Oktober 2015

advertisement
Majalah
DAFTAR ISI
Edisi 7 | Oktober 2015
Dr. H. MUKHTAR ZAMZAMI, S.H., M.H.
Pedagang Asongan Jadi Hakim Agung
LAPORAN UTAMA:
Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia
INSPIRASI:
Prof. Dr. H. M. ATHO MUDZHAR, MSPD
PENGADILAN AGAMA BARABAI
Tonggak Sejarah Pengadilan Agama
DAFTAR ISI ......................................................................................
SALAM REDAKSI ...........................................................................
EDITORIAL ........................................................................................
LAPORAN UTAMA .........................................................................
TOKOH BICARA ..............................................................................
FENOMENAL ...................................................................................
PERADILANMANCANEGARA ..................................................
OPINI ....................................................................................................
WAWANCARA KHUSUS ...........................................................
TOKOH KITA .....................................................................................
INSPIRASI ..........................................................................................
PROGRAM PRIORITAS.................................................................
POSTUR ...............................................................................................
PA INSPIRATIF ................................................................................
KILAS PERISTIWA .........................................................................
AKTUAL .............................................................................................
KISAH NYATA .................................................................................
EKONOMI SYARIAH .....................................................................
JINAYAH ............................................................................................
RESENSI .............................................................................................
POJOK DIRJEN .................................................................................
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
1
2
3
4
27
28
34
44
53
58
63
66
69
71
76
80
84
87
90
93
95
1
SalamRedaksi
Dinamika Kita
Assalamu'alaikum wr. wb.
Apa lagi yang baru dan menarik dari Majalah Peradilan Agama?
Pertanyaan itu dilontarkan seorang pembaca setia majalah ini, beberapa waktu
lalu.
Selalu tidak mudah menjawab pertanyaan klise semacam itu. Lebih tidak mudah
lagi jika pertanyaan itu disempurnakan menjadi: apa yang baru, menarik dan
sekaligus penting?
Tiga hal itu--baru, menarik dan penting--memang sifat dasar yang melekat pada
tiap-tiap publikasi yang terbit secara berkala. Tak terkecuali majalah ini, yang
terbit berkala tiap empat bulan.
Kami tidak hendak menjawab pertanyaan itu di ruang yang terbatas ini. Kami
lebih suka mempersilakan para pembaca untuk membuat penilaian sendiri:
mana isi majalah ini yang baru, menarik dan penting. Mana pula yang mungkin
sudah usang, membosankan dan tidak berguna.
Pada edisi kali ini, kami menyuguhkan tema besar tentang pembaruan hukum
Islam dalam bidang keluarga. Relevansinya dengan tugas pokok peradilan
agama sungguh nyata. Yang kami olah dan sajikan tak cuma pengulangan dan
penambalan terhadap tulisan-tulisan serupa di berbagai buku dan jurnal. Kami
berjuang untuk menonjolkan sisi-sisi baru, atau setidak-tidaknya mengurai
persoalan lama dengan menggunakan perspektif baru yang menarik dan
penting.
Penerbitan majalah ini pada edisinya yang ketujuh didahului dengan diskusi
hukum berskala nasional. Pola serupa pernah kami pakai sebelumnya, namun
dalam beberapa edisi mutakhir, penerbitan majalah ini tidak disatupaketkan
dengan diskusi serupa. Tentu, ada pelbagai sebab yang melatarbelakanginya.
Kali ini kami menghadirkan pula wawancara khusus dengan Dirjen Badilag yang
pertama: Pak Wahyu Widiana. Ia peletak dasar fondasi keterbukaan informasi,
pembudayaan TI dan akses terhadap keadilan bagi kelompok-kelompok rentan
di peradilan agama.
Ada pula sajian-sajian lain dalam pelbagai rubrik yang kami yakini punya daya
pikat, sekaligus bernilai guna buat para pembaca. Seluruh suguhan itu
menunjukkan bahwa peradilan agama terus berdinamika.
Oya, kami Tim Redaksi juga berdinamika. Sebagian di antara kami menjalani
mutasi, sebagian lainnya dianugerahi promosi. Seperti bus, ada yang pindah
antarkota dalam provinsi; ada pula yang hijrah antarkota antarprovinsi.
Kami sadar betul, sumbangsih kami kepada institusi kita melalui majalah ini
masih tidak seberapa dibandingkan dengan sumbangsih Ibu-ibu dan Bapakbapak. Meski demikian, kami selalu berharap, sumbangsih kami yang kecil ini di
kemudian hari dapat menjadi noktah-noktah yang turut mewarnai cerahburamnya masa depan institusi kita.
Selamat membaca!
2
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
DEWAN PAKAR :
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum.
Dr. H. Ahmad Kamil, S.H., M.Hum.
Dr. H. Habiburrahman, S.H., M.Hum.
Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H. M.H.
Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H.
Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.M., M.H.
PENASEHAT :
Drs. H. Abdul Manaf, M.H.
PENANGGUNG JAWAB:
H. Tukiran, S.H., M.M.
REDAKTUR SENIOR :
Dr. H. Hasbi Hasan, S.H., M.H.
Dr. H. Fauzan, S.H., M.M., M.H.
Drs. H. Hidayatullah MS, M.H.
Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H.
Arief Gunawansyah, S.H., M.H.
H. Arjuna, S.H., M.H.
Dr. H. Abu Tholhah, M.Pd.
Asep Nursobah, S.Ag., M.H.
REDAKTUR PELAKSANA :
Achmad Cholil, S.Ag., LL..M.
EDITOR :
Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag.
Hermansyah, S.HI.
Mahrus Abdurrahim, Lc., M.H.
Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag.
DEWAN REDAKSI :
Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.SI.
Dr. Sugiri Permana, M.H.
Achmad Fauzi, S.HI.
Ade Firman Fathony, S.HI., M.SI.
Alimuddin, S.HI., M.H.
Edi Hudiata, Lc., M.H.
M. Isna Wahyudi, S.HI. M.SI.
Mohammad M. Noor, S.Ag.
SEKRETARIAT :
Hirpan Hilmi, S.T.
DESAIN GRAFIS/FOTOGRAFER :
Ridwan Anwar, S.E.
Iwan Kartiwan, S.H.
SIRKULASI/DISTRIBUSI :
H. Dadang Syarif
Hendra Friza
DITERBITKAN OLEH:
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI
ISSN 2355-2476
ALAMAT REDAKSI:
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI lt.6
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 bypass
Cempaka Putih, Jakarta Pusat
Telp. (021) 290 79277; Fax. (021) 290 79211
Email: [email protected], [email protected]
www.badilag.net
Editorial
Hakim Peradilan Agama,
Pembaru Hukum Keluarga
di Indonesia
S
udah lebih dari empat dekade, UndangUndang Perkawinan (UU No. 1/1974) yang
dianggap sebagai titik awal reformasi hukum
keluarga (Islam) di Indonesia belum juga
diamandemen. Padahal sudah bisa dipastikan,
kondisi dan situasi masyarakat sekarang sudah
jauh berbeda dengan kondisi dan situasi saat
Undang-Undang tersebut disahkan.
Perubahan kondisi sosial masyarakat
Indonesia akibat semakin majunya ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi seiring
dengan pengaruh globalisasi dan reformasi di
berbagai bidang, meniscayakan kebutuhan adanya
norma hukum yang sesuai dengan perkembangan
zaman. Dan Undang-Undang ciptaan manusia yang
dibuat empat puluh tahun lalu memiliki
kemungkinan besar gagap dalam menyikapi
persoalan hukum yang datang di masa kini.
Akibatnya, akan semakin bermunculan
kekosongan hukum karena absennya normanorma hukum keluarga yang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Sedangkan di sisi lain,
kebutuhan masyarakat terhadap solusi atas
persoalan hukum yang membelit mereka tidak
bisa ditunda lagi.
Jika dirunut ke belakang, usaha untuk
merevisi Undang-Undang Perkawinan sebenarnya
sudah beberapa kali dilakukan. Termasuk juga
revisi atas Kompilasi Hukum Islam (KHI). Akan
tetapi semua usaha itu menemui jalan buntu.
Usulan amandemen yang diajukan Pemerintah dan
DPR selalu saja gagal.
Sebagaimana kelahiran Undang Undang
Perkawinan pada tahun 1974 yang diiringi dengan
kontroversi dan pertentangan sengit dari berbagai
kelompok yang berbeda, usaha untuk
mengamandemen UU No. 1/1974 dan KHI sampai
sekarang selalu saja menuai kontroversi yang luas.
Alhasil, sejauh ini usaha pembaruan hukum
keluarga melalui legislasi terbukti gagal. Dan ke
depan, kita tidak bisa berharap banyak reformasi
hukum keluarga itu terwujud melalui Parlemen.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika terdapat
kekosongan hukum atas suatu persoalan hukum
keluarga di Peradilan Agama?
Di sinilah letak signifikannya peran hakim
Peradilan Agama dalam mereformasi hukum
keluarga di Indonesia. Jika dilihat berbagai
putusan dan penetapan yang dibuat oleh hakimhakim Peradilan Agama di seantero Indonesia,
banyak pembaruan hukum keluarga yang sudah
dilakukan.
Pembaruan hukum itu dilakukan para hakim
melalui proses judicial activism dengan metode
penemuan hukum, terobosan hukum maupun
penafsiran hukum. Mungkin saja banyak yang
belum menyadari proses pembaruan hukum
keluarga yang dilakukan institusi Peradilan Agama
selama ini. Tapi satu hal yang pasti, reformasi itu
terjadi hari per hari melalui proses penyelesaian
hukum keluarga yang kian hari makin kompleks.
Ke depan, hakim Peradilan Agama diharapkan
terus berani melakukan penemuan dan terobosan
hukum manakala aturan yang ada dirasa belum
memenuhi rasa keadilan bagi para pencari
keadilan khususnya dan masyarakat pada
umumnya. []
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
3
LAPORAN UTAMA
Mengenal Hukum
Keluarga Islam
Istilah hukum keluarga sejatinya pertama kali muncul dari sistem hukum yang
berlaku di Eropa dan memiliki pengaruh cukup kuat dalam proses kodifikasi hukum
di negara-negara berpenduduk Muslim.
4
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
LAPORAN UTAMA
H
ukum
keluarga
Islam
merupakan bidang hukum
Islam yang paling banyak
diterapkan secara luas dan langsung
oleh negara-negara Muslim di dunia,
termasuk Indonesia. Hukum keluarga
Islam telah menjadi dasar bagi
masyarakat Muslim selama berabadabad dan merepresentasikan bagian
paling pokok dari syari'ah (Schacht,
1982: 101).
Karena itu, perbincangan seputar
hukum keluarga dengan segala
dimensi kajiannya selalu menarik
untuk didiskusikan di kalangan
akademisi maupun praktisi hukum.
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, misalnya, beberapa waktu lalu
(4/8/2015) menyelenggarakan
diskusi hukum bertema “Pembaruan
Hukum Keluarga di Indonesia”. Hadir
sebagai pembicara pakar sosiologi
hukum Islam Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar, MA. Dalam pemaparannya
pembicara menyempitkan cakupan
bahasan pembaruan hukum keluarga
yang luas itu khusus mengenai hukum
perkawinan di Indonesia.
Latar belakang penyelenggaraan
diskusi hukum itu tidak terlepas dari
semakin kompleksnya persoalan
d a l a m l i n g k u p ke l u a r g a ya n g
menuntut adanya pembaruan hukum
keluarga sesuai kebutuhan zaman. Hal
ini sejalan dengan pendapat Eugen
Ehrlich dalam W. Friedman bahwa
pembaruan hukum keluarga
hendaknya menyesuaikan dengan
nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (Friedman, 1953: 191).
Peradilan agama tentu memiliki
kepentingan mengawal arus
pembaruan ini karena tidak
dimungkiri pembaruan hukum Islam
di Indonesia yang paling dominan
salah satunya dilakukan melalui
putusan sebagai wujud ijtihad hakim.
Asal-usul istilah
Dalam berbagai literatur fikih klasik,
hampir tidak ditemukan adanya
nomenklatur hukum keluarga (alahwal al-syakhsyiyah-personal law),
meskipun bahasan-bahasan yang
menjadi isi dari istilah tersebut telah
dikemukakan. Hal ini menguatkan
dugaan bahwa istilah tersebut muncul
dari sistem hukum lain dan kemudian
dipergunakan dalam kodifikasi hukum
Islam.
Dugaan ini semakin kuat, ketika
diketahui istilah tersebut muncul di
masa ketika pengaruh Eropa cukup
kuat terhadap negara-negara Islam.
Menurut N.J. Coulson, pada abad ke-19
dan seterusnya, berlangsung kontak
yang semakin akrab antara peradaban
Islam dan Barat, sehingga
perkembangan hukum dipengaruhi
secara perlahan dan menjadi bahasan
dalam hukum Islam (C oulson,
1964:149).
Munculnya istilah hukum
keluarga di dunia Islam pertama kali
pada tahun 1893 ketika seorang hakim
terkemuka Mesir, Muhammad Qadri
Pasha mengkompilasi kaidah-kaidah
hukum keluarga dalam tulisannya
berjudul al-Ahkam al-Shar'iyyat fi alAhwal al-Syakhsyiyyat ala Mazhab alImam Abi Hanifa al-Nu'man. Kompilasi
ini memuat 646 pasal yang berisi
kaidah-kaidah hukum berdasarkan
mazhab Hanafi tentang perkawinan,
perceraian, mahar, larangan, wasiat
dan warisan (Odeh, 2004: 1101).
Menurut Joseph Schacht,
ko m p i l a s i
tersebut
b a nya k
dipengaruhi oleh formulasi dalam
tradisi Barat, khususnya dalam
penyusunan kaidah-kaidah hukum
dalam
bentuk
pasal-pasal,
sebagaimana juga terjadi dalam
kodifikasi Majallah al-Ahkam al-
Adliyah (Schacht, 1982 : 101).
Mengenai asal-usul al-Ahwal alSyakhsyiyyat, literatur Arab juga
mengakui bahwa istilah tersebut tidak
dikenal pada masa ulama terdahulu.
Istilah tersebut baru dikenal pada
abad ke-12 dan ke-13. Beberapa
pendapat ulama masyhur seperti
Ahmad Salamah, Muhammad Beltagi
Hasan, Muhammad Azmi Al Bakri dan
Wahbah Zuhaili, sebagaimana dikutip
situs Islamic Bank and Financial
Institution
Information
(www.ibisonline.net ), sebagaimana
berikut:
Belakangan, pada tahun 1917
Turki meresmikan undang-undang
hukum keluarga yang berjudul Qanun
Qarar al-huquq al-Ailah alusmaniyyah. Undang-undang ini
memuat 156 pasal tentang hukum
keluarga, minus ketentuan-ketentuan
mengenai kewarisan. Berbeda dengan
kompilasi Qadri Pasha yang berbasis
pada ketentuan hukum mazhab
Hanafi, undang-undang ini justru
bersifat lintas mazhab dengan
menggunakan prinsip tahayyur
(eclectic choice) sebagai pendekatan
keberanjakannya (Tahir Mahmood,
1995: 82). Meskipun undang-undang
ini tidak berlangsung lama, karena
pergolakan politik Turki, tetapi
memiliki kedudukan penting dalam
perkembangan hukum keluarga Islam
di dunia Islam lainnya.
Penggunaan terminologi hukum
keluarga (al-ahwal al-syakhsyiyahpersonal law) sebagaimana dimulai
oleh Muhammad Qadri Pasha tersebut
berlanjut pada serangkaian kodifikasi
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
5
LAPORAN UTAMA
hukum keluarga lainnya di berbagai
belahan dunia Islam, seperti di
Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Irak
dan Pakistan.
Definisi dan ruang lingkup
R.
Subekti
(1987: 16)
mendefinisikan hukum keluarga
sebagai hukum yang mengatur ihwal
hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan,
perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara
suami dan isteri, hubungan antara
orang tua dan anak, perwalian dan
curatele.
Dalam literatur Arab, Wahbah
Zuhaili melalui buku al-fiqh al-Islami
wa
Adillatuhu
(2001: 33),
mendefinisikan hukum keluarga atau
yang biasa dikenal dengan al-ahwal alsyakhshiyyah sebagai berikut:
Di situs Maktabah Syamilah
online, www.shamela.ws juga terdapat
pengertian mengenai al-ahwal alsyakhshiyyah yang dikutip dari Ahmad
Salamah (al-Ahwal Al-syakhshiyyah
lilmuwatinin ghairu la-muslimin),
sebagai berikut:
Munculnya istilah
hukum keluarga di dunia
Islam pertama kali
pada tahun 1893 ketika
seorang hakim
terkemuka Mesir,
Muhammad Qadri Pasha
mengkompilasi
kaidah-kaidah hukum
keluarga.
Ada pula yang menambahkan wakaf
dan perwalian dalam cakupannya.
Dalam kitab-kitab fikih klasik
dijumpai pembagian ruang lingkup
yang berbeda-beda sebagai bagian
dari bidang hukum keluarga. Salah
seorang ulama dari mazhab Maliki
yaitu Ibnu Jaza al-Maliki, misalnya,
memasukkan perkawinan dan
perceraian, wakaf, wasiat, dan fara'id
(pembagian harta pusaka) dalam
kelompok mu'amalah. Sedangkan
ulama' Syafi'iyah menjadikan hukum
keluarga sebagai bahasan tersendiri,
yakni munakahat. Bab ini terbagi
dalam empat bagian, yakni: ibadah
(hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah),
muamalah (hukum yang mengatur
hubungan sesama manusia di bidang
kebendaan dan pengalihannya),
munakahat (hukum yang mengatur
hubungan antar anggota keluarga),
Hukum keluarga Islam sejatinya
memiliki cakupan yang luas. Namun
para ahli di bidang hukum Islam
terutama di bidang hukum keluarga
m e m i l i k i p e rb e d a a n p e n d a p a t
terhadap ruang lingkup/cakupan
hukum keluarga Islam. Ada yang
berpendapat cakupan hukum keluarga
hanya tiga pokok bahasan:
perkawinan, perceraian dan warisan.
6
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
'uqubah (hukum tentang keselamatan,
jaminan jiwa dan harta benda, serta
urusan publik dan kenegaraan
(Nasution, 2010: 9)
Seorang ulama kontemporer,
Mustafa
Ahmad
al-Zarqa,
mengelompokkan fikih menjadi dua
bagian, yaitu ibadah dan muamalah.
Kemudian membagi lebih rinci lagi
menjadi tujuh kelompok, dan salah
satunya adalah hukum keluarga (alahwal al-syakhsiyah), yaitu hukum
perkawinan (nikah), perceraian (talak,
khuluk dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan
waris. (al-Zarqa, t.t: 55-56).
Secara umum jika mengacu
kepada pandangan para ahli hukum
Islam, ruang lingkup hukum keluarga
(al-ahwal as-syakhsiyah), meliputi tata
cara meminang, syarat-syarat dan
rukun-rukun nikah, mahar, mahram,
nikah yang sah dan nikah tidak sah,
poligami, hak dan kewajiban suami
dan isteri, dan nafkah. Di samping itu,
meliputi perceraian, 'iddah, ruju',
hubungan anak dan orang tua,
pemeliharaan dan pendidikan anak
(hadhanah), subyek-subyek yang
berhubungan dengan kehidupan
rumah tangga, serta masalah waris
(Nasution, 2010: 13-14).
Setelah menilik berbagai
pendapat para ahli di bidang hukum
keluarga Islam mengenai ruang
lingkupnya, maka dapat disimpulkan
bahwa cakupan hukum keluarga Islam
meliputi: pertama, perkawinan yang
terdiri dari peminangan, syarat dan
rukun nikah, mahar, mahram dan
LAPORAN UTAMA
status nikah. Kedua, kehidupan rumah
tangga yang mencakup hak dan
kewajiban suami, isteri dan anak,
p o l i ga m i , d a n n a f ka h . Ke t i ga ,
perceraian atau proses penyelesaian
permasalahan dalam rumah tangga.
Keempat, hadhanah/pengasuhan
anak. Kelima, tentang penyelesaian
masalah harta setelah terjadinya
kematian yang meliputi waris, wasiat,
wakaf, dan transaksi penyerahan/
penerimaan lain.
“
Ada dua kompilasi
Hukum Islam yang populer
yang berhasil disusun oleh
pejabat Belanda, yaitu
Compendium van Clookwijck
dan Compendium Freijer.
“
Kodifikasi hukum keluarga Islam di
Indonesia
Pa s c a - e ra
ko l o n i a l i s m e ,
fenomena yang terjadi di negaranegara Muslim adalah kodifikasi
hukum Islam. Seperti di berbagai
negara Muslim lainnya, hukum
keluarga Islam di Indonesia juga
mengalami kodifikasi, yaitu
penyusunan materi hukum secara
sistematis ke dalam bentuk undangundang. Kodifikasi hukum keluarga
Islam di Indonesia bahkan terjadi
sejak masa penjajahan Belanda.
Ada dua kompilasi hukum Islam
yang populer yang berhasil disusun
oleh pejabat Belanda, yaitu
Compendium van Clookwijck, yang
dihasilkan atas usaha Clookwijck,
gubernur Sulawesi tahun 1752-1755,
dan Compendium Freijer yang proses
p e ny u s u n a n nya d i m u l a i s e j a k
gubernur jenderal Jacob Mossel tahun
1754 dan diproduksi oleh Freijer pada
1760, setelah berkonsultasi dengan
penghulu, ulama, dan tokoh-tokoh
masyarakat. Pada tahun 1750 juga
dibuat sebuah kompilasi hukum Islam
di Semarang yang diberi nama
Mogharraer (Nurlaelawati, 2010: 45).
Di era kemerdekaan, kodifikasi
hukum keluarga Islam mewujud
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) berdasarkan Inpres No. 1
Tahun 1991, yang terdiri dari tiga
buku, Buku I tentang Perkawinan,
Buku II tentang Kewarisan, dan Buku
III tentang Perwakafan.
Selain UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI, ada RUU Hukum Materiil
Peradilan Agama (HMPA) Bidang
Perkawinan yang telah diajukan ke
DPR untuk pembahasan pada tingkat
nasional, dan RUU HMPA Bidang
Kewarisan yang masih dalam
perumusan dan pengkajian oleh para
ahli hukum.
Kodifikasi merupakan ciri utama
di negara yang menganut tradisi
hukum sipil. Indonesia sebagai bekas
jajahan Belanda yang menganut
tradisi hukum sipil, cenderung untuk
mengikuti tradisi hukum sipil. Namun
demikian, tradisi hukum di Indonesia
juga mengakui sumber hukum di luar
undang-undang. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup
di masyarakat. Dalam praktik,
pembaruan hukum keluarga Islam di
bidang kewarisan Indonesia justru
lebih banyak dilakukan melalui
putusan hakim yang kemudian
menjadi yurisprudensi. Lantas
bagaimana gambaran dinamika
pembaruan hukum keluarga di
negara-negara Muslim lainnya?
|Achmad Fauzi, M. Isna Wahyudi, Edi Hudiata, M. Noor,
Ahmad Zaenal Fanani |
Daftar Pustaka:
Coulson, N. J., A History of Islamic Law,
Edinburg: Edinburg University
Press, 1964.
Friedman W., Legal Theory, Terjemah
Muhammad Arifin dengan judul
Teori dan Filsafat Hukum. Cet. II.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994.
Mahmood, Tahir, Statutes Personal Law in
Islamic Countries (History, Texs and
Comparative Analysis), New Delhi :
Academi of Law and Religion, 1995.
Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan
Pe m i k i r a n H u k u m Ke l u a r g a
(Perdata) Islam Indonesia,
Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA,
2010.
Nurlaelawati, Euis, Modernization,
Tradition, and Identity: The
Kompilasi Hukum Islam and Legal
Practice in the Indonesian Religious
Courts, Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2010.
Odeh, Lama Abu, Modernizing Muslim
Family Law: The Case of Egypt
dalam Vanderbilt Journal of
Transnational Law, Vol. 37, 2004.
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic
Law, Clarendon: Oxford University
Press, 1982.
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
Jakarta: PT Intermasa, cet. XXI,
1987.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr alMu'ashir, 2001.
www.ibisonline.net
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
7
LAPORAN UTAMA
Sejarah & Reformasi
Hukum Keluarga Islam
di Dunia
M
odernisasi hukum keluarga di
dunia Islam yang meliputi
aspek
perkawinan,
perceraian, dan waris secara
fenomenal telah dimulai sejak awal
abad 20 (John L. Esposito: 2001, 5156). Secara umum, pembaruan
tersebut dilakukan dengan
memodifikasi hukum fiqh yang telah
berabad-abad diterapkan. Tahir
Mahmood mengistilahkan hal ini
8
dengan point of departure (titik
keberanjakan) dari fiqh konvensional
(klasik) ke perundang-undangan
modern.
Pembaruan hukum keluarga yang
paling awal di dunia Muslim terjadi di
Turki ketika diterbitkannya Ottoman
Law 1917. Turki melakukan modifikasi hukum keluarga dengan
mengadopsi hukum-hukum Barat
sehingga Turki lebih mirip dengan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
negara-negara Eropa. Karakeristik
sekuler terpatri dalam konstitusi di
Turki. Pembuat hukum di Turki tidak
berusaha menjustifikasi pembaruan
hukum dengan bergantung pada fiqh
klasik. Ini berbeda dengan kebanyakan negara Muslim yang tetap
menjadikan fiqh klasik sebagai
sumber hukum yang relevan untuk
diterapkan.
LAPORAN UTAMA
Kehadiran Undang-Undang
Hukum Keluarga Turki: Ottoman Law
of Family Right (Qanun Qarar alHuquq al-'A'ilah al-Utsmaniyyah) pada
tahun 1917 menjadi pemantik
gerakan pembaruan dan modernisasi
hukum keluarga di negara-negara
Muslim lainnya. (Tahir Mahmood:
1972, 115-116). Negara-negara yang
sebelumnya berada dibawah
kekuasaan kerajaan Turki Utsmani
yang kemudian memerdekakan diri,
seperti: Libanon
yang
juga
mengadopsi hukum yang sama
(1919). Negara-negara lain yang juga
m e l a ku ka n p e m b a r u a n h u ku m
keluarga adalah Mesir (Law of
Maintenance and Personal Status/
Qanun al-Ahwal al-Shakhsiyyah wa
jinayah,1920), Yordania (Jordanian
Law of Family Right, 1951), Syiria
(Syirian Law of Personal Status, 1953),
Maroko (Family Law of Marocco,
1957), Pakistan (Family Law of
Pakistan, 1955), Irak (Law of Personal
Status for Iraq, 1955), Tunisia (Code of
Personal Status, 1957), Sudan (Sudan
Family Law, 1960), Malaysia (Undangundang Perkawinan Masing-Masing
Negeri, dimulai tahun 1983).
Pembaruan hukum
keluarga Islam di dunia
muslim dapat dikategorikan
dalam dua model:
intra-doctriner reform dan
extra-doctrinal reform.
Pembaruan hukum Islam di
negara Muslim tampak unik dalam tiga
kategori negara-negara Muslim.
Pertama, beberapa negara yang sama
sekali tidak melakukan reformasi
hukum Islam dan tetap mengaplikasi-
kan hukum yang ada dalam kitab-kitab
fiqh sesuai dengan mazhab yang
mereka anut. Negara yang termasuk
dalam kategori ini adalah Saudi Arabia
(Qatar dan Bahrain, Yaman, dan
Oman). Kedua, beberapa negara yang
meninggalkan hukum Islam dan
menggantikannya dengan hukum
sekuler yang biasa diterapkan di
Eropa. Turki, Somalia, albania adalah
negara dalam ketegori ini. Ketiga,
beberapa negara yang mereformasi
hukum Islam dengan mengkombinasikannya dengan hukum
sekuler.Negara yang termasuk dalam
kategori ini adalah Mesir, Tunisia, Iraq,
Syiria, Indonesia dan lainnya.
(Anderson, 1975:82-91).
Metode Pembaruan
Melanjutkan
pemikiran
Mohammad Atho Mudzhar dan
Muhammad Amin Suma, Ahmad
Tholabie Kharlie (2013 : 8-9)
m e r u m u s k a n b a h wa d a r i s i s i
substansi reformasi, pembaruan
hukum keluarga Islam di dunia muslim
dapat dikategorikan dalam dua model:
Pertama, intra-doctriner reform, yakni
reformasi yang dilakukan dengan cara
menggabungkan aneka pendapat
mazhab utama dan pada saat yang
sama mengambil pendapat di luar
mazhab utama, banyak ditemukan di
sebagian besar negeri muslim, seperti
Turki meskipun mazhab Hanafi
menjadi mazhab utama, namun
beberapa aspek hukum keluarga
mengadopsi di luar mazhab Hanafi.
Demikian pula Indonesia dan Mesir,
dalam beberapa hal keluar dari
mazhab Syafi'i.
Kedua, extra-doctrinal reform,
yakni pembaruan hukum dengan cara
memberikan penafsiran yang sama
sekali baru terhadap nash yang ada.
Penerapan hukum sipil Barat oleh
Turki diklaim oleh sarjana Turki
bukan sebagai penyimpangan dari
hukum keluarga Islam, melainkan
sebagai bentuk tafsir baru dari teks
suci hukum Islam. Demikian pula
aturan-aturan yang berkenaan dengan
kriminalisasi hukum keluarga, seperti
di Tunisia dinyatakan sebagai bentuk
inovasi dalam penafsiran.
Kajian yang dilakukan oleh
Khoiruddin, ada lima metode yang
digunakan untuk melakukan
pembaruan hukum keluarga di dunia
Muslim yaitu: (1) takhayyur, (2) talfiq,
(3) takhsis, (4). siyasah syar'iyah, dan
(5). reinterpretasi nash.
Strategi takhayyur lebih
ditekankan pada pemilihan aturan
yang cocok dari pada hanya mengikuti
aliran hukum tertentu.Strategi ini
digunakan pada hukum keluarga
Mesir tahun 1920 dan 1929. Di Mesir,
wanita dapat mengajukan gugatan
cerai ke pengadilan dan pengadilan
dapat mengabulkan gugatan tersebut
tanpa adanya izin dari suami. Umum
dalam mazhab fiqh klasik, suami dapat
menceraikan istrinya secara sepihak
kapanpun ia inginkan dengan alasan
apapun. Sementara, berkenaan
dengan hak istri mengajukan
perceraian dimana suaminya tidak
menginginkan perceraian, tidak
dijumpai pada semua mazhab fiqh.
Dalam mazhab Hanafi yang menjadi
mazhab resmi di Mesir waktu itu,
wanita tidak dapat mengajukan
perceraian dengan alasan telah
diabaikan suaminya. Sementara dalam
mazhab Maliki, wanita dapat
mengajukan perceraian dengan alasan
pengabaian suami, kurangnya nafkah,
dan kekerasan yang dilakukan suami.
Di negara-negara Muslim Sunni,
metode takhayyur ini bisa dilakukan
dengan beberapa alternatif. Pertama,
meninggalkan aturan yang ada dan
mencari pendapat alternatif yang ada
dalam satu tradisi mazhab yang sama.
Ini dilakukan dengan meninggalkan
pendapat dominan dan beralih kepada
pendapat yang tidak populer dalam
satu mazhab. Kedua, Jika cara pertama
tidak dapat dilakukan, takhayyur
dilanjutkan dengan mencari
pandangan yang berkembang dan
populer dalam mazhab sunni
(ortodoks). Ketiga, jika cara kedua
tidak dapat dilakukan, maka
dilanjutkan dengan mencari pendapat
dari mazhab sunni yang tidak populer.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
9
LAPORAN UTAMA
Keempat, jika tidak menemukan
pendapat seperti dalam cara ketiga,
maka pencarian hukum dilanjutkan
dengan melihat pendapat fuqaha'
khalaf. Kelima, jika semua cara
tersebut tidak dapat dilakukan, maka
pencarian hukum dilakukan dengan
mengadopsi aturan hukum yang
berkembang dalam tradisi Syi'ah
(Anderson, 1976:51).
Talfiq dilakukan dengan
mengambil dua atau lebih aturan dari
mazhab hukum yang berbeda lalu
dibuat sebuah aturan hybrid
baru.Dalam beberapa pandangan usul
fiqh, metode ini tidak kenal bahkan
tidak diperbolehkan.
Metode talfiq dilakukan dengan
menggabungkan beberapa pendapat
dalam satu ketentuan. Ini dapat dilihat
dalam Edaran Hukum Sudan No.49
Tahun 1939 mengenai bagian waris
untuk saudara/saudari kandung atau
seibu jika bersama dengan kakek dari
garis ayah. Surat edaran ini lebih
memilih untuk memberikan hak waris
kepada saudara/ saudari tersebut
bersama dengan kakek dengan
mengadopsi pendapat Abu Yusuf, alSyaibani danulama Syafi'iyah dan
malikiyah sesuai dengan prinsip Zaid
bin Tsabit. Contoh talfiq yang lain
mengenai aturan waris Muslim dan
non Muslim di Mesir. Muslim tidak
mewarisi dari non Muslim dan
sebaliknya. Tetapi non Muslim boleh
saling mewarisi. Sedangkan
perbedaan negara tidak menjadi
penghalang untuk mewarisi, kecuali
jika negara (asing) tersebut membuat
10
peraturan demikian. Aturan ini
merupakan penggabungan beberapa
pendapat
yang
berkembang
dikalangan sunni (Ibid.,1976:48-49).
Demikian juga aturan mengenai radd
untuk pasangan (suami/isteri)
dalamaturan hukum Tunisia tahun
1956.
Pembaruan hukum keluarga
mayoritas nyaris bertujuan
untuk 'meningkatkan status'
perempuan dalam
segala aspek kehidupan
dan hukum keluarga.
Takhshîshal-qadlâ adalah hak negara
membatasi kewenangan peradilan
baik dari segi orang, wilayah,
yurisdiksi, dan hukum acara yang
diterapkan (Anderson, 1971:4,12-13).
Negara dapat mengambil kebijaksanaan dan prosedural untuk membatasi
peradilan agar tidak menerapkan
ketentuan hukum keluarga dalam
situasi tertentu, tanpa bermaksud
mengubah substansi hukum Islam
tersebut dan bertujuan untuk
kemaslahatan umat.
Siyâsah syar'îyah adalah
kebijakan penguasa (ruler/uli alamr)menerapkan peraturan yang
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
bermanfaat bagi rakyat dan tidak
bertentangan dengan syari'ah. Namun
ada juga peneliti yang menyebut
takhshîsh al-qadlâ atau siyâsah
syar'îyah dengan penetapan
menggunakan administrasi. Sebab
penetapan penguasa dan pembatasan
kewenangan peradilan umumnya
terjadi dalam administrasi.
Hak penguasa(ruler/uli al-amr)
membatasi menerapkan peraturan
yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak
bertentangan dengan syari'ah ini
(takhshîsh al-qadlâ dan siyâsah
syar'îyah) sejalan dengan apa yang
telah dirumuskan ulama ushulal fiqh
dalamqaidahfiqhiyah,
Sedangkan maksud reinterpretasi nash (penafsiran ulang
terhadap nash) adalah melakukan
penafsiran/pemahaman ulang
terhadap nash (al-qur'an dan sunnah
nabi Muhammad SAW). Adapun dasar
pertimbangan yang digunakan dalam
menggunakan metode- metode
tersebut di atas ada minimal dua (2),
yakni: (1) mashlahah mursalah, dan
(2) konsep yang lebih sejalan dengan
tuntutan dan perubahan zaman.
Bila dilihat dari polanya, ada satu
hal yang dapat digaris bawahi, bahwa
pembaruan hukum keluarga
mayoritas nyaris bertujuan untuk
'meningkatkan status' perempuan
dalam segala aspek kehidupan dan
hukum keluarga. Meski tujuan ini tidak
disebutkan secara eksplisit, tapi
terlihat dari materi hukum yang
dirumuskan bahwa undang-undang
seputar hukum keluarga yang dibuat
(umumnya) merespon sejumlah
tuntutan status dan kedudukan
perempuan yang lebih adil dan setara.
Ambil contoh Undang-undang
Perkawinan Indonesia jelas
menggulirkan tujuan tersebut.
Tujuan lain yang dimiliki negaranegara Islam dalam memperbarui
hukum keluarga adalah unifikasi
hukum, karena masyarakatnya
menganut bermacam-macam mazhab
atau bahkan agama yang berbedabeda. Sehingga upaya unifikasi hukum
perkawinan ditujukan untuk semua
warga negara tanpa memandang
perbedaan madzhab/aliran/agama.
LAPORAN UTAMA
Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam undang-undang keluarga di
negara-negara Muslim, menurut
Thahir Mahmood ada tiga belas aspek,
yaitu batasan umur minimal boleh
kawin, pembatasan peran wali dalam
perkawinan, pembatasan kebolehan
poligami,
nafkah
ke l u a r g a ,
pembatasan hak cerai suami, hak-hak
dan kewajiban para pihak karena
perceraian, masa kehamilan dan
implikasinya, hak wali orang tua, hak
waris keluarga dekat, wasiat wajibah
dan pengelolaan zakat.
Beberapa Aspek Pembaruan
Ada beberapa aspek pembaharuan
hukum Islam yang dilakukan di
negara-negara Islam, diantaranya:
1. Batasan Umur Minimal Boleh
Kawin
Di Tunisia, umur minimal
perkawinan 20 tahun untuk laki-laki
dan 17 tahun untuk perempuan).Syria
tidak hanya mengatur usia minimal
pernikahan, tetapi juga mengatur
selisih umur antara kedua calon
mempelai yang akan menikah. Jika
perbedaan usia di antara keduanya
terlalu jauh, maka pengadilan dapat
melarang terjadinya pernikahan. Ini
adalah salah satu aturan yang dinilai
sangat maju dalam hukum keluarga
Syria.
Maroko juga menetapkan batas
usia minimum pernikahan bagi lakilaki dan perempuan adalah sama, 18
tahun (sebelumnya perempuan 15
tahun, laki-laki 17 tahun). Itu berarti
pernikahan dini juga dapat ditekan.
Salah satu pembaruan hukum
keluarga Yordania yang unik adalah
tentang
pembatasan
umur
perkawinan. Selain batas umur
minimal menikah 16 tahun (laki-laki)
dan 15 tahun (perempuan),
dinyatakan juga bahwa jika selisih
umur pasangan itu 20 tahun atau lebih
sementara calon istri belum berumur
30 tahun maka perkawinan itu harus
mendapat izin khusus dari pengadilan.
Pakistan juga melarang
seseorang kawin dengan seseorang di
bawah umur (Child Marriage), yaitu
jika salah satu pasangannya berumur
kurang dari 18 tahun bagi laki-laki dan
kurang dari 16 tahun bagi perempuan.
Jika seseorang laki-laki mengawini
seorang perempuan berumur di
bawah 16 tahun diancam dengan
hukuman penjara paling lama satu
bulan dan atau denda paling banyak
1000 Rupees. Kemudian bagi mereka
yang memimpin pelaksanaan atau
mengarahkan terlaksananya Child
Marriage itu diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya
satu bulan dan atau denda paling
banyak 1000 Rupees.
2. Pembatasan Kebolehan
Poligami
Ada dua hal yang menonjol
dalam pembaruan hukum keluarga di
Tunisia, yaitu keharusan perceraian di
pengadilan dan larangan poligami
secara mutlak.
Poligami dilarang sama sekali
dan bagi pelanggarnya diancam denda
240 ribu Frank Tunisia dan penjara
satu tahun (Pasal 18 UU Status
Pribadi/Code of Personal Status tahun
1956). Demikian juga diberikan
ancaman hukuman yang sama bagi
perempuan yang melakukan
perkawinan lagi, sedangkan ia masih
berstatus sebagai istri orang lain.
Tunisia berpendapat bahwa institusi
perbudakan dan poligami dalam
masyarakat Islam hanya berlaku pada
awal Islam. Dan juga, “keadilan”
sebagai prasyarat poligami hanya
dapat dipenuhi oleh Nabi Muhammad
saw.
Tidak berbeda dari Tunisia,
salah satu hal progress yang ada dalam
UU sipil Turki/1926 adalah tentang
pelarangan poligami secara mutlak.
Bahkan sebelum Tunisia, Turki telah
lebih dulu menggulirkan hal tersebut.
D i M e s i r, Po l i ga m i h a nya
dibolehkan jika mendapatkan izin
istri, sebagaimana yang terjadi di
Indonesia. Di samping itu, hukum
keluarga Mesir juga memberikan
ancaman sanksi kepada orang yang
memberi pengakuan palsu tentang
status perkawinan atau alamat istri
atau para istri yang dicerai. Pegawai
pencatat perkawinan yang lalai atau
gagal melakukan tugasnya juga dapat
dihukum dengan hukuman penjara
maksimal satu bulan dan hukuman
Tujuan lain yang dimiliki
negara-negara Islam dalam
memperbarui hukum keluarga
adalah unifikasi hukum,
karena masyarakatnya
menganut bermacam-macam
mazhab atau bahkan agama
yang berbeda-beda.
denda maksimal 50 pound Mesir; serta
pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.
Kebijakan ini tampaknya bisa
menghambat terjadinya “pernikahan
liar” atau pernikahan yang tidak
dicatatkan; baik yang dilakukan dalam
rangka nikah sirri, kawin kontrak,
ataupun perkawinan poligami yang
dilakukan tanpa seizin istri.
Di Irak, adapun tentang
poligami, hukum berpoligami tanpa
izin pengadilan maka nikahnya fasid,
dan istri dapat menggugat cerai
suaminya dengan alasan “suami
berpoligami tanpa izin pengadilan”.
Jika sang suami telah mendapatkan
izin pengadilan, maka suami wajib
menyediakan rumah untuk masingmasing istrinya.
Di Pakistan, poligami juga bisa
dilakukan namun harus dengan izin
pengadilan dan izin istri pertama.
Apabila melakukan poligami tanpa
izin maka wajib segera melunasi
seluruh maharnya dan, atas laporan
dari pihak istri, diancam dengan
hukuman penjara paling lama setahun
dan atau denda 5000 Rupees.
Di Malaysia, seorang pria yang
melaksanakan poligami/menikah lagi
tanpa izin tertulis dari pengadilan
akan dijatuhi hukuman denda
maksimal 1000 ringgit; atau dipenjara
maksimal 6 bulan; atau dijatuhi
hukuman keduanya sekaligus (Pasal
123 UU Hukum Keluarga Islam
[Wilayah Federal] 1984 (UU 304 tahun
1984).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
11
LAPORAN UTAMA
Dasar
pertimbangan
pengadilan untuk memberikan izin
p o l i ga m i
berkaitan
d e n ga n
kondisi/prilaku istri dan suami. Dari
sudut istri adalah: 1) Kemandulan; 2)
Keuzuran jasmani; 3) Tidak layak dari
segi jasmani untuk bersetubuh; 4)
Sengaja tidak mau memulihkan hakhak persetubuhan, atau 5) Sakit jiwa/
gila. Sedangkan pertimbangan pada
sudut suami adalah: 1) Mampu secara
ekonomi untuk menanggung istri-istri
dan anak keturunan, 2) Mampu
berlaku adil kepada para istri 3)
Perkawinan itu tidak menyebabkan
maqashid as-syar'iah (bahaya bagi
agama, nyawa, badan, akal pikiran atau
harta benda) istri yang telah lebih
dahulu dinikahi, 4) Perkawinan itu
tidak akan menyebabkan turunnya
martabat istri-istri atau orang-orang
yang terkait dengan perkawinan,
langsung atau tidak berdasarkan
(Pasal 23 ayat (4) UU Hukum Keluarga
Islam [Wilayah Federal] 1984 (UU
304) tahun 1984).
3. Perceraian di Luar Pengadilan
Mayoritas negara-negara Islam
melarang perceraian yang terjadi di
luar pengadilan (extra judicial
divorce). Pengucapan talak di depan
pengadilan baru dapat dilakukan
setelah pengadilan melakukan
pemeriksaan secara seksama dan
gagal mendamaikan pasangan suami
istri itu.
Beberapa negara, seperti Syiria,
juga memberikan hak kepada istri
untuk mengajukan gugatan cerai
kepada suaminya karena beberapa
sebab:
a. Suami menderita penyakit yang
dapat menghalangi untuk
hidup bersama;
b. Penyakit gila dari suami;
c. Suami meninggalkan istri atau
dipenjara lebih dari tiga tahun;
d. S u a m i
d i a n g ga p
ga ga l
memberikan nafkah;
e. Penganiayaan suami terhadap
istri.
Pakistan tercatat sebagai negara yang
menerapkan pidana bagi para
pelanggarnya. Di Yordania, apabila
pernikahan tidak dicatatkan kepada
kantor atau petugas yang berwenang
maka orang yang memimpin
pelaksanaan akad nikah itu dan para
pihak yang melakukan akad nikah
serta para saksinya diancam dengan
hukuman kurungan badan antara satu
sampai dengan enam bulan dan denda
tidak lebih dari 100 Dinar Yordania.
(Pasal 17 ayat (3) Law of Family Rights)
Sebaliknya, pada Pasal 17 ayat
(4) disebutkan bahwa Petugas
Pencatatan Perkawinan yang tidak
mencatat secara resmi suatu akad
nikah yang telah berlangsung secara
sah dan telah membayar uang
pendaftaran sesuai persyaratan dan
ketentuan yang ada, diancam dengan
hukuman sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Yordania Pasal 279 yaitu kurungan
badan antara satu sampai enam bulan
dan denda tidak lebih dari 100 Dinar
Yordania serta diberhentikan dari
jabatannya.
Sedangkan di Pakistan,
kegagalan para pihak yang melakukan
p e r k aw i n a n u n t u k m e l a ku k a n
pencatatan diancam dengan hukuman
kurungan badan paling lama tiga bulan
dan denda paling banyak 1000 Rupees
(Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance
(MFLO) tahun 1961).
Di Malaysia (Negara Bagian
Perak), penduduk atau warga Negeri
Perak yang melakukan akad nikah di
luar Negeri Perak dalam waktu enam
4. Pencatatan Pernikahan
Meskipun mayoritas negaranegara Islam mewajibkan pencatatan
perkawinan, namun Yordania dan
12
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
bulan sejak akad nikah itu tidak
mencatatkan
p e r k aw i n a n nya
dihadapan Pejabat (Kantor)
Pendaftar Perkahwinan, Perceraian,
dan Rujuk Orang Islam terdekat atau
perwakilannya di luar negeri maka ia
diancam dengan hukuman denda
1000 Ringgit Maslaysia dan atau
penjara paling lama enam bulan (UU
Keluarga Islam tahun 1984, Pasal 33).
Meskipun mayoritas
negara-negara Islam
mewajibkan pencatatan
perkawinan, namun
Yordania dan Pakistan
tercatat sebagai negara
yang menerapkan pidana
bagi para pelanggarnya.
LAPORAN UTAMA
Brunei Darussalam,
memberikan ancaman
terhadap setiap orang yang
memaksa seseorang untuk
kawin dengan seseorang
yang lain atau melarang
seseorang untuk tidak kawin
dengan seseorang yang lain
dengan hukuman denda
sebesar 2000 Ringgit Brunei
dan atau penjara paling
lama enam bulan.
Brunei Darussalam melakukan
pendekatan lain: Suatu akad nikah
hanya boleh dilangsungkan dengan
dipimpin oleh orang yang diangkat
oleh Sultan dan yang Di-Pertuan dan
diberi kewenangan untuk memimpin
pelaksanaan akad nikah. Kemudian
pada ayat (2) dikatakan bahwa tidak
boleh ada akad nikah dilaksanakan
sebelum mendapat izin dari Petugas
Pencatat Perkahwinan dari distrik di
mana calon mempelai bertempat
tinggal. Lalu pada ayat (3) dikatakan
bahwa wali dapat memimpin akad
nikah hanya dihadapan Petugas
Pencatat Nikah (Jurunikah) yang
berwenang, setelah perempuan yang
akan dinikahkan itu memberikan
persetujuannya (UU Hukum Keluarga
Brunei tahun 2000, Pasal 8).
Selanjutnya, pada Pasal 37 dikatakan
bahwa barangsiapa memimpin
upacara akad nikah sedangkan ia tidak
mempunyai kewenangan dari Sultan
untuk itu maka ia diancam dengan
denda sebesar 2000 Ringgit dan atau
penjara paling lama enam bulan.
5. Hak Asuh Anak
Irak tercatat sebagai salah satu
n e ga ra ya n g m e m b e r i ka n h a k
istimewa kepada perempuan untuk
mengasuh dan mendidik anak selama
perkawinan berlangsung dan begitu
juga setelah perceraian, dengan
catatan tidak berbuat aniaya terhadap
anak, sehat, dapat dipercaya, dan
mampu bertanggung jawab dan
melindungi anaknya, dan juga belum
menikah lagi dengan laki-laki lain.
6. Perjanjian Perkawinan
Praktek pembuatan perjanjian
seperti ini sekarang sudah umum
diberlakukan di Negara-negara
Muslim, biasanya terkait kesepakatan
percampuran atau pemisahan harta
dan penjaminan kesetaraan derajat
wanita. Di sementara Negara isi
perjanjian seperti itu boleh menyebut
misalnya bahwa selama perkawinan
itu masih berlangsung maka si suami
tidak boleh melakukan poligami dan
pelanggaran terhadap itu otomatis
menyebabkan perceraian melalui
pengadilan. Penegasan seperti ini
mungkin perlu dilakukan karena janji
untuk tidak berpoligami itu dapat
diperdebatkan apakah telah
melanggar batas-batas hukum, agama
dan kesusilaan sebagaimana di atur di
atas.
7. Pembatalan Perkawinan
Malaysia (Negara Bagian Perak
m i s a l nya )
m e n ga t u r
b a hwa
barangsiapa memaksa orang lain
dengan kekerasan untuk melakukan
akad nikah dengan seseorang atau
melarang orang lain untuk tidak
melakukan akad nikah dengan
seseorang sedangkan diantara para
pihak yang akan berakad-nikah itu
tidak ada penghalang sesuai hukum
yang berlaku maka ia diancam dengan
hukuman denda paling besar 1000
Ringgit Malaysia dan atau penjara
tidak lebih dari enam bulan. (Pasal 35
UU Keluarga Islam).
Pun
demikian
Brunei
Darussalam, memberikan ancaman
terhadap setiap orang yang memaksa
seseorang untuk kawin dengan
seseorang yang lain atau melarang
seseorang untuk tidak kawin dengan
seseorang yang lain sedangkan antara
pasangan itu tidak ada halangan
hukum apa pun dan mereka telah
memnuhi batas usia minimal kawin
maka orang yang memaksa tersebut
diancam dengan hukuman denda
sebesar 2000 Ringgit Brunei dan atau
penjara paling lama enam bulan. (UU
Hukum Keluarga tahun 2000, Pasal
35).
*****
Selain hal-hal tersebut diatas,
masih banyak hal lain yang
mendapatkan aspek pembaharuan
hukum di negara-negara Islam,
misalnya Pembatasan Peran Wali
Dalam Perkawinan, Pembatasan Hak
Cerai Suami, Hak-Hak Dan Kewajiban
Para Pihak Karena Perceraian, Hak
Waris Keluarga Dekat, dan Wasiat
Wajibah.
Tampaknya bentuk dan materi
hukum perkawinan secara khusus dan
hukum keluarga secara umum sangat
bervariasi antara satu negara dengan
negara Islam (atau negara dengan
mayoritas penduduk muslim) lainnya.
Walaupun begitu, dapat disimak
beberapa konsep dasar dari
pembaruan hukum keluarga yang
dilakukan oleh negara-negara Islam
yang telah disebutkan diatas,
diantaranya:
1. Pembaruan hukum dilakukan baik
terhadap substansi hukumnya
maupun penambahan pencantuman sanksi bagi pelanggarnya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
13
LAPORAN UTAMA
2. Pembaruan hukum hanya
difokuskan pada penambahan dan
pencantuman ancaman sanksi atas
pelanggaran terhadap berbagai
pengaturan yang ada dalam UU itu,
sedangkan substansi dibiarkan
sebagaimana adanya untuk
menghindari resistensi yang
terlalu keras.
3. Pembaruan hukum dilakukan
seminimal mungkin dan terhadap
beberapa pasal saja seperti batas
usia minimal kawin, sedangkan
focus pembaruan diletakkan pada
penambahan ancaman sanksi atas
pelanggaran terhadap berbagai
pengaturan yang ada di dalamnya.
Sebagai catatan akhir, Musdah
Mulia dalam Menuju Hukum
Perkawinan
Ya n g
Adil:
M e m b e rd a y a ka n
Pe re m p u a n
Indonesia, (Jakarta, 2006) memberikan tiga penekanan penting:
1. Upaya pembaruan hukum keluarga
di negara-negara Islam selalu
mendapatkan tantangan dari
kelompok Islam tradisional dan
fundamental
yang
sela lu
mempertahankan status quo.
2. Pembaruan hukum keluarga
tersebut selalu berujung pada
kelahiran undang-undang baru
yang materinya berbeda dengan
ketentuan hukum sebagaimana
yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh klasik.
3. Pembaruan hukum keluarga yang
dilakukan oleh negara-negara
Islam (maupun mayoritas/
minoritas penduduk muslim),
semuanya termotivasi oleh hal
yang sama yaitu membangun
masyarakat sipil yang berkualitas
dan
beradab,
sekaligus
memperbaiki
status
dan
kedudukan perempuan serta
melindungi anak-anak.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana
dengan Indonesia?
|Rahmat Arijaya, Ade Firman Fathony, Alimuddin|
Daftar Pustaka:
Abdurrahman Adi Saputera, “SEJARAH
KEBERLAKUAN HUKUM KELUARGA
ISLAM DAN TINJAUAN HUKUM
PERNIKAHAN DI BRUNEI
DARUSSALAM,” Disertasi tidak
diterbitkan Universiti Islam
Shultan Syarif Ali Bandar Seri
Begawan Brunei Darussalam,2013.
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2013.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit
Aulawi, Hukum Perkawinan
Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta,
1978.
Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan
Perempuan, Serambi, Jakarta,
2005.
J.N.D. Anderson, Law Reform in The
Modern World, Anthone Press,
London, 1967, dalam Musdah
Mulia, Menuju Hukum Perkawinan
Yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia, Jakarta,
2006.
John L. Esposito, Women in Muslim
Family Law, Syracuse University
Press, New York, 2001
Khoiruddin Nasution, “Sejarah Singkat
Pembaruan Hukum Keluarga
Muslim”, dalam M. Atho Mudzhar
dan Khoiruddin Nasution (ed),
Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern: Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-Kitab Fikih, Ciputat Press,
Jakarta, 2003, hlm. 10-11.
14
Komnas Perempuan, Konsultasi
Nasional: Mencapai Hukum
Keluarga yang Adil dan Setara
Gender, yang diselenggarakan di
Hotel Harris, Jakarta, 3-4 Februari
2009.
Lane, Jan-Erik, Hamadi Redissi, Riyad
Saydawi. Religion and Politics:
Islam and Muslim Civilization.
Farnham/Burlington: Ashgate
Publishing Company, 2009.
Mohammad Atho Mudzhar, Fatwafatwa Majelis Ulama Indonesia,
Leiden INIS, Jakarta, 1993
Muhammad Amin Suma, Hukum
Keluarga Islam di Dunia Islam,
Rajawali Press, Jakarta, 2004.
Muhammad Zain dan Mukhtar
Alshodiq, Membangun Keluarga
Humanis: Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam yang
Kontroversial Itu, Grahacipta,
Jakarta, 2005.
Muhammad Zaki Saleh (Mahasiswa
Prog. Doktor UIN Syahid Jakarta),
Trend Kriminalisasi dalam Hukum
Keluarga di Negara-negara Muslim,
Dipresentasikan pada Annual
Conference Kajian Islam, Lembang
– Bandung, 2006.
Munawir Syadzali, Reaktualisasi Ajaran
Islam, dalam Iqbal Abdurrauf
Saimima (Ed.) Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam,
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988.
Nasaruddin Umar, Refleksi Penerapan
Hukum Keluarga di Indonesia,
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
dalam
http://www.komnasperempuan.or
.id/wp-content/uploads/2009/
02/refleksi-penerapan-hukumkeluarga-diindonesia_nasaruddin-umar.pdf
Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Arab Saudi
(Studi Perbandingan dan
Keberanjakan UU Modern dari
Kitab-kitab Fikih).
Prof. Dr. Atho' Mudzhar, Personal Law in
Islamic Countries, ada juga Pemikir
dan Ilmuwan Indonesia, (2003).
Tahir Mahmood, Family Law Reform in
Muslim World, Tripathi, Bombay,
1972
Tahir Mahmood, Personal Law in
Islamic Countries, dalam Musdah
Mulia, Menuju Hukum Perkawinan
Yang Adil: Memberdayakan
Perempuan Indonesia, Jakarta,
2006.
Welchman, Lynn. Women and Muslim
Family Laws in Arab States: A
Comparative Overview of Textual
Development and Advocacy.
Amsterdam: ISIM/Amsterdam
University Press, 2007.
Women Living under Muslim Law,
Knowing Our Rights,
diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia oleh SCN, LKIS, dan
WEMC dengan judul Mengenali
Hak Kita (2008).
LAPORAN UTAMA
Pembaruan
Hukum Keluarga
Melalui Legislasi
Sejarah pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia
melewati banyak etape dan tantangan tersendiri.
Pasca-kemerdekaan, sistem hukum di Indonesia cenderung
mengikuti civil law dengan kodifikasi sebagai ciri utama.
Hal ini akibat dari positivisme hukum atau legisme,
di mana sumber hukum satu-satunya adalah
legislasi negara.
Sumber foto : www.hukumonline.com
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
15
LAPORAN UTAMA
A
16
“
Awal mula pembaruan
hukum keluarga Islam
di Indonesia melalui legislasi
dapat dilacak sejak lahirnya
UU No. 22 Tahun 1946 dan
UU No. 32 Tahun 1954.
“
wal pembaruan hukum keluarga
Islam di Indonesia melalui
legislasi dapat dilacak sejak
lahirnya UU No. 22 Tahun 1946 dan UU
No. 32 Tahun 1954 yang mengatur
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk dengan memuat sanksi.
Pengaturan ini termasuk pembaruan
dalam hukum keluarga Islam, karena
belum diatur dalam kitab-kitab fikih.
Sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berlaku secara efektif
pada 1 Oktober 1975, terdapat
keragaman hukum perkawinan yang
berlaku di Indonesia berdasarkan
golongan warga negara dan daerah.
Bagi orang Indonesia asli berlaku
hukum adat. Bagi orang Indonesia asli
yang beragama Islam berlaku hukum
Islam. Bagi orang Indonesia asli (Jawa,
Minahasa, dan Ambon) yang beragama
Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Ordonantie
Christen Indonesiaers atau HOCI). Bagi
orang keturunan Eropa dan Cina
(Tionghoa) berlaku Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek atau BW) dengan beberapa
pengecualian. Bagi mereka yang
melakukan perkawinan campuran
berlaku Regeling op de Gemengde
Huwelijken (S.1898 No. 158 tentang
Perkawinan Campuran). Peraturan
tersebut mencakup perkawinan dari
mereka yang menundukkan diri pada
hukum yang berbeda dan mereka yang
beragama Kristen dengan nonKristen.
Menurut
Mochtar
Kusumaatmadja, hukum keluarga
termasuk bidang hukum non-netral,
sehingga pembaruan hukum keluarga
dalam bentuk unifikasi tidaklah
mudah karena menyangkut kultur dan
keyakinan masyarakat. Apalagi dalam
masyarakat yang plural seperti di
Indonesia. Namun demikian,
Indonesia telah berhasil melakukan
unifikasi bidang hukum non-netral
tadi, yaitu dengan lahirnya UU No. 1
Tahun 1974 (Kusumaatmadja, 2002:
24). Dalam diskusi hukum bertema
“Pembaruan Hukum Keluarga di
Indonesia”, yang diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama (4/8/2015) di Jakarta, Atho
Mudzhar menyebut UU No. 1 Tahun
1974 dalam bentuknya yang sekarang
bersifat diferensiasi dalam unifikasi.
Karena, undang-undangnya satu
tetapi isinya masih mengandung
pluralisme hukum.
Jika dicermati, pembaruan
hukum keluarga Islam yang termuat
dalam UU No. 1 Tahun 1974
mencakup:
1. Pencatatan perkawinan
Dalam Pasal 2 ayat 2 UU No.1
Tahun 1974 disebutkan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Pembatasan Poligami
Poligami diatur Pasal 4 dan
Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974. Dalam
Pasal 4 diatur dalam hal seorang
suami akan beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya, dan
Pengadilan hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila
isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri, atau
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Sementara dalam Pasal 5 diatur
untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, harus
dipenuhi syarat-syarat yang
meliputi: a. adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri; b. adanya
kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka; dan c. adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka. Persetujuan terhadap
isteri atau isteri-isteri tidak
diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari
hakim Pengadilan.
3. Penghapusan hak ijbar
Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974 mengatur bahwa perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai. Pasal ini
telah meniadakan hak ijbar yang
dimungkinkan dalam kitab-kitab
fikih. Berdasarkan Pasal 27 UU No. 1
Tahun 1974, jika perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman
yang melanggar hukum, suami atau
isteri
dapat
mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan dalam jangka waktu 6
bulan.
LAPORAN UTAMA
“
Pengaturan harta bersama
dalam UU No. 1 Tahun 1974
dan KHI merupakan
akomodasi terhadap adat.
Lembaga harta bersama
telah terinternalisasi
dalam kehidupan sosial
masyarakat Indonesia.
Lembaga harta bersama
tidak pernah dibahas dalam
kitab-kitab fikih.
“
4. Pembatasan usia nikah
Pembatasan usia nikah dalam
UU No.1 Tahun 1974 diatur dalam
Pasal 7 yang berbunyi: (1)
Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun; (2) Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat (1)
pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita;
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai
keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam Pasal 6
ayat (3) dan (4) Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal
ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
5. Harta bersama
Harta bersama diatur dalam
Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang
berbunyi: (1) harta benda yang
diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama, (2) harta
bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Ketentuan mengenai pembagian harta bersama ketika terjadi
perceraian tidak diatur di dalam UU
No. 1 Tahun 1974, tetapi bagi orang
Islam diatur lebih lanjut dalam
Pasal 85-97 Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Pengaturan harta bersama
dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI
merupakan akomodasi terhadap
adat. Lembaga harta bersama telah
terinternalisasi dalam kehidupan
sosial masyarakat Indonesia
meskipun tidak pernah dibahas
dalam kitab-kitab fikih. Menurut
Yahya Harahap, penyelarasan
tersebut dapat dihubungkan
dengan asumsi bahwa mempertahankan lembaga harta
bersama memberikan lebih banyak
keuntungan dari pada kerugian.
Oleh karena itu, berdasarkan
pertimbangan maslahah mursalah,
'urf dapat diperhatikan, selama
tidak bertentangan dengan Qur'an
dan Hadis. Harahap berpendapat
bahwa pelembagaan harta bersama
dapat diterima dan diterapkan
secara hukum. Penyelarasan
sebagaimana ditunjukkan oleh KHI
juga dianggap memberikan
kedudukan yang sama dan setara
antara suami-istri (Nurlaelawati,
2010: 99-111).
Berbagai ketentuan dalam UU
No.1 Tahun 1974 di atas berbeda
dengan atau bahkan tidak diatur
dalam kitab-kitab fikih, sehingga
merupakan pembaruan hukum
terhadap hukum keluarga Islam yang
berlaku di Indonesia.
Menurut Khoirudin Nasution,
pada prinsipnya metode pembaruan
yang digunakan dalam melakukan
kodifikasi hukum Islam kontemporer
ada lima, yaitu: (1) takhayyur, (2)
talfiq, (3) takhshis al-qadha, (4)
siyasah syar'iyah, dan (5)
reinterpretasi nash (Nasution, 2007:
334).
Menurut Taufiq, dalam
menetapkan wajibnya pencatatan
perkawinan, talak, dan rujuk,
digunakan metode takhsish al-qada',
siyasah syar'iyah, dan qiyas terhadap
Quran, Surat al-Baqarah (2): 282 dan
at-Talak (65:2). Sementara untuk
menetapkan pembatasan kebolehan
poligami didasarkan pada Quran,
Surat al-Nisa (4): 3 dihubungkan
dengan al-Nisa' (4): 129, dan siyasah
syar'iyah. Penetapan batas minimal
usia nikah didasarkan pada
pandangan al-Syaukani yang
mengatakan bahwa kasus perkawinan
Siti Aisyah adalah sebagai
pengecualian(Nasution, 2007: 339).
Di samping itu, disandarkan kepada
beberapa riwayat bahwa beberapa
tahun setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, Siti Aisyah diriwayatkan
sanggup memimpin pasukan dalam
Perang Jamal. Ini berarti boleh jadi
ketika menikah dengan Nabi, usia Siti
Aisyah telah mencapai 16 tahun atau
lebih (Mudzhar, 2015: 6).
Hadits yang mengulas tentang
usia pernikahan Aisyah dengan
Rasulullah, termasuk hadits
problematis alias lemah. Beberapa
riwayat yang termaktub dalam bukubuku hadits berasal hanya satusatunya dari Hisyam bin 'Urwah yang
didengarnya sendiri dari ayahnya.
Hadits ini baru diutarakan Hisyam
ketika sudah bermukim di Irak.
Mengenai ini, Ya'qub bin Syaibah
mengatakan mempercayai perkataan
Hisyam kecuali setelah ia bermukin di
Irak. Bahkan, di usia lanjutnya, ingatan
Hisyam sangat menurun. Oleh karena
itu, riwayat usia pernikahan Aisyah
yang bersumber dari Hisyam bin
'Urwah, tertolak (Syafii Antonio:
2008:303).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
17
LAPORAN UTAMA
18
Namun demikian, KHI masih
b e r b e n t u k I n s t r u k s i P re s i d e n
(Inpres). Padahal, mengacu kepada UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Tata
Urutan Peraturan PerundangUndangan Nasional, Inpres tidak
termasuk dalam hirarki peraturan
perundang-undangan RI. Ini jadi salah
satu hambatan pembaruan hukum
keluarga Islam dari perspektif
legislasi.
Namun, meski hanya berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991, tidak
dipungkiri hingga kini KHImenjadi
rujukan hakim-hakim di lingkungan
Peradilan Agama dalam membuat
putusan untuk menghindari diparitas
putusan karena rujukan hukum yang
beragam dalam kasus-kasus yang
mirip. KHI mencakup tiga buku yaitu
Buku I tentang Perkawinan, Buku II
tentang Kewarisan, dan Buku III
tentang Perwakafan.
Aspek-aspek pembaruan
hukum keluarga Islam yang terdapat
dalam KHI lebih banyak terkait dengan
hukum waris, sementara terkait
hukum perkawinantidak ada satu pun
ketentuan dalam KHI yang berbeda
dengan aspek-apek pembaruan
hukum keluarga yang ada dalam UU
No. 1 Tahun 1974. Berbagai
pembaruan dalam hukum kewarisan
Islam yang diintrodusir oleh KHI
mencakup:
1. Ahli waris pengganti
Ahli waris pengganti dalam KHI
diatur dalam Pasal 185 yang
berbunyi: (1) Ahli waris yang
meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam
Pasal 173; (2) Bagian ahli waris
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat
denganyang diganti.
Ketentuan ahli waris pengganti
dalam KHI sesuai dengan praktik
memberikan hak waris kepada cucu
yatim yang telah mapan di kalangan
Muslim Indonesia tertentu melalui
sistem
plaatsvervulling
(Nurlaelawati, 2010: 97). Selain itu,
juga sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Hazairin tentang ahli
waris pengganti. Hazairin
menafsirkan kata mawali dalam
Quran al-Nisa (4):33 sebagai
pengganti ahli waris. Adapun yang
dapat menjadi mawali yaitu
“
Menurut Khoirudin Nasution,
pada prinsipnya metode
pembaruan yang digunakan
dalam melakukan kodifikasi
hukum Islam kontemporer
ada lima, yaitu:
(1) takhayyur, (2) talfiq,
(3) takhshis al-qadha,
(4) siyasah syar'iyah, dan
(5) reinterpretasi nash.
“
Teori lain yang mengulas
tentang usia pernikahan Aisyah adalah
keempat anak Abu Bakar dilahirkan
pada zaman Jahiliyah (sebelum 610
M). Jika Aisyah dinikahkan dalam usia
6 tahun, berarti Aisyah lahir tahun 613
M. Padahal menurut Tabari, keempat
anak Abu Bakar lahir pada zaman
Jahiliyah (sebelum 610 M). Menurut
Abdur Rahman, Asmah 10 tahun lebih
tua dari Aisyah. Menurut Asqalani,
Asmah hidup hingga usia 100 tahun
dan meninggal pada tahun 73 atau 74
Hijriyah. Dengan demikian, saat hijrah
usia Asmah adalah 27 atau 28 tahun.
Oleh karena Aisyah 10 tahun lebih
muda dari Asmah, maka usia Aisyah
adalah 17 atau 18 tahun pada waktu
hijrah. Kemudian mulai hidup
berumah tangga dengan Rasulullah
pada waktu berumur 19 atau 20 tahun
(Syafii Antonio: 2008:304).
Penghapusan hak ijbar dalam
perkawinan didasarkan pada
pendapat Ibn Shubrumah. Keharusan
perceraian di pengadilan didasarkan
pada pandangan al-Zahiri dan Syi'ah
Imamiyah, yang menetapkan bahwa
perceraian sama dengan perkawinan,
hanya terjadi dengan disaksikan oleh
minimal dua orang saksi (Nasution,
2007: 339).
Selain UU No. 1 Tahun 1974,
pembaruan hukum dalam hal
perceraian juga dimuat dalam UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah diubah menjadi UU No. 3
Tahun 2006 dan perubahaan kedua
menjadi UU No. 50 Tahun 2009. Pasal
73 UU No. 7 Tahun 1989 mengatur
tentang cara cerai gugat. Berdasarkan
pasal tersebut seorang istri dapat
mengajukan gugatan perceraian
kepada Pengadilan berdasarkan
alasan-alasan yang sama dengan
suami seperti diatur dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975. Sementara berdasarkan kitabkitab fikih, seorang istri hanya
mungkin mengajukan perceraian
kepada suami melalui khuluk, dengan
kewajiban membayar tebusan, dan
hanya dapat bercerai jika suami
mengijinkan.
Pembaruan hukum keluarga
Islam di Indonesia melalui produk
hukum negara juga dapat ditemukan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
keturunan anak pewaris, keturunan
saudara pewaris, ataupun
keturunan orang yang mengadakan
semacam perjanjian (misalnya
dalam bentuk wasiat) dengan si
pewaris. Masalah ahli waris
pengganti ini muncul karena
Hazairin merasakan adanya
ketidakadilan dalam pembagian
warisan yang ada selama ini, yakni
bahwa cucu perempuan yang
ayahnya meninggal terlebih dahulu
tidak mendapat harta warisan dari
harta warisan yang ditinggalkan
kakeknya.
LAPORAN UTAMA
mempresentasikan Rancangan
Undang-Undang Hukum Terapan
Peradilan Agama dan masuk dalam
program legislasi, hingga saat ini
rancangan tersebut belum ada
kepastian pembahasan di gedung
wakil rakyat.
Pembaruan justru terjadi
melalui putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang menguji UU No. 1
Tahun 1974 dan undang-undang lain
“
Menurut Yahya Harahap,
ketentuan wasiat wajibah
dalam KHI tersebut
untuk menjembatani
antara aturan yang saling
bertentangan antara
hukum adat dan
hukum Islam.
“
2. Wasiat wajibah bagi anak angkat
atau bapak angkat.
Penggunaan wasiat wajibah
untuk memberikan bagian harta
peninggalan kepada anak angkat
atau bapak angkat yang belum
mendapatkan wasiat diatur dalam
Pasal 209 KHI. Pasal 209 KHI
berbunyi:(1) Harta peninggalan
anak angkat dibagi berdasarkan
Pasal 176 sampai dengan Pasal 193
tersebut di atas, sedangkan
terhadap orang tua angkat yang
tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan
anak angkatnya; (2) Terhadap anak
angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan
orang tua angkatnya.
Menurut Yahya Harahap,
ketentuan wasiat wajibah dalam KHI
tersebut untuk menjembatani antara
aturan yang saling bertentangan
antara hukum adat, yang mengizinkan
orang tua angkat dan anak angkat
untuk saling mewarisi, dan hukum
Islam yang tidak mengizinkan orang
tua angkat dan anak angkat untuk
saling mewarisi (Nurlaelawati, 2010:
116).
Pembaruan hukum keluarga
Islam di Indonesia melalui legislasi
tidak mengalami perkembangan
setelah lahirnya KHI. Meskipun pada
tahun 2003 Menteri Agama telah
yang berkaitan dengan perkawinan.
Berdasarkan penelusuran redaksi,
setidaknya enam kali UU No. 1 Tahun
1974 diuji di MK. Keenam hasil
pengujian tersebut terlihat dalam
putusan MK Nomor 12/PUU-V/2007
yang menguji Pasal 3 ayat (1) dan (2),
putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010
yang menguji Pasal 43 ayat (1),
putusan Nomor 38/PUU-IX/2012
yang menguji penjelasan Pasal 39 ayat
(2) huruf f, putusan Nomor 68/PUUXII/2014 yang menguji Pasal 2 ayat
(1), dan putusan Nomor 30-74/PUUXII/2014 yang menguji Pasal 7 ayat
(1).
Dari keenam pengujian
undang-undang tersebut, MK hanya
mengabulkan pengujian Nomor:
46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan
putusan MK tersebut Pasal 43 ayat 1
UU No. 1 Tahun 1974 menjadi
berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya.” Dalam
praktik, penerapan putusan MK
tersebut mengalami persoalan terkait
apakah keberlakuan putusan MK
tersebut bersifat retroaktif atau nonretroaktif, dan sejauhmana batasbatas hubungan keperdataan antara
anak luar kawin dengan ayah
biologisnya, apakah mencakup
hubungan perwalian, dan hubungan
saling mewarisi.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
19
LAPORAN UTAMA
Pendorongpembaruan
Adanya pembaruan hukum
keluarga Islam, disebabkan karena
norma-norma yang terkandung dalam
kitab-kitab fikih yang ditulis pada
zaman terdahulu sudah tidak mampu
lagi memberikan solusi terhadap
berbagai masalah yang muncul pada
zaman sekarang.
Pandangan ini didasarkan
kepada pendapat Abdul Manan
sebagaimana simpulannya mengenai
empat faktor penyebab terjadinya
pembaruan hukum yaitu : 1) Untuk
mengisi kekosongan hukum karena
norma norma yang ada dalam kitab
fikih tidak mengaturnya, sedangkan
kebutuhan masyarakat terhadap
20
hukum terhadap masalah yang baru
terjadi itu sangat mendesak untuk
diterapkan; 2) Pengaruh globalisasi
dan IPTEK sehingga perlu ada aturan
hukum yang mengaturnya, terutama
masalah yang belum ada aturan
hukumnya; 3) Pengaruh reformasi
dalam berbagai bidang yang
memberikan peluang kepada hukum
Islam untuk bahan acuan dalam
membuat hukum nasional; 4)
Pengaruh pembaruan pemikiran
hukum keluarga Islam yang
dilaksanakan oleh para mujtahid baik
tingkat internasional maupun tingkat
nasional (Abdul Manan, 2006:153154).
“
Prof. Abdul Manan
menyebutkan
empat faktor penyebab
terjadinya pembaruan
hukum,
“
Selain putusan Nomor 46/PUUVIII/2010, terdapat pengujian
undang-undang yang meskipun tidak
menguji secara langsung UU No. 1
Tahun 1974 tetapi memiliki implikasi
terhadap pembaharuan hukum
perkawinan, yakni putusan MK Nomor
64/PUU-X/2012 yang menguji Pasal
40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Berdasarkan putusan MK
tersebut, Pasal 40 ayat (1) UU No. 10
Tahun 1998 menjadi berbunyi “Bank
wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A serta untuk
kepentingan peradilan mengenai harta
bersama dalam perkara perceraian”.
Dengan ketentuan yang baru
ini, pasangan suami isteri dapat
meminta bank untuk membuka
rekening yang dimiliki oleh
pasangannya yang dapat dijadikan
sebagai harta bersama. Ketentuan ini
menyiratkan kesamaan kedudukan
suami isteri dalam mengakses
informasi rekening bank masingmasing. Keputusan ini juga semakin
memberikan hak kepada isteri untuk
memperoleh bagian dari harta
bersama berupa tabungan atau
deposito yang dimiliki oleh suami,
yang selama ini sulit diakses atas nama
kerahasiaan bank.
Secara
praktis,
Amir
Syarifuddin (1993: 106) mengulas
beberapa faktor pendorong adanya
hukum keluarga Islam. Fikih, dalam
pandangan Amir, bukan hanya soal
ibadah, tapi tentang peraturan yang
mencakup segala kehidupan manusia.
Sebagai contoh, kitab-kitab fikih
tradisional tidak memberikan batas
tertentu dalam umur perkawinan,
sehingga menimbulkan penafsiran
bayi yang masih menyusu pun dapat
dikawinkan dan dikawini.
Beberapa persoalan hukum
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
keluarga lainnya yang belum diatur
secara spesifik dalam kitab-kitab fikih
tradisional antara lain: tidak adanya
kewajiban registrasi perkawinan
sehingga masyarakat yang merasa
telah memenuhi syarat dan rukun
pernikahan dapat seenaknya
menikah; aturan talak dalam kitab
fikih tradisional sering menimbulkan
kerancuan sehingga pihak suami
seenaknya menceraikan isteri;
persoalan poligami yang sangat
mudah juga menjadi polemik sehingga
laki-laki yang ingin menikahi
perempuan lebih dari satu bisa
dilakukan seenaknya.
Terhadap persoalan-persoalan
tersebut di atas, Pemerintah Indonesia
telah selangkah lebih maju karena
telah memberikan suatu interpretasi
baru terhadap sumber aslinya yaitu
kitab dan sunnah melalui legislasi
dengan hadirnya undang-undang
terkait hukum keluarga Islam.
Penghambat pembaruan
Pe ra t u ra n
perundangundangan yang terkait dengan hukum
keluarga Islam di Indonesia antara lain
adalah: UU No. 1 Tahun 1974, UU No. 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50
Tahun 2009. Selain itu, ada juga
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
diberlakukan berdasarkan Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991.
Dari beberapa peraturan
perundang-undangan tersebut, UU No.
1 Tahun 1974 termasuk UU yang
paling lama dan tidak pernah diubah.
Sejak diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan berlaku efektif sejak
1 Oktober 1975, UU ini sudah bertahan
sampai 40 tahun tanpa mengalami
amandemen kecuali beberapa kali uji
materi di MK.
Dalam Diskusi “Pembaruan
Hukum Keluarga di Indonesia” yang
diselenggarakan Ditjen Badilag,
(Selasa 4/8), Atho Mudzhar
menyampaikan dua spekulasi
mengapa UU No. 1 Tahun 1974 tidak
pernah diubah: pertama, UU tersebut
masih dianggap memadai untuk
menjawab perkembangan sekarang.
Kedua, status quo antara pihak yang
ingin mempertahankannya dan pihak
yang ingin mengubahnya.
LAPORAN UTAMA
Dalam Diskusi
“Pembaruan Hukum Keluarga
di Indonesia” yang
diselenggarakan Ditjen
Badilag (Selasa, 4/8/2015),
Atho Mudzhar menyampaikan
dua spekulasi mengapa
UU No. 1 Tahun 1974
bisa bertahan sampai
40 tahun tanpa
amandemen.
Namun demikian, Atho
Mudzhar juga menyinggung adanya
kekhawatiran dari tokoh konservatif
yang mengatakan UU ini merupakan
perwujudan Islam di Indonesia, bahwa
jika UU dibuka untuk diubah
dikhawatirkan akan menjauhkan
isinya dari hukum Islam dan jatuh ke
tangan para kamu liberal dan sekuler.
Alasan ini sangat masuk akal,
mengingat menurut catatan sejarah,
draf awal saat UU ini diajukan
pemerintah pada tahun 1973
sangatlah sekuler, dan lahirnya UU
yang ada sekarang ini merupakan
buah dari perjuangan panjang umat
Islam termasuk upaya pendudukan
ruang sidang DPR oleh sekelompok
pelajar.
Selain
menyinggung
kekhawatiran tersebut, Atho juga
menyinggung adanya resistensi
terhadap perubahan UU No. 1 Tahun
1974 tersebut, juga karena dalam
usulan perubahan memuat sanksi
terhadap pelanggaran. Mengenai
sanksi bagi pelanggar, Atho Mudzhar,
secara tegas memaparkan perlunya
sanksi dalam penegakan hukum
keluarga Islam di Indonesia.
Sebagai contoh, menurut Atho
Mudzhar, perihal aturan pencatatan
perkawinan dalam Pasal 2 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974, sesungguhnya
merupakan hasil kompromi. Karena
dalam draf awalnya, ayat (1) dan ayat
(2) dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974
tersebut digabung menjadi satu ayat.
“Agar pencatatan tetap tidak
menentukan keabsahan perkawinan,
tetapi merupakan kewajiban yang
dipatuhi masyarakat, maka jalan
keluarnya adalah kedepan harus
diberikan ancaman sanksi berupa
sanksi denda dan atau kurungan
badan bagi pelanggarnya,” tutur Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
ini.
Jika merujuk kepada konsep
law as tool of social engineering yang
dikembangkan oleh Roscoe Pound,
hukum memiliki fungsipenting bagi
pembentukan perilaku masyarakat
(Majda, 2001:74). Ia tidak saja
dijadikan sebagai alat kontrol sosial
(social control), tetapi juga dijadikan
sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering) (Darji, 2008:128).
Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974
merupakan salah satu realisasi dari
hukum sebagai alat rekayasa sosial.
Apakah UU No. 1 Tahun 1974
sudah berfungsi sebagai rekayasa
sosial yang dapat menertibkan
masyarakat? Perlu kajian mendalam
untuk menjawab pertanyaan ini. Di
satu sisi, ada pendapat yang
menyebutkan UU No. 1 Tahun 1974 ini
telah mampu menjadi alat rekayasa
sosial. Hal ini dapat dilihat dari
eksistensi Pengadilan Agama yang
setiap tahun mengalami peningkatan
perkara baik secara kualitas maupun
kuantitas.
Di sisi lain, ada juga pendapat
yang menyebutkan UU No. 1 Tahun
1974 ini belum sepenuhnya mampu
menjadi alat rekayasa sosial. Hal ini
dapat dilihat masih maraknya
pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun
1974 yang dilakukan oleh masyarakat
dari berbagai kalangan, baik yang
mengerti hukum maupun yang awam.
Masalahnya, di Indonesia bagi
pelanggar hukum keluarga tidak
diberikan sanksi tegas berupa denda
atau kurungan badan. Sehingga
poligami liar, nikah di bawah tangan
dan sebagainya terjadi di mana-mana
tanpa pemenuhan prosedur yang
diatur oleh undang-undang. Kedepan
para pelaku pelanggaran hukum
keluarga maupun pihak lain yang
terlibat perlu dikenakan sanksi tegas
sebagaimana telah dilakukan oleh
negara Muslim lainnya seperti
Malaysia, Pakistan, Yordania dan
sebagainya.
|M. Isna Wahyudi, Edi Hudiata, M. Noor, Achmad Fauzi|
Daftar Pustaka:
Abdul Manan, 2006, Reformasi Hukum
Islam di Indonesia; Tinjauan
dari Aspek Metodologis,
Legislasi, dan Yurisprudensi,
Jakarta: RajaGrafindo.
Amir Syarifuddin, Pembaharuan
Pemikiran dalam Hukum Islam,
1993, Padang: Angkasa Raya.
Mochtar Kusumaatmadja, 2002,
Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Bandung: Pusat
Studi Wawasan Nusantara,
Hukum dan Pembangunan &
Alumni.
Euis Nurlaelawati, 2010,
Modernization, Tradition, and
Identity: The Kompilasi Hukum
Islam and Legal Practice in the
Indonesian Religious Courts,
Amsterdam: Amsterdam
University Press.
Atho Mudzhar, 2015, Pembaruan
H u ku m
Pe r ka w i n a n
di
Indonesia, Makalah disampaikan dalam Diskusi Hukum
Pembaruan Hukum Keluarga di
Indonesia, Selasa 4/8/2015,
Jakarta: Ditjen Badilag.
Khoiruddin Nasution, 2010,
Pengantar dan Pemikiran
Hukum Keluarga (Perdata)
Islam Indonesia.
Khoiruddin Nasution, 2007, Metode
Pembaruan Hukum Keluarga
Islam Kontemporer, dalam
UNISIA, Vol. XXX No. 66.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta,
2008, Pokok-pokok Filsafat
Hukum, Cet 7. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Majda El-Muhtaj, 2001, Social
Enggineering dan Maslahat,
Suatu Tinjauan Filsafat Hukum
Islam dan Barat, artikel dalam
Mimbar Hukum No. 52 Thn XII.
Muhammad Syafii Antonio, 2008,
Muhammad SAW: The Super
Leader Super Manager, Cet. XIII,
Jakarta: Tazkia Publishing &
ProLM Centre.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
21
LAPORAN UTAMA
PEMBARUAN
HUKUM KELUARGA
MELALUI PERADILAN AGAMA
W
press
er
Sumb
22
:
foto
.word
rn90
.sobe
www
.com
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
acana pembaruan produk
perundang-undangan di
bidang perkawinan santer
terdengar dalam diskusi hukum Badan
Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah
Agung RI yang lalu. Sebelumnya,
wacana tersebut hanya topik bahasan
di kalangan hakim peradilan agama di
jejaring sosial saja. Salah satu isu yang
muncul adalah menjadikan sejumlah
putusan hakim peradilan agama
referensi bagi pembaruan hukum
keluarga di Indonesia.
Pengadilan Agama sebagai
peradilan tingkat pertama seringkali
diidentikan sebagai garda depan
Mahkamah Agung, sedangkan
Pengadilan Tinggi Agama diidentikan
dengan kawal depan Mahkamah
Agung. Hal ini mengandung makna
bahwa Pengadilan Agama mempunyai
peranan penting sebagai wajah
terdepan penegakkan hukum dan
keadilan di negeri ini. Menurut
Satjipto Rahardjo (1996:207), terjadi
fenomena hukum yang unik pada
Pengadilan Agama di mana sebagian
besar peranannya sebagai peradilan
keluarga, meskipun sebelumnya tidak
didesain untuk tugas tersebut.
Dengan kondisi obyektif ini, maka
peradilan agama menjadi titik sentral
utama pengembangan hukum
keluarga Islam di Indonesia.
LAPORAN UTAMA
Kilas Balik Sejarah Peranan PA
Dari sudut pandang sejarah,
secara yuridis peranan pengadilan
agama terlihat sejak tahun 1882
dengan keluarnya Staatsblad Nomor
152 tentang pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura. Cikal bakal
lahirnya staatsblad tersebut adalah
kewenangan yang diberkan oleh
Belanda kewenangan kepada
Pengadilan Agama (Priesterraden)
untuk
menangani
s e n g ke t a
pernikahan dan pembagian harta
benda berdasarkan Staatsblad 1835
Nomor 58 (A.Qadri Azizy:2002,139).
Sejauh ini peranan peradilan
agama di Indonesia jauh
lebih progresif dibandingkan
dengan lembaga sejenisnya
yang berada di negera-negara
berpenduduk mayoritas
muslim.
Sejalan dengan berkembangnya teori receptie dari Cristian Snouck
Hurgronje, sejak tahun 1937 terjadi
reduksi kewenangan peradilan agama.
Perkara yang menyangkut waris, hibah
dan wasiat menjadi kewenangan
peradilan umum (Manan, 2012:301).
Adapun di luar Jawa dan Madura,
Pengadilan Agama masih mempunyai
kemungkinan untuk memeriksa
sengketa waris dan wakaf.
Pada tahun 1989 (dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989), kewenangan sengketa
waris dan wakaf yang sempat hilang
sejak tahun 1937 muncul kembali
menjadi kewenangan peradilan
agama. Kewenangan tersebut
ditegaskan kembali pada revisi
pertama undang-undang peradilan
agama di tahun 2006 dengan
menghapuskan pilihan hukum (choice
of porum antara PA atau PN) dalam
penyelesaian sengketa dan pemberian
kewenangan kepada peradilan agama
dalam menyelesaikan sengketa hak
milik jika sengketa tersebut terjadi
antara orang-orang Islam.
Sejauh ini peranan peradilan
agama di Indonesia jauh lebih
progresif dibandingkan dengan
lembaga sejenisnya yang berada di
negera-negara
berpenduduk
mayoritas muslim. Produk hukum
yang dihasilkan oleh lembaga
peradilan agama telah menunjukkan
bahwa hukum Islam tidak hanya
dihasilkan lewat ijtihad para ulama
tetapi juga oleh para hakim lewat
putusannya. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Atho Mudzhar (2000:91),
bahwa hukum Islam dapat ditemukan
di empat tempat yang berbeda yaitu
kitab-kitab fikih, fatwa-fatwa ulama,
undang-undang dan putusan
pengadilan. Progresifitas lembaga
peradilan agama ternyata mampu
mereposisi
putusan-putusan
pengadilan atas hukum Islam lainnya
yang telah berkembang lebih dulu
(kitab fikih, fatwa ulama dan undangundang). Menurut Manan (2005:199),
kenyataan ini disebabkan materi fikih
seringkali tidak sesuai dengan kasus
yang diajukan ke pengadilan
sementara itu pengaturan dalam
undang-undang cenderung tidak
lengkap, sehingga wajar jika putusan
pengadilan mempunyai posisi penting
dalam pembaharuan hukum Islam.
Dalam catatan sejarah, hukum
Islam yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan berkembang
cukup lambat bila dibandingkan
dengan produktifitas peradilan
agama. Pada tahun 1974 terjadi
keberanjakan hukum Islam, di mana
hukum keluarga yang berada dalam
kitab-kitab fikih dapat ditemukan
pada Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor
9 tahun 1975. Meskipun undangundang ini bukan sebagai hukum
Islam, tetapi secara materiil berasal
dari hukum Islam. Hukum perkawinan
ini baru secara tegas mendapat
sentuhan hukum Islam pada tahun
1991 dengan lahirnya KHI yang
legalitasnnya didasarkan pada
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991. Selain mengatur tentang hukum
perkawinan, KHI juga mengatur waris
dan wakaf.
Legalitas KHI yang didasarkan
pada Instruksi Presiden tidak
menyurutkan para hakim dalam
mengimplementasikannya di setiap
putusan baik tingkat pertama, banding
maupun kasasi. Nampaknya
pandangan Attamimi (1996:155)
terhadap kedudukan KHI perlu
dijadikan pedoman, bahwa KHI
bukanlah sebagai bagian dari hukum
tertulis dalam struktur perundangundangan di Indonesia, tetapi
kedudukannya sebagai hukum tidak
tertulis.yang diakui dalam sistem
hukum di Indonesia dapat mengisi
kekosongan hukum bagi masyarakat
muslim Indonesia. Oleh karenanya
meskipun instruksi presiden saat ini
tidak termasuk dalam struktur
peraturan perundang-undangan
ternyata tradisi hukum di Indonesia
telah mengakuinya sebagai salah satu
sumber hukum materiil hukum Islam
(Abdul Gani Abdullah, 1994:62).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
23
LAPORAN UTAMA
Perangkat Hukum Pembaruan
Hukum Keluarga pada Peradilan
Agama
Meminjam istilah yang
dipergunakan Roscoe Pound, hukum
sebagai salah satu alat rekayasa sosial
law as tool of social engineering, pada
lembaga peradilan agama ditemukan
beberapa perangkat hukum yang
digunakan untuk melakukan
perubahan hukum keluarga. Uniknya
perangkat hukum ini tidak muncul
sebagai bagian dari struktur tata urut
peraturan perundang-undangan
tetapi lebih sebagai tradisi hukum
yang berkembang pada peradilan
agama.
Sejauh ini, ukuran tingkat
keberhasilan pembangunan hukum
selalu saja dilihat dari segi jumlah
produk hukum (legislasi) yang telah
dihasilkan oleh lembaga yang berhak
mengesahkan
undang-undang
(legislatif). Sirajuddin (2008 : 122)
menyimpulkan bahwa hukum yang
berlaku saat ini sangat dipengaruhi
oleh kekuatan politik, paling tidak
dapat dilihat dalam aspek politik
hukum nasional. Demikian pula halnya
dengan hukum Islam di Indonesia, ia
senantiasa berada dalam pengaruh
kekuatan politik. Oleh karena itu,
konfigurasi pembentukan hukum
keluarga Islam di Indonesia selalu
diiringi dengan vested interest politik.
Harus diakui, UU Perkawinan
sebagai salah satu rujukan hakim
peradilan agama dalam memutuskan
perkara hukum keluarga, sepatutnya
memiliki peran besar sebagai alat
rekayasa sosial. Namun peran ini
dapat berjalan atau tidak sangat
tergantung dan dipengaruhi oleh
paradigma dan tindakan para penegak
hukum, dan di sinilah letak signifikansi
analisis legal structure.
Jika mengacu pada teori
struktur hukum, paling tidak ada tiga
alasan diperlukan perangkat untuk
memperkuat argumentasi bahwa
produk peradilan agama berguna
dalam pembaruan hukum keluarga di
Indonesia. Tiga hal tersebut yaitu;
struktur hukum, substansi hukum, dan
budaya hukum. Peradilan agama
24
sebagai struktur hukum telah
menjalankan tugasnya sebagai bagian
dari kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum dan keadilan di
bidang hukum keluarga. Hakim
peradilan agama sebagai penegak
hukum adalah ujung tombak dalam
membangun hukum keluarga. Budaya
masyarakat Islam di Indonesia juga
sangat positif merespon perkembangan hukum yang dihasilkan oleh hakim
peradilan agama berupa perangkat
hukum.
Harus diakui, UU Perkawinan
sebagai salah satu rujukan
hakim peradilan agama
dalam memutuskan perkara
hukum keluarga, sepatutnya
memiliki peran besar
sebagai alat rekayasa sosial.
Lawrence M. Friedman (2013 :
16) merinci bahwa baik struktur
hukum berupa lembaga peradilan
agama maupun substansi hukum
putusan hakim, keduanya diperlukan
dan sangat erat sebagai ouput dari
sebuah sistem hukum. Perangkat
hukum tersebut terdiri dari
yurisprudensi (putusan MARI yang
telah diikuti oleh putusan-putusan
lainnya), Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) dan Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) serta Keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
1. Yurisprudensi
• Kedudukan anak perempuan
yang menghilangkan hak waris
saudara (Putusan Mahkamah
Agung Nomor 86K/AG/1994
tanggal 20 Juli 1995). Beberapa
yurisprudensi Mahkamah Agung
menunjukkan bahwa anak
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
perempuan menghijab saudara.
Ketentuan ini menghapus
ketentuan waris dalam fikih
sunni. Perubahan hukum waris
ini cenderng mengikuti pendapat
Ibnu Abbas yang diikuti oleh
mazhab Syi'ah. Hasil penelitian
Sugiri Permana menunjukkan
dalam penyelesaian waris yang
dilakukan atas dasar sukarela
(dalam bentuk penetapan
pengadilan), sebagian hakim
masih mendudukan saudara
sebagai ahli waris bersama-sama
dengan anak perempuan.
• Hilangnya hak pengasuhan anak
bagi ibu yang murtad (putusan
MARI Nomor:210K/AG 1996).
Ketentuan ini secara materiil
cenderung mengedepankan fikih
klasik bila dibandingkan dengan
perkembangan hukum saat ini.
KHI sendiri hanya mengatur hak
pengasuhan anak di bawah umur
(12 tahun) bagi ibu kandungnya,
sehingga pengaturan oleh
yurisprudensi dipandang sebagai
pelengkap dari KHI. Di sisi lain,
ketentuan tersebut merupakan
terobosan
hukum
ya n g
kontroversi karena bertentangan
dengan UndangUndang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 51 ayat (2) di
mana
setelah putusnya
perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung
jawab yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan anak-anaknya.
• Perluasan pemberian wasiat
wajibah. Menurut Pasal 209 KHI,
wasiat wajibah diberikan kepada
anak angkat atau orang tua
angkat.
Berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung
RI, wasiat wajibah juga diberikan
kepada anak tiri dan ahli waris
non muslim (Putusan MARI
Nomor: 59K/AG/2001 tanggal
8 Mei 2002). Perluasan wasiat
wajibah ini berimplikasi secara
hukum :
LAPORAN UTAMA
Pertama, menunjukkan kedekatan
hubungan emosional (anak/orang
tua angka, anak tiri) kepada
pewaris sebagai salah satu
landasan diberikan hak untuk
menikmati harta tirkah melalui
lembaga wasiat wajibah. Hal ini
jelas berbeda dengan ketentuan
waris dalam fikih klasik yang hanya
memberikan hak waris atas dasar
hubungan nasab, perkawinan dan
wala' (memerdekakan hamba
sahaya).
Kedua, meniadakan diskualifikasi
ahli waris karena perbedaan
a ga m a . Ke te n t u a n i n i te l a h
mendobrak pilar hukum waris
dalam fikih klasik dan KHI. Dengan
diberikannya hak kepada ahli waris
non muslim untuk menikmati
harta waris melalui wasiat wajibah,
secara tidak langsung menghilangkan mani' al-irtsi / penghalang hak
waris karena berbeda agama.
2. Peraturan Mahkamah Agung
(Perma)
Diantara Perma yang berimplikasi
p a d a p e r ke m b a n ga n h u ku m
keluarga adalah Perma Nomor 1
Tahun 2008 tentang mediasi.
Dengan ketentuan ini, mediasi
menjadi bagian penting dalam
setiap pemeriksaan perkara
perdata court annexed mediation.
Demikian halnya dengan perkara
perceraian, setiap pemeriksaan
perkara perceraian, sebelum
pemeriksaan pokok perkara
terlebih dahulu akan dilakukan
mediasi.
Perma ini telah mereposisi lembaga
hakam dalam hukum Islam.
Sebelum lahirnya Perma, hakam
menjadi bagian penting dalam
penyelesaian perkara perceraian
terutama perceraian atas dasar
alasan syiqoq. Kedudukan lembaga
hakam selain didasarkan atas AlQuran (4:35) sebagai sumber yang
otoritatif juga didasarkan atas
ke t e n t u a n
Undang-Undang
Peradilan Agama (Pasal 76). Pada
saat ini, lembaga mediasi telah
“mengalahkan” “tradisi” hakam
yang telah dibangun oleh hukum
Islam.
Jika mengacu pada teori
struktur hukum, paling tidak
ada tiga alasan diperlukan
perangkat untuk memperkuat
argumentasi bahwa produk
peradilan agama berguna
dalam pembaruan hukum
keluarga di Indonesia.
3. Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
dan Keputusan Mahkamah
Agung
Rakernas sering kali menghasilan
beberapa perubahan dan terobosan
hukum, baik yang berkenaan
dengan hukum formil maupun
materiil. Hasil rakerna kemudian
dituangkan dalam Keputusan
Mahkamah Agung Nomor:
KMA/032/ SK/IV/2006 (Buku II).
Diantara hasil rakernas yang
berhubungan erat dengan hukum
keluarga adalah pemeriksaan saksi
dalam perkara perceraian serta
pembatasan ahli waris pengganti.
perceraian adalah suatu keharusan
baik cerai talak atau cerai gugat dan
perkara tersebut diperiksa secara
contraditoir ataupun verstek.
Ketentuan ini sebagai wujud
paradigma baru hukum keluarga di
Indonesia. bertentangan dengan
hukum acara dan fikih Islam. Dalam
hukum acara perdata, saksi
merupakan bagian dari alat bukti,
tetapi alat bukti tersebut tidak
diperlukan lagi manakala pihak
lawan tidak hadir (verstek). Dalam
hukum Islam, saksi tidak menjadi
syarat
untuk
melakukan
perceraian, bahkan suami yang
menceraikan istrinya secara empat
mata berakibat jatuhnya talak
suami tersebut.
Berdasarkan hasil rakernas tahun
1998, pemeriksaan saksi dalam
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
25
LAPORAN UTAMA
Hasil rakernas lainnya yang
berhubungan dengan hukum acara
adalah pemisahan antara perkara
perceraian dengan perkara harta
bersama. Berdasarkan Pasal 66 UU
Peradilan Agama, perkara harta
bersama dapat dikumulasi dengan
harta bersama, akan tetapi
Mahkamah Agung telah merubahnya dan “mengharuskan” adanya
pemisahan perkara harta bersama
dengan perceraian.
Mahkamah Agung berpendapat
bahwa seringkali perkara
perceraian kumulasi dengan harta
bersama diselesaikan hingga
tingkat kasasi, padahal senyata-nya
para pihak tidak keberatan dengan
perceraian. Proses yang berlarutlarut tersebut hanya untuk
menyelesaikan harta bersama saja.
Jauh sebelum Mahkamah Agung
berpendirian seperti di atas, Satria
Effendi Zein, mempunyai pemikiran
brilian tentang pemisahan harta
bersama
dengan
p e r k a ra
perceraian. Menurutnya, kumulasi
perceraian dengan harta bersama
tidak sejalan dengan norma hukum
Islam, karena dalam pandangan
hukum Islam pasangan suami istri
(roj'i) yang telah bercerai masih
terikat oleh perkawinan sebelum
istri melewati masa iddah.
Sebaliknya, jika masih dalam masa
iddah dan salah satunya meninggal
dunia, maka satu sama lain saling
mewarisi. Dengan analogi hukum
tersebut, maka menurut Satria
Effendi, pemeriksaan perkara
perceraian (terutama cerai talak)
harus dipisahkan dari perkara harta
bersama.
Pada tahun 2010, terjadi perubahan
mendasar terhadap pengaturan ahli
waris pengganti. Berdasarkan Pasal
185 KHI, tidak ada batasan
mengenai garis keturunan yang
dapat menjadi ahli waris pengganti.
Sebagai perbandingan, di Mesir
yang memberlakukan wasiat
wajibah (di Indonesia menggunakan ahli waris pengganti), hanya
diberikan kepada cucu perempuan
26
Pada tahun 2010, terjadi
perubahan mendasar
terhadap pengaturan
ahli waris pengganti.
Berdasarkan Pasal 185 KHI,
tidak ada batasan
mengenai garis keturunan
yang dapat menjadi
ahli waris pengganti.
dan cucu serta cicit laki-laki. Di
Indonesia tidak ada batasan,
bahkan untuk pihak saudara pun
dapat di-berlakukan ahli waris
pengganti. Berdasarkan Rakernas
Banjarmasin tahun 2010, ahli waris
pengganti pengganti dibatasi hanya
untuk cucu saja artinya cicit tidak
dapat menempati sebagai ahli waris
pengganti demikian pula anak/cucu
saudara tidak dapat menggantikan
orang tuanya (saudara pewaris).
Menurut Ahmad Tholabi
Kharlie (2013: 305), hukum keluarga
tidak bisa dilihat secara monolitik,
tetapi dengan banyak sudut pandang
dan pendekatan, mengingat
keragaman masyarakat Indonesia juga
menjadikan upaya unifikasi tidak
semudah dalam masyarakat yang
homogen. Demikian pula dengan
kesadaran hukum masyarakat,
ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi
juga terkait dengan struktur dan
substansi hukum. Ketiganya saling
mempengaruhi dan membentuk satu
tindakan sosial dan selalu
memproduksi, sehingga dalam
praktiknya ketika salah satu aspek
tidak mampu melakukan fungsinya
dengan baik, maka hal itupun akan
memberikan pengaruh kepada
komponen lain.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Komponen yang dimaksudkan
dalam upaya modernisasi hukum
keluarga adalah bahwa proses
modernisasi hukum keluarga
sejatinya tidak hanya berada di tangan
lembaga legislatif, tetapi dalam
lembaga peradilan yang juga memiliki
kewenangan untuk menciptakan
hukum yang lebih adil di masyarakat.
|Sugiri Permana, Alimuddin, Achmad Cholil|
Daftar Pustaka:
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
Keluarga Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013.
A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum
Nasional Kompetensi Antara
Hukum Islam dan Hukum
Umum (Yogyakarta: Gama
Media, 2002).
A.Hamid Attamimi, “Kedudukan KHI
dalam Sistem Nasional (Suatu
Tinjauan dari Sudut Teori
Perundang-undangan di
Indonesia)” dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional
(Jakarta:Gema Insani, 1996).
Abdul Gani Abdullah, Pengantar
Kompilasi Hukum Islam dalam
Tata Hukum.
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2008)
Indonesia Cet ke I (Jakarta:
Gema Insani Press, 1994).
M. Atho Mudzhar, Membaca
Gelombang Ijtihad: Antara
Tradisi dan Liberasi.
Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama
sebagai Pengadilan Keluarga”
dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional
(Jakarta: Gema Insani, 1996).
Satria Effendi M. Zein, Problematika
Hukum Keluarga Islam
Kontemporer Analisis
Yu r i s p r u d e n s i d e n g a n
Pendekatan Ushuliyah (Jakarta:
Kencana, 2005).
Lawrence M. Friedman, The Legal
System A Social Science
Perspective, diterjemahkan oleh
M. Khozim, Penerbit Nusa
Media, Bandung, 2013.
TOKOH BICARA
Prof. Tim Lindsey
Malcolm Smith Professor of Asian Law, Melbourne Law School, Australia
Hukum keluarga Islam merupakan area hukum Islam yang
memperoleh tempat istimewa di hampir seluruh negara Muslim,
termasuk Indonesia. Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan
kehidupan dan tuntutan kebutuhan hukum yang lebih responsive
dan berkeadilan, beberapa aturan materiil-nya mengalami
pembaharuan dan pembaharuan substansi ini dibarengi dengan
perkembangan prosedur pelaksaannya (Lindsey, 2013).
Euis Nurlaelawati, Ph.D
Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Yogyakarta
Alumni University of Utrecht, Belanda
M
eski pun perkembangan hukum baik dari segi substansi atau
materiil maupun dari prosedur atau formil telah diupayakan
secara berbarengan, perkembangan terkait hukum formiil
seperti prodeo, sidang keliling dan lainnya, meski memang, dalam
bebrapa hal seperti eksekusi putusan PA masih mengalami kesulitan
penerapannya-, nampaknya lebih bisa dan mudah diterima dan
dijalankan oleh para penegak hukum. Perubahan dan perkembangan
hukum materiil sebenarnya juga telah diakomodir dengan baik, tetapi
preferensi hukum para penegak hukum di PA terhadap beberapa
doktrin klasik masih yang nampak kental di dalam diri sebagian hakim,
menyebabkan perkembangan dalam hal substansi hukum
mendapatkan tantangan untuk aplikasi yang lebih.
Di sisilain, beberapa hakim nampak sangat maju dan melakukan
terobosan yang berani, yang meskipun secara umum berdampak
poistif terhadap pencapaian keadilan di kalangan pencari keadilan,
reaksi dari sikap itu terkadang muncul dari kalangan hakim lain dan
non-hakim yang melihat putusan tidak memiliki Islamic legal rationale
yang memadai. Nyatanya, memang keberanian beberapa hakim untuk
melakukan terobosan terkadang tidak dibarengi dengan legal
reasoning yang cukup dan relevan dan dengan detail argument yang
memadai dan memuaskan.
|Muhammad Isna Wahyudi, Achmad Cholil|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
27
FENOMENAL
PUTUSAN JUDEX JURIST
Sumber foto : www.harianterbit.com
Rekonstruksi
Wasiat Wajibah
untuk Isteri Non Muslim
“Wasiat wajibah tidak hanya
diperuntukkan bagi anak
angkat dan orang tua angkat
akan tetapi juga dapat
diperuntukkan untuk isteri
non muslim”
28
D
inamika penerapan wasiat
wajibah dalam hukum
kewarisan Islam di Indonesia
menunjukkan bahwa makna atau
konsep wasiat wajibah telah
direkonstruksi dan direproduksi oleh
hakim melalui putusannya agar lebih
sesuai dengan tujuan hukumnya dan
konteks sosial-kultural yang ada
sehingga wasiat wajibah bukan hanya
diperuntukkan bagi anak angkat akan
tetapi juga dapat diperuntukkan untuk
isteri non muslim yang tidak
mendapat bagian harta peninggalan
suaminya.
Wasiat wajibah didefinisikan
sebagai tindakan yang dilakukan
hakim sebagai aparat negara untuk
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
memaksa atau memberi putusan wajib
wasiat bagi orang yang meninggal
dunia yang diberikan kepada orang
tertentu dalam keadaan tertentu.
Secara normatif, ketentuan
hukum yang mengatur tentang wasiat
wajibah terdapat dalam pasal 209
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal
tersebut menegaskan bahwa anak
angkat dan orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) dari harta warisan anak
angkatnya. Artinya, wasiat wajibah
berdasarkan pasal tersebut hanya
untuk anak angkat dan orang tua
angkat.
FENOMENAL
terhalang untuk menjadi ahli waris
karena adanya perbedaan keyakinan
atau agama.
“
Dewasa ini makna wasiat
wajibah yang semula hanya
untuk anak angkat dan
orang tua angkat mengalami
pembaruan dan perluasan
makna yang signifikan.
“
Ketentuan wasiat wajibah pasal
209 KHI ini dianggap baru apabila
dikaitkan dengan aturan dalam fiqh
tradisional, bahkan jika dikaitkan
d e n ga n
p e r u n d a n g - u n d a n ga n
kewarisan kontemporer. Pasal
tersebut menurut M. Athok Mudzhar
(1998: 163) dinilai radikal karena
meskipun namanya adalah wasiat
wajibah, tetapi dalam kenyataannya
hal itu berarti memberi hak waris atau
bagian atas harta peninggalan kepada
anak angkat atau orang tua angkat
yang tidak sesuai dengan konsep
wasiat wajibah dalam kajian fiqh lama.
Pada awalnya konsep wasiat
wajibah tersebut dimaksudkan
sebagai langkah kompromi dengan
hukum adat terutama untuk
mengantisipasi partisipasi perumusan
nilai-nilai hukum yang tidak dijumpai
nashnya dalam al-Quran. Pada segi lain
nilai-nilai itu sendiri telah tumbuh
subur berkembang sebagai norma
adat dan kebiasaan masyarakat
Indonesia tentang hubungan hak dan
kewajiban anak dan orang tua angkat.
Nilai-nilai adat tersebut telah nyatanyata membawa kemaslahatan,
ketertiban serta kerukunan dalam
kehidupan masyarakat (Ahmad
Junaidi, 2013: 110).
Dewasa ini makna wasiat
wajibah yang semula hanya untuk
anak angkat dan orang tua angkat
mengalami pembaruan dan perluasan
makna yang signifikan. Pembaruan
tersebut terjadi bukan karena KHI
atau ketentuan hukum wasiat wajibah
direvisi, akan tetapi pembaruan
tersebut terjadi melalui beberapa
putusan hakim pengadilan agama
ketika menangani sengketa kewarisan.
Hakim melalui putusannya telah
melakukan terobosan hukum dengan
merekonstruksi wasiat wajibah
sehingga terjadi perluasan makna
wasiat wajibah.
Perluasan makna wasiat wajibah
tersebut digunakan oleh hakim
sebagai pintu untuk melakukan
pembaruan atas hukum kewarisan
Islam di Indonesia yang selama ini
cenderung stagnan dan sulit untuk
dirubah, khususnya untuk memberi
bagian bagi orang-orang yang
Dalam rubrik judex jurist di edisi
VII ini, Majalah Peradilan Agama akan
mengulas salah satu putusan hakim
yang sudah menjadi yurisprudensi
dan menjadi salah satu cikal bakal
pembaruan dan perluasan makna
wasiat wajibah bagi istri non muslim
yang tidak mendapat bagian harta
warisan suaminya yang muslim.
Putusan tersebut adalah putusan
Mahkamah Agung nomor 16
K/AG/2010 tanggal 30 April 2010
yang majelis hakimnya terdiri dari Drs.
H. Andi Syamsu Alam, SH. MH., Hakim
Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr.
Rifyal Ka'bah, MA. dan Dr. H. Mukhtar
Zamzami, SH. MH. Hakim-Hakim
Agung sebagai Hakim Anggota.
Putusan tersebut menetapkan
bahwa isteri non muslim yang
ditinggal mati oleh suaminya yang
beragama Islam bukan termasuk ahli
waris, akan tetapi isteri tersebut
berhak mendapat wasiat wajibah
sebesar porsi waris isteri.
Putusan Mahkamah Agung
tersebut menarik untuk dikaji
setidaknya dikarenakan beberapa hal.
Pertama, karena putusan Mahkamah
Agung tersebut secara tekstual
berbeda dengan ketentuan hukum
wasiat wajibah yang ada dalam pasal
209 KHI. Kedua, untuk memberikan
gambaran tentang argumentasi
hukum yang dibangun oleh majelis
hakim kasasi dalam melakukan
pembaruan konsep wasiat wajibah,
khususnya tentang bagaimana
melakukan rekonstruksi dan
reproduksi makna baru atas wasiat
wajibah sehingga Isteri yang
beragama non muslim yang ditinggal
mati oleh suami yang beragama Islam
berhak untuk mendapat wasiat
wajibah dari harta warisan suaminya
sebanyak porsi waris isteri.
Deskripsi Kasus
Pemohon kasasi dahulu
Tergugat/Pembanding bernama Evi
Lany Mosinta beragama kristen adalah
isteri dari Pewaris yang bernama
almarhum Muhammad Armaya bin
Renreng. Pemohon Kasasi dengan
Pewaris melangsungkan perkawinan
pada tanggal 1 November 1990
berdasarkan
Ku t i p a n
Akta
Perkawinan Nomor 57/K.PS/XI/1990,
dalam perkawinan tersebut keduanya
tidak dikaruniai keturunan (anak).
Pewaris beragama Islam dan
telah meninggal dunia pada tanggal 22
Mei 2008. Pada saat meninggal dunia
Pewaris meninggalkan 5 orang ahli
waris yaitu Halimah Daeng Baji (Ibu
Kandung), Murnihati binti Renreng
(Saudara kandung), Muliyahati binti
Renreng
(saudara kandung),
Djelitahati binti Renreng (saudara
kandung), dan Arsal bin Renreng
(saudara kandung).
Ibu Kandung dan 4 (empat)
para saudara kandung pewaris
tersebut diatas dalam kasus ini
berposisi sebagai para Termohon
Kasasi dahulu para Penggugat/para
Terbanding.
Sumber foto: www.konsultasisyariah.com
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
29
FENOMENAL
“
Putusan kasasi tersebut
merekonstruksi wasiat
wajibah yang semula dalam
KHI hanya diperuntukkan
kepada anak angkat dan
orang tua angkat.
“
Gugatan kewarisan tersebut
pada tingkat pertama diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan Agama
Makasar. Melalui putusan nomor
732/Pdt.G/2008/PA.Mks, tanggal 2
Maret 2009 Majelis Hakim Pengadilan
Agama Makasar telah menjatuhkan
putusan yang pada intinya
mengabulkan gugatan para Penggugat
untuk sebagian dengan menetapkan
para Penggugat (5 orang ahli waris
tersebut diatas) sebagai ahli waris dari
Pewaris dan berhak mewarisi atas
harta peninggalan pewaris, sedangkan
Tergugat sebagai isteri Pewaris tidak
ditetapkan sebagai ahli waris Pewaris
karena Tergugat beragama kristen dan
dalam putusan tersebut Tergugat juga
tidak mendapat bagian sama sekali
dari harta peninggalan Pewaris.
Pada tingkat banding, putusan
Pengadilan Agama Makasar tersebut
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Agama Makasar dengan putusannya
nomor 59/Pdt.G/2009/PTA.Mks
tanggal 15 Juli 2009.
Pada tingkat kasasi, Majelis
hakim kasasi telah menjatuhkan
putusan nomor 16K/AG/2010 tanggal
30 April 2010 dengan mengabulkan
permohonan kasasi dari pemohon
kasasi (Evie Lany Mosinta) dan
membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Makasar nomor
30
59/Pdt.G/2009/PTA.Mks tanggal 15
Juli 2009 yang menguatkan putusan
Pengadilan Agama Makasar nomor
732/Pdt.G/2008/PA.Mks, tanggal 2
Maret 2009.
Majelis hakim kasasi kemudian
mengadili sendiri yang pada intinya
menetapkan bahwa Tergugat/
Pemohon Kasasi bukan ahli waris akan
tetapi Tergugat/Pemohon Kasasi
berhak untuk mendapatkan 15/60
bagian dari harta peninggalan Pewaris
melalui pintu wasiat wajibah.
Dalam
pertimbangan
hukumnya majelis hakim kasasi
berpendapat bahwa judex factie salah
menerapkan hukum. Menurutnya,
perkawinan Pewaris dengan Pemohon
Kasasi sudah berlangsung selama 18
tahun yang berarti Pemohon Kasasi
telah cukup lama mengabdikan diri
pada Pewaris, karena itu walaupun
Pemohon Kasasi non muslim layak dan
adil untuk memperoleh hak-haknya
selaku isteri untuk mendapatkan
bagian dari harta peninggalan Pewaris
berupa wasiat wajibah serta bagian
harta bersama.
Majelis hakim kasasi juga
mempertimbangkan bahwa persoalan
kedudukan ahli waris non muslim
sudah banyak dikaji oleh kalangan
ulama diantaranya Yusuf Qardlawi
yang menafsirkan bahwa orang-orang
non muslim yang hidup berdampingan
dengan damai tidak dapat
dikategorikan sebagai kafir harbi,
demikian halnya Pemohon Kasasi
bersama Pewaris semasa hidup
bergaul secara rukun damai meskipun
berbeda keyakinan, karena itu patut
dan layak Pemohon Kasasi
memperoleh bagian dari harta
peninggalan Pewaris berupa wasiat
wajibah.
Analisis: Rekonstruksi Makna
Wasiat Wajibah
Melalui putusan nomor 16
K/AG/2010 tersebut, majelis hakim
kasasi seolah ingin menegaskan
kepada para hakim di daerah bahwa
menjalankan hukum tidak sama
dengan menerapkan huruf-huruf
peraturan begitu saja, tetapi mencari
dan menemukan makna sebenarnya
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
dari suatu peraturan. Untuk
menemukan dan menegakkan
keadilan dalam putusan, tidak cukup
menggunakan logika peraturan saja
tapi juga menggunakan logika sosial
dan hati nurani.
Pesan tersirat tersebut bisa
dilihat dari kaidah hukum yang dapat
dirumuskan dari putusan nomor 16
K/AG/2010 tersebut yaitu Isteri yang
beragama non muslim yang ditinggal
mati oleh suami yang beragama Islam
tidak termasuk ahli waris, akan tetapi
ia berhak untuk mendapat wasiat
wajibah dari harta warisan suaminya
sebanyak porsi waris isteri.
Secara normatif tidak ada
hukum positif yang mendasari
pemberian wasiat wajibah bagi isteri
non muslim. Kekosongan hukum
positif tersebut kemudian mendorong
majelis hakim kasasi dalam putusan
tersebut melakukan penemuan dan
terobosan hukum dengan merekonstruksi makna wasiat wajibah
dan menggali nilai-nilai yang hidup di
masyarakat dengan memberi keadilan
untuk isteri non muslim.
Hal ini sejalan dengan bunyi
pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa
hukum waris yang dipraktikkan di
Pengadilan Agama adalah hukum
waris Islam, sedangkan hukum
materiilnya diatur dalam Buku II KHI.
Juga sesuai dengan pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang mengamanahkan kepada hakim
untuk wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Penggunaan frasa
“menggali” secara filosofis dimaknai
adanya nilai-nilai hukum yang
terpendam dan belum menjadi hukum
positif.
Putusan kasasi tersebut
merekonstruksi wasiat wajibah yang
semula dalam KHI hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua
angkat kemudian diberlakukan juga
kepada istri non muslim dari suami
yang beragama Islam melalui wasiat
wajibah. Perbedaan agama tetap
menjadi penghalang untuk dapat
saling mewarisi.
FENOMENAL
waris non muslim tetap sebagai orang
yang terhalang untuk mendapatkan
bagian dari harta peninggalan dari
Pewaris yang muslim, tapi dia juga
mendapat bagian wasiat wajibah
sebesar porsi isteri yang menjadi ahli
waris.
Secara teleologis, tujuan
adanya wasiat wajibah yang terdapat
dalam pasal 209 KHI adalah untuk
memberikan bagian warisan terhadap
orang-orang yang dekat yang selama
hidup pewaris menjalin hubungan
yang baik sehingga sangat tidak adil
jika orang-orang tersebut tidak
mendapatkan sama sekali harta
warisan. Pemahaman semacam ini
sama dengan pendapat Ibn Hazm yang
menyatakan bahwa wajib berwasiat
terhadap kerabat yang tidak
memperoleh harta warisan karena
ke d u d u ka n nya s e b a ga i b u d a k ,
perbedaan agama, atau ada hal yang
menghalangi mereka dari hak
kewarisan (Ahmad Junaidi, 2013:
110). Atas dasar itu, maka putusan
kasasi diatas dari aspek teleologis
relevan dan sesuai dengan tujuan
adanya wasiat wajibah.
Putusan
tersebut
dari
perspektif maqashid syariah, berusaha
memenuhi rasa keadilan semua pihak
dengan melakukan ijtihad penemuan
hukum yang tidak melanggar
ketentuan hukum waris Islam yang
diyakini dan diikuti oleh mayoritas
muslim Indonesia. Rekonstruksi
wasiat wajibah melalui analisis
maqashid syari'ah, yang tidak hanya
memperhatikan arti teks belaka, akan
tetapi teks hukum dibaca secara kritis
sebagai suatu yang mengandung nilai
filosofis. Di balik ketentuan normatif
wasiat wajibah dan hukum kewarisan,
ada filsafat hukum yang melatari dan
menjadi inti dari adanya teks normatif
tersebut yaitu keadilan dan
kemaslahatan. Keadilan dan
kemaslahatan tersebut harus
dijadikan sebagai pijakan utama
dalam penetapan hukum.
“
Pemberian wasiat wajibah
kepada istri non muslim ini
telah memberikan sumbangan
yang baru dalam pembaruan
hukum waris Islam
di Indonesia, walaupun
pembaruannya bersifat
terbatas.
“
Aturan penghalang untuk
menerima warisan karena perbedaan
agama memang perlu dikaji secara
kritis terutama ketika dikaitkan
dengan konteks sosial masyarakat
Indonesia yang dibeberapa wilayahwilayah tertentu banyak ditemukan
anggota-anggota
keluarganya
menganut berbagai macam agama.
Dalam satu keluarga antar satu
anggota dengan yang lain memeluk
agama yang berbeda. Walau berbeda
agama mereka tetap hidup rukun
damai, berbakti dan saling
menghormati.
Realitas sosial masyarakat
Indonesia yang pluralistik yang terdiri
dari berbagai agama dan keyakinan
harus dipertimbangkan dalam
pembagian harta warisan sehingga
putusan hakim juga dapat ikut serta
menjaga keutuhan keluarga dan
harmoni dimasyarakat.
Putusan kasasi diatas berusaha
memutuskan kasus ahli waris beda
agama tersebut sesuai dengan amanat
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 yaitu menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dan hasil
penemuan hukum yang diyakini dapat
memberikan keadilan adalah dengan
memberikan wasiat wajibah kepada
istri non muslim.
Pemberian wasiat wajibah
kepada istri non muslim ini telah
memberikan sumbangan yang baru
dalam pembaruan hukum waris Islam
di Indonesia, walaupun pembaruannya bersifat terbatas. Artinya, ahli
Jika pemahaman semacam ini
dijadikan pijakan oleh hakim dalam
menyelesaikan sengketa waris, maka
kedepan wasiat wajibah dapat
digunaan sebagai pintu untuk
memberi rasa keadilan bagi kerabat
dekat yang secara hukum terhalang
atau tidak mendapatkan harta
warisan.
|Ahmad Zaenal Fanani|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
31
FENOMENAL
PUTUSAN JUDEX FACTI
Pemenuhan Hak-hak
Pasca Perceraian
Putusan Nomor 51/Pdt.G/2013/PA.Tkl
Sumber foto: www.google.com
Putusan hak-hak pasca perceraian yang banyak diabaikan oleh
mantan suami telah menimbulkan halangan akses terhadap
keadilan bagi para janda. Hakim pengadilan agama berupaya
merespon kendala tersebut dengan menghukum suami
membayar kewajiban sebelum ikrar talak.
32
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
A
kses terhadap keadilan
mengandaikan ketiadaan
halangan-halangan
bagi
pencari keadilan untuk memperoleh
keadilan. Halangan-halangan akses
terhadap keadilan dapat muncul
dalam setiap tahapan yang harus
dilalui oleh pencari keadilan dalam
proses mencari keadilan. Hal tersebut
juga dihadapi oleh kaum perempuan
yang menuntut hak-hak pasca
perceraian melalui pengadilan agama.
FENOMENAL
Mengacu kepada kerangka Rolax,
ada enam tahapan proses pencarian
keadilan. Pertama, seseorang
menyadari bahwa situasi atau
pengalaman tertentu merugikan, dan
merupakan ketidakadilan. Kedua,
seseorang merasa ketidakadilan
tersebut disebabkan perbuatan yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh
orang lain, dan atas dasar itu
merumuskan sebuah keluhan. Ketiga,
pencari keadilan mengadukan
keluhan tersebut terkait dengan
pelanggaran hukum (adat, negara,
Islam) yang merugikan, dan menuntut
pemulihan atas pelanggaran tersebut.
Keempat, pencari keadilan dapat
mengungkapkan keluhan dan
mengadukannya di hadapan sebuah
forum (pengadilan, dewan adat,
kepala kampung, dll) yang dapat
membantunya untuk memperoleh
pemulihan. Kelima, penanganan
pengaduan oleh forum yang dipilih
dengan menerapkan norma-norma
yang berlaku secara imparsial.
Ke e n a m ,
pencari
keadilan
memperoleh ganti rugi atas
keluhannya ketika putusan atau
kesepakatan
dilaksanakan.
(Berenschot dan Bedner, Akses
terhadap Keadilan, 2010: 13-14).
Dari keenam tahapan tersebut,
putusan pengadilan agama tentang
hak-hak pasca perceraian menghadapi
kendala pada tahap keenam.
Berdasarkan penelitian Stijn van Huis,
banyak putusan tentang hak-hak
pasca perceraian yang diabaikan oleh
mantan suami. Akibatnya, para janda
kesulitan untuk meminta mantan
suami membayar hak-hak pasca
perceraian. Meski para janda dapat
meminta eksekusi, permohonan
eksekusi membutuhkan biaya, waktu,
dan tenaga, yang bisa jadi tidak
seimbang dengan hak-hak yang akan
diterima para janda. Di sinilah
terdapat halangan akses terhadap
keadilan bagi para janda untuk
memperoleh
hak-hak
pasca
perceraian karena kurangnya
mekanisme pelaksanaan putusan.
Putusan Nomor 51/Pdt .G/
2013/PA.Tkl telah menawarkan
mekanisme untuk menjamin
pelaksanaan putusan terkait hak-hak
Putusan yang dijatuhkan oleh
majelis hakim PA Takalar
tanggal 19 Desember 2013
telah berupaya mewujudkan
akses terhadap keadilan
dengan menawarkan
mekanisme pelaksanaan
putusan tentang hak-hak
perceraian.
Sumber foto: www.femina.co.id
pasca perceraian. Dalam amarnya,
putusan tersebut menghukum suami
untuk membayar hak-hak pasca
perceraian, yang seluruhnya sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) kepada istri sebelum
pengucapan ikrar talak dilaksanakan,
dan menetapkan jika suami tidak
memenuhi amar putusan tersebut
sampai lewat waktu 6 bulan sejak
ditetapkannya hari sidang penyaksian
ikrar talak, maka putusan tidak
berkekuatan hukum lagi, kecuali istri
menyatakan kerelaannya dijatuhi
talak meskipun suami belum
memenuhi kewajiban hak-hak pasca
perceraian.
Putusan tersebut didasarkan
atas pertimbangan hukum untuk
mewujudkan perceraian yang baik
(tasrihun bi-ihsan) sesuai dengan
Quran, Surah al Baqarah ayat 229.
Perceraian yang baik dapat terwujud
dengan pemberian jaminan dan
perlindungan hak-hak pasca
perceraian bagi istri dan anak, yang
dalam perkara ini dinilai majelis
hakim sebagai pihak yang lemah
karena keadaan dan kedudukannya,
khususnya dalam kaitan dengan
sejumlah norma-norma hukum
beracara yang dalam konteks tertentu
dinilai belum memberi perlindungan
cukup atas kepentingan hukum istri
dan anak.
Majelis hakim mempertimbangkan fakta bahwa pelaksanaan sebagian
besar putusan tentang nafkah iddah,
mut'ah, dan nafkah anak yang
ditetapkan dalam jumlah tertentu,
selalu terkendala apabila pihak suami
tidak beritikad baik memenuhinya.
Sebab, kepentingan hukum pihak istri
dan anak tidak mendapat jaminan dan
perlindungan yang berarti melalui
upaya hukum eksekusi, dikarenakan
eksekusi atas putusan demikian itu
berupa eksekusi pembayaran
sejumlah uang yang dalam prakteknya
selain membutuhkan waktu cukup
lama, juga membutuhkan biaya besar
bahkan dapat melampaui nominal hak
istri dan anak yang dimohonkan dalam
eksekusi.
Amar putusan dalam putusan
tersebut tampak tidak tegas dengan
adanya kalausul “kecuali istri
menyatakan kerelaannya dijatuhi
talak meskipun suami belum
memenuhi kewajiban hak-hak pasca
perceraian.” Klausul yang demikian
tidak perlu dimuat dalam amar, karena
selain menimbulkan ketidaktegasan
amar, kerelaan istri dalam hal ini tentu
lebih karena keterpaksaan dan istri
lebih memilih untuk segera
mengakhiri hubungan perkawinan
yang tidak membahagiakan.
Putusan yang dijatuhkan oleh
majelis hakim PA Takalar tanggal 19
Desember 2013 telah berupaya
mewujudkan akses terhadap keadilan
dengan menawarkan mekanisme
pelaksanaan putusan tentang hak-hak
perceraian. Dengan demikian, akses
terhadap pengadilan agama bagi para
istri memiliki hubungan timbal balik
dengan perlindungan hak-hak pasca
perceraian bagi para janda. Amar yang
m e n g h u ku m s u a m i m e m e n u h i
kewajiban sebelum ikrar talak juga
dapat ditemukan dalam putusan
kasasi nomor 84 K/AG/2009 tanggal
17 April 2009.
|Muhamad Isna Wahyudi|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
33
PERADILAN MANCANEGARA
TIMUR TENGAH
Mahalnya Mut'ah Cerai Talak
di Maroko
K
erajaan Maroko dalam Bahasa
Arabnya Al-Mamlakah Al
Maghribiyyah adalah sebuah
negara di Barat Laut Afrika yang
mempunyai garis pantai yang panjang
dekat Samudra Atlantik yang
memanjang melewati Selat Gibraltar
hingga ke Laut Tengah.
Negara yang beribukota Rabat ini
34
memiliki kota terbesar bernama
Casablanca yang menjadi nama salah
satu kawasan di Jakarta, sebagaimana
Soekarno juga menjadi nama salah
satu kawasan di Maroko. Bahasa Arab
menjadi bahasa resminya disamping
Bahasa Berber.
Saat ini negara yang bentuk
peme rintah annya
M o n arki
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Konstitusional dipimpin seorang raja
yaitu Mohammed VI. Maroko yang
merdeka dari penjajahan Perancis
pada tanggal 2 Maret 1956 memiliki
luas 446,550km2 dengan jumlah
penduduk pada sensus tahun 2013
sebanyak 32.878.400 jiwa dengan
kepadatan rata-rata 73/ km².
PERADILAN MANCANEGARA
Tercatat di negeri ini ada sebuah
universitas tertua di dunia, Universitas
Qurawiyyin yang usianya sangat tua,
melampaui Universitas Harvard di
Amerika Serikat dan Universitas Al
Azhar di Cairo, Mesir. Dari Universitas
inilah bermunculan para pemikir kelas
dunia seperti Ibnu Sina, Ibn Rusd, dan
Ibn Batutah.
Kerjasama MA RI
dengan Maroko
Pada tahun 2013 delegasi MA RI
yang dipimpin oleh Dr. Ahmad Kamil
SH., MH (saat itu Wakil Ketua MA RI
Bidang Non Yudisial) berkunjung ke
Cour du Cassation atau Pengadilan
Kasasi Kerajaan Maroko.
Delegasi terdiri dari Ketua
Kelompok Kerja Perdata Agama MA RI,
Prof. Dr. Abdul Manan, SH., S.IP, M.Hum
(sekarang Ketua Kamar Peradilan
Agama MA RI), Hakim Agung, Dr.
Habiburrahman, SH., MH, Direktur
Jenderal Badan Peradilan Agama MA
RI, Drs. Purwosusilo, SH., M.H.
(sekarang Hakim Agung).
Disamping itu, ada beberapa
orang pejabat dan hakim antara lain:
Drs. Farid Ismail, SH., MH, Drs. Helmy
Bakrie, SH., MH, Arief Gunawan Syah,
SH., MH dan Dr. Nasich Salam S, Lc.,
LLM.
MA Kerajaan Maroko pada saat
itu telah menyatakan siap untuk
menandatangani Nota Kesepahaman
di bidang hukum dan peradilan
dengan MA RI.
Peradilan di Maroko
Al Majlis Al A'la atau Majelis
Tinggi sekarang dikenal dengan
Mahkamah Al Naqdh (Pengadilan
Kasasi) didirikan pada tanggal 27
September 1957 seiring dengan
pembentukan lembaga-lembaga
tinggi negara sesaat setelah Maroko
merdeka.
Mahkamah
Al
Naqdh
menyatukan permohonan perkara
kasasi dari dua jenis peradilan yaitu
peradilan umum (Al Mahkamah Al
‘Ashriyyah) dan peradilan agama (Al
Mahkamah Al Syar’iyyah) dalam satu
atap.
Sistem
administrasi
dan
peradilan di Cour du Cassation atau
Pengadilan Kasasi melewati beberapa
tahap antara lain: tahap pembentukan
tahun 1957 s.d. 1974, tahap
manajemen krisis tahun 1974 s.d.
1997, tahap pembaruan tahun 1997
s.d. 2010 dan tahap restrukturisasi
tahun 2011.
Mahkamah Al Naqdh
menyatukan permohonan
perkara kasasi dari
dua jenis peradilan
yaitu peradilan umum
(Al Mahkamah Al 'Ashriyyah)
dan peradilan agama
(Al Mahkamah Al Syar'iyyah)
dalam satu atap”
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
35
PERADILAN MANCANEGARA
Mahkamah Agung dalam sistem
peradilan Maroko
Struktur organisasi peradilan
Kerajaan Maroko terdiri dari
pengadilan tingkat pertama (Al
Mahkamah Al Ibtidaiyyah) pengadilan
banding (Mahkamah Al Isti’naf) dan
Pengadilan Kasasi (Mahkamah Al
Naqdh).
Jenis pengadilan:
1. Pengadilan Biasa atau Pengadilan
Umum terdiri dari: Pengadilan
Kasasi, pengadilan banding, dan
pengadilan tingkat pertama.
2. Pengadilan khusus terdiri dari:
Pengadilan Kelompok (Mahkamah
Al Jama’at), Pengadilan Distrik
(Mahkamah Al Muqatha’ah),
Pengadilan Tata Usaha (Mahkamah
Idariyyah), Pengadilan Niaga
(Mahkamah
Tijariyyah),
Pengadilan Tinggi Tata Usaha
(Mahkamah Al Isti’naf Al
Idariyyah), dan Pengadilan Tinggi
Niaga (Mahkamah Al Isti’naf Al
Tijariyyah).
Mengenai jumlah anggota Mahkamah
Agung dan teknis pemilihan
anggotanya diatur oleh UndangUndang.
•
Mahkamah Agung memiliki
yurisdiksi tindak pidana
yang dilakukan oleh anggota
pemerintah dalam
pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi mereka
3. Pengadilan luar biasa terdiri dari :
Pengadilan Militer (Mahkamah
‘Askariyyah) dan Mahkamah Agung
(Mahkamah ‘Ulya).
Mahkamah Agung memiliki
yurisdiksi tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota pemerintah
dalam pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi mereka. Mahkamah Agung
terdiri dari anggota yang dipilih
separuhnya dari anggota parlemen
dan separuhnya lagi dari anggota MPR.
36
Kasus Cerai Talak
Rubrik kali ini mengangkat
produk Pengadilan Tingkat Pertama
berupa Penetapan Nomor 658/2006
Tanggal 18 Oktober 2007 Berkas
Nomor 852/06/5 yang merupakan
Permohonan Penyaksian Talak
sekaligus penentuan besaran uang
akibat cerai yang harus dibayarkan
oleh suami kepada isteri yang
diceraikannya, terutama yang terkait
dengan mut'ah.
Kasus Posisi
• Pemohon, umur x tahun, bertempat
tinggal di xxx, mengajukan
permohonan ijin penyaksian talak
terhadap Termohon, umur x tahun,
bertempat tinggal di xxx, serta
membayar uang perkara terkait
pada tanggal 07 Agustus 2006, di
wilayah yurisdiksi Pengadilan
Tingkat Pertama Kota Meknes.
•
•
•
•
• Sesuai UU para pihak melakukan
proses mediasi, bahkan melibatkan
dua orang hakam (juru runding
keluarga) yang berakhir tidak
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
berhasil mencapai perdamaian,
dikarenakan suami tetap ingin
bercerai meskipun isteri menolaknya.
Para pihak menyatakan mereka
memiliki beberapa anak hasil
perkawinan mereka dan sekarang
isteri tidak dalam keadaan
mengandung.
Pengadilan menerbitkan putusan
sela Nomor 171 pada tanggal 14
Juni 2007 berupa pembebanan
akibat cerai kepada suami untuk
isteri dan anak-anak berupa uang
sebesar DM 50.000 (Lima Puluh
Ribu Dirham Maroko) dan suami
diperintahkan menyerahkan uang
tersebut melalui panitera paling
lambat 30 hari.
Kemudian suami menyerahkan
uang akibat cerai tersebut sesuai
Nomor Wesel 133 pada tanggal 18
Juni 2007.
Ijin penyaksian talak raj'i untuk
suami terhadap isteri tersebut
dikeluarkan oleh Pengadilan
dengan putusan (al hukmu) Nomor
815 pada Tanggal 12 Juli 2007.
Kemudian jatuh talak pada tanggal
17 Juli 2007 sesuai akad talak raj'i
dalam register talak 154 nomor 518
halaman 350 pencatatan Kota
Meknes.
PERADILAN MANCANEGARA
• Pengadilan menjadwalkan sidang
memastikan jatuhnya talak
(mu'ayanah wuqu'ith thalaq) pada
tanggal 04 Oktober 2007, namun
karena Pemohon dan Termohon
tidak hadir maka sidang dilanjutkan
dan diputuskan pada tanggal 18
Oktober
2007
dengan
diterbitkannya penetapan (al qarar)
Nomor 658/2006 Tanggal 18
Oktober 2007 tersebut diatas.
Pertimbangan Hukum
1. Pemohon dan Termohon menikah
pada tanggal 29 Desember 1995
berdasarkan akad nikah dalam
register Nikah dan Cerai 26
halaman 46 Nomor 78 tanggal 14
Sya'ban 1416 pencatatan kota
Meknes.
2. Pengadilan telah berupaya
semaksimal mungkin untuk
mendamaikan para pihak, namun
tidak berhasil dikarenakan suami
bersikukuh pada tuntutannya,
sehingga Pengadilan tidak punya
alasan selain mengabulkan
gugatan ijin penyaksian talak raj'i
terutama berdasarkan pasal 87 UU
Perkawinan dan memutuskan
tentang kewajiban menyerahkan
uang akibat cerai melalui kas
Pengadilan dalam masa yang
sudah ditentukan sesuai pasal 83
UU Perkawinan.
3. Talak tersebut adalah talak raj'i
dan isteri tidak dalam keadaan
hamil, dengan demikian masa
iddahnya mengikuti ketentuan
pasal 136 UUP sehingga isteri
berhak atas nafkah iddah dan
biaya rumah selama masa iddah,
suami juga berkewajiban
membayar mut'ah dan sisa mahar
yang masih terhutang, demikian
juga hak anak-anak mereka sesuai
pasal 85 UUP setelah mempertimbangkan pasal 168 dan 190
UUP.
4. S e m u a n y a
berdasarkan
pertimbangan lamanya usia
perkawinan, kondisi ekonomi
suami, sebab-sebab perceraian,
dan sejauh mana kesewenangan
suami
(ta'assuf)
dalam
menjatuhkan talak terhadap isteri
sesuai pasal 84 UUP, sementara
pertimbangan untuk anak-anak
adalah dari sisi kebutuhan
ekonomi dan pendidikan anakanak sebelum cerai berdasarkan
pasal 85 UUP. Menimbang juga hak
dan kewajiban masing-masing
suami isteri.
Amar Penetapan
Pengadilan menetapkan bersifat
final putusnya perkawinan pemohon
dan termohon karena perceraian, dan
bersifat permulaan terkait hal-hal
sebagai berikut:
1. Memastikan jatuhnya talak
pemohon terhadap termohon,
berdasarkan akad talak raj'i
tersebut diatas.
2. Menentukan hak-hak termohon
sebagai berikut:
• Nafkah iddah sebesar DM 6000
• Biaya rumah sebesar DM 3000
• Mut'ah sebesar 25000
• Mahar terhutang sebesar DM
10000
• Nafkah anak-anak masing-masing
sebesar DM 500/bulan
• Biaya mengasuh masing-masing
anak sebesar DM 100/bulan
• Biaya rumah anak-anak sebesar
DM 1500/bulan
3. Menentukan hak berkunjung
untuk pemohon terhadap anakanak buah perkawinan pemohon
dan termohon sehari per pekan,
lima hari per libur semester, lima
belas hari per libur tahunan.
Penetapan ditanda-tangani oleh Ketua
majelis, dua orang hakim anggota, dan
dibantu oleh seorang Panitera
pengganti.
Analisis
a. Formulasi Penetapan terdiri dari
kepala penetapan (yang terdiri
dari nomor dan tanggal
penetapan, dan identitas para
pihak),
tahapan-tahapan
perceraian secara kronologis
yaitu: 1. Gugatan Cerai Talak yang
berisi
permohonan
ijin
penyaksian talak raj'i; 2. Putusan
sela yang berisi pembebanan
“akibat cerai” seperti nafkah
iddah, biaya rumah, mut'ah, dan
Semuanya berdasarkan
pertimbangan lamanya usia
perkawinan, kondisi
ekonomi suami,
sebab-sebab perceraian,
dan sejauh mana
kesewenangan suami
(ta'assuf) dalam
menjatuhkan talak
terhadap isteri”
b.
c.
nafkah anak; 3. Penyerahan
uang“akibat cerai”; 4. Putusan ijin
penyaksian talak raj'i; 5.
Penjatuhan talak dan akad talak;
sampai dengan 5. Sidang untuk
memastikan jatuhnya talak dan
dikeluarnya Penetapan Talak.
Secara garis besar hampir sama
saja antara proses Gugatan Cerai
Talak di Pengadilan Agama di
Indonesia maupun di Maroko,
yaitu dimulai dengan Gugatan
Cerai Talak berisi permohonan
ijin menjatuhkan talak yang
melahirkan produk pengadilan
berupa putusan (al hukm), dan
diakhiri
dengan
produk
pengadilan berupa penetapan (al
qarar).
Ada hal-hal yang menarik dari
kasus perceraian talak raj'i di
Maroko sebagai berikut:
Pertama, jarak antara tanggal
g u ga t a n ( 0 7 - 0 8 - 2 0 0 6 ) d a n
putusan ijin menjatuhkan talak
(12-07-2007) memakan waktu
yang lama hampir satu tahun
lamanya, sehingga terkesan
perceraian di Maroko sangat
dipersulit.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
37
PERADILAN MANCANEGARA
Kedua, putusan ijin dikeluarkan
setelah adanya putusan sela yang
membebankan pemohon untuk
membayarkan hak-hak termohon
dan anak pemohon dan termohon
sebagai akibat perceraian. Setelah
uang akibat cerai benar-benar
dibayarkan, baru dikeluarkan ijin
menjatuhkan talak raj'i. Dalam hal
ini hak-hak perempuan dan anak
sangat diperhatikan oleh hukum
di Maroko.
Ketiga,
besaran
mut'ah
mempertimbangkan
unsur
ta'assuf atau kesewenangan
pemohon dalam menggunakan
hak talaknya terhadap termohon.
Semakin terbukti adanya unsur
ta'assuf maka mut'ah akan
semakin besar dibebankan kepada
pemohon.
Di Maroko, talak menjadi
kewenangan suami terhadap
isteri, tetapi talak yang dilakukan
sewenang-wenang oleh suami
akan dibebani dengan mut'ah
melebihi nafkah iddah, bahkan
bisa mencapai sebesar nafkah
isteri selama dua tahun.
Dalam hal ini hak perempuan
mendapatkan rasa keadilan
diperhatikan oleh hukum keluarga
di Maroko.
Keempat, setelah masa iddah
talak raj'i habis, maka pengadilan
mengadakan sidang untuk
memastikan jatuhnya talak secara
Di Maroko, talak menjadi
kewenangan suami
terhadap isteri, tetapi
talak yang dilakukan
sewenang-wenang oleh
suami akan dibebani dengan
mut'ah melebihi nafkah
iddah, bahkan bisa
mencapai sebesar nafkah
isteri selama dua tahun
final (talak bain), yaitu talak yang
tidak bisa dilakukan rujuk lagi,
kecuali harus dengan akad nikah
baru.
Kelima, talak raj'i dijatuhkan
dengan cara melakukan akad talak
yang seperti halnya akad nikah dan
diregister oleh kantor khusus yang
mencatat terjadinya talak raj'i.
sehingga penyaksian ikrar talak
tidak dilakukan di depan
pengadilan tetapi dilakukan di
kantor yang khusus mencatatkan
terjadinya talak tersebut.
Kasus ini menggambarkan tentang
adanya mut'ah dan besarannya. Ada
tiga pendapat fuqaha dalam hukum
mut'ah sebagai berikut:
a. Mut'ah adalah sunnah secara
mutlak untuk setiap talak kecuali
beberapa kasus talak yang
memang tidak disyariatkan
mut'ah di dalamnya, seperti halnya
cerai akibat li'an dan juga cerai
atas gugatan isteri. Ini pendapat
mazhab maliki.
b. Mut'ah hukumnya wajib jika suami
menceraikan isterinya sebelum
dukhul atas kehendak dirinya,
sementara dia belum menentukan
maskawin yang layak pada saat
akad nikah. Adapun isteri yang
diceraikan setelah dukhul, atau
diceraikan sebelum dukhul namun
sudah ditentukan maskawinnya
sewaktu akad nikah, maka mut'ah
hukumnya sunnah saja. Atau
dengan kata lain mut'ah
hukumnya sunnah untuk setiap
isteri yang dicerai, selain isteri
yang dinikahi tanpa disebutkan
maharnya kemudian dicerai
sebelum dukhul, atau ditentukan
mahar yang fasid (tidak sah), maka
mut'ah hukumnya wajib. Ini
pendapat Mazhab Hanafi.
c. Mut'ah hukumnya wajib untuk
setiap perceraian, baik talak satu,
dua maupun tiga, baik sebelum
maupun sesudah dukhul, baik
ditentukan maskawin pada saat
akad nikah maupun tidak. Ini
pendapat Mazhab Syafi'i dan
Dhahiri.
Filosofi mut'ah sendiri adalah
isteri sangat menderita akibat
perceraian sekalipun perceraian atas
kehendaknya sendiri. Tujuan
diwajibkannya nafkah mut'ah adalah
mengobati sakitnya isteri akibat
bercerai, bukan menghukum suami
yang sewenang-wenang menggunakan hak cerai yang memang ada
ditangannya.
|Mahrus Abdur Rohim, Edi Hudiata|
Sumber:
https://ar.m.wikipedia.org/wiki/…
?»—
¤„·«_«?·⁄ ·«_…
„flՄ·«
http://www.blog.saeeed.com/2011/12/jurisprudence-dotation
http://www.courdecassation.ma/ar/Vue_historique.aspx
http://www.badilag.net.
38
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
PERADILAN MANCANEGARA
BARAT
Sumber foto: www.bbc.co.uk
PENEGAKAN
HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INGGRIS
Meskipun bukan bagian dari hukum resmi di Inggris, sejumlah preseden
mengenai hukum keluarga Islam di pengadilan Inggris
dipandang sebagai pengakuan simbolik terhadap eksistensi
Hukum Keluarga Islam. Cendekiawan Muslim
dan orientalis yang concern terhadap hukum Islam
memiliki kontribusi penting dalam proses
pengakuan ini.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
39
PERADILAN MANCANEGARA
40
“
Meskipun pengadilan
Inggris akhirnya kerapkali
membuat pertimbangan
sendiri terkait gugatan
mahar, pengadilan Inggris
umumnya mengakui
keabsahan perkawinan yang
dilaksanakan berdasarkan
hukum asing, termasuk
hukum Islam. Dan inilah
yang kemudian dapat
dipandang sebagai
“pengakuan” atas berlakunya
hukum keluarga Islam bagi
umat Islam di Inggris.
“
Keberadaan umat Islam di
Inggris telah berlangsung lama.
Tercatat keberadaan mereka di mulai
pada pertengahan abad ke-19. Jumlah
mereka terus bertambah, terutama
pada tahun 1961, sebelum undangundang keimigrasian membatasi
masuknya masyarakat dari Negaranegara persemakmuran Inggris
(Ansari, 2002 : 6). Hingga kini
diperkirakan jumlah umat Islam yang
mendiami wilayah Inggris mencapai
lebih kurang dua juta orang (Hasan,
www.3djb.co.uk).
Interaksi umat Islam dengan
dunia peradilan Inggris juga
berlangsung seiring keberadaan
mereka di Negara monarkhi tersebut.
Terdapat putusan pengadilan
berkaitan dengan hukum keluarga
Islam pada tahun 1881 yang memutus
sengketa mahar dalam perkara
Moonshee Buzulul-Raheem v. Luteefutoon-Nissa yang terdaftar dengan
perkara nomor [1861] 8 Moo IA 379.
Pada tahun berikutnya, terdapat
perkara serupa yang diputus pada
tahun 1886 dalam perkara Abdul Kadir
v. Salima dalam perkara nomor [1886]
8 All 149.
Bahkan, terkait dengan tuntutan
mahar yang tertunda (deferred mahr)
sebagai upaya perlindungan terhadap
perempuan yang diceraikan oleh
suaminya, pengadilan Inggris
memiliki sejumlah preseden yang
kemudian dirujuk oleh putusanputusan hakim berikutnya.
Umat Islam Inggris memang
menyelesaikan sengketa di bidang
hukum keluarga di pengadilan sipil
(civil court), meskipun sejak tahun
1970-an telah berdiri sejumlah Dewan
Syariah Islam (Islamic Shariah Council)
- sebagian media umumnya menyebut
dengan istilah Shariah Court
(Pengadilan Syariah). (Bano, 2004 :
115-116)
Lembaga yang disebut terakhir
merupakan wadah yang diprakarsai
oleh umat Islam di Inggris untuk
menyelesaikan perkara hukum
keluarga berdasarkan hukum Islam.
Hanya saja, karena merupakan
institusi
kemasyarakatan,
keberadaannya tidak diakui oleh
Negara, sehingga perkara-perkara
yang ditanganinya pun terbatas.
Dewan ini umumnya menyelesaikan
masalah perceraian (John R Bowen
dalam University of St. Thomas Law
Journal, 2010 : 419).
Dilema Pengadilan
Syariah Inggris
Akibat keberadaannya yang
bersifat privat dan terpisah dari sistem
hukum Inggris, eksistensi pengadilan
syariah menjadi dilematis, terutama
terkait dengan validitas putusan
perceraian yang dikeluarkan. Seorang
perempuan yang terlebih dahulu
mengajukan gugatan perceraian
melalui pengadilan syariah kemudian
melanjutkan gugatan terhadap hakhak pasca perceraian di pengadilan
sipil seringkali dijadikan alasan oleh
pihak suami telah terjadi khulu', yaitu
perceraian atas inisiatif isteri yang
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
menghalangi perempuan untuk
mendapatkan hak-haknya.
Ini terjadi misalnya dalam
perkara Uddin v. Choudhury [2009]
EWCA (civ) 1205. Dalam bantahannya
atas gugat balik Choudhury, Uddin
menyebutkan, “[T]he bride was not
entitled to claim the mehar or dowry in
circumstances where she had, of her
own free will, walked out of the
marriage. He says that in those
circumstances the dowry should not be
payable (pengantin perempuan tidak
berhak menuntut mahar, karena atas
keinginannya sendiri keluar dari
ikatan perkawinan. Dia mengatakan
dalam kondisi tersebut mahar tidak
dapat dibayarkan).
S e b a l i k nya ,
mana
kala
perempuan langsung mengajukan
gugatan
perceraian
melalui
pengadilan sipil, tanpa terlebih dahulu
melalui pengadilan syariah, suami
seringkali
beralasan
yang
dimohonkan untuk diputus adalah
perkawinan secara sipil semata.
Sementara perkawinan secara agama
belum putus, sehingga gugatan
terhadap hak-hak perempuan menjadi
tidak beralasan.
Hal ini terjadi misalnya pada
kasus seorang perempuan kelahiran
Pakistan yang menikah berdasarkan
hukum Islam di Karachi, Pakistan
dengan seorang Muslim berkebangsaan Inggris. Sesampai di
Inggris mereka juga melakukan
perkawinan sipil di Bedford, Inggris.
Ketika perkawinan mereka sudah
tidak bisa dipertahankan lagi, isteri
mengajukan gugatan perceraian
melalui pengadilan sipil dengan
menuntut hak atas mahar yang belum
dibayarkan.
Di pengadilan, suami berdalih
bahwa gugatan yang diajukan oleh
isterinya hanya terhadap perkawinan
sipil di Inggris, sementara
perkawinannya yang berdasarkan
hukum Islam di Pakistan tidak
dimohonkan untuk diputus. Atas
dasar argumentasi tersebut, suami
berpandangan bahwa mereka masih
terikat dalam perkawinan, sehingga
isterinya tidak berhak mengajukan
gugatan pembayaran mahar (Hasan,
www.3djb.co.uk).
PERADILAN MANCANEGARA
Persoalan dilematis lain yang dihadapi
oleh pengadilan syariah Inggris adalah terkait
dengan kesepakatan yang dibuat oleh pasangan
yang bercerai. Apabila kedua belah pihak
sepakat atau sukarela, pengadilan syariah
seringkali meminta kedua belah pihak atau
salah satu pihak untuk membuat pernyataan
tertulis terkait pengasuhan anak dan
pengembalian mahar. Pihak istri membuat
surat pernyataan bahwa ia akan memberikan
akses kepada suaminya untuk mengunjungi
anaknya atau mengembalikan mahar yang
telah dibayarkan suaminya, sebagai
konsekwensi khulu'.
Hanya saja, meskipun kedua belah pihak
telah mencapai kesepakatan terkait
pengasuhan anak dan pembagian harta
bersama, keduanya dapat dipersoalkan
kembali di pengadilan. Lembaga publik dapat
menjadi pihak intervensi manakala mereka
mencurigai kepentingan anak tidak terlindungi
sebagaimana mestinya, sehingga menjadi
potensi pemeriksaan di pengadilan (John R
Bowen dalam University of St. Thomas Law
Journal, 2010 : 412).
Pengakuan terhadap keabsahan
perkawinan Islam
Meskipun pengadilan Inggris akhirnya
kerapkali membuat pertimbangan sendiri
terkait gugatan mahar, pengadilan Inggris
umumnya mengakui keabsahan perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan hukum asing,
termasuk hukum Islam. Dan inilah yang
kemudian dapat dipandang sebagai
“pengakuan” atas berlakunya hukum keluarga
Islam bagi umat Islam di Inggris.
Betapa tidak, pengakuan terhadap
keabsahan perkawinan selanjutnya membuka
jalan bagi berlakunya hak-hak hukum pasca
perceraian, seperti hak atas mahar yang belum
dibayarkan, hak atas pengasuhan anak, hak atas
harta bersama. Meskipun norma-norma
hukumnya tidak selalu tepat dengan apa yang
dipahami dalam konteks hukum Islam,
argumentasi-argumentasi yang dibangun oleh
hakim-hakim Inggris dapat menjadi studi yang
menarik untuk mengetahui bagaimana hukum
Islam dipahami oleh hakim-hakim sekuler.
Terkait dengan sahnya suatu perkawinan,
pengadilan Inggris telah memiliki preseden
yang memungkinkan diakuinya suatu
perkawinan yang dilaksanakan atas dasar
agama tertentu, termasuk perkawinan yang
dilaksanakan di luar negeri.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
41
PERADILAN MANCANEGARA
“
Oleh karena perkawinan
yang sah menjadi dasar dari
sebuah perceraian dan
tuntutan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan
perceraian, termasuk dan
tidak terbatas pada masalah
pengasuhan anak dan
pembagian harta bersama,
maka pengadilan sangat
berkepentingan terhadap
sahnya sebuah perkawinan.
Konsekwensinya, pengadilan
selalu terlebih dahulu
memastikan keabsahan
suatu perkawinan untuk
selanjutnya menguji
sengketa turunannya.
“
Dalam putusan perkara Berthiaume v.
Dastous [1930] AC 79 paragraf 83
disebutkan, “if a marriage is good by
laws of the country where it is effected,
it is good all the world over, no matter
whether the proceeding or ceremony
which constituted marriage according
to the law of the place would not
constitute a marriage in the country of
the domicile of one or other spouses
(jika suatu perkawinan itu baik
menurut huhum Negara dimana ia
berlaku, maka akan baik pula di
seluruh dunia, meskipun tindakan
atau upacara yang merupakan
perkawinan menurut hukum suatu
tempat bukanlah merupakan
perkawinan di Negara tempat domisili
salah satu atau pasangan lainnya).
Oleh karena perkawinan yang
sah menjadi dasar dari sebuah
perceraian dan tuntutan mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan
42
perceraian, termasuk dan tidak
terbatas pada masalah pengasuhan
anak dan pembagian harta bersama,
maka pengadilan sangat berkepentingan terhadap sahnya sebuah
perkawinan. Konsekwensinya,
pengadilan selalu terlebih dahulu
memastikan keabsahan suatu
perkawinan untuk selanjutnya
menguji sengketa turunannya.
Kontribusi Cendekiawan
dan Orientalis
Pertanyaannya kemudian,
bagaimanakah cara yang ditempuh
oleh pengadilan Inggris untuk
memastikan keabsahan sebuah
perkawinan atau akibat-akibat hukum
suatu perceraian berdasarkan hukum
Islam?
Setidak-tidaknya terdapat tiga
pendekatan yang dipergunakan oleh
pengadilan Inggris terkait hal ini.
Pertama, terdapat pelatihan-pelatihan
bagi hakim Inggris untuk membantu
mereka memahami hukum adat dari
etnis minoritas yang tinggal di Inggris.
Diharapkan dengan langkah ini,
hakim-hakim lebih peka terhadap
berbagai permasalahan yang muncul
di persidangan. Upaya ini misalnya
ditempuh oleh Etnic Minorities
Advisory Committee of Judicial Studies
Board (Judge David Pearl, dalam
http://www.library.cornell.edu).
Kecuali pelatihan, lembaga
tersebut juga menerbitkan publikasipublikasi yang membantu hakimhakim dalam menangani perkara yang
melibatkan unsur-unsur etnis di
dalamnya. Salah satu terbitannya
adalah Equal Treatment Bench Book
yang ditujukan untuk membantu para
hakim meningkatkan kualitas
keadilan dalam kerja-kerja mereka.
Kedua, pengadilan Inggris
terkadang juga mengambil alih
pernyataan tentang keabsahan yang
disebutkan dalam putusan pengadilan
syariah, meskipun tidak ada
keterkaitan antara kedua lembaga
tersebut. Hal ini misalnya terjadi
dalam kasus Uddin v. Choudhury yang
disebutkan diatas.
Dalam paragraph 11 putusan
pengadilan Inggris disebutkan bahwa
perkawinan keduanya “was a valid
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
marriage under shariah law and it was
then validly dissolved by decree of the
Islamic Shariah Council (pernikahan
mereka adalah perkawinan yang sah
berdasarkan hukum Islam dan secara
sah telah diputuskan oleh pengadilan
syariah).
Sayangnya, kondisi ini tidak
selalu terjadi meskipun pengadilan
syariah sendiri sangat berharap hal itu
bisa berlangsung sebagaimana agama
lain yang sudah diakui dalam undangundang perkawinan Inggris.
Ketiga, dan ini yang terpenting,
dengan menggunakan saksi ahli, baik
cendekiawan Muslim sendiri atau
kalangan orientalis, yang dipandang
memahami hukum Islam atau aspekaspek lokalitas dalam hukum Islam
yang dianut oleh pasangan yang
mengajukan
perkaranya ke
pengadilan.
Menurut David Pearl, salah
seorang hakim Inggris, apa yang
dikemukakan oleh para ahli tentang
hukum Islam dan hukum adat sangat
p e n t i n g u n t u k m e m u n gk i n ka n
pengadilan lebih memahami
permasalahan-permasalahan yang
sering timbul di pengadilan. Para ahli
telah memberikan kontribusi penting
terkait permasalahan-permasalahan
umat Islam di pengadilan Inggris,
seperti perjodohan, pelaksanaan
mahar dan aspek-aspek lain dalam
ko n t ra k
p e r kaw i n a n
Islam,
pendaftaran perkawinan, nafkah
pasangan, bentuk-bentuk perceraian
Islam, dan hak-hak ahli waris (Judge
David
Pearl,
dalam
http://www.library.cornell.edu).
Dalam aras yang sama, Steven
Gerlis, yang juga seorang hakim di
Inggris, sebagaimana dikutip Pearl
menyatakan, “…it is important for a
judge to recognize when a case involves
an ethnic element which requires
further investigation and that, if
necessary, suitable expert evidence
should be provided (penting bagi
seorang hakim untuk mengakui ketika
suatu kasus melibatkan unsur etnis
yang memerlukan pendalaman lebih
lanjut dan, bila perlu, saksi ahli yang
sesuai harus disediakan).
PERADILAN MANCANEGARA
Bahkan, sesuai dengan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman, hakim juga wajib
menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Meskipun bagaimana langkah yang
harus ditempuh untuk memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
tersebut amat jarang dikemukakan.
Diceritakan Pearl, pengadilan
Inggris pernah menangani perkara
perkawinan di bawah umur yang
menurut cara berfikir masyarakat
Inggris boleh jadi tidak lazim.
Pandangan yang disampaikan oleh N. J.
Coulson di depan pengadilan akhirnya
menjernihkan kasus tersebut
sehingga dapat diputuskan oleh
pengadilan.
Dalam konteks yang lebih luas,
terhadap hukum asing, pengadilan
Inggris telah memiliki preseden
pemberlakuan saksi ahli berikut
pedoman yang berkaitan dengan saksi
ahli. Pedoman tersebut meliputi
kewajiban-kewajiban saksi ahli agar
pendapat yang disampaikan bersifat
independen tanpa terpengaruh oleh
kasus terkait. Pedoman tersebut juga
menuntut agar saksi ahli secara jujur
menjelaskan apabila pertanyaanpertanyaan yang diajukan berada di
luar keahliannya. Apabila suatu
pendapat dinilai tidak memadai
karena keterbatasan data, sebaiknya
ahli menyatakan bahwa pendapatnya
bersifat permulaan.
Lessons Learned bagi
Peradilan Agama?
Mandat konstitusional hakim
adalah mewujudkan keadilan bagi
pihak-pihak yang berperkara. Untuk
mencapai puncak hukum tersebut,
selain harus melakukan pemeriksaan
sesuai dengan kaidah-kaidah formil
yang ada, hakim juga dituntut untuk
memahami hukum materiil yang
terkait secara mendalam.
“
Apa yang dikemukakan oleh
para ahli tentang hukum
Islam dan hukum adat
sangat penting untuk
memungkinkan pengadilan
lebih memahami
permasalahanpermasalahan yang sering
timbul di pengadilan. Para
ahli telah memberikan
kontribusi penting terkait
permasalahanpermasalahan umat Islam di
pengadilan Inggris, seperti
perjodohan, pelaksanaan
mahar dan aspek-aspek lain
dalam kontrak perkawinan
Islam, pendaftaran
perkawinan, nafkah
pasangan, bentuk-bentuk
perceraian Islam, dan hakhak ahli waris
“
Sumber foto: konsultanpendidikan.com
Dari tiga pendekatan yang
dilakukan oleh pengadilan Inggris
dalam menegakkan hukum keluarga
Islam, pendekatan pertama dan ketiga
dapat menjadi pembelajaran penting
dalam menegakkan hal serupa di
Indonesia.
Betapapun telah ada ketentuan
mengenai penegakan hukum keluarga
Islam di Indonesia, tidak dipungkiri
bahwa hukum Islam di negeri ini juga
bersentuhan dengan adat istiadat,
budaya dan kearifan lokal masyarakat,
sehingga perlu dipertimbangkan
secara cermat oleh hakim peradilan
agama. Penyelesaian sengketa
keluarga melalui tokoh adat, seperti
niniak mamak di Sumatera Barat,
kedudukan tanah ulayat vis a vis harta
bersama dalam perkawinan, atau
pemberian sebelum atau saat
perkawinan kepada perempuan di
berbagai daerah merupakan sebagian
dari persinggungan hukum Islam di
Indonesia dengan aspek-aspek lokal.
Pendekatan saksi ahli, berupa tokoh
adat atau tokoh masyarakat lainnya
yang memiliki pemahaman terkait hal
tersebut boleh jadi menjadi solusi
yang dapat dipergunakan dengan
cepat. Akan tetapi kedepan, tidaklah
berlebih jika ada inisiasi untuk
mendokumentasikan aspek-aspek
lokalitas tersebut dalam konteks
penanganan hukum keluarga Islam di
Indonesia. Siapa berkenan memulai?
|Mohammad Noor|
Daftar Pustaka:
Ansari, Humayun, Muslim in Britain,
England: Minority Rights Group
International, 2002
B a n o , S a m i a , T h e Co m p l e x i t y,
Difference and 'Muslim Personal
Law': Rethinking the Relationship
between Shariah Council and
South Asian Muslim Women in
Britain (Ph.D thesis), England:
The University of Warwick, 2004
Bowen, John R, “How Could English
Courts Recognize Shariah?”,
dalam University of St. Thomas
Law Journal, Vol. 7, 2010 dapat
diunduh pada
http://ir.stthomas.edu/ustlj/vol
7/iss3/3
Hasan, Ayesha, “Islamic Family Law in
the English Courts” dalam
http://www.3djb.co.uk/
Pearl, David, “The Application of
Islamic Law in the English Courts”
(disampaikan dalam 1995 Noel
Coulson Memorial Lecture),
d a l a m
w e b s i t e
http://www.library.cornell.edu/
colldev/mideast/isllaw.htm
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
43
OPINI
Pembaruan
Hukum Perkawinan
Di Indonesia
Oleh : Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD
Guru besar Sosiologi Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
* Makalah disajikan sebagai pengantar diskusi dalam Forum Diskusi Hukum
Direktoral Jendral Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 4 Agustus 2015.
PENDAHULUAN
ndang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang
diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan berlaku efektif sejak
1 Oktober 1975, termasuk UU yang
bertahan lama (40 tahun) tanpa
mengalami amandemen kecuali
beberapa kali uji materi oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi. Orang dapat
berspekulasi mengenai sebab kenapa
UU itu bertahan demikian lama.
Pertama, mungkin masyarakat merasa
UU itu masih memadai untuk
menjawab perkembangan sekarang.
Kedua, mungkin juga sesungguhnya
yang terjadi ialah status quo antara
pihak-pihak yang ingin mempertahankan UU itu dan pihak-pihak yang ingin
mengubahnya. Bagi mereka yang ingin
memperhatahankannya, terutama
dari tokoh konservatif agama Islam,
melihat bahwa isi UU itu relative dekat
dengan hukum Islam. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa UU itu adalah
perwujudan Islam di Indonesia dalam
bidang hukum perkawinan. Sejarah
mencatat bahwa draft awal UU itu yang
diajukan pemerintah pada tahun 1973
sangatlah sekuler, sehingga barulah
menjadi UU seperti yang ada sekarang
U
44
ini setelah perjuangan panjang umat
Islam termasuk pendudukan ruang
sidang DPR oleh sekelompok pelajar.
Bagi mereka ini, kesempatan
membuka ulang UU itu dan merivisnya
dikhawatirkan justeru akan menjauhkan isinya dari hukum Islam dan jatuh
ke tangan para kaum liberal dan
secular. Adapun bagi mereka yang
ingin mengubahnya, ide-idenya sudah
nampak seperti beredarnya draft
tandingan UU Perkawinan dan
permohonan uji materi oleh berbagai
pihak tentang berbagai Pasal dari UU
itu.
Sementara itu waktu berjalan
terus dan tantangan baru juga terus
bermunculan. Pertanyaannya ialah
benarkah UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan itu perlu atau
tidak perlu disempurnakan? Untuk
menjawab pertanyaan itu, para
teoritisi mengatakan bahwa terdapat
empat attribute hukum yang perlu
diperhatikan dalam melihat apakah
sesuatu hukum itu sudah atau belum
memadai. Pertama, attribute of
authoriry, yaitu apakah UU atau
hukum itu telah diterbitkan oleh pihak
yang mmpunyai kewenangan untuk
itu. Untuk UU No. 1 Tahun 1974,
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
kiranya jelas bahwa UU itu telah
ditandatangani oleh Presiden RI
d e n ga n
persetujuan
D e wa n
Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena
itu, untuk tataran ini tidak akan
dibahas dalam makalah ini. Kedua,
attribute of universal application,
yaitu bahwa UU itu berlaku untuk
semua warganegara Indonesia, semua
subyek hukum, tanpa kecuali. Untuk
tataran ini pun tidak akan di bahas di
sini, kecuali disinggung sepintas di
mana perlu. Ketiga, attribute of
obligation, yaitu apa sesungguhnya
yang diperintahkan atau dilarang oleh
UU itu. Tataran ini menyangkut
substansi hukum, sehingga perlu
dibahas di sini, meskipun tidak
seluruhnya, terutama mengenai apa
saja sesungguhnya yang diatur oleh
UU itu, bagaimana hubungannya
dengan hukum Islam dan seberapa
jauh UU itu masih memadai. Bila
diperlukan, sejumlah informasi
perbandingan mengenai hukum
perkawinan di negara Muslim lain
akan disinggung dalam kaitan ini.
Keempat, attribute of sanction, yaitu
bagaimana ancaman sanksi diatur dan
disebutkan dalam UU itu.
OPINI
Untuk ini pun, bila diperlukan akan
disandingkan dengan informasi
perbandingan mengenai sanksi yang
diberlakukan di Negara-negara
Muslim lain di seputar hukum
perkawinan.
SUBSTANSI HUKUM DAN
ANCAMAN SANKSI
Diantara beberapa substansi
hukum yang diatur dalam UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan² dan
perlu dikomentari di sini ialah sebagai
berikut:
1. Pasal 1 UU Perkawinan merumuskan definisi perkawinan sebagai
ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha
Esa.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Putusan MK,
definisi ini menegaskan bahwa
bagi bangsa Indonesia perkawinan
itu bukanlah sekedar perikatan
sekuler antara seorang laki-laki
dan
seorang
perempuan,
melainkan ikatan yang bersifat
sakral karena berlandaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan
ada agama di Indonesia yang
melihat bahwa perkawinan itu
bukanlah ikatan antara dua pihak,
yaitu seorang laki-laki dan seorang
perempuan, melainkan antara tiga
pihak dan pihak ketiga itu ialah
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena
itu rumusan ini kiranya perlu
dipertahankan karena ketegasannya memadukan unsur religiusitas
dalam definisi perkawinan.
2. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
berbunyi bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal ini dikritik sebagai
diskriminatif, sehingga tidak
memungkinkan dua orang yang
memeluk agama berbeda
m e l a n g s u n gka n p e rkaw i n a n
berdasarkan UU ini. Sesungguhnya
kalau kita lihat catatan perdebatan
ketika draft UU ini dibahas di
parlemen dulu dan di dalam
masyarakat, ketika itu ada usulusul atau pilihan-pilihan agar UU
itu bersifat unifikasi atau
diferensiasi atau diferensiasi
dalam unifikasi. Nampaknya,
dalam bentuknya yang sekarang
UU itu bersifat diferensiasi dalam
unifikasi. Hal ini sejalan dengan
konsep sakralitas perkawinan yang
mendasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa yang ekspresinya
berbeda menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Adapun Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan itu berbunyi bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundangundangan
yang
berlaku.
Sesungguhnya ayat ini sudah tepat
dalam arti memisahkan antara
ke a b s a h a n p e rkaw i n a n d a n
kewajiban pencatatan. Ini memang
hasil kompromi, karena dalam
draft awalnya dua ayat itu
bergabung menjadi satu. Inilah
yang ditolak oleh kelompok Islam
karena seolah hendak menambahi
rukun nikah dengan pencatatan
perkawinan. Di sisi lain, dengan
pemisahan dua ayat itu seperti
sekarang ini, kenyataannya banyak
perkawinan berlangsung dan sah
meskipun tanpa dicatatkan.
Sesungguhnya dalam Islam
perintah “pencatatan” itu sudah
ada. Alasannya, pertama dikiaskan
dengan perintah pencatatan dalam
transaksi jual beli dan pinjam
memimjam, dan kedua, adanya
hadis Nabi Muhammad SAW yang
memerintahkan agar perkawinan
itu dirayakan (diwalimahkan) atau
dengan kata lain diumumkan.
Dalam hal ini kata “aulim”
(Walimahkanlah !) dalam sabda
Nabi Muhammad itu dapat berarti
“a'linu” (Iklankanlah atau
umumkanlah !) yang pada zaman
sekarang bentuknya adalah
pencatatan oleh petugas Negara
atau mungkin juga ke depan di “on
line”- kan lewat situs internet. Agar
pencatatan tetap tidak menentukan keabsahan perkawinan tetapi
m e r u p a ka n ke wa j i b a n ya n g
dipatuhi masyarakat maka jalan
keluarnya ialah ke depan harus
diberikan ancaman sanski, berupa
sanksi denda dan atau kurungan
badan bagi pelanggarnya. Mungkin
ide ini akan ditentang oleh
kelompok pemuka agama
konservatif sebagai kriminalisasi
hukum
agama
tentang
perkawinan, tetapi sesungguhnya
di sejumlah Negara Muslim lain hal
itu sudah berlangsung.
Di Yordania misalnya, berdasarkan UU Hak-hak Keluarga (Qanunu
Huquq al-'Ailah atau Law of Family
Rights) No. 92 tahun 1951 terakhir
diamandemen dengan UU No. 61
tahun 1976, dinyatakan pada Pasal
17 ayat (3) bahwa apabila suatu
akad nikah telah berlangsung
tanpa dicatatkan kepada kantor
atau petugas yang berwenang
maka orang yang memimpin
pelaksanaan akad nikah itu dan
para pihak yang melakukan akad
nikah serta para saksinya diancam
dengan hukuman sebagaimana
diatur dalam Pasal 279 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
1Di dalam kenyataan, sesungguhnya para hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutus perkara-perakara pekawinan, tidak hanya mengacu kepada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi
juga UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2011 dan peraturan perundangan terkait lainnya. Selain itu terdapat pula naskah
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dinilai sebagai ijma' (consensus) ulama Indonesia yang kemudian menjadi lampiran Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang sosialisasi dan penerapannya. Isi KHI
terkadang memperkuat isi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terkadang menyandarkan diri pada UU itu, terkadang menjelaskannya, dan terkadang pula memperkenalkan pemikiran hukum baru
yang boleh jadi dalam masyarakat menjadi bahan ikhtilaf. KHI itu sendiri terdiri atas tiga buku, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan. KHI ini unik, pertama karena bentuknya seperti UU disusun dengan urutan Bab dan Pasalnya; dan kedua karena KHI sesungguhnya bukanlah UU dan tidak pernah melalui pembahasan di
parlemen, tetapi isinya dapat menjadi hukum positif yang mengikat ketika digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam putusannya.
² Untuk selanjutnya UU ini akan disebut di sini sebagai UU Perkawinan.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
45
OPINI
Yordania yaitu kurungan badan
antara satu sampai dengan enam
bulan dan denda tidak lebih dari
100 Dinar Yordania. Sebaliknya,
pada Pasal 17 ayat (4) disebutkan
bahwa Petugas Pencatatan
Perkawinan yang tidak mencatat
secara resmi suatu akad nikah yang
telah berlangsung secara sah dan
telah membayar uang pendaftaran
sesuai persyaratan dan ketentuan
yang ada, diancam dengan
hukuman sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Yordania Pasal 279
yaitu kurungan badan antara satu
sampai enam bulan dan denda
tidak lebih dari 100 Dinar Yordania
serta
diberhentikan
dari
jabatannya.
Demikian juga di Pakistan,
berdasarkan Muslim Family Law
Ordinance (MFLO) tahun 1961
dengan segala perubahannya
dalam Pasal 5 diatur kewajiban
pencatatan perkawinan dan
kegagalan para pihak yang
melakukan perkawinan untuk
melakukan pencatatan diancam
dengan hukuman kurungan badan
paling lama tiga bulan dan denda
paling banyak 1000 Rupees.
Di Malaysia di Negara Bagian
Perak, berdasarkan UU Keluarga
Islam yang mulai berlaku pada
tahun 1984, terdapat sedikitnya 21
(duapuluh satu) pengaturan sanksi
ancaman hukuman penjara dan
atau denda. Salah satunya adalah
pada Pasal 33 yang menyatakan
bahwa seorang penduduk atau
warga Negeri Perak yang
melakukan akad nikah di luar
Negeri Perak dalam waktu enam
bulan sejak akad nikah itu tidak
mencatatkan perkawinannya
dihadapan Pejabat (Kantor)
Pendaftar Perkahwinan, Perceraian, dan Rujuk Orang Islam terdekat
atau perwakilannya di luar negeri
maka ia diancam dengan hukuman
denda 1000 Ringgit Maslaysia dan
46
atau penjara paling lama enam
bulan.
Di Brunei Darussalam terdapat
cara yang menarik dalam
mengatur kewajiban pencatatan
p e rkaw i n a n
tanpa
harus
menyebutnya sebagai rukun nikah.
Dalam UU Hukum Keluarga Brunei
tahun 2000 yang mulai berlaku
pada tahun 2001 dan telah
beberapa kali diamandemen
terakhir pada tahun 2012, pada
Pasal 8 ayat (1) dikatakan bahwa
suatu akad nikah hanya boleh
dilangsungkan dengan dipimpin
oleh orang yang diangkat oleh
Sultan dan yang Di-Pertuan dan
diberi kewenangan untuk
memimpin pelaksanaan akad
nikah. Kemudian pada ayat (2)
dikatakan bahwa tidak boleh ada
akad nikah dilaksanakan sebelum
mendapat izin dari Petugas
Pencatat Perkahwinan dari distrik
di mana calon mempelai
bertempat tinggal. Lalu pada ayat
(3) dikatakan bahwa wali dapat
memimpin akad nikah hanya
dihadapan Petugas Pencatat Nikah
(Jurunikah) yang berwenang,
setelah perempuan yang akan
dinikahkan itu memberikan
persetujuannya. Dengan cara
pengaturan seperti itu maka
Brunai memastikan bahwa
meskipun wali dapat memimpin
akad nikah sesuai agama Islam,
tetapi tetap harus di hadapan
Petugas Pencatat Perkawinan.
Dengan cara ini maka tidak ada
perkawinan yang tidak dicatatkan.
Terakhir pada Pasal 37 dikatakan
bahwa barangsiapa memimpin
upacara akad nikah sedangkan ia
tidak mempunyai kewenangan
dari Sultan untuk itu maka ia
diancam dengan denda sebesar
2000 Ringgit dan atau penjara
paling lama enam bulan.
3. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan
menyatakan bahwa Pengadilan
dapat memberi izin kepada
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian pada Pasal 4 ayat (1)
dan (2) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2)
diatur mengenai syarat-syarat dan
tata-cara untuk dapat mengajukan
permohonan izin berpoligami ke
Pengadilan Agama. Posisi
Indonesia dalam pengaturan
poligami sesungguh-nya berada di
tengah-tengah antara negaranegara Muslim yang melarang dan
membolehkan poligami. Tunisia
dan Turki adalah dua Negara yang
sama sekali melarang poligami.
Saudi Arabia adalah contoh Negara
yang membuka lebar pintu
poligami. Indonesia seperti
Pakistan, mempersulit terjadinya
poligami, artinya membolehkan
poligami hanya saja harus dengan
izin pengadilan dan dengan syaratsyarat yang ketat termasuk izin
istri pertama. Masalahnya di
Indonesia ialah bagi pelanggar
aturan itu tidak diberikan ancaman
sanksi yang tegas berupa denda
dan atau kurungan badan,
sehingga perkawinan poligami
terjadi di mana-mana tanpa
memenuhi persyaratan dan
prosedur yang diatur dalam UU.
Apalagi ditambah dengan
kewajiban pencatatan perkawinan
yang lemah sebagaimana telah
diuraikan di atas maka praktis
persyaratan poligami terabaikan.
Ke depan mungkin perlu
dicantumkan secara tegas
ancaman sanksi bagi pihak-pihak
yang terlibat dalam poligami yang
melanggar ketentuan yang ada,
bukan hanya pelaku poligami itu
sendiri tetapi juga para pihak yang
ikut memimpin upacara akad nikah
poligami itu, termasuk wali dan
para saksi. Di sejumlah Negara
Muslim lain, ancaman sanksi
seperti itu sudah diberlakukan.
OPINI
Di Tunisia misalnya, poligami
memang dilarang sama sekali dan
bagi pelanggarnya diancam dengan
denda 240 ribu Frank Tunisia dan
penjara satu tahun, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 18 UU Status
Pribadi (Code of Personal Status)
Tunisia tahun 1956 yang telah
mengalami beberapa kali
amandemen. Demikian juga
diberikan ancaman hukuman yang
sama bagi laki-laki yang
melakukan kawin lagi, meskipun
perkawinan pertamanya dilakukan
di luar ketentuan UU itu.
Selanjutnya ancaman hukuman
yang sama juga diberikan kepada
perempuan yang melakukan
perkawinan lagi, sedangkan ia
masih berstatus sebagai istri orang
lain.
Di Malaysia, di Negara Bagian
Perak, dalam UU Keluarga Islam
tahun 1984 Pasal 118 disebutkan
bahwa seorang laki-laki yang
masih terikat dengan suatu
perkawinan kemudian menikah
lagi tanpa izin tertulis dari
pengadilan (kadi/hakim), berarti
ia telah melakukan suatu
pelanggaran dan diancam dengan
hukuman denda paling banyak
1000 Ringgit Malaysia dan atau
penjara paling lama enam bulan.
Di Pakistan, berdasarkan MFLO
tahun 1961 diatur bahwa
barangsiapa melakukan poligami
tanpa izin dari Dewan Arbitrase
maka ia wajib segera melunasi
seluruh maharnya dan, atas
laporan dari pihak istri, diancam
dengan hukuman penjara paling
lama setahun dan atau denda 5000
Rupees.
4. Pasal 6 s/d 11 UU Perkawinan
mengatur mengenai syarat-syarat
perkawinan. Substansi pengaturan
syarat-syarat itu sesungguhnya
sudah memadai, tetapi sekali lagi
karena tidak ada ancaman
hukuman bagi pelanggarnya maka
syarat-syarat itu menjadi seperti
nasehat atau saran. Dokumen itu
seperti bukan hukum, tetapi
berstatus “seyogyanya.” Inilah
kelemahan utama UU Perkawinan
itu. Khusus mengenai Pasal 7 ayat
(1) tentang batas usia minimal
untuk kawin yaitu 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita,
mungkin perlu diubah agar batas
usia itu sama antara laki-laki dan
perempuan, menjadi sama-sama
19 tahun. Pertimbangannya ialah
bahwa sejumlah UU lain telah
mengatur bahwa batas usia anak
adalah 18 tahun, sehingga perlu
sinkronisasi. Demikian pula
dengan wajib belajar 12 tahun
maka usia 19 tahun artinya usia
setelah tamat sekolah menengah
atas.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
47
OPINI
Sejumlah Negara Muslim juga
memang telah mengatur tentang
batas usia minimal kawin itu,
meskipun isinya sangat
bervariasi.
Algeria
dan
Bangladesh menetapkan batas
minimal usia kawin 21 bagi lakilaki dan 18 bagi perempuan,
Pakistan 18 tahun bagi laki-laki
dan 16 tahun bagi perempuan,
Tunisia 20 dan 17 tahun, Libanon
18 dan 17 tahun, Malaysia 18 dan
16 tahun, Syria 18 dan 17 tahun,
Maroko 18 dan 18 tahun,
Yordania 16 dan 15 tahun, dan
Iran 18 dan 15 tahun. Di Iran ada
gejala yang menggusarkan
karena di negeri itu ada upayaupaya untuk menurunkan batas
minimal usia kawin bagi wanita
menjadi 13 tahun. Sementara itu
di Yordania terdapat pengaturan
yang unik yang menyatakan
bahwa jika selisih umur
pasangan itu 20 tahun atau lebih
sementara calon istri belum
berumur 30 tahun maka
perkawinan itu harus mendapat
izin khusus dari pengadilan. Dari
inovasi Yordania itu mungkin
dapat pula dikembangkan
perlunya batas usia maksimal
kawin
guna
menjaga
kemaslahatan pasangannya atau
untuk menghindari manipulasi
perkawinan atau sekurangkurangnya harus mendapatkan
izin dari Pengadilan terlebih
dahulu bagi orang yang telah
berusia terlalu lanjut. Walhasil,
tidak ada Negara yang
menetapkan batas usia minimal
kawin 9 tahun untuk wanita,
sebagaimana sering disandarkan
kepada riwayat perkawinan Siti
Aisyah dengan Nabi Muhammad
SAW. Jika setelah beberapa tahun
Nabi Muhammad wafat lalu Siti
Aisyah diriwayatkan sanggup
memimpin pasukan dalam
Perang Jamal maka boleh jadi
ketika kawin dengan Nabi itu
usia Siti Aisyah telah mencapai
16 tahun atau lebih.
48
5.
Pelanggaran atas batas usia
minimum
kawin
dapat
dikenakan sanksi penjara dan
denda, seperti yang terjadi di
Pakistan. Pakistan melarang
seseorang kawin dengan
seseorang di bawah umur yang
d i s e b u t nya s e b a g a i C h i l d
Marriage, yaitu jika salah satu
pasangannya berumur kurang
dari 18 tahun bagi laki-laki dan
kurang dari 16 tahun bagi
perempuan. Dalam hal ini
seorang laki-laki yang berumur
lebih dari 18 tahun kemudian
mengawini seorang perempuan
berumur di bawah 16 tahun
maka ia diancam dengan
hukuman penjara paling lama
satu bulan dan atau denda paling
banyak 1000 Rupees. Kemudian
bagi mereka yang memimpin
pelaksanaan atau mengarahkan
terlaksananya Child Marriage itu
diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya satu
bulan dan atau denda paling
banyak 1000 Rupees.
Pasal 22 s/d 28 UU Perkawinan
mengatur tentang pembatalan
perkawinan. Substansi pasalpasal itu sesungguhnya amat
progresif, tetapi sekali lagi
ka re n a t i a d a nya a n c a m a n
hukuman bagi pelanggarnya
maka aturan itu seperti kurang
bermakna. Pasal 24 misalnya
yang mengatur bahwa seseorang
yang karena ikatan perkawinan
dapat meminta pembatalan
perkawinan
baru
dari
pasangannya. Demikian pula
Pasal 27 ayat (1) mengatur
bahwa seorang suami atau istri
dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila
perkawinan itu dilangsungkan di
bawah paksaan atau ancaman
yang melanggar hukum.
Di sementara Negara Muslim,
perkawinan yang dilakukan
karena paksaan itu bukan hanya
membawa
pembatalan
perkawinan, tetapi juga pelaku
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
6.
ancaman itu dikenai sanksi
pidana. Di Malaysia, Negara
Bagian Perak misalnya, pada
Pasal 35 UU Keluarga Islam
dinyatakan bahwa barangsiapa
memaksa orang lain dengan
kekerasan untuk melakukan
akad nikah dengan seseorang
atau melarang orang lain untuk
tidak melakukan akad nikah
dengan seseorang sedangkan
diantara para pihak yang akan
berakad-nikah itu tidak ada
penghalang sesuai hukum yang
berlaku maka ia diancam dengan
hukuman denda paling besar
1000 Ringgit Malaysia dan atau
penjara tidak lebih dari enam
bulan.
Di Brunei Darussalam dalam UU
Hukum Keluarga tahun 2000
Pasal 35 dikatakan bahwa
barangsiapa memaksa seseorang
untuk kawin dengan seseorang
yang lain atau melarang
seseorang untuk tidak kawin
dengan seseorang yang lain
sedangkan antara pasangan itu
tidak ada halangan hukum apa
pun dan mereka telah memnuhi
batas usia minimal kawin maka
orang yang memaksa tersebut
diancam dengan hukuman denda
sebesar 2000 Ringgit Brunei dan
atau penjara paling lama enam
bulan.
Pasal 29 UU Perkawinan ayat (1)
dan (2) mengatur mengenai
perjanjian
perkawinan.
Dikatakan bahwa pada waktu
a t a u s e b e l u m p e rkaw i n a n
dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga kepada
pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut. Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan
bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
OPINI
7.
Praktek pembuatan perjanjian
seperti ini sekarang sudah umum
diberlakukan di Negara-negara
Muslim, biasanya terkait
kesepakatan percampuran atau
pemisahan
harta
dan
penjaminan kesetaraan derajat
wanita. Di sementara Negara isi
perjanjian seperti itu boleh
menyebut misalnya bahwa
selama perkawinan itu masih
berlangsung maka si suami tidak
boleh melakukan poligami dan
p e l a n g g a ra n te r h a d a p i t u
otomatis
m e nye b a b k a n
perceraian melalui pengadilan.
Penegasan seperti ini mungkin
perlu dilakukan karena janji
untuk tidak berpoligami itu
dapat diperdebatkan apakah
telah melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan
sebagaimana di atur di atas.
Sesungguhnya hal ini sudah
diberikan peluangnya oleh Pasal
24 dan 25 UU Perkawinan itu,
tetapi bagi mereka yang ingin
mengeksplisitkannya dalam
bunyi perjanjian perkawinan
maka sebaiknya kesempatan itu
dibuka dan dipertegas lagi.
Pasal 30 s/d 34 UU Perkawinan
mengatur mengenai kewajiban
suami isteri yang isinya pada
dasarnya amat memadai. Tentu
saja butir terpenting di situ ialah
Pasal 34 ayat (3) yang
menyatakan bahwa jika suami
atau istri melalaikan kewajibannya m a s i n g - m a s i n g d a p a t
mengajukan gugatan kepada
pengadilan. Adanya kesempatan
mengajukan gugatan ke
pengadilan ini perlu disosilisasikan dengan luas kepada para
istri. Terdapat dua ayat yang
sering mendapat kritik mengenai
kewajiban suami istri ini.
Pertama, Pasal 31 ayat (3) yang
mengatakan bahwa suami adalah
kepala keluarga dan istri ibu
rumah tangga. Sesungguhnya
dari segi ilmu manajemen setiap
unit organisasi termasuk
keluarga tentu perlu pemimpin
dan mendaulat suami sebagai
8.
kepala rumah tangga sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Masalahnya ialah ketika
diperlawankan dengan istri yang
jabatannya adalah ibu rumah
tangga yang tentu saja tidak jelas
lingkup tanggungjawabnya,
apalagi pada era di mana para
istri juga bekerja memperoleh
penghasilan seperti sekarang
ini. Pertanyaannya ialah kalau
ada kepala rumah tangga, apakah
berarti ada wakil kepala?
Penggandengan dua fungsi yang
tidak parallel ini yang
menimbulkan kritik. Mungkin
pengaturan itu dapat diganti
dengan mengatakan bahwa baik
suami maupun isteri secara
bersama-sama bertanggungjawab atas kepemimpinan
keluarga. Mungkin dapat
ditegaskan juga bahwa pada
dasarnya tugas suami adalah
terkait tugas-tugas eksternal,
termasuk mencari nafkah, dan
tugas istri pada dasarnya bersifat
internal rumah tangga. Kedua,
Pasal 33 yang antara lain
menyatakan bahwa suami istri
wajib saling cinta-mencintai.
Ungkapan ini tentu bagus tetapi
seperti nasehat perkawinan,
karena tentu saja amat sulit
mengukur realisasi atau
pelanggarannya. Mungkin dapat
diubah menjadi kalimat berita
atau menjadi anak kalimat,
misalnya bahwa atas dasar saling
cinta-mencintai maka suami istri
wajib saling menghormati, saling
membantu satu sama-lain dan
seterusnya, sehingga kewajibannya itu sendiri memang sesuatu
yang dapat diukur pelaksanaannya atau pelanggarannya.
Pasal 35 s/d 37 UU Perkawinan
mengatur mengenai harta
bersama dalam perkawinan.
Pada Pasal 35 ayat (1) dan (2)
dikatakan bahwa harta benda
ya n g
d i p e ro l e h
selama
perkawinan menjadi harta
bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri
dan harta benda yang diperoleh
9.
masing-masing sebagai hadiah
atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Konsep harta
bersama ini sungguh merupakan
pengaturan yang amat progresif
ditinjau dari kacamata hukum
Islam. Dalam masyarakat Islam
selama ini seolah-olah diasumsikan bahwa harta yang peroleh
selama perkawinan itu milik
suami karena suamilah memang
yang mencarinya. Dengan
konsep harta bersama ini maka
harta yang diperoleh selama
perkawinan meskipun istri tidak
bekerja adalah harta syirkah,
masing-masing berhak atas
separuh daripadanya ketika
terjadi putus perkawinan atau
salah satunya meninggal dunia.
Pembagian warisan dilakukan
hanya terhadap harta yang telah
dibagi dua itu.
Dalam sebuah diskusi dengan
delegasi Afghanistan yang terdiri
atas dekan-dekan Fakultas
Syariah dan cendekiawan hukum
Islam Afghanistan bertempat di
Jakarta beberapa tahun lalu
diketahui bahwa mereka
terperanjat dengan sistem harta
bersama di Indonesia ini. Mereka
melihat hal ini sebagai bukti
kesetaraan derajat suami dan
istri dalam rumah tangga.
Mereka juga mengapresiasi
inovasi ini, meskipun tentu saja
dalam sistem hukum lain hal itu
sudah biasa terjadi.
Pasal 38 s/d 41 UU Perkawinan
mengatur tata cara putusnya
perkawinan dan akibat-akibat
yang ditimbulkannya. Pada Pasal
38 dikatakan bahwa perkawinan
dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas keputusan
pengadilan. Kemudian pada
Pasal 39 ayat (1) dikatakan
bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
49
OPINI
Sekarang prinsip bahwa
perceraian harus dilakukan di
depan pengadilan ini tentu sudah
biasa dan diterima oleh
masyarakat, tetapi pada tahun
1 9 7 4 ke t i k a U U i t u b a r u
diberlakukan hal itu dianggap
baru dan bertentangan dengan
kitab-kitab fikih. Dalam kitabkitab fikih tentu kita mengetahui
bahwa perceraian dapat terjadi
di mana saja, bahkan dengan
kalimat yang eksplisit maupun
sindiran, atau diucapkan secara
sungguh-sungguh atau secara
kelakar.
Di Pakistan berdasarkan Muslim
Family Law Ordinance (MFLO)
tahun 1961 perceraian di luar
pengadilan masih dimungkinkan
terjadi tetapi belum mulai efektif
berlaku sampai tiga bulan
kemudian,
setelah
ia
melaporkannya kepada Kantor
yang berwenang. Sementara itu
suami yang mentalak istrinya itu
diwajibkan untuk sesegera
mungkin melaporkan pengucapan talaknya itu secara tertulis
kepada Kantor yang berwenang
itu untuk segara dibentuk Dewan
Arbitrase yang diketuai oleh
Petugas Negara dengan dua
anggota
masing-masing
50
mewakili keluarga suami dan
istri. Jika Dewan Arbitrase itu
gagal menjembatani perdamaian
antara pasangan suami istri itu
m a ka b a r u l a h d i p u t u s ka n
terjadinya perceraian. Apabila
suami yang telah mengucapkan
talak kepada isterinya itu tidak
melaporkan-nya kepada Kantor
yang berwenang maka ia
diancam dengan hukuman
penjara paling lama satu tahun
dan atau denda paling banyak
1000 Rupees.
Tentu saja Negara Muslim yang
paling awal memberlakukan
kewajiban talak dalam sidang
pegadilan itu ialah Tunisia.
Berdasarkan The Code of
Personal Status Tunisa tahun
1956 Pasal 30, tidak boleh lagi
ada perceraian yang terjadi di
luar pengadilan (extra judicial
divorce). Pengucapan talak di
depan pengadilan itupun baru
dapat dilakukan setelah
pengadilan
melakukan
pemeriksaan secara seksama
dan gagal mendamaikan
pasangan suami istri itu.
Lagi-lagi di Indonesia masalahnya ialah tidak adanya ancaman
sanksi. Kita melihat dalam
masyarakat banyak suami
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
mentalak isterinya di luar
pengadilan dan mereka tidak
mendapatkan
ancaman
hukuman apapun yang bersifat
hukuman badan atau denda.
10. Pasal 42 s/d 44 UU Perkawinan
mengatur tentang kedudukan
anak. Pada Pasal 42 UU itu
dikatakan bahwa anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Kemudian
pada Pasal 43 ayat (1) sebelum
diuji materi oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) berbunyi bahwa
anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Rumusan Pasal 43 ayat (1) ini
setelah diuji materi dan
diputuskan oleh MK bahwa
hubungan perdata itu bukan
hanya dengan ibunya dan
keluarga ibunya tetapi juga
dengan ayahnya dan keluarga
ayahnya yang hubungan
darahnya dapat dibuktikan
secara ilmu pengetahuan. Seperti
diketahui, Putusan MK ini telah
menimbulkan kontoversi dalam
masyarakat, termasuk Majlis
Ulama Indonesia (MUI)
mempersoalkannya.
OPINI
Rumusan awal Pasal 43 ayat (1)
itu memang sesuai dengan
hukum Islam, tetapi tambahan
rumusan dari MK itu terasa
sedikit asing bagi sebagian besar
telinga Indonesia. Masalahnya
ialah seolah-olah MK menafikan
arti penting dan arti legal dari
lembaga perkawinan yang
merupakan hasil peradaban
manusia ribuan tahun itu. Dalam
hal ini diklaim bahwa Putusan
MK itulah yang sesuai dengan
Hak Azazi Manusia (HAM),
sehingga di sini seolah-olah MK
sedang menggunakan norma
hukum yang berbeda dari norma
yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia dan
norma itu diklaim berasal dari
norma hukum internasional.
Sesungguhnya MK juga mungkin
tidaklah bermaksud mengatakan
bahwa lembaga perkawinan itu
tidak perlu, karena sikap seperti
itu tentu seperti menafikan
peradaban manusia yang luhur
itu. Mungkin masalah ini tidak
perlu
menjadi
bahan
kontroversi, apabila secara tegas
dijelaskan bahwa yang dimaksud
MK dengan tambahan rumusannya (extra petitum) itu ialah
dalam hal-hal pengecualian
ketika sang ayah tidak diketahui
dengan jelas, tetapi bukan
sebagai norma pokok atau norma
umum. Adapun norma umumnya
tetap yaitu bahwa anak yang sah
ialah anak yang dilahirkan dari
hasil perkawinan yang sah. Itulah
sebabnya sampai hari ini, setelah
Putusan MK itu pun, jutaan
manusia Indonesia masih tetap
saja melakukan perkawinan
setiap tahunnya. Secara
peradaban mereka tidak merasa
cukup kalau hanya datang ke
laboratorium mengujikan DNA
anak mereka, meskipun tentu itu
lebih murah biayanya. Mereka
ingin tetap berpegang kepada
norma pokok yang berlandaskan
pada peradaban yang mulia
sebagai manusia, bukan norma
pengecualian.
Dalam pengaturan ke depan,
mungkin pembedaan antara
norma pokok dan norma
pengecualian itu
perlu
ditegaskan agar masyarakat
merasa nyaman dengan norma
yang dianutnya dan MK tidak
dinilai membuat putusan bukan
berdasarkan norma masyarakatnya.
11. Pasal 50 s/d 54 UU Perkawinan
mengatur tentang perwalian.
Diantara pasal-pasal penting
dalam hal ini ialah Pasal 50 ayat
(1), Pasal 53 ayat (1) dan Pasal
54. Adapun Pasal 50 ayat (1)
menyebutkan bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan
orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali . Kemudian Pasal
53 ayat (1) mengatakan bahwa
wali dapat dicabut kekuasaannya, jika ia sangat melalaikan
kewajibannya dan berkelakuan
buruk sekali sebagaimana
disebut pada Pasal 49. Terakhir
pada ayat 54 dikatakan bahwa
wali yang telah menyebabkan
kerugian kepada harta benda
anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga anak tersebut dengan
keputusan Pengadilan, yang
bersangkutan dapat diwajibkan
untuk mengganti kerugian
tersebut. Pengaturan ini tentu
sudah memadai, tetapi kalau
dicermati lagi sesungguh-nya
sanksi itu mungkin terlalu ringan
karena perbuatan buruknya itu
sudah terjadi sehingga perlu
diberi sanksi lain selain
mengembali-kan harta itu. Selain
itu soal pemeliharaan agama
anak juga belum diatur secara
lebih rinci, kecuali pada Pasal 51
ayat (3) yang secara umum hanya
mengatakan bahwa wali wajib
mengurus anak yang di bawah
p e n g u a s a a n nya d a n h a r t a
bendanya
sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan
kepercayaan anak itu. Di Tunisia
misalnya, pengaturan tentang hal
ini lebih rinci sifatnya.
Dikatakan pada Pasal 59 UU
Status Pribadi Tunisia bahwa hak
pengasuhan anak oleh ibu yang
menganut agama yang berbeda
dengan agama anak (baca: agama
ayah anak) maka si ibu hanya
boleh mengasuh anak itu sampai
usia lima tahun. Jika hak asuh
anak oleh ibu saja di batasi,
tentulah hak pemeliharaan anak
oleh wali perlu diperketat lagi
aturannya. Dalam UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal-hal seperti ini
sesungguhnya telah diatur
den gan lebih rinci ketika
mengatur soal pengangkatan
anak.
12. Pasal 57 s/d 62 UU Perkawinan
mengatur tentang perkawinan
campuran. Dalam Pasal 57
dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan campuran
dalam UU itu ialah perkawinan
antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum
yang
berlainan,
karena
perbedaan kewarganegaraan
dan salah satunya berkewarganegaraan asing dan satunya lagi
berkewarga-negaraan Indonesia.
Pada Pasal 60 ayat (1) dikatakan
bahwa perkawinan campuran
tidak dapat dilangsungkan
sebelum terbukti bahwa syaratsyarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masingmasing
telah
dipenuhi.
Kemudian berbeda dengan
pengaturan pada pasal-pasal
lainnya, Pasal 61 ayat (2) dan (3)
mengatur ancaman sanksi.
Dikatakan bahwa barangsiapa
melakukan
perkawinan
campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai
pencatat yang berwenang surat
keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang
ditentukan oleh UU itu maka ia
diancam dengan hukuman
kurungan selama-lamanya satu
bulan.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
51
OPINI
Kemudian dikatakan juga bahwa
pegawai pencatat perkawinan
yang mencatat perkawinan
sedangkan ia mengetahui bahwa
keterangan atau keputusan
pengganti keterangan tidak ada
maka ia diancam dengan
hukuman kurungan selamalamanya tiga bulan dan dihukum
jabatan. Ini lah satu-satunya
tempat (Pasal 61 ayat 2 dan 3) di
m a n a U U Pe r k a w i n a n i n i
menyebut tentang ancaman
hukuman bagi pelanggarnya.
UU Perkawinan juga mengatur
tentang warganegara Indonesia
yang
melangsungkan
perkawinan di luar negeri. Pada
Pasal 56 ayat (1) dan (2)
dikatakan bahwa perkawinan
yang dilangsungkan di luar
Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia
dengan seorng warganegara
asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang
berlaku di Negara di mana
perkawinan itu dilangsungkan,
dan bagi warganegara Indonesia
tidak melanggar ketentuanketentuan UU ini. Dalam waktu
satu tahun setelah suami istri itu
kembali di wilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal tinggal mereka. Tidak
diatur bagaimana ancaman
hukumannya bila batas waktu
satu tahun untuk pendaftaran
perkawinan mereka di Indonesia
itu tidak dipenuhi.
Di Brunei Darusslam, berdasarkan UU Hukum Keluarga Brunei
tahun 2000 Pasal 33 dikatakan
bahwa warganegara Brunei yang
melangsungkan akad nikah di
luar negeri dan tidak
melaporkannya kepada Kantor
yang berwenang dalam enam
bulan kepulangannya yang
pertama ke Brunei, diancam
dengan hukuman denda 1000
52
Ringgit dan atau penjara paling
lama tiga bulan. Kemudian pada
Pasal 34 dikatakan secara lebih
umum bahwa Petugas Pencatat
Perkawinan (Jurunikah) yang
menikahkan atau mencatat
perkawinan pasangan yang
belum melengkapi dokumendokumen parsyaratannya atau
menikahkan orang dari luar
distriknya (wilayahnya) tanpa
ada surat pengantar dari Petugas
Pencatat Perkawinan dari distrik
lainnya itu maka ia diancam
dengan hukuman denda 1000
Ringgit dan atau penjara paling
lama tiga bulan untuk kesalahan
kali pertama dan denda 2000
Ringgit dan atau enam bulan
penjara untuk kesalahan kali
kedua.
SKENARIO PEMBARUAN
Dari uraian di atas nampak
bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan itu memiliki sejumlah
ruang yang masih dapat disempurnakan dari segi isinya atau substansi
hukumnya. Selain itu nampak juga,
bahkan lebih jelas lagi, mengenai
perlunya pencantuman sejumlah
ancaman hukuman bagi pelanggaran
atas berbagai aturan yang dituangkan
dalam UU itu. Jika dilihat dari segi
prioritasnya, nampaknya penyempurnaan substansi pengaturan itu
dapat ditunda atau diminimalisir
karena substansi yang ada relative
masih
memadai,
tetapi
penyempurnaan dalam bentuk
pencantuman ancaman sanksi atas
berbagai pelanggarannya mungkin
sudah sangat mendesak untuk
menjaga agar masyarakat tidak
menjadi anarkis dalam kehidupan
perkawinan.
Atas dasar pikiran di atas,
sedikitnya dapat disusun tiga scenario
pembaruan hukum perkawinan di
Indonesia dalam waktu dekat, yaitu:
a. Penyempurnaan dilakukan baik
terhadap substansi hukumnya
maupun penambahan pencantuman sanksi bagi pelanggarnya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Skenario ini mungkin akan
mendapat reaksi kuat dari sebagian
masyarakat, karena dua alasan:
pertama, kekhawatiran substansi
UU Perkawinan akan berubah
mengikuti versi pendapat kaum
liberal dan sekuler sehingga
semakin menjauh dari hukum
Islam; dan kedua, kekhawatiran
menyalahi hukum Islam karena
menerapkan sanksi kurungan
badan dan denda untuk
pelanggaran masalah-masalah
perkawinan yang dianggapnya
sebagai soal agama murni bahkan
juga bersifat ubudiyah.
b. Pengaturan substansi dibiarkan
s e b a g a i m a n a a d a nya u n t u k
menghindari resistensi yang terlalu
keras, tetapi penyempurnaan
difokuskan pada penambahan dan
pencantuman ancaman sanksi atas
pelanggaran terhadap berbagai
pengaturan yang ada dalam UU itu.
Skenario ini, meskipun masih tetap
akan mendapatkan resistensi dari
sebagian masyarakat , tetapi
mungkin akhirnya akan dapat
diterima masyarakat setelah
melihat fakta bahwa Negara
Muslim lain pun telah melakukannya demi menjaga ketertiban
masyarakat.
c. Pe nye m p u r n a a n
substansi
dilakukan seminimal mungkin dan
terhadap beberapa pasal saja
seperti batas usia minimal kawin,
sedangkan focus pembaruan
diletakkan pada penambahan
ancaman sanksi atas pelanggaran
terhadap berbagai pengaturan
yang ada di dalamnya. Skenario ini
pun masih akan mendapatkan
resistensi, tetapi mungkin lebih
kecil sifatnya sehingga masih dapat
dikendalikan.
PENUTUP
Demikian beberapa hal yang
dapat disampaikan dalam kesempatan
ini, sekedar sebagai bahan pengantar
diskusi. Semoga ada manfaatnya dan
terima kasih atas segala perhatiannya.
WAWANCARA KHUSUS
Drs. H. Wahyu Widiana, M.A.
“Passion,
itu Nomor Satu
yang Harus
Dijaga”
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
53
WAWANCARA KHUSUS
J
ika melihat sejarah Peradilan
Agama
sejak
zaman
kemerdekaan, Wahyu Widiana
adalah orang yang paling lama
menempati posisi sebagai sosok
nomor wahid di Badan Peradilan
Agama. Dua belas tahun ia
menggawangi Badan Peradilan Islam
ini, terhitung sejak Mei 2000 sampai
dengan September 2012.
Banyak kalangan menilai
lamanya masa kepemimpinan Pak
Wahyu, panggilan akrabnya, justru
menguntungkan lembaga Peradilan
Agama. Dalam buku 'Courting Reform;
Indonesia's Islamic Courts and justice
for the poor' (2010), Cate Sumner dan
Tim Lindsey menyebut “The Religious
Courts have also benefited from having
the one Director-General for the last ten
years, a person who is trained in
management at a postgraduate level...”
Nama Wahyu Widiana begitu
melekat dengan Peradilan Agama.
Waktu masih menjadi Dirjen --bahkan
sampai sekarang-- ada yang
menjulukinya sebagai Dirjen IT, Bapak
IT Peradilan Agama, dan ada juga yang
memberikan gelar Bapak Reformasi
Peradilan Agama. Wakil Ketua PTA
Jakarta, Dr. H. Edi Riadi, S.H., M.H.,
dalam Buku 'Wahyu Widiana; Bekerja
Tiada Henti Membangun Peradilan
Agama' bahkan menobatkan Pak
Wahyu sebagai “the best leader in the
Supreme Court of Indonesia because he
can manage the time speed and the time
zone”.
Bagaimana sepak terjang Pak
Wahyu paska mengakhiri tugas
sebagai Dirjen Badilag pada
September 2012? Bagaimana ia
melihat perkembangan Peradilan
Agama selama tiga tahun terakhir?
Apa saja harapannya terhadap warga
PA? Berikut petikan wawancara
redaktur Majalah Peradilan Agama
dengan alumnus Michigan University
Amerika ini medio September 2015
lalu.
Apa kegiatan Bapak sekarang paska
pensiun dari Badilag tahun 2012
lalu?
54
Setelah saya pensiun dari
peradilan agama atau katakanlah
tepatnya setelah selesai menjalankan
tugas sebagai Dirjen Badilag pada
bulan September 2012, saya langsung
mengajar di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta. Sebab kawankawan di FSH seperti Prof. Amin Suma
dan kawan-kawan lainnya sangat
membantu dan juga kawan-kawan di
Badilag, sehingga terbitlah surat
keputusan dari BKN bahwa saya
mengajar. Jadi saya belum pensiun dari
PNS, langsung pindah menjadi dosen
di FSH UIN Jakarta.
Tapi alhamdulillah juga, berkat
kerja keras kawan-kawan di Badilag
dan PA se Indonesia, dimana PA dinilai
banyak keberhasilannya, maka begitu
saya pensiun bulan September 2012,
saya juga Oktober nya itu tanda tangan
kontrak dengan AIPJ, Australia
Indonesia Partnership for Justice. Dan
saya ditunjuk sebagai Adviser.
Jadi, tugas saya ngajar, sehari
atau dua hari dalam seminggu. Tapi
banyak juga kegiatan-kegiatan di AIPJ.
Dan juga ditambah lagi sejak Agustus
2014, saya juga dipilih sebagai Ketua
Umum BP4 Pusat yang berlaku sejak
2014 sampai 2019.
Jadi alhamdulillah kesibukan
setelah selesai tugas di Badilag banyak
sekali. Ya ngajar, kegiatan di AIPJ,
kemudian juga di BP4. Kalau di AIPJ
tuh saya sering kali ke luar kota atau
bahkan ke luar negeri. Kalau di dalam
negeri
ini
biasanya
saya
mengembangkan tentang pelayanan
terpadu, isbat nikah, pencatatan nikah
dan pencatatan kelahiran.
Mata kuliah apa yang Bapak asuh di
UIN Jakarta? Bagaimana kesan
Bapak selama ini mengajar
(menjadi Dosen) dibandingkan
dengan
waktu
mengurus
manajemen Peradilan Agama?
Di FSH UIN saya mengajar Ilmu
Falak. Jadi di SK itu saya sebagai Dosen
Ilmu Falak. Tetapi di semester lalu saya
juga mengajar masalah Peradilan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Islam, Ilmu Waris, dan Manajemen
BP4. Nah, saya menikmati sekali
mengajar ini. Jadi kita bisa belajar lagi.
Tapi kalau dibandingkan dengan
waktu memenej atau menjadi Dirjen,
ya ada perbedaannya.
Selama ini saya menikmati apa
yang saya lakukan, baik sebagai dosen.
Juga waktu mengelola peradilan saya
juga
bisa
mengembangkan
kepemimpinan. Satu hal yang saya
senang baik ngajar maupun di Badilag
itu sikap kawan-kawan ini. Terutama
di Badilag. Sangat solid, saling
mendukung. Sehingga dapat
dikatakan kita berhasil. Keberhasilan
semua. Termasuk di FSH ini.
Bapak juga terpilih menjadi Ketua
BP4 Pusat. Bagaimana proses
terpilihnya Bapak menjadi Ketua?
Mengenai BP4, itu saya juga
enggak tau mengapa kawan-kawan di
BP4 Pusat dan Daerah pada Munas
Agustus 2014 itu kok milih saya
sebagai Ketua Umum. Jadi pada
tanggal 14-16 Agustus 2014 ada
Munas BP4 di Jakarta memilih
kepengurusan untuk periode 20142019.
Dulu periode 2009-2014 itu Pak
Taufik yang jadi Ketua Umumnya, Pak
Taufik mantan Wakil Ketua MA. Tetapi
ketua-ketuanya banyak profesorprofesor dan tokoh-tokoh tingkat
nasional. Tapi setelah periode beliaubeliau selesai, diadakan lagi Munas
saya diminta jadi Ketua Umum. Saya
sebetulnya ya menolak, orang selama
ini saya selama ini tidak terjun
langsung di BP4. Hanya terus terang
waktu saya jadi Dirjen hubungan
dengan BP4 Pusat itu baik sekali.
Walaupun kita tidak langsung sebagai
Pengurus Harian, Dirjen itu ex officio
waktu itu semacam pembinannya lah.
Saya banyak aktif juga dalam munasmunas BP4 atau rapat koordinasi
bidang urusan se-Indonesia, itu saya
beberapa kali diminta untuk berikan
presentasi terutama keterkaitan kerja
antara BP4 dan peradilan agama.
WAWANCARA KHUSUS
Nah , jadi saya dipilih itu mulamula berdasarkan voting ada 5 orang
jadi formatur. Waktu itu Pak Taufik
sakit. Tapi di situ ada Pak Tulus, Pak
Mubarok, Prof. Nurhayati Djamas, ada
Ibu Zubaidah Muhtar. Nah kemudian
kelima formatur ini musyawarah dan
secara aklamasi meminta saya untuk
jadi Ketua Umum. Saya karena
didukung semuanya, ya saya bismillah
saja. Walaupun kalau bisa jangan saya,
saya bilang. Saya kan dibandingkan
dengan beliau-beliau itu paling muda
juga. Enggak tau kenapa beliau-beliau
meminta saya, akhirnya saya terima.
Apa posisi dan tugas Bapak di AIPJ?
Kalau di AIPJ, di kontrak itu saya
ditunjuk sebagai Senior Adviser di
Program Legal Identity, Identitas
Hukum yang tugas saya sesuai dengan
jabatannya sebagai pemberi masukan
terhadap kawan-kawan yang
melaksanakan kegiatan di AIPJ ini
dalam program Legal Identity ini. Pada
dasarnya
bertujuan
untuk
meningkatkan kepemilikan hak bagi
masyarakat Indonesia, baik hak dalam
mendapatkan identitas hukum atau
hak untuk mendapatkan informasi
hukum, hak untuk mendapatkan data
tentang hukum. Jadi yang sedang dan
sudah saya kembangkan sejak saya
masuk itu adanya Pelayanan Terpadu.
J a d i , s e ka ra n g i n i ka n d i
Indonesia banyak sekali anak-anak
Indonesia yang tidak punya Akta
Kelahiran, orang tuanya tidak punya
Buku Nikah. Saya mengembangkan
Pelayanan Terpadu. Seperti yang
diketahui Pelayanan Terpadu ini
memberikan pelayanan bagi para
orang tua yang tidak punya buku
nikah, diisbatkan dulu oleh pengadilan
agama. Berdasarkan penetapan PA itu
d i b awa ke p e gawa i KUA , l a l u
dikeluarkan Buku Nikahnya.
Berdasarkan Buku Nikah itu dan
syarat-syarat lainnya, anak-anak yang
lahir dan belum tercatat kelahirannya
pada saat itu juga dicatatkan di Dinas
Catatan Sipil. Jadi dengan pelayanan
terpadu masyarakat itu sangat
terbantu. Sebab yang tadinya harus
datang ke PA dulu, datang lagi ke KUA
terus datang lagi ke Dinas Dukcapil
untuk
mendapatkan
akta
kelahirannya. Dengan pelayanan
terpadu, mereka cukup datang di satu
tempat dan satu hari bisa
mendapatkan Penetapan Isbat Nikah,
Buku Nikah dan Akta Kelahiran.
Nah, tugas saya, disamping
memberikan
masukan
dan
pertimbangan pada program ini juga
mendekati, melakukan advokasi
dengan pimpinan MA, Badilag atau
Badilum. Sebab ini tidak hanya di PA
tapi juga di PN untuk pencatatan nikah
bagi Non Muslim. Dan juga mendekati
Kementerian Agama dan juga bersama
PUSKAPA UI mendekati Kementerian
Dalam Negeri. Kita juga mendekati
pimpinan-pimpinan di Bappenas. Jadi
alhamdulillah setelah 2012 untuk
pelayanan terpadu ini sudah keluar
SEMA dan PERMA atau MoU antara
Badilag Badilum atau ada juga SE
Dirjen BIMAS Islam.
Sejauh mana AIPJ dan pengadilan
Australia membantu programprogram di Peradilan Agama?
AIPJ dan pengadilan di Australi
terutama Family Court atau FCoA itu
sekarang semakin intens kerja
samanya dengan peradilan agama.
Dan peradilan agama sangat terbantu
terutama dalam mengembangkan
program Justice for the Poor yang
menjadi salah satu trademark dari
peradilan agama. Saya merasa bahwa
banyak pihak dari luar negeri,
lembaga-lembaga di luar negeri,
tokoh-tokoh di luar negeri bahkan PBB
juga pernah menulis dalam
laporannya melalui UN Women itu
termasuk institusi di dalam negeri
yang memberi apresiasi kepada
peradilan agama itu salah satunya
ka re n a
p e ra d i l a n
a ga m a
mengembangkan program Justice for
the Poor yang tegasnya adalah
mengembangkan sidang keliling,
pembebasan biaya perkara dan juga
pos bantuan hukum.
Nah, program ini dengan adanya
AIPJ semakin terbantu lagi. Jadi
misalnya ada 20 kabupaten yang jadi
pilot project AIPJ sudah barang tentu
kerja samanya dengan peradilan
agama, KUA dan Dukcapil. Itu
terbantunya peradilan agama tentang
program ini.
AIPJ ini juga mengajak FCoA
untuk kerja sama. Jadi FCoA juga
memberikan masukan-masukan
bahkan mengadakan beberapa kali
pelatihan baik di Australi maupun di
sini. Baik kaitannya dengan bantuan
hukum, meja informasi atau sekarang
e-learning meja informasi atau
mediasi. Semua ini karena kerja sama
yang baik antara MA dalam hal ini
peradilan agama dengan FCoA yang
difasilitasi AIPJ.
Jadi peradilan agama terus
terang aja sekarang terbantu. Tapi
pada dasarnya kita jangan
mengharapkan dari AIPJ terus, tapi
harus Peradilan Agama yang harus
mengembangkan dirinya sendiri.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
55
WAWANCARA KHUSUS
Makanya saya prihatin kalau ada
beberapa PA yang acuh terhadap
pelayanan terhadap orang miskin baik
masalah pembebasan biaya perkara,
sidang keliling, posbakum atau
misalnya SEMA 3/2014 yang sudah
diganti PERMA 1/2015 yang mungkin
masih
b a nya k
ya n g
tidak
menggunakan panggilan kolektif
untuk pelayanan terpadu. Disamping
itu saya senang sekali karena pada
umumnya kawan-kawan di peradilan
agama
sangat
mendukung
keberhasilan program Justice for the
Poor.
Jadi kerja sama court to court
yang difasilitasi AIPJ itu lebih
berkembang lagi. Tapi tetap pada
dasarnya tergantung peradilan
agamanya karena bisa jadi besok lusa
AIPJ tidak ada lagi.
Bagaimana Bapak melihat kerja
sama court to court itu ke depan?
Kemudian saya melihat kerja
sama court to court antara PA dan
Family Court ini perlu kita lanjutkan
kalau menurut saya. Jadi tidak
tergantung kepada anggaran dari
mereka. Toh selama ini kan juga
anggaran dari kita, Australi ya dari
mereka. Banyak kegiatan justru dari
kita, seperti sidang keliling dan
posbakum.
Ke depan ini perlu dipertahankan kerja sama pengadilan kita dengan
Family Court itu. Sebab kita tahu FCoA
ini pengadilan yang terkemuka di
Australi. Bahkan mantan CEO-nya,
pemimpin manajemen FCoA sekarang
jadi Presiden IACA, International
Association for Court Administration.
Jadi kita akan ikut pergaulan dunia
peradilan Internasional.
Jadi simpulnya, memang kerja
sama court to court ini penting sekali,
jangan dilepaskan. Saya mohon juga
kawan-kawan di Badilag, terutama
Pak Dirjen dan Pak Dirjen bagus sekali
perhatiannya itu, supaya terus
menjalin kerja sama. Dan banyak
untungnya kerja sama dengan luar
negeri itu. Seperti dengan Timur
Tengah juga kan demikian bagusnya
56
seperti dengan Jami'ah Al Imam
Riyadh, Mesir dan Sudan.
Bagaimana Bapak melihat
perkembangan Peradilan Agama
dan Badilag dalam 3 (tiga) tahun
terakhir ini?
Saya melihat PA sekarang bagus
lah. Jadi, hmm masih seperti dulu,
kawan-kawan banyak yang semangat
dalam berbagai macam bidang
pelayanan masyarakat. Memang tiap
pimpinan baik di pusat maupun di
daerah kan punya gayanya masingmasing. Termasuk Dirjennya, mohon
maaf seperti saya mungkin gayanya
beda dengan Pak Purwo dan Pak
Manaf. Ada kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Saya melihat PA ini sekarang
bagus lah, jadi masih seperti dulu,
tentang pengembangan IT, tentang
justice for the poor, tentang integritas.
Hanya yang perlu dibenahi barangkali
perlu dijaga semangat itu, semangat
kita, passion dari kawan-kawan di
daerah ini agar mereka tetap semangat
dalam melaksanakan pelayanan dan
inovasinya. Dan saya melihat inovasi
oleh kawan-kawan di daerah ini
banyak sekali dilakukan. Tinggal kita
memberi apresiasi kepada mereka,
memberi penghargaan, memberi
semangat. Dengan demikian maka kita
akan terus maju.
Saya senang melihat Pak Purwo,
Pak Abdul Manaf banyak inovasiinovasi. Misalnya ceramah atau kuliah
hukum acara yang divideokan dan
disimpan di website. Kemudian
kunjungan-kunjungan Pak Dirjen
sekarang ke daerah incognito,
kunjungan yang mendadak itu. Itu
bagus sekali. Mudah-mudahan ini
ditangkap oleh kawan-kawan di
d a e ra h s e b a ga i b e n t u k u n t u k
meningkatkan kualitas.
Menurut Bapak, apa saja yang perlu
ditingkatkan oleh Peradilan Agama
dan SDM nya ke depan?
Banyak dari sejak dulu.
Termasuk sejak saya. Pertama,
integritas. Saya mengharapkan betul
integritas ini terus dijaga. Jangan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
sampai ada hakim atau pegawai kita
yang kena Majelis Kehormatan Hakim
disidang lalu ditindak atau oleh Bawas.
Saya prihatin sekali lah. Kita saling
mengingatkan itu.
Kemudian, soliditas. Jangan kita
sendiri-sendiri baik di pusat maupun
di daerah. Kita harus solid, lakukan
koordinasi, saling mengingatkan,
sharing informasi antara kita baik di
pusat maupun daerah. Itu sangat
penting sekali dilakukan di berbagai
kesempatan. Sebab bukan saja untuk
memberi informasi tapi justru untuk
memotivasi kegiatan-kegiatan itu
sendiri.
Kemudian, semangat itu, passion
itu. Saya paling senang sekali kalau
kawan-kawan semangatnya kuat.
Kalau dulu ada Siadpa plus, ada apa
namanya kelompok-kelompok forum
pembaca badilag, pendekar siadpa. Di
tiap daerah ada kelompok untuk
pengaman Siadpa, Simpeg dan
macam-macam ya. Itu bagus sekali.
Dan kita dari Jakarta ini harus selalu
apresiasi. Saya senang sekali. Sering
kali saya malam-malam buka dan
mengikuti diskusi mereka. Ini
membuat mereka termotivasi dan
semangatnya makin tinggi.
Saya melihat juga apa yang
dilakukan Pak Purwo dan Pak Manaf
ini dalam memberikan apresiasi
kawan-kawan bawahannya dan di
daerah sangat bagus. Dan ini bukan
hanya oleh Pak Dirjen-nya saja dan Pak
Direktur atau Pak Sekditjen. Tapi juga
oleh semua pejabat di Badilag ini
untuk memberikan apresiasi kepada
kawan-kawan di daerah.
Passion ini nomor satu.
Kebanggaan. Jadi kita ini bangga. Kita
harus meningkatkan kebanggaan
kepada lembaga kita. Saya yakin
sekarang masih ada. Dulu itu kan,
“Badilag Yess”, “Badilag is always one
step ahead”, “I love Badilag”, Itu katakata seperti itu “Bravo Badilag”, “Aku
bangga jadi warga Badilag”, itu perlu
dijaga. Dengan memberi apresisasi,
m e n g o n t ro l
m e re k a
dan
mengembangkan, memberi reward
kepada mereka.
WAWANCARA KHUSUS
Apa saja yang menurut Bapak
kurang terperhatikan di Peradilan
Agama selama ini?
Misalnya, selama ini mohon
maaf, terus terang aja karena selama 3
tahun ini saya sering baca website dan
Majalah Peradilan Agama. Itu sangat
bagus inovasi-inovasi di peradilan
agama setelah saya selesai menjadi
Dirjen. Ada Majalah yg dulu belum ada,
ada website yang diperbaiki, ada
putusan
pengadilan
yang
dipublikasikan, ada inovasi-inovasi
lainnya. Itu bagus sekali.
Kita perlu menjaga dan
meningkatkan, misalnya masalah IT.
Itu sekarang sudah bukan suatu hal
yang hebat. Kalau dulu awal-awal saya
kerja di Badilag 2005-2006 memang
begitu ada website, ada Simpeg itu kan
hal yang hebat karena di yang lain
belum ada. Sekarang kan sudah ada di
mana-mana. Jadi paling kita tinggal
konsistensinya ini.
Adakah harapan Bapak yang belum
terpenuhi sampai sekarang di
Peradilan Agama?
M u d a h - m u d a h a n s e ka ra n g
sudah dilaksanakan atau malah lebih
bagus lagi. Dulu saya punya keinginan
dan belum bisa dilaksanakan, baru
mulai ngeprak-ngeprak, baru mulai
motivasi. Yaitu menjadikan PTA,
hakim-hakimnya terutama sebagai
kawal depan MA. Jadi dulu itu ingin
sekali PTA itu betul-betul menjadi
pembina di pengadilan agama daerah
masing-masing masing-masing.
Karena tidak mungkin PA yang hampir
360 ini dibina oleh Badilag. Justru PTA
ini yang harus menjadi kawal depan
MA.
Apa pesan dan harapan Bapak
untuk warga Peradilan Agama ke
depan?
Harapan saya tadi itu lah. Saya
mengharapkan kawan-kawan ini tetap
solid, tingkatkan kualitas, jaga
integritas. Kemudian terus menerus
melakukan tukar menukar informasi,
lakukan koordinasi di masing-masing
unit kerja baik kesamping, ke bawah
dan ke atas. Kemudian juga kerja sama
dengan instansi lain baik di dalam
negeri maupun luar negeri itu perlu
terus dikembangkan.
Kita memang pasif pengadilan
itu kan tidak boleh mencari perkara.
Te t a p i
koordinasi
dalam
melaksanakan tugas itu kalau saya
menjadi suatu keharusan. Sebab tugas
kita tidak hanya bisa dilakukan oleh
kita tanpa bantuan orang lain.
Harapan saya juga kerja samakerja sama dengan luar negeri perlu
terus dijaga, baik dengan negerinegeri yang berbahasa Inggris
maupun berbahasa Arab. Atau dengan
yang di ASEAN ini lah.
Bagaimana Bapak mengisi waktu
luang?
Saya sekarang walaupun sibuk
ngajar, di AIPJ, di BP4, tetapi ya tidak
sesibuk waktu di badilag. Dalam arti
waktu di Badilag tiap hari ke kantor.
Kalau sekarang sekalipun sibuk tapi
tidak tiap hari ke kantor. Dengan AIPJ
sering kali keluar daerah, sering kali
rapat tetap di luar itu kita bisa kerja di
rumah melalui Skype atau melalui
email. Juga di BP4 saya tidak tiap hari,
paling seminggu sekali.
Sabtu Minggu saya paling senang
mengisi waktu dengan keluarga.
Makan-makan di tempat makan
sederhana, yang santai. Atau kalau
anak-anak libur saya senang camping
ke gunung atau di pinggir laut
Pangandaran. Yang murah meriah
tidak yang mahal-mahal.
Apa kegiatan favorit Bapak?
Apa ya? paling jalan-jalan, jajanjajan di tukang bubur, tapi dengan
keluarga dengan anak dengan cucu. Itu
saja.
Ada hal lain yang ingin Bapak
sampaikan?
Bahwa PA ini sangat punya
potensi akan SDM yang bagus dalam
berbahasa asing baik Bahasa Arab
maupun Bahasa Inggris. Sebab banyak
sekali kawan-kawan kita ini tamatan
Gontor, pesantren-pesantren yang
baik Bahasa Arab dan Bahasa
Inggrisnya bagus. Hanya tinggal kita
bagaimana menggali potensi mereka
dan juga menghimpun, mengkoordinir
potensi itu menjadi kekuatan yang
kuat sehingga bisa dimanfaatkan
untuk institusi baik untuk Badilag
maupun peradilan agama secara
keseluruhan.
Ya seperti kita telah melakukan
EMC, English Meeting Club atau MLA,
Multaqal Lughatul Arabiyyah gitu kan.
Dari situ kan keliatan muncul kawankawan yang semula kita tidak tahu
menjadi kita ketahui bagus Bahasa
Arab Bahasa Inggrisnya. Sehingga kita
manfaatkan untuk menjalin kerja
sama baik dengan negara-negara
Timur dan Barat. Jadi kan kita dengan
Saudi Arabia, Sudan, Mesir sekarang
kan bagus dan besar manfaatnya
untuk pengembangan SDM di
peradilan agama. Juga dengan negaranegara Barat kan.
Potensi seperti ini perlu terus
digali, dihimpun dan dimanfaatkan.
Juga potensi-potensi lainnya di bidang
IT. Sekarang saya dengar banyak juga
kawan-kawan di PA yang mengajukan
i n ova s i - i n ova s i
ya n g
untuk
perlombaan itu (Perlombaan Inovasi
Pelayanan Publik Peradilan 2015, red).
itu menggambarkan kawan-kawan di
PA ini memang potensial untuk
melakukan inovasi atau hal yang
sangat positif untuk mengembangkan
institusinya masing-masing. Ini perlu
terus kita gali, kita himpun, dan kita
manfaatkan. Sehingga potensi yang
besar ini sangat bermanfaat untuk
institusi dan untuk SDM di Institusi
kita tercinta ini.
Te r i m a
kasih
sudah
mewawancarai saya. Mudah-mudahan
membawa manfaat untuk kawankawan. Terima kasih.
|Achmad Cholil|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
57
TOKOH KITA
PEDAGANG ASONGAN
JADI HAKIM AGUNG
Dari Palembang ke Jakarta, perjalanan hidupnya
penuh suka-duka. Bukan sekadar hakim, ia juga dosen
dan dai.
Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H.
[Hakim Agung Mahkamah Agung RI]
58
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
TOKOH KITA
R
ona wajahnya cerah. Tawanya
kerap berderai. Gerak badannya
terasa enteng, meskipun
kakinya tidak selincah dulu. Begitulah
kondisi Mukhtar Zamzami saat ini.
Beberapa bulan lalu, dalam sebuah
acara yang diselenggarakan di Gedung
Sekretariat Mahkamah Agung, ia
muncul dengan kursi roda. Ia tak kuasa
berjalan normal, akibat penyakit
stroke yang menyerangnya.
“Saya dulu istirahat tidak teratur.
Kalau ada sesuatu yang mengganjal di
pikiran, biasanya saya akan membaca
sampai larut malam, bahkan sampai
pagi. Kata dokter, itulah yang membuat
saya kena stroke. Alhamdulillah,
sekarang semakin membaik,” kata
salah satu hakim agung pada Kamar
Agama MA itu, di ruang kerjanya.
Pada Agustus 2015 kemarin,
genap delapan tahun Mukhtar
Zamzami jadi hakim agung. Ia
seangkatan dengan Prof. Dr. H. Hatta
Ali, S.H., M.H. yang kini jadi Ketua MA.
Itu adalah angkatan pertama hasil
seleksi Komisi Yudisial.
Perjalanan Mukhtar hingga kemudian
berhasil jadi hakim agung adalah
perjalanan “sengsara membawa
nikmat”. Siapa sangka, anak sulung
dari tujuh bersaudara ini bisa
mengabdikan diri di MA dengan posisi
mulia untuk menentukan nasib orangorang yang berperkara di tingkat
kasasi dan PK.
Lahir di Palembang pada 11
September 1948, Mukhtar berasal dari
keluarga lapis bawah. Ayahnya adalah
seorang tukang yang sehari-hari
menyusun bata. Ibunya tidak
mengenyam bangku sekolah, tapi bisa
menulis Arab-Melayu. Dari ibunya-lah,
Mukhtar kecil mengenal aksara dan
mahir mengaji.
Ketika berusia 10-an tahun, saat
duduk di kelas IV Madrasah Ibtidaiyah,
Mukhtar mulai tidak betah hanya
bersekolah. Ingin punya uang sendiri
agar bisa meringangkan beban orang
tua sekaligus supaya bisa beli buku,
Mukhtar berdagang kecil-kecilan.
“Pagi-pagi, saya jualan kue. Pukul 7
selesai, langsung mandi dan lari-lari ke
sekolah,” ia mengenang.
Meski berjualan kue secara
asongan, Mukhtar tak mengenal kata
“
gengsi atau malu. Ia menjalaninya
dengan riang gembira. “Waktu itu,
sekampung, saya lah anak yang
mengantungi uang. Saya bisa beli
buku. Sejak kecil saya memang tergilagila pada buku,” tuturnya.
Selain dibelikan buku, sebagian
hasil jerih payahnya itu ia sisihkan
untuk berlangganan majalah Si
Kuncung dan Putera-Puteri. “Dari situ
saya mengenal dunia luas. Tahu
kemajuan indonesia dan luar negeri.
Lalau tertanam cita-cita ingin sekolah
lebih tinggi dari MI,” tuturnya.
Saat belajar di Madrasah
Tsanawiyah, jiwa dagangnya kian
tumbuh. Membawa kotak yang diikat
dengan tali di bagian pinggang, ia
berkeliling ke pasar. Yang dijajakannya
adalah rokok dan ia masih ingat betul
merk-merk rokok itu. “Saya jual
Kansas, Eskor, 555, Wembley, Gentong
dan Jambu Pol,” ucapnya.
Pas kelas III MTs, ia beralih jadi
pedagang mainan anak-anak, lalu
ganti lagi jualan jarum, benang, peniti
dan pernak-pernik kecil yang biasa
dibutuhkan orang kala itu.
Pada masa MTs itu, ia menyukai
pelajaran agama, bahasa Inggris dan
sejarah. Sebaliknya, Ilmu Falak jadi
momoknya.
“Saya
sering
meninggalkan kelas ketika pelajaran
Falak. Saya ajak teman-teman ke
bioskop,”
Mukhtar
tertawa,
mengenang kebandelannya kala itu.
Ketika di Madrasah Aliyah, ia
berhenti dagang. ”Ada razia saat itu.
Jadi, saya sudah merasakan deritanya
dikejar-kejar Satpol PP. Bahkan
pernah dagangan saya dirampas,”
tuturnya.
Berhenti jadi pedagang kaki lima,
Mukhtar beralih jadi guru MI. Ia hanya
sanggup setahun mengajar di situ,
karena penghasilannya sangat kecil.
Bersama rekannya, ia lantas membuka
kios penyewaan buku sekaligus taman
bacaan. Ternyata usaha itu lancar.
Penghasilannya meningkat.
Lulus dari Aliyah, Mukhtar kuliah
di IAIN Raden Fatah Palembang. Di
kampus itu, ia hanya dua tahun kuliah,
padahal untuk mendapatkan titel
Sarjana Muda setidaknya memerlukan
waktu empat tahun. “Selama dua
tahun saya merasa tidak mendapat
ilmu. Dosen-dosennya tidak sungguhsungguh dan tidak sistematis. Kadang
datang, kadang tidak. Bahkan ada yang
datang cuma empat kali setahun. Saya
berpikir tidak bisa jadi orang pintar
kalau terus begitu,” ujarnya.
Mukhtar memutuskan untuk
hijrah ke kampus lain. Yang ditujunya
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kebetulan, kondisi keuangan
keluarganya sedang naik drastis kala
itu. Berawal dari tukang batu, ayahnya
berhasil membuka toko dan
membangun rumah, sekaligus
membiayai kuliah Mukhtar ke
Yogyakarta.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
59
TOKOH KITA
“IAIN Jogja adalah lautan ilmu
yang indah. Saya mereguk sepuaspuasnya. Buku mau beli ada, mau
pinjam ada. Literatur tidak boleh
berbahasa Indonesia,” ujarnya.
Sewaktu kuliah di Kota Gudeg, ia
membagi
waktunya
untuk
berorganiasi, kursus bahasa Inggris
dan mengikuti berbagai macam
seminar.
Tahun 1973, ketika masih
berstatus mahasiswa, Mukhtar
melepas status lajangnya. Ia menikahi
seorang mahasiswi dari kampus yang
sama. Pernikahan itu awalnya
dilakukan secara diam-diam di rumah
mertuanya di Jember, Jawa Timur.
Mertuanya adalah seorang kyai yang
punya pondok pesantren. “Di Jogja
orang-orang nganggap saya masih
pacaran. Tapi lama-lama ketahuan
kalau kami sudah nikah,” ujarnya,
dengan derai tawa.
Dua tahun kemudian, Mukhtar
menamatkan pendidikan S-1nya.
Pulang ke Palembang, bukannya
bahagia, ia justru nestapa. “Ayah saya
bangkrut. Ketika berangkat ke Jogja,
banyak duit. Ketika pulang, toko
bangkrut. Saya bingung, apalagi sudah
punya anak satu,” ia mengenang.
60
Pada Oktober 1975, ada
perekrutan calon hakim agama.
Kesempatan itu tidak disia-siakannya.
Peluangnya sangat besar, karena saat
itu dibutuhkan 50 hakim baru,
sedangkan yang ikut tes hanya 46
orang. Berstatus Sarjana Syariah dari
kampus masyhur dan menguasai
literatur berbahasa Arab dan Inggris,
Mukhtar tak kesulitan menjalani tes.
Ya, ia lulus.
Mukhtar, yang pada awalnya
ingin jadi dosen, mulai melakoni peran
sebagai CPNS/calon hakim pada
Februari 1976. Gaji awalnya Rp2800.
Ia ditempatkan di Pengadilan
Agama Pangkal Pinang. Nebeng di
bagian belakang kantor Wali Kota,
kantor PA itu hanya berukuran 6x6
meter persegi. Di situ cuma ada ketua,
panitera, pembuat daftar gaji dan
penjaga. Pembagian kerja tidak jelas,
sampai-sampai selain jadi hakim,
Mukhtar juga jadi juru panggil. Sidang
juga hanya dilakukan sebulan sekali.
“Begitu kerja, saya langsung
sidang. Ketua PA Pangkalpinang kyai.
Saya golongan III, Pak Ketua golongan
II. Ada 6 hakim honorer di sana,”
ujarnya. Hakim honorer adalah para
ulama lokal yang ke PA hanya ketika
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
sidang.
Beberapa tahun di situ, gaji
Mukhtar naik jadi Rp20.000. Gaji
segitu tak cukup buat hidup seorang
keluarga beranak tiga-satu anak lahir
di Yogyakarta dan dua lainnya lahir di
Pangkalpinang. “Buat makan saja
habis Rp30.000. Saya dapat bantuan
dari orang tua dan mertua,”
kenangnya.
Meski begitu, tak ada perasaan
minder dan sedih. Mukhtar
menjalaninya dengan lapang dada. Ia
pun bersyukur, selain jadi hakim, ia
mendapat amanah untuk mengajar di
Unsri dan kerap diundang untuk
mengisi ceramah agama. Di samping
dapat berbagi ilmu, aktivitas di luar
pengadilan itu dapat menambah relasi
dan rejeki.
Setelah 4,5 tahun di PA
Pangkalpinang, Mukhtar dipindah ke
PA Pa l e m b a n g . D i b a n d i n g PA
Pangkalpinang, PA Palembang
menangani perkara lebih banyak.
Sidang dilakukan sepekan sekali.
“Kalau di Pangkalpinang, sebulan
hanya menyidangkan 7-8 perkara. Di
Palembang, 70-80an perkara sebulan,”
tuturnya.
TOKOH KITA
Saat itu, hakim diberi
semacam honorarium resmi per
perkara. Berkat honorarium itulah,
kondisi keuangan keluarga Mukhtar
lumayan membaik.
Mukhtar jadi hakim di PA Palembang
selama 5 tahun. Setelah itu, selama 5
tahun, ia diangkat menjadi Ketua PA
Bengkulu. Karena saat itu belum ada
PTA Bengkulu, Mukhtar dianggap
'sebangsa' dengan Ketua PTA.
Sewaktu di Bengkulu, Mukhtar
aktif berceramah dan berkiprah di
MUI. Ia bahkan pernah menjadi Ketua
Komisi Fatwa, lalu Ketua I merangkap
Ketua Umum MUI Bengkulu.
Tak semua orang suka dengan
kiprah Mukhtar. Ada seseorang yang
melaporkannya ke MA. Namun, ketika
mengadakan pengawasan yustisial
dan memberi pengarahan pada
Rakerda, seorang hakim agung yang
dilapori itu justru memuji Mukhtar.
“Itulah sebagus-bagusnya hakim.
Hakim di mata hukum, ulama di mata
masyarakat ,”
kata
Mukhtar,
menirukan ucapan hakim agung itu.
Dari Bengkulu, Mukhtar balik
lagi ke Palembang. Dengan jabatan
Ketua PA Palembang, Mukhtar sering
dilibatkan dalam pekerjaan strategis.
Misalnya, ia diminta menguji calon
hakim. “Waktu itu PTA-PTA yang
ngetest. Materi tesnya sama dengan
jaman saya. Bahkan bahasa Arab-nya
lebih 'kejam'. Banyak yang gemetar
lihat kitab,” ucapnya.
Mukhtar juga kerap diminta
mewakili Ketua PTA Palembang saat
itu, Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, S.H.,
untuk menghadiri berbagai acara.
Karena kecocokan antara keduanya,
baru tiga tahun menjabat Ketua PA
Palembang, Mukhtar diajukan oleh
Syamsuhadi Irsyad menjadi hakim
tinggi PTA Palembang. “Tapi saya tidak
boleh melepas jabatan Ketua PA. Saya
juga tidak boleh sidang di PA,” ujarnya.
Alasan Syamsuhadi mengangkatnya jadi hakim tinggi lebih dini,
menurut Mukhtar, karena tokoh yang
di kemudian hari menjadi Wakil Ketua
M A B i d a n g N o n - Yu d i s i a l i t u
memerlukan hakim tinggi senior yang
akan menggantikannya. “Jadi, saya
disetel Pak Syamsu sejak dari dulu,”
tuturnya
Adapaun alasan Syamsuhadi
tetap mempertahankan Mukhtar jadi
Ketua PA meskipun sudah diangkat
jadi hakim tinggi, selain karena saat itu
pola karir hakim belum begitu jelas,
juga untuk menepis dugaan bahwa
Mukhtar sedang kena demosi. Waktu
itu, gaji hakim tinggi lebih kecil dari
pada Ketua PA. Diangkat jadi hakim
tinggi sering dianggap terkena
hukuman.
Setelah dua tahun menjalani
rangkap peran, Mukhtar akhirnya
benar-benar jadi hakim tinggi. Gajinya
pun berkurang, sementara anakanaknya sudah beranjak besar.
“Sudah jadi Ketua PA dua kali,
saya belum punya rumah. Rumah
dinas juga tidak ada. Uang hanya cukup
untuk makan dan nyekolahin anak,”
ujarnya.
Karena perkara di tingkat
banding sedikit, Mukhtar dapat
memanfaatkan waktu luangnya untuk
aktivitas-aktivitas lain. Ia memutuskan kembali ke habitat lama, sebagai
dosen dan dai. Bahkan, pada tahun
pertama dan kedua sebagai hakim
tinggi, ia mengaku kewalahan
menerima
undangan
untuk
berceramah. Saat itu orang-orang
lebih mengenalnya sebagai seorang
dai atau kyai, ketimbang sebagai
seorang hakim.
”Orang-orang datang ke PTA
mencari saya untuk khutbah. Dari
masjid terkecil sampai yang lumayan.
Supaya niat kita terjaga, siapapun yang
mengundang, walaupun miskin, kita
harus jalan, dijemput atau tidak,”
tandasnya.
Setelah tujuh tahun jadi hakim
tinggi PTA Palembang, berturut-turut
Mukhtar dipromosikan menjadi Wakil
Ke t u a P TA J a m b i , Ke t u a P TA
Palembang dan Ketua PTA Pekanbaru.
Setelah itu, ia mendaftar ke KY untuk
mengikuti seleksi calon hakim agung
pada tahun 2006.
Kala itu belum ada sistem kamar.
Seorang hakim agung harus
menguasai segala bidang hukum.
Bukan saja perdata agama, namun juga
perdata umum, perdata khusus,
pidana umum, pidana khusus, tata
usaha negara, bahkan militer.
Itu jadi tantangan tersendiri buat
Mukhtar. Siang-malam ia membaca
buku-buku hukum, berdiskusi dan
mengikuti perkembangan kasuskasus hukum terkini di media massa.
Semua data dan informasi itu lantas
diringkasnya.
“Contohnya hukum asuransi.
Waktu itu ada kasus Manulife. Saya
bikin ringkasan. Masalah korupsi, saya
baca data, ternyata sudah ada komisi
semacam KPK sejak 1940-an,”
ungkapnya.
Mukhtar bersyukur, semua yang
dipelajarinya itu keluar saat tes calon
hakim agung. Ia juga bersyukur, rekam
jejaknya dinilai baik. Bahkan sejumlah
tokoh masyarakat, perguruan tinggi
dan
organisasi
keagamaan
merekomendasikannya untuk jadi
hakim agung.
Ia pun hampir tidak menemui
kendala yang berarti ketika mengikuti
seleksi, hingga akhirnya berhasil
melakoni fit and proper test di KY dan
di DPR, lalu dilantik menjadi hakim
agung pada Agustus 2007. “Ketika
seleksi di KY, saya dapat ranking satu.
Di DPR, saya ranking tiga,” ungkapnya.
Meski telah melalui episode
hidup yang berliku-liku, dari pedagang
asongan di pinggir jalan hingga
kemudian jadi hakim agung yang
mulia, Mukhtar tak mau jumawa. “Kita
jangan lupa kehendak Tuhan,” kata
Mukhtar, “Saya punya prinsip, kita bisa
sukses bukan semata-mata karena kita
pintar. Ada ridho Tuhan. Kita jangan
sombong.”
|Hermansyah, Mahrus AR, Hirpan Hilmi, Hermanto|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
61
TOKOH KITA
Dari Eskatologi Bibel, Pornografi hingga Hak Waris Perempuan
Membentangnya cakrawala keilmuan Mukhtar
Zamzami tampak dari variatifnya karya ilmiah yang
dihasilkannya semasa kuliah.
Ketika kuliah S-1 di IAIN Yogyakarta, ia menulis
skripsi berjudul “Eskatologi Bibel dan konsepsi alQuran”. Untuk mahasiswa Jurusan Tafsir pada Fakultas
Syariah, sekilas judul skripsi itu kurang relevan. Tak
mengherankan, ketua jurusannya kala itu, Ismail Thayib,
pada mulanya menolak proposal skripsi yang
diajukannya.
“Saya bilang kepadanya, saya menggunakan
Ulumul Quran dan Ilmu Tafsir. Lalu disetujui,” tuturnya.
Usut punya usut, ternyata Mukhtar tertarik mempelajari
konsep Bibel mengenai kehidupan setelah mati atau
akherat karena sering berdiskusi dengan istrinya yang
berstatus mahasiswi jurusan Perbandingan Agama pada
Fakultas Ushuluddin di kampus yang sama.
Ketika kuliah S-2 di Universitas Jayabaya, kajiannya
beralih ke pidana. Ia menulis tesis berjudul “Masalah
Pornografi dalam Hukum Pidana Indonesia”.
“Pak Manan, Ketua PTA Medan, yang menyarankan
saya. Kita punya kewenangan di bidang pidana, tapi kita
belum punya ahli,” ungkapnya. Pak Manan yang ia
maksud adalah Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip.,
M.Hum yang kini jadi Ketua Kamar Agama MA.
Fokus kajiannya bergeser lagi ketika membuat
karya akhir saat kuliah S-3 di Universitas Padjadjaran
62
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Bandung. Ia menulis disertasi berjudul “Kajian Hukum
terhadap Kedudukan dan Hak Perempuan dalam Sistem
Hukum Kewarisan Indonesia Dikaitkan dengan Asas
Keadilan dalam Rangka Menuju Pembangunan Hukum
Kewarisan Islam”.
Fokus kajiannya itu selaras dengan aktivitas dan
perhatiannya selaku hakim agung yang sering mengadili
perkara-perkara kewarisan Islam. Ia mendapati
kenyataan, cukup banyak putusan peradilan agama yang
memberikan harta warisan sama besar kepada laki-laki
dan perempuan, seiring dengan fenomena
berimbangnya peran dan tanggung jawab sosial antara
laki-laki dan perempuan.
Mengenai buku, Mukhtar mengaku sangat
terpengaruh oleh buku “Kapita Selekta M Nasir”. Itu buku
dari tokoh Masyumi yang dilarang beredar oleh
pemerintah Orde Baru. “Kalau tidak punya buku ini,
katanya tidak akan bisa jadi orang pintar,” Mukhtar
berseloroh.
Tiap kali membaca buku itu, pikiran Mukhtar
serasa melayang-layang. Di sana ada paparan tentang
pembaruan Islam, kelebihan-kelebihan Islam,
penggunaan akal dan pikiran, hingga debat M Nasir vs
Soekarno.
Buku lain yang sangat mewarnai hidupnya adalah “Jejak
Langkah Haji Agus Salim”. Buku terbitan Belanda itu
mulai dibacanya saat berada di Madrasah Aliyah. “Saya
tergila-gila. Benar-benar lain karena tidak diajarkan di
sekolah,” tutur pembeli lebih dari 2000 buku itu.
Lantas, siapa tokoh-tokoh yang pemikiran dan
kiprahnya sangat dikagumi oleh Mukhtar Zamzami?
Ada dua nama yang sangat melekat di benaknya.
Pertama adalah Muhammad Abduh. “Walaupun kitab
tafsirnya tidak selesai, butiran-butiran pendapatnya siap
tumbuh, berakar dan berbuah. Disertasi saya dikuatkan
oleh pendapat-pendapat Abduh,” ujarnya.
Tokoh kedua yang dikaguminya adalah Muhammad
Syahrur. “Di kampus-kampus Eropa terkenal, dia
dianggap Emmanuel Kant-nya orang Arab dan Martin
Luthernya orang Islam,“ tuturnya.
Namun, kekaguman Mukhtar tidak terbatas pada
dua intelektual muslim terkemuka itu. Ia berkata, “Saya
juga mengagumi orang-orang Islam, terutama ulama,
yang berpikiran terbuka, siap mendengar, siap
membahas, dan tidak cepat memutuskan vonis sesat
atau kafir.”
|hermansyah|
INSPIRASI
Prof. Dr. H. M. Atho Mudhzar, MSPD
Guru Besar Sosiologi Hukum Islam dan Pakar Islamic Family Law
H.M. Atho Mudhzar merupakan
ahli sosiologi hukum Islam yang
sudah tidak asing lagi di
lingkungan peradilan agama.
Profesor yang pernah menjadi
sekretaris Menteri Agama
Munawir Sjadzali (1983-1986,
1990-1991) adalah salah satu
aktor yang ikut membidani
hukum keluarga muslim di
Indonesia.
Perhatiannya
terhadap peradilan agama saat
ini juga dilatarbelakangi oleh
sejarah birokrasinya yang
pernah menjabat sebagai Plh.
Direktur Pembinaan Badan
Peradilan Agama selama 2 (dua)
bulan karena Direktur waktu itu
Drs. H. Zainal Abidin Abu Bakar,
SH., sedang melaksanakan
ibadah haji.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
63
INSPIRASI
H.M. Atho Mudzhar, lahir di
Serang pada tanggal 20 Oktober 1948.
Suami dari Dra. Hj. Ani Musahadah ini
cita-citanya cukup sederhana. Ia ingin
menjadi dosen yang baik. Tetapi pada
tanggal 19 September 1999 sejarah
telah mencatatnya sebagai salah satu
guru besar di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Karirnya di perguruan
tinggi telah menempatkannya sebagai
Rektor UIN Sunan Kalijaga periode
tahun 1996-2001 dan pernah menjadi
Pgs Rektor IAIN Padang pada tahun
2006. Jabatan terakhir yang
dudukinya di Kementerian Agama
adalah sebagai Kepala Badan Litbang
dan Diklat sejak tahun 2002-2012.
Kegiatan kesehariannya saat ini
mengabdi di UIN Syarif Hidayatullah
J a ka r t a ya n g j u ga m e r u p a ka n
almamaternya dalam perolehan gelar
sarjana muda di tahun 1971 dan
sarjana S-1 di tahun 1975. Integritas
dan profesionalitas selalu mengiringi
kehidupannya baik dalam dunia
akademik maupun pengabdiannya di
masyarakat. Guru besar yang
memperoleh gelar doktor di tahun
1991 ini masih tetap disibukkan
dengan mengisi diskusi, konferensi
nasional ataupun internasional
khususnya yang berubungan dengan
hukum Islam.
Di sela-sela kesibukannya yang
cukup padat, ia masih meluangkan
waktu memberikan bimbingan kepada
para mahasiswa, bahkan tidak segansegan pakar sosiologi hukum Islam ini
memberikan bimbingan kepada
mahasiswa di rumahnya sendiri.
Sebagai pemerhati Islamic family
law, M. Atho Mudzhar mempunyai
perhatian khusus terhadap lembaga
peradilan agama. Ia cukup bangga
dengan eksistensi peradilan agama
saat ini, terlebih lagi jika melihat
fasilitas dan kemajuan lembaga yang
tidak jauh berbeda dengan lembaga
peradilan lain di lingkungan
Mahkamah Agung RI.
Sebagai salah satu pelaku sejarah
hukum Islam di Indonesia, ia tidak
membayangkan jika Peradilan Agama
menjadi bagian dari sistem peradilan
yang disebutkan dalam konstitusi
(Pasal 24 ayat (2) UUD 1945)].
Perhatiannya terhadap Peradilan
64
Agama, diperlihatkan lewat sikapnya
kepada hakim-hakim. Ia tetap
menginginkan hakim di Peradilan
Agama bertindak sebagai juru damai
sebelum ia bertindak sebagai hakim,
artinya hakim harus memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya
kepada para pihak agar sengketa yang
dihadapinya diselesaikan secara
damai. Mudzhar menyadari bahwa
perkembangan hukum keluarga saat
ini terutama hukum perkawinan
masih menyisakan perdebatan yang
perlu mendapat sentuhan pembaruan.
Hal terpenting dari isu hukum
keluarga di Indonesia saat ini,
menurut Mudzhar berkenaan dengan
sanksi ketidakpatuhan terhadap
hukum. Pengaturan izin poligami saat
ini seperti aturan yang ompong,
karena tidak tegasnya sanksi bagi
p i h a k ya n g m e l a n g ga r a t u ra n
poligami, demikian pula tidak ada
sanksi bagi pernikahan yang tidak
dicatatkan, terlebih lagi saat ini masih
terjadi perceraian yang hanya
dilakukan lewat SMS atau BBM. Isu
penting lainnya yang harus
mendapatkan perhatian adalah
berkenaan dengan harmonisasi batas
usia dewasa. Saat ini ditemukan
perbedaan batas usia dewasa dalam
berbagai peraturan perundangundangan. Dalam hukum perkawinan
ditemukan usia dewasa pernikahan 16
tahun perempuan dan 21 tahun lakilaki, usia dewasa dalam perwalian 18
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
tahun, sementara itu untuk dapat
memperoleh SIM, seseorang harus
berumur minimal 17 tahun.
Setelah acara diskusi di gedung
Sekreteriat MARI tanggal 4 Agustus
2015 dengan tema Pembaruan Hukum
Keluarga di Peradilan Agama, Tim
Redaktur berhasil mewawancarainya.
Berikut ringkasan wawancaranya:
Berkenaan dengan perkembangan
hukum keluarga di Indonesia,
materi apa yang perlu mendapatkan perhatian saat ini?
Tergantung dari mana kita
melihatnya, Teman-teman yang
menginginkan perombakan besarbesaran, banyak yang harus
diperbarui, tetapi yang menganggap
hal itu sudah relatif memadai, tidak
banyak yang harus diperbarui.
Pertama mengenai batas usia
minimum untuk menikah perlu ada
sinkronisasi dengan undang-undang
lain yang mengatur mengenai
kedewasaan. Implikasinya memang
luas, istilah belum berumur 18 tahun
atau sudah kawin, tidak perlu ada lagi.
Sebaiknya satu kalimah saja, saya
sendiri lebih setuju 19 tahun. Menteri
Kesehatan malah meminta usia
dewasa 21 tahun, Imam Hanafi sendiri
menyatakan usia dewasa 22 tahun,
yakni dewasa secara mental atau
kematangan.
INSPIRASI
Yang sangat mengoncangkan
dalam masyarakat saat ini adalah
masalah pencatatan perkawinan
harus diatur dan diberi sanksi dll.
Demikian juga dengan poligami, saat
ini aturan poligami adalah aturan
ompong. Menurut saya harus
diperkenalkan sejumlah diktum yang
memberikan sanksi, diatur pula
mengenai hal yang terkait dengan
hukum formal. Yang paling mendesak
adalah pemberian sanksi (terhadap
pelanggaran hukum keluarga).
Hal ini sangat mendesak sekali
adalah pemberian sanksi, supaya
orang tidak berbuat seenaknya, siapa
berbuat dia bertanggung jawab. Saat
ini masih ada laki-laki yang
menceraikan istrinya lewat sms, bbm
meskipun hal tersebut dalam fikih
dibolehkan bahkan dengan cara
bermain (senda gurau), talak dapat
saja terjadi.
Peranan apa yang dapat dilakukan
oleh hakim di lingkungan peradilan
a ga m a
b e rke n a a n
d e n ga n
pembaruan hukum keluarga?
Hakim adalah juru damai juga,
sebelum ia menjadi juru putus ia
bertindak sebagai juru damai. Kalau ia
gagal mendamaikan baru melanjutkan
pemeriksaan perkara. Sebgai juru
damai perlu dilengkapi kemampuan
dan kiat-kiat untuk melakukan
perdamaian sebagai rekonsiliator.
Pada saat ini BP-4 tidak ada kaitannya
dengan peradilan agama, sehingga
hakim mempunyai peran rekonsiliasi
yang luar biasa terhadap semua jenis
perkara gugatan.
Bapak sebagai ahli hukum dari luar
lembaga peradilan, bagaimana
Bapak melihat keberadaan
peradilan agama saat ini,
bagaimana ketika peradilan agama
ketika masih di bawah Kementrian
Agama dan saat ini setelah dibawah
Mahkamah Agung ?
Saya pernah menjabat Direktur
Peradilan Agama menggantikan Bapak
Zainal Abidin selama 2 bulan sewaktu
beliau naik haji.
Secara umum peradilan agama
mendapat kemajuan baik dalam
manajemen maupun otoritas yang
dimilikinya, seperti dalam perkara
kewarisan pernah terjadi tarik
menarik antara kewenangan
peradilan agama dan kewenangan
peradilan lain, hal itu tidak lain juga
karena proses politik. Secara umum
peradilan agama mempunyai
kemajuan terlebih lagi jika dilihat dari
jumlah kantor saat ini.
Tantangan yang berat ke depan
adalah bagaimana hakim juga menjadi
seorang mujtahid, hal lil hakim
mujtahid, bagaimana seorang hakim
dapat menjadi penemu hukum
mujtahid, alatnya saat ini sudah
banyak. Hal ini menjadi tantangan
yang berat, karena kita menganut civil
law system. Dalam sistem ini orang
baru lulus sarjana hukum dapat
menjadi hakim, sedangkan dalam
common law system hal itu tidak
terjadi, karena seorang hakim terlebih
dahulu harus menjadi pengacara
bertahun-tahun lamanya, baru ia
dapat menjadi hakim. Oleh karenanya
ada kebijakan hakim magang, tidak
lain melatih agar ia bertindak adil dan
menguntungkan kemanusiaan.
Saya pernah membaca (sebuah
tulisan), Bagaimana pandangan hakim
tentang posisi saksi perempuan?
Menurut saya hal tersebut itu luar
biasa, dari tidak mengakui saksi
perempuan, menuju mengakui
perempuan separuh laki-laki, menuju
saksi perempuan saja, menuju
kesaksian menafikan saksi laki-laki
sama sekali. Hal ini berarti, ada
peningkatan kesadaran tertentu di
kalangan hakim, terutama mengenai
hak-hak wanita. Umumnya hukum
keluarga dikritik mengenai hak
wanita, dan di sinilah tertinggalnya
negara-negara muslim. Saya
menganggap kesadaran gender, semua
dokumen tentang wanita yang
dikeluarkan oleh PBB, covenant
international, CEDAW perlu menjadi
kajian hakim saat ini.
Secara umum, peradilan agama
mendapat kemajuan setelah
bergabung dengan Mahkamah Agung
dan menjadi keuntungan bagi hakim
agama karena dengan bergabungnya
tersebut menjadi tegak sama tinggi
bersama peradilan lain, di mana
sebelumnya tidak pernah terjadi.
Dahulu dalam UU Nomor 1 Tahun
1974, putusan PA harus disetujui
(dikukuhkan) oleh peradilan umum,
baru kemudian berubah sejak lahirnya
undang-undang peradilan agama. Dan
sekarang peradilan agama disebut
dalam UUD Pasal 24, saya sendiri tidak
membayangkan kalau PA akan
disebutkan dalam UUD.
Bagaimana pandangan Bapak
mengenai pandangan sebagian
kalangan yang menyatakan bahwa
PA mulai tercabut dari akarnya,
terutama berkaitan dengan
masyarakat Islam dan para ulama
bahkan
dikatakan
sekuler
setelahnya bergabung dengan
Mahkamah Agung?
S aya
tidak
m e m p u nya i
pandangan seperti itu. Hakim Agama
ada syaratnya, yakni harus sarjana
hukum Islam atau sarjana hukum yang
mengerti hukum Islam. Artinya, pada
lembaga mana saja peradilan itu
berada yang terpenting syarat untuk
menjadi hakimnya sama. Saya sendiri
masih melihat adanya hubungan baik
antara hakim agama dengan
masyarakat muslim, saya masih
melihat ada hakim yang masih
berkhutbah. Kalaupun dianggap jauh
dari masyarakat, saya melihat karena
kesibukan
hakim
dengan
profesionalisme kerjanya.
|Sugiri Permana, Achmad Cholil|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
65
PROGRAM PRIORITAS
MENGINTIP PROGRAM PRIORITAS
REFORMASI BIROKRASI
DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA
Sumber foto : www.google.com
K
ebijakan Peraturan MENPAN
Nomor 10 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pelaksanaan Program
Manajemen Perubahan yang berisi
tentang teori-teori dan tata cara
mencapai perubahan yang diinginkan,
menandai dimulainya reformasi
birokrasi gelombang kedua. Visi
PerMenpan tersebut, menuju
66
birokrasi pemerintahan yang
profesional dan berintegritas tinggi,
yang mampu menyelenggarakan
pelayanan prima dan manajemen
pemerintahan yang demokratis dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025.
M e ny i k a p i d a n m e n j awa b
kebijakan pemerintah, Mahkamah
Agung telah mengeluarkan dua
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Kebijakan agenda pembaruan yaitu
fungsi teknis dan manajemen perkara
sesuai dengan cetak biru pembaruan
peradilan 2010-2035. Tahun 2015 ini
memasuki tahun ke lima dalam road
map pencapaian cetak biru
pembaruan tersebut. Pembaruan
fungsi teknis, masih berkonsentrasi
pada agenda penguatan sistem kamar
secara konsisten. Fokusnya tertuju
pada terwujudnya kesatuan hukum
dan percepatan penyelesaian perkara.
Agenda pembaruan manajemen
perkara masih diarahkan pada
modernisasi manajemen perkara,
penataan ulang proses manajemen
perkara dan penataan ulang organisasi manajemen perkara.
Dalam kaitan pembinaan kepada
peradilan agama kebijakan-kebijakan
Mahkamah Agung ini, terus ditindak
lanjuti oleh para Direktur Jenderal
Badan Peradilan Agama mulai Drs. H.
Wahyu Widiana, M.A., Dr. H.
Purwosusilo, S.H., M.H., dan saat ini
oleh Bapak Drs. H. Abdul Manaf, M.H.
berjalan sambung menyambung
dengan gaya kepemimpinan yang
berbeda, namun visi misinya tetap
sama.
Zaman Pak Wahyu fenomena
yang nampak adalah jargon
penggunaan IT sebagai tool untuk
penyelesaian perkara - perkara dan
web site sebagai alat komunikasi
jajaran peradilan agama. Hal ini dapat
dilihat dengan 8 program prioritasnya
yaitu : Program Prioritas Pembaruan
di lingkungan peradilan agama ialah:
(1) “Justice for All” yang terdiri dari
Perkara Prodeo, Sidang Keliling dan
Pos Bantuan Hukum (Posbakum); (2)
Penyelesaian Perkara yang tepat
waktu; (3) Pelayanan Publik yang
prima; (4) Manajemen SDM yang
terencana dan
PROGRAM PRIORITAS
terlaksana dengan baik; (5)
Pengelolaan Website demi keterbukaan informasi publik; (6) Meja
Informasi untuk memberikan
pelayanan informasi di gedung
pengadilan; (7) Implementasi SIADPA
Plus sebagai automasi Pola Bindalmin;
dan (8) Pengawasan.
Program ini diteruskan oleh
Dirjen kedua Bapak Purwosusilo
dengan mendorong para hakim untuk
mendalami profesinya dengan
peningkatan kompetensi hakim dalam
hukum acara dan hukum ekonomi
syari'ah.
Selanjutnya melihat perubahanperubahan kondisi
adanya
pelemahan disiplin kerja, etos kerja
yang didasari keikhlasan dan adanya
beberapa pengadilan agama yang
kurang cermat dalam pembukuan
keuangan perkara, sebagaimana hasil
temuan BPK bahwa pada tahun 2014
ditengarai ada 11 Pengadilan agama
yang pengelolaan keuangan
perkaranya belum tertib, maka
digalakanlah “program pengawasan”
sejalan
dengan
KMA
076/KMA/SK/Vl/2009 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Penanganan
Pengaduan di Lingkungan Lembaga
Peradilan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Dirjen Badan Peradilan Agama
melalui e-mail tanggal 20 April 2015
ke Kabag Ortala, menetapkan 6
Program Prioritas mendesak di Tahun
2015 yang harus dijalankan.
Program mendesak yang harus
disampaikan kepada jajaran peradilan
agama tahun 2015:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Peningkatan kualitas pelayanan
kepada masyarakat;
Peningkatan
kualitas
p e n g e l o l a a n B a ra n g M i l i k
Negara;
Penertiban pembukuan dan
pengelolaan biaya perkara dan
biaya proses;
Peningkatan
kualitas
pemahaman hukum acara dan
hukum materil PA;
Peningkatan pemahaman KMA
076/KMA/SK/Vl/2009 dan PP
Nomor 53/2010;
Peningkatan
kualitas
pengelolaan
administrasi
perkara dan
administrasi
persidangan.
Program-program prioritas
Ditjen Badan Peradilan Agama ini
seiring dengan tuntutan-tuntutan
p e rke m b a n ga n
jaman
dan
berlandaskan kepada kebijakan
Mahkamah Agung dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi peradilan. Dengan
bermoto “ almuhaafadhoh 'alal qodiim
as-sholih wal al-akhdzu bil jadiidil alashlah” memelihara yang lama yang
baik dan mengambil hal baru yang
lebih maslahat”
Untuk melestarikan programprogram tersebut, melalui PERMA
Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur
pemberian layanan hukum bagi
masyarakat tidak mampu di
pengadilan dengan program “Justice
for All”
(1) Pembebasan Biaya
Perkara; (2) Sidang di Luar Gedung
Pengadilan dan; (3) Posyankum
Pengadilan, tetap dilestarikan dan
ditingkatkan
Hal ini terbukti bahwa pada
tahun 2014, Pembebasan Biaya
Perkara
(perkara
prodeo)
diperuntukkan bagi 359 pengadilan
tingkat
pertama
berhasil
menyelesaikan 11.513 perkara, (tahun
2013 = 10.252 perkara). Posyankum,
dilaksanakan pada 74 satuan kerja
pengadilan tingkat pertama berhasil
melayani 82.145 orang (tahun 2012 =
69 satker, dengan layanan 55.85
orang), sedangkan Sidang di Luar
Gedung Pengadilan (Sidang Keliling)
untuk 310 satuan kerja pengadilan
tingkat pertama seluruh Indonesia
dilaksanakan di 523 lokasi dengan
total penyelesaian perkara sebanyak
30.857 perkara, (tahun 2013=433
lokasi, peneyelesaian perkara 19.383
perkara), bahkan untuk jangkauan
luar negeri dilaksanakan di di Tawau
Malaysia, disidangkan 322 perkara
itsbat nikah dengan rincian 284
perkara dikabulkan, 37 perkara
digugurkan, dan 1 perkara dicabut.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
67
PROGRAM PRIORITAS
Untuk inisiasi dan inovasi baru
program “Peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat”
digalakan itsbat nikah terpadu secara
nasional,
Penerapan
Sistem
Manajemen Mutu ISO 9001:2008, dan
Portal Tabayyun Online .
Itsbat nikah terpadu diatur oleh
SEMA Nomor 3 Tahun 2014 Tentang
Tata Cara Pelayanan dan Pemeriksaan
Perkara Voluntair/Itsbat Nikah dalam
Pelayanan Terpadu. Dikatakan
te r p a d u
ka re n a
m e l i b a t ka n
Pengadilan Agama, Disdukcapil dan
Departemen Agama dalam rangka
mengentaskan dan menanggulangi
masalah identitas pribadi dan
identitas kependudukan sesuai
amanat UU Nomor 24 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan.
Manajemen
Mutu
ISO
9001:2008, berdasarkan atas
keputusan
KMA
Nomor
02/KMA/SK/II/2012 tentang Standar
Pelayanan Peradilan. Tahun ini
direncanakan untuk 11 lingkungan
Pengadilan Tinggi Agama, meliputi
wilayah PTA Jakarta, Makasar,
Palembang, Medan, Semarang,
Surabaya, Jogyakarta, Bandung,
M a t a ra m , Pe ka n b a r u d a n P TA
Banjarmasin. Sedangkan Portal
Tabayyun Online merupakan salah
satu inovasi yang dikembangkan
untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam hal
mempercepat pemanggilan para
pihak. Portal ini dibuat atas dasar
Surat Keputusan Dirjen Badan
Peradilan
Agama
Nomor
2273.a/DjA/KP.01.1/SK/VIII/2014
Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
dan Pemanfaatan Portal Tabayyun di
Lingkungan Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI dan SK Dirjen
Badan Peradilan Agama Nomor
2273.a/DjA/KP.01.1/SK/VIII/2014
Tentang Tutorial Portal Tabayyun
Online.
Data-data pelaksanaan itsbat
nikah terpadu menyatakan telah
terlayani pembuatan Akta Nikah, Akta
Kelahiran secara cepat yang
¹ Sumber: https:// www.badilag.net / berita
68
diperlukaan sebagai identitas
kependudukan. Hal ini dapat kita lihat
jumlah pasangan yang mendaftar 49
pasutri 'Kawin lagi' dalam Itsbat nikah
massal PA Rantau. Tim Sidang Keliling
PA Masohi menerima dan memutus 8
perkara perkawinan, Sidang terpadu
PA Tanjung Balai beserta KUA dan
Dukcapil setempat sebanyak 29
pasangan suami-istri langsung
mendapatkan buku nikah hari itu juga.
Di PA Masohi 60 pasang masyarakat,
di PA Pelaihari, Pemkab. Tanah Laut
dan Kantor Kemenag Kab. Tanah Laut
dengan 36 salinan penetapan itsbat
nikah, 36 paket buku nikah dan 64 akta
kelahiran. Dan masih banyak lagi
sidang isbat nikah terpadu lainnya¹ .
Dalam
hal
modernisasi
manajemen perkara, Mahkamah
Agung
telah
mengeluarkan
percepatan penyelesaian perkara di
tingkat peradilan agama dari semula 6
bulan menjadi 5 bulan, sesuai dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jangka
Waktu Penyelesaian Perkara pada
Pengadilan Tingkat Banding dan
Pengadilan Tingkat Pertama,
sedangkan modernisasi tool atau
piranti percepatannya dengan
meredesain SIADPA Plus (Sistem
Informasi Administrasi Perkara
Peradilan Agama +), dan Portal Info
Perkara (Pelaporan Perkara Online).
Aplikasi SIADPA Plus sebagai otomasi
pola bindalmin yang dirancang
² http://www.bappenas.go.id/index.php/
download_file/view/11229/3770/
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
sedemikian rupa secara elektronik
untuk memberikan kemudahan dan
percepatan dalam proses administrasi
perkara. Aplikasi SIADPA sebagai
solusi data dapat dilihat dari Aplikasi
Sistem Keuangan Perkara (SIADPA
KIPA), Aplikasi Sistem Register
Perkara (SIADPA REGISTER), Aplikasi
Sistem Laporan Perkara (SIADPA
LIPA), Aplikasi Akta Cerai (SIADPA
AKTA CERAI), Aplikasi Jadwal Sidang
(SIADPA JADWAL SIDANG). Yang
terakhir di kembangkan lagi SIADPTA
dan Portal Info Perkara (Pelaporan
Perkara Online) untuk mempercepat
laporan perkara dari daerah. Hal ini
berlandaskan pada instruksi Ketua
Muda Urusan Peradilan Agama Nomor
12/TUADA-AG/IX/2007 tertanggal 27
September
2007.
tentang
pemanfaatan Aplikasi SIADPA sebagai
pendamping Pola Bindalmin pada
peradilan agama di seluruh Indonesia.
Program-program tersebut
sejalan dengan perencanaan
Bappenas dalam Matriks Target
Kinerja dan Alokasi Pendanaan
Pembangunan Bidang Hukum dan
Aparatur². Apabila kita mengintip
lebih jauh program-program fokus
prioritas Badilag sebagaimana dalam
Pembangunan Bidang Hukum dan
Aparatur, maka program ini senafas
dengan 7 prioritas-prioritas bidang
di Bappenas . Salah satunya program
P e n y e l e n g g a r a a n Ta t a K e l o l a
Pemerintahan yang Baik.
Semua itu, juga menjadi
program prioritas Badan Peradilan
Agama, ditambah dengan pengawasan
yang dilakukan secara kontinyu, baik
masalah pengelolaan Barang Milik
Negara, penertiban pembukuan dan
pengelolaan biaya perkara dan biaya
proses yang diaudit BPK, maupun
pelaksanaan
KMA
076/KMA/SK/Vl/2009 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Penanganan
Pengaduan di Lingkungan Lembaga
Peradilan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
|Abu Tholhah|
POSTUR
Foto: www.pa-purworejo.go.id
Mengurai Benang Kusut
Mutasi Hakim
Di tengah pelbagai persoalan yang masih terus membelit, roda mutasi-promosi hakim di
lingkungan peradilan agama harus tetapberputar. Badilag punya jurus khusus.
H
ujan keluhan terjadi di ruang
sidang
utama
sebuah
pengadilan agama di Jawa
Barat, pertengahan September lalu,
ketika Direktur Jenderal Badan
Peradilan Agama Drs. H. Abdul Manaf,
M.H. mempersilakan aparatur di sana
mengajukan pertanyaan dan
menumpahkan uneg-unegnya, selepas
Dirjen memberi pengarahan dan
mengadakan inspeksi dadakan.
“Mutasi katanya untuk kebaikan
para hakim,” seorang hakim
menggerutu sambil berdiri, “tapi
kenapa malah banyak hakim yang
sengsara karena mutasi?”
Hakim lainnya berupaya jadi
penyambung lidah kawannya yang
merasa dilempar dari pengadilan di
satu pulau ke pengadilan di pulau lain
tanpa peningkatan karir. Hal
demikian tidak pernah terjadi
sebelumnya.
Ada pula hakim yang mengeluhkan pangkatnya yang mentok, lantaran
pangkat pimpinannya tidak lebih
tinggi dari pangkatnya.
Juga masih ada yang ingin
didekatkan dengan keluarga, karena
anak-anaknya masih kecil dan butuh
perhatian lebih. Ada pula yang pengen
balik kampung, karena di tempat tugas
sekarang kerap sakit-sakitan.
Bukan cuma itu. Ada lagi yang
mengeluhkan minimnya rumah dinas
hakim peradilan agama dibandingkan
dengan rumah dinas hakim peradilan
lain. “Kalau fasilitasnya tidak sama,
kenapa pola mutasi harus dibuat
sama?” serunya.
Dirjen Badilag Abdul Manaf, yang
mengawali karir hakimnya dari
wilayah pelosok timur nusantara,
menyimak semua itu dengan seksama.
Sekalipun pertanyaan-pertanyaan
dengan susbtansi dan nada yang sama
kerap didengarnya, tak ayal, hujan
keluhan itu mengharuskannya
memberi jawaban yang tidak terkesan
sekadar 'cari aman'.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
69
POSTUR
Ditegaskannya, secara umum,
jumlah SDM kita kurang. Jumlah hakim
tidak sebanding dengan beban
kerjanya. Sebagaimana lingkungan
peradilan lainnya, peradilan agama
belum memperoleh tambahan hakim,
karena sudah lima tahun ini tidak ada
perekrutan calon hakim.
Saat ini, lingkungan peradilan
agama terdiri atas 29 pengadilan
tinggi agama/mahkamah syar'iyah
Aceh (PTA) dan 359 pengadilan
agama/mahkamah syar'iyah (PA). Jika
dirinci, 359 PA itu terdiri atas 13 PA
Kelas IA Tertentu, 43 PA Kelas IA, 100
PA Kelas IB dan 203 PA Kelas II.
Secara keseluruhan, saat ini di
peradilan agama terdapat 3067 hakim.
Sebanyak 518 orang merupakan
hakim tinggi. Selebihnya adalah hakim
tingkat pertama. Jika dirinci, 227
orang merupakan hakim PA Kelas IA
Tertentu, 595 hakim PA Kelas IA,862
hakim PA Kelas IB, dan 1048 hakim PA
Kelas II.
“Karena kurangnya hakim, ada PA yang
hakimnya cuma tiga, yaitu ketua, wakil
ketua dan hakim biasa,” kata Abdul
Manaf.
Sarana dan prasarana pendukung
kerja hakim peradilan agama belum
sepenuhnya memadai. Ambil contoh
rumah dinas. Pembangunan fisik di
lingkungan peradilan agama sejak era
satu atap difokuskan pada gedung
pengadilan, sehingga pembangunan
rumah dinas hampir tidak pernah ada.
Ini bisa dimaklumi, karena rata-rata
gedung pengadilan di lingkungan
peradilan agama sebelum era satu
atap berukuran mungil dan berada di
'gang tikus'. Karena itu, di tengah
anggaran MA yang terbatas, wajar jika
pembangunan gedung pengadilan
yang dijadikan sebagai pusat
pelayanan publik sekaligus tempat
menegakkan
keadilan
lebih
diprioritaskan.
Anggaran untuk mengadakan
promosi-mutasi secara berkala juga
masih belum sesuai harapan. sejak
beberapa tahun terakhir, Ditjen
Badilag mengalami 'defisit'. Selalu
besar pasak dari pada tiang, lantaran
biaya yang harus dikeluarkan lebih
besar ketimbang anggaran yang
70
tersedia. Persoalan itu bermula
beberapa tahun lalu, ketika standar
biaya mutasi ditingkatkan, sementara
alokasi anggaran tidak bertambah.
Dampaknya, hakim yang dimutasi
tahun 2013, misalnya, baru
memperoleh biaya mutasi tahun 2014.
Efek dominonya, hakim yang dimutasi
tahun 2014 baru memperoleh biaya
mutasi tahun 2015. Begitu seterusnya.
Mata rantai persoalan biaya mutasi itu,
menurut Dirjen Badilag, baru bisa
diputus tahun depan.
Di sisi lain, tidak ada
diskrimanasi maupun afirmasi dalam
hal pola mutasi dan promosi. Semua
aparatur dari empat lingkungan
peradilan harus tunduk pada
ketentuan pola mutasi yang
ditetapkan Ketua Mahkamah Agung.
Itu adalah konsekwensi tak terelakkan
dari penyatuatapan empat lingkungan
peradilan di bawah MA yang telah
berlangsung satu dasawarsa.
Secara berkala, para hakim harus
menjalani perpindahan tempat tugas
yang kemungkinannya dari Sabang
hingga Merauke, sesuai lanskap
nengeri kita. Pedoman pola mutasi dan
promosi hakim peradilan agama
sudah mengaturnya, mulai dari
persyaratan dan pelaksanaan mutasi,
hingga hak-hak yang diperoleh pelaku
mutasi.
Ditjen Badilag tidak mau
menunggu tiga persoalan krusial itu
dibereskan terlebih dahulu untuk
memutar roda mutasi hakim di
lingkungan peradilan agama.
Bagaimanapun juga, pemutasian dan
pemromosian hakim harus tetap jalan,
walau tidak dapat dilakukan secara
kolosal.
Badilag punya cara khusus untuk
mengurai benang kusut itu. Badilag
membuat prioritas. “Yang kami
prioritaskan ada tiga,” kata Abdul
Manaf.
Yang pertama adalah para hakim
angkatan tahun 2010 yang sejak
penempatannya kali pertama hingga
sekarang belum pernah menjalani
mutasi. Badilag tidak ingin mereka
terbenam di PA Kelas II. Mereka perlu
rotasi untuk penyegaran dan
peningkatan pengalaman.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Yang kedua adalah para hakim
yang sakit dan kesulitan mendapatkan
d o k te r ya n g d a p a t m e n g o b a t i
penyakitnya di tempatnya mengabdi
sekarang. Badilag telah memiliki data
siapa saja mereka.
Dan yang ketiga adalah para
hakim yang pangkatnya mentok,
karena tidak mungkin mereka
menyalip pangkat atasannya atau
tidak mungkin naik pangkat lantaran
bertugas di PA kelas bawah.
Supaya kebijakan soal prioritas
promosi-mutasi itu dapat terlaksana
dengan baik dan tidak dikacaukan oleh
pihak internal dan eksternal, Badilag
punya jurus antisipatif. “Kami akan
libatkan Bawas,” kata Abdul Manaf.
Mantan Inspektur Wilayah pada
Badan Pengawasan MA itu
mengatakan, Badilag selaku penyuplai
data untuk Tim Promosi-Mutasi
(TPM) yang dipimpin Ketua MA tidak
akan main mata dengan para hakim
yang hendak potong kompas. Semua
harus sejalan dengan pedoman pola
mutasi-promosi, kecuali jika ada halhal tertentu yang sifatnya eksepsional
yang dimungkinkan oleh pedoman
yang telah berlaku dua tahun itu.
Tidak hanya itu. Badilag ingin
menutup rapat-rapat pintu lobi. Para
hakim tidak diperkenankan datang ke
Badilag untuk meminta mutasi dan
promosi. “Tunggu saja. Kalau memang
sudah waktunya, pasti akan dimutasi,”
Abdul Manaf menegaskan.
Lantas di mana peran Bawas?
Selain secara permanen menjadi salah
satu unsur TPM, Bawas akan diajak
mengawasi hakim-hakim dan pejabat
Badilag dalam proses promosi-mutasi.
Jika ada pejabat Badilag yang meminta
atau menerima pemberian dari hakim
untuk urusan mutasi, misalnya, Dirjen
Badilag akan menyerahkan persoalan
itu ke Bawas agar orang-orang yang
terlibat diperiksa dan dijatuhi
hukuman disiplin jika terbukti.
Kalau sudah begitu, pelan namun
pasti, benang kusut promosi-mutasi
hakim akan terurai.
|hermansyah|
PA INSPIRATIF
D
Tonggak Sejarah
Pengadilan Agama
Berawal dari
PA Barabai
ahulu kala PA Barabai yang
terletak di sebelah utara
Provinsi Kalimantan Selatan
dan berada 165 km dari kota
Banjarmasin, dikenal dengan sebutan
Kerapatan Kadi Barabai. Kemudian
berevolusi menjadi Pengadilan Agama
Barabai pada masa kini.
Gedung Kerapatan Kadi
“Barabai”yang merupakan nama ibu
kota Kabupaten Hulu Sungai
Tengah,sejak pertama kali berdiri
sampai sekarang masih tampak kokoh
menjadi saksi sejarah kecintaan umat
Islam terhadap penegakan hukum
Islam di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Bahkan Mahkamah
Agung RI akan menjadikan gedung
tersebut menjadi bagian dari situs
sejarah kelahiran dan perkembangan
Peradilan Agama di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
71
PA INSPIRATIF
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
sendiri memiliki luas wilayah 1.472
km2 dan memiliki moto daerah yaitu
“Murakata” yang diambil dari bahasa
Banjar. Murakata merupakan
singkatan dari kata Mufakat, Rakat dan
Seiya-sekata. Ada 13 belas kecamatan
yang menjadi wilayah yurisdiksi PA
Barabai.
Berikut Peta Yurisdiksi Pengadilan
Agama Barabai.
Seiring dengan perkembangan
politik hukum pemerintah Republik
Indonesia, kantor Pengadilan Agama
Barabai pernah berpindah ke gedung
yang diresmikan oleh Kementerian
Agama saat itu. Gedung yang menjadi
saksi perkembangan Peradilan dari
zaman ke zaman inipun akan dijadikan
sebagai situs sejarah di Kalimantan
Selatan. Akhirnya untuk menjawab
tuntutan modernisasi peradilan di
Indonesia, Pengadilan Agama Barabai
sekarang menempati gedung yang
diresmikan oleh Mahkamah Agung RI
disesuaikan dengan prototype yang
ideal.
Pengadilan Agama Barabai yang
beralamat di Jalan H. Abdul Muis
Redhani No. 62 Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, saat ini
72
dinahkodai oleh Drs. H. Muhammad
Kurdi sebagai Ketua PA, Drs. Ali
Badaruddin, S.H., M.H sebagai Wakil
KPA, dan Drs. Hasani, S.H. sebagai
Panitera/Sekretaris,serta didukung
delapan orang hakim lainnya untuk
menyelesaikan rata-rata 63 perkara
yang masuk setiap bulannya.
Memang perkara cerai gugat
masih mendominasi jenis perkara
yang masuk, disamping cerai talak,
gugatan waris, isbat nikah, dispensasi
menjadi optimal, dan tentunya
semangat pelayanan untuk kaum
duafa dan terpinggirkan tersebut
mendapat sambutan positif dari
masyarakat.
Tidak perlu ada sidang insidentil
dan putusan sela, cukup ada perintah
pansek kepada Kuasa Pengguna
Anggaran untuk mengeluarkan biaya
panggilan pertama dalam perkara
prodeo. Perintah pansek tersebut
tentunya setelah adanya proses
nikah juga perubahan nama ikut
mewarnai perkara yang disidangkan
di PA Barabai.
Pengadilan Agama Barabai yang
memiliki misi “Memberikan Pelayanan
Hukum Yang Berkeadilan Kepada
Masyarakat Pencari Keadilan” bahkan
mampu memaksimalkan serapan
anggaran untuk perkara prodeo
sampai mencapai lebih dari 36
perkara dari 20 perkara yang
dianggarkan sepanjang tahun 2015.
SK KMA No. 26 Tahun 2012
tentang Standar Pelayanan Peradilan
sebagai payung hukum menyelesaikan
perkara prodeotanpa harus melalui
sidang insidentil dan putusan sela,
menjadi alasan mengapa serapan
anggaran untuk perkara prodeo
pemberitahuan perihal kondisi
anggaran prodeo kepada Ketua PA,
kemudian Ketua PA mengeluarkan
surat ijin berperkara secara cumacuma.
Pengadilan Agama Barabai yang
juga memiliki misi “Meningkatkan
kredibilitas dan transparansi dalam
penanganan masalah hukum di
Pengadilan Agama Barabai” telah
berhasil menorehkan beberapa
prestasi diantaranya penghargaan
dari Kementerian Keuangan Republik
Inodonesia dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Hulu Sungai Tengah
sebagai Peringkat Pertama kategori
kinerja penyerapan anggaran Tahun
2014 Satuan Kerja Lingkup Kabupaten
Hulu Sungai Tengah.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
PA INSPIRATIF
Pernah juga PA Barabai
menyabet sebagai juara pada tahun
2012 dalam upload putusan terbanyak
di Direktori Putusan dengan kategori
jumlah perkara antara 500 – 999 di
tahun 2011 melalui Info Perkara
Online, maupun penghargaan dalam
bidang
implementasi
dan
kelengkapan data dengan nilai 100%
pada aplikasi SIMPEG dan E-Doc
Online tingkat ms/pa Tahun 2014,
yang keduanya dikelola oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Komitmen Pimpinan Dan Spirit
Melayani
Merespon terlaksananya PERMA
Nomor 1 Tahun 2015 yang terus
disosialisasikan oleh Mahkamah
Agung sampai saat sekarang, PA
Barabai melakukan proaktif sehingga
sidang layanan terpadu tahun 2016 di
wilayah
P TA
Banjarmasin
direncanakan akan dilaksanakan di
Pengadilan Agama Barabai, Pelaihari
dan Tanjung.
Seperti dimaklumi oleh publik,
ada tiga brand unggulan Peradilan
Agama antara lain dalam bidang
layanan sidang keliling, layanan
prodeo dan layanan terpadu.
Komitmen
PA
Barabai
memberikan layanan sidang keliling
untuk masyarakat tidak mampun dan
terpinggirkan adalah komitmen
warisan para pendahulunya, bahkan
sejak era Kerapatan Kadi, layanan
Sidang keliling dilakukan juga oleh
kadi kalaitu, yang datang ke
ke c a m a t a n - ke c a m a t a n
untuk
menyelesaikan sengketa hukum
diantara anggota masyarakat.
Sementara merespon adanya
spririt inovasi layanan pengadilan
seperti digaungkan oleh Ketua
Mahkamah Agung RI dalam pidato
arahan Hari Jadi Mahkamah Agung ke70, dalam memberikan layanan prima
kepada masyarakat pencari keadilan,
ada dua komitmen inovasi yang
dikembangkan oleh PA Barabai antara
lain adalah pertama, akan dibukanya
posko layanan informasi yang dibuka
di hari-hari pasar yang ada di 13
kecamatan
dalam
wilayah
yurisdiksinya. Sehingga masyarakat
tidak perlu datang ke PA Barabai
berkali-kali hanya sekedar mencari
informasi prosedur berperkara,
persyaratan yang harus dipenuhi saat
mengajukan
gugatan
atau
permohonan dan berbagai informasi
lainnya.
Ke d u a ,
adalah
tentang
dibebaskannya biaya panggilan sidang
pertama untuk pihak dalam perkara
voluntair. PA Barabai akan melakukan
panggilan sidang pertama di tempat,
demi mencapai asas berperkara yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pengadilan Empat Zaman
Pengadilan Agama Barabai yang
memiliki
visi
“Mewujudkan
Pengadilan Agama Barabai yang
Agung” memiliki sejarah panjang
melampaui
empat
zaman
perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia, yaitu sejak zaman
penjajahan, zaman kemerdekaan,
zaman dualisme pembinaan, dan
zaman “satu atap”.
Uniknya semua fase sejarah yang
dilalui oleh PA Barabai semuanya
memiliki situs gedung yang masih
berdiri kokoh sampai saat ini.
Ada gedung Kerapatan Kadi Barabai
yang tidak lain merupakan rumah
pribadi Kadi H. Mochtar seorang Mufti
di kawasan itu, secara resmi dijadikan
gedung
pengadilan
tempat
menyelesaikan pengaduan hukum
oleh masyarakat Barabai pada tahun
1937 oleh pemerintah penjajah
Belanda saat itu.
Ada gedung Pengadilan Agama
Barabai di era Departemen Agama
yang diresmikan oleh H. Muchtar
Zarkasyi, SH., yang saat itu menjabat
Direktur Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, pada tanggal 21 Oktober
1985. Gedung tersebut saat ini berada
di area Masjid Agung Riyadush
Sholihin, karena beberapa Kadi saat
itu merangkap sebagai imam besar di
masjid tersebut.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
73
PA INSPIRATIF
Ada gedung Pengadilan Agama
Barabai yang modern di era satu atap
di bawah Mahkamah Agung yang
sudah dioperasikan sejak dua tahun
yang lalu, tepatnya pada tanggal 22
Mei 2013 saat diresmikan oleh YM
Ketua Mahkamah Agung RI.
Jasmerah Kerapatan Kadi
“JASMERAH” frasa yang
dicetuskan oleh mendiang Sang
Proklamator
RI,
Soekarno,
kepanjangan dari kata-kata JAngan
Sekali-kali MElupakan sejaRAH.
Mempelajari sejarah masa lalu untuk
mengetahui
betapa
besar
pengorbanan dan jasa-jasa orangorang yang dahulu berjuang demi
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Demikian pula halnya dengan
perjalanan Peradilan Agama, tidak
bisa lepas dari sejarah pendahulunya.
Mempelajari sejarah Peradilan Agama
tidak saja sekedar mengetahui kondisi
riil saat itu, tetapi juga dapat
menumbuhkan kecintaan yang
mendalam terhadap instansi
Peradilan Agama.
Sebagaimana halnya sejarah
Peradilan Agama di Indonesia yang
dimulai dengan terbitnya Staatsblaad
1882, maka Peradilan Agama di
Kalimantan Selatan dimulai dengan
terbitnya Staatsblaad 1937. Secara
khusus, di Kalimantan Selatan ini,
Pengadilan Agama dahulu dikenal
dengan istilah Kerapatan Kadi.
Keberadaan Kerapatan Kadi sebagai
lembaga peradilan bagi umat Islam
merupakan sesuatu yang mutlak
adanya (conditon sine quanon).
Eksistensinya berbanding lurus
dengan Islam dan pemeluknya.
Sebelum adanya Kerapatan Kadi
74
tersebut di daerah Barabai telah ada
Mufti yang menangani berbagai fatwa
agama, menangani pula fatwa yang
bertalian dengan nikah, talak, rujuk
dan warisan. Mufti pertama kali di
daerah Barabai pada saat itu dipegang
oleh H. M. Mochtar bin H. M. Hasan
(berdasarkan Surat Keputusan
Resident Zov Borneo tanggal 20
Februari 1932).
Sejak adanya Mufti tersebut,
kemudian tokoh masyarakat, para
tuan guru, alim ulama meminta
kepada Pemerintah Penjajah agar
orang Islam diberi kesempatan dan
wewenang untuk menyelesaikan
perkaranya yang menyangkut
kepentingan orang Islam, teristimewa
dalam bidang rumah tangga dengan
memakai tata aturan agama Islam.
Dari Pemerintah Hindia Belanda
dengan adanya gagasan-gagasan
ataupun permintaan-permintaan
umat Islam pada saat itu, maka
diadakanlah/lahirlah Statblaad Tahun
1937 Nomor 638 dan Nomor 639
tersebut.
Dengan
dikeluarkannya
Statblaad tersebut berarti eksistensi
dari pada peraturan Islam dan
kepentingan ummat Islam di sekitar
Banjarmasin dan Kalimantan Selatan
termasuk di dalamnya Barabai sudah
mulai mantap, dan dengan
dikeluarkannya Statblaad Tahun 1937
tersebut, pemerintah pada tanggal 21
Mei 1938 dengan Surat Nomor
58/B/1-3/38 mengangkat jabatan
sebagai Kadi yang pertama juga
mempercayakan kepada H. M. Mochtar
bin H. M. Hasan yang sebelumnya
sudah memangku jabatan sebagai
Mufti tersebut, dan sejak berdirinya
sampai dengan sekarang, di
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Pengadilan Agama Barabai sudah 7
(tujuh) kali pergantian pimpinan.
Meneladani Datuk Kelampaian
Menurut ahli sejarah, Islam di
Nusantara berkembang melalui
proses yang panjang hingga berdirilah
kesultanan dan kerajaan. Salah satu
diantaranya Kesultanan Banjar di
Kalimantan Selatan. Pada masa ini
yang amat berpengaruh dalam rangka
menerapkan Hukum Islam adalah
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari,
beliaulah yang memelopori pembentukan Lembaga Mufti dan Qadhi.
Kedua lembaga tersebut, kemudian
dipimpin oleh anak keturunannya.
Lembaga mufti dijabat oleh cucunya
bernama H. Muhammad As'ad
sementara lembaga Kadi dijabat
puteranya bernama H. Abu Su'ud bin
Muhammad Arsyad Al Banjari sebagai
Kadi pertama. Pada perkembangannya, terdapat sekitar 28 (dua puluh
delapan)
keturunan
Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari yang
menjabat sebagai Kadi
Lembaga ini kemudian menjadi
cikal bakal terbentuknya Kerapatan
Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di
Kalimantan Selatan oleh Pemerintah
Balanda, yang sekarang dikenal
dengan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
atau dikenal juga Datuk Kelampaian
(1710 – 1812 M) sebagai peletak dasar
penegakkan hukum Islam di
Kalimanan Selatan.Keilmuan Syekh
Arsyad tidak saja terkenal di
Kalimantan Selatan, tapi seantero
wilayah Indonesia, Brunei, Malaysia,
Arab Saudi, dan lain sebagainya.
PA INSPIRATIF
Penelaahan mengenai Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari menjadi
penting untuk aparat Peradilan
Agama, karena beliau penggagas
Kerapatan Kadi. Selain Kerapatan Kadi
Ada beberapa sebutan lain untuk
peradilan agama di berbagai wilayah
kerajaan di tanah air, antara lain di
Aceh dikenal dengan nama
“Mahkamah Syari'ah Jeumpa”, di
Sumatera Utara dikenal “Mahkamah
Majelis Syara'”, sementara di Sulawesi,
Maluku dan Irian Jaya yang
merupakan bekas wilayah kerajaan
Islam Ukai digunakan istilah “Hakim
Syara'” atau “Qadhi Syara'”. Selain itu,
di Sumbawa juga dikenal istilah
“Hakim Syara', di Sumatera Barat
disebut “Mahkamah Tuan Kadi” atau
“Angku Kali”, di Bima (NTB) dengan
nama “Badan Hukum Syara'”, dan di
Kerajaan Mataram dikenal dengan
“Pengadilan Surambi”.
Kefakihan seorang Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjri merupakan bukti
konkret bahwa masyarakat Islam saat
itu membutuhkan sosok pengadil yang
disebut Qadhi. Oleh karenanya,
keberadaan Qadhi atau Hakim
merupakan suatu keniscayaan dalam
suatu kehidupan bermasyarakat.
Tingkat keilmuan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari sebagai
sosok penggagas Kerapatan Kadi juga
menjadi inspirasi bagi para hakim,
agar senantiasa memperdalam
keilmuan baik secara formal dengan
melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi, maupun secara informal
dengan mengikuti berbagai pelatihan.
Fenomena Kampung Kadi
Hal fenomenal yang menjadi
inspirasi dari sejarah PA Barabai
adalah adanya kampung Kadi di
Barabai. Kampung Kadi ini sangat unik
dan istimewa, karena dari sinilah lahir
para tokoh anak keturunan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari yang
menjabat Kadi di masa penjajahan.
Selain menjadi Kadi, anak keturunan
tersebut juga sebagai pejuang Islam
yang disegani penjajah.
Terdapat keunikan pelembagaan
hukum Islam dalam sejarah Kerapatan
Kadi terutama di Barabai, termasuk
eksistensi Kerapatan Kadi dari
Kampung Kadi hingga menjadi
Lembaga Pendidikan Modern dari sisi
penggunaan Teknologi Informasi yang
menjadi suatu keniscayaan di
Peradilan Agama.Di era modernisasi
peradilan, Pengadilan Agama Barabai
beberapa kali meraih penghargaan
dari Diretorat Jenderal Badan
Peradilan Agama untuk tingkat
nasional.
Bahkan untuk tingkatl regional,
PA Barabai juga beberapa kali
menyabet penghargaan, seperti
diantaranya penghargaan yang
diterima dari KPN Kab. Barabai
sebagai juara penyerapan anggaran.
Masyarakat Kalimantan Selatan
sejak sebelum tahun 1937 telah
mengapresiasi penegakan hukum
Islam. Kecintaan umat Islam di
Kalimantan Selatan terhadap
penegakan hukum Islam sangat tinggi,
bahkan umat Islam di Kalimantan
Selatan ini meminta didirikannya
Kerapatan Kadi sebagai lembaga
penegakan hukum Islam, yang
akhirnya berevolusi menjadi
Pengadilan Agama Barabai pada saat
ini.
Peradilan Agama akan tetap
eksis, selama umat Islam ada.
Kecintaan terhadap Peradilan Agama
merupakan kecintaan terhadap
penegakan hukum Islam. Menjaga
Peradilan Agama adalah dengan caracara yang bermartabat seperti
menlajutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, penguasaan bahasa
asing, dan peningkatan kualitas
putusan.
|Mahrus, Hirpan Hilmi|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
75
KILAS PERISTIWA
Hakim Family Court of Australia
Berbagi Pengalaman di Badilag
MA Gelar Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik
Peradilan 2015
Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Mahkamah Agung (HUT MA) ke-70
yang jatuh pada 19 Agustus 2015 ini, MA secara resmi meluncurkan Kompetisi
Inovasi Pelayanan Publik Peradilan 2015. Kompetisi ini bakal diikuti seluruh
pengadilan tingkat pertama di empat lingkungan peradilan yang bakal diikuti
789 pengadilan terkait praktik pengembangan layanan publik di bidang
peradilan.
Kompetisi ini dimulai hari ini hingga 22 September 2015 dilanjutkan
dengan pengumuman hasil seleksi dokumen inovasi pada 5 Oktober.
Selanjutnya, seleksi tahap akhir sekaligus pengumuman pemenang akan
diselenggarakan pada 22 Oktober 2015.
Peter Murphy, hakim Family
Court of Australia (FCoA), berkunjung
ke Badilag, Jumat (26/6/2015).
Datang bersama penasehat FCoA,
Leisha Lister, ia disambut Dirjen
Badilag Drs. H. Abdul Manan, M.H. dan
para pejabat eselon II Badilag. Tujuan
kedatangan hakim tingkat banding itu
adalah berbagi pengetahuan dan
pengalaman mengenai sistem hukum
dan peradilan di negaranya,
khususnya mengenai perkembanganp e r ke m b a n g a n t e r k i n i h u ku m
keluarga di sana.
Ketua MA Memberikan Pembekalan kepada 40 Hakim
Diklat Ekonomi Syariah ke Riyadh
Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H.,
memberikan pembekalan kepada 40 hakim peradilan agama yang akan
mengikuti diklat ekonomi syariah di Sekolah Tinggi Peradilan, Universitas
Al Imam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh, Saudi Arabia, pada Kamis
(9/4/2015).Hadir juga dalam acara pembekalan yang berlangsung di
ruang rapat Wiryono, lantai 2 gedung Mahkamah Agung adalah Duta Besar
Arab Saudi untuk RI, Rektor LIPIA Jakarta, Wakil Ketua MA Non Yudisial,
Ketua Kamar Peradilan Agama, dan Dirjen Badilag.
Mahkamah Agung RI Perluas Kerjasama
dengan Mahkamah Agung Qatar
Ketua Mahkamah Agung RI YM. Prof.Dr.H. M. Hatta Ali,
SH, MH beserta rombongan melakukan kunjungan ke Qatar
dan Sudan pada hari Senin – Ahad, tanggal 1 – 7 Juni 2015.
Kunjungan ke Qatar untuk melakukan kerjasama
pendidikan dan pelatihan, khususnya di bidang ekonomi
syariah.
76
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
KILAS PERISTIWA
Penggagas UU Peradilan Agama Telah Wafat
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., salah seorang ahli
hukum Indonesia telah berpulang ke Rahmatullah. Busthanul Arifin meninggal dunia
di Jakarta pada hari Rabu (22/4/2015) pukul 11.00 WIB dalam usia 85
tahun.Bustanul Arifin yang biasa dipanggil Pak Bus lahir di Payakumbuh, Sumatera
Barat pada tanggal 2 Juni 1929 ini merupakan pakar hukum Islam yang pernah
menjadi hakim agung selama 26 tahun dengan jabatan terakhir sebagai Ketua Muda
Mahkamah Agung Bidang Peradilan Agama. Pak Bus juga merupakan salah satu tokoh
dibalik lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam.
Lahirnya UU PA dan KHI tidak terlepas dari peranannya.
Pertama di Ibukota, PA Jakarta Selatan
Raih Sertifikat ISO
Pada hari Rabu (17/6/2015), dilakukan Seremoni
penyerahan sertifikat ISO 9001:2008 kepada Pengadilan
Agama Jakarta Selatan di halaman belakang gedung yang
terletak di R Harsono. Salinan Sertifikat ISO diserahkan
oleh perwakilan pt Asricert Indonesia kepada Ketua Kamar
Agama Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H.,
S.Ip., M.H. Selanjutnya, Ketua Kamar Agama menyerahkannya kepada Sekretaris MA Nurhadi, S.H., M.H. Dengan
diserahkannya Sertifikat ISO beserta salinannya itu, maka
PA Jakarta Selatan kini menyandang predikat sebagai
pengadilan pertama dari empat lingkungan peradilan di
wilayah DKI Jakarta yang sukses meraih Sertifikat ISO.
Hattrick, MA Raih Opini WTP Lagi
Laporan keuangan Mahkamah Agung (MA) tahun 2014 mendapat opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan
demikian, MA berhasil mencetak hattrick. MA meraih opini tertinggi itu tiga tahun
berturut-turut pada 2012, 2013 dan 2014. Kepastian itu diperoleh Badilag.net
setelah mencermati Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2014. Laporan Nomor 74/LHP/XV/05/2015 itu
dibuat BPK pada 25 Mei 2015.
Enam Ketua PTA Dilantik Ketua MA
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H.
melantik dan mengambil sumpah sepuluh ketua
pengadilan tingkat banding, Senin (18/5/2015), di Gedung
Sekretariat MA, Jakarta Pusat. Sepuluh orang yang dilantik
Ketua MA itu terdiri dari enam Ketua Pengadilan Tinggi
Agama (PTA), satu Ketua Pengadilan Tinggi (PT) dan tiga
Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Enam Ketua PTA yang dilantik itu terdiri dari Ketua PTA
Banten, Ketua PTA Palangkaraya, Ketua PTA Mataram,
Ketua PTA Maluku Utara, Ketua PTA Gorontalo dan Ketua
PTA Bengkulu.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
77
KILAS PERISTIWA
Badilag Menguji Coba Aplikasi TPM-Online di 5 Wilayah
Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Ditjen Badilag telah menguji
coba aplikasi TPM-Online di lima wilayah yang dijadikan proyek percontohan. Ke-5
wilayah itu ialah PTA Banten, PTA Bandung, PTA Yogyakarta, PTA Semarang dan PTA
Surabaya.Karena dijadikan proyek percontohan, mulai sekarang kelima wilayah itu
harus mengirim usulan promosi dan mutasi ke Badilag dengan menggunakan TPMOnline.
Ketua PTA Perempuan Pertama Itu Telah Tiada
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Peradilan agama berduka. Ketua Pengadilan Tinggi
Agama Bengkulu Dra. Hj. Husnaini A, S.H., M.Ag menghembuskan nafas terakhirnya
pada Sabtu (4/4/2015), di RSUD M Yunus Bengkulu. Ketua PTA perempuan pertama
sepanjang sejarah eksistensi peradilan agama di nusantara itu wafat dalam usia 62
tahun setelah terserang Hepatitis C dan mendapat perawatan selama sebulan
terakhir.
Jenazah almarhumah dimakamkan keesokan harinya di Desa Kapau, Bukit Tinggi,
Sumatera Barat.
Mahasiswa STAIN Pekalongan
Kunjungi Badilag
Sekitar 75 orang mahasiswa Jurusan SyariahSTAIN
PekalonganProdi Ahwalal Syahshiyyah yang dipimpin oleh
Abdul Hamid, MA. selaku Dosen Pembimbing melakukan
kunjungan KKL (Kuliah Kerja Lapangan) ke Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama, Selasa (21/4/2015).
Rombongan diterima langsung oleh Kepala Bagian
Organisasi dan Tata Laksana Ditjen Badilag, Dr. Abu
Tholhah, M.Pd. dan Kepala Sub Direktorat Mutasi Hakim,
Nurjanah, SH.,MH. dalam hal ini mewakili Direktur
Jenderal, di Ruang Rapat lantai VI Gedung Sekretariat
Mahkamah Agung RI.
Wakil Ketua MA Membuka
Bimtek Ekonomi Syariah di Semarang
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial H.
Suwardi, S.H., M.H membuka bimbingan teknis ekonomi
syariah yang diselenggarakan Pengadilan Tinggi Agama
Semarang, 9-11 Juni 2015, di Semarang. Bimtek ini diikuti
oleh 144 peserta yang terdiri dari Wakil Ketua, hakim,
Wakil Panitera dan jurusita PA se-Jawa Tengah.
78
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
KILAS PERISTIWA
Descente PA Sekayu Menerabas Hutan
Menyusuri Sungai
Menyusul Putusan Sela PTA Palembang dalam perkara
banding yang sedang berlangsung, Majelis Hakim PA
Sekayu, hari Jum'at (12/6/2015), melaksanakan sidang
pemeriksaan setempat (descente) di desa Beruge,
kecamatan Babat Toman, kabupaten Sekayu. Tak seperti
biasanya, medan yang harus ditempuh untuk sidang
pemeriksaan setempat dalam perkara ini dapat dibilang
rumit. Pasalnya, dari 5 objek yang diperiksa, dua di
antaranya berada di seberang sungai Musi.
ParagrapPA Sintang Gelar
Sidang Perdana Isbat Nikah Terpadu
di Kabupaten Melawi
Bertempat di Pendopo Bupati Kabupaten Melawi, PA Sintang
menyelenggarakan sidang isbat nikah terpadu, Kamis (23/4/2015.
Pelayanan Hukum Terpadu yang diprakarsai oleh Gabungan Organisasi
Wanita (GOW) Kabupaten Melawi ini melibatkan 3 instansi sekaligus
yaitu Pengadilan Agama Sintang, KUA Kecamatan Nanga Pinoh
Kabupaten Melawi serta Dinas catatan Sipil Kabupaten Melawi.
PA Sijunjung Gelar Sidang Keliling
Terpadu tahun 2015 di Pulau Punjung,
Dharmasraya
Bertempat di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Sungai Dareh,
Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya pada hari Kamis
(16/4/2015), PA Sijunjung kembali menggelar Sidang Keliling Terpadu
Isbat Nikah yang sebelumnya diadakannya di Kamang Baru Kabupaten
Sijunjung. Kegiatan Sidang Keliling Dalam Pelayanan Terpadu Identitas
Hukum di Pulau punjung ini berjalan lancar dan sesuai rencana. Acara
ini dibuka secara resmi oleh Bupati Dharmasraya dan juga dihadiri oleh
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang, Ketua DPRD Dharmasraya,
Kepala Kejaksaan Negeri Dharmasraya, beserta seluruh Pimpinan
Daerah di Kabupaten Dharmasraya.
PA Praya, PUSKAPA UI, AIPJ dan Kemenag
serta DUKCAPIL Lombok Tengah
Bahas Identitas Hukum Anak
Pada hari Kamis, (2/7/2015) bertempat di ruangan sidang
dua PA Praya, berlangsung Diskusi yang dipimpin oleh
Pusat kajian Perlindungan Anak dan Australia Indonesia
Partnership for Justice (AIPJ) beserta tiga lembaga PA
Praya, Kemenag, Dinas Catatan Sipil. Diskusi yang juga di
hadiri oleh perwakilan dari Columbia University Mailman
School of Public Health ini membahas tentang pentingnya
identitas hukum kepada masyarakat yang berada di
Lombok Tengah serta bagai mana menyelesaikan
permasalahan tentang Legal Identitas masayarakat
khususnya masyarakat Lombok Tengah.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
79
AKTUAL
Urgensi Polisi Pengaman Peradilan
S
eorang pria mengamuk di ruang
tunggu Pengadilan Agama Batam.
Menggunakan pisau, dia
menusuk istri dan mertuanya. Istrinya,
yang hendak melakoni sidang perkara
perceraian, terluka di bagian
punggung. Nahas menimpa sang
mertua. Dia tersungkur hingga
meninggal dunia. Pria itu akhirnya
tertusuk pisaunya sendiri ketika para
pengunjung PA Batam beramai-ramai
menghentikan aksi brutalnya. Dia
tewas saat dirawat di rumah sakit.
Tragedi pada Kamis siang, 11
Juni 2015, itu bukan peristiwa tragis
pertama dan satu-satunya di
pengadilan. Peristiwa serupa, dengan
kadar ketragisan yang berbeda-beda,
telah terjadi di pelbagai pengadilan di
negeri ini. Sebelum ini, tragedi
berdarah yang paling mengerikan
terjadi di PA Sidoarjo pada tahun 2005,
ketika seorang kolonel angkatan laut
membunuh istri dan seorang hakim
yang menyidangkan perkara harta
gono-gininya dengan menggunakan
80
sangkur di ruang sidang.
Yang Maha Esa”.
Kini, timbullah rupa-rupa
pertanyaan: Mengapa peristiwa
serupa itu bisa terjadi berkali-kali?
Seperti apa sesungguhnya pengamanan di gedung pengadilan saat ini? Apa
saja upaya nyata yang dapat ditempuh
untuk mengantisipasi agar peristiwaperistiwa serupa tidak terjadi?
Sebagai tempat bertemu dan
bergumulnya orang-orang bermasalah, pengadilan dapat menjadi
arena tanding otak dan otot sekaligus.
Agar pihak-pihak yang bersengketa
tidak menyubstitusi kemampuan
otaknya dengan ketangguhan ototnya,
diciptakanlah hukum acara atau
hukum formil. Hukum formil juga
dipakai hakim agar hukum materiil
dapat diterapkan secara tepat.
Keadilan substantif hanya dapat
diperoleh jika keadilan prosedural
ditegakkan.
Pertama-tama, perlu dipahami
bahwa pengadilan adalah muara
penyelesaian kasus dan sengketa
dalam masyarakat yang beradab.
Karena itu orang menyebutnya
benteng terakhir pencari keadilan.
Namun ada pula yang menyebutnya
keranjang sampah, karena pengadilan
adalah tempat bagi orang-orang
bermasalah mencari jalan keluar agar
'sampah'-nya tidak terlalu busuk, atau
syukur-syukur dapat didaur ulang.
Nasib para pemburu keadilan itu
ditentukan oleh para hakim yang
memutus dengan tagline “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Sayangnya, hukum formil terlalu
ciut. Ia hanya mengatur bagaimana
para pihak berhantam-hantaman
argumen dan adu kuat bukti di ruang
sidang. Hukum formil tidak menjangkau soal-soal lain yang lebih
sepele namun bisa berdampak fatal,
mulai dari cara berpakaian, bendabenda yang boleh dibawa, hingga
kelakuan-kelakuan yang tidak elok.
AKTUAL
Menyadari lubang regulasi itu,
maka diciptakanlah tata tertib untuk
pengunjung pengadilan yang berlaku
tidak hanya untuk orang-orang yang
akan dan telah bersidang, namun juga
untuk penonton, wartawan, tukang
demo, sales, dan bisa jadi juga makelar
yang mengaku-aku bisa menskenariokan hasil akhir putusan hakim.
Ternyata tata tertib itu juga tidak
m e m a d a i . D i s a m p i n g ka d a n g
rumusan-rumusannya terlalu obscuur,
juga tidak ada aparat khusus yang
diberi tanggung jawab untuk
memastikan tata tertib itu ditaati.
Kalaupun ada personil yang ditunjuk
untuk mengamankan pengadilan,
jumlah, kemampuan dan peralatannya
tidak sebanding dengan tanggung
jawab yang dipikulnya.
Sebagai contoh, seluruh pengadilan dalam tata tertibnya melarang
setiap pengunjung membawa senjata
api, senjata tajam dan senjata-senjata
lainnya. Nyatanya, tata tertib itu hanya
garang di atas kertas. Tidak semua
pengadilan punya satuan pengaman
(satpam). Kalaupun ada satpam, pada
umumnya mereka merangkaprangkap peran: dari mengatur tempat
parkir, mengatur antrian sidang,
hingga membentaki orang di ruang
tunggu yang merokok semau bibirnya.
Belakangan, satpam-satpam di
pengadilan dibekali metal detector.
Itupun tidak banyak berdaya guna.
Sebab utamanya karena masih sedikit
pengadilan yang menerapkan aturan
single gate. Orang bisa masuk ke
gedung dan fasilitas-fasilitas
pengadilan dari banyak pintu dan
berbagai celah. Sebab lainnya, dan ini
sungguh bisa memicu tawa, ada
sebagian satpam yang tidak bisa
mengoperasikan metal detector.
Pernah ditemukan di sebuah
pengadilan, metal detector teronggok
di gudang. Ketika ditanya, satpam di
sana menjawab bahwa dia baru tahu
ternyata metal detector itu menggunakan baterai dan, apesnya, dia tidak
tahu cara mengganti baterai yang
dayanya sudah ludes.
Selama ini, aparat kepolisian
dilibatkan dalam pengamanan di
pengadilan-pengadilan hanya jika ada
persidangan perkara yang menarik
perhatian publik atau sidang yang
dihadiri oleh massa dari dua kubu
yang berseteru berpotensi rusuh.
***
Pengamanan
pengadilan
sejatinya telah menjadi perhatian
serius Mahkamah Agung yang
membawahi empat lingkungan
peradilan di seluruh Indonesia. Salah
satu penandanya ialah dimasukkannya persoalan tersebut dalam
Rancangan Undang-Undang Tindak
Pidana Penyelenggaraan Peradilan
atau lebih dikenal dengan RUU
Contempt of Court.
Bab V RUU yang naskahnya
disiapkan oleh Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) itu mengatur
tentang Pengamanan Penyelenggaraan Peradilan. Pengamanan di situ
dibagi dua, yaitu di dalam persidangan
dan di luar persidangan.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
81
AKTUAL
Pasal 13 ayat (1) RUU tersebut
menyatakan bahwa hakim atau
pengadilan dapat mengeluarkan
perintah kepada petugas Kepolisian
Republik Indonesia atau polisi
pengamanan peradilan untuk
mengamankan penyelenggaraan
peradilan. Ayat (2) kemudian merinci,
untuk mengamankan di dalam
persidangan, perintah sebagaimana
disebut dalam ayat (1) dapat
dilakukan secara lisan dan untuk
pengamanan di luar persidangan
dapat dilakukan dengan penetapan.
Pertanyaan yang mungkin
timbul: Mengapa tugas pengamanan
peradilan perlu dibebankan kepada
polisi dan apakah pengamanan
peradilan oleh polisi tidak malah jadi
bumerang yang akan merecoki
independensi peradilan?
Ada beberapa jawaban yang
dapat dikhalayakkan. Pertama, secara
khittah Polri punya fungsi untuk
memelihara ketertiban masyarakat, di
samping fungsi-fungsi lainnya.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan dan
ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat.
Kedua, polisi jauh lebih powerfull
daripada satpam internal pengadilan.
Polisi lebih terlatih dan dibekali
senjata. Lebih dari itu, polisi punya
wewenang untuk memeriksa,
menggeledah, menyita, menangkap
dan menahan seseorang atau
beberapa orang yang melakukan
tindak pidana Contempt of Court.
Yang tergolong Contempt of
Court bukan saja menyerang dan/atau
m e m b u n u h h a k i m d a n a p a ra t
peradilan. Tindakan serupa yang
ditujukan kepada pihak-pihak yang
berperkara di pengadilan juga
tergolong Contempt of Court, atau
lebih tepatnya disebut direct contempt
of court-sebab ada juga indirect
contempt of court-karena mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan peradilan.
Ketiga, jika Polri terkendala oleh
keterbatasan personil, sarana dan
82
Nanti, polisi pengaman
peradilan dapat bekerja
di ruang sidang maupun
di luar ruang sidang,
seperti di halaman,
tempat parkir, ruang
pendaftaran perkara, dan
ruang tunggu sidang.
anggaran, dimungkinkan untuk
membentuk polisi khusus yang
membantu polisi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 UU Polri, asalkan ada
peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya.
Yang disebut polisi khusus,
sesuai penjelasan pasal tersebut, ialah
instansi dan/atau badan pemerintah
yang oleh atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan
diberi
wewenang untuk melaksanakan
fungsi kepolisian di bidang teknisnya
masing-masing.
Sudah ada beberapa contoh
polisi khusus, misalnya polsus
kehutanan dan polsus imigrasi.
Karena itu, jika nanti dibentuk polsus
pengadilan yang membantu polisi,
tentu bukan hal yang nyeleneh. Tentu,
kewenangan polsus tidak seluas
kewenangan yang dipunyai polisi pada
umumnya.
Keempat, kehadiran polisi di
p e n ga d i l a n t i d a k m e n g ga n g g u
independensi peradilan, asalkan
diatur secara tepat.
Perlu dipahami, 740 pengadilan
di seluruh Indonesia adalah unit-unit
kerja di bawah Mahkamah Agung yang
menjalankan fungsi kekuasaan
kehakiman. Sebagai lembaga
yudikatif, pengadilan bersifat
independen. Independensi itu
terutama menyangkut bidang yudisial,
yaitu menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara. Dalam bidang non-yudisial,
pengadilan semi-dependen.
Artinya, meski berstatus
pemegang kekuasaan yudikatif yang
secara ketatanegaraan terlepas dari
kekuasaan eksekutif dan legislatif,
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
namun dalam hal organisasi,
administrasi, sumber daya manusia
dan keuangan, MA dan pengadilanpengadilan di bawahnya masih harus
bermitra dengan pemerintah dan DPR.
Besarnya anggaran pengadilan,
misalnya, merupakan hasil rembugan
dan persetujuan banyak pihak, mulai
Bappenas, Kementerian Keuangan,
hingga DPR.
Demikian halnya dengan
pengamanan peradilan. Adalah lazim
belaka jika MA dan Polri bermitra
u n t u k m e n ga m a n ka n j a l a n nya
peradilan, dengan syarat dan
ketentuan tertentu, yang meliputi
wewenang, wilayah kerja, alur
instruksi, serta pelaporan yang
dibebankan kepada polisi.
Nanti, polisi pengaman peradilan
dapat bekerja di ruang sidang maupun
di luar ruang sidang, seperti di
halaman, tempat parkir, ruang
pendaftaran perkara, dan ruang
tunggu sidang.
Namun harus dimengerti bahwa
tidak semua proses persidangan di
pengadilan terbuka untuk umum.
Persidangan
untuk
perkara
perceraian, asusila dan kasus yang
melibatkan anak-anak, misalnya,
prosesnya harus dilakukan secara
tertutup. Kecuali majelis hakim dan
para pihak yang bersidang, tidak ada
yang boleh memasuki ruang sidang,
termasuk polisi.
Untuk mengantisipasi terjadinya
kerusuhan dan guna melindungi
majelis hakim yang sedang menyidangkan perkara secara tertutup,
di meja majelis hakim harus tersedia
tombol alarm yang sewaktu-waktu
bisa dipencet, sehingga polisi yang
berjaga di luar ruang sidang dapat
segera masuk dan mengambil
tindakan.
Jangan sampai yang terjadi
malah sebaliknya. Ketika dilanda
panik karena ada pengunjung sidang
yang mengamuk, ketua majelis hakim
lekas-lekas meraih telpon genggamnya, lalu memencet nomor HP satpam.
Orang yang dihubungi ternyata sedang
ngopi di kantin, sementara ruang
sidang telah bersimbah darah.
Sungguh naudzubillah…
|Hermansyah|
Selamat Tahun Baru
1437 Hijriyah
Selamat Atas Suksesnya Penyelenggaraan
Turnamen Nasional Tenis Beregu
Piala Ketua Mahkamah Agung RI
Denpasar, Bali, 10 - 17 Oktober 2015
Beregu Putra
Beregu Putri
Juara I
: Mahkamah Agung
Juara I
: PTA Jakarta
Juara II
: PTA Bandung
Juara II
: PT Surabaya
Juara III
: PTA Surabaya &
Juara III
: PT Bandung &
: PTA Semarang
: PT Sulbar
KISAH NYATA
Do'a yang Terjawab
23 Tahun Kemudian
Oleh: Muhammad Iqbal, SHI., MA (Hakim PA Cilegon)
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu,
padahal itu baik bagimu, dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu
tidak baik bagimu. Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui”.
(QS. Al-Baqarah : 216).
H
ari itu… Jum'at 23 Oktober 1981
pukul 02.00 dini hari Waktu
Cairo, di sebuah rumah sakit
yang bernama “al-Ma'adzah” oleh
seorang dokter bernama Ismat Qadhi,
di daerah Heliopolis-Cairo, terlahir
seorang bayi laki-laki dengan berat +
3,5 Kg, anak kedua dari pasangan
mahasiswa Universitas al-Azhar asal
Indonesia. Bayi yang telah ditunggutunggu kelahirannya, bayi yang
menurut perhitungan dokter lahir
tanggal 8 Oktober 1981, 15 hari
sebelumnya.
Ketika si bayi dilahirkan,
sebenarnya sang ibu sedang mendapat
beasiswa untuk melanjutkan ke
jenjang berikutnya di Universitas yang
sama, suatu kesempatan emas
buatnya, bahkan ia merupakan satusatunya mahasiswa perempuan asal
Indonesia yang mendapat kesempatan
emas ketika itu, namun… karena
cintanya kepada sang bayi, ia rela
melepas kesempatan itu dengan
berkata “Insya Allah saya akan
menyambung kuliah study S2 bersama
anakku kelak”.
Sekitar tahun 1983, keluarga
kecil ini kembali ke Medan-Indonesia,
dengan menumpang tinggal di sebuah
perumahan kampus Universitas AlWashliyah (UNIVA), mereka
membangun keluarga ini dengan
status pekerjaan sebagai Dosen. Hinga
84
lahir pula dua orang anak perempuan,
Eliza (1984) dan Nawal (1985). Tapi
sayangnya, lima bulan setelah
kelahiran Nawal, sang ayah berpulang
ke rahmatullah, berpulang ke sang
kekasihnya disebabkan penyakit lever
yang dideritanya.
Sejak itulah, sang ibu dengan
susah
p aya h nya
m e n ga s u h ,
membesarkan, dan mendidik keempat
anaknya hingga kini. Tanpa rasa lelah,
tanpa keluhan beliau terus dan terus
berusaha agar kelak, keempat anaknya
bisa menjadi orang yang berhasil.
Meskipun hidup tanpa seorang
ayah, bukan berarti kasih sayang tidak
diterimanya. Beradaptasi di sekolah
maupun di kampus, si anak selalu
menganggap guru maupun dosennya
layaknya orang tuanya, sehingga ia
selalu beranggapan dan dengan
bangganya ia mengatakan “orang
tuaku banyak, dan semua orang tuaku
itu sayang sama aku”.
Sebagaimana halnya dengan
anak-anak lainnya, ia juga memiliki
cita-cita, ketika itu ia bercita-cita ingin
menjadi seorang DOKTER, ya seorang
dokter dengan segudang JARUM. Sama
atau tidak dengan anak-anak lain, ia
punya niat yang tulus ingin membantu
orang sakit dan orang susah. Mungkin
saja ini terilhami dari cerita sang ibu
yang menceritakan susahnya mencari
biaya pengobatan ketika sang ayah
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
sakit.
Sejak duduk di bangku SD, MTs,
maupun Aliyah juara kelas selalu ia
raih, bahkan di perkuliahan ia juga
merupakan alumni lulusan tercepat
dan terbaik fakultas (2004) dengan
predikat “sangat memuaskan”.
Sementara prestasi di luar sekolah, ia
pernah menjadi Duta Sumatera Utara
pada acara Musabaqah Tilawatil
Qur'an (MTQ) ke-19 tahun 2000 di
Palu – Sulawesi Tengah untuk cabang
Musabaqah Fahmil Qur'an (Cerdas
Cermat Isi Kandungan al-Qur'an),
meskipun tidak sampai juara.
Setamat sekolah, ia mencoba ikut
UMPTN dengan mengambil jurusan
Kedokteran di Universitas Sumatera
Utara dan pilihan kedua di Universitas
Sriwijaya dengan jurusan yang sama.
Namun, dasar nasib yang tidak
mendukung, UMPTN kali ini gagal
total, dan sebagai antisipasinya, ia pun
kuliah di IAIN-SU dengan jurusan
Ahwalussakhsiyah (Hukum Perdata
Islam). Niat awal sih untuk
menghindari status “pengangguran”,
sambil menunggu tahun depan ikut
UMPTN lagi. Cerita punya cerita,
p e r j a l a n a n wa k t u s a t u t a h u n
mengubah cita-citanya yang semula
ingin jadi “dokter” menjadi “tak punya
cita-cita”, yang penting cepat tamat,
dapat ijazah, dan kerja.
KISAH NYATA
“
Cerita punya cerita,
perjalanan waktu satu tahun
mengubah cita-citanya
yang semula ingin
jadi “dokter”
menjadi “tak punya
cita-cita”, yang penting
cepat tamat,
dapat ijazah, dan kerja.
“
Sukses di sekolah dan di kampus,
bukan serta merta sukses pula di dunia
kerja. Banyak pengalaman pahit yang
dirasakan, bahkan dua kali mencari
kerja di Jakarta juga tak luput dari
incarannya, dunia perbankan dan
instansi pemerintahan (Deplu) pernah
dicoba, namun Allah selalu
memberikan YANG TERBAIK buatnya
berupa “KETIDAKLULUSAN”.
Syukur alhamdulillah, rutinitas
hariannya sebagai satu-satunya anak
lelaki yang bertugas “extra”
dibandingkan dengan saudarasaudara perempuannya, mendorong ia
harus terus berada di luar rumah,
mengantar sang ibu kemanapun sang
ibu pergi, baik ke kampus tempat sang
ibu kerja, maupun ke tempat-tempat
perwiridan kaum ibu yang dibina
ibunya.
Tahun itu, tahun 2004, di satu sisi
ia baru tamat kuliah dan sedang
berusaha mencari kerja, sementara
sang ibu, sebagai seorang Dosen yang
masih berpendidikan strata satu,
diwajibkan kuliah strata dua. Si ibu
menyarankan agar selama menunggu
panggilan kerja gimana kalau ia
mendaftar kuliah S2 aja, hitung-hitung
positif-nya, kalau lulus dan dapat
beasiswa, tapi tidak dipanggil kerja ya
tetap ngantar sekaligus kuliah, hitunghitungannya lagi ya menghindari
status “PENGANGGURAN”, walaupun
s e b e n a r nya m a h a s i swa i t u ya
“PENGANGGURAN TERSELUBUNG”
seperti kata Dosen-nya saat mengajar
mata kuliah Ekonomi Pembangunan.
Nah, pernahkah kita berpikir,
bahwa do'a maupun ucapan kita yang
telah lama baru dikabulkan setelah
bertahun-tahun bahkan setelah kita
lupa dengan do'a tersebut??
Allah Maha Kuasa atas segalagalanya, + 23 tahun sebelumnya,
kalian pasti ingat, ketika si anak lahir
dan sang ibu dengan relanya melepas
kesempatan meraih beasiswa S2 di AlAzhar, satu Universitas ternama di
dunia, dengan mengatakan “Insya
Allah saya akan menyambung kuliah
study S2 bersama anakku kelak”,
perkataan ini DI JAWAB OLEH ALLAH
SWT. Lalu pantaskah kita su'udzzan
terhadap Allah ??
Selama kuliah, tak bosanbosannya ia melamar kerja, tiap libur
semester dengan sisa uang beasiswa ia
berangkat ke Jakarta, mau mencoba
mengundi nasib di perantauan,
sebenarnya, keberhasilan itu sudah
terlihat ketika mencoba melamar
kerja di salah satu perbankan di
ibukota untuk jabatan Account Officer,
ketika itu ia berada diperingkat tengah
dari jumlah peserta yang akan
diLULUSkan, pun ternyata tidak lulus,
mungkin ini dikarenakan sayangnya
Allah kepadanya dengan memberikan
kesempatan kepadanya untuk
berbakti kepada sang ibu.
Waktu terus berjalan, hingga
pada tahun 2007 ia mendapat sms dari
seorang teman, di sms itu tertulis
“Informasi Penerimaan Cakim … dst.
Pada awalnya sih, ia tidak berminat,
tapi untuk menyenangkan hati sang
ibu yang mengharapkan ia ikut dalam
perekrutan pegawai ini, akhirnya ia
pun mencoba. Kali ini ia berdo'a
dengan do'a yang berbeda dari
sebelumnya, jika sebelumnya setiap
mengikuti ujian penyaringan ia
berdo'a “Ya Allah.. berikan yang
terbaik
kepadaku”
dengan
konsekwensi menerima apapun hasil
yang akan diberikan Allah, lulus atau
tidak. Kali ini ia berdo'a dengan
kalimat “Ya Allah.. jadikan ini yang
terbaik bagiku saat ini, dan bila ada
yang lebih baik bagiku, bimbing aku
keluar darinya”.
Rezeki tak dapat ditolak, tepat
tanggal 9 Mei 2007, ia melihat
namanya ada di antara 10 peserta yang
lulus Cakim untuk wilayah SUMUT.
Allah SWT Maha Kuasa, dengan
bermodalkan do'a sang ibu dan
keyakinan akan kuasa Allah, ia lulus
bersama ratusan Cakim lainnya.
Namun ada satu hal yang sebelumnya
dirahasiakan oleh sang ibu ke si anak,
bahwa selama ini, sang ibu selalu
mendo'akan agar Allah TIDAK
MELULUSKAN anaknya, baik ketika
melamar kerja di Perbankan maupun
di Deplu, dengan alasan “belum siap
berpisah dengan anaknya”.
Ada dua sms ucapan yang paling
berkesan padanya. Yang pertama, sms
dari seorang teman PNS, yang
mengatakan innalillah…kata sang
teman, dengan alasan ia akan rusak
dengan sistem yang ada, dan yang
kedua, sms dari seorang teman yang
lain, yang mengatakan : “Selamat,
semoga amanah. Ingat, Allah
menempatkan seseorang itu sesuai
dengan tempat dan kemampuannya,
dan kau adalah orang yang TERPILIH
untuk itu”.
***
29 Juni 2010, ia dilantik menjadi
seorang Hakim di Pengadilan Agama
Muara Bungo-Jambi, suka duka
dialaminya sendiri di perantauan,
biasa tinggal di daerah dengan
penduduk yang ramai kini tinggal di
suatu daerah yang jauh berbeda
dengan harapannya. Sebulan, dua
bulan, tiga bulan, ia lewati dengan
sabar dan berpikir “bagaimana ia bisa
cepat keluar dari daerah ini”,
sementara ia tidak punya nilai jual
(personal value), tapi bagaimana
caranya?
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
85
KISAH NYATA
86
“
Dengan memberanikan diri,
ia berangkat ke Badilag
menemui Bapak Dirjen,
yang terhormat
Bapak Wahyu Widiana,
berbekal sebuah
karya sederhana
“e-book Buku II” (2011),
Alhamdulillah ia mendapat
support dari sang
decision maker, dan
Alhamdulillah berbekal
support itu pula belakangan
ia berhasil membuat
e-book lainnya dengan
bantuan teman-teman
seprofesinya seperti
“e-book Himpunan Peraturan
Perundang-undangan
di Lingkungan
Peradilan Agama” (2012),
“e-book Himpunan Peraturan
Peradilan Agama bidang
Ekonomi Syariah” (2014),
dan “e-book Kompilasi
Hukum Islam versi Arab” (2015)
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
“
Hari sabtu dan minggu
merupakan 2 hari yang paling tidak
mengasyikkan baginya, ia yang
biasanya tidak pernah ada di rumah,
berubah menjadi anak rumahan.
Berbeda jauh dengan keadaannya di
kota asal, hari Sabtu dan Minggu
merupakan hari yang ditunggutunggu, karena bisa refreshing dan
bisa jalan-jalan sepuasnya. Tapi di
Muara Bungo, jika tidak ada kegiatan
baru di dua hari tersebut, bisa jadi
seharian di kamar saja, keluar kamar
hanya untuk menjemur pakaian, dan
pergi ke warung “Ampera” untuk
makan.
Hingga pada suatu hari ia
berpikir
“mungkin
dengan
melanjutkan study ia akan bisa keluar
dari sini”. Beberapa bulan kemudian ia
mendapat kesempatan dari Mesir
untuk mengikuti short course bahasa
arab selama 3 bulan di satu lembaga
bahasa Arab bernama Lisanul Arab.
Dengan memberanikan diri, ia
berangkat ke badilag menemui Bapak
Dirjend, yang terhormat Bapak Wahyu
Widiana, berbekal sebuah karya
sederhana “e-book Buku II” (2011),
Alhamdulillah ia mendapat support
dari sang decision maker, dan
Alhamdulillah berbekal support itu
pula belakangan ia berhasil membuat
e-book lainnya dengan bantuan
teman-teman seprofesinya seperti “ebook
Himpunan
Peraturan
Perundang-undangan di Lingkungan
Peradilan Agama” (2012), “e-book
Himpunan Peraturan Peradilan Agama
bidang Ekonomi Syariah” (2014), dan
“e-book Kompilasi Hukum Islam versi
Arab” (2015), dan alhamdulillah
semua karya sederhana ini
belakangan menjadikannya bernilai
jual, hehehe…..
Rejeki belum berpihak kepadanya, dengan alasan tertentu, ia tidak
memperoleh izin untuk mengikuti
short course bahasa arab di Mesir
tersebut, namun meskipun tidak jadi
berangkat, setidaknya ada karya yang
bisa ia persembahkan buat rekanrekan hakim, dan siapa tahu, jika Allah
swt berkehendak suatu saat nanti,
mungkin saja ia bisa ikut diberangkatkan ke Riyadh untuk mengikuti
pelatihan Ekonomi Syari'ah, batinnya,
hehehe…
Menjalani profesi Hakim di
Pengadilan Agama Muara Bungo gak
selamanya berjalan mulus, pernah
satu kali ia bersama rekan-rekan
Hakim dan bahkan bersama
pengamanan yang bertugas melakukan Descente dikejar pakai parang
oleh Tergugat, lari menuruni tanah
yang berbukit, melompati parit dan
bersembunyi di dalam rawa-rawa
turut ia lakoni. Tanggung jawab akan
kerjaan membuatnya harus siap
dengan segala resiko. Bahkan dengan
kejadian tersebut, ia banyak mendapat
pelajaran berharga bagaimana
menyikapi dan menyelesaikan konflik
di lapangan, pelajaran yang tentunya
tidak akan ia dapatkan di buku
pelajaran manapun namun hanya di
dapat dari pengalaman kerja.
Mutasi dan promosi bagi seorang
Hakim adalah suatu yang pasti, namun
kapan dan di daerah mana akan
ditempatkan itu yang bersifat tidak
pasti. Kita harus Husnuzzon, jangan
pernah melihat ataupun membandingkan hidup kita dengan apa
yang didapat orang lain, yakinkan
bahwa ini merupakan tempat yang
terbaik buat kita, sesekali lihatlah ke
bawah jangan lihat ke atas terus.
Bayangkan saja jika ada orang yang
lebih susah dengan penempatan
barunya. Bersiaplah dengan resiko
terburuk, karena kalau kita sudah siap
di tempat yang terburuk tentu
semuanya aman-aman saja, dan kalau
tidak di tempatkan di tempat terburuk
tersebut, justru tidak ada beban
pikiran lagi dan pasti akan menerima
dengan senang hati. Semua pasti ada
hikmahnya, kita tidak tau, penempatan yang kita sesali boleh jadi
merupakan tempat kita menempah
diri. 26 Juni 2013, TPM diumumkan
dan ia dimutasi ke Cilegon-Banten, ia
harus kembali belajar beradaptasi,
otaknya kembali berpikir, karya apa
lagi yang akan dibuat? Masih terlalu
dini untuk berbahagia ataupun
bersedih hati, karena umur yang
masih muda dan masa depan yang
masih panjang. Trus.. emangnya
kenapa aku harus peduli dengan
dia…??? Jawabannya adalah … karena
“dia” adalah “aku”.
EKONOMI SYARI’AH
Diklat Ekonomi Syariah Riyadh Angkatan III
TRANSAKSI BISNIS MODERN JADI
MATERI PRIMADONA
Antusiasme peserta begitu tinggi, terutama materi yang berkaitan dengan ekonomi syariah.
Tak ayal, saking antusiasnya, para dosen sering dihujani pertanyaan.
M
ahkamah Agung RI melalui
Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama (Ditjen
Badilag MA RI), terus berupaya
melakukan pembinaan teknis yustisial
dan non yustisial secara berkelanjutan. Pembinaan tersebut dilakukan
baik melalui kegiatan bimbingan
teknis yang diselenggarakan oleh
Ditjen Badilag MA RI maupun oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan,
Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan
Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil
MA RI).
Selain bimbingan teknis oleh
lembaga internal, Ditjen Badilag MA RI
juga menjalin kerjasama dengan
berbagai lembaga eksternal untuk
meningkatkan kapasitas hakim di
bidang ekonomi syariah. Kerjasama
tersebut antara lain dengan Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Fakultas Hukum Khartoum University
Sudan, dan Sekolah Tinggi Peradilan
U n ive r s i t a s
Islam
Al-Imam
Muhammad Ibnu Suud, Riyadh,
Saudi Arabia.
Terkait dengan kerjasama yang
disebutkan terakhir di atas, bentuk
kerjasama dilakukan dalam bidang
pendidikan dan pelatihan ekonomi
syariah. Hingga Mei 2015 ini sudah
dilaksanakan sebanyak 3 angkatan.
Angkatan I dilaksanakan pada tahun
2008, kemudian tahun 2012 untuk
angkatan II, dan angkatan III pada
April-Mei 2015. Selanjutnya, angkatan
IV akan dilaksanakan sekitar
pertengahan bulan November 2015.
Kerjasama ini akan terus berkelanjutan
pada
angkatan-angkatan
berikutnya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
87
EKONOMI SYARI’AH
Sekolah Tinggi Peradilan
merupakan bagian tak terpisahkan
dari Universitas Islam Al-Imam
Muhammad Ibnu Saud. Sekolah Tinggi
ini didirikan pada 12 Juli 1965. Sebagai
Sekolah Tinggi Peradilan, tugas
utamanya adalah memproduksi hakim
yang mumpuni dengan cara
memberikan kajian intensif tentang
ilmu hukum, peradilan dan
pengembangan kapasitas penelitian
ilmiah.
Sekolah Tinggi ini memiliki
spesialisasi di bidang peradilan
terutama mengenai perbandingan
ilmu hukum Islam, peradilan niaga,
peradilan perburuhan, peradilan
keluarga, peradilan pidana dan
peradilan tata usaha negara. Di
samping itu, lembaga ini memberikan
perhatian serius terhadap pelatihan
dan peningkatan kapasitas hakim
dengan menyediakan beberapa
program pelatihan yang didesain
khusus untuk hakim. Sekolah Tinggi
Peradilan ini dikenal sebagai lembaga
pendidikan tinggi pertama dalam
bidang peradilan di SaudiArabia.
Tingkatkan Kapasitas Hakim
Peserta Kegiatan Pendidikan dan
Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan
III Tahun 2015 berjumlah 40 orang
yang terdiri dari: 2 orang Hakim Tinggi
pada Pengadilan Tinggi Agama, 3
88
orang Ketua Pengadilan Agama, 5
orang Wakil Ketua Pengadilan Agama,
5 orang Hakim Yustisial MA (3 Asisten
Hakim Agung & 2 Staf Khusus Dirjen
Badilag), dan 25 orang hakim
Pengadilan Agama. Ke-40 peserta
tersebut mewakili 16 Pengadilan
Tinggi Agama dan 35 Pengadilan
Agama se-Indonesia.
Sebelum berangkat ke Riyadh,
ke-40 peserta diberikan pembekalan
oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof.
Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H., di ruang
rapat Wiryono, lantai 2 gedung
Mahkamah Agung pada Kamis
(9/4/2015). Hadir juga dalam acara
pembekalan tersebut, Duta Besar Arab
Saudi untuk RI, Rektor LIPIA Jakarta,
Wakil Ketua MA Non Yudisial, Ketua
Kamar Peradilan Agama, dan Dirjen
Badilag.
“Saya ucapkan selamat atas
terpilihnya saudara-saudara untuk
mengikuti diklat ekonomi syariah di
Riyadh. Ini patut disyukuri karena
Saudara terpilih secara objektif oleh
penguji yang memang didatangkan
dari Arab Saudi,” kata Ketua MA
mengawali ceramahnya. Ketua MA
menyambut baik kegiatan diklat
ekonomi syariah di Arab Saudi.
Menurutnya, kegiatan seperti ini
sangat bermanfaat sekali untuk
meningkatkan kapasitas hakim
peradilan agama dalam penguasaan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
hal-hal yang berkaitan dengan
ekonomi syariah.
Lebih lanjut Ketua MA
menegaskan bahwa peningkatan
kapasitas hakim peradilan agama
dalam penguasaan hukum ekonomi
syariah merupakan keniscayaan
seiring dengan kewenangan
penyelesaian sengketa ekonomi
syariah di peradilan agama. “Tugas
Saudara ke depan akan semakin berat
karena ekonomi syariah terus
berkembang pesat. Penguasaan ilmu
hukum ekonomi dan ilmu syariah
mutlak harus Saudara kuasai,” tegas
Ketua MA.
Di akhir wejangannya, Ketua MA
berpesan agar diklat ekonomi syariah
di Riyadh diikuti dengan serius.
“Setelah pulang nanti, Saudara punya
tugas untuk menyebarkan ilmu yang
Saudara peroleh ke hakim-hakim
lainnya yang belum ikut diklat ke
Saudi,” katanya.
EKONOMI SYARI’AH
Diklat Ekonomi Syariah
angkatkan III Tahun 2015, secara
umum,memiliki tujuan yang sama
dengan
angkatan-angkatan
sebelumnya,
yaitu
untuk
meningkatkan kapasitas hakim di
bidang ekonomi syariah. Adapun
secara spesifik, Sekolah Tinggi
Peradilan telah menetapkan
tujuannya adalah sebagai berikut: a)
Mengkaji isu-isu mengenai hukum
transaksi keuangan perbankan
syariah kontemporer, hukum keluarga
kontemporer,
serta metode
penyelesaian sengketa dalam
peristiwa konkret; b) Meningkatkan
kerjasama antara Universitas Islam AlImam Muhammad Ibnu Suud, Riyadh,
Saudi Arabia melalui Sekolah Tinggi
Peradilan, dengan Mahkamah Agung
Republik Indonesia;
Selanjuntya, c) Mengkaji tentang
hukum kewarisan dan pembagian
harta warisan melalui metode teori
dan praktik; d) Mengkaji hukum
pembuktian dan bukti permulaan
kontemporer; e) Meningkatkan
kapasitas peserta dengan wawasan
dan keilmuan melalui metode teori
dan praktik agar dapat berkontribusi
u n t u k ke m a j u a n p e ra d i l a n d i
Indonesia; f) Mengkaji teori penemuan
hukum dan teknik penyusunan
putusan; g) Meningkatkan kapasitas
peserta dalam dan kemampuan
menyampaikan pengalaman.
Selama kurang lebih 40 hari, para
peserta telah dijadwalkan oleh
Sekolah Tinggi Peradilan untuk
mengikuti serangkaian kegiatan dari
tanggal 10 April 2015 sampai dengan
tanggal 14 Mei 2015.Pemberangkatan
peserta dari Jakarta ke Riyadh
dilaksanakan pada hari Jumat 10 April
2015 Pukul 15.35 WIB. Kegiatan Diklat
dimulai sejak Minggu 12 April 2015
s.d. Tanggal 6 Mei 2015. Selanjutnya,
melakukan perjalanan umrah pada 713 Mei 2015. Kemudian kembali ke
Jakarta pada Rabu 13 Mei 2015 dan
tiba di Jakarta pada Kamis 14 Mei 2015
Pukul 11.00 WIB.
Biaya Kegiatan Pendidikan dan
Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan
III Tahun 2015 ini, baik transportasi
udara Jakarta-Riyadh-Madinah-JedahJakarta, transportasi darat, dan
akomodasi para peserta selama
berada di Saudi Arabia, sepenuhnya
ditanggung oleh Kerajaan Saudi Arabia
melalui Sekolah Tinggi Peradilan,
Universitas
Islam
Al-Imam
Muhammad Ibnu Suud, Riyadh, Saudi
Arabia.
Materi Primadona
Materi Kegiatan Pendidikan dan
Pelatihan Ekonomi Syariah angkatkan
III Tahun 2015 ini difokuskan pada
ekonomi syariah yaitu: Transaksi
Bisnis Modern(al-Mu'amalaat alMaaliyah al-Mu'aashirah), Metode
Pembuktian dan Bukti Permulaan
(Thuruq al-Itsbaat wa al-Qaraain),
Problematika Hukum Keluarga Terkini
(Nawazul fi Fiqh al-Usrah), Teori Akad
(Nadzariyah al-Aqd), Pembagian
Warisan dan Harta (Qismah al-
M a w a r i t s w a a l - T i rka a t ) , d a n
Manajemen Peradilan (Idaarah al'Amaliyah al-Qadlaiyyah).
Materi-materi tersebut diajarkan
pada sesi pagi hari, sedangkan materi
pada sore hari (muhadlorohmasaiyah)
bersifat pemahaman akidah, tauhid,
dan akhlak. Dari keseluruhan materi
yang diberikan, transaksi bisnis
modern menjadi primadona para
peserta. Dosen yang berpengalaman
dan ahli di bidangnya, serta kajian
mendalam tentang ekonomi syariah,
menjadi alasan bagi peserta betah
duduk di ruang pelatihan lantai tiga
Sekolah Tinggi Peradilan.
Antusias para peserta begitu
tinggi untuk memperdalam berbagai
materi diklat tersebut, terutama
materi yang berkaitan dengan
ekonomi syariah. Tak ayal, saking
antusiasnya, para dosen yang
memberikan materi sering dihujani
pertanyaan. Hal ini menjadikan
suasana belajar menjadi menarik
karena ada interaksi antara dosen dan
peserta.
Selain materi yang telah
dijadwalkan tersebut, para peserta
juga mendalami perkembangan
ekonomi dan keuangan syariah di
Saudi Arabia, model penyelesaian
sengketa ekonomi syariah di Saudi
Arabia dan analisis putusan ekonomi
syariah yang dikeluarkan oleh
pengadilan setempat.
|Edi Hudiata|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
89
JINAYAH
PEMBERLAKUAN QANUN JINAYAT HINGGA
FENOMENA CAMBUK ACEH
Masyarakat Aceh boleh berbangga, pasalnya pada Oktober 2015 mendatang Qanun
Nomor 6 Tahun 2014 akan diberlakukan efektif. Qanun yang dinilai sebagai hukum
materil jinayat itu, sejak 22 Oktober 2014 telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) bersama pemerintah daerah dan telah diundangkan dalam lembaran
Aceh Nomor 7 di tahun yang sama.
90
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Sumber foto: www.metrotvnews.com
JINAYAH
Berdasarkan ketentuan Pasal 75
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 bahwa
qanun jinayat secara otomatis berlaku
efektif setahun sejak diundangkan
yaitu pada tanggal 23 Oktober 2015
yang akan datang.
Dalam acara seminar sehari yang
diadakan Mahkamah Syar'iyah Aceh
pada tanggal 4 Agustus 2015 lalu,
Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh Drs.
H. Jufri Ghalib, SH, MH ingin
meyakinkan masyarakat Indonesia
bahwa aparat penegak hukum di Aceh
siap melaksanakan Qanun tersebut.
Keinginan Mahkamah Syar'iyah
direspon positif oleh Dinas Syariat
pun sependapat, menurut Drs. H. Jufri
Ghalib, SH, MH, kewenangan absolut
Mahkamah Syar'iyah dalam mengadili
perkara jinayat sudah diatur dalam
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Peradilan Syariat Islam serta telah
dirincikan dalam beberapa qanun
yang telah terbit.
“Hal-hal yang bersifat teknis
yustisial atau hukum acara jinayat
yang tidak diatur dalam qanun acara
jinayat, para hakim tetap merujuk
pada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), caranya
d e n ga n
m e n gh a r m o n i s a s i ka n
pelaksanaannya sesuai dengan asas-
Islam Aceh, Kepolisian Daerah, dan
Kejaksaan di Aceh. Empat instansi
hukum itu, satu suara dalam
menyikapi efektifitas pemberlakuan
Qanun Jinayat sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing.
Direktur Pusat Mediasi dan Konsultasi
Hukum Al-Hikmah Aceh sekaligus
inisiator seminar sehari bertajuk
“Evaluasi Kritis Implementasi Qanun
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jinayat
dan Kesiapan Penegak Hukum di Aceh”
Drs. H. Soufyan M. Saleh, SH, MM
meyakini, bahwa baik masyarakat
maupun penegak hukum mampu
melaksanakan isi materi dalam Qanun
Jinayat yang akan berlaku. Menurut
mantan Ketua PTA Medan tersebut,
kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun
2014 adalah sebagai hukum materil
jinayat, sedangkan Qanun Nomor 7
Tahun 2013 adalah hukum acara
jinayat.
Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh
asas syariat Islam,” tulis ketua
Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam
rumusan hasil seminar.
Mahkamah Syar'iyah Kutacane 6
kasus, Mahkamah Syar'iyah Singkil 5
kasus, Mahkamah Syar'iyah Banda
Aceh dan Mahkamah Syar'iyah
Takengon masing-masing 4 kasus,
Mahkamah Syar'iyah Jantho, Sinabang,
dan Simpang Tiga Redelong masingmasing 2 kasus, dan Mahkamah
Syar'iyah Sabang hanya menangani
satu kasus maisir, sedangkan
Mahkamah Syar'iyah Tapaktuan,
Lhokseumawe, Blangkeujeren, dan
Mahkamah Syar'iyah Calang tidak
mendapatkan perkara apapun bidang
jinayat.
Masih di tahun 2014, perkara
maisir yang naik banding sebanyak
satu perkara berasal dari Mahkamah
Syar'iyah Banda Aceh dan satu perkara
khalwat dari Mahkamah Syar'iyah
Takengon.
Masih sama dengan tahun lalu,
sejak Januari hingga Juni tahun 2015,
perkara maisir mendominasi
sebanyak 28 kasus, menyusul perkara
khalwat sebanyak 6 kasus, dan satu
kasus untuk khamar. Mahkamah
Syar'iyah Sigli masih menduduki
peringkat atas sebanyak 9 perkara
maisir yang diterima dan diputuskan,
disusul Mahkamah Syar'iyah
Meulaboh dan Mahkamah Syar'iyah
Jantho sebanyak 4 kasus maisir,
sedangkan Mahkamah Syar'iyah
Banda Aceh sebanyak 4 perkara
khalwat telah diputuskan.
Perkara Maisir Mendominasi
Mahkamah
B e rd a s a r k a n
data
dari
Mahkamah Syar'iyah Aceh, sepanjang
tahun 2014 lalu perkara maisir
(perjudian) mendominasi meja hijau
Mahkamah Syar'iyah di Aceh sebanyak
87 kasus, menyusul perkara khalwat
sebanyak 8 perkara, dan khamar
hanya satu perkara.
Dari jumlah 87 kasus maisir
tersebut, Mahkamah Syar'iyah Sigli
paling banyak menangani dan
menyelesaikan sebanyak 21 kasus,
menyusul Mahkamah Syar'iyah
Langsa 9 kasus, Mahkamah Syar'iyah
Meureudu 8 kasus, Mahkamah
Syar'iyah Bireuen dan Mahkamah
Syar'iyah Idi masing-masing 7 kasus,
Menurut Ketua Mahkamah Syar'iyah
Langsa, kebanyakan masyarakat Aceh
menyangsikan pelaksanaan qanun
tersebut akan berjalan efektif, karena
selama ini qanun yang telah terbit
seperti qanun khomar, maisir dan
khalwat di beberapa daerah tidak
berjalan efektif.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
91
JINAYAH
“Sebagai contoh qanun nomor 11
tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat Islam hampir dapat dikatakan
tidak berjalan sama sekali. Di dalam
qanun tersebut dinyatakan bahwa
bagi seorang muslim yang tidak salat
jumat 3 kali berturut-turut dapat di
hukum cambuk. Sifat tebang pilih atau
hukum yang tajam ke bawah terasa
sekali karena hampir 99 percent
terpidana yang kena hukuman
cambuk adalah masyarakat kalangan
bawah,” tulis Drs. Zulkarnain Lubis,
MH dalam surat elektronik kepada
redaktur pada Sabtu 15 Agustus 2015.
Mengamati data perkara jinayat yang
masuk Mahkamah Syar'iyah Aceh
sepanjang tahun 2014, para terpidana
dari kalangan berpenghasilan rendah,
seperti tukang becak, mocok-mocok,
pekerjaan tidak tetap bahkan ada yang
hanya ibu rumah tangga biasa.
Perbuatan maisir tersebut adalah
maisir kelas bawah dengan jumlah
taruhan minimal Rp.54.000,- (lima
puluh empat ribu rupiah) dan
maksimal Rp700.000,- (tujuh ratus
92
ribu rupiah) sampai Rp1.400.000,(satu juta empat ratus ribu rupiah).
Menurut Zulkarnain Lubis, fenomena
Eksekusi pencambukan khususnya di
daerah Langsa masih perlu banyak
pembenahan, terutama masalah
eksekusi di lapangan yang terkesan
tidak dikelola secara profesional.
“Sebagai contoh yang terjadi di
lapangan, eksekusi cambuk dihadiri
oleh masyarakat yang belum berumur
18 tahun, tidak dihadiri oleh hakim
Pengawas dari Mahkamah Syariyah,
jarak antara pengunjung dan tempat
pencambukan yang terlalu dekat
sehingga terkesan semrawut,
terpidana tidak dapat dieksekusi
karena sudah tidak berada di tempat
dan lain sebagainya” tulis mantan
wakil ketua PA Sibolga.
Meskipun demikian, secara
keseluruhan upaya penegakan hukum
Jinayat di seluruh Aceh dan khususnya
kota Langsa telah mempersempit
ruang gerak pelaku tindakan jarimah.
Masyarakat kalangan terdidik dapat
dipastikan sangat takut jika dicambuk
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
di tempat terbuka akibat tindakan
pelanggaran hukum jinayat. Hal itu
disebabkan praktik hukuman cambuk
di Aceh memang berbeda dengan di
Malaysia atau Pakistan. Menurut
Zulkarnain Lubis, cambuk di Malaysia
benar-benar melukai, seorang yang
kena cambuk akan mengalami proses
penyembuhan cukup lama bahkan
berbulan-bulan, sedangkan hukuman
cambuk di Aceh hanya memberikan
efek malu.
“Sebagaimana diatur di dalam
Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun
2005 tentang petunjuk teknis
pelaksanaan Uqubat cambuk sehingga
tidak melukai tetapi lebih kepada
memberikan efek malu kepada
masyarakat. Penulis menilai cambuk
Aceh lebih syar'i dibanding dengan
praktik cambuk di negara lain. Karena
memang praktik hukum cambuk di
zaman Rasulullah dan sahabat tidak
terlalu keras dan tidak pula terlalu
lembut,” tulisnya di akhir surat
elektronik.
|Alimuddin|
RESENSI
Judul Buku :
Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Dalam Perspektif
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Penulis :
Dr. I Nyoman Sujana, S.H., M.Hum.
Peresensi:
Ilman Hasjim, S.H.I., M.H.
Penerbit :
Aswaja Pressindo
Tahun :
I, Januari 2015
Tebal :
xiii, 267 halaman
RATIO LEGIS
ANAK LUAR KAWIN
M
ajelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB)
mengesahkan Konvensi Hak
Anak (Convention on the Right of Child)
dan kemudian berlaku sebagai hukum
internasional. Dalam Konvensi ini
telah melahirkan 5 (lima) prinsip
perlindungan anak, yaitu (1) active
protection, (2) nondiscrimination, (3)
the best interest of the child, (4) the
right to life, survival, and development,
dan (5) respect for the views of the child.
Semangat prinsip-prinsip di atas juga
ikut mengilhami lahirnya UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014.
Hingga keluarnya UndangUndang Perlindungan Anak di atas,
sampai sekarang kesejahteraan anak
dan pemenuhan hak-hak anak masih
jauh dari harapan. Termasuk anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah
atau biasa disebut dengan “anak luar
kawin”.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
93
RESENSI
Medio Februari 2012, Mahkamah
Konstitusi (MK) membuat simpulan
hukum yang mengejutkan banyak
pihak. Putusan Nomor 46/PUUVIII/2010 terkait pengakuan terhadap
kedudukan hukum bagi anak luar
kawin, namun tidak mengatur secara
jelas kedudukan serta hak-haknya. Di
dalam putusan tersebut tidak
memberi batasan yang pasti tentang
pengertian anak luar kawin dimaksud,
apakah termasuk anak hasil
perzinahan, anak sumbang, ataukah
anak hasil dari perkawinan di bawah
tangan, sehingga masih terdapat
norma yang kabur.
Beranjak dari adanya ketidakjelasan aturan tentang hak-hak
keperdataan anak luar kawin dan
batasan tentang anak luar kawin
masih sangat luas, maka I Nyoman
Sujana menulis buku ini dengan
meneliti mengenai anak luar kawin
yang lahir sebagai akibat dari
perkawinan di bawah tangan.
Perkawinan tersebut dilakukan oleh
ayah biologisnya yang masih terikat
tali perkawinan sah dengan isterinya,
dan isteri tersebut tidak menyetujui
suami untuk berpoligami.
Sebagai seorang akademisi juga
praktisi (advokat), penulis cukup
mumpuni menganilisis persoalan di
atas. Kapasitas sebagai ahli hukum
perdata dan hukum waris Universitas
Warmadewa, Denpasar, kemudian
coba dikembangkan penulis dalam
uraian disertasi yang sudah lolos uji.
Melalui telaah filosofis, teori-teori
hukum, serta konsep yang lugas dan
sederhana, ia mencoba menawarkan
hubungan perdata antara anak luar
kawin dengan ayah biologisnya.
Putusan MK diakui telah
menciptakan adanya pro dan kontra
dari berbagai pihak, baik akademisi,
para praktisi hukum, agamawan,
maupun di dalam masyarakat Muslim.
Bagi yang pro, putusan di atas
dinyatakan sebagai terobosan hukum
yang sangat mulia. Sedang bagi yang
kontra, jelas putusan tersebut
dianggap sebagai norma yang akan
melegalkan perzinahan, perselingkuhan, dan hubungan suami isteri yang
tidak sah lainnya. Hal mana, perilaku
94
di atas sudah sangat bertentangan
dengan hukum yang berlaku di
Indonesia yang berdasar atas
Pancasila (hal. 14).
Menurut Pasal 42 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yang dimaksud anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Sedang untuk terminologi anak
luar kawin tidak diatur secara jelas.
Namun dari ketentuan bunyi pasal di
atas, berdasarkan logika argumentum
a contrario, anak yang dilahirkan di
luar perkawinan disebut sebagai anak
luar kawin (hal. 56).
Makna kawin di bawah tangan
cukup dekat dengan istilah
perkawinan yang kerap terjadi di
kalangan umat Islam Indonesia. Hal ini
terasa wajar, karena sebagian
m a s ya ra k a t M u s l i m m eya k i n i ,
perkawinan yang telah cukup rukun
dan syarat, maka bisa dinyatakan sah.
Meskipun perkawinan itu tidak
memiliki kekuatan hukum tertulis.
Fenomena yang tampaknya dianggap
lumrah, karena mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam. Kebijakankebijakan hukum yang dibuat dan
diundangkan
(masih)
tetap
mengakomodir kepentingan umat
Islam. Termasuk di dalamnya undangundang tentang perkawinan.
Ajaran agama tentang perkawinan, tidak jarang sangat mempengaruhi
aturan perkawinan yang dibuat
sebuah negara. Misalnya, dalam
sejarah Perancis, yang sebagian
rakyatnya memeluk agama Katholik,
dan cerai tidak diperbolehkan. Maka
hukum yang mengatur perkawinan
juga tidak memperbolehkan cerai. Hal
tersebut dimasukkan dalam bidang
openbaar orde atau ketertiban umum
yang tidak boleh dilanggar (hal. 132).
Kedudukan anak luar kawin yang
lahir dari perkawinan di bawah tangan
oleh ayah biologis yang masih terikat
perkawinan sah dengan isterinya,
nampaknya belum mendapatkan
keadilan di negara yang berdasar atas
hukum. Posisi anak luar kawin masih
sangat lemah. Ditinjau dari teori
perlindungan hukum, dalam suatu
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
hubungan hukum, jika salah satu
berada lebih lemah, maka pihak
marjinal tersebut harus mendapat
perlindungan negara dalam bentuk
instrumen hukum dan peraturan
perundang-undangan (hal. 180).
Putusan MK pada dasarnya tidak
mengubah status anak luar kawin
menjadi anak sah. Sekalipun putusan
itu menyatakan adanya hubungan
perdata antara anak luar kawin
dengan ibu dan bapaknya serta
keluarga ibu dan bapaknya. Kedudukan anak luar kawin berbeda dengan
anak sah, karena kedudukan ini akan
berimplikasi pada pewarisan yakni
adanya perbedaan pembagian
warisan anak luar kawin dan anak sah
(hal. 236).
Terlepas adanya pro kontra,
dalam literatur Islam Indonesia,
makna nikah bawah tangan cukup
beragam. Selain seperti dimaksud
penulis, juga mencakup mereka yang
melakukan pernikahan pertama, tapi
tidak tercatat. Sekadar catatan, agar
tidak mempersempit makna adanya
anak luar kawin akibat perkawinan
bawah tangan. Karena adanya
implikasi hukum lain, perlu kehatihatian dalam menelaah arti kawin di
bawah tangan.
Meskipun demikian, hasil
penelitian yang kini menjadi sebuah
buku teks, memberi khazanah baru
dalam hukum keluarga tanah air,
khususnya dalam membahas
kedudukan hukum anak luar kawin.
Dan, bagi pembaca, karya I Nyoman
Sujana ini menarik untuk dijadikan
bahan bacaan dan diskusi oleh
segenap praktisi maupun akademisi.
Terlebih penulis melihatnya dari
perspektif berbeda dalam menelaah
persoalan anak luar kawin.
Di samping itu, karena putusan
MK adalah final dan mengikat, maka
dalam mengambil kesimpulan hukum
terkait kedudukan anak luar kawin
dan segala implikasi hukum
materiilnya, hakim dapat memberi
s o l u s i h u ku m ya n g re s p o n s i f .
Termasuk bisa menghilangkan adanya
kekaburan norma atas kedudukan
hukum anak luar kawin.
POJOK DIRJEN
Tiga Generasi
Peradilan Agama
Oleh: Abdul Manaf
S
uatu ketika, seorang mantan pejabat
menghadiri sebuah acara. Dia tidak lagi datang
dengan mobil sedan mewah yang dulu jadi
kendaraan dinasnya. Dia juga tanpa didampingi
sopir pribadi dan ajudan. Dia datang seorang diri,
dengan menenteng tas sendiri.
Tidak tersedia kursi khusus
untuknya. Dia yang dulu selalu
duduk di depan, sekarang harus
duduk di belakang, berbaur
dengan yang lain. Tidak hanya
itu, orang-orang dalam acara
itu seperti tidak pernah kenal
mantan pejabat itu. Menyapa
pun tidak. Seakan-akan
mantan pejabat itu sejenis
barang kadaluarsa yang tak
berguna.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
95
POJOK DIRJEN
Sampai acara selesai, namanya tidak pernah
disebut-sebut. Orang-orang pun enggan datang
menghampirinya, apalagi mengajaknya bercakap-cakap,
meskipun mereka tahu betul, dulu pejabat itu sangat
berkuasa dan para bawahan selalu mengerubutinya.
Ketiga generasi itu memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Seorang pemimpin dari generasi sahabat belum
tentu cocok jadi pemimpin di era tabiit tabiin. Sebaliknya,
seorang pemimpin dari generasi tabiit tabiin belum tentu
cocok jadi pemimpin di era sahabat.
***
Agama kita mengajari kita untuk bersikap takzim
kepada orang tua, sesepuh dan guru kita. Sikap hormat itu
Peristiwa itu pernah saya lihat sendiri. Namun itu
tidak semata-mata dilandasi oleh ada atau tidaknya
tidak terjadi di lingkungan peradilan agama. Tidak juga jabatan yang melekat padanya. Penghormatan itu lebih
melibatkan warga peradilan agama.
karena kita, secara pribadi dan lembaga, berutang budi
Saya merasa ada yang janggal di situ. Bagaimanapun
padanya. Tanpa jerih payah generasi terdahulu, tidak
juga, meskipun sudah tidak lagi punya jabatan penting akan ada kejayaan yang dialami generasi sekarang.
dan strategis, dia tetaplah seorang hamba Allah yang
Selaras dengan itu, dalam masyarakat kita ada
pernah berjasa pada institusi. Tidak elok dia
filosofi "mikul dhuwur mendem jero". Maksudnya, apadiperlakukan seperti itu.
apa yang baik dari sesepuh kita, mari kita teladani dan
Soal fasilitas dan protokoler, itu urusannya negara. kita ungkapkan ke mana-mana. Di sisi lain, apa-apa yang
Tapi soal kepedulian dan keramahtamahan, itu urusan
buruk dari sesepuh kita, tidak perlu kita ikuti dan mari
kita. Karena itu, meskipun seseorang tidak lagi
kita tutup serapat-rapatnya.
punya jabatan dan tidak punya kekuasaan
Kadang-kadang, ketika menghadapi
untuk menentukan karir kita, bukan
persoalan tertentu, generasi muda kurang
berarti dia tidak perlu kita pedulikan.
menghargai generasi tua, bahkan
Kita akui, sesungguhnya, di
kadang menyepelekan. Mereka lupa,
lingkup apapun, selalu ada
Soal fasilitas dan protokoler, orang tua pernah muda, tapi orang
kesenjangan antargenerasi.
muda belum pernah tua.
itu urusannya negara.
Biarpun begitu, idealnya setiap
Itu bisa terjadi karena generasi
generasi
memperlakukan
muda cenderung ingin segalanya
Tapi soal kepedulian
generasi sebelumnya dengan
berlangsung serba cepat, serba
dan keramahtamahan,
selayak-layaknya.
instan. Sebaliknya, generasi tua
Di lingkungan peradilan
cenderung lebih bijaksana dengan
itu urusan kita.
agama, jika kita menganalogikan
menimbang maslahat dan
dengan generasi pasca Rasulullah
mudharatnya.
SAW, maka kita akan menemukan tiga
Antara generasi muda dan
generasi.
generasi tua harus ada tali penghubung.
Pertama, generasi sahabat. Mereka
Ada silaturrahmi. Ada kesinambungan
adalah sesepuh-sesepuh peradilan agama yang
p e m i k i ra n d a n s e m a n ga t u n t u k te r u s
seluruhnya sudah purnabhakti, bahkan kebanyakan
memajukan lembaga. Karena itu, generasi muda harus
sudah kembali ke sisi Allah SWT. Mereka tahu dan
menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya
merasakan betul pasang-surut eksistensi peradilan
dari generasi tua. Jangan lupa pula untuk membiasakan
agama. Mereka berjuang dengan pikiran, tenaga, juga
diri mendoakan generasi tua agar senantiasa sehat dan
harta benda. Mereka tidak sempat menikmati buah
dapat terus mengabdi dan berkarya, meskipun di luar
perjuangan itu.
lingkup peradilan agama.
Kedua, generasi tabiin. Mereka adalah orang tuaJika kebetulan berjumpa dalam sebuah acara,
orang tua kita yang sebagian masih menjabat dan
hendaknya generasi muda lebih peka untuk terlebih
mengabdi, namun sebagian lainnya telah purnabhakti.
dahulu bertegur sapa, mengucapkan salam dan
Mereka penerus langsung generasi sahabat. Mereka
mendampinginya jika diperlukan. Jangan pernah
merasakan pahitnya perjuangan, sekaligus mencicipi
menganggap mereka sejenis barang kadaluarsa yang tak
manisnya hasil perjuangan.
berguna.
Ketiga, generasi tabiit tabiin. Kebanyakan dari kita
Dengan maupun tanpa jabatan, para sesepuh kita
tergolong generasi ini. Kita tidak ikut merasakan
adalah orang-orang mulia. Dengan memuliakan mereka,
susahnya perjuangan, tapi justru merasakan buah
insya Allah kita akan tertular menjadi orang mulia pula.
perjuangan. Sisi negatifnya, kita jadi kurang tahan banting
Akhirnya, kita mesti ingat ungkapan lama: setiap orang
dan gampang mengeluhkan ini-itu.
ada masanya dan setiap masa ada orangnya. (*)
“
“
96
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 7 | Oktober 2015
Download