DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb) AKIBAT HUJAN ASAM

advertisement
DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb)
AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI
TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN
DIDID DIAPARI
(P 062020031)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala
pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb)
AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI
TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan
komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi
ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sejenis di Perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2009
DIDID DIAPARI
NRP P062020031
ABSTRACT
DIDID DIAPARI. The Impact of Lead (Pb) Pollution as Result of Acid Deposition
on Local Male Sheep Production. Supervised by: H.M.H. BINTORO, JAJAT
JACHJA AND KHAIRIL ANWAR NOTODIPUTRO.
Since the year of 2000, UNEP (United Nations of Environmental Programe)
identifies that the ever increasing Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4) and
Nitrous Oxide (N2O) have caused global warming. In addition, carbon dioxide
(CO2) and nitrous oxide (N2O) along with sulphure oxide (SOx) and hidrogen
sulfide (H2S) gasses have caused acid deposition. In turns, this deposition can
stretch out endlessly heavy metal like lead and is accumulated in roughages which
makes it harmful for animal production. In the other case the meat supply is still
insufficient in Indonesia. Therefore, to fulfill the supply several efforts should be
carried out. One of them is by increasing sheep production which is based on the
reason that goat is prolific and high litter size. Howefer this effort cannot be
achieved due to the presence of acid deposition and condition which bind heavy
metals such as lead. These two substances will result in the decreasing daily gain of
sheep because of the Pb accumulation in liver, kidney, as well as flesh. Accordingly,
this research is aimed at:
a. finding out whether acid rain has taken place in Bogor Regency area and
subsequently finding out the Pb content in soil and roughage in this region.
b. predicting corelation Pb content between rain and soil, as well as between
soil and roughage in the Bogor regency area.
c. studying the acid impact and Pb in the sheep ration toward sheep daily gain
and toward the Pb content in liver, kidney and flesh.
The result showed that in Bogor regency area acid deposition on had taken place
the dry season but not in the wet season. The Pb content both in the air and in the
soil had not yet been affected by acid rain. Pb content from the soil did not affect
the content in the roughage. The dry and organic matter digestibility of the acid
ration is lower than that of the non-acid ration. The dry and organic matter
digestibility of the Pb-ration is lower than that of the non-Pb-ration. Similarly, the
VFA production of acid ration was lower than that of the non-Acid ration. On the
contrary, the N-NH3 production of acid ration was higher than that of the no-acid
ration. The Pb ration has higher N-NH3 production than that of the non-Pb ration.
Acid ration decreased daily gain, but ration of high Pb-content did not affect the
daily gain. Acid ration did not increase Pb content in the kidney but not in the liver
and flesh. However, high Pb content in the ration will increase the Pb content of
liver and kidney but not in the flesh.
Keywords:Acid rain, Pb, daily gain, liver, kidney, flesh.
RINGKASAN
DIDID DIAPARI. Dampak Pencemaran Timbal (Pb) akibat Hujan Asam terhadap
Produksi Ternak Domba Lokal Jantan. Dibimbing oleh: H.M.H. BINTORO,
JAJAT JACHJA dan KHAIRIL ANWAR NOTODIPUTRO.
Meningkatnya produksi gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous
oksida (N2O) sebagai sumber gas-gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global.
Disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan
nitrous oksida (N2O) merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersamasama dengan gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S). Air hujan yang asam akan
mudah melarutkan logam-logam berat termasuk Pb. Bila kandungan Pb di air hujan
tinggi karena Pb terlarut dalam air hujan yang asam, maka memungkinkan tanah
akan tercemar Pb dan memungkinkan hijauan makanan ternak juga banyak
mengandung Pb. Bila hijauan makanan ternak terkonsentrasi Pb dalam jumlah yang
tinggi, maka akan mengganggu proses metabolisme ternak dan menurunkan
produksi ternak disamping juga akan meningkatkan kadar Pb dalam organ tubuh
ternak, termasuk dagingnya.
Penelitian tentang keberadaan hujan asam dan pencemaran Pb di Kabupaten
Bogor dilakukan mulai pada pertengahan bulan Maret 2006 sampai akhir bulan Mei
2007. Tempat penelitian keberadaan hujan asam dan pencemaran Pb di Kabupaten
Bogor diwakili Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi,
Jasinga, Mega Mendung dan Kecamatan Cisarua. Pengambilan contoh air hujan
dilakukan sebanyak tiga kali setiap kecamatan untuk dianalisis pH dan Pb. Untuk
mengetahui pencemarannya dilakukan pengambilan contoh tanah permukaan dan
kedalaman 20 - 30 cm serta Hijauan Makanan Ternak (HMT). Contoh-contoh
tersebut diambil dari masing-masing kecamatan sebanyak tiga contoh untuk
dianalisis kandungan Pb-nya. Pengukuran pH contoh air hujan dilakukan in-situ atau
di tempat kejadian hujan dengan menggunakan pH-meter. Analisis Pb dilakukan
dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spechtrophotometer) di
Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan dilakukan uji Z.
Penelitian berlanjut dengan menggunakan hewan percobaan yang dimulai awal
bulan Juni 2007 hingga berakhir pada akhir bulan November 2007.
Penelitian dengan hewan percobaan dilakukan secara in-vitro dan in-vivo.
Teknik in-vitro merupakan upaya penelitian skala laboratorium, sedang teknik invivo menggunakan 12 ekor domba lokal jantan dengan bobot badan berkisar antara
13,9 – 16,5 kg/ekor. Mengingat kisaran bobot badan yang lebar, maka domba
dikelompokkan menjadi 3 kelompok sebagai ulangan dan diberi perlakuan faktor
asam dengan dua level, yaitu kontrol dan pH 4,1 dan faktor Pb dengan dua level,
yaitu kontrol dan Pb 200 ppm, sehingga ada empat perlakuan, yaitu: perlakuan 1
(ransum tanpa cairan asam dan Pb) perlakuan 2 (ransum ditambah cairan asam
dengan pH 4,1 dan tanpa Pb0, perlakuan 3 (ransum tanpa cairan asam dan
ditambahkan Pb 200 ppm), perlakuan 4 (ransum dengan cairan asam pH 4,1 dan
ditambah Pb 200 ppm). Rancangan penelitian in-vivo menggunakan Rancangan
Kelompok berpola faktorial 2 x 2 dengan 3 kelompok sebagai ulangan. Penelitian
in-vitro menggunakan Rancangan Acak Lengkap berpola faktorial 2 x 2 dengan 3
ulangan. Peubah penelitian in-vitro diantara- nya: kecernaan bahan kering (KcBK)
dan kecernaan bahan organik (KcBO), produksi VFA (Volatile Fatty Acid) serta
produksi N-NH3 (nitrogen amoniak). Peubah penelitian in-vivo diantaranya:
konsumsi bahan segar dan bahan kering, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan,
rasio efisiensi protein dan kandungan Pb pada feses, darah, hati, ginjal dan daging
domba.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Bogor belum terjadi
hujan asam pada musim hujan dengan rataan pH 6,05 + 0,40; akan tetapi pada
musim kemarau sudah terjadi hujan asam dengan rataan pH 5,09 + 0,44. Tidak ada
hubungan keasaman air hujan dan keasaman tanah dan air hujan yang asam tidak
melarutkan Pb. Keasaman air hujan tidak melarutkan Pb tanah dan tidak ada
hubungan antara Pb air hujan dan Pb tanah, juga antara Pb tanah dengan Pb hijauan
makanan ternak
Kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan berasam lebih rendah
daripada pakan tanpa asam, Begitu pula kecernaan bahan kering dan bahan organik
pakan bertimbal lebih rendah daripada pakan tak bertimbal. Nilai rataan kecernaan
bahan kering pakan berasam 66,08% dan pakan bertimbal 66,86%, sedang
kecernaan bahan organik pakan berasam 66,59% dan pakan bertimbal 67,81%.
Produksi VFA pakan berasam lebih rendah daripada pakan tanpa asam, dengan
rataan nilai VFA pakan berasam 53,50 mM dan pakan tak berasam 85,33 mM..
Sebaliknya produksi N-NH3 pakan berasam lebih tinggi daripada pakan tanpa asam
dan pakan bertimbal lebih tinggi dari pakan tanpa Pb, dengan rataan nilai N-NH3
untuk pakan berasam sebesar 7,16 mM dan pakan bertimbal 7,54 mM.
Konsumsi bahan segar dan bahan kering semua ransum perlakuan relatif
sama, akan tetapi pertambahan bobot badan domba jantan yang diberi ransum
berasam lebih rendah daripada domba yang diberi ransum tanpa asam. Rataan
pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,060
kg/ekor/hari, sedang yang tanpa asam sebesar 0,097 kg/ekor/hari. Domba yang
diberi ransum bertimbal pertambahan bobot badannya tidak berbeda dengan ransum
tanpa timbal. Mengingat pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum
berasam lebih rendah daripada ransum tanpa asam, sedang konsumsi bahan kering
relatif sama, maka efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein dari domba yang diberi
ransum berasam lebih rendah daripada ransum tanpa asam. Perlakuan penambahan
Pb dalam ransum tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, efisiensi pakan
dan rasio efisiensi protein. Penambahan Pb dalam ransum domba tidak banyak
diserap dalam saluran pencernaannya, karena kandungan Pb dalam feses jauh lebih
tinggi daripada pemberian Pb dalam ransumnya. Pemberian Pb dalam ransum hanya
terakumulasi dalam darah, hati dan ginjal, sedang ransum yang berasam hanya akan
mengakumulasi Pb dalam ginjal saja, tanpa terakumulasi dalam darah, hati, daging
dan feses. Dengan demikian pencemaran air asam dan Pb tidak membahayakan
kehidupan ternak domba dan tidak menyebabkan pengaruh pada manusia yang
mengkonsumsi daging domba khususnya dan secara umum daging ruminansia.
Kata-kata kunci: Hujan asam, Pb, pertambahan bobot badan, hati, ginjal, daging.
@ Hak Cipta milik IPB Tahun 2009
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan satu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DAMPAK PENCEMARAN TIMBAL (Pb)
AKIBAT HUJAN ASAM TERHADAP PRODUKSI
TERNAK DOMBA LOKAL JANTAN
DIDID DIAPARI
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
Pada Program studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Illahi rabbi karena berkat nikmat, rahmat dan
karuniaNYA penelitian ini bisa diselesaikan walaupun membutuhkan waktu yang
relatif lama. Yang mendasari pemilihan topik dalam penelitian ini adalah bahwa
pemanasan global sudah terjadi yang disebabkan adanya gas-gas karbon dioksida
(CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Gas-gas sumber pembentuk
pemanasan global tersebut sebagian dapat menyebabkan hujan asam. Disisi lain
keasaman air akan mudah mengikat logam berat yang berbahaya bagi kehidupan
termasuk ternak, sehingga perlu diteliti dampaknya terhadap ternak yang pada
akhirnya dikhawatirkan berdampak pada manusia yang mengkonsumsi ternak.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada
Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, MAgr.; Dr. Ir. H. Jajat Jachja, MAgr. dan
Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS. berturut-turut selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam menyelesaikan usulan penelitian dan disertasi ini. Penulis menghaturkan
banyak terimakasih atas arahan, bimbingan dan nasihat almarhum Prof. Dr. Ir. H.
Muhammad Sri Saeni, MS yang tak sempat menyaksikan dan memantau hasil
penelitian ini, semoga amalan dan ibadah almarhum diterima oleh Allah SWT,
mendapatkan tempat yang lapang di alam kuburnya dan mendapatkan raudatul
jannah di akhirat nanti. Amin. Penulis juga mengkhaturkan banyak terimakasih atas
nasihat dan upaya Prof.Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, MAgr. dalam membesarkan
hati penulis yang sempat lemah semangat untuk dapat menyelesaikan pendidikan
program doktor. Begitu pula ucapan terimakasih dan mohon maaf kepada Prof. Dr.
Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Pascsarjana IPB yang sempat
penulis ganggu untuk urusan keringanan biaya SPP.
Tak lupa juga ucapan
terimakasih penulis kepada Dr. Ir. H. Jajat Jachja, MAgr. yang tidak menganggap
penulis sebagai bimbingannya, akan tetapi sebagai teman yang membukakan pintu
dengan kehadiran dan gangguan penulis baik di kantor maupun di rumah.
Ucapan terimakasih juga penulis khaturkan kepada Prof. Dr. Ir. H. Surjono
H. Sutjahjo, MS. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan yang telah membukakan hati penulis bahwa pendidikan program doktor
bukan hanya sekedar menguji kemampuan intelegensia saja akan tetapi juga
penerpaan mental bagi penulis, termasuk juga penulis salut dan bangga kepada Prof.
Dr. Ir. H. Surjono H. Sutjahjo, MS. yang telah menertibkan dan menjaga nama baik
program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang dahulu dikenal
dengan program studi yang relatif gampang untuk meraih titel, juga tak lupa kepada
Dr. Drh. Akhmad Arif Amin atas segala bantuannya dan kemudahannya, mudahmudahan kita bisa menjaga nama baik program studi PSL.
Penulis juga mengkhaturkan terimakasih kepada Bapak Dekan Fakultas
Peternakan IPB yang waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Soedarmadi, MSc. yang
telah memperkenankan penulis melanjutkan kuliah program Doktor di Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Ucapan terimakasih Kepada
Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Peternakan IPB yang telah memfasilitasi
penulis dan membantu segala sesuatunya sehubungan dengan kuliah program
Doktor penulis termasuk dalam pengadaan domba.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Bagus Priyo
Purwanto, MAgr. Dan Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA sebagai penguji luar
sidang komisi pada ujian tertutup, Berikut kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat,
MAgrSc. dan Dr. Sri Listyarini, Med. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka
yang telah memberikan masukan dan perbaikan disertasi ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus tak lupa penulis sampaikan
kepada:
1. Dosen-dosen penulis (Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkassi, Dr. Ir.
Kartiarso, MSc. dan Bapak Ir. Kukuh Budi Satoto, MS), senior penulis (Dr.
Ir. Komang G. Wiryawan) serta teman penulis (Ir. Lilis Khotidjah, MS) di
Bagian Nutrisi Ternak Daging dan kerja yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian serta terimakasih atas bantuan
moril dan materiilnya selama ini.
2. Bapak Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi pakan Fakultas
peternakan beserta jajarannya yang telah memfasilitasi penulis dalam
penelitian dan sidang komisi.
3. Bapak Harjadinata dan Bapak misbah serta Heri yang banyak membantu
penulis meneliti di kandang.
4. Adik angkat penulis (Sahwi) dan anak penulis Rani yang banyak membantu
penelitian ini baik di Kandang maupun selama penulis ujian dalam rangka
penyelesaian program doktor.
5. Bapak-bapak pengelola Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang telah
memperkenankan penulis kuliah program S3 di program Pascasarjana di
IPB, juga kepada bapak-bapak pengelola DAMANDIRI yang telah
memberikan bantuan dana untuk penyelesaian dan perbanyakan disertasi.
6. Bapak dan Ibu pengelola Media Peternakan yang tak bisa penulis sebutkan
satu per satu yang telah memperbaiki dan mengedit makalah penulis untuk
diterbitkan.
7. Bapak dan Ibu yang turut mendoakan keberhasilan penulis yang juga tak bisa
penulis sebutkan namanya satu per satu dalam prakata ini
Terakhir ucapan terimakasih dan salam hangat penulis sampaikan kepada
istri tercinta Susiati, SH. yang telah memberikan perhatian siang dan malam,
memberikan dorongan moril dan motivasi yang sangat berharga sehingga semangat
terus membara, termasuk juga bantuan materiel. Tak lupa kepada anak-anak penulis
Fiqria Khoirunnisa, Wildan Nur Rahman dan Nadia Firdausa atas bantuan morilnya
dan mudah-mudahan bisa menjadi anak yang beramal baik, patuh taat dan beriman
kepada Allah SWT, menjadi sholekha–sholekha dan sholeh, menjadi anak-anak
yang cerdas-cerdas berguna terutama bagi agama, nusa dan bangsa. Amin
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumenep – Madura pada tanggal 17 juni 1962, sebagai
putra kedua dari tujuh orang bersaudara dan dari pasangan ayahanda Bapak H.
Roebyanto Almarhum dan ibunda Hj. Rafiatul Adadiyah Almarhumah. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Kalianget Timur II di Kalianget –
Sumenep tahun 1973, SMP Negeri Sumenep tahun 1976 dan SMA Negeri Sumenep
tahun 1980. Penulis lulus sarjana peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor pada tahun 1984 dan menjadi Technical Servisor di PT Ayam
Manggis (perusahaan pembibitan ayam) pada tahun 1985 – 1986. Pada tahun 1987
menjadi Manager Produksi di PT Ayam Manggis Grand Parent Stock dan pada
tahun 1988- 1991 menjadi Manager Produksi di PT.Sinar Puspita Jaya (perusahaan
peternakan ayam breeding dan komersial). Pada tahun 1991 diangkat menjadi staf
pengajar pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor sampai sekarang.
Penulis menyelesaikan pendidikan
Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program
Studi Ilmu Ternak pada tahun 1996. Sampai sekarang penulis masih mengajar di
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor dan di Fakultas Pertanian Terpadu Universitas Al-Zaytun
Indonesia.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
……………………………………………….........
xvi
…………………………………………..........
xviii
………………………………………..........
xx
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.
1.6.
1.7.
………………………………………….........
Latar Belakang
…………………………………...........
Tujuan Penelitian
………………………………...........
Kerangka Pemikiran
………………………..…............
Perumusan Masalah
………………………..…............
Hipotesis
……………………………………................
Manfaat Penelitian
……………………………............
Novelty (Kebaruan)
………………………..….............
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
1
1
7
7
8
12
13
13
………………………………….........
14
Logam Berat dan Pencemarannya
…………................
Logam Berat bagi Tanaman …………………..…...........
Logam Berat bagi Hewan dan Ternak ………..…...........
Timbal (Pb) bagi Ternak .....................………..…...........
Timbal (Pb) bagi Manusia ....................………..…..........
14
16
17
20
23
III. METODE PENELITIAN
…………………………….............
26
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
……………….............
3.2. Bahan dan Alat
…………………………………........
3.3. Rancangan Penelitian
…….............………….............
26
28
28
3.3.1. Tahap Pertama: Pengamatan pH Air Hujan
dan Contoh Air ..............................................
3.3.2. Tahap Kedua: Analisis Timbal (Pb) ..………
3.3.3. Tahap Ketiga: Penelitian In-vitro
..…………
3.3.3.1. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ............
3.3.3.2. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) Total ………
3.3.3.3. Produksi N-NH3 (N-Amoniak)
...............….........
3.3.4. Tahap Keempat: Penelitian in-vivo …………
3.3.4.1. Konsumsi Pakan Bahan Segar dan Bahan Kering ...
3.3.4.2. Pertambahan Bobot Badan ...........................................
3.3.4.3. Efisiensi Pakan .............................................................
3.3.4.4. Rasio Efisiensi Protein .................................................
29
30
33
34
35
35
37
40
41
41
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……..……..................................
42
4.1. Pengamatan pH ......................................................... ......
4.1.1. Pengamatan pH Air Hujan ..................................
4.1.2. Pengamatan pH Tanah ........................................
4.1.3. Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah ...............
44
46
52
54
4.2. Analisis Pb .......................................................................
4.2.1. Kandungan Pb Air Hujan .....................................
4.2.1.1. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim
Hujan ......................................................
4.2.1.2. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Mmusim
Kemarau ..................................................
4.2.2. Kandungan Pb Tanah ...........................................
4.2.2.1 Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan
Musim Hujan ...........................................
4.2.2.2 Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan
Musim Kemarau .........................................
4.2.3. Kandungan Pb Hijauan Makanan Ternak (HMT)
dan Hubungannya dengan pH dan Pb Tanah
Permukaan ...........................................................
4.3. Penelitian In-vitro .............................................................
56
58
4.3.1. Kecernaan Bahan Kering (KcBk) dan Bahan
Organik (KcBO) ...................................................
4.3.2. Produksi Volatile Fatty Acid (VFA ) ...................
4.3.3. Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3) ..................
4.4. Penelitian In-vivo .............................................................
4.4.1. Konsumsi Bahan Segar dan Bahan Kering pada
Domba Pemeliharaan
.........................................
4.4.2. Pertambahan Bobot Badan Domba Pemeliharaan
4.4.3. Efisiensi Pakan Domba ............................................
4.4.4. Rasio Efisiensi Protein .........................................
4.4.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses, Darah,
Hati, Ginjal dan Daging. .......................................
4.4.5.1. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses Domba .............
4.4.5.2. Kandungan Timbal (Pb) dalam Darah Domba .........
4.4.5.3. Kandungan Timbal (Pb) dalam Hati Domba .............
4.4.5.4. Kandungan Timbal (Pb) dalam Ginjal Domba .............
4.4.5.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Daging Domba .........
60
61
60
63
65
66
70
70
75
77
79
79
82
85
87
88
88
88
89
92
93
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………....................
5.1. Kesimpulan ......................................................................
5.2. Saran
............................................................................
95
95
95
VI. DAFTAR PUSTAKA
……………………………....……......
97
VII.LAMPIRAN
………………………………………...
102
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1. Kandungan Logam dan Pembuangan Limbah dalam
Penggunaan Energi Batu Bara dan Minyak di Eropa
Tahun 1979 ..............................................................................
15
2. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak
21
...................
3. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Berdasarkan Bahan Kering
37
4. Kandungan Zat Makanan Ransum Berdasarkan Bahan Kering
38
5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan Musim Hujan dan
Kemarau dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor ......
44
6. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm
di Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di
Kabupaten Bogor, Satu Kecamatan di Depok dan Bekasi ......
50
7. Kandungan Pb Contoh Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau
dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) ...........
57
8. Kandungan Pb Contoh Tanah Permukaan dan Kedalaman
20 cm dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm) ......
60
9. Kecernaan Bahan Kering (%)
68
10. Kecernaan Bahan Organik (%)
.....................................................
......................
11. Produksi VFA Ransum Penelitian (mM)
70
......................................
76
..................................
75
13. Konsumsi Rumput dan Konsentrat Bahan Segar (Kg/ekor/hari) .....
77
14. Konsumsi Rumput dan Konsentrat Bahan Kering (Kg/ekor/hari) ...
78
15. Pertambahan Bobot Badan Domba (Kg/ekor/hari)
.......................
80
16. Efisiensi Pakan Domba (%) ............................................................
82
17. Rasio Efisiensi Protein (%) ...............................................................
84
18. Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm)
..................................
86
19. Konsentrasi Pb dalam Darah Domba (ppm)
.................................
89
12. Produksi N-NH3 Ransum Penelitian (mM)
20. Konsentrasi Pb dalam Hati Domba (ppm)
................................
91
21. Konsentrasi Pb dalam Ginjal Domba (ppm)
............................
92
22. Konsentrasi Pb dalam Daging Domba (ppm)
..........................
94
DAFTAR GAMBAR
No
Judul
Halaman
1. Konsentrasi Gas Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Nitrous
Oksida (N2O) dari Pra Industri sampai Tahun 2000
…………...
2
2. Kerangka Pemikiran
9
……………………………………………
3. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Tanah
.................................
31
4. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Hijauan Makanan Ternak, Feses,
Darah, Hati, Ginjal dan Daging Domba .......................................
32
5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Hujan pada
Dataran Rendah ..............................................................................
47
6. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Kemarau pada
Dataran Rendah ............................................................................
47
7. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Hujan pada
Dataran Tinggi ..............................................................................
48
8. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan di Musim Kemarau pada Dataran
Tinggi .............................................................................................
49
9.Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Kemarau
di Kabupaten Bogor ......................................................................
49
10. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman
20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor .................
51
11. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman
20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor ................
52
12. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan
Dataran Rendahdi Kabupaten Bogor ..............................................
53
13. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan
Dataran Tinggidi Kabupaten Bogor ...............................................
53
14. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada
Musim Hujan
................................................................................
55
15. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada
Musim Kemarau
............................................................................
55
16. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Hujan
di Kabupaten Bogor
.....................................................................
58
17..Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Kemarau
di Kabupaten Bogor .......................................................................
59
18..Hubungan Pb Air Hujan Musim Hujan dan Tanah Permukaan
di Beberapa Kecamaatan di Kabupaten Bogor ..............................
61
19. Hubungan Pb Tanah Permukaan dan kedalaman 20 -30 cm
di Beberapa di Kabupaten Bogor ..................................................
62
20. Hubungan pH Air Hujan Musim Hujan dan Pb Tanah
Permukaan di Beberapa di Kabupaten Bogor ................................
64
21. Hubungan pH Air Hujan Musim Kemarau dan Pb Tanah
Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor
.............
68
....................
94
22. Hubungan Pb Tanah dan Hijauan Makanan Ternak
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2003 (mm) ............
102
2. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor Tahun 2004 (mm) ............
102
3. Anova Kecernaan Bahan Kering Konsentrat (%)
................................
103
4. Anova Kecernaan Bahan Organik Konsentrat (%)
..............................
103
5. Anova Volatile Fatty Acid (VFA) Konsentrat (mM) ...........................
103
6. Anova N-Amoniak Konsentrat (mM)
104
...................................................
7. Anova Konsumsi Bahan Segar (Kg/ekor/hari)
....................................
8. Anova Konsumsi Bahan Kering Ransum (Kg/ekor/hari)
9. Anova Pertambahan Bobot Badan (Gram/ekor/hari)
....................
104
104
..........................
105
10. Anova Efisiensi Pakan
.........................................................................
11. Anova Rasio Efisiensi Pakan
105
...............................................................
105
12. Anova Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm) ...............................
106
13. Anova Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm) ..............................
106
14. Anova Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm) .................................
106
15. Anova Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm) .............................
107
16. Anova Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm)
.........................
107
............................................………………
108
17. Peta Kabupaten Bogor
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim sudah dirasakan oleh kebanyakan orang di dunia, termasuk
di Indonesia sebagai akibat banyaknya penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan
alih-guna lahan yang menyebabkan banyaknya produksi gas: karbon dioksida (CO2),
metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O).
Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah
kaca (GRK) yang meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari,
tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik
yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfir bumi makin
a
meningkat (Murdiyarso, 2003 ). Menurut United Nations Environment Programme
(UNEP), konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebelum pra industri relatif konstan,
yaitu berkisar 280 ppmv, tetapi pada sekitar tahun 2000 konsentrasinya sebesar 360
ppmv (Gambar 1). Kenaikannya hampir 28,6% bila dibandingkan dengan era pra
industri (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo,
2002). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sekitar tahun 1900 konsentrasi gas nitrous
oksida (N2O) relatif konstan sekitar 290 ppmv, akan tetapi pada tahun 2000 dengan
bertambah pesatnya industri, konsentrasi gas N2O meningkat menjadi 310 ppmv atau
meningkat 6,9% bila dibandingkan dengan tahun 1900 (Gambar 1) Lebih lanjut
a
Murdiyarso (2003 ) menyatakan bahwa bila pola konsumsi, gaya hidup dan
pertumbuhan penduduk tidak berubah, maka diperkirakan 100 tahun yang akan
datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua
kali lipat dari zaman pra industri yang akibatnya suhu rata-rata bumi akan meningkat
o
o
sebanyak 4,5 C dari kondisi sekarang. Dengan suhu sekarang misalkan 35 C, maka
o
o
peningkatan 4,5 C menjadi 39,5 C akan berdampak terhadap berbagai sektor
kehidupan manusia yang luar biasa, seperti: menurunnya produksi pangan,
terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, serta menyebarnya hama dan
penyakit tanaman. Untuk itu dilakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi
(Earth Summit) yang dikenal dengan nama United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun
1992. Pada konferensi tersebut para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi
Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United
Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian
dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol Kyoto tahun
1997 merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sebanyak 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012, tetapi
Amerika Serikat Serikat yang merupakan negara penyumbang gas emisi rumak kaca
terbesar dunia(36,1%)
b
(Murdiyarso, 2003 ).
yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto tersebut
Indonesia mera- tifikasi Clean Development Mechanism =
CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih = MPB sebagai implementasi dari
Protokol Kyoto tersebut.
Gambar 1. Konsentrasi Gas Karbon Dioksida (CO2), Metan (CH4) dan
Nitrous Oksida (N2O) dari Industri sampai Tahun 2000
Sumber : Kantor Meteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero Sucofindo (2002)
Gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O)
sebagai sumber gas-gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global tersebut
sangatlah sulit dikurangi mengingat negara Amerika Serikat yang menyumbangkan
36,1% keberadaan gas-gas tersebut di atmosfir menolak meratifikasi Protokol Kyoto
dan disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan
nitrous oksida (N2O) merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersamasama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S). Hujan asam terbentuk
karena adanya asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat, dan asam karbonat.
Asam-asam tersebut terbentuk dari gas-gas N2O, SOx, CO2, dan H2S yang berikatan
dengan air.
Proses pembentukan hujan sebenarnya sama dengan proses penyulingan air
yang berawal dari pemanasan air, sehingga air menguap membentuk uap air dan
dengan kondensasi karena adanya pendinginan, maka uap air jatuh membentuk air
suling, yaitu air murni yang mempunyai pH mendekati netral (pH = 7). Hal ini sama
dengan proses hujan, sehingga harusnya pH air hujan mendekati pH netral juga,
akan tetapi karena di atmosfir terdapat gas sulfur oksida seperti misalnya sulfur
trioksida (SO3) yang bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat seperti
reaksi berikut:
SO3 + H2O
H2SO4
Asam sulfat yang terbentuk bersama-sama dengan air dalam bentuk hujan
mempengaruhi pH air hujan, karena asam sulfat akan terurai seperti reaksi berikut:
H2SO4
H+ + HSO4-
Terbentuknya H+ akan menyebabkan pH hujan lebih rendah dari 7,0
(penyebab suasana asam), maka dalam kondisi normal hujan yang jatuh ke
permukaan bumi mempunyai kurang dari pH 7,0. Hujan asam terjadi bila pH air
hujan lebih rendah dari 5,6 (Saeni, 1995), dan hal ini bisa terjadi bila terdapat gasgas lain yang menyebabkan pembentukan asam-asam dan bila konsentrasi gas-gas
pembentuk asam lebih tinggi dari normal.
Gas-gas lain yang menyebabkan
terbentuk asam adalah gas NOx (berupa gas nitrogen monoksida = NO dan nitrogen
dioksida = NO2), gas SOx (berupa sulfur dioksida = SO2 dan sulfur trioksida = SO3)
dan gas hidrogen sulfida (H2S).
Gas-gas NO, NO2, SO2, SO3, dan gas H2S
dihasilkan dari:
1) Tingkah laku manusia (antropogenik) yang membakar bahan bakar fosil
(seperti batu-bara, minyak dan gas bumi) sebagai akibat dari meningkatnya
perkembangan industri dan transportasi, juga akibat dari pembakaran hutan
yang menyebabkan tanaman mati dan tidak dapat lagi memanfaatkan gas
CO2
2) Letusan gunung berapi.
Nitrogen monoksida berikatan dengan uap air membentuk asam nitrit
(HNO2) dan gas nitrogen dioksida bereaksi dengan uap air membentuk asam nitrat
(HNO3). Begitu pula gas sulfur dioksida bila bereaksi dengan uap air membentuk
asam sulfit (H2SO3) dan gas sulfur trioksida bila berikatan dengan uap air
membentuk asam sulfat (H2SO4). Baik asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam
sulfat dan hidrogen sulfida akan menurunkan pH air hujan.
Hujan asam terjadi baik secara kering (dry deposition), maupun secara basah
(wet deposition). Dry deposition merupakan hujan asam yang terjadi bila gas-gas
pembentuk hujan asam tertiup angin, badai dan jatuh ke bumi kemudian bereaksi
dengan air hujan.
Wet deposition terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam
bereaksi dengan uap air membentuk hujan asam, hanya terjadinya di atmosfir.
Penurunan pH air hujan akan memungkinkan terjadinya kondisi asam dalam
tanah dan terjadinya pencemaran logam berat. Menurut Darmono (1995) tanah yang
bersifat asam akan menaikkan daya larut logam, termasuk logam berat. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa asam-asam mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah
hitam = plumbum (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg). Logam-logam berat yang
larut seperti misalnya As, Pb, Cd dan Hg (Saeni, 1989) memungkinkan diserap oleh
tanaman. Hal ini diperkuat dengan penelitian Harahap (2004) yang menyatakan
bahwa kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh lebih tinggi di Perkebunan
Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara dari pada kandungan timbal di
akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di
Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal
pada akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik disebabkan karena
pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik lebih rendah daripada di Perkebunan Teh
Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung.
Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh pada pH tanah
yang lebih rendah menunjukkan bahwa penurunan pH tanah akan meningkatkan
kandungan timbal tanah yang larut atau timbal yang mudah diserap tanaman dan
timbal tanah yang larut dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kandungan
timbal pada tanaman. Madyiwa et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan Pb
dalam pot tanaman rumput star grass akan menyebabkan penambahan kandungan Pb
di tanaman dan menurunkan produksi rumput star grass pada waktu panen.
Kejadian tersebut tak terkecuali akan terjadi pada hijauan makanan ternak. Dengan
tingginya kandungan Pb tanah yang larut akibat tanah yang masam akan
meningkatkan kandungan timbal pada hijauan makanan ternak dan akan
menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan memungkinkan
meningkatnya kandungan timbal dalam urat daging ternak dan penurunan produksi
daging ternak. Disisi lain permintaan akan daging di Indonesia semakin meningkat
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik
(2000) Jumlah populasi penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa dengan tingkat
pertumbuhan 1,5% per tahun. Dengan meningkatnya penduduk Indonesia,
permintaan daging di Indonesia semakin meningkat yang ditunjukkan dengan
banyaknya import daging sebesar 70.626 ton pada tahun 2006 dari penyediaan
daging sebanyak 1.457.560 ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007).
Import
daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25.949 ton atau lebih dari
sepertiga import daging Indonesia, disisi lain, produksi dan konsumsi daging sapi
merupakan urutan kedua di Indonesia setelah daging ayam (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2007). Hal ini terjadi karena jumlah perusahaan peternakan ayam di
Indonesia relatif lebih banyak dibanding dengan jumlah perusahaan peternakan sapi.
Disamping itu harga daging ayam relatif lebih murah dibanding harga daging sapi,
sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah. Untuk
mengurangi kekurangan daging sapi (daging ternak ruminansia) tersebut sekaligus
membantu mengurangi kekurangan konsumsi protein hewani, maka alternatif lain
dari ternak ruminansia adalah daging domba yang perlu diupayakan melalui skala
usaha indutri, karena masih sedikitnya jumlah pengusaha industri peternakan domba
di Indonesia. Disamping itu domba bersifat prolific (beranak banyak), karena dalam
1 tahun bisa beranak dua kali, dan sekali melahirkan (litter size) bisa lebih dari satu
ekor. Hal ini ditunjukkan dari hasil data penelitian Romjali et al. (1996) bahwa
litter size domba lokal sumatera sebesar 1,54 + 0,65. Berbeda dengan sapi yang
hanya beranak satu ekor per sekali kelahiran (litter size = 1) dan hanya bisa beranak
dua kali dalam 3 tahun.
Produksi peternakan secara umum, tak terkecuali termasuk peternakan
domba, sangat tergantung pada faktor dalam dan faktor luar ternak itu sendiri.
Faktor dalam yang dimaksudkan adalah faktor genetika ternak atau faktor
pengembangannya dalam bentuk pemuliaan ternak (breeding), sedang faktor luar
yang dimaksudkan adalah faktor yang mempengaruhi ternak dari luar ternak yang
disebut dengan lingkungan (environment), baik berupa cara pemberian pakan
(feeding), manajemen atau pemeliharaan ternak maupun lingkungan alamnya.
Upaya peningkatan produksi ternak melalui breeding membutuhkan waktu yang
relatif lama dan biaya yang relatif mahal, sebaliknya upaya peningkatan produksi
ternak melalui feeding, maupun manajemen pemeliharaan ternak tidak terlalu mahal
dan relatif murah. Masalah lingkungan alam (environment) merupakan masalah
yang sulit diantisipasi terutama adanya fenomena alam.
Seperti yang telah
diutarakan sebelumnya bahwa pemanasan global sudah terjadi karena tingginya
konsentrasi gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O)
dan sebagian gas tersebut bersama-sama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen
sulfida (H2S) akan membentuk hujan asam yang memungkinkan pH tanah menjadi
asam. Keasaman tanah yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya kandungan
Pb di tanaman yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan
penurunan produksi daging ternak. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa pada
tahun 2004 terjadi banyak sekali ikan yang mati karena adanya pencemaran logam
berat di Teluk Jakarta khususnya pencemaran merkuri (Hg). Hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadi juga pada hewan lain seperti ternak domba, karena adanya
masalah seperti hujan asam (acid deposition), peningkatan jumlah industri dan
jumlah kendaraan bermotor serta pembakaran hutan.
Hal lain yang menurunkan pH air hujan disamping dihasilkannya gas-gas
pembentuk asam adalah peningkatan yang tidak normal (peningkatan secara drastis)
gas-gas pembentuk asam. Disamping hujan asam pencemaran logam berat juga
disebabkan oleh berkembangnya industri dan kendaraan bermotor. Laporan dari
Kantor Statistik Kabupaten Bogor (1989) bahwa pada tahun 1988 jumlah mobil
angkutan penumpang umum di Kabupaten Bogor yang dimiliki oleh swasta
sebanyak 91 buah, dan perusahaan industri sebanyak 425 buah, sedang laporan dari
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2007) pada tahun 2006 jumlah mobil
angkutan penumpang berjumlah 1.762 buah dan jumlah industri menjadi 31.349
buah. Peningkatan jumlah mobil angkutan penumpang sebanyak lebih kurang 18
kali lipatnya dan peningkatan jumlah industri sebanyak lebih kurang 73 kali lipatnya
memungkinkan di Kabupaten Bogor terjadi hujan asam dan menyebabkan
pencemaran logam berat sepertii As, Pb, Cd dan Hg. Untuk itu penelitian tentang
pencemaran logam berat khususnya timbal (Pb) terhadap produksi ternak domba
perlu diteliti.
1.2. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui terjadinya hujan asam di Kabupaten Bogor dan untuk
mengetahui kandungan timbal (Pb) di tanah-tanah Kabupaten Bogor dan
dalam hijauan makanan ternak yang biasa dipergunakan oleh peternak di
Kabupaten Bogor.
b. Untuk mengkaji korelasi kandungan timbal (Pb) antara Pb dalam air
hujan dan tanah; tanah dan hijauan makanan ternak.
c. Untuk mengkaji dampak timbal (Pb) dalam ransum ternak domba lokal
jantan terhadap produksinya dan mengkaji akumulasi timbal (Pb) di
feses, darah, hati, ginjal dan daging domba lokal jantan.
1.3. Kerangka Pemikiran
Perubahan iklim dunia juga menentukan terhadap perubahan cuaca setempat.
Perubahan iklim dan cuaca sangat tergantung pada kondisi setempat seperti:
peningkatan transportasi, perkembangan industri, kemajuan pertanian, pembakaran
hutan atau penebangan pepohonan. Peningkatan transportasi, perkembangan
industri, kemajuan pertanian, pembakaran hutan atau penebangan pepohonan yang
banyak akan meningkatkan akumulasi gas-gas di udara seperti karbon dioksida
(CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida
(H2S). Peningkatan gas-gas seperti (CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O) akan
menyebabkan efek rumah kaca dan mengakibatkan pemanasan global. Gas karbon
dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida
(H2S) bila berikatan dengan uap air akan membentuk asam dan menyebabkan hujan
asam. Hujan asam yang ditandai dengan rendahnya pH akan mudah melarutkan
logam-logam berat, termasuk logam-logam berat di tanah. Baik logam berat asal air
hujan maupun logam berat asal tanah yang sama-sama mudah larut memungkinkan
diserap tanaman tidak terkecuali tanaman makanan ternak yang pada akhirnya bila
dikonsumsi oleh ternak akan meengganggu metabolisme dan menurunkan produksi
ternak.
Produksi ternak dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar ternak. Faktor
dalam ternak berupa genetika ternak atau dalam pengembangan genetika ternaknya
diistilahkan dengan pemuliaan ternak (breeding), melalui perbaikan genetika
bangsa-bangsa ternak dengan cara inseminasi buatan (IB), transfer embrio, kloning
atau mutasi gen. Faktor luar ternak diistilahkan dengan lingkungan (environment)
bisa berupa feeding atau pemberian pakan pada ternak, manajemen atau cara
pemeliharan ternak dan lingkungan alam ternak atau lingkungan tempat ternak
dipelihara.
Lingkungan alam yang banyak mempengaruhi produksi ternak
diantaranya: banyaknya industri dan transportasi di sekitar tempat ternak dipelihara,
pengaruh iklim setempat baik suhu dan kelembaban, disamping kondisi hujan asam
yang diperkirakan banyak berpengaruh pada produksi ternak.
Produksi ternak khususnya produksi daging domba ditunjukkan oleh
pertambahan bobot badan domba, atau semakin tinggi pertambahan bobot badan
domba akan semakin tinggi pula produksi daging domba. Pertambahan bobot badan
domba dipengaruhi oleh proses metabolisme di dalam saluran pencernaan dan dalam
tubuh. Proses tersebut dipengaruhi oleh konsumsinya. Selanjutnya konsumsi ternak
dipengaruhi oleh cara pemberian pakannya, baik pemberian bahan makanan
tambahan (feed additif), pemberian zat perangsang tumbuh (growth promotor) yang
berupa hormon, enzim dan antibiotik serta manipulasi pakan. Konsumsi ternak
dipengaruhi oleh iklim atau cuaca, pencemaran pakan termasuk pula adanya hujan
asam.
Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi ternak disajikan dalam Gambar 2.
1.4. Perumusan Masalah
Fenomena-fenomena alam sudah mulai banyak terjadi, diantaranya:
a. Pada tahun 1980-an, Bogor merupakan kota sejuk yang hampir tiap hari hujan
dan masih terlihat sebagian minyak sayur yang ada dalam botol membeku.
Pada kenyataannya saat sekarang ini di Bogor sudah relatif panas dan
kejadian hujanpun
tidak tiap hari. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pemanasan global
sudah terjadi akibat efek rumah kaca yang ditandai dengan.
Peningkatan produksi gas-gas: karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan
nitrous oksida (N2O), seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gas rumah kaca tersebut meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya
matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau
radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga terjadi
Global Warming atau
pemanasan global seperti yang dinyatakan oleh
a
Murdiyarso (2003 ).
b. Awal bulan Mei 2004 di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati
akibat fenomena alam yang salah satunya disebabkan karena pencemaran
logam berat, yaitu logam merkuri (Hg). Hal ini dimungkinkan mengingat
hasil penelitian Rahman (2006) yang menyatakan bahwa udang dan
rajungan/kepiting yang ada di perairan Pantai Batakan dan Pantai Takisung,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan mempunyai kandungan logam
berat berupa timbal (Pb) yang tinggi, yaitu berkisar 66,995 – 96,250 ppm
untuk udang dan berkisar 75,630 – 90,515 ppm untuk rajungan/kepiting.
Nilai tersebut jauh lebih tinggi dari batas ambang yang ditentukan oleh FAO
yaitu harus kurang dari 2 ppm. Tingginya kandungan Pb di udang dan
rajungan/kepiting disebabkan karena tingginya pencemaran Pb baik di udara
maupun di laut yang terkontaminasi air hujan yang asam yang mudah
mengikat logam berat termasuk Pb.
c. Hasil penelitian Harahap (2004) yang menyatakan bahwa keasaman akan
mengikat lebih banyak timbal.
Hal itu ditunjukkan dengan tingginya
kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh
Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara daripada kandungan timbal di
akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di
Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan
timbal di akar dan daun tanaman teh yang ada di Perkebunan Teh Sidamanik
karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik mempunyai pH lebih rendah
daripada pH tanah di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di
Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung.
Dari hasil penelitian
tersebut bisa saja terjadi pada logam berat lain termasuk air raksa yang ada di
Teluk Jakarta. Mengingat sifat dari air raksa yang sangat berbahaya dan
langsung dapat menyebabkan kematian pada makhluk hidup termasuk ikan,
maka di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati pada tahun 2004.
Teluk Jakarta banyak menampung limbah dari beberapa industri, termasuk
limbah perairan yang tercemar limbah industri, sehingga kejadian keracunan
air raksa di Teluk Jakarta bisa terjadi.
d. Pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang
dikenal dengan nama United Nations Conference on
Environment and
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992,
para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian
dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997 yang merupakan
dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak
5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012. Seharusnya
pada tahun 2008 pemanasan global tidak terjadi, akan tetapi pemanasan
global sudah terjadi yang salah satu penyebabnya adalah Amerika Serikat
penyumbang sebanyak 36,1% gas emisi rumak kaca terbesar dunia menolak
b
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut (Murdiyarso. 2003 ) dan dari data
laporan pada tahun 2000 konsentrasi gas CO2 meningkat menjadi 360 ppmv
atau meningkat 28,6 % dari tahun 1900 dan konsentrasi gas nitrogen oksida
meningkat mencapai 6,9% dari pra industri, seperti terlihat pada Gambar 1
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo,
2002).
Dari keempat contoh kasus tersebut adalah suatu hal yang mungkin apabila
kasus dampak perubahan iklim khususnya hujan asam (acid deposition) dan
pencemaran logam berat akan dan sudah terjadi terutama di Kabupaten Bogor,
karena wilayah industri lebih banyak terdapat di Kabupaten Bogor daripada di Kota
Bogor. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Ciawi pada
tanggal 11 agustus 2005, tepatnya pada lebih kurang pukul 1600 waktu Indonesia
bagian barat, air hujan yang ditampung mempunyai pH sebesar 4,4 dan sebagai
perbandingan pada tanggal yang sama, tepatnya pada lebih kurang pukul 1700 waktu
Indonesia bagian barat, di Kota Depok dilakukan penampungan air hujan dan
mempunyai pH sebesar 4,5.
Dengan demikian dari data tersebut memungkinkan Kabupaten Bogor dan
Kota Depok sudah terjadi hujan asam. Menurut Darmono (1995) kondisi asam
mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum (Pb), kadmium
(Cd) dan merkuri (Hg). Mengingat Kabupaten Bogor memungkinkan terjadi hujan
asam dan menurut Darmono (1995) kondisi asam akan mengikat logam-logam
berat, seperti halnya yang dinyatakan oleh Saeni (1995), maka Kabupaten Bogor
memungkinkan terjadinya pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat di
tanah dan air tanah akan berakumulasi di hijauan makanan ternak. Timbal yang
terakumulasi dalam hijauan makanan ternak memungkinkan akan terakumulasi di
tubuh ternak yang pada akhirnya juga akan terakumulasi di tubuh manusia, sehingga
permasalahannya:
a. Apakah hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim
hujan maupun pada musim kemarau?.
b. Apakah Air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau mengikat
timbal (Pb)?.
c. Apakah keasaman air hujan mempengaruhi keasaman tanah dan
memungkinkan terjadi pencemaran timbal (Pb) di tanah.
d. Apakah kandungan timbal (Pb) di tanah mempengaruhi kandungan
timbal (Pb) di hijauan makanan ternak di Kabupaten Bogor.
e. Apakah pencemaran timbal (Pb) di hijauan makanan ternak, akan
mempengaruhi kandungan timbal (Pb) di feses, darah, hati, ginjal dan
daging ternak domba.
f. Apakah pencemaran timbal (Pb) mempengaruhi produksi ternak domba,
khususnya terhadap pertambahan bobot badan ternak domba?.
1.5. Hipotesis
a. Hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim hujan
maupun pada musim kemarau.
b. Air hujan yang asam akan meningkatkan kandungan timbal (Pb) air
hujan.
c. Keasaman
air
hujan
akan
menyebabkan
keasaman
tanah
dan
menyebabkan pencemaran timbal (Pb) dalam tanah.
d. Tanah yang mengandung timbal (Pb) lebih banyak akan terakumulasi
dalam hijauan makanan ternak.
e. Ransum
ternak
yang
tinggi
kandungan
timbalnya
tidak
akan
meningkatkan kandungan timbal (Pb) dalam feses, tetapi akan
terakumulasi pada darah, hati, ginjal dan daging ternak domba lokal
jantan.
f. Kandungan timbal (Pb) dalam ransum ternak yang tinggi akan
menurunkan produksi ternak khususnya mengurangi pertambahan bobot
badan ternak domba lokal jantan.
1.6. Manfaat Penelitian
a. Sebagai informasi awal pengaruh pencemaran logam berat terhadap
metabolisme dan pertambahan bobot badan domba, sehingga penelitian
lanjutan dapat dilaksanakan tentang upaya meminimalkan dampak
pencemaran logam berat terhadap pertambahan bobot badan dan
mengurangi akumulasi logam berat dalam tubuh ternak.
b. Untuk mengantisipasi terjadinya pencemaran logam berat dalam rangka
upaya peningkatan produksi ternak khususnya, dan umumnya untuk
pengembangan peternakan.
c. Sebagai informasi tentang pencemaran logam berat sehubungan dengan
kesehatan penduduk di Bogor khususnya dan umumnya untuk kehidupan
manusia.
d. Sebagai masukan bagi instansi-instansi terkait termasuk dalam hal ini
bagi Dinas Pertanian, sub Dinas Peternakan dan Perikanan Laut di Bogor
dan secara umum Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan.
1.7. Novelty (Kebaruan)
Penelitian tentang hujan asam termasuk juga penelitian tentang pencemaran
timbal (Pb) terhadap tanaman sudah dilakukan, akan tetapi penelitian pencemaran
timbal sebagai akibat dari adanya hujan asam dan kaitannya dengan pencemaran
timbal dalam ransum ternak, dan akumulasinya dalam tubuh ternak serta bagaimana
pencemaran timbal mempengaruhi proses metabolisme dan pertambahan bobot
badan ternak domba belum dilakukan. Untuk itu penelitian tentang pencemaran
timbal dalam ransum ternak terhadap produksi ternak domba perlu untuk diteliti.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Logam Berat dan Pencemarannya
Logam berasal dari bumi yang bisa berupa bahan organik dan bahan anorganik Diantara sekian banyak logam, ada yang keberadaannya di dalam tubuh mahluk
hidup baik pada tanaman, hewan atau ternak dan manusia merugikan bahkan
beracun.
Logam yang dimaksud umumnya digolongkan pada logam berat.
Menurut Saeni (1989) bahwa yang dimaksud dengan logam berat adalah unsur yang
mempunyai bobot jenis lebih dari 5 g/cm3 yang biasanya terletak di bagian kanan
bawah sistem periodik diantaranya: ferum (Fe), timbal (Pb), krom (Cr), kadmium
(Cd), seng (Zn), tembaga (Cu), air raksa (Hg), mangan (Mn) dan arsen (As).
Pencemaran logam-logam berat diawali dari proses pertambangan yang
kemudian dicairkan dan dimurnikan menjadi logam-logam murni. Pertambangan
logam dilakukan, karena pada dasarnya logam sangat diperlukan dalam proses
produksi dari suatu pabrik, baik pabrik cat, aki atau baterai, pabrik percetakan
sampai pabrik alat-alat listrik. Limbah proses produksi dari beberapa pabrik tersebut
menyebabkan pencemaran logam berat baik pencemaran di air, udara, dan tanah.
Pencemaran di air, lebih banyak berdampak pada hewan-hewan air, sedang ternak
dan manusia tercemar logam berat dari air melalui air yang diminum. Udara yang
tercemar dengan logam berat akan terakumulasi dalam tanaman baik melalui udara
maupun dari tanah yang terlarut logam berat yang kemudian terserap oleh tanaman.
Ternak dan manusia tercemar logam berat disamping dari air yang diminum juga
dari tanaman tercemar yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia serta dari udara
melalui pernafasannya. Dari sekian banyak logam berat, seperti yang diutarakan
oleh Saeni (1989) seperti: Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As, empat logam
berat diantaranya bersifat merugikan dan beracun baik bagi ternak maupun bagi
manusia diantaranya: As, Cd, Pb dan Hg, sehingga Pacyna (1987) dalam Darmono
(1995) meneliti kandungan keempat logam berat tersebut dalam pembuangan limbah
sehubungan dengan penggunaan energi batubara dan minyak bumi di Eropa tahun
1979 seperti tercantum dalam Tabel 1.
Menurut Saeni (1997), Pb merupakan logam berat yang paling berbahaya
kedua setelah Hg, karena racun Hg bersifat akut, sedang Pb bersifat akumulatif, akan
tetapi limbah pembuangan Pb paling banyak jika dibandingkan Hg yang paling
sedikit diantara logam berat.
Hal ini terlihat dari Tabel 1. merkuri merupakan
limbah pembuangan penggunaan energi batubara dan minyak bumi yang paling
rendah, yaitu sebesar 221 ton/tahun dibandingkan dengan As = 678 ton/tahun, Cd =
256 ton/tahun dan Pb = 2.835 ton/tahun, sehingga Hg relatif kurang menjadi pusat
perhatian bagi manusia daripada Pb, mengingat kandungan Hg dari pencemaran
yang relatif rendah. Dengan demikian timbal menjadi pusat perhatian manusia tidak
hanya karena bahayanya, akan tetapi juga karena pencemarannya paling tinggi
(Tabel 1).
Tabel 1. Kandungan Logam dari Pembuangan Limbah dalam Penggunaan
Energi Batu Bara dan Minyak di Eropa Tahun 1979
Sumber
As
Cd
Pb
Hg
A. Pembakaran batu bara:
1. Energi listrik
2. Pabrik
3. Rumah tangga dan komersial
----------------------- (Ton/Tahun) ----------------205
64
733
86
240
77
870
16
5
73
135
B. Pembakaran minyak
1. Energi listrik
79
37
450
SR
2. Industri dan Rumah tangga serta
138
73
709
SR
komersial
____________________________________________________________________
Jumlah
678
256
2.835
221
_________________________________________________________________________________
Keterangan: SR = sangat rendah, tanda – berarti tak terdeteksi
Sumber: Pacyna (1987) dalam Darmono (1995)
Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal
sulfat dan timbal klorofosfat (Faust and Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa
batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki
kandungan Pb kurang lebih 200 ppm. Timbal (Pb) mempunyai titik lebur yang
rendah, sehingga mudah digunakan dan membutuhkan biaya yang relatif sedikit bagi
industri. Dengan demikian akan memungkinkan mudahnya terjadi pencemaran di
udara dan tanah.
Sumber utama pencemaran udara adalah asap kendaraan bermotor.
Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa pembakaran bensin sebagai sumber
pencemar lebih dari separuh pencemaran udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60
– 70 % dari jumlah zat pencemar.
Lebih jauh Saeni (1995) menyatakan bahwa
partikel Pb yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor berukuran antara 0,08 –
1,00 µg dengan masa tinggal di udara selama 4 – 40 hari. Masa tinggal yang lama
menyebabkan partikel Pb dapat disebarkan angin hingga mencapai 100 – 1000 km
dari sumbernya.
Hal tersebut yang menyebabkan pencemaran timbal di udara
mudah tersebar.
Sebagai illustrasi, kandungan timbal di udara di daerah Jakarta,
Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) berkisar 0,5-1,5 µg/m3 sebelum
pemerintah menghapuskan bensin bertimbal pada tanggal 1 Juli 2001.
Setelah
tanggal 1 Juli 2001 harusnya kandungan timbal ini menurun, akan tetapi di udara
daerah Serpong justru kandungan timbalnya tambah meningkat yaitu mencapai 1,73,5 µg/m3 (Anonim, 2005).
Illustrasi lain tentang pencemaran Pb dinyatakan
Surtipanti dan Suwirna (1987) bahwa pencemaran Pb dalam buangan limbah
industri di Jabotabek ternyata telah melebihi batas maksimal yang diizinkan untuk
limbah.
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Pb tidak sangat tergantung pada
bahan bakar minyak, akan tetapi karena sifat dari Pb yang mempunyai titik lebur
yang rendah sehingga mudah menguap ke udara yang menimbulkan pencemaran
ditambah dengan mudahnya Pb digunakan dan murah dalam mengoperasikannya di
dalam industri. Sumber pencemaran Pb di dalam tanah dapat berasal dari asap
kendaraan bermotor, penambangan dan industri serta cat tembok yang larut bersama
air hujan (Burau, 1982).
2.2. Logam Berat bagi Tanaman
Smith (1981) menyebutkan bahwa sejumlah besar logam berat dapat
tersasosiasi dengan tumbuhan tinggi. Diantaranya ada yang dibutuhkan sebagai
unsur mikro (Fe, Mn dan Zn) dan logam berat lainnya yang belum diketahui
fungsinya dalam metabolisme tumbuhan (Pb, Cd dan Ti). Lebih lanjut Smith (1981)
menyatakan bahwa semua logam berat berpotensi mencemari tumbuhan dan gejala
akibat pencemaran logam berat, yakni: klorosis dan nekrosis pada ujung dan sisi
daun serta busuk daun yang lebih awal, akan tetapi menurut Kuperman dan Carreiro
(1997) kontaminasi logam berat dalam tanah akan merugikan dan mempengaruhi
aktivitas dan jumlah mikroorganisme, sehingga mempengaruhi proses penguraian
dan perputaran zat makanan bagi tumbuhan. Kozlowski et al. (1991) menyatakan
bahwa pencemaran udara terhadap tanaman dapat mempengaruhi: pertumbuhan,
yaitu dengan mengurangi pertumbuhan kambium, akar dan bagian reproduktif,
termasuk pertumbuhan akar dan pertumbuhan daun. begitu pula yang dinyatakan
oleh Akinola dan Adedeji (2007) bahwa baik tanah maupun rumput Benggala
(Panicum maximum Jacq.) sepanjang jalur ekpress Lagos-Ibadan, Nigeria tercemar
logam berat.
2.3. Logam Berat bagi Hewan dan Ternak
Contoh-contoh logam berat yang dinyatakan oleh Saeni (1989) diantaranya:
Fe, Pb, Cr, Cd, Zn, Cu, Hg, Mn dan As. Dari logam-logam berat tersebut, menurut
Anggorodi (1979) Fe, Cr, Zn, Cu dan Mn termasuk dalam kelompok logam berat
dan merupakan mineral yang esensial dan tergolong mineral mikro bagi ternak,
maka logam berat yang tergolong nonesensial dan bersifat racun bagi ternak adalah
kelompok logam: Pb, Cd, Hg, dan As.
dari keempat logam berat tersebut yang paling tinggi kandungannya dalam
buangan limbah penggunaan energi batubara dan minyak bumi adalah Pb (Tabel 1).
Timbal merupakan logam berat yang paling berbahaya kedua setelah Hg (Saeni,
1997), sehingga perlu mengamati tentang Pb. Timbal (Pb) yang sering disebut
dengan timah hitam merupakan salah satu mineral yang tergolong pada mineral
nonesensial bagi ternak, karena tak dibutuhkan bagi ternak dan keberadaannya
dalam ransum bila kebanyakan dapat menyebabkan keracunan.
Berdasarkan hasil penelitian pencemaran Pb dan logam berat lainnya pada
beberapa hewan diillustrasikan sebagai berikut:
a) Hasil penyebaran Cd, Fe, dan Pb pada jaringan ikan paus muda atau anak
ikan paus yang dipelihara di pantai South East Gulf California (Mexico)
diperoleh data bahwa deposit Pb terjadi di hati sebesar 0,9 µg/g. Deposit
logam berat lain seperti kadmium (Cd) pada ikan paus muda terjadi di ginjal
sebesar 5,7 µg/g, sedang untuk mineral besi (Fe) terdeposit di daging sebesar
1.009 µg/g (Inzunza dan Osuna, 2002).
b) Disisi lain, penelitian yang dilakukan di Cina Selatan, tepatnya di Pearl River
Estuary, yang dilakukan terhadap ikan, kepiting, udang dan kerang-kerangan,
ternyata penimbunan Pb pada ikan sebesar 0,94 – 30,7 mg/kg bobot badan.
Konsentrasi Pb paling tinggi pada ikan dibandingkan pada kepiting, udang
dan kerang-kerangan (Ip, et al., 2005). Lebih lanjut Rahman (2006) meneliti
kandungan Pb dan Cd pada beberapa jenis krustasea di Pantai Batakan dan
Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ternyata udang dan
rajungan yang ada di perairan Pantai Batakan dan Takisung telah terkontaminasi Pb dan Cd diatas batas ambang yang telah ditentukan oleh FAO. Batas
ambang yang ditentukan oleh FAO, yaitu sebesar kurang dari 2 ppm untuk
kandungan Pb dan kurang dari 1 ppm untuk kandungan Cd. Kandungan Pb
dan Cd pada udang berkisar 66,995 – 96,250 ppm dan 8,00 – 13,25 ppm,
sedang pada rajungan berkisar 75,630 – 90,515 ppm dan 8,520 – 11,375
ppm.
c) Burung-burung merpati yang berasal dari daerah pedesaan, perkotaan, dan
daerah industri di korea telah diteliti konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan
ginjalnya. Konsentrasi tulang dan ginjal burung merpati yang berasal dari
daerah pedesaan hampir seimbang dengan yang berasal dari daerah industri.
Konsentrasi Pb dan Cd yang paling tinggi pada tulang dan ginjal, berasal dari
burung merpati asal daerah perkotaan daripada daerah pedesaan dan industri.
Konsentrasi Pb dan Cd pada tulang dan ginjal burung merpati tidak
menunjukkan penurunan dengan menurunnya tingkat pencemaran Pb dan Cd
di atmosfir,
yang menunjukkan bahwa sistem pencernaan lebih penting
daripada sistem pernafasan pada pencemaran Pb dan Cd (Nam dan Lee,
2005).
d) Lebih lanjut penelitian pada keong yang diberi makan logam berat dan
mineral esensial, pada jaringan lunaknya terdeposit Zn dan Cu sedang Pb tak
terdeposit, walaupun pada pakannya sudah diberikan Pb sebanyak 0,4 –
12700 µg/kg pakan. Dengan demikian keong tak mendeposit logam berat
dalam jumlah yang relatif banyak di kerangnya (Laskowski dan Hopkin,
1996).
e) Pada penelitian tikus yang diberi air minum tercemar Pb sebanyak 1.000
ppm tidak menyebabkan perubahan tingkah laku, akan tetapi terjadi
perubahan aktivitas lokomosi atau aktivitas gerak (Ma, et al., 1999). Proses
pematangan seksual tikus betina yang sedang bunting dan yang sedang
menyusui, ternyata lebih lambat waktu pubertasnya dengan pemberian Pbasetat 1 ml/hari atau dengan kandungan Pb 12 mg/ml air selama 30 hari.
Pengaruh pencemaran Pb lebih sensitif pada tikus yang bunting daripada
tikus yang sedang menyusui (Dearth, et al., 2002).
f) Penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dalam air yang terdapat juvenil ikan
bandeng (Chanos chanos Forskall) akan memperlihatkan degenerasi lemak
pada hatinya (Alivia dan Djawad, 2000). Lebih lanjut Ghalib et al. (2002)
meneliti penambahan Pb sebanyak 0,15 ppm dapat menyebabkan kerusakan
insang dan mengurangi konsumsi oksigen..
g) Marçal et al. (2005) menyatakan bahwa tanah-tanah di Brazil tepatnya di
São Paulo State ditemukan campuran mineral logam berat yang dapat
menyebabkan keracunan pada ternak sapi. Lebih lanjut Lee et al. (1996)
meneliti tentang konsentrasi Cd dalam ginjal dan hati domba Romney yang
digembalakan pada padang penggembalaan yang rendah konsentrasi kadmiumnya (0,18 µg/g bahan kering) dan yang tinggi konsentrasi kadmiumnya
(0,52 µg/g bahan kering) dengan umur domba yang berbeda.
Hasilnya
menunjukkan bahwa padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya tinggi
akan meningkatkan konsentrasi Cd ginjal dan hati dibandingkan di padang
penggembalaan yang konsenterasi Cd-nya rendah. Sapi yang umur 6 bulan
lebih tinggi kandungan Cd dalam ginjal dan hati dibandingkan dengan sapi
umur 28 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa domba Romney akan menyerap
Cd lebih banyak pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd tinggi
daripada pada padang penggembalaan yang konsentrasi Cd-nya rendah dan
domba Romney muda lebih tinggi penyerapan Cd-nya daripada yang lebih
tua.
h) Disisi lain penelitian Nicholson et al. (1999) yang meneliti kandungan
beberapa logam berat, seperti: Zn, Co, Ni, Pb, Cd, As, Cr dan Hg pada
beberapa pakan ternak dan feses/kotoran ternak di negara Inggris. Hasilnya
menunjukkan bahwa Pb pakan sapi pedaging berkisar 2,84 – 4,43 ppm
berdasarkan bahan kering, dan Pb kotoran paling tinggi sebesar 18,00 ppm.
Mengingat kandungan Pb di feses relatif lebih tinggi dari Pb pakan, maka
berarti bahwa Pb pakan tak diserap oleh saluran pencernaan dan dikeluarkan
melalui kotoran dalam jumlah yang relatif lebih besar daripada kandungan
Pb pakan.
Dalam dunia peternakan, logam diistilahkan dengan mineral yang juga
diperlukan, bahkan sangat menentukan terhadap produksi ternak. Pada umumnya
produksi ternak akan tinggi bila kecukupan zat organik seperti protein, karbohidrat
dan lemak juga tercukupi, akan tetapi tidak jarang terlihat bahwa secara visual
produksi ternak masih tidak normal walaupun bahan organik cukup banyak
dikonsumsi. Dalam hal seperti ini biasanya praduga diarahkan pada defisiensi atau
kelebihan atau ketidakseimbangan mineral dalam bahan makanan, sehingga logamlogam atau mineral-mineral tertentu menjadi esensial bagi ternak.
Dengan
demikian, maka logam-logam bagi ternak dikelompokkan menjadi logam esensial
dan logam nonesensial. Logam esensial adalah kelompok logam yang diperlukan
dalam proses fisiologis ternak dan merupakan unsur nutrisi yang bila kekurangan
dapat menyebabkan kelainan fisiologis ternak yang disebut dengan defisiensi
mineral.
Logam nonesensial merupakan kelompok logam yang tidak berguna atau
belum diketahui kegunaannya dalam tubuh ternak, sedang logam esensial
merupakan kelompok logam yang berguna bagi tubuh ternak. Kelompok mineral
nonesensial menurut Parakkasi (1999) merupakan kelompok mineral yang beracun
seperti: As, Cd, Pb dan Hg. Anggorodi (1979) mengelompokkan logam esensial
dalam mineral makro yang terdiri atas: kalsium (Ca), magnesium (Mg), natrium
(Na), kalium (K), fosfor (P), klor (Cl) dan sulfur (S) dan mineral mikro yang terdiri
atas kobalt (Co), tembaga (Cu), Iodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), molibdenum
(Mo), selenium (Se) dan seng (Zn). Hendler et al. (1990) mengelompokkan mineral
makro merupakan kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum dalam jumlah
lebih dari 100 mg/hari sedang kelompok mineral yang dibutuhkan dalam ransum
dalam jumlah kurang dari 100 mg/hari yang diistilahkan dengan trace element atau
unsur renik.
2.4. Timbal (Pb) bagi Ternak
Timbal merupakan unsur kimia yang dalam tabel periodik mempunyai
lambang Pb dengan nomor atom 82. Lambangnya diambil dari bahasa latin, yaitu
Plumbum. Ciri-ciri Pb diantaranya: memiliki tampilan bluish white, massa atom
207,2 g/mol, densitas pada suhu kamar 11,34 g/cm3, densitas cair pada titik lebur
10,66 g/cm3, titik lebur 327,46 oC, titik didih 1.749 oC, kalor peleburan 4,77 kJ/mol,
kalor penguapan 179,5 kJ/mol dan kapasitas kalor pada suhu 25 oC sebesar 26,65
J/mol.K (Wikipedia Indonesia, 2006).
Dalam pertambangan, Pb berbentuk sulfida logam (PbS), yang sering disebut
galena. Senyawa galena banyak ditemukan dalam pertambangan-pertambangan di
seluruh dunia. Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan Pb yaitu dapat menyebabkan keracunan, yang kebanyakan disebabkan oleh pencemaran udara, terutama di
kota-kota besar (Darmono, 1995). Pb terdapat dalam dua bentuk, yaitu anorganik
dan organik. Dalam bentuk anorganik, Pb bisa digunakan untuk industri: baterai,
cat, percetakan, gelas, polivinil, plastik, pelapis kabel dan mainan anak-anak. Dalam
bentuk organik Pb digunakan dalam industri perminyakan, berupa Lead Alkyl
Compound, seperti Tetra Methyl Lead (TML) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) (Komite
Penghapusan Bensin Bertimbal, 1999).
Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk
dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya
terhadap tubuh semakin meningkat (Lu, 1995 dan Kusnoputranto, 2006). Menurut
Underwood dan Suttle (1999), Pb biasanya dianggap sebagai racun yang bersifat
akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Hal itu menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang.
Lebih lanjut Underwood dan Suttle (1999) mencantumkan batas ambang untuk
ternak unggas dalam pakannya, yaitu: batas ambang normal sebesar 1 – 10 ppm,
batas ambang tinggi sebesar 20 – 200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih
dari 200 ppm. Disisi lain Darmono (1995) mencantumkan dosis keracunan Pb pada
beberapa ternak, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Dosis Keracunan Timbal pada Beberapa Ternak
Jenis Ternak
Toksik dalam Pakan
(mg)
Babi
1.000
Pedet
200 – 400
Domba `
200 – 400
Sumber: Darmono (1995)
Timbal (Pb) menurut Lu (1995) dapat diserap dari usus dengan sistem
transport aktif. Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul
melalui membran berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut
merupakan ion.
Pada saat terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi
pengikatan dan membutuhkan energi metabolisme.
Pengikatan tersebut dapat
dihambat oleh racun yang mengganggu metabolisme sel.
Laju ekskresi Pb oleh tubuh sangat rendah (Rahde, 1991). Timbal terutama
diekskresikan melalui urine, yaitu mencapai 75% dari ekskresi harian, 16%
diekskresikan lewat saluran gastrointestinal dan 8 % diekskresikan melalui rambut,
kuku, keringat (Rahde, 1991).
Toksisitas merupakan sifat bawaan suatu zat yang bentuk dan tingkat
manifestasi toksiknya pada suatu organisme bergantung pada berbagai jenis faktor.
Faktor yang nyata adalah dosis dan lamanya pemberian, sedang faktor yang kurang
nyata, yaitu: spesies dan strain, jenis kelamin, umur, status gizi dan hormonal (Lu,
1995).
Saeni (1989), menyatakan bahwa terdapat tiga mekanisme penting pada kerja
toksikan: 1). Pengaruhnya terhadap enzim yang terlibat dalam aktifitas organ. 2).
Penggabungan langsung zat kimia dengan zat-zat penyusun sel. 3). Kerja sekunder
sebagai konsekuensi keberadaannya dalam sistem tersebut.
Mekanisme proteksi sementara terhadap toksisitas logam mungkin
disebabkan karena tersedianya kapasitas pengikatan logam yang lebih banyak pada
organisme tertentu seperti: protein, polisakarida dan asam amino (Darmono, 1995).
Menurut Lu (1995) mekanisme toksikan dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat
kimia berbagai molekul sasaran yang berupa protein, koenzim, lipid dan asam-asam
nukleat, sedangkan karbohidrat sangat jarang terpengaruhi oleh toksikan
Studi mengenai pengurangan kadar Pb pada cangkang kepiting dengan
perlakuan kondisi asam dan basa telah diteliti oleh Kim (2004).
Kim (2004)
menyatakan bahwa pengurangan kadar Pb pada perlakuan penambahan asam
khlorida (HCl) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan alkali. Perlakuan alkali
yang dimaksud menggunakan kalium hidroksida (KOH) dan natrium hidroksida
(NaOH). Pengurangan kadar Pb yang rendah pada kondisi asam berkaitan dengan
ketersediaan Pb dalam cangkang kepiting yang berada dalam bentuk terlarut. Disisi
lain tingginya kadar Pb dalam cangkang kepiting dikarenakan pada kondisi alkali,
Pb terdapat dalam bentuk endapan, sehingga mudah diekresikan ke luar tubuh. Hal
tersebut seiring dengan pendapat Nur et al. (1989) yang menyatakan bahwa pada pH
7 atau lebih protein umumnya bermuatan negatif, sehingga penambahan ion logam
positif akan menetralkan muatan ini.
Pengendapan dengan logam berat sangat
efektif pada pH netral atau sedikit alkali. Larutan tidak boleh sangat alkalis oleh
karena akan terjadi resiko pengendapan hidroksi logam. Endapan sering kali larut
dalam larutan ion logam berat berlebihan oleh karena ion berlebihan akan
mengakibatkan/memberikan muatan positif yang stabil pada partikel-partikel.
Penelitian lain sehubungan dengan penggunaan asam anorganik terhadap
konsumsi pakan dan kecernaan zat makanan dari domba betina periode pertumbuhan
telah dilakukan oleh Wolf et al. (1994). Wolf et al. (1994) menambahkan asam
khlorida (HCl) sebanyak 2 – 10% pada ransum yang mengandung kertas koran.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa penambahan asam khlorida (HCl) sebesar 2% pada
ransum yang mengandung kertas koran akan meningkatkan konsumsi bahan kering
dan kecernaan zat makanan.
Penambahan HCl lebih besar dari itu akan
mengakibatkan penurunan kecernaan zat makanan.
Penggunaan HCl pada
konsentrasi yang sama akan meningkatkan konsumsi bahan kering lebih banyak
dibandingkan dengan penggunaan asam sulfat (H2SO4).
Penelitian lain yang
mempelajari interaksi antara logam, protein dan derajat keasaman dilakukan oleh
Tripathi et al. (2001). Perlakuan penambahan asam khlorida (HCl) dan suplementasi cuprum (Cu) dan iodium (I) dapat meningkatkan konsumsi protein kasar dan
energi metabolis dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan asam khlorida
dan suplementasi cuprum dan iodium.
2.5. Timbal (Pb) bagi Manusia
Timbal (Pb) tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam cairan saluran
pencernaan.
Timah yang diserap dalam saluran pencernaan, terutama disimpan
dalam hati dan ginjal. Bila konsumsi Pb meningkat, maka akan terakumulasi dalam
hati, ginjal, tulang dan rambut (Dinius et al., 1973) dalam Parakkasi (1999). Pada
manusia, Pb dapat terakumulasi dalam rambut sesuai pernyataan Saeni (1997) yang
menyatakan bahwa jumlah logam dalam rambut berkorelasi dengan jumlah logam
yang diabsorpsi oleh tubuh, karena rambut banyak mengandung protein struktural
yang tersusun dari asam-asam amino sistein yang mengandung gugus sulfhidril
(-SH) dan sistein dengan ikatan disulfida (-S-S-). Gugus tersebut mampu mengikat
logam berat yang masuk kedalam tubuh dan terikat di dalam rambut. Mengingat
senyawa sulfida mudah terikat dengan logam berat, maka bila Pb masuk ke dalam
tubuh, maka akan terikat oleh senyawa sulfida dalam rambut (Huyser, 1984 dalam
Saeni, 1997). Akumulasi Pb tidak hanya di rambut akan tetapi lebih awal akan
terakumulasi di darah seperti hasil penelitian yang dinyatakan oleh Aminah (2006)
yang meneliti kadar Pb karyawan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL & PPM) di Surabaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karyawan BBTKL & PPM yang mengambil sampling di
lapangan mempunyai kadar Pb dalam darah yang lebih tinggi daripada karyawan
yang tidak melakukan sampling di lapangan. Begitu pula Ardyanto (2005) yang
mendeteksi pencemaran Pb dalam darah masyarakat yang banyak menghirup Pb.
Timbal (Pb) pada senyawa anorganiknya dalam sistem hematopoetik menghambat
reaksi enzimatik terakhir dalam sintesis heme, sehigga terjadi anemia.
Hewan ruminansia mengabsorpsi mineral Pb dalam jumlah yang relatif
rendah dibandingkan dengan hewan nonruminansia. Absorpsi mineral melalui paruparu mencapai 30 – 40 % dari mineral yang dihirup (Pilliang, 2002). Mineral Pb
pada anak-anak sapi dan domba terdapat dalam jumlah relatif konstan yaitu sekitar
0,1 – 0,13 ppm. Jika kandungan Pb lebih besar dari 0,04 ppm dalam feses berarti
bahwa banyak Pb yang masuk dalam tubuh. Hampir sama dengan ternak, pada
manusia absorpsi Pb terutama melalui saluran cerna dan saluran nafas. Absorpsi
melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10% sedangkan pada anak kira-kira 40%.
Menuurut Klaassen (1980), tidak banyak yang diketahui tentang absorpsi Pb melalui
saluran cerna. Ada dugaan bahwa Pb dan Ca berkompetisi dalam transport lewat
mukosa usus, karena ada hubungan timbal balik antara kadar Ca makanan dan
absorpsi Pb. Selain itu kekurangan Fe dilaporkan dapat meningkatkan absorpsi Pb
melalui saluran cerna.
Keracunan mineral timah hitam dapat menyebabkan perubahan susunan
syaraf pusat, gangguan saluran pencernaan dan gangguan sintesis sel-sel darah
merah. Tanda-tanda klinis utama keracunan mineral timah hitam menurut Pilliang
(2002), yaitu: terjadinya microcytic hypochromic anemia, muntah-muntah, diare,
gangguan abdomen, sekresi saliva meningkat, bobot badan menurun dan keguguran.
Baik pada manusia maupun pada ternak, Pb bersifat akumulatif dalam tubuh
dan dapat merusak seluruh sistem organ dalam tubuh. Pada anak-anak, keracunan
Pb dapat menyebabkan kemunduran mental yang bersifat permanen (Linder, 1992).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa Pb yang terkandung dalam makanan orang dewasa
rata-rata terserap 5 – 10% oleh tubuh, sedang pada bayi dan anak-anak hingga 40%
atau lebih dan dapat ditekan dengan adanya kalsium (Ca) dan fosfor (P), sehingga
konsumsi kalsium (Ca) yang tinggi akan menekan pengambilan Pb tubuh. Badan
dunia WHO (1984) telah menetapkan batas maksimum serapan Pb oleh manusia
dewasa sebesar 400 – 450 µg /hari.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Kabupaten Bogor mulai dari pertengahan
bulan Maret 2006 sampai akhir November 2007.
Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2004) terdapat 35 kecamatan yang ada di
Kabupaten Bogor (Lampiran 17). Kecamatan yang terpilih untuk diamati sebanyak
8 kecamatan, yaitu 4 kecamatan yang berdekatan dengan Kota Bogor dan memiliki
topografi yang rendah
dan 4 kecamatan yang memiliki topografi tinggi
(menggunakan warna berbeda pada lampiran 17).
Kecamatan yang memiliki
topografi rendah diantaranya: untuk sebelah barat Kota Bogor adalah Kecamatan
Dramaga, sebelah timur Kecamatan Citeureup, sebelah utara Kecamatan Bojong
Gede dan sebelah selatan Kecamatan Ciomas, sedang 4 kecamatan lainnya yang
memiliki topografi tinggi diwakili Kecamatan Ciawi, Kecamatan Jasinga,
Kecamatan Megamendung. dan Kecamatan Cisarua.
Tahapan penelitian yang dilaksanakan, yaitu: tahap pertama berupa
pengamatan pH air hujan dan tanah; tahap kedua analisis kandungan timbal (Pb) dari
air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak yang biasa dikonsumsi oleh ternak;
tahap ketiga berupa percobaan In-vitro; dan tahap keempat berupa percobaan Invivo.
Pada penelitian tahap pertama, yaitu pengamatan pH air hujan dan tanah
tidak hanya dipilih dari delapan kecamatan terpilih tersebut, akan tetapi juga dipilih
dua kecamatan lain sebagai pembanding data penelitian tahap pertama. Dengan
demikian data penentuan pH air hujan dan tanah diamati pula pH air hujan dan tanah
dari salah satu kecamatan di Kota Bekasi dan satu kecamatan di Kota Depok yang
dipilih secara acak dan disesuaikan dengan kemudahan memperoleh hujan dan
lokasi padang penggembalaan yang terdapat banyak domba pemeliharan peternak.
Pada penelitian tahap kedua, yaitu pengamatan analisis kandungan Pb air hujan,
tanah dan hijauan makanan ternak hanya dipilih dari 8 kecamatan terpilih.
Mengingat Kota Bogor disebut sebagai kota hujan yang mempunyai curah hujan
yang relatif tinggi dan waktu musim hujan yang bervariasi, termasuk pula
Kabupaten Bogor, maka waktu penelitian penentuan pH air hujan tidak berdasarkan
pada musim hujan atau musim kemarau, akan tetapi didasarkan pada data
klimatologi Jawa Barat tahun 2003 dan 2004 yang diambil dari Badan Meteorologi
dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor (Lampiran 1 dan 2).
Musim kemarau diwakili pada bulan Juni, Juli dan Agustus, karena pada
bulan-bulan tersebut baik pada tahun 2003 maupun pada tahun 2004 mempunyai
curah hujan dibawah 150 mm/bulan (Lampiran 1 dan 2). Dengan demikian penelitian tahap pertama pengamatan pH air hujan dan tanah pada saat musim kemarau
dilakukan pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2006. Pengambilan contohcontoh air hujan, tanah dan hijauan makanan ternak untuk analisis kandungan Pb
pada saat musim kemarau dilakukan pada bulan Juni, Juli dan Agustus tahun 2006,
akan tetapi pelaksanaan analisisnya di Laboratorium dilakukan pada bulan-bulan
tersebut dan dilanjutkan sampai dengan akhir bulan Desember 2006. Pengamatan
pH air hujan dan tanah pada saat musim hujan dilakukan pada selain bulan Juni Juli
dan Agustus 2006, atau dimulai dari bulan Maret sampai bulan Desember 2006.
Penelitian tahap kedua, yaitu tentang analisis kandungan Pb dari air hujan, tanah dan
hijauan makanan ternak pada saat musim hujan dilakukan pada bulan yang sama
dengan penelitian tahap pertama dan dilanjutkan sampai akhir bulan Mei 2007.
Pengamatan pH air hujan dan tanah dilakukan di lokasi, tempat air hujan
diperoleh sesuai dengan kecamatannya, begitu pula contoh hijauan makanan ternak
untuk penelitian tahap kedua diperoleh dari kecamatan sesuai dengan kecamatan
terpilih. Penelitian tahap kedua yaitu analisis timbal (Pb) dari contoh air hujan,
tanah dan hijauan makanan ternak serta tahap ketiga yaitu Percobaan In-vitro
dilakukan di Laboratorium, yaitu di Bagian Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja,
Laboratorium Nutrisi Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor di kampus IPB Dramaga.
Pelaksanaan tahap kedua dan ketiga ini dilakukan setelah pengamatan pH air hujan
dan tanah, sehingga total waktu yang diperlukan untuk penelitian tahap pertama,
kedua dan ketiga kurang lebih dalam waktu 15 bulan.
Penelitian tahap keempat, yaitu Percobaan in-vivo dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Nutrisi
Ternak Terapan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor di kampus IPB Dramaga. Penelitian tahap
keempat (percobaan in-vivo) dilakukan setelah penelitian tahap ketiga (percobaan invitro) selesai dan dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni 2007 sampai
pertengahan bulan September 2007 dan dilanjutkan dengan analisis kandungan Pb
untuk feses, darah, hati, ginjal dan daging.
Perlakuan pakan menggunakan ransum yang ditambahkan cairan asam dengan
pH = 4,1 (merupakan pH terrendah selama pengamatan air hujan) sebagai faktor A
dan penambahan Pb dalam ransum sebanyak 200 ppm, sebagai faktor B. Dosis 200
ppm diambil dari dosis toksik untuk ternak domba (Darmono, 1995) dan
berdasarkan Underwood dan Suttle (1999) yang mencantumkan angka 200 ppm
sebagai batas ambang toksik untuk ternak unggas. Masing-masing perlakuan dibuat
dua level, yaitu untuk perlakuan penambahan cairan asam adalah level normal
(tanpa pemberian cairan asam) dan level penambahan 10% cairan asam, sedang
untuk perlakuan penambahan Pb, yaitu tanpa pemberian Pb dan penambahan Pb 200
ppm, sehingga ada empat perlakuan. Domba yang digunakan 12 ekor, sehingga
masing-msaing perlakuan mendapatkan tiga ulangan. Waktu penelitian pada tahap
empat selama 10 hari pertama untuk adaptasi, dilanjutkan dengan 9 minggu
pengamatan pertambahan bobot badan dan kurang lebih 8 minggu untuk analisis Pb
dari feses, darah, hati dan ginjal serta daging domba lokal jantan.sehingga total
waktu yang diperlukan untuk percobaan in-vivo diperlukan kurang lebih 6 bulan.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: air hujan,
tanah, hijauan makanan ternak, HgCl2 jenuh, pepsin 0,2%, kertas saring Whatman
No. 41, NaOH 0,5 N, HCl 0,5 N, CO2, Na2CO3, H2SO4 (15% dan 0,005 N),
indikator phenoftalin (C20H14O4), domba berikut feses, darah, hati, ginjal dan daging
domba serta kandang dan perlengkapannya seperti: bak minum, bak makan, sapu
lidi.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: pH meter portable,
The pHep FAMILY merk Hanna, AAS (Atomic Absorption Spechtrophotometer),
cawan conway, tabung fermentor, mesin sentrifuse, mesin stirrer, shakerbath,
timbangan digital, tabung destilasi, erlenmeyer, mesin vacum, pipet (1 ml, 5 ml dan
25 ml), timbangan duduk dan timbangan gantung kapasitas 50 kg, serta spuit 5 ml.
3.3. Rancangan Penelitian
Mengingat penelitian ini dilakukan dengan 4 tahap, yaitu tahap pertama
pengamatan pH dari air hujan dan tanah; tahap kedua analisis timbal (Pb) dari air
hujan, tanah dan tanaman makanan ternak; tahap ketiga percobaan in-vitro; dan
tahap keempat adalah percobaan in-vivo, maka rancangan penelitiannya disesuaikan
berdasarkan tahap-tahap penelitian tersebut.
Metode percobaan untuk masing-
masing tahap penelitian diuraikan sebagai berikut:
3.3.1. Tahap Pertama: Pengamatan pH Air Hujan dan Contoh Tanah
Pengamatan pH air hujan dan contoh tanah dilakukan di Kabupaten Bogor,
tepatnya di 8 kecamatan. Setiap kecamatan sudah dilakukan pengamatan pH contoh
air hujan dan contoh tanah dengan masing-masing 3 ulangan contoh. Pengambilan
contoh air hujan dilakukan sesuai dengan terjadinya hujan di kecamatan terpilih
tanpa memperhatikan lokasi desa dan hari hujannya, sesuai dengan turunnya hujan.
Setiap kejadian turun hujan dilakukan dua kali pengambilan (douplo) contoh air
hujan dengan tidak lebih dari 15 menit setelah hujan. Segera setelah 15 menit hujan
berlangsung, contoh air hujan diukur pH-nya menggunakan pH-meter portable,
yaitu The pHep FAMILY merk Hanna. Setelah pengukuran pH, contoh air hujan
diberi asam nitrat (HNO3) sebanya 2 – 4 tetes dan dikocok kemudian disimpan untuk
dianalisis kandungan Pb-nya.
Pemberian asam nitrat dimaksudkan untuk
menstabilkan kandungan timbal (Pb) dalam contoh air hujan. Pengambilan contoh
air hujan dan tanah dilakukan pada dua musim, yaitu pada musim hujan mulai bulan
Maret 2006 dan pada musim kemarau yaitu pada sekitar bulan Juni sampai bulan
Agustus 2006. Dari hasil pengamatan terdapat data pH air hujan Kabupaten Bogor
sebanyak 48 data dan 12 data pH air hujan dari kota lain serta pH tanah Kabupaten
Bogor 48 data ditambah 12 data pH tanah dari kota lain.. Pengambilan air hujan
dilakukan dengan menadah langsung segera setelah hujan berlangsung dan
menghentikan pada saat 15 menit hujan berlangsung. Tadah air hujan ditempatkan
tidak mendekati permukaan tanah untuk menghindari terjadinya pencemaran tanah.
Pengamatan pH air hujan dan contoh tanah dilakukan secara in-situ (langsung di
tempat pengambilan contoh air hujan dan contoh tanah).
Penentuan contoh tanah dari masing-masing kecamatan diambil dari lokasi
yang terdapat banyak peternakan dombanya, desa yang ditunjuk sebagai tempat
pengambilan tanah disesuaikan dengan desa tempat terjadinya hujan yang ada di
kecamatan tersebut. Contoh tanah diambil di permukaan tanah dan pada kedalaman
lebih dari 20 cm. Analisis pH menggunakan pH-meter portable, yaitu The pHep
FAMILY merk Hanna. Analisis percobaan yang digunakan dalam pengamatan pH
air hujan dan contoh tanah menggunakan uji Z seperti yang diuraikan dalam Steel
dan Torrie (1995) dan sebagian menggunakan analisis deskriptif.
3.3.2. Tahap Kedua: Analisis Timbal (Pb)
Analisis timbal (Pb) dilakukan pada contoh air hujan, tanah dan hijauan
makanan ternak (rumput yang biasa dikonsumsi oleh ternak) serta contoh darah, hati
dan ginjal serta daging domba percobaan. Analisis timbal (Pb) untuk contoh air
hujan dan tanah, serta contoh darah, hati, ginjal dan daging domba menggunakan
AAS..
Analisis timbal (Pb) pada contoh air hujan dilakukan dengan cara menguapkan
contoh air hujan pada suhu 100oC hingga contoh air hujan pekat dan tersisa lebih
kurang 10 ml, kemudian dibaca menggunakan AAS. Hasil absorbansinya setelah
dikonversi ke satuan konsentrasi (ppm) dikalikan dengan nilai pemekatan. Analisis
timbal (Pb) tanah menggunakan contoh tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 –
30 cm dari permukaan tanah. Pengambilan dua contoh tanah tersebut bertujuan
untuk mengetahui total kandungan Pb baik yang berasal dari tanah yang bukan dari
pencemaran (kedalaman 20 – 30 cm) maupun yang berasal dari pencemaran (tanah
permukaan). Timbal (Pb) dari pencemaran, disamping berbentuk organik seperti
Tetra Methyl Lead (TML) dan Tetra Ethyl Lead (TEL) ada yang berbentuk
anorganik (berbentuk garam), seperti Pb-sulfat, Pb-karbonat dan Pb-nitrat serta Pbsulfida. Timbal (Pb) yang berbentuk garam tersebut mudah terurai, sedangkan Pb
yang dari tanah berbentuk organik kompleks biasanya sulit terurai.
Dengan
demikian bisa dipilah Pb dari tanah dan Pb dari pencemaran. Dalam analisis timbal
(Pb) contoh tanah permukaan dan contoh tanah kedalaman 20 – 30 cm, sebelum
dilakukan pengabuan basah (wet ashing), terlebih dahulu contoh tanah-tanah
tersebut dipanaskan dengan menggunakan oven pada suhu 60oC hingga mencapai
kering udara (selama 24 jam), kemudian dilanjutkan dengan pengeringan dengan
oven pada suhu 105oC hingga kering sampai beratnya tidak berubah (stabil).
Selanjutnya con- toh tanah yang kering dilakukan pengabuan basah (wet ashing)
dengan mengguna- kan prosedur Balai Penelitian Tanah (2005) seperti yang terlihat
pada Gambar 3. Hasil akhir dari pengabuan basah tersebut berupa cairan 10 ml yang
telah dikocok, kemudian dibaca menggunakan AAS dan hasil asbsorbansinya
setelah dikonversi dalam satuan ppm dikalikan dengan 10.
1 g contoh tanah
+
5 ml asam nitrat (HNO3) + 1 ml asam perchlorat (HClO4)
Didiamkan 1 malam (tanpa pemanasan)
100oC selama 1 jam 30 menit
Besoknya dipanaskan
Dipanaskan
130oC selama 1 jam
Dipanaskan
150oC selama 2 jam 30 menit
(hingga uap kuning hilang bila belum ditambah waktunya)
Setelah uap kuning hilang
Dipanaskan
Dipanaskan
170oC selama 1 jam
200oC selama 1 jam (terbentuk uap putih)
Endapan putih (sisa larutan jernih)
Kemudian didinginkan dan diencerkan menjadi 10 ml lalu dikocok
Gambar 3. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Tanah
(Balai Penelitian Tanah, 2005)
1 g contoh hijauan makanan ternak/feses/hati/ginjal/daging domba
+
7 ml asam nitrat (HNO3) sampai contoh tenggelam
Dipanaskan pada suhu rendah (80oC) selama 4 jam hingga kuning
Didiamkan 1 malam tanpa pemanasan (lemak akan mengeras)
Besoknya + 2 ml Asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 120oC selama 1 jam
Ditambahkan/diteteskan 0,1 – 0,6 ml atau 4 – 6 tetes larutan (campuran 2 bagian
asam perchlorat + 1 bagian asam nitrat) dan dipanaskan selama 10 – 15 menit
Ditambahkan aquades 2 ml + 0,6 ml asam chlorida (HCl) dan dipanaskan 120oC
selama 15 menit
Kemudian didinginkan dan diencerkan menjadi 50 ml lalu dikocok
Gambar 4. Prosedur Pengabuan Basah Analisis Hijauan Makanan Ternak
Feses, darah, hati, ginjal dan daging domba (Reitz et al, 1960)
Analisis timbal (Pb) untuk hijauan makanan ternak sama prosedurnya
dengan analisis timbal untuk feses, hati, ginjal dan daging domba dengan
menggunakan AAS yang sebelumnya dilakukan prosedur pengabuan basah (wet
ashing) dengan metode Reitz et al (1960), seperti tercantum pada Gambar 4. Hasil
akhir dari pengabuan basah tersebut berupa cairan 50 ml, kemudian diambil sekitar
10 ml, sedang sisanya disimpan untuk pembacaan ulang bilamana diperlukan.
Contoh larutan yang 10 ml tersebut kemudian dibaca menggunakan AAS dan hasil
asbsorbansinya setelah dikonversi dalam satuan ppm dikalikan dengan 50.
Analisi timbal (Pb) untuk contoh darah dilakukan dengan cara mensentrifusekan darah pada kecepatan 5.000 rpm selama 15 menit. Setelah terpisah plasmanya
dibaca dengan AAS dan ditentukan kandungan timbalnya.
Untuk analisis Pb dari contoh feses, darah, hati, ginjal dan daging domba
dalam percobaan in-vivo, menggunakan AAS. Contoh darah diambil sehari sebelum
domba dipotong dan contoh feses diambil selama 3 hari terakhir pemeliharaan
domba, yaitu pada hari ke-64, 65 dan 66 pemeliharaan, sedang contoh hati, ginjal
dan daging diambil segera setelah domba dipotong.
Analisis yang digunakan dalam pengamatan Pb dari tanah dan hijauan
makanan ternak menggunakan Analisis Deskriptif, sedang analisis yang digunakan
untuk pengamatan timbal (Pb) dari contoh feses, darah, hati, ginjal dan daging
domba menggunakan Rancangan Kelompok dengan perlakuan berpola Faktorial 2 x
2. Faktor pertama adalah faktor penambahan cairan asam dengan dua level (tanpa
penambahan cairan asam dan ditambahkan cairan asam dengan pH 4,1). Faktor
kedua adalah perlakuan pemberian Pb dengan dua level (tanpa penambahan Pb dan
penambahan Pb 200 ppm). Perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 ulangan
sebagai kelompok.
Rancangan yang dimaksud berdasarkan Steel and Torrrie
(1995). Analisis Varian digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Untuk
melihat korelasi kandungan Pb dari air hujan dan tanah, kandungan Pb dari tanah
dan hijauan makanan ternak menggunakan korelasi linier seperti yang diuraikan
dalam Steel dan Torrie (1995).
3.3.3. Tahap ketiga: Penelitian In-vitro
Penelitian in-vitro merupakan penelitian skala laboratorium. Dalam penelitian
in-vitro, rumen domba diasumsikan sebagai shakerbath, untuk menguji kemampuan
metabolisme dan kecernaan dari hijauan makanan ternak yang biasa digunakan oleh
ternak domba. Peubah yang diukur dalam penelitian in-vitro diantaranya:
a. Kecernaan
meliputi: KcBK (kecernaan bahan kering) dan KcBO
(kecernaan bahan organik).
b. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) total dan
c. Produksi N-NH3 (nitrogen amoniak).
Prosedur penelitian in-vitro diawali dengan mengambil cairan rumen dari
domba jantan lokal tanpa perlakuan. Cairan rumen yang diambil sebanyak + 250
ml, kemudian dikocok dan dipisahkan dalam 24 tabung fermentor dengan masingmasing tabung fermentor berisi 8 ml cairan rumen.
Tabung fermentor dibagi
menjadi empat kelompok, yaitu satu kelompok untuk pencemaran logam berat yang
tinggi, satu kelompok untuk pH yang rendah (terjadi hujan asam), satu kelompok
yang tingkat pencemaran logam beratnya rendah (tidak tercemar logam berat) dan
satu kelompok yang pH-nya tinggi (tak terjadi hujan asam).
Masing-masing
kelompok dilakukan tiga ulangan (triplo), sehingga terdapat 12 tabung fermentor.
Mengingat peubah yang akan dilakukan terdapat dua proses yaitu satu proses untuk
analisis KcBK dan KcBO, satu proses lagi untuk analisis Produksi VFA dan
Produksi N-NH3, maka tabung fermentor yang disiapkan sebanyak 12 x 2 = 24
tabung fermentor.
Dalam satu tabung fermentor dimasukkan contoh pakan perlakuan sebanyak 1
g dan 8 ml cairan rumen ditambah dengan 12 ml larutan penyangga McDougall.
Larutan McDougall berfungsi seperti air liur pada domba in-vivo. Pemisahan cairan
rumen dalam masing-masing tabung fermentor diikuti pemberian gas CO2. Semua
tabung fermentor ditempatkan dalam Shakerbath yang berisi air hangat pada suhu 39
– 400C untuk proses fermentasi. Selama fermentasi tabung fermentor dikocok setiap
3 jam dengan gas CO2. Fermentasi dilakukan selama 48 Jam. Setelah fermentasi
masing-masing fermentor diberi 0,2 ml HgCl2 untuk membunuh bakteri yang ada
dalam tabung sehingga proses fermentasi tidak berlangsung. Perlu pula dilakukan
pengukuran pH pada masing-masing fermentor untuk mengetahui kesesuaian
kondisi pH dengan pH untuk pertumbuhan bakteri.
3.3.3.1. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Uji kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in-vitro menggunakan
metode modifikasi Tilley dan Terry (1963). Sebanyak 1 g contoh ransum domba
dimasukkan dalam tabung fermentor yang sudah berisi campuran 8 ml cairan rumen
domba jantan lokal dengan 12 ml larutan penyangga McDougall kemudian dialiri
gas CO2 dan diinkubasikan selama 24 jam dalam penangas air bergoyang
(Shakerbath) Gallenskap BKS 300 – 010F dalam kondisi anaerob. Setelah 24 jam
mikroba dibunuh dengan 0,2 ml larutan HgCl2 jenuh, kemudian disentrifuse dengan
kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit, untuk memisahkan padatan dan
supernatannya. Kedalam padatan ditambahkan 20 ml larutan pepsin 2 % dalam
suasana asam, kemudian kembali diinkubasi 24 jam secara aerob lalu disaring
dengan kertas saring Whatman no. 41 dengan bantuan pompa vakum.
Bahan kering dianalisis dengan menguapkan air di dalam oven bersuhu
105oC selama 24 jam dan bahan organik diperoleh dengan mengurangkan kadar abu
dari bahan kering. Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa bahan dengan
prosedur yang sama.
Kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik
ditentukan dengan rumus:
BK asal – (BK residu – BK residu blanko)
KcBK (%) = ------------------------------------------------------ x 100%
BK asal
BO asal – (BO residu – BO residu blanko)
KcBO (%) = ------------------------------------------------------ x 100%
BO asal
Keterangan: BK = Bahan kering, BO = Bahan organik.
3.3.3.2. Produksi VFA (Volatile Fatty Acid) Total
Penentuan VFA (kadar lemak atsiri) dilakukan dengan cara penyulingan uap
(General Laboratory Procedure, 1966).
Sebanyak 5 ml supernatan produk
fermentasi in-vitro dimasukkan dalam tabung khusus, kemudian ditambahkan 1 ml
H2SO4 15 % lalu ditutup. Tabung dihubungkan dengan labu pendingin dan labu
yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N. Proses destilasi dengan cara mengalirkan air yang
diuapkan hingga berakhir sampai destilat yang ditampung mencapai volume + 300
ml. Selanjutnya ditambahkan 1 – 2 tetes indikator fenoftalein dan dititrasi dengan
HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak
berwarna.
Kadar FVA dihitung dengan rumus sebagai berikut:
VFA total = (B – S) x N-HCl x 1000/5 mM
Keterangan : B = Volume titran blanko
S = Volume titran sample
N = Normalitas Larutan HCl.
3.3.3.3. Produksi N-NH3 (N-Amoniak)
Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik mikrodifusi Conway (General
Laboratory Procedures, 1966). Sebanyak 1 ml supernatan hasil sentrifuse produk
fermentasi in-vitro diletakkan di sebelah kiri sekat cawan Conway dan 1 ml larutan
Na2CO3 jenuh juga ditempatkan di sebelah kanannya. Pada cawan kecil di bagian
tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom kresol hijau
sebanyak 1 ml. Cawan Conway ditutup rapat dengan tutup vaselin lalu digoyanggoyang supaya supernatan bercampur dengan Na2CO3. Sesudah dibiarkan selama
24 jam dalam suhu kamar, ammonia yang terikat asam borat dititrasi dengan H2SO4
0,005 N, sampai titik awal perubahan warna dari biru menjadi kemerah-merahan.
Produksi N-NH3 dihitung dengan rumus sebagai berikut:
N-NH3 = (ml H2SO4 x N-H2SO4 x 1000) mM
Keterangan:
N-NH3 = Nitrogen dalam amonia.
N H2SO4 = Normalitas larutan H2SO4.
Hasil analisis KcBK, KcBO, Produksi VFA total dan Produksi N-NH3
menggunakan Rancangan acak lengkap dengan perlakuan berpola faktorial 2 x 2
dan 3 ulangan perlakuan (Steel and Torrrie, 1995), dengan persamaan sebagai
berikut:
Yij
= μ + αi + βj + α βij + εij
Yij = Parameter yang diukur
μ
= Nilai tengah
αI
= Pengaruh perlakuan pemberian air asam
βj
= Pengaruh perlakuan pemberian Pb
αβij = Pengaruh interaksi pemberian air asam dan Pb
εij
= Galat pemberiaan air asam ke-i dan pemberian Pb ke-j.
Dengan asumsi data bebas dan menyebar normal, maka bila terdapat perbedaan
tidak dilakukan uji karena masing-masing faktor perlakuan hanya ada dua level
(Steel and Torrie, 1995).
Rancangan acak lengkap dengan perlakuan berpola faktorial 2 x 2 yang di
maksud adalah Faktor pertama adalah faktor penambahan cairan asam dengan dua
level (tanpa penambahan cairan asam dan ditambahkan cairan asam dengan pH 4,1).
Faktor kedua adalah perlakuan pemberian Pb dengan dua level (tanpa penambahan
Pb dan penambahan Pb 200 ppm). Perlakuan diulang tiga kali. Cairan rumen
diperoleh dari cairan rumen domba yang dipotong oleh pedagang sate kambing di
salah satu warung sate kambing yang terletak di desa Cibanteng, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengambilan cairan rumen dilakukan pada pagi hari
sekitar pukul 5.00 dengan menggunakan thermos yang sebelumnya diberi air panas
yang mendekati mendidih, dengan tujuan agar suhu di dalam ruangan thermos
mendekati 390C. Pada hari yang sama dilanjutkan dengan prosedur penelitian invitro.
3.3.4. Tahap keempat: Penelitian in-vivo
Penelitian in-vivo menggunakan domba lokal jantan sebanyak 12 ekor
dengan bobot badannya berkisar antara 13,9 – 16,5 kg. Mengingat bobotnya tidak
seragam, maka domba dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu: kelompok besar,
sedang dan kecil, dengan masing-masing kelompok besar berbobot 15,7 - 16,5 kg;
kelompok sedang berbobot 14,8 – 15,6 kg dan kelompok kecil berbobot 13,9 – 14,7
kg. Masing-masing kelompok berjumlah 4 ekor.
Domba yang digunakan dalam
percobaan ini berasal dari satu tempat yaitu dari UP3J (Unit Pendidikan dan
Penelitian Peternakan Jonggol) Fakultas Peternakan IPB.
Tabel 3. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Berdasarkan Bahan Kering
Bahan Pakan
Rumput lapang
Komposisi (%)
60,00
Dedak halus
8,00
Pollard
1,00
Onggok
8,05
Bungkil kelapa
2,55
Bungkil kelapa sawit
7,00
Bungkil kedelai
13,00
CaCO3
0,10
Urea
0,30
Jumlah
100,00
Pakan yang diberikan berupa ransum dengan bahan pakan terdiri atas Rumput
lapang, Dedak halus, pollard, Onggok, Bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit,
bungkil kedelai, CaCO3 dan urea, dengan komposisi seperti pada Tabel 3 dan
kandungan zat makanannya tercantum pada Tabel 4.
Faktor pertama adalah faktor pemberian cairan asam dengan 2 level yaitu
tanpa pemberian asam dan pemberian cairan asam dengan pH 4,1. Faktor kedua
adalah faktor pemberian Pb dengan 2 level, yaitu tanpa pemberian Pb dan pemberian
Pb toksik sebanyak 200 ppm, dengan 3 kelompok ternak sebagai ulangan. Masingmasing kelompok dipilih secara acak dan mendapatkan empat perlakuan sebagai
berikut:
Perlakuan 1 (P1): Ransum tanpa cairan asam dan Pb (sebagai kontrol)
Perlakuan 2 (P2): Ransum + Air asam dengan pH 4,1 dan tanpa Pb.
Perlakuan 3 (P3): Ransum tanpa cairan asam + Pb 200 ppm
Perlakuan 4 (P4): Ransum + cairan asam dengan pH 4,1 + Pb 200 ppm
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Rumput Lapang*
Konsentrat* Ransum**
------------------------ % ----------------------Bahan Kering
25,50
89,56
51,12
Abu
12,72
6,69
10,31
Protein
13,84
15,24
14,40
Serat Kasar
46,87
23,37
37,47
3,08
3,13
3,10
23,49
51,57
34,72
Kalsium (Ca)
0.54
0,64
0,58
Phosphor (P)
0,38
0,56
0,45
Lemak
Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen
Sumber:*Hasil Analisis Proksimat dari Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, INTP, Fapet-IPB
** Perhitungan dari 60% Rumput Lapang dan 40% konsentrat
Pemberian cairan asam dengan pH = 4,1 (sesuai dengan hasil pengamatan
pH air hujan terrendah), dengan cara dicampurkan pada konsentratnya sebanyak
10% dari ransum. Begitu pula dengan Pb yang diberikan berupa Pb-Asetat yang
dicampur sebanyak 200 ppm dari ransum kedalam konsentrat. Pemilihan Pb-asetat
sebagai pencemar Pb dalam penelitian didasarkan pada penelitian Tahiri, et al.
(2000) yang melaporkan bahwa penggunaan Pb-asetat menghasilkan penyerapan Pb
yang tinggi serta keseimbangan Pb yang lebih positif pada tikus percobaan.
Air yang mengandung pH 4,1 dibuat dari aquadestilata yang mempunyai
pH 6,5 dicampurkan H2SO4 pekat yang mempunyai pH 2,0 hingga mencapai pH
4,1; begitu pula dengan penambahan Pb-asetat dalam ransum sebanyak 200 ppm
dilakukan dengan contoh perhitungan sebagai berikut:
Pb-asetat yang berumus molekul (CH3COO)2 Pb 3 H20 mempunyai bobot
molekul 379, dengan bobot atom Pb sebesar 207. Kandungan Pb dalam Pb-asetat
adalah (207/379) x 100% = 54,6174%. Kandungan Pb 200 ppm, berarti bahwa
setiap 10 kg ransum yang akan dibuat ditambahkan Pb sebanyak 2.000 mg Pb..
Dengan perbandingan rumput lapang dan konsentrat sebesar 60 : 40, maka
konsentrasi Pb dalam 4 kg konsentrat juga sebesar 2 000 mg Pb atau sebanyak 2 g
Pb dalam 4 kg konsentrat. Dengan demikian konsentrasi Pb-asetat dalam 4 kg
konsentrat sebesar 2 g X 100/54,6174 = 3,6618 g, atau dengan kata lain dibutuhkan
3,6618 g Pb-asetat untuk dapat membuat 200 ppm Pb dalam 4 kg konsentrat atau
dibutuhkan 3,6618 g Pb-asetat untuk dapat membuat 200 ppm Pb dalam 10 kg
ransum.
Peubah yang akan diamati diantaranya: Konsumsi pakan berdasarkan bahan
segar dan konsumsi pakan berdasarkan bahan kering, pertambahan bobot badan, dan
analisis kandungan Pb dari feses, darah, hati, ginjal dan daging domba pengamatan.
Hasil analisis menggunakan Rancangan Kelompok dengan perlakuan berpola
Faktorial 2 x 2 (Steel and Torrrie, 1995), dengan persamaan sebagai berikut:
Yij
= μ + δi + αj+ βk + α βjk + εijk
Yij = Parameter yang diukur
μ
= Nilai tengah
δI
= Pengaruh kelompok ke i
αj
= Pengaruh perlakuan pemberian cairan asam
βk
= Pengaruh perlakuan pemberian Pb
αβjk = Pengaruh interaksi pemberian cairan asam dan Pb
εijk
= Galat pemberiaan cairan asam ke-i dan pemberian Pb ke-j.
Dengan asumsi data bebas dan menyebar normal, maka bila terdapat perbedaan
tidak dilakukan uji karena masing-masing faktor perlakuan hanya ada dua level
(Steel and Torrie, 1995).
Analisis untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang
digunakan terhadap peubah menggunakan Analisis Varian.
Setelah domba dipelihara selama 10 hari untuk masa adaptasi, kemudian
dipelihara lagi selama 9 minggu untuk mengamati pertambahan bobot badannya.
Pengambilan darah dilakukan 1 hari sebelum dipotong. Setelah dipotong segera
diambil hati, ginjal dan dagingnya. Pengambilan darah diambil 1 hari sebelum
dipotong sebanyak kurang lebih 3 cc setiap ekor domba dan diambil melalui vena
yugularis di sekitar leher domba. Pengambilan hati dilakukan dari seluruh hati
domba pengamatan, begitu pula ginjal diambil sepasang dan daging diambil
sebagian kira-kira 200 gram dari bagian dada (bagian yang tak banyak terdapat
pergerakan daging).
Selama pemeliharaan, ternak domba diberi perlakuan yang sama seperti:
A. Dimandikan terlebih dahulu (dicuci dan dikeringkan)
B. Pemberian obat cacing
C. Pemberian minum secara adlibitum (sepuasnya domba minum)
D. Pemberian pakan yang terbatas (Restrected Feeding).
E. Penimbangan konsumsi ransum.
F. Penimbangan bobot badan tiap minggu.
Dengan demikian peubah yang akan diamati diantaranya:
a. Konsumsi pakan bahan segar dan bahan kering.
b. Pertambahan bobot badan
c. Efisiensi pakan
d. Ratio efisiensi protein.
e. Kandungan timbal (Pb) pada feses, darah, hati ginjal dan daging.
3.3.4.1. Konsumsi Pakan Bahan Segar dan Bahan Kering
Mengingat pemberian pakan dilakukan dengan cara restrected feeding atau
dengan pemberian pakan yang dibatasi, maka jumlah pakan yang diberikan
disesuaikan dengan data yang ada dalam Tabel National Research Council (1991)
yang didasarkan pada bobot badan dombanya. Dari data yang tercantum dalam
National Research Council (1991) tersebut 40%-nya konsentrat dan sisanya 60%-
nya diberikan dalam bentuk rumput lapang alam. Data yang diperoleh dari National
Research Council (1991) berdasarkan data bahan kering, sehingga pemberian dalam
bentuk segarnya perlu dilakukan analisis persentase bahan kering untuk masingmasing bahan pakan dengan menggunakan oven pada suhu 105oC sampai berat
keringnya stabil. Pemberian konsumsi segarnya untuk masing-masing bahan pakan
dilakukan dengan cara data yang ada dalam National Research Council (1991) dikali
100 dan dibagi dengan data hasil analisis oven.
3.3.4.2. Pertambahan Bobot Badan
Penimbangan bobot badan dilakukan seminggu sekali yaitu pada pagi hari
pukul 7.30 atau sebelum pemberian pakan. Pertambahan bobot badan diperoleh dari
selisih bobot badan minggu itu dengan bobot badan satu minggu sebelumnya.
Penimbangan bobot badan menggunakan timbangan gantumg manual.
3.3.4.3. Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot
badannya dibagi dengan konsumsi pakan kering. Dalam menghitung persentase
efisiensi pakan dengan cara efisiensi pakan dikali 100%.
Pertambahan Bobot Badan
(%) Efisiensi Pakan = --------------------------------------------- X 100 %
Konsumsi Pakan dalam bahan kering
3.3.4.4. Rasio Efisiensi Protein
Rasio efisiensi protein diperoleh dengan cara menghitung pertambahan bobot
badan dibagi dengan konsumsi protein kemudian dikali dengan 100%. Konsumsi
protein diperoleh dengan jalan persentase kandungan protein (dari hasil analisis
proksimat) dikalikan dengan konsumsi keringnya.
Pertambahan Bobot Badan
Rasio Efisiensi Protein =
---------------------------------- X 100 %
Konsumsi Protein
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengingat penelitian ini dibagi dalam empat tahapan, yaitu: tahap pertama
pengamatan pH yang terdiri atas: pH air hujan dan pH tanah; tahap kedua analisis
timbal (Pb) yang terdiri atas kandungan Pb air hujan, Pb tanah dan Pb hijauan
makanan ternak;
tahap ketiga penelitian in-vitro; dan terakhir tahap keempat
penelitian in-vivo, maka pembahasannyapun dirinci sesuai dengan
tahapan
penelitiannya.
4.1. Pengamatan pH
Derajat keasaman yang diamati adalah pH air hujan dan pH tanah baik pada
musim hujan maupun pada musim kemarau dari delapan kecamatan yang ada di
Kabupaten Bogor.
Delapan kecamatan yang dimaksud diantaranya: Kecamatan
Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Megamendung. dan
Cisarua. Disamping delapan kecamatan tersebut juga diambil satu kecamatan di
Kota Depok serta satu kecamatan di Kota Bekasi.
Delapan Kecamatan yang
mewakili Kabupaten Bogor dibagi menjadi empat kecamatan yang berdekatan
dengan Kota Bogor dengan topografi yang rendah dan empat kecamatan yang
mempunyai topografi tinggi. Empat kecamatan yang berdekatan dengan Kota Bogor
dengan topografi yang rendah diantaranya: untuk sebelah barat Kota Bogor adalah
Kecamatan Dramaga, sebelah timur Kecamatan Citeureup, sebelah utara Kecamatan
Bojong Gede dan sebelah selatan Kecamatan Ciomas. Keempat kecamatan tersebut
terletak pada posisi yang berbeda berdasarkan arah mata angin. Empat kecamatan
lainnya yang mempunyai topografi tinggi diwakili Kecamatan Ciawi, Jasinga,
Megamendung. dan Kecamatan Cisarua.
4.1.1. Pengamatan pH Air Hujan
Semua pH air hujan musim hujan di Kabupaten Bogor mempunyai pH diatas
5,6; terkecuali Kecamatan Ciomas (pH = 5,38). Bila dibandingkan antara dua
kecamatan yang mencolok perbedaanh pH air hujan musim hujannya, seolah-olah
ada sedikit berbeda antara Kecamatan Citeureup dengan pH = 7,03 (mendekati
netral) dan Kecamatan Ciomas (hujan asam).
Setelah diamati, ternyata contoh air
hujan yang ditampung pada Kecamatan Ciomas mempunyai jarak hari pengamatan
relatif lama dibandingkan dengan tujuh kecamatan lainnya. Jarak hari pangamatan
di Kecamatan Ciomas, antara yang pertama ke kedua dan antara kedua ke ketiga
melebihi dari 10 hari. Pada contoh pengamatan air hujan pada musim hujan tahun
berikutnya di kecamatan Ciomas mempunyai
rataan pH
6,21 dengan jarak
pengamatan 5 dan 8 hari hujan (Tabel 5).
Begitu pula untuk data pH air hujan di musim kemarau
menunjukkan
hampir semua kecamatan mempunyai pH dibawah 5,6 (Tabel 5); kecuali Kecamatan
Mega Mendung (pH = 6). Hal yang sama terjadi pada Kecamatan Mega Mendung
yang mempunyai jarak hari pengamatan relatif rebih cepat dibandingkan dengan
kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi pada musim
hujan, apabila jarak hari hujan relatif lebih lama, akan mendapatkan pH air hujan
relatif lebih rendah. Hal ini terjadi mengingat semakin lama tidak hujan semakin
banyak bahan dasar prekursor hujan asam terakumulasi di udara.
Begitu pula
sebaliknya, walaupun terjadi pada musim kemarau apabila jarak hujan yang teramati
relatif lebih cepat akan menunjukkan pH air hujan relatif tinggi atau mendekati ke
netral.
Dengan kata lain pada musim hujan volume air hujan sangat banyak,
sehingga konsentrasi asam menjadi rendah atau mendekati pH netral. Sebaliknya
pada musim kemarau volume air sangat sedikit, sehingga konsentrasi asam menjadi
tinggi dan menyebabkan pH air hujan menjadi rendah. Sebenarnya bahan prekursor
pembentuk asam baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau
terkonsentrasi relatif sama, karena jumlah industri dan transportasi sumber pencemar
asam relatif sama dan yang membedakan adalah jumlah air hujannya saja.
Peningkatan jumlah industri sebanyak 425 buah dan jumlah transportasi 91 buah
pada tahun 1988 di Kabupaten Bogor (Kantor Statistik Kabupaten Bogor, 1989)
hingga menjadi 31.349 buah industri dan 1.762 buah transportasi pada tahun 2007 di
kabupaten yang sama (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, 2007) mempercepat
terjadinya hujan asam
Data rataan pH air hujan di Kabupaten Bogor pada musim hujan menunjukkan angka sebesar 6,05.
Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa
besarnya pH berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6. Dengan
demikian pada musim hujan di Kabupaten Bogor belum terjadi hujan asam (nilai P =
0,0029). Menurut Saeni (1989) bahwa air hujan akan menjadi hujan asam kalau
mempunyai pH lebih rendah dari 5,6; sehingga pada musim hujan tidak ada peluang
atau peluangnya sangat kecil untuk mendapatkan pH air hujan lebih rendah dari 5,6.
Data pH air hujan di Kabupaten Bogor pada musim kemarau menunjukkan
angka 5,09. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa besarnya pH ini
berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6. Dengan demikian pada
musim kemarau sudah terjadi hujan asam di Kabupaten Bogor (nilai P = 0,0013),
sehingga peluang untuk mendapatkan pH air hujan lebih tinggi dari 5,6 sangat kecil
pada musim kemarau di Kabupaten Bogor.
Tabel 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau
Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor dan 1 Kecamatan
di Depok dan Bekasi
Musim Hujan
Musim Kemarau
Rataan
Kecamatan ------------------------------------------------------------------------------------pH+ Sd
pH+Sd
pH+Sd
Dramaga
Citeureup
Bojong Gede
Ciomas
Ciawi
Jasinga
Megamendung
Cisarua
6,02+0,34
7,03+0,32
5,76+0,55
5,38+0,59
6,55+0,35
6,00+0,52
6,06+0,20
5,62+0,34
4,85+0,19
5,37+0,56
4,68+0,30
4,17+0,26
4,95+0,54
5,45+0,20
6,00+0,83
5,22+0,68
5,44+0,29
6,20+0,60
5,23+0,50
4,78+0,46
5,75+0,51
5,70+0,39
6,02+0,51
5,48+0,56
Rataan Kab.Bogor
Bekasi
Depok
6,05+0,40
7,52+0,20
6,93+0,23
5,09+0.44
5,57+0,42
5,98+020
4,40+0,20
6,75+0,20
5,67+0,21
Rataan Bekasi & Depok 7,20+0,21
5,19+0,20
6,20+0,21
Berdasarkan data rataan pH air hujan pada musim hujan dan kemarau
sebesar 5,57. dan tidak berbeda nyata dengan batas ambang hujan asam sebesar 5,6
(nilai P = 0,4013),. Dengan demikian pada sepanjang tahun di Kabupaten Bogor
terjadi hujan asam pada musim kemarau dan tidak terjadi hujan asam pada musim
hujan, dan secara rataan antara musim kemarau dan hujan sudah terjadi hujan asam
walaupun peluang terjadinya hujan asam pada sepanjang tahun relatif rendah
terutama pada musim hujan. Hal ini dimungkinkan mengingat musim hujan yang
panjang sampai hampir 9 bulan dalam 1 tahun dengan pH air hujan musim hujan
6,05 dan musim kemarau hanya 3 bulan dalam 1 tahun, dengan rataan pH air hujan
musim kemarau 5,09. Dengan kata lain di Kabupaten Bogor sudah terjadi hujan
asam apabila sudah terjadi musim kemarau panjang, seperti terjadi beberapa tahun
sebelumnya.
Secara umum rataan pH air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau
yang terjadi di Kabupaten Bogor relatif lebih rendah daripada di luar kabupaten
Bogor yang dalam hal ini hanya dibandingkan dengan Depok dan Bekasi. Hal ini
dimungkinkan karena baik Depok maupun Bekasi merupakan
daerah yang
berdekatan dengan daerah industri, termasuk pabrik semen sedang Kabupaten Bogor
merupakan daerah yang dilalui transportasi lebih dominan dibandingkan dengan
daerah industri. Secara umum daerah yang berdekatan dengan pabrik semen akan
banyak mengandung kalsium (Ca) yang menyebabkan pH air hujan meningkat.
Kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor yang dekat dengan daerah
industri hanya Kecamatan Citeureup, sedang kecamatan lainnya seperti: Kecamatan
Dramaga, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Mega Mendung dan Cisarua
merupakan daerah yang relatif jauh dari industri. Itulah sebabkan pH air hujan pada
musim hujan di Kecamatan Citeureup relatif tinggi yaitu 7,03 atau mendekati netral.
Berbeda dengan kecamatan-kecamatan seperti: Ciawi, Mega Medung dan Cisarua
merupakan daerah yang lebih banyak dilalui trransportasi. Banyaknya trasportasi
yang melalui Kecamatan-kecamatan yang ada dalam Kabupaten Bogor, disebabkan
karena Kabupaten Bogor dari segi letak geografisnya merupakan kota penghubung
antara kota Jakarta dan Bandung juga antara Jakarta dan Sukabumi. Banyaknya
transportasi memungkinkan Kabupaten Bogor cenderung mempunyai hujan yang
cenderung lebih asam daripada
kota atau Kabupaten yang mempunyai banyak
industri. Hal ini bisa dijelaskan karena penentuan rendahnya pH air hujan tidak
hanya ditentukan dari banyaknya industri yang ada, akan tetapi ditentukan oleh
banyaknya sumber pembentuk gas-gas asam (seperti SOX dan NOX serta hidrogen
sulfida). Sumber pembentuk gas-gas asam relatif lebih sedikit pada industri apalagi
industri yang menggunakan batubara dibandingkan dengan transportasi. Rendahnya
gas-gas asam hasil polusi pembakaran industri, disebabkan karena gas-gas yang
dihasilkan oleh industri tidak hanya gas karbon monoksida (CO), akan tetapi logamlogam kation sepertri As, Cd, Pb dan Hg (ion pembentuk basa) lebih banyak
dihasilkan daripada hasil pembakaran transportasi yang lebih dominan pada
produksi gas CO, sedang As, Cd, Pb, dan Hg relatif sedikit. Hal ini bisa dilihat pada
Tabel 1 yang menunjukkan industri (pabrik dan industri energi listrik yang menggunakan batubara) menghasilkan As, Cd, Pb dan Hg yang lebih banyak daripada
kelompok industri yang menggunakan bahan bakar minyak (Darmono, 1995).
Dengan kata lain banyaknya industri tidak lebih dominan dalam penentuan hujan
asam dibandingkan dengan banyaknya transportasi, sehingga Kota Depok dan
Bekasi mempunyai keasaman yang relatif tinggi dibandingkan dengan Kabupaten
Bogor. Seperti halnya Kecamatan Citeureup yang mempunyai pH air hujan baik
pada musim hujan maupun kemarau relatif lebih tinggi daripada kecamatan lainnya
di Kabupaten Bogor.
Derajat keasaman (pH) air hujan pada musim hujan di dataran rendah (Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede dan Ciomas) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, kecuali Kecamatan Ciomas, karena mempunyai pH diatas 5,6.
Rendahnya pH air hujan di Kecamatan Ciomas karena jarak hujan pada waktu
pengambilan contoh air hujan lebih lama, sehingga prekursor pembentuk hujan asam
terkonsentrasi lebih tinggi yang menyebabkan rendahnya pH. Kecamatan Citeureup
mempunyai pH air hujan musim hujan relatif lebih tinggi daripada kecamatan
lainnya, karena Kecamatan Citeureup berdekatan dengan pabrik semen yang
mempunyai cemaran kalsium (Ca) lebih tinggi. Sifat dari kalsium yang bersifat basa
memungkinkan pH air hujan lebih tinggi. Dengan demikian perbedaan topografi di
dataran rendah tidak mempenga- ruhi keasaman air hujan baik pada musim hujan
maupun musim kemarau, akan tetapi perbedaan musim yang mempengaruhi
keasaman air hujan.
Bila diperhatikan kecenderungan tingginya diagram batang antara pH air
hujan musim hujan di dataran rendah (Gambar 5) dan pH air hujan musim kemarau
di dataran rendah (Gambar 6), seolah-olah ada kemiripan, karena diawali dengan pH
rendah di Kecamatan Dramaga, menaik di Kecamatan Citeureup, kemudian
menurun di Kecamatan Bojong Gede dan Ciomas. Sebenarnya pH air hujan pada
musim hujan dan musim kemarau di Kecamatan Dramaga dan Bojong Gede relatif
sama, yang berbeda adalah tingginya pH air hujan di Kecamatan Citeureup dan lebih
rendahnya pH air hujan di Kecamatan Ciomas.
Hal yang berbeda dengan pH air hujan pada musim hujan di kecamatan
dataran tinggi (Kecamatan Ciawi, Jasinga, Mega Mendung dan Cisarua). Perbedaan
Ketinggian tempat menyebabkan pH air hujan musim hujan menjadi lebih rendah
(Gambar 7).
pH Air Hujan Musim Hujan di Dataran Rendah
8
7
7.03
6.02
5.77
6
5.38
pH
5
4
3
pH Air M.Hujan
2
1
0
Dramaga
Citeureup
Bojong Gede
Kecamatan
Ciomas
Gambar 5. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Hujan
di Dataran Rendah
pH Air Hujan Musim Kemarau di Dataran Rendah
6
5
5.37
4.85
4.68
4.17
pH
4
3
pH Air M.Kemarau
2
1
0
Dramaga
Citeureup
Bojong Gede
Kecamatan
Ciomas
Gambar 6. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim
Kemarau di Dataran Rendah.
7
pH Air Hujan Musim Hujan di Dataran Tinggi
6.55
6.5
6.06
pH
6
6
5.62
5.5
5
Ciawi
Jasinga
M.Mendung
Cisarua
Kecamatan
Gambar 7. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Hujan
di Dataran Tinggi.
Urut-urutan topografi dimulai dari daerah kecamatan yang lebih rendah ke yang
lebih tinggi, yaitu Kecamatan Ciawi lebih rendah dari Kecamatan Jasinga, dan
Kecamatan Jasinga lebih rendah dari Kecamatan Mega Mendung serta yang paling
tinggi adalah Kecamatan Cisarua. Berdasarkan gambar tersebut terlihat semakin
tinggi daerah kecamatan semakin rendah pH air hujan pada musim hujan. Hal ini
terjadi karena prekursor pembentuk asam pada daerah yang lebih tinggi akan lebih
ditahan
penyebarannya
karena
terbentur
dengan
kondisi
gunung
yang
menghalanginya, sehingga konsentrasi prekursor hujan asam akan lebih banyak dan
menyebabkan pH air hujan menjadi lebih rendah. Hal yang berbeda bila terjadi pada
musim kemarau. Pada musim hujan jarak waktu hari hujan ke hujan berikutnya
relatif lebih cepat sehingga penyebaran prekursor hujan asam terhalang gunung dan
lebih cepat terlarut keasaman air hujan, akan tetapi pada musim kemarau jarak
waktu hari hujan lebih lama, sehingga prekursor hujan asam masih sempat menyebar
dan menghindari gunung dan menyebabkan konsentrasinya lebih sedikit yang
membuat pH-nya lebih tinggi. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 8 yang memperlihatkan pH air hujan pada musim kemarau tidak semakin menurun dengan
semakin tingginya tempat. Kecamatan Jasinga dan Mega Mendung pH-nya lebih
tinggi dari Kecamatan Ciawi, padahal Kecamatan Jasinga dan Mega Mendung lebih
tinggi dari Kecamatan Ciawi, begitu pula Kecamatan Mega Mendung pH-nya lebih
tinggi dari Kecamatan Jasinga, padahal Kecamatan Mega Mendung lebih tinggi dari
Kecamatan Jasinga. Dengan demikian pada musim kemarau di dataran tinggi pH air
hujan tidak dipengaruhi oleh perbedaan topografi.
7
pH Air Hujan Musim Kemarau di Dataran Tinggi
6
6
5.45
5.22
4.95
pH
5
4
3
2
1
0
Ciawi
Jasinga
M.Mendung
Kecamatan
Cisarua
Gambar 8. Derajat Keasaman (pH) Air Hujan pada Musim Kemarau
Di Dataran Tinggi
7
pH Air Hujan Musim Kemarau
6
pH
5
5.45
5.37
4.85
4.95
4.68
6
5.22
4.17
4
3
2
pH Air M.Kemarau
1
0
i
e
a
ng
as
ga
up
aw
ed
ag
i
e
m
du
r
G
sin
o
C
m
n
u
i
a
a
e
g
e
C
t
J
M
Dr
Ci
jon
ga
Bo
e
Kecamatan
M
a
ru
sa
i
C
Gambar 9. Derajat Keasaman (pH) air hujan pada musim Kemarau
di Kabupaten Bogor
Hal tersebut lebih diperjelas pada Gambar 9, bahwa pH air hujan musim
kemarau mempunyai pH yang lebih rendah dari 5,6 dan terlihat hampir sama tinggi
diagram batangnya, kecuali untuk kecamatan Mega Mendung dengan pH lebih dari
5,6 dengan alasan seperti diutarakan sebelumnya. Dengan kata lain pada waktu
musim kemarau pH air hujan menjadi asam dan tidak dipengaruhi oleh adanya
perbedaan posisi dan topografi kecamatan.
4. 1.2. Pengamatan pH Tanah
Untuk mengetahui dampak pH air hujan pada pH tanah, maka contoh tanah
diambil disamping dari tanah permukaan juga tanah kedalaman 20 - 30 cm. Tanah
kedalaman 20 – 30 cm diasumsikan tidak dipengaruhi oleh pencemaran udara dan
kondisi di luar permukaan tanah, sedangkan tanah permukaan mewakili tanah yang
dipengaruhi air hujan. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan baik pada musim
hujan maupun pada musim kemarau di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor
tidak terlalu mencolok perbedaannya. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan
berkisar antara 5,66 – 6,37 pada musim hujan dan 5,40 – 6,53 pada musim kemarau
dengan rataan pH tanah permukaan pada musim hujan adalah 5,93 dan pada musim
kemarau adalah 5,71 (Tabel 6).
Tabel 6. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm
di Musim Hujan dan Kemarau dari Beberapa Kecamatan di
Kabupaten Bogor, 1 Kecamatan di Depok dan Bekasi
Musim Hujan
Musim Kemarau
Rataan
Kecamatan -----------------------------------------------------------------------------------Permukaan
Dramaga
Citeureup
Bojong Gede
Ciomas
Ciawi
Jasinga
5,84+0,28
6,00+0,18
6.16+0,35
5,88+0,22
5,74+0,38
5,82+0,31
Megamendung 5,66+0,45
Cisarua
6,37+0,58
20 Cm
6,08+0,33
5,89+0,23
5,67+0,50
5,81+0,15
5,80+0,25
5,59+0,45
6,00+0,36
6,21+0,53
Rataan
Kab.Bogor 5,93+0,34 5,88+0.35
5,69+0,27
6,01+0,13
6,18+0,26
5,77+0,34
5,46+0,20
5,50+0,85
5,40+0,34
6,53+0,13
5,06+0,54
5,67+0,25
Rataan
5,37+0,40 5,26+0,16 5,12+0,47
& Depok
20 Cm
6,06+0,35
5,91+0,29
6,00+0,20
6,06+0,17
5,84+0,40
6,00+0,19
5,90+0,47
5,90+0,47
Permukaan
5,77+0,28
6,01+0,16
6,17+0,31
5,83+0,28
5,60+0,29
5,66+0,58
5,53+0,40
6,45+0,36
20 Cm
6,07+0,34
5,90+0,26
5,84+0,35
5,94+0,16
5,82+0,33
5,80+0,31
5,95+0,42
6,06+0,50
5,71+0,32 6,00+0,32 5,82+0,33 5,94+0,34
Bekasi
Depok
Bekasi
5,22+0,16
5,29+0,15
Permukaan
4,88+046
5,36+0,47
5,33+0,14
5,20+0,13
4,97+0,50
5,52+0,36
5,28+0,15
5,25+0,14
5,27+0,14 5,25+0,44 5,27+0,15
Hal yang menarik dari pH tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 - 30 cm
di Depok dan Bekasi (Tabel 6) adalah bahwa rataan pH tanah permukaan dan tanah
kedalaman 20 cm dibawah standar asam yang ditentukan oleh Saeni (1989) sebesar
5,6.
Di sisi lain rataan pH air hujan pada musim hujan dan musim kemarau di
Depok dan Bekasi lebih tinggi dari rataan pH air hujan Kabupaten Bogor (Tabel 5).
Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan kedalaman 20 cm yang relatif tinggi di
Kabupaten Bogor dibandingkan dengan Depok dan Bekasi, karena Kabupaten Bogor
mempunyai curah hujan yang relatif lebih tinggi dan dikenal sebagai kota hujan
dibandingkan dengan Depok dan Bekasi.
6.6
pH Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm 6.37
Musim Hujan
6.21
6.4
6.2
6
pH
6.16
6.08
6
6
5.89
5.84
5.88
5.81
5.8
5.67
5.8 5.82
5.74
5.59
5.66
5.6
5.4
a
ru
Ci
sa
.M
Ja
en
du
si n
ng
ga
i
Ci
aw
as
Ci
om
Bj
.G
ed
e
p
ur
eu
pH Tanah 20cm
Kecamatan
M
pH Tanah P
Ci
te
Dr
am
ag
a
5.2
Gambar 10. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman
20 – 30 cm pada Musim Hujan di Kabupaten Bogor.
Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan kedalaman 20 - 30 cm pada
musim hujan dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor diperlihatkan pada Gambar 10. Derajat keasaman (pH) tanah permukaan dan pH tanah kedalaman 20 - 30
cm pada musim kemarau dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor terlihat pada
Gambar 11.
Derajat keasaman (pH) tanah permukaan baik pada musim hujan
maupun pada musim kemarau tidak mempengaruhi pH tanah Kedalaman 20 cm
pada musim hujan dan musim kemarau.
Hal itu terjadi karena secara umum
rendahnya pH tanah permukaan tidak diikuti dengan rendahnya pH tanah kedalaman
20 cm, sebaliknya tingginya pH tanah permukaan tidak diikuti dengan tingginya pH
tanah kedalaman 20 cm (Gambar 10 dan 11).
7
pH Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm pada Musim Kemarau
5.91
6.06
6
6.18
6.06
6
5.77
6.01
5.46
5 5.69
pH
6
5.84
5.5
5.9
6.53
5.9
5.4
4
3
pH Permukaan
2
pH Kedalaman 20cm
1
0
D
ag
ram
a
C it
e
u
ure
p
jo
Bo
n
ed
gG
e
C
a
io m
s
C ia
wi
Kecamatan
a
n g sa r u a
ing
u
s
d
a
Ci
J
en
M
ga
Me
Gambar 11. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan dan Kedalaman
20 – 30 cm pada Musim Kemarau di Kabupaten Bogor
Derajat keasaman (pH) tanah permukaan di masing-masing kecamatan baik
pada musim hujan maupun pada musim kemarau terlihat terkadang lebih tinggi,
tetapi terkadang lebih rendah dari pH tanah kedalaman 20 - 30 cm.
Hal ini
menunjukkan bahwa pH tanah permukaan tidak mempengaruhi pH tanah kedalaman
20 - 30 cm, karena pH air hujan yang jatuh ke bumi tidak mempengaruhi pH tanah
permukaan. Keasaman pH tanah permukaan sangat tergantung dari jenis tanah dan
kondisi mineral yang ada dalam tanah tersebut. Secara umum pH tanah permukaan
pada musim hujan hampir sama dengan pH tanah kedalaman 20 cm (Gambar 10).
Begitu pula pH tanah permukaan pada musim kemarau hampir sama dengan pH
tanah kedalaman 20 cm (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah permukaan hampir sama pH tanah kedalaman 20 cm dan tidak saling mempengaruhi. Hal
yang mempengaruhi pH tanah permukaan dan tanah kedalaman 20 - 30 cm adalah
jenis tanah pada tanah kecamatan yang berbeda..
7
6
pH Tanah Permukaan Dataran Rendah
6.16
6
5.88
5.84
pH
5
4
3
pH Tanah P
2
1
0
Dramaga
Citeureup
Bj. Gede
Kecamatan
Ciomas
Gambar 12. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan
Dataran Rendah di Kabupaten Bogor.
7
6
pH Tanah Permukaan Dataran Tinggi
5.74
5.82
5.66
6.37
pH
5
4
3
2
pH Tanah P
1
0
Ciawi
Jasinga
M. Mendung
Cisarua
Kecamatan
Gambar 13. Derajat Keasaman (pH) Tanah Permukaan di Kecamatan
Dataran Tinggi di Kabupaten Bogor
Berdasarkan lokasi sesama dataran rendah di Kabupaten Bogor yang dipilih
berdasarkan perbedaan posisi (letak arah mata angin) kecamatan, maka pH tanah
permukaan di beberapa kecamatan dataran rendah tidak menunjukkan perbedaan
antara Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede dan Kecamatan Ciomas,
seperti yang terlihat pada Gambar 12. Begitu pula bila pH tanah permukaan yang
dibandingkan antara sesama kecamatan yang mempunyai topografi tinggi di
Kabupaten Bogor, juga tidak menunjukkan perbedaan pH (Gambar 13). Derajat
keasaman (pH) tanah permukaan dari Kecamatan Ciawi, Jasinga, Megamendung dan
Kecamatan Cisarua relatif sama berkisar antara 5,66 sampai 6,37 (Gambar 13).
4.1.3. Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah
Derajat keasaman (pH) air hujan pada musim hujan perbedaannya relatif
mencolok, seperti di Kecamatan Citereup mendekati netral (pH = 7,03) dan di
Kecamatan Ciomas pH-nya asam dengan pH = 5,38 (Tabel 5). Peningkatan pH air
hujan pada musim hujan mendekati ke netral seperti pH Kecamatan Citeureup dan
penurunan pH air hujan pada musim hujan menjadi hujan asam seperti di Kecamatan
Ciomas tidak menunjukkan perubahan pH tanah permukaan baik di Kecamatan
Citeureup maupun di Kecamatan Ciomas (Gambar 14). Derajat keasaman (pH)
tanah permukaan relatif datar, sedang pH air hujan relatif fluktuatif (Gambar 14).
Hal ini menunjukkan bahwa pH air hujan yang mendekati netral atau asam tidak
mengubah pH tanah permukaan, karena pH tanah di Kecamatan Citeureup 6,00 atau
tidak netral dan pH tanah permukaan di Kecamatan Ciomas tidak berubah menjadi
asam, mengingat pH tanah permukaan Kecamatan Ciomas 5,88.
Secara keseluruhan pH air hujan musim kemarau lebih rendah dari 5,6
sebagai standard pH hujan asam, kecuali Kecamatan Mega Mendung yang
mempunyai pH 6,00, akan tetapi pH tanah permukaan musim kemarau hampir
semua mempunyai pH diatas 5,6; kecuali Kecamatan Ciawi, Jasinga dan Mega
Mendung seperti terlihat pada Gambar 15. Derajat keasaman (pH) air hujan musim
kemarau yang bersifat asam tidak diikuti dengan pH tanah permukaan musim
kemarau yang harusnya juga bersifat asam, akan tetapi justru kebanyakan bersifat
basa.
Hal ini menunjukkan bahwa pH air hujan musim kemarau tidak
mempengaruhi pH tanah permukaan musim kemarau. Dengan demikian pH air
hujan baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau tidak mempengaruhi pH
tanah permukaan pada musim hujan dan kemarau, sehingga tidak ada korelasi antara
pH air hujan dan pH tanah permukaan.
8
7
Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan
Musim Hujan
6
pH
5
4
3
2
1
0
m
Dr a
aga
C
re u
it eu
pH Air Hujan
p
d
Ge
Bj .
e
m
Cio
pH Tanah P
as
Cia
wi
i ng
J as
a
en
M.M
du n
g
Cis
ar u
a
Kecamatan
Gambar 14. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan pada Musim Hujan
Hubungan pH Air Hujan dan pH Tanah Permukaan Musim Kemarau
7
6
5.69
pH
5 4.85
6.01
5.37
6.18
5.77
4.68
6
5.5
5.46
4.95
5.45
6.53
5.4
5.22
4.17
4
3
2
pH Air Kemarau
pH Tanah P Kemarau
1
0
iw i
e om as
up
ga
C
d
inga dung isarua
e
a
r
s
e
i
m
u
a
G
a
e
J
C
n
C
Dr
C it
Me
ong
j
a
o
B
Kecamatan M eg
Gambar 15. Hubungan pH Air Hujan dan Tanah Permukaan
pada Musim Kemarau
4.2. Analisis Pb
Analisis Pb dilakukan pada air hujan, tanah dan Hijauan Makanan Ternak
(HMT). Contoh air hujan yang diambil dilakukan baik pada musim hujan maupun
pada musim kemarau, sedang analisis Pb untuk contoh tanah dan contoh HMT tidak
dilakukan pada musim hujan atau pada musim kemarau, mengingat hasil analisis uji
coba terhadap contoh tanah pada waktu musim hujan dan contoh tanah pada waktu
musim kemarau tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini dimungkinkan mengingat
pH air hujan tidak mempengaruhi pH tanah permukaan baik pada musim hujan
maupun pada musim kemarau (Gambar 14 dan 15). Dengan demikian contoh HMT
juga tidak diambil berdasarkan musim akan tetapi diambil berdasarkan waktu akan
menganalisis Pb HMT, karena contoh HMT harus dalam kondisi segar dan contoh
air hujan, tanah maupun HMT diambil dari delapan kecamatan di Kabupaten Bogor,
yaitu: Kecamatan Dramaga, Citeureup, Bojong Gede, Ciomas, Ciawi, Jasinga, Mega
Mendung. dan Cisarua.
4.2.1. Kandungan Pb Air Hujan
Data kandungan Pb air hujan musim hujan dan musim kemarau beserta
rataannya disajikan pada Tabel 7. Kandungan Pb air hujan pada musim hujan
berkisar antara 0,02 – 0,16 ppm dengan rataannya sebesar 0,07 ppm. Kandungan Pb
air hujan di musim kemarau berkisar 0,01 – 0,05 ppm dengan rataannya sebesar 0,03
ppm. Rataan kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun pada musim
kemarau di Kabupaten Bogor sebesar 0,05 ppm.
Kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun musim kemarau di
beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor secara umum relatif rendah (kurang dari
0,2 ppm). Kandungan Pb air hujan baik pada musim hujan maupun pada musim
kemarau tidak dipengaruhi oleh perbedaan posisi kecamatan dan topografi, sekaligus
juga tidak dipengaruhi oleh keasaman dari air hujan. Mengingat air hujan yang
relatif asam seperti pH air hujan musim hujan di Kecamatan Ciomas sebesar 5,38
(Tabel 5) tidak ditunjukkan dengan kandungan Pb air hujan yang tinggi, akan tetapi
relatif rendah yaitu sebesar 0,03 ppm (Tabel 7) Sebaliknya pH air hujan yang netral
seperti pH air hujan musim hujan di Kecamatan Citeureup sebesar 7,03 (Tabel 5)
tidak menunjukkan kandungan Pb air hujan di Kecamatan tersebut pada musim
hujan menjadi lebih rendah, karena hanya 0,04 ppm (Tabel 7). Begitu pula pH air
hujan yang asam seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5, rataan pH air hujan musim
kemarau sebesar 5,09 (hujan asam) tidak menunjukkan kandungan Pb air hujan
musim kemarau (Tabel 7) menjadi lebih besar (rataannya 0,03 ppm) dari kandungan
Pb air hujan di musim hujan (rataannya 0,07 ppm). Secara sepintas kandungan Pb
air hujan musim hujan dan musim kemarau relatif sedikit, karena kurang dari 0,2
ppm, akan tetapi rataan kandungan Pb air hujan musim hujan lebih dari dua kali lipat
dari kandungan Pb air hujan musim kemarau. Hal tersebut dimungkinkan karena Pb
yang ada di udara pada saat musim hujan sempat bereaksi dengan air hujan tanpa
lebih banyak Pb udara menyebar ke beberapa daerah. Berbeda dengan pada musim
kemarau, konsentrasi Pb udara pada musim kemarau akan
lebih sedikit
dibandingkan musim hujan, karena sifat Pb yang ringan di udara, yang menurut
Saeni (1995), bahwa Pb dapat disebarkan angin mencapai 100 – 1.000 km dari
sumbernya, dengan masa tinggal 4 – 40 hari di udara. Mengingat sifat Pb tersebut,
maka pada saat musim kemarau konsentrasi Pb udara menjadi lebih sedikit, karena
sempat menyebar hingga 1.000 km dari sumbernya, dan menyebabkan kandungan
Pb air hujan musim kemarau kurang dari separuh kandungan Pb air hujan musim
hujan.
Tabel 7. Kandungan Pb Contoh Air Hujan Musim Hujan dan Kemarau
dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm)
Kecamatan
Musim Hujan
Musim Kemarau
Rataan
Dramaga
0,16 + 0,02
0,04 + 0,01
0,10 + 0,01
Citeureup
0,04 + 0,02
0,05 + 0,02
0,05 + 0,02
Bojong Gede
0,03 + 0,01
0,01 + 0,003
0,02 + 0,02
Ciomas
0,03 + 0,01
0,02 + 0,01
0,03 + 0,01
Ciawi
0,04 + 0,01
0,04 + 0,02
0,04 + 0,01
Jasinga
0,15 + 0,07
0,03 + 0,01
0,09 + 0,04
Megamendung
0,02 + 0,01
0,01 + 0,003
0,02 + 0,02
Cisarua
0,06 + 0,03
0,04 + 0,01
0,05 + 0,02
Rataan
0,07 + 0,02
0, 03 + 0,01
0,05 + 0,02
____________________________________________________________________
Kandungan Pb air hujan musim hujan di Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Jasinga hampir empat kalinya daripada kandungan Pb di kecamatan lainnya
(Tabel 7). Hal tersebut disebabkan karena berdasarkan letaknya, kedua kecamatan
tersebut terletak pada daerah kaki bukit yang mempunyai pepohonan yang lebih
rindang, dibandingkan dengan Kecamatan Ciomas, Ciawi, Mega Mendung dan
Cisarua yang terletak di kaki gunung dan didominasi perumahan penduduk dan
tanaman teh.
Daerah yang didominasi perumahan penduduk dan tanaman teh
kandungan Pb udara akan lebih sedikit, karena Pb tersebar dibawa angin
dibandingkan dengan daerah yang berada di kaki bukit dengan pepohonan yang
rindang. Begitu pula Kecamatan Citeureup dan Bojong Gede yang relatif jauh dari
gunung dan bukit, sehingga sebaran Pb lebih luas dan menyebabkan konsentrasi Pb
udara pada kedua kecamatan tersebut menjadi rendah dan mengakibatkan
kandungan Pb air hujannyapun menjadi rendah.
4.2.1.1. Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Hujan
Kisaran pH air hujan musim hujan di beberapa kecamatan berkisar 5,38 –
7,03, dan kandungan Pb hampir semua kecamatan berkisar 0,02 – 0,06; terkecuali
kandungan Pb di Kecamatan Dramaga sebesar 0,16 dan Kecamatan Jasinga sebesar
0,15, sehingga selain Kecamatan Dramaga dan Jasinga titik hubungan antara pH dan
Pb terdapat pada areal yang berdekatan sedang Kecamatan Dramaga dan Jasinga
berada pada areal tersendiri dan berada di atas (Gambar 16).
Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Hujan
0.18
D
0.16
J
0.14
Pb (ppm)
0.12
0.1
0.08
Cs
0.06
Ct
0.04
B
Cm
0.02
Cw
M
0
5
5.5
6
6.5
7
7.5
pH
Keterangan: D = Kecamatan Dramaga
B = Kecamatan Bojong Gede
J = Kecamatan Jasinga
M = Kecamatan Mega Mendung
Ct = Kecamatan Citeureup.
Cm = Kecamatan Ciomas
Cw = Kecamatan Ciawi
Cs = Kecamatan Cisarua
Gambar 16. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Hujan
di Kabupaten Bogor
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH dari 5,38 ke 7,03 tidak diikuti dengan
penurunan konsentrasi Pb dalam air hujan musim hujan dan tidak dapat dilihat
korelasi regresinya karena ada dua titik yang jauh berada diatas kelompoknya,
sehingga pH air hujan musim hujan tidak mempengaruhi konsentrasi Pb air hujan
musim hujan di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor.
4.2.1.2. Hubungan pH dan Pb air Hujan Musim Kemarau
Hubungan pH dan Pb air hujan musim kemarau pada beberapa kecamatan
terletak pada kisaran areal yang relatif sama dengan kisaran pH 4,17 – 6,00 dan
konsentrasi Pb berkisar 0,01 – 0,05 (Gambar 17). Peningkatan pH tidak mengakibatkan perubahan yang nyata terhadap konsentrasi Pb, seperti pada Kecamatan
Mega Mendung yang mempunyai pH paling tinggi, akan tetapi kandungan Pb-nya
lebih rendah.
0.15
Hubungan pH dan Pb Air Hujan Musim Kemarau
Pb (ppm)
0.1
Ct
0.05
D
Cw
Cs
J
B
Cm
M
0
4
4.5
5
5.5
6
6.5
pH
Keterangan: D = Kecamatan Dramaga
B = Kecamatan Bojong Gede
J = Kecamatan Jasinga
M = Kecamatan Mega Mendung
Ct = Kecamatan Citeureup.
Cm = Kecamatan Ciomas
Cw = Kecamatan Ciawi
Cs = Kecamatan Cisarua
Gambar 17. Hubungan pH dan Pb Air Hujan pada Musim Kemarau
di Kabupaten Bogor
Begitu pula di Kecamatan Ciomas yang mempunyai pH paling rendah, akan tetapi
kandungan Pb-nya tidak paling tinggi, termasuk Pb yang paling tinggi di Kecamatan
Citeureup mempunyai pH yang tidak paling rendah. Dengan kata lain penurunan pH
tidak mengikat Pb. Hal ini menunjukkan bahwa pH dan konsentrasi Pb dalam air
hujan pada musim kemarau tidak berhubungan dan sekaligus menunjukkan bahwa
perubahan pH terhadap konsentrasi Pb dalam air hujan musim kemarau pada satu
kecamatan tidak mempengaruhi perubahan pH dan konsentrasi Pb air hujan pada
musim kemarau di kecamatan lainnya.
Dengan demikian penurunan pH tidak
menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb air hujan, baik pada musim hujan maupun
pada musim kemarau.
4.2.2. Kandungan Pb Tanah
Timbal (Pb) tanah permukaan dari beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor
berkisar antara 105,07 – 179,64 ppm.
Kandungan Pb tanah permukaan di
Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Ciomas yang lebih tinggi dari kecamatan
lainnya (Tabel 8).
Tingginya kandungan Pb tanah permukaan di Kecamatan
Dramaga disebabkan tingginya Pb air hujan pada musim hujan (Tabel 7) yakni
sebesar 0,16 ppm. Begitu pula dengan tingginya Pb tanah di Kecamatan Ciomas
seolah-olah karena rendahnya pH air hujan pada musim hujan di Kecamatan yang
sama (Tabel 5).
Tabel 8. Kandungan Pb Contoh Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm
dari Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor (ppm)
Kecamatan
Tanah Permukaan
Kedalaman 20 - 30 Cm
Dramaga
179,64 + 15,57
221,43 + 39,01
Citeureup
107,96 + 12,78
195,65 + 5,69
Bojong Gede
107,02 + 10,37
145,30 + 11,03
Ciomas
158,87 + 16,07
178,08 + 22,78
Jasinga
111,07 + 9,40
139,10 + 7,34
Ciawi
117,45 + 12,96
171,95 + 7,87
Megamendung
119,89 + 14,10
211,95 + 11,00
Cisarua
105,87 + 17,24
153,83 + 26,37
____________________________________________________________________
177,16 + 16,39
Rataan
125,98 + 13,56
Kandungan Pb tanah pada kedalaman 20 – 30 cm sangat bervariasi pada
masing-masing kecamatan, yaitu berkisar 139,10 – 221,43 ppm, dan berbeda dengan
kandungan Pb tanah permukaan yang relatif sama dan berpolanya mengikuti pengaruh pH dan kandungan Pb air hujan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan Pb
pada tanah kedalaman 20 - 30 cm tidak dipenga- ruhi oleh keadaan pH air hujan
maupun kandungan Pb tanah permukaan. Nilai kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm mempunyai simpangan baku yang sangat besar, yang menunjukkan
bahwa nilai kandungan Pb pada tanah kedalaman 20 – 30 cm sangat tergantung dari
sampel tanah yang diambil. Contoh tanah diambil dari 3 desa yang berbeda untuk
setiap kecamatan yang sama.
Untuk menentukan kandungan Pb tanah dari 1
kecamatan diambil dari 3 desa yang berbeda dalam 1 kecamatan. Perbedaan tanah
di masing-masing desa dalam 1 kecamatan menyebabkan simpangan baku
kandungan Pb tanah 1 kecamatan menjadi lebih besar.
Kandungan Pb tanah permukaan lebih rendah dari kandungan Pb tanah
kedalaman 20 - 30 cm (Tabel 8). Hal tersebut terjadi karena mineral pada tanah
permukaan memungkinkan dimanfaatkan oleh tumbuhan diatasnya dan mineral
yang terdapat pada tanah permukaan lebih banyak terkikis oleh aliran air hujan
sehingga kandungan Pb tanah permukaan akan lebih rendah dari kadungan Pb tanah
Pb (ppm )
kedalaman 20 – 30 cm.
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Dr
am
Hubungan Pb Air Hujan dan Tanah Permukaan
a
up
e
re
i
as
ed
u
m
G
e
aw
.
t
i
j
o
i
i
C
B
C
C
ag
Kecam atan
si n
Ja
ga
M
.M
e
u
nd
ng
sa
Ci
ru
a
Pb Air Hujan
Pb Tanah P
Gambar 18. Hubungan Pb Air Hujan Musim Hujan dan Tanah Permukaan
di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.
Kandungan Pb tanah permukaan cenderung lebih tinggi bila kandungan Pb
pada tanah kedalaman 20 – 30 cm tinggi, seperti di Kecamatan Dramaga yang
mempunyai kandungan tanah permukaan tertinggi dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, yakni sebesar 179,64 ppm dengan kandungan Pb pada tanah kedalaman 20
– 30 cm juga tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya (Gambar 19).
Begitu pula di Kecamatan Cisarua yang mempunyai kandungan Pb tanah permukaan
yang paling rendah diantara kecamatan lainnya mempunyai kandungan tanah pada
kedalaman 20 – 30 cm yang rendah, walaupun pada kasus di Kecamatan Ciomas
terlihat bahwa kandungan Pb tanah permukaan relatif tinggi dan tidak terpaut jauh
dengan kandungan Pb tanah pada kedalaman 20 - 30 cm.
250
Pb Tanah Permukaan dan Kedalaman 20cm
221.43
P b (p p m )
200 179.64
211.95
195.65
145.3
150
178.08 171.95
158.87
153.83
139.1
117.45 111.07 119.89
105.87
107.96 107.02
100
50
Permukaan
20 cm
0
m
Dra
a ga
p
ed
re u
u
j .G
e
t
B
i
C
e
C io
ma
s
Cia
wi
Kecamatan
i
J as
n ga
M .M
u
e nd
ng
ar
Cis
ua
Gambar 19. Hubungan Pb Tanah Permukaan dan Kedalaman 20 cm di Beberapa
Kecamaatan di Kabupaten Bogor
Penelitian timbal pada tanah permukaan dan kedalaman 20 - 30 cm dalam
penelitian ini berbeda dengan penelitian Harahap (2004). Kalau dalam penelitian ini
contoh tanah diambil dari kedalaman 20 - 30 cm dari atas permukaan tanah, sedang
dalam penelitian Harahap (2004) diambil dari kedalaman 5 – 20 cm dan dihasilkan
bahwa kandungan timbal tertinggi terdapat pada kedalaman 0 – 5 cm, sedang dalam
penelitian ini kandungan timbal tertinggi didapat dari kedalaman 20 - 30 cm. Hal ini
terjadi karena kebanyakan akar tanaman hijauan makanan ternak jarang terdapat
pada kedalaman lebih dari 20 cm. Pada kedalaman 0 – 20 cm memungkinkan timbal
yang terkandung di dalamnya diserap tanaman makanan ternak, sehingga kandungan
timbal tertinggi akan lebih banyak pada kedalaman 20 - 30 cm.
Bila dilihat dari kandungan Pb air hujan musim kemarau di Kecamatan
Dramaga yang relatif sama dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten
Bogor (Tabel 7) menunjukkan bahwa kandungan Pb air hujan musim kemarau tidak
berdampak terhadap besarnya kandungan Pb tanah permukaan di Kecamatan
Dramaga. Begitu pula hal yang sama untuk musim hujan di Kecamatan Dramaga
dibandingkan dengan dampak Pb air hujan musim kemarau, walaupun lama hujan
pada musim hujan relatif lama yaitu selama 9 bulan per tahun dibandingkan dengan
lamanya musim kemarau yang hanya 3 bulan dalam setahun. Mengingat kandungan
Pb air hujan relatif sama, dan disisi lain kandungan Pb tanah permukaan bervariasi,
maka kandungan Pb tanah permukaan yang tinggi atau rendah tidak dipengaruhi
kandungan Pb air hujan karena kandungan Pb air hujan yang rendah (kurang dari 0,2
ppm). Dengan kata lain kondisi air hujan yang asam atau mendekati netral tidak
banyak mempengaruhi kandungan Pb tanah permukaan, termasuk juga tinggi atau
rendahnya kandungan Pb air hujan, baik pada musim hujan maupun kemarau tidak
mempengaruhi kandungan Pb tanah permukaan. Secara umum kandungan Pb tanah
permukaan jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb air hujan.
4.2.2.1. Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Hujan
Hubungan pH dan Pb tanah permukaan untuk beberapa kecamatan
berkelompok pada areal konsentrasi Pb antara lebih dari 100 ppm hingga kurang
dari 125 ppm dengan pH berkisar 5,5 – 6,5; kecuali untuk Kecamatan Dramaga dan
Ciomas berkisar pada pH yang relatif sama dan konsentrasi Pb yang lebih besar dari
kecamatan-kecamatan lainnya. Tingginya konsentrasi Pb tanah permukaan untuk
daerah Kecamatan Dramaga karena konsentrasi Pb air hujan musim hujan yang
sekitar 4 kali (0,16ppm) lebih banyak dari kecamatan lainnya (Tabel 7) dan tingginya konsentrasi Pb tanah permukaan Kecamatan Ciomas diduga karena pH air hujan
pada musim hujan di Kecamatan Ciomas yang relatif rendah dan bersifat asam,
yaitu mempunyai pH = 5,38 dibandingkan dengan kecamatan lain yang sifatnya
basa (Tabel 5).
Bertambah tingginya pH akan menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan,
atau penurunan pH mengarah ke asam akan meningkatkan konsentrasi Pb tanah
permukaan, walaupun keeratan hubungan pH dan Pb antar kecamatan sangat rendah
yang ditunjukkan dengan adanya nilai hubungan pH dan Pb di Kecamatan Dramaga
dan Ciomas yang yang lebih tinggi kandungan Pb-nya atau tidak mengelompok pada
titik-titik dari kecamatan yang lainnya. Jadi secara umum walaupun pH air hujan
musim hujan yang tinggi atau rendah tidak menyebabkan tinggi rendahnya
konsentrasi Pb tanah permukaan, akan tetapi peningkatan pH tanah permukaan akan
menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan itu sendiri dan sebaliknya penurunan
pH tanah permukaan menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb pada tanah
permukaan itu sendiri.
Hal yang sama terjadi pada Gambar 21 yang juga
menggambarkan kecenderungan rendahnya kandungan Pb dengan peningkatan pH.
Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan pada Musim Hujan
200
D
175
Cm
Pb(ppm)
150
125
M
Cw
Ct
J
B
Cs
100
75
50
5.5
6
6.5
pH
Keterangan: D = Kecamatan Dramaga
B = Kecamatan Bojong Gede
J = Kecamatan Jasinga
M = Kecamatan Mega Mendung
Ct = Kecamatan Citeureup.
Cm = Kecamatan Ciomas
Cw = Kecamatan Ciawi
Cs = Kecamatan Cisarua
Gambar 20. Hubungan pH Air Hujan Musim Hujan dan Pb Tanah
Permukaan di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.
4.2.2.2. Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Kemarau
Hubungan pH dan Pb tanah permukaan untuk beberapa kecamatan
berkelompok pada areal konsentrasi Pb antara lebih dari 100 ppm hingga kurang
dari 125 ppm atau tepatnya berkisar antara 105,87 – 119,89 ppm (Tabel 8) dengan
pH berkisar 5,0 – 7,0 atau tepatnya 5,40 – 6,37 (Tabel 6), kecuali untuk Kecamatan
Dramaga dan Ciomas berkisar pada pH yang relatif sama dan konsentrasi Pb yang
lebih besar dari kecamatan-kecamatan lainnya (Gambar 21).
Hubungan pH dan Pb Tanah Permukaan Musim Kemarau
200
D
175
Cm
Pb (ppm)
150
125
M
Cw
100
B
Ct
J
Cs
75
50
5
5.5
6
6.5
7
pH
Keterangan: D = Kecamatan Dramaga
B = Kecamatan Bojong Gede
J = Kecamatan Jasinga
M = Kecamatan Mega Mendung
Ct = Kecamatan Citeureup.
Cm = Kecamatan Ciomas
Cw = Kecamatan Ciawi
Cs = Kecamatan Cisarua
Gambar 21. Hubungan pH Air Hujan Musim Kemarau dan Pb Tanah Permukaan di
Beberapa Kecamatan di Kabupaten Bogor.
Bertambah tingginya pH tanah permukaan cenderung akan menurunkan
konsentrasi Pb tanah permukaan. Sebaliknya penurunan pH tanah permukaan
mengarah ke asam akan meningkatkan konsentrasi Pb tanah permukaan. Kecamatan
Mega Mendung mempunyai pH air hujan yang paling rendah dengan konsentrasi Pb
tanah permukaan relatif lebih tinggi mendekati 125 ppm. Sebaliknya di Kecamatan
Cisarua mempunyai pH air hujan paling tinggi dan konsentrasi Pb-nya relatif lebih
rendah mendekati 100 ppm, walaupun hubungan pH air hujan dan kandungan Pb
tanah permukaan sangat rendah, akan tetapi peningkatan pH tanah permukaan akan
menurunkan konsentrasi Pb tanah permukaan itu sendiri dan sebaliknya penurunan
pH tanah permukaan menyebabkan peningkatan konsentrasi Pb pada tanah
permukaan itu sendiri.
Hal ini sesuai dengan Gambar 20 yang menunjukkan
kecenderungan peningkatan konsentrasi Pb dengan rendahnya pH (Gambar 21).
4.2.3. Kandungan Pb Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan Hubungannya
dengan pH dan Pb Tanah Permukaan
Kandungan Pb dari contoh hijauan makanan ternak yang diambil dari
beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor berkisar antara 17,97 – 30,59 ppm. Bila
dibandingkan dengan kandungan Pb tanah permukaan, maka Pb tanah permukaan
jauh lebih tinggi daripada kandungan Pb hijauan makanan ternak (Gambar 22). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Akinola dan Adedeji (2007) yang meneliti
kandungan Pb di tanah lebih besar dari kandungan Pb pada tanaman rumput
benggala (Panicum maximum Jacq.) dan tingginya kandungan Pb tanah tersebut
disebabkan karena semua mineral berasal dari tanah sebagai kerak bumi (Darmono,
1995).
200
Hubungan Pb HMT dan Tanah
179.64
180
Pb HMT
158.87
160
Pb Tanah
Pb (ppm)
140
117.45
107.96 107.02
120
111.07
119.89
105.87
100
80
60
40
20
20.45
28.03
30.59
24.43
17.97
25.79
24.76
25.44
ru
a
is
a
C
en
du
ng
ga
M
.M
i
Kecamatan
Ja
si
n
ia
w
C
as
io
m
C
Bj
.G
ed
e
p
it e
ur
eu
C
D
ra
m
ag
a
0
Gambar 22. Hubungan Pb Tanah dan Hijauan Makanan Ternak
Kandungan Pb tanah yang tinggi tidak disertai dengan kandungan Pb hijauan
makanan ternak, atau dengan kata lain Pb dalam tanah hanya sedikit dapat diserap
oleh tanaman dalam kondisi Pb kompleks. Hal yang berbeda dengan hasil penelitian
Madyiwa et al. (2002) yang menyatakan bahwa penambahan Pb dalam pot tanaman
akan meningkatkan kandungan Pb dalam Rumput Star grass. Kejadian penambahan
Pb menyebabkan peningkatan kandungan Pb Rumput Star grass bisa terjadi karena
Pb yang ditambahkan berupa Pb mudah larut bukan Pb kompleks seperti Pb yang
ada di dalam kerak bumi, sehingga dalam dunia terbuka walaupun kandungan Pb
dalam tanah tinggi tidak akan begitu saja diserap oleh tanaman, terkecuali Pb yang
ada dalam tanah merupakan Pb yang mudah larut. Pada pH air hujan yang hanya 4,1
tidak akan menyebabkan Pb dalam tanah mudah larut kecuali dalam pH sangat
rendah seperti asam sulfat pekat (H2SO4) yang mempunyai pH = 2,0 akan bisa
melarutkan Pb kompleks di tanah menjadi Pb yang mudah larut.
Kandungan Pb tanah permukaan di Kabupaten Bogor masih lebih rendah
dari 250 ppm, bahkan tidak melebihi 200 ppm seperti kandungan ransum yang
diberikan pada domba lokal jantan penelitian. Menurut Akinola dan Adedeji (2007),
tanah yang mengandung Pb kurang dari 250 ppm tidak tercemar Pb dan tidak
mempengaruhi rumput benggala (Panicum maximum Jacq.).
Hal lain yang
menyebabkan kandungan Pb tanah yang tinggi tidak disertai dengan kandungan Pb
hijauan makanan ternak yang tinggi karena Pb dalam tanah terdapat dalam kondisi
Pb kompleks yang tidak larut, sehingga tidak mudah diserap oleh hijauan makanan
ternak. Apabila Pb tanah dalam kondisi mudah larut, maka akan mudah pula diserap
oleh tanaman (Saeni, 1995). Keasaman air hujan tidak menyebabkan pH tanah yang
rendah (Gambar 18) dan tidak menyebabkan Pb tanah mudah larut, sehingga dalam
kondisi hujan asampun tidak akan menyebabkan Pb dalam tanah terserap lebih
banyak oleh hijauan makanan ternak, yang menyebabkan kandungan Pb dalam
hijauan makanan ternak menjadi tetap rendah..
4.3. Penelitian In-vitro
4.3.1. Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Bahan Organik (KcBO).
Kecernaan bahan kering hasil penelitian in-vitro dari contoh pakan perlakuan
kontrol = P1 (pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb) sebesar 78,14%;
pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) sebesar 69,72%; pakan yang ditambahkan
Pb (P3) sebesar 71,28%; dan pakan yang ditambahkan cairan asam dan Pb (P4)
sebesar 62,43% (Tabel 9).
Rataan Kecernaan bahan kering pakan yang dilakukan
secara in-vitro dari perlakuan satu (P1) sampai perlakuan empat (P4) tersebut
mempunyai rataan berkisar antara 62,43 – 78,14%. Kecernaan tersebut relatif lebih
baik daripada hasil penelitian Jayanegara et al. (2006), yang menggunakan ransum
50% rumput gajah dan sisanya konsentrat berupa jagung 2,4%, bungkil kedelai 7%,
bungkil kelapa 18%, onggok 15,2%, tepung ikan 15%, bungkil kelapa sawit 4,80%,
minyak kelapa 0,5%, molases 1% dan urea 0,50% dengan rataan kecernaan bahan
keringnya sebesar 33,8%. Tingginya kecernaan bahan kering dalam penelitian ini,
karena ransum perlakuan tidak menggunakan hijauan berupa rumput gajah seperti
penelitian Jayanegara et al. (2006), akan tetapi hanya menggunakan konsentrat
penuh berupa Dedak halus 20%, pollard 2,5%, Onggok 20,13%, Bungkil kelapa
6,38%, bungkil kelapa sawit 17,5%, bungkil kedelai 32,5%, CaCO3 0,25% dan urea
0,75% untuk ransum kontrol atau ransum yang tidak ditambahkan cairan asam dan
Pb (P1) . Dalam penelitian in-vivo, konsentrat yang digunakan sebanyak 40%
ransum, sehingga jika kecernaan bahan kering ransum P1 sebesar 78,14% dikali 0,4
menghasilkan 31, 26% kecernaan bahan keringnya. Nilai tersebut relatif sama bila
dibandingkan kecernaan bahan kering penelitian Jayanegara et al. (2006). Hal ini
terjadi karena pakan dalam penelitian ini tidak menggunakan hijauan, sehingga
pemberian hijauan akan mengurangi kecernaan bahan kering, mengingat hijauan
mengandung serat kasar yang tinggi.
Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering (%)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 78,14 + 6,14
P3
71,28 + 6,14
Rataan pakan tanpa asam
a
74,71 + 3,07
P2
69,72 + 6,14
P4
62,43 + 6,14
Rataan pakan berasam
b
66,08 + 3,07
pH = 4,1
a
Rataan pakan 73,93 + 3,07
tanpa Pb
b
66,86 + 3,07
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor pemberi
an Pb dalam pakan terhadap kecernaan bahan kering (Lampiran 3). Mengingat tidak
ada interaksi antar kedua faktor tersebut, maka rataan kecernaan bahan kering hanya
dibandingkan pada pakan yang tidak diberikan cairan asam yang besarnya 74,71%
dan pakan yang diberi cairan asam yang besarnya 66,08%; dan rataan kecernaan
bahan kering pakan yang tidak ditambahkan Pb sebesar 73,93% dengan pakan yang
diberikan campuran Pb sebesar 66,86% (Tabel 9).
Penambahan cairan asam dengan pH 4,1 sangat nyata mempengaruhi
kecernaan bahan kering pakan (P < 0,01) (Lampiran 3). Kecernaan bahan kering
pakan yang ditambahkan cairan asam akan sangat berkurang daripada pakan yang
tidak diberi cairan asam. Hal ini dapat terjadi karena pemberian cairan asam akan
menurunkan keasaman dalam cairan rumen, yang menyebabkan kondisi lingkungan
dalam cairan rumen tidak optimal untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen.
Kondisi lingkungan dalam cairan rumen yang tidak optimal juga akan menurunkan
aktivitas mikroorganisme rumen yang akhirnya berdampak pada berkurangnya
kecernaan bahan kering.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian in-vivo yang menunjukkan bahwa
ransum yang ditambahkan cairan asam mempunyai rataan pertambahan bobot badan
sebesar 0,060 kg/ekor/hari lebih kecil dibandingkan dengan ransum tanpa cairan
asam dengan rataan pertambahan bobot badan sebesar 0,097 kg/ekor/hari (Tabel 15).
Begitu pula rataan efisiensi pakan dan rataan rasio efisiensi protein ransum yang
ditambahkan cairan asam berturut-turut sebesar 9,21% (Tabel 16) dan 75,07%
(Tabel 17) lebih kecil daripada ransum tanpa cairan asam dengan rataan efisiensi
pakan sebesar 13,14% (Tabel 16) dan rataan rasio efisiensi protein sebesar 119,82%
(Tabel 17). Besarnya pertambahan bobot badan dan tingginya efisiensi pakan serta
tingginya rasio efisiensi protein dari ransum tanpa cairan asam, karena kecernaan
bahan kering dari ransum tanpa cairan asam lebih tinggi dari ransum berasam,
sehingga menyebabkan banyak zat makanan yang teralokasi untuk pertambahan
bobot badan yang menyebabkan efisiensi pakan tinggi dan akhirnya rasio efisiensi
proteinpun menjadi tinggi.
Hal yang sama terjadi pada pakan yang ditambahkan Pb, penambahan Pb
dalam pakan nyata mempengaruhi kecernaan bahan kering (P < 0,05) (Lampiran 3).
Rataan kecernaan bahan kering pakan bertimbal sebesar 66,86% lebih kecil daripada
rataan kecernaan bahan kering pakan tanpa Pb yaitu sebesar 73,93% (Tabel 9). Hal
ini terjadi karena Pb akan mempengaruhi aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Timbal (Pb) akan diikat oleh enzim yang mengandung sulfhidril
dan menyebabkan tidak berfungsinya enzim tersebut dan akhirnya menurunkan
kecernaan bahan kering.
Tabel 10. Kecernaan Bahan Organik (%)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 78,77 + 5,20
P3
72,46 + 5,20
Rataan pakan tanpa asam
a
75,62 + 2,60
P2
70,02 + 5,20
P4
63,15 + 5,20
Rataan pakan berasam
b
66,59 + 2,60
pH = 4,1
a
Rataan pakan 74,40 + 2,60
tanpa Pb
b
67,81 + 2,60
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Rataan kecernaan bahan organik dari perlakuan kontrol (P1) sampai
perlakuan 4 (P4) dalam penelitian ini berkisar antara 63,15 – 78,77% (Tabel 10).
Kecernaan bahan organik dalam penelitian ini mempunyai nilai yang lebih tinggi
dari penelitian Jayanegara et al. (2006). Kecernaan bahan organik untuk pakan
kontrol atau pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebesar
78,77%. Kecernaan bahan organik pakan kontrol lebih besar dibandingkan dengan
kecernaan bahan organik penelitian Jayanegara et al. (2006) yang hanya 35,5%.
Pembahasan kecernaan bahan organik seperti halnya pembahasan kecernaan bahan
kering, yaitu ransum berhijauan tinggi mengandung serat kasar yang tinggi, dan
tingginya serat kasar di dalam ransum mengurangi kecernaan bahan kering dan
bahan organiknya.
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor
pemberian Pb dalam pakan terhadap kecernaan bahan organik (Lampiran 4). Hal
yang sama dengan kecernaan bahan kering pakan, mengingat tidak ada interaksi
antar kedua faktor tersebut, maka rataan kecernaan bahan organik untuk perlakuan
kontrol atau perlakuan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) tidak bisa
dibandingkan dengan rataan kecernaan bahan organik dari pakan yang hanya
diberikan cairan asam saja (P2), dan pakan yang hanya diberikan Pb saja (P3) serta
pakan yang diberikan cairan asam dan Pb (P4). Oleh karenanya rataan kecernaan
bahan organik hanya dibandingkan pada pakan tanpa asam yang besarnya 75,62%
dan pakan berasam yang besarnya 66,59%; juga membandingkan rataan kecernaan
bahan organik pakan tanpa Pb sebesar 74,40% dengan pakan bertimbal sebesar
67,81% (Tabel 10).
Perlakuan pemberian cairan asam sangat nyata menurunkan kecernaan bahan
organik (P < 0,01), dan faktor pemberian Pb dalam pakan nyata menurunkan
kecernaan bahan organik (P < 0,05) (Lampiran 4). Alasan yang sama dengan
kecernaan bahan kering, maka kecernaan bahan organik juga akan lebih kecil
apabila dalam pakannya ditambahkan cairan asam. Hal ini terjadi karena pakan
berasam menyebabkan rendahnya pH cairan rumen sampel. Derajat keasaman (pH)
cairan rumen sampel yang lebih rendah menyebabkan kondisi lingkungan cairan
rumen tidak optimal meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen.
Derajat
keasaman (pH) cairan rumen sampel yang lebih rendah juga menyebabkan
rendahnya aktivitas mikroorganisme rumen.
Dengan rendahnya pertumbuhan
mikroorganisme rumen dan rendahnya aktivitas mikroorganisme rumen akan
menurunkan kecernaan bahan organik seiring dengan rendahnya kecernaan bahan
kering.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian in-vivo yang menunjukkan bahwa
ransum berasam mempunyai rataan pertambahan bobot badan lebih kecil
dibandingkan dengan ransum tanpa asam (Tabel 15). Begitu pula rataan efisiensi
pakan dan rataan rasio efisiensi protein ransum berasam berturut-turut sebesar
9,21% (Tabel 16) dan 75,07% (Tabel 17) lebih kecil daripada ransum tidak berasam
dengan rataan efisiensi pakan sebesar 13,14% (Tabel 16) dan rataan rasio efisiensi
protein sebesar 119,82% (Tabel 17).
Besarnya pertambahan bobot badan dan
tingginya efisiensi pakan serta tingginya rasio efisiensi protein dari ransum tidak
berasam, karena kecernaan bahan organik dari pakan tidak berasam lebih tinggi dari
pakan berasam, sehingga menyebabkan banyak zat makanan yang teralokasi untuk
pertambahan bobot badan yang menyebabkan efisiensi pakan tinggi dan akhirnya
rasio efisiensi proteinpun menjadi tinggi.
Penambahan Pb dalam pakan menurunkan kecernaan bahan organik. Pakan
bertimbal mempunyai rataan kecernaan bahan organik sebesar 67,81% dan pakan
tidak bertimbal mempunyai kecernaan bahan organik sebesar 74,40% (Tabel 10).
Hal ini terjadi karena ransum yang ditambahkan Pb akan mengganggu aktivitas
enzim yang dihasilkan mikroorganisme mengingat Pb dapat diikat oleh enzim yang
menyebabkan enzim tidak banyak mencerna zat makanan, sehingga kecernaan
bahan organiknya juga kecil.
Rataan kecernaan bahan kering pakan tidak berasam sebesar 74,71%.
Rataan kecernaan bahan kering pakan tidak berasam lebih kecil daripada kecernaan
bahan organik dari pakan yang sama yaitu sebesar 75,62%. Begitu pula rataan
kecernaan bahan kering dari pakan tidak bertimbal sebesar 73,93%. Rataan
kecernaan bahan kering dari pakan tidak bertimbal lebih kecil daripada rataan
kecernaan bahan organik dari pakan yang sama, yaitu sebesar 74,40%.
Hal ini
menunjukkan bahwa pakan yang mengandung Pb relatif lebih banyak akan
memperkecil kecernaan bahan keringnya dibandingkan dengan kecernaan bahan
organiknya.
4.3.2. Produksi Volatile Fatty Acid (VFA )
Volatile Fatty Acid (VFA ) merupakan hasil utama proses fermentasi bahan
organik didalam rumen disamping amonia. VFA ini merupakan hasil fermentasi
yang diperlukan oleh hewan ruminansia sebagai sumber energi. Produksi VFA dari
pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebesar 83,33 mM dan
pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) sebesar 56,00 mM dan pakan yang
ditambahkan Pb (P3) sebesar 87,33 mM serta pakan yang ditambahkan cairan asam
dan Pb (P4) sebesar 51,00 mM (Tabel 11).
Produksi VFA pakan mempunyai
kisaran 51,00 – 87,33 mM. Produksi VFA pakan dalam penelitian ini relatif rendah
dibandingkan dengan standar yang ditentukan oleh Sutardi et al. (1983), yang
menyatakan bahwa kadar VFA antara 80 – 160 mM baru akan mencukupi
kebutuhan sintesis protein mikroba yang optimal. Pada penelitian ini pakan yang
tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) dengan produksi VFA sebesar 83,33
mM dan pakan yang hanya ditambahkan Pb (P3) dengan produksi VFA 87,33 mM
mencukupi kebutuhan sintesis protein mikroba VFA sesuai dengan standar yang
ditentukan oleh Sutardi et al. (1983). Hanya pakan yang ditambahkan cairan asam
saja (baik P2 dan P4) yang produksi VFA-nya tidak mencukupi kebutuhan sintesis
protein mikroba. Itulah sebabnya pertambahan bobot badan domba yang diberi
ransum berasam mempunyai rataan sebesar 0,060 kg/ekor/hari lebih rendah
dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum
tanpa asam, yaitu sebesar 0,097 kg/ekor/hari (Tabel 15).
Tabel 11. Produksi VFA Ransum Penelitian (mM)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 83,33 + 26,89
P3
87,33 + 26,89
Rataan pakan tanpa asam
a
85,33 + 13,44
P2
pH = 4,1
56,00 + 26,89
Rataan pakan 69,67 + 13,44
tanpa Pb
P4
51,00 + 26,89
69,17 + 13,44
Rataan pakan berasam
b
53,50 + 13,44
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dalam pakan dengan
faktor pemberian Pb dalam pakan terhadap Produksi VFA (Lampiran 5). Produksi
VFA dari pakan tidak berasam sebesar 85,33 mM sedangkan dengan produksi VFA
pakan berasam sebesar 53,50 mM. Demikian juga pembahasan dilanjutkan dengan
perbedaan produksi VFA dari pakan tidak bertimbal sebesar 69,67 mM, sedangkan
produksi VFA dari pakan bertimbal sebesar 69,17 mM.
Pakan yang ditambahkan cairan asam sangat nyata mempengaruhi produksi
VFA cairan rumen (Lampiran 5). Pakan berasam akan menurunkan produksi VFA
pakan tidak berasam dengan prduksi VFA berturut-turut adalah 53,50 mM dan 85,33
mM.. Dengan kata lain cairan rumen yang ditambahkan asam menyebabkan
rendahnya pH cairan rumen dan menyebabkan produksi VFA dibawah standar
konsentrasi VFA cairan rumen yang ditentukan oleh Sutardi et al. (1983), sehingga
berdampak pada pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang terganggu dan
sintesis protein mikroba menjadi lebih rendah. Mengingat ternak ruminansia lebih
mengandalkan pertumbuhan mikroorganisme untuk pertumbuhan bobot badannya,
maka pertumbuhan bobot badan ternak domba akan menurun, sesuai dengan hasil
penelitian in-vivo (Tabel 15).
Rataan pertambahan bobot badan domba yang
ransumnya berasam sebesar 0,060 kg/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan
domba yang ransumnya berasam lebih rendah dibandingkan dengan rataan
pertambahan bobot badan domba yang ransumnya tanpa asam yaitu sebesar 0,097
kg/ekor/hari.
Penambahan Pb dalam pakan tidak mempengaruhi produksi VFA (Lamiran
3.). Penambahan Pb dalam pakan menghasilkan rataan produksi VFA sebesar 69,17
mM yang relatif sama dengan rataan produksi VFA dari pakan tanpa Pb yaitu
sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Penambahan Pb sebanyak 200 ppm tidak menyebabkan perubahan terhadap produksi VFA cairan rumen kontrol. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian in-vivo tentang pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum
bertimbal dengan rataan sebesar 0,070 kg/ekor/hari tidak berbeda dengan rataan
pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum tanpa Pb yaitu sebesar 0,086
kg/ekor/hari (Tabel 15). Begitu pula efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein
domba yang diberi Pb sebanyak 200 ppm dengan rataannya berturut-turut sebesar
9,7 % (Tabel 16) dan 88,23 % (Tabel 17) tidak berbeda nyata dengan efisiensi pakan
dan rasio efisiensi protein domba yang ransumnya tanpa Pb, yaitu berturut-turut
sebesar 12,65 % (Tabel 16) dan 106,66 % (Tabel 17). Penambahan Pb sebanyak
200 ppm dalam pakan tidak mempengaruhi produksi VFA yang berarti sintesis
protein mikroba tidak berubah dengan panambahan Pb. Mengingat pertambahan
bobot badan domba sangat tergantung pada pertumbuhan dan aktivitas serta sintesis
protein mikroba, maka penambahan Pb tidak mempengaruhi pertambahan bobot
badan, sekaligus juga tidak mempengaruhi efisiensi pakan dan rasio efisiensi
protein.
4.3.3. Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3)
Produksi Nitrogen Amoniak (N-NH3) mencerminkan hasil fermentasi di
dalam rumen yang digunakan untuk mendukung perrtumbuhan mikroba rumen.
Menurut Sutardi et al. (1983), konsentrasi N-NH3 untuk mendukung pertumbuhan
mikroba rumen sebesar 4 - 12 mM dengan konsentrasi optimum 8 mM., sedang
menurut Satter dan Slyter (1974), kisaran konsentrasi N-NH3 yang cukup untuk
pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 3,57 – 15 mM. Produksi N-NH3 dari
pakan yang tidak ditambahkan cairan asam dan Pb (P1) sebagai pakan kontrol yaitu
sebesar 5,94 mM, pakan yang ditambahkan cairan asam (P2) dengan rataannya
sebesar 6,50 mM dan pakan yang ditambahkan Pb (P3) dengan rataannya sebesar
7,26 mM serta pakan yang ditambahkan cairan asam dan Pb (P4) dengan rataannya
sebesar 7,82 mM (tabel 12). Produksi N-NH3 hasil fermentasi pakan sesuai dengan
kisaran konsentrasi yang ditentukan
baik oleh Sutardi et al. (1983) maupun oleh
Satter dan Slyter (1974). Itulah sebabnya domba penelitian tidak menunjukkan
gangguan fermentasi selama penelitian walaupun sudah ditambahkan perlakuan
timbal (Pb) yang tinggi yaitu 200 ppm dan diberikan perlakuan asam yang rendah,
yaitu dengan pH 4,1.
Tabel 12. Produksi N-NH3 Ransum Penelitian (mM)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 5,94 + 0,93
pH = 4,1
P2
6,50 +0,93
a
Rataan pakan 6,22 + 0,47
tanpa Pb
P3
7,26 + 0,93
Rataan pakan tanpa asam
a
6,60 + 0,47
P4
7,82 + 0,93
Rataan pakan berasam
b
7,16 + 0,47
b
7,54 + 0,47
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dalam ransum
dengan faktor pemberian Pb dalam ransum terhadap produksi N-NH3 (Lampiran 6).
Pakan yang ditambahkan cairan asam sangat nyata mempengaruhi produksi N-NH3
(P < 0,01) (Lampiran 6). Pakan tanpa asam, lebih rendah produksi N-NH3-nya
dibandingkan dengan pakan berasam.
Seharusnya pemberian asam akan
mempengaruhi pH cairan rumen menjadi lebih rendah, sehingga akan menurunkan
pH cairan rumen dan menyebabkan produksi N-NH3-nya menjadi lebih rendah,
akan tetapi yang terjadi justru penambahan cairan asam meningkatkan produksi NNH3
dan penambahan Pb juga meningkatkan produksi N-NH3. Meningkatnya
produksi N-NH3 tersebut menandakan bahwa terjadi peningkatan pertumbuhan
mikroorganisme. Peningkatan pertumbuhan mikroorganisme akan meningkatkan
pertambahan bobot badan domba pemeliharaan, karena pertambahan bobot badan
domba sangat mengandalkan dari protein mikroorganisme.
Pertambahan bobot
badan dari ransum berasam paling rendah dibandingkan dengan ransum perlakuan
lainnya (Tabel 15).
Disisi lain hasil in-vitro menunjukkan bahwa penambahan
cairan asam meningkatkan produksi N-NH3 yang seharusnya akan meningkatkan
pertambahanbobot badan. Hal tersebut terjadi mungkin disebabkan cairan rumen
yang diambil sebagai contoh mempunyai pH yang relatif lebih tinggi dari pH normal
rumen, sehingga penambahan cairan asam menjadi menurun pada kondisi yang
cukup optimal terhadap pertumbuhan mikroorganisme rumen contoh cairan rumen,
yang menyebabkan produksi N-NH3 lebih tinggi.
Pakan yang ditambahkan Pb sangat mempengaruhi produksi N-NH3 (P <
0,01) (Lampiran 6). Rataan produksi N-NH3 pakan bertimbal yaitu sebesar 7,54
mM.
Rataan produksi N-NH3 pakan bertimbal lebih banyak daripada Rataan
produksi N-NH3 pakan tanpa Pb dengan rataan sebesar 6,22 mM. Perlakuan pakan
bertimbal menghasilkan produksi N-NH3 yang relatif sama banyaknya dengan pakan
berasam.
Hal tersebut berarti bahwa keberadaan Pb dalam pakan tidak
mempengaruhi keasaman dari cairan rumen contoh yang diambil, sehingga produksi
N-NH3-nya masih mendekati stadard optimun konsentrasi N-NH3 untuk mendukung
sintesis protein mikroba. Dengan kata lain penambahan Pb dalam cairan rumen
tidak mempengaruhi keasaman cairan rumen sampel.
4.4. Penelitian In-vivo
4.4.1. Konsumsi Bahan Segar dan Bahan Kering pada Domba Pemeliharaan
Rataan konsumsi ransum segar untuk semua domba yang dipelihara berkisar
2,087 – 2,191 kg/ekor/hari, dengan konsumsi ransum segar yang tidak ditambahkan
cairan asam dan Pb (P1) 2,087 kg/ekor/hari, konsumsi ransum segar domba yang
diberi ransum berasam (P2) sebanyak 2,191 kg/ekor/hari, dan konsumsi segar
domba berransum Pb (P3) sebanyak 2,088 kg/ekor/hari serta konsumsi segar domba
yang diberi ransum dicampur cairan asam dan Pb (P4) sebanyak 2,100 kg/ekor/hari.
Dengan Bobot badan pada akhir pemeliharaan berkisar antara 18 – 23,7 kg/ekor,
maka persentase konsumsi segar terhadap bobot badan berkisar antara 9,24 - 11,6%.
Rataan konsumsi rumput segar semua perlakuan sebanyak 1,743 kg/ekor/hari dan
konsumsi konsentrat segar sebanyak 0,374 kg/ekor/hari, sehingga imbangan
konsumsi konsentrat segar terhadap ransum sebanyak 17,67%, atau imbangan
konsumsi rumput segar terhadap ransum sebesar 82,33%.
Tabel 13. Konsumsi Rumput dan Konsentrat dalam Bahan Segar
(Kg/ekor/hari)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
P3
R 1,757
1,755
K 0,333
0,333
Tanpa Asam ---------------------------------------Ransum 2,087 + 0,14
2,088 + 0,14
Rataan pakan tanpa asam
2,088 + 0,07
P2
P4
pH = 4,1
R 1,757
1,689
K 0,333
0,411
---------------------------------------Ransum 2,191 + 0,14
2,100 + 0,14
Rataan pakan berasam
2,146 + 0,07
Rataan pakan
tanpa Pb
2,139 + 0,07
2,094 + 0,07
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
R = Rumput K = Konsentrat
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap konsumsi bahan segar ransum penelitian (P >
0,05), juga tidak ada pengaruh kelompok terhadap konsumsi bahan segar ransum
penelitian (P > 0,05) (Lampiran 7). Hal ini berarti bahwa pemberian air asam
dengan pH 4,1 yang dicampur dengan Pb 200 ppm tidak ada bedanya terhadap
konsumsi segar ransum yang hanya ditambahkan air asam saja dengan pH 4,1 atau
ransum yang hanya ditambahkan Pb 200 ppm saja. Begitu pula kelompok ternak
domba berbobot badan besar, sedang dan kecil mempunyai konsumsi ransum segar
yang sama dengan penambahan cairan asam dan Pb.
Konsumsi ransum segar pada domba yang ransumnya berasam (pH 4,1) tidak
menunjukkan perbedaan dengan konsumsi ransum segar domba yang diberi ransum
tanpa asam (P > 0,05) (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun ransum
berasam rasanya masam dan bila ransum tersebut tidak diberikan dalam waktu 6 – 7
hari setelah pemberian cairan asam, maka ransum tersebut akan berjamur, akan
tetapi apabila diberikan dalam waktu kurang dari 4 hari setelah penambahan cairan
asam, ternyata tidak ada pengaruh terhadap palatabilitas atau kesukaan domba pada
ransum berasam tersebut.
Konsumsi ransum segar pada domba yang ransumnya ditambahkan Pb
sebanyak 200 ppm tidak menunjukkan perbedaan dengan konsumsi ransum segar
domba yang diberi ransum tanpa tambahan Pb (P > 0,05). Hal yang sama dengan
penambahan cairan asam, penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi
palatabilitas atau kesukaan domba terhadap konsumsi segar ransum.
Tabel 14. Konsumsi Rumput dan Konsentrat dalam Bahan Kering
(Kg/ekor/hari)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
P3
R 0,448
0,447
K 0,288
0,289
Tanpa Asam ---------------------------------------Ransum 0,736 + 0,001 0,736 + 0,001
P2
P4
pH = 4,1
R 0,451
0,431
K 0,289
0,289
---------------------------------------Ransum 0,740 + 0,001 0,720 + 0,001
Rataan pakan
0,738 + 0,0004 0,728 + 0,0004
tanpa Pb
Rataan pakan tanpa asam
0,736 + 0,0004
Rataan pakan berasam
0,730 + 0,0004
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
R = Rumput K = Konsentrat
Rataan konsumsi kering ransum
untuk semua domba yang dipelihara
berkisar 0,720 – 0,740 kg/ekor/hari Tabel 14). Konsumsi bahan kering ransum
domba yang berransum kontrol (P1) sebanyak 0,736 kg/ekor/hari, yang diberikan
ransum berasam (P2) sebanyak 0,740 kg/ekor/hari, dan yang diberi ransum
bertimbal (P3) sebanyak 0,736 kg/ekor/hari, serta yang diberikan ransum berasam
dan bertimbal (P4) sebanyak 0,720 kg/ekor/hari (Tabel 14).
Bobot badan domba
pada akhir pemeliharaan berkisar antara 18 – 23,7 kg/ekor, sehingga bila dihitung
persentase konsumsi kering terhadap bobot badan berkisar antara 3,12 – 4,00%.
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap konsumsi bahan kering ransum (P > 0,05),
juga tidak ada pengaruh kelompok besar, sedang dan kecil terhadap konsumsi bahan
kering ransum (P > 0,05) (Lampiran 8). Hal ini berarti bahwa pemberian cairan
asam dengan pH 4,1 yang dicampur dengan Pb 200 ppm tidak ada bedanya terhadap
konsumsi kering ransum yang hanya ditambahkan cairan asam saja atau ransum
yang ditambahkan Pb saja, begitu pula kelompok ternak domba berbobot badan
besar, sedang dan kecil mempunyai konsumsi kering ransum yang sama dengan
penambahan air asam dan Pb.
Domba yang diberi ransum berasam atau tanpa asam, konsumsi bahan kering
tidak berbeda (P > 0,05), demikian pula yang ditambahkan Pb dan yang tidak
ditambahkan Pb dalam ransumnya (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan cairan asam dan Pb ke dalam konsentrat tidak mempengaruhi
palatabilitas ransum yang ditunjukkan tidak ada perbedaan konsumsi bahan kering
ransum.
4.4.2. Pertambahan Bobot Badan Domba Pemeliharaan
Pertambahan bobot badan masing-masing domba berkisar 0,044 – 0,124
Kg/ekor/hari, dengan rataan pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum
tanpa cairan asam dan Pb (P1) sebesar 0,100 kg/ekor/hari, yang diberi ransum
berasam (P2) sebesar 0,072 kg/ekor/hari, dan yang diberi ransum bertimbal (P3)
sebesar 0,093kg/ekor/hari serta yang diberi ransum berasam dan bertimbal (P4)
sebesar 0,047 kg/ekor/hari (Tabel 15).
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan domba pemelihara-
an (P > 0,05), akan tetapi kelompok domba yang besar, sedang dan kecil dipengaruhi oleh penambahan air asam dan Pb dalam ransumnya (P < 0,05) (Lampiran 9).
Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara rataan pertambahan bobot badan domba
yang tidak diberi cairan asam dan Pb (P1) dengan yang diberi ransum berasam (P2)
dan dengan yang diberi ransum bertimbal (P3) serta dengan yang diberi ransum
berasam dan bertimbal (P4).
Tabel 15. Pertambahan Bobot Badan Domba (Kg/ekor/hari)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 0,100 + 0,020
P3
0,093 + 0,020
Rataan pakan tanpa asam
a
0,097 + 0,00003
P2
pH = 4,1
0,072 + 0,027
Rataan pakan 0,086 + 0,00003
tanpa Pb
P4
Rataan pakan berasam
b
0,047 + 0,006
0,060 + 0,00003
0,070 + 0,00003 (Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Perlakuan
pemberian
cairan
asam
dalam
ransum
domba
sangat
mempengaruhi pertambahan bobot badan domba (P < 0,01). Rataan pertambahan
bobot badan domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,060 kg/ekor/hari jauh
lebih kecil daripada yang diberi ransum tidak berasam yaitu sebesar 0,097
kg./ekor/hari (Lampiran 9).
Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan domba yang diberi
ransum berasam akan menyebabkan kondisi dalam rumen lebih asam dari kondisi
normal dan menyebabkan aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme menjadi
terganggu. Terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen menyebabkan ketersediaan asam amino asal mikroorganisme untuk pembentukan protein
khususnya untuk pertumbuhan ternak akan berkurang, sehingga pertambahan bobot
badan domba yang diberi ransum berasam lebih rendah. Terganggunya aktivitas dan
pertumbuhan mikroorganisme juga menyebabkan kecernaan bahan kering dan bahan
organik lebih rendah daripada ransum tanpa asam, seperti yang ditunjukkan dalam
penelitian in-vitro. Dalam penelitian in-vitro kecernaan bahan kering pakan berasam
sebesar 66,08% dan pakan tanpa asam sebesar 74,71% (Tabel 9), serta kecernaan
bahan organik pakan berasam sebesar 66,59% dan pakan tanpa asam sebesar 75,62%
(Tabel 10). Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih rendah pada
ransum berasam akan menyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan domba.
Disamping itu terganggunya aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen
akibat ransum berasam menurunkan produksi Volatile Fatty Acid (VFA). Pakan
berasam mempunyai produksi VFA sebesar 53,50 mM dan pakan tanpa asam
sebesar 85,33 mM (Tabel 11). Mengingat VFA sebagai sumber energi bagi ternak
ruminansia termasuk domba, maka kurangnya produksi VFA akan mengurangi
ketersediaan energi bagi domba dan menyebabkan pertambahan bobot badan juga
berkurang. Disamping itu ransum yang berasam akan mengikat logam termasuk
mineral kalsium (Ca) dan phosphor (P), karena kedua mineral tersebut merupakan
mineral yang dibutuhkan oleh ternak untuk pertumbuhan, sehingga bila Ca dan P
terikat oleh asam maka pertumbuhannya akan berkurang.
Ransum bertimbal tidak nyata mempengaruhi pertambahan bobot badan (P >
0,05) (Lampiran 9). Hal ini disebabkan karena ransum bertimbal tidak mempengaruhi keasaman rumen dan tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme rumen, sehingga tidak berdampak pada pertambahan bobot badan domba.
Disamping itu ransum bertimbal tidak mempengaruhi produksi VFA sebagai sumber
energi ternak domba seperti hasil penelitian in-vitro.
Pada penelitian in-vitro
ransum bertimbal menghasilkan produksi VFA sebanyak 69,17 mM sama
banyaknya dengan ransum tanpa timbal sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Dengan
produksi VFA yang sama antara ransum bertimbal dan ransum tanpa timbal
menyebabkan pertambahan bobot badannya juga relatif sama. Hal yang berbeda
dengan penelitian Levine et al. (1976) yang meneliti terdapat banyak ternak yang
mati di daerah yang berdekatan dengan tumpukan kertas berlogam berat, yang
dicirikan dengan tingginya kadar Pb dalam darah, susu dan bulu. Perbedaan tersebut
dapat terjadi bila ternak ruminansia tidak tercukupi kebutuhan nutrisinya yang
menyebabkan Pb yang ada dalam pakan bisa diserap oleh saluran pencernaan.
Mengingat kebutuhan nutrisi yang kurang memungkinkan populasi mikroorganisme
rumen tidak banyak dan menyebabkan sedikitnya enzim yang diproduksi untuk
mengikat Pb tersebut. Apalagi sepanjang hidupnya ternak tersebut mengkonsumsi
ransum bertimbal, karena sifat timbal yang akumulatif, sehingga ternak yang tidak
mencukupi kebutuhan
nutrisinya dan mengkonsumsi Pb akan menyebabkan
kematian ternak dengan akumulasi Pb dalam organ ternak.
4.4.3. Efisiensi Pakan Domba
Efisiensi pakan menggambarkan kemampuan ternak untuk mengubah pakan
yang dikonsumsi menjadi daging atau menjadi pertumbuhan ternak. Efisiensi pakan
domba selama pemeliharaan diperlihatkan pada Tabel 16. Tabel tersebut diperoleh
dari perhitungan pertambahan bobot badan yang terdapat pada Tabel 15 dibagi
dengan konsumsi bahan kering ransum yang diperoleh dari penjumlahan konsumsi
rumput kering dengan konsentrat kering pada Tabel 14. Efisiensi pakan masingmasing domba penelitian berkisar antara 5,68 – 16,16%, dengan rataan efisiensi
pakan domba yang diberi ransum kontrol (P1) sebesar 13,49 %, ransum berasam
(P2) sebesar 11,80%, ransum bertimbal (P3) sebesar 12,78% dan ransum berasam
dan bertimbal (P4) sebesar 6,62%.
Tabel 16. Efisiensi Pakan Domba (%)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 13,49 + 0,0002
P3
12,78 + 0,0002
Rataan pakan tanpa asam
a
13,14 + 0,00008
P2
pH = 4,1
11,80 + 0,0002
Rataan pakan 12,65 + 0,00008
tanpa Pb
P4
6,62 + 0,0002
9,70 + 0,00008
Rataan pakan berasam
b
9,21 + 0,00008
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap efisiensi pakan pada domba pemeliharaan (P
> 0,05), dan tidak ada pengaruh kelompok domba yang bobot badannya besar,
sedang dan kecil terhadap efisiensi pakan (Lampiran 10). Dengan demikian tidak
ada perbedaan rataan efisiensi pakan akibat perlakuan kontrol (P1) sebesar 13,49 %,
akibat ransum berasam (P2) sebesar 11,80%, dan akibat ransum bertimbal (P3)
sebesar 12,78% serta akibat ransum berasam dan bertimbal (P4) sebesar 6,62%.
(Tabel 16).
Perlakuan
pemberian
cairan
asam
dalam
ransum
domba
sangat
mempengaruhi efisiensi pakan (P < 0,01) (Lampiran 10). Efisiensi pakan pada
domba yang diberi ransum berasam sebesar 9,21%. Efisiensi pakan pada domba
yang diberi ransum berasam jauh lebih rendah dari domba yang diberi ransum tanpa
asam sebesar 13,14%. Penurunan efisiensi pakan pada domba yang diberi ransum
berasam disebabkan karena pemberian cairan asam akan menyebabkan turunnya
keasaman cairan rumen yang menyebabkan terganggunya aktivitas dan pertumbuhan
mikroorganisme rumen. Mengingat mikroorganisme rumen merupakan mikroba
yang mencerna zat makanan khususnya serat kasar yang banyak dikonsumsi oleh
ruminansia termasuk domba, sehingga kemampuan mikroorganisme untuk mencerna
makanan menjadi terganggu dan mengakibatkan ketersediaan zat makanan untuk
ternak dombanya menjadi sedikit, yang akhirnya akan mengurangi pertambahan
bobot badan. Penurunan pertambahan bobot badan dengan konsumsi yang sama
menurunkan nilai efisiensi pakan.
Hal yang berbeda dengan penambahan Pb dalam ransum. bahwa ransum
yang ditambahkan timbal tidak nyata mempengaruhi efisiensi pakan (P > 0,05)
(Lampiran 10). Hal ini disebabkan karena ransum bertimbal tidak mempengaruhi
keasaman rumen, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan
mikroorganisme rumen.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa aktivitas dan
pertumbuhan mikroorganisme rumen yang tidak terganggu akan menyebabkan
pertambahan bobot badan domba tidak terpengaruh.
Pertambahan bobot badan
yang tidak berubah dengan pemberian ransum bertimbal dengan konsumsi bahan
kering yang sama akan menyebabkan efisiensi pakan juga tidak berubah. Disamping
itu ransum bertimbal tidak mempengaruhi produksi VFA sebagai sumber energi
ternak domba seperti hasil penelitian in-vitro.
Pada penelitian in-vitro pakan
bertimbal menghasilkan produksi VFA sebanyak 69,17 mM sama banyaknya
dengan pakan tanpa timbal sebesar 69,67 mM (Tabel 11). Dengan produksi VFA
yang sama antara ransum bertimbal dan ransum tanpa timbal menyebabkan
pertambahan bobot badannya juga relatif sama, yang akhirnya dengan konsumsi
bahan kering ransum yang sama akan menyebabkan efisiensi pakannya juga sama.
4.4.4. Rasio Efisiensi Protein
Rasio efisiensi protein merupakan peubah yang ditujukan untuk melihat
banyaknya protein yang dikonsumsi dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot
badan. Rasio efisiensi protein diperoleh dengan jalan membagi pertambahan bobot
badan dengan konsumsi proteinnya dikalikan 100%. Nilai rasio efisiensi protein
terrendah sebesar 59,92% yang menunjukkan bahwa hanya kurang lebih setengah
dari protein ransum dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot
badan. Nilai-nilai rasio efisiensi protein yang lebih dari 100% ada pada domba yang
diberi ransum tidak berasam dan tidak bertimbal (P1) dan ransum yang bertimbal
(P2), sedang ransum berasam (P1) dan ransum yang berasam dan bertimbal (P4)
mempunyai nilai rasio efisiensi protein dibawah 100%.
Tabel 17. Rasio Efisiensi Protein (%)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 123,10 + 62,96
P3
116,53 + 62,96
Rataan pakan tanpa asam
a
119,82 + 31,48
P2
pH = 4,1
90,22+ 62,96
Rataan pakan 106,66 + 31,48
tanpa Pb
P4
59,92 + 62,96
88,23 + 31,48
Rataan pakan berasam
b
75,07 + 31,48
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Tidak ada interaksi antara pemberian cairan asam dan penambahan Pb dalam
mempengaruhi nilai rasio efisiensi protein (P > 0,05) dan tidak ada pengaruh
kelompok domba yang mempunyai bobot badan besar, sedang dan kecil terhadap
nilai rasio efisiensi protein (P > 0,05) (Lampiran 11).. Dengan demikian rataan rasio
efisiensi protein dari ransum yang tanpa asam dan timbal (P1) tidak berbeda dengan
ransum berasam (P2) dan tidak berbeda dengan ransum bertimbal (P3) serta tidak
berbeda dengan ransum berasam dan bertimbal (P4).
Ransum yang ditambahkan asam sangat nyata menurunkan nilai rasio
efisiensi protein (P < 0,01), sedang penambahan Pb dalam ransum tidak
mempengaruhi rasio efisiensi protein (P > 0,05) (Lampiran 11). Ransum tanpa asam
mempunyai nilai rasio efisiensi protein lebih besar daripada nilai rasio efisiensi
protein ransum berasam masing-masing sebesar 119,82% dan 75,07%.
Hal ini
berarti bahwa protein ransum yang dikonsumsi oleh domba yang mendapat ransum
tanpa asam, semuanya dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot
badan, bahkan melebihi dari protein yang dikonsumsi (lebih dari 100%). Sebaliknya
domba yang mengkonsumsi ransum berasam hanya kurang lebih tiga perempat dari
protein ransum dikonversi menjadi daging dalam bentuk pertambahan bobot badan..
Sebenarnya kelebihan protein dari pertambahan bobot badan domba yang
mendapatkan ransum tanpa asam berasal dari tubuh mikroorganisme yang disebut
Microbial Protein, sehingga ransum tanpa asam menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan mikroorganisme lebih pesat dan menjadi bahan protein untuk ternak
domba.
Penambahan Pb dalam ransum tidak mempengaruhi rasio efisiensi protein (P
> 0,05) (Lampiran 11).. Rasio efisiensi protein ransum bertimbal sebesar 88,23%
dan ransum tanpa Pb sebesar 106,66% (Tabel 17). Ratio efiseinsi protein ransum
tanpa Pb masih menunjukkan nilai diatas 100% yang menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tidak tertanggu dan bahkan
pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme menyumbangkan protein melebihi
pertambahan bobot badannya. Pada domba yang diberi ransum bertimbal tidak
semua protein dikonversi untuk pertambahan bobot badan, akan tetapi secara
statistik sama dengan rasio efisiensi protein domba yang mengkonsumsi ransum
tanpa timbal.
4.4.5.
Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses, Darah, Hati, Ginjal dan Daging.
4.4.5.1. Kandungan Timbal (Pb) dalam Feses Domba
Kandungan Pb dari masing-masing domba sangat bervariasi dari 42,60 –
551,65 ppm. Rataan kandungan Pb feses domba yang mendapat perlakuan ransum
tanpa Pb sebesar 48,76 ppm,
Domba-domba tersebut dalam ransumnya tidak
sedikitpun ditambahkan Pb, akan tetapi dalam fesesnya mengandung Pb. Hal ini
disebabkan karena domba-domba tersebut mengkonsumsi rumput lapang (Hijauan
Makanan Ternak) dengankandungan Pb-nya berkisar 17,97 – 30,59 ppm (Gambar
22). Bila dilihat dari kandungan Pb rumput lapang dan kandungan Pb feses, jumlah
kandungan Pb dalam feses lebih kurang dua kali kandungan Pb rumput lapang atau
dua kali konsumsinya.
Hal yang sama ditunjukkan pada domba-domba yang
ditambahkan Pb dalam ransumnya. Penambahan Pb dalam ransum sebanyak 200
ppm mengakibatkan kandungan Pb dalam feses sebanyak 525,21 ppm. Kandungan
Pb dalam feses domba-domba yang ditambahkan Pb dalam ransumnya juga sekitar
dua kali banyaknya
konsumsinya.
Hal yang sama seperti yang diteliti oleh
Nicholson et al. (1999) yang meneliti kandungan Pb dalam feses sapi pedaging lebih
tinggi daripada kandungan Pb dalam pakannya. Hal ini menunjukkan bahwa Pb
pada ternak ruminansia tidak diserap oleh saluran pencernaan, bahkan terjadi
akumulasi Pb di feses akibat konsumsi Pb dalam pakan.
Dengan demikian
penambahan Pb dalam ransum menyebabkan terakumulasinya Pb dalam feses,
sehingga kandungan Pb dalam feses domba yang ransumnya ditambahkan Pb jauh
lebih tinggi daripada kandungan Pb dalam ransumnya.
Tabel 18. Kandungan Pb dalam Feses Domba (ppm)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 54,91 + 14,04
pH = 4,1
P2
42,60 + 0,06
a
Rataan pakan 48,76 + 43,44
tanpa Pb
P3
498,77 + 21,72
Rataan pakan tanpa asam
276,84 + 43,44
P4
551,65 + 21,72
Rataan pakan berasam
297,13 + 43,44
b
525,21 + 43,44 (Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Dengan kata lain, walaupun Pb-asetat yang ditambahkan dalam ransum
merupakan Pb yang mudah diserap oleh saluran pencernaan akan tetapi pada
penelitian ini Pb-asetat tidak mudah diserap oleh saluran pencernaan domba.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Tahiri et al. (2000) yang
memberikan Pb dalam ransum tikus dan menyebabkan Pb ransum banyak yang
diserap oleh saluran pencernaan yang ditunjukkan tingginya kandungan Pb dalam
darah. Hal ini dapat terjadi karena domba termasuk kelompok ternak ruminansia
(polygastric) yang berbeda dengan ternak monogastric, seperti tikus.
Ternak
ruminansia di dalam rumennya banyak terdapat mikroorganisme. Mikroorganisme
inilah yang banyak menghasilkan enzim, yang memungkinkan enzim-enzim
produksi mikroorganisme dapat mengikat Pb, sehingga Pb yang ada dalam saluran
pencernaan domba tidak lagi berbentuk Pb-asetat yang mudah diserap, akan tetapi
berbentuk Pb-enzim yang sulit dicerna, terkecuali ada enzim lain yang dapat
mencerna Pb-enzim. Itulah sebabnya Pb dalam saluran pencernaan domba tidak
mudah diserap, karena dalam bentuk Pb kompleks dan menyebabkan kandungan Pb
dalam feses menjadi lebih banyak daripada kandungan Pb dalam ransum. Hal
tersebut diperkuat dengan sangat rendahnya kandungan Pb dalam darah yang kurang
dari 1 ppm (Tabel 19). Pb dalam darah yang rendah menunjukkan bahwa Pb dalam
saluran pencernaan tidak diserap dan tidak masuk dalam darah. Dengan demikian
Pb yang dikonsumsi tidak diserap atau sangat sedikit diserap tubuh domba, yang
menyebabkan terakumulasi dalam rumen dan selanjutnya dikeluarkan melalui feses
juga secara akumulatif.
Tidak ada interaksi antara faktor penambahan asam dan faktor penambahan
Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam feses (P > 0,05), juga tidak ada
pengaruh perlakuan penambahan asam dan Pb terhadap kelompok domba yang
besar, sedang dan kecil terhadap kandungan Pb dalam feses domba (P > 0,05)
(Lampiran 12).
Domba yang diberi ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb
dalam feses dari domba yang ransumnya tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran 12).
Kandungan Pb feses domba yang diberi ransum berasam sebesar 297,13 ppm secara
statistik tidak berbeda dengan yang diberi ransum tanpa asam sebesar 276,84 ppm.
Ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam feses, karena domba
yang diberi ransum berasam kandungan Pb dalam feses sama banyaknya dengan
domba yang diberi ransum tanpa asam. Hal ini karena keasaman dalam ransum
tidak mengikat Pb ransum dan menyebabkan Pb feses kandungannya relatif sama
dengan ransum tanpa asam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan cairan asam
dalam ransum tidak mempengaruhi kandungan Pb dalam feses, yang berarti bahwa
keasaman tidak mengikat Pb dalam ransum dan tidak mempengaruhi proses
penyerapan Pb dalam saluran pencernaan.
Domba yang diberi ransum bertimbal sangat nyata mempengaruhi
kandungan Pb dalam feses dari domba yang ransumnya tidak bertimbal (P < 0,01)
(Lampiran 12). Domba yang diberi ransum bertimbal terdapat kandungan Pb dalam
feses sebanyak 525,21 ppm jauh lebih banyak dari kandungan Pb feses domba yang
ransumnya tidak bertimbal, yaitu sebanyak 48,76 ppm. Hal yang sama dengan
penjelasan sebelumnya, bahwa ransum yang ditambahkan timbal menyebabkan
timbal yang ada dalam saluran pencernaan terikat oleh enzim, sehingga berbentuk
kompleks dan tidak diserap oleh saluran pencernaan dan menyebabkan tingginya
timbal di dalam feses.
4.4.5.2. Kandungan Timbal (Pb) dalam Darah Domba
Kandungan Pb dalam darah masing-masing domba penelitian relatif sedikit,
yaitu berkisar 0,17 – 0,51 ppm. Rataan kandungan Pb dalam darah domba yang
diberi ransum berasam 0,34 ppm dan ransum tanpa asam 0,28 ppm, sedang rataan
kandungan Pb dalam domba yang diberi ransum bertimbal sebesar 0,44 ppm dan
ransum tanpa Pb sebesar 0,18 ppm (Tabel 19).
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam darah domba (P > 0,05),
begitu pula ternak domba kelompok besar kandungan Pb dalam darahnya sama
banyaknya
dengan kandungan Pb dalam darah ternak-ternak domba kelompok
sedang dan kecil apabila ransumnya ditambahkan cairan asam dan dicampur dengan
Pb (Lampiran 13). Dengan demikian tidak ada perbedaan kandungan Pb dalam
darah domba yang diberi perlakuan ransum kontrol (P1), dengan yang diberi
perlakuan ransum P2, dan dengan yang diberi perlakuan ransum P3 serta yang diberi
perlakuan ransum P4.
Pemberian cairan asam dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan
kandungan Pb dalam darah dengan ransum yang tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran
13). Kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum berasam sebesar 0,34
ppm secara stsatistik tidak berbeda dengan kandungan Pb dalam darah domba yang
diberi ransum tanpa asam, yaitu sebanyak 0,28 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian cairan asam dalam ransum tidak mengikat Pb dan tidak mempengaruhi
penyerapan Pb oleh saluran pencernaan, tidak seperti kondisi di Laboratorium yang
menurut Saeni (1995) dan Darmono (1995) bahwa cairan asam akan mengikat Pb
seperti halnya asam akan mengikat logam berat, seperti Pb, As, Cd dan Hg.
Tabel 19. Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 0,18 + 0,01
P3
0,37 + 0,01
Rataan pakan tanpa asam
0,28 + 0,005
P2
0,17 + 0,01
P4
0,51 + 0,01
Rataan pakan berasam
0,34 + 0,005
pH = 4,1
a
Rataan pakan 0,18 + 0,005
tanpa Pb
b
0,44 + 0,005
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Penambahan Pb dalam ransum nyata mempengaruhi kandungan Pb dalam
darah (P < 0,05) (Lampiran 13),. Kandungan Pb dalam darah domba yang diberi
ransum tanpa Pb sebesar 0,18 ppm. Hal tersebut lebih rendah daripada kandungan
Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal, yaitu sebanyak 0,44 ppm. Hal
ini bukan berarti bahwa Pb diserap oleh saluran pencernaan domba, karena
kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal hanya kurang dari
1 ppm, dibandingkan dengan konsumsinya yang lebih dari 200 ppm. Besarnya
kandungan Pb dalam darah domba yang diberi ransum bertimbal dibandingkan
dengan darah domba yang diberi ransum tanpa timbal, disebabkan karena ada
sebagian kecil Pb dalam saluran pencernaan domba yang tidak sempat diikat oleh
enzim, sehingga masih dalam kondisi Pb-asetat yang masih memungkinkan dapat
diserap oleh saluran pencernaan domba.
4.4.5.3. Kandungan Timbal (Pb) dalam Hati Domba
Kandungan Pb dalam hati masing-masing domba penelitian relatif sedikit,
yaitu berkisar 2,31 – 4,63 ppm. Rataan kandungan Pb dalam hati domba yang diberi
ransum tanpa asam sebesar 3,13 ppm dan ransum berasam sebesar 3,65 ppm, sedang
rataan kandungan Pb darah ransum bertimbal sebesar 4,29 ppm, dar ransum tanpa
Pb sebanyak 2,49 ppm (Tabel 20).
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
pemberian Pb dalam ransum terhadap kandungan Pb dalam hati domba (P > 0,05),
begitu pula ternak domba kelompok besar kandungan Pb dalam darahnya sama
banyaknya
dengan kandungan Pb dalam darah ternak-ternak domba kelompok
sedang dan kecil apabila ransumnya ditambahkan cairan asam dan dicampur dengan
Pb (Lampiran 14). Dengan demikian tidak ada perbedaan kandungan Pb dalam hati
domba yang diberi perlakuan ransum kontrol (P1), dengan yang diberi perlakuan
ransum P2, dan dengan yang diberi perlakuan ransum P3 serta yang diberi perlakuan
ransum P4.
Pemberian cairan asam dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan
kandungan Pb dalam hati dengan ransum yang tidak berasam (P > 0,05) (Lampiran
14). Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum berasam secara stsatistik
tidak berbeda nyata dengan kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum
tanpa asam.
Penambahan Pb dalam ransum sangat nyata mempengaruhi perbedaan
kandungan Pb dalam hati dengan ransum yang tidak bertimbal (P < 0,01) (Lampiran
14). Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum bertimbal sebesar 4,29
ppm secara stsatistik berbeda dengan kandungan Pb dalam hati domba yang ransum
yang tidak bertimbal, yaitu sebanyak 2,49 ppm.
Ransum berasam tidak mempengaruhi kandungan Pb di hati, akan tetapi
perlakuan pemberian Pb sebanyak 200 ppm mempengaruhi kandungan Pb di hati
domba (P < 0,01) hingga hampir dua kali lipat lebih besar, walaupun kandungan Pb
dalam hati relatif rendah yang hanya 4,29 ppm dibandingkan dengan konsumsinya
sebanyak 200 ppm. Hal yang sama diteliti oleh Lee et al. (1996) yang meneliti hati
domba Romney yang digembalakan di padang penggembalaan yang tinggi
konsentrasi kadmiumnya akan meningkatkan kandungan Cd dalam hati Domba
Romney tersebut, sebaliknya domba Romney yang digembalakan di padang
penggembalaan yang konsentrasi kadmiumnya rendah akan menurunkan kandungan
Cd dalam hati domba tersebut. Rendahnya kandungan Pb di hati domba yang diberi
ransum bertimbal menunjukkan bahwa tidak semua Pb yang dikonsumsi
terakumulasi dalam jaringan hati, atau hanya sebagian kecil saja Pb yang
dikonsumsi terakumulasi dalam hati, akan tetapi karena sifatnya akumulatif, maka
bila dalam jangka waktu yang lama akan membahayakan kondisi tubuh domba
pemeliharaan. Terutama bila kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi.
Tabel 20. Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 2,31 + 0,35
P3
3,94 + 0,35
Rataan pakan tanpa asam
3,13 + 0,18
P2
2,66 + 0,35
P4
4,63 + 0,35
Rataan pakan berasam
3,65 + 0,18
pH = 4,1
a
Rataan pakan 2,49 + 0,18
tanpa Pb
b
4,29 + 0,18
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Kandungan Pb dalam hati domba yang diberi ransum berasam sebesar 3,65
ppm dan yang diberi ransum bertimbal sebanyak 4,29 ppm (Tabel 20). Hal tersebut
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan Pb darah yang kurang dari 1 ppm.
Hal ini bukan berarti bahwa setelah Pb diserap oleh darah, akan ada tambahan Pb
lagi yang tersimpan dalam hati, akan tetapi deposit Pb dalam hati lebih tinggi
daripada deposit Pb dalam darah.
4.4.5.4. Kandungan Timbal (Pb) dalam Ginjal Domba
Kandungan Pb dalam ginjal masing-masing domba penelitian relatif sedikit,
yaitu berkisar 1,86 – 4,24 ppm. Rataan kandungan Pb dalam ginjal domba yang
diberi ransum kontrol atau tanpa asam dan timbal (P1) sebesar 1,86 ppm, dari
ransum berasam (P2) sebesar 2,48 ppm, dari ransum bertimbal (P3) sebanyak 3,05
ppm dan dari ransum berasam dan bertimbal (P4) sebanyak 4,24 ppm
Tidak ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dengan faktor
penambahan Pb dalam ransum ternak domba terhadap kandungan Pb ginjal domba
(P > 0,05), juga kandungan Pb ginjal domba kelompok besar sama banyaknya
dengan domba kelompok sedang dan kecil (P > 0,05) bila kelompok ternak domba-
domba tersebut diberi perlakuaan cairan asam dan Pb dalam ransumnya (Lampiran
15). Dengan demikian tidak ada perbedaan antara kandungan Pb ginjal domba yang
diberi ransum kontrol (P1) dengan yang diberi ransum berasam (P2), dan dengan
ransum bertimbal (P3) serta dengan ransum berasam dan bertimbal (P4).
Pemberian asam dalam ransum domba meningkatkan kandungan Pb ginjal (P
< 0,05), dan pemberian Pb dalam ransum domba sangat meningkatkan kandungan
Pb ginjal (P < 0,01) Domba yang diberi ransum berasam mengandung Pb dalam
ginjalnya sebanyak 3,36 ppm. Hal tersebut lebih besar daripada kandungan Pb
dalam ginjal domba yang diberi ransum tanpa asam, yaitu sebesar 2,46 ppm. Begitu
pula domba yang diberi ransum bertimbal mempunyai kandungan Pb dalam ginjal
sebanyak 3,65 ppm. Hal tersebut juga lebih banyak daripada kandungan Pb dalam
ginjal domba yang diberi ransum tanpa Pb sebesar 2,17 ppm. Hal ini sesuai dengan
penelitain Lee et al. (1996) yang meneliti domba Romney yang digembalakan pada
padang penggembalaan dengan konsentrasi kadmium (Cd) tinggi akan meningkatkan kandungan Cd dalam ginjal domba tersebut.
Tabel 21. Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 1,86 + 0,08
P3
3,05 + 0,08
Rataan pakan tanpa asam
a
2,46 + 0,04
P2
2,48 + 0,08
P4
4,24 + 0,08
Rataan pakan berasam
b
3,36 + 0,04
pH = 4,1
a
Rataan pakan 2,17 + 0,04
tanpa Pb
b
3,65 + 0,04
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan respon
Penambahan Pb sangat nyata mempengaruhi kandungan Pb ginjal (P < 0,01),
sedang pemberian cairan asam nyata mempengaruhi kandungan Pb ginjal (P < 0,05)
(Lampiran 15). Hal ini berarti bahwa pemberian Pb dalam ransum domba lebih
besar dampaknya terhadap kandungan Pb ginjal daripada perlakuan pemberian asam
dalam ransum domba. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh asam lebih kecil
terhadap penimbunan/deposit Pb di ginjal dibandingkan dengan pengaruh pemberian
Pb, yang berarti bahwa secara biokimia daya ikat Pb oleh asam dalam ginjal masih
relatif lemah, tidak seperti daya ikat asam secara kimia yang bisa mengikat logam
berat seperti
diutarakan oleh Darmono (1995) dan Saeni (1995).
Mengingat
interaksi pengaruh asam dan Pb dalam ransum domba tidak mempengaruhi
kandungan Pb dalam ginjal (Lampiran 13), maka pemberian asam dan Pb yang
dilakukan bersamaan secara statistik juga tidak akan lebih meningkatkan kandungan
Pb dalam ginjal domba bila dibandingkan dengan pemberian asam saja atau Pb saja.
Mengingat kandungan Pb dalam ginjal tidak berbeda dengan kandungan Pb dalam
hati, maka deposit Pb dalam hati hampir sama dengan deposit Pb dalam ginjal.
4.4.5.5. Kandungan Timbal (Pb) dalam Daging Domba
Kandungan Pb dalam daging masing-masing domba relatif sedikit, yaitu
berkisar 1,27 – 1,36 ppm. Rataan kandungan Pb dalam daging domba yang diberi
ransum tanpa asam tidak berbeda dengan yang diberi ransum berasam. Begitu pula
rataan kandungan Pb dalam daging domba yang diberi ransum tanpa Pb tidak
berbeda dengan yang diberi ransum bertimbal.
Tidak ada interaksi faktor asam dan faktor Pb terhadap kandungan Pb dalam
daging domba (P > 0,05), juga kandungan Pb dalam daging domba kelompok besar,
sedang dan kecil tidak berbeda nyata bila kelompok ternak domba-domba tersebut
diberi perlakuaan cairan asam dan Pb dalam ransumnya (P > 0,05) (lampiran 16).
Pemberian asam, maupun pemberian Pb dalam ransum domba tidak
mempengaruhi kandungan Pb dalam daging domba (P > 0,05) (Lampiran 16). Hal
tersebut menunjukkan bahwa pencemaran Pb ataupun pengaruh hujan asam tidak
mempengaruhi kandungan Pb daging domba. Itulah sebabnya tidak pernah terjadi
kematian domba secara tiba-tiba karena pencemaran logam berat seperti halnya
terjadi pada kasus kematian ikan di perairan.
Mengingat pencemaran air asam dan Pb tidak berpengaruh terhadap
kandungan Pb daging, maka dampak adanya hujan asam dan pencemaran Pb juga
tidak akan mempengaruhi kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging domba
dan daging sapi, karena baik sapi maupun domba sama-sama merupakan ternak
ruminansia atau ternak polygastric. Bila dibandingkan kandungan Pb dalam hati
dan ginjal serta daging domba, maka secara umum deposit Pb dalam hati dan ginjal
relatif lebih besar dibandingkan deposit Pb dalam daging.
Tabel 22. Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm)
Perlakuan Pb
Perlakuan
---------------------------------------------Asam
Tanpa Pb
Pb 200ppm
_________________________________________________________________________________
P1
Tanpa Asam 1,36 + 0,009
P3
1,27 + 0,009
Rataan pakan tanpa asam
1,32 + 0,004
P2
pH = 4,1
1,36 + 0,009
Rataan pakan 1,36 + 0,004
tanpa Pb
P4
1,30 + 0,009
1,29 + 0,004
Rataan pakan berasam
1,33 + 0,004
(Rataan pakan bertimbal)
Keterangan:
P1 = Pakan tanpa pH & Pb, P2 = Pakan berasam pH 4,1 & tanpa Pb,
P3 = Pakan tanpa asam & Pb 200 ppm, P4= Pakan berasam pH 4,1 & Pb 200 ppm.
Superscript yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan perbedaan
res
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Di Kabupaten Bogor telah terjadi hujan asam pada musim kemarau, sedang
pada musim hujan belum terjadi hujan asam, akan tetapi sepanjang tahun di
Kabupaten Bogor cenderung terjadi hujan asam bila terjadi kemarau panjang..
Pencemaran Pb di udara tidak banyak dilarutkan oleh keasaman air hujan dan
tidak dipengaruhi oleh perbedaan letak kecamatan berdasarkan arah mata angin serta
perbedaan topografi. Kandungan Pb air hujan tidak mempengaruhi kandungan Pb
tanah permukaan serta secara umum kandungan Pb tanah permukaan jauh lebih
tinggi daripada kandungan Pb air hujan. Kandungan Pb tanah tidak mempengaruhi
kandungan Pb hijauan makanan ternak.
Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum berasam lebih rendah
dari ransum tanpa asam atau ransum kontrol, dan kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum bertimbal lebih rendah daripada ransum tidak bertimbal.
Volatile Fatty Acid (VFA) ransum berasam lebih rendah daripada ransum
tidak berasam atau ransum kontrol, dan VFA ransum bertimbal tidak berbeda
dengan ransum tanpa Pb. Hal yang berbeda dengan produksi N-NH3 ransum yang
berasam lebih tinggi daripada ransum kontrol atau ransum tidak berasam, dan
produksi N-NH3 ransum bertimbal juga lebih tinggi daripada ransum tanpa Pb..
Pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum berasam lebih rendah
daripada ransum tidak berasam, sehingga efisiensi pakan dan rasio efisiensi protein
juga lebih rendah. Pertambahan bobot badan domba yang diberi ransum bertimbal
sama dengan ransum tanpa Pb, sehingga efisiensi pakan dan rasio efiseinsi protein
juga sama dengan ransum tidak berasam dan tanpa Pb.
Pemberian timbal dalam ransum hanya terakumulasi dalam darah, hati dan
ginjal serta yang paling banyak di feses domba, tetapi tidak terakumulasi dalam
daging domba, sedang ransum berasam hanya akan mengakumulasikan Pb dalam
ginjal saja, sedang di darah, hati dan daging apalagi feses tidak terpengaruh.
Tidak ada pengaruh interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor
penambahan Pb terhadap peubah penelitian in-vitro seperti: kecernaan bahan kering,
kecernaan bahan organik, produksi VFA dan porduksi N-NH3. Demikian pula tidak
ada interaksi antara faktor pemberian cairan asam dan faktor penambahan Pb
terhadap peubah penelitian in-vivo, seperti: pertambahan bobot badan, efisiensi
pakan, rasio efisiensi protein, kandungan Pb dalam feses, darah, hati, ginjal dan
daging domba. Pencemaran Pb ransum tidak dipengaruhi oleh keasaman pada pH =
4,1 bagi ternak domba lokal jantan.
Dengan demikian, walaupun kemungkinan hujan asam dan pencemaran Pb
akan tejadi, karena kecenderungan bertambah banyaknya transportasi dan industri,
akan tetapi tidak menyebabkan kemungkinan ternak domba mati, dan tidak juga
menyebabkan pengaruh terhadap manusia yang mengkonsumsi daging domba.
5.2. Saran
Pemerintah daerah perlu berupaya untuk mencegah dan menghindari terjadinya hujan asam dengan cara:
a. Menggalakkan program penghijauan kembali agar dapat mengurangi
keberadaan gas karbon dioksida (CO2).
b. Perlu menentukan areal khusus kawasan industri dan membatasi perusahaan
industri yang tidak memperhatikan keamanan dan kebersihan lingkungan.
c. Perlu penataan Ruang Terbuka Hijau.
d. Penelitian yang sama perlu dilakukan pada ternak monogatrik khususnya
unggas dengan pemberian konsentrasi Pb dan cairan asam yang lebih banyak
dan lebih banyak tingkatan dosisnya.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Akinola, M.O. and O.A. Adedeji. 2007. Assessment of lead concentration in
Panicum maximum growing along The Lagos-Ibadan Expressway, Nigeria.
African Journal of Science and Technology (AJST) Science and
Engineering. 8 (.2): 97 – 102.
Alifia, F. Dan M.I. Djawad. 2000. Kondisi histologi insang dan organ dalam
juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) yang tercemar logam timbal
(Pb). Sci. Tech. 1 (2): 51 – 58.
Aminah, N. 2006. Perbandingan kadar Pb, Hb, fungsi hati, fungsi ginjal pada
karyawan BBTKL & PPM Surabaya bagian sampling dan non sampling.
Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (2): 111 – 120.
Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
Ardyanto, D. 2005. Deteksi pencemaran timah hitam (Pb) dalam darah masyarakat
yang terpajan timbal (Pb). Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2 (1): 67 – 76
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2004. Data Klimatologi Jawa Barat Tahun
2003. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga
Bogor. Bogor
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2005. Data Klimatologi Jawa Barat Tahun
2004. Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga
Bogor. Bogor
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2004. Kabupaten Bogor dalam Angka
2004. Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten
Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2007. Kabupaten Bogor dalam Angka
2007. Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten
Bogor, Bogor.
Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman,
Air dan Pupuk.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor.
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia 2000. Biro Pusat Statistik . Jakarta.
Burau, R.G. 1982. Lead. In A.L. Page (Ed.). Methode of Soils Analysis. The
University of Wisconsin. Madison. Pp. 347-365
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan 2007. Direktorat
Jenderal Peternakan. Jakarta.
Faust, S.D. and O.M. Aly. 1981. Chemistry of Natural Water. Ann Arbor Science
Publisher Inc. New York.
Ghalib, M.; M.I. Djawad dan L. Fachruddin. 2002. Pengaruh logam timbal (Pb)
terhadap konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskall).
Sci & Tech. 3 (3): 10 – 18.
General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of
Wisconsin. Madison.
Inzunza, J.R. and F.P. Osuna. 2002. Distribution of Cd, Cu, Fe, Mn, Pb and Zn in
selected tissues of juvenile whales stranded in the SE Gulf of Califonia
(Mexico). Environment International. 28 (4): 325 – 329.
Ip, C.C.M., X.D. Li, G. Zhang, C.S.C. Wong and W.L. Zhang. 2005. Heavy
metaland Pb isotopic composition of aquatic organisms in the Pearl River
Estuary, South China. Environmental Pollution. 138 (3): 494 – 504.
Harahap, H. 2004. Pengaruh Pencemaran Timbal dari Kendaraan Bermotor dan
Tanah terhadap Tanaman dan Mutu Teh. Disertasi Program Studi Ilmu
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hendler, S.S., J. Graedon, A. Mercandetti, R. Nagourney, and D.U. Waters. 1990.
The Doctors’ Vitamin and Mineral Encyclopedia. Simon and Schuster. New
York.
Jayanegara, A., A.S. Tjakradidjaja dan T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan
kecernaan in-vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi kromium
anorganik dan organik. Media Peternakan. 29 (2): 54 – 62.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero SUCOFINDO. 2002.
Terjemahan dari buku asli The Impact of Climate Change. Words and
Publications, Oxford-England.
Kantor Statistik Kabupaten Bogor. 1989. Kabupaten Bogor dalam Angka 1989.
Cabang Perwakilan BPS Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
Bogor.
Kim, D.S. 2004. Pb2+ removel from aqueous solution using crab shell treated by
acid and alkali. J. Biosource Tech. 94: 345 - 348
Klaassen, C.D. 1980. Heavy metals and heavy-metals antagonist dalam Gilman,
A.G., Goodman, L.S., A. Gilman (Eds.). Microbial Control of Therapeutics,
6th edition. MacMillan Publishing Co. New York. 1615-1637.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbal.
Bertimbal dan Kesehatan. Jakarta.
1999.
Dampak Pemakaian Bensin
Kozlowski, T. T., P.J. Kramer, and S. G. Pallardy. 1991. The Physiological
Ecology of Woody Plants. Academic Press Inc. London.
Kuperman, R.G. and M.M. Carreiro. 1997. Soil heavy metal concentrations,
microbial biomass and enzyme activities in a contaminated grassland
ecosystem. Soil Biology and Biochemestry 29 (2): 179 – 190.
Kusnoputranto, H. 2006. Penghapusan Bensin Bertimbal sebagai suatu Keharusan.
http://www.kpbb.org/makalah_ind/Pengaruh%20Penghapusan%20Bensin%2
0Bertimbal%20Terhadap%20Kendaraan%20Bermotor.pdf.
[5Desember
2006}
Laskowski, R. and S.P. Hopkin. 1996. Accumulation of Zn, Cu, Pb and Cd in the
garden snail (Helix aspersa): Implication for predators. Environmental
Pollution. 31 (3): 289 – 297.
Lee, J., J.R. Rounce, A.D. Mackay and N.D. Grace. 1996. Accumulation of
cadmium with time in Romney sheep grazing ryegrass-white clover pasture:
effect of cadmium from pasture and soil intake. Aust. J. Agric. Res. (47):
877 – 894.
Levine, R.J.; R,M. Moore, G.D. McLaren, W.F. Barthel and P.J. Landrigan. 1976.
Occupational
lead poisioning, animal deaths, and environmental
contamination at a scrap smelter. Am. J. Public Health. Vol. 66. No. 6. :
548 - 552
Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan. Parakkasi,
A. Penerbit Univeristas Indonesia (UI-Press). Jakarta
Lu, C.F. 1995. Toksikologi Dasar (Asas, Organ, Sasaran dan Penilaian Resiko).
Terjemahan: Nugroho, E. UI-Press. Jakarta.
Madyiwa, S., M. Chimbari, J. Nyamangara, and C. Bangira. 2002. PhytoExtraction Capacity of Cynodon nlemfuensis (Star Grasss) at Artificially
Elevated Concentrations of Pb and Cd in Sandy Soil under Greenhouse
Condition. 3rd WaterNet/Warfsa Symposium “Water Demand Management
for Sustainable Development”. 30 – 31 October. Dar es Salaam.
Marçal, W.S.; P.E. Pardo; M.R.L. Nascimento and M.S. Fortes. 2005. Inorganic
lead concentration in mineral salt commercial mixtures for beef cattle in Sǎo
Paulo State, Brazil. Arq. Inst. Biol. 72 (3): 339 -341
a
Murdiyarso, D. 2003 . Protokol Kyoto, Implementasinya bagi Negara Berkembang. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
b
Murdiyarso, D. 2003 . CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta
Nam, D.H., dan D.P. Lee. 2005. Monitoring for Pb and Cd pollution using feral
pigeons in rural, urban and industrial environments of Korea. Science of the
Total Environment. August Ed: 1 – 8.
National Research Council. 1991. Nutrient Requirement of Sheep. Sixth Revised
Edition 1985. National Academy Press. Washington D.C.
Nicholson, F.A.. B.J. Chambers, J.R. Williams and R.J. Unwin. 1999. Heavy
metal contents of livestock fedds and animal manures in England and Wales.
Bioresources Technology (70): 23 – 31.
Nur, M.A., Herastuti, S.R. dan Hendra, A. 1989. Petunjuk Teknik Laboratorium
untuk Bidang Biologi dan Kimia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurjaya,; E. Zihan dan M.S. Saeni. 2006. Pengaruh amelioran terhadap kadar Pb
tanah, serapannya serta hasil tanaman Bawang Merah pada Inceptisol. Jrnal
Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 8 (2): 110 - 119
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Pilliang, W.G. 2002. Nutrisi Mineral. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Rahde, A.F. 1994. Lead Inorganik. IPCS INCHEM. Hlm 1 – 24.
Rahman, A. 2006. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada
Beberapa Jenis Krustasea di Pantai Batakan dan Takisung, Kabupaten Tanah
Laut, Kalimantan Selatan. Bioscientiae 3 (2): 93 – 101.
Reitz, L.L., W.H. Smith and M.P. Plumlee. 1960. A Simple, Wet Oxidation
Procedure for Biological Materials. Animal Science Department, Purdue
University. West Lafayette, Ind. Analytical Chemestry 32: 1723
Romjali, E., S.E. Sinulingga, A.D. Pitonoo dan R. Gatenbey. 1996. Pubertas pada
domba betina lokal Sumatera Utara dan hasil persilangannya dengan Virgin
Island (ST. Croix) dan Garut. Prosiding Seminar ISPS Cabang Bogor.
Bogor.
Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. Bahan Pengajaran. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saeni, M.S. 1995. The correlation between the concentration of heavy metals (Pb,
Cu and Hg) in the environment and in human hair. Buletin Kimia 9: 63 –
70.
Saeni, M.S. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis
Rambut. Orasi Ilmiah. Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan. Fakultas
Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sastrawijaya, A.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Satter, L.D. dan L.L. Slyter. 1974. Effect of Ammonia Concentration on Rumen
Microbial Protein Production in in-vitro. Brit. J. Nutr. 32 : 199.
Smith, J. 1981. Air Pollution and Forest Ecosystem. Springer Verlag. New York.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika.
Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Gramedia. Jakarta.
Suatu
Surtipanti , S. dan Suwirna. 1987. Kandungan logam berat dalam air dan Lumpur
sungai Cisadane dan Angke. Hal 213-217. Dalam Hasil Penelitian 19811987. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Batan. Jakarta.
Sutardi, T., N.A. Sigit dan T. Toharmat 1983. Standarisasi Mutu Protein dan
Makanan Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh Mikroba
Rumen. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tahiri, M., P. Pellerin, J.C. Tressol, T. Doco, D. Pepin, Y. Rayssiguier dan C.
Coudray. 2000. The rhamnogalacturonan-II dimer decreases intestinal
absorption and tissue accumulation of lead in rats. J. Nutr. 130: 249 – 253.
Tilley, J.R. and R.A. Terry. 1963. A Two State Technique to In Vitro Digestion of
Forage Crops. J. Brgss. Sc. (18): 104-111.
Underwood, E.J. dan F.F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rd
Edition. CABI Publishing. UK.
WHO.
1984. Guidelines for drinking water quality, health criteria and other
supporting information. WHO. New York.
Wikipedia Indonesia. 2006. Timbal. Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, 11
Oktober 2006. http://id.wikipedia.org/wiki/Timbal. [24 November 2006].
Wolf, B.W., E.C. Titgemeyer, L.L. Berger dan G.C. Fahey. 1994. Effect of
chemically Treated, Recycled Newsprint on Feed Intake and Nutrient
Digestibility by Growing Lambs. J. Anim. Sci. (72): 2508 -2517
Lampiran 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor tahun 2003 (mm)
Nama
Keca
BULAN
Stasiun matan
1 2
3
4
5
6
7 8
9 10 11
12
Dam Cianten
Leuwiliang
137
Cihideung
Perk. Jasinga
Ciriung
75
293
Ciampea
126
455
248
339
271
42
Jasinga
258
451
293
255
336
250
Cibinong
212
325
127
193
87
73
167
454
394
379
217
324
PTPXI Cikasungka Cigudeg
286
319
181
40
-
40
98
318
139
10
136
104
302
154
256
28
108
186
159
195
332
4
-
164
291
203
250
23
87
161
350
247
199
Rumpin
Rumpin
327
398
168
223
237
-
15
109
-
-
323
174
Kolam Ciomas
Ciomas
189
624
442
623
553
212
24
184
286
786
380
358
STA Gadog
Ciawi
161
483
211
429
100
84
16
290
361
512
210
623
Pondok Gedeh
Cijeruk
119
357
313
432
300
118
9
168
375
208
230
546
Gunung Mas
Cisarua
153
530
146
550
337
239
113
90
-
123
146
434
288
537
515
301
264
162
6
22
149
497
244
247
96
597
658
298
71
69
6
36
126
347
208
200
Perk. Kahuripan Ciseeng
146
371
404
268
227
51
27
87
89
196
236
190
STA Citeko
Citeko
137
582
245
263
166
21
0.6
207
247
290
264
372
Situ Kemang
Kemang
96
796
615
292
100
36
40
139
170
157
243
266
Darmaga
Darmaga
212
556
471
309
270
552
326
398
Rata-rata per bulan adalah
172
358
323
235
317
Inlitro Cibinong Citeureup
Bojong Gede
Bojong Gede
489
501
180
233
25
91
117 17
122
196
360
Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor (2004)
Lampiran 2. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor tahun 2004 (mm)
Nama
Keca
BULAN
Stasiun
matan
1 2
3
4
5
6 7 8
9
10
11
12
Dam Cianten
Leuwiliang
284
291
Cihideung
Ciampea
357
257
135
365
306
59
93
28
362
108
-
320
Perk. Jasinga
Jasinga
376
235
216
462
258
142
223
22
161
220
238
302
PTPXI Cikasungka Cigudeg
761
306
233
393
154
51
179
20
366
174
369
318
Kolam Ciomas
Ciomas
278
338
251
718
453
24
164
132
490
255
523
482
STA Gadog
Ciawi
571
473
315
282
404
92
124
26
205
240
480
311
Pondok Gedeh
Cijeruk
288
424
274
505
285
56
67
-
164
281
344
538
Gunung Mas
Cisarua
344
553
232
361
303
53
87
9
205
90
212
413
Inlitro Cibinong
Citeureup
321
285
252
269
320
30
135
29
53
215
291
549
Bojong Gede
Bojong Gede 143
304
17
466
126
122
75
8
91
173
290
-
Perk. Kahuripan
Ciseeng
269
243
168
424
141
79
160
61
173
115
285
-
STA Citeko
Citeko
290
511
269
355
242
40
72
8
155
135
188
466
Situ Kemang
Kemang
270
222
138
408
139
64
172
90
289
368
634
-
Darmaga
Darmaga
404
327
432
640
374
169
209
166
277
401
432
359
335
217
428
258
76
139
50
Rata-rata per bulan adalah
352
206
102
343
Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Darmaga – Bogor (2005)
106
-
174
-
143
392
232
120
198
349
402
Lampiran 3. Anova Kecernaan Bahan Kering Konsentrat (%)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
3
1
1
1
8
11
374,2607
150,5208
223,6033
0,1365
147,4658
521,7265
7,59 4,07
11,26 5,32
124,754
15,5208
223,6023
0,1365
18,4332
6,77
8,17
12,13
0,01
F0,05
Keterangan
Nyata
Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 4. Anova Kecernaan Bahan Organik Konsentrat (%)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
3
1
1
1
8
11
375,4763
130,3502
244,8937
0,2324
124,8412
500,3175
7,59 4,07
11,26 5,32
125,159
8,02
130,3502
8,35
244,8937 15,69
0,2324
0,01
15,6052
F0,05
Keterangan
Sangat Nyata
Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = derajat bebas; Σ Kuadrat = jumlah kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 5. Anova Volatile Fatty Acid (VFA) Konsentrat (mM)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
3
1
1
1
8
11
12406,33
3,00
12160,33
243,00
645,3333
13051,67
7,59 4,07
11,26 5,32
4135,44 51,27
3,00
0,04
12160,33 150,75
243,00
3,01
80,6667
F0,05
Keterangan
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 6. Anova N-Amoniak (N-NH3) Konsentrat (mM)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
Perlakuan 3
615,2663
Pb
1
522,6144
Asam
1
92,6519
PbxAsam 1
0,00001
Galat
8
22,3486
Total
11 637,6149
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat
F0,01
F0,05
205,089
73,41 7,59 4,07
522,6144
187,08 11,26 5,32
92,6519
33,17
0,00001 0,00001
2,7936
Keterangan
Sangat Nyata
Sangat Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
= Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 7. Anova Konsumsi Bahan Segar (Kg/ekor/hari)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,5160
1,0861
0,4302
0,2258
0,4302
2,4945
4,0966
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
0,2580
0,3620
0,4302
0,2258
0,4302
0,4158
0,62
0,87
1,03
0,54
1,03
F0,05
Keterangan
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 8. Anova Konsumsi Bahan Kering Ransum (Kg/ekor/hari)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,0017
0,0007
0,0003
0,0001
0,0003
0,0134
0,0158
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
0,0008
0,0002
0,0003
0,0001
0,0003
0,0022
0,38
0,11
0,14
0,05
0,15
F0,05
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 9. Anova Pertambahan Bobot Badan (Kg/ekor/hari)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,0022
0,0050
0,0007
0,0040
0,0002
0,0011
8286,00
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
0,0011
0,0017
0,0007
0,0040
0,0002
0,0002
6,27
9,47
4,17
22,86
1,38
F0,05
Keterangan
Nyata
Nyata
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 10. Anova Efisiensi Pakan
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,0046
0,0088
0,0012
0,0071
0,0005
0,0027
0,0161
0,0023
0,0029
0,0012
0,0071
0,0005
0,0005
F0,01
F0,05
5,04 10,92 5,14
6,46 9,78 4,76
2,56 13,75 5,99
15,69
1,00
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Cenderung
Nyata
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 11. Anova Rasio Efisiensi Protein
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3786,61
3
7447,31
1
1019,57
1
6006,54
1
421,03
6
2266,59
11 13500,52
1893,31
2482,44
1019,57
6006,54
421,03
377,77
5,01
6,57
2,70
15,90
1,11
F0,01
F0,05
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Cenderung
Nyata
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 12. Anova Kandungan Pb dalam Feses Domba(ppm)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
4581,30
3
685459,8
1
681037,6
1
1234,85
1
3187,30
6
7093,38
11 697134,46
2290,65
228486,59
681037,63
1234,85
3187,30
1182,23
F0,01
F0,05
1,94 10,92 5,14
193,27 9,78 4,76
576,06 13,75 5,99
1,04
2,70
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = derajat bebas; Σ Kuadrat = jumlah kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 13. Anova Kandungan Pb dalam Darah Domba (ppm)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
4581,30
0,2469
0,2160
0,0140
0,0169
0,1945
0,5278
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
2290,65
0,0823
0,2160
0,0140
0,0169
0,0324
1,94
2,54
6,66
0,43
0,52
F0,05
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 14. Anova Kandungan Pb dalam Hati Domba (ppm)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,8480
11,4282
10,0833
1,2288
0,0833
6,3406
18,6167
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
0,4240
3,8094
10,0833
1,2288
0,0833
1,0568
0,40
3,60
9,54
1,16
0,11
F0,05
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Cenderung
Sangat Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 15. Anova Kandungan Pb dalam Ginjal Domba (ppm)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
0,8480
3
9,2486
1
6,5416
1
2,4661
1
0,2408
6
1,5117
11 11,4222
0,4240
3,0829
6,5416
2,4661
0,2408
0,2519
F0,01
F0,05
0,40 10,92 5,14
12,24 9,78 4,76
25,96 13,75 5,99
9,79
0,96
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Sangat Nyata
Sangat Nyata
Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Lampiran 16. Anova Kandungan Pb dalam Daging Domba (ppm)
Sumber
db
Σ Kuadrat K. Tengah Fhit
F0,01
Kelompok
Perlakuan
Pb
Asam
PbxAsam
Galat
Total
2
3
1
1
1
6
11
0,0467
0,0198
0,0184
0,0010
0,0004
0,1662
0,2327
10,92 5,14
9,78 4,76
13,75 5,99
0,0233
0,0066
0,0184
0,0010
0,0004
0,0277
0,48
0,24
0,66
0,04
0,01
F0,05
F0,10 Keterangan
3,46
3,29
3,78
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Tidak Nyata
Keterangan:
db = Derajat Bebas; Σ Kuadrat = Jumlah Kuadrat; K.Tengah = Kuadrat Tengah
Download