JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010 1

advertisement
KERAGAMAN DNA MIKROSATELIT BM415 DAN BM4621 PADA DOMBA KOMPOSIT
(SUMATRA X BARBADOS BLACKBELLY X ST. CROIX)
Ratna Kumala Dewi
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Islam Lamongan
Abstract
The forming of composite breed sheep were expected to able adapted with damp and tropical environment,
reproduction during the year and have good growth rate. The genetic variations of composite sheep form to be
analysed in this research using microsatellite DNA marker. This research was to determine the allele variation of
microsatellite DNA in composite sheep by PCR (Polymerase Chain Reaction) using primers BM415 and BM4621
and the relation among litter size, litter weight at lambing and at weaning, and genotype frequency in each primer.
The PCR products were visualized on PAGE 8% (Polyacrilamid Gel Electrophoresis) using silver staining. The
result showed that composite breed sheep population exhibited the high genotype variation, high allele variation
and high heterozigosity. Loci BM415 showes 11 genotypes which identified 9 alleles, were dominated EI (22,73%)
and E (21,01%). Loci BM4621 showes 11 genotypes which identified 11 alleles, DI and GK genotypes and G
allele show high frequency (17,05% and 20,45% repectively). BM415 and BM4621 loci showe heterozigosity
value of 0,851437 and 0,892905. The average heterozigosity between two locies were 0,872171. Heterozigosity
and average heterozigosity value showed that the composite sheep population in Stasiun Percobaan Cilebut, Balai
Peternakan Bogor has high variability. Genotype was not significantly different (P>0,05) with litter size, litter
weight at lambing and at weaning.
Keywords : crossbreed, composite sheep, microsatellite, allele variation
PENDAHULUAN
Kebutuhan daging di Indonesia meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini disebabkan oleh makin tingginya
kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan
protein hewani. Salah satu sumber protein hewani
berasal dari daging domba, disamping daging ternak
lainnya sepeti daging sapi, kerbau, kambing, ayam dan
lain-lain. Populasi domba di Indonesia berkisar 7 juta
ekor per tahun (BPS, 2001), angka ini jarang mengalami
peningkatan atau penurunan yang terlalu besar karena
sebagian besar domba di Indonesia dipelihara dalam
peternakan rakyat. Hal ini menyebabkan performa dan
populasi domba relative rendah sehingga berpengaruh
terhadap rendahnya produksi daging dalam negeri. Hal
ini juga dikarenakan mutu genetik domba local yang
masih rendah serta manajemen pemeliharaan yang masih
tradisional sehingga diperlukan usaha yang terus
menerus untuk meningkatkan mutu genetic ternak lokal,
dalam hal ini ternak domba.
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi daging
adalah melalui program persilangan (crossbreeding).
Persilangan dapat dilakukan dengan perkawinan dua
bangsa domba atau lebih. Dalam program persilangan,
perlu diperhatikan pengendalian terhadap penyebaran
domba hasil persilangan. Penyebaran yang tidak
terkendali dapat mengakibatkan hilangnya kemurnian
seluruh populasi bangsa domba yang disilangkan.
Domba Sumatera merupakan salah satu domba lokal
yang mempunya produktifitas dan prolifikasi yang
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
tinggi, namun mempunyai laju pertumbuhan dan bobot
hidup dewasa yang rendah. Untuk memperbaiki
kekurangan ini, persilangan dengan domba prolifik
tropis lainnya yang diiringi dengan perbaikan
manajemen pemeliharaan adalah cara yang paling baik.
Domba Barbados Blackbelly dan St. Croix adalah
bangsa domba yang dianggap cukup baik dalam
pembentukan domba komposit persilangan tiga bangsa).
Selain prolifik, pertambahan bobot hidup dan bobot
dewasanya yang tinggi, juga merupakan bangsa domba
tipe rambut yang dharapkan dapat menghilangkan wool
pada domba Sumatera yang merupakan penyebab
cekaman panas, secara genetik.
Kemajuan potensi genetik akan lebih cepat tercapai jika
program pemuliaan dilakukan dengan crossbreeding
yang
diirngi
dengan
seleksi.
Seleksi
yang
baikdiharapkan dapat meningkatkan dan menjaga
keragaman mutu genetik karena dengan keragaman yang
tinggi pengaruh gen-gen resesif yang memberikan efek
negatif dapat ditekan. Program persilangan dan seleksi
yang dilakukan sekarang ini memerlukan waktu yang
relatif cukup lama, hal ini disebabkan kedua program
pemuliaan tersebut memerlukan pencatatan produksi dan
reproduksi yang sangat akurat. Meskipun telah dilakukan
perbaikan sifat melalui crossbreeding, namun sifat-sifat
yang menguntungkan yang dimiliki domba belum
diketahui, sehingga studi molecular genetik dibutuhkan
dalam upaya mengetahui sifat-sifat ekonomis secara
cepat dan akurat. Salah satu bidang ilmu bioteknologi
1
yang berkembang adalah studi mengenai keragaman
genetic pada tingkat DNA. Bermacam-macam teknik
telah ditemukan untuk mempelajari keragaman DNA,
diantaranya adalah analisi polimorfisme runutan DNA,
polimorfisme situs restriksi dan mikrosatelit.
Dibandingkan penanda DNA yang ada pada saat ini,
mikrosatelit memiliki berbagai keuntungan dalam
analisis genom, antara lain karena jumlahnya yang
sangat berlimpah di dalam genom, memiliki informasi
keragaman yang sangat tinggi dan relative lebih mudah
diproduksi dan dianalisi terutama setelah keberhasilan
mengamplifikasi lokus menggunakan teknologi PCR
(Polymerase Chain Reaction). Polimorfisme mikrosatelit
yang tinggi akibat mutasi dan rekombinasi
menjadikannya sebagai penanda molekuler yang baik
untuk mempelajari struktur genetic suatu populasi.
Berdasarkan informasi diatas, penelitian ini bertujuan
untuk mendeteksi variasi keragaman genetic domba
komposit (Sumatera x Barbados Blackbelly x St. Croix)
yang berada di Balai Penelitian Ternak Bogor dengan
menggunakan mikrosatelit BM415 dan BM4621 yang
terletak di kromosom 6.
4.
Ekstraksi DNA
Bahan yang digunakan adalah 5 M NaCl; 1 mM EDTA
(etilendiamin tetraasetat); NaCl 0,9%; NaCl 0,2%;
proteinase K (5 mg/ml); 1 x STE (sodium tris EDTA);
10% SDS (sodium dodesil sulfat); fenol; kloroform; iso
amil alkohol; etanol absolut; etanol 70% dan buffer TE
(tris EDTA) 80%.
Alat yang digunakan adalah tabung vaccutainer
(penampung darah); tabung eppendorf (0,5 ml dan 1,5
ml); pipet mikro Eppendorf (10µ-1 ml), tips Eppendorf;
vortex mixer; vacum desicator; alat sentrifugasi makro
dan mikro; refrigerator dan freezer (40C; -200C); sarung
tangan plastik dan kertas tissue.
5.
Primer
Primer adalah molekul pendek utas tunggal DNA yang
akan menempel pada DNA cetakan di tempat yang
spesifik. Sekuen primer BM415 dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan untuk primer BM4621 pada Lampiran 2.
karakteristik primer yang digunakan dalam penelitian ini
disajikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Karakteristik Primer BM415 dan BM4621
MATERI DAN METODE
Lokus
Motif
Ukuran (pb)
TA (0C)
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan selama lima bulan, mulai bulan
Februari sampai Juni 2005. Lokasi penelitian meliputi
(1) Balai Penelitian Ternak Bogor, (2) Laboratorium
Zoologi, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
Materi
1.
Domba
Domba komposit (Sumatera x Barbados Blackbelly x St.
Croix) yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah
96 ekor dan merupakan domba lepas sapih yang terdapat
di Balai Penelitian Ternak Bogor. Dari 96 ekor sampel
darah yang diambil, hanya digunakan 93 sampel karena
terdapat 3 sampel darah domba Barbados Cross.
2.
Penanganan dan Pengambilan Sampel
Bahan yang digunakan dalam pengambilan sampel
adalah alkohol 70%, es dan kapas. Alat yang digunakan
yaitu jarum vacutainer, tabung vakum berantikoagulan
(10 ml) dan termos es.
3.
Pengambilan Data Sekunder
Data sekunder domba komposit (Sumatera x Barbados
Blackbelly x St. Croix) diambil dari Balai Penelitian
Ternak Bogor untuk bobot lahir, bobot sapih, tanggal
lahir, informasi tentang tetua ; dan tipe kelahiran domba
yang diambil sebagai sample.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
BM415
(GT)19
142-169
52
BM4621
(CA)14
135-157
58
Sekuen Primer
(5’-3’)
F=GCTACAGCCCTTCTGGTTTG
G=GAGCTAATCACCAACAGCA
AG
F=CAAATTGACTTATCCTTGGC
TG
G=TGTAACATCTGGGCTGCATC
Sumber : Bishop et al. (1990)
Keterangan : F = forward, R = reverse, TA = temperatur annealing
6. Amplifikasi DNA Mikrosatelit dengan Teknik
Polymerase Chain Reaction
Bahan yang digunakan adalah sampel DNA (10-100 ng),
campuran 10x buffer PCR dan MgCl2 (Boehringer),
pasangan primer (1,5 pmol), enzim Taq polimerase
(promega) (1,5 unit) dan buffernya, dNTP 2 mM, MgCl
2 mM dan air destilata steril. Alat yang digunakan adalah
tabung PCR, mesin thermocycler (TaKaRa PCR
Thermal Cycler MP4), alat sentrifugasi, vortex, pipet
mikro Eppendorf 2 µl, lemari es dan Vortex mixer.
7.
Elektroforesis
Bahan yang digunakan adalah air destilata (DW) steril,
Akrilamida 30%, 5 x TBE, TEMED (tetra
methylendiamine) dan APS (ammonium persulfat) 10%,
Loading dye, dan marker. Alat yang digunakan adalah
dua buah kaca untuk cetakan gel, pipet berskala, tabung
reaksi, sisir khusus untuk sumur, pipet mikro Eppendorf
2µl dengan tipsnya dan voltase.
2
8.
Pewarnaan
Bahan yang digunakan adalah DW, CTAB (cetyltrimetil
ammonium bromide) 0,2 gram/200 ml DW, NH 4OH 2,4
ml/200 ml DW, larutan yang terdiri dari AgNO3 0,32
gram/200 ml; 0,08 NaOH 10 N; 0,8 ml NH4OH dalam
200 ml DW, larutan 4 gram Na2CO3 dengan 0,1 ml
formaldehide dan asam asetat glasial 1%. Alat yang
digunakan adalah nampan, gelas ukur, labu erlenmeyer
dan water-bath shaker.
Prosedur
1.
Penanganan dan Pengambilan Sampel
Sampel darah diambil melalui vena jugularis
menggunakan jarum Vacutainer sebanyak 5 ml dan di
masukan e dalam tabung vakum yang telah diberi
koagulan. Kemudian disimpan dalam termos es dan
suhunya dipertahankan sekitar 4 ºC sampai dilakukan
ekstrasi DNA.
2.
Pengambilan Data Sekunder
Data sekunder domba komposit (Sumatra x Barbados
Blacbelly x St. Croix) diambil dari Balai Penelitian
Ternakak Bogor unuk bobot lahir, bobot sapih, tanggal
lahir domba, informasi tentang induk betina dan jantan
domba serta tipe kelahiran domba yan diambil sebagai
sampel . Informasi selengkapnya tentang data dombah
bisa dilihat pada Lampiran 3.
3.
Ekstraksi DNA
Darah disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 10
menit yang akan membentuk tiga lapisan dari atas
sampai bawah yaitu plasma, buffy coat (sel darah putih
berinti) dan sel darah merah yang tidak berinti sel. Buffy
coat dipindahkan kedalam tabung baru menggunakan
pipet pasteur, kemudian dicuci dengan NaCl 0,2% dan 1
Mm EDTA lalu dikocok hingga tercampur merata tanpa
terlihat endapan didasar tabung lagi dan dilakukun
pemutaran dengan alat sentrifusa dengan kecepatan 3500
rpm selama dua puluh menit. Pencucian dilanjutkan
yaitu dengan memasukkan NaCl 0,9% dan 1mM EDTA
kedalam tabung dan dilakukan pemutaran kembali
dengan alat sentrifusa dengan kecepatan 3500 rpm
selama sepuluh menit. Sel darah putih yang sudah dicuci
diambil sebanyak 1ml dan dimasukkan kedalam tabung
baru, kemudia kedalam tabung tersebut ditambahkan 350
µl 10% SDS. Campuran ini dikocok pelan-pelan selama
dua jam pada suhu 55 ºC. DNA dimurnikan dengan
metode fenol-klorofom, yaitu dengan menambahkan 40
µl 5 M NaCl dan 400 µl fenol dan klorofom iso amil
alkohol (24:1), kemudian diputar perlahan di suhu 27 ºC
dengan kecepatan 500 rpm selama dua jam dan
dilanjutkan dengan diputar dengan kecepatan 7000 rpm
selama 5 menit yang akan menghasilkan supernatan
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
dengan urutan dari bagian atas adalah DNA, protin dan
fenol. DNA dipindahkan kedalam tabung baru dengan
menggunakan pipet eppendorf dan ditambahkan 40 µl 5
M NaCl dan 800 µl etanol absolut yang berfungsi untuk
mengendapkan DNA kemudian diinkubasi selama
semalam minimal tiga jam pada suhu -20 ºC. Endapan
yang dihasilkan dilakukan
pencucian dengan
menambahkan 400 µl, 70% etanol kemudian diputar
dengan kecepatan 8000 rpm selama 5 menit, kemudian
etanol dibuang dan diuapakan dengan menggunakan
pompa vakum. DNA kemudian dilarutkan dengan 100 µl
80%, buffer TE.
4. Amplifikasi DNA Mikrosatelit dengan Teknik
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi PCR dilakukan menurut metode sambrook et al.
(1989) yang telah dimodifikasi yaitu melakukan
pencampuran yang merata 100 ng/µl DNA 1,5 µl
cetakan dengan campuran 1,5 ml 10 × PCR Gold buffer
1,25 µl; 25 Mm MgCl2 1 µl, 2 Mm Dntp 1 µl, 0,43 µl
pasangan prmer 0,5 µl U/ µl enzim tag polimerase 0,6 µl
dan air steril sampai volume tabung PCR 12,5 µl.
Kemudian tabung PCR ini diinkubasi. Suhu annealing
yang dipergunakan menurut bishop et al . (1994),
sedangkan prosedur inkubasi pada mesin thermocycler
(TaKaRa PCR Thermal Cycler MP4) diprogram menurut
metode sumbrook et al. (1989) yang telah dimodifikasi
(Gambar 2) dan dijadikan metode khusus yang biasa
dipergunakan di Labolatorium Zoologi, Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor dengan prosedur sebagai
berikut:
a) Tahap I : denaturasi awal pada suhu 94ºC selama 5
menit
b) Tahap II : 30 kali siklus yang tiap siklusnya terdiri
atas :
Denaturasi pada suhu 94ºC selama 55 detik
Penempelan primer pada suhu 58ºC selama 1 menit,
Pemanjangan molekul DNA pada suhu 72ºC selama 1
menit 10 detik;
c) Tahap III : pemanjangan akhir molekul DNA pada
suhu 72ºC selama sepuluh menit.
3
5.
Prosedur Elektroforesis
DNA mikrosatelit produk PCR dipisahkan dngan teknik
elektroforesis gel poliakrialimida 8% yang dilajutkan
dengan pewarnaan perak. Sebanyak 2 µl produk PCR
dicampur dengan Loading dye (Bromthymol blue
0,01%,Xylene Cyanol 0,01% dan gliserol 50%).
Elektroforesis dilakukan selama 100 menit pada
tegangan konstan 165 volt atu sampai pewarnaan
Bromthymol blue mencapai bagian bawah gel. Gel
dipindahkan dalam nampan larutan pewarna perak.
6.
Pewarnaan Perak
Pewarnaan dilakukan dengan metode pewarnaan perak
(silver staining) menurut Togelstrom (1992). Metode ini
secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: gel
dimasukkan kedalam larutan buffer CTAB 0,2 gram /200
ml air destilata selama 8 menit sambil digoyang
menggunakan water-bath shaker (Gambar 3). Setelah
larutan dibuang dicuci dengan air destilata (DW) Selama
2×2 menit. Air tersebut dibuang dan ditambahkan larutan
NHOH (2,4 ml NH4OH/200 ml air destilata) selama 6
menit sambil digoyang. Larutan yang ditambah tersebut
dibuang dan kemudian ditambahkan larutan perak nitrat
(AgNO3) yang merupakan larutan yang terdiri dari 0,32
g AgNO3; 0,08 ml NaOh 10 N; 0,8 ml NH4OH dalam
200 ml air destilata selama 10 menit dan digoyang.
Kemudian gel dicuci kembali dengan air destilata selama
2×2 menit setelah larutan sebelumnya di buang. Untuk
memunculkan pita, gel direndam dalam larutan yang
terdiri dari 4 g Na2CO3 dan 0,1 ml formaldehid dalam
200 ml air destilata. Setelah pita muncul, larutan asam
asetat glasial 1% dalam 200 ml air destilata dimasukkan
untuk menghentikan reduksi perak, selanjutnya gel dapat
dipindahkan ke plastik mika kemudian bisa dipres
dengan alat pengepres (chiller) (Gambar 4)
7.
Metode Pendeteksian Polimorfisme
Dari hasil elektroforesis akan diketahui polimorfisme
dari alel-alel yang tampak sehingga dapat ditentukan
panjang DNA mikrosatelit masing-masing ternak domba
yaitu dengan cara pita-pita DNA yang mencul diatas gel
poliakrialimida dianggap sebagai alel dan bersifat
kodominan, yaitu kedua alel bisa muncul bersamaan.
Jika ada dua pita maka heterozigot dan jika ada satu pita
maka homozigot. Untuk memudahkan skoring pita yang
lebih dekat ke sisi positif (sisis bawah sumur) diberi
sandi A dan selanjutnya B, C, dan seterusnya. Asumsi
yang mendukung yaitu semua pita yang memiliki laju
sama merupakan alel yang homolog (Nei, 1987). Jika
peta DNA ganda menunjukkan bahwa alel tersebut
heterozigot dan pita DNA tunggal adalah homozigot.
Analisis Data
Frekuensi masing-masing alel setiap lokus mikro satelit
dihitung berdasarkan rumus Nei (1987) :
Xi = (2nij + ∑nij) / (2N)
Keterangan : j ≠ 1
Xi = fkuensi alel ke-i
nij = jumlah individu untuk genotip AiAj
nii = jumlah individu utuk genotip AiAi
n = jumlah alel
N = Jumlah sampel
Dengan asumsi bahwa semua genotipe lokus-lokus
mikrosatelit bersifat kodominan.
Derajat
heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan
frekuensi alel pada tiap lokus DNA mikrosatelit dengan
rumus Nei (1987) sebagai berikut :
ĥ = 2n (1-∑xi²) / (2n-1)
Keterangan :
xi = frekuensi alel lokus ke-i
n = jumlah alel
ĥ = heterozigositas lokus
Ragam heterozigositas (Vsl(ĥ)) diantara individu dalam
satu kesatuan frekuensi alel poulasi pada tiap okus DNA
mikrosatelit dapat dihtung dengan rumus sebagai berikut
:
Vsl(ĥ) =
2
{2(2n-2){∑xi³-(∑xi²)²}+∑xi²-(∑xi²)²}
2n(2n-1)
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
4
Dan standar error (SE) diperoleh dari akar ragam
heterozigositas.
Rataan heterozigositas (Ĥ) dari semua lokus DNA
mikrosatelit yang diuji (r) dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Ĥ = ∑ ĥj / r
Keterangan :
lokus ke-i
dengan prosedur GLM (General Linear Model). Masingmasing lokus mikrosatelit merupakan variabel bebas,
sedangkan tipe kelahiran, berat lahir dan berat sapih
adalah variabel terikat sebagai respon terhadap genotip
individu pada tiap lokus mikrosatelit tersebut. Model
analisis ragam untuk RAL (Gaspersz, 1991)
diabstraksikan sebagai berikut :
Yij = µ + τi + ɛij
ĥj = derajat heterozigositas untuk
Dimana : µ = nilai tengah populasi
r = jumlah lokus yang diuji
Ĥ = rataan heterozigositas
τi = pengaruh genotip terhadap tipe kelahiran,
berat lahir dan bobot sapih
ɛij = pengaruh galat percobaan
Respon tipe kelahiran, berat lahir dan berat sapih
terhadap genotip masing-masing individu pada tiap lokus
mikrosatelit ditunjukkan melalui analisis ragam RAL
HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi DNA Mikrosatelit
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 96
ekor domba komposit Sumatra (Sumatra x Barbados
Blackbelly x St. Croix) yang berada di Stasiun
Percobaan Balai Penelitian Ternak, Cilebut, Bogor,
dengan tahun kelahiran antara tahun 2002-2003 yang
merupakan domba lepas sapih. Dari 96 sampel darah
yang diambil, hanya diguakan 93 sampel karena terdapat
tiga sampel darah domba Barbados Cross. Jumlah
sampel yang berhasil diamplifikasi menggunakan primer
BM415 adalah 66 sampel (70,09%). Terdapat 27 sampel
untuk primer BM4621 yang tidak teramplifikasi, hal ini
dimungkinkan primer tersebut tidak dapat menempel
pada daerah komplemennya atau juga bisa disebabkan
pencampuran bahan PCR yang kurang sempurna.
Kondisi suhu penempelan (annealing) juga sangat
menentukan baik tidaknya proses amplifikasi. Suhu
annealing yang tepat dapat ditentukan setelah dilakukan
proses PCR optimasi. Suhu annealing untuk primer
BM415 adalah sebesar 53ºC dan suhu annealing untuk
primer BM4621 adalah sebesar 52ºC. Pola pita DNA
mikrosatelit pada lokus BM415 dan lokus BM4621
disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Pada lokus BM415 semua sampel adalah sampel
heterozigot (Gambar 4) . Pada lokus BM4621, semua
sampel yang terdapat pada Gambar 5 memilik dua pita
(heterozigot) pada masing-masing sampel. Individu
mempuyai dua pita menunjukkan individu tersebut
mewarisi satu pita dari induk dan satu pita dari bapak,
sedangkan individu yang homozigot mewarisi pita yang
sama dari induk maupun dari bapak. Pita target dapat
terlihat setelah dilakukan proses pewarnaan perak (silver
staining) pada gel acrylamide. Pada kedua lokus
mikrosatelit BM415 dan BM4621 selain pita target
terdapat pula pita tambahan yang terlihat diatas atau
dibawah pita target dengan menggunakan bantuan
penanda 100 pb. Munculnya pita tambahan ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya utas DNA yang
terpeleset ketika dilakukan perbaikan terhadap kesalahan
basa, terjadi pengurangan atau penambahan jumlah motif
ulangan atau unit runutan mikrosatelit
tersebut
(Muladno, 1994). Fikri (2002) menyatakan bahwa faktor
penggunaan suhu annealing dari primer yang masih
belum sesuai untuk mengamplifikasi pita target, dapat
juga menyebabkan munculnya pita tambahan. Pita target
dari kedua lokus mikrosatelit BM415 dan BM4621
kemudian diukur panjangnya. Perbedaan alel dari tiap
individu (contoh, pita target yang panjangnya 137 pb
beralel A, sedangkan pita targer yang panjangnya 145 pb
beralel B, dan seterusnya). Ukuran alel mikrosatelit
BM415 dan BM4621 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 3. Ukuran Alel Lokus Mikrosatelit BM415 dan
BM4621
Jenis Alel
A
B
C
D
E
F
G
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Lokus BM415 (pb)
137
145
153
158
163
166
168
Lokus BM4621 (pb)
144
147
150
153
156
166
169
5
H
I
J
K
174
179
-
172
175
178
191
Ukuran alel lokus BM415 berkisar antara 137-179 pb
dan lokus BM4621 ukuran alelnya berkisar antara 144191 pb. Keragaman ukuran
alel tersebut diduga
disebabkan adanya perbedaan jumlah salinan motif,
silang dalam dan silang luar serta genetik drift dapat
menyebakan terjadinya keragaman tersebut (Goldstein
dan Pollock, 1997). Sedangkan menurut Moxon dan Will
(1999), keragaman mikrosatelit diduga disebabkan oleh
rekombinasi tidak seimbang saat replikasi DNA yang
berakibat pada penarikan dan pengurangan jumlah
nukleotida. Perbedaan ukuran DNA mikrosatelit pada
masing-masing lokus mengakibatkan adanya keragaman.
DI = 15 (17,05%)
DJ = 9 (10,23%)
EF = 1 (1,14%)
EG = 7 (7,95%)
GK = 15 (17,05%)
G = 20,45
H = 5,68
I = 8,52
J = 5,11
K = 8,52
Hasil yang ditunjukkan oleh Tabel 4 menunjukkan
bahwa alel E dan alel B cenderung mendominasi alel
lainnya, yang berarti bahwa kemungkinan tertua dari
domba trsebut beralel E dan B. Hal tersebut menjadikan
mikrosatelit dapat digunakan sebagai perinci yang akurat
untuk menguji hubungan kekerabatan antar indiviu
dalam populasi, maupun untuk pemeriksaan asal-usul
keturunan. Distribusi frekuensi alel pada lokus BM415
(n = 66) disajikan pada Gambar 7.
Keragaman Alel Mikrosatelit
Hasil pewarnaan perak menunjukkan jumlah alel yang
dihasilkan dari proses PCR beragam. Hasil analisa
menunjukkan lokus mikosatelit BM4621 lebih beragam
dibanding lokus BM415. Pada lokus BM4621
didapatkan 11 alel sedangkan lokus BM415 ditemukan 9
alel. Fikri (2002) menyatakan, bahwa jumlah alel yang
muncul tidak hanya dipengarui oleh jumlah sampel yang
digunakan, tetapi juga dipengaruhi oleh bangsa dan
sistem perkawinan yang dilakukan. Lokus BM415
menghasilkan 9 macam alel. Ukuran alel terendah adalah
sebesar 137 pb, sedangkan yang tertinggi sebesar 179 pb.
Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan oleh USDA
(2004) yang menemukan 6 alel pada lokus ini pada
ternak sapi. Hasil yang berbeda ini dimungkinkan terjadi
karena adanya rekombinasi yang tidak seimbang saat
replikasi DNA yang berakibat pada penarikan dan
pengurangan jumlah nukleotida (Moxon dan Will, 1999)
dan jenis ternak yang digunakan. Kesembilan alel
tersebut diberi tanda abjad A hingga I sesuai dengan
ukuran alelnya (Tabel 3). Frekuensi masing-masing alel
untuk lokus BM415 disajkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Frekuensi Alel, Jumlah Alel dan Frekuensi
Genotip pada Lokus BM415 dan BM4621
Lokus
Sampel
Jumlah dan
Jumlah
Terampili Frekuensi Genotip (%) Alel
fikasi
66
AA = 1 (1,52%)
10
BM415
AB = 2 (3,03%)
AC = 9 (13,64)
AG = 1 (1,52%)
BB = 1 (1,52%)
BC = 4 (6,06%)
BD = 5 (7,58%)
BE = 14 (21,21%)
DI = 7 (10,61%)
EI = 15 (22,73%)
FH = 7 (10,61%)
88
AB = 1 (1,14%)
11
BM4621
AF = 6 (6,82%)
AG = 7 (7,95%)
BE = 10 (11,36%)
CG = 7 (7,95%)
CH = 10 (11,36%)
Frekuensi
Alel (%)
A = 9,85
B = 20,45
C = 9,85
D = 9,09
E = 21,97
F = 5,30
G = 0,76
H = 5,30
I = 16,67
A = 7,95
B = 6,25
C = 9,66
D = 13,64
E = 10,23
F = 3,98
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Genotip yang dapat dideteksi pada lkus BM415 ada 11
macam genotip, yaitu AA, AB, AC, AG, BB, BC, BD,
BE, DI, EI, dan FH. Frekuensi masing-masing genotip
dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 22,06%
(EI), 20,59% (BE), 13,24% (AC dan DI), 10,29% (FH),
7,35% (BD), 5,88% (BC), 2,94% (AB), dan 1,47% (AA,
AG dan BB) (Tabel 4). Genotip EI merupakan genotip
dengan frekuensi tertinggi. Hal tersebut berarti bahwa
sebagian besar domba komposit sumatra yang dianalisa
bergenotip EI (berasal dari tertua yang beralel E dan I).
Sampel yang dapat diamplifikikasi pada lokus BM4621
menghasilkan 11 alel, Ukuran alel terendah berukuran
144 pb diberi tanda abjad A dan ukuran alel tertinggi
berukuran 191 pb diberi tanda abjad K (Tabel 4). Hasil
ini berbeda dengan yang ditemukan oleh USDA (2004)
yang menemukan 10 alel pada lokus BM4621 dengan
ukuran alel minimum 135 pb dan maksimum 157 pb
pada ternak sapi. Perbedaan hasil yang didapat dari
penelitian
ini
dengan
penelitian
sebelumnya
dimungkinkan terjadi karena adanya perbedaan jumlah
salinan motif, selain itu terjadinya pergeseran DNA dan
faktor mutasi (Goldstein dan polock, 1997) dan juga
perbedaan jenis ternak yang digunakan sebagai sampel.
Jenis dan frekuensi alel serta jenis genetip lokus
BM4621 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi alel tertinggi
pada lokus bm4621 adalah alel G, yaitu sebesar 20,45%
6
dan frekuensi alel terendah adalah alel F sebesar 3,98%
(Gambar 7).
Gambar 8 menunjukkan bahwa alel G cenderung
mendominasi pada lokus BM4621. Hal ini menandakan
bahwa sebagian besar domba komposit sumatra yang
dianalisa berasal dari tertua yang beralel G pada lokus
BM4621. Jenis genotip yang terdapat pada lokus
BM4621 ada 11 macam, yaitu AA, AB, AF, AG, BE,
CG, CH, DI, DJ, EF, EG dan Gk. Frekuensi masingmasing genotip dari yang tertinggi sampai yang terendah
adalah 17,05% (DI dan GK 11,36% (BE dan CH),
10,23% (DJ), 7,95% (AG, CG dan EG), 6,82% (AF),
1,14% (AB dan EF) (Tabel 4). Genetip DI dan GK
merupakan genotip dengan frekuensi tertinggi yaitu
sebesar 17,05%. Hal ini berarti sebagian besar dombah
komposit Sumatra yang dianalisa bergenotip DI dan GK
(berasal dari tetua yang beralel D, I, G dan K).
Nilai Heterozigositas dan Rataan Heterozigositas
Heterozigositas merupakan ukuran keragaman genetik
hewan di dalam populasi yang dihitung berdasarkan
frekuensi alel pada setiap lokus. Nilai heterozigositas
dan rataan heterozigositas pada lokus BM415 dan
BM4621 beradasarkan jumlah sampel yang digunakan
ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Heterozigositas (ĥ) dan Rataan Heterozigositas
(Ĥ) Lokus BM415 dan BM4621
Lokus
ĥ
+
Standar error
Jumlah Alel
BM415
0,851437
+
0,0313
9
BM4621
0,892905
+
0,0256
11
Ĥ
0,872171
+
0,02845
Lokus BM415 memiliki nilai heterozigositas 0,851437
dan lokus BM4621 memiliki nilai heterozigositas
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
0,892905. Menurut Bishop et al (1994) nilai
heterozigositas lokus BM415 pada ternak sapi sebesar
0,46 dan pada lokus BM4621 sebesar 0,73. Perbedaan
nilai heterozigositas ini bisa disebabkan jenis dan jumlah
ternak yang digunakan sebagai sampel (Fikri, 2002).
Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Crawford
et al (1995), bahwa keanekaragaman genetik domba
lebih besar daripada sapi. Menurut Nei (1997) nilai
heterozigositas ditentukan oleh jumlah sampel, jumlah
dan frekuensi alel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,
bahwa nilai heterozigositas pada lokus BM4621 lebih
besar daripada lokus BM415 karena jumlah sampel yang
diamplifikasi, jumlah dan frekuensi alel pada lokus
BM4621 lebih besar daripada lokus BM415. Hal ini
didukung pula oleh hasil penelitian Prahasta (2001) yang
menyebutkan bahwa semakin banyak jumlah alel yang
terdeteksi pada suatu lokus semakin besar pula nilai
heterozigositas yang di dapat.
Menurut Nei (1987) dibutuhkan minimal 20-30 sampel
pada satu lokus untuk menduga rataan heterozigositas.
Pada penelitian ini menggunakan 93 sampel untuk setiap
lokus, dengan jumlah sampel ini bisa digunakan untuk
menduga rataan heterozigositas. Rataan heterozigositas
untuk lokus BM415 dan BM4621 adalah sekitar
0,872171. Besarnya nilai heterozigositas dan rataan
heterozigositas dari kedua lokus mengindikasikan bahwa
sifat-sifat yang dimiliki domba komposit Sumatra ini
masih sangat beragam, baik sifat yang unggul maupun
yang jelek, sehingga masih berkemungkinan besar untuk
dilakukan program seleksi sebagai tahap pemantapan
performa produksi domba ini. Nilai heterozigositas dan
rataan heterozigositas yang besar ini dapat di jadikan
langkah awal untuk melakukan program pemuliaan
dengan menggunakan mikrosatelit BM415 dan BM4621
sebagai penanda untuk melakukan program seleksi.
Hubungan Genotip dengan Tipe Kelahiran, Berat
Lahir dan Bobot Sapih
Respon tipe kelahiran,berat lahir dan bobot sapih
terhadap genotip masing-masing individu pada tiap lokus
mikrosatelit ditunjukkan melalui analisis ragam dengan
menggunakan prosedur GLM. Hasil analisa statistik
pada masing-masing individu tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan (P>0,05) terhadap tipe
kelahiran,berat lahir dan bobot sapih. Hal ini
menunjukkan bahwa genotip tidak berhubungan dengan
tipe kelahiran,berat lahir dan bobot sapih pada kedua
lokus yang digunakan. Berarti pula bahwa lokus BM415
dan BM4621 yang terletak di kromosom 6 tidak dapat
digunakan sebagai penanda (marker) khusus sifat
kuantitatif (QTL = Quantitative Trait Loci) pada domba
komposit, yaitu terkait untuk sifat produksi susu seperti
yang diduga sebelumnya. Hasil yang berbeda ditemukan
oleh Ashwell et al. (1998), yang menyatakan bahwa
lokus BM415 di kromosom 6 dapat digunakan sebagai
7
penanda untuk sifat produksi susu khususnya presentase
protein dan lemak pada sapi FH Amerika. Sedangkan
lokus BM4621 di gunakan sebagai penanda untuk
menganalisa hubungan filogenetik pada berbagai jenis
domba Spanyol (Arranz et al., 2001).
Bishop, M.D.,S.M. Kappes, J.W. Keele, R.T. Stone,
S.I.F. Sunden, G.A. Hawkinds, S. Tolodo, R.
Fries, M.D. Grosz, J. Yoo, and C.W. Beattie.
1994. A genetic linkage map for cattle. Genetics
136, 619-639.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotip masingmasing individu tidak berhubungan dengan tipe
kelahiran, berat lahir dan bobot sapih (P>0,05) pada
lokus BM415 maupun BM4621. Hal ini berarti masih
perlu banyak dilakukan penelitian lanjutan dengan
menggunakan lebih banyak lokus dan kromosom yang
lain untuk mendeteksi adanya lokus yang dapat
digunakan sebagai penanda sifat kuantitatif, seperti sifat
produksi susu, kualitas karkas dan sifat yang lain.
Badan Pusat Statistic Nasional. 2001. Populasi berbagai
Jenis
Ternak
di
Indonesia.
http:/www.bps.go.id/sector.agri/ternak/tabel
3.shtml. [22 Agustus 2005].
KESIMPULAN
Pada lokus BM415, teramplifikasi 66 sampel dari 93
sampel, terdapat sebelas genotip dan sembilan alel
dengan ukuran 137-179 pb yang didominasi oleh genotip
EI (22,06%) dan alel E (21,01%). Pada lokus BM4621,
teramplifikasi 88 sampel dari 93 sampel, terdapat sebela
geotip dan sebelas alel ukuran 144-191 pbyang
didominasi oleh genotip DI dan GK (17,05%) dan alel G
(20,45%). Populasi domba komposit
di Stasiun
Percobaan Cilebut, Balai Peternakan Bogor memiliki
nilai heterozigositas 0,851437 untuk lokus BM415 dan
0,892905 untuk lokus BM4621 dengan rataan
heterozigositas 0,81217. Genotip masing-masing
individu tidak mempunyai hubungan (p>0,05) dengan
tipe kelahiran, berat lahir dan bobot sapih pada lokus
BM415 dan BM4621.
Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
dengan
menggunakan lebih banyak lokus dan ternak pada
kromosom yang lain untuk mendeteksi adanya lokus
yang dapat digunakan sebagai penanda sifat kuantitatif,
seperti sifat produksi susu, kualitas karkas dan sifat
menguntungkan yang lain.
REFERENSI
Arranz, J.J., Y. Bayon , F. San Primitivo. 2001. Genetic
variation at mikrosatellite loci in Spanish Sheep.
Small Ruminant J. 39 : 3-10.
Ashwell, M.S., Y Da, C.P Van Tassel, P.M Vanraden,
R.H. Miller, C.E. Jr. Rexroad. 1998. Detection of
putatife loci affecting milk production and
composition health and type traits in a United
States Holstein population. Dairy Sci. J. 81 :
3309-3314
Bennet, P.2000. Microsatellites. J. Clin Pathol. 53: 177183.
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
Broad, T.E., H. Hayes dan S.E. Long. 1997.
Cytogenetics: Physical chromosome maps. In
“The Genetic of Sheep”. (Eds. L.R. Piper dan A.
Ruvinsky)
pp.
CAB
International,
London.Ciampolini,
R.,
K.M
Goudarzi,
D.Vaaiman, C. Dillman, E. Mzzanti, Jean Louis
Foulley, H. Leveziel and D. Cianci. 1995.
Individual
multilocus
genotypes
using
mikrosatellitic polymorphisme to permit the
annalisis of genetics variability within and
between Italian beef cattele breeds. Journal
Animal Scienci. 73:3259-3268.
Crawford, A.M, K.G. Dodds, A.J. Ede, C.A. Piersion,
G.W. Montgomery, H.G. Garmonsway, A.E.
Beattie, K. Davies, J.F. Maddox, S.W. Kappes.
1995. An autosmal genetic linkage map of the
sheep genome. Genetics. 140: 703-724.
Departemen Pertanian. 2002. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian.
http://www.ltbang.deptan.go.id.
[2 Agustus
2005].
Devendra, C.and G.B. Mclory. 1982. Goat and Sheep
Production in The Tropics. 1st Edit. Oxford
University Prees , Oxford.
Fikri, M.2002. Variasi alel DNA mikrosatelit BM143
dan BM888 brdasarkan nilai pemulaian tertaksir
pada sapi Fries Holand (FH) di BPT HMT
baturraden. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Prtanian Bogor, Bogor.
Fletcher, I. C., B. Gunawan , D.J.S. Hetzel, Bakrie, N.G.
Yates and T.D. Chaniago. 1985. Comparison of
lambs production from indegonus and axcotic x
indogenus awea in Indonesia. Tropical Animal
Health. 17:127-134.
Gasperz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan.
Penerbit Armico Bandung.
Gatenby, R. M., M. Doloksaribu, G.E. Bradford, E.
Romjali, A.Batubara dan I. Mirza. 1997.
Comparisson of Sumatra sheep ang three Hair
sheep croosbreds. II. Reproductive performances
of f1 ewes. Small Rumminant Research 25 (1997)
: 161-167.
8
Goldstein, D.B., R. Linnares, L.L C-Sforza and M.W.
Feldman. 1995. An evaluation of genetic
distances for use with mikrosatellite loci.
Genetics. 139: 463-471.
Golstein, D.B. and D.D. Pollock. 1997. Launcing
Mikrosatellite : A rivew of mutation processes
and metoes of phylogenetic inferent. Journal of
Heredity. 88 : 35-342.
Hutagalung, R.1995. Penampilan domba Jantan ai
Sumatra Utara dengan menggunakan rangsum
yang terdiri dari paspalium dilatium, molasses dan
urea dengan tiga macam sumbe mineral. Skripsi,
fakultas . Peternakan. Institut Peternakan Bogor.
doctor of Philosopy. The University of Sydney,
Australia. 201 p.
Muladno. 2000. Teknologi Manipulasi DNA. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionery Genetics.
Columbia University Pres, New York.
Prahasta, P. 2001. Derajat Heterozigositas DNA
Mikrosatelit pada populasi Sapi Fries holland
(FH). Fakultas Peernakan Institut
Pertanian
Bogor, Bogor.
Iniguestz, L., E.G. Bradford and I. Innou. 1990. Sheep
breddin plan for intergladet tree crooing and sheep
production system. Dalam : Iniguest L. and M. D.
Sanchesz (Ed.). Sheep Breeding Plans For
Integraded Tree Croppin and small Rumminant
Production System. Pp : 155-171. Procceding of a
workshop on Research Support Program. Annual
Repport 1990-1991 . 5:303-317.
Lehmann, T., W.A Hawley and F.H. Collins. 1996. An
evaluation of evaluationary constraints
of
mikrosatellite loci using nul alleles Genetics. 144:
1155-1163.
Maskur. 2001. Mikrosatelit sebagai Penanda Molekur
dalam Analisis Genom. Tesis Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Maso, I.L.1980. White Virgin island sheep. Dalam :
Mason I. L. (ED.). Polific Tropical Sheep. Pp. 2930. FAO Animal Production and Health Paper.
National. Roma.
Merkens dan soemiat. 1962. Sumbangan Pengetahuan
tentang Peternakan di Indonesia. Domba dan K
ambing. Terjemahan : R.P. Utojo dan
S.Adisoemarto. Lembaga ilmu pengetahuan
Indonesia, Jakarta.
Minvielle, F., B.B. Kayang, M. Miw, A. Vignal,
D.Gouricon, A. Neau .j.l.Monvoisin, S. Ito.2005.
Microsattelite mapping of QTL affecting growth,
egg production, toic immobility and body
temperature of Japanese quail. BMC Genomics J.
6.6:81-86.
Moxon, E.R. and C. Wills. 1999. DNA Mikrosatellites:
Agest of Evalution? Scientific American. USA.
Muladno. 1994. DNA Markr for pig gane mapping . A
thesis submitted to faculty of Ariculture in
fulfilment of the requinment for the degree of
JURNAL TERNAK Vol. 01 No.01 Th.2010
9
Download