1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan terkait dengan penggunaan
pengaruh untuk mengikuti kemauan salah satu pihak dalam sebuah hubungan bisnis
(Ramasheshan et al., 2006; Butaney dan Wortzel, 1988; Kim, 2000). Pola penggunaan
kekuasaan dalam hubungan bisnis antara pemasok dan peritel mempunyai dua sisi yang menjadi
inti perdebatan dalam riset tentang relationship marketing (pemasaran keterhubungan).
Kekuasaan bisa menjadi bagian dari strategi perusahaan yang memperkuat hubungan bisnis
perusahaan dengan konsumen maupun pemasok, namun demikian kekuasaan
juga bisa
menyebabkan berakhirnya sebuah hubungan bisnis, jika tidak dikelola dengan baik (El Ansery
dan Stern, 1972).
Morgan dan Hunt (1994), Kim (2000), Maloni dan Benton (2000) dan Ramaseshan et al.,
(2006) menyatakan salah satu masalah penting dalam penggunaan kekuasaan sebuah perusahaan
terhadap mitra bisnisnya adalah adanya fenomena kesenjangan kekuasaan (power asymmetry).
Hingley (2005) mengemukakan bahwa masalah kesenjangan kekuasaan ini harus dipahami dan
diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam sebuah hubungan bisnis
sehingga masing-masing pihak bisa mengantisipasinya. Suvanto (2012) dalam penelitiannya
tentang pola hubungan bisnis antara perusahaan pengolahan makanan dengan pemasoknya di
Finlandia menemukan bahwa dalam sebuah hubungan bisnis yang asimetris, kepercayaan kepada
mitra bisnis terkait dengan kontrol, ukuran perusahaan dan reputasi mitra bisnis.
1
Ryu et al., (2011) menyatakan bahwa dalam kondisi hubungan bisnis dengan
kesenjangan kekuasaan, maka komitmen akfektif terhadap hubungan bisnis dari perusahaan yang
mengalami eksploitasi akan hilang atau berkurang. Ryu et al.,(2011) menguji hipotesis itu pada
hubungan bisnis antara perusahaan pengolahan Amerika Serikat yang mempunyai kekuasaan
besar dengan pemasoknya sebuah perusahaan lemah dari Korea Selatan. Hasilnya komitmen
afektif terhadap hubungan bisnis dari perusahaan lemah dari Korea Selatan berkurang seiring
dengan besarnya pengaruh mitranya perusahaan besar dari Amerika Serikat. Viitaharju dan
Lahdesmaki (2012) dalam risetnya dengan latar industri ritel makanan dan pemasoknya di
Finladia, mengemukakan bahwa salah satu anteseden dari terjadinya kesenjangan kekuasaan
adalah adanya perbedaan persepsi tentang kepercayaan pada mitra bisnis. Kesenjangan
kekuasaan dalam jangka panjang juga menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dan kontradiksi
dalam hubungan bisnis antara peritel dan pemasok (Viitaharju dan Lahdesmaki, 2012).
Studi pendahuluan yang dilakukan Setyawan (2007a) dengan latar (setting) industri
kerajinan otomotif di Kab Purbalingga menunjukkan bahwa peritel mempunyai kekuasaan yang
lebih besar dibandingkan dengan pengrajin. Mereka mempunyai kekuasaan karena menguasai
pasar konsumen akhir. Kekuasaan yang dimiliki para peritel otomotif ini meliputi penentuan
harga jual, desain dan termin pembayaran sehingga para pengrajin mempunyai posisi tawar
menawar yang lemah. Studi lain yang dilakukan Setyawan et al. (2007) dengan latar pengrajin
mebel rotan dan eksportir dan pemilik ruang pamer mebel di wilayah Trangsan Sukoharjo,
menunjukkan pola yang serupa. Para eksportir dan pemilik ruang pamer mebel adalah penentu
dalam berbagai aspek yaitu desain, harga dan termin pembayaran, karena mereka mempunyai
akses langsung dengan konsumen akhir.
2
Pada sisi lain, studi yang dilakukan oleh Ruiz (2000) dengan latar (setting) penelitian
industri mebel di Spanyol menunjukkan pemasok dan pabrikan mempunyai kekuatan penentu
dalam hubungan bisnis antara pemasok dengan peritel. Pemasok dan pabrikan mempunyai
kemampuan dalam menentukan harga, desain dan struktur distribusi dalam perdagangan mebel
dengan peritel.
Bigne et al., (2004) dalam studinya dengan latar penelitian industri keramik di Spanyol
menunjukkan bahwa kekuatan pemasok yang berasal dari keahlian dan imbalan menjadi sumber
dominasi hubungan bisnis antara pabrik keramik dan peritel. Bigne et al.,(2004) menyatakan
bahwa dalam pola hubungan bisnis antara pemasok dan pabrikan keramik di Spanyol
mempunyai kekuatan kontrol yang dominan dibandingkan dengan peritel karena keahlian
mereka tentang produk dan pengetahuan spesifik tentang industri ini.
Penelitian ini memfokuskan pembahasannya pada hubungan antara pemasok dan peritel.
Industri yang menjadi latar adalah industri ritel yang melibatkan pemasok dengan beberapa
karakter kekuasaan, misalnya antara pemasok UMKM dengan peritel perusahaan besar, atau
sebaliknya pemasok besar dan peritel UMKM serta pemasok dan peritel yang mempunyai
kesamaan karakter kekuasaan. Kondisi kesenjangan kekuasaan antara pemasok dan peritel ini
mempunyai dua kemungkinan utama yaitu peritel mempunyai kekuasaan yang lebih besar
daripada pemasok atau pemasok yang mempunyai kekuasaan lebih besar daripada peritel.
Hunt (1991) menyebutkan bahwa ada tiga dikotomi dalam ilmu pemasaran, yaitu
pemasaran makro dan mikro, positif dan normatif dan organisasi profit dan non-profit.
Pemasaran makro membahas tentang system pemasaran, dampak dari system pemasaran
terhadap masyarakat dan dampak masyarakat terhadap sistem pemasaran. Pemasaran mikro
berfokus pada aktivitas pemasaran pada level unit individual dan pemasaran internal dalam
3
perusahaan.
Pemasaran positif mencoba
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan
memahami aktivitas pemasaran dan fenomena yang aktual yang ada. Pemasaran normatif
mendeskripsikan apa yang harus dilakukan organisasi atau individu marketing serta apa jenis
sistem pemasaran seperti apa yang harus dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini termasuk dalam
kategori penelitian pemasaran makro, positif dan dengan latar organisasi profit.
Shapiro (2006) menyebutkan bahwa pemasaran makro mengalami kemandegan
pertumbuhan karena bidang ini tidak populer bagi para peneliti bidang pemasaran. Hal ini terjadi
karena beberapa alasan, yaitu, pertama, bidang pemasaran makro kurang mengalami
perkembangan dari sisi rerangka konseptual dan paradigma atau perkembangan teori. Kedua,
tema dan konsep dalam pemasaran makro terlalu luas dan beragam, sehingga dianggap tidak
memberikan kontribusi pada perkembangan teori (Shapiro, 2006). Grzeskowiak dan Al-Khatib
(2009) dalam studinya tentang perilaku mencari kesempatan (opportunism) dalam sebuah rantai
pasok dari berbagai industri yang meliputi industry pengolahan, jasa keuangan, farmasi dan ritel.
Pola perilaku mencari untung ini menyebabkan inefisiensi dari rantai pasok tersebut sehingga
terjadi ketidakpastian biaya dan sistem distribusi menjadi tidak efisien (Grzeskowiak dan AlKhatib, 2009). Penelitian ini menganalisis sistem distribusi sehingga dikategorikan penelitian
pemasaran makro. Penelitian yang dilakukan dengan latar hubungan pemasok dan peritel di
beberapa kota besar di Indonesia ini diharapkan memberikan kontribusi pada pengembangan
rerangka konsep sistem distribusi pada industri ritel. Hal ini menjadi urgensi penelitian ini yang
termasuk dalam kelompok penelitian pemasaran makro untuk memberikan sumbangan dalam
pengembangan teori maupun metodologi.
4
Sektor perdagangan menjadi latar yang menarik dalam penelitian ini karena peran sektor
ini dalam perekonomian nasional semakin besar. Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan nilai
perdagangan besar dan eceran di Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010.
Tabel 1.1
Perkembangan Nilai Transaksi Perdagangan Besar dan Eceran Indonesia Tahun 20002010 (dalam Miliar Rp)
Tahun
Nilai Transaksi
PDB
% PDB
2000
194969.92
1264919
15,4
2001
223966.65
1684280
13,2
2002
245564.35
1863275
13,17
2003
263635.42
2045853
12,8
2004
288112.8
2273142
12,67
2005
337229.5
2729708
12,35
2006
386872.5
2777501
13,9
2007
464149.3
3015303
15,3
2008
551343.7
4948688.4
11,8
2009
585722.8
5603871.2
11,1
2010
702278.3
6422918.2
10,6
Keterangan: Data tahun 2000-2005 diambil dari laporan Asian Development Bank Country Report tahun
2006, data tahun 2006-2007 diambil dari Laporan Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Bank
Indonesia tahun 2007, data 2008-2010 diambil dari Laporan Produk Domestik Bruto Badan Pusat
Statistik tahun 2011.
Berdasarkan data indikator ekonomi dari
Bank Indonesia tahun 2007, Asian
Development Bank tahun 2006 dan Badan Pusat Statistik tahun 2011 maka sumbangan sektor
perdagangan terhadap PDB Indonesia menduduki urutan terbesar ke-2 setelah sektor industri
pengolahan. Sumbangan sektor perdagangan terhadap PDB sejak tahun 2000 sampai tahun 2004
rata-rata mencapai 13 persen, sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan dari 23
persen pada tahun 1987 menjadi hanya 15 persen pada tahun 2004. Namun demikian, pada
tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 sumbangan sektor perdagangan besar dan eceran pada
PDB Indonesia turun pada kisaran 10 sampai dengan 11 persen. Bisnis ritel Indonesia
menunjukkan adanya daya serap tenaga kerja yang tinggi. Saat ini industri ritel Indonesia mampu
5
menampung 18,9 juta angkatan kerja, nomor dua setelah industri pertanian (lihat
www.kppu.go.id). Selain itu dari, 22,7 juta jumlah usaha di Indonesia hampir 10,3 juta atau 45
persen diantaranya adalah bisnis ritel.
Bisnis ritel, dalam hal ini supermarket di Indonesia dikuasai oleh empat besar perusahaan
yaitu kelompok bisnis Carrefour, Matahari, Hero dan Ramayana. Berdasarkan survei yang
dilakukan AC Nielsen (2007), keempat perusahaan tersebut mempunyai pangsa pasar 47 persen
dari penjualan supermarket di Indonesia. Temuan ini diperkuat oleh penelitian dari Widjaja
(2010) yang mengemukakan bahwa pangsa pasar industri ritel hanya dikuasai beberapa
perusahaan. Pangsa pasar minimarket pada tahun 2010 dikuasai oleh dua perusahaan yaitu
Alfamart dengan pangsa pasar sebesar 40,8% dan Indomaret menguasai 43,2% pangsa pasar.
Perusahaan Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Ramayana dan Yogya secara bersama-sama
menguasai 76 % pangsa pasar supermarket.
Pangsa pasar hypermarket 50% dikuasai oleh
Carrefour, sisanya menjadi milik Hypermart dengan 21% pangsa pasar dan Giant yang
menguasai 18,5% pangsa pasar.
Penelitian lain yang dilakukan Kurniati dan Yanfitri (2010) menunjukkan bahwa dalam
industri manufaktur yang berperan sebagai pemasok bagi industri ritel juga terjadi struktur pasar
oligopoli karena fenomena perbedaaan kemampuan perusahaan bertahan dalam pasar kompetitif.
Secara umum perusahaan dalam industri manufaktur Indonesia sejak dekade 70-an jumlahnya
ribuan, namun demikian terjadi fenomena keluar dan masuk dalam industri ini. Perusahaan yang
keluar karena tidak mampu bersaing adalah perusahaan kecil dan para pemain baru juga
perusahaan kecil yang tidak mampu bertahan lama. Perusahaan yang bertahan dari tahun 70-an
adalah perusahaan manufaktur besar karena kekuatan sumber daya mereka.
Penelitian ini
mengkonfimasi temuan dari Bird (1999) yang menganalisis rasio konsentrasi industri manufaktur
6
Indonesia dengan data tahun 1973-1993 dan menemukan bahwa tidak terjadi perubahan
perusahaan yang menguasai industri ini dalam jangka waktu 20 tahun terakhir.
Bird (1999) mengemukakan bahwa sejak 1975-1993 terjadi praktek kartel dan oligopoli
dalam industri semen, distribusi pupuk, pemrosesan gula, distribusi beras dan
kayu lapis.
Kondisi ini secara umum menyebabkan posisi tawar menawar dari masing-masing industri
tersebut kuat dalam hubungan bisnis dengan mitra bisnis mereka. Kurniati dan Yanfitri (2010)
menambahkan bahwa struktur industri farmasi dan distribusi farmasi menuju pada struktur
oligopoli dan kartel yang memperkuat posisi tawar mereka. Soliha (2008) dalam risetnya tentang
sumber persaingan industri ritel Indonesia dengan Model Persaingan Industri dari Porter
menyimpulkan bahwa kekuatan pemasok dari industri ritel masuk dalam kategori sedang, yaitu
mereka mempunyai kekuatan tawar menawar moderat dalam berhubungan dengan peritel. Hal
ini berarti kekuasaan dan kontrol dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan dari industri ritel
dan manufaktur mempunyai dua kemungkinan yaitu peritel lebih dominan atau pemasok yang
lebih dominan dalam penggunaan kekuasaan dan pengaruh terhadap mitra bisnisnya.
Kekuasaan dari sebuah perusahaan adalah kemampuannya untuk melakukan kontrol atas
kebijakan perusahaan lain atau mitra bisnisnya (Doherty dan Alexander, 2006). Dalam rerangka
hubungan bisnis antara peritel dan pemasok, maka kedua pihak mempunyai kekuasaan atas pihak
lain, misalnya: kekuasaan dari peritel berupa permintaan peritel untuk mempercepat waktu
pengiriman dan peningkatan kualitas produk pemasok, adapun kekuasaan dari pemasok misalnya
waktu pembayaran yang dipercepat dan penentuan lokasi rak barang. Isu yang menarik dalam
beberapa riset empirik adalah pada saat adanya perbedaan kekuasaan yang dimiliki perusahaan
atau kesenjangan kekuasaan (power asymmetry). Kim (2000) mengemukakan bahwa fenomena
kesenjangan kekuasaan terjadi karena adanya saling ketergantungan antara dua perusahaan.
7
Ramaseshan et al. (2006) meneliti pengaruh penggunaan kekuasaan terhadap kinerja perusahaan
dalam hubungan bisnis antara peritel dan pemasok. Dari penelitian-penelitian tersebut hasil
akhirnya adalah sebuah hubungan jangka panjang bisnis yang terus menerus, padahal situasinya
adalah salah satu pihak menggunakan kekuasaan-nya untuk menekan pihak yang lain.
Konsep pemasaran kontemporer yang saat ini sering dipergunakan untuk mengkaji
penggunaan kekuasaan dalam hubungan bisnis antara dua perusahaan atau lebih adalah
pemasaran keterhubungan (relationship marketing). Gronroos (1994) mendefinisikan pemasaran
keterhubungan sebagai pemasaran untuk menjalin, membina dan menjaga hubungan dengan
konsumen dan mitra perusahaan, sebagai sebuah hubungan yang saling menguntungkan,
sehingga kepentingan masing-masing pihak tetap terjaga. Morgan dan Hunt (1994) dalam
penelitiannya menunjukkan adanya pengaruh penggunaan kekuasaan dengan pemasaran
keterhubungan.
Dalam studi pendahuluan tentang pola hubungan pemasok dan peritel, Setyawan (2007a)
dengan menggunakan rerangka pemasaran keterhubungan menemukan beberapa hal menarik.
Pertama, ada beberapa konstruk yang mempengaruhi lama dan kualitas hubungan bisnis antara
pemasok dan peritel yaitu kepuasan, komitmen, loyalitas dan kinerja masing-masing perusahaan.
Kedua, adanya penggunaan kekuasaan dari peritel kepada pemasok terutama yang berasal dari
perusahaan kecil menengah. Kekuasaan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kepentingan
peritel dalam menjalankan bisnisnya. Penggunaan kekuasaan dalam
hubungan bisnis antara
pemasok dan peritel ini ditemukan juga dalam penelitian Ramasheshan et al. (2006).
Ramasheshan et al. (2006) mengemukakan peran kekuasaan dan kepuasan sebagai anteseden
dalam hubungan antara department store dan penyewanya. Dalam penelitian ini terungkap
bahwa masing-masing pihak dari sebuah hubungan bisnis menggunakan kekuasaan untuk
8
memperjuangkan kepentingannya, sekaligus juga meningkatkan posisi tawar menawar dalam
sebuah hubungan bisnis.
Penelitian yang dilakukan Kim (2000) dengan latar industri manufaktur mesin dan
peralatan di Amerika Serikat mengemukakan temuan bahwa kekuasaan asimetris antara
perusahaan manufaktur mesin dengan para distributornya berdampak pada kualitas hubungan
bisnis antar kedua perusahaan tersebut. Kim (2000) menyebutkan bahwa penggunaan kekuasaan
koersif dalam hubungan bisnis antara perusahaan manufaktur mesin dengan distributornya
mempunyai pengaruh negatif terhadap keberlanjutan hubungan bisnis, sedangkan kekuasaan non
koersif berdampak positif terhadap keberlanjutan hubungan bisnis antara perusahaan dengan
distributornya.
Temuan penting dari penelitian Kim (2000) adalah kesenjangan kekuasaan
berpengaruh pada kepercayaan perusahaan pada mitranya sehingga berdampak pada keputusan
untuk melanjutkan atau mengakhiri sebuah hubungan bisnis. Konstruk kepercayaan dalam
penelitian Kim (2000) mengacu pada teori Pemasaran Keterhubungan yang diajukan oleh
Morgan dan Hunt (1994).
Studi yang dilakukan Shamdasani et al., (2001) memberikan temuan bahwa pemasok
mempunyai keleluasaan untuk mengeksploitasi kondisi kesenjangan kekuasaan. Shamdasani et
al., dalam penelitiannya yang berlatar hubungan bisnis antara pemasok dan distributor dalam
industri komputer menemukan bahwa pemasok mengekploitasi kesenjangan kekuasaan yang
bersumber dari kekuatan koersif dan non koersif untuk mempengaruhi dan mengawasi para
distributornya. Dalam kondisi seperti itu, maka pemasok bisa memastikan kinerja keuangan
perusahaan mereka membaik karena distributor memenuhi keinginan para pemasok (Shamdasani
et al., 2001).
9
Studi pendahuluan berikutnya yang dilakukan Setyawan (2007b) dengan latar industri
kerajinan otomotif di Kab Purbalingga menunjukkan bahwa peritel mempunyai kekuasaan yang
lebih besar dibandingkan dengan pengrajin. Mereka mempunyai kekuasaan karena menguasai
pasar konsumen akhir. Kekuasaan yang dimiliki para peritel otomotif ini meliputi penentuan
harga jual, desain dan termin pembayaran sehingga para pengrajin mempunyai posisi tawar
menawar yang lemah. Studi lain yang dilakukan Setyawan et al. (2007) dengan latar pengrajin
mebel rotan dan eksportir dan pemilik ruang pamer mebel di wilayah Trangsan Sukoharjo,
menunjukkan pola yang serupa. Para eksportir dan pemilik ruang pamer mebel adalah penentu
dalam berbagai aspek yaitu desain, harga dan termin pembayaran, karena mereka mempunyai
akses langsung dengan konsumen akhir. Dalam empat penelitian tersebut hasil akhirnya adalah
sebuah hubungan jangka panjang bisnis yang terus menerus, padahal situasinya adalah salah satu
pihak yang
dominan
menggunakan
kekuasaannya untuk
menekan mitra
bisnisnya.
Pertanyaannya mengapa hubungan bisnis itu terus berlangsung?
Wu et al., (2012) menguji teori Komitmen dan Kepercayaan dari Morgan dan Hunt
(1994) dengan latar industri berteknologi tinggi di Taiwan. Hasil pengujiannya menunjukkan
konstruk komitmen dan kepercayaan konsisten sebagai variabel mediasi utama (key mediating
variables) dalam hubungan antara biaya mengakhiri hubungan, keuntungan dari hubungan
bisnis, nilai bersama, komunikasi dan perilaku oprtunistik dengan niat untuk mengakhiri
hubungan bisnis, kerjasama, konflik fungsional dan ketidakpastian. Namun demikian, penelitian
Wu et al., (2012) tidak menggunakan konstruk kekuasaan sebagai variabel anteseden dan tidak
menggunakan unit analisis dyadic.
10
1.2 PENTINGNYA PENELITIAN
Kekuasaan sebagai sebuah konstruk dalam penelitian hubungan antar perusahaan
(business to business) diperlakukan secara berbeda-beda dalam proses analisisnya. Ada beberapa
peneliti yang percaya bahwa kekuasaan berpengaruh negatif pada proses pertukaran dalam
hubungan antar perusahaan. Keefektifan hubungan bisnis antara dua perusahaan ditentukan oleh
kerjasama dan kepercayaan, sehingga penggunaan kekuasaan dianggap menganggu hubungan
bisnis antar dua perusahaan (Ramaseshan et al., 2006; Too et al., 2001; Kaufman et al., 2006 ).
Terjadinya kesenjangan kekuasaan antara dua perusahaan menjurus pada ketidakadilan dalam
pola perdagangan, hal ini adalah kondisi yang negatif (Hingley, 2005). Dalam kelompok ini,
penerapan kekuasaan dalam sebuah hubungan bisnis harus diantisipasi dengan tercapainya
kepuasan (Garbarino dan Johnson, 1999; Geyskens et al., 1999), komitmen (Garbarino dan
Johnson, 1999; Gustaffson et al., 2005; Morgan dan Hunt, 1994), kepercayaan (Morgan dan
Hunt, 1994; Doney dan Cannon, 1997; Ekelund dan Sharma, 2001), loyalitas (Fitzgibbon dan
White, 2005; Fullerton, 2005) dan kinerja strategis (Johnson, 1999; Ruiz, 2000).
Pandangan kedua menyatakan bahwa kekuasaan justru merupakan konstruk yang
diperlukan dalam sebuah hubungan bisnis. Kondisi ini justru perlu dibangun oleh perusahaan
untuk menjaga kelanggengan sebuah hubungan bisnis (Kim, 2000; El Ansery dan Stern, 1972;
Butaney dan Wortzel, 1998). Kim (2000) menyebutkan bahwa kesenjangan kekuasaan antara
dua perusahaan menyebabkan perusahaan terdorong menggunakan strategi pengaruh (influence
strategy) untuk melindungi kepentingannya. Doherty dan Alexander (2006) menyatakan strategi
pengaruh dan kontrol terhadap mitra bisnis dengan menggunakan kekuasaan non-koersif (noncoercive power) justru mendorong mitra bisnis untuk memperbaiki kinerja mereka.
11
Penelitian ini menitikberatkan pembahasannya pada pengaruh kesenjangan kekuasaan
terhadap kinerja perusahaan, dengan beberapa variabel mediasi yang menggunakan rerangka
pemasaran keterhubungan. Penelitian ini menguji apakah kesenjangan kekuasaan mendorong
perusahaan untuk meningkatkan kinerja strategisnya dan menganalisis faktor-faktor yang
menyebabkan perusahaan puas dan loyal dengan mitra bisnisnya.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan menganalisis peran kesenjangan kekuasaan, kepercayaan dan
komitmen pada kepuasan, loyalitas dan kinerja strategis perusahaan dalam hubungan bisnis
antara pemasok dan peritel. Kesenjangan kekuasaan berperan sebagai variabel penjelas dalam
pola hubungan antara pemasok dan peritel.
Rerangka analisis dalam penelitian ini menggunakan rerangka teori pemasaran
keterhubungan dengan konstruk anteseden kesenjangan kekuasaan dan variabel mediasi
kepercayaan dan komitmen. Kinerja strategis yang terdiri dari kinerja ekonomi pemasok, kinerja
ekonomi peritel, loyalitas pemasok, loyalitas peritel, kepuasan pemasok dan kepuasan peritel.
1.4 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tujuan penelitian yang ditentukan maka disusun perumusan masalah
penelitian untuk menganalisis hubungan antar variabel di dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan
untuk membangun sebuah model perdagangan yang adil antara beberapa perusahaan dengan
beberapa karakteristik kekuasaan yang berbeda. Asumsi dasar dari model penelitian ini adalah
12
adanya kondisi kesenjangan kekuatan dan kontrol antara pemasok dan peritel yang terlibat dalam
sebuah hubungan pertukaran.
1.4.1 Gap Teoritis
Berdasarkan dikotomi dari Hunt (1991), penelitian ini masuk dalam kategori penelitian
pemasaran makro karena membahas tentang sistem pemasaran secara umum. Shapiro (2006)
mengungkapkan bahwa perkembangan pemasaran makro mengalami stagnasi karena minat
peneliti bidang pemasaran pada bidang ini sangat sedikit. Penelitian ini menjawab minimnya
penelitian yang memberikan kontribusi pada konstruksi teori bidang pemasaran makro yang
terkait dengan jalur distribusi (Lagrossen dan Svenson, 2006; Shapiro, 2006).
Penelitian ini
menggunakan rerangka teori Komitmen dan Kepercayaan dari Morgan dan Hunt (1994). Dalam
penelitiannya, Morgan dan Hunt (1994) menguji teori ini dengan latar hubungan antar
perusahaan. Komitmen dan kepercayaan dalam teori tersebut berperan sebagai variabel yang
memediasi hubungan antara kekuasaan dengan persetujuan antar perusahaan, niat meninggalkan
hubungan bisnis, kerjasama, konflik fungsional dan ketidakpastian. Selanjutnya Ramaseshan et
al., (2006) menguji teori komitmen dan kepercayaan ini dengan latar perusahaan ritel di China
pada saat menjalin hubungan bisnis dengan penyewa mereka.
Quin dan Doherty (2000) melakukan studi eksplorasi tentang kekuasaan dan kontrol dalam
industri waralaba di Inggris. Salah satu temuan dalam studi tersebut adalah adanya fenomena
kesenjangan kekuasaan antara perusahaan pemilik waralaba dengan pembeli waralaba. Bigne et
al., (2004) melakukan studi hubungan bisnis antara pabrik keramik dan distributornya di Spanyol
dan menemukan bahwa pola penggunaan kekuasaan yang bersumber pada keahlian
menyebabkan posisi tawar menawar pemasok lebih kuat dalam hubungan bisnis dengan
distributor.
13
Doherty dan Alexander (2006) dengan penelitian mereka tentang penggunaan kekuasaan
dan kontrol waralaba internasional di Inggris Raya menemukan bahwa waralaba internasional
menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan koersif dan non koersif dalam kontrak bisnis mereka
dengan para pemasok lokal. Penggunaan dua jenis kekuasaan ini untuk memastikan bahwa
pemasok lokal mampu menjaga standar kualitas sesuai dengan standar yang ditentukan oleh
waralaba bersangkutan. Pemasok lokal mempunyai persepsi positif terhadap perjanjian bisnis
yang berdasarkan kekuasaan non koersif daripada kekuasaan koersif (Doherty dan Alexander,
2006).
Penelitian ini dilakukan berdasarkan adanya celah teoritis tentang fenomena kesenjangan
kekuasaan antar perusahaan yang belum terjawab dari penelitian Morgan dan Hunt (1994), Kim
(2000), Quin dan Doherty (2000), Bigne et al., (2004) dan Doherty dan Alexander (2006) yang
tidak menjelaskan tentang konstruk kesenjangan kekuasaan tetapi terbatas pada konstruk
kekuasaan saja dengan berbagai bentuk dan sumbernya.
1.4.2 Gap Metodologi
Riset di bidang pemasaran keterhubungan dihadapkan pada dua argumen utama dalam
pengujian model estimasinya, yaitu dengan pendekatan dyadic atau non dyadic (Lindgreen,
2001; Palmer, et al. 2005; Eiriz dan Wilson, 2006). Morgan dan Hunt (1994) dengan risetnya
yang menguji konstruk kepercayaan dan komitmen dalam rantai pasok industri otomotif di
Amerika Serikat secara implisit menggunakan konstruk kepercayaan berbasis dyad, namun
dalam estimasi model tidak dilakukan pengujian dengan unit analisis dyadic. Heide dan John
(1988) dan Kim (2000) menggunakan pendekatan dyadic untuk menganalisis hubungan
pertukaran antara pemasok dan peritel dalam kerangka pemasaran keterhubungan.
14
Kim (2000) berargumentasi, dalam pengujian model pemasaran keterhubungan, sangat
diperlukan untuk mendapatkan informasi dari dua pihak yang terlibat dalam sebuah hubungan
bisnis, sehingga dampak hubungan bisnis tersebut bisa dianalisis lebih komprehensif. Namun
demikian, Ramaseshan et al., (2006) menyatakan bahwa penelitian tentang pemasaran
keterhubungan tetap bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan non-dyadic karena
masing-masing pihak dalam sebuah kerjasama bisnis melakukan usaha untuk memperkuat
hubungan bisnis dan mendapatkan dampak dari hubungan bisnis tersebut.
Celah empiris dari perdebatan tersebut menjadi dasar pengujian empiris penelitian ini.
Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan dyadic
berdasarkan persepsi kedua pihak dalam hubungan bisnis. Pendekatan dyadic dalam penelitian
ini menggunakan metode yang disarankan Kim (2000) yaitu menggunakan perbedaan skor
masing-masing konstruk yang dipersepsikan masing-masing pihak dalam sebuah hubungan
bisnis.
1.5 PERTANYAAN PENELITIAN
Berikut adalah pertanyaan penelitian yang menggambarkan urut-urutan teknis pengujian
dalam penelitian ini.
1.5.1 Apakah kesenjangan kekuasaan berpengaruh pada komitmen pemasok dan peritel dalam
hubungan bisnis mereka?
1.5.2 Apakah kesenjangan kekuasaan berpengaruh pada kepercayaan pemasok-peritel dalam
hubungan bisnis mereka?
1.5.3 Apakah komitmen pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada loyalitas
mereka dalam hubungan bisnis?
15
1.5.4 Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada loyalitas
mereka dalam hubungan bisnis?
1.5.5 Apakah komitmen pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kepuasan
mereka dalam hubungan bisnis?
1.5.6 Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kepuasan
mereka dalam hubungan bisnis?
1.5.7 Apakah komitmen
pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kinerja
ekonomi pemasok-peritel?
1.5.8 Apakah kepercayaan pemasok-peritel pada hubungan bisnis berpengaruh pada kinerja
ekonomi pemasok-peritel?
1.6 MANFAAT PENELITIAN
1.6.1 Manfaat Teoritis
Berdasarkan klasifikasi dari Hunt (1994) penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
pemasaran makro. Shapiro (2006) menyebutkan bahwa perkembangan penelitian di bidang
pemasaran makro sangat lambat karena banyak peneliti pemasaran tidak berminat mendalami
bidang ini. Penelitian ini menjelaskan dan mengkonfirmasi Teori Komitmen dan Kepercayaaan
sebagai dasar dari Pemasaran Keterhubungan yang dikemukakan oleh Morgan dan Hunt (1994).
Debat teoritis dari penelitian ini adalah adanya perbedaan pendapat tentang posisi konstruk
kesenjangan kekuasaan. Posisi teoritis pertama menganggap bahwa kesenjangan kekuasaan
dianggap mempunyai dampak negatif pada kinerja perusahaan yang tereksploitasi dalam sebuah
hubungan bisnis, karena kesenjangan kekuasaan hanya menguntungkan bagi perusahaan yang
dominan dalam hubungan bisnis (Ramaseshan et al., 2006; Too et al., 2001; Kaufman et al.,
16
2006 ). Hingley (2005) secara eksplisit menyebutkan bahwa kesenjangan kekuasaan mendorong
terjadinya fenomena ketidakadilan perdagangan.
Posisi teoritis kedua adalah kesenjangan kekuasaan berpengaruh positif pada kinerja
perusahaan. Pendapat ini didukung oleh El Ansery dan Stern (1972), Butaney dan Wortzel
(1998), Kim (2000) dan Doherty dan Alexander (2006). Argumen posisi teoritis kedua ini adalah
kesenjangan kekuasaan mendorong perusahaan yang dominan untuk menggunakan strategi
pengaruh untuk kepentingan bersama (Kim, 2000). Doherty dan Alexander (2006) memberikan
contoh secara eksplisit dalam hubungan antara waralaba asing dengan pemasoknya di Inggris.
Perusahaan waralaba menggunakan kekuasaan non-koersif untuk mendorong pemasoknya
memenuhi standar kualitas yang disepakati dan pada akhirnya para pemasok mampu
memperkuat standardisasi produknya (Doherty dan Alexander, 2006).
Kontribusi teoritis dari penelitian ini adalah memperkuat posisi pertama yaitu kesenjangan
kekuasaan berpengaruh negatif pada kesenjangan kekuasaan dan kinerja perusahaan. Hal ini
didasari temuan dalam studi pendahuluan dengan latar industri ritel dan industri mebel di Jawa
Tengah yaitu posisi perusahaan yang tereksploitasi tidak diuntungkan dari sisi pertumbuhan
perusahaan dalam jangka panjang (Setyawan, 2007b; Setyawan et al, 2007). Studi lain yang
dilakukan Bird (1999) dan Kurniati dan Yanfitri (2010) menunjukkan 80 persen industri di
Indonesia mempunyai struktur pasar oligopoli atau dikuasai oleh beberapa perusahaan besar saja,
sehingga kekuasaan secara umum berada di tangan pemain utama dalam industri tersebut. Hal ini
menjadi alasan dari posisi riset ini yang bertujuan memperkuat argument bahwa kesenjangan
kekuasaan berpengaruh negatif pada kinerja perusahaan yang tereksploitasi. Kontribusi teoritis
dari penelitian ini adalah melengkapi argumen dari teori Kekuasaan dan Pemasaran
Keterhubungan dalam kondisi struktur pasar yang cenderung oligopoli.
17
Palmer et al.,(2005) mengklasifikasikan aliran pemikiran dalam penelitian keterhubungan
menjadi tiga yaitu aliran pemikiran Nordic, Industrial Marketing and Purchasing (IMP) dan
Anglo Australian. Aliran pemikiran Nordic menitikberatkan pada diskusinya pada kualitas
pelayanan untuk meningkatkan kualitas hubungan bisnis dan memperkuat loyalitas. Aliran IMP
menekankan pembahasan pada karakteristik khusus dan faktor-faktor yang menyebabkan
keberlanjutan dari hubungan bisnis antar organisasi. Aliran pemikiran ini didominasi oleh riset
dengan latar business to business (B2B). Aliran pemikiran Anglo Australian menekankan
diskusinya pada kualitas dan layanan konsumen (Palmer et al., 2005).
Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis pada aliran pemikiran IMP dengan
melakukan analisis karakteristik hubungan bisnis antara pemasok dan peritel. Penelitian ini juga
memberikan kontribusi teoritis pada aliran IMP dengan penggunaan unit analisis dyadic dalam
pengujian model estimasinya. Lindgreen (2001) menyebutkan bahwa dalam penelitian
pemasaran keterhubungan, konstruk komitmen dan kepercayaan mempunyai sifat dyadic secara
alamiah. Kontribusi teoritis dari penelitian ini memperkuat konsep dyadic dari konstruk
kepercayaan dan komitmen yang merupakan dasar dari Teori Pemasaran Keterhubungan.
1.6.2 Manfaat Praktis dan Kebijakan
Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi dalam industri ritel dan industri pengolahan yang
menjadi pemasok bagi industry ritel. Manfaat praktis bagi pelaku industri adalah manajer atau
pemilik memahami dan menggunakan strategi pengaruh bagi mitra bisnis mereka. Perbedaan
kekuasaan antar perusahaan yang menjalin hubungan bisnis adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan karena ada kalanya sebuah perusahaan harus menjalin hubungan bisnis dengan
mitra bisnis perusahaan besar untuk meningkatkan kinerja ekonominya. Pemahaman, identifikasi
dan kemampuan menggunakan strategi pengaruh akan memperkuat posisi tawar menawar pelaku
18
bisnis terhadap mitra bisnis mereka. Hal ini bisa menghindarkan pebisnis dari resiko
tereksploitasi oleh kekuasaan mitra bisnis yang dominan.
Pemerintah sebagai penyusun dan penegak regulasi bisnis bisa mengambil manfaat dari
penelitian ini. Penelitian ini bisa menjadi dasar bagi pemangku kebijakan untuk menyusun dan
menegakkan sebuah kebijakan sebagai dasar bagi kemitraan bisnis antara perusahaan besar dan
UMKM. Dalam penelitian ini ada tiga kemungkinan pola hubungan bisnis antar perusahaan
dilihat dari ukuran perusahaan, yaitu hubungan bisnis antar perusahaan besar, antara perusahaan
besar dan UMKM dan antar perusahaan UMKM. UMKM beresiko tereksploitasi oleh
perusahaan besar karena disparitas kekuasaan antar dua perusahaan tersebut. Eksploitasi
ekonomi dalam jangka panjang terhadap UMKM bisa mengganggu perkembangan bisnis
UMKM bersangkutan. Dalam pola hubungan bisnis seperti ini, pemerintah bisa menyusun dan
menegakkan regulasi yang melindungi UMKM dari praktek perdagangan yang mengeksploitasi
mereka.
19
Download