Warisan Nilai Luhur - UPT Pusat Pengkajian Pancasila

advertisement
Memperkuat Social Paedagogy
untuk Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa1
Prof. Dr. Supriyono, M.Pd.
Warisan Nilai Luhur
Bangsa Indonesia memiliki pohon keluhuran yang menjulang tinggi dengan akar yang
terhunjam kuat dalam perut bumi Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Pohon keluhuran
dimaksud terkristalisasi dalam falsafah hidup atau pandangan hidup (way of life) Bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Itulah identitas dan sekaligus karakter yang seharusnya melekat
dalam diri bangsa ini, apakah di tingkat individu warga bangsa ataukah di tingkat
kolektivitas. Oleh sebab itu, adalah suatu keharusan bagi bangsa ini untuk melestarikan
keluhuran tersebut sampai kapan pun sehingga Bangsa Indonesia tetap terjaga keluhurannnya
dari generasi ke generasi.
Keharusan untuk melestarikan karakter dan identitas bangsa yang Pancasilais tersebut
tentu saja perlu dilakukan secara sadar, sengaja dan terencana. Hal itulah yang perlu
diupayakan dan ditunaikan oleh Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Karenanya, dalam
UU RI tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas dinyatakan bahwa
”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara RI tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman” (Ketentuan Umum, pasal 1 ayat
(2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional).
Konseptualisasi ”pendidikan nasional” sebagaimana disebutkan di atas mengandung
implikasi yang sangat jelas, yaitu: Pertama, keharusan Sistem Pendidikan Nasional untuk
melestarikan identitas dan karakter bangsa yang Pancasilais. Kedua, keharusan Sistem
Pendidikan Nasional untuk tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Ketiga, keharusan
yang disebutkan pertama dan keharusan yang disebutkan kedua bukanlah untuk
dipertentangkan satu sama lain, melainkan untuk ”dipersandingkan” sehingga senantiasa
tercipta perubahan dan kesinambungan (change and continuity); menjadi bangsa yang
senantiasa tumbuh dan berkembang ke arah yang semakin maju dan sejahtera dengan tetap
terpelihara identitas dan karakter ke-Indonesiaannya yang Pancasilais.
Ketiga implikasi tersebut perlu diupayakan secara sadar, sengaja dan terencana, tidak
hanya pada jalur pendidikan formal, melainkan juga pada jalur pendidikan nonformal dan
pendidikan informal. Selama ini, masih belum tampak dilakukan upaya pengembangan jalur
1
Disampaikan pada seminar nasional “Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa dengan Bhinneka Tunggal
Ika dalam Perspektif Pendidikan”, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pancasila Universitas
Negeri Malang dalam rangka Dies Natalis ke 62, tanggal 29 Oktober 2016, berdasarkan surat Rektor UM No.
9.9.6/UN32/TU/2016 tanggal 9 September 2016.

Prof. Dr. Supriyono, M.Pd. adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
pendidikan nonformal dan pendidikan informal secara sadar dan terencana di dalam Sistem
Pendidikan Nasional. Dengan kata lain, ”jalur pendidikan nonformal dan informal” masih
terbengkalai. Padahal, usaha sadar dan terencana pengembangan pendidikan nonformal dan
informal itu sesungguhnya dapat dilakukan demi tercipta ”suguhan yang mendidik” dalam
realitas kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan lingkungan kehidupan sosial
lainnya, termasuk tempat kerja, media massa, media sosial, dan ruang publik apapun. Dengan
begitu, identitas dan cita-cita bangsa yang Pancasilais menjadi sesuatu yang hadir dan
”tersuguhkan” dalam keseharian hidup indivividu, komunitas, dan Bangsa Indonesia.
Intervensi ke arah itu merupakan ruang spesifik bagi pengembangan pendidikan
nonfomal dan pendidikan informal dalam Sistem Pendidikan Nasional dalam sistem
pendidikan nasional. Sementara itu upaya pelestarian nilai-nilai keluhuran Bangsa Indonesia
secara sistemis juga dilakukan melalui jalur pendidikan formal, kesekolahan, melalui mata
pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN) dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Tetapi mengapa hasil-hasil pendidikan tentang nilai-nilai keluhuran itu seperti tidak
berbekas dalam kehidupan sehari-hari?
Anomali Bangsa
Dewasa ini berbagai pihak kerap mempertanyakan ”ada apa dengan bangsa ini?”
Kenapa keadaan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemikian banyak masalah?
Mengapa krisis moral berlangsung sedemikian parah? Mengapa rasa persatuan-kesatuan dari
bangsa ini seakan-akan sirna? Mengapa korupsi menggurita di mana-mana? Mengapa
kesantunan dan rasa kebersamaan seakan-akan hilang dalam sikap dan perilaku bangsa ini?
Pendek kata ”mengapa pohon keluhuran yang menjulang tinggi dan berakar kuat di sanubari
bangsa ini seakan-akan menghilang? Ada apa? Mengapa bisa demikian?”
Benarkah ini dampak euphoria reformasi? Tetapi mengapa jadi berlarut-larut?
Munculnya euphoria politik sebagai dialektika runtuhnya rezim Orde Baru, berupa keinginan
menjadi bangsa yang demokratis, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
menghargai dan taat hukum merupakan beberapa karakter bangsa yang diinginkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, kenyataan yang ada justru
menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai
dengan kekerasan dan kerusuhan muncul di mana-mana, diiringi mengentalnya semangat
kedaerahan dan primordialisme yang bisa mengancam integrasi bangsa; praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme tidak semakin surut malahan semakin berkembang; demokrasi penuh
etika yang didambakan berubah menjadi demokrasi yang kebablasan dan menjurus pada
anarkisme dan manipulasi suara rakyat menjadi kendaraan kepentingan elite; kesantunan
sosial dan politik semakin memudar pada berbagai tataran kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; kecerdasan kehidupan bangsa yang dimanatkan para pendiri
negara semain tidak tampak, semuanya itu menunjukkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa dekadensi moral ini tidak kalah memprihatinkan.
Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan sampai yang berat masih kerap
diperlihatkan oleh pelajar dan mahasiswa. Kebiasaan mencontek pada saat ulangan atau ujian
masih dilakukan. Keinginan lulus dengan cara mudah dan tanpa kerja keras pada saat ujian
nasional menyebabkan mereka berusaha mencari jawaban dengan cara tidak beretika. Mereka
mencari bocoran jawaban dari berbagai sumber yang tidak jelas. Apalagi jika keinginan lulus
dengan mudah ini bersifat institusional karena direkayasa atau dikondisikan oleh pimpinan
sekolah dan guru secara sistemik. Pada mereka yang tidak lulus, ada di antaranya yang
melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri atau bahkan bunuh diri. Perilaku tidak
beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa. Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah di
kalangan mahasiswa juga masih bersifat massif. Bahkan ada yang dilakukan oleh mahasiswa
program doktor. Semuanya ini menunjukkan kerapuhan karakter di kalangan pelajar dan
mahasiswa.
Hal lain yang menggejala di kalangan pelajar dan mahasiswa berbentuk kenakalan.
Beberapa di antaranya adalah tawuran antar pelajar dan antar mahasiswa. Di beberapa kota
besar tawuran pelajar menjadi tradisi dan membentuk pola yang tetap, sehingga di antara
mereka membentuk musuh bebuyutan yang diwariskan dari angkatan ke angkatan. Tawuran
juga kerap dilakukan oleh para mahasiswa seperti yang dilakukan oleh sekelompok
mahasiswa pada perguruan tinggi tertentu di kota-kota besar maupun kota kecil. Bentuk
kenakalan lain yang dilakukan pelajar dan mahasiswa adalah meminum minuman keras,
pergaulan bebas, dan penyalahgunaan narkoba yang bisa mengakibatkan depresi bahkan
terkena HIV/AIDS. Fenomena lain yang mencorong citra pelajar adalah dan lembaga
pendidikan adalah maraknya “gang pelajar” dan “gang motor”. Perilaku mereka bahkan
seringkali menjurus pada tindak kekerasan (bullying) yang meresahkan masyarakat dan
bahkan tindakan kriminal seperti pemalakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Semua
perilaku negatif di kalangan pelajar dan mahasiswa tersebut atas, jelas menunjukkan
kerapuhan karakter yang cukup parah yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya
pengembangan karakter di lembaga pendidikan di samping karena kondisi lingkungan yang
tidak mendukung.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman dalam pelbagai aspek, konflik sosial
merupakan fenomena yang tidak mungkin bisa dihindarkan. Di beberapa kajian teoritik
seperti dalam antropologi dan sosiologi, keragamaan yang dimiliki suatu bangsa,
sebagaimana yang juga dimiliki oleh bangsa Indonesia, selalu dipandang sebagai suatu
kekuatan sosial yang memiliki potensi positif. Keragaman yang tercermin pada identitas
kolektif suatu kelompok sosial, dapat menciptakan ikatan kohesif yang dapat memperkuat
posisi tawar dengan kelompok sosial lainnya. Tidak salah bila para pendiri Republik ini
memilih semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai gambaran keberagaman dan persatuan
bangsa Indonesia. Tetapi, di sisi lain, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah penelitian,
keragaman tersebut berpotensi juga dalam menciptakan stereotip dan kecurigaan terhadap
kelompok lain. Maka bisa dipastikan, sikap tersebut menjadi pintu masuk munculnya konflik
sosial (Warnaen, 2002; Sihbudi dan Nurhasim, ed., 2001).
Pluralisme di Indonesia sudah ada sejak dulu, mulai dari keberagaman etnis, budaya,
adat istiadat, bahasa, mata pencaharian, sampai keberagaman agama. Pluralisme di Indonesia
pernah terancam oleh pemaksaan penyeragaman. Namun penyeragaman tersebut tidak
mampu berhasil menghapus pluralisme. Menanamkan pluralisme dan toleransi penting
dilakukan di Indonesia untuk mengelola keberagaman tersebut sehingga tidak berkembang
menjadi konflik, perpecahan, dan kehancuran. Dunia pendidikan berperan besar dalam
mengajarkan dan mendidik nilai-nila pluralisme di Indonesia, sejak dari tingkat pendidikan
usia dini sampai pendidikan tinggi, melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun
informal. Namun demikian perlu disepakati tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang
pendidikan kebhinnekaan (multi cultural), pendidikan pluralisme, atau pendidikan
keberagaman dan persatuan, atau pun pendidikan perdamaian. Pemahaman dan aktualisasi
keberagaman dan persatuan (diversity and unity) lebih baik diajarkan melalui kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum) dan pendidikan secara nonformal dan informal. Dalam
khasanah kebijakan Mendikbud (2016) sekarang dikemas sebagai Gerakan Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK) yang tengah dimulai proyek pilotnya di sekolah-sekolah.
Wawasan budaya monolitik, dapat menggrogoti integrasi bangsa serta pada saat yang
sama, juga secara progresif berdampak menggerus modal sosial bangsa, yang justru sangat
diperlukan dalam rangka pemulihan perekonomian nasional, yaitu keberagaman. Berdasarkan
tesis ini pemeliharaan dan pengembangan keragaman budaya perlu dilakukan. Sebaliknya
pengembangan budaya monolitik, penyeragaman, dan intoleran terhadap perbedaan dan
keberagaman perlu dicegah, apalagi bila penyeragaman dilakukan dengan cara pemaksaan,
tekanan, dan teror.
K.H Hasyim Muzadi (2008) ketika menjadi panelis dalam Seminar Nasional dan
Diskusi Panel Pendidikan Damai di Universitas Negeri Malang menyatakan bahwa ada
beberapa faktor yang masing-masing berpotensi damai tetapi juga dapat berpotensi konflik.
Faktor-faktor tersebut adalah agama, etnis, budaya, dan kepentingan. Faktor agama berperan
penting dalam pendidikan damai. Konflik berlatar agama terjadi karena belum ada
keseimbangan antara agama sebagai nilai kognitip dan nilai universal. Ketika keduanya tidak
seimbang, akan muncul eksklusivitas agama. Diluar islam atau kristen nilai-nilai itu sama,
misalnya bahwa orang berbuat baik pasti dapat pahala.
Etnis dan budaya juga berpotensi sebagai pemecah perdamaian, tetapi sekaligus
mampu menjadi pemicu konflik. Oleh karena itu harus ada landasan moral dan agama dalam
memandang berbagai keragaman etnis dan budaya. Sebagai contoh, dalam Islam tidak ada
perbedaan bangsa dan etnis, semua bangsa dan etnis memiliki kedudukan yang sama di
hadapan Allah dan dalam menjalankan agama. Dalam konteks ini K.H. Hazim Muzadi (2008)
berpendapat ada kesalahan pandangan di masyarakat bahwa bangsa Arab merupakan bangsa
yang paling islami. Akibatnya, setiap budaya yang berbau Arab dipandang islami: musikmusik Arab adalah musik yang islami (padahal tidak semuanya benar), pakaian Arab
merupakan pakaian yang paling islami, dan sebagainya. Di sisi lain, orang Indonesia juga
memiliki persepsi bahwa segala yang berbau barat (dinyatakan dalam istilah-istilah dalam
bahasa Inggris) dikesani sebagai lebih ilmiah. Orang sering menggunakan bahasa Inggris biar
dikira pandai tetapi belum tentu pintar. Ini contoh bahwa kita masih menempatkan bangsa
tertentu sebagai lebih tinggi dari lainnya.
Konflik yang paling berat adalah konflik antar kepentingan. Pengendalian konflik
tidak cukup dengan edukasi, terkadang juga diperlukan represi. Dulu, pada jaman
pemerintahan Orde Baru, konflik antarkepentingan tidak tampak karena tindakan represif
pemerintah. Pada era reformasi, saat bangsa Indonesia merasa keluar dari kungkungan,
kebebasan kita meledak sampai tak terukur porsinya. Ledakan tersebut ditunjang oleh konflik
Timur Tengah yang dibawa ke Indonesia sehingga peristiwa di Bali (bom Bali, pen.) dikesani
sebagai perilaku Islam Indonesia. Padahal bukan seperti itu. Konflik antarumat beragama
perlu dipecahkan bersama oleh pemuka-pemuka agama. Lebih lanjut, konflik dengan alasan
agama, etnis, budaya, dan antarkepentingan harus diselesaikan bersama-sama antar berbagai
pihak melalui kesadaran kebhinenaan dan ke-eka-an dalam berbangsa dan bernegara.
Masalah muncul ketika keberagamaan individu yang telah berkembang menjadi
identitas kelompok berhadapan dengan identitas kelompok lainnya, karena sebagaimana
dikatakan Johnstone (1983): “Group members feel and express a sense of identification with
the group”. Dalam kajian antropologi dikenal konsep bounded system untuk menggambarkan
adanya teritorialisasi masyarakat berdasarkan wilayah geografis dan nilai-nilai
kebudayaannya (Abdullah, 1999). Masyarakat memiliki kecenderungan alami
mempertahankan batas-batas terioterialnya tersebut, sebagaimana yang juga terjadi dalam
kehidupan agama. Dalam konteks ini, selalu terjadi paradoks antara in-group dan out-group
yang mengambil beberapa bentuk sebagai berikut: pertama, stereotip, yakni pandangan
(image) umum suatu kelompok tentang kelompok lainnya. Meskipun stereotip ada yang
berkonotasi positip, tetapi pada umumnya stereotip selalu digunakan untuk memberikan
pencitraan negatif terhadap kelompok lain. Terhadap kelompoknya sendiri selalu diberi
penilaian sebagai kelompok terpandai dan superior (as virtuos and superior), yang
melahirkan sikap: willingness to fight and die for in- group. Sedangkan terhadap kelompok
luar dipandang sebaliknya, yaitu rendah, immoral, dan inferior ( as contemtible, immoral, and
inferior), yang melahirkan sikap: distrust and fear of the out-group (Levine dan Campbell,
1972).
Dalam kehidupan antar umat beragama stereotip juga mudah terjadi sebagai
konsekuensi dari adanya dimensi kemutlakan dalam agama, terutama yang berkaitan dengan
sumber, konsep keselamatan, dan kehidupan eskatologis. Tidak ada agama di dunia ini yang
tidak membicarakan hal tersebut. Hanya yang menjadi persoalan adalah ketika kemutlakan
tersebut memunculkan klaim kebenaran (truth claim) yang kemudian menegasikan kebenaran
lainnya. Ini jelas bagian dari stereotip karena terdapat pencitraan (image) negatif terhadap
kebenaran agama lain. Bila praktik agama mengarah pada sikap mau benarnya sendiri (truth
claim) yang menegasikan terhadap kebenaran lainnya, maka sikap yang demikian, dalam
pandangan Kimball (2002), sama halnya dengan melakukan pembusukan terhadap agama.
Potensi kebersamaan, keindahan, dan konflik juga terjadi karena keberagaman
kebudayaan. Analisis kebudayaan perlu pula dilakukan dalam memahami konflik dan
kekerasan. Kebudayaan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku manusia seperti perilaku
dalam berhubungan dengan kelompok agama lain. Salah satu pandangan mengatakan bahwa
kebudayaan manusia terdiri dari nilai, kepercayaan, norma, rasionalisasi, simbol, dan ideologi
(Thompson, Ellis, dan Wildavsky, 1990). Semua unsur kebudayaan ini selanjutnya menjadi
faktor determinan terhadap cara berfikir, perasaan, dan tindakan manusia ketika berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya (Gollnick dan Chinn, 2002). Namun tetap diakui adanya
dialektika antara faktor subyektif manusia dengan lingkungan sosialnya. Jika dikatakan
bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dunia maknanya yang berbentuk kebudayaan,
tidak boleh dilupakan, kebudayaan manusia sendiri sebenarnya merupakan hasil internalisasi
dari lingkungan sosialnya.
Ruang Social Paedagogy
Bagaimana faktor kebudayaan berpengaruh terhadap konflik dan aksi kekerasan dalam
kehidupan masyarakat? Telah dikemukakan bahwa dalam kebudayaan terdapat nilai, norma,
simbol, rasionalisasi, dan ideologi, yang berpengaruh dalam tindakan manusia. Semua unsur
kebudayaan ini tidak diperoleh manusia secara genetik, atau transmisi secara biologis, tetapi
melalui proses belajar (Freedman, et.all, 1952; Ihromi, 1990). Sebagaimana halnya
mekanisme biologis pada makhluk hidup yang digerakkan oleh kebutuhan, manusia juga
demikian. Semua makhluk hidup butuh makanan. Jika makhluk hidup merasa lapar, secara
butuh ingin makan. Kebutuhan terhadap makanan bukan kebudayaan, karena bersifat
instingtif. Konsep kebudayaan baru bisa dipakai pada kasus makanan jika berkaitan dengan
tata cara makan yang diperoleh melalui proses belajar. Sedangkan segala sesuatu yang
bersifat instingtif tidak diperoleh melalui proses belajar. Nilai, norma, simbol, rasionalisasi,
dan ideologi, hanya bisa menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia jika diperoleh
melalui proses belajar. Salah satu proses penting untuk mempelajari pelbagai unsur budaya
tersebut adalah melalui sosialisasi, yakni proses dalam mana individu mempelajari budaya
masyarakatnya (Haralambos dan Holborn, 1994).
Lewat proses sosialisasi, individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan
memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan, dan tingkah pekertitingkah pekerti apa pulakah yang harus tidak dilakukan (terhadap dan berhadapan dengan
orang lain) di dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi ini pula individu-individu belajar
mengetahui dan memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan,
atau tidak dilakukan (terhadap dan sewaktu berhadapan dengan dia, atau dengan orang
ketiga) dalam masyarakat. Ringkas kata, lewat sosialisasi warga masyarakat akan saling
mengetahui peranan masing-masing dalam masyarakat, dan karenanya kemudian dapat
bertingkah pekerti sesuai dengan peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana
diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada; dan selanjutnya mereka akan dapat saling
menyerasikan serta menyesuaikan tingkah pekerti masing-masing sewaktu melakukan
interaksi-interaksi sosial (Wignjosoebroto dan Suyanto, 2004).
Melalui sosialisasi, individu bertindak sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya.
Proses semacam ini merupakan hal yang alami terjadi. Proses inilah yang disebut oleh
Soekanto (1986) dengan identifikasi. Banyak aspek dalam kehidupan sosial yang menjadi
bagian penting dalam proses identifikasi. Salah satu yang dapat disebut pada bagian ini
adalah agama.
Neglected Setelah P4
Pada masa Orde Baru, yaitu periode pemerintahan Presiden Soeharto keinginan untuk
menjadi bangsa yang bermartabat, yang Pancasilais tidak pernah surut. Soeharto, sebagai
pemimpin Orde Baru, menghendaki bangsa Indonesia senantiasa bersendikan pada nilai-nilai
Pancasila dan ingin menjadikan warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila melalui
penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Salah satu nilai yang ingin
diinternalisasikan adalah kebhinnekaan dan persatuan Indonesia. Secara filosofis penataran
ini sejalan dengan kehendak pendiri negara, yaitu ingin menjadikan rakyat Indonesia sebagai
manusia Pancasila, namun secara praksis penataran ini dilakukan dengan menggunakan caracara indoktrinasi dan tanpa keteladanan yang baik dari para penyelenggara negara sebagai
prasyarat keberhasilan penataran P-4. Sehingga bisa dipahami jika pada akhirnya penataran
P-4 ini mengalami kegagalan, meskipun telah diubah pendekatannya dengan menggunakan
pendekatan kontekstual, metode dialog melalui Permainan Simulasi.
Sejak Orde Baru runtuh upaya pendidikan nilai-nilai Pancasila seperti kehilangan
orientasinya, bahkan yang di dalam jalur sekolahpun seperti tidak berdaya menghadapi
gempuran informasi melalui media masa, media sosial, dan komunikasi interpersonal yang
tersaji di ruang publik yang destruktif terhadap nilai-nilai kebhinnekaan dan persatuan.
Lebih-lebih pendidikan yang melalui jalur pendidikan nonformal dan informal hampir tidak
pernah terjadi karena penataran-penataran tentang Pancasila dan Kewarganegaraan tidak lagi
diberikan kepada setiap warga negara, melainkan hanya diberikan pada aparatur pemerintah
melalui diklat prajabatan dan diklat penjenjangan karir.
Pengembangan pendidikan nonformal dan informal untuk internalisasi nilai-nilai
Pancasila sudah saatnya ditangani sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional,
dan tidak dibiarkan terbengkalai atau ”menjadi bagian tak terurus” seperti selama ini. Bila hal
tersebut diupayakan secara sadar dan terencana niscaya berbagai ”suguhan tak mendidik di
media massa dan media sosial” serta tak sejalan dengan identitas dan cita-cita luhur bangsa,
yang tersaji baik di keluarga maupun di lingkungan kehidupan sosial lainnya, secara
sistematis dapat dieliminir.
Sehubungan dengan itu, peran strategis jalur pendidikan nonformal dan informal
sudah sepatutnya mendapat perhatian serius untuk dikembangkan. Sebab, pasar bebas ide-ide
yang berkembang pesat dewasa ini dapat menyebarkan ”virus liar” yang tak sejalan dengan
identitas dan cita-cita luhur bangsa, dan itulah yang kental menggejala belakangan ini,
khususnya bila menyimak ”suguhan” yang terpajang di media massa, media sosial, dan
komunikasi publik yang berfungsi sebagai pedagogy sosial. Bila hal tersebut dibiarkan tanpa
intervensi yang sifatnya edukatif niscaya berakibat buruk bagi upaya pelestarian identitas dan
cita-cita luhur Bangsa Indonesia; peran jalur pendidikan formal tak akan memadai untuk
menanggulanginya, disamping terlalu lama dalam menghasilkan dampak perbaikan pada
khalayak sasaran peserta didik. Dengan demikian, pengembangan jalur pendidikan informal
sebagai suatu usaha sadar dan terencana menjadi suatu kebutuhan dan keharusan di dalan
Sistem Pendidikan Nasional, termasuk untuk Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Teori strukturasi Anthony Giddens (1984) sangat relevan digunakan untuk
menjelaskan fenomena pedagogi sosial dan lunturnya penghayatan nilai-nilai Pancasila.
Selaku teoritikus sosiologi paling terkemuka masa kini, Giddens berhasil mensintesiskan dua
kutub teori dalam sosiologi yang selama ini berseberangan, yaitu kutub teori strukturalisme
dan kutub teori interaksionisme.
Kutub teori strukturalisme pada dasarnya berpandangan bahwa individu dalam suatu
masyarakat adalah semacam ”hamba” yang sehari–hari dituntut tunduk kepada struktur yang
menjadi tuannya. Sebab, tatanan masyrakat yang menstruktur dalam kenyataannya telah ada
dan terbentuk sebelum seseorang (warga masyarakat) itu lahir sehingga warga pendatang
baru tersebut tinggal menyesuaikan diri dengan tuntutan struktur yang berlaku di tempat ia
berada.
Sebaliknya, kutub teori interaksionisme berpandangan bahwa struktur yang menjadi
tatanan masyarakat itu tidak pernah dan tidak dapat berbuat apapun; yang berbuat adalah
orang atau individu. Karenanya, suatu struktur sesungguhnya merupakan produk interaksi
warga masyarakat itu sendiri. Melalui interkasi warga masyarakat itulah terbangun negosiasi
sehingga tercipta tatanan atau struktur yang akhirnya menuntun sikap dan perilaku mereka
sehari-hari.
Oleh Giddens, kedua kutub teori tadi disintesiskan atau dikawinkan menjadi satu teori
sintesis, yang sekarang dikenal dengan nama Teori Strukturasi. Menurut teori strukturasi ini,
struktur itu bukanlah sesuatu yang final dan statis, melainkan selalu dalam proses menjadi
yang tiada akhir. Struktur dan individu warga masyarakat bersifat interaktif, yaitu sama-sama
saling menentukan dan ditentukan. Struktur bersifat menentukan, yaitu menentukan perilaku
individu warga masyarakat, tetapi pada waktu bersamaan juga ditentukan oleh individu
(warga masyarakat). Sebaliknya, individu (warga masyarakat) ditentukan oleh struktur, tetapi
pada saat bersamaan juga ikut menentukan struktur. Dalam istilah Giddens, struktur itu
medium dan sekaligus outcome. Sementara itu individu (warga masyarakat) adalah
reproduser (pelestari struktur) dan sekaligus juga produser (pencipta struktur).
Berdasarkan teori strukturasi Giddens tersebut tampak jelas bahwa pohon keluhuran
Bangsa Indonesia (sekalipun berakar kuat dalam budaya bangsa) bukanlah sesuatu yang final
dan statis; bukan sesuatu yang tak tergoyahkan, melainkan senantiasa mengalami proses
reproduksi dan produksi secara terus menerus tanpa akhir, bahkan bisa tergradasi. Yang
melakukan reproduksi dan produksi tidak lain adalah individu warga masyarakat itu sendiri.
Itu berarti, keadaan yang mengecewakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dewasa ini adalah buah dari proses reproduksi dan produksi dalam kehidupan
sehari-hari.
Itulah hasil belajar bangsa ini dalam lingkungan intreraksi mereka sehari-hari. Apa
yang mereka serap dari media massa, lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan sehari-hari
di masyarakat, organisasi, tempat kerja, permukiman, pusat layanan publik dan sebagainya
ikut menjadi sumber belajar (”sekolah”) yang memproduksi realitas kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Proses reproduksi dan produksi ”pohon keluhuran” yang menjadi identitas Bangsa
Indonesia sudah seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab utama lembaga pendidikan
formal, nonformal, dan informal. Sesuai dengan teori strukturasi Giddens, lembaga
pendidikan tentu saja perlu secara sadar dan terencana menciptakan lingkungan kehidupan
yang mendidik di manapun dan kapanpun, yaitu sejalan dengan identitas dan cita-cita luhur
bangsa ini, sehingga dapat memelihara dan memupuknya. Dengan demikian, pengembangan
pendidikan menjadi suatu keharusan bila tak ingin bangsa ini berkembang semakin jauh
menyimpang dari nilai-nilai kepribadian luhur yang dimilikinya.
Revitalisasi Gerakan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Nilai-nilai luhur ”hadiah masa lampau” dari bangsa ini patut disyukuri, dihargai dan
dilestarikan dari generasi ke generasi. Keluhuran tersebut merupakan modal sosial, budaya
dan spiritual Bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya asalkan tetap tertanam dalam
kesadaran masyarakat dan teraktualisasi ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Modal
itulah yang harus dipupuk terus agar tetap tumbuh, berkembang dan membudaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal tersebut tentu saja
menjadi tugas utama dunia pendidikan, yaitu oleh Sistem Pendidikan Nasional, yang
mencakup jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
Mengapa dunia pendidikan harus memupuk modal keluhuran dimaksud secara terus
menerus? Mengapa Sistem Pendidikan Nasional harus mengemban fungsi pelestarian
tersebut secara berkesinambungan? Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, menurut
Fukuyama (1992) setidaknya ada dua alasan teoretis-filosofis yang dapat diajukan, yaitu:
Pertama, seluhur apa pun suatu nilai, pandangan, gagasan atau keyakinan ”nasibnya”
sangat bergantung pada kuat atau lemahnya pemulyaan terhadap keluhuran dimaksud oleh
masyarakat. Merosotnya keluhuran suatu nilai-nilai kehidupan dalam pandangan masyarakat,
merupakan gejala bahwa nilai-nilai tersebut akan pudar dan sirna dari peredaran. Hal
tersebut juga bisa terjadi pada pohon keluhuran yang dimiliki Bangsa Indonesia. Hanya
proses pendidikan yang dapat melestarikan nilai dan cita-cita luhur yang dimiliki Bangsa
Indonesia.
Kedua, suatu keluhuran apa pun hanya mungkin diwariskan atau diturunkan ke
generasi berikutnya sepanjang keluhuran tersebut secara nyata masih hidup dalam keseharian
masyarakat bersangkutan; yang tak lagi aktual dalam kehidupan sehari-hari tidak akan
mungkin terwariskan. Hal yang demikian itu tentunya juga berlaku bagi ”pohon keluhuran”
yang dimiliki bangsa ini. Karenanya, adalah tugas dunia pendidikan untuk membuatnya tetap
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan apa pun
dan dalam situasi bagaimanapun.
Sejalan dengan alasan yang telah disebutkan di atas, pemikiran filsafat idealisme
berkeyakinan bahwa selalu ada ide di balik segala sesuatu (things within ideas). Dan, ide ke
arah kemajuan dan kehidupan lebih baiklah yang berada di balik perjalanan sejarah umat
manusia dari masa ke masa, kapan pun dan di mana pun. Oleh sebab itu, bisa dimengerti bila
senantiasa muncul berbagai koreksi atau perbaikan terhadap tatanan kehidupan yang
menyimpang atau melenceng dari tatanan ideal yang dicita-citakan oleh suatu
masyarakat/bangsa. Itulah yang dikenal dengan hukum sejarah yang sifatnya dialektikal di
dalam perjalanan suatu masyarakat/bangsa menuju puncak kemajuan dan keagungan. Hal
tersebut dengan jelas juga termanifestasi dalam perjalanan sejarah Negara dan Bangsa
Indonesia selama ini; misalnya kekecewaan terhadap realitas kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di masa Orde Lama memunculkan koreksi yang melahirkan Orde
Baru, dan selanjutnya kekecewaan terhadap Orde Baru dikoreksi oleh Orde Reformasi.
Fenomena sejarah yang demikian itu mengisyaratkan bahwa umat manusia, termasuk
Bangsa Indonesia, senantiasa memproduksi ide-ide bagi diri mereka, termasuk tentang citacita yang diidealkan untuk dicapai. Arena kehidupan dalam suatu masyarakat/bangsa tak
ubahnya pasar bebas ide-ide. Akibatnya, jual beli ide-ide menjadi tak terhindar-kan. Dalam
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demikian itu, fungsi
pendidikan menjadi sedemikian sentral dan menentukan untuk dapat melestarikan keluhuran
identitas dan karakter bangsa. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini yang teknologi
informasi dan komunikasinya sedemikian canggih, yang tentu saja sarat dengan dampak
positif maupun negatif bagi masyarakat/bangsa ini.
Sehubungan dengan itu, peran strategis pendidikan sudah sepatutnya mendapat
perhatian serius untuk dikembangkan. Sebab, pasar bebas ide-ide yang berkembang pesat
dewasa ini dapat menyebarkan ”virus liar” yang tak sejalan dengan identitas dan cita-cita
luhur bangsa, dan itulah yang kental menggejala belakangan ini, khususnya bila menyimak
”suguhan” yang terpajan di media massa dan ruang publik, serta kounikasi interpersonal
yang masif melalui media sosial. Bila hal tersebut dibiarkan tanpa intervensi yang sifatnya
edukatif, niscaya berakibat buruk bagi upaya pelestarian identitas dan cita-cita luhur Bangsa
Indonesia; peran jalur pendidikan sekolah tak akan memadai untuk menanggulanginya.
Dengan demikian, pengembangan jalur pendidikan nonformal dan informal sebagai suatu
usaha sadar dan terencana menjadi suatu kebutuhan dan keharusan di dalan Sistem
Pendidikan Nasional.
Penutup
Indonesia adalah negara dengan keberagaman etnis, budaya, adat istiadat, bahasa,
mata pencaharian, budaya, dan agama. Sebagai bangsa yang memiliki keragaman dalam
pelbagai aspek, konflik sosial merupakan fenomena yang tidak mungkin bisa dihindarkan.
Pluralisme di Indonesia pada satu sisi menjadi sebuah keindahan, pada sisi lain bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa. Pengembangan budaya monolitik, penyeragaman, dan
intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman perlu dicegah, apalagi bila penyeragaman
dilakukan dengan cara pemaksaan, tekanan, dan teror. Penyeragaman bukan merupakan
solusi bagi masalah integrasi bangsa. Sikap toleransi yang terukur bisa menjadi solusi bagi
terpeliharanya kebhinnekaan dan ke-eka-an Bangsa Indonesia.
Dunia pendidikan berperan besar dalam mengajarkan dan mendidik nilai-nila
pluralisme di Indonesia, sejak dari tingkat pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi,
melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Namun demikian perlu
disepakati tidak perlu ada mata pelajaran khusus tentang pendidikan multi kultural,
pendidikan pluralisme, atau pendidikan keberagaman dan persatuan, atau pun pendidikan
perdamaian. Pemahaman dan aktualisasi keberagaman dan persatuan (diversity and unity)
lebih baik diajarkan melalui kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dan pendidikan
secara nonformal dan informal. Dalam khasanah kebijakan Mendikbud (2016) sekarang
dikemas sebagai Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang tengah dimulai proyek
pilotnya di sekolah-sekolah.
Dibutuhkan adanya revitalisasi program pendidikan nonformal dan informal,
termasuk pendidikan dalam keluarga yang benar-benar mampu menyelenggarkan pendidikan
multikultural untuk memelihara kebhinnekaan dan ke-eka-an suatu kesatuan yang utuh,
saling kompetibel, integratif, efisien, dan efektif dalam mewujudkan sosok insan kamil
(manusia Indonesia seutuhnya) dan masyarakat madani (masyarakat adil dan makmur)
berdasarkan Pancasila.
Pustaka
Abdullah, Irwan.1999. “Dari Bouded System ke Borderless Society: Krisis Metode
Antropologi dalam Memahami Masyarakat Masa Kini”. Antropologi Indonesia,
Tahun XXIII, No. 60, September-Desember.
Freedman, Ronald, et.all. 1952. Principles of Sociology: A Text with Reading. New York :
Henry Holt and Company.
Fukuyama, Francis (1992), The End of History and The Last Man, London, Penguin
Books.
Garrick, John. 1998. Informal Learning in the Work Place, Unmasking Human Resource
Development. London: Routledge
Giddens, Anthony (1984), The Constitution of Society Outline of The Theory of
Structuation, Berkley, University of California Press
Gollnick, Donna M., Chinn, Philip C. 2002. Multicultural Education in a Pluralistic Society.
New Jersey: Prentice-Hall.
Haralambos, M., Holborn, M. 1994. Sociology: Themes and Perspectives. London: Collin
Educational
Ihromi (ed.). 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Johnstone,Ronald I.1983. Religion in Society: A Sociology of Religion. New Jersey:
Prientice-Hall, Inc.
K.H Hasyim Muzadi. 2008. Seminar Nasional dan Diskusi Panel Pendidikan Damai di
Universitas Negeri Malang, Prosiding. Malang: universitas Negeri Malang
Ki Hadjar Dewantara.1938. “Sistem Trisentra”, dalam Karya Ki Hadjar Dewantara, bagian
pertama, cetakan ke dua (1977), Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Levine, A. Robert dan Campbell, Donald T. 1972. Etnocentrism: Theories of Conflict, Ethnic
Attitude and Group Behavior.New York: John Willey&Sons.
Mendikbud. 2016. Penguatan Pendidikan Karakter. Dokumen tidak diterbitkan. Jakarta.
Samani, Muchlas. & Hariyanto, 2013. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung:
Remaja Roedakarya.
Sihbudi, Riza, et.al.2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram,
dan Sambas. Jakarta: Grasindo
Soekanto, Soerjono.1986. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: Rajawa Press
Sumartana, Th. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta:
Interfidei.
Thompson, Michael; Ellis, Richard; and Wildavsky, Aaron.1990. Cultural Theory: Political
Cultures Series. Oxford: Westview Press.
UNDANG-UNDANG Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Warnaen, Suwarsih. 2002. Stereotip Etnis dalam Masyarakat Multietnis. Yogyakarta: Mata
Bangsa.
Wignjosoebroto Soetantyo dan Suyanto, Bagong. 2004. Sosialisasi dan Pembentukan
Kepribadian, dalam J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.), Sopsiologi: Teks
pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Download