Risiko Wirausahawan dalam Pengembangan Bisnis

advertisement
Risiko Wirausahawan dalam
Pengembangan Bisnis
Oleh Lilly H. Setiono
Team e-psikologi
Seiring dengan perkembangan usaha yang biasanya diikuti dengan perubahan gaya manajemen,
maka pada saat yang sama para wirausahawan dihadapkan pada berbagai risiko. Bagi sebagian
wirausahawan yang memiliki keberanian dan kematangan berpikir risiko-risiko tersebut mungkin
sudah diantisipasi dan dapat dilalui dengan baik. Namun bagi sebagian wirausahawan yang lain,
risiko yang harus dihadapi dalam pengembangan usahanya bisa jadi dirasakan terlalu berat dan
penuh ketidakpastian sehingga mereka lebih memilih untuk mempertahankan status quo.
Risiko Riil & Psikologis
Pada dasarnya ada dua risiko yang dihadapi oleh para wirausahawan ketika diberikan kesempatan
untuk mengembangkan usahanya. Kedua risiko tersebut adalah:
1.
Risiko Riil, adalah risiko yang terlihat, bisa dihitung, bisa diantisipasi dan bisa dihindari.
Termasuk dalam risiko ini adalah:
1. Kehilangan modal baik yang sudah ditanam dan akan ditanamkan ke dalam
perusahaan
2. Kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, di masa sekarang ataupun
masa depan
3. Kehilangan mata pencaharian untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
4. Kehilangan kendali atas kekuasaan yang selama ini dimilikinya (decision-making)
karena ada pengalihan gaya bisnis keluarga menjadi gaya bisnis profesional
2.
Risiko Psikologis, adalah risiko yang tidak terlihat, tidak bisa dihitung, bisa diantisipasi,
tetapi belum tentu bisa dihindarkan. Termasuk dalam risiko ini adalah:
1. Kehilangan reputasi (hilang muka, nama besar, citra, dsb) dan risiko menanggung
malu
2. Kehilangan kepercayaan – pada diri sendiri dan pada orang lain (Menjadi paranoid
atau blind-dependency)
3. Kehilangan perasaan “potent” atau mampu yang akan menyebabkan hilangnya rasa
percaya diri
4. Kehilangan jatidiri (terutama bagi mereka yang sudah menganggap keberadaan
perusahaan sebagai keberadaan dirinya sendiri)
5. Kehilangan motivasi untuk berjuang
Alasan
Dari keempat risiko riil yang dihadapi oleh seorang wirausahawan seperti yang disebutkan di atas,
risiko yang seringkali terlewatkan dan tidak dipertimbangkan secara mendalam adalah risiko
terakhir, yaitu kehilangan kendali atau kekuasaan karena perubahan gaya bisnis keluarga ke gaya
bisnis profesional. Banyak wirausahawan yang menganggap hal ini bukan sebuah risiko yang harus
dipertimbangkan dan tetap memaksakan untuk mempertahankan gaya bisnis lama ke dalam
perusahaannya. Kenyataannya, gaya ini seringkali tidak bertahan lama dan mungkin akan
membawa kerugian lain (kehilangan kesempatan). Di lain pihak penerapan gaya bisnis tersebut
justru membuat para profesional tidak dapat memberikan kemampuan terbaik yang mereka miliki.
Dampak utama dari pengabaian resiko tersebut adalah perusahaan yang lamban berkembang dan
sumberdaya yang ada menjadi tidak efisien. Revenue perusahaan tetap tetapi cost menjadi lebih
tinggi karena adanya investasi baru dan menyebabkan menurunnya keuntungan. Selain itu, para
pekerja menjadi bingung karena banyak keputusan yang ambivalen dan tidak jelas arahnya sesuai
dengan kebingungan dan ketidak-jelasan sikap wirausahawan. Ibaratnya, perusahaan menjadi
sebuah mobil mewah dengan kapasitas 4000 cc dengan harga beli miliaran tetapi hanya bisa
digunakan beberapa kali saja saat liburan karena beban biaya untuk digunakan di Jakarta ketika
jam bubaran kantor di tengah hujan rintik sangat tinggi. Akibatnya, si pemilik akan
mengencangkan ikat pinggang dan berusaha menekan pengeluaran lain, biasanya pengeluaran
variabel, seperti gaji, fasilitas, dan logistik demi mempertahankan cash-flownya. Keuntungan akan
menjadi kerugian dan pemilik akan merasa kelelahan sendiri karena bekerja lebih keras hanya
untuk menutupi biaya yang bertambah besar itu.
Mengapa begitu sulit bagi seorang wirausahawan menyerahkan kendali perusahaan kepada para
profesionalnya? Jawabnya adalah karena banyak diantara mereka merasa frustrasi dengan para
profesional yang seringkali bersikap arogan dan tidak nyambung dengan kebutuhan, visi dan misi si
wirausahawan. Frustrasi para pemilik ini lalu dilontarkan sebagai keluhan bahwa mencari manajer
atau orang yang tepat sangat sulit, apalagi mencari orang yang memiliki profesionalisme yang
tinggi. Coba kita dengar keluhan umum para pengusaha yang antara lain:



“Kita bukannya tidak mau memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada para
profesional tetapi tolonglah carikan orang yang tepat. Kita sering kecewa dengan para
manager kita”
“Ah, sulit untuk berbisnis besar di Indonesia karena kualitas sumberdaya manusianya begitu
rendah sehingga tidak mungkin produktivitas itu tinggi”
“Yang paling bikin susah punya bisnis di Indonesia adalah urusan ketenaga-kerjaan; susah
sekali mengatur orang, sudah malas, bodoh, tidak mau mengerti, bisanya hanya menuntut,
dan harus diatur dengan keras karena seringkali diberi hati malah minta ampela”
Keluhan di atas sangat umum dan mungkin sudah sangat sering kita dengar, tetapi apakah
kenyataannya benar demikian???
Langkah Pencegahan
Keluhan-keluhan seperti yang disebutkan di atas seharusnya tidak perlu terjadi jika para
wirausahawan sudah mempersiapkan infrastruktur sumber daya manusia sejak keputusan
pengembangan perusahaan dibuat. Seperti halnya dalam perencanaan keuangan, sumberdaya ini
harus dibuat secara rinci dan jelas mengikuti rencana pengembangan perusahaan. Hal-hal yang
harus dipikirkan adalah arah pengembangan perusahaan, ruang lingkup & fungsi SDM yang
dibutuhkan (manager lini atau eksekutif puncak), kualitas yang sesuai dengan visi dan keadaan
perusahaan, wewenang & tanggung jawab yang dia akan miliki, jenis kepribadian yang sesuai
dengan perusahaan dan wirausahawan, dsb.
Dalam kenyataannya, perencanaan SDM ini jarang dilakukan oleh para wirausahawan bahkan
seringkali dilupakan. Hal yang lebih sering terjadi adalah SDM baru dicari dan direkut ketika
kebutuhan untuk itu sudah sangat mendesak, sehingga proses pencarian profesional seringkali
tidak efektif, karena dilakukan tergesa-gesa dan tanpa perencanaan yang matang. Penempatan
para profesional di dalam perusahaan menjadi proses “tambal sulam”. Akibatnya, pembajakan
terhadap tenaga profesional sering terjadi, padahal belum tentu profesional hasil bajakan tersebut
tepat dengan kebutuhan perusahaan, mengingat kondisi dan iklim kerja yang berbeda. Akhirnya
tidak jarang si wirausahawan menjadi kecewa apalagi ditambah dengan biaya rekrutmen yang
biasanya cukup tinggi. Idealnya proses rekrutmen dan seleksi tentu harus melalui beberapa
tahapan, termasuk perencanaan dan standard kualitas SDM yang rinci, agar perusahaan bisa
mendapatkan para profesional yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan perusahaan
tersebut.(Baca juga artikel: Merekrut Karyawan dan Analisis Jabatan dalam Proses Rekrutmen
dan Seleksi)(jp)
Download