Penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Perawat
2.1.1.1. Pengertian perawat
Menurut Depkes RI (2007), perawat adalah
seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan
untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang
yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit,
yang
dilaksanakannya
sendiri
atau
dibawah
pengawasan dan supervisi dokter atau suster kepala.
Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung
jawab
dan
berwenang
memberikan
pelayanan
keperawatan secara mandiri maupun berkolaborasi
dengan
tenaga
kesehatan
lain
sesuai
dengan
kewenangannya.
2.1.1.2. Peran perawat
Peran perawat secara umum adalah memberi
pelayanan/asuhan (care provider), pemimpin kelompok
[11]
(community leader), pendidik (educator), pengelola
(manager) dan peneliti (researcher) (PPNI, 2012).
2.1.1.2.1. Care provider
Menerapkan keterampilan berfikir kritis dan
pendekatan sistem untuk penyelesaian masalah serta
pembuatan keputusan keperawatan dalam konteks
pemberian askep yang komprehensif dan holistik
berlandaskan aspek etik dan legal.
2.1.1.2.2. Community leader
Menjalankan
kepemimpinan
di
berbagai
komunitas, baik komunitas profesi maupun komunitas
sosial.
2.1.1.2.3. Educator
Mendidik Klien dan keluarga yang menjadi
tanggung jawabnya.
2.1.1.2.4. Manager
Mengaplikasikan
kepemimpinan
manajemen keperawatan dalam asuhan klien.
[12]
dan
2.1.1.2.5. Researcher
Melakukan penelitian sederhana keperawatan
dengan cara
menumbuhkan kuriositas,
mencari
jawaban terhadap fenomena klien, menerapkan hasil
kajian
dalam
rangka
membantu
mewujudkan
Evidence Based Nursing Practice (EBNP).
2.1.1.3. Fungsi perawat
Menurut Kozier (1991), terdapat tiga fungsi perawat
dalam melaksanakan perannya, yaitu:
2.1.1.3.1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung
pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan
tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan
sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi
pemenuhan
kebutuhan
kebutuhan
dasar
manusia
fisiologis
seperti
(pemenuhan
kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan
dan
elektrolit,
pemenuhan
pemenuhan
kebutuhan
kebutuhan
aktivitas,
dan
nutrisi,
lain-lain),
pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan,
[13]
pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan
kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
2.1.1.3.2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain
sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan.
Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada
perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat
pelaksana.
2.1.1.3.3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan di antara tim satu
dengan lainya fungsi ini dapat terjadi apa bila bentuk
pelayanan
membutuhkan
kerjasama
tim
dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan
asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai
penyakit kompleks keadaan ini tidak dapat diatasi
dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter
ataupun lainya, seperti dokter dalam memberikan
tanda pengobatan bekerjasama dengan perawat
dalam pemantauan reaksi obat yang telah di berikan.
[14]
2.1.1.4. Sikap
Perawat
Dalam
Melakukan
Komunikasi
Terapeutik
Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri
secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang
terapeutik menurut (Mukhripah, 2010) yaitu:
2.1.4.1. Berhadapan artinya dari posisi ini adalah “Saya
siap untuk anda”.
2.1.4.2. Mempertahankan kontak mata yaitu kontak
mata pada level yang sama berarti menghargai
pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap
berkomunikasi.
2.1.4.3. Membungkuk ke arah klien yaitu posisi ini
menunjukkan keinginan untuk mengatakan
atau mendengarkan sesuatu.
2.1.4.4. Memperlihatkan sikap terbuka, tidak melipat
kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan
untuk berkomunikasi dan siap membantu.
2.1.4.5. Tetap rileks artinya tetap dapat mengendalikan
keseimbangan antara ketegangandan relaksasi
dalam memberikan respon kepada pasien,
[15]
meskipun
dalam
situasi
yang
tidak
menyenangkan.
2.1.2. Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2) Komunikasi Perawat Kepada
Pasien Harga Diri Rendah (HDR)
2.1.2.1. Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2)
Strategi
pelaksanaan
komunikasi
adalah
pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal
yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani
(Fitria, 2009). Strategi pelaksaan komunikasi pada
pasien harga diri rendah mencakup kegiatan yang
dimulai
dari
mengidentifikasi
hingga
melatih
kemampuan yang masih dimiliki pasien sehingga
semua kemampuan dapat dilatih. Setiap kemampuan
yang dimiliki akan meningkatkan harga diri pasien
(Keliat, 2009).
Strategi pelaksanaan komunikasi pada pasien
harga diri rendah terdiri dari dua sesi petemuan yaitu
sesi pertemuan pertama (SP 1) dilakukan pada sesi
pertama dan sesi pertemuan kedua (SP 2). Kegiatan
yang dilakukan pada SP 1 adalah mendiskusikan
[16]
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien,
membantu pasien menilai kemampuan yang masih
dapat digunakan, membantu pasien memilih atau
menetapkan kemampuan yang akan dilatih, melatih
kemampuan yang sudah dipilihdan menyusun jadwal
pelaksanaan kemampuan yang telah dilatih dalam
rencana
jadwal
pelaksanaan
harian
pasien.
Sedangkan kegiatan yangdilakukan pada SP 2 adalah
melatih pasien melakukan kegiatan lain yang sesuai
dengan kemampuan pasien. Latihan dapat dilanjutkan
untuk kemampuan lain sampai semua kemampuan
dilatih.
Setiap
kemampuan
yang
dimiliki
dapat
meningkatkan harga diri pasien. Strategi Pelaksanaan
(SP 1 - 2) tindakan keperawatan pada pasien harga
diri rendah menurut Purba, dkk (2008), yaitu:
[17]
Tabel I. Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2) Tindakan
Keperawatan Pada Pasien Harga Diri Rendah Menurut Purba,
dkk (2008).
Kemampuan/ Kompetensi
Diagnosa
Strategi
Keperawatan
Pelaksanaan
Kemampuan Merawat
Pasien
Harga
Diri SP 1
1. Mengidentifikasi
Rendah (HDR)
kemampuan
dan
aspek
positif yang dimiliki pasien.
2. Membantu pasien menilai
kemampuan pasien yang
masih dapat dilakukan.
3. Membantu pasien memilih
kegiatan
yang
akan
dilakukan sesuai dengan
kemampuan
pertama
pasien.
4. Melatih
pasien
sesuai
dengan kemampuan yang
dipilih.
5. Memberi
pujian
wajar
yang
terhadap
keberhasilan pasien.
6. Menganjurkan
memasukkan
[18]
pasien
dalam
jadwal kegiatan harian.
SP 2
1. Mengevaluasi
jadwal
kegiatan harian pasien.
2. Melatih
kemampuan
kedua.
3. Menganjurkan
memasukkan
pasien
dalam
jadwal kegiatan harian.
2.1.2.2. Tujuan Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2)
Menurut Lilik (2011), tujuan tindakan keperawatan jiwa
pada pasien harga diri rendah adalah sebagai berikut:
Tujuan Umum :
Klien dapat melakukan hubungan sosial secara
bertahap.
Tujuan Khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki.
c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat
digunakan.
[19]
d. Klien
dapat
menetapkan
dan
merencanakan
kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi
sakit dan kemampuannya.
f.
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang
ada.
2.1.2.3. Strategi komunikasi
Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah
perencanaan
(planning)
dan
manajemen
(management) untuk mencapai satu tujuan. Strategi
komunikasi merupakan paduan dari perencanaan
komunikasi
mencapai
dan
suatu
manajemen
tujuan
komunikasi
(Effendy,2003).
untuk
Strategi
komunikasi harus didukung oleh teori karena teori
merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman
(empiris) yang sudah diuji kebenarannya. Ada empat
tujuan
dalam
strategi
komunikasi
(Effendy,2003)
sebagai berikut:
a. To Secure Understanding yaitu untuk memastikan
bahwa
terjadi
berkomunikasi.
[20]
suatu
pengertian
dalam
b. To Establish Acceptance yaitu bagaimana cara
penerimaan itu terus dibina dengan baik.
c. To
Motivate
Action
yaitu
penggiatan
untuk
memotivasinya.
d. To Goals Which Communicator Sought To Achieve
yaitu bagaimana mencapai tujuan yang hendak
dicapai
oleh
pihak
komunikator
dari
proses
komunikasi tersebut.
2.1.2.4. Pengertian komunikasi terapeutik
Salah satu cara mengatasi masalah komunikasi
yang terjadi antar perawat dengan pasien adalah
dengan menggunakan komunikasi terapeutik secara
efektif oleh perawat. Komunikasi terapeutik ialah
pengalaman interaktif bersama antara perawat dan
pasien dalam komunikasi yang bertujuan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pasien
(Machfoedz,
2009).
Komunikasi
terapeutik
atau
therapeutic communication adalah suatu metode
dimana seorang perawat mengarahkan komunikasi
begitu rupa sehingga pasien diharapkan pada situasi
[21]
dan pertukaran peran yang dapat menimbulkan
hubungan sosial yang bermanfaat (Rakhmat, 2007).
Komunikasi terapeutik merupakan penghubung
antara perawat sebagai pemberi pelayanan dengan
pasien sebagai pengguna pelayanan. Komunikasi
terapeutik memperhatikan pasien secara holistik,
meliputi aspek keselamatan, menggali penyebab dan
mencari jalan terbaik atas permasalahan pasien.
Komunikasi terapeutik berbeda dari komunikasi sosial,
yaitu pada komunikasi terapeutik selalu terdapat tujuan
atau arah yang spesifik untuk komunikasi oleh karena
itu, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
terencana.
2.1.2.5. Tujuan komunikasi terapeutik
Menurut
Machfoedz
(2009),
pelaksanaan
komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien
memperjelas dan mengurangi beban pikiran dan
perasaan untuk dasar tindakan guna mengubah situasi
yang ada apabila pasien percaya pada hal-hal yang
diperlukan.
Tujuan komunikasi
(Damaiyanti, 2008) :
[22]
terapeutik
adalah
a. Membantu
pasien
untuk
memperjelas
juga
mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila pasien percaya pada hal yang
diperlukan.
b. Mengurangi
keraguan,
mengambil
tindakan
membantu
yang
dalam
efektif
hal
dan
mempertahankan kekuatan egonya.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan
dirinya sendiri.
2.1.2.6. Karakteristik komunikasi terapeutik
Terdapat tiga hal mendasar dan memberi ciri-ciri
dari komunikasi terapeutik yaitu keikhlasan, empati
(empathy), dan kehangatan (warmth) (Taufik, 2007).
a. Keikhlasan
Dalam upaya memberikan bantuan kepada klien,
seorang perawat harus dapat menyadari tentang
nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap
keadaan klien. Perawat yang mampu menunjukkan
rasa ikhlasnya yang tinggi memiliki kesadaran
[23]
mengenai sikap yang dipunyai terhadap klien
sehingga
mampu
belajar
untuk
mengkomunikasikannya secara tepat.
b. Empati (Empathy)
Empati merupakan suatu perasaan “pemahaman”
dan “penerimaan” perawat terhadap perasaan
yang
dialami
merasakan
klien
“dunia
dan
kemampuan
pribadi
klien”.
dalam
Empati
merupakan sesuatu yang jujur, sensitif dan tidak
dibuat-buat (objektif) karena didasarkan atas apa
yang dialami orang lain. Perawat yang berempati
dengan orang lain dapat menghindari penilaian,
berdasarkan kata hati (impulse judgement) tentang
seseorang dan pada umumnya dengan empati dia
akan menjadi lebih sensitif dan ikhlas.
c. Kehangatan (Warmth)
Adanya hubungan yang saling membantu (helping
relationship) dibuat untuk memberikan kesempatan
klien dalam mengeluarkan “unek-unek” (perasaan
dari nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan,
perawat
akan
[24]
mendorong
klien
untuk
mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya
dalam suatu bentuk perbuatan tanpa rasa takut
dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat,
permisif dan tanpa adanya ancaman menunjukkan
adanya rasa penerimaan perawat terhadap klien
sehingga
klien
akan
mengekspresikan
perasaannya secara lebih mendalam.
2.1.2.7. Fase-fase
dalam
pelaksanaan
komunikasi
terapeutik
Komunikasi terapeutik merupakan salah satu
standar asuhan keperawatan yang wajib dilaksanakan
oleh semua perawat. Dalam Paramastri (2008),
komunikasi terapeutik terdiri dari empat fase, yaitu
fase pre-interaksi, fase orientasi, fase kerja, dan fase
terminasi.
2.1.2.7.1. Fase Pre-interaksi
Pra-interaksi
persiapan
sebelum
merupakan
berhubungan
tahap
dan
berkomunikasi dengan klien. Pada tahap ini
perawat juga mencari informasi tentang
klien. Kemudian perawat merancang strategi
[25]
untuk pertemuan pertama dengan klien.
Tahap ini harus dilakukan oleh seorang
perawat untuk memahami dirinya, mengatasi
kecemasannya, dan meyakinkan dirinya
bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan
klien (Suryani, 2005).
2.1.2.7.2. Fase Orientasi/perkenalan
Pada
tahap
ini
perawat
harus
memulai dengan membina rasa percaya,
penerimaan
yang
dan
terbuka
dengan
klien.
melakukan
pengertian
dan
komunikasi
melakukan
Tahapan
kegiatan
kontrak
ini
perawat
sebagai
berikut:
memberi salam dan senyum pada klien,
melakukan validasi (kognitif, psikomotor,
afektif), memperkenalkan nama perawat,
menanyakan
nama
kesukaan
klien,
menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan,
menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan
kegiatan,
menjelaskan
kerahasiaan (Stuart & Sundeen, 1995).
Dengan memperkenalkan dirinya berarti
[26]
perawat telah bersikap terbuka pada klien
dan ini diharapkan akan mendorong klien
untuk membuka dirinya (Suryani, 2005).
Dalam membina hubungan perawat dengan
klien yang kunci utama adalah terbinanya
hubungan
saling
komunikasi
yang
penerimaan
dan
percaya,
terbuka,
adanya
memahami
merumuskan
kontrak
(Sujono dan Teguh, 2009).
2.1.2.7.3. Fase Kerja
Pada fase ini petugas kesehatan
memiliki kebutuhan dan mengembangkan
pola-pola adaptif klien, memberi bantuan
yang
dibutuhkan
klien,
mendiskusikan
dengan teknik untuk mencapai tujuan selain
sebagai pemberi pelayanan, peran petugas
sebagai pengajar yang diperlukan. Peran ini
meliputi upaya meningkatkan motivasi klien
untuk mempelajari dan melakukan aktifitas
peningkatan
program
kesehatan
pengobatan dokter
mengekspresikan
[27]
untuk
mengikuti
dan untuk
perasaan
atau
pengalaman yang
masalah
berhubungan dengan
kesehatan
dan
kebutuhan
keperawatan yang terbentuk. Contohnya
tentang
pemberian
asi
disaat
sesudah
melahirkan (Tamsuri, 2006).
Dalam tahap ini perawat dan klien
bekerja bersama-sama untuk mengatasi
masalah yang dihadapi klien. Tahap kerja ini
dituntut
kemampuan
perawat
dalam
mendorong klien mengungkap perasaan dan
pikirannya. Perawat juga dituntut untuk
mempunyai kepekaan dan tingkat analisis
yang tinggi terhadap adanya perubahan
dalam respons verbal maupun nonverbal
klien.
Pada
tahap
ini
perawat
perlu
melakukan active listening karena tugas
perawat pada tahap kerja ini bertujuan untuk
menyelesaikan masalah klien.
Melalui
membantu
active
klien
listening,
untuk
perawat
mendefinisikan
masalah yang dihadapi, bagaimana cara
mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi
[28]
cara atau alternatif pemecahan masalah
yang telah dipilih. Perawat juga diharapkan
mampu
menyimpulkan
percakapannya
dengan klien.
2.1.2.7.4. Fase Terminasi
Pada
tahap
terminasi
komunikasi
terapeutik
dilakukan
oleh
menyimpulkan
kegiatan
perawat
hasil
dalam
yang
adalah
wawancara,
tindak
lanjut dengan klien, melakukan kontrak
(waktu,
tempat,
dan topik),
mengakhiri
wawancara dengan cara yang baik (Stuart &
Sundeen, 1995). Terminasi adalah akhir dari
tiap pertemuan perawat dan klien, setelah
hal ini dilakukan perawat dan klien masih
akan bertemu kembali pada waktu yang
berbeda sesuai dengan kontrak waktu yang
telah
disepakati
terminasi akhir
setelah
bersama.
Sedangkan
dilakukan oleh perawat
menyelesaikan
seluruh
proses
keperawatan. Tahap ini dibagi dua yaitu
[29]
terminasi sementara dan terminasi akhir
(Stuart dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir
dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah
terminasi sementara, perawat akan bertemu
kembali dengan klien pada waktu yang telah
ditentukan.
perawat
Terminasi
telah
akhir
terjadi
menyelesaikan
jika
proses
keperawatan secara keseluruhan.
2.1.2.8. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
komunikasi
terapeutik
Menurut Potter dan Perry (Nurjannah, 2005:43),
proses
komunikasi
therapeutic
dipengaruhi
oleh
beberapa faktor, antara lain :
2.2.6.1.Perkembangan
Agar dapat berkomunikasi dengan
efektif
dengan
pasien,
perawat
harus
mengerti pengaruh perkembangan usia baik
dari sisi bahasa, maupun proses berfikir dari
orang tersebut. Cara komunikasi pasien
anak-anak, remaja, dewasa sangat berbeda,
[30]
untuk
itu
perawat
diharapkan
bisa
berkomunikasi dengan lancar.
2.2.6.2.Emosi
Emosi merupakan perasaan subjek
terhadap suatu kejadian. Emosi seperti
marah,
sedih,
senang,
mempengaruhi
berkomunikasi
perlu
akan
dapat
perawat
dengan
mengkaji
pasien.
emosi
keluarganya
sehingga
memberikan
asuhan
dalam
Perawat
pasien
perawat
dan
mampu
keperawatan
yang
tepat.
2.2.6.3.Jenis kelamin
Setiap jenis kelamin mempunyai gaya
komunikasi yang berbeda. mulai usia 3
tahun seorang wanita bisa bermain dengan
teman baiknya dan menggunakan bahasa
untuk mencari kejelasan, meminimalkan
perbedaan,
serta
membangun
dan
mendukung keintiman. Laki-laki di lain pihak,
menggunakan bahasa untuk mendapatkan
[31]
kemandirian bahasa verbal dengan tingkat
pengetahuan yang tinggi.
2.2.6.4.Peran dan hubungan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran
dan
hubungan
antar
orang
yang
berkomunikasi. Cara komunikasi seorang
perawat dengan perawat lain, dengan cara
komunikasi seorang perawat dengan pasien
akan berbeda.
2.2.6.5.Lingkungan
Lingkungan
mempengaruhi
interaksi
komunikasi
akan
yang
efektif.
Suasana yang bising, tidak ada privasi yang
tepat
akan
menimbulkan
keracuan,
ketengangan serta ketidak nyamanan.
2.2.6.6.Jarak
Jarak
dapat
mempengaruhi
komunikasi. Jarak tertentu menyediakan
rasa aman dan kontrol.
[32]
2.1.3. Pasien Harga Diri Rendah (HDR)
2.1.3.1. Pengertian HDR
Gangguan harga diri rendah adalah penilaian
negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang
diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung
(Schult & videbeck, 1998) . Harga diri rendah adalah
perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif
terhadap diri sendiri dan kemampuan diri. Adanya
perasaan hilang percaya diri , merasa gagal karena
karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal
diri (Keliat. 1998).
2.1.3.2. Tanda dan gejala HDR
Menurut Keliat (2009) mengemukakan beberapa
tanda dan gejala harga diri rendah adalah:
a. Mengkritik diri sendiri.
b. Perasaan tidak mampu.
c. Pandangan hidup yang pesimis.
d. Penurunan produkrivitas.
[33]
e. Penolakan terhadap kemampuan diri.
Selain tanda dan gejala tersebut, penampilan
seseorang dengan harga diri rendah juga tampak
kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak
rapi, selera makan menurun,tidak berani menatap
lawan bicara, lebih banyak menunduk, dan bicara
lambat dengan nada suara lemah.
2.1.3.3. Penyebab HDR
Harga diri rendah sering disebabkan karena
adanya koping individu yang tidak efektif akibat adanya
kurang
umpan
pendukung,
balik
positif,
kemunduran
kurangnya
perkembangan
system
ego,
pengulangan umpan balik yang negatif, disfungsi
sistem
keluarga
perkembangan
serta
awal
terfiksasi
(Townsend,
pada
1998).
tahap
Menurut
Carpenito (1998), koping individu tidak efektif adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko mengalami suatu ketidakmampuan dalam
menangani stressor internal atau lingkungan dengan
adekuat
karena
ketidakadekuatan
(fisik, psikologis, perilaku atau kognitif).
[34]
sumber-sumber
2.1.3.4. Akibat HDR
Harga diri rendah dapat membuat klien menjadi
tidak mau maupun tidak mampu bergaul dengan orang
lain dan terjadinya isolasi sosial: menarik diri. Isolasi
sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang
tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptif,
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DEPKES RI, 1998). Selain itu, akibatnya adalah isolasi
sosial, defisit perawatan diri, resiko perilaku kekerasan,
dan risiko bunuh diri.
2.2. Perspektif Teoritis
Penerapan Strategi Pelaksanaan (SP) 1 – 2 komunikasi perawat
pada pasien HDR di
ruang Sub Akut RSKD Provinsi Maluku yang
merupakan pokok utama penelitian ini. Cara perawat berkomunikasi
dalam perubahan konsep diri pasien HDR adalah wujud dari adanya
penerapan
SP
1
–
2
kepada
pasien
HDR
yang
harus
diterapkan/dilaksanakan perawat. Perawat jiwa harus memiliki critical
skill dalam berkomunikasi dalam menerapkan Strategi Pelaksanaan
(SP 1 - 2) pada pasien gangguan jiwa khususnya pasien harga diri
rendah yang memiliki gangguan konsep diri. Dalam penerapan SP 1 - 2
pada pasien harga diri rendah komunikasi perawat memegang peranan
[35]
penting. Komunikasi perawat dan pasien adalah komunikasi terapeutik
yang bertujuan untuk mengubah perilaku pasien menuju kesembuhan
sehingga penerapan SP 1 - 2 pada pasien harga diri rendah memiliki
hubungan
erat
dengan
penerapan
komunikasi
perawat
yaitu
komunikasi terapeutik perawat. Oleh karena itu, perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan harus tetap melakukan komunikasi
terapeutik dalam menerapkan SP 1 – 2 pada pasien HDR di Rumah
Sakit. Dalam penelitian ini, cara perawat dilihat dari penerapan Strategi
Pelaksanaan (SP 1 - 2) menurut Purba, dkk (2008) dan penerapan
komunikasi terapeutik menurut Machfoedz (2009) pada pasien harga
diri rendah di Ruang Sub Akut RSKD Provinsi Maluku.
2.3 Kerangka Teori
Perawat RSKD
Provinsi Maluku
Penerapan Strategi
Pelaksanaan (SP 1 - 2) dan
penerapan komunikasi
terapeutikperawat pada
pasien HDR
Pasien
[36]
-
Kurangnya
pengetahuannya/
tingkat pendidikan
-
Kurangnya Empati
-
Kurangnya
jiwa
perawat
Download