bab i menguak dimensi kekuasaan dalam reformasi

advertisement
BAB I
MENGUAK DIMENSI KEKUASAAN
DALAM REFORMASI:
BELAJAR DARI KISAH JEMBRANA
Studi ini berbicara tentang kekuasaan dalam reformasi. Ada dua alasan
yang mengilhami lahirnya studi ini. Pertama, keterbatasan teorisasi tentang
kekuasaan dalam reformasi. Mayoritas studi tentang reformasi pemerintahan lokal
cenderung
apolitik
yang
mengabaikan
dimensi
kekuasaan;
sebaliknya
mengedepankan dimensi teknokrasi-manajerial (keahlian, efektivitas, efisiensi,
kinerja dan sebagainya) dalam inovasi birokrasi dan administrasi.1 Sebagian studi
yang lain telah memperhatikan dimensi kekuasaan dalam reformasi; yakni
memusatkan perhatian pada insentif politik di balik kehendak pemimpin
melancarkan reformasi, sekaligus kontestasi kekuasaan dalam proses reformasi.
Tetapi studi yang terfokus pada “kekuasaan untuk reformasi” ini kurang
memperhatikan sisi lain dan dilema reformasi, bahwa reformasi yang sarat dengan
kontestasi kekuasaan bukan hanya untuk mencapai perubahan, tetapi reformasi
juga menjadi alat baru bagi penguasa untuk mendominasi kekuasaan. Dominasi
kekuasaan ini lebih banyak diperhatikan oleh mainstream studi kekuasaan elite,
tetapi sebaliknya studi elite mengabaikan faktor reformasi sebagai basis dan alat
untuk dominasi kekuasaan. Karena itu, studi ini, hendak berbicara tentang
kekuasaan dalam reformasi pada dua sisi. Di satu sisi kekuasaan merupakan alat
untuk melancarkan reformasi, dan di sisi lain, reformasi merupakan alat untuk
membangun dan mendominasi kekuasaan.
1
Pendekatan teknokrasi-manajerial tetap penting, terutama untuk mencermati secara
kritis terhadap kebijakan populis yang terjebak menyenangkan rakyat tetapi tidak menolong
rakyat, karena pehitungan teknokratik yang tidak memadai. Tetapi reformasi bukanlah perkara
teknokrasi-manajerial, melainkan merupakan bentuk kontestasi politik.
1
Kedua, studi ini diilhami oleh pengalaman pergulatan kekuasaan dan
reformasi di Kabupaten Jembrana selama dipimpin oleh Bupati I Gede Winasa
(IGW). Jembrana telah menjadi ikon dan teladan reformasi pemerintahan daerah.
Bupati IGW meraih kejayaan ganda (reformasi dan kekuasaan), tetapi reformasi
dan kekuasaan itu berakhir dengan keruntuhan secara dramatis.
Penulis hendak mendialogkan antara narasi besar (kekuasaan dalam
reformasi) dengan narasi kecil (pengalaman Jembrana) itu. Dengan kalimat lain,
studi ini mengkaji kekuasaan dalam reformasi yang bekerja secara kontekstual di
Jembrana. Narasi kecil Jembrana tentu telah memberi ilham besar bagi penulis
untuk menantang narasi besar kekuasaan dalam reformasi. Jembrana menjadi
medan studi dan medan dialektika antara narasi kecil dan narasi besar, sekaligus
menjadi modalitas untuk membangun teori alternatif tentang dua sisi kekuasaan
dalam reformasi, yakni kekuasaan sebagai alat reformasi dan reformasi sebagai
alat kekuasaan.
A. Latar Belakang
Negara, Jembrana, 16 November 2010. Barisan massa Forum Daerah
(Forda) LSM meruntuhkan dan membakar (ngaben) patung besar I Gede Winasa
(IGW) di RSUD Negara, sehari sesudah sang bupati itu turun dari tahta. Mereka
bersama pihak RSUD kemudian mengantar patung yang telah dibakar itu dengan
ambulance sampai ke rumah IGW di Kelurahan Tegalcangkring, Mendoyo.
Tindakan politik simbolik itu merupakan sebuah akumulasi panjang setelah
bertahun-tahun kekuatan aksi kolektif (Jaringan Anti Korupsi, Forda LSM,
Jembrana Forum, Komunitas Warga Jembrana Antikorupsi, dan lain-lain)
melakukan perlawanan terhadap praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) yang dilakukan Bupati IGW dan teman-temannya. Dedengkot LSM
Jembrana, Ketut Sujana, yang mempunyai jaringan luas secara nasional,
memperoleh dua ilham ketika merobohkan dan membakar patung IGW. Pertama,
patung bagi orang Bali merupakan simbol yang sakral. Forda LSM menganggap
2
patung IGW merupakan simbol terakhir kekuasaan IGW. "Ini merupakan pukulan
terakhir terhadap kekuasaan yang korup dan penuh kebohongan," ujar Ngurah
Karyadi, seorang aktivis Forda LSM (Antara News, 17 November 2010; Bali Post, 19
November 2010). Kedua, tindakan masyarakat sipil prodemokrasi yang
meruntuhkan patung-patung
Stalin di Uni Soviet dua dekade silam setelah
gerakan mereka memenangkan pertarungan atas totalitarianisme.
Aksi LSM itu merupakan bentuk delegitimasi IGW di saat dia tengah
memromosikan anak sulungnya, I Gede Ngurah Patriana Krisna, bersama dengan
Ketut Subanda, untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati dalam pilkada langsung
Desember 2010. Mereka secara lantang menyerukan “Jangan Pilih Anak Koruptor”
sebagai bentuk negative campaign untuk mengalahkan pasangan I Gede Ngurah
Patriana Krisna dan Ketut Subanda yang didukung Partai Demokrat dan IGW. Pada
saat yang sama mereka mendukung pasangan Putu Artha-Kembang Hartawan
(Wakil Bupati dan Ketua DPRD Jembrana) yang didukung Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP). Pertarungan pilkada langsung 27 Desember 2010
membuahkan kemenangan kubu Putu Artha-Kembang Hartawan, sekaligus
kekalahan dan kegagalan IGW dalam membangun dinasti politik.
Hari-hari setelah kelengseran dan kegagalan IGW, pihak kepolisian dan
kejaksaan – yang memperoleh endorsement Gubernur Bali Mangku Pastika –
melakukan penyidikan secara intensif terhadap IGW yang sejak April 2009 diduga
kuat terlibat dalam kasus korupsi sebesar Rp 2,3 M dalam pabrik kompos di Desa
Kaliakah, Kecamatan Negara, Jembrana. Pada tanggal 19 Januari 2011, IGW secara
resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri di rumah tahanan. Di penjara, Winasa
bertemu dengan Nyoman Suryadi (mantan Kadis PULH) Jembrana, Nyoman Gede
Sadguna (PPTK), IGK Muliarta (Mantan Direktur Perusda) Jembrana dan Agung
Permadi (Direktur CV Puri Bening). Mereka saling berangkulan, dan Suryadi
dengan nada prihatin berujar: “Akhirnya kita bertemu di sini”. Para kerabat dan
para pendukungnya tentu sangat prihatin dengan peristiwa yang tragis itu, sebab
3
menurut mereka, Winasa ketika berkuasa, telah membuktikan sebagai bupati
yang benar-benar pro rakyat.
Meskipun pada awal Juli 2011 Pengadilan Negeri Negara memutus bebas
IGW, tetapi rentetan cerita kekalahan dan kegagalan IGW di penghujung
kekuasaannya, memberikan pertanda delegitimasi terhadap IGW dan kemerosotan
reformasi. Kementerian Dalam Negeri maupun Gubernur Bali Mangku Pastika
mengingatkan kepada Bupati dan Wakil Bupati baru agar menghentikan proyekproyek mercusuar warisan IGW, menjalankan inovasi pemerintahan yang sesuai
dengan regulasi dan menjalankan agenda kebijakan yang sejalan dan sinergi
dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan Provinsi Bali. Permintaan ini diindahkan
oleh penguasa baru, Putu Artha dan Kembang Hartawan, yang menghentikan
berbagai kebijakan unggulan dan proyek mercusuar warisan (legacy) IGW.
Meskipun penguasa baru belum memiliki paradigma alternatif dalam pengelolaan
pemerintahan, tetapi paradigma efisiensi DOA (dana, orang dan alat) yang
dibangun IGW, dihentikan dengan cara menata kembali struktur birokrasi daerah.
Karya besar IGW, Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), yang digunakan untuk
menopang kesehatan gratis, telah mengalami krisis finansial dan krisis
kepercayaan dari para tenaga kesehatan sejak pertengahan 2010, dan kemudian
dihentikan oleh penguasa baru pada bulan Februari 2011. Bupati Putu Artha, yang
didukung DPRD, mengambil keputusan untuk mengintegrasikan JKJ ke dalam
JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara) milik Provinsi Bali, mulai tahun 2012.
Keruntuhan IGW dan krisis reformasi warisan IGW pada tahun 2010
sungguh kontras jika dibandingkan dengan kejayaan tahun-tahun sebelumnya.
Jembrana, di bawah pimpinan Bupati IGW, adalah perintis reformasi kebijakan
sekolah dan kesehatan gratis sejak 2001, serta reformasi birokrasi yang membuat
birokrasi menjadi lebih ramping, efisien, bersih dari korupsi dan disiplin sejak
2003/2004. IGW mampu menyulap gedung-gedung Pemda -- yang sempat dibakar
massa pada saat Megawati kalah bertarung melawan Abdurrahman Wahid dalam
pemilihan presiden di MPR pada Oktober 1999 – menjadi lebih bagus dan megah;
4
membangun kembali Pura Jagat Natha sebuah pura besar yang menjadi simbol
religiusitas masyarakat Hindu Bali; juga mampu menyulap kawasan rawa-rawa
kota Negara menjadi lebih bersih, rapi, indah, hijau dan manusiawi. Jembrana
menjadi lebih maju dan terkenal. Penghargaan dan pujian kepada Jembrana dan
secara khusus kepada sang bupati IGW mengalir dari berbagai pihak, termasuk
rakyat Jembrana sendiri. Majalah nasional terkemuka, Tempo, pada akhir tahun
2004 memberikan anugerah “The Man of The Year” kepada IGW karena ia dinilai
sebagai pemimpin daerah yang telah sukses membawa perubahan besar dan
bermanfaat bagi rakyat.
Sepanjang 2004-2009
sudah lebih
dari
seribu
kunjungan
untuk
mempelajari rahasia “cerita sukses” Jembrana. Kecuali daerah-daerah tetangganya
di Bali, hampir semua daerah di Indonesia telah datang belajar ke Jembrana,
mempelajari resep reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Para pejabat Jakarta,
aktivis NGOs, peneliti dalam negeri dan mancanegara, maupun lembaga-lembaga
donor juga mempelajari kisah sukses Jembrana. Yayasan Tifa, misalnya, pada
tahun 2005 meneliti dan memublikasikan sebuah buku kecil bertitel “Semua Bisa
Seperti
Jembrana”,
yang
diharapkan
menjadi
bahan
pembelajaran
dan
percontohan inovasi pemerintahan daerah. Kemendagri dan Kemenpan juga
menjadikan Jembrana sebagai teladan reformasi birokrasi pemerintahan daerah
untuk bisa dicontoh oleh daerah-daerah lain di Indonesia.
Tetapi setelah IGW runtuh dan reformasi mengalami krisis, Jembrana tidak
lagi menjadi “teladan” reformasi. Jembrana pasca-IGW kembali menjadi daerah
yang “biasa” seperti daerah-daerah lainnya. Banyak pihak dari luar Jembrana,
termasuk para peneliti dan promotor Jembrana, mempunyai pertanyaan besar,
mengapa karya reformasi yang gemilang bisa berhenti secara bersamaan dengan
keruntuhan sang bupati.
Tentu kisah paradoks Jembrana itu sangat menarik dan menantang bagi
studi politik lokal, baik studi tentang pergulatan kekuasaan maupun studi tentang
perubahan (reformasi). Di satu sisi kisah Jembrana tidak cukup dilihat dari cara
5
pandang reformasi (perubahan) semata meskipun reformasi merupakan realitas
dan ikon utama Jembrana. Pertama, studi reformasi pada umumnya, termasuk
studi reformasi Jembrana (Eko Prasojo, 2005; Ketut Putra Erawan, 2007; R.
Nugroho, 2008), hanya melihat dari sisi kepemimpinan dan manajerial yang
membawa perubahan, namun abai terhadap dimensi pergulatan kekuasaan.
Seolah-olah reformasi berjalan di ruang yang hampa politik, baik politik sebagai
instrumen atau kekuatan untuk menjalankan reformasi maupun politik sebagai
akibat reformasi.
Kedua, studi reformasi cenderung mengabaikan dilema reformasi. Sebagian
studi seperti studi C. von Luebke (2009) hanya melihat dimensi insentif politik
yang menjadi pendorong bagi pemimpin daerah untuk melakukan reformasi. Lebih
dari sekadar insentif politik (pemimpin reformis memperoleh legitimitasi,
popularitas dan elektabilitas yang kuat) dalam perspektif rational choices,
reformasi juga menjadi instrumen baru bagi penguasa untuk mengawetkan dan
mendominasi kekuasaan. Ketika dominasi kekuasaan tercapai maka nilai,
semangat
dan
hasil
reformasi
akan
mengalami
kemerosotan,
bahkan
menghasilkan korupsi yang endemik. Dominasi kekuasaan hingga korupsi itu
merupakan dilema serius reformasi yang kurang diperhatikan studi reformasi.
Ketiga, berbagai studi reformasi terjebak pada pujian dan memberikan
predikat cerita sukses pada reformasi, termasuk di Jembrana. Posisi ini sangat
masuk akal, mengingat reformasi adalah proses dan hasil politik yang sulit dan
langka di tengah lembamnya birokrasi dan pemerintahan lokal di Indonesia. Para
pengikut studi reformasi pasti sangat kecewa dan akan melakukan studi ulang
ketika reformasi Jembrana membuahkan cerita sukses secara temporer tetapi
ternyata membuahkan krisis dan kegagalan. Salah satu pelajaran penting bahwa
cerita sukses reformasi yang temporer tidak cukup memadai untuk menjadi
teladan sempurna yang disuarakan besar-besaran secara nasional. Pertanyaan
tentang “cerita sukses” harus ditinjau ulang, tidak cukup memadai menjadi
pertanyaan utama, dan sebaiknya memunculkan pertanyaan baru, mengapa
6
reformasi Jembrana pada tahun-tahun awal mengalami kesuksesan tetapi
belakangan mengalami kegagalan.
Tiga kritik penulis itu relevan untuk memahami praksis reformasi
pemerintahan dan birokrasi di Indonesia yang sulit dan gagal. Reformasi tidak
cukup ditempuh dengan regulasi yang progresif, kepemimpinan yang visioner,
pengambangan kapasitas birokrasi, maupun inovasi organisasi dan pelayanan
secara parsial. Reformasi adalah pergulatan kekuasaan yang penuh dengan
pertarungan antara aktor-aktor yang mendukung versus aktor-aktor yang menolak
reformasi. Pemimpin yang reformis dan visioner harus menggalang para
pendukung reformasi untuk mengalahkan para penentang reformasi, serta
menggunakan kekuasaannya untuk menelorkan kebijakan baru dengan berani dan
nekat (audacious reform). Namun jika kemenangan reformasi yang dihasilkan oleh
pemimpin visioner, legitimate, berani dan nekat itu digunakannya sebagai alat
untuk mendominasi kekuasaan, maka kejayaan reformasi hanya berlangsung
sementara dan bakal berujung pada kegagalan. Bagaimanapun dominasi
kekuasaan selalu melemahkan kontrol publik dan menghadirkan korupsi.
Di sisi lain Jembrana juga tidak cukup dilihat dengan cara pandang
kekuasaan elite. Berbagai studi yang terpusat pada kekuasaan elite pada umumnya
menampilkan kabar-kabar buruk, seraya tidak percaya terhadap teori arus utama
(desentralisasi menumbuhkan demokrasi lokal). Para penganut studi elite yakin
bahwa desentralisasi merupakan bentuk lokalisasi kekuasaan yang menyediakan
ruang bagi elite lokal untuk membangun kekuasaan secara tidak demokratis
(otokratis atau oligarkhis).
Konsep elite capture selalu dipakai oleh studi elite untuk menunjukkan
serangkaian ancaman serius bagi desentralisasi (Remy Prud’homme, 1995, P.
Bardhan dan D. Mookherjee, 2000; Jean-Paul Faguet, 2004).
Menurut cara
pandang ini, tujuan-tujuan desentralisasi dipastikan terancam gagal ketika
diserobot oleh barisan elite yang kuat, sebab tindakan itu memotong jalur delivery
7
kebijakan redistributif dan menutup akses ekonomi-politik masyarakat terutama
kaum miskin dan kelompok-kelompok marginal.
Serupa dengan konsep elite capture, elite predator merupakan konsep
kunci yang dikemukakan Vedi Hadiz (2010). Menurut Hadiz, kemunculan politik
lokal di Indonesia merupakan instrumen atau menjadi bagian dari kemunculan
dan konsolidasi atas jaringan-jaringan patronase predatori yang terdesentralisasi
ke daerah setelah keruntuhan Soeharto. Elite lokal bercorak predator itu memiliki
kepentingan, institusi dan kendaraan untuk meraih atau mengamankan posisinya
dalam tatakelola pemerintahan baru yang desentralistis-demokratis. Lokalisasi
kekuasaan melalui desentralisasi meneguhkan praktik-praktik korupsi oleh elite
predator, sekaligus memfasilitasi elite lokal belajar mendominasi demokrasi lokal
melalui penggunaan politik uang dan berbagai instrumen untuk intimidasi dan
mobilisasi politik.
Dengan cara pandang kekuasaan elite itu, baik HS Nordholt (2007) dan Vedi
Hadiz (2010), yang menolak narasi reformasi Jembrana, sekaligus mengatakan
bahwa Bupati IGW bukan sebagai teknokrat unggul melainkan orang kuat lokal
baru yang memenangkan kekuasaan dengan cara membagi-bagi uang kepada para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Karya-karya di atas memang sangat provokatif dan meyakinkan. Secara
empirik kabar-kabar buruk (oligarki, defisit politik, lokalisme, korupsi, konflik dan
sebagainya) ditemukan secara menyolok di sebagian besar daerah di Indonesia.
Tetapi karya-karya itu mengandung beberapa kelemahan. Pertama, konsepkonsep kunci (boss lokal, raja kecil, orang kuat, mafia lokal, negara bayangan, elite
predator, dan sejenisnya) telah menjadi jargon parsimoni yang simpel dan telah
mengalami inflasi dan involusi. Seperti halnya kacamata kuda, studi-studi elite itu
akan menggunakan konsep kunci itu untuk menghakimi setiap daerah, tanpa
melihat konteks lokal yang unik dan beragam. Para pengikut studi elite selalu setia
pada jargon-jargonnya setiap kali mendatangi dan meneliti daerah-daerah yang
berbeda. Dengan kalimat lain, mereka dengan mudah menjatuhkan predikat
8
“orang kuat” (atau jargon-jargon lain) kepada penguasa daerah yang mereka kaji.
Kalau mereka sudah mengatakan “orang kuat” di setiap daerah, lalu what next?
Kedua, tanpa mengembangkan inovasi cara pandang dan analisis yang
mendalam, studi-studi elite selalu menunjukkan cara-cara lama yang digunakan
elite lokal dalam membangun dan mengawetkan kekuasaan. Cara-cara lama itu
seperti penggunaan jaringan patronase, politik parokhial, politik uang, kekerasan
dan lain-lain. Narasi seperti ini, bagi penulis, tidak terlalu relevan untuk
memahami kisah Jembrana, meskipun IGW juga menggunakan cara-cara lama
dalam membangun kekuasaan. Tetapi studi elite studi elite tidak memperhatikan
bahwa IGW juga menggunakan kecerdasan dan reformasi untuk membangun dan
mengawetkan kekuasaan. Melalui reformasi, Bupati IGW mampu secara efektif
mendongkrak kepercayaan dan dukungan mayoritas rakyat Jembrana, sekaligus
melemahkan lawan-lawan politiknya. Karena itu studi elite yang terpusat pada
pergulatan kekuasaan tidak mampu menangkap dan menjelaskan drama reformasi
Jembrana secara utuh dan kontekstual.
Bagi penulis, kabar baik Jembrana yang dikaji oleh studi reformasi dan
kabar buruk yang dipotret oleh studi elite tidak cukup memadai. Pertarungan
antara reformasi dan kekuasaan maupun antara kabar baik dan kabar buruk di
Jembrana sungguh menghadirkan conundrum (teka-teki yang pelik dan rumit)
yang menarik dan menantang, yang sekaligus menjadi titik pijak studi ini. Untuk
memperoleh pengetahuan yang utuh tentang kejayaan dan keruntuhan kekuasaan
dan reformasi di Jembrana tentu dibutuhkan kajian yang induktif dan kontekstual.
Dengan cara yang induktif dan kontekstual, studi ini handak memecahkan
conundrum Jembrana, dengan mengangkat tema utama “politik di balik reformasi”
(the politics behind the reform), yakni politik di balik kejayaan dan keruntuhan
reformasi maupun kekuasaan Bupati IGW. Politik di balik reformasi mengandung
makna bahwa di balik reformasi ada kekuasaan dan dibalik kekuasaan ada
reformasi, yang hadir dalam bentuk pergulatan Bupati IGW dalam membangun
9
kekuasaan dan melancarkan reformasi, yang mengalami kejayaan ganda tetapi
berakhir dengan keruntuhan.
B. Pertanyaan Penelitian
Studi ini berangkat dari sebuah pertanyaan besar: bagaimana kekuasaan
bekerja di balik reformasi?
Bagaimana pergulatan kekuasaan dalam proses
reformasi? Bagaimana cerita sukses reformasi diraih dengan pergulatan
kekuasaan? Bagaimana kontestasi reformasi bekerja di balik pergulatan
kekuasaan? Bagaimana reformasi digunakan sebagai instrumen konsolidasi dan
dominasi kekuasaan? Untuk menjawab pertanyaan besar itu, studi ini hendak
melakukan pelacakan pada tiga sisi secara kontekstual di Jembrana.
Pertama, pelacakan dari sisi aktor. Bagaimana Bupati IGW membangun
kekuasaan dengan reformasi? Bagaimana Bupati IGW menggunakan kekuasaan
untuk melancarkan reformasi? Bagaimana perjalanan IGW dalam meraih kejayaan
sampai dengan menuai keruntuhan di ujung kekuasaannya? Siapa kekuatan yang
mendukung dan melawan IGW?
Kedua, pelacakan dari sisi pertarungan politik. Bagaimana IGW
menggalang pendukung dan mengalahkan penentangnya untuk meraih kejayaan?
Bagaimana pertarungan dalam perjuangan reformasi dan kekuasaan? Bagaimana
pertarungan antara kekuasaan dan reformasi? Bagaimana pergulatan kekuasaan
membuahkan reformasi, bagaimana reformasi menghasilkan kekuasaan, dan
bagaimana kekuasaan meruntuhkan reformasi? Bagaimana para penentang
melawan reformasi dan kekuasaan yang berujung pada keruntuhan Bupati IGW?
Ketiga, pelacakan dari sisi konteks. Mengapa kekuasaan IGW dan reformasi
sempat membuahkan kejayaan pada tahun-tahun awal? Mengapa kejayaan IGW
yang dibangun dengan konsolidasi kekuasaan dan reformasi akhirnya mengalami
keruntuhan? Mengapa reformasi mengalami keruntuhan bersamaan dengan
keruntuhan sang bupati? Apa konteks dan bagaimana konteks itu membentuk
pertarungan politik serta kejayaan dan keruntuhan Bupati IGW?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Studi ini bertujuan mengkaji ulang teori reformasi dan teori kekuasaan
elite, sekaligus membangun teori alternatif tentang “kekuasaan dalam reformasi”,
baik kekuasaan sebagai alat reformasi dan reformasi sebagai alat kekuasaan.
Untuk mencapai tujuan besar-makro ini, penulis melakukan eksplorasi,
pemahaman dan penjelasan terhadap kesuksesan dan krisis reformasi di
Jembrana, yang berjalan bersama dengan kejayaan dan keruntuhan Bupati IGW.
Berbasis pada tujuan itu, studi ini berharap memberikan sejumlah manfaat
akademik dan praksis. Secara akademik studi ini tidak hanya memperkaya analisis
politik kontekstual, tetapi juga menyajikan cara pandang dan model baru yang
lebih kritis dalam melihat reformasi dan kekuasaan. Penulis berharap bahwa hasil
studi ini bermanfaat sebagai referensi bagi sarjana ilmu politik dan administrasi
publik agar tidak mudah latah bertutur tentang cerita sukses reformasi, atau
terjebak pada citra reformis pada sang pemimpin, sekaligus juga tidak gampang
latah menuding orang kuat atau elite predator. Kisah cerita sukses reformasi
maupun pemimpin reformis pada satu kutub dan kisah orang kuat pada kutub lain
memang merupakan fenomena politik nyata. Tetapi analisis politik menjadi
dangkal kalau penilaian dilakukan secara cepat dan latah. Studi ini menyajikan
pelajaran dan cara pandang baru dengan memperhatikan konteks dan dinamika
pergulatan kekuasaan dalam reformasi, sehingga bisa melihat dengan baik
mengapa sukses reformasi bisa dibangun, tetapi mengapa berakhir dengan
kegagalan; serta mengapa dan bagaimana orang kuat lahir karena reformasi dan
mengapa orang kuat bisa runtuh.
Secara praksis studi ini tidak secara eksplisit memberikan rekomendasi
untuk para praktisi profesional. Tetapi studi ini berguna mengingatkan agar
mereka tidak terpesona pada pemimpin yang berwatak malaikat, tidak
berpandangan bahwa politik (kekuasaan) merupakan penghambat reformasi,
serta agar mereka tidak mudah terjebak pada mantra “cerita sukses” dan “praktik
baik” yang bersifat sementara dan semu. Bagaimanapun baik praktisi maupun para
11
pembelajar sering mudah kecewa ketika cerita sukses dan praktik baik itu
mengalami erosi menjadi cerita gagal dan praktik buruk. Karena itu, meskipun
tidak eksplisit, hasil studi ini menyajikan manfaat bagi para praktisi, khususnya
tentang model reformasi yang utuh, kokoh dan berkelanjutan.
D. Pencarian Kerangka Konseptual
Untuk menjawab rangkaian pertanyaan penelitian, penulis berupaya
melakukan pencarian dan permusan kerangka konseptual yang memadai dan
relevan. Penulis hendak menempuh peta jalan (road map) sebagai berikut.
Pertama, menelusuri dan mengkaji ulang terhadap beragam studi sebelumnya
yang relevan dengan pertanyaan penelitian dan relevan dengan tema “kekuasaan
dalam reformasi”. Seperti akan penulis tunjukkan kemudian, sejumlah studi yang
tersedia tidak cukup memadai untuk memahami dan menjelaskan “kekuasaan
dalam reformasi”, khususnya dalam konteks Jembrana.
Kedua, penulis meminjam teori contentious politics dan teori strukturasi
(agensi-struktur) untuk memahami dan menjelaskan kekuasaan dalam reformasi.
Teori contentious politics antara lain mengedepankan konsep “mekanisme” – yang
berbeda dengan institusi dalam dunia politik konvensional – sebagai bingkai
interaksi berbagai elemen dalam contentious politics: aksi kolektif, politik dan
pertarungan. Namun teori contentious politics tidak sepenuhnya relevan untuk
konteks reformasi Jembrana. Penulis meminjam juga teori agen-struktur untuk
memodifikasi elemen dan mekanisme contentious politics, sehingga menghasilkan
sebuah bangunan mekanisme contentious reform yang dibentuk oleh tiga elemen:
agensi politik (political agency), konteks politik (political context) dan pertarungan
politik (political contention). Karena itu, di satu sisi kedua teori ini merupakan
perspektif alternatif atas sejumlah studi yang kurang relevan untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Di sisi lain modifikasi kedua teori itu yang penulis gunakan
sebagai pengantar dan kerangka untuk membangun teori contentious reform.
12
D.1. Tinjauan Pustaka
Melalui tinjauan pustaka, penulis hendak melacak sejumlah literatur atau
studi sebelumnya, yang relevan dengan apa dan bagaimana kekuasaan dalam
reformasi. Pada bagian pertama penulis menelusuri posisi argumen beragam studi
yang kemudian menjadi referensi bagi penulis untuk menunjukkan bahwa
“kekuasaan dalam reformasi” mengandung dua frasa yang berkaitan, yakni
“kekuasaan untuk reformasi” dan “reformasi untuk kekuasaan”. Pada bagian kedua
penulis menelusuri dan menyampaikan kritik terhadap beragam literatur tentang
bagaimana “kekuasaan dalam reformasi” bekerja. Dari kritik, penulis bisa
membangun argumen teoretik alternatif.
D.1.1. Makna “Kekuasaan Dalam Reformasi”
Sebagai titik pijak, studi ini berargumen bahwa reformasi (pemerintahan,
birokrasi, administrasi) bukan perkara administratif-manajerial yang apolitik
sebagaimana dikonstruksi oleh para sarjana administrasi publik. Reformasi adalah
politik, reformasi adalah pergulatan kekuasaan.
Kecuali studi administrasi publik lama tentang reformasi, sebenarnya telah
hadir banyak studi yang memperhatikan dimensi kekuasaan (politik) dalam
reformasi. Namun sebagian studi mengedepankan konstruksi teoretis tentang
“kekuasaan untuk reformasi”, yang menempatkan kekuasaan sebagai variabel
bebas atas reformasi, insentif politik dalam reformasi, maupun kotestasi politik
dalam proses reformasi. Penulis sempat tertarik pada tema Journal of Communist
Studies and Transition Politics (Volume 24 Nomor 1 2008) yang mengusung tema
Putting Administrative Reform in a Broader Context of Power. Dengan membaca
jurnal itu penulis berharap memperoleh perspektif dan pengetahuan yang
memadai tentang “reformasi untuk kekuasaan”, selain tema “kekuasaan untuk
reformasi”. Tetapi sejumlah artikel dalam jurnal ini tidak mengelaborasi kaitan
timbal balik antara kekuasaan dan reformasi. Bahkan artikel Valeri Ledyaev,
“Domination, Power and Authority in Russia: Basic Characteristics and Forms”
13
lebih banyak berbicara struktur dominasi kekuasaan yang membatasi reformasi.
Sedangkan artikel Karine Clément, “New Social Movements in Russia: A Challenge to
the Dominant Model of Power Relationships?”,
menunjukkan masyarakat sipil
sebagai aktor baru yang menantang kekuasaan dan mendorong reformasi.
Masyarakat sipil mulai tumbuh, tetapi mereka menghadapi kesulitan untuk
memperluas gerakan mereka dan mengafirmasi nilai, identitas dan klaim mereka
di hadapan negara. Karena itu reformasi administrasi di Russia hanya melalui
rekayasa teknokratis yang bekerja dalam konteks office politics negara dan
birokrasi.
Pada titik yang lain studi tentang kekuasaan elite cenderung abai terhadap
dimensi reformasi. Studi tentang elite memusatkan perhatian pada asal-usul elite,
cara elite merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, pembentukan elite
predator atau orang kuat, serta pembajakan demokrasi yang dilakukan oleh orang
kuat itu. Mereka lebih banyak menunjukkan cara elite dengan koersi, manipulasi,
bujuk rayu, kooptasi dan suap untuk membangun dan mengawetkan kekuasaan,
atau membangun dinasti politik yang berkelanjutan. Hampir tidak ada studi
tentang elite yang menunjukkan kehadiran orang kuat melalui jalan reformasi atau
mengangkat tema “reformasi untuk kekuasaan”.
Teori elite tentu memberikan pelajaran tentang bagaimana elite
membangun kekuasaan dan bagaimana terjadi dominasi segelintir elite (oligarkhi)
terhadap mayoritas. Cara pandang seperti ini mengajarkan kepada penulis untuk
membaca secara kritis terhadap demokrasi secara umum dan bahkan reformasi
yang terjadi di Jembrana. Dengan kalimat lain, teori elite mengingatkan kepada
setiap orang untuk tidak terlalu dini (prematur) memberi predikat “cerita sukses”
pada reformasi Jembrana. Tetapi kalau cara pandang teori elite klasik dipakai
terus-menerus (misalnya menghakimi elite capture, oligarkhi atau elite preadator
sebagaimana dilakukan oleh studi elite), maka akan menghasilkan involusi yang
tidak inovatif. Dinamika dan konteks lokal yang beragam tentu akan menghasilkan
cara pandang yang lebih inovatif, misalnya reformasi di Jembrana tidak mungkin
14
bisa diabaikan begitu saja, setidaknya reformasi menjadi cara baru penguasa lokal
seperti IGW untuk membangun kekuasaan.
Melampaui teori elite itu, penulis menemukan sedikit literatur yang melihat
reformasi dari sisi kekuasaan, yang berguna untuk memahami tema “reformasi
untuk kekuasaan”. Tema “reformasi untuk kekuasaan” menempatkan reformsi
sebagai variabel dependen yang berpengaruh terhadap kekuasaan, yakni
reformasi bukan sekadar alat untuk memperkuat legitimasi, bukan juga sebagai
alat untuk merombak struktur kekuasaan yang nondemokratis, melainkan
reformasi sebagai alat untuk memperkuat dan mengawetkan dominasi kekuasaan.
Studi Willem Van Vuuren (1985) tentang reformasi nasional di Afrika pada
dekade 1980-an, misalnya, memberikan pelajaran penting tentang cara pandang
reformasi sebagai alat kekuasaan. Vuuren berpendapat bahwa reformasi nasional
di Afrika Selatan sebelum demokratisasi bukan sekadar merupakan manifestasi
dari perubahan konstitusional dan refleksi dari pergeseran ideologi, tetapi
reformasi dilakukan oleh elite untuk merawat dominasi kekuasaan.
D. Acemoglu dan J. Robinson (2008) mempunyai pendapat serupa. Dengan
mendasarkan diri pada teori elite klasik Gaetano Mosca, Acemoglu dan Robinson
berpendapat bahwa perubahan institusi politik melalui reformasi menciptakan
distribusi kekuasaan secara de jure tetapi juga menciptakan insentif bagi investasi
kekuasaan secara de facto, yang secara parsial atau penuh, mampu melemahkan
struktur kekuasaan de jure. Model ini, menurut mereka, sebagai bentuk
pemeliharaan oligarkhi elite dan penyerobotan demokrasi.
B. Arts dan JV Tatenhove (2004) memberikan argumen tentang relasi
timbal balik antara kekuasaan dan reformasi (perubahan) secara menarik. Di satu
sisi agen politik menggunakan tiga lapis kekuasaan (relasional, disposisional dan
struktural) untuk menghasilkan reformasi (inovasi kebijakan, susunan kebijakan
dan modernisasi politik). Agen memanfaatkan kapasitas kekuasaan (power
capacity atau power to) dan perjuangan politik (kekuasaan transitif) untuk meraih
perubahan kebijakan dengan cara melawan kehendak aktor-aktor lain yang
15
berposisi penentang dalam pertarungan zero sum game. Sebaliknya, tiga dimensi
reformasi (inovasi kebijakan, susunan kebijakan dan modernisasi politik) juga
menjadi jalan baru bagi pembentuk tatanan (order) dominasi dan legitimasi
struktur kekuasaan. Pola ini membentuk susunan korporatis yang stabil, dimana
negara menjamin perwakilan kepentingan masyarakat dan kelompok-kelompok
kepentingan dalam proses politik dan kebijakan, seraya memberikan informasi,
pengaruh, dan status; sementara masyarakat maupun kelompok-kelompok
kepentingan memperoleh akses serta memberikan dukungan, kerjasama, disiplin
dan legitimasi.
Secara empirik arus reformasi di China memberikan gambaran konkret
tentang pertautan antara reformasi dan dominasi. Banyak studi telah
memperlihatkan dinamika, cerita sukses dan dilema reformasi China (Joseph
Fewsmith, 1994; Cheng Li, 1997; Wang Gungwu dan Zheng Yongnian, 2001; Zheng
Yongnian, 2004). Reformasi telah mengubah ekonomi sosialis menuju ekonomi
kapitalis yang membuat China menjadi raksasa ekonomi baru, dengan percepatan
dan pertumbuhan ekonomi yang fantastis. Secara sosial reformasi, yang sangat
dipengaruhi oleh tradisi konfunianis, semakin memperkuat kohesi sosial dan
identitas kolektif China di tengah pentas global. Namun secara politik reformasi
tidak menciptakan distribusi kekusaan secara demokratis-pluralis melainkan
meneguhkan dominasi kekuasaan secara otokratis-korporatis, yakni dominasi
pemerintah pusat atas daerah, dominasi negara terhadap masyarakat, maupun
dominasi partai politik terhadap birokrasi.
Rangkaian argumen di atas memberikan keyakinan pada penulis untuk
memaknai frasa “kekuasaan dalam reformasi”, yang mengandung dimensi
“kekuasaan untuk reformasi” dan “reformasi untuk kekuasaan”. Tema “kekuasaan
untuk reformasi” tentu sudah lazim, sejalan dengan argumen bahwa reformasi
adalah pergulatan kekuasaan. Sejumlah argumen dalam tema “reformasi untuk
kekuasaan” sungguh menarik dan menghilhami penulis, sebab tema itu sangat
relevan dengan konteks Jembrana. Bupati IGW, selain menggunakan kekuasaan
16
untuk melancarkan reformasi, juga menggunakan reformasi untuk kekuasaan.
Namun studi ini bukan meletakkan “kekuasaan dalam reformasi” dalam kerangka
kekuasaan, melainkan dalam kerangka reformasi.
D.1.2. Studi tentang Kekuasaan Dalam Reformasi
Studi tentang kekuasaan dalam reformasi sudah banyak bertebaran,
meskipun studi yang mengambil tema “reformasi untuk kekuasaan” masih sedikit.
Melalui tabel 1.1 penulis memetakan sejumlah perspektif dan studi yang telah
mengkaji reformasi. Penulis akan menguraikannya sekaligus menyampaikan kritik
terhadap semua perspektif, kecuali perspektif teori elite dan studi reformasi untuk
kekuasaan, sebab keduanya sudah penulis tampilkan sebelumnya. Namun izinkan
penulis melakukan pengelompokan semua perspektif menjadi tiga kluster
berdasarkan aktor penggerak reformasi: reformasi yang digerakkan oleh lembaga
donor (donor driven reform) yang mengusung persepktif global governance;
reformasi yang digerakkan oleh masyarakat (society driven reform) yang
mencakup perspektif gerakan sosial, asosiasionalisme demokrasi lokal, maupun
politik representasi merebut negera; serta reformasi yang digerakkan oleh
pemimpin atau elite (elite driven reform).
Tabel 1.1
Peta studi kekuasaan dalam reformasi
Perspektif
Global
governance &
neoliberal
Argumen/orientasi
 Politik menghambat
reformasi, sehingga
perlu intervensi
apolitik dari
eksternal.
 Menciptakan
pelayanan publik
yang akuntabelresponsif,
demokrasi liberal,
ekonomi pasar dan
kapitalisme global
Aktor dan proses
 Lembaga internasional
pemberi utang dan
bantuan melakukan
intervensi reformasi
pemerintahan dan
pembangunan ke Dunia
Ketiga, dengan membawa
new public management
dan good governance.
 Konsensus global,
kerjasama donor dengan
pemerintah, konsultan ahli
dan NGOs, melakukan
diseminasi dan publikasi
17
Studi
J. Tendler (1997), R.
Bennett (1990), S.
Burki (1999), T.
Campbell (2003),
World Bank (1997,
2005a, 2005b, 2007,
2008), Stone & Wright
(2007), Cheung,
(2005), Schoburgh,
(2007), Pollitt (2001),
Mosse (2005), Batley
(2004), Crook dan
Sverisson (2002),
Manor (2004); Goetz
Gerakan sosial
Melawan negara,
meruntuhkan
otoritarianisme,
demokrasi dan HAM,
melawan korupsi,
perjuangan keadilan
gender, reformasi
agraria
Politik
representasi dan
merebut negara
Negara dikuasi oleh
oligarkhi elite,
sementara gerakan
sosial sangat lambat,
sehingga negara dan
kekuasaan harus
direbut oleh aktor
masyarakat.
Asosiasionalisme
demokrasi lokal
Memupuk modal
sosial, memperkuat
masyarakat sipil,
partisipasi warga,
memperdalam
demokrasi lokal, dan
membuat pemerintah
lokal semakin
akuntabel
Institusionalisme
aktor rasional
(elite led reform)
Kalkulasi manfaat
lebih besar daripada
ongkos, atau karena
insentif politik,
pemimpin melakukan
reformasi
Institusionalisme
sosiologishistoris
(institutionalized
reform)
Reformasi sarat
dengan kontestasi dan
pertarungan politik
antaraktor, sehingga
perlu konsensus dan
pelembagaan, agar
ide-wacana, rekayasa
kebijakan dan
kelembagaan, capacity
bulding, aksi kolektif,
pemberdayaan.
Aktor-aktor nonnegara
menggelar gerakan sosial
berbasis massa untuk
melawan negara, protes
terhadap kebijakan yang
bermasalah dan
diskriminatif, dan
memperjuangkan kebijakan
baru.
 Menggeser gerakan sosial
ke gerakan politik
 Aktor-aktor pembawa
reformasi menggalang
dukungan, bergabung
dalam partai politik,
berkompetisi dalam
proses elektoral untuk
merebut kekuasaan
 Sekarang di Indonesia
tengah ada trend
baru,bahwa para aktivis
merebut posisi kepala
daerah maupun parlemen,
Warga membangun
organisasi masyarakat sipil,
membangun kerjasama dan
jaringan, mengisi ruang
publik, dan civic engagement
dalam pemerintahan lokal,
untuk memperjuangkan
kepentingan warga dan
menantangkan
akuntabilitas-responsivitas
pemerintah lokal.
Pemimpin secara visioner,
berani dan nekat melakukan
perubahan terhadap
kebijakan, organisasi,
personel, penganggaran,
pelayanan publik yang pro
rakyat
 Reformasi bisa muncul
dari bawah (masyarakat),
dari samping (politisi) dan
bisa dari atas (pemimpin).
 Reformasi menjadi
menjadi arena kontestasi
18
& Jenkins (2004)
Clément (2008),
Tarrow (1994, 1998,
2011)
Hampir tidak ada
studi tentan tema ini.
DEMOS Indonesia
(2007) hanya
merekomendasikan
para aktivis
prodemokrasi masuk
ke ranah politik
merebut kekuasaan.
Mietzner (2013) telah
meneliti tindakan dan
pengaruh politisiaktivis di DPR.
Putnam (1993), Abers
(2001), Heller (2001),
Gaventa (2001, 2006),
Avritzer (2002), Fung
dan Wright (2003),
Alagappa (2004),
Diamond (2003),
Cornwall dan Coelho
(2007), Baiocchi et. al
(2008), Takhesi
(2006)
Schneider dan Teske
(1995), Grindle
(2000), Pollitt and
Boukaert (2004),
Heyse et. al. (2006),
Luebke (2009).
Grindle (2004, 2007),
Blom-Hansen et. al
(2012), Berg & Rao,
(2005), Manor
(2007), Robinson
(2007); Wollmann
reformasi berjalan
secara smart, kokoh
dan berkelanjutan
Teori kekuasaan
elite
Elite yang kuat,
dominan, otokratis
Reformasi untuk
kekuasaan
Elite reformis
dominan
beragam aktor, sehingga
ditempuh dengan
deliberasi dan konsensus
kolektif.
 Elite melakukan bujuk
rayu, suap, koersi dan
manipulasi untuk meraih
dan mengawetkan
kekuasaan.
 Elite melakukan
perampasan terhadap
sumberdaya.
 Elite pradator
memanfaatkan dan
membajak demokrasi.
Elite menggalang dukungan
kekuasaan dan reformasi,
menggunakan reformasi
untuk melemahkan lawanlawan politik, meningkatkan
legitimasi, dan meraih
dominasi kekuasaan.
(2008); Gains,
Greasley, Peter John
dan Stoker (2009)
Nordholt (2007),
Hadiz (2010), Sidel
(2005).
Vuuren (1985),
Acemoglu &
Robinson (2008), B.
Arts dan JV Tatenhove
(2005), Fewsmith
(1994); Cheng Li
(1997); Gungwu dan
Yongnian, (2001);
Yongnian (2009)
Reformasi yang digerakkan dari luar oleh lembaga donor internasional
(donor driven reform). Sejumlah lembaga donor seperti World Bank, UNDP,
USAID, UKAid, dan lain-lain membawa perspektif “global governance” atau
“agenda kebijakan baru” untuk mendesakkan reformasi pemerintahan di seluruh
negara di dunia. Perspektif normatif-preskriptif ini sangat dominan, yang tersedia
di banyak dokumen resmi lembaga-lembaga donor internasional maupun
lietaratur yang bertitel “public sector reform” atau “public management reform”.
Lembaga-lembaga internasional (pemberi utang dan bantuan) merupakan aktor
penting dalam reformasi sektor publik ketika pemerintah (nasional dan lokal) di
negara-negara berkembang tidak memiliki kapasitas pengetahuan dan finansial
yang memadai. Mereka hadir ke banyak negara, dengan membawa bantuan dan
utang, menjalin kerjasama resmi dengan pemerintah untuk melancarkan reformasi
sektor publik. Di dalam negeri seperti Indonesia, lembaga-lembaga internasional
bekerjasama dengan konsultan ahli, para birokrat profesional, maupun NGOs –
19
yang oleh NH Nordholt (2007) disebut sebagai kaum optimis profesional –
menggelar ide, wacana dan praksis reformasi. Ide (substansi) reformasi dibimbing
oleh tradisi neoliberal yang mengutamakan New Public Management (privatisasi,
desentralisasi, contracting out, pemberdayaan, pemerintahan wirausaha, dan
sebagainya) dan good governance (transparansi, akuntabilitas, responsivitas,
kemitraan). Ide dan wacana normatif itu merupakan preskripsi reformasi
(Anthony B. L. Cheung, 2005), yang dijalankan dengan praksis “program
reformasi” (Eris Schoburgh, 2007). Imposisi New Public Management (NPM) dari
luar itu belangsung secara apolitik dengan diskusi, keputusan, tindakan dan hasil
(Pollitt, 2001).
NPM dan good governance sebagai resep (preskripsi) reformasi tentu tidak
relevan untuk alat deskripsi dan ekplanasi terhadap kekuaaan di balik reformasi.
Namun preskripsi itu juga dijalankan secara praksis melalui pelembagaan
reformasi yang digerakkan oleh pemimpin dari atas, partisipasi warga, maupun
kemitraan pemerintah dengan NGOs. Lembaga donor seperti World Bank sangat
optimis bahwa proyek desentralisasi, NPM, good governance, hingga community
driven development menuai keberhasilan karena setidaknya telah diadopsi dan
dijalankan oleh banyak negara.
Paling tidak ada empat faktor yang membuat sukses tekanan internasional
terhadap reformasi. Pertama, krisis menciptakan ketidakpastian, yang membuka
ruang dan menciptakan insentif untuk perubahan; dan semakin banyak bentuk
kritis, ada ruang yang lebih besar untuk belajar. Kedua, hadirnya pemimpin baru.
Bulan madu pemimpin baru dalam transisi umumnya membuka penerimaan
terhadap
pembelajaran
untuk
perubahan.
Ketiga,
transisi
demokrasi.
Pemerintahan yang demokratis jauh lebih terbuka dengan perubahan dan
beragam aktor, dibandingkan dengan pemerintan otokratis. Keempat, kapasitas
negara terbatas dalam merespons beragam masalah dan tantangan, sehingga
negara membuka diri untuk kerjasama, belajar dan berubah (Bermeo, 1992; Hall,
1993; McCoy, 2000; Hochstetler, 2002; Bräutigam dan Segarra, 2008).
20
Tetapi di balik optimisme program reformasi dari lembaga donor itu ada
sederet kritik yang disampaikan oleh banyak sarjana. Pertama, perubahan hanya
semu dan sementara yang gagal menghasilkan perubahan berkelanjutan, sekaligus
tidak ada hubungan dekat antara apa yang negara lakukan dengan apa yang
mereka janjikan ketika mereka menandatangani utang atau bantuan (Killick 1998;
Burnside dan Dollar 2000; Drazen 2002). Kedua, ada kepentingan politik di
negara-negara berkembang yang sering resisten meskipun lembaga-lembaga
internasional bekerjasama dengan NGOs nasional telah melakukan tekanan
perubahan (Nelson, 1995; Fox, 2000; Hunter dan Brown, 2000; Goldman, 2005).
Pemerintah sering mempertanyakan legitimasi NGOs dan menuding NGOs sebagai
“agen asing”. Ketiga, keterlibatan aktor-aktor internasional dalam reformasi
kebijakan cenderung bersifat pemaksaaan (imposition) yang mengurangi kepekaan
politik lokal atas proses reformasi (Eris Schoburgh, 2007), melemahkan
kepemilikan lokal atas reformasi (David Mosse, 2005), dan sekaligus merusak
hubungan akuntabilitas antara warga, pembuat keputusan dan penyedia layanan
publik (Richard Batley, 2004).
Memang NPM dan good governance sebagai resep reformasi sektor publik
tersebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia, baik level nasional maupun
daerah. Mulai dari privatisasi, kemitraan publik dan privat dalam pengadaan
barang dan jasa, penggunaan tenaga alih daya (outsourcing), sampai dengan
pelayanan satu atap (one stop service) merupakan pengaruh perspektif global
governance. Di Jembrana juga terdapat alih daya dan pelayanan satu atap. Tetapi
Bupati IGW sama sekali tidak bekerjasama dengan lembaga internasional, juga
tidak menggelar ide dan wacana demokrasi maupun good governance, dalam
menggelar pertarungan kekuasaan dan reformasi di Jembrana. Karena itu studi ini
mengabaikan
reformasi
yang
digerakkan
oleh
lembaga-lembaga
internasional yang membawa persepktif global governance.
21
donor
Reformasi yang digerakkan masyarakat. K. Weyland (2008) maupun C. von
Luebke (2009) menyebutnya sebagai demand side based reform atau reformasi
yang berasal dari sisi tuntutan/desakan masyarakat dari bawah. Gerakan sosial
merupakan bentuk reformasi yang digerakkan oleh masyarakat dengan cara
radikal. Gerakan sosial juga sering disebut sebagai aksi kolektif. Sydney Tarrow
(1994) misalnya, mendefinisikan aksi kolektif sebagai perlawanan bersama oleh
rakyat (people) dengan upaya bersama dan solidaritas dalam interaksi yang
berlanjut dengan elite, musuh-musuhnya dan pemegang kekuasaan. Aksi kolektif
hadir dalam bentuk asosiasi kepentingan, gerakan protes sosial, pemberontakan,
pembangkangan, pemogokan, kampanye antikorupsi dan lain-lain. Gerakan sosial
membentang luas dari bentuk gerakan buruh, gerakan petani, gerakan HAM,
gerakan persamaan warga negara, gerakan demokrasi antiotokrasi, gerakan
lingkungan, gerakan multikulturalisme, gerakan antikorupsi, dan masih banyak
lagi. Orientasi gerakan sosial dalam reformasi tampak beragam, seperti gerakan
memperjuangkan
kebebasan
sipil,
melawan
dan
meruntuhkan
rezim
otoritarianisme seperti gerakan reformasi 1998, gerakan melawan kebijakan yang
bermasalah, menekan pemerintah dan parlemen agar melakukan reformasi,
maupun gerakan melawan dan memberantas praktik korupsi penguasa.
Jika gerakan sosial secara radikal melawan negara, perspektif masyarakat
sipil dan asosiasionalisme demokrasi lokal hadir lebih moderat, yakni menjalin
kemitraan dengan pemerintah dan keterlibatan masyarakat dalam arena
pemerintahan lokal. Robert Putnam (1993), yang dipengaruhi oleh Alexis
Tocqueville,
merupakan
ilmuwan
terkemuka
yang
meyakini
vitalitas
asosionalisme masyarakat sipil untuk memperdalam demokrasi dan reformasi
pemerintahan lokal. Dengan studi yang panjang di Italia, Putnam membangun
argumen yang bertenaga bahwa desentralisasi menumbuhkan modal sosial dan
tradisi kewargaan di aras lokal. Partisipasi demokratis warga telah membiakkan
komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan
(trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang membentuk apa yang disebut
22
Putnam sebagai komunitas sipil (civic community). Indikator-indikator civic
engagement (seperti solidaritas sosial dan partisipasi massal) yang membentang
luas berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
kehidupan demokrasi. Selama seperempat abad terakhir, desentralisasi di Italia
telah mentransformasikan kultur politik elite yang demokratis. Pembentukan
pemerintahan lokal yang mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom dan kontrol
atas sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe politik yang secara ideologis tidak
terlalu terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis, lebih fleksibel dan suatu
penerimaan mutual yang lebih besar di antara hampir semua partai. Secara
berangsur-angsur warga mulai mengidentifikasi diri dengan pemerintahan lokal dan
bahkan lebih menghargainya ketimbang pemerintahan nasional. Putnam juga
menegaskan bahwa desentralisasi dan demokratisasi lokal mempunyai potensi
besar untuk merangsang pertumbuhan organisasi-organisasi dan jaringan
masyarakat sipil (civil society). Arena kehidupan komunitas dan lokal lebih
menawarkan cakupan terbesar bagi organisasi-organisasi independen untuk
membentuk dan mempengaruhi kebijakan. Pada level lokal, rintangan-rintangan
sosial dan organisasional terhadap aksi kolektif lebih rendah dan sederet masalah
yang menuntut perhatian (dari layanan sosial sampai transportasi dan lingkungan)
berdampak langsung pada kualitas hidup warga. Keterlibatan langsung warga dalam
penyelenggaraan layanan publik pada level lokal menghasilkan suatu peluang
penting untuk memperkuat keterampilan warga secara individual dan akumulasi
modal sosial, seraya membuat pelayanan publik lebih reponsif dan akuntabel.
Perspektif Putnam itu sangat berpengaruh terhadap perspektif dan studi
para sarjana generasi berikutnya. M. Alagappa (2004), menyampaikan sebuah
kesimpulan bahwa organisasi masyarakat sipil berperan penting membuat
perubahan politik yang mengarah pada institusi dan sistem politik yang lebih
terbuka, partisipatoris dan akuntabel. Melimpahnya ruang baru bagi partisipasi
warga menghasilkan reformasi tatapemerintahan (Cornwall dan Coelho, 2007). Di
Brasil, sejumlah studi menunjukkan vitalitas masyarakat sipil menjadi kekuatan
23
pengimbang terhadap dominasi penguasa lokal. Organisasi masyarakat sipil bukan
saja memperkuat suara-suara kritis, tetapi juga melakukan transformasi norma
dan praktik demokrasi lokal (Avritzer 2002, Gianpaolo Baiocchi etl. al. 2008)
Di Indonesia, Ito Takhesi (2006), misalnya, menunjukkan peran vital
organisasi masyarakat sipil dalam reformasi pemerintahan lokal di Kabupaten
Bandung. Ketika kekuasaan tidak hanya terpusat di tangan pemerintah daerah,
tetapi mengalami penyebaran ke berbagai institusi politik, dan hal ini menciptakan
kompetisi politik, pemerintah daerah berupaya meningkatkan akuntabilitas
melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). OMS, yang memiliki
pengetahuan tentang kebijakan publik dan berjaringan dengan pemerintah daerah,
mampu memainkan peran penting dalam transformasi konsep tentang reformasi
pemerintahan
lokal
ke
dalam
model
perencanaan
partisipatoris
dan
pemberdayaan desa secara konkret. Dalam situasi kompetisi politik, keterlibatan
OMS dalam reformasi pemerintahan lokal memfasilitasi komunikasi, mengurangi
ketegangan antaraktor politik, serta menjembatani kesenjangan antara negara dan
masyarakat sipil.
Penulis sangat sadar bahwa kehadiran organisasi masyarakat sipil itu
masih prematur, rentan, dan tidak mungkin membuahkan perubahan secara cepat
karena masih kuatnya struktur politik oligarkhis. Masyarakat sipil tentu bukanlah
malaikat sempurna, yang tidak luput dari masalah-masalah yang serius. Organisasi
masyarakat menampakkan dua sisi yang paradoks, ada yang civil tetapi juga ada
yang uncivil. Di satu ada gerakan sosial yang hendak menuntut perubahan, tetapi
di sisi lain ada kelompok masyarakat yang berburu money politics pada perhelatan
pemilihan umum maupun pilkada. Ada juga organisasi berbasis primordial yang
menebar kekerasan dan konflik horizontal. Tetapi modernisasi maupun
pembangunan yang berjalan selama ini tentu menghasilkan begitu banyak ragam
generasi: ada generasi yang hedonis tetapi juga ada generasi transformatif.
Generasi baru yang transformatif ini adalah kekuatan masyarakat sipil, mereka
adalah kalangan terdidik baik di dunia pendidikan maupun organisasi masyarakat,
24
yang mempunyai integritas moral, kritis, beradab dan berpandangan visioner.
Mereka menaruh perhatian pada isu-isu publik, antikemapanan, antilokalisme,
antikorupsi dan tentu juga kritis terhadap pemerintahan daerah, sehingga mereka
menjadi kekuatan kontrol sosial yang memberi makna terhadap daerah.
Berbeda
dengan
pemilihan
umum
yang
dalam
tempo
singkat
memperlihatkan “hasil siapa memperoleh apa”, pertumbuhan masyarakat sipil
beserta hasil dan manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung saat ini. Ralp
Dahrendorf (1990) pernah menyampaikan petuah berharga: “Sebuah negara bisa
membangun demokrasi politik selama 6 bulan, bisa menciptakan ekonomi pasar
selama 6 tahun, tetapi tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat di Eropa Timur
membutuhkan waktu selama 60 tahun”.
Di balik petuah itu tampak mengandung makna bahwa gerakan sosial,
partisipasi warga, maupun gerakan masyarakat sipil berperan penting terhadap
transformasi politik menuju demokrasi, termasuk membuat pemerintahan lokal
yang lebih responsif dan akuntabel. Kehadiran kekuatan masyarakat bukan
menggerakkan reformasi dalam tempo yang cepat. Studi Grindle (2007) terhadap
30 daerah di Meksiko maupun studi C. Von Luebke (2009) atas 8 kabupaten di
Indonesia, menunjukkan bahwa reformasi pemerintahan lokal datang dari
pemimpin daerah ketimbang dari aktor masyarakat.
Kehadiran kekuatan masyarakat memang tidak serta merta menghasilkan
perubahan kebijakan maupun struktur dan institusi pemerintahan lokal. Tetapi
baik komunitas warga maupun masyarakat sipil tidak bisa dianggap remeh. Studi
penulis bersama YAPPIKA di enam daerah (Bandar Lampung, Pekalongan,
Surakarta, Malang, Kupang dan Sinjai) menemukan vitalitas komunitas warga dan
LSM menantang akuntabilitas pelayanan publik. Pertama, kekuatan masyarakat
menjadi pengimbang dan kontrol publik terhadap pemerintah lokal, termasuk
menjadi watch dog terhadap korupsi. Kedua, mereka menciptakan ruang-ruang
publik dan membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal,
termasuk pengaduan mereka terhadap pelayanan publik. Ketiga, unit pelayanan
25
(seperti Puskesmas, RSUD, Dinas Dukcapil hingga PLN) memberikan respons
positif terhadap tuntutan masyarakat, yang membuat mereka melakukan
perubahan pelayanan, baik dari sisi standar, prosedur, kualitas, biaya dan akses
(Sutoro Eko, 2014).
Karena kekuatan gerakan masyarakat sipil hanya mampu mendorong
transformasi secara gradual dan kurang signifikan mendesakan reformasi, maka
lahirlah
perspektif politik representasi yang merebut negara (reclaiming the
state). Penulis menyebut perspektif ini sebagai aliran ketiga dalam masyarakat
sipil, dan sekaligus aliran keempat dalam politik representasi.
Dari sisi
masyarakat sipil, perspektif “merebut negara” (gerakan sosial) melampaui
“melawan negara” dan “berkawan dengan negara” (partisipasi dan citizen
engagement). Dalam perspektif “merebut negara”, masyarakat tidak lagi
menantang kebijakan atau mempengaruhi kebijakan, melainkan menentukan
kebijakan secara langsung.
Dari sisi representasi, selama ini dikenal ada tiga bentuk. Pertama,
representasi dengan rantai kedaulatan rakyat melalui hubungan antara agen dan
principal. Dalam representasi politik, orang-orang yang diwaliki disebut
konstituen atau principal dan yang mewakili disebut secara populer sebagai wakil
rakyat atau agent. Pembentukan wakil atau agent dilakukan dengan pemilihan
umum (election), dimana konstituen memberikan mandat atau perintah kepada
wakil dan wakil mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan
responsif pada konstituen. Kedua, partisipasi rakyat secara massif dan langsung,
tanpa melalui perantara atau agen. Ketiga, representasi asosiasional melalui NGOs
(Olle Tornquist, 2009).
Perspektif merebut negara menjadi bentuk keempat dalam politik
representasi. Dalam konteks ini merebut negara mempunyai dua makna. Pertama,
partisipasi radikal membangun demokrasi yang kuat (strong democracy) untuk
merebut arena dan sumberdaya negara. Kisah participatory budgeting di Porto
Alegre, misalnya, memberikan contoh terkemuka kemenangan radikalisme
26
masyarakat sipil dan masyarakat politik (partai politik) yang sukses melakukan
reklaim atas negara (Hillary Wainwraight, 2003; dan Bruno Jobert, 2008). Kedua,
representasi organisasi rakyat, organisasi masyarakat sipil, atau aktivis
prodemokrasi dan reformasi merebut jabatan-jabatan publik seperti parlemen
atau kepala daerah.
Dalam tema merebut negara, aktor-aktor masyarakat berubah dari
prinsipal ke agen. Perspektif ini sebenarnya tidak begitu populer, sebab merebut
negara sama saja dengan kombinasi antara partisipasi rakyat dan asosiasionalisme
yang masuk ke ranah rantai kedaulatan rakyat. Dilihat dari rantai kedaulatan
rakyat, setiap orang – entah dari organisasi rakyat, NGOs, pedagang, petani,
nelayan, buruh dan sebagainya – mempunyai hak dan kesempatan yang sama
untuk menjadi agen (wakil rakyat). Tetapi orang biasa merebut negara dengan
menjadi agen bukan representasi yang konvensional. Hal ini menjawab struktur
kepartaian yang oligarkhis-eksklusif, representasi mengambang, elite capture dan
oligarkhi elite yang tidak pro rakyat.
Di
Indonesia,
organisasi
masyarakat
sipil
berhasil
mendesakkan
representasi calon independen dalam sistem pemilihan kepala daerah, dengan
tujuan agar aktor-aktor prorakyat, prodemokrasi dan proreformasi mempunyai
kesempatan merebut negara melalui kontestasi sebagai calon kepala daerah, di
tengah struktur partai yang oligarkhis-eksklusif. Sementara DEMOS dan
Pergerakan,
merupakan
organisasi
masyarakat
sipil
yang
lebih
jauh
mengembangkan perspektif masyarakat merebut negara. Pilihan ini didasari oleh
beberapa hal dan juga dipengaruhi oleh keyword ala Olle Tornquist (2006, 2009)
seperti
demokrat
mengambang,
representasi
mengambang, desentralisasi
oligarkhis, pembajakan demokrasi, representasi popular dan sebagainya. Pertama,
elite telah membajak demokrasi, representasi bersifat mengambang dan suasana
apolitik. Kedua, para aktivis prodemokrasi
tidak mempunyai basis dukungan
kerakyatan yang kuat, serta tidak terlibat dalam pemerintahan dan representasi.
Karena tidak adanya konstituen yang jelas, para aktor prodemokrasi seakan-akan
27
menjadi “demokrat mengambang” di tengah-tengah massa mengambang. Dengan
tetap memegang teguh prinsip nonpartisan, elemen-elemen masyarakat sipil
prodemokrasi cenderung menggunakan cara-cara tradisional dalam memobilisasi
dukungan terhadap kebijakan mereka. Ketiga, pengalaman Lech Wałęsa (tukang
listik, aktivis serikat pekerja) yang berhasil menjadi presiden Polandia (19901995) maupun pengalaman Evo Morales (petani kokain dan aktivis gerakan
sosialis) yang sukses menjadi Presiden Bolivia 2006, selalu menjadi referensi
besar bagi perspektif masyarakat merebut negara.
Karena itu DEMOS merekomendasikan dan secara praksis memfasilitasi
para aktivis prodemokrasi di banyak daerah mengubah haluan dari gerakan sosial
ke gerakan politik, yakni merebut jabatan publik di parlemen dan kepala daerah.
Namun DEMOS tampaknya belum melakukan overview terhadap signifikansi
kehadiran politisi-aktivis tersebut terhadap democratic reform.
Apakah para
politisi-aktivis yang menjadi kepala daerah maupun parlemen berpengaruh secara
signifikan terhadap reformasi dan demokrasi?
DEMOS belum memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Studi Marcus
Mietzner (2013), misalnya, bisa menjadi referensi untuk menjawab signifikansi
perspektif merebut negara. Dia telah melakukan studi tentang representasi aktivis
ke dalam DPR pada pemilu 2009, yang berjumlah 37 orang (setara 7% dari total
560 anggota DPR), lebih besar dari 2% mantan tentara dalam DPR. Dari 37
anggota politisi-aktivis itu, Marcus membagi menjadi 3 kategori. Pertama, politisiaktivis yang berorientasi pada karir, yakni mencari kedudukan dan kekayaan
ekonomi. Dengan kalimat lain, aktivis hijrah menjadi politisi DPR dalam rangka
mencari kerja. Kedua, politisi-aktivis berorientasi politik, yang memupuk
kekuasaan atas dirinya sendiri dan untuk partainya. Kedua kelompok ini
mempunyai kesamaan. Mereka terjebak (kooptasi) dalam pragmatisme dan
patronage politik, termasuk dalam pencarian dana melalui cara yang tidak
transparan dan tidak akuntabel. Ketiga, kelompok politisi-aktivis yang berorientasi
pada perubahan dan demokrasi. Mereka tidak terjebak dalam korupsi dan
28
patronase politik sebagaimana dilakukan oleh kelompok pertama dan kedua,
namun kelompok reformis ini tidak mampu mendorong perubahan besar, kecuali
hanya mendorong sebagian produk legislasi yang mengarah pada reformasi.
Kekuatan ini tidak mampu mendobrak “demokrasi patronase” yang terbangun di
Indonesia pasca-Soeharto.
Reformasi yang digerakkan dari atas oleh elite (pemimpin). Perspektif ini yang
paling dominan dalam studi reformasi atau dalam kerangka “kekuasaan untuk
reformasi”. Sejumlah studi menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa elite atau
kepemimpinan (kekuasaan, kapasitas, strategi, tindakan, dan lain-lain) merupakan
variabel penjelas utama atas cerita sukses reformasi (Merilee Grindle, 2004 dan
2007, Rikke Berg dan Nirmala Rao, 2005, James Manor, 2007, Mark Robinson,
2007; Hellmut Wollmann, 2008; Francesca Gains, Stephen Greasley, Peter John dan
Gerry Stoker, 2009).
Ada dua aliran dalam studi reformasi berbasis elite ini, yakni teori aktor
rasional atau yang biasa disebut teori kalkulus; dan teori pelembagaan reformasi
yang dipengaruhi oleh institusionalisme sosiologis-historis.
Teori kalkulus dalam reformasi antara lain melihat insentif, pembatas atau
hambatan, kesempatan, serta perhitungan atas ongkos, manfaat (hasil) dan risiko.
Teori kalkulus mengatakan bahwa aktor bertindak sesuai dengan nalar
konsekuensi. Pendekatan ini memperhatikan secara langsung terhadap prosedur,
institusi dan struktur yang melingkupi kebijakan, yang mempengaruhi
kesempatan bagi aktor politik untuk mengubah kebijakan. Dalam cara pandang ini,
hambatan perubahan bisa muncul ketika struktur dan institusi membatasi
prakarsa reformasi, dan karena itu kesempatan aktor sangat terbatas dalam
mendorong reformasi. Pemain veto sering disebut sebagai pembatas/penghambat,
yang menolak usulan dari pembawa reformasi (Immergut, 1992; Cortell &
Peterson, 1999; Pollitt & Bouckaert, 2004; Bannink dan Sandra Resodihardjo,
2006). Parlemen, pemerintah nasional maupun partai politik dapat disebut sebagai
29
pemain veto, yang bisa menolak usulan reformasi dari bupati. Partai politik dan
parlemen bisa menghambat atau menolak usulan reformasi karena reformasi
berisiko mengancam kepentingan mereka terhadap anggaran.
Selain ada hambatan, tentu juga ada kesempatan. Krisis merupakan pintu
kesempatan yang sangat besar bagi aktor pembawa reformasi. Krisis dapat
dikonstruksi secara deliberatif oleh aktor yang mempunyai motivasi melakukan
reformasi.
Aktor
reformis
dapat
menggunakan
retorika
krisis
untuk
mendiskreditkan struktur dan kebijakan sekaligus melegitimasi untuk melakukan
gebrakan perubahan yang drastis. Di satu sisi, hambatan reformasi dapat dengan
mudah ditembus dengan legitimasi krisis, dan di sisi lain legitimasi krisis
memudahkan perubahan kebijakan (Grindle & Thomas, 1991; Cortell & Peterson,
1999; Kuipers, 2006; Bannink dan Sandra Resodihardjo, 2006). Dengan kalimat
lain, pemimpin reformasi dapat memanfaatkan krisis sebagai jendela kesempatan
untuk menembus hambatan dan melangkah maju melakukan reformasi.
Proses menembus hambatan, memanfaatkan kesempatan, melakukan
kalkulasi reformasi merupakan jantung perhatian pendekatan institusional atas
reformasi. Semua ini adalah perkara kedua yang bisa dimainkan oleh elite. Perkara
pertama sebenarnya terletak pada insentif dan keberanian. Menurut teori
kalkulus, reformasi memang bisa terjadi kalau ada kepastian perhitungan ongkos
yang besar tetapi menghasilkan manfaat dan hasil yang besar pula, dengan risiko
yang kecil. Kalau aktor takut dengan biaya besar, apalagi risiko besar, maka dia
tidak berani melakukan reformasi. Tetapi insentif dan keberanian mampu
menembus pembatas kalkulus itu.
,
Faktor insentif politik itu menonjol dalam studi Christian von Luebke
(2009). Luebke berangkat dari pertanyaan, mengapa banyak pemerintah daerah
berkinerja baik, sementara yang lain-lainnya tampil buruk? Untuk menjawab
pertanyaan itu, dia melakukan studi secara deduktif-komparatif di delapan
kabupaten di Indonesia (Solok, Pesisir Selatan, Klaten, Kebumen, Karangasem,
Gianyar, Bima dan Lombok Timur). Solok, Kebumen, Gianyar dan Lombok Timur
30
dikategorikan sebagai daerah yang berkinerja baik dan bersih dari korupsi,
sementara Pesisir Selatan, Klaten, Karangasem dan Bima dikategorikan tampil
buruk dan koruptif.
Ia mengambil kesimpulan bahwa tekanan sisi tuntutan
(demand-side pressures) dari pengusaha lokal, asosiasi dan DPRD tidak cukup
signifikan membawa perubahan dibandingkan dengan tekanan sisi penyediaan
(supply-side pressures) dari pemimpin pemerintah lokal. Dalam konteks transisi
menuju desentralisasi demokratis, tekanan masyarakat sangat dibatasi oleh
kelemahan aksi kolektif dan insentif politik yang
busuk (jahat). Sebaliknya,
pemimpin daerah, mempunyai kekuasaan kuat dan insentif baru untuk
melancarkan reformasi kebijakan.
Keberanian, bahkan kenekatan, juga merupakan faktor lain yang
membangkitkan adrenalin pemimpin. Seorang pemimpin yang mempunyai insentif
besar (berprestasi, memperoleh dukungan rakyat, mampu mempertahankan
kekuasaan, atau meraih kekuasaan lebih besar) bisa nekat melakukan reformasi
meskipun harus menggunakan ongkos besar dan manfaat besar, tetapi juga
dengan risiko besar. Studi Grindle (2000), yang menemukan konsep reformasi
nekat (audacious reform) memberikan contoh hal ini.
Studi-studi itu bisa penulis katakan telah membuahkan parsimoni “tidak
ada pemimpin yang kuat, tidak ada reformasi”. Tetapi studi mereka tidak cukup
memahami dinamika reformasi yang sangat kompleks, dan tidak memberikan
eksplanasi bagaimana dinamika pasca reformasi serta mengapa ada reformasi
yang gagal. Pendekatan aktor rasional mampu memahami insentif politik yang
diperoleh oleh aktor, tetapi ia kurang memahami kondisi dan proses bagaimana
kepentingan dan tindakan aktor berjalan (Doug MacAdam, Sidney Tarrow dan
Charles Tilly, 2004).
Pendekatan kalkulus yang kurang memperhatkan proses itu dikembangkan
oleh pendekatan institusionalisasi reformasi. Pendekatan ini tidak hanya melihat
proses dan dinamika reformasi, tetapi juga memperhatikan keberhasilan dan
kegagalan reformasi. J. Manor
(2006), misalnya, mengkaji kesuksesan dan
31
kegagalan reformasi di di dua negara bagian India. Di satu sisi, reformasi bisa gagal
bila: (a) reformasi mempengaruhi kepentingan vital kelompok-kelompok yang
kuat; (b) pemimpin enggan dan ragu-ragu menyentuh sektor-sektor yang akan
direformasi; dan (c) reformasi mengancam kerusakan serius pada partai yang
berkuasa. Di sisi lain, keberhasilan reformasi tergantung pada pemimpin yang
mempunyai komitmen kuat dan mempunyai taktik politik yang canggih untuk
menerobos institusi, sekaligus meraih dukungan yang besar dan mengalahkan
kelompok-kelompok oposisi. Tetapi kepemimpinan yang sukses itu juga
tergantung pada konteks politik: (a) daya tahan, prediktabilitas dan legitimasi
institusional yang dirancang oleh reformasi; (b) perubahan komposisi elite dan
keragaman organisasi masyarakat sipil yang mendukung reformsi; (c) reformasi
tidak merusak stabilitas fiskal; (d) dan mempunyai kapasitas teknis.
Studi Merilee Grindle (2007) tentang reformasi dan kinerja pemerintahan
daerah di 30 daerah di Meksiko menjadi contoh menarik dari sisi pendekatan
institusionalisasi politik. Dia menelusuri mengapa satu daerah mengalami
perubahan dan mempunyai kinerja baik, sementara daerah lain tidak demikian.
Variabel apa yang yang secara komparatif bisa menjelaskan variasi antardaerah
itu? Buku itu dengan metode deduktif komparatif mengajukan hipotesis tentang
beberapa variabel yang berpengaruh terhadap perubahan dan kinerja pemda,
yakni kompetisi politik dalam pemilhan lokal, kewirausahaan pemimpin,
modernisasi birokrasi dan partisipasi masyarakat sipil.
Setelah melakukan studi lapangan, Grindle melakukan verifikasi dan
penyempurnaan atas hipotesis yang dibangun sebelumnya. Ada beberapa argumen
penting Grindle sebagai kesimpulan utama buku itu. Pertama, kompetisi politik
dan kinerja pemerintah lokal mempunyai hubungan yang tidak langsung. Kedua,
kompetisi merupakan kondisi penting yang memfasilitasi kesempatan untuk
melakukan perubahan. Ketiga, kepemimpinan merupakan variabel yang konsisten
terhadap perubahan kinerja pemerintahan lokal. Komitmen, kepribadian yang baik
dan jaringan yang dimiliki pemimpin lokal menjadi kekuatan penggerak
32
perubahan. Keempat, kepemimpinan wirausaha, yang didorong oleh kompetisi
politik yang terbuka, merupakan variabel yang sangat penting dan sangat
berpengaruh terhadap perubahan, karena kelemahan struktur institusional.
Kelima, modernisasi birokrasi, bukanlah variabel yang bediri sendiri, tetapi
dibentuk oleh variabel pertama dan kedua, dan ia digerakkan oleh sang pemimpin.
Keenam, pengembangan kapasitas, sebagai komponen utama dalam modernisasi
birokrasi, merupakan sebuah alat bagi kepemimpinan yang efektif, bukan sebagai
sumber independen bagi perubahan. Ketujuh, kekuatan civil society sama sekali
tidak berhubungan dengan kompetisi politik, kepemimpinan dan modernisasi
birokrasi; bahkan lemahnya civil society di ranah lokal tidak berpengaruh
terhadap perubahan.
Jika studi itu mengutamakan keterkaitan beragam variabel penjelas, studi
Grindle (2004) menyajikan proses institusionalisasi reformasi pendidikan di
Amerika Latin, sebagaimana tersaji dalam bagan 1.1. Bagan itu secara jelas
menunjukkan bahwa reformasi mengandung proses teknokrasi sekaligus
pertarungan politik (contentious politics) beragam aktor. Arena menggambarkan
sebuah road map reformasi yang berhasil dan berkelanjutan, mulai dari agenda
setting, disain, adopsi, implementasi dan keberlanjutan. Peta jalan itu tidak mudah
untuk dijalankan karena terdapat beragam kepentingan dan struktur yang bisa
membatasi atau menghambat prakarsa reformasi. Pilihan dan tindakan (inisiasi,
penyusunan proposal, kontestasi, pengeloaan konflik dan penciptaan aktor baru)
dibutuhkan untuk mengelola beragam aktor dan kepentingan, sekaligus
melakukan political crafting untuk melembagakan reformasi yang berhasil dan
berkelanjutan.
33
Bagan 1.1
Proses dan institusionalisasi reformasi
Arena
Kepentingan
& institusi
institusi
Agenda
Disain
Adopsi
Struktur kepentingan
Peran kebijakan eksekutif
Sistem partai
Keterkaitan internasional
Implementasi
Relasi pemerintah -masyarakat
Relasi kementerian-masyarakat
Relasi partai-masyarakat
Kepentingan birokrasi
Keberlanjutan
Karakteristik pelaksana
Struktur antarpemerintahan
Kepentingan baru
Inisiasi Proyek Reformasi
Motivasi pemimpin
Strategi pemimpin
Pilihan &
tindakan
Susun Proposal
Disain tim, jaringan pembaharu,
strategi pembaharu
Kontestasi Reformasi
Karakteristik kebijakan, keluhan
dan strategi oposisi, strategi
pembaharu
Mengelola konflik
Strategi pemimpin &
Strategi oposisi
Menciptakan aktor
baru
Insentif dan aliansi
Sumber: M. Grindle, Despite the Odds: The Contentious Politics of Education Reform,
Princeton: Princeton University Press, 2004.
******
34
Apa dan bagaimana relevansi reformasi yang digerakkan oleh masyarakat
di atas dengan drama reformasi di Jembrana? Pertama, perspektif politik
representasi masyarakat merebut negara mempunyai relevansi di Jembrana. IGW
adalah orang biasa, bukan elite berkasta tinggi bukan pula warisan Orde Baru;
tetapi trajektori politik IGW dimulai dari gerakan masyarakat sipil (LSM) yang
menantang penguasa. Ia membawa reformasi dan sukses merebut kekuasaan pada
tahun 2000. Kehadiran IGW, sebagai politisi-aktivis, dalam pemerintahan lokal
Jembrana mempunyai signifikansi terhadap reformasi.
Kedua,
gerakan masyarakat menjadi elemen penting dalam trajektori
politik dan drama reformasi Jembrana selama sepuluh tahun. Ketika IGW
berkuasa, gerakan sosial masyarakat memang tidak menjadi penggerak reformasi,
tetapi
mereka
mengkondisikan
pertarungan
politik
yang
memicu
IGW
melancarkan reformasi. Ketika IGW sangat kuat dan dominan pada tahun 2005,
gerakan masyarakat tiarap, karena tidak mempunyai basis legitimasi dan
dukungan dari publik. Ketika mereka tiarap, IGW melakukan korupsi. Ketika IGW
melakukan korupsi, gerakan masyarakat bangkit kembali. Dengan legitimasi dan
dukungan
yang
kuat,
mereka
bergerak
melawan
korupsi
IGW
serta
mendelegitimasi dan meruntuhkan kekuasaannya.
Ketiga, teori kekuasaan elite dan perspektif “reformasi untuk kekuasaan”
memiliki relevansi terhadap trajektori politik dan drama reformasi Jembrana.
Teori kekuasaan elite mempunyai relevansi secara parsial. Sebagai penguasa, IGW
juga melakukan cara-cara tradisional seperti buju rayu, suap, konsesi, transaksi,
koersi dan kooptasi. Namun cara-cara itu tidak semata untuk membangun
kekuasaan, tetapi juga untuk melicinkan reformasi, misalnya IGW merebut APBD
dengan cara transaksi dan konsensi kepada DPR. Reformasi tentu mempunyai
andil yang lebih besar bagi IGW untuk memukul lawan-lawan politiknya,
mendongkrak legitimasi dan dukungan rakyat, dan mendominasi kekuasaan.
Keempat, perspektif “kekuasaan untuk reformasi” yang tercermin dalam
reformasi yang digerakkan oleh elite, sangat dominan dalam bangunan reformasi
35
di Jembrana. Bupati IGW adalah tokoh sentral dalam reformasi Jembrana. Ia juga
menerapkan kalkulasi politik, meskipun berbeda dengan mainstream kalkulasi
teori aktor rasional. Jika teori aktor rasional mengutamakan ongkos besar, manfaat
besar dan risiko kecil, tetapi IGW memilih pertarungan ganda (reformasi dan
kekuasaan) yang membutuhkan ongkos besar, manfaat besar tetapi rentan, serta
berisiko besar. Sementara perspektif pelembagaan reformasi juga relevan untuk
melihat reformasi Jembrana, mulai dari sisi agenda setting, kalkulasi, disain
kebijakan,
kontestasi,
pemenangan
dukungan,
hingga
pelembagaan
dan
implementasi reformasi. Namun demikian, perspektif institusionalisasi reformasi
yang bersifat linear itu tidak menangkap wajah audacious reform yang ditempuh
IGW maupun dimensi “reformasi untuk kekuasaan”.
Perspektif aktor rasional dan institusional juga tidak mampu secara
sempurna menjawab pertanyaan mengapa reformasi Jembrana membuahkan
kesuksesan gemilang tetapi kemudian mengalami kegagalan dan keruntuhan. Jika
menggunakan teori kalkulus aktor rasional, reformasi Jembrana gagal karena
menyimpang dari kalkulasi rasional. Seharusnya dengan kalkulasi ongkos besar,
manfaat besar dan risiko kecil, tetapi kalau menyimpang dengan skema ongkos
besar, manfaat tidak pasti, dan risiko tinggi, maka reformasi akan gagal.
Kalau menggunakan teori elite, meskipun tidak mengenal reformasi, orang
bisa mengatakan bahwa reformasi mengalami kegagalan karena Bupati IGW
melakukan pembajakan terhadap reformasi. Sementara teori aksi kolektif
memandang kegagalan reformasi Jembrana karena Bupati IGW menjadi
“penumpang gelap” atas reformasi yang dia ciptakan sendiri, atau menikmati
keuntungan pribadi di balik reformasi. Namun penjelasan dua perspektif itu
terlalu singkat dan parsimonis, tidak melihat secara dalam bagaimana proses,
konteks dan pertarungan di balik pembajakan atau pencarian keuntungan.
Perspektif institusional melihat kegagalan reformasi lebih kompleks.
Pertama, reformasi tidak didukung oleh legitimasi dan akuntabilitas yang kuat.
Kedua, pemimpin reformasi gagal mengelola beragam kepentingan banyak aktor.
36
Ketiga, pemimpin reformasi bersikap eksklusif yang tidak membuka kesempatan
stakeholder yang lebih luas. Keempat, disain kebijakan yang salah. Kelima,
pemimpin reformasi gagal melakukan institusionalisasi secara sempurna, antara
lain tidak melakukan deliberasi, negosiasi dan crafting dengan baik.
Pada prinsipnya perspektif institusional itu hanya melihat dari sisi
kekuasaan untuk reformasi. Grindle sudah mulai menyebut contentious politics
dalam proses reformasi, tetapi ia tidak melihat dimensi “reformasi untuk
kekuasaan” dan juga pertarungan kekuasaan yang berhimpitan dengan
pertarungan reformasi. Dilihat dari sisi aktor, tentu tidak hanya hadir aktor
pembawa reformasi, pendukung dan penentang atas reformasi, tetapi juga ada
pendukung dan penentang kekuasaan.
D.2. Perspektif Alternatif: Contentious Reform
Paparan di atas telah menunjukkan dialog antara pengalaman Jembrana
dan perspektif teori. Tidak ada teori tunggal yang mampu menjawab kisah
Jembrana. Dari paparan itu pengalaman drama reformasi Jembrana mengandung
gerakan sosial masyarakat, prakarsa reformasi oleh pemimpin, hasrat kekuasaan
elite, insentif dan keberanian elite melakukan reformasi, perebutan kekuasaan,
pelembagaan reformasi, penggunaan kekuasaan untuk melancarkan reformasi,
dan juga penggunaan reformasi untuk membangun kekuasaan. Dengan kalimat
lain, trajektori politik Jembrana selama 10 tahun mengandung “kekuasaan untuk
reformasi” dan juga “reformasi untuk kekuasaan”.
Karena anomalie itu, penulis berupaya meminjam dua teori, yaitu
contentious politics dan teori strukturasi (agensi-struktur), untuk mengantarkan
pemahaman dan penjelasan atas seluruh pertanyaan penelitian. Penulis akan
mengelaborasi kedua teori itu, dan penulis berkepentingan untuk membangun
“teori himpunan” antara kedua teori tersebut agar memiliki relevansi untuk
deskripsi dan ekplanasi terhadap drama reformasi Jembrana.
37
D.2.1. Contentious Politics
Studi ini diilhami oleh teori pertarungan politik (contentious politics), yang
berguna untuk memahami dan menjelaskan contentious reform ala Jembrana. Doug
McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly – atau mereka menyebut sebagai
McTeam-- adalah pencetus teori contentious politics setelah mereka melakukan
evolusi yang panjang bersama teori gerakan sosial. Charles Tilly sebenarnya
perintis awal yang kemudian direkonstruksi dan dikembangkan bersama dua
koleganya, Doug McAdam dan Sidney Tarrow. Ketika masih menekuni perspektif
proses politik dalam gerakan sosial pada tahun 1980-an hingga 1990-an, Charles
Tilly belum memperkenalkan konsep teori contentious politics, kecuali hanya
menggunakan konsep “peristiwa pertarungan” (contentious events) yang dia
munculkan dalam dua karyanya (1986 dan 1995), masing-masing mengungkap
sejarah pertarungan dalam Revolusi Perancis dan pertarungan massal di Inggris
Raya pada masa Revolusi Industri. Karya terkemuka Sydney Tarrow, Power in
Movement (1994, edisi pertama), juga belum memperkenalkan konsep contentious
politics. McTeam mulai merayakan konsep contentious politics pada karya mereka
tahun 1996, disusul karya Sydney Tarrow pada tahun yang sama. Jika karya
Sydney Tarrow (1994) menekankan proses politik dalam gerakan sosial, karya
revisi 1998 memasukkan gerakan sosial ke dalam contentious politics. Charles Tilly
(1999) juga mulai menggunakan konsep contentious politics. Tahun-tahun
berikutnya McTeam maupun Charles Tilly dan Sydney Tarrow secara sendirian
maupun berdua terus memperkaya teori contentious politics (Charles Tilly, 2006,
2008; Charles Tilly dan Sydney Tarrow, 2006; Sydney Tarrow dan Charles Tilly,
2007; Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, 2009; Sydney Tarrow,
2012), sembari mereka menggunakan teori itu untuk menganalisis gerakan sosial,
perang sipil, revolusi, terorisme maupun demokratisasi (Charles Tilly, 2004;
Sydney Tarrow, 2005; Doug McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, 2001).
McTeam (2009) menegaskan bahwa contentious politics merupakan teori
himpunan dari berbagai perspektif gerakan sosial generasi 1970-an hingga 1990-
38
an seperti perspektif pilihan rasional, perspektif proses politik, perspektif
mobilisasi sumberdaya, dan perspektif organisasi gerakan sosial. Karya Sydney
Tarrow satu dekade sebelumnya telah menekankan bahwa gerakan sosial
merupakan alur politik pertarungan yang berbasis pada jaringan sosial dan
kerangka
aksi
kolektif,
dan
yang
mengembangkan
kapasitas
merawat
keberlanjutan menentang musuh-musuh yang kuat (Sydney Tarrow, 1998).
Kemudian McTeam mendefinisikan contentious politics sebagai interaksi kolektif
yang bersifat publik dan episodik di antara pembuat klaim dan obyek-obyek
mereka ketika (a) pemerintah menjadi obyek yang diklaim, atau pihak yang
melakukan klaim (b) klaim jika direalisasikan akan berdampak terhadap
kepentingan paling tidak satu pihak yang diklaim (Doug McAdam, Sidney Tarrow,
dan Charles Tilly 2001; Charles Tilly, 2004). Mereka menyederhanakan definisi itu
menjadi “perjuangan politik kolektif”.
Para sarjana di luar McTeam, sekaligus kritikus teori contentious politics,
umumnya menunjukkan tidak adanya perbedaan antara gerakan sosial dan
contentious politics. Antara gerakan sosial dan contentious politics saling
dipertukarkan (Mark I. Lichbach, 1998; Karen Stanbridge, 2006; David S. Meyer dan
Daisy Verduzco Reyes, 2010). Gerakan sosial merupakan bentuk contentious
politics dan contentious politics mengandung gerakan sosial.
Dalam merespons berbagai kritik, McTeam menegaskan bahwa contentious
politics bukan sekadar gerakan sosial dan bukan sekadar politik yang rutin.
Contentious politics lebih sempit daripada politik dalam pengertian umum. Namun
tidak semua politik mengandung contentious. Upacara, proses birokrasi,
pengumpulan informasi, kegiatan pendidikan, dan lain-lain merupakan bentukbentuk kehidupan politik rutin sehari-hari yang tidak termasuk contentious politics
(Charles Tilly dan Sydney Tarrow, 2007). Selain itu tidak semua gerakan sosial
sebagai contentious politics. Contentious politics lebih besar daripada gerakan
sosial karena di dalamnya mengandung politik. Dalam karya terbarunya, Sydney
39
Tarrow (2012) menegaskan bahwa episode pertarungan politik jauh lebih luas
daripada kampanye gerakan sosial.
Sejak 2007 McTeam, khususnya karya-karya Charles Tilly dan Sydney
Tarrow, semakin memantapkan teori contentious politics. Definisi awal dalam
karya McTeam (2001, 2004) dielaborasi lebih jauh, dengan penekanan bahwa
contentious politics mengandung tiga komponen (pertarungan, aksi kolektif dan
politik) seperti terlihat dalam bagan 1.2. Pertama, komponen pertarungan
(contention), yakni satu pihak (subyek) membuat klaim atas pihak lain (obyek).
Kedua, aksi kolektif merupakan koordinasi upaya atas nama kepentingan dan
tujuan bersama. Ketiga, politik berarti ada proses interaksi dengan pemerintah,
yakni menantang kewenangan, regulasi dan kepentingan pemerintah.
Bagan 1.2
Kerangka contentious politics
Contentious Politics
Pertarungan
Politik
Aksi kolektif
Sumber: Charles Tilly dan Sydney Tarrow, Contentious Politics (Boulder CO:
Paradigm Publisher, 2007), hal. 7.
Jika politik konvensional mengenal institusi, McTeam menggunakan
mekanisme (mechanism) – yang dalam sosiologi klasik disebut sebagai proses
sosial dalam struktur-sistem sosial – untuk membingkai teori contentious politics.
40
Mereka mendefinisikan mekanisme sebagai berikut: rangkaian peristiwa terbatas
yang mengubah hubungan antara sekumpulan elemen spesifik dengan cara yang
mirip atas beragam situasi. Definisi ini sungguh sulit untuk dipahami. J. Mahoney
(2001) pernah mengidentifikasi sejumlah 24 definisi yang berbeda-beda tentang
mekanisme, dan karena itu membingungkan. Ada beberapa definisi lain yang
sederhana dan membantu untuk memahami mekanisme. M. Bunge (1997)
menyebut mekanisme sebagai sebuah proses dalam sistem yang konkret, dimana
sistem adalah hubungan antarlemen yang saling tergantung. R. Mayntz (2004)
mendefinisikan mekanisme sebagai proses pengulangan (recurrent process) yang
menghubungkan antara kondisi awal dan hasil spesifik. J. Elster (1998) menyomot
metafora “jeruji dan roda” untuk memahami mekanisme.
McTeam (Doug McAdam, Sydney Tarrow dan Charles Tilly, 2004 dan 2009;
Charles Tilly, 2004; Sydney Tarrow dan Charles Tilly, 2007; Charles Tilly dan
Sydney Tarrow, 2007; Sydney Tarrow, 2012) lalu mengidentifikasi tiga bentuk
mekanisme
dalam contentious politics. Pertama,
mekanisme lingkungan
(environmental mechanism): pengaruh eksternal atas kondisi yang membentuk
kehidupan sosial. Sebagai contoh, penguatan sumberdaya mempengaruhi
kapasitas orang untuk terlibat dalam pertarungan politik.
Kedua, mekanisme
disposisional yang mencakup perubahan perspepsi, cara pandang, tindakan
individu maupun kolektif. Ketiga, mekanisme relasional mencakup perubahan
hubungan antara orang, kelompok dan jaringan interpersonal. Dalam konteks ini
kehadiran perantara disebut sebagai mekanisme relasional, yang menghubungkan
aktor satu dengan aktor lainnya, serta untuk mobilisasi sumberdayan selama
episode pertarungan politik.
Studi ini berupaya mengadaptasi sebagian komponen dalam teori politik
pertarungan, sekaligus juga memodifikasinya agar relevan untuk memahami dan
menjelaskan drama contentious reform di Jembrana. Ada sejumlah argumen
penting yang penulis sampaikan.
41
Pertama, studi ini tidak mengambil narasi besar teori pertarungan politik
yang berpusat pada gerakan sosial yang masuk dalam ranah pertarungan,
melainkan mengambil narasi kecil teori pertarungan politik. Narasi kecil itu adalah
konsep “peristiwa pertarungan” (contentious events) yang diperkenalkan pertama
kali oleh Charles Tilly pada tahun 1986, atau konsepsi McTeam tentang perjuangan
politik (political struggle).
Sejumlah studi sebenarnya juga telah mengadaptasi teori pertarungan
politik dalam pengertian dan skope narasi kecil itu. M. Hanagan, L. Moch dan W.
Brake (1998) memaknai pertarungan politik secara sederhana sebagai interaksi
timbal balik antara pemerintah sebagai subyek pemegang kekuasaan-kewenangan
dengan masyarakat yang berposisi sebagai obyek kekuasaan-kewenangan. Thomas
Maher dan Lindsey Peterson (2008), tanpa melakukan elaborasi narasi besar teori
contentious, memahami pertarungan politik dalam bentuk interaksi perlawanan
massa dengan represi penguasa. Dan Slater (2010) memahami pertarungan politik
sebagai konflik, yang antara lain hadir dalam bentuk konflik sosial, konflik kelas,
konflik internal, mobilisasi massa dan perang sipil, yang semua itu merupakan
subtipe pertarungan yang berada di bawah payung besar contentious politics. A.
Oberschall (2010) memahami pertarungan politik sebagai klaim politik kolektif
yang berdampak terhadap kepentingan musuh. Tuong Vu (2006), melalui studi
tentang pertarungan politik berbasis massa di Asia Tenggara, melakukan
penyimpangan dari definisi politik pertarungan ala McTeam, seraya menawarakan
definisi politik pertarungan sebagai politik yang tidak terlembaga yang melibatkan
nonelite dan sebuah kontestasi untuk kekuasaan atau kewenangan dalam
masyarakat-negara (polity) tetapi tidak selalu bersifat publik dan kolektif.
Pemahaman tentang contentious politics dari beberapa studi itu sungguh
memberikan ilham studi ini. Namun yang paling berpengaruh terhadap studi ini
adalah studi M. Grindle (2004), yang menggunakan narasi kecil contentious politics
– tanpa mengutip teori contentious politics ala McTeam -- untuk menganalisis
politik reformasi pendidikan di Amerika Latin. Bagi Grindle, reformasi pendidikan
42
bukan sekadar perkara administrasi dan teknokrasi, tetapi mengandung
pertarungan politik antara pencetus (penggerak) reformasi yang memobilisasi
pendukung secara luas melawan aktor-aktor penentangnya.
Kedua, pertarungan politik merupakan peristiwa politik yang tidak biasa,
nonrutin, nonlinear dan nonkonvensional. Upacara, konsultasi, kunjungan kerja,
pemilihan umum, pilkada, musrenbang, dan lain-lain termasuk bentuk-bentuk
politik biasa yang rutin dan konvensional. Sementara reformasi merupakan salah
satu bentuk politik yang tidak biasa, nonrutin, nonkonvensional,
yang sarat
dengan pertarungan. Drama contentious reform di Jembrana menggambarkan
politik nonrutin yang mengandung pertarungan. Namun bukan berarti politik
Jembrana selama satu dekade berwajah contentiuous secara keseluruhan, dan
contentious reform bukan berarti merupakan drama politik Jembrana secara total.
Selain ada drama contentious reform, politik rutin juga tetap berjalan. Aksi kolektif
melawan bupati terkadang hadir dan pergi, tetapi rutinitas tetap berjalan,
termasuk kunjungan kerja dan studi banding dari tempat lain ke Jembrana.
Ketiga, pertarungan politik tidak sepenuhnya hadir dalam bentuk aksi
kolektif komponen nonpemerintah maupun massa dalam bentuk gerakan sosial,
terorisme, perang sipil maupun revolusi menentang dan melawan penguasa. Studi
ini menekankan interaksi timbal balik dan kompleks diantara beragam aktor:
masyarakat, birokrasi, politisi dan bupati. Pertarungan politik dapat hadir dalam
bentuk aksi kolektif masyarakat menantang politisi maupun bupati, bisa juga
dalam bentuk koalisi partai melawan birokrasi dan bupati, atau bisa juga aksi para
birokrat melawan penguasa. Sebaliknya pertarungan bisa muncul dari bupati.
Penulis berpendapat bahwa reformasi yang dilancarkan bupati merupakan pilihan
dan tindakan yang membuka pertarungan politik, yang menantang komponen
birokrasi, politisi dan bahkan masyarakat.
Keempat, pertarungan politik bersifat episodik. Proses pertarungan politik
berjalan dalam rangkaian repertoire (alur dan penggalan) laksana drama yang
mengalir dalam banyak babak (episode) secara dinami, dialektik dan spiral: ada
43
proses pengulangan, kemajuan dan kemunduran, kesuksesan dan kegagalan, serta
banyak kejadian dan kejutan yang tidak terbayangkan. Penulis meminjam term
episodik ini membuat narasi tentang drama reformasi di Jembrana yang terdiri
dari banyak babak, mulai dari babak kesatu (melawan penguasa, merebut
kekuasan), babak kedua (konsolidasi kekuasaan, inisiasi reformasi), babak ketiga
(meraih kejayaan kekuasaan dan reformasi); dan babak keempat (krisis reformasi,
keruntuhan kekuasaan). Dalam setiap babak mengandung pertarungan politik
yang kompleks, dinamis, nonlinear dan bahkan dramatis. Kesuksesan reformasi
dan kejayaan kekuasaan IGW yang menggumpal pada tahun 2003 hingga 2008;
dan akhirnya berbuntut pada keruntuhan reformasi dan kekuasaan pada tahun
2009-2010, sungguh mencerminkan pola pertarungan yang episodik-spiral itu.
Namun pertarungan episodik itu tidak sepenuhnya bersifat publik dan
terbuka. Selain publik, pertarungan politik dapat berbentuk privat. Politik privat
pada dasarnya merupakan interaksi kolektif parapihak yang mengutamakan
kepentingan mereka dengan tidak tergantung pada hukum, tatanan publik atau
negara (David Baron, 2003). Dalam masyarakat Indonesia, biasa terjadi konflik
privat berdampak terhadap konflik publik, dan konflik publik bisa dibawa ke ranah
konflik privat. Studi ini menunjukkan konflik privat yang berkembang menjadi
pertarungan publik. Sebagai contoh adalah ketegangan personal antara Bupati
IGW dengan seorang tokoh bernama IGN Ngurah Hartono, yang berdampak
terhadap aksi perlawanan publik Hartono melawan kekuasaan IGW. Di sisi lain,
pertarungan politik tidak selalu berjalan secara terbuka dalam ruang publik (di
depan layar), tetapi bisa juga berbentuk pertarungan bawah tanah (underground
politics) atau di balik layar.
Kelima, konsep mekanisme sebagai bingkai pertarungan politik juga
memberikan ilham bagi studi ini. Drama reformasi tentu tidak bekerja dalam
mekanisme institusional, namun ia juga tidak sepenuhnya bekerja dalam bingkai
mekanisme dan proses semata. Institusi (kultur, nilai, visi, kebijakan, aturan main,
prosedur,
tatakelola dan lainnya), mekanisme dan proses membentuk dan
44
menjadi bingkai pertarungan politik. Proses menunjuk pada tindakan, peristiwa,
relasi, maupun alur dalam drama contentious reform. Sedangkan mekanisme
menunjuk pada interaksi atau jalinan sejumlah elemen dalam pertarungan.
Hubungan antara proses dan mekanisme ibarat hubungan antara telur dan ayam.
Mekanisme melahirkan proses, dan proses membentuk mekanisme. Secara
konkret interaksi tiga elemen penting (aksi kolektif, pertarungan dan politik)
seperti tergambar dalam bagan 1.2 merupakan bentuk mekanisme, seperti halnya
interaksi jeruji, velg dan roda dan perputaran roda.
Dalam studi ini penulis mengadaptasi tiga elemen contentious politics (aksi
kolektif, pertarungan dan politik) dan tiga mekanisme (lingkungan, disposisional
dan relasional) untuk memahami dan menjelaskan drama reformasi di Jembrana.
Namun adaptasi itu tidak penulis lakukan secara total, sebab teori McTeam
cenderung mengabaikan komponen institusi, dan hanya menekankan pertarungan
satu arah, yakni dari penentang -- atau sebagai “orang asing di pintu gerbang” jika
meminjam istilah Sydney Tarrow (2012) – melawan penguasa.
Mark Lichbach dan Helma De Vries (2007) telah mengingatkan tiga level
pertarungan politik yang perlu diperhatikan oleh pengguna teori contentious
politics: (a) level makro yang berbicara tentang konteks budaya ekonomi politik
yang melingkupi pertarungan politik; (b) level meso yang mencakup struktur
kesempatan politik bagi aksi kolektif; dan (c) level mikro: motif, insentif dan
tindakan yang membawa aktor dalam pertarungan, termasuk sumberdaya,
komitmen dan jaringan mereka.
Teori contentious politics di atas mengantarkan pemahaman bahwa
pertarungan politik bisa terjadi secara bersamaan di ranah reformasi (kekuasaan
untuk reformasi) dan di ranah kekuasaan (reformasi untuk kekuasaan).
Pertarungan di dua ranah ini tidak hanya menghasilkan aktor pembawa reformasi
beserta pendukung dan penentang reformasi, juga menghadirkan pemegang
kekuasaan beserta pendukung dan penentang kekuasaan. Setiap aktor mempunyai
kepentingan, sikap, cara pandang, preferensi dan afiliasi yang berbeda-beda
45
terhadap kekuasaan dan reformasi. Bagan 1.3 memberikan peta tipologis tentang
sikap politik aktor terhadap kekuasaan dan reformasi. Pertama, kelompok
konformis atau kelompok liberal bersikap menerima kekuasaan dan menerima
reformasi. Kedua, kelompok konsevatif bersikap menerima kekuasaan tetapi
menolak (anti) reformasi. Ketiga, kaum radikal bersikap menerima reformasi
tetapi menolak (anti) kekuasaan. Keempat, kelompok reaksioner bersikap menolak
kekuasaan dan menolak reformasi.
Bagan 1.3
Tipologi sikap politik
terhadap kekuasaan dan reformasi
Sikap terhadap kekuasaan
Menerima
Menolak
Menerima
Konformis
Radikal
Menolak
Konservatif
Reaksioner
Sikap
terhadap
reformasi
Sumber: Diadaptasi dan dimodifikasi dari Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan
Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 112.
Teori contentious politics bersifat fleksibel, bisa dimaksukkan dalam
kerangka kekuasaan dan bisa juga ditempatkan dalam kerangka reformasi. Karena
berangkat dari tema reformasi, studi ini memilih kerangka reformasi ketimbang
kerangka kekuasaan. Penulis akan menggabungkan antara teori contentious
politics dengan model reformasi, yang akan menghasilkan contentious reform,
pada uraian di bawah ini.
46
D.2.2. Model Reformasi
Model reformasi merupakan alat deskripsi dan eksplanasi yang berangkat
dari sejumlah pertanyaan. Siapa yang melakukan reformasi? Bagaimana proses
dan hasil reformasi? Apakah perbedaan aktor pendorong dan proses reformasi
mempengaruhi perbedaan hasil reformasi? Bagaimana kekuasaan bermain dalam
reformasi? Bagaimana memahami reformasi yang berhasil sementara, reformasi
yang berhasil dengan gemilang, kokoh dan berkelanjutan, serta reformasi yang
rentan, gagal dan tidak berkelanjutan?
Tabel 1.2
Dinamika pasca reformasi
Investasi Kelompok
SEDERHANA
(Aktor-aktor sosial politik
gagal melakukan investasi
berskala besar; adaptasi
organisasional untuk
melakukan reformasi sangat
minimal)
EKSTENSIF
(Kelompok-kelompok
membuat investasi berskala
besar, sering berbentuk
investasi spesifik yang
tinggi berbasis pada
harapan bersama bahwa
reformasi akan berlanjut)
Identitas dan Afiliasi Kelompok
STABIL
CAIR
(Identitas dan afiliasi
(Kelompok-kelompok baru
kelopok relatif stabil,
muncul, koalisi cepat
banyak pengikut memiliki
berubah, kohesi kelompok
preferensi kebijakan yang
kepentingan lemah)
sama)
Pembalikan Reformasi
Erosi Reformasi
Reformasi kokoh dan
berkelanjutan
Rekonfigurasi, hasil
reformasi ditata ulang
Sumber: Eric M. Patashnik, Reforms at Risk: What Happens After Major Policy
Changes Are Enacted, Princeton: Princeton University Press, 2008.
Eric M. Patashnik (2008) memberikan kontribusi yang berharga dalam
menganalisis dinamika pascareformasi, sebagaimana tersaji dalam tabel 1.2.
Patashnik membuat tipologi dinamika pascareformasi dengan dua variabel
47
penting: identitas dan afiliasi kelompok serta investasi kelompok. Identitas dan
afiliasi kelompok ia bagi menjadi dua: stabil (Identitas dan afiliasi kelopok relatif
stabil, banyak pengikut memiliki preferensi kebijakan yang sama) dan cair
(kelompok-kelompok baru muncul, koalisi cepat berubah, kohesi kelompok
kepentingan lemah).
Empat tipe hasil pasca reformasi itu sangat menarik untuk diadaptasi,
tetapi masih perlu elaborasi lebih lanjut tentang dinamika proses reformasi, relasi
antaraktor dan juga pertarungan politik yang melingkupi reformasi. Untuk itu
dibutuhkan model-model reformasi yang bisa memberikan jawaban lebih
memadai dan melengkapi tipologi karya Eric Patashnik.
Penulis mengadaptasi cara pandang Adrienne Heritier (2007) yang
mengidentifikasi dua perspektif atau model perubahan institusional (reformasi).
Pertama, model proses reformasi, yang mencakup jalur reformasi, aktor atau
kekuatan-kekuatan pendorong reformasi, sebab akibat dan hasil reformasi, serta
mengidentifikasi tipe sekuen-sekuen khas perubahan. Kedua, model struktural
reformasi, yang mencakup proses reformasi, level dan arena reformasi, interaksi
dan kontestasi antaraktor, penggunaan kekuasaan, tipe organisasi dan aktor-aktor
yang terlibat dalam proses reformasi, serta tipe dan hasil reformasi.
Model proses selalu digunakan para analis dalam memahami jalur
reformasi, apakah “reformasi dari bawah” (reform from bellow) yang digerakkan
oleh masyarakat (society driven reform), yang juga sering disebut sebagai demand
side reform, atau reformasi dari atas (reform from above) yang digerakkan oleh
elite (elite driven reform atau elite led reform), yang memiliki kesamaan dengan
supply side reform.2 Berbeda dengan cara pandang “reformasi dari atas” dan
2Lihat
misalnya Susan E. Scarrow, “Direct Democracy and Institutional Change: A
Comparative Investigation”, Comparative Political Studies, 34; 651, 2001; Kurt Weyland,
“Toward a New Theory of Institutional Change, World Politics, No. 60, Januari 2008;
Christopher W. Close, The Negotiated Reformation: Imperial Cities and the Politics of Urban
Reform, Cambridge: Cambridge University Press, 2009.
48
“reformasi dari bawah” ini, Alan Renwick melihat jalur dan kekuatan penggerak
reformasi yang berasal “dari dalam” (endogen) dan reformasi dari luar (eksogen).3
Berdasarkan varian tentang kekuatan (aktor) dan jalur reformasi
(reformasi dari atas dan reformasi dari bawah serta reformasi dari dalam dan
reformasi dari luar) itu penulis melakukan rekonstruksi model proses reformasi
yang secara interaktif dan tipologis tersaji dalam bagan 1.4.
Kuadran I (reformasi elitis) menggambarkan proses reformasi yang bekerja
dari atas dan dari dalam, yang tidak menyertakan unsur-unsur di luar elite dan
pemerintah daerah. Proses ini terjadi ketika organisasi masyarakat sipil dalam
posisi lemah yang tidak mengambil inisiatif reformasi, atau di dalam elite sendiri
terjadi proses kompetisi dan negosiasi atas reformasi. Kuadran II (rekayasa
teknokratis) menyajikan reformasi yang terbatas, menggunakan keahlian
teknokratis dari pihak luar,
yang dipakai oleh penguasa. Proses ini tidak
melibatkan engagement antara penguasa dengan politisi, melainkan hanya
membuat kebijakan baru yang dilembagakan dalam tubuh pemda dan birokrasi.
Kuadran III (reformasi partisipatoris konsensual) menggambarkan proses
reformasi yang ditempuh melalui deliberasi dan negosiasi secara internal (pemda,
DPRD dan birokrasi) maupun secara eksternal antara pemda, politisi dan
masyarakat. Proses ini berlangsung kritis, terbuka dan elegan yang membuahkan
keputusan kolektif untuk reformasi. Kuadran IV (aksi kolektif atau gerakan sosial)
adalah proses reformasi yang digerakkan oleh kekuatan dari luar bersama
organisasi masyarakat dari bawah. Pola ini bisa muncul ketika jajaran elite, DPRD,
birokrasi dalam posisi yang lembam, konservatif dan bahkan penuh dengan KKN.
Dalam konteks demokratisasi, pola aksi kolektif ini disebut dengan jalur
replacement atau rupture yang menjatuhkan dan menggantikan penguasa
otokratis, seperti pengalaman jatuhnya Soeharto pada tahun 1998.
3Adrienne
Heritier, Explaining Institutional Change in Europe, Oxford: Oxford
University Press, 2007 dan Alan Renwick, The Politics of Electoral Reform: Changing the
Rules of Democracy, Cambridge: Cambridge University Press, 2010.
49
Model
kedua,
adalah
model
struktural,
menggambarkan
tentang
penggunaan kekuasaan dalam reformasi, pertarungan antaraktor dalam reformasi,
pertarungan antara reformasi dan kekuasaan; tindakan aktor dalam menghadapi
regulasi; serta sifat, tujuan dan hasil reformasi. Berdasarkan “model struktural” ini
penulis membagi ada empat bentuk reformasi seperti terlihat dalam tabel 1.3.
Pertama, incremental reform, sebuah reformasi yang pelan-pelan,
bertahap, dan tidak penuh dengan kejutan-kejutan politik. Model ini bisa juga
disebut dengan transformasi jangka panjang melalui inovasi yang berlangsung
terus-menerus. Elite politik dan jajaran teknokrat-birokrat adalah pelaku utama
yang menggerakkan reformasi. Jajaran elite ini secara hati-hati merespons
regulasi, sekaligus mengelola kekuasaan secara hati-hati agar tidak menimbulkan
gejolak yang serius.
Bagan 1.4
Model “proses” reformasi
Dari atas: elite
II:
Dari luar: donor,
NGOs luar,
akademisi,
konsultan, aktoraktor di balik layar
Dari dalam:
(Pemda, DPRD,
birokrasi)
Dari bawah: organisasi
masyarakat, massa
Kedua, smart reform atau institutionalized reform, yakni terjadi
perubahan institusional secara cerdas dengan pendekatan win-win solutions.
Dalam model ini, terjadi kompetisi-kontestasi yang dinamis antaraktor politik,
50
terjadi titik temu antara desakan (demand) dari bawah dan kehendak atau supply
dari atas. Dengan kalimat lain, beragam aktor duduk bersama melakukan
deliberasi dan negosiasi untuk melahirkan visi dan agenda reformasi, sehingga
hampir tidak ada kepentingan aktor yang terganggu atau dirugikan. Karena itu
model ini identik dengan kombinasi antara identitas dan afiliasi kelompok yang
bersifat stabil dan investasi kelompok yang bersifat ekstensif, sehingga
membuahkan reformasi yang sukses, kokoh dan berkelanjutan, meskipun proses
politik membutuhkan waktu panjang dan energi yang besar.
Tabel 1.3
Model “struktural” reformasi
Incremental
Reform
Smart Reform
Audacious
Reform
Contentious
Reform
Makna
Inovasi yang pelanpelan bertahap
Reformasi yang
dilakukan dengan
nekat dan cepat
Aktor
penggerak
Elite atau teknokrat
dan birokrat
Kalkulasi
rasional
Ongkos kecil,
manfaat kecil, risiko
kecil.
Kekuasaan
digunakan secara
minimalis, dikelola
secara hati-hati dan
tidak menimbulkan
gejolak
Perubahan
institusional
secara smart dan
win-win.
Elite penguasa
dan/atau oposisi
atau aksi kolektif
masyarakat sipil
Ongkos besar,
manfaat besar,
risiko kecil
Kekuasaan
digunakan secara
optimal untuk
reformasi, terjadi
kontestasi dan
negosiasi
antaraktor
Terjadi titik temu
(engagement) dan
crafting antara
demand side
pressure dan
supply side
pressure.
Kekuasaan digunakan
untuk reformasi,
reformasi digunakan
kekuasaan
Elite penguasa
dan/atau organisasi
oposisi yang saling
bertarung
Ongkos besar,
manfaat/hasil tidak
pasti, risiko besar
Antara kekuasaan dan
reformasi saling
mempengaruhi dan
saling bertarung
(contentious)
Kekuasaan
Relasi
antaraktor
Kesuksesan
dan
keberlanjutan
Terjadi proses
kompetisi dan
negosiasi internal di
kalangan elite. Tidak
ada desakan
(demand) dan
perlawanan dari
masyarakat
Kesuksesan bersifat
parsial, atau
kesuksesan jangka
panjang
Sukses, kokoh dan
berlanjut
51
Elite penguasa
Ongkos kecil,
manfaat besar, risiko
besar
Kekuasaan
digunakan secara
nekat untuk
menembus
rintangan-rintangan
reformasi
Penggerak reformasi
tidak peduli dengan
aktor-aktor
penghambat. Ia
melaju secara nekat
karena yakin bahwa
reformasi akan
didukung rakyat
Kesuksesan bersifat
sementara, rentan
atau sulit berlanjut.
Pertarungan tiada
henti antara penguasa
dengan aktor-aktor
politik lain.
Kesuksesan dan
kegagalan silih
berganti.
Keberlanjutan rentan
Ketiga, audacious reform. Model ini penulis adaptasi dan modifikasi dari
gagasan dan temuan M. Grindle (2000) dalam studinya tentang penemuan
institusional dan demokratisasi di Amerika Latin. Grindle merumuskan tiga makna
audacious reform: (1) aktor-aktor politik dengan nekat melakukan perubahan dan
menciptakan aturan baru tentang distribusi kekuasaan yang sangat berisiko
terhadap
kekuasaan
mereka;
(2)
perubahan
tidak
berlangsung
secara
inkremental-evolutif melainkan berlangsung secara dramatis; dan (3) perubahan
membawa dampak terhadap perilaku politik, kompetisi politik dan insentif politik
yang tidak dapat diantisipasi secara pasti.
Konsep itu sungguh memberi ilham kepada penulis, tetapi penulis berupaya
melakukan modifikasi gagasan Grindle agar bisa digunakan secara kontekstual.
Dalam konteks ini, penguasa lokal seperti kepala daerah secara nekat dan dramatis
melakukan perombakan terhadap struktur pemerintahan dan birokrasi, termasuk
penganggaran,
agar dengan cepat menciptakan distribusi kue pembangunan
kepada rakyat banyak. Dengan semboyan “pukul dulu urusan belakang”, penguasa
melancarkan audacious reform secara nekat menabrak regulasi dan tanpa payung
regulasi yang akuntabel secara hukum, sebab dia mempunyai keyakinan kuat
bahwa reformasi dimaksudkan untuk menjawab kehendak rakyat dan karena itu
reformasi akan memperoleh dukungan dari rakyat, meskipun ditentang oleh
kalangan elite. Cara reformasi yang nekat ini pasti menghadapi rintangan dan
perlawanan dari kaum konservatif, reaksioner dan radikal, tetapi elite penggerak
reformasi melaju terus dengan nekat, dengan semangat “anjing menggongong
khafilah tetap berlalu”. Reformasi nekat membuahkan kesuksesan secara cepat,
tetapi cenderung bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Ketika kekuasaan
mengalami pergantian, dan penguasa penggerak reformasi lengser, maka akan
terjadi pembaliklan reformasi ketika penguasa baru hadir. Warisan reformasi
karya penguasa lama akan dirombak oleh penguasa baru.
Keempat, contentious reform. Konsep dan model contentious reform ini
merupakan gagasan dari penulis pribadi, yang berupaya menggabungkan antara
52
konsep contentious politics dengan reformasi. Jika dalam berbagai literatur ilmu
politik ada contentious action, contentious politics, contentious democratization,
contentoius history, contentious performances, contentious protest, dan juga
contentious issues, kenapa contentious reform tidak bisa diciptakan. M. Grindle
(2004) sebenarnya pernah mengadaptasi konsep contentious politics dalam
reformasi pendidikan di Amerika Latin, namun dia hanya menunjukkan
pertarungan, dalam bentuk kontestasi antaraktor dalam proses reformasi, dan
tidak merekonstruksi contentious reform. Celah dan kesempatan inilah yang
penulis manfaatkan untuk merumuskan contentious reform (reformasi penuh
pertarungan).
Dalam reformasi pasti terdapat pertarungan seperti dirumuskan dalam
model audacious reform. Namun dalam model contentious reform, yang terjadi
bukan sekadar pertarungan antara penggerak, pendukung dan penolak reformasi.
Model contentious reform lebih kompleks daripada audacious reform. Dalam
audacious reform hanya terjadi pertarungan kekuasaan untuk mencapai reformasi,
tetapi dalam contentious reform, kekuasaan dan reformasi saling mempengaruhi,
memanfaatkan dan saling bertarung. Cara pandang contentious politics
menegaskan bahwa reformasi sarat dengan dilema: penguasa yang sukses
melakukan reformasi cenderung mendominasi dan mengawetkan kekuasaan,
bahkan menumpuk kekayaan, yang tidak terkontrol.
Konteks politik yang
kompetitif, bahkan penuh pertarungan (penuh dengan perlawanan kaum radikal
dan reaksioner), akan membuat penguasa mengambil inisiatif reformasi.
Kehendak dan agenda reformasi itu bisa melemahkan perlawanan kaum radikal
dan reaksioner, sehingga kekuasaan penguasa lokal menjadi lebih kuat. Tetapi
ketika kekuasaan menjadi kuat, dominatif dan tidak terkontrol, reformasi akan
melemah dan kekuasaan itu menjadi korup. Dalam situasi seperti ini akan
melahirkan perlawanan dari kaum radikal (mendukung reformasi tetapi menolak
kekuasaan, misalnya melakukan gerakan antikorupsi) dan kaum reaksioner (yang
53
menolak kekuasaan dan menolak reformasi). Karena itu reformasi hanya sukses
sementara, tetapi rentan dan tidak berkelanjutan.
Kombinasi sejumlah bagan dan tabel di atas menghasilkan beberapa varian
reformasi yang penulis rekonstruksi secara hipotetik:
1. Reformasi elitis tidak mungkin mengarah pada smart reform, melainkan
condong mengarah pada incremental reform, audacious reform atau contentious
reform. Reformasi elitis cenderung abai pada keterlibatan organisasi
masyarakat sipil (OMS), atau memang OMS dalam kondisi yang lemah dan
tidak mendorong reformasi. Proses reformasi model ini digerakkan oleh elite,
bekerja dalam tubuh pemerintah daerah, birokrasi dan DPRD, sehingga hanya
membuahkan reformasi incremental. Reformasi ini akan hadir dalam bentuk
inovasi pelan-pelan dan gradual, ketika bekerja dalam situasi harmoni,
sehingga tidak menimbulkan gejolak kekuasaan yang berarti. Dinamika pasca
reformasi bisa mengarah pada pembalikan reformasi ketika terjadi pergantian
kekuasaan, atau inovasi gradual tetap berjalan secara inkremental ketika
pergantian kekuasaan juga berlangsung secara inkremental.
2. Reformasi elitis bisa mengarah pada audacious reform, ketika kehendak
reformasi kepala daerah ditentang oleh aktor-aktor politik lainnya. Ia nekat
menembus rintangan-rintangan reformasi, seraya melancarkan reformasi
secara cepat dan dramatis. Hasil reformasi cenderung bersifat sementara dan
tidak berkelanjutan, bahkan bisa terjadi pembalikan reformasi ketika telah
terjadi pergantian kekuasaan.
3. Reformasi elitis bisa mengarah ke contentious reform ketika pertarungan dan
perlawanan politik telah terjadi di babak awal. Penguasa melakukan reformasi
dengan tujuan melemahkan dan menundukkan perlawanan politik, seraya
membawa perubahan pemerintahan yang membuahkan kepercayaan dan
legitimasi dari rakyat. Dukungan rakyat itulah yang melemahkan perlawanan
kaum radikal dan reaksioner, sehingga kekuasaan penguasa menjadi lebih kuat
dan dominatif. Ketika kekuasaan menjadi kuat, dominatif dan tidak terkontrol,
54
reformasi akan melemah dan kekuasaan itu menjadi korup. Kondisi ini akan
disambut kembali perlawanan kaum reaksioner dan radikal. Identitas dan
afiliasi kelompok menjadi cair, sementara investasi kelompok tetap sederhana
dan terbatas, sehingga membuahkan erosi reformasi di penghujung kekuasaan
penguasa.
4. Audacious reform bisa mengarah pada contentious reform, tetapi tidak semua
audacious reform bisa berubah menjadi contentious reform. Audacious reform
malah bisa mengarah pada institutionalized reform jika reformasi berjalan
secara konsisten, memperoleh dukungan luas dari politisi maupun organisasi
masyarakat sipil, sekaligus terjadi negosiasi dan konsolidasi yang kuat di
antara mereka. Tetapi audacious reform akan mengarah pada contentious
reform jika contentious politics terus berjalan, jika reformasi tetap digerakkan
oleh penguasa semata tanpa dukungan luas, dan jika penguasa menggunakan
reformasi untuk membangun kekuasaan.
5. Rekayasa teknokratis, seperti halnya reformasi elitis, tidak mungkin mengarah
pada smart reform, melainkan hanya membuahkan incremental reform. Pola
seperti ini akan tetap berkelanjutan ketika tidak ada desakan dan perlawanan
yang berarti, baik di dalam lingkaran elite maupun dari masyarakat. Tetapi
ketika terhadi kontestasi dan pertarungan, maka bisa mengarah pada
contentius reform.
6. Reformasi partisipatoris-konsensual yang bekerja dalam konteks kontestasi
politik yang dinamis dapat membuahkan smart reform atau institutionalized
reform. Smart reform ini akan membuahkan kesuksesan dalam jangka pendek
dan menghasilkan reformasi yang kokoh dan berlanjut dalam jangka panjang.
Identitas dan afilisiasi kelompok yang stabil, serta investasi kelompok yang
ekstensif, karena proses deliberasi dan negosiasi antaraktor dalam proses
reformasi, mampu merawat keberlanjutan reformasi, meski terjadi pergantian
kekuasaan.
55
7. Aksi kolektif, atau society led reform atau demand side reform, membuahkan
beberapa kemungkinan, kecuali incremental reform dan audacious reform.
Pertama, sama sekali tidak ada reformasi ketika aksi kolektif itu melemah atau
ketika penguasa otokratis-konservatif melemahkan aksi kolektif dengan cara
represi atau kooptasi. Kedua, terjadi smart reform ketika penguasa
memberikan respons positif, yang mendorong penguasa dan pejuang reformasi
duduk bersama, melakukan deliberasi dan negosiasi untuk melahirkan visiagenda reformasi secara kolektif. Jika hal ini terjadi maka reformasi akan
kokoh dan berkelanjutan. Ketiga, terjadi contentious reform yang berbasis atau
digerakkan masyarakat.
Model ini mendorong terjadinya delegitimasi
penguasa atau bahkan pemakzulan penguasa, yang berikutnya akan
melahirkan penguasa baru yang akan melancarkan reformasi.
Studi ini berargumen bahwa reformasi Jembrana bukanlah reformasi
inkremental yang bekerja dengan rekayasa teknokratis dan berjalan secara
gradual dalam ruang yang hampa politik. Reformasi Jembrana bukan juga sebagai
institutionalized reform yang dihasilkan melalui negosiasi dan pakta sosial
beragam aktor baik dari bawah maupun dari atas, apalagi reformasi Jembrana
hanya membuahkan keberhasilan secara temporer dan akhirnya mengalami
keruntuhan di titik akhir. Reformasi Jembrana tidak bisa juga dilihat sebagai
audacious reform yang penuh. Bupati IGW memang bertindak secara berani dan
nekat menggunakan kekuasaan dan otoritasnya untuk melancarkan reformasi
secara cepat. Namun drama reformasi Jembrana tidak hanya mengisahkan tentang
keberanian dan kenekatan Bupati IGW dalam memperjuangkan reformasi,
maupun pertarungan beragam aktor dalam mengkontestasikan reformasi.
Jembrana tidak hanya menyajikan drama reformasi, tetapi drama besar yang
melibatkan pertarungan kekuasaan dan reformasi, yang membuahkan kejayaan
dan keruntuhan ganda (kekuasaan dan reformasi) Bupati IGW.
Drama reformasi Jembrana lebih tepat dipahami dengan model contentious
reform. Model ini bukan hanya mampu memahami tentang interplay antara
56
kekuasaan dan reformasi, tetapi juga menunjukkan pertarungan secara episodik,
dramatis dan dinamik, yang membuahkan cerita sukses reformasi dan kejayaan
kekuasaan secara temporer, yang berakhir dengan kegagalan-keruntuhan
reformasi maupun kekuasaan.
D.2.3. Mekanisme Contentious Reform
Studi ini berupaya membangun “teori himpunan” antara agensi-konteks
dengan teori contentious politics di atas untuk memahami dan menjelaskan drama
contentious reform di Jembrana. Jika teori contentious politics merumuskan
mekanisme pertarungan politik mengandung tiga elemen (politik, pertarungan
dan aksi kolektif), maka “teori himpunan” studi ini membangun mekanisme
contentious reform yang dibentuk oleh tiga elemen: konteks politik (political
context), agensi politik (political agency) dan pertarungan politik (political
contention), seperti tersaji dalam bahan 1.5.
Bagan 1.5
Mekanisme contentious reform
Contentious
Reform
Pertarungan
Politik
Konteks
Politik
Agensi
politik
57
Pertama, konteks politik (political context), yang mencakup kultur politik,
struktur birokrasi, komposisi partai dan parlemen lokal, formasi elite, regulasi
nasional, maupun institusi informal. Konteks bukan bermakna sebagai variabel
pendahulu yang mempengaruhi variabel bebas dan kemudian berpengaruh
terhadap variabel terikat; konteks bukan juga sebagai variabel bebas yang
mempengaruhi variabel terikat. Konteks sebenarnya merupakan konsep kenyal,
yang bisa dimengerti sebagai kesempatan politik yang memberikan peluang bagi
tindakan aktor, atau lingkungan politik yang melatari tindakan pertarungan politik
dan prakarsa reformasi. Jika dikaitkan dengan pengertian politik (siapa
memperoleh apa, bagimana dan kapan), konteks sebenarnya berkaitan dengan
pertanyaan kapan, atau lebih tepatnya berkaitan dengan pertanyaan bilamana
atau dalam kondisi apa. Bilamana dan dalam kondisi apa Bupati IGW melakukan
tindakan reformasi? Apakah prakarsa reformasi Bupati IGW hadir dalam kondisi
politik harmoni atau dalam kondisi penuh pertarungan? Ini merupakan
pertanyaan yang terkait dengan konteks.
Kedua, aktor dan tindakan politik (political agency) yang mencakup
tindakan IGW sebagai aktor utama maupun aktor-aktor pendukung maupun aktoraktor yang menentang kekuasaan IGW dan menentang reformasi. IGW tentu
merupakan aktor pemimpin-penguasa yang menggunakan kekuasaan untuk
menjalankan reformasi, sekaligus mempunyai hasrat kekuasaan ketika memulai
reformasi. Ia memiliki barisan pendukung kekuasaan dan reformasi baik di
kalangan birokrasi maupun di luar institusi pemerintah.
Ia juga mempunyai
strategi untuk memenangkan reformasi dan kekuasaan sehingga meraih kejayaan
meskipun berakhir dengan keruntuhan.
Ketiga, proses pertarungan politik (political contention), yang di dalamnya
terjadi pertarungan ide, klaim kepentingan dan wacana dalam proses konsolodasi
kekuasaan dan agenda reformasi antara IGW, pendukung dan penentang.
Baik political context maupun political agency tidak berdiri sendiri
membentuk dan mempengaruhi cerita sukses atau cerita gagal reformasi
58
Jembrana. Keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi (interplay). Berbeda
dengan cara pandang strukturalis, political context bukanlah faktor-faktor yang
menentukan cerita sukses reformasi Jembrana, tetapi sebagai kondisi yang
membentuk karakteristik, motivasi, strategi dan tindakan aktor (political agency).
Political agency, terutama IGW, tidak mungkin berdiri sendiri sebagai kekuatan
yang menghasilkan reformasi dan membangun kekuasaan, tetapi juga dibentuk
oleh political context baik yang bersifat statis dan obyektif maupun dinamissubyektif yang menjadi the bases of legacy kekuasaan IGW. Political contention
menjadi arena (ranah) pertemuan antara political context dan political agency,
yang membentuk contentious reform, dimana aktor-aktor terus bertarung dalam
memperebutkan kekuasaan dan melancarkan reformasi, yang berlangsung secara
episodik, dinamis dan dramatis.
E. Metode Penelitian
Studi ini bekerja dengan analisis politik kontekstual sebagai jalan tengah
antara tradisi positivisme dan postmodernisme. Dihadapkan pada tradisi
positivisme yang bersifat nomotetik dan mengutamakan parsimoni, analisis
kontekstual berargumen bahwa perhatian terhadap konteks tidak mengacaukan
deskripsi dan penjelasan tentang proses politik. Namun, sebaliknya, analisis
kontekstual
memromosikan
pengetahuan
sistematis.
Terhadap
versi
postmodernisme yang mengutamakan kompleksitas, analisis politik kontekstual
berpendapat bahwa efek konteks dan kontekstual mengedepankan deskripsi
secara sistematis dan penjelasan (eksplanasi) yang memadai, sehingga
memfasilitasi penemuan keteraturan proses politik (Charles Tilly dan Robert
Goodin, 2006).
Analisis kontekstual bukanlah sebuah studi kasus yang melakukan
verifikasi teori secara deduktif, bukan juga sebagai etnografi yang melakukan
eksplorasi dan interprestasi secara induktif. Analisis kontekstual merupakan jalan
tengah antara dua ekstrem itu. Berbeda dengan ekplanasi konvensional (berbasis
59
variabel) dalam logika deduktif maupun interprestasi dalam logika induktif, studi
ini menawarkan logika reflektif yang mendialogkan antara narasi besar dan narasi
kecil dengan menggunakan interprestasi dan eksplanasi berbasis mekanisme.
Teori contentious reform merupakan hasil rekonstruksi dari narasi besar (teori
contentious politics dan model reformasi) dan narasi kecil (pengalaman pergulatan
kekuasaan dan reformasi di Jembrana). Dengan kalimat lain studi kontekstual atas
Jembrana
juga
memberi
sumbangan
terhadap
modifikasi,
revisi
dan
pengembangan teori contentious politics.
Sebagai analisis kontekstual, studi ini membutuhkan kedalaman data
dibanding dengan studi deduktif, meskipun tingkat kedalaman studi ini tidak
sebanding dengan studi sejarah dan etnografi. Sebelum ke lapangan penulis
memanfaatkan berbagai dokumen baik buku yang dipublikasikan oleh Tim Bupati
IGW maupun laporan penelitian berbagai lembaga tentang Jembrana. Dalam studi
lapangan mulai dari Oktober 2009 hingga Mei 2011, penulis melakukan dan
menerapkan tiga metode.
Pertama, diskusi terbatas secara terfokus (focus groups discussion – FGD).
FGD ini merupakan metode pengumpulan data paling awal yang penulis tempuh
sebelum menempuh metode lain. Dengan difasilitasi oleh DS Putra, pada akhir
Oktober 2009, penulis melakukan melakukan FPD dengan sejumlah 12 orang dari
komunitas Jembrana Forum. Mereka terdiri dari kaum intelektual, tokoh agama,
budayawan, dan wartawan, yang penulis sebut sebagai kelompok kritis-rasional,
karena melihat Jembrana dan Bupati IGW secara obyektif, jernih dan kritis. Dari
FGD ini penulis memperoleh gambaran besar (big picture) tentang sejumlah hal:
perjalanan reformasi Jembrana, perjalanan Bupati IGW termasuk jalan yang
ditempuh sang Bupati dalam membangun kekuasaan dan melancarkan reformasi,
kisah sukses reformasi hingga tanda-tanda krisis reformasi. Dari FGD ini penulis
juga memperoleh petunjuk tentang peta aktor, baik pendukung maupun
penentang Bupati IGW.
60
FGD lanjutkan penulis selenggarakan pada bulan Agustus 2010 dan bulan
Januari 2011. FGD bulan Agustus, di saat krisis reformasi Jembrana, penulis
lakukan dengan para aktivis LSM yang menentang Bupati IGW dan melancarkan
gerakan antikorupsi. FGD bulan Januari 2011 penulis lakukan kembali dengan
Jembrana Forum yang mendiskusikan dan menganalisis tentang krisis reformasi
dan keruntuhan Bupati IGW.
Kedua, wawancara mendalam
dengan Bupati IGW beserta aktor-aktor
pendukungnya dan aktor-aktor penentangnya. Wawancara pertama penulis
dengan Bupati IGW akhir Oktober 2009 memperoleh gambaran yang memadai
tentang konsep dan visi reformasi serta strategi kekuasaan Bupati IGW dalam
melancarkan kekuasaan. Tentu informasi sisi gelap sang Bupati tidak penulis
peroleh dari IGW melainkan dari sumber-sumber lain baik dari kawan dekat
maupun para penentangnya. Sejumlah kawan dekat Bupati IGW memberikan
informasi yang lengkap tentang perjalanan IGW mulai dari asal-usul, sampai
dengan IGW meraih kekuasaan pada tahun 1998-2000 dan menderita kekalahan
pada tahun 2010. Informasi serupa juga penulis peroleh dari para penentang abadi
Bupati IGW maupun para pendukungnya pada tahun-tahun awal yang kemudian
berubah menjadi penentangnya pada tahun-tahun akhir karena kekecewaan.
Ketiga, dokumentasi, yakni mengumpulkan berbagai data dokumen baik
dokumen resmi yang dipublikasikan oleh Kabupaten Jembrana maupun berita dari
berbagai koran. Para wartawan Nusa, Bali Post, Radar Jembrana dan Antara
memberikan informasi yang memadai tentang Jembrana khususnya sejak tahun
2005. Untuk memperoleh informasi Jembrana sebelum 2005 penulis melacak ke
kantor Bali Post maupun Perpustakaan Daerah Jembrana, tetapi hasilnya nihil.
Penulis memperoleh data Jembrana dan Bupati IGW dari koran secara lengkap di
Perpustakaan Daerah Provinsi Bali.
Bersamaan dengan pengumpulan data penulis juga melakukan analisis
data. Mengorganisir, memilah, memilih dan melengkapi data merupakan pekerjaan
konvensional yang penulis lakukan. Penulis menggunakan metode triangulasi
61
antara data dokumen, data FGD maupun data wawancara untuk keperluan
membangun validitas data, sekaligus melakukan konfirmasi (cross check) antara
satu sumber dengan sumber lain dengan wawancara.
Melampaui tugas penyiapan data ini, langkah penting pertama penulis
adalah merekonstruksi narasi drama reformasi, mulai perebutan kekuasaan pada
tahun 1998-2000 hingga keruntuhan reformasi dan kekuasaan pada akhir tahun
2010. Langkah kedua adalah penyusunan episode (babak) drama reformasi
Jembrana yang berbentuk spiral, yakni mulai dari gerakan reformasi dan
perebutan kekuasaan (1998-2000), inisiasi reformasi dan konsolidasi kekuasaan
(2001-2003), kejayaan reformasi dan dominasi kekuasaan (2003-2008) hingga
krisis reformasi dan keruntuhan kekuasaan (2008-2010). Langkah ketiga adalah
memberikan interpretasi dan ekplanasi setiap babak drama reformasi dengan cara
menunjukkan pemetaan dan narasi terhadap mekanisme interaksi antara political
agency (aktor-aktor beserta sikap dan tindakan mereka),
political contention
(pertarungan politik antaraktor) serta political context (situasi dan kesempatan
yang membentuk tindakan dan pertarungan politik antaraktor). Langkah keempat
adalah menarik abstraksi dan kesimpulan untuk membangun teori serta
menyajikan pembelajaran berharga tentang reformasi dan pergulatan kekuasaan.
F. Alur dan Sistematika
Narasi karya ini disajikan ibarat sebuah panggung drama (repertoire) yang
berlangsung secara episodik dan tematik ke dalam depalan bab. Setiap penonton
drama biasanya berharap dan sangat senang kalau alur cerita berakhir dengan
kemenangan dan kebahagiaan (happy ending), dan sangat sedih jika sang pelaku
utama akhirnya menderita kekalahan. Karya ini tidak menyajikan sebuah drama
yang lumrah, drama yang berakhir dengan happy ending, melainkan drama yang
berakhir dengan tragedi yang menyedihkan (sad ending).
Menyusul paparan di Bab I yang telah memberikan pengantar
konseptualisasi, Bab II memberikan latar konteks, sebagai tempat (place) dan
62
ruang (space), bagi arena pergulatan kekuasaan dan reformasi di Jembrana. Cerita
terpenting dalam bab ini adalah arus reformasi nasional 1998 yang berdampak
signifikan terhadap struktur dan institusi politik di Jembrana. Reformasi telah
meruntuhkan dominasi ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar) dan dominasi kasta
tinggi (brahmana dan ksatria); menghadirkan PDIP sebagai partai dominan baru
sejak 1999 yang menjadi arena baru bagi aktor-aktor baru termasuk yang berasal
dari kasta rendah (weisa dan sudra); serta perubahan politik Islam yang lebih cair
dan kompetitif.
Bab III bercerita tentang babak pertama, yakni perlawanan terhadap
penguasa dan perebutan kekuasaan, yang terdiri dari dua babak sekaligus. Babak
pertama, tahun 1998 hingga 2000, bercerita tentang aksi IGW di luar pagar
kekuasaan yang membawa reformasi untuk menentang penguasa, dan secara
gemilang meraih kemenangan dalam perebutan kekuasaan melalui Pilkada 2000.
IGW memenangkan Pilkada Jembrana pada bulan Juli 2000, tetapi ia gagal dilantik
pada 15 Agustus 2000 karena dilawan dan digagalkan oleh aksi massa Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setelah melewati jeda selama tiga bulan,
IGW dilantik secara aman dan resmi pada tanggal 15 November 2000.
Bab IV merupakan narasi babak kedua, 2000 hingga 2003, menceritakan
tentang konsolidasi kekuasaan dan inisiasi reformasi. Pasca pelantikan Bupati 15
November 2000, IGW merasa memiliki kekuasaan yang sangat powerful di
hadapan birokrasi tetapi ia merasa sangat lemah (powerless) di hadapan DPRD dan
partai politik terutama PDIP sebagai partai dominan. Resistensi Fraksi PDIP dan
perlawanan reaksioner dari elite dan massa PDIP masih tetap berlanjut, yang
cukup menggoncang legitimasi IGW. Dalam konteks ini IGW melancarkan
reformasi dan konsolidasi kekuasaan yang berhasil meredam resistensi dan
berujung pada penguatan kekuasaan setelah berhasil merebut PDIP tahun 2003.
Bab V bercerita tentang babak ketiga, 2003-2008, episode kejayaan
reformasi dan dominasi kekuasaan. Keberhasilan IGW merebut PDIP tahun 2003
menjadi puncak konsolidasi kekuaaan, dan awal dominasi kekuasaan. Konsolidasi
63
kekuasaan dan inisiasi reformasi pada baba kedua yang berhasil itu membuahkan
hasil
ganda:
dominasi
kekuasaan
dan
sukses
reformasi.
IGW
kian
mempertahankan dan mengwetkan kekuasaan pada pilkada 2005. Pada saat yang
sama ia melanjutkan reformasi. Namun di balik ini IGW mulai mencari keuntungan
ekonomi dan akumulasi kekayaan sebagai modal untuk bertarung menjadi
gubernur bali 2008.
Bab VI adalah babak keempat, 2008-2011, yang menampilkan cerita
tentang krisis, kemesorotan, kegagalan dan keruntuhan reformasi dan kekuasaan
bupati IGW. Pecah kongsi antara IGW dengan PDIP serta kekalahan IGW dalam
pemilihan gubernur Bali pada pertengahan 2008 menjadi titik puncak kekayaan,
dan titik awal keruntuhan. PDIP sebagai partai dominan terus melawan IGW. BPK
juga terus menunjukkan penyimpangan dan ketidakberesan keuangan Jembrana.
Lawan-lawan politik di masyarakat melawan IGW dengan gerakan antikorupasi
sejak 2009. Warisan reformasi, seperti Jaminan Kesehatan Jembrana, mengalami
krisis dan kebangkutan. Tahun 2010 pertarungan menjadi kompleks dan dramatis.
Semua aktor bertarung melawan IGW sehingga IGW jatuh dan gagal membangun
dinasti politik pada pilkada 2010. Pada saat yang sama ia diseret menjadi
tersangka korupsi, yang pada bulan Januari 2011, ia dimasukkan ke penjara.
Bab VII mengatakan bahwa rangkaian narasi reformasi Jembrana
merupakan contentious reform secara episodik dan spiral yang berakhir secara
tragis. Contentious reform dibentuk oleh contentious politics. Penulis merangkum
dan merajut rangkaian empat babak drama reformasi Jembrana, sekaligus menarik
abstraksi dengan menggunakan kerangka konseptual tentang contentious reform.
Tentu bab VII itu berguna untuk mengantarkan abstraksi teori pada bab
VIII. Agenda terpenting dalam bab terakhir ini adalah membangun konstruksi teori
contentious reform dengan memperhatikan dimensi aktor, konteks dan
pertarungan. Di bagian akhir bab VII ini penulis menampilkan tema “Melampaui
Jembrana” sebagai narasi yang menarik pembelajaran serta mengkaji ulang atau
menantang teori-teori reformasi dan teori-teori kekuasaan elite, bahkan
64
mengajukan revisi atas teori contentious politics. Dengan kalimat lain, bagian ini
menampilkan sisi novelty model contentious reform bila disandingkan dengan
teori-teori sebelumnya, sekaligus menyajikan sisi kontribusi contentious reform
bagi studi politik.
65
Download