BAB V

advertisement
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan globalisasi ekonomi dunia ditandai dengan adanya
perdagangan bebas, yang diakibatkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan
revolusi teknologi, liberalisasi informasi dan peningkatan produktivitas yang
luar biasa. Hal inilah yang menyebabkan sering terjadi over capacity disemua
sektor ekonomi, sehingga menyebabkan terjadinya resesi ekonomi, yang
menghambat pertumbuhan dan mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan disertai dengan
stabilitas ekonomi yang mantap sangat diperlukan guna mencapai tujuan suatu
kebijakan ekonomi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu,
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
penghasilan masyarakat dan merupakan perluasan dari kegiatan ekonomi.
Sedangkan stabilitas ekonomi yang stabil merupakan salah satu prasyarat bagi
terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan merupakan kunci dari
peningkatan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Oleh karena itu, yang
menjadi prioritas utama stabilitas ekonomi adalah menjaga kestabilan harga
kebutuhan dasar rakyat. Sedangkan prioritas utama di bidang perekonomian
adalah mengarahkan agar perluasan kegiatan ekonomi dapat menampung
mayoritas angkatan kerja (Boediono, 2005).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 merupakan krisis yang paling parah sepanjang masa
orde baru. Proses penyebaran krisis berlangsung sangat cepat karena
1
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
keterbukaan dan ketergantungan perekonomian Indonesia pada sektor luar
negeri sangat besar. Terjadinya krisis ekonomi karena terdapat berbagai
kelemahan mendasar di dalam perekonomian nasional, terutama ditingkat
mikro. Hal ini mengakibatkan kegiatan intermediasi di sektor keuangan
terutama perbankan, terganggu sehingga aliran dana untuk membiayai
kegiatan investasi dan produksi mengalami hambatan. Serta mengakibatkan
kegiatan ekonomi mengalami kontraksi yang tajam sehingga secara
keseluruhan pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PDB) merosot menjadi
4,7% pada tahun 1997 dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 8,0%.
Tingkat pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4,9% pada tahun 1996
menjadi 7,5% pada tahun 1997. Laju inflasi melonjak dari 5,17% pada tahun
1996 menjadi 34,22% pada tahun 1997/1998 (Laporan Tahunan Bank
Indonesia 1997/1998: 1).
Krisis yang terjadi di Indonesia, telah menghancurkan semua sendisendi perekonomian. Di mana tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
tahun 1998 negatif, yaitu antara -13,6% sampai dengan -15% dan pada tahun
1999 pertumbuhan ekonomi antara -2% sampai dengan -5,1%. Hal ini
membuat banyak industri tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang
baru untuk menampung tambahan angkatan kerja yang semakin meningkat.
Perkembangan jumlah angkatan kerja dan penduduk Indonesia dari
tahun 1991 hingga tahun 1997 menunjukan jumlah yang terus meningkat. Di
mana terlihat bahwa dari tahun 1991 hingga tahun 1997, pertambahan jumlah
penduduk Indonesia terus meningkat, sehingga menyebabkan jumlah angkatan
kerja juga mengalami peningkatan. Hal ini dibarengi dengan jumlah
2
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kesempatan kerja yang terus meningkat. Namun hal ini tidak terlepas dari
masalah ketenagakerjaan yang sangat krusial yaitu ketimpangan antara jumlah
kesempatan kerja dan angkatan kerja sehingga menyebabkan semakin
meningkatnya jumlah pengangguran. Perkembangan mengenai jumlah
penduduk, angkatan kerja dan kesempatan kerja dapat dilihat pada tabel 1.1 di
bawah ini:
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penduduk, Angkatan Kerja dan
Kesempatan Kerja di Indonesia Tahun 1991-1997
(Dalam Persen)
TAHUN
A Kesempatan Kerja
a. Pria
b. Wanita
B Angkatan Kerja
a. Pria
b. Wanita
C Penduduk
a. Pria
b. Wanita
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
76,9 78,6 79,2 82,0 83,9 85,7 87,1
47,7 48,2 48,7 50,3 51,7 53,0 54,0
29,2 30,4 30,5 31,7 32,2 32,7 33,1
75,8 80,7 81,4 85,8 87,9 90,1 91,4
48,4 49,4 50,0 52,3 53,8 55,3 56,3
30,1 31,3 31,4 33,5 34,1 34,8 35,1
137,3 140,8 143,8 147,8 151,1 152,5 157,4
67,9 69,7 70,9 72,7 74,6 76,5 77,9
69,4 71,1 72,9 75,1 76,5 76,0 79,5
Sumber: BPS (Sakernas) dan ILO (1998)
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penambahan
jumlah lapangan kerja maka pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan
infrastruktur perlu mendapat perhatian pemerintah. Hal ini sangat diperlukan
guna mendukung kegiatan investasi dan perdagangan serta menunjang
pertumbuhan sektor swasta. Sehingga diharapkan akan memperlancar arus
pendistribusian barang dan menurunkan tingkat inflasi.
Sumber pembiayaan yang potensial untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi adalah perbankan nasional dan investor luar negeri.
Dalam rangka menarik investor asing agar menanamkan modalnya di
Indonesia, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan aspek kepercayaan yang
3
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
harus dibangun oleh pemerintah yaitu menjaga stabilitas moneter dan stabilitas
keamanan yang merupakan suatu tuntutan global di era globalisasi ini. Hal ini
dicerminkan oleh suatu kondisi yang bebas dari anarkisme, radikalisme dan
terorisme. Keadaan yang aman dan nyaman sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan iklim investasi serta terhadap bantuan yang akan diberikan oleh
lembaga-lembaga internasional.
Keberadaan investasi asing masih sangat diperlukan terlebih lagi bagi
Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar, di mana jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia belum dapat menampung banyaknya jumlah pencari
kerja yang semakin meningkat setiap tahunnya, ditambah lagi dengan masalah
pemulangan TKI ilegal dari Malaysia yang menyebabkan semakin
bertambahnya jumlah pengangguran.
Permasalahan ekonomi lain yang banyak dihadapi oleh negara di
dunia, terutama di negara yang sedang berkembang adalah masalah inflasi
yang cenderung lebih berfluktuasi dan masalah pengangguran yang semakin
meningkat jumlahnya. Tingginya tingkat inflasi merupakan suatu hal yang
mengkhawatirkan dan harus diwaspadai, karena pada umumnya inflasi yang
terjadi di negara-negara berkembang, bersumber pada impor besar-besaran
bahan baku bagi industri yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dan
juga rumor politik yang merupakan salah satu pemicu terjadinya inflasi serta
pola kehidupan konsumeristis masyarakat terutama terhadap barang-barang
konsumsi akibat dari perdagangan bebas yang sudah mulai diterapkan serta
globalisasi pasar yang membuat semakin parahnya kinerja perekonomian.
4
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Peningkatan laju inflasi disebabkan oleh depresiasi nilai tukar dan
kenaikan administered prices yang juga telah mendorong meningkatnya
ekspektasi inflasi masyarakat. Selain itu, tingginya tingkat inflasi terjadi
karena ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran barang dan jasa.
Ini membuktikan bahwa tingginya laju inflasi di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi sektor riil dan bukan sektor moneter.
Laju inflasi di Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi pada awal
tahun 1990 sampai menjelang tahun 1997 masih dapat dikatakan relatif stabil
dan berada dalam taraf yang terkontrol. Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata
inflasi berada pada level 9%. Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada
tahun 1992 sebesar 3,59%. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997
menyebabkan laju inflasi meroket hingga mencapai 77,54%. Perkembangan
laju inflasi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.2 di bawah ini:
Tabel 1.2 Perkembangan Laju Inflasi Tahunan dan Kuartalan di
Indonesia Tahun 1990-2003 (Dalam Persen)
TAHUN
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Kuartalan Kuartalan
I
II
6,4
0,53
3714
0,88
3,04
2,34
3,26
0,77
1,96
2,54
25,13
46,55
4,08
2,73
0,93
1,91
2,11
3,28
3,5
0,92
0,77
0,46
Kuartalan
III
1,27
2,79
1,41
0,91
5,37
75,47
0,02
1,74
2,56
1,65
1,24
Kuartalan
Tahunan
IV
1,53
99
1,86
9.24
1,85
8.64
1,53
6.47
11,05
11.05
77,63
77.54
2,04
2.01
4,42
9.35
4,06
12.55
3,63
10.03
0,89
5.06
Sumber: Bank Indonesia
5
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Bagi Indonesia, laju inflasi yang tinggi memiliki potensi untuk
mengganggu stabilitas dan kredibilitas mata uang rupiah. Dari sudut pandang
stabilitas ekonomi, tingginya laju inflasi suatu negara dapat menimbulkan
gangguan pasar,
yaitu melemahnya permintaan dan pada akhirnya
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bagi konsumen, tingginya laju inflasi
mengakibatkan daya beli mereka melemah, sehingga menyebabkan tingkat
konsumsinya menurun. Tingginya tingkat inflasi juga menjadikan daya saing
produk di pasar internasional menjadi lemah (Suseno, 1997: 88). Apabila laju
inflasi mencapai dua digit atau bahkan lebih, maka akan mengganggu
kredibilitas Indonesia.
Inflasi merupakan salah satu indikator kinerja ekonomi makro yang
dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam stabilitas moneter. Dalam
definisinya, inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik
secara umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Oleh karena itu,
upaya untuk menekan laju inflasi serendah mungkin seharusnya menjadi
komitmen bersama para pelaku bisnis, para konsumen, dan pemerintah
(Suseno, 1999: 153).
Laju
pertumbuhan
inflasi
ini,
harus
selalu
diwaspadai
dan
dikendalikan, karena menimbulkan dampak yang cukup besar bagi
perekonomian. Berikut ini merupakan beberapa dampak dari inflasi
diantaranya adalah sebagai berikut (Tajul Khalwaty, 2000: 2):
1. Inflasi berdampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan, sehingga perlu
dicermati terutama oleh para praktisi ekonomi dan bisnis.
6
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
2. Inflasi yang tinggi mempunyai pengaruh agregatif terhadap perekonomian
makro sebagai faktor eksternal dunia industri serta berdampak luas pula
terhadap sektor perekonomian mikro yang merupakan faktor internal dunia
bisnis.
3. Industri yang berorientasi ekspor akan semakin kurang kompetitif di
pasaran global dan bahkan di pasaran nasional jika terjadi inflasi yang
tinggi. Biaya faktor-faktor produksi semakin mahal hingga menimbulkan
ekonomi biaya tinggi. Hal ini semakin memberatkan negara-negara yang
menganut sistem ekonomi terbuka.
4. Kemerosotan produksi baik yang berorientasi pada ekspor maupun untuk
pasaran
domestik
akan
meningkatkan
laju
pertumbuhan
angka
pengangguran yang sangat berbahaya bagi stabilisasi perekonomian
negara.
5. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama
terhadap produksi dalam negeri yang selanjutnya dapat mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional.
6. Inflasi yang tinggi akan semakin menumbuh-suburkan korupsi, manipulasi
dan kolusi di kalangan elit pemerintahan dengan kalangan konglomerat
yang membawa kepercayaan dunia terhadap kewibawaan pemerintah
semakin merosot.
7. Inflasi yang tinggi akan mendorong para pemodal nasional untuk
menanamkan modalnya ke luar negeri (hot money) dan bahkan para
pengusaha akan merelokasikan industrinya ke luar negeri yang
perekonomiannya lebih stabil. Jika hal ini terjadi, perekonomian nasional
7
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
akan terus memanas dan hancur. Industri semakin tidak kompetitif dan
tidak mampu menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.
Berbagai persoalan yang timbul akibat krisis ekonomi, memberi
dampak
yang sangat
serius
bagi
kehidupan masyarakat
Indonesia.
Meningkatnya laju inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun
sehingga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Selain itu, krisis
ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 juga membawa dampak
banyak pabrik dan industri yang collaps serta banyak pengusaha yang terpaksa
memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Hal inilah yang
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran baru serta
menambah
berbagai
persoalan
sosial
ekonomi
dan
politik
(Tambunan, 2000: 41)
Pengangguran merupakan masalah makroekonomi yang penting,
karena mempunyai dampak yang serius apabila tidak segera diatasi.
Penganggur merupakan beban keluarga dan masyarakat, sumber utama
kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal,
serta dapat menghambat pembangunan ekonomi dalam jangka panjang.
Pengangguran sering kali menimbulkan masalah ekonomis dan psikologis
bagi penganggur dan keluarga mereka antara lain: meningkatnya tingkat
penderita stress dan penyakit kejiwaan lainnya serta meningkatnya kasuskasus bunuh diri akibat tidak mampu lagi menghadapi kesulitan hidup yang
semakin besar.
Pengangguran juga merupakan biaya bagi perekonomian secara
keseluruhan, karena barang dan jasa yang dapat diproduksi menjadi
8
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
berkurang. Output yang hilang ini dan digabungkan dengan kerugian
ekonomis dan psikologis bagi individu dan keluarganya menunjukan biaya
sebenarnya dari pengangguran (Mc Eachern, 2000: 124).
Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah
penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan
kerja, terlebih lagi bagi Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, di
mana pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan
kerja. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut lebih menonjol atau penting
bagi negara berkembang. Pertama, pertumbuhan penduduk di negara
berkembang cenderung tinggi, sehingga cenderung melebihi pertumbuhan
kapital. Kedua, demografi profil lebih muda, sehingga lebih banyak penduduk
yang masuk kelapangan kerja. Ketiga, struktur industri di negara berkembang,
yang cenderung mempunyai tingkat diversifikasi kegiatan ekonomi rendah,
serta tingkat ketrampilan penduduk yang belum memadai, membuat usaha
penciptaan lapangan kerja menjadi semakin kompleks. Dalam kondisi
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 8%) maka penciptaan
lapangan kerja baru akan mampu memenuhi tambahan angkatan kerja, ini
yang terjadi di Indonesia sebelum tahun 1990 sampai dengan tahun 1997.
Bagi
Indonesia
dalam
memasuki
era
pasar
bebas
masalah
ketenagakerjaan merupakan salah satu problema yang berat. Hal ini
disebabkan karena: Pertama, adanya ketimpangan antara pertumbuhan jumlah
angkatan kerja dengan penciptaan kesempatan kerja. Menurut Depnaker
jumlah angkatan kerja pada tahun 1996 sekitar sekitar 90,11 juta orang,
sementara kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 85,70 juta orang dan ada
9
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
sekitar 4,41 juta orang pengangguran terbuka. Di tahun 1996, perekonomian
mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang relatif lebih besar karena ekonomi
nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Namun dengan terjadinya krisis ekonomi
ditahun 1997 dan 1998, jumlah pengangguran meningkat lagi akibat
banyaknya karyawan yang di PHK. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Di tahun 2000 jumlah
pengangguran menurun menjadi 5,87 juta orang dari sekitar 6,03 juta orang di
tahun 1999. Namun di tahun 2003 jumlah pengangguran mengalami
peningkatan hingga mencapai 9.53 juta orang dan jumlah ini akan terus
meningkat apabila pemulihan ekonomi belum berjalan dengan baik.
Pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran dari tahun
1990 sampai dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.3 di bawah ini:
Tabel 1.3 Jumlah Angkatan Kerja dan Jumlah Pengangguran di
Indonesia Tahun 1990-2003
TAHUN
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
JUMLAH
ANGKATAN KERJA
77.802.264
78.455.548
80.703.974
81.446.078
85.775.633
86.361.261
90.109.582
91.324.911
92.734.932
94.847.178
95.695.979
98.812.448
100.779.270
100.316.007
JUMLAH
PENGANGGURAN
1.951.684
2.032.369
2.185.602
2.245.536
3.737.524
6.251.201
4.407.769
4.275.155
5.062.483
6.030.319
5.871.956
8.005.031
9.132.104
9.531.090
Sumber: BPS (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia)
10
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Kedua, masalah ketenagakerjaan yang lain adalah rendahnya kualitas
tenaga kerja Indonesia sehingga daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi
turun. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya sistem pendidikan di Indonesia
yang ada saat ini, yaitu tidak mampu mempersiapkan secara khusus bagi
angkatan kerja untuk memasuki pasar kerja.
Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi di Indonesia
cenderung
terus
meningkat
dan
semakin
mengkhawatirkan.
Angka
pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi pada tahun 1995 mencapai
12,36 persen, pada tahun 1997 meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada
tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran yang
berpendidikan cukup tinggi ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan
yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar
kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan
tenaga kerja asing.
Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan
tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih
rendah. Akibatnya, lulusan yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga tidak
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik
dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan.
Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran
terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja
dalam menyerap tenaga terdidik yang muncul secara bersamaan dalam jumlah
yang terus terakumulasi.
11
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Di lihat dari faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas tenaga kerja
Indonesia adalah karena masih lemahnya sistem pendidikan yang ada saat ini,
yaitu tidak mampu mempersiapkan secara khusus bagi angkatan kerja untuk
memasuki pasar kerja. Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi di
Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mengkhawatirkan. Angka
pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi pada tahun 1995 mencapai
12,36%, pada tahun 1997 meningkat menjadi 18,55%, dan pada tahun 2003
meningkat lagi menjadi 24,5%.
Pengangguran yang berpendidikan cukup tinggi ini tidak terlepas dari
persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja
berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja
terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.
Ada beberapa faktor yang membuat industri mengalami kesulitan
dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Pertama, naiknya suku bunga
pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Kedua,
krisis keuangan yang diikuti dengan ketidakstabilan politik membuat
kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia
mencapai titik terendah sehingga menyebabkan terjadinya capital flight.
Ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya,
mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international,
namun kenyataannya nilai ekspor Indonesia tidak mengalami peningkatan
yang tajam.
Akibat dari hal tersebut, capital formation tidak terbentuk, bahkan
cenderung negatif. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang
12
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan
yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya.
Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud
adalah pengangguran terbuka dan belum meliputi mereka yang termaksud
dalam pengangguran terselubung (distinguished unemployment) atau setengah
pengangguran yang angkanya selama ini selalu jauh lebih besar dibandingkan
angka pengangguran terbuka. Uniknya, pengangguran terbuka ini didominasi
oleh kelompok masyarakat yang berpendidikan cukup tinggi. Berdasarkan
data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka sudah
mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di
Indonesia, dan jumlah ini belum mencakup pengangguran terselubung. Jika
persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran
terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah
mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur
mencapai sekitar 36 juta orang.
Teori yang membahas mengenai masalah pengangguran pertama kali
dikemukakan oleh seorang ahli ekonomi Inggris bernama AW Phillips dari
London School of Economic pada tahun 1958. Phillips mempublikasikan
sebuah makalah dimana beliau menemukan hubungan negatif antara
perubahan tingkat upah dan tingkat pengangguran di Inggris. Hubungan
tersebut digambarkan dalam bentuk kurva yang kemudian dikenal sebagai
kurva Phillips. Dalam perkembangan berikutnya, konsep dasar Phillips ini di
interpretasikan dengan cara yang lain. Tingkat upah nominal dipengaruhi oleh
tingkat harga, maka variabel perubahan tingkat upah itu diidentikan dengan
13
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
persentase perubahan tingkat harga, yang tidak lain adalah inflasi. Dan
hubungan dalam kurva Phillips itu diartikan sebagai berikut: jika diinginkan
target inflasi yang cukup rendah maka hal ini akan membawa konsekuensi
tingkat pengangguran yang cukup tinggi.
Perkembangan kurva Phillips sejak tahun enam puluhan berkembang
kearah yang semakin kompleks. Ekonom dari University of Chicago, Milton
Friedman dan Edmund Phelps dari University of Columbia berpendapat bahwa
kurva Phillips akan berubah setiap waktu karena pekerja dan perusahaanperusahaan mulai dapat memperkirakan inflasi. Sehingga inflasi dianggap
sebagai suatu hal yang biasa.
Teori Keynes yang menyoroti aspek lain dari inflasi, dalam teori ini,
inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan
ekonominya. Proses inflasi menurut teori ini adalah keadaan dimana
permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang
yang tersedia (Boediono, 1995: 163). Jika jumlah permintaan melebihi dari
jumlah yang tersedia, maka akan terjadi kenaikan harga. Masyarakat akan
dapat membeli barang-barang jika mereka memiliki penghasilan dari
pekerjaannya dan hal ini berarti tingkat pengangguran kecil karena lebih
banyak masyarakat yang memiliki pekerjaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
dengan sedikitnya pengangguran, maka inflasi akan bergerak naik, karena
masyarakat memiliki daya beli terhadap barang yang ada.
Sasaran inflasi merupakan kunci penentu seberapa giat ekonomi
menciptakan lapangan pekerjaan. Namun trade-off antara inflasi dan
pengangguran ini menimbulkan pilihan bagi pengambil kebijakan, apakah
14
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
akan menekan laju inflasi tapi harus menerima pengangguran yag cukup
tinggi, karena penurunan inflasi menuntut pengorbanan bertahun-tahun angka
pengangguran yang tinggi. Semakin drastis Bank Indonesia menurunkan
inflasi, maka semakin besar pula biaya pengangguran yang harus dibayar.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka Penelitian ini
diberi judul “Analisis Kausalitas antara Inflasi dan Pengangguran di Indonesia
Tahun 1983-2003 (Pendekatan Uji Granger, Uji Kointegrasi dan ECM)”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Adakah
hubungan
kausalitas
antara
tingkat
inflasi
dan
tingkat
penganguran?
2. Bagaimana arah hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat
pengangguran dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang?
3. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan pengangguran.
2. Untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara inflasi dan
pengangguran dalam jangka pendek dan jangka panjang.
3. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi
dalam jangka pendek dan jangka panjang.
15
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan dan membuktikan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara inflasi dan pengangguran
b. Penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian yang ada serta
dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian serupa di masa
yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti, memberi pengalaman yang bermanfaat dalam bidang
penelitian
b. Dapat digunakan untuk membuat kebijakan yang efektif dengan
memakai hasil penelitian ini sebagai bahan acuan.
16
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kurva Phillips
Kurva Phillips diambil dari nama seorang ekonom kelahiran New
Zealand A.W Phillips, Ia adalah Professor di London School of
Economics. Pada tahun 1958, Ia menerbitkan satu studi komprehensif
tentang perilaku upah di Inggris selama tahun 1861-1957 dengan judul The
Relation Between Unemployment and The Rate of Change of Money Wage
Rate in the United Kingdom. Dari hasil studinya, Ia menemukan hubungan
negatif antara inflasi upah dan pengangguran. Secara grafik, hubungan
tersebut tercermin dalam gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1 Hubungan Antara Prosentase Kenaikan Upah dengan
Pengangguran
Sumber: Nopirin (2000), Ekonomi Moneter Buku II, hal 36
17
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Kurva Phillips menunjukan bahwa laju inflasi upah menurun
dengan naiknya pengangguran (Dornbush dan Fischer, 1990: 434). Hasil
temuan A.W Phillips kemudian dikembangkan di Amerika Serikat oleh
Paul Samuelson dan Robert Solow dengan melakukan modifikasi. Hasil
studinya membuktikan adanya hubungan negatif antara laju pertumbuhan
inflasi dan laju pertumbuhan pengangguran. Masalah pokok kebijaksanaan
makro ekonomi sampai akhir tahun 1950-an adalah pencapaian kestabilan
harga serta kesempatan kerja yang tinggi. Oleh karena itu, kurva Phillips
mampu menjelaskan keadaan pesimis ini yaitu kestabilan harga dan
kesempatan kerja yang tinggi di mana, kedua hal ini tidak bisa terjadi
bersama-sama. Sehingga jika ingin menghendaki kesempatan kerja yang
tinggi harus mau menanggung beban inflasi yang tinggi, sehingga harus
ada “Trade-Off”.
Kurva Phillips diperoleh semata-mata atas dasar studi empirik,
tidak ada dasar teorinya (Nopirin, 2000: 37). Perkembangan selanjutnya
dari studi empiris ini, Lipsey (1960) mencoba untuk mengisi dasar
teorinya dengan menggunakan teori pasar tenaga kerja. Dalam pasar
tenaga kerja, tingkat upah cenderung turun apabila terdapat kelebihan
penawaran tenaga kerja (pengangguran) dan akan naik apabila terdapat
kelebihan permintaan tenaga kerja. Pengangguran mempunyai hubungan
negatif dengan kelebihan permintaan akan tenaga kerja. Dengan demikian,
apabila dalam pasar terdapat kelebihan penawaran, ini akan tercermin pada
banyaknya orang yang mencari pekerjaan. Namun Ia mengakui adanya
kenyataan bahwa pasar tenaga kerja tidak sempurna sehingga inilah yang
18
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
menyebabkan terjadinya pengangguran friksional atau pengangguran
alamiah (Nopirin, 2000: 37).
Namun penjelasan Lipsey tersebut mengandung kelemahan. Kurva
Phillips menggambarkan tingkah-laku upah nominal, sedangkan teori
pasar tanaga kerja klasik menggambarkan tingkah laku upah riil. Dua
konsep ini sama apabila harga stabil. Dengan mengubah sumbu vertikal
dengan tingkat perubahan upah riil (upah nominal di bagi dengan harga)
maka dapatlah dianalisa hubungan antara harga atau inflasi dengan
pengangguran (Nopirin, 2000: 37).
Tingkat upah ini berkaitan dengan variabel harga, yaitu jika tingkat
upah mengalami kenaikan maka akan berpengaruh terhadap tingkat harga.
Sehingga kurva Phillips ini berslope negatif yang berarti bahwa jika laju
inflasi tinggi maka tingkat pengangguran akan turun. Inflasi yang tinggi
akan berdampak pada sektor ekonomi yang lain, misalnya tingkat suku
bunga, investasi dan konsumsi masyarakat. Sedangkan rendahnya tingkat
pengangguran dapat mencerminkan tingkat distribusi pendapatan yang
lebih merata, meningkatkan konsumsi total, meningkatkan produksi
nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
(Dornbush dan Fischer, 1990)
Jika W adalah tingkat upah dalam periode ini, dan W-1 adalah
tingkat upah periode yang lalu, maka laju inflasi upah gW dapat
didefinisikan pada persamaan berikut ini:
gW =
W - W-1
........................................ ……………...............
W-1
(2.1)
19
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Dengan U menunjukan tingkat pengangguran aktual dan U0
menunjukan tingkat pengangguran alamiah, maka kurva Phillips dapat
dituliskan sebagai berikut:
gW = -  (U-U0) ...........................................................................
(2.2)
 adalah suatu nilai yang mengindikasikan bagaimana berubahnya
inflasi pada nilai (U-U0). Persamaan ini menyatakan bahwa upah akan
menurun bila angka pengangguran melebihi angka alamiahnya, yaitu
U>U0, dan upah akan naik bila angka pengangguran lebih kecil dibanding
tingkat alamiahnya.
Kurva Phillips menggambarkan penawaran agregat karena kurva
Phillips
mengindikasikan
kenaikan
output
agregat
pada
tingkat
pengangguran yang lebih rendah akan dapat menaikkan inflasi. Kurva
Phillips secara tidak langsung menggambarkan bahwa upah dan harga
menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregat.
Kurva Phillips menunjukan bahwa apabila upah naik 10 persen angka
pengangguran akan menurun. Ini akan mengakibatkan tingkat upah naik,
harga juga naik, dan akhirnya perekonomian akan kembali ke kondisi
penggunaan tenaga kerja penuh (full employment). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan turunnya
jumlah pengangguran. Sehingga dapat ditulis persamaan sebagai berikut:
W =W-1 [1- (U-U0)]
...........................................................
(2.3)
Agar upah naik di atas tingkat sebelumnya, angka pengangguran
harus turun di bawah angka alamiahnya.
Meskipun kurva Phillips merupakan hubungan kenaikan tingkat
upah atau inflasi upah dengan angka pengangguran seperti studi empiris
20
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
tersebut di atas, namun kurva Phillips ini secara bertahap digunakan untuk
menggambarkan hubungan tingkat kenaikan harga-harga (tingkat inflasi)
dengan tingkat pengangguran. Sehingga kurva Phillips ini menjadi
landasan kebijakan ekonomi makro. Terjadinya Trade-off antara inflasi
dan pengangguran ini membuat para policymakers dihadapakan pada dua
pilihan kebijakan yang kontradiktif yaitu berusaha menekan rendahnya
pengangguran namun dengan resiko tingkat inflasi yang tinggi atau
sebaliknya. Sehingga para policymakers harus memilih kombinasi yang
optimal dari tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Misalnya pada studi
empiris yang pernah dilakukan di Amerika Serikat pada periode tahun
1961-1969 diperoleh bahwa angka pengangguran yang rendah selama
penelitian dengan inflasi yang tinggi sesuai dengan konsep kurva Phillips.
Secara grafik dapat digambarkan pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2 Hubungan laju inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat
1961-1969
Sumber: Dornbush and Fisher (1990), Makro Ekonomi, hal 433.
21
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Akan tetapi hubungan kurva Phillips yang sederhana ini tidak
berlaku lagi pada masa-masa berikutnya, baik di Inggris maupun di
Amerika Serikat. Diungkapkan bahwa perilaku inflasi dan pengangguran
di Amerika Serikat di tahun 1970-an membuktikan tidak berlakunya kurva
Phillips yang sederhana seperti semula. Secara grafik keadaan tersebut
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Hubungan laju inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat
1961-1985
Sumber: Dornbush and Fisher (1990), Makro Ekonomi, hal 434.
Perkembangan kurva Phillips sejak tahun 1970-an berkembang ke
arah yang semakin kompleks. Ekonom dari Chicago University Milton
Friedman dan Edmund Phelps dari University of Columbia berpendapat
bahwa kurva Phillips akan berubah setiap waktu karena pekerja dan
perusahaan mulai dapat memperkirakan inflasi dan inflasi dianggap
sebagai suatu hal yang biasa. Mereka menyimpulkan bahwa gagasan dari
trade-off jangka panjang antara inflasi dan pengangguran adalah semu.
22
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Karena perekonomian dalam jangka panjang akan bergerak pada tingkat
pengangguran alamiah pada tingkat berapapun dan kurva penawaran
agregat tenaga kerja dalam jangka panjang berbentuk vertikal. Alasanalasan ini didasarkan pada pengertian pengangguran alamiah yang
merupakan tingkat pergeseran pengangguran yang sesuai dengan pasar
tenaga kerja selama keseimbangan itu terjadi. Selama pengangguran itu
berada di atas tingkat alamiah, maka lebih banyak orang mencari
pekerjaan dari pada pengangguran tetap dalam keseimbangan pasar tenaga
kerja.
Banyaknya pengangguran akan menyebabkan tingkat upah
menurun karena perusahaan hanya mau mempekerjakan tenaga kerja yang
mau diberi upah yang kecil sehingga terjadi penurunan tingkat
pengangguran sampai pada tingkat pengangguran alamiah. Sebaliknya
terjadi bila pengangguran berada di bawah tingkat alamiah sehingga
tingkat
upah
mengalami
kenaikan
yang
dalam
jangka
panjang
menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerjanya dengan
memaksimalkan sumber daya dan pada akhirnya tingkat pengangguran
akan kembali naik ke tingkat alamiah. Sehingga menurut mereka tidak ada
trade-off antara inflasi dan pengangguran dalam jangka panjang.
2. Inflasi
a. Pengertian Inflasi
Inflasi adalah suatu gejala dimana tingkat harga umum
mengalami kenaikan secara terus menerus. Boediono (1995: 155)
mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk
23
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
menaik secara umum dan terus menerus. Menurut Nanga, Muana
(2001: 241), dari uraian tersebut, terdapat tiga hal penting yang
ditekankan yaitu:
1) Adanya kecenderungan harga-harga meningkat, yang berarti bisa
saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik
dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukan
tendensi yang meningkat.
2) Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus
menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu
saja, akan tetapi bisa beberapa waktu lamanya.
3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga
umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu
bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi
untuk harga barang secara umum
Berkaitan dengan pengertian inflasi di atas, maka perlu juga
diketahui bahwa kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan
indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan untuk
mengukur inflasi antara lain:
1) Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
Indeks
harga
konsumen
(IHK)
adalah
salah
satu
pengukuran inflasi yang paling banyak digunakan. Indeks harga
konsumen merupakan indeks harga yang mengukur biaya
sekelompok barang-barang dan jasa-jasa di pasar, termasuk hargaharga makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar transportasi,
24
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
perawatan kesehatan, pendidikan dan komoditi lain yang dibeli
untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari.
2) Indeks Harga Produsen (Producer price index)
Indeks Harga Produsen (IHP) adalah suatu indeks dari
harga
bahan-bahan
baku
(raw
materials),
produk
antara
(intermediate products) dan peralatan modal dan mesin yang dibeli
oleh sektor bisnis atau perusahaan. Sehingga indeks harga
produsen hanya mencakup bahan baku dan barang antara atau
setengah jadi saja, sementara barang-barang jadi tidak dimasukan
di dalam perhitungan indeks harga. Pada umumnya pertumbuhan
indeks harga searah dengan indeks biaya hidup.
3) GNP Deflator
GNP Deflator adalah suatu indeks yang merupakan
perbandingan atau rasio antara GNP nominal dan GNP riil
dikalikan dengan 100 (Nanga, Muana 2001: 242). GNP riil adalah
nilai barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan di dalam
perekonomian, yang diperoleh ketika output dinilai dengan
menggunakan harga tahun dasar (base year). Sedangkan GNP
nominal adalah GNP yang dihitung berdasarkan harga pasar yang
berlaku (GNP at current market price). Sedangkan menurut
Nopirin (2000: 26), GNP Deflator merupakan jenis indeks yang
lain, yang mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam
perhitungan GNP. Sehingga jumlahnya lebih banyak dibandingkan
dengan indeks yang lain. Karena GNP Deflator ini cakupannya
25
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
lebih luas dalam arti perhitungannya meliputi semua barang yang
diproduksi di dalam perekonomian, maka indeks ini merupakan
indeks harga yang secara luas digunakan sebagai basis untuk
mengukur inflasi.
b. Macam-macam Inflasi
Laju inflasi dapat berbeda dari suatu negara dengan negara lain
atau dalam satu negara untuk waktu yang berbeda. Adapun besarnya
laju inflasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori (Nopirin, 2000: 27):
1) Inflasi Merayap (Creeping inflation)
Pada umumnya creeping inflation ditandai dengan laju
inflasi yang rendah (kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga
berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam
jangka yang relatif lama.
2) Inflasi Menengah (Galloping inflation)
Inflasi menengah (galloping inflation) ditandai dengan
kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau
bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang
relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga
minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan
seterusnya.
3) Inflasi Tinggi (HiperInflation)
Inflasi tinggi merupakan inflasi yang paling parah
akibatnya. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin
26
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
ditukarkan dengan barang. Perputaran uang makin cepat, harga
naik secara akselerasi.
Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, perlu
terlebih dahulu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
inflasi. Menurut teori kuantitas sebab utama timbulnya inflasi adalah
kelebihan permintaan yang disebabkan karena penambahan jumlah
uang beredar. Adapun jenis-jenis inflasi menurut sebabnya adalah:
1) Inflasi tarikan Permintaan (Demand-Pull Inflation)
Merupakan
inflasi
yang
disebabkan
karena
tarikan
permintaan. Inflasi ini bermula dari adanya permintaan total
(agregat demand), sedangkan produksi telah berada pada keadaan
kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan kerja
penuh. Dalam keadaan seperti ini, kenaikan permintaan total
disamping menaikan harga dapat juga menaikan hasil produksi
atau output. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment)
telah tercapai; penambahan permintaan selanjutnya hanya akan
menaikan
harga
saja.
Apabila
kenaikan
permintaan
ini
menyebabkan keseimbangan GNP pada kesempatan kerja penuh
maka akan terdapat “inflationary gap”. Inflationary gap inilah
yang dapat menimbulkan inflasi.
Secara Grafik, demand-pull inflation dapat dijelaskan
dengan menggunakan gambar 2.4 berikut:
27
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tingkat Harga (P)
SRAS
P1
E1
P0
E0
AD1
AD0
0
Y0
Y1
Output (Y)
Gambar 2.4 Demand-Pull Inflation
Sumber: Nanga, Muana (2001), Makro Ekonomi, hal 243
Dari gambar 2.4 menunjukan bahwa pada mulanya
perekonomian berada pada titik E0. Akibat adanya kenaikan
permintaan agregat (AD) dari AD0 ke AD1, menyebabkan tingkat
harga naik dari P0 ke P1, dan pada saat yang sama perekonomian
akan bergerak sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek
(SRAS) dari titik E0 ke E1. Dalam jangka pendek output naik dari
Y0 ke Y1.
2) Inflasi dorongan biaya (Cost-Push Inflation)
Merupakan inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya
produksi yang mengakibatkan adanya penurunan penawaran.
Kenaikan biaya produksi ini ditimbulkan oleh beberapa faktor
diantaranya:
a) Persatuan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah.
b) Industri
yang
bersifat
monopolistis,
sehingga
dapat
menggunakan kekuasaannya di pasar untuk menentukan harga
yang lebih tinggi.
28
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
c) Kenaikan harga bahan baku industri.
Secara Grafik, cost-push inflation dapat dijelaskan dengan
menggunakan gambar 2.5 berikut:
Tingkat Harga (P)
SRAS1
SRAS0
P1
E1
P0
E0
AD
0
Y1
Y0
Output (Y)
Gambar 2.5 Cost-Push Inflation
Sumber: Nanga, Muana (2001), Makro Ekonomi, hal 245
Dari gambar 2.5, menunjukan bahwa pada mulanya
perekonomian berada pada titik E0. Akibat adanya kenaikan biaya
produksi, menyebabkan kurva penawaran agregat jangka pendek
(SRAS) bergeser sepanjang kurva permintaan agregat (AD), yaitu
dari SRAS0 ke SRAS1, telah mendorong perekonomian bergerak
dari titik E0 ke titik E1. Sehingga harga naik dari P0 ke P1 dan
sebaliknya, output turun dari Y0 ke Y1.
3) Inflasi Struktural (Structural Inflation)
Merupakan inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya
berbagai kendala atau kekuatan struktural (structural rigidities)
yang menyebabkan penawaran di dalam perekonomian menjadi
kurang atau tidak responsif terhadap permintaan yang meningkat.
29
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
4) Inflasi sebagai akibat kebijakan (Policy Induced Inflation)
Jenis inflasi ini disebabkan oleh kebijakan ekspansi
moneter yang juga bisa merefleksikan defisit anggaran yang
berlebihan dan cara pembiayaannya. Contoh klasik hyperinflation
di Jerman tahun 1920 tergolong dalam kelompok ini. Non policyinduced inflation disebabkan oleh pengaruh eksogen yang dapat
merefleksikan.
5) Inertial Inflation
Jenis inflasi ini cenderung untuk berlanjut pada tingkat
yang sama sampai kejadian ekonomi yang menyebabkan berubah.
Jika inflasi terus bertahan, dan tingkat ini diantisipasi dalam bentuk
kontrak finansial dan upah, kenaikan inflasi akan terus berlanjut.
Inertial Inflation biasanya disebut pula sebagai inflasi dasar
(core inflation).
c. Teori Inflasi
Inflasi merupakan masalah utama, suatu masalah makro
ekonomi yang banyak dialami oleh negara sedang berkembang. Secara
garis besar ada tiga kelompok teori inflasi yang masing-masing
membicarakan aspek-aspek tertentu dari proses inflasi:
1) Teori Kuantitas
Teori kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai
inflasi, namun teori ini masih sangat berguna untuk menerangkan
proses terjadinya inflasi terutama di negara-negara yang sedang
30
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari
jumlah uang yang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat
mengenai kenaikan harga-harga (expectations). Inti dari teori ini
adalah sebagai berikut:
a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang
yang beredar. Tanpa adanya tambahan jumlah uang yang
beredar tidak akan terjadi inflasi.
b) Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang
yang beredar dan oleh harapan masyarakat mengenai kenaikan
harga-harga dimasa yang akan datang. Ada tiga kemungkinan
keadaan:
(1) Keadaan pertama, bila masyarakat tidak mengharapkan
harga-harga akan naik, maka tambahan uang yang beredar
akan diterima sebagai tambahan likuiditasnya, dan sebagian
besar dari kenaikan tersebut tidak dibelanjakan untuk
membeli barang-barang.
(2) Keadaan kedua, adalah masyarakat mulai sadar bahwa ada
inflasi, orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga.
Penambahan jumlah uang yang beredar akan digunakan
untuk membeli barang-barang, hal ini dilakukan untuk
menghindari kerugian memegang uang kas.
(3) Keadaan yang ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih
parah yaitu tahap hiperinflasi. Keinginan untuk tidak
memegang uang kas dan adanya keinginan yang sangat
31
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
besar untuk membelanjakan dengan membeli barangbarang. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya
peredaran uang (velocity of circulation yang menaik).
Prosentase kenaikan jumlah uang yang beredar akan diikuti
kenaikan prosentase harga yang lebih besar.
Secara sederhana penyebab terjadinya inflasi dapat
dikemukakan dengan persamaan pertukaran menurut Irving Fisher
berikut ini:
MV = PT ................................................................................ (2.4)
Dimana: M adalah jumlah uang yang beredar, V adalah
Velocity of money atau kecepatan perputaran uang dalam suatu
periode, P adalah tingkat harga rata-rata dan T adalah jumlah
transaksi yang terjadi selama periode tertentu.
MV mencerminkan total pengeluaran uang untuk barang
dan jasa (total money expenditure on goods and services) dan PT
mencerminkan total penerimaan uang hasil penjualan barang dan
jasa (total receipts from the sale of good and services).
Dari persamaan pertukaran Fisher di atas, dapat dinyatakan
bahwa volume barang yang diperdagangkan (T) sama dengan
output (O) sehingga bentuk persamaan dapat diubah menjadi:
MV = Po = Y ........................................................................ (2.5)
Dimana Y = Po (sama dengan GNP nominal)
Dengan asumsi bahwa perekonomian selalu dalam keadaan
full employment, maka besarnya T atau O tidak berubah. Demikian
32
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
juga dengan V relatif tetap atau paling tidak V hanya berubah jika
terjadi perubahan kelembagaan, seperti misalnya kebiasaan
melakukan pembayaran serta perubahan teknologi komunikasi.
Dengan demikian dalam jangka pendek V tidak berubah.
Konsekuensi dari kedua asumsi ini adalah bahwa M hanya
mempengaruhi T atau O berubah secara proporsional. Bila M naik
dua kali maka T juga akan naik dua kali (Nopirin, 1992: 126) oleh
karena itu, dengan asumsi Velocity of Money (V) konstan, maka
kenaikan jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi dan
output nasional meningkat.
2) Teori Keynes
Menurut Keynes, inflasi terjadi karena masyarakat ingin
hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga permintaan
masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia (inflationary gap).
Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan
masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka
menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Mereka
berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi
rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana.
Golongan
masyarakat
seperti
ini
mungkin
adalah
pemerintah sendiri yang berusaha memperoleh output masyarakat
dengan jalan deficit financing, yaitu dengan mencetak uang baru,
karena penerimaan dari pajak dan penerimaan lain-lain tidak
33
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
mencukupi. Pengusaha-pengusaha swasta yang ingin membiayai
investasi-investasi barunya dengan kredit dari bank atau serikat
buruh yang menuntut gaji yang tinggi melebihi produktivitasnya.
Keadaan ini menggeser agregat demand sehingga terjadi
kelebihan permintaan yang merupakan inflationary gap, kenaikan
agregat demand dalam keadaan output full employment akan
menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan pada pasar barang
dan jasa, sehingga harga barang dan jasa meningkat yang akan
menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap faktor
produksi, sehingga faktor produksi juga akan naik. Kenaikan harga
barang dan jasa serta faktor produksi inilah yang merupakan inflasi
bagi perekonomian.
Penyebab terjadinya kenaikan agregate demand ini,
menurut moneteris adalah sebagai akibat dari kenaikan ekspansi
jumlah uang beredar, sedangkan Keynes tidak menyangkal
anggapan tersebut, tetapi menambahkan bahwa kenaikan agregat
demand bisa juga karena peningkatan pengeluaran konsumsi,
investasi, pengeluaran pemerintah, atau ekspor netto, meskipun
tidak disertai dengan kenaikan jumlah uang beredar. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa meningkatnya kurva agregate demand
dapat disebabkan oleh faktor-faktor moneter maupun non moneter.
3) Teori Strukturalis
Teori ini memberikan tekanan pada adanya ketegaran
(infleksibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang
34
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
berkembang. Faktor-faktor struktural itu hanya dapat berubah
secara gradual. Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori inflasi
jangka panjang. Menurut teori ini, Ketegaran utama dalam
perekonomian negara-negara yang sedang berkembang yang bisa
menimbulkan inflasi adalah (Boediono 1995: 167):
a) Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu laju pertumbuhan
nilai ekspor lebih lamban dibanding dengan laju pertumbuhan
sektor-sektor lainnya. Kelambanan tersebut disebabkan oleh
dua faktor yaitu: Pertama, harga barang ekspor di pasaran dunia
tidak menguntungkan lagi, bila dibandingkan dengan harga
barang-barang impor atau terms of trade yang semakin
memburuk. Kedua, supply atau produksi barang-barang ekspor
yang tidak responsif terhadap kenaikan harga. Kelambanan
pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan
pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang
yang dibutuhkan.
b) Ketidakelastisan supply atau produksi bahan makanan di dalam
negeri, yaitu laju pertumbuhan Produksi bahan makanan di
dalam negeri lebih lamban dibandingkan dengan laju
pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita,
sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung
untuk menaik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Hal
ini mengakibatkan tuntutan kenaikan upah dari para karyawan,
dengan
demikian
akan
menyebabkan
kenaikan
ongkos
35
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
produksi, sehingga biaya produksi total meningkat. Hal inilah
yang menyebabkan para pengusaha menaikan harga jual
produknya.
3. Penawaran Tenaga Kerja
a. Konsep Penawaran
Penawaran adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan
jumlah tenagakerja yang para pemilik tenagakerja siap untuk
menyediakannya (Don Bellante and Mark Jackson, 1990: 72).
Sedangkan menurut Aris Ananta (1990: 27) penawaran terhadap
pekerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah barang yang
disetujui oleh pensuplai untuk ditawarkan.
Jumlah
satuan
pekerja
yang
ditawarkan
bagi
suatu
perekonomian tergantung pada: (1) jumlah penduduk, (2) persentase
jumlah penduduk yang memilih masuk dalam angkatan kerja, dan (3)
jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Masing-masing
dari
komponen
tersebut
tergantung
pada
upah
pasar
(Aris Ananta, 1990: 27).
b. Teori Penawaran
Teori penawaran terhadap pekerja ini didasarkan pada newhomes economics yang merupakan analisis ekonomi mikro dengan
beberapa elemen yang berbeda. Elemen yang pertama, berhubungan
dengan usaha memaksimalkan utility tersebut. Namun, komoditi yang
digunakan tidak terbatas pada komoditi yang biasa dijual di pasar,
36
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
tetapi mencakup juga komoditi abstrak yang diproduksi di dalam
rumah tangga.
Elemen kedua, new-homes economics adalah teknologi
produksi rumah tangga yang digambarkan oleh satu atau beberapa
fungsi produksi. Dalam teori ekonomi konvensional, komoditi pasar
dapat langsung memberikan kepuasan pada individu. Tetapi menurut
new-homes
economics,
komoditi
pasar
tidak
dapat
langsung
memberikan kepuasan pada individu. Komoditi pasar tersebut harus
diolah dulu bersama input rumah tangga. Transformasi input pasar dan
input rumah tangga menjadi komoditi rumah tangga, yang langsung
memberikan kepuasan, digambarkan melalui suatu fungsi produksi
rumah tangga.
Elemen ketiga adalah suatu rangkaian asumsi tentang cara
memperoleh sumber-sumber rumah tangga, terutama waktu, yang akan
digunakan dalam proses produksi rumah tangga.
Elemen terakhir adalah keterbatasan sumber yang dihadapi oleh
rumah tangga dalam pembuatan keputusan. Dalam analisis ekonomi
mikro konvensional, kendala yang sering dibahas adalah kendala harga
dan pendapatan. Selain kedua kendala tersebut, kendala waktu sering
pula menjadi salah satu kendala dalam new-homes economics. Kendala
lain yang sering muncul adalah kendala yang berkaitan dengan
pendapatan bukan upah.
Pengalokasian waktu harus mempertimbangkan kendala bahwa
satu hari hanya terdiri dari 24 jam. Bersama kendala yang lain, kendala
37
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
waktu dan selera rumah tangga terhadap leisure akan menentukan
kombinasi antara leisure dan komoditi pasar yang mengoptimalkan
kepuasan rumah tangga (Aris Ananta, 1990: 28-30).
c. Teori Alokasi Waktu
Teori Alokasi Waktu Becker yang lebih dikenal dengan Teori
Rumah Tangga Baru (New Home Economics Theory) membangun
teorinya berdasarkan perilaku konsumen dalam ekonomi mikro dengan
memperkenalkan rumah tangga/keluarga sebagai unit analisis (Becker,
1965; Elfindri, 1989 dalam (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 39).
Teori ini mengasumsikan bahwa utility rumah tangga tidak langsung
dari konsumsi barang namun juga memaksimalkan utility dari suatu
komoditi Z dari kombinasi barang dan jasa (X) yang dikonsumsi
selama periode tertentu. Hubungan ini dapat ditulis dengan:
Z = z(X, T)..................................................................................... (2.6)
Masing-masing komoditi Z dapat dibeli di pasar atau
diproduksi sendiri di rumah, hingga totalnya:
X = Xm + Xh................................................................................. (2.7)
Hasil substitusi persamaan 2 ke 1 menjadi fungsi utility.
Z = z (Xm, Xh, T).......................................................................... (2.8)
Komoditi yang dibeli dan diproduksi di rumah dipisahkan, di
mana komoditi yang dihasilkan di rumah diproduksi dalam suatu
periode waktu di rumah. Sehingga:
Xh = f (H) ..................................................................................... (2.9)
38
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Hingga konsumsi keluarga dimaksimalkan dengan batasan
waktu dan anggaran, di mana pendapatan keluarga dan pengeluaran
untuk konsumsi (Xm) tergantung pada income yang diperoleh di pasar
tingkat individu (W) kali jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja
di pasar (N) dan income yang berasal dari tenaga kerja lain dalam
rumah tangga. Persamaan ini dapat ditulis secara matematis sebagai
berikut:
Xm = WN + V……..................................................................... (2.10)
Dalam hal ini waktu merupakan sumber daya yang penting
dengan batasan waktu 24 jam sehari yang harus dialokasikan pada
beberapa kegiatan seperti waktu luang (leisure), bekerja di rumah dan
di pasar. Persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
T = H + N + L.............................................................................. (2.11)
Tingkat konsumsi optimal suatu rumah tangga adalah saat
marjinal produktivity dari bekerja di rumah sebanding dengan
marginal rate dari substitusi antara barang dan konsumsi waktu.
Alokasi waktu keluarga mungkin pada kegiatan bekerja dan konsumsi.
Kendala waktu adalah:
Ti = TC = T – Tw ……............................................................... (2.12)
Di mana TC adalah waktu konsumsi yang jumlahnya sama
dengan jumlah seluruh waktu yang tersedia. Becker menekankan
bahwa waktu dapat dialokasikan secara efisien diantara aktivitas yang
berbeda. Perubahan dalam efisiensi pasar akan menyebabkan realokasi
waktu oleh anggota keluarga yang lain. Sehingga penekanan dilakukan
39
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
pada alokasi waktu dari pada opportunity cost keluarga yang bekerja,
bukan yang tidak bekerja.
Gronou (1977), Elfindri (1989) melakukan revisi terhadap teori
Becker dengan memperlihatkan pengaruh kenaikan sumber pendapatan
lain dan upah pada alokasi waktu. Kenaikan pendapatan lain tidak
mempengaruhi marginal produktivitas dari pekerjaan di rumah, namun
akan meningkatkan waktu leisure (dengan asumsi bukan barang
inferior) dan mengurangi jam kerja di pasar. Kedua, untuk pekerja di
pasar kenaikan upah akan mempengaruhi tingkat substitusi waktu dan
barang serta keuntungan produksi di rumah. Perubahan ini akan
mengurangi
jam
kerja
di
rumah
(yang
dianggap
tidak
menguntungkan). Pengaruh substitution effect cenderung mengurangi
leisure sementara income effect mengurangi jam kerja di rumah.
Pemisahan kegiatan di rumah dan leisure oleh Becker menjadi masalah
karena dikaitkan dengan aktivitas pasar. Namun kenaikan kegiatan
pasar bagi wanita bukan benar-benar menyatakan pengurangan leisure,
terutama di negara-negara berkembang. Graham dan Green (1984),
Elfindri (1989) menekankan adanya joint production antara aktivitas
rumah dan leisure, artinya unit waktu yang sama sering digunakan
untuk
aktivitas
rumah
dan
leisure
secara
bersamaan
(Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 39-41).
d. Angkatan Kerja
Tenaga kerja atau manpower terdiri dari angkatan kerja dan
bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau Labor Force terdiri dari (1)
40
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
golongan yang bekerja dan (2) golongan yang menganggur dan
mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1)
golongan yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah
tangga, dan (3) golongan lain-lain atau penerima pendapatan. Ketiga
golongan dalam kelompok angkatan kerja sewaktu-waktu dapat
menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh sebab itu, kelompok ini
sering
juga
dinamakan
sebagai
potensial
labor
force
(Payaman J Simanjuntak, 1985: 3).
Konsep angkatan kerja yang paling luas adalah konsep
angkatan kerja menyeluruh atau labor force, yang merupakan
keseluruhan angkatan kerja dari semua individu yang tidak
dilembagakan berusia 16 tahun atau lebih tua dalam satu
minggu yang mana saja; termasuk angkatan militer, baik yang
tenaganya
digunakan
maupun
yang
tidak
digunakan
(Don Bellante and Mark Jackson, 1990: 93).
Angkatan Kerja = Pekerja + Penganggur.................................... (2.13)
Jumlah
orang
yang
bekerja
tergantung
dari
besarnya
permintaan atau demand dalam masyarakat. Permintaan tersebut
dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan tingkat upah.
Penyediaan tenagakerja merupakan jumlah penduduk yang
sedang dan siap bekarja dan pengertian kualitas usaha yang diberikan.
Penyediaan tenagakerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
jumlah penduduk, tenagakerja, jam kerja, pendidikan, produktivitas
dan lain-lain. Penyediaan tenagakerja dipengaruhi oleh jumlah
41
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
penduduk dan struktur umur. Semakin banyak penduduk dalam umur
anak-anak, semakin kecil jumlah yang tergolong tenagakerja
(Payaman J Simanjuntak 1985:20)
Analisa penyediaan tenagakerja tidak cukup hanya dengan
memperhatikan jumlah orang yang bekerja, akan tetapi juga perlu
diberikan perhatian kepada jumlah jam kerja dan usaha produktif yang
diberikan oleh setiap pekerja serta perbedaan tingkat pendidikan dan
latihan pekerja tersebut (Payaman J Simanjuntak, 1985: 20).
Faktor non ekonomi yang dapat mempengaruhi penawaran
angkatan kerja dapat dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu
(Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 25):
1) Faktor Demografis
Bagi seorang individu, usia juga menentukan aktif atau
tidaknya ikut dalam proses produksi. Pada umumnya pria, setelah
mendapatkan pekerjaan akan selalu ikut dalam proses produksi
baik menjadi buruh, pekerja mandiri atau pekerja keluarga,
kemudian pada batas tertentu akan berangsur-angsur menarik diri
dari pasar kerja. Berbeda dengan pria, bagi wanita gelombang usia
dapat menentukan rintangan menawarkan atau menarik diri dari
pasar kerja. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi ganda wanita
khususnya
di
negara-negara
sedang
berkembang.
Sebagai
akibatnya pada usia child bearing period, usia masa melahirkan,
katakan 21-35 tahun, maka penawaran jasa wanita dalam proses
42
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
produksi dipengaruhi oleh jangka waktu yang dibutuhkan untuk
keperluan pelayanan reproduksi dan produksi rumah tangga.
2) Faktor Pendidikan
Proses pendidikan yang diterapkan oleh suatu negara tak
jarang berpengaruh terhadap percepatan penawaran angkatan kerja.
Penerapan wajib belajar pendidikan dasar secara jelas mampu
menunda penawaran angkatan kerja. Demikian juga dengan
semakin terbatasnya fasilitas pendidikan lanjutan, maka secara
potensial kelompok yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, baik
sengaja maupun tidak, akan semakin besar.
3) Faktor Budaya
Faktor budaya juga berperan dalam mempengaruhi
penawaran angkatan kerja. Budaya kerja yang dimiliki suatu
masyarakat sangat berpengaruh terhadap jam kerja yang mereka
tawarkan. Dalam hal ini, budaya tersebut telah menyebabkan nilai
waktu yang ada semakin tinggi. Budaya yang tidak cenderung suka
bekerja menganggap waktu kerja adalah barang inferior dan waktu
untuk leasure merupakan barang lux. Wanita yang dianggap oleh
kelompok masyarakat setempat sebagai “the second bread winner”
akan memperkecil kemungkinan untuk menawarkan dirinya pada
pasar kerja. Kondisi demikian banyak ditemukan pada masyarakat
muslim.
Ketiga faktor ini sering diabaikan oleh kebanyakan sarjana
ekonomi ketika memahami persoalan munculnya penawaran angkatan
43
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kerja. Jika perhatian kita lebih terhimpun kepada reaksi individu atau
masyarakat angkatan kerja terhadap tingkat upah, maka masalah akan
timbul bila struktur pasar kerja tidak mengandalkan upah. Sehingga
kupasan terhadap faktor ekonomi yang mempengaruhi reaksi untuk
menawarkan jam kerja sulit diuji secara empiris.
Menurut ILO, terdapat tiga komponen sebagai dasar seseorang
dapat terdaftar menjadi angkatan kerja. Pertama, adalah pertimbangan
usia, batasan usia seseorang memasuki usia kerja adalah 15 tahun. Hal
ini sangat rasional mengingat kelompok usia 10-14 tahun masih diakui
pemerintah sebagai kelompok yang diberi kesempatan penuh untuk
mengecap pendidikan. Kedua, kegiatan utama seminggu yang lalu.
Ketiga, berapa lama yang bekerja tersebut menggunakan waktunya
secara ekonomis. Bila di bawah 2 jam selama seminggu yang lalu,
maka individu yang bersangkutan adalah seorang penganggur
(Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004: 23).
e. Masalah Pengangguran
Pengangguran adalah
masalah besar
yang sering kali
menghantui baik negara maju maupun negara berkembang. Tingginya
tingkat pengangguran mencerminkan bahwa masih rendahnya kinerja
pembangunan di negara-negara berkembang itu sendiri. Dalam
definisinya, pengangguran merupakan penduduk yang termasuk
angkatan kerja tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan
menurut
referensi
waktu
tertentu
(Nota
Keuangan).
Dalam
pembangunan ekonomi terdapat tenaga-tenaga manusia yang disebut
44
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
menganggur dan setengah menganggur. Menurut Nopirin (2000: 68),
tenaga kerja yang menganggur adalah mereka yang ada dalam umur
angkatan kerja dan sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang
berlaku. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi tidak hanya
mengganggu stabilitas ekonomi namun juga stabilitas keamanan dan
politik. Oleh karenanya, pemerintah harus senantiasa mengendalikan
jumlah pengangguran pada tingkat yang wajar.
Tingkat
pengangguran
menunjukan
persentase
besarnya
angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan dari seluruh angkatan
kerja
yang
ada.
Tingkat
pengangguran
sering
juga
disebut
pengangguran terbuka (Elfindri dan Nasri Bachtiar, 2004). Tingkat
pengangguran terbuka adalah perbandingan jumlah penganggur
dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Perumusannya adalah sebagai berikut (Hera Susanti, dkk, 2000: 99):
Tingkat Pengangguran =
Jumlah Penganggur
x 100%......... (2.14)
Jumlah Angkatan Kerja
Angka tingkat pengangguran ini tidak hanya digunakan untuk
mengukur tingkat pengangguran secara keseluruhan, namun juga dapat
digunakan untuk menghitung tingkat pengangguran menurut kelompok
umur, jenis kelamin, pendidikan tertinggi yang pernah diselesaikan,
menurut daerah tempat tinggal dan sebagainya (Hera Susanti, dkk,
2000:99).
Di lihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat
dibedakan
ke
dalam
beberapa
jenis
sebagai
berikut
(Nanga, Muana 2000: 254):
45
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
1) Pengangguran Friksional atau Transisi (Frictional or Transitional
Unemployment),
Merupakan jenis pengangguran yang timbul sebagai akibat
adanya perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi seiring
dengan perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi. Jenis
pengangguran ini dapat pula terjadi karena berpindahnya orangorang dari suatu daerah ke daerah lain, dan dari satu jenis
pekerjaan ke pekerjaan lain atau melalui berbagai tingkat siklus
kehidupan yang berbeda. Pengangguran friksional disebut juga
sebagai penganggur sukarela.
2) Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Merupakan jenis pengangguran yang terjadi sebagai akibat
adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang
menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan
permintaan tenaga kerja. Ketidaksesuaian ini terjadi karena
permintaan atas satu jenis pekerjaan bertambah sementara
permintaan atas jenis pekerjaan lain menurun, dan penawaran tidak
dapat melakukan penyesuaian dengan cepat atas situasi tersebut.
Pengangguran struktural adalah pengangguran yang terjadi ketika
perekonomian beroperasi pada tingkat kesempatan kerja penuh
(full employment) atau tingkat pengangguran alamiah (natural
rate).
46
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
3) Pengangguran Alamiah (Natural Unemployment)
Merupakan tingkat pengangguran yang terjadi pada
kesempatan kerja penuh, atau tingkat pengangguran di mana inflasi
yang diharapkan (expected inflation) sama dengan tingkat inflasi
aktual (actual inflation).
4) Pengangguran Konjungtur atau Siklis (Cyclical Unemployment)
Merupakan pengangguran yang terjadi apabila permintaan
tenaga
kerja
secara
keseluruhan
rendah.
Apabila
total
pembelanjaan dan output menurun, maka pengangguran akan
meningkat dengan segera di segala bidang. Pengangguran siklis
terjadi apabila jumlah kesempatan kerja menurun sebagai akibat
dari terjadinya keseimbangan antara penawaran agregat dan
permintaan agregat.
Pada negara-negara yang sedang berkembang, pengangguran
dapat digolongkan ke dalam tiga jenis yaitu (Suparmoko, M dan
Irawan, 1996:69):
1) Pengangguran yang Kelihatan (Visible Underemployment)
Visible Underemployment akan timbul apabila jumlah
waktu kerja yang sungguh-sungguh digunakan lebih sedikit
daripada waktu kerja yang disediakan untuk bekerja.
2) Pengangguran
Tak-Kentara
(Invisible
Underemployment/
Disguised Unemployment)
47
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Pengangguran Tak-kentara terjadi apabila para pekerja
telah menggunakan waktu kerjanya secara penuh dalam suatu
pekerjaan dapat ditarik ke sektor-sektor lain tanpa mengurangi
output.
3) Pengangguran Potensial (Potential Underemployment)
Pengangguran
potensial
merupakan
suatu
perluasan
daripada disguised unemployment, dalam arti bahwa para pekerja
dalam suatu sektor dapat ditarik dari sektor tersebut tanpa
mengurangi output; hanya harus dibarengi dengan perubahanperubahan fundamental dalam metode-metode produksi yang
memerlukan pembentukan kapital yang berarti.
Untuk mengukur tingkat pengangguran, pendekatan yang
biasanya digunakan didasarkan pada pengertian angkatan kerja.
Metode pengukuran yang dipakai berasal dari Labor Force
Approach. Yang diperkenalkan oleh ILO yang banyak digunakan
oleh negara-negara berkembang.
BPS membedakan angkatan kerja sebagai penduduk yang
bekerja dan penduduk yang sedang mencari pekerjaan (disebut
juga dengan pengangguran terbuka). BPS mendefinisikan angkatan
kerja sebagai penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang bekerja
atau punya pekerjaan tapi sementara tidak bekerja dan mencari
pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud bukan angkatan kerja adalah
penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang kegiatannya tidak
bekerja maupun mencari pekerjaan, yaitu mereka yang memiliki
48
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kegiatan sekolah, menjurus rumah tangga tanpa mendapat upah dan
tidak mampu melakukan kegiatan seperti pensiun atau cacat
jasmani.
Untuk
mengetahui
apakah
tingkat
pengangguran
mengalami kenaikan, penurunan atau tetap dapat dilihat dari dua
indikator yaitu, pertama, tingkat pengangguran terbuka dan kedua,
tingkat bekerja tidak penuh. Tingginya tingkat pengangguran bisa
jadi disebabkan ketidakberhasilan sektor industri di kota yang
dipandang paling potensial dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor
industri lebih banyak menggunakan investasi yang bersifat padat
modal dan menggunakan teknologi tinggi di mana teknologi tinggi
ini membutuhkan tenaga kerja terdidik.
B. Penelitian Terdahulu
Edi Sutarta (2001), meneliti mengenai “Uji Kausalitas Granger
Antara Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi”. Hasil uji empiris dalam jangka
pendek dengan menggunakan uji kausalitas Granger ternyata hipotesis bahwa
ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi tidak terbukti dalam kasus di
Indonesia, tetapi dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan ECM
ternyata membuktikan bahwa dalam jangka panjang ekspor dapat diandalkan
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian kebijakan
industrialisasi yang berorientasi ekspor dalam jangka panjang dapat menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi.
Doyle (1996) dalam Ika Rahutami (2001), dalam penelitiannya
pendekatan
kausalitas
Granger
model
koreksi
kesalahan
(ECM)
49
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
menyimpulkan adanya kausalitas dalam jangka pendek, yaitu ekspor
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
Dalam
jangka
panjang
juga
menunjukan bahwa ekspor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Maknun, Mappaujung (1995), meneliti “Hubungan Kausalitas
Antara Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara ASEAN”.
Hasil uji kausalitas model Granger dan Sims menunjukan bahwa terjadi
kausalitas dua arah antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan
Malaysia sedangkan di Singapura tidak terjadi kausalitas antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kedua negara
tersebut ingin mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, maka harus menerima
tingkat inflasi yang tinggi. Oleh karena itu sebaiknya kedua negara tersebut
tidak perlu mengejar pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dengan
mengorbankan stabilitas harga.
Yash P Mehra (1991), mencoba untuk menguji “Expected Augmented
Phillips Curve Model” dengan menggunakan metode kausalitas Granger yang
memberikan hasil pengujian bahwa terjadi kausalitas dua arah antar inflasi dan
biaya tenaga kerja, kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan upah bergerak
satu arah antara inflasi ke pertumbuhan upah.
Dumairy (1987), meneliti “Kausalitas Antara Uang Beredar dan
Inflasi di Indonesia”. Temuan empiris dalam telaah ini membuktikan adanya
mekanisme umpan balik antara uang dan harga di Indonesia. Pendapat umum
tentang penyebab inflasi di Indonesia, yakni ekspansi moneter, cukup
beralasan. Namun pandangan alternatifnya, bahwa inflasi merupakan
konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi, tidak begitu saja dapat diabaikan.
50
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
C. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu masalah perekonomian di
Indonesia yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian di berbagai sektor
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, dapat dikategorikan baik apabila angka
pertumbuhannya positif.
Dalam indikator ekonomi makro, terdapat beberapa hal utama yang
menjadi pokok permasalahan ekonomi makro. Untuk melihat tinggirendahnya kinerja suatu perekonomian apakah pembangunan itu berhasil atau
tidak, maka dalam hal ini, indikator ekonomi makro memiliki peran yang
cukup penting guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi seperti yang
diharapkan, misalnya mengurangi tingginya tingkat pengangguran, menekan
laju inflasi di bawah dua digit, maupun mengurangi defisit neraca
pembayaran, sehingga diperlukannya stabilisasi guna menekan masalahmasalah tersebut.
Mengingat banyaknya variabel yang memiliki hubungan timbal balik
dengan inflasi, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi hanya dengan
menggunakan variabel pengangguran. Berdasarkan latar belakang, penentuan
variabel dependen dan variabel independen didasarkan pada teori kurva
Phillips.
Inflasi mencerminkan stabilitas harga, semakin rendah nilai suatu
inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga.
Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu
barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau
daya beli masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung
51
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan
harga dibarengi dengan kenaikan upah riil.
Pengangguran mencerminkan banyaknya jumlah tenaga kerja yang
belum terserap di dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, pengangguran juga
mencerminkan
besarnya
tingkat
kesejahteraan
yang
rendah.
Negara
berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran
karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk.
Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal
untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di
negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju.
Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah
terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan
dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor
kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial
politik di negara tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pembatasan masalah hanya
pada kausalitas antara inflasi dan pengangguran saja. Hal ini didasarkan
bahwa keterkaitan antara variabel ekonomi sangat kompleks.
Untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian ini digambarkan
suatu kerangka pemikiran yang sistematis, sebagai berikut:
52
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
STABILISASI EKONOMI
INFLASI
PENGANGGURAN
PERTUMBUHAN EKONOMI
PROSPEK EKONOMI
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Studi
Dari kerangka pemikiran dapat dilihat bahwa stabilisasi ekonomi
sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tingginya tingkat inflasi dan
semakin meningkatnya tingkat pengangguran. Oleh karena itu, menjaga
kestabilan harga kebutuhan dasar rakyat dan mengarahkan agar perluasan
kegiatan ekonomi dapat menampung mayoritas angkatan kerja yang masuk ke
pasar kerja. Sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai dan tujuan
pembangunan dapat terwujud yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
D. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran, maka dapat
diajukan suatu hipotesis yaitu:
1. Antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran diduga terjadi kausalitas.
2. Dalam jangka pendek dan jangka panjang diduga terjadi kausalitas dua
arah antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran.
3. Tingkat pengangguran diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat inflasi
dalam jangka pendek dan jangka panjang.
53
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk menguji
hipotesis yang diajukan serta untuk menganalisis pengaruh dan hubungan
kausalitas antara inflasi dan pengangguran di mana, pokok-pokok pikirannya
didasarkan pada teori, penggalian data dan referensi dari berbagai literatur.
B. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bersifat kuantitatif mengenai pengaruh dan hubungan
kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia,
dengan menggunakan data time series pada tahun 1983 sampai dengan tahun
2003. Periode ini mewakili penelitian guna menggambarkan kausalitas dan
pengaruh jangka panjang antar variabel yang diteliti.
C. Pengukuran Variabel
Data yang diteliti dalam penelitian ini, dikelompokan menjadi dua
variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen. Variabel
independen adalah variabel yang bersifat menentukan atau mempengaruhi
variabel dependen. Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel independen.
1. Inflasi : Merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara
umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Di mana, inflasi adalah
suatu keadaaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli
54
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
masyarakat yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (instrinsik)
mata uang suatu negara.
Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga
konsumen (IHK) yang menggambarkan besarnya inflasi pada tingkat
nasional untuk masing-masing jenis barang dan jasa yang termasuk dalam
pola konsumsi masyarakat. Formula yang digunakan Badan Pusat Statistik
(BPS) untuk menghitung IHK adalah dengan formula Laspeyers
(Widodo, 1990; dalam Arintoko; 2002: 258):
n
 Pi(t ) * Qi (t )
I(t) =
i 1
n
 Pi(0) * Qi (0)
* 100 .......................................................... (3.1)
i 1
Keterangan:
I(t)
= Indeks pada periode (tahun atau bulan) t
Pi(t)
= Harga barang atau jasa jenis i pada periode t
Pi(0)
= Harga barang/jasa jenis i pada periode dasar/periode (t-1)
Qi(t)
= Barang/jasa jenis i (yang dikonsumsi) pada periode t
Qi(0)
= Barang/jasa jenis i (yang dikonsumsi) pada periode dasr
Pi(t)/Pi(0) = Harga relatif pada periode t terhadap periode dasar
Berdasarkan perhitungan IHK di atas besarnya inflasi pada tahun
tertentu. Dapat dihitung dengan cara berikut:
INF(%)
=
I (t )  I (t  1)
*100 ……........................................... (3.2)
i(t  1)
Keterangan:
INF
= Tingkat inflasi pada periode (tahun atau bulan)t dalam persen
I(t)
= Indeks pada periode (tahun atau bulan) t
I(t-1) = Indeks pada periode (tahun atau bulan) sebelumnya
55
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
2. Pengangguran : Merupakan penduduk yang termasuk angkatan kerja
tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi waktu
tertentu (Nota Keuangan). Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia,
maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka
Pengangguran Terbuka, terdiri dari (Keadaan Angkatan Kerja
di Indonesia, 2003):
a. Mereka yang mencari pekerjaan
b. Mereka yang mempersiapkan usaha
c. Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan.
d. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
Tingkat pengangguran terbuka adalah jumlah pengangguran yang
terdaftar dalam Disnakertrans dan merupakan perbandingan jumlah
penganggur dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Perumusannya adalah sebagai berikut (Hera Susanti, dkk, 2000: 99):
Tingkat Pengangguran =
Jumlah Penganggur
x 100% .......... (3.3)
Jumlah Angkatan Kerja
D. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersifat time series dari tahun 1983-2003. Adapun data tersebut diperoleh dari:
1. Data Laju Inflasi diambil dari buku Laporan Tahunan Bank Indonesia
berbagai edisi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003.
2. Data Pengangguran diperoleh dari buku Keadaan Angkatan Kerja di
Indonesia berbagai edisi dari tahun 1983 sampai dengan tahun 2003.
56
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
E. Metode Analisis Data
Analisa data digunakan untuk membuktikan hipotesis yang diajukan
dalam penelitian. Dalam penelitian ini, analisis data digunakan untuk
mengetahui apakah terjadi pengaruh dan hubungan kausalitas antara tingkat
inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis hubungan
antar variabel berupa pendekatan teori ekonomi, teori statistika dan teori
ekonometrika.
Penelitian ini akan menggunakan model analisis Error Correction
Model untuk menganalisis pengaruh antara variabel dependen dan independen.
Alat analisis ini lebih relevan jika data yang dianalisis stasioner/stabil/normal,
sebab salah satu syarat untuk mengaplikasikan regresi deret waktu adalah
dipenuhinya data yang bersifat stasioner. Untuk mengetahui kausalitas antara
inflasi dan pengangguran akan digunakan model uji kausalitas Granger
(Granger Causality Test). Konsep uji kausalitas Granger dikenal sebagai
konsep kausalitas sejati atau prediktabilitas di mana masa lalu dapat
mempengaruhi masa kini atau masa datang, akan tetapi masa kini tidak dapat
mempengaruhi masa lalu. Ide dasar pengertian kausalitas adalah bahwa, suatu
variabel X menyebabkan Y apabila pelibatan atau penyertaan nilai-nilai masa
lalu X membuahkan prakiraan yang lebih baik akan Y (Dumairy, 1987: 4).
Oleh karena itu, digunakan Uji Kausalitas Granger sebab dapat menjelaskan
hubungan timbal balik variabel yang diamati. Sedangkan untuk mengetahui
apakah dalam jangka panjang terdapat kausalitas antara inflasi dan
pengangguran akan digunakan alat analisis yang dikembangkan oleh Granger
57
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
(1988) dengan menerapkan VECM (Vector Error Correction Model). Selain
konsisten dengan konsep kointegrasi, model koreksi kesalahan ternyata lebih
mampu menjelaskan hubungan kausalitas daripada uji kausalitas Granger
(1969), di mana model kausalitas Granger (1969) yang baku diperluas dengan
membentuk model koreksi kesalahan atau disebut dengan Vector Error
Correction Model dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas
dari variabel yang sedang diuji, baik dalam jangka pendek maupun dalam
jangka panjang (Aliman, 2000: 133).
Menurut Insukindro (1999: 2) ECM memiliki kemampuan dalam
meliput lebih banyak variabel dalam menganalisis fenomena ekonomi jangka
pendek dan jangka panjang dan mengkaji konsisten tidaknya model empirik
dengan teori ekonomi, serta dalam usaha mencari pemecahan terhadap
persoalan variabel time series yang tidak stasioner (non stasionary) dan
regresi lancung (spurious regression) atau korelasi langsung (spurious
correlation) dalam analisis ekonometrika. Selain itu, ECM dapat pula dipakai
untuk
menjelaskan
mengapa
pelaku
ekonomi
menghadapi
adanya
ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam hal bahwa fenomena yang
diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan kenyataan yang
terjadi oleh karena itu, perlu dilakukan penyesuaian sebagai akibat dari adanya
fenomena aktual yang terjadi antar waktu. Dengan menggunakan ECM, dapat
pula dianalisis secara teoritik dan empirik apakah model yang dihasilkan
sesuai dengan teori atau tidak.
58
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
1. Uji Mackinnon, White dan Davidson (MWD Test)
Pemilihan bentuk fungsi model empirik merupakan pertanyaan
atau masalah empirik (empirical question) yang sangat penting. Hal ini
karena teori ekonomi tidak secara spesifik menunjukan apakah sebaiknya
bentuk fungsi suatu model empirik dinyatakan dalam bentuk linear atau
log-linier atau bentuk fungsi lainnya (Aliman, 2000: 14).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan
pemilihan bentuk fungsi model seperti model transformasi Box-Cox, bera
dan Mc Aleer Zarembaka, namun dalam penelitian ini menggunakan
metode yang dikembangkan Mac Kinnon, White dan Davidson pada tahun
1983 dan lebih dikenal dengan MWD test.
Ho : Model Linier: Y adalah fungsi linier dari regressor X (Y=f(X))
H1 : Model Log Linier: Log Y adalah fungsi Linier dari Log regressor
Log X (LogY=f(LogX))
Untuk dapat menerapkan uji MWD, pertama-tama kita membuat
dua model regresi dengan asumsi:
Model regresi 1: ECM linier
DINFt =  0 +  1 DUNEMPLt +  2 UNEMPLt-1 +  3 ECT1 + et........(3.4)
Keterangan:
DINFt
= INFt-INF(t-1)
DUNEMPLt = UNEMPLt-UNEMPL(t-1)
ECT1
= (UNEMPL(t-1)-INF(t-1))
Dimana:
INFt
= Tingkat Inflasi (dalam persen)
59
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
INF(t-1)
= Tingkat Inflasi tahun sebelumnya
UNEMPLt
= Tingkat Pengangguran (dalam persen)
UNEMPL(t-1) = Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya
ECT1
= Error Correction Term
0
= Intersep
1 -  3
= Koefisien regresi
et
= Error Term
Model regresi 2: ECM Log-linear
DLogINFt=  0 +  1 DUNEMPLt+  2 UNEMPLt-1+  3 ECT2+et.......( 3.5)
Keterangan:
DLogINFt
= LogINFt-LogINF(t-1)
DUNEMPLt
= UNEMPLt-UNEMPL(t-1)
ECT1
= (UNEMPL(t-1)-LogINF(t-1))
Dimana:
LogINFt
= Tingkat Inflasi (dalam persen)
LogINF(t-1)
= Tingkat Inflasi tahun sebelumnya
UNEMPLt
= Tingkat Pengangguran (dalam persen)
UNEMPL(t-1)
= Tingkat Pengangguran tahun sebelumnya
ECT1
= Error Correction Term
0
= Intersep
1 -  3
= Koefisien regresi
et
= Error Term
60
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Dari persamaan (3.4) dan (3.5) di atas, selanjutnya kita
menerapkan test, di mana untuk menerapkan uji tersebut , terdapat
langkah-langkah MWD test adalah sebagai berikut:
Langkah 1
: Melakukan regresi terhadap persamaan (3.4) yang kemudian
akan didapatkan nilai fitted dari INF yang dinamai dengan
STF
Langkah 2
: Melakukan regresi terhadap persamaan (3.5) yang kemudian
akan didapatkan nilai fitted dari LogINF yang dinamai
dengan LSF
Langkah 3
: Dapatkan Z1 = (LogSTF-LSF)
Langkah 4
: Dapatkan Z2 = (AntilogLSF-STF)
Langkah 5
: Melakukan regresi dengan menggunakan persamaan (3.4)
ditambahkan Z1 sebagai variabel penjelas.
DINFt
=  0 +  1 DUNEMPLt +  2 UNEMPLt-1 +  3 ECT1 + Z1.......(3.6)
Bila Z1 signifikan secara statistik maka kita menolak model
yang benar adalah linier atau dengan kata lain, bila Z1
signifikan maka model yang benar adalah model Log
Linier.
Langkah 6
: Melakukan regresi dengan menggunakan persamaan (3.5)
ditambahkan Z2 sebagai variabel penjelas.
DLogINFt=  0 +  1 DUNEMPLt+  2 UNEMPLt-1+  3 ECT2+Z2............( 3.7)
Bila Z2 signifikan secara statistik maka kita menolak model
yang benar adalah log linier atau dengan kata lain, bila Z2
signifikan maka model yang benar adalah model Linier.
61
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
2. Uji Stasioneritas
a. Uji akar-akar unit
Pengujian pada data time series perlu dilakukan guna meneliti
apakah data tersebut bersifat stasioner atau tidak. Hal ini dilakukan
guna mencegah terjadinya regresi lancung (spurious regression) yaitu
mengandung R2 yang relatif tinggi dan Durbin-Watson statistics yang
rendah seperti yang dibuktikan oleh Granger dan Newbold (1974,
1977) (Sritua Arief, 1993:162).
Uji ini dapat dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada
prinsipnya, uji ini untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari
model yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Sehingga data
time series tersebut harus dideferensi beberapa kali agar diperoleh data
yang stasioner. Namun demikian, karena distribusi dari model tersebut
tidak baku maka uji statistik yang baku seperti uji t dan uji F tidak
cukup layak dipakai guna menguji hipotesa model yang bersangkutan.
karena itu, dalam model ini akan menggunakan dua uji yang
dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979, 1981) dengan
penaksiran otoregresif berikut ini (Insukindro, 1993: 130) dalam
(Aliman, 2000: 112):
k
D2Xt = a0 + a1BDXt -
b B
i 1
i
1
DXt..........................................( 3.8)
k
D2Xt = c0 + c1T + c2BDXt +
d
i 1
i
B1DXt ...........................( 3.9)
Dimana:
DXt
= DXt – DXt-1
62
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BDXt = Xt-1,
T
= Trend Waktu
Xt adalah variabel yang diamati pada periode t
B adalah Operasi Kelambanan waktu ke udik (backward lag
operator)
Setelah itu, perlu dihitung nilai statistik Dickey Fuller (DF) dan
Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk mengetahui pada derajat
keberapa suatu data akan stasioner. Nilai DF dan ADF untuk hipotesa
bahwa a1= 0 dan c2 = 0 ditunjukan oleh nisbah t pada koefisien regresi
BXt pada persamaan di atas. Besarnya waktu kelambanan k ditentukan
oleh k = N1/3, dimana N adalah jumlah pengamatan.
b. Uji Derajat Integrasi
Bersamaan dengan pengujian di atas, dapat pula dilakukan uji
derajat integrasi. Uji derajat integrasi dilakukan apabila pada uji akarakar unit data yang diamati ternyata tidak stasioner. Pengujian ini
dimaksudkan untuk mengetahui derajat atau ordo diferensi keberapa
data yang diamati stasioner. Uji derajat integrasi merupakan perluasan
dari uji akar-akar unit. Definisi formal: data time series X dikatakan
berintegrasi pada derajat d atau I(d) jika data tersebut perlu dideferensi
sebanyak d kali untuk dapat menjadi data yang stasioner atau I(0),
dengan melakukan penaksiran model autoregresif berikut ini
(Insukindro,1993: 30) dalam (Aliman, 2000: 119):
k
D2Xt = e0 + e1BDXt -
f
i 1
i
i
D2Xt ................................... ( 3.10)
63
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
k
D2Xt = g0 + g1T + g2BDXt +
h
i 1
i
BiD2Xt ....................... ( 3.11)
Dimana DX2t = DXt – DXt-1, BDXt = DXt-1, T = Trend Waktu
dan Xt adalah variabel yang diamati pada periode t serta B adalah
Operasi Kelambanan waktu ke udik (backward lag operator)
Setelah langkah di atas, selanjutnya adalah menguji nilai
statistik DF dan ADF dapat diketahui dengan melihat nilai t statistik
pada koefisien regresi BDXt. Jika e1 dan g2 sama dengan satu, maka
variabel Xt dikatakan stasioner pada diferensi pertama atau berintegrasi
pada derajat satu atau I(1). Sebaliknya, bila e1 dan g2 sama dengan nol,
maka variabel X belum stasioner pada diferensi pertama. Sehingga uji
derajat integrasi perlu dilanjutkan sampai diperoleh kondisi stasioner.
c. Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi merupakan kelanjutan dari uji akar-akar unit
dan uji derajat integrasi. Untuk dapat melakukan uji kointegrasi harus
diyakini terlebih dahulu bahwa variabel-variabel terkait dalam
pendekatan ini memiliki derajat integrasi yang sama atau tidak. Pada
umumnya sebagian besar pembahasan mengenai isu yang terkait lebih
memusatkan perhatiannya pada variabel yang berintegrasi nol I(0) atau
satu I(1). (Insukindro, 1993: 132) dalam (Aliman, 2000: 128). Jika dua
atau lebih variabel terkait mempunyai derajat integrasi yang berbeda,
maka variabel- variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi.
Untuk mendapat gambaran mengenai pendekatan kointegrasi,
dianggap suatu himpunan variabel runtun waktu X dikatakan
berkointegrasi pada derajat d, b atau CI (d,b) bila setiap elemen X
64
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
berintegrasi pada derajat d atau I(d) dan terdapat satu vektor k yang
tidak sama dengan nol sehingga w = k’X~I (d-b) dengan d>0 dan k
merupakan vektor kointegrasi (Engel dan Granger,1987:265-270;
Insukindro,1993:132) dalam (Aliman, 2000: 128).
Implikasi penting dari ilustrasi dan definisi di atas adalah
bahwa jika dua variabel atau lebih mempunyai derajat integrasi yang
berbeda, katakanlah X= I (1) dan Y= I (2) maka kedua variabel
tersebut tidak dapat berkointegrasi (Insukindro,1993: 132) dalam
(Aliman,2000:128). Uji CDRW (Cointegration Regression DurbinWatson), DF (Dickey-Fuller) dan ADF (Augmented Dickey-Fuller)
merupakan uji statistik yang disukai dalam pendekatan ini. Untuk
menghitung CRDW, DF dan ADF ditaksir regresi kointegrasi berikut
ini dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS):
Yt = m0 + m1 X1t + m2X2t + Et............................................... ( 3.12)
Dimana:
Yt
= Variabel Tak bebas
X1t, X2t
= Variabel Bebas
Et
= Variabel Gangguan (Residual)
Dalam kasus ini dianggap bahwa Y, X1 dan X2 mempunyai
derajat integrasi yang sama, misalnya I(1).
Kemudian regresi berikut ini ditaksir dengan OLS:
DEt = p1BEt……………….................................................
( 3.13)
k
DEt = q1BE +
w
i 1
i
BiDEt..................................................
( 3.14)
65
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Nilai statistik CRDW ditunjukan oleh nilai statistik DW
persamaan (3.12) dan statistik DF dan ADF ditunjukan oleh nisbah t
pada koefisien BEt pada persamaan (3.13) dan (3.14). Tujuan utama uji
kointegrasi adalah untuk menguji apakah residual regresi kointegrasi
stasioner atau tidak. Pengujian ini sangat penting bila suatu model
dinamis akan dikembangkan
3. Pendekatan Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM)
Tujuan digunakannya uji kointegrasi adalah untuk mengkaji
apakah residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak dan untuk melihat
hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel yang diamati.
Pengujian ini sangat penting bila ingin dikembangkan model dinamis,
khususnya model koreksi kesalahan atau ECM, yang mencakup variabelvariabel kunci pada regresi kointegrasi terkait. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa model koreksi kesalahan konsisten dengan konsep
kointegrasi atau dikenal dengan Granger Representation Theorem (Engel
dan Granger, 1987: 255; Insukindro,1993:134 dan Thomas,1997:432)
dalam (Aliman,2000:132)
Teorema Representasi Granger menekankan bahwa bila variabelvariabel yang diamati membentuk suatu himpunan yang berkointegrasi
maka model dinamis yang sahih atau valid adalah model koreksi
kesalahan. Sebaliknya, bila variabel yang digunakan tidak berkointegrasi
maka residual dari model koreksi kesalahan tidak stasioner dan kondisi
tersebut memberikan indikasi bahwa spesifikasi model yang diamati tidak
66
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
sahih (Hall, 1986:229; Engle dan Granger, 1987:225; Insukindro,1993:134
dan Thomas, 1997:432) dalam (Aliman, 2000: 133)
Sebagai ilustrasi dari hubungan antara pendekatan kointegrasi
dengan model koreksi kesalahan, perlu diamati kembali persamaan (3.12)
dan dianggap bahwa dari residual persamaan tersebut stasioner atau
U = I(0). Selanjutnya berdasarkan persamaan (3.12) kemudian diturunkan
model koreksi kesalahan sebagai berikut (Insukindro,1993:134) dalam
(Aliman, 2000: 133):
DYt
= r0 + r1 DX1t + r2 DX2t + r3 DX3t + r4 DX4t + r5
(BX1t + BX2t– BYt)……………...........................
( 3.15)
Dengan mengikuti teori yang dikembangkan oleh Engel dan
Granger (1987), bila Et = I(0). Maka BEt dapat menggantikan variabel
BYt, BX1t, dan BX2t pada ruas kanan persamaan (3.15) sehingga diperoleh
persamaan:
DYt
= s0 + s1DX1t + s2 DX2t + s3 BEt............................... ( 3.16)
Dimana:
Yt
= Variabel tak bebas
Xt
= Variabel bebas
BEt = Nilai yang diestimasi dari residual kointegrasi dalam periode
sebelumnya
Dari persamaan (3.16) dapat diketahui bahwa semua variabel yang
dipakai dalam model adalah stasioner atau I(0). Langkah-langkah tersebut
di atas selanjutnya lebih dikenal sebagai Engel-Granger ECM (Engel dan
Granger, 1987) dalam (Aliman, 2000: 133).
Dengan memperhatikan hasil estimasi ECM, dapat dilihat apakah
nlai t dari variabel bebas signifikan, karena signifikansi ini akan mampu
67
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
digunakan untuk menjelaskan arah jangka pendek. Perlu diperhatikan juga
signifikansi koefisien dari ECT. Nilai t yang signifikan akan mampu
digunakan untuk estimasi jangka panjang. Bentuk persamaan jangka
panjang dapat dituliskan sebagai berikut:
INFt = f0 + f1 UNEMPLt............................................................
( 3.17)
Dimana:
f0 = a0/a3 (dari persamaan ECM)
f1 = (a2+a3)/a3 (dari persamaan ECM)
Dengan berdasarkan formulasi di atas, maka akan diperoleh
persamaan jangka panjang untuk kedua variabel yang digunakan dalam
penelitian ini
Model ECM yang digunakan dalam penelitian ini terfokus pada
model yang dikembangkan oleh Domowitz dan Elbadawi (1987) yang
diturunkan dari fungsi biaya kuadrat tunggal. Tahap penurunan ECM
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama: Membuat hubungan persamaan dasar antara variabel tak bebas
(Dependen Variabel) dengan variabel bebas (Independen Variabel). Maka
hubungan variabel tersebut akan dirumuskan sebagai berikut:
INFt =  0 +  1 UNEMPLt................................................................
( 3.18)
Dimana: INF = Tingkat Inflasi (%)
UNEMPL = Tingkat Pengangguran (%)
Kedua: Membentuk fungsi biaya kuadrat tunggal yang dikembangkan oleh
Domowitz dan Elbadawi (1987) yang dirumuskan sebagai berikut:
C =b1(INFt-INFt*)2+ b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2........................
( 3.19)
68
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Di mana:
C
= Fungsi biaya kuadrat periode tunggal dari Domowitz dan
Elbadawi
Zt
= Faktor yang mempengaruhi INFt
Zt-1
= Faktor-faktor yang mempengaruhi INFt tahun sebelumnya
ft
INFt
= Faktor pembobot masing-masing elemen Zt
= Tingkat Inflasi pada periode tahun t
INFt-1 = Tingkat inflasi tahun sebelumnya
t-1
= Backward-lag Operator
b1(INFt-INFt*)
= Biaya Ketidakseimbangan
b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)] = Biaya Penyesuaian
Ketiga: Meminimisasi fungsi biaya kuadrat periode tunggal dari
persamaan (3.19) untuk meminimumkan biaya, maka
dC/dCt = 0,
sehingga didapatkan:
2 b1(INFt-INFt*) + 2 b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2 = 0
1/2 .2{b1(INFt-INFt*) + b2[(INFt-INFt-1)- f t (Zt-Zt-1)]2} = 0
b1INFt- b1INFt* + b2INFt- b2INFt-1- b2 f t Zt - b2 f t Zt-1 = 0
(b1+b2)INFt = b1INFt* + b2INFt-1+ b2 f t Zt - b2 f t Zt-1
INFt = [b1INFt* + b2INFt-1+ b2 f t Zt - b2 f t Zt-1] : (b1+b2)
INFt =
b2
b2
b2
b2
INFt+
INFt-1+
f t Zt f t Zt-1
b1  b2
b1  b2
b1  b2
b1  b2
Dengan mengasumsikan b =
b1
b2
, maka didapat (1-b) =
b1  b2
b1  b2
b1
= b1 + b2
b
b2 = b1 – (b1.b)
b2 =
b1 (1  b)
b
69
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
b2 .b
= (1-b)
b1
(1-b) =
b2
b1  b2
INFt = bINFt* + (1-b) INFt-1 + (1-b) f t Zt – (1-b) f t Zt-1..................
( 3.20)
Keempat: Melakukan substitusi antara persamaan (3.18) serta fungsi
Zt=(UNEMPLt) secara bersama-sama ke dalam persamaan (3.20) akan
didapatkan persamaan:
INFt
=b(  0 +  1 UNEMPLt) + (1-b)INFt-1+ (1-b) f t UNEMPLt–
(1-b) f t UNEMPLt-1
= b  0 +b  1 UNEMPLt + INFt-1 - bINFt-1 + (1-b) f t UNEMPLt –
(1-b) f t UNEMPLt-1
= b  0 +(b  1 +(1-b) f t )UNEMPLt – (1-b) f t UNEMPLt-1 +
(1-b) INFt-1
Persamaan diatas dapat disederhanakan menjadi:
INFt = C0 + C1UNEMPLt + C2UNEMPLt-1 + C3INFt-1 .................
( 3.21)
Di mana:
C0 = b  0
C1 = b  1 +(1-b) f t
C2 = – (1-b) f t
C3 = (1-b)
Persamaan di atas disebut sebagai Model Linier Dinamis (MLD),
yang meliputi variabel tak bebas sebagai fungsi dari variabel bebas pada
70
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
periode tersebut. Langkah selanjutnya adalah mengurangkan hasil
persamaan di atas dengan persamaan berikut:
INFt-1 = C1UNEMPLt-1 + INFt-1 – C1UNEMPLt-1 + UNEMPLt-1 UNEMPLt-1 + C3UNEMPLt-1 – C3UNEMPLt-1...............................
( 3.22)
Hasil pengurangan persamaan (3.4) dengan (3.5) yakni:
INFt - INFt-1= C0 + C1UNEMPLt - C1UNEMPLt-1 + C2UNEMPLt-1 +
C3UNEMPLt-1 - UNEMPLt-1 + UNEMPLt-1– C3UNEMPLt-1+
(1-C3)INFt-1
Persamaan di atas dapat disederhanakan sebagai berikut:
INFt - INFt-1 = C0 + C1(UNEMPLt - UNEMPLt-1) + (C2+C1+C3-1 )
UNEMPLt-1 + (1- C3) (UNEMPLt-1 - INFt-1)
Bentuk akhir dari persamaan ECM adalah:
DINFt = C0 + C1DUNEMPLt + C2UNEMPLt-1 + C3ECT...............
( 3.23)
Di mana:
= INF – INFt-1
DINF
DUNEMPL = UNEMPLt – UNEMPLt-1
C3
= Error Correction Model (ECM)
ECT
= UNEMPLt-1 - INFt-1
Keterangan:
LINF
= Tingkat Inflasi (%)
LUNEMPL = Tingkat Pengangguran(%)
4. Model Uji Kausalitas Granger (1969)
Dalam realitas ekonomi, model regresi linier di mana variabel
dependen diregresikan atas variabel-veriabel bebas tidak dapat dipastikan
mengandung pengertian bahwa variabel dependen secara kausal betul-
71
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
betul ditentukan oleh variabel-variabel bebas secara sepihak. Ada
kemungkinan dalam suatu model persamaan tunggal, variabel dependen
ditentukan oleh variabel bebas, tetapi sebaliknya variabel bebas juga
ditentukan oleh variabel dependen sehingga dalam hal ini terdapat
kausalitas dua arah (Sritua Arif, 1993: 151-152).
Uji kausalitas Granger pada penelitian ini didasarkan pada
anggapan yang relevan untuk memprediksi variabel-variabel Tingkat
Inflasi (INF) dan pengangguran (UNEMPL) pada data time series dari
variabel-variabel tersebut. Model dasar kausalitas Granger dapat
diformulasikan sebagai berikut (Damodar Gujarati, 2003: 697):
INFt
=
UNEMPLt =
n
n
i 1
j1
n
n
  jUNEMPLt-i +   jINFt-j + u1t....................
  jUNEMPLt-i +
i -1
 jINFt-j + u2t....................
( 3.24)
( 3.25)
j1
Di mana INFt merupakan tingkat inflasi, UNEMPLt adalah tingkat
pengangguran u1t dan u2t adalah error terms yang diasumsikan tidak saling
berkorelasi atau dipandang mempunyai sifat swara resik (white noise).
Pada persamaan (3.23) menyatakan bahwa nilai variabel inflasi
(INFt) sekarang dihubungkan dengan nilai masa lalu inflasi dan nilai masa
lalu tingkat pengangguran. Pada persamaan (3.25) juga menyatakan hal
yang sama untuk tingkat pengangguran yang berlaku (UNEMPLt), dimana
tingkat pengangguran sekarang dipengaruhi oleh tingkat inflasi masa lalu
dan tingkat pengangguran masa yang lalu.
Dari regresi persamaan (3.24) dan (3.25), dapat dibedakan empat
macam kasus atau empat pola kausalitas dari Granger (Gujarati,2000:697):
72
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
a. Kausalitas satu arah dari inflasi ke pengangguran
Kausalitas ini terjadi jika koefisien yang diestimasi pada nilai masa
lalu inflasi, (dalam persamaan 3.24) adalah signifikan secara statistik
tidak sama dengan nol (    0 ) dan jika koefisien yang diestimasi
pada nilai masa lalu pengangguran, (dalam persamaan 3.25) secara
statistik signifikan sama dengan nol (  =0).
b. Kausalitas satu arah dari pengangguran ke inflasi
Kausalitas ini terjadi jika koefisien yang diestimasi pada masa lalu
inflasi, (dalam persamaan 3.24) adalah signifikan secara statistik sama
dengan nol (   =0) dan jika koefisien yang diestimasi pada masa
lalu pengangguran, (dalam persamaan 3.25) secara statistik signifikan
tidak sama dengan nol (   0 ).
c. Kausalitas bilateral atau umpan balik
Kausalitas ini terjadi apabila koefisien inflasi dan pengangguran secara
statistik signifikan tidak sama dengan nol dalam regresi kedua
persamaan tersebut.
d. Tidak terdapat hubungan kausalitas antara dua variabel
Kausalitas ini terjadi apabila kedua koefisien yaitu inflasi dan
pengangguran tidak signifikan secara statistik dalam kedua regresinya.
Uji ini penting dilakukan terutama untuk melihat hubungan antara
dua variabel yaitu variabel inflasi dan variabel pengangguran. Dalam
model uji kausalitas Granger (1969) ini dilakukan dengan mengestimasi
dua buah persamaan di bawah ini. Dalam model ini panjang Lag tidak
73
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
ditentukan sehingga penentuan panjangnya Lag variabel, bebas ditentukan
(Shofwan, 2000: 64). Dalam penelitian ini, panjang Lag ditentukan
sebanyak 6 dan dirumuskan sebagai berikut:
6
INFt
=
6
  jINFt-i +   jUNEMPLt-j + u1t....................
i 1
j1
6
UNEMPLt =
( 3.26)
  jUNEMPLt-i +
i -1
6
 jINFt-j + u2t...................
( 3.27)
j1
Di mana:
INFt
= Tingkat Inflasi
UNEMPLt = Tingkat Pengangguran
t
= waktu dan u1t, u2t = error term
5. Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vector Error Correction Model
(VECM)
Pengujian kausalitas Granger (1969) selama ini selalu dilandaskan
pada bentuk dasar analisis time series yang biasa. Sejalan dengan
perkembangan spesifikasi model dinamis dan dalam rangka menghindari
munculnya regresi lancung, Granger (1988) merekomendasikan suatu uji
kausalitas yang didasarkan pada model koreksi kesalahan (ECM) yang
dihubungkan dengan informasi dari uji kointegrasi. Dalam perkembangan
selanjutnya, model ini dikenal dengan vector error correction model.
Untuk dapat menerapkan model ini maka perlu dilakukan estimasi
persamaan kointegrasi berikut:
Xt
=  0 +  1 Yt+ut..........................................................
( 3.28)
Yt
=  0 +  1 Xt+u’t.........................................................
( 3.29)
Dimana ut dan u’t adalah error term. Dari persamaan (3.28) dan
(3.29), jika error term stasioner kemudian akan diterapkan model ECM
74
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
yang dihubungkan dengan informasi dari uji kointegrasi dengan model
sebagai berikut:
DINFt =  0 +  1 DUNEMPLt+  2 UNEMPLt-1+  3 ECT............
( 3.30)
DUNEMPLt =  0 +  1 DINFt+  2 INFt-1+  3 ECT ...................
( 3.31)
Keterangan:
DINF
= Perubahan Tingkat Inflasi
DUNEMPL
= Perubahan Tingkat Pengangguran
ECT
= error Correction Term
t
= Waktu
Dengan memasukan komponen error correction term, ECM
memiliki keunggulan tambahan di mana kausalitas Granger dapat
dideteksi. Berdasarkan persamaan 3.30 dan 3.31 di atas, hipotesis nol
bahwa Y tidak menyebabkan X di tolak, tidak hanya jika  3 bergabung
secara signifikan, koefisien ECT harus signifikan secara statistik dan
positif. Hal ini dikarenakan estimasi ECM akan berarti apabila koefisien
ECT  0 dan signifikan. Selain itu, dengan signifikannya nilai koefisien
ECT, maka berarti model empiris mempunyai atau memiliki spesifikasi
model yang benar, sehingga hasil estimasi model koreksi kesalahan dapat
digunakan untuk melihat pengaruh jangka panjang dari variabel ekonomi
yang sedang diteliti.
6. Uji Statistik
Proses analisa yang akan dilakukan meliputi pengujian variabelvariabel independen secara bersama-sama serta penghitungan koefisien
determinasi.
75
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
a. Uji t (Uji Secara Individu)
Uji ini merupakan pengujian koefisien regresi secara individual
dan untuk mengetahui kemampuan dari masing-masing variabel
independen
dalam
mempengaruhi
variabel
dependen,
dengan
menganggap variabel lain tetap/ konstan.
Langkah-langkah pengujiannya sebagai berikut:
1) Ho : 
1=
0
Ha :  1  0
Nilai t tabel
T tabel; t  /2; N-K
Dimana:
 = derajat signifikansi
N = jumlah sampel (observasi)
K = banyaknya parameter/ koefisien regresi plus konstanta
2) t hitung
Uji t statistik tersebut dirumuskan dengan :
thitung =
i
.
SE(  i )
.........................................................
( 3.32)
Di mana :
i
= Koefisien regresi
SE
= Standard error
3) Kriteria Pengujian
t tabel  t  / 2 ; N-K
Dimana:

= derajad signifikansi
76
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
N
= jumlah sampel (observasi)
K
= banyaknya parameter
jika |t hitung| < |t tabel|, maka H0 diterima dan Ha ditolak artinya
variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara
signifikan. Jika |t hitung| > |t tabel|, maka H0 ditolak dan Ha di
terima, artinya variabel independen mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan.
b. Uji F (Uji Secara Bersama-sama)
Uji F (Analisis Varian) ini digunakan untuk menguji
signifikansi secara bersama-sama semua koefisien regresi. Pengujian F
test dapat dilakukan melalui langkah sebagai berikut :
1) Menentukan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu
Ho :  1 = 0
Ha :  1  0
2) Menghtung F hitung dengan menggunakan program Eviews
Mencari F tabel, yaitu F tabel = F  / 2 ; n-k; k-1,
Dimana: n = jumlah observasi, k = banyaknya parameter,
 = derajat signifikansi.
3) Menentukan kriteria pengujian
a) Apabila F hitung < f tabel, H0 diterima dan Ha ditolak. Ini
menunjukan variabel independen secara serentak (bersamasama) tidak berpengaruh terhadap variabel bebas.
b) Apabila F hitung > F tabel, H0 ditolak dan Ha diteroma. Ini
menunjukan variabel independen secar serentak (bersamasama) berpengaruh terhadap variabel dependen.
77
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
c. Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Uji ini untuk mengetahui berapa persen variasi variabel
dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Uji ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis
regresi, yang ditunjukan oleh besarnya koefisien determinasi
(R2 adjusted) antara nol dan satu. Apabila koefisien determinan 0
berarti variabel independen tidak berpengaruh terhadap variabel
dependen, bila mendekati 1 berarti variabel independen semakin
berpengaruh terhadap variabel dependen. Adapun rumus R2 adalah
sebagai berikut :
R2 = 1-
RSS
........................................................................
TSS
( 3.33)
Di mana:
R2
= Koefisien Determinasi
RSS = Residual Sum of Square
TSS = Total Residual Sum of Square
7. Pengujian Terhadap Uji Asumsi Klasik
Dalam
penelitian
ini,
untuk
melihat
ada
atau
tidaknya
penyimpangan asumsi klasik, maka dilakukan pengujian terhadap gejalagejala multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi.
a. Multikolinearitas
Istilah multikolinearitas pertama kali diperkenalkan oleh
Ragnar Frisch (1934). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah
variabel independen terdapat korelasi atau hubungan linear yang
sempurna dengan variabel independen yang lain. Jika dalam model
78
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
terdapat multikolinearitas maka model tersebut memiliki kesalahan
standar yang basar sehingga koefisien tidak dapat ditakar dengan
kecepatan tinggi.
Salah satu cara yang digunakan untuk mendetksi ada tidaknya
multikolinearitas digunakan uji Klein yang membandingkan nilai
koefisien korelasi setiap variabel penjelas (r2 xi, xj) dengan nilai
koefisien determinasi (R2y, xi, xj,....xn). jika nilai r2 lebih kecil dari
nilai R2, maka tidak terdapat multikolinearitas dalam model.
b. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi
regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir
OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih
tetap tidak bias dan konsisten). Salah satu cara untuk mendeteksi
masalah Heteroskedastisitas adalah dengan uji Park yaitu:
1) Dari hasil regresi OLS akan diperoleh nilai residualnya
2) Nilai residual tadi dikuadratkan, lalu diregresikan dengan variabel
bebas sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:
ei2 =  0 +  1 X1+  2 X2.........................................................
( 3.34)
Dari hasil regresi tahap 2 dilakukan uji t.
Jika  1 dan  2 signifikan, maka tidak terdapat heteroskedastisitas
dalam model tersebut.
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana variabel gangguan
pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel gangguan pada
79
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
periode yang lain. Hal ini mengakibatkan penaksir tidak efisien baik
dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar.
Autokorelasi ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor
kelambanan, kesalahan dalam pembentukan model, pembentukan lag
dalam model, tidak memasukan variabel yang penting dan manipulasi
data. Jika data dalam model mengandung Autokorelasi maka hal
tersebut mengakibatkan parameter yang diuji menjadi bias.
Untuk variabel bebas yang mengandung lagged dependent
variabel maka uji durbin watson tidak dapat digunakan pada model ini.
Nerlove dan Wallis (1966) telah membuktikan bahwa apabila uji
Durbin Watson
diaplikasikan dalam model ini, maka nilai durbin
Watson statistiknya secara asymtotik akan bias mendekati nilai 2
(Sritua Arif, 1993, 15)
Dalam penelitian ini uji Autokorelasi yang akan digunakan
adalah uji Breush-Godfrey (LM Version) yang merupakan uji
otokorelasi berderajad lebih dari satu. Uji ini menggunakan dasar
hipotesis nol bahwa semua koefisien autoregresif secara simultan sama
dengan nol atau tidak terdapat otokorelasi pada setiap order
pengamatan. Dasar pengambilan keputusan dengan menggunakan
dasar statistik  2 yang diperoleh dari ((n-p)*R2)~  2 p.
80
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
1. Perkembangan Perekonomian Indonesia
Kondisi perekonomian Indonesia, pada masa orde lama dalam
keadaan yang sangat buruk. Pada masa itu, sebagian besar produksi
terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode tahun 1962-1966
kurang dari 2%, lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan jumlah
penduduk sehingga mengakibatkan penurunan pendapatan perkapita. Pada
masa itu, bahan-bahan makanan pokok sangat terbatas, defisit saldo neraca
pembayaran dan keuangan pemerintah sangat besar, serta tingginya laju
inflasi. Kondisi tersebut merupakan krisis ekonomi pertama yang dialami
Indonesia sejak kemerdekaan (Tulus Tambunan, 2001: 36)
Pada masa orde baru, pembangunan ekonomi di Indonesia dapat
dikatakan cukup berhasil. Hal ini disebabkan oleh penghasilan ekspor
minyak sangat besar terutama pada periode oil boom pertama pada tahun
1973/1974. Selain itu, pinjaman luar negeri dan peranan penanaman modal
asing (PMA) sejak pertengahan dekade 1980-an sangat berperan dalam
proses pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebijakan
pemerintah pada masa orde baru lebih mengutamakan stabilitas ekonomi,
sosial, politik, serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi
terbuka sehingga mampu menimbulkan kepercayaan pihak barat terhadap
prospek ekonomi Indonesia.
81
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Pada era itu, proses pembangunan dan perubahan ekonomi berjalan
semakin cepat sejak pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi
yang diawali pada sektor moneter dan sektor riil dengan tujuan untuk
meningkatkan ekspor non migas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan peranan sektor
swasta yang semakin besar (Tulus Tambunan, 2000: 23).
Namun pada tahun 1981-1982, terjadi resesi dunia yang
menggoncang perekonomian Indonesia melalui melemahnya permintaan
terhadap minyak bumi dan merosotnya harga beberapa komoditi primer
non migas. Di tahun 1982 hingga tahun 1986 juga merupakan periode
buruk bagi perekonomian Indonesia karena jatuhnya harga minyak mentah
di pasaran internasional yang mengakibatkan meningkatnya utang luar
negeri dan penurunan pertumbuhan ekonomi tahun 1982. pada periode
tahun 1982-1986 adalah masa penyesuaian ekonomi Indonesia terhadap
melemahnya harga minyak dan juga berakhirnya masa pertumbuhan yang
didanai oleh minyak. Kebijakan yang diambil pemerintah saat itu adalah
melakukan pemotongan berbagai macam pengeluaran, menangguhkan atau
membatalkan sejumlah proyek besar dan melakukan devaluasi nilai rupiah
terhadap dollar AS pada tahun 1983 dan tahun 1986 (Tulus Tambunan,
2001:39).
Krisis kembali melanda perekonomian Indonesia di tahun 1984,
pada bidang perbankan. Krisis ini bermula dari deregulasi perbankan pada
tanggal 1 juni 1983 yang memaksa bank-bank milik negara untuk
memobilisasi dana mereka sendiri dan memikul resiko kredit macet.
82
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Kesulitan likuiditas perbankan yang menjadi pangkal krisis perbankan
tahun 1984 itu mencerminkan kurangnya modal bank dan kurang baiknya
manajemen bank dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan.
Perekonomian Indonesia di tahun 1990-1995 sempat beberapa kali
mengalami gangguan yang muncul dari waktu ke waktu. Pertama,
walaupun tidak sampai menimbulkan suatu krisis yang berarti bagi
perekonomian nasional, terapresiasinya nilai tukar yen Jepang terhadap
dollar AS sempat merepotkan Indonesia. Laju pertumbuhan ekspor
Indonesia sempat terancam menurun dan beban utang luar negeri yang
didapat dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS. Kedua,
pada awal tahun 1984, roda perekonomian Indonesia cukup terganggu oleh
adanya arus pembelian dollar AS yang bersifat spekulatif karena
beredarnya isu akan adanya devaluasi rupiah atau tindakan drastis lainnya
dari pemerintah Indonesia. Selama periode 1993-1995, ekonomi tumbuh
dengan laju rata-rata per tahun antara 7,3% hingga 9,2%.
Dalam keadaan perekonomian dunia yang kurang menguntungkan,
perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat
serta diikuti dengan membaiknya indikator-indikator sosial. Hal tersebut
tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, laju inflasi yang dapat
dikendalikan pada tingkat yang wajar, dan neraca pembayaran yang
berkembang cukup mantap. Perkembangan yang menggembirakan tersebut
dimungkinkan karena semakin baiknya struktur perekonomian Indonesia
(Laporan Tahunan, 1990/1991: 1). Proses transformasi ekonomi yang
pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akibat beberapa
83
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kebijakan yang diambil selama masa orde baru harus dibayar dengan biaya
yang sangat mahal (high cost economy) dan menjadikan fundamental
ekonomi Indonesia rapuh. Hal inilah yang menyebabkan krisis ekonomi
yang besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
pada pertengahan tahun 1997 (Tulus Tambunan, 2001: 24).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun
1997 sangat tidak diduga oleh banyak kalangan, yakni pada saat laju
pembangunan
ekonomi
Indonesia
sangat
pesat
dengan
tingkat
pertumbuhan rata-rata di atas 6% per tahun selama periode 1990-1996 dan
dengan kondisi lingkungan, internal dan eksternal yang cukup kondusif
(Tulus tambunan, 2001: 35).
Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun
1995-1996 menunjukan tingkat pertumbuhan yang tertinggi yaitu 8% per
tahun. Namun pada tahun 1997, ketika Indonesia mulai dilanda krisis
hingga tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang
cukup drastis hingga nilai terendah -13,2% namun di tahun 2003 laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mulai mengalami peningkatan
yaitu sebesar 4,5%. Hal ini erat kaitannya dengan mulai stabilnya kondisi
ekonomi, sosial dan politik Indonesia. Berikut ini merupakan pertumbuhan
ekonomi bulanan Indonesia dari tahun 1999 hingga tahun 2003 dapat
dilihat dari tabel 4.1 di bawah ini:
84
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bulanan Indonesia (Dalam Persen)
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Rata-rata
1999
8.021
0.066
0.066
0.066
0.065
0.065
0.065
0.065
0.065
0.065
0.065
0.065
0.728
2000
2.299
1.372
0.181
0.181
0.181
0.181
0.181
0.179
0.179
0.178
0.178
0.178
0.456
2001
0.876
0.282
0.282
0.281
0.280
0.279
0.278
0.277
0.277
0.276
0.275
0.275
0.328
2002
0.462
0.301
0.300
0.300
0.299
0.298
0.297
0.296
0.295
0.294
0.293
0.293
0.311
2003
0.581
0.334
0.333
0.332
0.331
0.330
0.329
0.328
0.326
0.325
0.322
0.326
0.350
Sumber: Hasil Interpolasi Pertumbuhan Ekonomi Tahunan 1999 s/d 2003
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami
krisis mata uang yang disusul oleh krisis moneter bahkan berakhir dengan
krisis ekonomi yang besar. Menurut Haris (1998) krisis ekonomi yang di
alami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde
baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dollar yang luar
biasa, serta menurunnya pendapatan perkapita bangsa yang sangat drastis.
Selain itu, banyak pabrik dan industri yang collaps maupun disita oleh
kreditor akibat utang yang telah jatuh tempo pada tahun 1998 yang
menyebabkan ribuan pengangguran baru dengan sederet persoalan sosial,
ekonomi dan politik (Tulus Tambunan, 2001, 41).
Peningkatan utang luar negeri yang harus dibayar perusahaan
menimbulkan kesulitan keuangan, yang berakibat pada modal kerja
berkurang serta berakibat pada menurunnya atau bahkan terhentinya
volume produksi. Berkurangnya volume produksi dari banyak perusahan
di berbagai sektor mengakibatkan menurunnya output agregat yang
85
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
menimbulkan resesi. Pada periode awal krisis 1997, laju pertumbuhan
PDB Indonesia untuk tahun 1998 mengalami kontraksi sekitar 5,0%. Pada
tahun 1997 perekonomian Indonesia masih tidak terlalu buruk. Akan tetapi
setelah satu tahun umur krisis, pada tahun 1998 Indonesia mengalami laju
pertumbuhan antara -13,4% dan -15,0% sedangkan di tahun 1999 laju
pertumbuhan cukup membaik (Tulus Tambunan, 2001: 49).
Pada tahun 2000 hingga tahun 2001, kondisi perekonomian
Indonesia menunjukan pertumbuhan yang positif. Hal ini disebabkan
semakin membaiknya iklim investasi di Indonesia. Selain itu, dari dunia
internasional, meningkatnya harga minyak di pasaran dunia juga turut
meningkatkan pendapatan dari sektor migas.
Pada tahun 2002, kondisi perekonomian Indonesia mengalami
penurunan. Hal ini terkait erat dengan terjadinya ledakan bom di bali yang
menggambarkan kurang amannya kondisi keamanan di Indonesia. Hal
inilah yang menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing pada
Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2003 menunjukan perbaikan
dibandingkan tahun sebelumnya hal ini terlihat bahwa laju pertumbuhan
ekonomi mencapai 3,76%, meningkat dibandingkan sebelumnya yang
mencapai 3,47%. Dari sisi permintaan domestik, konsumsi pemerintah dan
swasta masih merupakan pendorong utama pertumbuhan, walaupun
dengan laju yang melambat. Sementara itu investasi pemerintah dan
swasta,
serta
ekspor
menunjukan
pertumbuhan
yang
melemah
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi penawaran,
86
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
pertumbuhan ekonomi selama tahun 2003 didukung oleh pertumbuhan
positif di seluruh sektor ekonomi, dengan sumbangan terbesar dari sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan.
Pertumbuhan sektor industri pengolahan antara lain tercermin dari
kecenderungan meningkatnya indeks produksi (Laporan Triwulanan I 2003, Bank Indonesia: 45).
Dalam kondisi yang demikian, salah satu aspek penting dari
pembangunan ekonomi di Indonesia yang masih merupakan masalah
serius adalah penciptaan kesempatan kerja. Penciptaan kesempatan kerja
atau mengurangi jumlah pengangguran merupakan masalah yang dihadapi
oleh hampir di semua negara di dunia. Namun dapat dikatakan bahwa
intensitas dari masalah tersebut berbeda antar negara maju dengan negara
berkembang. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan pada
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kesempatan kerja,
langsung
maupun
tidak
langsung,
misalnya
laju
pertumbuhan,
diversivikasi kegiatan ekonomi, perkembangan atau penerapan teknologi,
tingkat pendidikan/keterampilan. Kebijakan-kebijakan pemerintah, serta
faktor-faktor kultur dan budaya. Perekonomian Indonesia juga masih
dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan berupa terbatasnya
lapangan kerja, masalah pemerataan dan terbatasnya prasarana.
2. Perkembangan Ketenagakerjaan Indonesia
Berbagai macam masalah ketenagakerjaan yang dihadapi Indonesia
sampai saat ini sangat kompleks, karena ketenagakerjaan merupakan aspek
yang amat mendasar dalam kehidupan manusia yang mencakup dimensi
87
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
ekonomi dan sosial. Kompleksnya masalah ketenagakerjaan memberi
dampak yang sangat luas, seperti pengangguran, pengiriman tenaga kerja
ke luar negeri, kualitas SDM yang rendah, pengupahan dan perlindungan
tenaga kerja, hak berserikat dan pemogokan, investasi dan perluasan
kesempatan kerja, dan masalah-masalah hubungan industrial pada
umumnya. Hal tersebut membuat kondisi ketenagakerjaan di Indonesia
semakin mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, perlunya pemerintah
memberikan prioritas utama dan menanganinya secara konseptual,
menyeluruh dan profesional.
Masalah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri terus meningkat.
Serta maraknya TKI ilegal menggambarkan ketidakmampuan pemerintah
selama ini, untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai di Indonesia
maupun ketidakmampuan pemerintah untuk benar-benar mengelola
pengiriman TKI secara baik. Selain itu, hubungan industrial di Indonesia
akhir-akhir ini terkesan kurang kondisif. Hal ini diakibatkan semakin
maraknya aksi pemogokan oleh para pekerja. Selain itu juga, semakin
kompleksnya peraturan perundangan di Indonesia mengenai masalah
ketenagakerjaan juga semakin memperparah kondisi ketenagakerjaan
Indonesia..
Salah satu sasaran utama pembangunan Indonesia adalah
terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai
agar dapat menyerap tambahan angkatan kerja yang memasuki pasar kerja.
Upaya pembangunan pada setiap negara selalu diarahkan pada perluasan
88
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kesempatan kerja dan berusaha agar setiap penduduknya dapat
memperoleh manfaat langsung dari pembangunan.
Pasar kerja di Indonesia merupakan cerminan suatu perekonomian
dualistik yang ditandai oleh lapangan kerja di sektor formal yang relatif
kecil dan sektor informal yang sangat besar. Perpindahan tenaga kerja dari
sektor informal ke sektor formal yang lebih produktif diharapkan mampu
memberikan
upah
yang
lebih
tinggi
merupakan
tujuan
utama
pembangunan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan. Selain untuk meningkatkan hak-hak tenaga kerja,
tantangan terbesar yang dihadapi dalam jangka pendek hingga menengah
adalah memfasilitasi perpindahan tenaga kerja keluar dari lapangan
pekerjaan dengan tingkat produktivitas rendah dan membantu mereka
yang masih berada di sektor informal melalui penggunaan sumber daya
dan perluasan akses ke pasar yang lebih baik. Untuk itu fleksibilitas pasar
kerja merupakan bagian penting dari proses penciptaan lapangan kerja dan
peningkatan pendapatan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tidak
terjalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan
penciptaan lapangan kerja sehingga mengakibatkan besarnya biaya
ekonomi dan sosial akibat diabaikannya pertumbuhan lapangan kerja
sebagai sasaran utama kebijakan pemerintah.
Kesempatan kerja di sektor formal menurun tajam pada tahun 1998
yang kemudian diikuti dengan pemulihan yang lamban selama periode
pasca krisis dari tahun 1999 hingga tahun 2001. Tingginya pertumbuhan
ekonomi dan kesempatan kerja di sektor modern selama tiga dasawarsa
89
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
terakhir terhenti akibat krisis ekonomi pada 1997 dan 1998. Memburuknya
situasi
kesempatan
kerja
telah
mengakibatkan
meningkatnya
pengangguran terbuka serta membengkaknya sektor informal. Situasi
semacam ini merupakan ancaman terhadap sasaran jangka panjang
pemerintah dalam mengurangi kemiskinan dan stabilitas sosial.
Perluasan kesempatan kerja formal di Indonesia masih tetap lemah
pada tahun 2003. Setelah mengalami kontraksi pada tahun 1998, lapangan
kerja di sektor formal mengalami pemulihan akibat lonjakan ekspor pada
tahun 2000. Namun, perluasan kesempatan kerja formal kembali merosot
tajam, pada tahun 2002. hal ini disebabkan oleh jumlah pekerja formal
yang mengalami penurunan, semakin menurunnya jumlah lapangan kerja
formal akibat krisis namun, jumlah jumlah angkatan kerja relatif tinggi.
Perkembangan kesempatan kerja di sektor formal dari tahun 2000 hingga
tahun 2002 dapat di lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.2 Perkembangan Kesempatan Kerja di Sektor formal
STATUS PEKERJAAN
Berusaha buruh tetap
* Perkotaan
* Pedesaaan
* Nasional
Pekerja/Buruh/Karyawan
* Perkotaan
* Pedesaaan
* Nasional
Pekerja Formal
* Perkotaan
* Pedesaaan
* Nasional
TAHUN
Perubahan
2000
2001
2002
Perubahan
1,002,252
1,030,275
2,032,527
1,342,678
1,446,200
2,788,878
340,426
415,925
756,351
1,432,827
1,348,399
2,786,226
90,149
-97,801
-2,652
17,581,703
11,916,336
29,498,039
17,928,849
8,650,151
26,579,000
347,146
-3,266,185
-2,919,039
17,459,389
7,590,404
25,049,793
-469,460
-1,059,747
-1,529,207
18,583,955
12,946,611
31,530,566
19,271,527
10,096,351
29,367,878
687,572
-2,850,260
-2,162,688
18,897,216
8,938,803
27,836,019
-374,311
-1,157,548
-1,531,859
Sumber: Sakernas-BPS, 2002
Dari tabel di atas, hilangnya kesempatan kerja formal yang
berlangsung seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi
90
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
mendorong perluasan sektor informal, sehingga berlawanan dengan trend
perekonomian pada periode sebelum terjadi krisis yang mengarah pada
perluasan kesempatan kerja di sektor formal.
Perkembangan angkatan kerja di Indonesia dilihat dari latar
belakang pendidikan yang ditamatkan, maka jumlah angkatan kerja yang
berlatar belakang pendidikan SD ke bawah pada tahun 2003 mengalami
penurunan dari 59,057 ribu jiwa menjadi 54,824 ribu jiwa. Sedangkan
angkatan kerja berpendidikan SMTP dan SMTA mengalami peningkatan
masing-masing 20,569 ribu jiwa dan 20,293 ribu jiwa pada tahun 2003.
Jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi yakni lulusan diploma
mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi 1,932 ribu jiwa sedangkan
lulusan Universitas mengalami kenaikan menjadi 2,698 ribu jiwa pada
tahun 2003. Perkembangan angkatan kerja berdasarkan latar belakang
pendidikan pada tahun 2000-2003 dapat di lihat pada tabel 4.3:
Tabel 4.3 Angkatan Kerja Menurut Pendidikan Tahun 2001-2003
PENDIDIKAN
< SD
SMTP
SMTA
Akademi/Diploma
Universitas
Jumlah
TAHUN
2000
57,258
15,363
18,591
2,144
2,295
95,651
TAHUN
2001
58,309
16,850
18,747
2,238
2,669
98,812
TAHUN
2002
59,057
17,489
19,332
2,215
2,686
100,779
TAHUN
2003
54,824
20,569
20,293
1,932
2,698
100,316
Sumber : BPS, Sakernas (data diolah dalam Ribu Orang)
Dengan semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja di Indonesia
yang tidak tertampung di pasar kerja menyebabkan semakin bertambahnya
jumah pengangguran. Pengangguran terbuka meningkat sebesar satu juta
orang pada tahun 2002 dengan tingkat pengangguran usia muda yang
91
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang lambat dan cepatnya kenaikan
biaya upah pada tahun 2001 dan tahun 2002 memberi kontribusi terhadap
memburuknya situasi kesempatan kerja pada tahun 2002. Pertumbuhan
ekonomi yang berkisar antara 3-4% tidak memadai untuk menciptakan
lapangan kerja yang lebih baik guna menyerap 2,5 juta pencari kerja baru
setiap tahunnya, apalagi mengeluarkan pekerja dari sektor tradisional.
Kondisi ketenagakerjaan hingga kini masih belum pulih akibat
terpaan krisis ekonomi. Penciptaan lapangan kerja berjalan sangat lambat.
Bahkan setiap tahunnya hanya tercipta 1,5 juta lapangan kerja baru.
Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk menampung masuknya angkatan
kerja baru yang besarnya antara 2 juta hingga 2,5 juta orang per tahun. Di
sisi lain, krisis ekonomi memperkecil jumlah lapangan pekerjaan.
Berdasarkan Laporan BPS menunjukan bahwa pada tahun 2003 terjadi
penyusutan lapangan kerja formal 1,2 juta, terutama di perkotaan
(656.000) dan sisanya di pedesaan. Angka tersebut menunjukan jumlah
orang yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK dan sebagainya.
Sedangkan di tahun 2003, penyusutan lapangan pekerjaan lebih besar lagi,
yaitu 1,5 juta, terdiri dari perkotaan (400.000) dan sisanya di pedesaan.
Mereka kemudian masuk ke sektor informal (Human Capital, No 12 tahun
2005: 37).
Kompleksnya upaya untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan di
Indonesia, berkaitan erat dengan kondisi ekonomi, politik, keamanan,
sosial, kebijakan investasi, dan pendidikan. Selain itu, Faktor-faktor yang
berperan terhadap buruknya iklim investasi secara keseluruhan meliputi,
92
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
lambannya pemulihan sektor perbankan, restrukturisasi korporasi yang
lambat, kelemahan dan korupsi dalam sistem hukum dan birokrasi, dan
ketidakpastian hak kepemilikan (property rights). Industri-industri padat
pekerja, khususnya, telah mengalami kesulitan sejak tahun 2001. Kenaikan
biaya upah yang tinggi dan ketidakpastian dalam lingkungan hubungan
industrial telah mempengaruhi daya saing beberapa industri utama yang
padat pekerja, yang kemudian mulai berdampak terhadap investasi di
sektor-sektor tersebut. Sementara kebijakan upah minimum dan buruknya
lingkungan hubungan industrial merupakan dua faktor penting yang
mempengaruhi daya saing, walaupun masih ada berbagai faktor lain yang
juga penting. Berbagai kendala yang menghambat pertumbuhan sektor
padat pekerja seperti, hambatan infrastruktur, biaya operasi pelabuhan
yang tinggi, korupsi dalam administrasi pabean dan pajak serta
pembatasan perdagangan dan pungutan pajak yang dilakukan pemerintah
daerah, Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa perbaikan kebijakan dan
kepemerintahan yang baik penting untuk meningkatkan laju pertumbuhan
jangka panjang Indonesia.
Selama ini pemerintah mengandalkan investasi asing untuk
mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, namun karena belum
pulihnya citra buruk Indonesia di mata masyarakat global maka untuk
beberapa tahun ke depan, investasi asing belum mampu diharapkan. Selain
itu, investasi domestik (PMDN) juga belum menunjukan perbaikan yang
berarti. Hal ini dapat dilihat dari tingginya komitmen kredit bank yang
belum dicairkan serta belum terwujudnya utilisasi penuh dari kapasitas
93
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
pabrik yang ada. Secara umum kondisi investasi di Indonesia masih
buram. Sementara pemerintah sendiri tidak bisa diandalkan sebagai motor
penggerak ekonomi karena APBN yang bersifat kontraktif dalam beberapa
tahun terakhir.
Langkah visioner pemerintah dalam membuka lapangan kerja,
antara
lain
bisa
diwujudkan
dengan
mendukung
pengembangan
perkebunan kelapa sawit dan merevitalisasi industri tekstil dan produk
tekstil (TPT) maupun sepatu Indonesia yang belakangan ini kehilangan
daya saing. Harapan pembukaan lapangan kerja terbesar kini datang
dengan akan dibangunnya beraneka proyek infrastruktur di Indonesia
dengan melibatkan investor global.
Masih banyak langkah strategis yang bisa dilakukan oleh
pemerintah untuk segera mengatasi persoalan lapangan kerja. Secara
simultan, langkah itu bisa berbarengan dengan upaya serius memperbaiki
kualitas
tenaga
kerja
melalui
pendidikan
dan
pelatihan.
Untuk
meningkatkan kualitas SDM di Indonesia, maka peran pemerintah
kedepan, adalah menjalankan program wajib belajar 9 tahun secara gratis.
persoalan pendidikan ini sangat serius karena akan sangat menentukan
kemajuan dan kesejahteraan bangsa ke depan. Populasi Indonesia yang
mencapai 220 juta jiwa sebenarnya adalah potensi pasar dan sumberdaya
untuk menggerakan perekonomian.
Sehingga pemerintah diharapkan lebih menyadari dan memahami
masalah ketenagakerjaan yang semakin kompleks, luas, sosial dan
94
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
ekonomis. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan mampu memberikan
perhatian khusus untuk menangani masalah ketenagakerjaan.
3. Perkembangan Variabel Penelitian
a. Laju Inflasi di Indonesia
Inflasi merupakan indikator utama stabilitas moneter. Pada
dasarnya para konsumen, produsen maupun pemerintah menginginkan
rendahnya tingkat inflasi. Namun berdasarkan pengalaman yang terjadi
dalam ekonomi Indonesia selama ini, kegiatan ekonomi selalu diikuti
tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini justru akan membebani masyarakat
dengan tingginya tingkat harga. Dengan kata lain, kemajuan ekonomi
negara justru akan menurunkan nilai uang atau daya beli masyarakat.
Salah satu penyebab terjadinya keadaan seperti ini ialah karena
ekonomi Indonesia terkenal sebagai ekonomi yang cepat memanas
(Overheated). Tingginya laju inflasi perlu diwaspadai karena berakibat
pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap uang domestik
yang beredar. Akibatnya akan mudah sekali merebak isu devaluasi.
Selain itu, laju inflasi yang tinggi akan menghambat ekspor
dan
akan
menimbulkan
kesulitan
pada
neraca
pembayaran
(Suseno Triyanto, 1997: 51).
Pada pertengahan dasawarsa 1960-an, laju inflasi di Indonesia
sempat mencapai 650% sehingga menghancurkan sistem keuangan
Indonesia pada waktu itu. Dari pengalaman pahit tersebut, pemerintah
senantiasa berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Hal ini dapat
dibuktikan dari menurunnya laju inflasi dari Pelita ke Pelita pada masa
95
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
orde baru, yaitu pada Pelita I rata-rata laju inflasi pertahun 17,48%,
kemudian Pelita II dan III masing-masing 14,77% dan 13,6%,
sedangkan pada Pelita IV menurun secara drastis yaitu 6,59%
(Nota Keuangan dan RAPBN, 1993/1994).
Melihat kondisi empiris pembangunan ekonomi sejak Pelita I
tahun 1969 hingga akhir dekade 1980-an dapat dikatakan Indonesia
telah
mengalami
suatu
proses
pembangunan
ekonomi
yang
spektakuler. Dalam tahun 1983/1984, yang merupakan tahun terakhir
pelaksanan (REPELITA III), perekonomian Indonesia mengalami
tantangan-tantangan yang amat berat terutama sebagai akibat resesi
dunia dan perkembangan pasaran minyak bumi yang kurang
menguntungkan. Namun perekonomian Indonesia masih menunjukan
hasil yang cukup memadai, seperti tercermin pada pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Sedangkan laju
inflasi di tahun 1985 sebesar 4,3% setahun dengan laju pertumbuhan
PDB hanya sebear 2,53%.
Dalam tahun 1986/1987 perekonomian Indonesia mengalami
keadaan yang sangat sulit terutama sebagai akibat merosotnya harga
minyak bumi, di samping masih rendahnya pertumbuhan ekonomi
dunia dan tindakan proteksi oleh beberapa negara industri. Sedangkan
tekanan terhadap laju inflasi pada tahun 1991/1992 antara lain meliputi
penyesuaian harga BBM dan tarif jasa-jasa pelayanan umum tertentu,
serta keterbatasan prasarana dan kapasitas produksi untuk beberapa
barang tertentu. Selain itu, masih tingginya permintaan dalam negeri
96
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
sejalan dengan peningkatan investasi dan kenaikan gaji pegawai negeri
juga memberikan tekanan terhadap laju inflasi. Dalam tahun 1992 laju
inflasi berhasil ditekan cukup rendah, yaitu mencapai 4,92%
Pada tahun 1993/1994 pengendalian inflasi merupakan
permasalahan yang menonjol. Pada kuartal I 1993 laju inflasi kembali
meningkat dan mencapai 6,44%. Apabila dilihat dari sebab-sebabnya,
peningkatan laju inflasi timbul karena beberapa faktor antara lain:
adanya kenaikan harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan yang selama
ini dikendalikan oleh pemerintah, dan pengaruh bencana banjir di
beberapa daerah yang bersamaan pula dengan datangnya Idul Fitri
pada bulan maret 1993. Namun tingkat inflasi di tahun 1995 mulai
bergerak turun. Hal ini disebabkan adanya kenaikan tingkat suku
bunga sehingga terjadi penurunan pertumbuhan uang primer dan
jumlah uang yang beredar. Di tahun 1996 laju inflasi kembali menurun
menjadi sekitar 6,5%. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah
dalam sektor riil dan perdagangan akibat dari komitmen pemerintah
terhadap WTO dan APEC.
Pergerakan laju inflasi di Indonesia sebelum terjadi krisis
ekonomi pada awal tahun 1990 sampai menjelang tahun 1997 masih
dapat dikatakan relatif stabil dan berada dalam taraf yang terkontrol.
Hal ini dapat dilihat bahwa rata-rata inflasi berada pada level 9%.
Sedangkan laju inflasi terendah terjadi pada tahun 1992 sebesar 3,59%.
Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan tingkat
97
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
inflasi meroket hingga mencapai 77,54%. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 4.4 di bawah ini:
Tabel 4.4 Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 1990-2003
TAHUN
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Kuartalan Kuartalan Kuartalan Kuartalan
Tahunan
I
II
III
IV
6,4
0,53
1,27
1,53
9,90
3714
0,88
2,79
1,86
9,24
3,04
2,34
1,41
1,85
8,64
3,26
0,77
0,91
1,53
6,47
1,96
2,54
5,37
11,05
11,05
25,13
46,55
75,47
77,63
77,54
4,08
2,73
0,02
2,04
2,01
0,93
1,91
1,74
4,42
9,35
2,11
3,28
2,56
4,06
12,55
3,5
0,92
1,65
3,63
10,03
0,77
0,46
1,24
0,89
5,06
Sumber: Bank Indonesia
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang dipicu oleh
krisis moneter yang secara cepat menjalar ke sektor riil. Hal ini
mengakibatkan turunnya taraf hidup rakyat Indonesia. Pada periode
tahun 1997/1998 perkembangan laju inflasi merupakan yang tertinggi
sejak tahun 1984 dan tahun 1974/1975. Namun, harus diakui pula
bahwa penurunan kinerja perekonomian pada tahun tersebut juga tidak
terlepas dari inefisiensi yang selama ini terjadi di sektor riil seperti
terlihat dari masih banyaknya distorsi di bidang perdagangan dan
investasi. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan
tahun 1997, terjadi akibat dari semakin cepatnya proses integrasi
perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Sementara
pada saat yang sama, perangkat kelembagaan yang mendukung
bekerjanya ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik.
98
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Sampai dengan awal tahun, situasi tersebut terus memburuk
menjadikan krisis ini menjadi yang terparah sejak tahun 1960-an.
Namun, dengan berbagai langkah stabilisasi dan reformasi ekonomi
yang dimulai dalam semester kedua tahun 1998, beberapa indikator
mulai menunjukan adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi. Nilai tukar
rupiah menguat dan stabil diikuti dengan laju inflasi yang jauh
menurun. Selama semester pertama 1999, telah terjadi pertumbuhan
ekonomi selama tahun 1998 dan semester pertama 1999.
Kondisi perekonomian nasional di tahun 1998 sangat kurang
menguntungkan. Sehingga memicu hilangnya kepercayaaan pada
kekuatan ekonomi Indonesia. Akibatnya nilai rupiah merosot tajam
secara langsung mengakibatkan melonjaknya laju inflasi. Selain itu,
faktor lain yang mendorong laju inflasi adalah kegagalan panen pada
tahun 1997/1998 akibat kekeringan yang ditimbulkan fenomena cuaca
El Nino., yang berdampak luas dan dalam terhadap pilar-pilar ekonomi
lainnya. Inflasi membumbung tinggi, demikian juga tingkat suku
bunga. Beban hutang perusahaan baik di sektor keuangan maupun
sektor riil meningkat tajam dan mengganggu operasi mereka. Sistem
pembayaran terganggu sehingga kegiatan produksi dan ekspor-impor
terhambat. Keuangan pemerintah menjadi sangat lemah. Pertumbuhan
ekonomi
merosot
tajam
dan kemiskinan
serta pengangguran
meningkat.
Pada
akhir desember 1998, inflasi yang terjadi mencapai
77,6% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi yang terjadi pada
99
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
tahun-tahun sebelumnya, yakni 6,5% di tahun 1996 dan 10,3% di
tahun 1997. Lonjakan laju inflasi tersebut sebagian besar berasal dari
barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable
goods) terutama makanan dan pakaian. Harga barang-barang tersebut
jauh meningkat dengan terdepresiasinya nilai rupiah. Setelah gagal
menahan laju depresiasi rupiah disemester kedua 1997, di awal tahun
1998 Bank Indonesia menaikkan suku bunga sampai tingkat yang
tinggi. Pada bulan juli 1998, suku bunga SBI 1 bulan meningkat
sampai 70% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode pra krisis
yang hanya sekitar 10% (Bappenas, 1999: 17). Perekonomian
Indonesia juga masih dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan
berupa terbatasnya lapangan kerja, masalah pemerataan, terbatasnya
prasarana.
Pada tahun 2000 Inflasi di Indonesia meningkat menjadi 9,35%
(year on year) dibandingkan tahun 1999 yang hanya sebesar 2,01%.
Hal ini disebabkan karena kondisi makroekonomi Indonesia dan situasi
keamanan dan politik dalam negeri yang kurang menguntungkan.
Selain itu, di tahun 2000 perkembangan harga-harga mendapat tekanan
dengan meningkatnya berbagai kegiatan ekonomi akibat dari adanya
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, melemahnya
nilai tukar rupiah, serta meningkatnya ekspektasi terhadap inflasi.
Tingkat inflasi selama tahun 2001, mengalami tekanan yang
lebih berat jika dibandingkan dengan inflasi di tahun 2000. Hal ini
berkaitan dengan adanya kebijakan pemerintah menaikan TDL dan
100
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
harga jual eceran rokok, kenaikan tarif angkutan akibat kenaikan harga
BBM pada bulan juli serta kenaikan biaya pendidikan seiring dengan
dimulainya tahun ajaran baru. Sehingga menekan tingkat inflasi
menjadi 12,55%.
Pada tahun 2002, laju inflasi tahunan mengalami penurunan
dari 12,55% di tahun 2001 menjadi 10,03% pada tahun 2001. Kondisi
ini mencerminkan bahwa dalam tahun 2002 telah terjadi proses
disinflasi. Sedangkan kondisi pada tahun 2003 Inflasi dapat ditekan
hingga mencapai angka 5,06%. Penurunan inflasi di tahun 2003 terkait
dengan peningkatan sisi penawaran yang dapat mengimbangi
permintaan domestik. Kondisi tersebut antara lain didukung oleh
peningkatan impor khususnya beras serta adanya ekspektasi inflasi
yang menurun. Sementara itu dari sektor industri, tingginya investasi
yang terjadi pada awal 2003 diperkirakan akan meningkatkan kapasitas
produksi dalam jangka lebih panjang. Secara umum kondisi
makroekonomi stabil dan cenderung membaik selama 2003. kinerja
neraca pembayaran, nilai tukar rupiah, dan laju inflasi lebih baik dari
pada proyeksi di awal 2003.
b. Pengangguran di Indonesia
Pengangguran merupakan salah satu masalah ketenagakerjaan
di Indonesia. Keadaan ini terutama disebabkan adanya ketimpangan
antara perkembangan angkatan kerja yang jauh lebih pesat
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Masalah
pengangguran masih merupakan masalah besar bagi Indonesia,
101
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
terutama melihat kenyataan bahwa laju pertumbuhan penduduk lebih
cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi selama ini. Para
penganggur ini adalah mereka yang tidak bekerja tetapi sedang
berusaha mendapatkan pekerjaan (Hananto Sigit, dkk, 1988: 22).
Besarnya kesempatan kerja pada sektor informal di Indonesia
yang umumnya tidak terlalu memerlukan keahlian dan pendidikan
tertentu menyebabkan orang mudah memperoleh pekerjaan tapi
dengan produktivitas dan pendapatan yang rendah. Di samping
pengangguran penuh, hal lain yang perlu mendapat perhatian serius
adalah masalah setengah pengangguran atau pengangguran tidak
penuh. Setengah penganggur ini adalah penduduk yang mempunyai
pekerjaan, tetapi tidak sepenuhnya produktif. Mereka terdiri dari
pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal atau mereka yang
bekerja dengan jam kerja penuh tapi tidak memperoleh penghasilan
cukup atau pekerja yang tidak sesuai antara jenis pekerjaan dengan
tingkat pendidikannya (Hananto Sigit, dkk, 1988:23).
Persentase tingkat setengah pengangguran yang tinggi,
terutama terlihat pada sektor-sektor tradisional dan informal seperti
sektor pertanian, industri rumah tangga, dan perdagangan eceran.
Sektor-sektor semacam itu tudak terlalu menuntut tingkat pendidikan
ataupun keahlian. Begitu pula, tidak diperlukan investasi yang besar.
Oleh karena itu tenaga kerja akan relatif mudah bekerja atau berusaha
sendiri dalam sektor-sektor semacam itu. Hal semacam ini akan terus
berlangsung, sehingga jika dibiarkan struktur perekonomian dan
102
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
kesempatan kerja memburuk, sehingga sektor-sektor tertentu menjadi
semkin miskin karena harus menampung tenaga kerja yang terus
melimpah. Untuk itu diperlukan kebijakan ketenagakerjaan yang
terpadu, mengaitkannya dengan kebijakan perekonomian, sehingga
akan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan kesempatan kerja
bisa tumbuh dengan merata dan lebih cepat, dengan tidak
mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan tujuan pembangunan
lainnya (Hananto Sigit, dkk, 1988: 23).
Meningkatnya angka pengangguran selama beberapa tahun
terakhir ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara pertumbuhan
jumlah angkatan kerja dengan penciptaan
kesempatan kerja.
Berdasarkan data di tahun 1996, perekonomian hanya mampu
menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang.
Pada tahun 1996, perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja
dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga
7,98%. Namun dengan terjadinya krisis ekonomi ditahun 1997 dan
1998, jumlah pengangguran meningkat lagi akibat banyak karyawan
yang di PHK. Sedangkan jumlah pengangguran di tahun 2000 ini
sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan
ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8%. Pengangguran
tahun 1999 yang semula 6,03 juta juga turun menjadi 5,87 juta orang.
Sedangkan di tahun 2003 jumlah pengangguran meningkat hingga
mencapai 9.53 juta orang dan jumlah ini akan terus meningkat apabila
pemulihan ekonomi belum berjalan dengan baik. Pertumbuhan jumlah
103
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
angkatan kerja dan jumlah pengangguran dari tahun 1990 sampai
dengan tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 4.5:
Tabel 4.5 Jumlah Angkatan Kerja dan Jumlah Pengangguran di
Indonesia Tahun 1990-2003
TAHUN
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
JUMLAH ANGKATAN
KERJA
JUMLAH
PENGANGGURAN
77,802,264
78,455,548
80,703,974
81,446,078
85,775,633
86,361,261
90,109,582
91,324,911
92,734,932
94,847,178
95,695,979
98,812,448
100,779,270
100,316,007
1,951,684
2,032,369
2,185,602
2,245,536
3,737,524
6,251,201
4,407,769
4,275,155
5,062,483
6,030,319
5,871,956
8,005,031
9,132,104
9,531,090
Sumber: BPS (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia)
Sepanjang tahun 2003, kondisi ketenagakerjaan masih belum
mengalami perbaikan yang berarti angka pengangguran terbuka tahun
2003 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya
disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih relatif kecil dan
cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi
tahun 2003 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan
kerja sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran
terbuka di perkirakan meningkat menjadi 10,1 juta orang.
104
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
B. Analisa Data dan Pembahasan
1. Deskripsi Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series
yang merupakan data sekunder. Adapun data tersebut diperoleh dari buku
Laporan
Tahunan
Bank
Indonesia
berbagai
edisi,
website
BI
(www.bi.go.id) dan buku Keadaan Angkatan kerja di Indonesia berbagai
edisi. Data tersebut dianalisis dalam bentuk data tahunan dari tahun 1983
hingga tahun 2003.
Data yang digunakan diolah dan dianalisis dengan menggunakan
program Eviews Version 4.0. Analisis data yang akan dikemukakan
merupakan hasil analisis secara statistik dan ekonomi. Adapun variabelvariabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Inflasi : Merupakan kecenderungan dari harga-harga untuk menaik
secara umum dan terus menerus (Boediono, 1995: 155). Di mana,
inflasi adalah suatu keadaaan yang mengindikasikan semakin
melemahnya daya beli masyarakat yang diikuti dengan semakin
merosotnya nilai riil (instrinsik) mata uang suatu negara.
Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan indeks harga
konsumen (IHK) yang menggambarkan besarnya inflasi pada tingkat
nasional untuk masing-masing jenis barang dan jasa yang termasuk
dalam pola konsumsi masyarakat.
b. Pengangguran : Merupakan penduduk yang termasuk angkatan kerja
tetapi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan menurut referensi
waktu tertentu (Nota Keuangan).
105
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang
dimaksud adalah pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka, terdiri
dari (Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, 2003):
1) Mereka yang mencari pekerjaan
2) Mereka yang mempersiapkan usaha
3) Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak
mungkin mendapatkan pekerjaan.
4) Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 4.6 di bawah ini:
Tabel 4.6 Data Tingkat Inflasi dan Pengangguran di Indonesia
TAHUN
INFLASI
PENGANGGURAN
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
12,63
3,64
4,31
8,83
8,90
5,47
5,97
9,53
9,52
3,59
9,90
9,24
8,64
6,47
10,27
77,54
2,01
9,35
12,55
10,03
5,06
0,75
1,07
1,26
2,64
2,55
2,79
2,76
2,51
2,59
2,71
2,76
4,36
7,24
4,89
4,68
5,46
6,36
6,14
8,10
9,06
9,50
Sumber: Bank Indonesia dan BPS
Ket: INF (dalam %) dan UNEMPL (dalam %)
106
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
2. Model Analisis
Penelitian ini akan menggunakan model analisis Error Correction
Model untuk menganalisis pengaruh antara variabel dependen dan
independen. Alat analisis ini lebih relevan jika data yang dianalisis
stasioner/stabil/normal, sebab salah satu syarat untuk mengaplikasikan
regresi deret waktu adalah dipenuhinya data yang bersifat stasioner. Untuk
mengetahui apakah data yang digunakan stasioner atau tidak, maka
dilakukan uji terhadap orde/integrasi dari masing-masing variabel yang
digunakan dengan menggunakan uji akar-akar unit (Unit Roots Test) dan
uji derajat integrasi. Data yang bersifat tidak stasioner untuk koefisien
regresi tersebut menjadi tidak valid lagi (Insukindro dan Aliman 1999:54).
Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara inflasi dan
pengangguran dalam janga pendek, akan digunakan uji kausalitas Granger
(Granger Causality Test). Konsep uji kausalitas Granger dikenal sebagai
konsep kausalitas sejati atau prediktabilitas di mana masa lalu dapat
mempengaruhi masa kini atau masa datang, akan tetapi masa kini tidak
dapat mempengaruhi masa lalu. Sedangkan untuk mengetahui apakah
dalam jangka panjang terdapat hubungan kausalitas antara inflasi dan
pengangguran akan digunakan alat analisis dengan menggunakan konsep
koreksi kesalahan (ECM) yang lebih dikenal dengan nama VECM (Vector
Error Correction Model). Selain konsisten dengan konsep kointegrasi,
model koreksi kesalahan ternyata lebih mampu menjelaskan hubungan
kausalitas daripada uji kausalitas Granger (1969), di mana model
kausalitas Granger (1969) yang baku diperluas dengan membentuk model
107
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
koreksi kesalahan atau dapat disebut dengan vector error correction model
dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas dari variabel
yang sedang diuji, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang (Aliman,2000:133).
3. Hasil dan Analisis Data
a. Uji Model Mac Kinnon, White and Davidson (MWD Test)
Pemilihan bentuk fungsi model empirik digunakan untuk
mengetahui apakah sebaiknya menggunakan bentuk linier atau log
linier. Hal ini karena teori ekonomi tidak secara spesifik menunjukkan
apakah sebaiknya bentuk fungsi suatu model empirik dinyatakan
dalam bentuk linear atau log-linier atau bentuk fungsi lainnya
(Aliman,2000: 14).
Dalam penelitian ini, digunakan metode yang dikembangkan
oleh Mac Kinnon, White dan Davidson pada tahun 1983 dan lebih
dikenal dengan MWD test. Dari hasil uji MWD, jika nilai Z1
signifikan secara statistik, maka hipotesis nol (H0) yang menyatakan
bahwa model yang benar adalah bentuk linier ditolak. Demikian juga
apabila Z2 signifikan secara statistik, maka hipotesis alternatif (Ha)
yang menyatakan bahwa model yang benar adalah bentuk log linier
ditolak.
Berikut
ini
merupakan
hasil
pengujian
dengan
membandingkan dua model. Dapat dilihat pada tabel 4.7 dan tabel 4.8:
108
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.7 Hasil MWD test model 1 (ECM Linear)
Dependent Variable: DINF
Method: Least Squares
Date: 07/24/05 Time: 06:13
Sample(adjusted): 1984 2003
Included observations: 20 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
DUNEMPL
UNEMPL(-1)
ECT
Z1
1.851730
0.009094
-1.069822
1.074457
60.34065
10.75888
0.039547
0.258975
0.262485
65.08931
0.172112
0.229943
-4.130985
4.093404
0.927044
0.8657
0.8212
0.0009
0.0010
0.3686
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.582221
0.470813
17.05259
4361.865
-82.22800
1.859820
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-0.378500
23.44154
8.722800
8.971733
5.226040
0.007706
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Tabel 4.8 Hasil MWD test model 2 (ECM Log Linier)
Dependent Variable: DLOGINF
Method: Least Squares
Date: 07/24/05 Time: 06:14
Sample(adjusted): 1984 2003
Included observations: 20 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
C
1.013975
0.249297
4.067343
DUNEMPL
0.000647
0.000676
0.957095
UNEMPL(-1)
-1.363015
0.240079
-5.677373
ECT1
1.363480
0.240136
5.677955
Z2
-0.000461
0.000441
-1.046208
R-squared
0.696398 Mean dependent var
Adjusted R-squared
0.615438 S.D. dependent var
S.E. of regression
0.302087 Akaike info criterion
Sum squared resid
1.368849 Schwarz criterion
Log likelihood
-1.561149 F-statistic
Durbin-Watson stat
2.204576 Prob(F-statistic)
Prob.
0.0010
0.3537
0.0000
0.0000
0.3120
-0.019863
0.487134
0.656115
0.905048
8.601702
0.000815
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Berdasarkan hasil regresi pada uji MWD di atas, maka dapat
dilihat bahwa nilai Z1 dan Z2 pada model 1 dan model 2 tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
109
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
bentuk fungsi linier maupun bentuk log inier. Artinya kedua model
tersebut sama baiknya. Namun model yang dipilih adalah model ECM
Linier karena data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk
persentase.
b. Uji Stasioneritas
Pada tahap awal akan dilakukan uji stasionaritas dengan
menggunakan uji akar-akar unit, dengan metode DF dan ADF. Uji ini
dilakukan untuk melihat apakah data deret waktu yang digunakan
bersifat stasioner atau tidak. Apabila dari hasil uji yang digunakan
pada data yang dimaksud belum mempunyai sifat yang stasioner, maka
langkah selanjutnya adalah menentukan orde/derajat integrasi sampai
data yang akan digunakan bersifat stasioner yaitu dengan uji akar-akar
unit dan uji derajat integrasi dilanjutkan dengan uji kointegrasi.
1) Uji Akar-Akar Unit
Uji akar-akar unit adalah uji stasioneritas untuk mengamati
apakah koefisien tertentu yang sedang diamati mempunyai nilai
satu atau tidak. Untuk uji akar-akar unit, dapat dilihat dari nilai
hitung mutlak DF dan ADF. Apabila nilai hitung mutlak lebih
besar dari nilai kritis mutlak (pada  =1%), maka variabel tersebut
stasioner. Begitu pula sebaliknya apabila nilai hitung mutlak lebih
kecil dari nilai kritis mutlak (pada  =1%), maka variabel tersebut
tidak stasioner.
110
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.9 Nilai Uji Akar-Akar Unit dengan Metode DF dan
ADF Pada Orde 0
Variabel
D(INF)
D(UNEMPL
Nilai Hitung Mutlak
DF
ADF
5.150797
4.134656
5.014006
4.195336
Nilai Krisis Mutlak pada 1%
DF
ADF
3.8572
3.8572
4.5743
4.5743
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Keterangan: D(INF)
= Perubahan Tingkat Inflasi
D(UNEMPL)
= Perubahan Tingkat Pengangguran
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan metode DF
dan ADF, tabel 4.9 di atas, terlihat bahwa ADF pada orde I(0)
untuk variabel Pengangguran (UNEMPL) adalah sebesar 4.195336
lebih kecil dari nilai kritis mutlak pada tingkat  1% yaitu sebesar
4.5743. Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat disimpulkan
bahwa variabel pengangguran belum stasioner. Sehingga masih
perlu dilanjutkan dengan menggunakan uji derajat integrasi.
2) Uji Derajat Integrasi
Uji derajat integrasi dilakukan untuk mengetahui pada
derajat integrasi keberapa data yang akan diamati akan stasioner.
Dari uji derajat integrasi yang dilakukan dapat diperoleh hasil
estimasi seperti tabel di bawah ini:
Tabel 4.10 Nilai Uji Derajat Integrasi dengan Metode DF dan
ADF Pada Orde 1
Variabel
D(INF)
D(UNEMPL)
Nilai Hitung Mutlak
Nilai Krisis Mutlak pada 1%
DF
ADF
DF
ADF
6.188378
5.518283
5.965391
5.411281
3.8877
3.8877
4.6193
4.6193
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Ket: D(INF)
= Perubahan Tingkat Inflasi
D(UNEMPL) = Perubahan Tingkat Pengangguran
111
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa nilai DF dan
ADF untuk semua variabel telah memiliki nilai yang lebih besar
dari nilai kritis Mac Kinnon pada tingkat  1%. Hal ini
menunjukan bahwa pada orde atau derajat satu I(1) semua data
sudah stasioner. Ini berarti bahwa distribusi (t) mengarah pada
kondisi yang signifikan dengan menggunakan uji stasioneritas
metode DF maupun ADF.
3) Uji Kointegrasi
Setelah uji stasioneritas melalui uji akar-akar unit dan
derajat integrasi dipenuhi, maka langkah selanjutnya dilakukan uji
kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua
variabel tersebut. Uji statistik yang digunakan adalah uji CRDW,
uji DF dan uji ADF.
Untuk menguji kointegrasi antara variabel-variabel yang
ada, metode yang digunakan adalah metode Engel dan Granger
dengan memakai uji statistik DF dan ADF untuk melihat apakah
residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Untuk menghitung
nilai DF dan ADF, terlebih dahulu adalah dengan membentuk
persamaan regresi kointegrasi dengan metode kuadrat terkecil biasa
(OLS).
INF = m0 + m1UNEMPLt + et........................................
( 4.1)
112
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Dimana (INF) adalah tingkat inflasi dan (UNEMPL) adalah
tingkat pengangguran sedangkan t menunjukan waktu sedangkan e
merupakan residual atau error term.
Dari persamaan di atas akan didapat nilai residualnya.
Setelah nilai residualnya didapat langkah selanjutnya adalah
melakukan penaksiran melalui otoregresi dari residual persamaan
tersebut dengan menggunakan OLS:
DEt = p1BEt......................................................................
( 4.2)
k
DEt = g1BEt +
w
i 1
1
B1DEt..............................................
( 4.3)
Tabel 4.11 Hasil Estimasi OLS Regresi Kointegrasi
ADF Test Statistic: -4.991237
1% Critical Value -3.8572
5% Critical Value -3.0400
10% Critical Value -2.6608
Variabel Dependen: D(Residu)
Variabel
DResidu(-1)
D(DResidu(-1))
R
F Statistik
DW Statistik
Koefisien
-2.077404
0.374341
Std Error
0.416210
0.238978
t-Statistic
-4.991237
1.566423
Prob
0.0002
0.1381
: 0.789326
: 28. 9995
: 2.202558
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Dari tabel regresi kointegrasi didapat nilai residualnya,
yang kemudian diuji dengan menggunakan metode Augmented
Dickey Fuller untuk melihat apakah nilai dari residual tersebut
bersifat stasioner atau tidak. Tabel 4.11 menunjukan bahwa nilai
hitung mutlak ADF lebih besar dari nilai kritis mutlak Mac Kinnon
pada tingkat  1%. Hal ini berarti bahwa nilai residu tersebut
bersifat stasioner pada orde/ derajat satu.
113
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
c. Hasil Uji Model Koreksi Kesalahan (ECM)
Estimasi dengan pendekatan model koreksi kesalahan akan
menjelaskan parameter jangka pendek maupun jangka panjang atas
variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen.
Berdasarkan uji MWD yang telah dilakukan sebelumnya,
menunjukan bahwa model yang digunakan untuk meneliti pengaruh
tingkat pengangguran terhadap tingkat inflasi di Indonesia adalah
model pendekatan ECM linier. Hasil analisis regresi OLS ECM linier
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.12 Estimasi Fungsi Inflasi Terhadap Pengangguran
dengan Model ECM Linier
Variabel Dependen : DINF
Variabel
Koefisien
Std.Error
Konstanta
8.484774
D(UNEMPL)
2.067102
UNEMPL(-1)
-0.314652
ECT
1.134623
R
: 0.558327
R Adjusted : 0.475513
DW Statistik : 1.955224
8.001269
3.738983
1.641316
0.253247
t-Statistik
Prob
1.060429
0.3047
0.552852
0.5880
-0.191707
0.8504
4.480303
0.0004
F-Statistik : 6.741961
Prob F-stat : 0.003765
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Keterangan:
DINF
= First difference Tingkat Inflasi (INFt-INFt-1)
D(UNEMPL)
= First difference Tingkat Penganguran
UNEMPL(-1)
= Tingkat Pengangguran dalam Jangka Pendek
ECT
= Error Correction Term
Dari hasil perhitungan model ECM di atas, dapat dibuat fungsi
regresi OLS sebagai berikut:
DINF = 8.484774 + 2.067102D(UNEMPL) -0.314652 UNEMPL(-1) +
1.134623 ECT
114
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis ECM di atas,
maka dapat diketahui besarnya nilai variabel ECT, di mana ECT
digunakan sebagai indikator bahwa spesifikasi model dianggap baik
atau tidak dilihat dari signifikansi dan koefisien dari koreksi kesalahan
(Insukindro dan Aliman, 1999: 54)
Berdasarkan fungsi regresi linier ECM di atas, dapat dilihat
bahwa nilai koefisien ECT-nya (Error Corection Term) sebesar
1.134623. Ini menunjukan bahwa proporsi biaya ketidakseimbangan
dalam perkembangan Inflasi terhadap pengangguran pada periode
sebelumnya yang disesuaikan pada periode sekarang adalah sekitar
1.134623%. Dilihat dari tingkat signifikansinya, ECT menunjukan
nilai 0.0004 yang signifikan pada taraf 5%. Hal ini berarti spesifikasi
model sudah sahih (valid) dan memberi indikasi mengenai
kemungkinan hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Dilihat
dari nilai koefisien determinasi atau R2 yang diperoleh menunjukkan
nilai yang tidak besar yaitu sebesar 0.558327.
Nilai konstanta sebesar 8.484774 dari hasil estimasi di atas,
menunjukan bahwa perubahan Inflasi terhadap pengangguran sebesar
8.484774 persen jika semua variabel penjelas bernilai nol.
Variabel jangka pendek dari model persamaan di atas
ditunjukan oleh UNEMPL(-1), koefisien regresi jangka pendek dari
regresi ECM Inflasi terhadap pengangguran ditunjukan oleh besarnya
koefisien variabel-variabel di atas. Variabel jangka panjang dari model
115
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
tersebut ditunjukan oleh D(UNEMPL) sedangkan koefisien jangka
panjang diperoleh dari:
Konstanta =C0 / C3= 8.484774/1.134623= 7.478056
D(UNEMPL)=(C2/C3)/C3 =(-0.314652+1.134623)/1.134623= 0.722681
Variabel-variabel
UNEMPL(-1)
adalah
variabel
yang
menunjukkan parameter jangka pendek, sedangkan koefisien masingmasing
variabelnya
menunjukkan
besarnya
pengaruh
pada
penyesuaian variabel dependen terhadap variabel independen dalam
jangka pendek. Variabel-variabel yang menunjukkan parameter jangka
panjang adalah D(UNEMPL). Nilai ECT yang signifikan pada tingkat
signifikansi 5% menunjukkan adanya hubungan antara ECM dan
kointegrasi. Koefisien jangka panjang pada variabel-variabel jangka
panjang tersebut menjelaskan besarnya kekuatan respon perubahan
pada variabel independen terhadap variabel dependen.
d. Hasil Uji Kausalitas Granger
Model analisis untuk menguji hubungan kausalitas yang terjadi
antara variabel inflasi dan pengangguran di Indonesia akan digunakan
uji kausalitas Granger yang diformulasikan sebagai berikut:
INFt =
n
n
i 1
j1
  j UNEMPLt-i +   j INFt-j + u1t.............................. ( 4.4)
n
UNEMPLt =
  j UNEMPLt-i +
i -1
n
 jINFt-j + u2t.....................
( 4.5)
j1
Dimana u1t dan u2t adalah error terms yang diasumsikan tidak
saling berkorelasi atau dipandang mempunyai sifat swara resik (white
noise).
116
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Masing-masing
persamaan
tersebut
di
regresi
dengan
menggunakan metode OLS dengan menerapkan kendala (Constraint).
n
  = 0, untuk persamaan 1
j1
n

= 0, untuk persamaan 2
j1
Pada uji kausalitas Granger ini akan terdapat empat
kemungkinan hasil yang akan diperoleh, yaitu:
n
n
j1
j1
1) Jika    0 dan   =0, terdapat kausalitas satu arah dari Inflasi
(INF) ke Pengangguran (UNEMPL).
n
n
j1
j1
2) Jika   =0 dan    0, terdapat kausalitas satu arah dari
Pengangguran (UNEMPL) ke Inflasi (INF).
n
n
j1
j1
3) Jika   =0 dan   =0, masing-masing variabel bebas antara satu
dengan yang lain.
n
n
j1
j1
4) Jika    0 dan    0, terdapat kausalitas dua arah antara
Inflasi (INF) dan Pengangguran (UNEMPL).
Selanjutnya untuk memperkuat indikasi keberadaan berbagai
bentuk kausalitas tersebut maka dilakukan F-test untuk masing-masing
model regresi.
117
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.13 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Tingkat Inflasi
dengan Tingkat Pengangguran
Variabel
INF atas 6 Lag INF dan 6 Lag UNEMPL
Penjelas
Tahun Sebelumnya
Variabel
Koefisien
t-Statistik
Probabilitas
Konstanta
-6.387010
-1.094981
0.3878
UNEMPLt-1
2.615196
2.376349
0.1407
UNEMPLt-2
-6.543393
5.118239
0.0361
UNEMPLt-3
17.17743
10.89136
0.0083
UNEMPLt-4
1.920000
0.470829
0.6841
UNEMPLt-5
2.653360
0.712868
0.5499
UNEMPLt-6
-1.003991
-0.358560
0.7542
INFt-1
-0.659185
-2.634547
0.1189
INFt-2
-0.572658
-2.402790
0.1382
INFt-3
-0.460559
-3.349348
0.0788
INFt-4
-0.822850
-7.250794
0.0185
INFt-5
-0.755940
-4.021799
0.0566
INFt-6
-0.771602
-1.346400
0.3105
R-squared
0.994656
Adjusted R-squared
0.962591
S.E. of regression
3.510126
Durbin-Watson stat
24.64196
F-statistik
-25.00708
Prob(F-statistik)
1.694683
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Tabel 4.14 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Tingkat
Pengangguran dengan Tingkat Inflasi
Variabel
UNEMPL atas 6 Lag UNEMPL dan 6 Lag
Penjelas
INF Tahun Sebelumnya
Variabel
Koefisien
t-Statistik
Probabilitas
Konstanta
3.68891
1.872437
0.2020
UNEMPLt-1
0.431657
1.161276
0.3654
UNEMPLt-2
0.032045
0.074211
0.9476
UNEMPLt-3
0.705945
1.325212
0.3162
UNEMPLt-4
-2.361319
-1.714381
0.2286
UNEMPLt-5
-1.210744
-0.963065
0.4371
UNEMPLt-6
1.954454
2.066564
0.1747
INFt-1
0.178948
2.117469
0.1684
INFt-2
0.119504
1.484551
0.2759
INFt-3
0.000870
0.018725
0.9868
INFt-4
0.045575
1.189002
0.3565
INFt-5
0.128044
2.016899
0.1812
INFt-6
-0.323554
-1.671544
0.2366
R-squared
0.965465
Adjusted R-squared
0.758255
S.E. of regression
1.185583
Durbin-Watson stat
3.322033
F-statistik
4.659362
Prob(F-statistik)
0.190122
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
118
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger (1969) antara inflasi
dan pengangguran pada tabel 4.13 dan 4.14
menunjukan adanya
kausalitas satu arah antara pengangguran dan inflasi. Di mana
berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.13 dan 4.14 terlihat bahwa hanya
koefisien  j yang signifikan tidak sama dengan nol, yaitu  2 dan  3
pada tingkat signifikansi 5%. Serta tidak satupun koefisien  j yang
signifikan tidak sama dengan nol. Hal ini berarti pengangguran
membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk mempengaruhi inflasi pada
tingkat signifikansi 5%.
e. Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vector Error Corection Model
(VECM)
Pengujian
kausalitas
dengan
ECM
digunakan
sebagai
pengganti dari pengujian kausalitas standard Granger. Estimasi
pengujian didasarkan pada model koreksi kesalahan sebagai berikut:
4
4
I 1
i 1
DINFt=  0 +   i DINFt-1+   i DUNEMPLt-1+  1  t 1 + et ......... ( 4.6)
4
4
I 1
I 1
DUNEMPL=  1 +   i UNEMPLt-1+   i DINFt-1+  1  t 1 + et ... ( 4.7)
Keterangan:
D = Turunan Pertama
DINF dan DUNEMPL adalah Stasioner.
119
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.15 Uji Kausalitas dengan VECM Tingkat Inflasi dengan
Tingkat Pengangguran
Dependent Variable: DINF
Variabel
Koefisien
Konstanta
3.474172
DUNEMPLt-1
-0.294786
DUNEMPLt-2
-6.837121
DUNEMPLt-3
12.08079
DUNEMPLt-4
6.447441
DINFt-1
-0.103213
DINFt-2
0.1989963
DINFt-3
0.244094
DINFt-4
-0.014761
ECT
0.882200
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Durbin-Watson stat
F-statistic
Prob(F-statistic)
t-Statistik
0.550176
-0.103618
-2.354109
2.781445
0.993488
-0.214143
0.534163
0.791465
-0.070563
1.535378
Probabilitas
0.6021
0.9208
0.0567
0.0319
0.3588
0.8375
0.6124
0.4588
0.9460
0.1756
0.939096
0.847741
10.24528
1.987599
10.27960
0.005146
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Ket: INF
= Tingkat Inflasi
UNEMPL = Tingkat Pengangguran
Tabel 4.16 Uji Kausalitas dengan VECM Tingkat Pengangguran
dengan Tingkat Inflasi
Dependent Variable: DUNEMPL
Variabel
Koefisien t-Statistik
0.384264
0.468792
Konstanta
-0.254550
-0.689291
DUNEMPLt-1
-0.532379 -1.412132
DUNEMPLt-2
-0.025897 -0.045934
DUNEMPLt-3
-0.837309 -0.993944
DUNEMPLt-4
-0.051372 -0.821100
DINFt-1
-0.078011
1.613466
DINFt-2
-0.051372
-1.458840
DINFt-3
-0.034303 -1.263248
DINFt-4
0.091822
1.231112
ECT1
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Durbin-Watson stat
F-statistic
Prob(F-statistic)
Probabilitas
0.6558
0.5164
0.2076
0.9649
0.3586
0.44330
0.1578
0.1949
0.2534
0.2643
0.468603
-0.328492
1.329912
2.327403
0.587889
0.772712
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Ket: INF
= Tingkat Inflasi
UNEMPL = Tingkat Pengangguran
120
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Hasil uji kausalitas dengan Vector Error Correction Model
(VECM) disajikan pada Tabel 4.15 dan 4.16. Dari kedua Tabel ini,
menunjukan hasil yang tidak memuaskan pada kedua persamaan. Ini
ditunjukkan dengan koefisien error correction term (ECT) yang tidak
signifikan. Temuan ini menunjukan bahwa model yang dibangun tidak
sahih sehingga interpretasi lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat
dilakukan.
4. Uji Statistik
a. Uji t (Uji secara individu)
Uji t merupakan uji sendiri-sendiri terhadap koefisien regresi
masing-masing
variabel
bebas,
dengan
menggunakan
derajat
keyakinan 5%.
1) Koefisien regresi dari konstanta sebesar 8.484774 dengan
probabilitas 0.3047 tidak signifikan dan positif pada derajat
signifikasi5 %.
2) Koefisien regresi dari variabel DUNEMPL dalam jangka panjang
sebesar 0.722681 dengan probabilitas 0.5880 tidak signifikan dan
positif pada derajat signifikasi 5%.
3) Koefisien regresi dari variabel UNEMPL(-1) dalam jangka pendek
sebesar -0.314652 dengan probabilitas 0.8504 tidak signifikan dan
negatif pada derajat signifikasi 5%.
4) Koefisien regresi dari variabel ECT
sebesar 1.134623 dengan
probabilitas 0.0004 signifikan dan positif pada derajat keyakinan
5%. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen tersebut
121
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
secara signifikan berpengaruh terhadap variabel Inflasi pada derajat
signifikasi 5%.
b. Uji F
Uji F ini digunakan untuk menguji signifikansi secara bersamasama pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Berdasarkan hasil pengolahan data, didapatkan nilai F hitung adalah
6.741961 dengan probabilitas 0.003765. Dengan demikian bahwa
secara bersama-sama baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang variabel pengangguran mempunyai pengaaruh yang nyata
terhadap tingkat inflasi di Indonesia pada derajat signifikansi 5%.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Besarnya R2 menunjukan besarnya variasi variabel dependen
dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan hasil estimasi
menunjukkan bahwa nilai R2 adalah sebesar 0.558327 yang berarti
55.83
% variasi variabel inflasi (INF) dapat dijelaskan oleh variasi
variabel pengangguran (UNEMPL). Sedangkan sisanya sebesar
44.17% dipengaruhi faktor lain di luar model.
5. Uji Ekonometrik (Uji Asumsi Klasik)
a. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana terjadinya
satu atau lebih variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau
mendekati sempurna dengan variabel lainnya. Untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinieritas maka digunakan metode Klein. Metode ini
dilakukan dengan cara membandingkan nilai r2 regresi variabel
122
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
independen terhadap variabel independen lainnya dengan nilai R2 dari
regresi ECM berganda R2> r2, maka disimpulkan tidak terjadi masalah
multikolinearitas dan sebaliknya. Hasil uji Klein untuk mendeteksi
masalah multikolinearitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.17 Uji Multikolinieritas
VARIABEL
R
DUNEMPL-UNEMPL(-1) -0.020731
r2
R2
KESIMPULAN
0.004298
0.558327
Tidak Ada
Multikolinearitas
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Dari tabel 4.17 di atas, ditunjukan bahwa semua korelasi antar
variabel independen memilki nilai r2 yang lebih kecil jika
dibandingkan dngan R2 (r2<R2). Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa semua variabel independen tidak terdapat masalah
multikolinearitas.
b. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika gangguan muncul dalam fungsi
regresi yang mempunyai varian yang tidak sama sehingga penaksir
OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (tapi masih
tetap tidak bias dan konsisten). Salah satu cara untuk mendeteksi
masalah Heteroskedastisitas adalah dengan Uji Park. Pengujian ini
dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama dilakukan regresi dari
model yang dipilih yang kemudian akan didapatkan nilai residualnya.
Tahap kedua adalah mengkuadratkan nilai residu dan meregresinya
dengan semua variabel bebas. Jika nilai yang diperoleh signifikan
maka terdapat masalah heteroskedastisitas dan begitu juga sebaliknya.
Tabel Uji Heteroskedastisitas dapat dilihat pada tabel 4.18 dibawah ini:
123
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.18 Uji Heteroskedastisitas
Variabel
Konstanta
DUNEMPL
UNEMPL(-1)
t-Statistik
0.158469
0.385533
0.334537
Probabilitas
0.8761
0.7049
0.7423
Hasil Uji t
Tidak Signifikan Pada 5%
Tidak Signifikan Pada 5%
Tidak Signifikan Pada 5%
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Berdasarkan tabel 4.18 di atas, menunjukan nilai probabilitas
dari semua variabel melebihi taraf signifikansi 5%, sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas.
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi antara variabel gangguan
yang diutarakan menurut waktu atau ruang sehingga penaksir tidak lagi
efisien baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Pada
penelitian ini, model yang digunakan adalah model koreksi kesalahan,
maka untuk mendeteksi masalah autokorelasi digunakan lagrange
multiplier test. Uji ini dilakukan dengan meregres semua variabel
independen dan variabel dependen untuk kemudian dilakukan yang
dikembangkan oleh Breusch-Godfrey terhadap residu dari hasil regresi
tersebut. Tabel Uji Autokorelasi dapat dilihat pada tabel 4.19 di bawah
ini:
124
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Tabel 4.19 Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
0.042755
0.056845
Probability
Probability
0.838968
0.811554
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 04/11/05 Time: 16:44
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
DUNEMPL
UNEMPL(-1)
ECT
RESID(-1)
2.702411
0.032774
-0.112743
0.325234
0.334309
15.45655
3.859369
1.778382
1.594440
1.616792
0.174839
0.008492
-0.093397
0.203980
0.206773
0.8635
0.9933
0.9503
0.8411
0.8390
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.002842
-0.263066
17.50853
4598.229
-82.75571
2.006158
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
1.42E-15
15.57889
8.775571
9.024504
0.010689
0.999746
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan E-Views, 2005
Dari hasil estimasi persamaan di atas, ditemukan besarnya nilai
(n-p)*R2=  2 hitung = (21-1)* 0.002842= 0.05684 sementara nilai  2 (1)
dengan  =5% sebesar 3.84146. Dengan demikian, berdasarkan hasil
uji Breusch-Godfrey, maka hipotesis nol (H0) yang mengatakan
1   2  0 diterima karena nilai
 2 hitung lebih kecil dibandingkan
dengan nilai  2 tabel . Atau dengan kata lain, dalam model yang empiris
yang digunakan tidak ditemukan adanya autokorelasi.
Setelah terpenuhinya semua asumsi klasik yang meliputi uji
multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi dalam
model ECM, maka tafsiran-tafsiran yang diperoleh dalam perhitungan
regresi ECM tersebut mempunyai varian minimum bersifat tidak bias
dan linear. Dengan demikian pengujian secara statistik dapat dilakukan
125
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
guna melihat tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas baik secara
individual independen dalam menjelaskan perubahan nilai variabel
dependen.
6. Interpretasi Hasil Analisis Uji Kausalitas Granger
Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger (1969) antara inflasi dan
pengangguran pada tabel 4.13 dan 4.14 menunjukan adanya kausalitas
satu arah dari pengangguran ke inflasi. Di mana berdasarkan hasil regresi
pada tabel 4.13 dan 4.14 terlihat bahwa hanya koefisien  j yang signifikan
tidak sama dengan nol, yaitu  2 dan  3 pada tingkat signifikansi 5%. Serta
tidak satupun koefisien  j yang signifikan tidak sama dengan nol. Hal ini
berarti tingkat pengangguran membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk
mempengaruhi tingkat inflasi pada tingkat signifikansi 5%. Ini tidak sesuai
dengan hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat kausalitas dua arah
antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran.
Hal ini membuktikan bahwa tingginya tingkat pengangguran di
Indonesia tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat inflasi, akan tetapi lebih
disebabkan oleh: Pertama, adanya kelangkaan kesempatan kerja yang
menyebabkan meningkatnya pengangguran. Selain itu,
tenaga kerja
Indonesia kurang memiliki daya saing karena lemahnya etos kerja dan
rendahnya produktivitas yang mereka miliki.
Kedua, struktur tenaga kerja yang masih berat ke bawah, yaitu
dengan mayoritas berpendidikan dasar, menyebabkan di dalam negeri
kekurangan tenaga-tenaga ahli yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
Meskipun suplai tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berpendidikan
126
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
tinggi di dalam negeri menunjukan kecenderungan yang meningkat,
namun tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berkualitas rendah dan
kurang terampil, sehingga tidak mampu merebut peluang kerja di dalam
negeri sendiri. Situasi ini memberi peluang masuknya tenaga kerja asing
untuk mengisi kelangkaan tenaga-tenaga terampil di dalam negeri. Hal
inilah yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran di
Indonesia.
7. Interpretasi Hasil Analisis Uji Kausalitas Granger (1988) atau Vektor
Error Correction Model (VECM)
Hasil uji kausalitas dengan Vector Error Correction Model
(VECM) disajikan pada Tabel 4.15 dan 4.16. Dari kedua Tabel ini,
menunjukan hasil yang tidak memuaskan pada kedua persamaan. Ini
ditunjukkan dengan koefisien Error Correction Term (ECT) yang tidak
signifikan. Temuan ini menunjukan bahwa model yang dibangun tidak
sahih sehingga interpretasi lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat
dilakukan.
8. Interpretasi Hasil Analisis Error Correction Model
Dari hasil estimasi yang telah dilakukan dengan menggunakan
model regresi ECM Linier dapat dikatakan bahwa penaksir OLS yang
diperoleh dari hasil perhitungan regresi model tersebut telah bersifat
BLUE, karena sudah terbebas dari masalah asumsi klasik serta pengujian
secara statistik juga telah menghasilkan taksiran-taksiran yang berarti
secara statistik. Dari hasil estimasi tersebut diperoleh nilai R2 sebesar
0.558327 yang berarti bahwa sekitar 55.83% variasi variabel Inflasi dapat
127
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
dijelaskan oleh variabel bebas, sedangkan 44.17% dijelaskan oleh variabel
lain di luar model.
Selanjutnya akan dilakukan interpretasi terhadap koefisien regresi
dari variabel independen dan dependen dalam model hasil penyesuaian
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil interpretasi dari hasil
regresi tersebut dapat diuraikan yaitu sebagai berikut:
a. Pengaruh Pengangguran terhadap Inflasi
Hasil estimasi ECM Linier menunjukan bahwa dalam jangka
pendek variabel tingkat pengangguran (UNEMPL) memiliki hubungan
yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi. Dalam jangka
pendek koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar -0.314652 tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Sedangkan dalam jangka panjang,
variabel tingkat pengangguran (DUNEMPL) memiliki hubungan yang
positif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi dengan koefisien
variabel tingkat pengangguran sebesar 0.722681. Besarnya probabilitas
tingkat pengangguran dalam jangka panjang yaitu 0.8504 dengan taraf
signifikansi 5%, sehingga tingkat pengangguran dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang tidak berpengaruh secara nyata terhadap
tingkat inflasi di Indonesia.
Hasil analisis variabel tingkat pengangguran dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang tidak sesuai dengan teori kurva Phillips
yang menyatakan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya
pengangguran (Dornbush, 1990: 432). Hal ini berarti dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang, kondisi perekonomian di Indonesia tidak
128
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh AW Phillips, yaitu terdapat
trade off antara inflasi dan pengangguran.
Namun hal ini membenarkan pendapat Edmund Phelps dan Milton
Friedman yang menyatakan bahwa trade off jangka panjang antara laju
inflasi dan jumlah pengangguran adalah semu (Dornbush, 1990: 435).
Hal ini tejadi karena sebagian besar faktor yang mempengaruhi
tingginya laju inflasi di Indonesia disebabkan oleh dorongan biaya
(cost-push) yang umumnya dipicu oleh kenaikan administered prices,
meningkatnya upah minimum dan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga
mengakibatkan meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat. Namun
kebijakan fiskal yang diambil pemerintah juga turut mempengaruhi
besarnya laju inflasi di Indonesia.
Sehingga peran stabilisasi perekonomian sangat penting dilakukan
karena keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingginya tingkat
inflasi dan juga tingginya tingkat pengangguran merupakan gejala
ekonomi yang dapat meresahkan perekonomian Indonesia. Oleh karena
itu, upaya yang diperlukan untuk mengendalikan jalannya perekonomian
secara keseluruhan dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan ekonomi
makro, yang meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat
perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan
maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian.
Sedangkan kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah yang
129
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
dilaksanakan bank sentral untuk mempengaruhi (merubah ) penawaran
uang dalam perekonomian atau merubah tingkat bunga dengan maksud
untuk mempengaruhi pengeluaran agregat.
Karena kinerja ekonomi makro Indonesia merupakan integrasi dari
berbagai kebijakan baik moneter maupun fiskal (kebijakan anggaran).
Dengan demikian hasil yang dicapai merupakan efek simultan dari seluruh
kebijakan tersebut. Sehingga diperlukan suatu pedoman agar kegiatan
pemerintah dapat mencapai hasil yang optimal.
b. Biaya Ketidakseimbangan dalam Perubahan Inflasi (ECT)
Hasil regresi ECM Linier didapatkan nilai koefisien dari variabel
ECT sebesar 1.134623 dengan probabilitas 0.0004 positif dan signifikan
pada tingkat signifikansi 5%, artinya bahwa biaya ketidakseimbangan
dalam perubahan tingkat inflasi pada periode sebelumnya yang
disesuaikan dengan periode sekarang adalah sebesar 1.1346%. Nilai
probabilitas yang menunjukan signifikansi variabel ECT ini berarti bahwa
analisis ECM yang digunakan dalam penelitian ini sudah valid (sahih) dan
dapat menjelaskan pada variabel tidak bebas.
130
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dalam meneliti pengaruh dan
hubungan kausalitas antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di
Indonesia selama periode tahun 1983-2003 serta untuk menjawab hipotesis
yang diajukan, digunakan model analisis kausalitas Granger (1969) dan
pengujian kausalitas dengan menggunakan model koreksi kesalahan
berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Maka dari hasil
penelitian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil Uji Kausalitas Granger
Berdasarkan hasil uji kausalitas Granger antara tingkat inflasi
dengan tingkat pengangguran, ditemukan bahwa terjadi kausalitas satu
arah antara tingkat pengangguran dengan tingkat inflasi, di mana tingkat
pengangguran hanya membutuhkan waktu 2 dan 3 tahun untuk
mempengaruhi tingkat inflasi pada tingkat signifikansi 5%. Namun tingkat
inflasi tidak dapat menyebabkan tingkat pengangguran pada tingkat
signifikansi 5%. Ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa
terdapat kausalitas dua arah antara tingkat inflasi dan tingkat
pengangguran.
Hal ini membuktikan bahwa tingginya tingkat pengangguran di
Indonesia tidak dipengaruhi oleh tingginya tingkat inflasi, akan tetapi lebih
disebabkan oleh: Pertama, adanya kelangkaan kesempatan kerja yang
menyebabkan meningkatnya pengangguran. Selain itu,
tenaga kerja
131
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
Indonesia kurang memiliki daya saing karena lemahnya etos kerja dan
rendahnya produktivitas yang mereka miliki.
Kedua, struktur tenaga kerja yang masih berat ke bawah, yaitu
dengan mayoritas berpendidikan dasar, menyebabkan di dalam negeri
kekurangan tenaga-tenaga ahli yang berlatar belakang pendidikan tinggi.
Meskipun suplai tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berpendidikan
tinggi di dalam negeri menunjukan kecenderungan yang meningkat,
namun tenaga kerja berpendidikan tinggi rata-rata berkualitas rendah dan
kurang terampil, sehingga tidak mampu merebut peluang kerja di dalam
negeri sendiri. Situasi ini memberi peluang masuknya tenaga kerja asing
untuk mengisi kelangkaan tenaga-tenaga terampil di dalam negeri. Hal
inilah yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengangguran di
Indonesia.
2. Hasil Uji Kausalitas Granger (1988) atau VECM
Berdasarkan
hasil
pengujian
untuk
menyelidiki
hubungan
kausalitas dalam jangka panjang yang terjadi antara tingkat inflasi dan
tingkat pengangguran di Indonesia dari tahun 1983 hingga tahun 2004
dengan
menggunakan alat analisis ekonometrika dengan pendekatan
Vector Error Correction Model (VECM), menunjukan hasil yang tidak
memuaskan pada kedua persamaan. Ini ditunjukkan dengan koefisien
Error Correction Term (ECT) yang tidak signifikan. Temuan ini
menunjukan bahwa model yang dibangun tidak sahih sehingga interpretasi
lebih lanjut dari hasil estimasi tidak dapat dilakukan.
132
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
3. Hasil Uji Model Koreksi Kesalahan
Hasil estimasi ECM Linier menunjukan bahwa dalam jangka
pendek variabel tingkat pengangguran (UNEMPL) memiliki hubungan
yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi. Dalam jangka
pendek koefisien variabel tingkat pengangguran sebesar -0.314652 tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5%. Sedangkan dalam jangka panjang,
variabel tingkat pengangguran (DUNEMPL) memiliki hubungan yang
positif dan tidak signifikan terhadap tingkat inflasi dengan koefisien
variabel tingkat pengangguran sebesar 0.722681. Besarnya probabilitas
tingkat pengangguran dalam jangka panjang yaitu 0.8504 dengan taraf
signifikansi 5%, maka variabel pengangguran dalam jangka panjang tidak
berpengaruh secara nyata terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
Hasil analisis variabel tingkat pengangguran dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang tidak sesuai dengan teori kurva Phillips
yang menyatakan bahwa laju inflasi upah menurun dengan naiknya
pengangguran (Dornbush, 1990: 432). Hal ini berarti dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang, kondisi perekonomian di Indonesia tidak
sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh AW Phillips, yaitu terdapat
trade off antara inflasi dan pengangguran.
Namun hal ini membenarkan pendapat Edmund Phelps dan Milton
Friedman yang menyatakan bahwa trade off jangka panjang antara laju
inflasi dan jumlah pengangguran adalah semu (Dornbush, 1990: 435).
Hal ini tejadi karena sebagian besar faktor yang mempengaruhi
tingginya laju inflasi di Indonesia disebabkan oleh dorongan biaya
133
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
(cost-push) yang umumnya dipicu oleh kenaikan administered prices,
meningkatnya upah minimum dan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga
mengakibatkan meningkatnya ekspektasi inflasi masyarakat. Namun
kebijakan fiskal yang diambil pemerintah juga turut mempengaruhi
besarnya laju inflasi di Indonesia.
Sehingga peran stabilisasi perekonomian sangat penting dilakukan
karena keadaan perekonomian tidak selalu sesuai dengan yang
dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat. Tingginya tingkat
inflasi dan juga tingginya tingkat pengangguran merupakan gejala
ekonomi yang dapat meresahkan perekonomian Indonesia. Oleh karena
itu, upaya yang diperlukan untuk mengendalikan jalannya perekonomian
secara keseluruhan dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan ekonomi
makro, yang meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan fiskal meliputi langkah-langkah pemerintah membuat
perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan
maksud untuk mempengaruhi pengeluaran agregat dalam perekonomian.
Sedangkan kebijakan moneter meliputi langkah-langkah pemerintah yang
dilaksanakan bank sentral untuk mempengaruhi (merubah ) penawaran
uang dalam perekonomian atau merubah tingkat bunga dengan maksud
untuk mempengaruhi pengeluaran agregat.
Karena kinerja ekonomi makro Indonesia merupakan integrasi dari
berbagai kebijakan baik moneter maupun fiskal (kebijakan anggaran).
Sehingga diperlukan suatu pedoman agar kegiatan pemerintah dapat
mencapai hasil yang optimal.
134
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
B. Saran
1. Dalam menerapkan kebijakan-kebijakan terutama untuk menurunkan laju
inflasi melalui inflation targeting, hendaknya pemerintah lebih bijaksana
dalam mematok besarnya tingkat inflasi yang ideal bagi Indonesia. Hal ini
diperlukan guna menumbuhkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi,
sehingga diharapkan mampu menyerap jumlah angkatan kerja yang belum
terserap di dalam pasar kerja dan dapat mengurangi tingginya tingkat
pengangguran.
2. Perlunya peran pemerintah sebagai fasilitator untuk meminimalisir biaya
sosial akibat konflik pekerja dan pengusaha hal ini dilakukan guna
meningkatkan kesejahteraan pekerja maupun kemajuan perusahaan, serta
untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha dan berinvestasi.
Pencarian win-win solution bagi pengusaha dan pekerja dengan cara
perundingan dan negosiasi memberikan kontribusi dan harapan di tengah
pencarian pemecahan keluar dari krisis ekonomi yang semakin rumit dan
semakin terbatasnya alternatif kebijakan.
3. Masalah ketenagakerjaan yang ada di Indonesia bersifat multi dimensi dan
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga menjadi semakin kompleks. Oleh
karena itu, untuk menekan tingginya jumlah pengangguran dan pesatnya
perkembangan globalisasi maka upaya untuk menciptakan agar tenaga
kerja kita memiliki keunggulan kompetitif yang dinamis, yang
berketerampilan dan beradaptasi tinggi sehingga mempunyai daya tahan
terhadap perubahan internal maupun eksternal seperti terjadinya krisis,
resesi dan stagflasi baik di dalam negeri maupun yang berada di luar
135
Enjang Dwi Astuti – F0101034 -
negeri sangat diperlukan. Selain itu, faktor kualitas SDM suatu negara
merupakan faktor kunci untuk dapat merebut dan menenangkan
persaingan di pasar global. Apalagi dengan semakin terbukanya pasar
tenaga kerja dunia di mana persaingan sangat kompetitif, maka SDM di
Indonesia diharapkan memiliki daya kreasi, inovasi, tingkat produktivitas
tinggi dan kemampuan membaca peluang yang lebih baik. oleh karena
pemerintah perlu memberikan perhatian ynag serius mengenai maslah ini.
4. Perlunya mengembangkan konsep link and match antara lembaga
pendidikan dan dunia kerja, yang menitik beratkan pada pelatihan dan
keterampilan untuk meningkatkan kualitas SDM, melalui in-house
training
system
serta
dikembangkan
program
apprenticeship
(permagangan) dengan lebih memanfaatkan balai-balai latihan kerja baik
di dalam maupun di luar negeri. Sehingga diharapkan akan mempercepat
tingginya highly skilled labour dan juga transfer of technology untuk
mendukung
proses
industrialisasi
yang
semakin
canggih
dalam
menghadapi liberalisasi ekonomi.
5. Dari penelitian yang telah dilakukan, pengujian kausalitas belum
memberikan
hasil
yang
memuaskan.
sehingga
untuk
penelitian
selanjutnyanya, alangkah lebih baik jika tahun pengamatan lebih
diperpanjang lagi, sehingga mampu memberikan hasil yang memuaskan
serta perlunya pengembangan alat analisis yang lebih baik lagi guna
menjawab berbagai macam fenomena ekonomi yang
berkembang
semakin kompleks.
136
Download