2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Keberlanjutan dalam Perikanan
Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari
paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi), kemudian
ke paradigma sosial/komunitas. Namun, menurut Charles (1993 dan 2001) ketiga
paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan
perikanan berkelanjutan.
Menurut Charles (1993 dan 2001), pandangan
pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasi ketiga
aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang
berkelanjutan sendiri mengandung aspek:
(1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).
Dalam pandangan ini
memelihara keberlanjutan stok/biomas sehingga tidak melewati daya
dukungnya serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi
perhatian utama;
(2) Sosioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini
mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan
keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan
kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini;
(3) Community sustainability,
mengandung
makna
bahwa keberlanjutan
kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian
pembangunan perikanan yang berkelanjutan;
(4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka
ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek
finansial dan administrasi yang sehat
merupakan prasyarat ketiga
pembangunan berkelanjutan di atas.
Perhatian pembangunan perikanan yang berkesinambungan (sustainable)
sebenarnya dimulai pada awal 1990’an, yang merupakan proses dari terjadinya
beberapa perubahan yang menyangkut:
(1) Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai
akibat Rio Summit yang menyerukan perlunya perbaikan secara global
28
terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya perikanan
dan kelautan;
(2) Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna, dan
salmon, yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan
tidak hanya ekologi, namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi;
(3) Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut perlunya pandangan yang
lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan (Alder et al. 2002).
Menyadari
ketiga
hal
di
atas,
pembangunan
perikanan
selain
memperhatikan aspek keberlanjutan, juga harus didekati dengan pendekatan
menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi. Alder et al. (2002), misalnya
melihat bahwa pendekatan holistik tersebut harus mengakomodasi berbagai
komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Komponen
tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologi dan etis. Dari
setiap komponen atau dimensi, ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang
merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan.
Beberapa komponen tersebut adalah:
1) Ekologi: tingkat eksploitasi, keragaman, rekruitmen, perubahan ukuran
tangkap, discard dan by catch, serta produktivitas primer;
2) Ekonomi: kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja, gross domestic
product (GDP), sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan alternatif income;
3) Sosial: pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan
pengetahuan lingkungan (environmental awareness);
4) Teknologi: lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat, fish agreegating
device (FAD), ukuran kapal, dan efek samping dari alat tangkap;
5) Etik: kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap limbah dan by catch.
Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya
pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam
CCRF. Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan yang holistik ini tidak
dipenuhi, pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, overeksploitasi, dan destructive fishing practices. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk
memenuhi kepentingan sesaat (generasi kini) atau masa kini, sehingga tingkat
29
eksploitasi sumberdaya ikan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya untuk masa kini.
Akibatnya kepentingan
lingkungan diabaikan dan fish bombing ataupun poisoning dapat terjadi.
Di
Indonesia, misalnya praktik pembangunan perikanan yang unsustainable melalui
destructive fishing practice tersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi yang
cukup signifikan. Kerugian yang diderita mencapai US$ 386.000 per tahun akibat
rusaknya terumbu karang. Kerugian ini empat kali lipat lebih besar dari manfaat
yang diperoleh dari destructive fishing practices (Fauzi dan Buchary 2002).
Degradasi/depresiasi sumberdaya ikan, misalnya terjadi di perairan Barat
Daya Atlantik pada pertengahan 1990. Saat itu terjadi penurunan drastis dari stok
ikan cod, yang mengakibatkan lebih dari 40.000 nelayan kehilangan pekerjaan di
beberapa propinsi di wilayah Atlantik di Kanada.
Walaupun sudah mulai
dikelola, kondisi ini masih belum pulih sampai tujuh tahun kemudian (Kurlansky
1997).
Pada skala global, besarnya dampak dari depresiasi sumber daya
perikanan ini diilustrasikan dengan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk
produksi global perikanan laut sekitar US$ 124 milyar dolar per tahun, namun
hanya menghasilkan penerimaan sebesar US$ 70 milyar dolar (Mace 1997).
Sebesar US$ 54 milyar dolar ternyata merepresentasikan berbagai subsidi
pemerintah terhadap industri perikanan yang justru menambah tingkat tangkap
lebih dan inefisiensi ekonomi dari industri perikanan (Davis and Garthside 2001).
Kondisi penurunan stok sumber daya perikanan juga terjadi di beberapa perairan
Indonesia, seperti di Selat Malaka, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Makassar
dan sebagian Bali (Anna 1999; Fauzi dan Anna 2005).
Kerugian sosial yang diderita akibat pembangunan perikanan yang tidak
berkelanjutan juga bisa terjadi. Hal ini menyangkut hilangnya kesempatan kerja
dan timbulnya konflik horizontal di antara para pelaku perikanan itu sendiri.
Selain itu, manfaat yang seharusnya diperoleh oleh pemerintah dari pengelolaan
sumberdaya ikan juga tidak bisa didapat secara maksimum.
2.2
Model Bioekonomi
Pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah
bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat
ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
30
Sehingga dalam pengelolaan sumberdaya ikan mengandung makna ekonomi dan
konservasi atau biologi dan mau tidak mau pemanfaatan optimalnya harus
mengakomodasi kedua disiplin ilmu tersebut.
Oleh karena itu pendekatan
bioekonomi harus dipahami oleh pelaku yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna 2005).
Konsep bioekonomi mulai dikembangkan sejak awal tahun 1950’an.
Sementara sebelumnya konsep biologi dikenalkan oleh Graham pada tahun 1935
dalam bentuk model logistik (Graham 1935) yang kemudian dikembangkan oleh
Schaefer (1954) yang memandang populasi ikan sebagai satu kesatuan.
Selanjutnya Gordon (1954) mengembangkan model ekonomi berdasarkan model
Scahefer tersebut dan memperkenalkan konsep economic overfishing dan
perikanan open access. Model yang dikenal dengan model bioekonomi GordonSchaefer, kemudian banyak digunakan untuk menganalisis pola pengelolaan
perikanan yang optimal dan berkelanjutan (Seijo et al. 1998).
Model Bioekonomi Gordon-Schaefer (disingkat GS) dibangun dari model
produksi surplus yang telah dikembangkan oleh Graham (1935). Pada model ini
pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti pertumbuhan logistik atau:
x
x

 F  x   rx 1  
t
 K
(2.1)
di mana x adalah biomas ikan r adalah recruitment atau pertumbuhan alamiah
(kelahiran dikurangi kematian), dan K adalah kapasitas daya dukung lingkungan
(Fauzi 2004). Persamaan secara grafik digambarkan pada Gambar 4 berikut.
F(x)
x
Gambar 4 Kurva pertumbuhan logistik
Pertumbuhan biomas ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa gangguan
atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi oleh manusia
31
diasumsikan tergantung dari input (effort) yang digunakan (E) dan jumlah biomas
ikan yang tersedia (x) serta kemampuan teknologi yang digunakan (q) yang di
sebut juga koefisien daya tangkap, atau:
h  qxE
(2.2)
kurva pertumbuhan di atas kemudian berubah menjadi:
x
x

 rx1    h
t
 K
x

 rx1    qxE
 K
(2.3)
Salah satu masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adalah adanya
variabel biomas yang tidak bisa diamati, sementara di hadapan mereka hanya
tersedia data produksi (h) dan jumlah input yang digunakan (E) misalnya jumlah
kapal, jumlah trip atau jumlah hari melaut (Fauzi 2004). Dalam model
bioekonomi GS, kendala ini kemudian diatasi dengan mengasumsikan kondisi
ekologi dalam keadaan keseimbangan (x /t = 0), sehingga persamaan dapat
dipecahkan untuk mencari nilai biomas (x) sebagai fungsi dari input atau:
q 

x  K E  E 
(2.4)
r 

Pensubstitusian persamaan di atas ke dalam persamaan (2.2) akan menghasilkan:
 q 
h  qKE 1  E 
 r 
(2.5)
Persamaan di atas berbentuk kuadratik terhadap input. Dalam model
bioekonomi, hal ini dikenal dengan istilah Yield Effort Curve. Namun dengan
membagi kedua sisi persamaan dengan variabel input (E) akan diperoleh
persamaan linear yang disederhanakan dalam bentuk:
h
q2K
E
 qK 
E
r
(2.6)
U    E
di mana U adalah produksi per satuan input atau dikenal dengan CPUE (catch per
unit effort),  = qK dan  = q 2 K /r. Persamaan (2.5) dan persamaan(2.6) secara
grafik dapat digambarkan pada Gambar 5.
32
U
α
h (yield)
MSY
β
input
input
Gambar 5 Hubungan antara input dan output perikanan
Sampai pada tahap ini, model yang dikembangkan Schaefer sudah bisa
dianalisis karena sudah bisa menentukan tingkat produksi pada MSY. Namun
justru disinilah letak kelemahan mendasar model Schaefer. Penentuan MSY
didasarkan pada estimasi parameter persamaan dengan cara meregresikan secara
linear variabel U dengan E dari data time series produksi dari input (effort).
Ketika koefisien α dan β dapat diperoleh dari hasil regresi tersebut, nilai MSY
bisa diperoleh, sebab MSY tidak lain merupakan tingkat input pada:
EMSY 

2
(2.7)
Sehingga produksi pada tingkat MSY sebesar:
hMSY
2

4
(2.8)
Meregresikan persamaan (2.6) bukan saja menimbulkan masalah dari sisi
metodologi (kedua variabel independen ada di sebelah kiri dan di sebelah kanan
persamaan),
namun
juga
menyembunyikan
beberapa
informasi
penting
menyangkut pendugaan sumberdaya, serta tidak dipenuhinya syarat-syarat
stationarity dari data urut waktu yang menjadi basis perhitungan parameter tadi
(Fauzi 2004).
Menyadari
kekurangan
pendekatan
ini,
Scott
Gordon
kemudian
menambahkan nuansa ekonomi ke dalam model Schaefer. Pertama dengan
mendefinisikan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan haruslah memberikan
manfaat ekonomi (dalam bentuk rente ekonomi). Rente tersebut merupakan selisih
33
dari penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan dengan biaya
yang dikeluarkan. Jika penerimaan tersebut didefinisikan sebagai TR = Ph, di
mana P adalah harga output (ikan) per satuan berat, sementara biaya total
didefinisikan linear terhadap input atau TC = cE di mana c adalah biaya per satuan
input (konstan) manfaat ekonomi bisa ditulis ke dalam bentuk (Fauzi 2004):
π = ph –cE
(2.9)
Dengan menggunakan persamaan (2.6) penerimaan dari sumber daya ikan bisa
dihitung dari sisi input atau:


π = p E   E 2  cE
(2.10)
Secara grafis, kurva penerimaan dan biaya dari ekstraksi sumberdaya ikan
dapat dilihat pada Gambar 6, yang terlihat bahwa ada dua keseimbangan
bioekonomi yang di hasilkan dari model GS. Keseimbangan pertama terjadi pada
tingkat input sebesar Eoa, di mana kurva TC bersinggungan dengan kurva TR.
Pada titik ini, tidak ada manfaat ekonomi yang diperoleh. Gordon menyebut titik
keseimbangan ini “bioeconomic equilibrium of open access” atau keseimbangan
(Penerimaan, biaya)
Rp
TC
A
πmax
TR
B
E*
Eoa
input
Gambar 6 Keseimbangan bioekonomi Gordon- Schaefer
pada akses terbuka. Karena pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan)
setiap tingkat input E >Eoa akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari
penerimaan, sehingga menyebabkan input berkurang sampai kembali ke titik
E = Eoa yang akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi di mana E < Eoa,
penerimaan akan lebih besar dari biaya dan dalam kondisi open access, hal ini
34
akan menyebabkan entry pada industri perikanan, yang akan terus terjadi sampai
manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol.
Gordon kemudian melihat bahwa ketika input dikendalikan pada tingkat
E =E*, manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum (sebesar jarak AB
dimana terjadi garis paralel antara kurva TC dan garis yang menyinggung kurva
TR). Hal ini akan terjadi jika sumberdaya ikan dikelola (dimiliki), sehingga
pemilik sumberdaya akan berusaha memaksimalkan manfaat ekonomi yang
diperoleh. Secara matematik, hal ini bisa diturunkan sebagai:
maxπ = pαE - pE2 – cE
(2.11)

 p  2 pE  c  0
E
Sehingga diperoleh tingkat input yang optimal sebesar:
E* =
p  c
2 p
(2.12)
Sampai saat ini keseluruhan model GS sudah bisa dianalisis. Pengambil
keputusan sudah bisa menentukan berapa tingkat input (jumlah kapal, gross tones
(GT), trip dan sebagainya) yang seharusnya dikendalikan, yang akan
menghasilkan manfaat ekonomi maksimal. Jika tingkat input diketahui, secara
otomatis jumlah produksi dan keuntungan maksimal dapat diketahui dengan
mensubstitusikan persamaan di atas ke persamaan (2.6) dan persamaan (2.10).
2.3
Konservasi Sumberdaya Ikan
Sesuai dengan Undang-undnag No. 31 tahun 2004 pada pasal 13 ayat 1
disebutkan bahwa “Dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan dan konservasi genetika ikan”. Oleh
sebab itu dengan diberlakukannya Undang-undang No. 31 tahun 2004, maka
penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya ikan agar berkelanjutan, serta tidak
hanya terfokus pada perlindungan jenis ikan saja, namun juga mengatur tentang
konservasi ekosistem dan genetik ikan.
Konservasi ekosistem diselenggarakan dalam rangka menjamin habitat
hidup ikan agar terjaga kelestariannya, baik pada area pemijahan (spawning
ground), area asuhan (nursery ground), area mencari makan (feeding ground),
35
juga pada jalur ruaya (migratory route), baik di perairan tawar, payau maupun
tawar. Oleh sebab itu KKL perlu dikembangkan salah satunya untuk kepentingan
konservasi habitat ikan. Sehingga untuk pengembangannya dibutuhkan standar,
norma dan kriteria, termasuk didalamnya teknologi yang diperlukan. Sementara
itu konservasi jenis ikan dan genetik ikan adalah untuk melindungi jenis dan
genetik ikan yang terancam punah, ataupun yang sudah langka, yang selanjutnya
untuk menjamin keanekaragaman hayati, sehingga keseimbangan populasi/spesies
ikan tetap terjaga dan pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat tercapai.
Setelah secara jelas disebutkan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004,
maka eksistensi konservasi sumberdaya ikan di Indonesia semakin kuat. Sehingga
konservasi sumberdaya ikan di Indonesia kemudian tumbuh pesat dan senantiasa
berusaha menjawab permasalahan dan issue-issue nasional, serta tetap mengikuti
mainstream global. Oleh sebab itu pemahaman konservasi sumberdaya ikan di
Indonesia juga terus berkembang dengan paradigma baru, sebagaimana tertulis
pada pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 31 tahun 2004 bahwa “Konservasi
sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan
tetap meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan”.
Sejalan dengan konsep ini, pengelenggaraan konservasi sumberdaya ikan
di Indonesia tidak hanya untuk perlindungan dan pelestarian, namun juga untuk
“pemanfaatan” sumberdaya ikan, walaupun merupakan pemanfaatan terbatas
dengan persyaratan tertentu, guna tetap menjamin kelestarian sumberdaya ikan
dan menjamin adanya akses masyarakat terhadap sumberdaya ikan. Sehingga
masyarakat, khususnya nelayan skala kecil juga dapat menerima manfaat atas
penyelenggaraan
konservasi
sumberdaya
ikan
dan
diharapkan
dapat
mensejahterakan mereka.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 selanjutnya dijelaskan
secara detail tentang penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan, bahwa asas
dan prinsip penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia
sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 yaitu: (1) pendekatan kehati-hatian,
(2)
pertimbangan
bukti
ilmiah,
(3)
pertimbangan
kearifan
lokal,
36
(4) pengelolaan berbasis masyarakat, (5) keterpaduan pengembangan wilayah
pesisir, (6) pencegahan tangkap lebih, (7) pengembangan alat tangkap, cara
penangkapan
ikan,
dan
pembudidayaan
ikan
yang
ramah
lingkungan,
(8) pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (9) pemanfaatan
keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, (10) perlindungan struktur dan fungsi
alami ekosistem perairan yang dinamis, (11) perlindungan jenis dan kualitas
genetik ikan, dan (12) pengelolaan adaptif. Berdasarkan asas dan prinsip tersebut
kini konservasi sumberdaya ikan di Indonesia dikembangkan untuk mendukung
pengelolaan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries).
Kemudian dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 28, 29 dan 30 mengatur pula
tentang konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam batasannya,
konservasi menurut Undang-undang No. 27 tahun 2007, tidak hanya meliputi
wilayah perairan namun termasuk pula wilayah terrestrial, sepanjang di wilayah
tersebut terdapat ekosistem yang perlu dilindungi karena fungsinya yang sangat
penting untuk perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, atau dapat pula
daerah cagar budaya. Baik dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 maupun
Undang-undang No. 27 tahun 2007, telah mengatur lebih rinci tentang upaya
pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan, yang fokusnya adalah
pengembangan KKL dan dalam disertasi ini ruang lingkup bahasan hanya KKL.
Di sisi lain dalam implementasi pengembangan konservasi laut,
seyogyanya juga mentaati konvensi (convention), persetujuan (agreement), dan
program aksi yang telah diadopsi dan dilaksanakan pada tingkat internasional,
misalnya yang khusus berkaitan dengan keanekaragaman hayati laut adalah ICRI
(International Coral Reef Initiatve), Cartagena Protocol on Biosafety, dan Jakarta
Mandate (Dahuri 2003).
Pada tingkat nasional, dasar pengelolaan konservasi laut paling tidak
mencakup sembilan pendekatan implementasi program dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut. Kesembilan pendekatan tersebut adalah:
(i) advokasi politik, (ii) pendekatan ekonomi, (iii) penguatan ilmu pengetahuan,
(iv) pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, (v) restorasi
kerusakan habitat, (vi) pengelolaan kawasan konservasi, (vii) perencanaan dan
37
pengelolaan pesisir secara terpadu, (viii) pengelolaan berbasis masyarakat
(community-base management), dan (ix) penerapan indikator pembangunan
berkelanjutan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut (Dahuri 2000).
2.4
Kawasan Konservasi Laut
Sebagaimana mainstream global, Indonesia pada saat ini sesuai Peraturan
Pemerintah No. 60 tahun 2007 juga mengembangkan kawasan konservasi perairan
yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Pengembangan kawasan konservasi
perairan tersebut, sebagai wujud penyelenggaraan konservasi ekosistem, sebagai
perlindungan habitat ikan, yang antara lain dapat ditetapkan di perairan laut
sebagai kawasan konservasi laut (KKL), ataupun diperairan daratan misalnya di
danau, sungai, ataupun rawa, sebagai kawasan konservasi perairan daratan. KKL
pada dasarnya sangat populer dikenal oleh masyarakat, walaupun kawasan
konservasi perairan daratan sebenarnya juga sudah sejak lama dikembangkan di
Indonesia, misalnya di Propinsi Sumatera Barat, sebagai kawasan konservasi
perairan adat atau biasa disebut “lubuk larangan”.
Pengembangan KKL di Indonesia hingga saat ini terus meningkat, apalagi
dengan adanya target 10 juta Ha pada tahun 2010 atau 20 juta Ha pada tahun
2020, sebagaimana komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono pada tahun 2006 di COP-8 Convention on Biological Diversity.
Beberapa pemahaman yang perlu diketahui bahwa, pada saat ini dikembangkan
KKL dibawah tanggungjawab Kementerian Kehutanan, misalnya berupa Taman
Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut
(CAL), dan Suaka Margasatwa Laut (SML), walaupun beberapa bagian dari KKL
tersebut telah dilimpahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak ahun
2009. Demikian pula sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah
dikembangkan KKL bersama-sama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Untuk
tanggungjawab
pengembangan
Kementerian
kawasan
Kelautan
konservasi
dan
Perikanan,
perairan
dibawah
sesuai
Peraturan
Pemerintah No. 60 tahun 2007 dalam penetapannya, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dapat mencadangkan suatu kawasan perairan, baik perairan daratan
(perairan tawar ataupun payau) dan laut sebagai kawasan konservasi perairan,
yang berdasarkan kewenangan pengelolaannya terdiri dari: (1) kawasan
38
konservasi perairan nasional, (2) kawasan konservasi perairan propinsi dan
(3) kawasan konservasi perairan kabupaten/kota.
Pada saat ini, Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan kawasan konservasi perairan
tingkat kabupaten/kota, yang populer disebut sebagai kawasan konservasi laut
daerah (KKLD) yang tersebar di berbagai wilayah kabupaten/kota dan akan terus
dikembangkan kawasan konservasi perairan nasional dan propinsi.
Dari kewenangan penetapan kawasan konservasi perairan tersebut terlihat
jelas bahwa paradigma yang diusung dalam penyelenggaraan konservasi
sumberdaya ikan ini sudah mengakomodir prinsip-prinsip desentralisasi. Kondisi
ini sangat berbeda dengan paradigma sebelumnya yang masih bersifat sentralistik.
Selanjutnya jenis kawasan konservasi perairan dapat dibedakan atas: (1) Taman
Nasional Perairan, (2) Suaka Alam Perairan, (3) Taman Wisata Perairan dan
(4) Suaka Perikanan. Sedangkan tahapan penetapan kawasan konservasi perairan
adalah: (1) usulan inisiatif, (2) identifikasi dan inventarisasi, (3) pencadangan
kawasan konservasi perairan dan (4) penetapan kawasan konservasi perairan.
Usulan inisiatif selain dari jajaran pemerintahan, dapat pula berasal dari
masyarakat, sehingga dalam hal ini peran serta masyarakat sangat diutamakan
dalam proses pengusulan suatu perairan untuk menjadi kawasan konservasi
perairan. Sementara itu pembagian zonanya meliputi: (1) zona inti, (2) zona
perikanan berkelanjutan, (3) zona pemanfaatan, dan (4) zona lainnya.
Penetapan kawasan konservasi perairan bukan hanya untuk perlindungan
dan pelestarian sumberdaya ikan, yang sarat akan tindakan pelarangan dan
penutupan akses bagi masyarakat.
Namun dapat pula kawasan konservasi
perairan dimanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan pada zona yang
ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberikan akses untuk melakukan
kegiatannya, dengan pemanfaatan kawasan konservasi perairan tersebut dapat
berupa upaya: (1) penangkapan ikan, (2) pembudidayaan ikan, (3) pariwisata alam
perairan, dan (4) penelitian dan pendidikan.
Menurut Salm et al. (2000) bahwa marine protected area (MPA) atau
kawasan konservasi laut (KKL) merupakan salah satu pendekatan yang penting di
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.
Selanjutnya berdasarkan
International Union Conservation on Natural Resources (IUCN) terdapat 7 (tujuh)
39
kategori kawasan konservasi (yang awalnya 10 kategori), Gubbay and Welton
(1995) yaitu:
(1) Reservasi alam secara ketat (strict nature reserve) atau cagar alam. Kawasan
konservasi jenis ini adalah kawasan daratan dan/atau lautan yang memiliki
ekosistem atau kenampakan fisiologis dan/atau spesies yang penting atau
representatif yang terutama ditujukan untuk penelitian ilmiah dan/atau
pemantauan lingkungan. Tujuan pengelolaan di dalam kawasan konservasi
perairan jenis ini adalah:
1) Mengawetkan habitat, ekosistem dan spesies dalam kondisi tidak
terganggu sama sekali;
2) Mempertahankan sumberdaya genetik dalam kondisi yang dinamis dan
evolutionary;
3) Mempertahankan proses-proses ekologis yang telah mantap;
4) Mempertahankan kondisi struktur landscape atau batuan;
5) Mengamankan contoh lingkungan alam untuk penelitian ilmiah,
pemantauan lingkungan dan pendidikan;
6) Memperkecil gangguan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang hatihati pada aktivitas penelitian dan aktivitas lain yang diperbolehkan;
7) Membatasi akses publik;
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus cukup luas untuk menjamin integritas ekosistemnya
dan memenuhi tujuan pengelolaan kawasan konservasi ini;
2) Kawasan ini harus secara nyata bebas dari intervensi manusia secara
langsung dan mampu untuk dipertahankan seperti itu;
3) Konservasi keanekaragaman hayati kawasan ini harus dapat diperoleh
melalui perlindungan (protection) dan tidak memerlukan pengelolaan
yang besar dan aktif atau manipulasi habitat.
(2) Kawasan liar atau suaka alam.
Kawasan konservasi jenis ini terutama
ditujukan untuk perlindungan alam liar.
Kawasan konservasi ini adalah
kawasan daratan dan/atau lautan yang luas yang belum dimodifikasi atau
hanya sedikit modifikasi, meninggalkan sifat dan pengaruh alam, tanpa bekas
jamahan manusia secara permanen atau nyata yang dilindungi dan dikelola
40
seperti itu untuk melestarikan kondisi alamiahnya. Tujuan pengelolaan di
dalam kawasan konservasi jenis ini adalah:
1) Menjamin bahwa generasi mendatang mempunyai kesempatan untuk
menikmati kawasan yang belum terganggu oleh kegiatan manusia;
2) Mempertahankan atribut alam yang penting dan kualitas lingkungan
dalam jangka panjang;
3) Menyediakan akses publik pada tingkat dan tipe yang dapat memberikan
kesejahteraan fisik dan spiritual yang terbaik kepada pengunjung dan
mempertahankan kualitas “keliaran alam” kawasan untuk generasi masa
kini dan generasi masa mendatang;
4) Memungkinkan masyarakat lokal hidup dalam jumlah yang tetap rendah
dan dalam keseimbangan dengan jumlah sumberdaya yang tersedia untuk
mempertahankan cara hidupnya.
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus memiliki kualitas alam yang tinggi, digerakkan
terutama oleh tenaga alam dengan gangguan manusia hampir tidak ada,
dan sangat mungkin berlanjut memperlihatkan atribut seperti itu jika
dikelola sesuai dengan tujuan;
2) Kawasan ini harus berisi nilai ilmiah, pendidikan, keindahan atau sejarah
secara ekologi, geologis, fisiogeografis, atau lainnya yang nyata;
3) Kawasan ini harus menawarkan kesempatan yang istimewa untuk
menikmati kesendirian, kondisi yang tenang, tidak tercemar, tidak
memiliki transportasi bermotor;
4) Kawasan ini harus luas untuk kelestarian dan pemanfaatan yang memadai.
(3) Kawasan Taman Nasional. Kawasan konservasi jenis ini terutama ditujukan
untuk perlindungan ekosistem dan pariwisata. Kawasan konservasi ini adalah
kawasan daratan dan/atau lautan yang dirancang untuk melindungi integritas
ekologis satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang,
menghindari
eksploitasi
dan
pemukiman
yang
tidak
dikehendaki,
menyediakan sebuah landasan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasional dan
kesempatan berkunjung dan semuanya harus selaras dengan lingkungan dan
budaya setempat. Tujuan pengelolaan dalam kawasan konservasi ini adalah:
41
1) Melindungi daerah alami dan indah yang penting secara nasional dan
internasional untuk tujuan spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan
pariwisata;
2) Menjaga contoh daerah fisiografis, komunitas biotik, sumberdaya genetik
dan spesies untuk memberikan stabilitas dan keragaman ekologis;
3) Mengelola pemanfaatan oleh pengunjung untuk tujuan inspirasional,
pendidikan, budaya dan rekreasi pada tingkat yang akan mempertahankan
kawasan tersebut tetap sealamiah mungkin;
4) Menghilangkan dan kemudian mencegah eksploitasi dan pemanfaatan
yang tidak dikehendaki;
5) Mempertahankan penghargaan terhadap atribut ekologis, geomorfologis,
kesucian atau keindahan;
6) Mempertimbangkan kebutuhan penduduk lokal, termasuk pemanfaatan
sumberdaya secara subsisten sepanjang tidak berpengaruh buruk terhadap
tujuan manajemen yang lain.
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus berisi contoh yang mewakili mayoritas daerah-daerah
alami, fitur atau pemandangan dimana spesies tumbuhan dan hewan, situs
habitat dan geomorfologis merupakan hal yang istimewa (penting) secara
spiritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi dan pariwisata;
2) Kawasan ini harus cukup luas untuk memiliki satu atau lebih ekosistem
yang lengkap yang secara material tidak berubah oleh pemukiman
manusia atau eksploitasi.
(4) Monumen Alam (Natural Monument). Kawasan konservasi jenis ini terutama
ditujukan untuk konservasi bentukan alam yang khas. Kawasan konservasi
ini berisi satu atau lebih bentukan alam atau budaya yang khas, yang mungkin
bernilai tinggi atau unik karena kelangkaannya, mewakili atau berkualitas
keindahan atau penting secara budaya. Tujuan pengelolaan di dalam kawasan
konservasi jenis ini adalah:
1) Melindungi atau melestarikan bentang alam yang sangat khas karena
kekhasan
alamiahnya,
berkonotasi spiritual;
keunikan
atau
keterwakilannya,
dan/atau
42
2) Dalam
skala
tertentu konsisten dengan tujuan
jangka panjang,
menyediakan peluang untuk penelitian, pendidikan, interpretasi dan
apresiasi publik;
3) Menghilangkan dan kemudian mencegah eksploitasi dan pemanfaatan
yang tidak dikehendaki;
4) Menyebarluaskan kepada penduduk bahwa keuntungan (manfaat) dari
kawasan lindung konsisten dengan tujuan-tujuan lain dari pengelolaan.
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus berisi satu atau lebih bentukan alam yang penting dan
khas (misalnya air terjun, gua, cekungan, hamparan fosil, bukit pasir (sand
dune), dan bentang alam berikut dengan fauna dan flora yang khas
mewakilinya; berikut juga dengan budaya khasnya seperti penghuni gua,
situs arkeologis atau situs alam yang merupakan warisan (pusaka) penting
bagi penduduk lokal;
2) Kawasan ini harus cukup luas untuk melindungi integritas bentangan alam
tersebut beserta lingkungan sekelilingnya yang terkait.
(5) Kawasan pengelolaan habitat/spesies. Kawasan konservasi jenis ini terutama
ditujukan untuk konservasi melalui intervensi pengelolaan. Kawasan
konservasi ini mendapat intervensi yang aktif untuk tujuan pengelolaan guna
menjamin pemeliharaan habitat dan/atau untuk memenuhi kebutuhan spesies
yang khas. Tujuan pengelolaan di dalam kawasan konservasi jenis ini adalah:
1) Mengamankan dan mempertahankan kondisi habitat yang merupakan
prasyarat untuk melindungi spesies yang penting, komunitas biotik atau
bentang fisik lingkungan dimana semua itu memerlukan manipulasi
khusus oleh manusia agar mencapai pengelolaan yang optimum;
2) Menfasilitasi penelitian ilmiah dan pemantauan lingkungan sebagai
aktivitas primer yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
berkelanjutan;
3) Mengembangkan kawasan terbatas untuk pendidikan publik dan apresiasi
terhadap kekhasan habitat yang menjadi perhatian dan pekerjaan
pengelolaan kehidupan yang liar (wildlife);
43
4) Menghilangkan dan kemudian mencegah eksploitasi dan pemanfaatan
yang tidak dikehendaki ;
5) Menyebarluaskan kepada penduduk bahwa keuntungan (manfaat) dari
kawasan lindung, konsisten dengan tujuan-tujuan lain dari pengelolaan.
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus berperan penting dalam melindungi alam dan
keberlangsungan
hidup
spesies
(termasuk
diantaranya
daerah
perkembangbiakan, lahan basah, terumbu karang, estuary, padang rumput,
hutan atau daerah pemijahan, termasuk daerah mencari makan biota laut);
2) Kawasan ini harus merupakan daerah dimana perlindungan terhadapnya
sangat penting untuk kelayakan hidup flora penting baik secara nasional
maupun lokal, atau terhadap fauna penghuni atau yang singgah
bermigrasi;
3) Konservasi terhadap habitat dan spesies ini bergantung pada intervensi
aktif oleh otoritas pengelola, jika perlu melalui manipulasi habitat;
4) Luas kawasan harus bergantung pada kebutuhan habitat bagi spesies yang
akan dilindungi dan mungkin dari yang relatif kecil hingga sangat luas.
(6) Kawasan perlindungan landscape/seascape. Kawasan konservasi jenis ini
terutama ditujukan untuk konservasi landscape/seascape dan rekreasi.
Kawasan konservasi ini merupakan daratan, mungkin dengan pesisir dan laut,
dimana interaksi antara penduduk dengan alam selama ini telah menghasilkan
suatu kawasan yang mempunyai sifat istimewa dengan nilai keindahan, nilai
ekologis dan/atau budaya yang tinggi dan sering pula dengan keanekaragaman
hayati yang tinggi. Penjagaan interaksi tradisional ini sangat vital untuk
melindungi, memelihara dan mengikuti perkembangan kawasan tersebut.
Tujuan pengelolaan di dalam kawasan konservasi jenis ini adalah:
1) Memelihara keserasian interaksi alam dan budaya melalui perlindungan
landscape/seascape dan keberlangsungan pemanfaatan lahan secara
tradisional, pembentukan manifestasi kegiatan sosial dan budaya;
2) Mendukung aktivitas kehidupan dan ekonomi yang selaras dengan alam
dan pelestarian kegiatan sosial dan budaya masyarakat yang menjadi
perhatian;
44
3) Mempertahankan keanekaragaman landscape, habitat, spesies dan
ekosistem yang terkait untuk menghilangkan jika perlu, dan kemudian
mencegah pemanfaatan lahan atau aktivitas yang tidak sesuai dengan
tujuan;
4) Memberikan peluang untuk kegembiraan publik melalui rekreasi dan
wisata yang sesuai dengan tipe dan skala kualitas penting kawasan;
5) Mendorong aktivitas ilmiah dan pendidikan, yang akan menyumbangkan
kesejahteraan
penduduk
dalam
jangka
panjang
dan
terhadap
pengembangan dukungan publik akan perlindungan lingkungan;
6) Memberikan
manfaat
dan
menyumbangkan
kesejahteraan
kepada
masyarakat lokal melalui peraturan tentang hasil alam (seperti hasil hutan
dan perikanan) dan jasa (seperti air bersih atau pendapatan dari wisata
yang berkelanjutan).
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Kawasan ini harus memiliki landscape/seascape pesisir dan pulau yang
berkualitas keindahan, dengan beraneka ragam habitat, flora, dan fauna
yang terkait dengan manifestasi pola pemanfaatan lahan tradisional dan
unik dan organisasi sosial sebagai bukti pemukiman manusia serta budaya,
cara hidup dan kepercayaan lokal;
2) Kawasan ini harus memberikan peluang kegembiraan publik melalui
rekreasi dan wisata, dalam cara kehidupan dan aktivitas ekonominya yang
normal.
(7) Kawasan lindung sumberdaya yang terkelola (managed resource protected
area). Kawasan konservasi jenis ini terutama ditujukan untuk pemanfaatan
ekosistem alam secara berkelanjutan. Kawasan konservasi ini berisi terutama
sistem alam yang belum dimodifikasi, yang kemudian dikelola untuk
menjamin perlindungan dan pemeliharaan jangka panjang keanekaragaman
hayati. Sementara pada waktu yang sama memberikan aliran hasil alam secara
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kawasan ini juga harus
sesuai dengan semua batasan tentang sebuah kawasan lindung. Tujuan
pengelolaan di dalam kawasan konservasi jenis ini adalah:
45
1) Melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati dan nilai-nilai alamiah
yang lain dalam jangka panjang;
2) Mengembangkan praktek pengelolaan yang ramah lingkungan untuk tujuan
produksi yang berkelanjutan;
3) Melindungi basis sumberdaya alam dari perubahan pemanfaatan lahan yang
lain yang mungkin dapat merusak kenekaragaman hayati kawasan;
4) Memberikan sumbangan kepada pembangunan regional dan nasional.
Beberapa panduan untuk memilih kawasan konservasi kategori ini antara lain:
1) Paling tidak dua pertiga kawasan harus tetap dan direncanakan tetap dalam
kondisi alami, walaupun mungkin juga berisi sedikit daerah yang telah
termodifikasi ekosistemnya, dengan daerah pertanian atau perkebunan yang
luas tidak boleh dimasukkan;
2) Kawasan ini harus cukup luas untuk menyerap pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan tanpa merusak nilai alamiahnya dalam jangka panjang;
3) Otoritas manajemen harus berada di tempat.
Berdasarkan kategori-kategori kawasan konservasi di atas maka KKL
Kepulauan Seribu yang merupakan Taman Nasional Laut termasuk ke dalam
kategori 3. Menurut Salm et al. (2000), bahwa kategori 3 mempunyai tujuan
primer pelestarian keanekaragaman spesies dan genetik, pemeliharaan jasa-jasa
lingkungan dan pariwisata, dengan tujuan sekundernya adalah penelitian ilmiah,
perlindungan alam liar, perlindungan bentangan alam/budaya yang khas dan
pendidikan.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa secara umum pengelolaan konservasi
sumberdaya ikan belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain: (i) orientasi
pengelolaan konservasi sumberdaya ikan selama ini dititikberatkan pada
manajemen terestrial, serta kurang memperhatikan pengelolaan konservasi di
bidang kelautan yang memiliki karakteristik konektivitas, keterwakilan, resistensi
dan resiliensi; (ii) pengelolaan konservasi sumberdaya ikan selama ini masih
bersifat sentralistik dan belum banyak melibatkan pemerintah daerah dan
masyarakat setempat; (iii) terjadinya tumpang tindih pemanfaatan ruang dan
benturan kepentingan antara berbagai pihak khususnya yang menyangkut
pemanfaatan KKL dan potensinya; (iv) data dasar potensi sumberdaya ikan masih
46
sangat terbatas; dan (v) masih banyak pelanggaran yang terjadi di KKL, seperti
penangkapan biota laut dengan menggunakan bahan peledak, penambangan
terumbu karang secara liar, pembuangan limbah ke laut dan perdagangan ilegal
biota perairan yang dilindungi sebagai akibat dari penegakan hukum yang belum
optimal (Haryani et al. 2008).
Untuk mengatasi masalah-masalah pengelolaan KKL, Dahuri (2003)
menyarankan enam program strategis
yang
perlu
dilaksanakan,
yaitu:
(i) melibatkan secara aktif peran masyarakat lokal di kawasan konservasi, (ii)
perlindungan yang ketat di daerah zona inti dengan pembangunan lampu suar,
pemasangan pelampung (buoy), serta peningkatan pengawasan dan penegakan
hukum, (iii) pembentukan manajemen satu pintu (misalnya otoritas KKL),
(iv) peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan
konservasi bagi bangsa Indonesia, (v) pengembangan mata pencaharian alternatif
bagi masyarakat lokal, dan (vi) pengembangan program penelitian dan
monitoring, serta sistem informasi bagi pengelolaan kawasan konservasi.
2.5
Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Laut
Sumberdaya ikan adalah salah satu sumberdaya sebagai tulang punggung
ekonomi yang rentan terhadap deteriorasi yang diakibatkan oleh aktivitas
ekonomi. Oleh karena itu, pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya ikan
yang
terbaik,
yang
menghasilkan
kesejahteraan
setinggi-tingginya
bagi
masyarakat dan bangsa, merupakan pertanyaan yang sudah lama berkembang.
Pada awalnya, perikanan dikelola berdasarkan faktor biologi semata, dengan
pendekatan MSY, namun pendekatan ini ternyata tidak dapat menjawab
permasalahan yang ada, sebab aspek sosial-ekonomi pengelolaan sumberdaya
ikan tidak dipertimbangkan sama sekali. Selanjutnya diperkenalkan instrumen
pasar atau instrumen ekonomi seperti pajak, kuota, limited entry, dan sebagainya.
Kenyataan menunjukkan bahwa meski dibeberapa negara instrumen ini
cukup berhasil, namun di negara-negara berkembang penerapan instrumen ini
sering mengalami kegagalan. Pada awal 1990’an, mulai berkembang instrumen
yang didesain langsung pada pengendalian sumberdaya ikan, yaitu berupa
penentuan suatu KKL.
Pada kawasan ini, input dan output pada produksi
47
perikanan di atur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan
(Fauzi dan Anna 2005).
Prinsip KKL adalah spill over effect atau dampak limpahan, dimana pada
kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari
pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, yang kemudian dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di
daerah yang dilindungi. KKL memiliki banyak manfaat signifikan yang akan
membantu pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Li (2000) di acu
dalam Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa manfaat KKL yaitu manfaat
biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan
spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa
pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi
pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian,
ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenil, dan peningkatan
priduktivitas perairan (productivity enchancement).
Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat langsung yang
bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung
yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun, secara keseluruhan
dapat di simpulkan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi tinggi yang tidak hanya
bersifat terukur (tangible), namun juga tidak terukur (intangible).
Manfaat
terukur biasanya di golongkan ke dalam manfaat kegunaan, baik yang dikonsumsi
maupun tidak, sementara manfaat tidak terukur berupa manfaat nonkegunaan
yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang.
Secara
ekonomi, KKL dapat diibaratkan sebagai investasi sumber daya di masa
mendatang sebagaimana Gambar 7 (Fauzi dan Anna 2005).
Sebagaimana terlihat pada Gambar 7, suatu wilayah laut dengan
sumberdaya ikan yang dapat dibagi ke dalam dua wilayah.
Wilayah non
konservasi sebesar s merupakan wilayah pemanfaatan yang dapat memberikan
manfaat ekonomi dalam jangka pendek (periode t). Kawasan konservasi, di lain
pihak, merupakan kawasan dengan luas (1-s) yang pada periode menengah
mungkin tidak atau belum memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat.
Alasannya, kawasan tersebut pada periode t+1 merupakan kawasan yang
48
dilindungi dan merupakan investasi di masa mendatang. Pada periode jangka
panjang (t+2), kawasan tersebut akan memberikan dampak limpahan (spill over)
yang kemudian dapat menjadi manfaat ekonomi yang berkelanjutan (Fauzi dan
Anna 2005).
Wilayah dan sumber daya laut
s
(1-s)
Kawasan pemanfaatan
(non konservasi)
Kawasan konservasi
t+1
t
Investasi
t+2
Manfaat ekonomi
Gambar 7 Prinsip manfaat ekonomi KKL (Fauzi dan Anna 2005)
Beberapa
hasil
studi
terakhir
menunjukkan
bahwa
KKL
telah
menunjukkan manfaat yang berarti, yaitu berupa peningkatan biomas. Hasil studi
Halpern (2003), misalnya menunjukkan bahwa secara rata-rata, kawasan
konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat,
sementara biomas ikan dan keanekaragaman hayati meningkat tiga kali lipat.
Peningkatan kelimpahan dan biomas ini juga mengakibatkan peningkatan
produksi perikanan atau jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya (CPUE).
Beberapa studi menunjukkan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio
CPUE dalam kisaran 30% sampai 60% dari kondisi sebelum adanya KKL.
Sementara itu, dari sisi riil effort (misalnya jumlah trip), beberapa studi seperti di
Apo Island, Filipina dan George Bank, Amerika Serikat, telah menunjukkan
penurunan yang berarti (Fauzi dan Anna 2005).
Dari sisi ekonomi, manfaat yang diperoleh dari KKL juga cukup
signifikan. Hasil studi White (1989) mengenai KKL di Apo Island menunjukkan
bahwa manfaat bersih (net benefit) yang bisa diperoleh dari KKL Apo Island
hampir mencapai US$ 400 ribu. Manfaat ekonomi ini diperoleh dari penerimaan
ekoturisme dan perikanan, serta penjualan jasa bagi kepentingan wisata dan
perikanan. Nilai ekonomi tentu saja lebih berarti dibandingkan manfaat ekonomi
49
sesaat dari penangkapan ikan baik konvensional maupun dengan teknik destruktif
seperti bom dan sianida (Fauzi dan Anna 2005).
Selain manfaat biologi dan ekonomi, KKL juga memberikan manfaat
sosial yang tidak bisa diabaikan.
Beberapa hasil studi menunjukan bahwa
penetapan suatu kawasan menjadi KKL dapat meningkatkan kepedulian
masyarakat sekitar terhadap masalah lingkungan laut. KKL juga dapat dijadikan
ajang meningkatkan pendidikan lingkungan untuk masyarakat sekitar. Interaksi
dengan wisatawan dari berbagai negara juga telah membantu membuka cakrawala
berpikir bagi penduduk sekitar. Interaksi ini berfungsi juga sebagai ajang transfer
teknologi dan informasi dari dunia luar ke penduduk sekitar. Selain itu, studi di
kepulauan Pasifik menunjukkan bahwa penetapan KKL telah meningkatkan
keharmonisan antar penduduk pulau dan mengurangi konflik pengguna
sumberdaya yang selama ini cukup intensif (Fauzi dan Anna 2005).
Bagaimanapun juga pembentukan KKL harus dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat lokal agar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan KKL dapat
diharapkan.
Alder et al. (2002) telah mencatat adanya peningkatan biomas,
kelimpahan, atau keanekaragaman hayati ikan di KKL. Manfaat KKL terhadap
perikanan dibahas secara panjang lebar oleh Gell dan Roberts (2002). Mereka
juga melaporkan pengaruh positif KKL terhadap perikanan lobster di
Newfoundland-Kanada. Ukuran lobster di Leigh Marine Reserve (Selandia Baru)
juga dilaporkan lebih besar dibandingkan dengan lobster di luar KKL tersebut
(Kelly et al. 2002). Penelitian mengenai keuntungan sosial dari KKL memang
masih jarang, tetapi biasanya jika KKL dapat memberikan keuntungan (manfaat)
ekonomi maka manfaat sosial juga akan mengikutinya (Alder et al. 2002).
2.6
Kebijakan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih
17.508 dan sekitar 10.000 merupakan pulau-pulau kecil (Bengen 2003), yang
diantaranya sejumlah 92 (sembilan puluh dua) merupakan pulau-pulau kecil
terluar (DKP 2005). Besarnya jumlah pulau-pulau tersebut menyiratkan 2 (dua)
hal yang penting, yaitu: (i) besaran sumberdaya yang berkaitan dengan potensi
pengembangan melalui upaya pemanfaatan secara optimal; dan (ii) besaran
permasalahan yang berkaitan dengan posisi geografis pulau-pulau kecil yang sulit
50
dicapai karena kurangnya sarana dan prasarana aksesibilitas (DKP 2005, 2007d
dan 2007e). Kemudian secara ekologis dan ekonomis, ketersediaan faktor-faktor
yang dapat menunjang pembangunan secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil ini
sangatlah terbatas. Misalnya saja untuk penyediaan sarana dan prasarana publik
sangatlah sulit dan memakan biaya tinggi, kemudian sumberdaya manusianya
juga terbatas (Fauzi dan Anna 2005).
Potensi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat dari berbagai
sisi antara lain, ekonomi, sosial, ekologi, keamanan (security) dan navigasi (Fauzi
dan Anna 2005). Selama ini potensi pemanfaatan tersebut belum dikelola secara
optimal dan juga pengelolaannya cukup sensitif.
Sebagai contoh, ide
menyewakan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni telah memicu pro dan
kontra, juga kasus terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan.
Kebijakan menyangkut pemanfaatan
pulau-pulau kecil pada dasarnya
haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik bio-geo-fisik serta sosial ekonomi
masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting, baik
bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun bagi kehidupan ekosistem di
daratannya.
Jika saja pulau-pulau kecil ini berhasil dikembangkan dan
dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, maka bukan saja akan merupakan
wilayah pertumbuhan baru yang signifikan, tetapi juga sekaligus akan mengurangi
kesenjangan pembangunan antar wilayah dan kelompok sosial.
Pada umumnya pulau kecil di Indonesia dicirikan oleh adanya
“keterisolasian” dari pulau utama, yang pada umumnya memiliki keterbatasan
kapasitas daya dukung lingkungannya. Pulau-pulau kecil tersebut membutuhkan
strategi dalam pengembangannya, yaitu perencanaan dan pengelolaan yang
spesifik sesuai dengan karakteristik dan permasalahannya. Rasionalisasi antara
daya dukung lingkungan dengan kegiatan sosial ekonomi masyarakatnya menjadi
faktor penentu dalam merumuskan pengembangan pulau-pulau kecil.
Pada
kenyataannya, pengembangan pulau-pulau kecil secara terpadu hingga saat ini
masih relatif sulit dilakukan, hal ini karena pulau-pulau kecil memiliki beberapa
permasalahan, antara lain:
(1) Ukuran yang kecil dan lokasi yang sulit dijangkau serta letaknya yang
tersebar;
51
(2) Kurangnya sarana dan prasarana pendukung bagi pengembangan pulau kecil;
(3) Budaya lokal kepulauan yang kadang bertentangan dengan kegiatan
pembangunan;
(4) Pengembangan yang dilakukan masih bersifat sektoral, sporadis dan tidak
terarah, serta lebih diprioritaskan untuk pulau kecil yang sudah berkembang
ataupun yang menjadi isu nasional;
(5) Belum ada strategi nasional yang menjembatani terciptanya pengembangan
gugus pulau secara harmonis dan terpadu;
(6) Pulau-pulau kecil yang tersebar di perairan nusantara tidak semuanya
berpenghuni,
hal
ini
dapat
mempengaruhi
didalam
percepatan
pembangunannya.
Pemanfaatan potensi ekonomi pulau-pulau kecil seperti pada kawasan
perbatasan masih relatif rendah dan belum dikembangkan secara optimal,
misalnya
potensi
pengembangan
sektor-sektor
unggulan,
pusat-pusat
pertumbuhan, berikut entry point maupun outlet-outlet-nya, belum dilakukan
dengan strategi yang benar. Pengembangan pulau-pulau kecil dapat dilakukan
dengan baik apabila penataan ruang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya dilakukan dengan baik, yaitu dengan memperhatikan karakteristik
pulau kecil,
yang
menyangkut
aspek
fisik,
sosial,
budaya,
ekonomi,
kedekatan/jarak, dan beberapa hal penting lainnya. Dengan demikian maka
skenario pembangunan pulau kecil atau gugus pulau akan dapat dilakukan dengan
baik pula. Pendekatan-pendekatan penataan ruang berdasarkan karakteristik
pulau-pulau kecil ini tidak dapat dilakukan per pulau, tetapi akan lebih efektif bila
dilakukan melalui pengelompokan (clustering), dalam upaya mengurangi
keterisolasian suatu pulau dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya
yang ada dalam memacu pengembangan pulau-pulau kecil (DKP 2007i).
2.6.1 Pengertian pulau-pulau kecil
Secara umum, pulau dapat didefinisikan sebagai wilayah daratan yang
terbentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan/atau selalu berada diatas
permukaan air pada waktu air pasang (UNCLOS 1982). Hampir 7% dari daratan
52
bumi ini merupakan pulau–pulau kecil. Pulau–pulau kecil tergolong unik ditinjau
dari sisi biofisik, geografi, budaya dan daya dukung lingkungannya.
Menurut Retraubun dan Atmini (2004), pulau-pulau kecil memiliki
definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang di
berbagai forum para pakar. Definisi operasional pulau kecil di Indonesia pun
masih menjadi pemikiran para pengambil kebijakan dan pakar yang terkait dengan
disiplin ilmu ini. Selain pengertian secara umum diatas, pengertian pulau kecil
dapat didefinisikan sebagai berikut:
(1) Pulau kecil adalah pulau yang memiliki luasan sama atau kurang dari 10.000
km2 dengan jumlah penduduk maksimal 500.000 jiwa (Hess 1990).
(2) Pulau Kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan
2.000 km2 (UNESCO 1991). Perbedaan lebih jauh juga dilakukan antara
pulau kecil dan pulau sangat kecil, yang dibedakan melalui keterbatasan
sumberdaya air tawar, baik air tanah maupun air permukaan.
Sehingga
ditetapkan bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau
lebarnya tidak lebih besar dari 3 km dikategorikan pulau sangat kecil
(UNESCO 1991).
(3) Bengen (2003) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang mempunyai
luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari
10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari
2.000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 (tiga) km. Pulau-pulau ini
diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil. Contoh dari pulau sangat kecil
adalah pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
(4) Menurut Kepmen No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Pulau–Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat disebutkan
bahwa, pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas kurang dari atau sama
dengan 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan
200.000 jiwa. Batasan yang sama juga dipakai oleh Hess (1990) namun
dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang.
Definisi gugus pulau kecil adalah kumpulan pulau–pulau yang saling
berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara
individu maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari
53
pengelolaan sumberdayanya. Dari segi oseanografi, terdapat dinamika
perairan antara pulau yang satu dengan pulau lainnya.
Berdasarkan hasil rumusan dari “Semiloka Penentuan Definisi dan
Pendataan Pulau di Indonesia” Retraubun dan Atmini (2004), disepakati bahwa
definisi pulau kecil yang operasional di Indonesia mengacu kepada UNESCO
(1991) yaitu pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2. Perlu
dipahami
bahwa
pendefinisian
pulau
kecil
diatas
didasarkan
pada
kesamaan/kemiripan karakteristik pulau kecil itu sendiri. Oleh karena itu persepsi
terhadap definisi diatas perlu dilandasi oleh pemahaman terhadap karakteristik
pulau-pulau kecil.
2.6.2 Karakteristik pulau-pulai kecil
Selain untuk menyamakan persepsi terhadap definisi pulau kecil, maka
perlu dipahami terlebih dahulu karakteristik pulau-pulau kecil.
Karakteristik
pulau-pulau kecil secara fisik (Gambar 8) adalah sebagai berikut :
(1) Terpisah dari pulau besar;
(2) Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri;
(3) Lebih banyak dipengaruhi oleh hidro-klimat laut;
(4) Rentan terhadap perubahan alam atau karena ulah manusia;
(5) Substrat pulau kecil bergantung pada kondisi dan proses geologi dan
morfologi pulau itu sendiri. Sementara substrat pada wilayah pesisir juga
dipengaruhi oleh jenis biota yang ada disekitar pulau (terumbu karang,
moluska, ekinodermata dan lain-lainnya);
(6) Kedalaman laut rata-rata antar pulau sangat ditentukan oleh kondisi geografis
dan letak pulau;
(7) Dinamika oseanografi (arus dan pasang-surut) yang unik pada setiap pulau.
Karakteristik pulau-pulau kecil secara ekologis (Gambar 8) adalah sebagai
berikut:
(1) Memiliki spesies flora dan fauna yang spesifik;
(2) Memiliki risiko perubahan lingkungan yang tinggi;
(3) Memiliki keterbatasan daya dukung pulau;
(4) Melimpahnya biodiversitas ekosistem laut.
54
Karakteristik pulau-pulau kecil secara sosial-budaya dan ekonomi
(Gambar 8) adalah sebagai berikut:
(1) Ada pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni;
(2) Memiliki budaya, adat dan kebiasaan yang unik;
(3) Memiliki kondisi sosial ekonomi yang khas;
(4) Kepadatan penduduk terbatas/rendah;
(5) Ketergantungan ekonomi pada perkembangan ekonomi luar pulau (pulau
induk atau kontinen);
(6) Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia;
(7) Aksesibilitas rendah.
Kondisi fisik pulau
sempit dan terbatas
Jumlah
populasi
kecil
Populasi
homogen
Karakteristik
sosial masyarakat
yang spesifik
Kondisi ekonomi dan
lingkungan kurang
menguntungkan
Melimpahnya potensi
sumberdaya laut
dan pesisir
Gambar 8 Karakteristik pulau kecil (DKP 2007i)
2.6.3 Tipologi pulau-pulau kecil
Secara fisik, pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki keunikan yang dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe pulau, yaitu :
(1) Pulau-pulau kecil berdasarkan letak;
(2) Pulau-pulau kecil berdasarkan asal pembentukan pulau, yang dapat
digolongkan atas 2 (dua) tipe: pulau oseanik dan pulau kontinental;
(3) Pulau-pulau kecil berdasarkan aspek geomorfologi yang dapat dibedakan
menjadi beberapa kategori, yaitu pulau dataran rendah, pulau daratan dan
pulau bergunung;.
(4) Pulau kecil berdasarkan tatanan tektonik regional (geologi);
55
(5) Pulau kecil berdasarkan aspek hidro-oceanografi.
Kondisi bathimetri
perairan di sekitar pulau dipengaruhi oleh iklim, keadaan arus laut dan
gelombang. Arus pasang surut yang terjadi di sekitar pulau-pulau kecil juga
akan mempengaruhi perubahan fisik pulau-pulau kecil;
(6) Pulau kecil berdasarkan aspek eko-biologi. Dengan adanya Garis Wallace dan
Garis Weber, maka pulau-pulau kecil di Indonesia secara ekologis terbagi
atas 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok pulau-pulau kecil di wilayah barat,
wilayah tengah, dan wilayah timur.
2.6.4 Potensi sumberdaya pulau-pulau kecil
Potensi sumberdaya yang terdapat di pulau–pulau kecil terdiri dari
sumberdaya hayati dan non hayati, sebagai berikut:
(1) Sumberdaya hayati, yaitu berdasarkan potensi sumberdaya yang tidak habis
terpakai atau dapat diperbaharui, misalnya: hutan, terumbu karang, mangrove,
padang lamun, ikan, phytoplankton dan zooplankton yang bernilai ekonomi
tinggi.
(2) Sumberdaya non-hayati, yaitu berdasarkan potensi sumberdaya yang habis
terpakai dan tidak dapat diperbaiki, misalnya bahan tambang dan mineral, air
tanah, keindahan bawah laut dan pantai.
Selain segenap potensi sumberdaya tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau
kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi
kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga kelangsungan hidup umat
manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan
di pulau-pulau kecil, yaitu: sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika LaNina), siklus hidrologi dan biogeokimianya, penyerap limbah, sumber plasma
nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan.
pemanfaatan sumberdaya di kawasan
Oleh karena itu,
tersebut mestinya secara seimbang
dibarengi dengan upaya konservasi sehingga dapat berlangsung secara optimal
dan berkelanjutan.
2.7
Paradigma Pembangunan Pulau-Pulau Kecil
Dilihat dari karakteristik pulau kecil sebagaimana tersebut di atas, maka
diperlukan strategi khusus dalam mengembangkan potensi sumberdaya alam
56
pulau-pulau kecil. Strategi khusus tersebut diarahkan agar mampu menghasilkan
nilai ekonomi yang signifikan, namun tetap menjaga kelestarian lingkungan, dan
sebagai modal utama yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil tersebut. Gambaran
hubungan antara lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada
Gambar 9.
Di tingkat nasional, pengembangan dan pembangunan pulau kecil
dilakukan berdasarkan isu nasional yang berkembang, sedangkan di tingkat
daerah,
pembangunan
mendatangkan
pulau-pulau
keuntungan
kecil
ekonomi
lebih
tinggi
bersifat
dengan
ekstraktif
yang
mengesampingkan
perlindungan terhadap ekosistem lingkungan dan proses-proses ekologi di
dalamnya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip pembangunan secara
berkelanjutan.
+
Lingkungan
Pembangunan Ideal
(Very Well Development)
-
+ Ekonomi
Ekonomi
-
Lingkungan
Gambar 9 Hubungan antara lingkungan dan pertumbuhan ekonomi
(DKP 2007i)
Namun perlu dipahami bahwa kondisi ideal sulit dicapai dimana
pembangunan dapat menghasilkan nilai ekonomi tinggi, sekaligus tanpa
mengganggu kondisi lingkungan alam sekitarnya. Sehingga yang penting
diperhatikan adalah, seberapa jauh pembangunan ataupun aktivitas kegiatan dapat
menimbulkan perubahan/degradasi lingkungan hingga taraf yang dapat diterima,
dalam arti lingkungan tetap mempunyai kesempatan untuk kembali ke kondisi
awalnya. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan terhadap besaran
kegiatan di pulau-pulau kecil, atau yang kita istilahkan sebagai “daya dukung
pulau-pulau kecil”.
57
Di
sisi
lain,
pulau-pulau
kecil
menghadapi
masalah
dalam
pengembangannya, karena letaknya yang menyebar dan tidak seluruhnya
berpenduduk serta memiliki potensi ekonomi. Untuk itu, diperlukan pendekatan
dalam perencanaan pembangunan pulau-pulau kecil melalui “pengelompokan
pulau-pulau kecil” (clustering). Pendekatan pengelompokan dilakukan dalam
berbagai tingkat perencanaan di tingkat nasional hingga kabupaten, dengan
mengacu pada hirarki tata ruang yang telah ditetapkan secara nasional, serta
memiliki fungsi atau peran perencanaan yang berbeda di tiap tingkatan tersebut.
2.8
Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan berhubungan dengan
bioekonomi sumberdaya ikan, kebijakan pengelolaan KKL dan pengelolaan
pulau-pulau kecil meliputi berbagai topik.
Demikian pula yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya ikan secara umum dan dampak kesejahteraan
yang ditimbulkannya.
Indra (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan
model bioekonomi perikanan akibat adanya eksternal shock serta kebijakan dalam
rangka rehabilitasi dan rekonstruksi sektor perikanan di Propinsi Aceh yang
harmonis, lestari dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat
di daerah penelitian. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada kondisi aktual
selama periode pengamatan telah terjadi degradasi dan depresiasai sumberdaya
ikan pelagis dengan pola yang terus meningkat.
Pengelolaan perikanan di
Propinsi Aceh perlu mengurangi effort sebesar 0-34,0% di pantai timur dan
0-46,3% di pantai barat. Hasil lainnya adalah adanya interaksi positif antara
ekosistem mangrove dengan tingkat produksi perikanan tangkap di daerah
penelitian, dimana ekosistem mangrove memberikan kontribusi 27,21% terhadap
total produksi perikanan. Estimasi luas mangrove optimal di pantai timur seluas
100.946,70 ha dan pantai barat seluas 13.029,91 ha, sedangkan estimasi jumlah
effort optimal di pantai timur 105.950 trip dan pantai barat 74.456 trip.
Parwinia (2007) melakukan penelitian untuk pengembangan pemodelan
ko-eksistensi pariwisata dan perikanan, dengan melakukan analisis konvergensidivergensi (KODI) di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ko-eksistensi antara pariwisata dan perikanan akan
58
dimungkinkan ketika manfaat yang diperoleh keduanya menguntungkan. Nilai
ekonomi tersebut bagaimanapun belum dapat dimanfaatkan secara utuh karena
belum optimalnya pengelolaan sumberdaya alam di Selat Lembeh. Penelitian ini
juga menghasilkan 4 (empat) tipologi interaksi antara konservasi dan perikanan
tergantung pada besaran kapasitas ekonomi dan kapasitas biofisik.
Beberapa
alternatif kebijakan untuk melindungi pengelolaan kawasan pesisir yang mungkin
dapat di lakukan melalui komitmen antara pengelola KKL dan wisata dengan
nelayan. Tipologi pengelolaan yang ideal adalah dimana kondisi baik kapasitas
ekonomi dan kapasitas biofisik tinggi, sehingga dapat terjadi konvergensi antar
wisata dan perikanan.
Fauzi dan Anna (2005) melakukan penelitian tentang pemodelan
bioekonomi KKL yang dilakukan dengan menggunakan faktor luasan KKL atau
sigma (σ) sebagai konstanta yang dimasukkan dalam pemodelan.
Dalam
penelitian ini belum mempertimbangkan spill over effect dan faktor-faktor
ekonomi serta biologi lainnya.
Efrizal
(2005)
melakukan
penelitian
untuk
analisis
pengelolaan
sumberdaya ikan demersal di pulau-pulau kecil: suatu pendekatan “Converging
Dual Track Model (CD-TRAM)”, yang bertujuan untuk menganalisis pola
pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau melalui
suatu pendekatan pengembangan model.
Dilihat dari perspektif model CD-
TRAM, pengelolaan sumber daya ikan bisa mengikuti trajektori konvensional,
yakni untuk rezim pengelolaan memperlihatkan bahwa biomas terdapat pada
kondisi MEY dan terendah pada kondisi open access.
Kondisi MEY
menghasilkan input (effort) yang jauh lebih kecil dari solusi open access serta
MSY.
Solusi MEY juga menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi
dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain. Model CD-TRAM menunjukkan
bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44,18% terhadap
produksi perikanan di Kabupaten Bengkalis, meski relatif kecil, kontribusi ini
cukup signifikan dilihat dari kendala sumberdaya pulau-pulau kecil.
Haryadi (2004) melakukan penelitian dengan Analisis Sosial Ekonomi
Manfaat Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Secara
umum penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya manfaat sosial
59
ekonomi TNL Kepulauan Seribu bagi masyarakat nelayan, sedang tujuan
khususnya memberikan informasi kepada masyarakat yang didukung data empiris
bahwa TNL Kepulauan Seribu memang bermanfaat bagi masyarakat setempat
yang kemudian menjadi hipotesis dalam penelitian ini yaitu penetapan TNL
Kepulauan Seribu pada tahun 1995 oleh pemerintah memang memberikan
manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat khususnya nelayan. Dalam
analisis manfaat KKL, untuk menganalisis manfaat sosial ekonomi keberadaan
TNL Kepulauan Seribu, secara konsisten menghasilkan kesimpulan yang sama
yaitu adanya manfaat TNL Kepulauan Seribu bagi nelayan, yang berkorelasi
positif terhadap hasil pembangunan pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta.
Ola (2004) melakukan penelitian tentang model pengelolaan pulau-pulau
kecil dalam rangka pengembangan wilayah kepulauan Wakatobi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya mangrove untuk pemukiman
penduduk seluas 1 (satu) Ha berdampak pada penurunan biomas kepiting pada
lingkungan mangrove sebesar 23,75 kg/tahun, penurunan biomas ikan balanak
pada lingkungan lamun sebesar 87,50 kg/tahun dan penurunan biomas ikan kerapu
pada lingkungan terumbu karang sebesar 62,45 kg/tahun. Pengelolaan kepulauan
Wakatobi sebaiknya diarahkan untuk pengembangan sektor industri lain yang
didukung oleh sektor angkutan, komunikasi, perikanan dan sektor lembaga
keuangan yang tangguh, serta menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan laut agar
di dapat kesejahteraan masyarakat maupun keberlanjutan pembangunan.
Maanema (2003) melakukan penelitian tentang model pemanfaatan pulaupulau kecil (studi kasus di gugus pulau Pari, Kepulauan Seribu).
Tujuan
penelitiannya antara lain menentukan model pemanfaatan gugus pulau Pari yang
sesuai dengan daya dukungnya. Model yang diperoleh dari hasil penelitian bahwa
model pariwisata pantai dan model budidaya dapat diterapkan.
Susilo (2003) melakukan penelitian tentang keberlanjutan pembangunan
pulau-pulau kecil, dengan studi kasus di kelurahan Pulau Panggang dan Pulau
Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Hasil penelitian memfokuskan pada aspek
keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil melalui model SMILE dengan
60
modifikasi RAPFISH. Dalam penelitian ini tidak menganalisis keterkaitan KKL
yang ada di wilayah penelitian.
Marsaoli (2001) melakukan penelitian tentang model pemanfaatan
sumberdaya ikan karang berkelanjutan di kawasan pulau-pulau kecil (studi kasus
perikanan lencam/Lethrinus lentjan) sistem tradisional di kawasan terumbu
karang kepulauan Guraici Kabupaten Maluku Utara Propinsi Maluku Utara.
Evaluasi model pemanfaatan perikanan karang berkelanjutan di dasarkan pada
empat model yaitu: (1) model stok berkelanjutan, (2) model pertumbuhan
berkelanjutan, (3) model surplus produksi, (4) model bioekonomi.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa kerusakan terumbu karang di kepulauan
Guraici, menurunkan ketersediaan stok ikan lencam sekitar 78% dan penurunan
pertumbuhan maksimum berkelanjutan sekitar 58%.
Intensitas pemanfaat
optimum menurun 27% dari kondisi terumbu karang baik (168 trip/km2) ke
kondisi terumbu karang rusak (123 trip/km2) dan hasil MSY menurun 58%.
Keuntungan berkelanjutan berkurang sekitar 73% pada kondisi terumbu karang
rusak.
Beberapa penelitian yang dilakukan di luar wilayah perairan Indonesia,
yang dipublikasikan melalui beberapa jurnal ilmiah internasional, sebagaimana
yang disebutkan dalam Salm et al. (2000), Rodwell et al. (2001), Sanchirico dan
Wilen (2001), Rodwell et al. (2002), Gell dan Robert (2002), Kelly et al. (2002),
Halpern (2003), Pomeroy et al. (2004), Cote dan Finney ( 2006), serta beberapa
referensi lainnya; menyebutkan bahwa penelitian yang mengarah pada
pengembangan KKL berkisar tentang keberhasilan pengembangan KKL secara
biologi saja,
yang ditunjukkan oleh keberhasilan peningkatan biomas,
kelimpahan, produksi secara umum dan penyelamatan ekosistem kritis. Juga
keberhasilan secara ekonomi saja yang telah meningkatkan income nelayan,
pengembangan metode pengelolaan, management efektif dan pengembangan
MPA network. Penelitian yang mengarah pada pemodelan bioekonomi dengan
memasukkan parameter spill over effect di KKL, belum dilakukan dengan hasil
yang terukur. Demikian juga di KKL Kabupaten Raja Ampat, belum pernah
dilakukan penelitian kondisi bioekonomi di wilayah tersebut, apalagi penelitian
tentang
bioekonomi
dengan
memasukkan
faktor
spill
over
effect.
Download