pointers - Referensi HAM

advertisement
POINTERS
BISNIS DAN HAM:
MENURUNKAN PRINSIP MENJADI PRAKTIK
Disusun oleh:
Asep Mulyana, SIP, MA
Alumnus S2 Ilmu Politik, Konsentrasi HAM dan Demokrasi
Universitas Gadjah Mada – University of Oslo (Norway)
Disampaikan pada Diskusi ”Kolaborasi Antara Bisnis dan Hak Asasi Manusia”,
diselenggarakan oleh Lembaga kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia (UI), Depok, 4 Nopember 2014
POINTERS
Bisnis dan HAM: Menurunkan Prinsip Menjadi Praktik
Oleh Asep Mulyana, SIP, MA
Alumnus S2 HAM dan Demokrasi
Universitas Gadjah Mada & University of Oslo
1. Bisnis dan HAM menjadi wacana dominan belakangan ini dalam diplomasi HAM
internasional segera setelah Utusan Khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie, merilis Guiding Principles on Business and
Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy”
Framework pada 2011 dalam Sidang HAM PBB. Dokumen yang kemudian lebih
dikenal sebagai Ruggie’s Principles atau UNGP (UN Guiding Principles) telah
mengubah paradigma lama dalam rejim HAM internasional.1
2. Paradigma lama menempatkan negara pada posisi sentral sebagai pemangku
kewajiban (duty-holder) dan individu ditempatkan sebagai pemegang hak (rightsholder). Dalam dua norma utama HAM—Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya (KIHESB)— negara bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi HAM. Adapun aktor nonnegara, termasuk perusahaan, bukanlah
pemangku kewajiban. Alhasil, perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
hukum (legal responsibillity) untuk menghormati HAM. Paradigma baru merebak
sejak 1990-an ketika berserak fakta mengenai kehadiran perusahaan, khususnya
perusahaan multinasional, dalam sejumlah pelanggaran HAM yang serius di negara
tempat perusahaan multinasional itu beroperasi. Sejak itu muncul komunitas HAM
internasional mewacanakan pentingnya aktor nonnegara, dalam hal ini perusahaan,
ditarik sebagai pemangku kewajiban dalam rejim HAM. Menurut paradigma baru ini,
perusahaan multinasional atau badan-badan hukum lain di luar negara dapat
dimintai pertanggungjawabannya secara hukum (legal responsibillity) atas
pelanggaran HAM yang mungkin mereka lakukan.2
3. Jika ditarik ke belakang, kegelisahan komunitas internasional diawali oleh insiden di
Nigeria yang melibatkan Royal Dutch Shell pada 1995. Shell dinilai terlibat dalam
eksekusi terhadap sastrawan dan aktivis lingkungan Nigeria, Ken Saro-Wiwa dan
delapan pengikutnya.3 Saro-Wiwa melancarkan kritik keras atas operasi Shell yang
dianggap telah mencemarkan lingkungan di Delta Sungai Niger. Saro-Wiwa
memperjuangkan pembagian kekayaan minyak yang adil dan menuntut diakhirinya
perusakan tanah milik orang Ogoni.4
4. Sejak insiden itu, Lembaga-lembaga internasional yang bekerja untuk isu HAM,
seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, mulai meletakkan isu bisnis
dan HAM dalam agenda kerja mereka. Mereka juga meningkatkan tekanan terhadap
tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif terhadap penikmatan hak-hak
dasar warga yang tinggal di sekitar perusahaan.5
1
Asep Mulyana. (2012). Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan.
Jurnal HAM, Vol VIII, 265—281.
2
Ifdhal Kasim, 2010, “Tanggungjawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, tidak diterbitkan).
3
Florian Wettstein, 2009, Multinational Corporations and Global Justice: Human Rights of a
Quasi-Governmental Institution, Stanford University Press, California
4
Lihat http://www.dw.de/shell-bayar-kompensasi-korban-ham/a-4313775, diunduh pada 17
Desember 2012.
5
Florian Wettstein. op.cit.
5. Dampak operasi perusahaan terhadap tercerabutnya hak-hak asasi manusia makin
meruyak di berbagai belahan dunia (Lihat Tabel 1).6 Situasi inilah yang mendorong
komunitas internasional untuk mengarahkan tanggung jawab HAM ke aktor
nonnegara yang makin kuat posisi ekonomi-politiknya itu.
TABEL 1
Operasi perusahaan multinasional yang berdampak negatif terhadap HAM, khususnya
hak masyarakat adat di berbagai negara
Perusahaan
Ecuador Oil Developments
[Petroequador, Maxus Oil Co.]
Negara
Ecuador
Dampak
Waorani dan
masyarakat
adat
lainnya tergusur dari tanahnya,
kanekaragaman hayati hilang, air
terkena racun, dan kerusakan
lingkungan secara massif karena
tumpahan minyak.
Total, Unocal [Union
Company of California]
Burma
Terlibat dalam pelanggaran hak-hak
buruh dan menggunakan budak.
Oil
Perusakan lingkungan, penindasan,
perampasan milik rakyat Ogoni,
penangkapan dan penahanan dengan
sewenang-wenang, dan menghukum
mati aktivis lingkungan.
Royak Dutch Shell
Nigeria
Tanzania Wheat Project
Tanzania
Pemindahan secara paksa, pelecehan
dan penahanan, serta pengurangan
akses.
Borneo Logging [Mitshubishi]
Malaysia
Perusahakan hutan, dan penindasan
atas suku punan dan masyarakat asli
lainnya.
Western Desert Mining [Rio
Tinto Zinc].
Australia
Aborigin tergusur dari wilayah
tradisionalnya, polusi dan perusakan
sumber daya.
Uranium Mining [Kerr-McGee]
New Mexico
Penambang-penambang
Navajo
menderita kanker dan penyakit
lainnya, tetapi mendapat kompensasi
dan bantuan sangat minimal.
Agricultural Project
Armour, King Ranch]
Brasil
Pembersihan hutan dan timbulnya
konflik-konflik sosial.
6
[Swft-
K Robert Hitchock. 1997. “Indegenous Peoples, Multinational Corporations and Human Rights.”
Indigenous Affairs, IWGIA, No.2. dalam Ifdhal Kasim. 2010. “Tanggungjawab Perusahaan
terhadap Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya” (paper dalam Lokakarya Nasional
Komnas HAM, makalah tidak diterbitkan).
6. Kesadaran tentang pentingnya tanggung jawab perusahaan atas dampak HAM
meningkat cepat pada akhir 1990-an hingga awal 2000. Inisiatif-inisiatif baru lahir,
ditandai oleh lahirnya beberapa dokumen, antara lain:7
a. Draft Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other
Business Enterprises with Regard to Human Rights (Selanjutnya: Draft Norms).
Dokumen ini disusun pada akhir 1990-an dan diterbitkan pada 2003. Norma ini
mengikat perusahaan secara langsung di bawah hukum HAM internasional,
meskipun negara tetap dipandang sebagai pemangku kewajiban utama. Namun
norma tersebut ditentang kelompok bisnis, sehingga Komisi HAM PBB batal
mengadopsi dokumen tersebut. Komisi HAM PBB lalu meminta Sekjen PBB
untuk mengangkat Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie,
untuk mengklarifikasi peran dan tanggung jawab negara, perusahaan, dan aktor
lain dalam bisnis dan HAM..
b. The United Nations Global Compact (UNGC) yang diinisiasi oleh Sekretaris
Jenderal (Sekjen) PBB pada Forum Ekonomi Dunia 1999. UNGC mewajibkan
perusahaan untuk mengadopsi isu HAM, standar perburuhan, dan perlindungan
lingkungan, dan sikap antikorupsi dalam kebijakan perusahaannya.
c. Prinsip Sukarela Bersama UK-USA tentang Keamanan dan HAM (2000).
d. The OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Dokumen ini berisi pedoman
dan rekomendasi yang ditujukan untuk komunitas bisnis dalam rangka
meningkatkan penghormatan HAM.
e. The ILO Tripartite Declaration of Principles Concerning Multinational Enterprises
and Social Policy. Dokumen ini menjadi pedoman perusahaan terkait hak-hak
pekerja.
f. The World Bank Policy on Indigenous Peoples and Draft Policy on Involuntary
Resettlement.
g. Amnesty International’s Human Rights Guidelines for Companies
h. Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United
Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework pada 2011 yang dikeluarkan
oleh Perwakilan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie (Prinsipprinsip Ruggie).
7. Dokumen yang lebih dikenal sebagai Prinsip-prinsip Ruggie berbasis pada 3 pilar8,
yaitu:
a. Tanggung jawab negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak
ketiga, termasuk perusahaan, melalui kebijakan, pengaturan, dan keputusan
yang layak. Negara tetap memegang peran utama dalam mencegah
pelanggaran HAM.
b. Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM dimana mensyaratkan
adanya aksi yang sungguh-sungguh untuk menghindari pelanggaran HAM oleh
pihak lain dan menyelesaikan dampak negatif dari bekerjanya perusahaan
7
Asep Mulyana. 2012. “Membangun Corporate Social Rsponsibility (CSR) yang Berperspektif
HAM”. Makalah yang disampaikan pada Roundtable Discussion ”ASEAN Economic Community
and Corporate Social Responsibility/Corporate Citizenship”, diselenggarakan oleh Trade
Knowledge Network (TKN), International Institute for Sustainable Development (IISD), dan
Habibie Center. Makalah tidak diterbitkan.
8
John Ruggie. 2011. “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the
United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework” (United Nations: New York).
Document reference A/HRC/17/31.
tersebut. Perusahaan diharuskan memiliki pernyataan komitmen untuk
menghormati HAM, melakukan penilaian atas dampak HAM, serta
mengintegrasikan prinsip-prinsip penghormatan HAM dalam proses, fungsi, dan
kebijakan internal.
c. Akses yang luas bagi warga korban pelanggaran HAM untuk memperoleh skema
pemulihan efektif, baik secara yudisial maupun nonyudisial. Mekanisme
pengaduan yang efektif dalam perusahaan wajib disediakan sebagai mekanisme
untuk menghormati HAM. Negara harus melakukan langkah dalam yusrisdiksi
mereka untuk memastikan korban memiliki akses untuk pemulihan efektif melalui
cara yudisial, administratif, legislatif, atau cara lainnya.
8. Bentuk penghormatan HAM oleh perusahaan ditandai oleh beberapa hal, antara
lain:
a. Perusahaan harus mengekspresikan komitmen mereka terhadap HAM melalui
pernyataan kebijakan HAM;
b. Perusahaan harus melakukan proses yang sungguh-sungguh
untuk
mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menghitung dampak dan
penyelesaian masalah HAM yang timbul atas kegiatan mereka. Temuan-temuan
atas proses itu harus diintegrasikan ke dalam proses dan fungsi internal,
termasuk adanya alokasi anggaran untuk merespon dampak negatif secara
efektif;
c. Perusahaan harus membangun proses yang memungkinkan pemulihan atas
dampak negatif yang timbul karena aktivitas mereka, termasuk membangun
mekanisme pengaduan/keluhan yang efektif.
9. Kebijakan dan operasi perusahaan di Indonesia secara umum belum patuh pada
norma dan prinsip bisnis dan HAM. Perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di
sektor pengelolaan SDA, baik di sektor kehutanan, perkebunan maupun
pertambangan, melahirkan dampak buruk bagi penikmatan HAM. Sengketa hak atas
tanah, kerusakan alam, pencemaran air dan udara, ketimpangan sosial,
keterbelakangan ekonomi, yang berujung pada konflik dan kekerasan sosial, saat ini
menjadi fenomena sosial yang marak di berbagai daerah di Indonesia.
10. Asumsi ini diperkuat oleh data pengaduan warga yang masuk ke Komnas HAM.
Pada Januari—November 2012, Komnas HAM menerima pengaduan terkait
perusahaan sebanyak 1.009 berkas dari 5.422 berkas yang masuk. Perusahaan
adalah aktor kedua—setelah Polri (1.635 berkas)—yang paling banyak diadukan
oleh warga yang merasa hak-haknya dirampas. Dari pengaduan sebanyak ini, tiga
isu terbanyak yang diadukan terkait sengketa lahan (399 berkas), ketenagakerjaan
(276 berkas), dan lingkungan (72 berkas). Angka-angka ini merefleksikan bahwa
perusahaan merupakan aktor nonnegara yang berpotensi besar menjadi aktor
pelanggar HAM di masa depan (Lihat Tabel 2).
Tabel 2
Tipologi pelanggaran HAM oleh korporasi
No
Tipologi pelanggaran HAM
Jumlah
1
Sengketa lahan
399
2
Sengketa ketenagakerjaan
276
3
Perusakan lingkungan
72
4
Kasus yang berkaitan dengan TKI
48
5
Penggusuran
15
6
Sengketa rumah dinas
3
7
Lain-lain
196
Total
1009
Sumber: Data Pengaduan Komnas HAM
11. Dalam beberapa kasus pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan
di
Indonesia, sejumlah hak dasar warga terlanggar, termasuk tapi tidak terbatas pada:
hak atas kesejahteraan (hak milik [tanah], ganti rugi ketika terjadi pencabutan hak
milik, hak atas pekerjaan, hak pekerja [upah, diskriminasi dan kesamaan
kesempatan dalam bekerja, keamanan tempat kerja, pekerja anak dan pekerja
paksa, jam bekerja dan Upah Minimum, Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi,
mogok, hak pekerja perempuan, hak anak untuk tidak dipekerjakan], hak bertempat
tinggal dan berkehidupan layak, jaminan social, hak kelompok rentan—perempuan,
anak, penyandang disabilitas, lansia), hak atas kesehatan, hak atas lingkungan, hak
masyarakat adar, hak atas rasa aman (perlindungan diri dan keluarga, ancaman
ketakutan, bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya, bebas dari
penghilangan paksa dan penghilangan nyawa, penangkapan sewenang-wenang,
pengasingan).
12. Menimbang kondisi di atas, upaya mengikat perusahaan sebagai bagian dari aktor
yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam penghormatan HAM menjadi suatu
usaha yang penting. Implementasi prinsip-prinsip Ruggie dalam kebijakan dan
operasi perusahaan menjadi langkah segera yang harus diambil. Meskipun di dalam
rejim HAM internasional sendiri, Prinsip-prinsip Ruggie ini belum menjadi norma
yang mengikat secara hukum, namun sebagai seruan moral, Prinsip-prinsip Ruggie
ini dapat dikatakan berhasil. Terbukti saat ini sudah banyak perusahaan
multinasional yang sudah mengantongi kebijakan HAM. Di Indonesia sendiri,
jangankan aturan yang bersifat voluntary (sukarela), aturan yang bersifat mandatory
(wajib) saja masih bisa diabaikan. Salah satu contohnya, kebijakan tentang
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility—CSR) di
Indonesia yang bersifat mandatory. Dengan adanya kewajiban CSR, perusahaan
telah membangun program-program sosial untuk warga, namun warga seringkali
tidak dilibatkan dalam proses perumusan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi
program-program sosial tersebut, sehingga program-program CSR seringkali tidak
tepat sasaran dan tidak terkait langsung dengan kebutuhan riil warga.
13. Di lapangan, perusahaan multinasional memang telah memiliki kebijakan HAM.
Namun kebijakan HAM yang menjadi komitmen mereka masih bergaung “di atas
kertas”. HAM memang telah menjadi concern manajemen puncak perusahaan.
Namun demikian, komitmen tersebut belum implementatif karena tidak didukung
oleh kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan yang memadai. Mekanisme
keluhan dan partisipasi warga dalam monitoring dan evaluasi kinerja HAM
perusahaan—yang harus dipenuhi sebagai bentuk komitmen mereka terhadap
HAM—sama sekali belum diaplikasikan. Alhasil, kebijakan HAM yang mereka
canangkan tak lebih sebagai bentuk pencitraan untuk mendongkrak kinerja HAM
perusahaan.
14. Memperhatikan pelanggaran HAM yang makin massif dilakukan oleh perusahaan,
pertama-tama dibutuhkan sebuah kehendak politik untuk mengikat tanggung jawab
perusahaan terhadap penghormatan HAM. Meski demikian, hal ini tidak meniadakan
kehadiran negara sebagai pemangku kewajiban utama dalam hukum HAM. Penting
bagi pemerintah pusat untuk membangun sebuah panduan utama bagi kebijakan
dan operasi perusahaan yang sejalan-selaras dengan nilai, norma, dan prinsip HAM.
15. Di level perusahaan, dibutuhkan kehendak politik untuk menempatkan HAM sebagai
prinsip utama dalam kebijakan, operasi, dan produknya. Selain itu, perusahaan juga
hendaknya berpikir untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya dan
kelembagaan internal, sehingga kebijakan HAM yang mereka canangkan
dapat diimplementasikan dalam praktik. Upaya-upaya ini penting agar resiko dan
dampak negatif terhadap HAM akibat bekerjanya perusahaan, baik hak-hak dasar
pekerja internal perusahaan maupun warga yang tinggal di sekitar perusahaan,
dapat dideteksi dan diantisipasi secara dini. Dengan demikian, perusahaan tidak
hanya terhindar dari pelanggaran HAM, tetapi juga kontributif bagi penghormatan
dan pemulihan HAM.

BIBLIOGRAFI
Kasim, Ifdhal. 2010. “Tanggungjawab Perusahaan terhadap Pemenuhan Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya”. (paper dalam Lokakarya Nasional Komnas
HAM, tidak diterbitkan).
Mulyana, Asep. 2012. “Membangun Corporate Social Responsibility (CSR) yang
Berperspektif HAM”. Makalah yang disampaikan
pada
Roundtable
Discussion ”ASEAN Economic Community and Corporate Social
Responsibility/Corporate
Citizenship”,
diselenggarakan
oleh
Trade
Knowledge Network (TKN), International Institute for Sustainable
Development (IISD), dan Habibie Center. Makalah tidak diterbitkan
Mulyana, Asep. 2012. Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik
Perusahaan. Jurnal HAM, Vol VIII, 265—281.
Ruggie, John. 2011. “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing
the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework” (United
Nations: New York). Document reference A/HRC/17/31.
Wettstein, Florian. 2009. Multinational Corporations and Global Justice: Human Rights of
a Quasi-Governmental Institution (California: Stanford University Press)
Website
http://www.dw.de/shell-bayar-kompensasi-korban-ham/a-4313775,
Desember 2012.
diunduh
pada
17
Tentang Penulis
Asep Mulyana mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (SIP) pada Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, pada 2001.
Semasa mahasiswa, Asep Mulyana aktif di Majalah Mahasiswa Balairung UGM.
Setelah lama bekerja di dunia media, sejak 2006—2014 Asep Mulyana bekerja
sebagai peneliti di Komnas HAM. Pada 2008, Asep Mulyana menjadi salah
seorang penerima beasiswa EQUITAS untuk International Human Rights
Training Programme (IHRTP) di Montreal, Kanada. Pada tahun yang sama
(2008), Asep Mulyana meraih NORAD’s Programme for Master Studies (NOMA)
Scholarship untuk melanjutkan studi Pascasarjana (S2) Jurusan Ilmu Politik,
Konsentrasi HAM dan Demokrasi, di UGM dan Universitetet i Oslo (Norway).
Asep Mulyana bisa dihubungi melalui e-mail: [email protected], atau
melalui HP: 0821 265 33672.
Download