30 gambaran pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi

advertisement
GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA
BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG
Dyna Apriany
ABSTRAK
Usia balita merupakan masa-masa kritis sehingga diperlukan rangsangan/stimulasi agar berkembang
optimal. Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi sosial, oleh karenanya
lingkungan keluarga melalui pola asuh orangtua yang mengandung dimensi kehangatan dan dimensi
kendali akan mempengaruhi perkenbangan anak. Penyakit epilepsi sering dikaitkan dengan penyakit jiwa
dan tidak bisa disembuhkan. Sehingga orangtua akan merasa cemas/khawatir dan menolak keberadaan
anak penyandang epilepsi. Kondisi psikologis demikian seringkali menimbulkan perilaku yang salah
dalam mendidik dan membesarkan anak tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi
usia balita di poliklinik anak RSUP.Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian yang digunakan
deskriptif eksploratif. Teknik pengumpulan data melalui kuesioner tertutup. Pemilihan sampel dilakukan
dengan teknik aksidental sampling sebanyak 41 responden.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa usia orangtua (ibu 92,7%dan ayah 80,5%) termasuk
kedalam kelompok usia dewasa muda yaitu berkisar antara 20-40 tahun. Dimensi kendali responden
(46,3%) menunjukan kendali rendah.Dimensi kehangatan responden tinggi (100%). Kategori pola asuh
yang menerapkan authoritative (53,7%), dimana pola asuh ini merupkan pola asuh ini merupakan pola
asuh terbaik dan 46,3% menerapkan pola asuh permissive,dimana pola asuh ini dapat menybabkan anak
tidak mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial yang rendah. Sedangkan untuk pola asuh authotarian
dan neglectfull tidak ada dari responden yang menerapkannya.
Melihat hasil penelitian dimana sebagian orangtua menerapkan pola asuh permissive, maka perlu kiranya
perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan di poliklinik anak memuat tentang pola asuh yang baik
untuk diterapkan pada anak penyandang epilepsi usia balita dengan mengarahkan pola asuh kearah
authoritative.
Kata Kunci : Deskriptif, Pola Asuh Orangtua, Epilepsi
A. PENDAHULUAN
Epilepsi adalah suatu penyakit syaraf tertua didunia dan menempati urutan kedua penyakit
syaraf setelah gangguan peredaran darah otak yang dimanifestasikan dengan berbagai gejala klinis,
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi
reversibel dengan berbagai etiologi. Epilepsi dapat menyerang semua kelompok usia, semua jenis
bangsa dan keturunan diseluruh dunia, dengan insidensi yang lebih tinggi di negara berkembang
dibandingkan di negara industri. Insidensi epilepsi tertinggi ada pada masa kanak-kanak. Sebanyak
75% kasus ini terjadi sebelum usia 20 tahun (Price,1995). Distribusi frekuensi terbanyak adalah pada
masa kanak-kanak, menurun pada usia remaja dan pertengahan (Mardjono, 1996). Insiden epilepsi
diberbagai negara bervariasi antara 4 – 7%. Di Indonesia prevalensinya 5/1000 populasi (Harsono,
1996).
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
30
Kurangnya pengertian mengenai epilepsi baik dari keluarga penderita sendiri maupun
masyarakat umum, menyebabkan sebagian besar penderita tidak dapat hidup secara normal dan
bahagia. Epilepsi dianggap sebagai penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan sering dikaitkan
dengan penyakit jiwa, sehingga penderita dikucilkan, tidak dapat bersekolah dan dilarang bermain
diluar rumah. Sikap masyarakat yang menganggap penderita epilepsi sebagai orang yang tidak
normal dan keluarga penderita yang melalaikannya/sebaliknya melindungi secara berlebihan akan
mempengaruhi perkembangan watak para penderita kearah yang tidak wajar dengan segala
akibatnya.
Sebenarnya anak penyandang epilepsi adalah anak yang normal diluar terjadinya serangan.
Sebanyak 80% penderita epilepsi dapat ditolong dengan pengobatan modern. Hasil survei terhadap
321 kasus epilepsi, 46% menunjukkan adanya kelainan perilaku (Thompson, 1988). Penelitian awal
yang dilakukan Lazuardi tahunn 1994 pada 100 penderita epilepsi yang mengunjungi klinik PERPEI
(Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia) dan RSUP. Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan hasil 64% penderita malu menyandang epilepsi, 45% merasa rendah diri, 42% depresi,
12% isolasi, 12% keluar dari sekolah dan 7% cemas. Diagnosa epilepsi membawa dampak
emosional pada setiap anggota keluarganya, mereka khawatir serangan epilepsi dapat menyebabkan
anak cedera, terjadi kemunduran intelektual, kelainan kepribadian dan perilaku.
Keadaan yang dialami penderita epilepsi akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain,
sehingga keluarga akan menampilkan sikap overprotective atau sikap rejected dari kehidupan
keluarga terhadap anak yang menyandang epilepsi. Sikap overprotective terjadi karena keluarga tidak
ingin penderita epilepsi terluka secara fisik dan mental. Sikap rejected pada anak epilepsi ditampilkan
karena mereka merasa malu dan akhirnya keluarga mengucilkan anak epilepsi, menjauhkan dari
sosialisasi dengan masyarakat, mengurung anak bermain bersama teman-temannya (Markum, 1991).
Menurut Markum (1991) menyatakan bahwa akibat dari penolakan orangtua terhadap anak
penyandang epilepsi, anak akan merasa terasing, tidak diasayangi dan serba salah dalam bertindak
sehingga anak akan rendah diri, sukar bergaul dan tidak percaya diri. Akibat dari orangtua yang
terlalu khawatir dan terlalu melindungi, akan menjadikan anak cenderung menjadi penakut, tidak
percaya diri, sering ragu, tidak bisa mandiri dan kadang-kadang berontak, selain itu akan memberikan
dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak. Orangtua yang bijaksana tidak akan
memberikan perlakuan yang berbeda antara anak yang normal dengan anak yang menyandang
epilepsi, memberikan tanggungjawab yang sama pada semua anak, membebaskan anak untuk
berkreativitas. Semua itu adalah agar anak epilepsi dapat hidup selayaknya anak yang normal,
karena pada dasarnya anak penyandang epilepsi
adalah anak yang normal diluar terjadinya
serangan.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
31
Dalam keluarga yang mula-mula memberikan pendidikan dan pengaruh bagi anak adalah
orangtua. Anak diasuh dalam unit keluarga melalui pengasuhan orangtua, keluarga merupakan
lingkungan pertama dan utama dalam perkembangan anak. Kemampuan dan keterampilan anak
tegantung dari cara orangtua mendidik dan membesarkan anak yang dimanifestasikan dalam bentuk
pola asuh orangtua (Markum. 1991).
Menurut Baumrind (1971) dalam Papalia (1986) pola asuh orangtua terdiri dari 2 dimensi yaitu
parent warmth (dimensi kehangatan) dan parent control (dimensi kendali) yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dimensi kehangatan menunjukkan respon dan afeksi pada
anak. Sedangkan dimensi kendali adalah aspek dimana orangtua mengendalikan perilaku anak untuk
memastikan bahwa peraturan mereka dipatuhi.
Berdasarkan kedua dimensi diatas, maka terdapat empat kategori pola asuh orangtua yaitu
permissive, authoritarian, authoritative, dan neglectfull. Orangtua yang menerapkan pola asuh
authoritative memperlihatkan kehangatan tetapi keras, menjungjung tinggi kemandirian tetapi
menuntut tanggungjawab akan sikap anak. Pada pola asuh authoritarian, orangtua menjungjung
tinggi kepatuhan, kenyamanan dan disiplin yang berlebihan/orangtua lebih menekankan pemberian
hukuman terhadap kesalahan, tanya jawab verbal dan penjelasan tidak diterapkan. Pola asuh
permissive, orangtua bersikap menerima, murah hati dan agak pasif dalam hal kedisiplinan,
menerima seluruh tingkah laku yang ditampilkan anak, mengabulkan setiap permintaan anak/terlalu
memberikan perhatian yang berlebihan tanpa menegakkan otoritasnya sebagai orangtua. Sedangkan
pola asuh neglectfull, orangtua memberikan kendali dan afeksi yang rendah pada anaknya, mereka
membiarkan anak mengambil keputusan sendiri, orangtua dan anak tidak ada kedekatan emosi dan
orangtua cenderung mengabaikan kesejahteraan anak (Maccoby, 1980).
Dalam mengasuh anak, orangtua harus menyesuaikan dengan tahap perkembangan dan
kondisi anak. Menurut Sotjiningsih (2002) bahwa periode penting dalam tumbuh kembang anak
adalah masa balita karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Selain itu masa balita merupakan masa kritis, dimana
diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar dapat berkembang sehingga perlu mendapat
perhatian dari lingkungan terutama keluarga sehingga apabila keluarga atau lingkungan tidak
mendukung justru akan menghambat perkembangan anak.Oleh karena itu untuk mengatasi dampak
pengasuhan orangtua yang tidak seharusnya terhadap anak penyandang epilepsi diperlukan
perhatian dan keterlibatan dari berbagai profesi terutama perawat sebagai tenaga profesional.
Data rekam medik pada awal Maret 2006 sampai akhir Juli 2006 didapatkan jumlah pasien
penyandang epilepsi di Poliklinik Anak RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
32
Tabel 1. Data Jumlah Kunjungan Pasien Epilepsi di Poliklinik Anak RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin
Bandung Periode Maret-Juli 2006
Bulan
Usia
Bayi (0- < 1 tahun)
Balita (1- < 5 tahun)
Sekolah (6-12 tahun)
Remaja (13-21 tahun)
Maret
April
Mei
Juni
Juli
5
34
20
5
9
30
22
5
12
27
27
3
14
30
27
4
15
34
27
1
Pada tabel diatas didapatkan jumlah pasien penyandang epilepsi di Poliklinik Anak RSUP
Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung yang terbanyak adalah pada usia balita (1 - < 5 tahun) untuk
setiap bulannya.
Tabel 2. Data Jumlah Pasien Baru Penyandang Epilepsi di Poliklinik Anak RSUP. Perjan Dr. Hasan
Sadikin Bandung Periode Maret-Juli 2006
Bulan
Maret
April
Mei
Usia
Bayi (0- < 1 tahun)
5
3
3
Balita (1- < 5 tahun)
4
6
7
Sekolah (6-12 tahun)
2
4
2
Remaja (13-21 tahun)
1
1
Sumber : Rekam Medik RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung
Juni
Juli
4
8
3
-
5
6
3
2
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 15 Juli dan 17 Juli 2006 terhadap 8 orang
ibu yang mengantar anaknya berobat ke Poliklinik Anak RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung,
hasil yang didapatkan bahwa 3 orang ibu mengatakan selalu memberikan perhatian yang berlebihan
dan mengabulkan setiap permintaan anak serta menerima seluruh tingkah laku yang dilakukan oleh
anak, sehingga perilaku anak yang terbentuk saat ini yaitu anak menjadi tidak mandiri, disiplin diri
rendah, tidak bertanggungjawab dan sangat tergantung pada orangtua. Sedangkan 3 orang ibu
mengatakan bahwa ia merasa malu dengan penyakit anaknya sehingga ia membatasi aktivitas
anaknya dengan cara tidak mengijinkan anaknya keluar rumah, tidak menyekolahkan anaknya,
menjauhkan anak dari sosialisasi dengan masyarakat, mengurung anak dan melarang anak bermain
bersama teman-temannya, sehingga perilaku yang terbentuk pada anaknya saat ini yaitu anak
menjadi nakal, serba takut, sering ragu dan menjadi sukar bergaul/menarik diri. Sedangkan 2 orang
ibu mengatakan bahwa ia memberikan bimbingan dan perhatian dalam batas wajar sesuai dengan
kebutuhan anak dan memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan segala aktivitasnya serta
memperlakukan sama pada semua anaknya, walaupun ada salah satu anaknya yang menyandang
epilepsi. Sehingga perilaku yang terbentuk pada anaknya saat ini yaitu anak memiliki rasa
tanggungjawab, mandiri, percaya diri, patuh dan sopan.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
33
Berdasarkan uraian latarbelakang diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana gambaran pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi usia balita di Poliklinik
RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dengan tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengindentifikasi karakteristik usia orangtua pada anak penyandang epilepsi usia balita di
Poliklinik anak RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung.
2. Mengindentifikasi dimensi kehangatan dalam pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi
usia balita di Poliklinik anak RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung.
3. Mengindentifikasi dimensi kendali dalam pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi usia
balita anak RSUP Perjan Dr.Hasan Sadikin Bandung.
4.
Mengindentifikasi kombinasi dimensi kendali dan kehangatan yang membentuk
pola asuh
orangtua yang memiliki anak penyandang epilepsi usia balita di Poliklinik anak RSUP Perjan Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian ini akan
memberikan gambaran tentang pola asuh orangtua pada anak penyandang epilepsi usia balita di
Poliklinik Anak RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orangtua ( ayah dan ibu ) yang memiliki anak
penyandang epilepsi usia balita di Poliklinik Anak RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung yaitu
sebanyak 34 orang dan jumlah pasien baru penyandang epilepsi usia balita selama periode bulan
Maret – Juli 2006 sebanyak 31 orang, sehingga di dapatkan jumlah populasi sebanyak 65 orang.
Adapun perolehan sampel melalui teknik aksidental sampling. Sehingga pada waktu penelitian
diperoleh sampel sebanyak 41 orang/responden.
Teknik pengumpulan data pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket atau
kuesioner. Adapun jenis pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan tertutup.Instrumen dibuat
berdasarkan teori tentang pola asuh orangtua dari Maccoby (1998) yang membagi pola asuh
orangtua menjadi dua dimensi , yaitu: dimensi kehangatan dan dimensi kendali.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai dimensi kendali, dimensi kehangatan
,kategori pola asuh orangtua dan karakteristik usia orangtua balita di poliklinik anak RSUP Perjan Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
34
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Usia Orangtua yang memiliki anak Penyandang Epilepsi Usia Balita di
Poliklinik Anak RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung
Ibu
Usia (Tahun)
N
38
3
0
41
20 – 40
41– 60
>60
Jumlah
Bapak
Prosentase
92,7%
7,3%
0,0%
100 %
N
33
8
0
41
Prosentase
80,5%
19,5%
0,0%
100%
Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa orangtua (ayah dan ibu) yang memiliki anak penyandang
epilepsi usia balita sebagian besar (ibu 92,7% dan ayah 80,5%) termasuk ke dalam kelompok usia
dewasa muda yaitu bekisar antara 20-40 tahun yang pada umumnya lebih mengerti dan memahami
tentang anaknya jika dibandingkan dengan orangtua yang berusia lebih tua.
Menurut Hurlock (1978) salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua adalah usia
orangtua, dimana usia orangtua yang muda lebih memilih pola asuh demokratis (authoritative) dan
permissive dibandingkan dengan orangtua yang usia nya lebih tua. Semakin kecil perbedaan usia
orangtua dan anak semakin kecil pula perbedaan mereka tentang suatu keadaan karena sedikit pula
perubahan budaya dalam kehidupan mereka, sehingga akan lebih mendekatkan hubungan antara
orangtua dan anak.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Orangtua Berdasarkan Dimensi Kendali dan Dimensi Kehangatan di
Poliklinik Anak RSUP. Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung
Orangtua
Variabel
N
38
3
41
Dimensi Kendali
Dimensi Kehangatan
Jumlah
Prosentase
53,7 %
7,3%
100 %
Dari Hasil Penelitian didapatkan bahwa semua orangtua memiliki deminsi kehangatan (7,3%)
yang menunjukkan kasih sayang orangtua dan penerimaan yang positif dari orangtua terhadap
anaknya, dan sebagian besar responden / orangtua memiliki kendali tinggi (53,70%).
Tabel 5. Distrubusi Kategori Pola Asuh Orangtua Yang Memiliki Anak Penyandang Epilepsi Usia
Balita di Poliklinik Anak RSUP Perjan Dr. Hasan Sadikin Bandung
Kendali
Kehangatan
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Neglectfull
Tidak ada (0%)
Permissive
19 orang (46,3%)
Authoritarian
Tidak ada (0%)
Authoritative
22 orang (53,7%)
Dari tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa pola asuh orangtua sebagian besar authoritatifve
(53,7) yang merupakan kombinasi dimensi kehangatan tinggi dan kendali yang tinggi. Pola asuh
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
35
permissive diterapkan oleh 19 orangtua (46,3%) dan tidak ada orangtua yang menerapkan pola asuh
authoritarian dan pola asuh neglectfull.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian responden ( 22 responden = 53,7%)
memiliki kendali tinggi. Dan sebagian (19 responden = 46,3%) lagi memiliki kendali rendah. Menurut
Baumrind (1971) dalam Maccoby (1980) dimensi kendali diperlukan orangtua agar peraturan mereka
dipatuhi oleh anak sehingga menjadi anak yang disiplin. Menurut Harlock (1990) disiplin diperlukan
dalam perkembangan anak karena dapat memberikan arasa aman kepada anak dengan
memberitahukan mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap balita ini kedali
orangtua diperlukan untuk memberikan aturan-aturan pada anak sehingga akan terbentuk perilaku
yang disiplin pada anak. Sedangkan anak yang diasuh dengan kendali rendah akan berakibat pada
terbentuknya suatu perilaku anak yang kurang disiplin, anak tidak mampu mandiri, manja,
tanggungjawab sosialnya rendah, kurang bisa diterima secara sosial akibat tidak mengetahui norma
serta aturan yang harus dimiliki untuk dapat bergabung kedalam lingkungan sosialnya.
Tuntutan harus dimiliki oleh setiap orangtua. Tuntutan tersebut diperlukan agar anak dapat
memiliki standar tingkahlaku, sikap, kemampuan dan tanggungjawab sosial. Tuntutan yang baik
adalah tuntutan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Penggunaan kekuasan
diperlukan untuk menunjukkan bahwa orangtua menerapkan kendali yang ketat
terhadap
pelaksanaan aturan dan tugas yang diberikan.
Menurut Lewis (1982) seorang anak selalu mengharapkan kasih sayang, penghargaan dan
perhatian dari orangtua. Kehangatan yang tinggi akan memberikan dukungan pada anak secara
psikologis terutama pada anak yang menderita suatu penyakit dalam hal ini adalah penyakit epilepsi,
karena menurut Smet (1994) konsekuensi yang timbul pada anak yang menderita suatu penyakit
adalah sering timbulnya masalah penyesuaian diri, seperti agresi dan tempertantrum, penarikan diri,
penghargaan diri yang rendah dan kurang dalam prestasi.
Selain itu ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi orangtua dalam memilih pola asuh
permissive diantaranya yaitu situasi atau keadaan dimana anak yang mengalami kecemasan dan
menderita suatu penyakit epilepsi seringkali menangani anak penyandang epilepsi dengan lebih
ringan tanpa diberi hukuman dan juga usia orangtua yang sebagian besar (ibu 92,7% dan ayah
80.5%) termasuk kelompok usia dewasa muda lebih memilih pola asuh permissive dan authoritative
(Hurlock,1978). Anak yang menderita epilepsi biasanya bergaul hanya terbatas dalam lingkungan
keluarga saja dan mereka kurang beraktifitas dan kurang mampu untuk bersosialisasi dengan orang
lain sehingga pola asuh yang diterapkan orangtua biasanya pola asuh permissive atau neglectfull.
Menurut Baumrind (1971) dalam Papalia (1986) pola asuh authoritative merupakan pola asuh
yang terbaik karena pada pola asuh ini dimensi kendali dan kehangatan diterapkan dengan
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
36
seimbang. Orangtua authoritative cenderung memberikan kehangatan yang tinggi dengan disertai
kendali yang tinggi pula.
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa orangtua yang memiliki anak epilepsi sebagian (46.3%)
menerapkan pola asuh permissive dimana pola asuh tersebut memiliki efek buruk terhadap
perkembangan terutama perkembangan psikososial. Oleh karena itu untuk membantu anak agar
perkembangan anak sesuai dengan kebutuhan, maka perawat sebagai pendidik harus berusaha
mengarahkan pola asuh orangtua yang memiliki anak penyandang epilepsi yang sebelumnya
menerapkan pola asuh permissive menjadi authoritative.agar anak dapat mengembangkan
kedisiplinan dan anak dapat terlatih untuk mentaati dan menjalankan norma-norma yang diakui
secara sosial dan untuk melatih kemandirian annak sehingga anak dapat belajar untuk memecahkan
masalah dalam menghadapi tantangan dimasa depan. Selain itu perawat dapat memberikan
penekanan pada orangtua bahwa bagaimanapun pola asuh orangtua merupakan salah satu hal
mendasar bagi pencapaian perkembangan anak apalagi bagi anak yang menderita suatu penyakit
sedangkan untuk pola asuh authoritative dan neglectfull
tidak satupun orangtua yang
menerapkannya.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Poliklinik anak RSUP Perjan Dr. Hasan
Sadikin Bandung terhadap orangtua yang memiliki anak epilepsi usia balita, diketahui bahwa :
1. Sebagian besar (ibu 92.7% dan ayah 80,5%) termasuk kedalam kelompok usia dewasa muda
yaitu berkisar antara 20-40 tahun yang pada umumnya lebih mengerti dan memahami tentang
anaknya jika dibandingkan dengan orangtua yang berusia lebih tua.
2. Dimensi kehangatan orangtua yang memiliki anak penyandang epilepsi usia balita seluruhnya
(41 orang = 100%) menggambarkan kehangatan yang tinggi ditunjukkan dengan sikap orangtua
yang selalu memperhatikan kesejahteraan anak dengan penuh kasih sayang,berusaha
memenuhi kebutuhan dan mendampingi anak dalam kegiatannya.
3. Dimensi kendali orangtua yang memiliki anak penyandang epilepsi usia balita sebagian besar
(53,7%) menggambarkan kendali tinggi dan sebagian lagi (46,3%) menggambarkan
kendali rendah. Kendali dibutuhkan orangtua agar anak patuh terhadap peraturan dan
tuntutan orangtua sehingga akan terbentuk perilaku yang disiplin pada anak.
4. Bentuk pola asuh orangtua yang memiliki anak penyandang epilepsi usia balita adalah
sebagian besar (22 responden = 53,7%) menerapkan pola asuh authoritative yang
merupakan kombinasi dari kendali tinggi dan kehangatan tinggi. Dan sebagian lagi (19
responden = 46,3%) menerapkan pola asuh permissive yang merupakan kombinasi
kehangatan tinggi dan kendali rendah.
Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani
37
Download