BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran akan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran
akan perkembangan internet di dunia yang
semakin
meningkat, dapat memancing masyarakat untuk melirik keunggulan internet
dibanding media konvesional lainya. Masyarakat sudah semakin sadar
akan nilai lebih yang diberikan oleh media internet. Cepat, murah dan
praktis, sepertinya itulah yang menjadi trigger bagi masyarakat untuk
berbondong-bondong mempelajari dunia internet yang relative baru bagi
mereka. Semakin terjangkaunya akses internet telah membuat persentase
masyarakat yang menggunakan media internet sebagai pendukung aktifitasnya
juga semakin meningkat. Bahkan peran media massa konvensional banyak
berganti dengan media online.
Media online sudah menjadi media yang tidak asing lagi dalam
masyarakat. Media yang menawarkan berbagai kemudahan dalam hal mencari
beritta, bergaul dan berbisnis ini, sudah menjadi sahabat terbaik bagi
masyarakat.
Melalui
media online masyarakat dapat dengan mudah
mengakses informasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Semua itu
mudah dapat diakses dengan cepat tanpa membutuhkan biaya yang mahal.
Media online menawarkan sebuah kesempatan berkomunikasi yang mampu
menembus ruang dan waktu. Berbagai informasi dan berita yang menjadi
pembicaraan terhangat dari segala penjuru, dapat diakses dengan daya
1
kerja media online. Begitu banyak manfaaat yang dapat diberikan oleh
media online ini terhadap masyarakat.
Media massa online memiliki peran dalam memajukan peradaban
umat manusia yang kian pesat didorong tak luput dari peran teknologi
komunikasi yang serba canggih. Bahkan tak jarang kecanggihan tersebut
disalah gunakan, sehingga media massa memiliki dua peranan yakni
memperburuk sisi kemanusiaan seseorang (dehumanisasi) atau memperkuat
dan
menajamkan
sence of humanity
(humanisasi). Media online telah
menjadi kekuatan media di era digital ini. Media online mempunyai banyak
kelebihan dalam penyampaian berita, opini serta pembangun konstruksi
terhadap persepsi khalayak.
Media online tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah yang fantastis.
Dewan pers mencatat pada awal 2016 jumlah media online ada sekitar 2.000
media online. Tetapi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai
kelayakan sebagai perusahaan hanya sekitar 211 media. Selebihnya adalah
media-media yang muncul untuk kepentingan komunitas atau kelompok
tertentu, atau bahkan kepentingan individual. (http://hariansib.co/view/
Headlines/95574/Dewan-Pers--Ada-2-000-Media-Online-Hanya-211-yang-Sesuai-Kaidah-Jurnalistik.html)
Kovach & Tom (2010:7) menjelaskan bagaimana keadaan komunikasi
publik pada masa informasi ini; “though we may little understand how, we are
all assuming more control over what we know about the world beyond our
direct experiences. We are becoming our own editors, our own gatekeepers,
2
our own aggresors.” Meramalkan kemana komunikasi akan beranjak dan
nampaknya Bill Kovach benar. Hari ini semua orang bisa menjadi kanal berita
dan informasi masing-masing dan information sharing tidak lagi didominasi
oleh pemain besar media massa yang hanya memiliki pola komunikasi satu
arah.Terlebih Stuart Hall, dengan cultural studies memberikan pendapat bahwa
salah satu fungsi mass media adalah maintaining the power mereka yang sudah
berdiri di posisi puncak pemerintahan (Griffin, 2011). Seperti juga yang terlihat
dari fenomena media massa Indonesia pada periode kampanye 2014 lalu, yang
merebut posisi tersebut.
Media, baik yang online maupun yang tidak online mempunyai fungsi
untuk memberikan informasi sekaligus melakukan konstruksi sosial terhadap
masyarakat. Karena pada dasarnya berita adalah konstruksi media, bukan
realitas (Eriyanto, 2006). Konstruksi media sendiri berdasarkan kepentingan
media, kepentingan ekonomi media serta sesuai dengan ideology media yang
dianut. Hal ini seperti yang terjadi pada isu atau tema Gafatar (Gerakan Fajar
Nusantara) yang ramai dibicarakan dimedia masa, termasuk di media online.
Dari sekian banyak pemberitaan tentang Gafatar di media online pada
saat ramai dibicarakan, secara garis besar isu dari pemberitaan media online
terkait Gafatar terbagi menjadi 4 isu besar, yaitu tentang ajarannya yang sesat
atau menyimpang, tentang isu potensial terorisme, isu mimpi membangun
negeri dan isu mencampuradukkan berbagai agama. Isu-isu tersebut banyak
ditulis oleh media online berdasarkan sudut pandang media yang ada. Pro-
3
kontra, dialektik serta diskusi tentang isu Gafatar banyak diulas oleh media
online sesuai dengan ideology mediannya.
Terdapat beberapa portal media online yang ikut meramaikan
pemberian informasi tentang isu Gafatar. Pemberitaan tentang isu ini juga tidak
lepas dari ideology media yang di anut. Media ingin mengkonstruksi isu
Gafatar sesuai dengan ideology dan kepentingan media atas isu Gafatar kepada
khalayak. Beberapa media online tersebut diantaranya adalah kompas.com,
sindonews.com, islamlib.com, dan hidayatullah.com. Sudut pandang mediamedia online tersebut tidak lepas dari ideology media yang mereka anut,
misalkan untuk kompas dan sindonews lebih ke nasionalis, islamlib lebih pada
ideology kebebasan dan pembebasan (liberal serta hidayatullah lebih pada
ideology relegiusitas (agama).
Meskipun demikian, sekuat apa media bermaksud untuk membentuk
opini dengan pesan-pesannya, khalayak bukanlah sebuah benda mati yang
begitu saja bisa menerima pesan yang disampaikan media. Khalayak adalah
audiens yang aktif, yang mampu mempersepsikan isi pesan dari media.
Khalayak terdiri dari berbagai individu yang bermacam-macam latarbelakang
dan pengetahuannya, sehingga melahirkan pemaknaan yang berbeda-beda.
Terkadang khalayak dapat menerima dan menyetujui sepenuhnya pesan yang
disampaikan oleh media, atau hal ini dikenal dengan dominan audiens,
khalayak juga dapat menyetujui sebagian pesan dan sebagian lagi mereka
memunculkan pemahaman alternative diluar isi berita atau yang dikenal
negosiasi audiens dan terakhir adalah mereka yang menolak atau tidak
4
menerima pesan media berdasarkan konstruksi media atau oposisi audiens. Hal
ini juga yang terjadi atas isu Gafatar dalam pemberitaan online yang ada.
Isu Gafatar dalam penelitian ini terbagi atas 4 isu besar seperti gafatar
ajaran sesat, gafatar potensial terorisme, gafatar ingin membangun negeri dan
gafatar mencampuradukkan ajaran banyak agama. Sedangkan khalayak yang
diteliti berasal dari khalayak yang mewakili khalayak nasionalis dan khalayak
yang religious serta khalayak yang netral sebagai pembanding. Hal ini
disebabkan karena isu gafatar merupakan isu nasionalis dan isu religiusitas
(agama). Khalayak diambil berdasarkan afiliasinya terhadap organisasi
kemasyarakatan yang dia ikuti, seperti HMI dan PMII mewakili afiliasi dengan
ormas religiusitas sedangkan GMNI dan MKGR mewakili afiliasi dengan
ormas nasionalis.
Analisis resepsi dalam penelitian ini termasuk dalam kategori resepsi
terhadap teks non-fiksi, bukan fiksi. Penelitian tentang resepsi untuk teks nonfiksi memang jarang dilakukan karena kebanyakan resepsi dilakukan pada halhal fiksi seperti Novel, film, iklan, drama dan lain sebagainnya. Penelitian
resepsi non-fiksi saat ini sudah mulai banyak dilakukan baik melalui media
berita media massa, media on;line atau berita Televisi. Penelitian yang
dilakukan oleh Joan Sabrina (2014) yang melakukan penelitian untuk
mengetahui
penerimaan
pembaca
terhadap
berita
tentang
gaya
kepemimpinan Ahok di Majalah Detik. Hasil penelitian orang mempunyai
penerimaan atau pemaknaan yang berbeda-beda meskipun teks yang dibaca
sama. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Lia Susanthi (2012) yang
5
melakukan penelitian tentang konstruksi pemaknaan oleh mahasiswa asing ISI
Denpasar terhadap berita-berita rabies yang terbit pada tabloid International
Bali Post (IBP) periode Agustus 2011 hingga Februari 2012, dan pengaruhnya
pada citra destinasi Bali. Hasil penelitian menunjukkan adanya pergeseran
pencitraan negatif yang dibentuk oleh mahasiswa asing ISI Denpasar terhadap
berita rabies pada tabloid IBP. Hasil analisis resepsi menunjukkan bahwa posisi
audiens lebih banyak berada dalam posisi negotiated reading atas pencitraan
Bali sebagai destinasi wisata dunia. Secara garis besar posisi audiens
dipengaruhi oleh jenis kelamin dan pengalaman interaksi dengan lingkungan
Bali.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Dewanti dan Hastjarjo (2014)
melakukan penelitian untuk mengetahui isi komentar pemberitaan tentang
pro kontra Menteri Susi Pudjiastuti pada portal berita Republika Online
periode 27 Oktober 2014 –13 November 2014. Hasil penelitian menunjukkan
resepsi negotiated meaning cenderung mendominasi diduga disebabkan oleh
karakter audiens new media yang aktif dalam mengkonsumsi maupun
memproduksi pesan melalui new media dan kondisi internal masing -masing
khalayak.
Salah
satu
standar
untuk
mengukur
khalayak
media
adalah
menggunakan analisis resepsi, di mana analisis ini mencoba memberikan
sebuah makna atas pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan
memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang
menganalisis media melalui analisis resepsi memfokuskan pada pengalaman
6
dan pemirsaan khalayak serta bagaimana makna diciptakan melalui
pengalaman tersebut. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah
bahwa teks media-khalayak bukanlah makna yang melekat pada teks media
tersebut tetapi diciptakan dalam interaksinya antara khalayak dan teks.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk meneliti
bagaimana resepsi khalayak terhadap isu Gafatar yang dimuat oleh beberapa
media online yang ada. Dimana khalayak akan secara aktif memiliki
pandangan tersendiri mengenai berita Gafatar sesuai dengan latar belakang
maupun pengalaman dari masing-masing individu. Dengan adanya penelitian
ini, diharapkan dapat diketahui bagaimanakah berita Gafatar dimedia online
diterima oleh khalayak serta bagaimana khalayak melakukan pemaknaan atas
berita tersebut.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah, “Bagaimana resepsi khalayak dengan afiliasi ormas
beragam terhadap pemberitaan media online tentang Gafatar?”
C. Tujuan penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis resepsi
khalayak dengan afiliasi ormas beragam terhadap pemberitaan media online
tentang Gafatar.
7
D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pembahasan mengenai
analisis resepsi khalayak terhadap pemberitaan di media online.
2.
Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi
peneliti selanjutnya yang membahas tema serupa.
E. Kerangka Pemikiran
1. Khalayak/ Audience dalam Studi Komunikasi
Komunikasi secara etimologis, berasal dari bahasa latin communication
yang bersumber pada kata communis yang berarti sama, dalam arti kata sama
makna. Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu
penyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung
secara lisan, maupun tidak langsung melalui media (Effendy, 2003: 3).
Komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan
sesuatu kepada orang lain. Jadi, yang terlibat dalam komunikasi tersebut adalah
manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dimaksud disini adalah komunikasi
manusia atau sering disebut dengan komunikasi sosial. Komunikasi manusia
sebagai singkatan dari komunikasi antar manusia, dinamakan komunikasi
sosial karena hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadinya
8
komunikasi. Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian
suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun
tidak langsung melalui media.( (Effendy, 2003: 4).
Khalayak disebut juga dengan audiens. Audiens merupakan kata
serapan dari Bahasa Inggris audience yang berarti penonton. Dalam sebuah
proses komunikasi, audiens adalah pihak yang menerima pesan atau biasa
disebut juga komunikan. Akan tetapi tidak semua komunikan merupakan
khalayak, karena khalayak adalah komunikan dalam proses komunikasi massa.
Khalayak adalah komunikan yang mengonsumsi media massa seperti surat
kabar,
televisi,
musik,
film
dan
seterusnya.
McQuail
(
1997:
1)
mengungkapkan bahwa “audience simply refers to the readers of, viewers of,
listeners to one or other media channel or of this or that type of content or
performance.” Dalam kaitannya dengan proses komunikasi, audiens ataupun
khalayak memiliki posisi sebagai sasaran atau target dari berlangsungnya
proses komunikasi secara keseluruhan. Khalayak menjadi sasaran atau
komunikan, dari berjalannya arus informasi yang bersumber dari komunikator.
Khalayak (audiences) menjadi mengemuka ketika diidentikan dengan
“receivers” dalam model proses komunikasi massa (source, channel, message,
receiver, effect) yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm (1955). Khalayak
adalah salah satu aktor dari proses komunikasi. Karena itu unsur khalayak tidak
boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya proses komunikasi sangat ditentukan
oleh khalayak (Cangara, 2010: 157). Jadi kegiatan komunikasi bila diboikot
9
oleh khalayak, maka pasti komunikasi itu akan gagal dalam mencapai tujuan
yang diinginkan.
Khalayak memiliki dimensi waktu dan berada dalam keadaan tertempa
media tertentu. Dikatakan berdimensi waktu karena khalayak melakukan
aktifitas dalam periode waktu dalam mengakses media. Sederhananya khalayak
merupakan individu yang “sedang” mengakses media. Dari sini dapat
tertangkap kesan bahwa khalayak bersifat aktif. Hal ini sejalan dengan definisi
khalayak yang juga dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang menggunakan
media massa sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bermedianya (Sari, 1993:
28).
Bila dilihat lebih dalam, media dan khalayak memiliki hubungan yang
lebih kompleks. Bukan hanya sebatas bahwa media dapat mempengaruhi
khalayak. Para teoritisi media pun masih memperdebatkan konseptualisasi
khalayak. Yaitu apakah khalayak merupakan masyarakat massa (mass society)
atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens pasif atau audiens
aktif (Littlejohn, 2002: 310).
Audiences merupakan istilah yang dipakai oleh para praktisi media dan
para ahli komunikasi untuk mengenali para pengguna media agar dapat
mengidentifikasi mereka. Walaupun dalam implementasinya terdapat banyak
pemahaman dan definisi audiences atau khalayak. Khalayak juga merupakan
produk dari konteks sosial (mengarah pada kepentingan kultural yang sama
tentang pemahaman akan sebuah informasi) dan tanggapan terhadap informasi
yang diberikan oleh media. Ada beberapa karakteristik dari jenis Audience
10
yang muncul seiring dengan berjalannya waktu dan kemajuan media. Menurut
Hiebert, et al (1979), audience dalam komunikasi massa mempunyai lima
karateristik yaitu:
a. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk
berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara
mereka. Individu tersebut memilih produk media yang mereka gunakan
berdasarkan seleksi kesadaran.
b. Audience cenderung besar. Artinya tersebar keberbagai wilayah
jangkauan sasaran komunikasi massa. Meski demikian, ukuran luas ini
sifatnya dapat relatif. Sebab, ada media tertentu yang khalayaknya
mencapai ribuan, dan ada juga mencapai jutaan.
c. Audience cenderung heterogen. Mereka berasal dari berbagai lapisan
dan kategori sosial.
d. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu dengan yang
lainnya.
e. Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator.
Riset khalayak menurut Hall (2011) mempunyai perhatian langsung
terhadap dua hal. Pertama, analisis konteks sosial dan politik di mana isi media
diproduksi (encoding). Kedua konsumsi isi media (decoding) dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Analisis resepsi memfokuskan pada perhatian individu
dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses pemaknaan dan
pemahaman yang mendalam atas teks media dan bagaimana individu
menginterpretasikan isi media. Hal tersebut dapat diartikan individu secara
11
aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas
pemahaman pengalamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Analisis Resepsi
Jensen (1997: 130) mengemukakan bahwa analisis resepsi dapat
dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori
komunikasi. Analisis resepsi sebagai respon terhadap tradisi scientific
menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah itu
kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan
wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan
skala dan kategori semantik. Analisis resepsi sebagai respon terhadap studi teks
humanistik menyarankan baik audience maupun konteks komunikasi massa
perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri dan menjadi objek analisis
empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan itulah yang melahirkan konsep
produksi sosial terhadap makna. Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan
tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses
aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan
praktik kultural audiensnya.
Endraswara (Nur, 2015:99) mengemukakan bahwa resepsi berarti
penerimaan atau penikmatan sebuah teks oleh pembaca. Resepsi merupakan
aliran yang meneliti teks dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi
reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut. Resepsi dalam bahasa Inggris
dapat disamakan dengan kata perception yang berarti tanggapan daya
12
memahami atau menanggapi. Resepsi dalam bahasa Latin yaitu recipere yang
berarti penerimaan atau penyambutan.
Sebagai respon terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial analisis
resepsi menandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media,
apakah itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori
representasi dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasinalisasi,
seperti penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon
terhadap studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik khalayak
maupun konteks dalam komunikasi massa perlu dilihat tersendiri secara sosial,
dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan
(persepektif sosial dan diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep
produksi sosial terhadap makna (the social production of meaning) (Jensen,
1993: 137)
Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media
mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif
memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan
teks-teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua,
sebagai landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara
subjektif dikontruksikan khalayak secara individual, bahkan ketika media
berada dalam posisi paling dominan sekalipun. Premis ini memposisikan
khalayak sebagai makhluk bebas yang mempunyai kekuatan besar dalam
pemaknaan atau pemberian makna terhadap pesan (Croteau, & Hoynes. 2003:
274).
13
Hal senada diungkapkan oleh McQuail (1997, 18) yang menyatakan
bahwa analisis resepsi yang termasuk dalam studi kultural (cultural studies)
menekankan pada penggunaan media (media use) sebagai refleksi dari konteks
sosiokultural dan sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya
serta pengalaman-pengalaman. Lebih lanjut, McQuail menyatakan bahwa studi
resepsi berkembang dan menekankan gagasan kepada khalayak sebagai
khalayak penafsiratau interpretive communities. Pada interpretive communities,
teks dan pesan-pesan media dimaknai dan diinterpretasikan secara bebas dan
berbeda-beda oleh khalayak menurut lingkungan sosial dan budaya dimana
aktivitas berbagi pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses
Decoding dan pemaknaan terhadap teks media, maka khalayak memiliki
kekuatan untuk bertahan dari dominasi media massa. McQuail kemudian
mengklasifikasikan penelitian resepsi sebagai studi kultural modern yang
berada dalam ranah pendekatan stukturalis behavoris. Beberapa yang terkait
dengan fokus dalam pengertian analisis resepsi, diantaranya:
a. Teks media harus dibaca berdasarkan persepsi khalayak. Dimana persepsi
tersebut tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Khalayak mengkontruksi
makna secara bebas dan sesuai dengan latar belakang masing-masing.
b. Fokus dari analisis resepsi adalah proses dalam penggunaan atau
pemaknaan media. Inti dari analisis ini adalah proses-proses bagaimana
khalayak membaca, memahami, memaknai teks media dan pada akhirnya
hasil dari proses tersebut akan memperlihatkan bentukbentuk resepsi
khalayak terhadap media yang dihadirkan.
14
c. Media use atau penggunaan media merupakan bagian dari sistem sosial
dalam interpretive communities. Pemaknaan akan media digunakan oleh
khalayak untuk
saling berbagi
pemaknaan
dengan
sesama
dan
lingkungannya.
d. Khalayak sebagai interpretive communities memiliki peran dalam
pembentukan wacana dan kerangka dalam pemaknaan media di
lingkungannya.
e. Khalayak tak dapat dikatakan pasif dan tak dapat juga dikatakan sama atau
sederajat (equal). Meskipun akan ada beberapa khalayak yang lebih aktif
maupun berpengalaman. Mereka membaca, memahami, dan melakukan
pemaknaan secara bebas sesuai dengan latar belakang sosio-kultur masingmasing.
f. Penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode kualitatif dan mendalam
dengan mempertimbangkan konten, perilaku resepsi dan konteks keduanya
Stuart Hall (2011: 32) mengatakan bahwa makna yang dimaksudkan
dan yang diartikan dalam sebuah pesan bisa terdapat perbedaan. Kode yang
digunakan atau disandi (encode) dan yang disandi balik (decode) tidak
selamanya berbentuk simetris. Derajat simetri dalam teori ini dimaksudkan
sebagai derajat pemahaman serta kesalahpahaman dalam pertukaran pesan
dalam proses komunikasi – tergantung pada relasi ekuivalen (simetri atau
tidak) yang terbentuk antara encoder ddaan decoder.
Stuart Hall (1980: 4) pada awal tulisannya memulai dengan kritikan
bahwa dalam komunikasi itu tidak bersifat linear melainkan ada sebuah
15
sirkulasi di dalamnya. Bila selama ini skema alur komunikasi berupa sendermessage-receiver, maka Hall menawarkan sebuah konsep baru dari alur
komunikasi yang berupa “Circulation Circuit”. Hall dalam tulisan ini juga
menekankan bahwa arti yang ada pada sistem suatu media akan sangat
tergantung dengan kode-kode operasi dalam rantai suntagmatic sebuah
discourse/wacana. Dengan kata lain, media komunikasi itu terhubung dengan
kesamaan suatu sistem yang
menyatukan tanda dan parole. Produksi dan
sirkulasi dari suatu pesan disebabkan oleh atuurraann dari sebuah bahasa serta
wacana yang sebenarnya (parole) di seluruh sistem bagian yang saling
berhubungan.
Encoding dan decoding menjadi proses yang sangat fundamental dalam
pertukaran komunikatif ini. Encoding dan decoding inilah yang menurut Hall
harus dipunyai setiap peneliti saat melakukan penelitian. Menurut Hall,
encoding juga bisa diartikan sebagai proses analisa dari konteks social politik
dimana konten di produksi dan decoding adalah proses konsumsi dari suatu
konten media. Pesan yang dalam bentuk aslinya harus di encode oleh sumber,
dan di decode oleh penerima sehingga disinilah proses pertukaran simbolik di
produksi. Di dalam tahapan ini, bahasa sangat dominan di setiap prosesnya.
Namun Hall memiliki pandangan lain bahwa terkadang khalayak itu memiliki
paradoks dalam menangkap pesan. Hall juga mengatakan bahwa struktur
arti pesan yang dibuat oleh pembuat pesan tidak selamanya sama dengan
struktur
arti pesan dari khalayak. Kesepahaman arti pesan akan sangat
tergantung dengan perluasan sejauh mana pesan decode itu setara dengan
16
pesan encodednya, tetapi karena pengirim pesan dan penerima pesan berada
di posisi berbeda
dalam proses
komunikatif,
maka
hasilnya
biasanya
terdistorsi dalam suatu komunikasi.(Hall, 1984: 5).
Analisis resepsi menurut mempunyai perangkat analisis berupa
pemaknaan teks media. Bahwa program (teks) adalah wacana yang penuh
dengan makna. Encoding dilakukan oleh komunikator dan Decoding dilakukan
oleh penerima pesan. Proses-proses tersebut melibatkan berbagai macam faktor
seperti kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Dalam
posisi yang ekuivalen atau sejajar, misalnya si pengirim pesan memiliki faktor
yang sama atau sejalan dengan enerima pesan, maka penerima pesan akan
menerima pesan seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan. Dengan kata lain,
pemahaman terjadi apabila pesan yang di-decode ekuivalen dengan pesan yang
di-encode..
Analisis resepsi merupakan studi yang mendalam terhadap proses
aktual di mana wacana dalam media diasimilasikan ke dalam wacana dan
praktik-praktik budaya khalayak.. Dalam proses Decoding, Hall (1984)
menyebutkan ada tiga posisi pemaknaan yang akan ditangkap khalayak saat
meresepsi suatu hal yakni posisi dominant hegemonic, negotiated, opposition.
Berikut ini adalah penjelasannya:
a.
Dominant reading, pembaca sejalan dengan kode-kode program (yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai, sikap, keyakinan, dan asumsi) dan secara
penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh pembuat
program.
17
b.
Negotiated reading, pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengan
kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang disodorkan
oleh pembuat program namun memodifikasinya sedemikian rupa sehingga
mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya.
c.
Oppositional reading, pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program
dan menolak makna atau pembacaan yang disodorkan, dan kemudian
menentukan frame alternatif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan.
Hall (1984) berargumen bahwa preferred reading merupakan ideologi
dominan dalam media teks, tetapi tidak secara otomatis diadopsi oleh khalayak.
Situasi sosial khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi pendirian
lain. Sebelum melakukan analisis terhadap pembacaan khalayak terhadap teks,
tentunya peneliti harus mengidentifikasi preferred reading terlebih dahulu.
Sejumlah ahli saat ini masih mempertanyakan cara paling tepat untuk
menemukan preferred reading.
Oleh karena itu dalam penelitian ini, untuk melihat resepsi khalayak,
preferred reading dibedakan oleh afiliasi khalayak dengan ormas yang
diikutinya. Ragam afiliasi dapat membedakan persepsi masing-masing
informan. Dalam proses decoding yang dilakukan akan menimbulkan pilihanpilihan posisi audience, baik itu dominant, negosiated atau oppositional.
18
3. Media Baru, Jurnalistik Online dan Media Online
Istilah „media baru‟ telah digunakan sejak tahun 1960-an dan telah
mencakup perluasan dan diversifikasi teknologi yang diterapkan. Editor dari
Handbook of New Media, menunjukkan kesulitan mengenai cakupan dari
„media
baru‟
tersebut.
Media
baru
didefinisikan
secara
komposit,
menghubungkan teknologi komunikasi dan infomrasi dengan konteks sosial
terkait, menyatukan tiga unsur yaitu: artefak dan perangkat teknologi; kegiatan,
praktek, dan kegunaan; serta pengaturan sosial dan organisasi yang terbentuk di
sekitar perangkat dan praktek (McQuail, 2010:39).
Media baru membuat bentuk komunikasi massa mengalami perubahan.
Terdapat enam perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media
baru, yaitu (McQuail dalam Gumelar, 2013:9):
a.
Digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media.
b.
Interaktivitas dan konektivitas jaringan semakin meningkat.
c.
Mobilitas dan delokasi yang semakin meningkat.
d.
Adaptasi terhadap peranan publikasi dan khalayak.
e.
Munculnya beragam bentuk baru pintu (gateway) media.
f.
Pemisahan dan pengaburan dari lembaga media.
Ishwara (2011:28) mengemukakan bahwa jurnalisme merupakan
panggilan masyarakat yang tinggi. Semua yang terlibat mempunyai kewajiban
yang lebih besar kepada audiences daripada kepada tuntutan pasar. Jurnalis
seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar untuk menjadi khusus serta
sekaligus mengemban kewajiban yang khusus pula. Pekerjaan jurnalis disebut
19
juga sebagai pekerjaan spiritual dengan tugas memerangi kejahatan yang
mengancam spirit demokrasi. Internet memungkinkan siapa saja bisa
mempublikasikan informasi dengan cepat dan instan dengan biaya kecil.
Internet bersifat dinamis, interaktif, dan memungkinkan pertukaran pikiran dan
gagasan. Di ranah jurnalisme, internet melahirkan jurnalisme online dan
menawarkan saluran informasi baru berupa media online (Widodo, 2010:42).
Fenomena jurnalisme online saat ini menjadi contoh menarik. Khalayak
pengakses media hanya meng-click informasi yang diinginkan di komputer
yang sudah dilengkapi dengan aplikasi internet untuk mengetahui informasi
yang dikehendaki dan sejenak kemudian informasi itupun muncul. Aplikasi
teknologi komunikasi terbukti mampu mem-bypass jalur transportasi
pengiriman informasi media kepada khalayaknya. Di sisi lain, jurnalisme
online juga memampukan wartawan untuk terus menerus meng-update
informasi yang ditampilkan seoring dengan temuan-temuan baru di lapangan
(Gumelar, 2013:10).
Santana (Wiranata, 2014:173-174) menyatakan bahwa bentuk paling
baru dari jurnalisme adalah jurnalisme online, jurnalisme online memiliki
kelebihan-kelebiuhan yang menawarkan peluang untuk menyampaikan berita
jauh lebih besar daripada bentuk jurnalisme konvensional seperti surat kabar.
Online Journalism harus membuat keputusan-keputusan mengenai format
media yang paling tepat mengungkapkan sebuha kisah tertentu dan harus
mempertimbangkan cara-cara untuk menghubungkan kisah tersebut dengan
kisah lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber dan lain-lain melalui hyperlinks.
20
Jurnalisme
online
adalah
proses
pengumpulan,
penulisan,
penyuntingan, dan penyebarluasan berita secara online di internet. Jurnalistik
online merupakan jurnalisme generasi ketiga setelah jurnalistik cetak (surat
kabar, tabloid, majalah) dan jurnalistik elektronik (radio dan televisi).
Jurnalisme online adalah jurnalisme masa depan yang terus berkembang
seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Manurung,
2015:446).
Kehadiran jurnalisme online telah merevoluasi pemberitaan di mana
kecepatan menjadi faktor utama. Jurnalisme online yang disiarkan melalui
internet menyajikan berita yang memungkinkan pengguna untuk meng-update
berita dan informasi secara cepat dan saling berhubungan. Foust (Widodo,
2010:42) mencatat beberapa potensi jurnalisme online sebagai sumber
informasi utama bagi masyarakat yaitu:
a.
Audience control. Audience bisa lebih leluasa dalam memilih berita
yang ingin didapatkannya.
b.
Nonlienarity, setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri.
c.
Storage and retrieval, berita tersimpan dan bisa diakses kembali dengan
mudah oleh masyarakat.
d.
Unlimited space, jumlah berita yang disampaikan menjadi jauh lebih
lengkap.
e.
Immediacy, informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung
kepada masyarakat.
21
Multimedia capability, redaksi bisa menyertakan teks, suara, gambar,
f.
animasi, foto, video, dan komponen lainnya di dalam berita yang akan
diterima masyarakat.
g.
Interactivity, memungkinkan adanya interaksi.
Dalam dunia jurnalistik, terdapat beberapa formula dalam pemberitaan
jurnalisme online yang berbeda dengan media konvensional yaitu (Gumelar,
2013:11):
a.
Berita cepat tayang dan bahkan real time karena internet mampu
memperpendek jarak antara peristiwa dan berita. Pada saat peristiwa
berlangsung, berita bisa dipublikasikan secara luas.
b.
Berita
ditayangkan
kapan
saja,
dari
mana
saja,
tanpa
memperhitungkan luas halaman dan durasi. Hal ini dikarenakan
internet memang tidak memiliki masalah ruang dan waktu dalam
mempublikasikan informasi.
c.
Berita diformat dalam bentuk singkat dan padar karena informasi terus
mengalir dan berubah sewaktu-waktu. Namun kelengkapan informasi
tetap terjaga karena antara berita yang satu dengan berita yang lain
dapat dikaitkan.
d.
Untuk menjaga kepercayaan pembaca, ralat, update, dan koreksi
dilakukan secara periodik dan konsisten. Hal ini sekaligus
memanfaatkan kekuatan interaktif internet.
Media online merupakan sebutan umum untuk sebuah bentuk media
yang berbasis telekomunikasi dan multimedia yang berbasis komputer dan
22
internet. Di dalamnya terdapat portal, website, radio online, tv online, pers
online, mail online, dan lain sebagainya (Hamdan, 2014:175). Media online
merupakan media massa generasi ketiga setelah media cetak seperti koran,
tabloid, majalah, buku dan media elektronik, yang memiliki keunggulan
dibanding media konvensional. Salah satunya karena kemampuan media massa
konvensional mulai dibentuk untuk dapat diakses dalam bentuk online.
Khalayak yang mengkonsumsi berita melalui surat kabar kini dapat menikmati
berita dalam bentuk digital atau versi online.
Media online memiliki beberapa karakteristik umum, yaitu (Hamdan,
2014:176):
a.
Kecepatan (aktualisasi) informasi. Kecepatan atau peristiwa yang terjadi di
lapangan di-upload ke dalam situs atau web online, tanpa harus menunggu
hitungan menit, jam atau hari, seperti yang terjadi pada media elektronik
atau media cetak yang harus menunggu hitungan menit, jam, bahkan hari.
Dengan demikian, mempercepat distribusi informasi ke pasar, dengan
jangkauan global lewat jaringan internet, dan dalam waktu bersamaan, dan
umumnya informasi yang ada tertuang dalam bentuk data dan fakta bukan
cerita.
b.
Adanya pembaruan informasi. Informasi disampaikan secara terus
menerus, karena adanya pembaruan informasi. Penyajian yang bersifat real
time ini menyebabkan tidak adanya waktu yang diistimewakan karena
penyediaan informasi berlangsung tanpa putus, hanya tergantung kapan
pengguna mau mengaksesnya.
23
c.
Interaktivitas. Salah satu karakteristik media online ini adalah yang paling
membedakan dengan media lain yaitu interaktif. Model komunikasi yang
digunakan media konvensional biasanya bersifat searah dan bertolak dari
kecenderungan sepihak dari atas.
d.
Personalisasi. Pembaca atau pengguna semakin otonom dalam menentukan
informasi mana yang dibutuhkan. Media online memberikan peluang
kepada setiap pembaca hanya mengambil informasi yang relevan baginya,
dan mengabaikan informasi yang tidak dibutuhkannya. Dengan demikian,
selektivitas informasi dan sensor berada di tangan pengguna itu sendiri.
Eriyanto (2002:24-25) mengemukakan bahwa berita bukan refleksi dari
realitas, melainkan hanya konstruksi dari realitas. Dalam pandangan positivis,
berita adalah informasi. Berita dihadirkan kepada khalayak sebagai
representasi dari kenyataan. Kenyataan tersebut ditulis kembali dan
ditransformasikan melalui berita. Berita dalam pandangan konstruksionis,
diibaratkan sebagai drama.
Ishwara (2005:51-52) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis berita,
yaitu:
a.
Event centered news, merupakan berita yang terpusat pada peristiwa yang
khas menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak
diinterpretasikan, dengan konteks minimal, tidak dihubungkan dengan
situasi dan peristiwa yang lain. Gagasan utama pada berita jenis ini yaitu
sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita asmpai „terjadi‟
sesuatu.
24
b.
Process centered news, merupakan berita yang berdasarkan pada proses
yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam
masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui
waktu. Berita jenis ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel
dan surat pembaca, sedangkan halaman lain berupa komentar, laporan
khusus, atau tulisan feature lainnya.
Palvik
(Hadi,
2009[b]:74)
mengemukakan
bahwa
tahapan
perkembagnan isi berita dalam edisi online internet telah melewati tiga tahap.
Pertama, surat kabar online hanya memindahkan ulang versi cetak ke online.
Kedua, surat kabar sudah membuat isi inovatif-kreatif dalam website-nya
dengan fitur interaktif seperti hyperlinks dan search engines, yang dapat
memudahkan pengguna mencari materi dengan topik-topik khusus yang sesuai
kebutuhannya. Ketiga, isi berita telah didesain secara khusus untuk media web
sebagai sebuah medium komunikasi.
Seiring dengan berkembang dengan pesatnya penggunaan internet
secara menyeluruh, mengakibatkan timbulnya pengaruh secara luas, tidak
hanya pada bidang teknologi, namun juga pada aspek sosial, politik, ekonomibudaya, dan pengaruh termasuk dalam bidang media massa. Dengan
perkembangan internet, terjadi perluasan atau konvergensi dari jenis-jenis
media yang sudah ada sebelumnya (Gumelar, 2013:6). Perkembangan
teknologi dan informasi, mengakibatkan adanya tuntutan perubahan bentuk
berita, dari pers cetak dan broadcast menjadi bentuk berita online. Berita dalam
media online berkembang pesat, tidak saja dalam bentuk teks tetapi juga dalam
25
bentuk multimedia, yaitu menggabungkan teks, audio, dan video yang bisa
diakses kapan dan dimana saja (Hadi, 2009[b]:75).
F. Metode penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Kirk dan Miller
(Moleong, 2011:4) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung
dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam
peristilahannya. Penelitian ini menggunakan analisis resepsi khalayak untuk
melihat resepsi khalayak terhadap pemberitaan Gafatar di media online.
Analisis resepsi sendiri merupakan tradisi baru dalam kajian khalayak
di samping studi tentang efek, uses and gratifications, dan cultural studies.
Secara garis besar, dalam analisis resepsi, makna teks bukan terletak pada teks
itu sendiri. Khalayak tidak menemukan makna dalam teks tetapi dalam
interaksinya dengan teks. Analisis resepsi juga melibatkan faktor kontekstual
yang mempengaruhi pemaknaan khalayak terhadap teks media, seperti
identitas, latar belakang sosial, dan persepsi. Karena merupakan analisis resepsi
yang berfokus pada penerimaan pesan dan pemaknaan, di sini khalayak
dipandang memiliki kekuatan dalam memahami pesan media. Media tidak lagi
dianggap berada dalam posisi yang lebih kuat daripada khalayak.
Hal ini berbeda dengan studi etnografi komunikasi, meskipun berasal
dari rumpun penelitian yang sama yaitu konstruktivis. Etnografi komunikasi
26
lebih mempelajari pola komunikasi yang terjadi antar kelompok-kelompok
budaya tertentu. Sementara itu analisis resepsi lebih kepada penerimaan makna
decoder yang diterima dari encoder. Donal Carbough (Littlejohn, 2002:195 )
mengemukakan bahwa etnografi komunikasi mengarah sekurangnya pada tiga
jenis masalah. Pertama, masalah pengungkapan jenis identitas yang digunakan
bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas itu diciptakan oleh
komunikasi dalam komunitas budaya,sementara identitas sendiri pada
hakikatnya merupakan perasaan anggota tentang diri mereka sebagai
kelompok. Dengan kata lain, identitas merupakan seperangkat kualitas bersama
yang digunakan sebagian besar anggota komunitas untuk mengidentifikasikan
diri. Kedua, masalah pengunmgkapan makna kinerja publik yang digunakan
bersama dalam kelompok. Ketiga, masalah eksplorasi kontradiksi atau
paradoks-paradoks kelompok.
2. Sumber data dan Informan
Sumber data dalam penelitian ini adalah khalayak umum. Teknik
pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sample, atau sampel bertujuan. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa
pertimbangan misalnya keterbatasan waktu, tenaga, dan dana sehingga tidak
dapat mengambil sampel yang besar dan jauh (Arikunto, 2010:183).
Pemilihan informan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan
didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas tujuan
tertentu. Dalam penelitian ini, pengambilan responden ditujukan untuk
mewakili atau merepresentasikan khalayak, terutama dalam pandangannya
27
terhadap Gafatar. Karena Gafatar adalah isu yang terkait dengan masalah
nasionalis dan agama, maka berdasarkan tujuan penelitian, pengambilan
informan dilakukan dengan cara memilih informan dengan latar belakang yang
berbeda, sehingga diharapkan persepsi atas berita juga berbeda. Informan
dipilih berdasarkan afiliasinya terhadap organisasi sosial yang diikutinya.
Informan terdiri dari 3 kategori, yaitu yang berafiliasi dengan organisasi sosial
berlatar nasionalis 2 orang, 2 netral (tidak berafiliasi) dan 2 yang berafiliasi
dengan organisasi dengan latar relegiusitas.
Informan sudah melewati seleksi tentang pemahamannya dengan isu
Gafatar, dari 10 orang, diambil 6 orang dengan pemahaman terbaik tentang
Gafatar. Informan secara umum telah mempunyai resepsi tersendiri tenntang
Gafatar, namun terkait pemahamannya dengan isu-isu (sub isu Gafatar), mereka
diberikan judul artikel berita dan berasal dari media online mana. Dengan
demikian mereka dapat memahami platform media yang menulis berita tentang
Gafatar. Untuk membuat mereka focus, wawancara dilakukan berdua ditempat
yang nyaman dan waktu yang cukup longgar.
3. Metode pengambilan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu:
a. Wawancara yang dilakukan dengan berdasarkan pertanyaan yang telah
dirumuskan dalam daftar pertanyaan (interview guide) serta dapat pula
ditambahkan pertanyaan yang muncul secara spontan. Sebelum dilakukan
wawancara, responden terlebih dahulu diberikan 4 buah artikel dari 4
media online yang kontennya berkaitan dengan isu Gafatar. Pertanyaan
28
kemudian diberikan berpusat pada bagaimana resepsi responden terhadap
artikel-artikel tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengingatkan kembali
bagaimana persepsi responden sebelumnya terhadap isu Gafatar, serta
memberikan perspektif terhadap isu tersebut dari berbagai sisi. Pemilihan
berita atau artikel didasarkan atas keragaman sudut pandang/ideology
media online yang ada. Pemilihan 4 media beserta isi artikelnya
berdasarkan ideology media sebagai berikut: kompas dan sindonews
mewakili ideology nasionalis, islamlib mewakili ideology arternatif yaitu
liberal dalam arti kebebasan dan pembebasan serta hidayatullah.com
mewakili sudut pandang agamis.
b. Obeservasi, observasi dilakukan dengan mengamati informan pada saat
wawancara. Sikap dan perilaku mereka pada saat wawancara menjadi
pendukung atas persepsinya dalam memaknai berita.
c. Studi Pustaka. Studi ini dilakukan peneliti untuk melacak data-data
sekunder yang bisa mendukung penelitian ini. Studi pustaka dapat
diperoleh dari media yang ada termasuk media online, buku, catatan, arsip
serta sumber tertulis yang lain.
4. Teknik analisis data
Miles dan Huberman (2009:16-19) mengemukakan bahwa terdapat
langkah-langkah dalam analisis data adalah reduksi data, display data, dan
penarikan kesimpulan. Adapun penjabaran dari masing-masing langkah adalah
sebagai berikut:
29
a.
Reduksi data. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
„kasar‟ yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Selama
pengumpulan data berlangsung terjadi tahapan reduksi sebelumnya seperti
membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus,
membuat partisi, membuat partisi, dan menulis memo. Reduksi data atau
proses transformasi data ini berlanjut terus sesudah penelitian di lapangan,
sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data merupakan suatu
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
diverifikasi (Miles dan Huberman, 2009:16).
b.
Penyajian data. Penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian-penyajian data akan
dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan
berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian
tersebut. Penyajian data merupakan suatu cara yang utama bagi analisis
kualitatif yang valid. Penyajian dapat dilakukan dalam berbagai jenis
seperti matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu
dengan demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang sedang
terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah
30
terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan
oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna (Miles dan
Huberman, 2009:17-18).
c.
Menarik kesimpulan dan verifikasi. Kegiatan analisis selanjutnya adalah
menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang
penganalisis kualitatif mulai mencari „arti‟ benda-benda mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin,
alur sebab akibat, dan proposisi. Penelitian yang kompeten akan
menangani kesimpulan-kesimpulan itu dengan longgar, tetap terbuka dan
skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas,
namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan
kokoh (Miles dan Huberman, 2009:19).
31
Download