Proses Komunikasi Dan Perubahan Nilai-Nilai

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pantang Larang dalam Masyarakat Melayu Pontianak
Masyarakat Melayu Pontianak adalah salah satu suku yang ada di kota
Pontianak. Masyarakat Melayu Pontianak memiliki berbagai macam tradisi yang
menarik untuk dikaji. Banyaknya tradisi pada masyarakat Melayu Pontianak yang
diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun selalu ditaati dan dijunjung
tinggi bila nilai- nilai budaya yang terkandung sesuai dan tidak bertentangan
dengan agama Islam. Nilai- nilai budaya itu merupakan konsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai
apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga
dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada
kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian dari adat istiadat, sistem nilai budaya berada di luar dan di
atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para
individu itu sejak kecil telah mendapatkan nilai- nilai budaya yang hidup dalam
masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam
alam jiwa mereka. Sehingga nilai-nilai budaya yang telah ada sukar diganti
dengan nilai- nilai budaya lain dalam waktu singkat.
Hamidy yang dikutip oleh Suhaimi (2002) menyatakan ada tiga sistem
nilai yang hidup dalam arti dipelihara oleh masyarakat, dihayati dan diindahkan
dalam kehidupan Melayu Pontianak, pertama, sistem nilai yang diberikan oleh
agama Islam. Perangkat nilai ini yang amat dipandang mulia oleh masyarakat.
Nilai-nilai yang diberikan oleh agama Islam merupakan nilai yang tinggi
kualitasnya. Oleh sebab itu pelaksanaan nilai ini tidak memerlukan komando atau
perintah dari pihak manapun. Kedua, ialah sistem nilai yang diberikan oleh adat.
Sistem ini memberikan ukuran dan ketentuan-ketentuan terhadap bagaimana
manusia harus berbuat dan bertingkah laku, serta dengan serangkaian sanksi yang
cukup tegas. Sistem nilai yang diberikan oleh adat merupakan hasil pemikiran
yang mendalam dari orang tua terdahulu bagaimana sebaiknya kehidupan
bermasyarakat dapat dia atur. Ketiga, adalah sistem nilai tradisi yang memberikan
6
kebenaran kepada sistemnya melalui mitos- mitos. Dalam hal ini kadang-kadang
sejajar dengan manusia tetapi bisa pula dipandang lebih tinggi dari manusia.
Dari ketiga sistem nilai di atas, sistem nilai yang diberikan oleh tradisi
yang paling banyak mewarnai tingkah laku kehidupan sosial masyarakat
Pontianak khususnya pada tradisi pantang larang. Hal ini karena nilai- nilai tradisi
mudah dan lebih dahulu dicerna oleh setiap anggota masyarakat, karena nilai- nilai
inilah ya ng lebih awal diperkenalkan dalam perkembangan hidup bermasyarakat.
Perangkat nilai ini selalu bersentuhan dengan kehidupan mereka sehari- hari.
Tradisi pantang larang orang Melayu merupakan kepercayaan masyarakat
Melayu zaman dahulu berkaitan dengan adat dan warisan nenek moyang.
Kebanyakan adalah bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mengamalkan
nilai- nilai murni dalam kehidupan, pesan yang disampaikan bukan untuk
dipercayai tetapi untuk dihayati makna yang terkandung di dalam pantang larang
yang telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Tradisi pantang
larang juga mempunyai arti memberikan manfaat dalam hidup setiap orang.
Pelaksanaan tradisi pantang larang yang mengalami perubahan pada
proses komunikasi oleh setiap generasi yang beranggapan bahwa makna pesan
pada tradisi pantang larang sesuai dengan kehidupan sekarang.
Masyarakat Melayu Pontianak
Menurut Koentjaraningrat (1990) konsep yang tercakup dalam istilah suku
bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat kesadarannya dan identitasnya
akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tidak
selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa.
Sejarah kelompok suku Melayu adalah kelompok masyarakat yang berasal
dari anak benua dan kepulauan yang berpusat di Asia Tenggara yang meliputi
Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, Burma, Kamboja dan lain- lain.
Anggota kelompok ini telah lama mendiami rantau ini, namun secara tepatnya
belum ada kepastian bagaimana mereka bisa berada di wilayah nusantara dan dari
mana mereka datang.
Sejarah terbentuknya komunitas Melayu tidak terlepas dari sejarah
perkembangan agama Islam di Kalimantan Barat. Kedatangan orang asing dari
7
Asia seperti Arab, India dan Cina yang telah memeluk agama Islam membawa
kehidupan baru bagi masyarakat dimana mereka kemudian menetap dan
mengikuti gaya hidup setempat. Di antara para penyebar agama Islam yang
mendapat tempat di hati masyarakat adalah orang Arab yang bahkan mendapat
kewibawaan sebagai seorang Syarif.
Di Propinsi Kalimantan Barat suku Melayu adalah suku mayoritas yang
tersebar di kawasan pesisir atau pantai, dan mereka merupakan anggota kelompok
suku yang telah lama bermukim di daerah ini. Bahkan secara umum suku Melayu
dikenal sebagai salah satu penduduk asli Propinsi Kalimantan Barat selain suku
Dayak yang lebih banyak tinggal di daerah pedalaman Kalimantan Barat.
Suku Melayu sebenarnya serumpun dengan suku Dayak. Hanya saja
kedatangan mereka ke Kalimantan Barat dilakukan melalui dua tahap, yaitu pada
tahap pertama kedatangan kelompok suku Dayak (sering juga disebut dengan
“Melayu Tua”). Kedatangan kelompok pertama ini mereka langsung datang ke
wilayah ini tanpa melalui proses persinggahan ke tempat lain di wilayah
Nusantara dan hal ini terjadi jauh sebelum agama Islam masuk ke Nusantara,
tetapi diperkirakan setelah Nusantara terpisah dari daratan Asia (Alqadrie, 1992).
Tahap kedua adalah kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat dengan
melalui proses persinggahan terlebih dahulu dalam perjalannya, seperti : Thailand,
Kamboja, Filipina dan Malays ia dimana kedatangan gelombang kedua ini
diperkirakan pada permulaan masuknya ajaran Islam ke Nusantara ini.
Menurut Alqadrie (1992) dalam kehidupan sehari- hari adalah sangat sulit
untuk mendapatkan konsep atau arti dari nama atau sebutan Melayu di Kota
Pontianak. Sangat sulit untuk dapat membedakan antara pengertian “Melayu”
sebagai kelompok etnis atau suku dan “Melayu” dalam pengertian yang luas.
Kesulitan ini dikarenakan, khusus untuk Propinsi Kalimantan Barat pengertian
“Melayu” dalam kehidupan sehari- hari tidak dapat dipisahkan dengan agama
Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu di
Kalimantan Barat.
Walaupun demikian, pada umumnya masyarakat Melayu di Kalimantan
Barat bisa dibedakan, misalnya mereka kebanyakan bermukim disepanjang pesisir
daerah pantai atau sungai. Ditambah lagi, keberadaan kelompok suku bangsa
8
Melayu di Kalimantan Barat ini umumnya dan Kota Pontianak khususnya, tidak
dapat dipisahkan dari peninggalan beberapa kerajaan yang pernah terdapat di
Propinsi Kalimantan Barat, seperti : Kesultanan Pontianak, Kesultanan Sambas,
Kerajaan Matan di Ketapang dan beberapa Kerajaan kecil (penembahan) yang
terdapat pada beberapa kabupaten. Selanjut nya bekas Kerajaan Melayu di
Kalimantan Barat memiliki hubungan historis dengan beberapa Kerajaan Melayu
yang masih bertahan dengan Kerajaan Brunai Darussalam dan Kerajaan Melayu
di Malaysia. Umumnya masyarakat yang berasal dari bekas Kerajaan tersebut
menganggap kelompok mereka sebagai bagian dari kelompok suku bangsa
Melayu di Kalimantan Barat.
Dalam adat istiadat perbedaannya tidak begitu terlihat karena adat istiadat
itu didasarkan atas sumber yang sama yaitu ajaran agama Islam, sehingga
pengertian Islam dan Melayu di daerah ini sangat identik sekali. Masuk Islam dari
agama lain disebut juga masuk Melayu dan masuk Melayu berarti berganti atau
berpindah agama dari bukan Islam menjadi Islam.
Menurut Nurahmawati (2002) jika dilihat dari unsur kebudayaan lainnya
diantara beberapa sub kelompok suku Melayu tersebut, tidak terdapat perbedaan
yang mendasar atau mencolok, hal ini dikarenakan kebudayaan Melayu
Kalimantan Barat pada umumnya dan kebudayaan Melayu Pontianak pada
khususnya sangat kental atau sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan
Islam.
Suku bangsa Melayu adalah suatu kelompok suku yang mengaku dirinya
sebagai suku bangsa Melayu, menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
komunikasi sehari- hari dan beragama Islam. Identitas suku bangsa Melayu
didasarkan pada :
1. Agama Islam
2. Bahasa Melayu
3. Istiadat Melayu
Karakteristik masyarakat di Kalimantan Barat umumnya, dan masyarakat
Melayu Pontianak Timur khususnya, masyarakat dan kebudayaannya cukup
banyak dipengaruhi oleh nilai- nilai Islam. Oleh karena itu masyarakat Melayu
Pontianak Timur sangat mencintai agamanya dan mengidentikkan Melayu dengan
9
Islam. Sebagian masyarakat dari suku lain cenderung menganggap suku Melayu
terutama Melayu Pontianak Timur sangat “fanatik” dengan agama yang
dianutnya. Demikian pula dengan adat istiadat mereka, karena dalam adat Melayu
disebutkan bahwa adat bersendikan hukum Syara’ dan Syara’ bersendikan pada
Kitabullah (Al-Qur’an).
Menurut Dewi (1998) secara umum, masyarakat melayu mempunyai lima
falsafah dan berlandaskan lima dasar, yaitu :
1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal, demokratis dan bermusyawarah.
2. Melayu itu budaya, yang sifatnya Nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian,
tersusun dalam tingkah laku dan lain- lain.
3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional, kedaerahan dalam Bhineka
Tunggal Ika, dengan tepung tawar, pakai pulut kuning, dan lain- lain yang
mengikat tua dan muda.
4. Melayu itu berturai, yang tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib,
mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan
harga menghargai timbal balik. Bebas tetapi terikat dalam masyarakat.
5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan
dan ilmu kebatinan agama dan mistik, agar bermarwah dan disegani orang
untuk kebaikan umum.
Proses Komunikasi dan Kebudayaan
Komunikasi dan Kebudayaan
Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya.
Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah
komunikasi, karena budaya muncul melalui komunikasi. Hubungan antara budaya
dan komunikasi adalah timbal balik. Porter dan Samovar yang dikutip oleh
Mulyana (1996) berpendapat bahwa kebudayaan akan mempengaruhi komunikasi.
Antara keduanya tidak dapat dipisahkan, karena kebudayaan tidak hanya
menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk
mengirim,
memperhatikan
dan
menafsirkan
pesan.
Sebenarnya
seluruh
perbendaharaan perilaku seseorang sangat tergantung pada kebudayaan dimana
10
orang itu dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan
komunikasi. Bila kebudayaan beraneka ragam, maka beraneka ragam pula
praktik-praktik komunikasi. Lebih jauh dinyatakan pula bahwa perilaku setiap
orang mengandung makna yang dapat dipelajari dan diketahui, dan perilaku
tersebut terikat dengan kebudayaan.
Kemiripan kebudayaan dalam persepsi memungkinkan pemberian makna
yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara
berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi, bahasa, gaya dan perilaku-perilaku
nonverbal seseorang, semua itu terutama merupakan respon terhadap dan fungsi
kebudayaan orang tersebut. Sebagaimana kebudayaan berbeda antara satu dengan
yang lainnya, maka praktek dan perilaku komunikasi individu- individu yang
diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda pula.
Smith yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) menerangkan hubungan yang
tidak dapat terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan. Kebudayaan
merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki
bersama, untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi,
sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang- lambang yang harus
dipelajari dan dimiliki bersama.
Untuk lebih mengerti hubungan antara komunikasi dan kebudayaan, ada
manfaatnya bila ditinjau dari sudut perkembangan masyarakat, perkembangan
kebudayaan serta peranan komunikasi dalam proses perkembangan tersebut.
Dapat dipahami bahwa dalam corak hubungan apapun yang terus berlangsung,
beberapa simbol, pengertian, aturan serta pola verbal dan non verbal khusus
tertentu berkembang sebagai akibat alami dari pemprosesan data resiprokal antara
orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Dalam konteks hubungan komunikasi dan kebudayaan, Dahlan (1983)
berpandangan bahwa setiap tindakan komunikasi manusia dipengaruhi oleh
berbagai faktor dalam kehidupan dan perkembangan dirinya, namun pengaruh
yang barangkali paling menentukan dalam memberikan konteks terhadap
peristiwa komunikasi adalah yang datang dari faktor kebudayaan.
Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan
saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas
11
para individu anggotanya. Hubungan kebudayaan dan komunikasi nampak jelas
dilakukan dalam masyarakat. Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan
manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan
pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilai- nilai, aturan-aturan dan tata upacara,
yang memberikan batasan dan bentuk pada hubungan-hubungan, organisasiorganisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa
komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsur- unsur kebudayaan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat
menjadikan individu sadar akan dan menyesuaikan diri dengan subbudayasubbudaya dan kebudayaan asing yang dihadapi. Tepat kiranya jika dikatakan
bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui
komunikasi.
Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang
merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan
diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Seorang
antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (2005) memberikan definisi
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat- istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan lain perkataan, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari
segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya,
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan atau bertindak
Kim yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) mendefinisikan budaya sebagai
kumpulan pola-pola kehidupan yang dipelajari oleh sekelompok manusia tertentu
dari generasi- generasi sebelumnya dan akan diteruskan ke generasi mendatang,
kebudayaan tertanam dalam diri individu sebagai pola-pola persepsi yang diakui
dan diharapkan oleh orang-orang lainnya dalam masyarakat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
12
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang
dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
Dodd yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) melihat kebudayaan sebagai
konsep yang bergerak melalui suatu kontinum. Mulai dari kognisi dan keyakinan
mengenai orang-orang lain dan diri sendiri, termasuk nilai- nilai, sampai dengan
pola-pola tingkah laku. Adat kebiasaan (norms) dan praktek-praktek kegiatan
(activities) merupakan bagian dari norma- norma kebudayaan, yakni model- model
perilaku yang sudah diakui dan diharuskan. Ruben yang dikutip oleh Sunarwinadi
(2000) menyebutkan beberapa karakteristik dari kebudayaan, yaitu (1) kompleks
dan banyak segi, (2) tidak dapat dilihat, dan (3) berubah sejalan dengan waktu.
Beberapa dimensi yang paling mendasar dari kebudayaan adalah bahasa, adat
istiadat, kehidupan keluarga, cara berpakaian, cara makan, struktur kelas,
oirientasi politik, agama, falsafah ekonomi, keyakinan dan sistem nilai. Unsurunsur ini tidak terpisahkan satu sama lainnya, tetapi sebaliknya saling berinteraksi
sehingga menciptakan sistem budaya tersendiri.
Trenholm dan Jensen yang dikutip oleh Mulyana (2005) menyatakan
budaya sebagai seperangkat nilai, kepercayaan, norma dan adat istiadat, aturan
dan kode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang,
mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama.
Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi
abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga
mengenai apa yang diaggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan
demikian sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman tapi juga
sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidup, sehingga berfungsi juga
sebagai suatu sistem tata kelakuan, malahan sebagai salah satu sistem tata
kelakuan yang tertinggi diantara yang lain, seperti hukum adat, aturan sopan
santun dan sebagainya.
Suatu sistem nilai budaya yang tertentu telah berkembang sejak lama,
mencapai suatu kemantapan dan hidup langsung dari generasi ke generasi. Di
dalam fungsinya sebagai pedoman kelakuan dan tata kelakuan, maka sama halnya
dengan hukum misalnya. Suatu sistem nilai budaya itu seolah-olah berada diluar
13
dan diatas diri individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada individu sejak
kecil telah diresapi dengan nilai- nilai budaya dari masyarakatnya, sehingga
konsepsi-konsepsi itu telah menjadi berakar dalam diri mereka dan sukar untuk
diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat.
Suatu sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri individu
untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu objek berupa
manusia, hewan dan benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap objek
tersebut. Berbeda dengan nilai- nilai budaya yang seolah-olah berada di luar dan
diatas diri individu itu sendiri. Suatu sikap terhadap suatu objek itu, bisa juga
dipengaruhi oleh unsur-unsur nilai budaya, artinya pendirian dan perasaan orang
terhadap pekerjaan, terhadap manusia lain, terhadap hewan atau benda yang
dihadapinya itu, bisa di bentuk oleh cara pandangan umum dalam masyarakatnya
menilai objek-objek tadi.
Unsur-unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun
unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat
sebagai kesatuan. Mulyana (2003) menyatakan ada tiga unsur sosio budaya
mempunyai pengaruh besar dan langsung atas makna-makna yang kita bangun
dalam persepsi kita. Unsur- unsur tersebut adalah sistem kepercayaan (belief), nilai
(value) dan sikap (attitude). Sistem kepercayaan secara umum dapat dipandang
sebagai kemungkinan-kemungkinan subyektif yang diyakini individu bahwa suatu
objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Kepercayaan
melibatkan hubungan antara objek yang dipercaya dan karakteristik-karakteristik
yang membedakannya. Derajat kepercayaan seseorang mengenai suatu peristiwa
atau suatu objek yang dimiliki karakteristik-karakteristik tertentu menunjukkan
kedalaman atau intensitas kepercayaannya. Tegasnya, semakin pasti seseorang
dalam kepercayaannya, semakin besar pulalah intensitas kepercayaan tersebut.
Budaya memainkan peranan penting dalam pembentukan kepercayaan. Apakah
seseorang menerima tentang sesuatu hal, itu bergantung pada latar belakang
budaya dan pengalaman-pengalaman orang tersebut.
Dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai yang merupakan faktor
pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu
14
dalam kehidupan sehari- hari. Abdulsyani (1992) memberi batasan nilai sebagai
ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan
keadaan baik buruk, benar salah atau suka tidak suka terhadap suatu obyek, baik
material maupun non material.
Porter dan Samovar yang dikutip oleh Mulyana (1996) berpendapat nilai
adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan dan sikap. Dimensi-dimensi
evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan, kebaikan, estetika,
kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan. Nilai menentukan hal- hal
apa yang patut dipelajari dan dicemoohkan dan peristiwa apa menyebabkan
individu- individu memiliki solidaritas kelompok. Nilai- nilai budaya adalah
seperangkat
aturan
terorganisasikan
untuk
membuat
pilihan-pilihan dan
mengurangi konflik dalam suatu masyarakat.
Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara
keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif,
karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang baik dan buruk,
yang benar dan salah, yang positif dan negatif, apa yang perlu diperjuangankan
dan dilindungi.
Kepercayaan atau keyakinan serta nilai- nilai menyumbangkan pada atau
melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Sikap menurut Mar’at (1984)
merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai
dengan rangsang yang diterimanya. Sikap merupakan kumpulan dari berpikir,
keyakinan dan pengetahuan, yang memiliki tiga komponen, yaitu (1) komponen
kognisi yang berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep; (2) komponen afeksi
yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, dan (3) komponen konasi yang
merupakan kecenderungan bertingkah laku.
Komponen kognisi merupakan keyakinan seseorang mengenai obyek
siakpnya, keyakinan itu tidak hanya sebagai sesuatu yang buruk, bersih atau kotor,
tetapi dapat juga dalam wujud percaya dan tidak percaya. Komponen afektif
merupakan emosi yang berkorelasi dengan obyek sikap, bila seseorang berpikir
baik atau buruk, senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, berarti seseorang
mempunyai afektif yang positif atau negatif. Komponen konasi adalah
kecenderungan untuk bertindak, menyangkut semua kesiagaan tingkah laku. Jika
15
seseorang mempunyai sikap positif pada obyek sikap, maka ia akan membantu
dan mendukung obyek sikap dan sebaliknya.
J.J. Honigmann yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1990) Unsur
kebudayaan dapat dipandang dari tiga wujud yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide- ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, dan peraturan, (2)
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat dan (3) wujud komunikasi sebagai benda-benda hasil
karya manusia. Ketiga wujud kebudayaan ini dalam kehidupan masyarakat tentu
tak terpisah satu dengan lain. Ketiga wujud kebudayaan bila dilakukan oleh
masyarakat maka hal tersebut merupakan suatu pranata atau lembaga.
Sistematisasi dari norma-norma dan keyakinan-keyakinan ini terwujud
dalam
pranata-pranata
atau
institusi- institusi
kebudayaan
bersangkutan.
Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa pranata sosial meliputi serangkaian
kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakukan berpola yang mantap, bersamasama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai
dan juga orang-orang yang mendukungnya.
Sumner yang dikutip oleh Soekanto (2005) melihat pranata sosial dari
sudut kebudayaan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan
kebudayaan, bersifat kekal dengan bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah agar ada keteraturan dan integrasi
dalam masyarakat.
Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana
maka dirumuskan noram- norma masyarakat. Soekanto (2005) membedakan
kekuatan mengikat norma- norma masyarakat menjadi empat pengertian (1) cara
(usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. (2) kebiasaan (folkways) sebagai
perbuatan yang diulang- ulang dalam bentuk yang sama, (3) tata kelakuan (mores)
kebiasaan yang tidak semata- mata dianggap sebagai cara berperikelakuan saja,
tapi bahkan di terima sebagai norma yang mengatur, dan (4) adat istiadat (custom)
tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat dapat meningkatkan kekuatan mengikatnya. Anggota yang melanggar
adat istiadat akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak
langsung diperlakukan.
16
Norma- norma masyarakat setelah mengalami suatu proses pada akhirnya
akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut
dinamakan proses pelembagaan (institutionalization) yaitu suatu proses yang
dilewatkan oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu
lembaga kemasyarakatan. Yang dimaksud ialah sampai norma itu oleh masyarakat
dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari- hari. Gillin
dan Gillin yang kutip oleh Soekanto (2005) menguraikan beberapa ciri umum
lembaga kemasyarakatan yaitu (1) suatu lembaga kemasyarakatan adalah
organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui
aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil- hasilnya, (2) suatu tingkat kekekalan
tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan, (3) lembaga
kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu, (4) lembaga
kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, (5) lambang biasanya juga
merupakan ciri khas lembaga kemasyarakatan, dan (6) suatu lembaga
kemasyarakat mempunyai suatu tradisi tertulis atau yang tidak tertulis.
Bronislaw Malinowski yang dikutip oleh Soekanto (2005) sebagai salah
seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, menyebut unsur-unsur pokok
kebudayaan sebagai berikut:
1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
2. Organisasi ekonomi.
3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang utama.
4. Organisasi kekuatan .
Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1990)
menyimpulkan adanya tujuh
unsur universal yang merupakan isi dari semua
kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan.
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3. Sistem pengetahuan.
4. Bahasa.
17
5. Kesenian.
6. Sistem mata pencaharian hidup.
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk
manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi
dari konsepnya. Robert Redfield yang dikutip Sajogyo dan Pudjiwati (1995)
setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu:
1. Pola bersikap, yang mendapatkan isi dan pengarahan dari nilai-nilai budaya
(pandangan hidup) dan pola berpikir (wujud kebudayaan yang idiil, juga
disebut jiwanya).
2. Pola kelakuan dan bertindak dalam kegiatan bermasyarakat (wujud
kebudayaan kelakuan, disebut juga organisasi).
3. Pola sarana atau kebendaan (wujud kebudayaan yang fisik, disebut juga
teknologi).
Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi
semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi
tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang
dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila
seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus
memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu:
1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi
perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan
situasi maupun lokasinya.
2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti
18
mengalami perubahan atau perkembangan-perkembanga n, hanya kebudayaan
yang mati saja yang bersifat statis.
Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia,
walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara
singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan
merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan
meyakini seluruh unsur kebudayaannya (Soekanto, 2005).
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kebudayaan dapat dipahami
dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebaga i suatu kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi
semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu
yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan
dari generasi- generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang
menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan
kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).
Proses Komunikasi
Proses adalah segala gejala yang mengalami perubahan secara terusmenerus atau segala kejadian yang berlangsung terus- menerus. Dalam
menganalisa komunikasi sebagai suatu proses, harus dilihat terlebih dahulu unsurunsur yang menyebabkan terjadinya sebuah komunikasi, seperti siapa yang
berkomunikasi, mengapa dia berkomunikasi, dan kepada siapa komunikasi itu
ditujukan. Kita juga harus melihat perilaku komunikasi yang terjadi pesan yang
dihasilkan, apa yang cara dilakukan orang untuk berkomunikasi, bagaimana orang
mengkemas pesan-pesannya, saluran yang dipergunakan untuk menyampaikan
pesan tersebut.
Mulyana (2002) menyatakan komunikasi memiliki delapan unsur atau
proses, yaitu:
19
1. Sumber (Source).
Sumber adalah orang yang mempunyai suatu kebutuhan untuk
berkomunikasi. Kebutuhan ini mungkin berkisar dari kebutuhan sosial untuk
diakui sebagai individu hingga kebutuhan berbagai informasi dengan orang
lain atau mempengaruhi sikap atau perilaku seseorang atau sekelompok orang
lainnya.
2. Penyandian (Encoding).
Penyandian adalah suatu kegiatan internal seseorang untuk memilih dan
merancang perilaku verbal dan nonverbalnya yang sesuai dengan aturanaturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan.
3. Pesan (Message).
Pesan merupakan hasil perilaku menyandi yang terdiri dari lambanglambang verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan dan pikiran sumber
pada suatu saat dan tempat tertentu. Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan
dalam pesan, pertama kode pesan adalah setiap kelompok simbol yang dapat
disusun sedemikian rupa, yang mempunyai arti bagi sebagian orang. Kedua,
isi pesan dapat didefinisikan sebagai meteri yang dipilih sumber untuk
menyampaikan tujuannya dan ketiga perlakuan terhadap pesan adalah
keputusan-keputusan yang diambil sumber dalam memilih dan menyusun
kode isi pesan.
4. Saluran (Channel).
Saluran merupakan penghubung antara sumber dan penerima yang
berfungsi untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima.
5. Penerima (Receiver).
Penerima adalah orang yang yang menerima pesan dan sebagai
akibatnya menjadi terhubungkan dengan sumber pesan.
6. Penyandian balik (Decoding).
Penyandian balik adalah proses internal penerima dan pemberian makna
kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber.
7. Respons penerima (Receiver response).
Unsur ini menyangkut apa yang penerima lakukan setelah ia menerima
pesan. Respons ini bisa beraneka ragam, mulai dari tingkat minimum hingga
20
tingkat maksimum. Komunikasi dianggap berhasil bila respons penerima
mendekati apa yang dikehendaki oleh sumber yang menciptakan pesan.
8. Umpan balik (Feedback).
Umpan
balik
adalah
informasi
yang
tersedia
bagi
sumber
yang
memungkinkannya menilai keefektifan komunikasi yang dilakukannya untuk
mengadakan penyesuaian atau perbaikan-perbaikan dalam komunikasi
selanjutnya.
Menurut Effendy (2003) proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap,
yakni secara primer dan secara sekunder.
1. Proses Komunikasi Secara Primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya
yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan
komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangsung apabila terjadi
kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan
perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned)
bagi komunikator dan komunikan.
2. Proses Komunikasi Secara Sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan
oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana
sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan
komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang
relatif jauh atau jumlahnya banyak.
Proses komunikasi yang berlaku dalam masyarakat yang bersifat dinamik
merupakan kontrol
sosial. Kontrol sosial adalah sebuah proses
yang
mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya. Proses komunikasi pada
kontrol sosial adalah proses yang direncanakan atau tidak direncanakan yang
bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat
agar mematuhi norma dan nilai. Peranan kontrol sosial adalah untuk mengawasi
21
diri sendiri agar dalam berkomunikasi tetap memperhatikan nilai-nilai yang telah
disepakati bersama agar selalu bertindak dalam batas-batas budaya tertentu. Van
Doorn dan Lammers yang dikutip oleh Sajogyo dan Pudjiwati (1995) proses
melakukan kontrol sosial dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu (1) proses
ajar, didik, atau pewarisan, (2) dengan sanksi, (3) dalam ritus kolektif, dan (4)
dengan alokasi posisi-posisi.
Proses kontrol sosial seperti proses ajar didik, sanksi, ritus kolektif dan
alokasi posisi merupakan cara proses komunikasi dalam melaksanakan tradisi
pantang larang pada masyarakat Melayu Pontianak. Karena belajar merupakan
suatu proses, sudah tentu di dalamnya terjadi perubahan-perubahan yang bertahap.
Witting yang dikutip oleh Muhibbin (2003) menyatakan belajar adalah perubahan
yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah
laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Proses belajar selalu berlangsung
dengan tiga tahap, yaitu (1) tahap perolehan atau penerima informasi, (2) tahap
penyimpanan informasi, dan (3) tahap mendapatkan kembali informasi. Bandura
yang dikutip oleh Muhibbin (2003) menyatakan setiap proses belajar terutama
belajar sosial dengan menggunakan model terjadi dalam urutan tahapan peristiwa
yang meliputi (1) tahap perhatian, (2) tahap penyimpanan dalam ingatan, (3) tahap
reproduksi, dan (4) tahap motivasi.
Proses belajar selalu diikuti dengan proses didik, menurut Hasan
Langgulung yang dikutip oleh Mansur (2005) menyatakan pendidikan berarti
pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup
masyarakat itu tetap berkelanjutan. Jadi, masyarakat mempunyai nilai- nilai
budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat
tersebut tetap terpelihara. Saad yang dikutip oleh Lubis (2001) menyatakan
pendidikan adalah usaha yang sadar, terarah dan disertai dengan pemahaman yang
baik, untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapkan pada perilaku
individu dan selanjutnya pada perilaku komunitas di mana individu itu hidup.
Sanksi berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (1995) adalah tindakantindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati
ketentuan undang- undang. Lapiere yang dikutip oleh Lubis (2001) membagi
teknik atau cara kontrol sosial ke dalam klasifikasi, yaitu (1) sanksi fisik berupa
22
kontrol negatif, pengusiran, pemusuhan dan hukuman fisik, (2) sanksi ekonomi
berupa hukuman ekonomi, intimidasi ekonomi dan hadiah atau ganjaran ekonomi,
dan (3) sanksi psikologis berupa hukuman secara psikologis dan ganjaran atau
hadiah secara psikologis. Sedangkan ritus kolektif berdasarkan kamus besar
bahasa Indonesia (1995) adalah tata cara dalam upacara keagamaan secara
bersama.
Komunikasi Verbal
Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia
dalam hidupnya oleh berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia
itu sendiri maupun bersifat alami. Manusia dalam keberadaannya memang
memiliki
keistimewaan
dibandingkan
dengan
makhluk
lainnya.
Selain
kemampuan daya pikirnya (super rational), manusia juga memiliki keterampilan
berkomunikasi
yang
lebih
indah
dan
lebih
canggih,
sehingga
dalam
berkomunikasi mereka bisa mengatasi rintangan jarak dan waktu. Manusia
mampu menciptakan simbol-simbol dan memberi arti pada gejala-gejala alam
yang ada disekitarnya.
Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia
sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi mulai dari simbol
yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang
dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya.
Sekali kita sepakat atas suatu sistem simbol verbal, kita dapat menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi. Tentu saja, bila semua kata yang digunakan hanya
menujuk pada benda, maka komunikasi akan menjadi sederhana.
Tubbs and Moss (2001) menyatakan bahwa komunikasi verbal dimulai
dengan konsep makna, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang
serupa dengan yang ada dalam pikiran si pengirim. Pesan verbal tersebut bisa
melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa. Menurut Devito (1997)
komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai sistem
produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri atas simbol-simbol yang cepat
lenyap dan bermakna bebas serta dipancarkan secara kultural.
Mulyana (2002) komunikasi verbal adalah semua jenis simbol atau pesan
verbal yang menggunakan satu kata atau lebih yang disebut bahasa. Bahasa juga
23
dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa juga didefinisikan
sebagai seperangkat simbol, dengan aturan yang mengkombinasikan simbolsimbol tersebut, yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunikasi.
Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga
fungsi yang erat hubunganya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Ketiga
fungsi itu yaitu pertama, untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita. Kedua,
untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia. Ketiga, untuk
menciptakan ikatan- ikatan dalam kehidupan manusia.
Sebagai alat pengikat dan perekat dalam hidup bermasyarakat, bahasa
dapat membantu kita menyusun struktur pengetahuan menjadi logis dan mudah
diterima oleh orang lain. Sebab bagaimanapun bagusnya sebuah ide, kalau tidak
disusun dengan bahasa yang lebih sistematis sesuai dengan aturan yang telah
diterima, maka ide yang baik itu akan menjadi kacau. Bahasa bukan hanya
membagi pengalaman tetapi juga membentuk pengalaman itu sendiri. Secara
singkatnya, ada kaitan antara bahasa yang dipilih suatu kebudayaan dengan
gagasan-gagasan dan hal-hal yang terdapat dalam kebudayaan itu. Secara sadar
atau tidak sadar melalui bahasa, setiap kebudayaan menyampaikan kepada
masyarakat konsep-konsep penting yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
Komunikasi Nonverbal
Manusia dalam berkomunikasi selain menggunakan komunikasi verbal
(bahasa) juga memakai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal biasa
disebut bahasa isyarat atau bahasa diam. Komunikasi nonverbal yang digunakan
dalam berkomunikasi, sudah lama menarik perhatian para ahli terutama dari
kalangan antropologi, bahasa dan bidang kedokteran.
Porter dan Samovar yang dikutip oleh Sunarwinadi (2000) komunikasi
nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu
setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan
oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima.
Mark L. Knapp yang dikutip oleh Hafied (2004), istilah nonverbal
biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi diluar kata-
24
kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa
peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal.
Menurut Mark L. Knapp yang dikutip oleh Hafied (2004) menyebutkan
bahwa penggunaan komunikasi nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi
untuk:
1. Meyakinkan apa yang diucapkannya.
2. Menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan katakata.
3. Menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa menggenalnya.
4. Menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna.
Pemberian arti terhadap kode nonverbal sangat mempengaruhi oleh sistem
sosial budaya mesyarakat yang menggunakannya. Dari beberapa studi yang
pernah dilakukan sebelumnya, kode nonverbal dapat diartikan dalam beberapa
bentuk, antara lain : kinesics adalah kode nonverbal yang ditujukkan oleh
gerakan-gerakan badan, gerakan mata (eye gaze) mata adalah alat komunikasi
yang paling berarti dalam memberi isyarat tanpa kata, sentuhan adalah isyarat
yang dilambangkan dengan sentuhan badan, paralanguage adalah isyarat yang
ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami
sesuatu dibalik apa yang diucapkan, diam, postur tubuh, kedekatan dan ruang,
artifak dan visualisasi, warna, waktu, bunyi dan bau.
Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan jelas adanya,
apabila diingat bahwa keduanya dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertianpengertian yang harus dimiliki bersama. Dapat dimengerti mengapa komunikasi
nonverbal dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku
nonverbal dipelajari secara kebudayaan. Sebagai mana komunikasi verbal,
komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan.
Kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang memiliki atau
melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator.
Komunikasi Antarpribadi
Jika kita berbicara tentang komunikasi antarpribadi, maka yang dimaksud
adalah dua atau lebih orang yang terlibat dalam komunikasi verbal dan
komunikasi nonverbal secara langsung. Komunikasi antarpribadi adalah
25
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik verbal ataupun
nonverbal. Devito (1997) menyebutkan sebagai proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.
Komunikasi antar pribadi didefinisikan oleh Devito (1997) sebagai proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau di antara
sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
seketika. Lasswell dan Gerbner yang dikutip oleh Effendi (2003) komunikasi
antar pribadi merupakan proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua
orang atau diantara sekelompok kecil orang, dengan berbagai efek dan umpan
balik. Dalam rancangan pengembangan (developmental), komunikasi antar pribadi
dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tak pribadi
(impersonal) pada suatu ekstrim menjadi komunikasi pribadi atau intim pada
ekstrim yang lain.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi
antar pribadi di nilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan,
opini dan perilaku komunikan. Alasannya karena komunikasi antar pribadi
umumnya berlangsung secara tatap muka. Oleh karena komunikasi antar pribadi
tatap muka maka terjadilah kontak pribadi. Ketika kita menyampaikan pesan,
umpan balik berlangsung seketika. Kita dapat mengetahui tanggapan komunikan
terhadap pesan yang dilontarkan, ekspresi wajah, gaya bahasa.
Pentingnya komunikasi antarpribadi ialah karena prosesnya dialog adalah
bentuk komunikasi antarpribadi yang menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka
yang terlibat dalam komunikasi bentuk ini berfungsi ganda, masing- masing
menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Dalam proses komunikasi
dialogis nampaknya adanya upaya dari para pelaku komunikasi untuk terjadinya
pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Di situ terjadi rasa saling
menghormati bukan disebabkan status sosial ekonomi, melainkan didasarkan pada
anggapan bahwa masing- masing adalah manusia yang wajib berhak, pantas, dan
wajar dihargai dan dihormati sebagai manusia.
26
Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu
mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari mata uang. Budaya
menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Benar
kata Edward T. Hall bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah
budaya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
mensosialisasikan norma budaya masyarakat secara horizontal, dari suatu
masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Menurut Mulyana (2003) budaya menetapkan
norma-norma yang dianggap sesua i untuk suatu kelompok tertentu. Kegiatan
menyampaikan pantang larang oleh orang tua kepada anak merupakan
penyampaian secara vertikal, sedangkan penyampaian yang dilakukan oleh teman
kepada temannya merupakan penyampaian secara horizontal.
Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk mempengaruhi atau
membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indera untuk
mempertinggi daya bujuk pesan yang dikomunikasikan kepadanya. Sebagai
komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi
berperan penting hingga kapan pun, selama manusia masih mempunyai emosi.
Kenyataannya komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab
dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat
kabar atau televisi atau teknologi tercanggih sekalipun yang membuat manusia
merasa terasing.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi
antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap kepercayaan,
opini, dan perilaku komunikasi. Hal ini disebabkan karena komunikasi
antarpribadi berlangsung secara tatap muka antara komunikator dengan
komunikan. Ketika menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika
(immediate feedback). Komunikator mengetahui saat itu tanggapan komunikan
terhadap pesan yang disampaikan, seperti ekspresi wajah, gaya bicara. Tanggapan
tersebut akan bisa dipertahankan kalau tanggapan komunikan positif, tetapi
komunikator mesti berupaya memperbaiki gaya komunikasinya ketika ia melihat
tanggapan komunikan terhadap apa yang disampaikan itu negatif.
27
Keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku
komunikan itulah, maka komunikasi antarpribadi senantiasa dipergunakan untuk
melancarkan komunikasi persuasif (persuasive communication) yakni suatu teknik
komunikasi secara psikologis manusiawi yang sifatnya halus, luwes berupa
ajakan, bujukan atau rayuan.
Pola Komunikasi dan Perubahan Sosial
Pola Komunikasi
Memahami pola-pola komunikasi yang hidup dalam suatu masyarakat
akan memberikan gambaran umum dari perilaku komunikasi masyarakat tersebut.
Dari pola juga dapat diketahui bagaimana unit- unit komunikatif dari suatu
masyarakat tersebut diorganisasikan, dipandang secara luas sebagai ”cara-cara
berbicara”, maupun bagaimana pola-pola itu saling berkaitan dalam cara yang
sistematis dengan makna dan makna dari aspek-aspek yang lain.
Pace (2002) menyatakan pola-pola komunikasi bahwa pengaturan tertentu
mengenai ”siapa berbicara kepada siapa” dan mempunyai konsekuensi besar
dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola komunikasi, antara lain
pola roda dan pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan seluruh informasi
kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola lingkaran
memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya
melalui sejenis sistem pengulangan pesan.
Saville dan Traike yang dikutip oleh Antin (2005) menyatakan langkah
awal untuk mendiskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang ada dalam
suatu masyarakat dengan mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa komunikasi
yang terjadi secara berulang. Langkah selanjutnya menginventasikan komponen
yang membangun peristiwa komunikasi, kemudian menemukan hubungan antar
komponen tersebut.
Pola komunikasi suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari
keseluruhan pola budaya dan dapat dipelajari atau dipahami dalam konteks bahwa
pola-pola komunikasi yang menjadi pengamatan kita diseluruh dunia adalah
kumpulan dari adat istiadat yang selama ini kita anggap sepele dan tidak berarti.
28
Pada dasarnya, pola adalah suatu konsep yang ditujukan untuk
memudahkan
komunikasi
antara
satu
orang
dengan
orang
lain.
Pola
memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu aspek permasalahan dan solusi
untuk permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat spesifik, dan solusi yang
juga sangat spesifik. Pola mendeskripsikan atau menjelaskan permasalahan dan
solusinya,
dan
juga
mengkomunikasikannya.
Pola
memungkinkan
kita
menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Pola memudahkan
kita mengkomunikasikan suatu konsep desain.
Perubahan Sosial
Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan.
Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai- nilai sosial, lembaga
kemasyarakatan, pola-pola perilaku organisasi, lapisan- lapisan dalam masyarakat,
interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada
masyarakat merupakan gejala yang normal.
Judistira (1992) menyatakan kehidupan manusia adalah proses dari tahap
hidup ke tahap lainnya, karena itu perubahan sebagai proses dapat menunjukkan
perubahan sosial dan perubahan budaya. Proses dalam makna sosial pada
hakekatnya ialah perjalanan hidup suatu masyarakat yang ditunjukkan oleh
dinamikanya, baik mengikuti evolusi biologik dalam daur hidup, maupun
perubahan tingkah laku dalam menghadapi situasi sosial.
Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2005) mengatakan
perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah
lama diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Rogers yang dikutip oleh Sugihen
(1996) menyatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu proses yang melahirkan
perubahan-perubahan di dalam struktur
dan
fungsi
dari
suatu
sistem
kemasyarakatan.
Selo Soemardjan yang dikutip oleh Soekanto (2005) menyatakan
perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga- lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai- nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-
29
kelompok dalam masyarakat. Tekanan dalam definisi tersebut terletak pada
lembaga- lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahanperubahan mana kemudia n mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya.
Selain itu Wilbert Moore dikutip oleh Soekanto (2005) mengatakan bahwa
perubahan sosial adalah perubahan penting dari struktur sosial. Struktur sosial
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial, yang diekspresikan dalam norma,
nilai dan fenomena kebudayaan.
Vago yang dikutip oleh Sumarti (2004) menyatakan perubahan sosial
dapat dikonseptualkan sebagai proses perubahan kuantitatif dan kualitatif,
terencana maupun tidak terencana dalam fenomena sosial yang dapat dianalisa
berdasarkan lima komponen yang saling berkaitan, yaitu:
1. Identitas perubahan, menunjuk pada suatu fenomena sosial spesifik yang
sedang berubah, seperti perilaku, sikap pola interaksi, struktur otoritas, tingkat
produktivitas, pola pemilihan umum, prestise dan sistem stratifikasi.
2. Tingkat perubahan, menunjukkan lokasi dalam suatu sistem sosial dimana
suatu perubahan tertentu mengambil tempat, seperti individu, kelompok,
organisasi, kelembagaan dan masyarakat.
3. Durasi perubahan, menunjuk pada pertanyaan berapa lama suatu perubahan
tertentu muncul dan sampai dapat diterima. Hal ini mengarah pada jangka
waktu fenomena mengalami perubahan (short term atau long term).
4. Besarnya
perubahan,
berdasarkan
tiga
skema,
marginal
(pinggiran),
komprehensif dan revolusioner.
5. Kecepatan perubahan, berdasarkan pada skala yang relatif, seperti cepat atau
lambat, terus menerus atau tak teratur.
Sehingga konsep perubahan mencakup tiga perubahan dasar, yaitu: adanya
perbedaan, merupakan perubahan antar waktu dan dari satun keadaan ke keadaan
berikutnya dalam sistem yang sama.
Soekanto (2005) menyebutkan faktor- faktor yang mendorong jalannya
perubahan yang terjadi antara lain:
1. Kontak dengan kebudayaan lain.
2. Sistem pendidikan formal yang maju.
3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.
30
4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang
bukan merupakan delik.
5. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification).
6. Penduduk yang heterogen.
7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
8. Orientasi ke masa depan.
9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki
hidupnya.
Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah:
1. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
3. Sikap masyarakat yang sangat tradisional.
4. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested
interests.
5. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
6. Prasangka terhadap hal- hal baru atau asing atau sikap yang tertutup.
7. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
8. Adat atau kebiasaan.
9. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.
Komunikasi dan Perubahan Sosial
Komunikasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai proses
penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997)
komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau
lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise),
terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan
balik.
Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu untuk
memberi informasi (informative), untuk membujuk (persuasif) dan untuk tujuan
menghibur (entertainment). Gorden yang dikutip oleh Mulyana (2002)
menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial,
komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental. Fungsi
komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi adalah
31
penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk
memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat
komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain.
Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut
hal- hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai- nilai
sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga- lembaga kemasyarakatan,
lapisan- lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial
menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat
kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat
dunia.
Rogers (1989) menyatakan komunikasi bisa menyebabkan perubahan jika
ia dapat mengubah konsepsi seseorang tentang hakekat materi dan dirinya sendiri.
Dalam sistem sosial manapun terdapat banyak sekali komunikasi yang
dimaksudkan untuk memperkecil atau menghalangi perubahan yang cenderung
akan terjadi bila tidak ada komunikasi itu. Kebanyakan komunikasi yang bersifat
ritual pada dasarnya dimaksudkan untuk memelihara kestabilan ini. Hubungan
antara individu sebagaian dipelihara dengan komunikasi. Pewarisan kebudayaan
banyak yang tergantung pada komunikasi. Banyak pertukaran pesan-pesan
berfungsi untuk memperkuat pandangan atau nilai-nilai yang dianut sebelumnya,
bukan untuk mengubahnya. Komunikasi dimana-mana berfungsi untuk menjaga
kestabilan yang merupakan syarat bagi terjadinya perubahan, baik yang
sepenuhnya dikendalikan dan direncanakan ataupun tidak.
Download