Uji Potensi Madu PS (Pollen Substitute) Sebagai Penurun Kadar

advertisement
Uji Potensi Madu PS (Pollen Substitute) Sebagai Penurun Kadar
Glukosa Darah Mencit (Mus musculus L.) Jantan Galur DDY
yang Diinduksi Aloksan
Erwin Hardian1, Nova Anita2, Setiorini3
1
Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
3
Departemen Biologi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
[email protected], [email protected], [email protected]
2
Abstrak
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui potensi madu PS (Pollen Substitute)
sebagai penurun kadar glukosa darah puasa dan post-prandial mencit (Mus musculus L.) jantan galur
DDY. Dua puluh empat ekor mencit jantan dibagi ke dalam 4 kelompok hewan uji, yaitu kelompok
kontrol normal (KK1) yang hanya diberikan pakan standar dan akuades, kelompok kontrol perlakuan
(KK2) yang diberikan aloksan dan akuades, dan 2 kelompok perlakuan (KP1 dan KP2) yang
diberikan aloksan dan madu PS dengan konsentrasi 10% dan 20% selama 14 hari berturut-turut.
Pengambilan sampel darah dilakukan pada awal penelitian (t0) dan akhir penelitian (t14). Pengukuran
kadar glukosa darah puasa dan post-prandial (2 jam setelah makan) dilakukan dengan menggunakan
glukometer. Hasil uji anava satu arah pada akhir penelitian (P < 0,05) menunjukkan adanya pengaruh
nyata pemberian madu PS terhadap kadar glukosa darah puasa dan post-prandial semua hewan uji.
Hasil uji perbandingan berganda (LSD) (P < 0,05) menunjukkan penurunan kadar glukosa darah pada
dosis 20%. Penurunan kadar glukosa darah pada KP2 mencapai 42,5% untuk kadar glukosa darah
puasa dan 39,75% untuk kadar glukosa darah post-prandial mendekati kisaran kadar glukosa normal
pada KK1. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian madu PS 20%
dapat menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan.
Abstract
The study has been conducted to know the hypoglycemic effect of PS (Pollen Susbtitute) honey
administration on fasting and post-prandial blood glucose level of male-DDY mice (Mus musculus
L.). Twenty four male mice were divided to four groups consisting of normal control group (KK1)
which was administered with neither alloxan or PS honey; treatment control group (KK2) which was
only administered with alloxan; and two treatment groups (KP1 and KP2) which was administered
with alloxan and PS honey in concentration of 10% and 20%, respectively. Treatments were carried
out orally within 14 consecutive days. Fasting (16 hour of fasting) and post-prandial (2 hour after
eating) blood glucose level were measured using glucometer. One-way anova test (P < 0,05) showed
that fasting and post-prandial blood glucose level decreased significantly. Least significant difference
(LSD) test showed that only the administration of 20% PS honey (KP2) cause the significant decrease
in both fasting and post-prandial blood glucose level. According to normal control group (KK1), the
blood glucose level of KP2 has been reduced to its normal range. It is concluded that administration
of 20% PS honey significantly lowered blood glucose level (fasting and post-prandial).
Keywords : glucose, honey, Mus musculus L., pollen substitute
1. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu jenis
penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah
melebihi batas normal (hiperglikemia) dan bersifat
kronis [1] [2]. Penyakit tersebut disebabkan oleh
kekurangan sekresi insulin oleh sel β pankreas atau
ketidakmampuan insulin untuk menstimulasi transpor
glukosa dari darah ke dalam sel [3]. Diabetes mellitus
merupakan penyakit yang dapat menimbulkan
beberapa komplikasi, seperti penyakit jantung,
kebutaan, stroke, dan gagal ginjal [4].
Jumlah penderita penyakit diabetes mellitus terus
meningkat dari tahun ke tahun. Menurut World
Health Organization (WHO) dan International
Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita DM pada
tahun 2000 mencapai 171 juta orang, dan
diperkirakan pada tahun 2030 dapat mencapai 366
juta orang [5]. Prevalensi penderita DM di Indonesia
pada tahun 2007 mencapai 1,1% dari total jumlah
penduduk. Berdasarkan data dari rumah sakit di
seluruh Indonesia pada tahun 2009, jumlah penderita
DM tertinggi terdapat pada kelompok usia 45--54
tahun, diikuti kelompok usia di atas 65 tahun, dan
kelompok usia 25--44 tahun [6].
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
2. METODE PENELITIAN
Pengobatan penyakit DM dapat dilakukan dengan
mengonsumsi obat-obatan sintetik. Obat-obatan
sintetik bagi penderita DM yang paling umum
dikonsumsi adalah obat antidiabetik oral [7]. Namun,
obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek
samping, seperti hipoglikemia berlebih, gangguan
pencernaan, gangguan hati, gangguan ginjal, dan
ketosis [8]. Oleh karena itu, penggunaan bahan alam
sebagai obat antidiabetik mulai marak dilakukan.
Selain mudah ditemukan dan umum dikonsumsi,
bahan alam tidak menimbulkan efek samping pada
penderita DM [9].
Salah satu contoh bahan alam yang banyak
digunakan sebagai obat adalah madu. Sejak beberapa
ratus tahun yang lalu, madu telah dimanfaatkan
sebagai makanan dan obat-obatan [10]. Secara medis,
madu banyak dimanfaatkan dalam penurunan
konsentrasi lipid pada plasma darah [11] [12],
penyembuhan luka diabetes, gastritis, inflamasi, dan
arthritis [13]. Selain itu, madu juga dapat bertindak
sebagai antimikroba [14].
Di Indonesia, madu banyak dihasilkan oleh dua
spesies lebah madu, yaitu Apis cerana dan Apis
mellifera. Kualitas madu sangat bergantung kepada
pakan lebah madu, yaitu pollen dan nektar. Pollen
atau serbuk sari merupakan pakan alami dan sumber
protein bagi lebah madu. Namun, timbulnya
fenomena alam, seperti pemanasan global dan
perubahan iklim, menyebabkan terganggunya siklus
perbungaan (fenologi bunga) [15]. Hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya kekurangan pollen lebah
madu pada periode tertentu. Kekurangan pollen
menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan
koloni lebah madu, serta produksi dan kualitas madu
[16]. Masalah tersebut diatasi dengan menambahkan
pakan buatan untuk lebah madu, yaitu pollen
substitute [17].
Pollen substitute (PS) merupakan pakan buatan
yang diharapkan mampu menggantikan pollen sebagai
pakan lebah madu. Komposisi pollen substitute terdiri
dari tepung kedelai, susu skim, dan khamir Candida
hawaiiana. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa
pollen substitute memiliki kandungan protein dan
lemak berturut-turut sebesar 45,45% dan 1,78%.
Kandungan protein pada pollen substitute (45,45%)
lebih tinggi daripada pollen alami yang hanya
mengandung 21,2% protein [15]. Hal tersebut
menyebabkan madu yang dihasilkan oleh lebah madu
yang diberi pakan PS (madu pollen substitute)
memiliki kandungan protein dan nutrien yang relatif
lebih tinggi daripada madu alami [18]. Namun,
penelitian mengenai pengaruh madu PS terhadap
kadar glukosa darah belum pernah dilakukan.
Madu yang digunakan dalam penelitian adalah
madu PS (pollen substitute) yang diperoleh dari
laboratorium Centre of Excellence Indigenous
Biological Resource-Genome Studies (CoE IBR-GS)
dan diproduksi di peternakan lebah madu “Asy-Syifa
Babussalam”, Kampung Cikurutug, Desa Ciburial,
Bandung, Jawa Barat.
Hewan uji yang dgunakan adalah 24 ekor mencit
(Mus musculus L.) jantan galur DDY (20--30 gram)
yang diperoleh dari Institut Pertanian Bogor bagian
Nonruminansia dan Satwa Harapan. Pakan yang
diberikan berupa pelet yang diperoleh dari PD.
Kasman dan minuman berupa air ledeng yang
diberikan secara ad libitum.
Mencit kemudian diaklimatisasi selama 14 hari
dan dibagi ke dalam 6 kandang, yang terdiri dari 4
ekor mencit yang mewakili masing-masing kelompok
hewan uji, yaitu:
- Kelompok kontrol normal (KK1): pakan standar +
akuades secara oral (10 ml/kg bb).
- Kelompok kontrol perlakuan (KK2): aloksan 1%
secara intraperitoneal (dosis tunggal: 250 mg/kg
bb) + akuades secara oral (10 ml/kg bb).
- Kelompok perlakuan pertama (KP1): aloksan 1%
secara intraperitoneal (dosis tunggal: 250 mg/kg
bb) + madu PS 10% (10 ml/kg bb).
- Kelompok perlakuan kedua (KP2): aloksan 1%
secara intraperitoneal (dosis tunggal: 250 mg/kg
bb) + madu PS 20% (10 ml/kg bb).
Pemberian bahan uji tersebut dilakukan selama 14
hari berturut-turut.
Pengambilan darah dilakukan pada awal penelitian
(t0), sesudah induksi aloksan (hari ke-3 , ke-5, dan ke7), dan akhir penelitian (t14) dengan metode tail
clipping. Mencit dipuasakan selama 16 jam terlebih
dahulu sebelum pengambilan darah untuk mengukur
kadar glukosa darah puasa. Selain itu, pengambilan
darah juga dilakukan pada 2 jam setelah makan untuk
mengukur kadar glukosa darah post-prandial.
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan
menggunakan glukometer [AccuChek].
Data kadar glukosa darah puasa dan post-prandial
kemudian akan diolah secara statistik dengan uji
homogenitas Levene, uji normalitas Shapiro-Wilk, uji
anava 1 arah, dan uji perbandingan berganda (LSD).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kadar glukosa darah puasa dan post-prandial
diperlihatkan pada tabel 1 dan tabel 2.
Tabel 1. Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
Ulangan
1
KK1
t0
119
KK2
t14
118
t0
126
KP1
t14
225
t0
128
KP2
t14
131
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
t0
131
t14
124
113
119
133
129
124
122,67
7,45
2
114
3
131
4
134
5
131
6
130
126,5
!
SD
8,02
SD: Standar deviasi
133
128
122
132
130
128,5
4,09
218
251
196
218
211
219,83
18,17
148
121
119
131
117
127,33
11,47
153
152
155
147
166
150,67
11,50
141
129
133
128
137
133,17
5,00
108
134
128
124
140
126,33
10,91
Tabel 2. Kadar glukosa darah post-prandial (mg/dL)
KK1
t0
1
151
2
137
3
142
4
149
5
146
6
150
145,83
!
SD
5,42
SD: Standar deviasi
Ulangan
KK2
t14
164
134
156
162
148
145
151,5
11,38
t0
146
153
136
171
147
168
153,5
13,58
Tabel 1 dan tabel 2 menunjukkan bahwa kadar
glukosa darah puasa dan post-prandial pada KK1
secara berturut-turut adalah 126,5 mg/dL
dan
145,83 mg/dL pada awal penelitian (t0); 122,67
mg/dL dan 151,5 mg/dL pada akhir penelitian (t14).
Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar glukosa
darah pada KK1 relatif stabil selama penelitian,
sehingga KK1 dapat digunakan sebagai acuan
terhadap perubahan kadar glukosa darah pada KK2,
KP1, dan KP2. Sementara itu, kadar glukosa darah
pada KK2 mengalami peningkatan (mengacu pada
kadar glukosa darah mencit KK2 pada awal
penelitian) sebesar 71,07% untuk kadar glukosa
darah puasa dan 67, 43% untuk kadar glukosa darah
post-prandial.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan kadar glukosa darah puasa dan
post-prandial mencit pada KP1 dan KP2 yang
diberikan madu PS 10% dan 20% (mengacu pada
kadar glukosa darah mencit pada KK2). Persentase
penurunan kadar glukosa darah puasa pada KP1
dan KP2 adalah 31,47% dan 42,5%, sedangkan
persentase penurunan kadar glukosa darah postprandial pada KP1 dan KP2 adalah 32,95% dan
39,75%. Menurut Malole & Pramono, rentang
normal kadar glukosa darah puasa mencit adalah 62
sampai 175 mg/dL [19]. Berdasarkan hal tersebut,
data kadar glukosa darah puasa pada KP1 (150,67
mg/dL) dan KP2 (126,33 mg/dL) dapat dikatakan
telah mencapai kadar glukosa darah puasa normal.
Namun demikian, hasil uji perbandingan berganda
(LSD) (P < 0,05) kadar glukosa darah puasa dan
post-prandial antara KP1 dan KK1 serta KP2 dan
KK1 menunjukkan hasil yang berbeda. Kelompok
perlakuan pertama (KP1) berbeda nyata dengan
KK1, sedangkan KP2 tidak berbeda nyata dengan
t14
229
245
274
289
251
254
257
21,38
KP1
KP2
t0
t14
t0
t14
131
154
158
142
158
192
152
144
155
151
137
152
151
184
165
162
156
177
154
154
144
176
149
175
149,17
172,33
152,5
154,83
10,19
16,43
9,4
12,24
KK1. Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa
madu PS 20% dapat menurunkan kadar glukosa
darah puasa dan post-prandial mencit jantan galur
DDY ke kisaran normal (mengacu pada KK1).
Penurunan kadar glukosa darah pada KP1 dan
KP2 diduga disebabkan oleh beberapa senyawa
yang terkandung di dalam madu PS, yaitu
isomaltulosa, fruktosa, antioksidan, dan mineral.
Isomaltulosa yang terkandung di dalam madu PS
diduga berperan dalam menurunkan kadar glukosa
darah melalui penghambatan kerja enzim αglukosidase. Terhambatnya enzim α-glukosidase
menyebabkan
tidak
terurainya
disakarida,
oligosakarida, dan polisakarida yang berasal dari
makanan menjadi monosakarida, seperti glukosa
[14] [20] [21].
Hal tersebut berakibat pada
minimnya absorpsi glukosa pada usus halus dan
tertundanya
proses
penguraian
disakarida,
oligosakarida, dan polisakarida [7].
Senyawa berikutnya adalah fruktosa. Fruktosa
dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui tiga
mekanisme, yaitu meningkatkan sekresi insulin
oleh sel β, meningkatkan transpor glukosa ke dalam
sel-sel hati (hepatosit), dan menstimulasi
glikogenesis. Hallfrisch (1990) melaporkan bahwa
pemberian fruktosa dapat meningkatkan konsentrasi
insulin pada plasma darah sebesar 60% hingga
288% [22].
Kemampuan fruktosa dalam
menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan
peran fruktosa dalam menginduksi sekresi gastric
inhibitory polypeptide (GIP). Gastric inhibitory
polypeptide (GIP) merupakan hormon yang
disekresikan oleh usus halus ketika kadar glukosa
darah meningkat [23].
Gastric inhibitory
polypeptide (GIP) bekerja dengan berikatan pada
reseptor GIP pada sel β dan mengaktivasi adenil
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
siklase. Hal tersebut dapat meningkatkan aktivitas
adenil siklase dalam mengubah ATP menjadi
cAMP (cyclic-AMP). Cyclic-AMP (cAMP) dapat
mengaktivasi protein kinase A dan menyebabkan
terbukanya ion Ca2+, sehingga terjadi influks Ca2+
ke dalam sel β.
Ion Ca2+ kemudian akan
menstimulasi eksositosis granula-granula sekretoris
yang mengandung insulin (Gbr. 1) [3] [24] [25].
Gbr 1. Mekanisme kerja GIP [25]
Pada kondisi hiperglikemia, kadar glukosa
darah berlebih dapat distabilkan dengan mengubah
glukosa menjadi glikogen pada hati. Hal tersebut
memerlukan peran fruktosa yang terdapat dalam
madu PS. Absorpsi fruktosa terjadi di usus halus,
terutama jejunum, melalui transpor aktif dan difusi
terfasilitasi dengan bantuan GLUT-5. Fruktosa
memasuki aliran darah dan dibawa menuju hati.
Tidak seperti halnya glukosa, transpor fruktosa dari
darah ke dalam sel hati (hepatosit) tidak bergantung
kepada insulin (insulin-independent).
Fruktosa
pada hepatosit akan mengalami fosforilasi menjadi
fruktosa-1-fosfat yang dapat berperan dalam
aktivasi enzim glukokinase dan glikogen sintase
[26].
Senyawa lain pada madu PS yang dapat
berperan dalam penurunan kadar glukosa darah
adalah antioksidan. Madu PS mengandung
antioksidan dalam bentuk flavonoid dan vitamin C.
Flavonoid merupakan suatu senyawa polifenol yang
dapat bertindak sebagai scavenger terhadap radikal
bebas [27]. Menurut Sharma dkk. (2008) dan
Sandhar dkk. (2011), flavonoid dapat menstimulasi
regenerasi sel β, meningkatkan sekresi insulin,
meningkatkan influks Ca2+ ke dalam sel β, dan
menghambat enzim α-glukosidase pada usus halus
[28] [29]. Senyawa-senyawa flavonoid yang
terkandung dalam madu, antara lain adalah rutin,
quercetin,
chrysin,
myricetin,
kaempferol,
isorhamnetin-3-O-β-D-glukosa,
apigenin,
dan
naringenin [14].
Kamalakkannan & Prince (2006) menyatakan
bahwa pemberian senyawa rutin dapat menghambat
peroksidasi lipid pada membran sel dan mengurangi
stress oksidatif pada sel β, sehingga dapat
melindungi sel β dari radikal bebas yang
ditimbulkan oleh aloksan. Selain itu, senyawa rutin
juga dapat meningkatkan kadar antioksidan alami
seluler, seperti glutation (GSH), yang dapat
berperan dalam mekanisme pertahanan sel terhadap
radikal bebas [30].
Menurut Hussain & Marouf (2013), quercetin
dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui
empat mekanisme, yaitu stimulasi regenerasi sel β,
inhibisi peroksidasi lipid pada membran sel,
stimulasi sekresi insulin, dan inhibisi glucosetransporter-2 (GLUT-2) pada usus halus [31].
Stimulasi sekresi insulin oleh quercetin terjadi
melalui peningkatan influks ion Ca2+ ekstraseluler
ke dalam sel β, sehingga memicu terjadinya
eksositosis granula-granula
sekretoris yang
mengandung insulin [32]. Aguirre dkk. (2011) dan
Jadhav & Puchchakayala (2012) melaporkan bahwa
quercetin memiliki kemampuan untuk menghambat
kerja dari GLUT-2 pada usus halus, sehingga
jumlah glukosa yang diabsorpsi akan berkurang
[33] [34].
Lukacinova dkk. (2008) melalui penelitiannya,
melaporkan bahwa chrysin dapat menurunkan
kadar glukosa darah melalui penghambatan
reabsorpsi glukosa pada tubulus ginjal. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh kemampuan chrysin dalam
menghambat
sodium-glucose
co-transporter
(SGLT) yang terlibat dalam reabsorpsi glukosa
pada tubulus ginjal. Terhambatnya reabsorpsi
glukosa ke dalam darah dapat menyebabkan
penurunan kadar glukosa darah, dan sebaliknya,
meningkatkan kadar glukosa yang diekskresikan
melalui urin (glukosuria) [35].
Myricetin dilaporkan memiliki kemampuan
insulinomimetik, yaitu kemampuan untuk meniru
fungsi
insulin
secara
fisiologis.
Namun,
kemampuan insulinomimetik myricetin hanya
terjadi pada jaringan adiposa. Pemberian myricetin
dapat meningkatkan transpor glukosa dari darah ke
dalam jaringan adiposa dan menstimulasi terjadinya
lipogenesis. Selain itu, myricetin juga mampu
memperbaiki
resistensi
insulin
(insulin
resistance/IR) melalui stimulasi sekresi β-endorfin
oleh
kelenjar
adrenal.
β-endorfin
dapat
mengaktivasi µ-opioid receptor (MOR) yang
terdapat pada membran sel. Aktivasi MOR dapat
menyebabkan terjadinya transduksi sinyal insulin,
sehingga translokasi GLUT-4 menuju membran sel
dapat terjadi [36] [37].
Kaempferol dan salah satu turunannya, yaitu
kaempferol-3-neohesperidoside, memiliki efek
insulinomimetik. Seperti halnya insulin, pemberian
kaempferol-3-neohesperidoside dapat menstimulasi
terjadinya glikogenesis pada otot [14] [38].
Isorhamnetin-3-O-β-D-glukosa yang merupakan
turunan dari isorhamnetin juga berperan dalam
pencegahan dan penyembuhan komplikasi yang
disebabkan oleh diabetes mellitus. Selain itu,
apigenin dan naringenin yang juga terdapat pada
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
madu juga dapat berperan dalam menurunkan kadar
glukosa darah [14].
Senyawa antioksidan yang juga terdapat dalam
madu PS adalah vitamin C atau asam askorbat (AH-).
Vitamin C (AH-) dapat bertindak sebagai scavenger
terhadap radikal hidroksil (OH -) dengan
mendonorkan atom hidrogen (H) dan menghasilkan
H2O serta radikal askorbil (A -). Radikal askorbil
(A -) kemudian akan direduksi kembali menjadi
vitamin C (AH-) dengan bantuan dehidroaskorbat
reduktase. Enzim tersebut, secara bersamaan, juga
akan mengoksidasi glutation (GSH) menjadi
glutation disulfida (GSSG) [39].
Maritim dkk. (2003) melaporkan bahwa
pemberian vitamin C, bersamaan dengan quercetin,
dapat
meningkatkan
aktivitas
superoksida
dismutase (SOD), katalase, dan glutation
peroksidase. Enzim-enzim tersebut berperan dalam
pertahanan seluler terhadap radikal bebas [40].
Superoksida dismutase (SOD) berperan dalam
mengurangi kadar radikal superoksida (O2 -) pada
sel β dengan mengubahnya menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) [41]. Superoksida dismutase
(SOD) membutuhkan tiga jenis mineral yang
terkandung dalam madu PS sebagai kofaktor, yaitu
mangan (Mn), tembaga (Cu), dan seng (Zn).
Hidrogen peroksida (H2O2) yang terbentuk
kemudian akan diubah menjadi air (H2O) dan/atau
oksigen (O2) dengan bantuan katalase dan glutation
peroksidase (GPx). Glutation peroksidase (GPx)
membutuhkan glutation (GSH) sebagai kofaktor
dalam reaksi konversi H2O2 menjadi H2O [40].
Pemberian madu PS selama 14 hari diharapkan
dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa dan
post-prandial mendekati kadar glukosa darah puasa
dan post-prandial normal, dengan mengacu kepada
kadar glukosa darah mencit pada kelompok kontrol
normal (KK1), yaitu 122,67 mg/dL untuk glukosa
darah puasa dan 151,5 mg/dL untuk kadar glukosa
post-prandial. Glukosa dalam jumlah tertentu
diperlukan oleh tubuh untuk digunakan sebagai
sumber energi dan prekursor biosintesis molekulmolekul penting, seperti glikogen, glikolipid,
glikoprotein, dan polisakarida [42] [43]. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian madu PS
10% belum menunjukkan penurunan kadar glukosa
darah ke kadar normal (mengacu pada KK1), yaitu
150,67 mg/dL (puasa) dan 172,33 mg/dL (postprandial). Sedangkan, pemberian madu PS 20%
menunjukkan penurunan kadar glukosa darah ke
kadar normal (mengacu pada KK1), yaitu 126,33
mg/dL (puasa) dan 154,83 mg/dL (post-prandial).
Dengan demikian, dosis optimum pemberian madu
PS yang dapat menurunkan kadar glukosa darah ke
kisaran normal dicapai pada dosis 20%.
Pemberian madu PS (Pollen Substitute) dengan
konsentrasi 10% dan 20% dapat
menurunkan
kadar glukosa darah puasa dan post-prandial
mencit
(Mus musculus L.) jantan galur DDY
yang diinduksi aloksan. Persentase penurunan kadar
glukosa darah ke kisaran normal (mengacu pada
KK1) yang dicapai dengan pemberian madu PS
20% adalah 42,5% untuk kadar glukosa darah
puasa dan 39,75% untuk kadar glukosa darah postprandial.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Centre of Excellence
Indigenous Biological Resource-Genome Studies
(CoE IBR-GS) FMIPA UI, Dr. Wellyzar
Samsuridzal, Ph.D. dan Dr. Retno Widowati selaku
pihak yang telah menyediakan bahan uji berupa
madu pollen substitute. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada DIKTI atas bantuan dana
selama penelitian.
DAFTAR ACUAN
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
4. KESIMPULAN
Sherwood, L. 2001. Fisiologi manusia: Dari
sel ke sistem. Ed. ke-2.Terj.dari Human
physiology: From cell to system, oleh Pendit,
B.U. Penerbit Buku Kedokteran
EGC,
Jakarta: xvi + 739 hlm.
Dawson, L. J. 2010. Diabetes Mellitus.
Dalam: Copstead, L. C. & J. L. Banasik
(eds.). 2010. Patophysiology, 4th ed. Saunders
Elsevier, Missouri: xxix +
1362 hlm.
Fox, S. I. 2009. Human physiology. 11th ed.
McGraw-Hill Company, New York:
xii +
748 hlm.
Diabetes UK. 2010. Diabetes in the UK 2010:
Key statistics on diabetes. Diabetes UK,
United Kingdom: 21 hlm.
World Health Organization & International
Diabetes Federation. 2006. Definition and
diagnosis
of
diabetes
mellitus
and
intermediate hyperglycaemia.
WHO
Document Production Service, Geneva: v +
46 hlm.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2013. Profil kesehatan Indonesia
2012.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta: xxxiii + 472 hlm.
Nolte, M. S. & J. H. Karam. 2011. Hormon
Pankreas & Obat Antidiabetes. Dalam:
Katzoeng, B. G. (Ed.). 2011. Farmakologi
dasar & klinik, ed ke- 10. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: xvi + 1216 hlm.
Suherman, S. K. 2009. Insulin dan
Antidiabetik Oral. Dalam: Gunawan, S. G.,
dkk. (eds.). 2009. Farmakologi dan terapi, ed
ke-5. Balai Penerbit FKUI, Jakarta: xix +
926 hlm.
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
Tjokronegoro, A. & A. Baziad. 1992.
Semiloka etik penelitian obat tradisional.
Balai
Penerbit
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta: ix + 99 hlm.
Alvarez-Suarez, J. M., S. Tulipani, S.
Romandini, E. Bertoli, & M. Battino. 2009.
Contribution of honey in nutrition and human
health: A review. Mediterranian Journal of
Nutrition and Metabolism 3(2010): 15--23.
Alagwu, E. A., J. E. Okwara, R. O. Nneli, &
E. E. Osim. 2011. Effect of honey intake on
serum
cholesterol,
triglycerides,
and
lipoprotein levels in albino rats
and
potential benefits on risks of coronary heart
disease. Nigerian Journal of Physiological
Science 26: 161--165.
Mushtaq, R., R. Mushtaq, & Z. D. Khan.
2011. Effects of natural honey on lipid profile
and body weight in normal weight and obese
adults: A randomized clinical trial. Pakistan
Journal. of Zoology 43(1): 161--169.
Singh, M. P., H. R. Chourasia, M. Agarwal,
A. Malhotra, M. Sharma, D. Sharma, & S.
Khan. 2012. Honey as complementary
medicine: A review. International Journal
of Pharmaceutical and Biological Sciences
3(2): 12--31.
Cortes, M. E., P. Vigil, & G. Montenegro.
2011. The medicinal value of
honey:
A
review on its benefits to human health, with a
special focus on its effects on glycemic
regulation. Ciencia Investigacion Agraria
38(2): 303--317.
Sjamsuridzal, W., A. Basukriadi, & E. Anwar.
2011. Pembuatan pollen substitute sebagai
pakan
lebah
madu
menggunakan
mikroorganisme dan bahan lokal. Laporan
Akhir Hibah Kompetitif Penelitan Strategis
Nasional, FMIPA-UI, Depok: 39 hlm.
Kuntadi. 2008. Perkembangan koloni Apis
mellifera L. yang diberi tiga macam serbuk
sari buatan berbasis tepung kedelai (The
colony development of Apis mellifera L.
fed on three formulas of soybean-based pollen
substitute). Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 5(4): 367--379.
Kuntadi. 2005. Pakan buatan untuk lebah
madu. Makalah Penunjang pada Gelar dan
Dialog Teknologi: 149--154.
Black. 2006. Honeybee nutrition: Review of
research
and
practices.
Australian
Government Rural Industries Research and
Development Corporation, Kingston: xii +
67 hlm.
Malole, M. B. & C. S. V. Pramono. 1989.
Penggunaan hewan-hewan percobaan
di
laboratorium. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Pusat
Antar
Universitas
Bioteknologi IPB, Bogor: vii + 161 hlm.
[20] Kashimura, J. & T. Nagai. 2007. Inhibitory
effect of palatinose on glucose absorption in
everted rat gut. Journal of Nutritional Science
and Vitaminology 53: 87--89.
[21] Sakuma, M., H. Arai, A. Mizuno, M. Fukaya,
M. Matsuura, H. Sasaki, H. YamanakaOkumura, H. Yamamoto, Y. Taketani, T. Doi,
& E. Takeda. 2009. Improvement of glucose
metabolism in patients with impaired glucose
tolerance
or
diabetes
by
long-term
administration of palatinose- based
liquid
formula as a part of breeakfast. Journal of
Biochemical and Nutrition 45: 155--162.
[22] Hallfrisch, J. 1990. Metabolic effects of
dietary fructose. The Federation of American
Societies for Experimental Biology 4: 2652-2660.
[23] Reiser, S., A. S. Powell, C. Yang, & J. C.
Canary. 1987. An insulinogenic effect of
oral fructose in humans during postprandial
hyperglycemia. The American Journal of
Clinical Nutrition 45: 580--587.
[24] Nauck, M. A., B. Baller, & J. J. Meier. 2004.
Gastric inhibitory polypeptide and glucagonlike peptide-1 in the pathogenesis of type 2
diabetes. Diabetes 53: 190--196.
[25] Yamada, Y., K. Miyawaki, K. Tsukiyama, N.
Harada, C. Yamada, & Y. Seino.
2006.
Pancreatic and extrapancreatic effects of
gastric inhibitory polypeptide. Diabetes 55:
86--91.
[26] Feinman, R. D. & E. J. Fine. 2013. Fructose
in perspective. Nutrition & Metabolism
10(45): 1--11.
[27] Miller, A. L. 1996. Antioxidant flavonoids:
Structure, function, and clinical usage.
Alternative Medicine Review 1(2): 103--111.
[28] Sharma, B. C. Balomajumder, & P. Roy.
2008. Hypoglycemic and hypolipidemic
effects of flavonoid rich extract from Eugenia
jambolana seeds on streptozotocin induced
diabetic rats. Food and Chemical Toxicology
46(7): 2376--2383.
[29] Sandhar, H. K., B. Kumar, S. Prasher, P.
Tiwari, M. Salhan, & P. Sharma. 2011. A
review of phytochemistry and pharmacology
of flavonoids. Internationale Pharmaceutica
Sciencia 1(1): 25--41.
[30] Kamalakkannan, N. & P. S. M. Prince. 2006.
Antihyperglycaemic and antioxidant
effect
of rutin, a polyphenolic flavonoid, in
streptozotocin induced diabetic wistar rats.
Basic & Clinical Pharmacology & Toxicology
98: 97--103.
[31] Hussain, S. A. & B. H. Marouf. 2013.
Flavonoids as alternatives in treatment of type
2 diabetes mellitus. Academia Journal of
Medicinal Plants 1(2): 31-- 36.
[32] Tapas, A. R., D. M. Sakarkar, & R. B. Kakde.
2008. Flavonoids as nutraceutical: A
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
[33]
[34]
[35]
[36]
[37]
[38]
[39]
[40]
[41]
[42]
[43]
review. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research 7(3): 1089--1099.
Aguirre, L., N. Arias, M. T. Macarulla, A.
Gracia, & M. P. Portillo. 2011. Beneficial
effects of quercetin on obesity and diabetes.
The Open Nutraceuticals Journal 4: 189-198.
Jadhav, R. & G. Puchchakayala. 2012.
Hypoglycemic and antidiabetic activity of
flavonoids: Boswellic acid, ellagic acid,
quercetin,
rutin
on
streptozotocinnicotinamide induced type 2 diabetic rats.
International Journal of Pharmacy
and
Pharmaceutical Science 4(2): 251--256.
Lukacinova, A., J. Mojzis, R. Benacka, J.
Keller, T. Maguth, P. Kurila, L. Vasko, O.
Racz, & F. Nistiar. 2008. Preventtve effects of
flavonoids on alloxan- induced
diabetes
mellitus in rats. Acta Vet. Brno 77: 175--182.
Li, Y. & Y. Ding. 2010. Minireview:
Therapeutic potential of myricetin in diabetes
mellitus. Food Science and Human Wellness
(2010): 1--16.
Tzeng, T., S. Liou, & I. Liu. 2011. Myricetin
ameliorates defective post-receptor insulin
signaling via β-endorphin signaling in the
skeletal muscle of fructose-fed rats.
Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine 2011: 1--9.
Zanatta, L., A. Rosso, P. Folador, M. S. R. B.
Figueiredo, M. G. Pizzolatti, L. D. Leite, &
F. R. M. B. Silva. 2008. Insulinomimetic
effect of kaempferol-3- neohesperidoside
on the rat soleus muscle. Journal of Natural
Products 71(4): 532--535.
Cadenas, E. 2010. Free radicals, oxidative
stresss, and diseases. Enrique Cadenas PSC16
7: 1--38.
Maritim, A. C., R. A. Sanders, & J. B.
Watkins. 2003. Diabetes, oxidative stress, and
antioxidants: A review. Journal of
Biochemistry and Molecular Toxicology
17(1): 24--38.
Szkudelski, T. 2001. The mechanism of
alloxan and streptozotocin action in β cells
of the rat pancreas. Physiology Research (50):
536--546.
Mayes, P. A. & D. Bender. 2003.
Carbohydrates of Physiologic Siginificance.
Dalam: Murray, K. R., D. K. Granner, P. A.
Mayes, & V. W. Rodwell (eds.). 2003.
Harper’s illustrated biochemistry, 26th ed.
McGraw-Hill Company, New York: vi +
693 hlm.
Alberts, B., A. Johnson, J. Lewis, M. Raff, K.
Roberts, & P. Walter. 2008. Molecular
biology of the cell. 5th ed. Garland Science,
New York: xxxiii 1601 hlm.
Uji potensi madu..., Erwin Hardian,FMIPA UI, 2013
Download