kepala bidang administrasi dan kepegawaian GKPB, di mana anggota
GKPB perempuan lebih banyak dari laki-laki, yaitu 6561 berbanding 6253). Penulis melihat
hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Selanjutnya, penulis memperlihatkan data para
pemimpin, posisi perempuan pendeta pada jabatan strategis sinode GKPB dalam beberapa
K
U
periode pelayanan GKPB.
1.4. Data Para Pemimpin, Posisi Perempuan Pendeta Di Jabatan Strategis Sinode GKPB
Data yang dicatat dalam buku Profil Pendeta dan Vikaris GKPB sampai tahun 2012
@
sebagai berikut: jabatan Ketua Sinode dari periode pertama tahun 1948-1952 sampai dengan
periode tahun 2012-2016, berjumlah sembilan orang, semuanya laki-laki. Jabatan Sekretaris
Umum dan Bendahara (bendahara dari kalangan pendeta maupun non pendeta) semuanya
laki-laki. Anggota MSL periode 2008-2012, berjumlah tiga puluh dua orang24; laki-laki dua
puluh sembilan dan hanya tiga orang perempuan (dua orang non pendeta dan satu orang
pendeta), sehingga hanya ada satu perempuan pendeta yang menduduki jabatan strategis saat
itu, sama seperti periode-periode sebelumnya. Pada periode terakhir, 2012-2016, dari tiga
puluh satu anggota MSL (ada pengurangan satu departemen), hanya satu perempuan, non
22
Data yang penulis terima dari Kepala Administrasi Umum dan Kepegawaian kantor Sinode GKPB, Made Kertiyana,
tertanggal 5 Maret 2014.
23
Seperti Sidang Raya PGI di Surabaya pada bulan Oktober tahun 1989 telah disarankan 30% jabatan-jabatan gerejawi
harus diduduki oleh perempuan. Lihat, Anne Hommes, Perubahan peran pria & wanita dalam gereja & masyarakat,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.124.
24
Data Anggota MSL: MSH 3 orang (semuanya laki-laki), MS 8 orang (hanya 1 perempuan non pendeta), MP orang
(semua laki-laki), BPP 3 orang (1 perempuan non pendeta), Utusan atau Ketua Wilayah 8 orang (1 perempuan pendeta),
dan Staf MSH atau Kepala Departemen/Lembaga 7 orang (semua laki-laki).
5
pendeta yang terpilih. Data ini menegaskan bahwa pada periode 2012-2016 tidak ada
satupun perempuan pendeta yang menduduki jabatan strategis sinode GKPB. Kenyataan ini
dikomentari oleh beberapa perempuan pendeta GKPB, salah satunya ibu pendeta Triasih
Widhyati (biasa dipanggil ibu Wid).
Menurut ibu Wid, “kenyataan di atas disebabkan gereja-gereja di GKPB yang
diwakili oleh majelis jemaat/presbiter, mengusulkan sedikit sekali nama perempuan pendeta
sebagai bakal calon anggota MSL kepada panitia verifikasi untuk kemudian dipilih oleh
peserta sidang sinode.25 Buktinya hanya ada satu perempuan pendeta yang diusulkan oleh
beberapa gereja sebagai calon sekretaris umum yakni saya sendiri (ibu Wid 26), dan
‘bersaing’ dengan lima orang pendeta laki-laki”, demikian tutur beliau.27 Pendeta Wid
W
D
hanya mendapat 29 suara dari 202 surat suara sebagai posisi ke-dua, sedangkan suara
terbanyak menjadi milik pendeta laki-laki dengan 107 suara.28 Komentar ini senada dengan
pengalaman penulis, pada saat rapat dengan majelis jemaat di salah satu jemaat GKPB untuk
mengirimkan bakal calon anggota MSL pada bulan Mei 2008. Ketika penulis (dalam
kapasitas sebagai pendeta, ketua majelis jemaat) mengusulkan salah satu nama perempuan
K
U
pendeta, respon dari seorang majelis laki-laki sangat mengagetkan. Majelis tersebut
mengatakan:“mengapa perempuan pendeta yang dicalonkan? Selama ini tidak pernah
perempuan menjadi anggota MSL, apalagi jabatan ketua, itu tidak biasa”.29
Berdasarkan komentar yang disampaikan oleh pendeta Wid serta pengalaman
penulis, dapatlah disimpulkan bahwa GKPB dalam hal ini para mejelis jemaat/presbiter
@
belum bisa mempercayakan posisi jabatan strategis sinode kepada perempuan pendeta
karena selama ini, dalam sejarah perjalanan sinode gereja, hal itu tidak/belum terjadi.
Tentunya ada alasan-alasan di balik itu. Namun kondisi ini bisa dinalisa bahwa jabatan yang
diterima tanpa sebuah kompetisi atau pemilihan/suara sangat mungkin bagi perempuan,
buktinya jabatan pendeta (satu-satunya jabatan gerejawi yang tidak dipilih) cukup banyak
diemban oleh perempuan, dan cenderung meningkat tahun-tahun terakhir ini di GKPB.
25
Panitia verifikasi dibentuk oleh MSH yang bertugas untuk menampung dan memverifikasi usulan bakal calon dari
masing-masing jemaat. Lihat, Peraturan GKPB Nomor 08, Pasal 2, tertanggal 3 Agustus 2007, dalam PeraturanPeraturan GKPB, (Bali: Percetakan GKPB, 2007), h. 25.
26
Pdt. Ibu Wid adalah perempuan ke tiga yang ditahbiskan oleh GKPB pada tahun 1985. Karirnya, usia dan
pengalaman menjabat di departemen dan lembaga GKPB sangat banyak. Beberapa kali ia ditugaskan oleh GKPB ke
luar negeri, seperti gereja Baden di Jerman sebagai mitra GKPB selama 5 tahun, dari tahun 1992-1997.
27
Wawancara penulis dengan ibu pendeta Wid pada tanggal 11 Juli 2012, di Mengwi Bali, pukul 13.00 WITA.
28
MSH GKPB, Notulen Sinode ke-43 GKPB, 2012, h.72.
29
Konteks GKPB berbeda dengan beberapa gereja yang sudah dipimpin oleh perempuan atau gereja tertentu yang
memberi kuota bagi perempuan. Misalnya Gereja Protestan Maluku, dalam tata gerejanya memberikan kuota 40% bagi
perempuan, baik di tingkat Majelis Jemaat, Klasis bahkan Sinodal. Hal ini disampaikan oleh salah seorang pendeta
GPM yang sementara studi S-2 Teologi UKDW saat ini (Angkatan 2012).
6
Sedang jabatan MSL atau jabatan strategis sinode, menjadi sulit bagi perempuan karena
dipilih. Analisa ini bisa keliru, namun sangat mungkin terjadi dalam tatanan budaya
patriarkal di Bali di mana posisi pemimpin ada di tangan laki-laki. Sebelum penulis
memaparkan hal itu lebih mendalam (dengan berbagai alasan-alasan lain yang terkait
dengannya), terlebih dahulu menjelaskan tentang gaya kepemimpinan di jabatan strategis
sinode GKPB berdasarkan pengamatan penulis. Paparan singkat ini bertujuan untuk melihat
kekurangan-kekurangan sebagai sebuah realita yang sangat mungkin terjadi.
1.5. Gaya Kepemimpinan Pada Jabatan Strategis Sinode GKPB
W
D
Sebagaimana penulis uraikan di awal, jabatan strategis di sinode memiliki wewenang
yang cukup besar sebagaimana diatur dalam tata gereja. Jabatan yang secara tersirat
diberikan kepada laki-laki maupun perempuan, namun faktanya didominasi oleh pendeta
laki-laki. Dengan demikian, gaya kepemimpinan maskulin menjadi dominan. Hal itu telihat
dari sifat otoriter (salah satu sifat maskulin) yang muncul dalam menanggapi beberapa
K
U
persoalan di GKPB. Salah satu persoalan yang telah penulis kemukakan di atas ialah
keputusan MSL merubah hasil sidang sinode ke-43 (Juli 2012) tentang pengelolaan hotel
Dhyana Pura. Hal tersebut bukanlah wewenang MSL, sehingga menunjukkan gaya otoriter
yang ditunjukan oleh kepemimpinan laki-laki. Sifat maskulin yang lain ialah agresif yang
ditunjukan oleh laki-laki (khususnya para pendeta). Hal ini sangat terlihat ketika memasuki
@
masa pencalonan anggota MSL dimana pendeta laki-laki berusaha mencari dukungan
suara/massa dengan berbagai cara dan hal itu tidak dilakukan oleh perempuan pendeta.30
Kedua hal ini paling tidak memperlihatkan sifat maskulin yang mempengaruhi gaya
kepemimpinan laki-laki sebagai pihak yang dominan di jabatan strategis sinode GKPB
sampai saat ini. Hal itu tentu berbeda dengan gaya kepemimpinan perempuan yang
dipengaruhi oleh sifat feminin, yakni cenderung tidak otoriter, tidak ambisius, tidak
dominan, tidak/kurang agresif, suka berjejaring, dan senang sharing/berbagi.31 Dengan
demikian, di satu sisi, karena gaya maskulin menjadi dominan maka perempuan (pendeta)
tidak senang/suka, sehingga sangat mungkin mereka menolak untuk dicalonkan. Di sisi lain,
karena konteks seperti itu, justru perempuan merasa nyaman untuk dipimpin oleh laki-laki
sehingga tidak akan ada upaya untuk bisa duduk di jabatan strategis, jabatan yang
30
Cara yang dilakukan oleh pendeta laki-laki tidak salah, apalagi dalam konteks sebuah kompetisi. Namun
kenyataannya cara yang dipakai tersebut sering menimbulkan kelompok atau pengkotak-kotakan di lingkungan GKPB.
31
http://www-psikoterapis.com/?en-apakah-maskulin-dan-feminin-itu, (diakses tanggal 20 September 2014, pukul
07.30 WIB).
7
dikompetisikan itu. Itu artinya kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode GKPB
menjadi sesuatu yang sulit diraih oleh perempuan pendeta, berbeda dengan jabatan pendeta
di jemaat-jemaat.
Dari semua realita di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada satu sisi ada
ruang dan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi pendeta, namun sepertinya tidak atau
belum untuk jabatan-jabatan strategis sinode GKPB. Mungkin pertanyaan yang muncul soal
kualitas, jika indikatornya pada tingkat pendidikan32, sesungguhnya tidak jauh berbeda.
Banyak perempuan pendeta GKPB yang telah mendapatkan
gelar S2 (master teologi,
sebanyak 5 orang) dan studi S3 (studi doktoral, 1 orang) tidak jauh berbeda dengan pendeta
laki-laki. Kalau demikian, mungkinkah ada persoalan lain seperti budaya, agama atau
persoalan gender33 atau sebab-sebab lain termasuk dari dalam diri perempuan pendeta itu
W
D
sendiri (kurang percaya diri, tidak berani, dan lain-lain).
1.6. Persoalan Gender, Ajaran Agama & Budaya Patriarkal
K
U
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Gender adalah bagaimana cara
memandang, menilai dan menentukan sikap baik laki-laki maupun perempuan dalam
masyarakat dan kebudayaan. Menurut Mansour Fakih, perbedaan gender tidaklah menjadi
masalah
sepanjang
tidak
@
melahirkan
ketidakadilan
(gender
inequalities)
namun
kenyataannya terjadi berbagai ketidakadilan baik kepada laki-laki terutama perempuan.34
Salah satu manifestasi dari ketidakadilan gender ialah stereotipe yang kemudian
menstigmatisasi posisi perempuan (istri) oleh masyarakat sebagai ‘pelayan suami’, ‘pekerja
domestik’. Pada akhirnya peraturan pemerintah, aturan keagamaan, budaya dikembangkan
karena stereotipe ini. Kenyataan ini secara tidak sadar dijalankan oleh budaya patriarki,
yakni ideologi kelelakian.35 Pertentangan terhadap pembagian peran perempuan dalam
ruang publik (gereja maupun masyarakat) dan ruang domestik, pada dasarnya mengacu pada
32
Salah satu indikator tentang kualitas manusia adalah tingkat pendidikan yang diperolehnya. Kalau dulu banyak
perempuan Indonesia yang buta huruf karena tidak diberi kesempatan untuk sekolah, maka wajar kalau mereka sulit
mendapat kesempatan menjadi pemimpin. Tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Namun masih ada anggapan bahwa,
keterlibatan perempuan sering dipahami sebagai yang negatif, yaitu persaingan dengan laki-laki. Lihat Mely G. Tan,
Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan?, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), h. xi, 19.
33
Menurut Banawiratma, salah satu indikator ketidakadilan gender adalah adanya dominasi dan subordinasi, adanya
pembakuaan ciri gender. Lihat, J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, Menuju pemberdayaan Kaum
Miskin, dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkunan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 61.
34
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 8, 12.
35
Ibid, h. 13, 17, 74, 128, 149, 151.
8
ideologi gender yang berakar pada budaya patriarki.36 Beberapa teks dan tradisi gereja
sering digunakan untuk mendukung pemapanan atau status quo budaya, termasuk misalnya
tema-tema (dalam PB) yang berkata bahwa perempuan harus tutup mulut dalam gereja, bdn.
I Kor 14; I Tim 2.37 Walaupun demikian ada teks dan penafsiran lain yang menunjukan
kesetaraan laki-laki dan perempuan misalnya tafsiran Emanuel Gerrit Singgih terhadap
Kejadian 2:18 yang menyimpulkan bahwa perempuan diciptakan oleh Allah untuk menjadi
yang setara dengan laki-laki.38
Kemudian, dalam masyarakat patriarki, laki-laki sering berkuasa atas semua anggota
masyarakat yang lain (perempuan) dan mempertahankan kuasa sebagai milik yang ”sah”. 39
Pandangan androsentris (andros=laki-laki dan sentris=berhubungan dengan inti) kemudian
menentukan budaya, yakni segala peristiwa dilihat dari sudut pandang laki-laki.40 Menurut
W
D
Luh Debora Murthy (salah satu Sekretaris Bidang yang mengurusi soal Perlindungan
Perempuan dan Anak di GKPB) hal ini menjadi sumber ketidakadilan bagi perempuan di
Bali seperti diskriminasi di dalam keluarga, tempat kerja, masyarakat, pemerintah dan
peradilan bahkan di tempat ibadah yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi kaum
K
U
perempuan karena dinilai tidak sanggup dalam hal memimpin.41 Walaupun demikian,
perempuan Bali (khususnya dalam masyarakat Hindu) telah memerankan peran yang sangat
penting seperti dalam ranah keagamaan sebagai seorang rohaniawati yang dikenal dengan
istilah pedande istri42 dan pada jabatan-jabatan kepemerintahan.43
Berdasarkan pengamatan, pengalaman penulis di Bali dan di GKPB, perempuan Bali
@
sudah mampu meraih posisi-posisi kepemimpinan. Hal itu terlihat di kantor-kantor
pemerintahan, swasta, dunia pendidikan, perusahaan-perusahaan khususnya di bidang
pariwisata yang banyak di Bali. Namun untuk di lingkup pemerintahan Adat, perempuan
36
Margaretha M. Ririmasse, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian-Sebuah refleksi telogis feminis, (Jakarta:
Yakoma-PGI, PERSETIA, Departemen Perempuan dan Anak, Mission 21, 2009), h. 23.
37
Katherina Doob Sakenfeld, “Beberapa Pendekatan Feminis Terhadap Kitab Suci”, dalam Letty M. Russel (editor)
Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 53.
38
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Eden ke Babel, Sebuah Tafsir Kejadian 1-11, (Jogyakarta: Kanisius, 2011), h. 93.
39
Menurut Julia Cleves Mosse, patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting
dalam masyarakat dan pemerintah, baik sebagai militer, pendidik, pemimpin industry, bisnismen, dan pemimpinpemimpin agama. Lihat, Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Centre
dan Pustaka Pelajar, 1996), h. 65.
40
Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), h. 8-9.
41
Luh Debora Murthy, “GKPB dalam Gender dan Kekerasan di Bali”, dalam K. Suyaga Ayub, Gereja Yang Hidup,
kumpulan refleksi hamba-hamba Tuhan, (Bali: Percetakan GKPB, 2004), h. 196.
42
Ketut Wiana, Tjok Raka Krisna, Kade Sindhu, Acara III, (Jakarta: Mayasari, 1985), h. 34.
43
Salah satu bukti ialah Bupati kabupaten Tabanan-Bali saat ini adalah seorang perempuan, selain itu dalam
kepengurusan PHDI (Parisade Hindu Dharma Indonesia) Bali saat ini bahwa perempuan telah menduduki jabatanjabatan tinggi, hasil wawancara dengan pendeta Triasih Widhyati (ibu Wid), tanggal 11 Juli 2013, di Mengwi, Bali
pukul 14.00-15.00.
9
tidak diberikan kesempatan untuk memimpin. Hal serupa terlihat di bidang keagamaan,
yang pada umumnya diemban oleh kaum laki-laki. Pengaruh budaya patriarkal sangat kuat
mempengaruhi hal tersebut, pemimpin dominan laki-laki, kemudian menjadi sesuatu yang
membudaya, sehingga perempuan merasa nyaman, menjadi pasif, tidak merasa
penting/perlu untuk menduduki kursi kepemimpinan yang sangat mungkin diraihnya.
Menurut penulis hal itu menjadi salah satu kendala dari dalam diri perempuan di Bali,
termasuk di dalam Gereja/GKPB. Penulis memiliki beberapa pengalaman di jemaat, di mana
ketika ada pencalonan majelis jemaat, atau panitia tertentu, banyak perempuan yang
menolak diri kemudian mempercayakan kesempatan itu kepada laki-laki dalam hal ini suami
atau saudara laki-laki mereka. Kondisi ini menurut penulis menjadi kompleks bagi
W
D
kepemimpinan perempuan di jabatan strategis sinode walaupun kemajuan dari sisi kuantitas
perempuan pendeta sedang terjadi saat ini di GKPB.
Paparan singkat di atas menunjukkan bahwa pada umumnya kaum perempuan,
(termasuk di Bali/GKPB) khususnya di ranah keagamaan, sangat ditentukan oleh budaya
dan agama (teologi dan penafsiran atas Kitab Suci). Budaya patriarki yang dianut
K
U
masyarakat Bali, dan beberapa teologi gereja/GKPB serta interpretasi jemaat atas beberapa
teks Kitab Suci yang patriarki, mengakibatkan posisi dan peran perempuan menjadi tidak
setara dengan laki-laki. Kepemimpinan, khususnya pada jabatan strategis sinode menjadi
dominan laki-laki dengan gaya maskulin. Hal ini tentu melahirkan ketidakadilan gender di
dalam gereja sebagaimana yang ditegaskan oleh Singgih. Menurut Singgih, ketidakadilan
@
gender menjadi salah satu konteks di Indonesia, termasuk di dalam gereja.44 Menyadari
konteks tersebut, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh gereja, salah satunya oleh
aliran feminis termasuk para teolog feminis, dan oleh GKPB.
1.7. Kesetaran Gender; Gerakan Feminis, Teologi Feminis, & Upaya GKPB
Menurut Maria Josephine Mantik45 (dosen dan ketua program studi, fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia) dalam bukunya Mengapa perempuan
44
Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 58. Istilah ‘konteks’
yang diapakai oleh Singgih memiliki konotasi ‘masalah’. Karena itu hal yang penting dan yang pertama adalah ‘sadar
akan konteks’ tersebut. Sadar bahwa ada terjadi kediakadilan gender di sekitar kita.
45
Maria Josephine Mantik menulis disertasi dengan judul Kepemimpinan Perempuan Pendeta (Studi Eksplanatori dan
Konfirmatori di GPIB pada Musyawarah Pelayanan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta). Saat ini ia aktif sebagai dosen
tetap dan ketua program studi Indonesia, fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya di Universitas Indonesia. Menjadi
pengajar di Universitas Pelita Harapan, Harvest International Theological Seminary, Program Pascasarjana dan Tim
pengajar Applied Approach (AA) Universitas Kristen Papua. Lihat Maria J. Mantik, Mengapa perempuan dipersulit
menjadi pemimpin?, (Jakarta: Grasindo, 2012), h. 193-194.
10
dipersulit menjadi pemimpin? mengatakan bahwa masalah kesetaran dan keadilan gender
tidak dapat dipisahkan dari proses perjuangan hak-hak asasi manusia. Pada tahap awal, hakhak asasi manusia hanya menekankan pentingnya perlindungan tehadap hak-hak individu
setiap warga Negara dalam hidup berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Titik perhatian
tahap pertama lebih kepada hak-hak politik, yang selanjutnya sesuai dengan perkembangan
zaman meliputi hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya seseorang. Pelaksanaan hak-hak asasi
inilah yang memberikan aspirasi bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak
reproduksi sebagai suatu proses aktualisasi dari perempuan dalam mengatasi kepincangan
dan ketidakadilan perlakuaan terhadap laki-laki dan perempuan.46
Mantik menegaskan, ketidakadilan yang dirasakan sebagai diskriminasi yang
W
D
menempatkan perempuan di bawah laki-laki justru memacu perempuan untuk berjuang
memperbaiki status, peran, dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa
penolakan terhadap masuknya perempuan dalam profesi dan pekerjaan lebih diajukan
karena dia seorang perempuan, bukan karena kemampuannya. Kondisi semacam itu terjadi
karena adanya citra baku (stereotipe) mengenai perempuan dan laki-laki, di mana
K
U
masyarakat menempatkan perempuan lebih banyak pada peran reproduktif dalam sektor
domestik dan laki-laki bekerja di sektor publik yang produktif untuk menopang ekonomi
rumah tangga. Karena pembakuan peran itulah laki-laki lebih diutamakan untuk
memperoleh pendidikan dan ketrampilan dibandingkan perempuan.47
Hal senada disampaikan oleh Anne
@
M. Clifford (dalam konteks di Eropa dan
Amerika), yang masih menekankan bahwa budaya patriarki telah sekian lama membatasi
kemampuan masyarakat untuk mendayagunakan berbagai talenta kaum perempuan. Dalam
konteks ini kemudian melahirkan gerakan kaum feminis. Misalnya aliran feminis liberal
dengan ciri khas yang menekankan pada kesetaraan sosial, khususnya untuk mencapai
kesetaraan hak-hak ekonomi dan politik bagi kaum perempuan. Apa yang dikemukakan oleh
Clifford, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama gerekan/aliran feminis adalah bagaimana
memajukan kesetaran semua pribadi, laki-laki dan perempuan.48
46
Ibid, h. 100-101.
Ibid, h. 101.
48
Di Amerika Serikat, feminisme liberal merupakan bentuk feminisme yang paling umum. Ia tampil pada gelombang
pertama feminisme dalam gerakan menuntut hak pilih bagi kaum perempuan pada pertengahan abad ke-19 hingga awal
abad ke-20. Sambil setia kepada akar-akarnya pada politik liberal abad ke-19, ia memusatkan perhatian pada ilhwal
mengamankan hak-hak perorangan serta memajukan kesetaraan semua pribadi. Sejak tahun 1960-an, perjuangan demi
kesetaraan yang penuh itu nyata dalam beragam cara, termasuk pengesahan perundang-undangan yang menjamin upah
yang adil bagi kaum perempuan serta memperoleh peluang yang sama bagi kaum ini dalam peran-peran kepemimpinan
yang secara tradisional tertutup bagi mereka, seperti memegang jabatan politik, menjadi CEO dari sebuah pabrik
raksasa, atau rektor sebuah universitas besar. Feminisme liberal jaga menekankan kebebasan individual kaum
perempuan. Feminisme liberal mengkampanyekan hak-hak kaum perempuan untuk mengambil keputusan sendiri atas
47
11
Letty M. Russell dengan bahasa sederhana mengatakan bahwa feminis adalah suatu
kata yang bernuansa advokasi/pembelaan. Hal ini tidak bermaksud melawan laki-laki, tapi
lebih kepada kebutuhan kaum perempuan, dan tanpa mengubah kehidupan bersama antara
perempuan dan laki-laki. Walaupun demikian, feminisme memiliki banyak bentuk yang
berbeda dan diekspresikan dengan banyak cara. Mengenai teologi feminis, Russell
menjelaskan, dasarnya ialah bagaimana mempresentasikan suatu pencarian kebebasan dari
semua bentuk dehumanisasi dalam hal ras, kelas, seks, orientasi seksual, kemampuan, dan
umur. Ini berarti bahwa laki-laki dapat juga menjadi feminis jika ia tergerak untuk
memperjuangkan perempuan.49 Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought,
pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, menyimpulkan
W
D
bahwa lahirnya aliran feminis sangat dilatarbelakangi oleh persoalan patriarki, kapitalisme,
dan penyebab-penyebab lainnya.50 Persoalan-persoalan tersebut menindas kaum perempuan
di berbagai tempat dan masa. Tong menegaskan bahwa opresi atau penindasan terhadap
perempuan berakar pada struktur politik maupun ekonomi masyarakat, atau pada hubungan,
peran, dan praktek reproduksi dan seksual manusia.51
K
U
Menyadari akan budaya patriarkal yang masih kuat di Bali, GKPB melakukan
beberapa hal terkait dengan kesetaraan gender di lingkup GKPB. Penulis melihat hal itu
dalam bentuk seminar-seminar yang dilakukan departemen Pembinaan Warga Geraja,
Persekutuan Kaum Ibu, baik di tingkat sinodal, wilayah, maupun di jemaat-jemaat. Upaya
tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi posisi dan peran perempuan
@
GKPB di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat. Namun kenyataannya, sampai saat ini
upaya tersebut belum menunjukan sebuah perkembangan terkait dengan kepemimpinan di
sinode. Itu artinya, pengaruh budaya patriarkal masih cukup kuat di GKPB, disamping halhal lain yang tidak mendukung. Penulis melihat bahwa jabatan startegis sinode sebagai
jabatan yang dikompetitif menjadi sangat sulit bagi perempuan pendeta dalam konteks yang
demikian.
Dengan demikian, kepemimpinan pada jabatan strategis sinode GKPB menjadi
dominan laki-laki (dengan gaya maskulin yang cenderung otoriter, agresif), menunjukkan
sebuah konteks ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan pendeta di GKPB. Menyikapi
hasil ihwal yang bertalian dengan kesehatan seksual dan reproduksinya. Lihat Anne M. Clifford, Memperkenalkan
Teologi Feminis, (Maumere: Ledalero, 2002), h. 37-39.
49
Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, (Louisville, Kentucky:
Westmister/John Knox Press, 2003), h. 22.
50
Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6.
51
Ibid, h. 188.
12
pergumulan tersebut, maka salah satu pandangan yang menurut penulis perlu
dipertimbangkan adalah kepemimpian feminis, sebuah gaya kepemimpinan perempuan yang
adil gender (menghargai kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan memungkinkan adanya
kerjasama/mutualitas) dari kaum feminis yakni: Letty M. Russell, yang didukung oleh
Elizabeth F. Fiorenza, Anne Hommes, dll. Pokok tersebut menjadi landasan teori bagi
penulisan ini, sebagaimana diringkaskan seperti berikut.
1.8. Mempertimbangkan Kepemimpinan Feminis Menurut Kaum Feminis
1.8.1. Ekklesiologi Feminis
W
D
Penulis memilih pandangan kaum feminis yakni Russell52 dan teman-teman karena
pandangan ini menunjukkan bagaimana kepemimpinan feminis menawarkan gaya/model
kepemimpinan yang menghargai kesetaraan, dan menentang adanya dominasi dari pihak
tertentu. Russell memulai pandangan ini dengan menyajikan konsep ekklesiologi
K
U
feminis yang menekankan soal hubungan mereka yang ada di dalam komunitas
iman/gereja tersebut, kemudian menjalin hubungan yang lebih luas (lintas agama,
budaya, ras, kelas, gender, dan orientasi seksual) sehingga gereja dan dunia menjadi
terhubung dalam satu lingkaran.53 Penulis memahami hal ini sebagai upaya (kaum
feminis) untuk merespon tatanan budaya di mana ada pihak yang termarjinalkan karena
@
hal-hal tertentu oleh pihak lain. Oleh sebab itu, dengan menjalin hubungan yang besar
dan kuat, persoalan tersebut dapat diatasi.
1.8.2. Kepemimpinan “Meja Bundar” sebagai Model & Prinsip Kepemimpinan Feminis
Dalam konteks GKPB seperti di atas, penulis memandang pentingnya sebuah
gaya/model kepemimpinan feminis. Kaum feminis menggambarkan hal itu dengan
metafora “meja bundar” untuk menjelaskan sebuah gaya/model kepemimpinan duduk
melingkari meja, tanda kesetaraan (laki-laki dan perempuan). Metafora “meja bundar”
52
Letty M. Russell menjadi guru besar di bidang Teologi Praktika di sekolah teologi Yale setelah ditahbiskan menjadi
pendeta pada tahun 1958 oleh Gereja Presbiterian USA. Ia aktif di komisi Faith and Order Dewan Gereja Nasional dan
Dewan Gereja Dunia, menulis banyak buku, seperti The Future of Patrnership, Growth in Patnership dan Becoming
Human, dan lain-lain. Lihat Letty M. Russell, “Daftar para penulis”, dalam Letty M. Russell (ed), Perempuan & Tafsir
Kitab Suci, h. 153, 182.
53
Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 18,19.
13
(meja makan dengan kaki maupun di lantai, seperti budaya megibung54 di Bali)
mengisyaratkan kebebasan dan inklusivitas dalam kepemimpinan, dalam komunitas
iman/gereja.55 Perspektif ini mengindikasikan sebuah gaya/model kepemimpinan di
mana otoritas dibagikan dalam komunitas sehingga memungkinkan adanya kerja sama
(relasi dan mutualitas). Penulis meyakini prinsip mutualitas yang dimunculkan oleh
kepemimpinan “meja bundar” adalah implikasi dari pandangan tentang kesetaraan lakilaki dan perempuan sebagai manusia yang utuh, sebagaimana tujuan (utama) dari kaum
feminis. Hal tersebut menjadi penegasan dari Russell, karena itu seorang pemimpin
feminis haruslah menjadi pemimpin yang menginspirasi orang lain, khususnya mereka
yang terpinggirkan dalam gereja dan masyarakat (karena ras, kelas, seks, dan lain-lain),
untuk menjadi pemimpin.56 Kepemimpinan “meja bundar”, sebuah metafora dari
W
D
kepemimpinan feminis menjadi konsep bagi kepemimpinan yang adil gender,
kepemimpinan dalam komunitas yang menentang adanya dominasi dari pihak manapun
(sebagaimana hakekat dari ekklesiologi feminis, seperti di atas).
Dalam konteks kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode GKPB, di mana
K
U
perempuan pendeta sulit meraihnya dengan alasan budaya patriarkal dan kendalakendala lainnya, maka pandangan kepemimpinan feminis (dari kaum feminis) menjadi
suatu model kepemimpinan yang relevan dan kontekstual di GKPB. Pandangan
kepemimpinan tersebut menyajikan sebuah konsep dari gaya/model kepemimpinan yang
setara, antara laki-laki dan perempuan. Itu artinya bagi mereka (dalam hal ini
@
perempuan pendeta) yang selama ini terpinggirkan dalam jabatan strategis sinode
GKPB, maka gaya/model kepemimpinan feminis (didukung oleh ekklesiologi feminis),
sangat memungkinkan mereka untuk meraih jabatan tersebut, demi sebuah kemajuan
bersama dalam hal ini di lingkungan gereja, khususnya di GKPB.57
54
Megibung adalah budaya makan bersama dalam acara-acara besar di Bali, dan perayaan ulang tahun gereja di GKPB.
Pokok ini akan dibahas di bab III.
55
Metafora ini banyak dipakai oleh para teolog gereja, kaum feminis, dan para pendidik Kristen di dalam gereja dalam
menyikapi konteks kemajemukan yang sering melahirkan diskriminasi baik ras, kelas, seks, maupun gender.
56
Ibid, h. 57.
57
Menurut Asnath Natar, posisi kepemimpinan perlu dijabat oleh perempuan bukan untuk meperjuangkan kepentingan
perempuan melaikan kepentingan bersama, laki-laki dan perempuan (khususnya mereka yang menjadi korban
ketidakadilan gender). Lihat, Asnath Niwa Natar, “Apa kata laki-laki tentang perempuan dan gerakan mereka, suatu
tanggapan terhadap pandangan E. G. Singgih”, dalam Victorius Hamel dkk., Gerrit Singgih Sang Guru dari Labuan
Baji, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm.198. Dalam tema yang sama, Fiorenza mengatakan bahwa, kekehadiran
perempuan di dalam kepemimpinan gereja bisa terjadi karena mereka didukung oleh kualitas, dalam hal ini karuniakarunia Roh. Lihat, Elizabeth Schussler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Rekonstruksi Teologis Feminis
tentang asal-usul Kekristetan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. xlvi-xlvii. Itu artinya, tidak ada alasan untuk
tidak memberikan jabatan strategis di sinode GKPB bagi perempuan pendeta.
14
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis ingin menggali lebih dalam
bagaimana pandangan kaum feminis tentang kepemimpinan feminis (sebuah gaya/model
kepemimpinan perempuan yang adil gender) dapat menjadi landasan bagi pengembangan
kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB.
3. Pertanyaan Penelitian
Penulis memunculkan pertanyaan utama yaitu: mengapa perempuan pendeta sulit
W
D
meraih/menduduki posisi jabatan strategis sinode GKPB?
Untuk meneliti lebih jauh, penulis merumuskan beberapa sub pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
3.1. Bagaimana pengaruh budaya patriarkal, interpretasi/penafsiran Kitab Suci dan teologi
GKPB terhadap kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB?
3.2. Apakah
upaya
K
U
GKPB
(sacara
sinodal)
tentang kesetaraan
gender
mendukung
kepemimpinan perempuan pendeta di jemaat dan di jabatan strategis sinode GKPB?
3.3. Apa saja yang dilakukan perempuan pendeta agar mereka dapat menduduki jabatan
strategis sinode GKPB?
3.4. Apa kelebihan yang dimiliki perempuan pendeta bagi sebuah gaya/model kepemimpinan
@
pada jabatan strategis sinode GKPB?
3.5. Apa respon narasumber terhadap kepemimpinan perempuan pendeta di jemaat, serta usulan
dan rekomendasinya dalam kaitan dengan kepemimpinan di jabatan strategis sinode?
3.6. Bagaimana gaya/model kepemimpinan yang adil gender dari kaum feminis menjadi dasar
atau acuan bagi keterlibatan perempuan pendeta di jabatan strategis sinode GKPB?
4. Tujuan Penelitian
Bertolak dari pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian adalah:
4.1. Mengetahui sejauh mana pengaruh budaya patriarkal, interpretasi/penafsiran Kitab Suci dan
teologi GKPB, untuk kemudian dianalisa dalam rangka mencari solusi sehingga perempuan
pendeta bisa duduk di jabatan strategis sinode GKPB.
4.2. Mengevaluasi upaya kesetaraan gender yang dilakukan GKPB secara sinodal agar lebih
efektif dalam memberikan dukungan bagi kepemimpinan perempuan pendeta di GKPB.
15
4.3. Mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan perempuan pendeta untuk melawan kendalakendala dari dalam maupun dari luar, agar bisa menduduki jabatan strategis di sinode
GKPB.
4.4. Mengenal dan memahami kelebihan atau keunikan yang dimiliki perempuan pendeta
GKPB untuk dapat berkontribusi bagi gaya/model kepemimpinan pada jabatan strategis
sinode.
4.5. Mengetahui apa dan bagaimana respon GKPB (narasumber), usulan atau rekomendasi
mereka terkait dengan kepemimpinan perempuan pendeta di jabatan strategis untuk dapat
dipertimbangkan secara bersama di sinode GKPB.
4.6. Mepertimbangkan dengan bijaksana gaya/model kepemimpinan yang adil gender (dengan
W
D
konsep ekklesiologi feminis yang ramah dengan semua yang ada dalam komunitas) untuk
menjadikannya gaya/model kepemimpinan yang relevan bagi GKPB di jabatan strategis
sinodenya.
5. Manfaat Penelitian
K
U
Penelitian ini bermanfaat untuk:
5.1. Memberikan perspektif kepemimpinan feminis yang adil gender sebagai bagian dari teologi
feminis bagi gereja-gereja dalam memahami kepemimpinan perempuan pendeta pada
jabatan strategis di sinode-sinode gereja.
@
5.2. Memperkaya khazanah teologi kontekstual bagi pengembangan kepemimpinan gereja yang
adil gender.
6. Metodologi Penelitian
Penulis akan menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan induktif.
Dalam pengumpulan data, penulis melakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan studi
lapangan dengan menggali informasi yakni pandangan, pemahaman dan pengalaman dari
para Pendeta dan Majelis jemaat (sebagai representasi GKPB) seputar hal-hal yang
mempengaruhi sehingga perempuan pendeta sulit meraih jabatan strategis sinode GKPB,
kemudian bagaimana kelebihan dan keunikan yang dimiliki perempuan pendeta sebagai
gaya kepemimpinan feminis serta upaya kesetaraan dan keadilan gender yang dilakukan
GKPB memungkinkan perempuan pendeta menduduki jabatan strategis tersebut.
16
Studi lapangan akan penulis lakukan di kantor Sinode GKPB, Jln. Raya Kapal, nomor
20, Mengwi, Badung, Bali dan di beberapa tempat tugas pelayanan para pendeta (gedung
gereja, pastori/rumah pendeta) dan rumah-rumah majelis jemaat, di seputar Bali. Penulis
melakukan penelitian pada bulan Maret sampai April 2014. Unit penelitian adalah para
pendeta dan majelis jemaat GKPB (dengan kriteria sebagaimana dituangkan dalam Desain
Penelitian Lapangan, tentang Unit Penelitian, di Lampiran 2, halaman 1), yang berjumlah
dua puluh (20) orang. Penulis menggunakan metode wawancara, yakni tipe wawancara
terbuka.58 Penulis memilih wawancara perorangan, sehingga lebih bersifat rahasia, dan
diharapkan informan atau narasumber dapat memberikan informasi yang lebih terbuka.59
Kedua, penulis melakukan studi pustaka terkait dengan pokok-pokok tentang pengaruh-
W
D
pengaruh kepemimpinan perempuan di Bali dan kepemimpinan feminis yang adil gender,
sebagai pustaka utama.
Dalam rangka memberi kontribusi bagi konteks kepemimpinan perempuan pendeta pada
jabatan strategis di sinode GKPB, penulis mengkaji kemudian menawarkan pandangan
kepemimpinan feminis (sebuah gaya/model kepemimpinan perempuan yang adil gender)
K
U
dalam komunitas iman, dari kaum feminis yang bisa efektif dan relevan bagi pergumulan di
GKPB (dan banyak gereja di Indonesia maupun di dunia). Kemudian, apa yang ditemukan
penulis setelah menganalisa data lapangan, diangkat dalam rangka memperkaya pandangan
kepemimpinan feminis dari kaum feminis tersebut. Hal ini bermaksud agar pandangan
kepemimpinan feminis dari kaum feminis yang berasal dari Barat/Eropa bisa menjadi
@
relevan dan kontekstual di Asia, khususnya di Indonesia/Bali, dan di tempat-tempat lain dari
belahan dunia.
7. Kerangka Teori
7.1. Jabatan Strategis Sinode GKPB
Sebagai jabatan strategis, dengan tujuan agar GKPB tetap eksis (sesuai dengan Visi,
Misi, dan Tujuan) maka kepemimpinan (dalam hal ini MSL) sangat memegang peran
58
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris, (Jakarta: PT Grasindo, 1997), h. 95-96, 103.
Karena lokasi penelitian merupakan tempat tugas pelayanan penulis, maka pengamatan serta observasi sudah terjadi
sehingga penulis langsung masuk ke tahap wawancara. Menurut Shulamit Reinharz, wawancara terbuka sering
digunakan oleh kaum feminis, untuk mengeksplorasi pandangan orang tentang kenyataan dan memungkinkan peneliti
melahirkan teori. Biasanya peneliti menggunakan bentuk pertanyaan terbuka, untuk meminta responden memberi
jawaban dengan kata-katanya sendiri, lihat Shulamit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial,
(Jakarta: Wowan Research Institute, 2005), h. 21, 392.
59
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris, h. 99.
17
penting. Sebagaimana penulis kemukakan di latar belakang, jabatan strategis sarat dengan
keputusan-keputusan dan kebijakan.60 Pada periode pelayanan 2012-2016, dari 31 anggota
MSL hanya ada 1 perempuan dari kaum profesional (non pendeta). Sisanya laki-laki yang
sebagaian besar berasal dari kalangan pendeta. Konteks GKPB seperti ini mengisyaratkan
bahwa posisi sebagai pendeta bagi kaum perempuan di GKPB adalah sesuatu yang sangat
mungkin. Hal itu terjadi karena jabatan tersebut tidak dipilih (tidak dikompetisikan),
berbeda dengan jabatan strategis sinode GKPB.
Realita ini memungkinkan penulis untuk menegaskan bahwa ada beberapa hal yang
menjadi kendala bagi keterlibatan perempuan pendeta pada kursi kepemimpinan tersebut.
Pertama, alasan budaya patriarki di Bali yang menilai perempuan tidak memiliki
kemampuan dalam kepemimpinan, demikian yang disampaikan oleh Debora Murthy.61
W
D
Kedua, interpretasi teks Alkitab yang memungkinkan posisi subordinasi perempuan di
dalam gereja. Terkait dengan ini, penulis mengutip pendapat Katherina Sakenfeld yang
memahami beberapa teks Kitab Suci, misalnya I Korintus 14: 34 dan 35 yang dapat
merendahkan posisi perempuan di dalam gereja.62 Dalam konteks di GKPB, penulis melihat
K
U
masih banyak teks-teks Kitab Suci lainnya (yang dipengaruhi oleh budaya penulisan yang
patriarkis) tidak menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Margaret A. Farley
mengatakan bahwa posisi dan peran perempuan tidak dihargai bahkan dilupakan.63 Menurut
pengalaman penulis, walaupun sudah cukup banyak perempuan pendeta di GKPB, namun
pemahaman jemaat (di beberapa gereja di GKPB) terhadap pendeta laki-laki dan perempuan
@
masih berbeda. Pendeta laki-laki dianggap lebih berwibawa, tegas, agresif, cepat dalam
bertindak, dan lebih kuat secara fisik. Sedang perempuan pendeta tidak seperti itu.
Pandangan tersebut sangat mungkin dilatarbelakangi oleh teks-teks tertentu, dan salah
satunya bacaan I Korintus 14: 34, 35.
Dari paparan di atas, penulis melihat bahwa persoalan yang dihadapi perempuan
pendeta terkait dengan tidak terwakilkan pada jabatan strategis sinode GKPB, salah satunya
diakibatkan oleh pandangan jemaat tentang posisi dan peran perempuan di dalam gereja dan
masyarakat dalam tatanan agama dan budaya yang patriarkal. Kemudian, sifat yang ada
pada diri perempuan (feminin) kurang mendukung untuk sebuah jabatan kepemimpinan
strategis sinode. Oleh karena itu penulis mempertimbangkan pandangan kepemimpinan
60
Menurut Beyer, posisi dan peran MSL sangat menentukan kebijakan dalam perjalanan bersinode di Bali. Lihat,
Ulrich Beyer, Bali-Fajar Pagi Dunia, Injil dan Gereja di pulau Bali, h. 146.
61
Luh Debora Murthy, “GKPB dalam Gender dan Kekerasan di Bali”, h. 196.
62
Katherina Doob Sakenfeld, “Beberapa Pendekatan Feminis Terhadap Kitab Suci”, h. 53
63
Margaret A. Farley, “Kesadaran Feminis dan Penafsiran Kitab Suci, dalam Perspektif Historis”, dalam Letty M.
Russell (ed), Perempuan & Tafsir Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 43.
18
feminis dengan ekklesiologi feminisnya yang bisa menghadirkan sebuah kepemimpinan
tanpa dominasi. GKPB sebagai komunitas/persekutuan iman, dengan mempertimbangkan
ekklesiologi feminis, maka otoritas diberikan kepada semua orang yang ada didalamnya
(perempuan dan laki-laki), kepada perempuan pendeta dan pendeta laki-laki, karena mereka
adalah setara. Sebelum penulis membahas pokok tersebut, terlebih dahulu penulis paparkan
secara singkat ekklesiologi GKPB. Pokok tersebut diuraikan seperti berikut.
7.2. Ekklesiologi GKPB
Penulis memahami ekklesiologi GKPB dari dua hal, yang pertama, dari literatur
W
D
GKPB (seperti Tata Gereja). Kedua, berdasarkan refleksi penulis (hasil pengamatan dan
pengalaman penulis). Ekklesiologi tersebut penulis jelaskan demikian.
Dalam Mukadimah, GKPB mengakui bahwa Allah Tritunggal (Bapa, Yesus Kristus,
dan Roh Kudus) telah memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk percaya kepada Tuhan
Yesus Kristus. Panggilan ini diperuntukkan bagi karya penyelamatan Allah di dunia
K
U
khususnya di pulau Bali. Mereka yang dipanggil, menyebut dirinya sebagai GKPB yang
berperan sebagai tubuh Kristus, dan Kristus sebagai kepala-Nya.64 Dengan mencermati hal
tersebut, penulis melihat bahwa ekklesiologi GKPB yang diharapkan ialah adanya sebuah
komunitas (persekutuan umat) yang memiliki posisi yang sederajat sebagai anggota tubuh
Kristus.65 Konsep ini jelas terlihat pada hak dan kewajiban yang sama bagi semua anggota
@
sidi GKPB, baik di dalam jemaat, di tingkat wilayah, maupun di tingkat sinode (termasuk
pada jabatan strategis sinode). Hal ini menunjukkan bahwa GKPB tidak menerima adanya
dominasi di antara anggota-anggota (laki-laki dan perempuan) GKPB. Oleh karena itu,
sistem kepemimpinan yang tidak mengakui kesetaraan gender adalah sesuatu yang sangat
bertentangan.
Menurut penulis, dalam banyak hal posisi, peran laki-laki dan perempuan adalah
setara. Misalnya hak untuk menjabat sebagai majelis jemaat, pengurus wadah kategorial dan
posisi/jabatan lainnya. Walaupun realitanya posisi tersebut menjadi dominan laki-laki,
sehingga mayoritas kepemimpinan di dalam jemaat ada di tangan laki-laki. Hal ini terjadi di
sebagian besar jemaat-jemaat di GKPB. Hal tersebut tidak berbeda dengan jabatan pendeta
dan jabatan strategis di sinode. Kondisi ini terjadi karena jemaat pada umumnya lebih
memberikan kepercayaan kapada laki-laki ketimbang perempuan. Kemudian, banyak
64
65
GKPB, Tata Gereja, Mukadimah, 2006, h. v.
Lihat, Nyoman Suanda, Inti Pemahaman Iman GKPB, (Bali: Percetakan MBM, 2006), h. 33.
19
perempuan yang tidak siap untuk menerima kesempatan itu. Dengan demikian, dapatlah
penulis simpulkan bahwa ekklesiologi GKPB yang mengharapkan adanya kesetaraan lakilaki dan perempuan belum dapat berjalan dengan baik. Dengan bahasa yang lain, komunitas
umat/GKPB yang diharapkan bisa mewujudkan kesetaraan dalam hal posisi kepemimpinan
masih didominasi oleh pihak tertentu. Artinya kesetaraan laki-laki dan perempuan yang
dapat diukur dengan keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan belum terwujud.
7.3. Mempertimbangkan Kepemimpinan Feminis Menurut Kaum Feminis
Dalam hal kepemimpinan feminis, penulis mengetengahkan beberapa pandangan
W
D
kaum feminis (seperti Letty Russell yang didukung oleh Elizabeth Fiorenza, Anne Hommes,
dll). Penulis melihat bahwa dalam pergumulan terhadap orang-orang yang dipinggirkan dari
gereja dan masyarakat terkhusus para perempuan, terkait dengan konteks kepemimpinan,
Russell, memunculkan sebuah gaya/model kepemimpinan perempuan yang adil gender yang
bisa mengakomodir semua orang dalam komunitas. Hal ini didasari oleh konsep kesetaraan
K
U
gender sebagai manusia yang utuh. Dalam rangka mewujudkan kepemimpinan feminis,
penulis melihat bagaimana Russell mempersiapkan sebuah komunitas iman yang bisa
mendukung gaya kepemimpinan tersebut. Komunitas iman yang demikian disebut sebagai
ekklesiologi feminis. Selain itu, untuk menggambarkan gaya/model kepimpinan feminis,
metafora “meja bundar” digunakan untuk menunjukan/menjelaskan sebuah kepemimpinan
@
yang egaliter sebagai implikasi dari kesetaraan dalam komunitas yang ada. Kemudian untuk
mengenali kepemimpinan feminis, para feminis mengangkat beberapa kisah perempuan di
dalam Alkitab. Sedangkan mengenai seperti apa gaya/model kepemimpinan tersebut, kaum
feminis memberikan beberapa pendekatan yang dapat membantu untuk mengenali dan
memahaminya. Pokok-pokok tersebut penulis uraikan secara singkat, seperti berikut.
7.3.1. Ekklesiologi Feminis
Berbicara tentang ekklesiologi feminis adalah soal hubungan di antara semua orang
dengan konteks di mana terjadi ketidakadilan dan keterpinggiran. Hubungan yang mau
dibangun sangat luas (lintas agama, budaya, gender, dan lain-lain), sehingga gereja dan
dunia menjadi terhubung dalam satu lingkaran persahabatan.66 Penekanannya adalah
66
Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 19.
20
mereka yang oleh masyarakat dan agama dipinggirkan, kini duduk bersama melingkari
meja Allah yang penuh keramahtamahan.67 Dalam menjelaskan hal ini, Russell
menggunakan metafora “meja bundar” untuk menggambarkan suatu komunitas
iman/gereja termasuk soal kepemimpinan di dalamnya. Intinya ialah semua orang yang
ada di meja itu menjadi rekan kerja Allah, semua menjadi sederajat atau setara, laki-laki
dan perempuan.68
7.3.2. Kepemimpinan Feminis dalam Alkitab
Untuk mengusung pandangan kepemimpinan feminisnya, kaum feminis menjelaskan
W
D
kepemimpinan perempuan sebagaimana yang ditemukan di dalam Alkitab. Russell
melihat beberapa pemimpin perempuan di dalam PL maupun PB untuk menunjukkan
kehadiran kepemimpinan tersebut.69 Dalam PL, Allah telah memanggil dan mengutus
beberapa perempuan sebagai nabi untuk bertindak sebagai pembawa Firman-Nya.
Misalnya, Hulda sebagai nabi perempuan pada zaman raja Yosia (2 Raja-raja 22:11
K
U
dst.). Sebelumnya Miryam, saudara perempuan Musa, yang disebut ‘nabiah’ (keluaran
15:20), sedangkan Debora lebih dari seorang nabiah, sebab ia juga ‘memerintah sebagai
hakim’ atas Isreal selama beberapa tahun, menyelesaikan perkara-perkara mereka dan
secara aktual memimpin mereka dalam perang melawan orang Kanaan (Hakim-hakim 4
dan 5).70
@
Di dalam PB, sejarah jemaat-jemaat, perempuan-perempuan seperti Priskila
mendirikan dan mendukung sebuah “jemaat di rumah mereka” ke mana pun mereka
pindah (bdn. Kisah Para Rasul 18:2). Jemaat rumah adalah permulaan jemaat di sebuah
kota atau distrik tertentu.71 Kemudian, Priskila menjadi misionaris dan pendiri jemaat
rumah yang paling terkemuka pada saat itu.72 Satu hal yang dapat disimpulkan adalah
kepemimpinan perempuan di sini menunjukkan peran ganda mereka baik dalam
67
Ibid, h. 25.
Ibid, h. 12.
69
Hal serupa dilakukan juga oleh Fiorenza, Hommes, dan lain-lain. Menurut Hommes, pada umumnya perempuan
dalam Alkitab dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu mereka yang menonjol sebagai pahlawan iman dan
mereka yang tertindas. Ia tambahkan, dalam membahas konteks penulisan Alkitab, kaum laki-laki menjadi normatif
bagi manusia, keadaan ini disebut patriarkis, sikap patriarkis ini menjadi bagian dari konteks Yahudi dan Yunani, atau
suasana dimana PL dan PB itu ditulis. Lihat, Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita dalam Gereja &
Masyrakat, h. 68.
70
Lihat Maria J. Mantik, Mengapa perempuan dipersulit menjadi pemimpin?, h. 34.
71
Elizabeth Schussler Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan Itu, Rekonstruksi Teologis Feminis tentang asal-usul
Kekristetan, h. 234.
72
Ibid, h. 238.
68
21
sumbangan yang berbentuk materi, maupun sebagai pelaku dalam mendirikan dan
mengembangkan jemaat mula-mula. Oleh kerena itu Fiorenza melihat bahwa dasar bagi
struktur organisasi yang terbangun pada saat itu adalah sebuah kultus keagamaan atau
perhimpunan pribadi jemaat setempat yang mengakui peran yang sederajat/setara bagi
semua anggota, laki-laki dan perempuan.73
Dengan mencermati apa yang menjadi bagian dari panggilan Allah bagi perempuanperempuan di dalam Alkitab seperti yang sudah digambarkan di atas, maka penulis
memahami bahwa kepemimpinan feminis yang dimaksudkan adalah bagaimana
keterlibatan perempuan-perempuan dalam berbagai bidang dan jabatan/profesi di zaman
itu. Itu artinya, kepemimpinan dimaksud bukan hanya soal gaya/model tertentu
W
D
melainkan bagaimana menunjukan kemampuan yang sama/setara dengan laki-laki. Hal
ini menjadi catatan penting dalam konteks budaya saat itu dimana perempuan tidak/sulit
diterima sebagai seorang pemimpin.
7.3.3. Kepemimpinan “Meja Bundar”
K
U
Kepemimpinan feminis yang dimetaforakan dengan kepemimpinan “meja bundar”,
sebagai visi feminis adalah sesuatu yang tidak mudah. Ia menekankan perlunya
keramahtamahan Allah untuk melawan sistem yang membatasi tempat duduk di antara
meja. Ini memerlukan upaya membongkar meja-meja di rumah tuan-tuan, sebagaimana
@
Yesus membongkar meja-meja para penukar uang dan pedagang merpati di bait suci
yang dikisahkan dalam injil Matius 21:12-17. Hal pokok yang ditekankan Russell
tentang kepemimpinan dalam lingkaran (meja bundar) adalah bagaimana bergerak ke
luar dari tradisi dan aturan dari otoritas yang dominan dan menekankan otoritas yang
dibagikan dalam komunitas. Ini tidak berarti menolak kebutuhan akan organisasi dalam
kehidupan gereja dan karunia-karunia Roh Kudus. Kuasa atau karunia yang Allah
berikan dalam gereja lokal, regional, nasional, internasional perlu diakui dan diorganisir
bagi pekerjaan Allah untuk keadilan dan pembebasan yang baru. Intinya bahwa
kepemimpinan akan sungguh-sungguh menjadi sebuah lingkaran ketika bisa berfungsi
membawa Panggilan Yesus untuk membuat semua orang diterima sebagaimana
mereka/bersama-sama mengelilingi meja Tuhan, sebagai ciptaan baru.74 Pada
prinsipnya, kepemimpinan “meja bundar” menegaskan sebuah situasi/kondisi dalam
73
74
Ibid, h. 240.
Letty M. Rusell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 73-74.
22
kepemimpinan dimana semua orang, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan,
peluang yang setara/sederajat sehingga tidak ada yang dominan. Itulah konsep
kepemimpinan feminis.
7.3.4. Prinsip dari Gaya/model Kepemimpian Feminis
Pada bagian yang terakhir ini, Russell menyoroti soal “pemimpin feminis yang
sungguh-sungguh hidup”. Karena itu perlu untuk melihat model-model pemimpin yang
memiliki kepemimpinan terlatih yang dapat menunjukan suatu gaya dari kebiasaan
memimpin, tutur Russell.75 Sebelum melihat bagaimana Russell menjelaskan hal
W
D
tersebut, penulis terlebih dahulu menjelaskan (dengan sederhana) tentang apa itu
feminis, apa tujuannya, dan bagaimana menjadi seorang feminis. Feminis adalah suatu
kata yang bernuansa advokasi atau pembelaan.76 Pembelaan bagi mereka yang
didiskriminasikan dan diperlakukan tidak adil karena dominasi tertentu. Dengan
demikian, tujuan kaum feminis adalah bagaimana membebaskan baik laki-laki maupun
K
U
perempuan dari dominasi kaum laki-laki dan mengangkat pandangan serta nilai kaum
perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru
berdasarkan kesamaan tingkat/kesederajatan (artinya, bagaimana memperjuangkan suatu
cara berpikir yang inklusif).77 Menurut Aquarini Priyatna Prabasmoro, menjadi seorang
feminis merupakan proses panjang yang muncul dari berbagai rasa sakit dan kepahitan
@
atas ketimpangan yang berlangsung di dalam tatanan masyarakat (baik di rana publik,
maupun di domestik/ rumah tangga).78 Dengan demikian, model kepemimpinan feminis
adalah kepemimpinan yang menunjukkan keberpihakan kepada semua orang dalam
komunitas, khususnya kepada mereka yang dipinggirkan, untuk dapat mewujudkan
sebuah keadilan (gender).
Russell memberikan tiga cara/pendekatan dalam mengenal model kepemimpinan
tersebut. Pendekatan pertama adalah berpikir tentang perempuan yang menjadi model
bagi kita dan apa yang mereka pikirkan tentang kita. Artinya pemimpin yang diharapkan
adalah yang dapat memikirkan mereka yang terpinggirkan dalam gereja. Inilah
pemimpin feminis sebagai sebuah model bagi komunitas iman secara umum maupun
75
Ibid, h. 67.
Ibid, h. 22.
77
Marie C. Barth Frommel, Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu, Pengantar Teologi Feminis, h. 9.
78
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kata Pengantar, dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Pengantar paling
komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis, h. xiii.
76
23
bagi kaum feminis itu sendiri. Pendekatan kedua adalah menunjuk pada contoh-contoh
tentang kepemimpinan dimana otoritas dilatih melalui komunitas dalam solidaritas
dengan mereka yang terpinggirkan. Berbeda dengan pendekatan pertama, pemimpin
pada pendekatan kedua
justru dibentuk oleh komunitas khususnya mereka yang
terpinggirkan. Dengan cara yang demikian pemimpin memiliki otoritas dalam
kepemimpinannya. Sedangkan pendekatan ketiga adalah berbicara tentang sifat feminin
dari kepemimpinan perempuan dan bagaimana kontribusi mereka terhadap gaya baru
kepemimpinan dalam gereja.79 Dengan demikian, prinsip dari gaya atau model
kepemimpinan feminis mendukung kepemimpinan feminis yang digambarkan dengan
kepemimpinan “meja bundar”. Kedua pokok ini menjadi inti landasan teori yang penulis
W
D
gunakan dalam penulisan (tesis) ini. Adapun penulisan ini dijabarkan dalam sitematika
penulisan sebagai berikut.
8. Sistematika Penulisan
K
U
Penulisan ini akan dirumuskan dalam kerangka sitematika penulisan sebagai berikut:
Bab I
Bagian ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kerangka teori, dan sistematika
penulisan.
Bab II
Bagian ini berisi gambaran umum kepemimpinan perempuan di Bali (kepemimpinan secara
umum), kepemimpinan perempuan pendeta di dalam jemaat GKPB dan di jabatan strategis
sinode. Di sini akan disajikan hasil analisa lapangan seputar hal-hal yang mempengaruhi
(yang tidak mendukung atau sebaliknya) perempuan pendeta untuk meraih kursi jabatan
strategis di sinode GKPB.
Bab III
Bagian ini berisi teori tentang kepemimpinan berprespektif feminis (gaya kepemimpinan
perempuan yang adil gender), sebuah kontribusi bagi GKPB terhadap konteks dimana
kepemimpinan pada jabatan strategis di sinode sulit diraih oleh perempuan pendeta. Dan
bagaimana penemuan di lapangan bisa memperkaya pandangan kepemimpinan feminis dari
kaum feminis sehingga pandangan mereka menjadi relevan, tidak saja di Eropa/Barat.
Bab IV
Bagian ini berisi kesimpulan hasil penelitian dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian
serta beberapa rekomendasi bagi lembaga pendidikan teologi, gereja, dan pemerintah, serta
kaum perempuan (perempuan pendeta), dalam rangka menjawab pergumulan GKPB.
@
79
Letty M. Russell, Church in the Round, Feminist interpretation of the Church, h. 67.
24
Download