Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan

advertisement
Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan
Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Analisis Spasial
B. Barus1,2, D.R. Panuju1,2, L.S. Iman2, B.H.Trisasongko 1,2 ,
K. Gandasasmita1, dan R. Kusumo1
1) Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB
2) Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB
Email : [email protected]; no fax 062-251-8629358
Abstrak
Dalam kaitan dengan ketahanan pangan, Indonesia telah menyusun UU yang
terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan yang perlu
dilindungi berdasarkan peraturan ini masih perlu diterjemahkan secara operasional
khususnya pada saat menetapkan lahan pangan yang perlu diproteksi. Berbagai
kriteria fisik seperti kesesuaian lahan, sarana irigasi, dan kriteria sosial dan ekonomi,
yang semuanya terkait dengan isu statis, telah diimplementasikan dalam peraturan
tersebut. Namun demikian, kriteria yang bersifat dinamis seperti potensi lahan
terkonversi belum diterapkan sebelumnya, padahal isu tersebut merupakan masalah
terbesar dalam usaha mempertahankan lahan pangan tertentu. Penelitian ini bertujuan
untuk menghitung potensi konversi lahan dalam upaya menentukan keputusan
penentuan lahan pangan yang perlu dilindungi di Kabupaten Garut. Metode yang
digunakan adalah analisis spasial dengan SIG. Hasil penelitian menunjukkan
pentingnya Pemerintah Daerah dalam mengamati perkembangan dinamika lahan
sawah mengingat konversi lahan sawah yang ditengarai cukup signifikan.
Hasil
analisis juga mengindikasikan kecepatan pencetakan sawah baru yang masih timpang
dan lebih rendah dari laju konversinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
peranan jalan sangat signifikan dalam konservasi wilayah pesawahan di Kabupaten
Garut.
Kata kunci: konversi lahan, lahan berkelanjutan, Garut
1. PENDAHULUAN
Perubahan penggunaan lahan di Indonesia telah diketahui banyak terjadi.
Perubahan terbesar terjadi pada wilayah hutan yang umumnya dikonversi menjadi
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, atau komoditas lainnya. Konversi
hutan ditengarai merupakan tindakan yang kurang menguntungkan pada beberapa
aspek. Dari segi biota tanah, Kadir et al. (1998) menunjukkan bukti bahwa organisme
penghasil enzim dalam tanah menurun pada hutan yang telah dikonversi.
Perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada lahan pertanian. Perubahan
penggunaan lahan pada lahan kering banyak terjadi untuk mengakomodasi kebutuhan
perumahan, industri dan jasa. Kondisi ini umumnya terjadi di Indonesia yaitu pada
wilayah peri-urban. Firman (2004) menyajikan diskusi yang mendalam pada aspek
pemanfaatan lahan pada kawasan urban dan sekitarnya.
Konversi lahan pertanian yang patut diwaspadai adalah bila terjadi pada lahan
sawah. Proses pencetakan sawah merupakan proses yang banyak menelan biaya,
utamanya dalam membangun infrastruktur dasar seperti irigasi dan bendungan.
Pantura Jawa Barat merupakan salah satu wilayah dengan tingkat konversi yang
tinggi di Indonesia (Firman 1997). Firman (2000) mengindikasikan bahwa dinamika
perubahan lahan banyak dipengaruhi oleh kebijakan BPN dalam perijinan
pengusahaan lahan. Dengan demikian data penurunan luasan lahan sawah merupakan
salah satu data penting dalam perencanaan bidang pertanian.
Konversi aktual lahan sawah perlu ditelaah dalam kerangka Undang-undang
No. 41/2009 yang merujuk pada perlindungan lahan pangan berkelanjutan. Hal ini
ditujukan untuk memberi gambaran awal kondisi konversi aktual (benchmark) dalam
kontrol Undang-undang tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk mengkaji penurunan
luasan sawah dalam wilayah proteksi Undang-undang tersebut dalam kerangka
analisis spasial.
2. METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kabupaten ini
merupakan salah satu penghasil beras terpenting di Jawa Barat, sehingga merupakan
salah satu bread basket untuk produksi beras nasional. Lokasi penelitian disajikan
pada gambar berikut.
Gambar 1. Lokasi Penelitian.
2.2. Data dan Analisis
Berbagai data dimanfaatkan dalam penelitian ini. Data utama adalah data
spasial dalam bentuk citra penginderaan jauh dan peta dasar dan tematik. Citra yang
digunakan adalah Landsat ETM+ yang diakuisisi pada tahun 2000 dan 2009. Untuk
pengamatan yang lebih detil pada petak sawah, penelitian ini juga memanfaatkan citra
IKONOS Pan-Sharpen pada wilayah tertentu yang diperoleh dari Kementerian
Pertanian melalui Dinas Pertanian Kabupaten Garut. Keseluruhan citra penginderaan
jauh dikoreksi geometri berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia pada lokasi yang
bersesuaian. Analisis tutupan lahan dilakukan secara visual, dipandu oleh data
lapangan dan citra resolusi tinggi IKONOS. Dari proses ini diperoleh data perubahan
penggunaan lahan sawah selama kurun waktu 9 tahun.
Pengolahan data spasial pertama ditujukan untuk mengetahui wilayah dengan
kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Data spasial yang menjadi
masukan adalah berbagai data fisik serta non-fisik, yang selanjutnya ditelaah
menggunakan sistem informasi geografis. Analisis spasial lanjutan dilakukan untuk
menelaah dinamika konversi lahan yang diturunkan dari data Landsat ETM+. Analisis
dilakukan dalam perangkat lunak sistem informasi geografis dengan melakukan
tumpangtindih boolean antara data LP2B yang diperoleh dari Dinas Pertanian
Kabupaten Garut dan konversi lahan sawah yang dideteksi. Dengan demikian, dapat
diperoleh informasi wilayah yang tidak bersesuaian antara kedua data tersebut.
Wilayah ini merupakan wilayah yang prioritas untuk diperhatikan agar fungsi LP2B
dapat diimplementasikan. Wilayah yang tidak bersesuaian selanjutnya dianalisis lebih
lanjut untuk mengatahui posisinya terhadap jalan sebagai sarana akses terhadap lahan
sawah tersebut. Hal ini dilakukan dengan analisis wilayah penyangga (buffer) dalam
agregat kecamatan sebagai unit analisisnya.
Dalam penelitian ini, analisis citra penginderaan jauh dan data spasial lainnya
didukung oleh survei lapangan yang intensif. Survey lapangan dilakukan pada 3
periode pengamatan mengingat aksesibilitas beberapa wilayah yang menghambat.
Pengamatan tanah pada wilayah tertentu dilakukan untuk memperkaya informasi.
Contoh tanah diambil secara komposit sesuai standar dan dianalisis di laboratorium.
Data lain yang direkam adalah lokasi sawah yang dilengkapi dengan data lokasi
menggunakan perangkat penerima sinyal GPS, sehingga memungkinkan pengecekan
hasil interpretasi citra. Pada seluruh titik pengamatan, foto lapangan diambil untuk
keperluan dokumentasi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
Salah satu tujuan dari ditetapkannya Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
adalah tersedianya lahan pangan berkelanjutan pada suatu wilayah. Informasi ini
merupakan dasar bagi perencanaan pertanian yang lebih baik dengan memantau
kontinyuitas dari lahan pertanian. Kontinyutas merupakan aspek penting dalam aspek
pertanian pangan yang perlu dijaga. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam
penilaiannya adalah termasuk mempertimbangkan faktor fisik sesuai daya dukung
lingkungan, aksesibilitas, dan dukungan legalitas hukum yang termuat dalam
peraturan daerah (Perda). Data tersebut dapat mengarah pada identifikasi lahan sawah
aktual yang terverifikasi dari data lapangan serta mempertimbangkan karakteritik fisik
lingkungannya. Lahan prioritas pertanian pangan berkelanjutan dalam penelitian ini
ditetapkan berdasarkan aspek tingkat
kemampuan fisik
lahan, tersedianya
infrastruktur irigasi dan aksesibilitas. Berdasarkan parameter tersebut maka dapat
diperoleh tipe lahan sawah berdasarkan prioritas penilaian karakteristik dan sebaran
per kecamatan. Tabel berikut menunjukan prioritas berbagai tipe sawah berdasarkan
penilaian karakteristik fisik alami.
Tabel 1. Priotitas Tipe Sawah berdasarkan Karakteristik Fisik dan Sebaran per
Kecamatan
Tipe
1
2
3
Karakteristik
Lahan Potensial;
karakteristik fisik dengan
kelerengan <8% (datar),
sesuai secara aktual,
infrastruktur irigasi teknis,
indeks pertanaman
mencapai 3 kali dalam 1
musim tanam, dan
aksesibilitas baik
Lahan Potensial;
karakteristik fisik dengan
kelerengan 8-15%, sesuai
secara aktual, infrastruktur
irigasi tersedia (irigasi
semi teknis dan pedesaan),
indeks pertanaman
mencapai 2 kali dalam 1
musim tanam, dan
aksesibilitas baik
Sawah aktual, non irigasi,
semua IP, kemiringan
lereng >=15 %
Keterangan
Kecamatan
Lahan potensial dan prioritas
utama lahan sawah
Kecamatan Bayongbong,
Samarang, Tarogong Kidul,
Tarogong Kaler, Wanaraja,
Karangpawitan,
Sukawening, Kadungora dan
Malangbong
Lahan potensial dengan prioritas
kedua, indeks pertanaman/IP
ditingkatkan dengan teknologi
Kecamatan Blubur,
Limbangan, Selaawi,
Leuwigoong, Sukaresmi dan
Pameungpeuk
Lahan prioritas ketiga dengan
potensi longsor tinggi (jika
salah pengelolaan), penting
untuk isu kemandirian pangan
secara lokal, calon lahan CP2B
jika status necara pangan
surplus
Tersebar dominan di
wilayah selatan Kabupaten
Garut
Berdasarkan prioritas dari berbagai karakteristik tipe sawah, konfigurasi ruang
lahan sawah untuk diusulkan sebagai lahan P2B yaitu pada skenario tipe pertama
dominan tersebar di wilayah tengah sampai utara. Untuk tipe kedua, wilayah yang
dominan tersebar di bagian utara dan selatan dengan dukungan fisik kemiringan
lereng yang relatif datar. Tipe ketiga umumnya berada pada wilayah bagian selatan
Kabupaten Garut dengan karakteristik yang relatif berbeda dimana faktor kemiringan
lereng dapat diabaikan. Namun demikian, terkait dengan ketahanan pangan lokal
sebagai pertimbangan utama, lahan ini dikategorikan dalam prioritas lahan P2B.
Gambar 2 menyajikan pola sebaran spasial LP2B di Kabupaten Garut.
Secara spasial, lahan P2B yang utama di Kabupaten Garut berlokasi di sekitar
Kota Garut. Hal ini merupakan keuntungan besar bila ditinjau dari segi akses wilayah
untuk
kegiatan pendampingan atau
penyuluhan petani.
Namun demikian,
perkembangan Kota Garut sebagai kota peristirahatan dan turisme menjadi salah satu
ancaman terpenting yang perlu diperhatikan. Lahan P2B prioritas 1 pada wilayah
selatan Kabupaten Garut umumnya memusat di sekitar Kota Kecamatan
Pameungpeuk. Wilayah ini juga perlu diwaspadai mengingat hasil pengamatan lapang
menunjukkan bahwa Pameungpeuk juga mulai berkembang dan terdapat indikasi kuat
adanya konversi sawah menjadi penggunaan lain, utamanya prasarana dasar seperti
stasiun pengisian bahan bakar.
Gambar 2. Pola Sebaran Spasial LP2B di Kabupaten Garut
3.2. Perubahan Lahan Sawah 2000-2009
Citra penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam mengekstrak informasi
spasial. Hal ini sangat penting dalam analisis spasial seperti konversi lahan sawah
yang membutuhkan liputan yang luas dalam kurun waktu yang cukup panjang. Hasil
pengolahan data penginderaan jauh tahun 2009 disajikan pada gambar berikut.
Gambar 3. Penggunaan Lahan Kabupaten Garut Tahun 2009
Peta penggunaan lahan yang diturunkan dari citra penginderaan jauh
menunjukkan bahwa lahan sawah aktual berada di hampir seluruh wilayah, meskipun
pada wilayah selatan yang cenderung lebih kering. Konsentrasi wilayah penanaman
padi berada pada sekitar Kota Garut, Kota Pameungpeuk serta wilayah pebukitan
selatan (Bungbulang dan sekitarnya). Pada wilayah selatan kabupaten, sebagian besar
lahan sawah berasosiasi dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di pantai selatan
Jawa Barat.
Dengan membandingkan data sebaran sawah tahun 2009 dan tahun 2000,
dapat diperoleh tabel dinamika lahan sawah di wilayah kajian. Tabel berikut
menyajikan perubahan luasan sawah antara tahun 2000 dan 2009.
Tabel 2. Pengurangan Luas sawah 2000 dan penggunaannya di tahun 2009
Penggunaan Non Sawah
Tahun 2009
Hutan (Agroforestri)
Padang Rumput
Perkebunan Karet
Perkebunan Lainnya
Permukiman
Pertanian Lahan Kering
Sungai
Tanah Terbuka
Tubuh Air
Jumlah
Luas Pengurangan Sawah
(Ha)
-2056,85
-0,09
-33,86
-192,66
-8283,60
-16905,06
-26,01
-25,25
-131,93
-60057,16
Persentase
7,44%
0,00%
0,12%
0,70%
29,95%
61,13%
0,09%
0,09%
0,48%
100,00%
Dari tabel tersebut diketahui bahwa total luas sawah yang berubah menjadi
penggunaan non sawah adalah seluas 60.057 Ha. Dari berbagai jenis perubahan
terbesar, perubahan menjadi lahan kering merupakan penyumbang terbesar yaitu 61%
dengan luasan sebesar 16.905 Ha.
Secara berurutan jenis perubahan sawah ke
penggunaan lain yang dominan berikutnya adalah perubahan ke permukiman seluas
8283 Ha, dan konversi ke hutan (agroforestri). Pengamatan lapangan banyak
menemukan penanaman yang intensif berbagai komoditas agroforestri seperti sengon
pada lahan pertanian.
3.3. Perubahan Penggunaan Sawah pada Berbagai Jarak ke Jalan
Berbagai kajian terkait perubahan penggunaan lahan menyatakan pentingnya
peranan dari aksesibilitas atau jarak ke jalan raya dengan besaran luas perubahan
penggunaan lahan sawah (Wahab, 2009).
Pada penelitian ini dilakukan kajian
pengaruh jarak ke jalan raya terhadap penurunan maupun perluasan lahan sawah di
wilayah Kabupaten Garut. Hasil identifikasi luasan perubahan disajikan pada Gambar
berikut.
Gambar 4. Luas Perubahan Lahan Non Sawah ke Sawah dan dari Sawah ke Non
Sawah pada Jarak 100m, 500m dan 1000m dari jalan.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa secara umum luas perubahan lahan
sawah semakin besar dengan semakin jauhnya jarak dari jalan raya. Namun terdapat
pola yang tidak linier pada perubahan lahan sawah pada jarak 100m dan 500m. Hal
ini terjadi karena kategori jalan yang dipertimbangkan dalam identifikasi luas sawah
pada kedua jarak tersebut berbeda.
Pada jarak 100m kategori jenis jalan yang
dipertimbangkan termasuk di dalamnya jenis jalan kolektor dan jalan lokal.
Sedangkan untuk identifikasi pada jarak 500m dan 1000m kategori jalan yang
dipertimbangkan hanya jalan nasional (jalan tol) dan jalan provinsi. Untuk dapat
membandingkan pengaruhnya secara lebih sebanding, pada gambar selanjutnya
disajikan rataan luas perubahan setiap 100m jarak dari jalan tersebut.
Gambar 5. Rataan Luas Perubahan per 100 m Jarak ke Jalan pada Kategori Jarak
100m, 500m dan 1000m
Dari gambar tersebut diketahui bahwa semakin jauh jarak dari jalan rata-rata
luas perubahan lahan sawah ke penggunaan lahan non sawah semakin kecil. Secara
umum luas konversi sawah ke penggunaan non sawah lebih besar dibandingkan
dengan luas pembentukan sawah baru. Dari kedua gambar yang terakhir disajikan
dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas jalan memiliki peran signifikan dalam
mendukung semakin dinamisnya perubahan lahan.
Perluasan jalan tol dan jalan
provinsi mempercepat proses perubahan luas sawah ke penggunaan non sawah.
4. KESIMPULAN
Dengan diimplementasikannya Undang-undang No 41 Tahun 2009 yang
berusaha memproteksi lahan sawah, diharapkan bahwa jaminan ketahanan pangan di
suatu wilayah diharapkan lebih pasti pencapaiannya. Namun demikian, ancaman
konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah sebagai dampak semakin intensifnya
pembangunan permukiman dan jaringan infrastruktur, akan mengancam keberlanjutan
lahan untuk produksi pangan tersebut. Kabupaten Garut sebagai salah satu kabupaten
di Jawa Barat yang berkontribusi besar dalam produksi pangan tidak terlepas dari
ancaman konversi sawah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi lahan sawah cukup signifikan
di wilayah studi. Sebagian besar konversi terjadi untuk penggunaan lahan pertanian
lahan kering, sebagai langkah awal untuk pola pemanfaatan lain (umumnya non
pertanian). Namun demikian, hasil analisis juga menunjukkan signifikannya konversi
cepat (langsung) ke permukiman. Pada wilayah studi juga ditemukan konversi sawah
ke pengusahaan agroforestri. Terkait dengan jaringan jalan yang juga merupakan
salah satu faktor penting dalam mendorong konversi lahan, pada lokasi ini juga dapat
disimpulkan bahwa semakin jauh jarak sawah dari jalan, rata-rata luas perubahan
lahan sawah ke penggunaan lahan non sawah menjadi semakin kecil. Hal ini dapat
menjadi masukan penting bagi parapihak pemangku kepentingan pada aspek
pertanian.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dinas Pertanian Kabupaten Garut
atas kerjasama yang baik selama penelitian ini dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Firman, T. 1997. Land Conversion and Urban Development in the Northern Region of
West Java, Indonesia. Urban Studies 34(7), 1027-1046
Firman, T. 2000. Rural to Urban Land Conversion in Indonesia during Boom and
Bust Periods. Land Use Policy 17(1), 13-20
Firman, T. 2004. Major issues in Indonesia's urban land development. Land Use
Policy 21(4), 347-355
Kadir, SA, K Arata, K Makoto. 1998. Activities of Some Soil Enzymes in Different
Land Use Systems after Deforestation in Hilly Areas of West Lampung, South
Sumatra, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition 44(1), 93-103
Wahab, A. 2009. Dampak Peningkatan Kualitas Jalan Lingkar Barat Enrekang
terhadap Pengembangan Kawasan Pertanian. Tesis Studi Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro
Download