Setiap perubahan menimbulkan ketidaknyamanan, sebaliknya

advertisement
Setiap
perubahan
menimbulkan
ketidaknyamanan,
sebaliknya
dalam
kenyamanan sulit tercapai perubahan. Ungkapan ini memang benar adanya. Setelah
lulus dari sekolah menengah tingkat atas, individu yang memilih untuk melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi akan mengalami lebih banyak perubahan
dibandingkan masa transisi pendidikan sebelumnya, misalnya dari SD ke SMP, atau
dari SMP ke SMA. Menjadi mahasiswa tingkat satu bukanlah hal yang mudah.
Perubahan yang dialami muncul dari beberapa aspek kehidupan, hadir dalam waktu
hampir bersamaan. Masa transisi dari SMA ke Perguruan Tinggi yang dialami
bersamaan dengan beratnya tugas perkembangan pada masa remaja ini seringkali
menjadi permasalahan dalam pribadi mahasiswa. Permasalahan remaja ini
berhubungan erat dengan perubahan fisik dan emosinya, misa lnya depresi (4,2 %),
bulimia nervosa (0,4%) dan penyalahgunaan narkotika (8,9%). Angka tersebut
merupakan prevalensi kejadian di Amerika dalam satu tahun menurut Stice, Presnell
& Bearman (2001).
Terdapat banyak permasalahan yang cukup membebani mahasiswa dalam
menjalankan perannya. Berdasarkan data konseling, wawancara, dan observasi
selama satu tahun (sebagai preliminary study) sejak bulan April 2013 hingga April
2014, di sebuah universitas swasta di Yogyakarta, dengan jumlah partisipan 212
mahasiswa, keadaan mahasiswa tahun pertama selama ini lebih sering kurang
termotivasi. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: berasal dari beragam
daerah di seluruh Indonesia, dapat dikatakan dari Sabang hingga Merauke semuanya
terwakili. Masing-masing individu merasakan tidak mudah menyesuaikan diri dengan
pergaulan di Yogyakarta, bersama dengan teman-teman yang berbeda kebiasaan.
Terkadang hanya karena berbicara dengan nada suara dan intonasi yang lebih keras
dari yang biasanya didengar, dapat menimbulkan konflik antar pribadi. Blaine (2009)
menyebutkan bahwa keragaman semacam ini, yang sering disebut dengan diversity,
akan mempengaruhi secara langsung kepada identitas personal masing-masing
mahasiswa dan juga kepada perilaku yang mereka tampilkan. Dari beberapa
mahasiswa yang menjalani konseling, konflik antar pribadi dapat menimbulkan rasa
malas datang ke kampus, sampai mempengaruhi persentase kehadiran kuliah.
Faktor berikutnya adalah kecepatan belajar yang tidak merata, karena
kemampuan kognitif mereka yang beragam. Ada yang superior dan di atas rata-rata,
namun sebagian besar rata-rata dan di bawah rata-rata. Kecepatan menyerap
pelajaran yang berbeda ini menyebabkan yang pintar cepat bosan dengan materi,
sedangkan mahasiswa yang kemampuan kognitifnya lebih rendah membutuhkan
waktu lebih lama untuk memahami materi. Kecepatan pengajar dalam menyampaikan
tetap disesuaikan dengan silabus yang telah dibuat sejak awal kuliah. Untuk
mengatasi perbedaan ini, dosen menyediakan asisten yang dapat diminta mengajar
secara privat di luar jam kuliah. Akan tetapi, perasaan ‘tidak mampu secepat temanteman’ tetap mempengaruhi motivasi sebagian mahasiswa. Dalhouse (2012)
menyebutkan beberapa cara mengajar yang tepat bagi karakteristik mahasiswa tahun
pertama, agar kemampuan kognitif mereka dapat menjadi setara dan siap mengikuti
perkuliahan di tahun berikutnya.
Selain itu, terdapat faktor cara belajar yang belum berubah dari cara belajar
saat SMA. Selama masa SMA, siswa terbiasa mendapatkan materi dari guru mata
pelajaran. Tugas-tugas dapat diselesaikan cukup dari buku yang tersedia. Perlu
dicermati pula bahwa SMA di daerah pelosok tentu berbeda dengan SMA di
Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka tidak mudah mengakses sumber informasi baik
melalui buku terbitan terbaru maupun jaringan internet. Misalnya ketika perkuliahan
diawali, dosen menanyakan berapa orang di antara mahasiswa baru yang belum
pernah mengirim email, jawabannya ada 12 orang. Pada saat semester 1 mahasiswa
sudah diberi tugas, yang bersumber dari artikel, jurnal atau e-book sehingga merasa
terbebani mengerjakan mereka tugas kuliahnya. Mahasiswa belum menyadari bahwa
cara belajar mereka di SMA tidak sesuai lagi digunakan di perkuliahan. Saat ini
mereka semestinya lebih proaktif dan meningkatkan daya juang agar sukses belajar.
Faktor lain penyebab kurangnya motivasi mahasiswa adalah kekecewaan tidak
diterima di perguruan tinggi negeri. Hal ini menimbulkan efek psikologis pada mereka
dan mempengaruhi cara belajar di kuliahnya saat ini. Mahasiswa masih merasa
bahwa kuliah di universitas swasta tidak sesuai dengan harapannya semula, sehingga
ia memiliki alasan untuk tidak bersemangat menjalaninya.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya yaitu perubahan cara mengelola diri saat
masih sebagai siswa SMA yang tinggal dengan orangtua, menjadi seorang
mahasiswa perantau menuntut mereka untuk cepat beradaptasi. Mereka perlu
mengubah diri agar dewasa dan mandiri dalam banyak hal, antara lain mengatur
waktu, mengatur keuangan, hubungan interpersonal dengan lawan jenis, pertemanan,
menjaga kesehatan, dan lain-lain. Hal-hal di luar akademik tersebut, secara langsung
maupun tidak, dapat menjadi masalah yang besar sampai mengganggu motivasi
belajar.
Faktor yang paling dicermati peneliti adalah banyak mahasiswa baru yang
belum memiliki visi masa depan yang jelas. Mereka ada yang hanya mengikuti
kemauan orangtua untuk kuliah, atau hanya berdasarkan saran dari orang lain.
Terlebih ketika tidak diterima di universitas yang diinginkan, lalu memutuskan untuk
‘yang penting kuliah, di kampus mana saja mau’. Mahasiswa yang seperti ini belum
memiliki impian untuk sukses dalam karir masa depannya,dan belum memiliki
kesadaran bahwa hal itu harus dimulai dari sukses dalam menempuh pendidikan. Jika
visi belum ditetapkan, tentu langkah sehari-hari menjadi tanpa arah yang jelas pula.
Keadaan ini menyebabkan mahasiswa mudah terpengaruh untuk melakukan hal-hal
yang menyimpang dari tujuannya kuliah. Misalnya bisnis kecil-kecilan bersama teman,
terseret kepada pergaulan bebas, atau terlalu sibuk dengan organisasi.
Kondisi mahasiswa tingkat satu yang kurang termotivasi dari dalam diri ini,
cukup memunculkan kekhawatiran bagi pihak universitas yaitu mengenai angka
peluruhan mahasiswa. Pada akhir semester ke-dua, mulai terjadi peluruhan
mahasiswa yang cukup tinggi, yaitu sebesar 5-12% setiap tahunnya. Data ini
diperoleh dari bagian kemahasiswaan. Newbaker (2014) menyebut peluruhan dengan
istilah persistence rate yang berarti presentase jumlah mahasiswa yang tidak
meneruskan pendidikan di institusi yang sama pada tahun berikutnya. Angka rata-rata
persistence rate mahasiswa tahun pertama di negara bagian Virginia dilaporkan
sebesar 1.8 persen pada tahun 2009, dan mahasiswa tahun kedua sebesar 2.8
persen. Ditinjau dari prosentase tersebut, berarti angka peluruhan mahasiswa di
universitas ini tergolong tinggi. Ditemukan terdapat banyak faktor yang dijadikan
alasan mahasiswa tidak meneruskan kuliahnya, antara lain karena merasa salah
memilih jurusan, diterima di perguruan tinggi yang lain, pelajaran yang terlalu sulit,
atau tidak mampu beradaptasi dengan pergaulan di lingkungan kampus. Sedangkan
mahasiswa lain yang tetap meneruskan kuliah di program studi ini juga mengalami
banyak dinamika dalam menjaga motivasinya.
Apabila ditinjau dari sudut pandang perkembangan, berdasarkan tingkat
usianya, yaitu 17-18 tahun, mahasiswa tingkat satu berada pada tahap
perkembangan remaja akhir. Ciri-ciri dari masa remaja adalah: (1) periode yang
penting dari perkembangan fisik dan mental yang cepat, (2) masa peralihan dari anak-
anak menuju kedewasaan, (3) periode perubahan sikap dan perilaku, (4) masa remaja
sebagai usia bermasalah (5) remaja sebagai masa mencari identitas, (6) masa remaja
sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, (7) masa remaja sebagai masa yang tidak
realistik dalam menentukan cita-cita, (8) masa remaja sebagai ambang masa dewasa
yang menggelisahkan (Hurlock, 1980).
Individu dalam masa remaja memiliki tugas perkembangan yang mesti
diselesaikan agar menjadi individu yang sehat mental. Tugas perkembangan ini
disebutkan oleh Hurlock (1980) yaitu: (1) Mencapai hubungan baru dan lebih matang
dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. (2) Mencapai peran sosial sebagai
pria maupun wanita. (3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya
secara efektif. (4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab. (5) Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa
lainnya. (6) Mempersiapkan karir untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. (7)
Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. (8) Memperoleh perangkat nilai dan sistem
etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
Menjadi mahasiswa tingkat satu merupakan penjabaran dari beberapa tugas
perkembangan sekaligus secara nyata. Keputusan untuk meneruskan pendidikan di
perguruan tinggi merupakan bentuk perwujudan dari poin mencapai peran sosial,
mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional
dari orangtua, sembari mempersiapkan karir dan mempelajari perangkat nilai dan
sistem etis dalam mengembangkan ideologi.
Kompleksitas pelajaran, perubahan cara hidup, maupun pengelolaan diri
sendiri ini sangat membutuhkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan
emosi dalam menjalaninya. Penelitian ini layak dan penting untuk dilakukan karena
dapat dijadikan studi bagi pengembangan model pelatihan sebagai pendukung
kesuksesan akademik. Penelitian di bidang psikologi pendidikan seperti ini
merupakan salah satu upaya yang diarahkan guna meningkatkan hasil belajar dan
kualitas lulusan mahasiswa, serta menemukan variabel-variabel yang berpengaruh
terhadap keberhasilan belajar (Saimun, 2002).
Mempertahankan motivasi berprestasi, daya juang, dan pengelolaan emosi
bukanlah hal yang mudah, terutama pada mahasiswa tingkat satu strata sarjana.
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk mengembangkan bentukbentuk pelatihan yang meningkatkan soft skill mahasiswa. West, Tateishi, Wright &
Fonoimona (2011) mengembangkan pelatihan inovasi dan kreatifitas untuk
mahasiswa dari multidisiplin, terutama dari disiplin ilmu teknologi dan pengembangan
mesin.
Istilah daya juang diambil oleh peneliti sebagai padanan dari istilah adversity
quotient yang dicetuskan oleh Paul G. Stoltz, PhD. Secara makna bahasa, adversity
dalam bahasa Inggris bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti
rintangan, kesulitan, atau keadaan yang tidak menyenangkan. Sedangkan quotient
dalam idiom ini berarti derajat atau besaran dari suatu kualitas spesifik atau
karakteristik tertentu. Makna dari daya juang dalam penelitian ini adalah derajat
kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan dan upaya bergerak ke depan
secara maksimal mengatasi kesulitan untuk mencapai tujuan tertentu. Ada tiga tipe
kepribadian dalam teori daya juang ini yaitu tipe quitters, seseorang yang mudah
menyerah, camper yaitu seseorang yang mudah puas, dan climber yaitu seseorang
yang terus berusaha sampai titik puncak (Stoltz, 2000). Ketika situasinya menjadi
semakin sulit, quitters akan menyerah dan campers akan berkemah, sementara
climbers bertahan dan terus mendaki.
Daya juang menjelaskan tentang kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan,
yang berfungsi untuk memberdayakan potensi. Berpijak dari teori psikologi kognitif,
pembangun daya juang dapat dijelaskan sebagai berikut: Orang yang merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, memiliki jangkauan jauh, bersifat
internal, dan di luar kendali mereka, akan menderita, sementara orang yang merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang pasti akan cepat berlalu, terbatas, eksternal, dan
berada dalam kendali mereka, akan berkembang pesat (Stoltz, 2000).
Hal ini berarti bahwa secara fungsi daya juang merupakan fasilitas bagi sifatsifat kepribadian, baik yang berasal dari bawaan maupun hasil belajar dan
pengalaman. Sifat-sifat kepribadian yang akomodatif terhadap kemajuan dan
kesuksesan individu belum tentu dapat berfungsi dengan baik bagi kinerja dirinya bila
tidak didukung dengan adanya daya juang yang memadai (Musthofa, 2004). Hasil
penelitian Musthofa merekomendasikan bahwa untuk membangun kualitas diri dapat
dilakukan dengan meningkatkan kualitas daya juang. Kualitas daya juang pada
dasarnya meningkatkan karakteristik respon individu terhadap masalah atau
tantangan yang dihadapi. Karakteristik respon tersebut adalah berupa mendahulukan
respon kognitif ketika berhadapan dengan suatu masalah untuk dihadapi atau
diputuskan.
Teori daya juang yang dipublikasikan oleh Stoltz (2000) ini merupakan
terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk
mencapai kesuksesan. Pengembangan teori ini berawal dari penelitian yang menggali
keberagaman dunia kerja yang kompleks dengan persaingan yang cukup tinggi,
sehingga banyak individu merasa stres menghadapinya. Ada empat aspek dalam
kecerdasan adversity, yaitu control (kendali) merupakan kemampuan individu dalam
mengendalikan peristiwa sulit. Origin (asal-usul) yaitu kemampuan individu dalam
menempatkan rasa bersalah atas kesulitan dan kegagalan yang dihadapinya,
sedangkan Ownership (pengakuan) merupakan kemampuan individu untuk mengakui
atau tidak penyebab timbulnya kesulitan, serta kemampuan untuk merespon setelah
mengetahui adanya kesulitan yang mesti dihadapi. Reach (jangkauan) merupakan
kemampuan individu untuk memperkecil akibat dari kesulitan agar kesulitan yang
dihadapi tidak mempengaruhi sisi lain dari kehidupannya. Endurance (daya tahan)
merupakan kemampuan individu untuk bertahan dalam kesulitan yang dihadapinya.
Pengukuran AQ akan dapat memberitahukan seberapa baik seseorang dapat
bertahan dan mampu mengatasi kesulitan, dapat meramalkan siapa saja yang dapat
bertahan dan siapa saja yang akan hancur. Selain itu, pengukuran AQ dapat
meramalkan siapa yang dapat melebihi harapan dari potensinya dan siapa yang akan
gagal, lalu memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan menang
(Stoltz, 2000).
Teori AQ berasal dari disiplin ilmu manajemen, namun sudah banyak peneliti
psikologi yang tertarik menggunakannya. Praseeda & Parvathy (2014) dalam kancah
penelitian psikologi pendidikan menemukan adanya korelasi negatif antara AQ
dengan permasalahan akademik pada mahasiswa keguruan. Semakin tinggi skor AQ
yang diperoleh, maka semakin berkurang permasalahan akademik yang dialami
mahasiswa. Seseorang yang memiliki AQ tinggi juga memiliki kualitas baik yang lain,
seperti self-esteem, motivasi, kreativitas, perilaku positif, optimistik, kesehatan emosi
yang baik, dan lain-lain. Seseorang yang memiliki AQ yang baik juga dapat
memberikan pengaruh kepada orang lain dengan mudah, dan dapat membantu orang
lain mengatasi rintangan dalam kehidupan. Seiring dengan hasil penelitian tersebut,
pada subjek yang lain yaitu mahasiswa keperawatan di China, juga ditemukan adanya
hubungan antara AQ dengan motivasi berprestasi (Qian, Xiuzhen, Zhu & Fei, 2011).
Kanjanakaroon (2012) juga telah meneliti hubungan antara adversity quotient dengan
self-empowerment dengan hasil ada hubungan positif antara kedua variabel tersebut
secara sangat signifikan (p<0,01).
Komponen belajar yang lain yang juga sangat penting, sekaligus yang sulit
diukur adalah motivasi. Apa sebenarnya yang dapat membuat mahasiswa ingin
belajar? Kemauan untuk terus melakukan usaha dalam belajar dapat disebabkan oleh
banyak faktor, mulai dari kepribadian mahasiswa, kemampuan kognitifnya,
karakteristik tugas yang diberikan, imbalan yang didapatkan dari belajar, setting kelas
dan lingkungan, sampai pada perilaku pengajar (Slavin, 2009). Pada dasarnya semua
mahasiswa memiliki motivasi, namun pertanyaannya adalah motivasi untuk apa.
Tugas pengajar bukanlah untuk meningkatkan motivasi mahasiswa begitu saja,
melainkan
untuk
menemukan,
mendorong,
dan
mempertahankan
motivasi
mahasiswa untuk menyerap pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
keberhasilan di sekolah maupun di kehidupan pada umumnya, dan untuk ikut serta
dalam aktivitas yang memastikan mahasiswa benar-benar belajar.
Para ahli psikologi mendefinisikan motivasi sebagai proses dari dalam diri
individu yang mengaktifkan, memandu, dan mempertahankan perilaku dari waktu ke
waktu (Murphy & Alexander, Pintrich, Schunk, Stipek, dalam Slavin, 2009). Hakim
(2005) menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Belajar secara Efektif, bahwa
definisi motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang
melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam belajar, tingkat
ketekunan siswa atau mahasiswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat
lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut.
Manfaat motivasi dalam belajar (Hakim, 2005) adalah (1) memberikan
dorongan semangat kepada siswa atau mahasiswa untuk rajin belajar dan mengatasi
kesulitan belajar. (2) Mengarahkan kegiatan belajar siswa atau mahasiswa kepada
suatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan masa depan dan cita-cita. (3) Membantu
siswa atau mahasiswa untuk mencari suatu metode belajar yang tepat dalam
mencapai tujuan belajar yang diinginkan. Semua manfaat tersebut sangat penting
untuk mengarahkan mahasiswa agar kegiatan belajar menjadi hal utama bagi mereka
sehingga tidak mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang
kurang bermanfaat.
Saimun (2002) melakukan penelitian mengenai hubungan motivasi berprestasi
dan persepsi mahasiswa tentang partisipasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi
ekstrakurikuler dengan prestasi belajar mahasiswa. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa (1) ada hubungan positif yang sangat signifikan antara motivasi
berprestasi dengan prestasi belajar, (2) ada hubungan yang positif dan sangat
signifikan antara partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ekstrakurikuler dengan
prestasi belajar, (3) secara bersama-sama motivasi berprestasi dan partisipasi
mahasiswa dalam kegiatan organisasi ekstrakurikuler berkorelasi dengan prestasi
belajar. Semakin tinggi motivasi berprestasi dan partisipasi, maka akan semakin tinggi
prestasi belajarnya.
Walden & Rowey (dalam Saimun, 2002) menyatakan bahwa motivasi
berprestasi merupakan prediktor yang baik bagi prestasi belajar. Tidak jarang hasil
belajar kurang baik, bukan karena inteligensinya kurang baik tetapi justru karena
motivasinya kurang mendukung. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tidak
akan menyerah pada tugas-tugas yang menantang, ia akan bekerja keras untuk
meningkatkan prestasinya, tidak akan diam melainkan dinamis. Hasil penelitian lain
yang dilakukan Sattler dan Kerr (1991) menyatakan bahwa siswa yang lebih banyak
didorong oleh motivasi berprestasi dalam kenyataannya mendapatkan nilai yang
lebih tinggi di sekolah, disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugas maupun
perilaku sehari-hari, dan memperhatikan penyesuaian personal yang lebih baik
terhadap sekolahnya.
Konsep motivasi berprestasi (need for achievement) mula-mula dikemukakan
oleh David McClelland. Menurut David McClelland (1986) motivasi berprestasi
didefinisikan sebagai usaha mencapai sukses atau berhasil dalam kompetisi dengan
suatu ukuran keunggulan yang dapat berupa prestasi orang lain maupun prestasinya
sendiri sebelumnya. Motivasi berprestasi merupakan motivasi yang mendorong
individu untuk sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan
beberapa ukuran keunggulan (standard of excellence). Ukuran keunggulan tersebut
dapat berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas dengan
sebaik-baiknya dengan hasil yang memuaskan serta standar keunggulan diri yaitu
perbandingan dengan prestasi yang dicapai sebelumnya dan perbandingan dengan
prestasi orang lain seperti dalam kompetisi.
Satu variabel lain yang juga mendukung individu dalam meraih prestasi adalah
pengelolaan emosi. Hampir semua orang yang meneliti emosi dewasa ini sependapat
dengan apa yang telah digambarkan Ekman (2007) selama ini, yaitu: pertama, bahwa
emosi adalah reaksi terhadap masalah yang tampak menjadi sangat penting bagi
kesejahteraan kita, dan kedua, bahwa emosi seringkali bermula dengan sangat cepat
hingga tidak disadari prosesnya dalam pikiran saat emosi itu keluar. Demikian halnya
dengan temuan penulis pada proses pre-eliminary studi, emosi bagi sebagian besar
mahasiswa dirasakan sulit untuk dikendalikan ekspresinya. Kejadian-kejadian dalam
interaksi dengan orang lain yang mengandung emosi pada akhirnya disesali, dan
menjadi beban fikiran hingga mengacaukan konsentrasi belajar.
Definisi pengelolaan emosi adalah kemampuan untuk mengatur dan
memodifikasi reaksi emosi seseorang untuk meraih hasil sesuai dengan tujuan awal
(Matsumoto, 2006). Memahami pengelolaan emosi dapat dimulai dengan memahami
timbulnya emosi, yaitu masuknya sebuah stimulus ke dalam kesadaran seseorang
kemudian dinilai. Penilaian ini memunculkan emosi (Ellsworth & Scherer, 2003).
Emosi yang timbul selanjutnya mengaktifkan pikiran tertentu, perasaan, perilaku
ekspresif, dan gejala fisiologis (Matsumoto, 2006).
Hofmann (2012) menyebutkan pengelolaan emosi adalah proses dimana
seseorang mengendalikan emosi yang mereka miliki dan mengatur bagaimana
mereka mengalami dan mengekspresikan emosi itu. Gross (2002) telah melakukan
sejumlah penelitian dengan desain yang menyenangkan, yang membuktikan bahwa
kemauan seseorang untuk mengubah respon emosinya, termasuk respon
fisiologisnya, bergantung kepada pendekatannya untuk berdamai dengan muatan
emosinya.
Kemampuan mengelola emosi merupakan hal yang sangat penting bagi
penyesuaian diri manusia. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan
individu, kondisi kesehatan, dan proses perkembangan sepanjang kehidupan
(Ochsner & Gross, 2005). Kemampuan ini dapat berubah seiring dengan pengalaman
yang diperoleh dan cara memaknai pengalaman tersebut. Ada satu cara yang
ditawarkan oleh Sheldon & Lyubomirsky (2006), untuk meningkatkan dan menjaga
agar emosi tetap positif dalam situasi apapun, yaitu dengan mengekspresikan rasa
syukur dan melakukan visualisasi kemungkinan terbaik yang bisa didapatkan. Mereka
melakukan eksperimen selama 4 minggu, kemudian melakukan pengukuran dengan
skala emosi positif dan motivasi. Eksperimen ini menghasilkan peningkatan motivasi
yang signifikan (F(1,65) = 5.08, p<0.05). Vision Camp juga mengajarkan subjek untuk
bersyukur dan melakukan visualisasi dirinya yang matang secara emosi, dengan
harapan dapat meningkatkan pengelolaan emosi subjek. Strategi pengelolaan emosi
yang digunakan dalam pelatihan ini mengacu kepada teori dari Hofmann (2012), yaitu
reappraisal yaitu penilaian ulang atas objek emosi. Misalnya, jika seseorang dapat
menemukan alternatif penjelasan yang lebih menyenangkan maka informasi atau
gambaran yang dihasilkan lebih positif muatan emosinya.
Vision Camp kemudian digunakan dalam penelitian ini. Vision Camp adalah
pelatihan sepanjang 2 hari yang dikemas secara indoor dan outdoor sebagai
rangkaian intervensi yang menggabungkan psikoedukasi dan psikoterapi. Materimateri yang disampaikan selain bertujuan untuk memberikan pemahaman secara
kognitif, juga melatihkan pengendalian emosi dengan metode reappraisal, mengenali
perasaan dari setiap kejadian baik berupa kesuksesan maupun kegagalan, serta
memandu restrukturisasi visi masa depan beserta langkah-langkahnya untuk
menggapai kesuksesan. Untuk mendapatkan outcome perubahan perilaku dari
pelatihan ini, diberikan sesi outbond dengan mempraktikkan nilai-nilai yang telah
diajarkan melalui ceramah menjadi experiential learning.
Intervensi vision camp mengacu kepada teori goal setting yang disusun oleh
Locke & Latham (1990). Edwin Locke dan Gary Latham merupakan dua orang
ilmuwan psikologi yang telah banyak melakukan penelitian tentang goal setting dan
hubungannya dengan kinerja dalam penyelesaian tugas. Berdasarkan teori yang
mereka susun, terdapat dua hal dalam kognitif yang dapat menentukan perilaku, yaitu
nilai (values) dan tujuan (intention). Postulat penting yang sesuai dengan pelatihan
vision camp adalah bahwa bentuk pertimbangan nilai dari pengalaman seseorang
bersifat emosional. Nilai yang diangkat dalam vision camp adalah spiritual dan cinta
kasih. Apapun tujuan yang akan dicapai, mahasiswa diajak terlebih dahulu untuk
menjadi orang baik dalam pandangan spiritual dan cinta kasih. Tindakan yang
dilakukan diharapkan konsisten dengan kedua nilai tersebut, sehingga perilaku yang
muncul terjaga agar tetap santun dan mempertimbangan kebaikan orang lain, di
tengah perubahan tren di masyarakat yang cukup mengkhawatirkan dewasa ini. Nilai
spiritual yang diajarkan dibatasi pada mengenali diri sendiri, apa tujuan peserta hidup
di dunia, bagaimana ibadah yang telah dilakukan selama ini, dan kemampuan
mendengarkan kata hati. Nilai cinta kasih yang diajarkan adalah mengingatkan bahwa
pencapaian diri tidak hanya untuk diri sendiri. Ada harapan orang lain di dalam setiap
tindakan yang ditempuh, antara lain harapan orangtua, saudara, teman, adik
angkatan, lingkungan tempat tinggal, hingga bangsa dan negara. Nilai cinta kasih
diajarkan supaya generasi muda peserta vision camp mampu meningkatkan tanggung
jawabnya dalam melayani tanpa syarat.
Definisi sederhana dari tujuan menurut Locke & Latham (1990) adalah apa
yang individu secara sadar ingin coba untuk lakukan. Tujuan mempengaruhi kinerja
(performance) melalui mekanisme mengarahkan atensi dan tindakan. Tujuan yang
sifatnya menantang akan menggerakkan energi dan sumber daya yang dimiliki
individu, mendorong usaha yang lebih tinggi, dan meningkatkan kegigihan. Tujuan
memotivasi orang untuk mengembangkan strategi yang memampukan mereka untuk
tampil sesuai dengan level yang diperlukan. Pada akhirnya, menyelesaikan tujuan
dapat menimbulkan rasa puas dan motivasi yang lebih tinggi untuk menghasilkan
pencapaian berikutnya, atau sebaliknya, menimbulkan frustasi dan motivasi yang
rendah bila tidak tercapai. Skema teori goal-setting tersebut dapat dilihat pada gambar
1 di bawah ini.
Gambar 1. Skema teori goal setting dari Locke & Latham (1990)
Intervensi kedua dalam penelitian ini adalah literasi visi. Literasi Visi
merupakan psikoedukasi dalam bentuk pemberian buklet berisi kisah inspiratif dari
orang-orang terkenal di Indonesia maupun mancanegara. Penyajian buklet ini
terinspirasi dari banyaknya artikel, majalah, maupun blog di internet mengenai
keberhasilan pengobatan sebagai literasi medis yang dapat meningkatkan
pengetahuan mengenai kesehatan sekaligus mengubah perilaku subjek menjadi lebih
sehat (Stellefson, Hanik, Chaney, Tennant, & Chavaria, 2011), dan peneliti
bermaksud mengukur seberapa jauh peningkatan faktor-faktor psikologis dari
membaca artikel serupa. Selama ini telah dikenal bahwa literasi kesehatan
merupakan
kemampuan
untuk
memperoleh,
membaca,
memahami
dan
menggunakan informasi kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat dan
mengikuti instruksi pengobatan yang harus dilakukan (Reber & Reber, 2010;
Vandenbus, 2007). Dalam bidang psikologi, kisah inspiratif dari orang-orang yang
telah sukses merupakan sumber motivasi yang efektif. Bandura (1999) menyebutkan
bahwa motivasi dan perilaku manusia diatur lebih dulu oleh harapan mengenai hasil
yang dapat dicapai dari serangkaian tindakan terencana. Tindakan terdahulu yang
menghasilkan hasil positif akan diadopsi dan digunakan, sedangkan tindakan yang
tidak menghasilkan hasil yang berharga akan dibuang. Akan tetapi, konsekuensi
tindakan pribadi bukan satu-satunya sumber yang mempengaruhi perilaku manusia.
Manusia dapat mengambil manfaat dari mengamati kesuksesan maupun kesalahan
yang dihasilkan oleh orang lain, sama baiknya dengan mengamati pengalaman
mereka sendiri. Secara umum, manusia akan melakukan sesuatu yang pernah terlihat
berhasil, dan akan menghindari sesuatu yang pernah terlihat gagal. Setelah
mengadopsi tindakan orang lain baik yang berhasil maupun yang gagal, pada
umumnya manusia akan mempengaruhi motivasi dan perilakunya dengan
mempertimbangkan konsekuensi positif maupun negatif yang pernah dihasilkannya
sendiri. Dalam penelitian ini, intervensi Literasi Visi meliputi penyajian buklet yang
berfokus pada penggambaran kesuksesan orang lain dan cara mencapainya yang
memungkinkan untuk dijadikan acuan motivasi dan tindakan bagi subyek.
Kedua intervensi ini ditentukan setelah menyusun alur penelitian yang dapat
dilihat pada gambar 2. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan pada gambar 2,
maka dapat ditentukan rumusan permasalahannya. Sugiyono (2011) menyatakan
bahwa rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya
melalui pengumpulan data. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah
“seberapa besar efektifitas intervensi pelatihan Vision Camp dan intervensi Literasi
Visi dalam meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi
pada mahasiswa tingkat pertama?”.
Konseling, Pendataan, FED
Preliminary study
Perumusan masalah
Penentuan pemberian perlakuan
Eksperimen Vision
Camp
Pretes
Pelatihan Vision
Camp
Postes
Eksperimen Literasi
Pretes
Pemberian bahan
bacaan
Postes
Kontrol
Pretes
Tanpa perlakuan
Postes
Analisis data
Hasil Penelitian
Gambar 2. Alur penelitian.
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh Vision Camp dan literasi untuk
meningkatkan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi. Hipotesis
penelitian ini adalah (1) Vision Camp dapat meningkatkan daya juang, motivasi
berprestasi dan pengelolaan emosi, (2) Literasi Visi dapat meningkatkan daya juang,
motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi. (3) Peningkatan daya juang, motivasi
berprestasi dan pengelolaan emosi yang diperoleh dari perlakuan Vision Camp lebih
tinggi dibandingkan dengan peningkatan yang diperoleh dari perlakuan literasi. (4)
Peningkatan daya juang, motivasi berprestasi dan pengelolaan emosi yang diperoleh
dari perlakuan Vision Camp dan literasi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol. (5) Tidak terdapat peningkatan daya juang, motivasi berprestasi dan
pengelolaan emosi pada kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu
psikologi, terutama bagi pengajar, mahasiswa dan praktisi sumber daya manusia
dalam meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi.
Download