bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika hubungan Australia dan Cina tidak semulus perjalanan hubungan perdagangan
Australia dan Cina. Ketidakharmonsan hubungan Australia dan Cina ini bermula bahkan sebelum
negara PRC mendapat pengakuan kedaulatan semenjak jatuh ke tangan komunis, semenjak saat
itu Australia menganggap Cina sebagai sebuah ancaman bagi kawasan Asia Pasifik dan Australia
itu sendiri. Posisi Australia yang menjadi sekutu dekat Amerika Serikat menjadikannya sensitif
terhadap isu-isu komunis, sehingga setelah jatuhnya Cina ke pihak komunis Australia langsung
memutuskan hubungan dengan PRC, Australia segera membuat kebijakan untuk mempererat
hubungan keamanan dengan AS hingga menolak secara keras keanggotaan PRC di Cina.
Hubungan Australia dengan Cina kembali memburuk saat tergadi Tiananmen dan Australia
berada di bawah kekuasaan John Howard, yang mengeluarkan Howards Doctrine yang sangat
tidak disukai Cina. Kali ini ketidakharmonisan hubungan antara Australia dengan Cina terlihat
dengan munculnya pernyataan negatif dari Australia tentang perkembangan militer Cina. Cina
yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan meningkatkan pula kapasitas militer yang
dimilikinya agar seiring dengan pembangunan dan juga untuk meningkatkan posisi tawar Cina di
politik internasional. Dari tahun 2007 hingga 2009 perkembangan anggaran militer Cina
mencapai 15% di masing-masing tahunnya.1
Hal ini rupanya ditanggapi secara negatif oleh pemerintah Australia yang tercantum pada
butir ke 26 chapter empat buku putih pertahanan Asutralia tahun 2009.
China will also be the strongest Asian military power, by a considerable margin. Its military
modernisation will be increasingly characterised by the development of power projection
capabilities. A major power of China's stature can be expected to develop a globally
significant military capability befitting its size. But the pace, scope and structure of China's
military modernisation have the potential to give its neighbours cause for concern if not
1
Global Security, China's Defense Budget (Daring), 5 Maret 2014,
<http://www.globalsecurity.org/military/world/china/budget.htm>, diakses pada 15 Januari 2015.
carefully explained, and if China does not reach out to others to build confidence regarding
its military plans.2
Dari pernyataan yang penulis kutip di atas, dapat dilihat bahwa Australia menyatakan bahwa
apabila Cina tidak membuat pernyataan yang jelas terkait peningkatan kapasitas militernya maka
hal tersebut dapat merusak hubungan dengan negara tetangganya, Australia termasuk, atau dalam
kata lain meimbulkan ancaman di kawasan sekitar Cina. “But the pace, scope and structure of
China's military modernisation have the potential to give its neighbours cause for concern...“
dalam pernyataan ini terlihat bahwa Australia masih memegang pandangan lamanya yang
menganggap Cina sebagai ancaman yang harus dibendung. Secara umum Australia memiliki dua
buku putih, satu untuk garis haluan kebijakan luar negeri dan satu untuk pertahanan, sehingga
buku putih ini berisi garis-garis besar kebijakan yang diambil oleh Australia khusus pada bidang
militer. Dalam buku putih tersebut Australia secara tidak langsung menjelaskan bahwa negara ini
tidak percaya dengan tujuan Cina dalam mengembangkan kapasitas militer yang dimiliki sehingga
akan menimbulkan keresahan di negara-negara tetangganya termasuk Australia. Jika dilihat dari
judul yang digunakan dalam buku putih pertahanan Australia, Defending Australia in Asia Pasific
Century: Force 2030, seolah menunjukkan bahwa Australia telah memperhitungkan Asia Pasifik
sebagai kawasan yang berkembang dan dapat mengancam posisi Australia, sehingga Australia
membuat strategi untuk bertahan dari ancaman tersebut, termasuk kemudian ancaman dari Cina.3
Hubungan Australia dan Cina kembali memasuki babak baru setelah Australia mengadopsi
konsep Asian Century dimana Australia yang awalnya membendung kehadiran Cina di Asia
Pasifik sekarang beralih haluan menjadi menyambut kehadiran Cina di Asia Pasifik dan
menyiapkan berbagai kerjasama yang siap diimplementasikan dari ekonomi hingga sosial budaya.
Hal yang menarik dan juga merupakan fokus dari paper ini adalah beberapa saat setelah Australia
memutuskan untuk menyambut “era Asia“ atau sekitar satu tahun setelahnya diterbitkan edisi baru
Australia Defense White Paper yang memperbarui Defense White Paper 2009. Pada Defense
White Paper 2013 yang terbaru ini Australia merevisi kebijakan yang dikeluarkan sebelumnya,
bahwa saat ini Australia tidak lagi menganggap bahwa pertumbuhan anggaran kapasitas militer
2
Departemen Pertahanan Australia, Defending Australia in Asia Pasific Century: Force 2030, Commonwealth of
Australia, Canberra, 2009, hlm. 34.
3
Departemen Pertahanan Australia, Defending Australia in Asia Pasific Century: Force 2030, hlm. 15.
Cina bukanlah sebuah ancaman bagi negara sekitarnya, hal ini dikarenakan pertumbuhan militer
tersebut merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat sehingga wajar jika
terjadi, dan oleh karena Cina saat ini merupakan teman dari Australia sehingga tidak ada lagi yang
perlu dikhawatirkan dari military rising Cina yang dianggap sudah jelas.4
... Their growing economic interdependence and developing security cooperation reinforce
this point. The Government does not approach China as an adversary. Rather, its policy is
aimed at encouraging China’s peaceful rise and ensuring that strategic competition in the
region does not lead to conflict. 5
Pernyataan ini tentu saja sangat kontras tentu saja dari defense white paper yang dikeluarkan
pada tahun 2009 dimana Australia menganggap kebangkitan militer Cina sebagai ancaman bagi
negara-negara tetangga Cina termasuk Australia. Pada kebijakan di atas, pemerintah Australia
bahkan mengaskan bahwa Australia tidak bermaksud untuk menjadikan Cina sebagai sebuah
ancaman, seperti yang secara implisit disebutkan dalam strategi di Defense White Paper 2009,
bahkan pemerintah Australia mendukung perkembangan pembangunan peaceful rise Cina yang
menadasari perkembangan militer selama ini. Dalam kebijakan baru terkait militer Cina ini
pemerintah Australia telah melakukan dialog dengan pemerintahan Cina bahwa akan segera
diadakan latihan kerjasama bersama serta dialog terkait perembangan teknologi modern yang
dimiliki oleh kedua negara. Bahkan lebih dari itu pada akhirnya Cina dan Australia melakukan
latihan militer bersama untuk pertama kalinya, dimana latihan tersebut diadakan di Australia.6
Kedatangan tentara Cina pertama kali atas undangan pemerintah Australia ini menunjukkan
keseriusan Australia dalam menanggapi kebijakan barunya yang lebih bersahabat dengan
perkembangan kapasitas militer Cina.
Tindakan Australia ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari para analis politik serta
negara lain, terutama sekutu terdekat Australia, Amerika Serikat mengapa kemudian Australia
mengganti kebijakannya terkait militer Cina. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa
4
Departemen Pertahanan Australia, Defence White Paper 2013, Commonwealth of Australia, Canberra, 2013, hlm.
61.
5
Departemen Pertahanan Australia, Defence White Paper 2013, hlm. 11
6
R. Medcalf, ‘Australia-US-China military exercise challenges assumptions,’The Interpreter (daring), 9 Oktober
2014, <http://www.lowyinterpreter.org/post/2014/10/09/Australia-US-China-military-exercise-challengesassumptions.aspx?COLLCC=1097935118&>, diakses pada 18 Maret 2015.
Australia telah menjadi polisi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik untuk membendung
pengaruh Cina. Kebijakan yang dikeluarkan dalam strategic outlook dalam menghadapi
kebangiktan Cina juga menyebutkan bahwa laju, stuktur, dan lingkup modernisasi militer Cina
dapat membuat resah negara tetangganya. Akan tetapi dalam kurun waktu 4 tahun Australia
menarik kebijakan tersebut dan merevisinya dengan kebijakan baru yang menggandeng Cina
sebagai partner dan juga mengeluarkan pernyataan bahwa Australia tidak pernah menganggap
Cina sebagai sebuah ancaman bahkan untuk pertama kalinya tentaraCna menginjakkan kakinya
di Australia atas undangan pemerintah Australia untuk melakukan latihan militer bersama, sebuah
tindakan yang mempertegas maksud Australia yang tidak lagi menganggap Cina sebagai ancaman
bagi negaranya.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah duraikan di atas, penulis memutuskan untuk mengajukan
pertanyaan mengenai Mengapa Australia memilih untuk melakukan kerjasama militer dengan
Cina setelah sebelumnya menganggap militer Cina sebagai sebuah ancaman bagi Australia?
1.3 Landasan Konseptual
Untuk menjawab dan menganalisis pertanyaan penelitian, penulis akan menggunakan satu konsep
dan satu teori, yaitu:
1.3.1 Rational Actor Model
Rational Actor Model merupakan salah satu perspektif yang dikemukakan oleh Graham T.
Allison dalam bukunya Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis yang ditulis
pada tahun 1971 sebagai analisis terhadap kasus krisis misil Kuba, yang diharapkan dapat
menjadi dasar analisis kebijakan luar negeri suatu negara.7 Perspektif ini didasarkan pada teori
rational choice dan berargumen bahwa dalam membuat kebijakan luar negeri, terdapat empat
7
G.T.Allison, Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis, Little, Brown, and Company, Canada, 1971, p.
32-33
tahapan yang harus dilalui oleh negara untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil
merupakan kebijakan yang paling rasonal, dalam hal ini negara dipandang sebagai suatu
kesatuan aktor yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan.8 Sebelum masuk ke
pembahasan empat tahapan dalam Rational Actor Model penulis akan membahasa sedikit
mengenai apa yang dimaksud sebagai kebijakan yang rasional dalam perspektif ini, penjelasan
mengenai kebijakan rasional inilah yang akan penulis gunkan dalam keseluruhan isi tulisan ini.
Professor Branislav L. Slantchev dari Universitas California mengatakan bahwa
rasionalitas merupakan suatu hal yang kompleks karena memiliki arti yang berbeda bagi setiap
orang. Suatu tindakan rasional tidak mengandung tindakan yang normatif, dalam artian
seseorang bisa saja melakukan tindakan yang rasional tetapi melanggar etika dan moral. Yang
dibutuhkan dalam rasionalitas adalah ketika suatu tindakan yang dilakukan berhubungan
dengan tujuan yang ingin dicapai suatu aktor. Sehingga menurut Slantchev, suatu aktor dapat
dikatakan bertindak rasional ketika tindakan atau keputusan yang diambil ditujukan untuk
mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan awal.9 Rational actor model kemudian menganggap
bahwa kebijakan luar negeri suatu negara merupakan hasil dari empat tahapan berikut:
a.
Objectives
Setiap negara pastilah memiliki kepentigan nasional yang ingin dicapai, kepentingan
nasional inilah yang kemudian menjadi dasar bagi negara untuk menentukan kebijakan
politik apa yang akan diambil sehingga kepentingan nasional tersebut dapat terpenuhi.
Kepentingan nasional inilah yang kemudian memengaruhi berbagai kebijakan politik
mereka, termasuk kebijakan luar negeri. Negara dalam teori ini diasumsikan sebagai
sebuah aktor yang rasional, sehingga secara rasional negara akan dapat menangkap
kepentingan apa yang paling dibutuhkan dan mewujudkannya ke dalam suatu kebijakan
yang afirmatif. Inilah tahapan pertama yang harus dilalui oleh negara dalam membuat
kebijakan politiknya, yaitu menangkap kebutuhan apa yang dimiliki oleh negaranya dan
kemudian meyusunnya dalam skala prioritas untuk melihat kepentingan apa yang harus
8
M. Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, Palgrave Macmillan, New York, 2007, hlm. 5960.
9
Slantchev, Branislav L., ‘The Rational Actor Model,’ dalam Introduction to International Relations, Department of
Political Science, University of California, San Diego, 2005, p. 1.
didahulukan. Berdasarkan teori ini, Australia dalam kondisi yang rasional saat
mengumpulkan kepentingan nasional apa yang dibutuhkan oleh Ausralia. Terkait dengan
hubungannya dengan Cina Australia mengumpulkan masukan-masukan mengenai
kepentingan apa yang Australia miliki dalam hubungannya dengan Cina.
b.
Options
Tahapan kedua yang harus dilakukan negara sebagai aktor rasional setelah menjelaskan
kebutuhan apa yang harus dijadikan kepentingan nasional adalah bagaimana kepentingan
nasional terebut diproyeksikan ke dalam kebijakan politiknya. Dalam tahapan options ini,
negara memiliki beberapa pilihan yang dapat diambil sebagai sarana untuk memebuhi
kepentingan nasionalnya. Pilihan-pilihan inilah yang secara rasional dipikirkan oleh
pemerintahan untuk selanjutnya dipertimbangkan konsekuensinya. Dalam berhadapan
dengan perkembangan kapasitas militer Cina yang berkembang pesat opsi yang dimiliki
oleh Australia dapat digeneralisasi menjadi dua opsi, apakah tetap meneruskan untuk
mengkonfrontasi Cina dengan perkembangan kapasitas militernya yang besar atau
mengubah kebijakannya menjadi lebih netral terhadap Cina. Pada tahapan ini rasionalitas
negara untuk mengaitkan antara tujuan dengan hasil pencapaian bermain, negara sebagai
actor rasional harus dapat mengaitkan tujuan awal yang ingin dicapai dengan goals melalui
opsi-opsi pilihan kebijakan yang akan diambil.
c.
Consequences
Berbagai tindakan dan strategi yang dipilih akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda
– beda pula. Terdapat konsekuensi yang menguntungkan dan terdapat konsekuensi yang
merugikan. Negara sebagai aktor yang rasional akan mempertimbangkan segala
konsekuensi baik itu konsekuensi yang merugikan atau menguntungkan sebelum memilih
strategi dalam menyelesaikan masalah negaranya dan mencapai tujuan negaranya. Dengan
mempertimbangkan konsekuensi dari pilihan yang diambil, Australia dapat memprediksi
sebaik apa kebijakan untuk bekerjasama dengan Cina nantinya.
d.
Choice
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam model aktor rasional. Setelah menagkap
kepentingan nasional dalam sebuah fenomena internasional, lalu merumuskan kebijakan
yang apa yang akan diambil oleh pemerintah serta mempertimbangkan konsekuensi apa
saja yang akan diterima oleh pemerintah apabila memilih kebijakan tertentu. Maka
pemerintah akan sampai pada tahapan memilih kebijakan yang akan diambil sebagai
kebijakan luar negerinya. Dalam kasus tulisan ini adalah Australia memilih untuk
bekerjasama
dengan
Cina
dalam
bidang
militer
dan
keamanan,
tidak
lagi
mengkonfrontasinya.
Keempat tahapan di atas akan digunakan penulis untuk mlihat mengapa kebijakan luar
negeri Australia untuk tidak mengkonfrontasi Cina atas perkembangan kapasitas militernya
yang besar dan menjadikan Cina sebagai teman dapat dihasilkan. Sehingga tidak digunakan
untuk mengukur rasionalitas dari kebijakan tersebut tetapi hanya dalam batasan memahami
proses pembuatan kebijakan luar negeri Australia.
1.3.2 Teori Kebijakan Luar Negeri
Untuk memahami dan menganalisis kebijakan luar negeri satu negara, tidak ada satu teori
khusus yang dapat menjelaskan mengapa suatu negara memutuskan untuk mengambil
kebijakan tertentu pada masa tertentu. Menurut Beasley dalam tulisannya The Analysis of
Foreign Policy in Comparative Perspective salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
memahami mengapa kemudian suatu pemerintahan negara mengambil kebijakan luar negeri
tertentu dapat dilakukan dengan melihat hal-hal yang sekiranya mempengaruhi para pembuat
keputusan dalam merumuskan kebijakan.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar
negeri suatu negara ini dapat digolongkan menjadi dua kategori faktor, yaitu faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal melihat hal-hal yang terjadi di luar batas teritorial negara
yang sekiraya dapat mempengaruhi kebijakan luar negerinya, sementara faktor internal melihat
10
J. Kaarbo, J. S. Lantis, dan R. K. Beasley, ‘The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective,’ dalam R.K.
Beasley, Foreign policy in Comparative Perspective: Domestic and International Influences on State Behavior, CQ
Press, Washington, DC., 2012, hlm. 7-8.
dari kondisi domestik suatu negara yang mendorong para pembuat kebijakan untuk
merumuskan kebijakan tertentu yang sesuai dengan kondisi domestiknya.
Dalam tulisan ini, penulis mengambil faktor eksternal sebagai landasan konseptual untuk
menganalisis alasan mengapa teradi perubahan pandangan Australia terkait military rising yang
dilakukan oleh Cina. Beasley mengungkapkan bahwa untuk menganalisis faktor eksternal apa
yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, analis harus menggunakan
perpektif dari teori hubungan internasional yang umum, dalam tulisannya Beasley menawarkan
tiga perspektif yaitu realis, liberalis, dan konstruktivis. Dalam tulisan ini penulis menggunakan
perspektif liberal dalam melihat kondisi internasional yang dapat berpengaruh tehadap
keputusan Australia mengubah perspektifnya terkait military rising yang dilakukan Cina.
Liberalisme secara umum merupakan teori yang fokus pada pernyataan bahwa distribusi
kemakmuran ekonomi merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi negara dalam
mengambil suatu kebijakan luar negeri, sehingga tujuan utama dari negara dalam membuat
kebijakan luar negeri adalah untuk mendapatkan porsi terbesar yang bisa didapatkan dalam
distribusi kemakmuran global. Dalam pencapaian tujuan tersebut kaum liberalis beranggapan
bahwa negara harus saling bekerjasama, hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah
kerjasama ekonomi maupun kerjasama di bidang lain antar negara pasca perang dingin berakhir.
Akibat yang timbul dari peningkatan kerjasama dan semakin majunya teknologi saat ini adalah
efek yang disebut dengan interdependensi, yaitu situasi dimana negara-negara saling terkait dan
membutuhkan satu sama lainnya untuk tetap bertahan.
Menurut pandangan liberal, kebijakan luar negeri suatu negara dapat dipengaruhi oleh
interdependensi karena negara melihat bahwa dengan kerjasama negara akan lebih dapat
mencapai kepentingannya dibandingkan dengan cara konflik.11 Perjanjian gencatan senjata,
kerjasama militer, kerjasama ekonomi, dan pertukaran budaya merupakan contoh kebijakan luar
negeri yang mengedepakan kerjasama yang mana menguntungkan negara. Satu poin utama
yang penulis ambil sebagai dasar tulisan ini adalah negara melihat bahwa kerjasama akan lebih
sesuai dengan kepentingannya dibandingkan konflik. Hal ini dapat dilihat dalam studi kasus
tulisan ini dimana Australia lebih memilih untuk mengubah kebijakan luar negerinya yang
11
R.K Beasley, hlm. 9.
mengkonfrontasi Cina atas military rising yang dilakukannya pada tahun 2009 menjadi seruan
kerjasama dan kebijakan luar negeri yang tidak lagi ofensif terhadap Cina.
Interdependensi juga membawa dampak dimana keleluasaan negara dalam mengambil
kebijakan luar negeri terbatas dengan kepentingan negara lain. Dalam artian jika kedua negara
atau lebih memiliki interdependensi, maka saat saat negara ingin membuat kebijakan luar negeri
maka negara tersebut harus memikirkan apakah kebijakan yang dibuatnya bertentangan dengan
kepentingan negara yang lain atau apakah kebijakan tersebut akan mengganggu proses
interdependensi atar negara tersebut, yang berakibat pada konflik dimana negara tersebut akan
kehilangan keuntungan yang didapat dari kerjasama dengan negara lainnya.12 Inilah poin kedua
yang akan penulis gunakan untuk melihat apakah perubahan pandangan Australia terhadap Cina
ini merupakan pilihan terbatas yang dapat Australia ambil karena terdapat interdependensi
antara Cina dan Australia, dan interdependensi seperti apa yang terjadi antara kedua negara ini.
Dengan menggunakan teori liberalisme yang difokuskan pada dua poin di atas maka
penulis akan melihat fenomena internasional manakah yang berperan sebagai faktor eksternal
yang berkontribusi dalam pengambilan kebijakan luar negeri Australia terkait military rising
yang dilakukan oleh Cina.
1.4 Hipotesis
Menurut penulis adanya pergeseran kebijakan luar negeri Australia yang kemudian
memutuskan unutk menjalin kerjasama militer dengan Cina sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal dari Australia seperti lingkungan politik internasional dimana Australia yang memiliki
julukan the misplaced continent berusaha untuk memposisikan diri dalam pertumbuhan kemajuan
region Asia Pasifik, serta hubungan bilateral Australia dengan Cina yang semakin dekat dari tahun
ke tahun. Australia yang selama ini menjadi semacam wakil Amerika Serikat13 di kawasan Asia
12
R. K. Beasley, hlm. 11-12.
13
Analogi bahwa Australia adalah sebagai wakil dari Amerika di kawasan Asia Pasifik dikemukakan oleh mantan
Perdana Mentri Australia John Howard, pada saat itu Howard diwawancarai terkait sebutan terhadap
kebijakannya yaitu Howard Doctrine dan bagaimana Australia memandang hubungannya dengan Amerika Serikat.
Wartawan yang mewawancarai kemudian menggunakan istilah deputy pada tulisannya yang kemudian tersebar
Pasifik pada akhirnya melihat bahwa kebangkitan dari Asia Pasifik ini dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan Australia, sehingga Australia yang awalnya berusaha mempertahankan diri dari
kebangkitan kekuatan Asia Pasifik mengalihkan strategnya untuk merangkul kebangkitan tersebut
dan memperkuat posisi disana. Pengaruh eksternal dalam kebijakan luar negeri Australia terhadap
Cina sangat terlihat dimana Australia berharap dengan merangkul dan ikut masuk menyambut
kebangkitan Asia ini maka Australia dapat memanfaatkannya dan mengontrol kebangkitan Asia
sesuai dengan kepentingan yang dimilikinya. Salah satu cara untuk masuk bergabung ke Asia
Pasifik Australia harus terlebih dahulu menjalin hubungan baik dengan negara-negara besar di
Asia, salah satunya adalah dengan Cina.
Terkait dengan kebijakan luar negeri Australia tentang perkembangan militer Cina,
berdasarkan landasan konseptual yang penulis pakai yaitu rational actor model dan faktor
eksternal, penulis melihat bahwa objective yang Australia tangkap sebagai kepentingan
nasionalnya adalah membuka hubungan kerjasama militer dengan Cina. Menurut penulis terdapat
setidaknya dua alasan mengapa Australia pada akhirnya memilih untuk menjadikan kerjasama
militer dengan Cina sebagai objective dalam kebijakan luar negerinya. Mengunakan konsep
eksternal penulis melihat bahwa hubungan Australia dengan negara-negara di Asia Pasifik
termasuk hubungannya dengan sekutu lamanya, Amerika Serikat, mendorong Austalia untuk
menggandeng Cina dalam sebuah kerjasama militer demi menjaga stabilitas keamanan kawasan
Asia Pasifik. Australia yang mengintensifkan hubungan militernya dengan Amerika
Serikatpastinya akan mengganggu stabilitas kawasan Asia Pasifik karena hubungan yang unuk
antara Amerika Serikat dan Cina, apabila diteruskan maka Cina akan merasa terdapat ancaman
dari kerjasama Australia dan Amerika Serikat tersebut. Alasan kedua adalah karena adanya
interdependensi Australia dengan Cina, karena hubungan dagangnya yang sangat intens Australia
akan cenderung memilih untuk menjaga hubungan baik dengan Cina dibandingkan
mengkonfrntasinya seperti kebijakan-kebijakan luar negerinya terdahulu, hal ini sesuai dengan
landasan konseptual penulis tentang interdependensi dalam hubungan eksternal Australia dengan
ke dunia internasional. Meskipun kemudian telah diklarifikasi oleh John Howard, keterlambatan klarifikasi ini
membuat dunia internasional telan mencap Australia sebagai pengawas dari Amerika Serikat, termasuk Cina yang
menerbitkan tentang analogi ini di surat kabar nasionalnya.
Cina, membuat Australia memiliki batasan-batasan dalam membuat pilihan dalam oembuatan
kebijakan luar negerinya.
Dengan objective yang telah disebutkan di atas, maka dalam tahapan opsi tentu Australia
akan memilih untuk mengintensifkan hubungan kerjasama militernya dengan Cina. Sebagai
konsekuensi dari pilihan tersebut Australia harus menunjukkan komitmen yang cukup tinggi agar
kerjasama militer Australia dengan Cina ini tidak tertutupi dengan intensitas kerjasama militer
Australia dengan AS. Oleh karena itu Australia mengadakan latihan bersama antara militer AS,
Australia, dan Cina untuk menunjukkan kepada Cina seberapa besar komitmen yang Australia
akan jalankan. Sehingga setelah melalui proses tahapan tersebut Australia memilih untuk
mengintensifikasi hubungan kerjasama militernya dengan Cina.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam menulis skripsi ini adalah deskriptif kualitatif yang
berarti data diambil dari sumber-sumber yang akurat tentang materi yang diangkat oleh penulis.
Data primer yang akan penulis gunakan adalah studi literatur mengenai White Paper, baik
keamanan ataupun kebijakan luar negeri secara keseluruhan. Australia merupakan negara yang
sangat terbuka dengan arip arsip kenegaraannya sehingga memudahkan penulis mendapatkan data
asli dari sumber pemerintah Australia. Data sekunder, jika memungkinkan, penulis akan
melakukan wawancara dengan perwakilan Australia untuk Asia teruama di bidang keamanan.
Indikator yang penulis akan gunakan adalah daftar kerjasama Australia dan Cina dalam
kurun waktu antara Defense White Paper 2009 dan Defense White Paper 2013 untuk melihat
kedekatan hubungan antara Australia dan Cina, termasuk tabel atau grafik perdagangan Australia
dengan Cina sebagai salah satu argument pendukung Level analisis yang penulis gunakan dalam
menganalisis kebijakan Australia dalam tulisan ini adalah level sistem internasional, dimana level
analisis ini berfokus pada interaksi antar negara dan bagaimana sebuah sistem internasional
dimana dua negara atau lebih saling berinteraksi dapat berpengaruh terhada kebijakan luar negeri
negara tertentu.
1.6 Organisasi Penulisan
Karya ini akan terdiri dari empat bab. Pada bab pertama, penulis akan menyajikan
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, landasan konseptual, hipotesis, metode
penelitian, serta organisasi penulisan. Pada bab kedua, penulis akan membahas Dinamika
hubungan Australia dengan Cina sejak pertama kali PRC lahir dan mengapa Australia sejak awal
telah melihat Cina sebagai sebuah ancaman dan juga akan dibahas bagaimana Cina telah bangkit
menjadi kekuatan abaru di Asia. Selanjutnya, pada bab ketiga, penulis akanmemaparkan
bagaimana respon Australia dalam menghadapi kekuatan militer Cina, penulis akan membagi
respon Australia menjadi dua bagian, pertama respon yang menolak dan kedua adalah respon yang
lebih bersahabat dengan kebijakan militer Cina, akan dibahas juga mengenai kerjasama militer
Asutralia-Cina-Amerika Serikat yaitu KOWARI 14. Pada bab keempat penulis akan menjelaskan
analisis dari kebijakan luar negeri Australia untuk melihat mengapa Australia pada akhirnya
memilih untuk melakukan kerjasama militer dengan Cina. Pada bab kelima, bab terakhir, penulis
akan menyimpulkan hasil karya ini.
Download