peningkatan daya saing pengrajin industri kecil rumah

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
SPESIALISASI DAN KONSENTRASI SPASIAL INDUSTRI TPT DI
KOTA SURAKARTA DAN KARANGANYAR
Bambang Suhardi
Staff Pengajar Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
ABSTRAK
Berdasarkan indeks LQ, industri TPT di Surakarta dan Karanganyar periode 1998 –
2006 terspesialisasi di kecamatan: Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jaten,
Kebakkramat. Spesialisasi industri TPT di Laweyan dan Pasar Kliwon karena faktor
sejarah, dan adanya tenaga kerja yang mempunyai keahlian turun menurun dalam
membatik. Khusus Pasar Kliwon ditambah adanya kemudahan akses untuk memasarkan
produk TPT. Spesialisasi industri TPT di Serengan karena faktor geografis yang
berdekatan dengan Laweyan dan Pasar Kliwon. Kecamatan Jaten dan Kebakkramat
merupakan kawasan industri, sehingga mempunyai infrastruktur yang baik. Daerah
kawasan industri menimbulkan tenaga kerja terlatih. Kondisi ini menjadi daya tarik bagi
industri TPT untuk didirikan di daerah tersebut. Konsentrasi spasial industri TPT
diketahui dengan cara: pertama, memberikan peringkat untuk seluruh kecamatan di
Surakarta dan Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja/jumlah industri TPT.
Kedua, memakai kriteria jumlah tenaga kerja/jumlah industri untuk mengelompokkan
lokasi industri secara spasial. Industri TPT dikelompokkan berdasarkan kriteria tinggi,
sedang, dan rendah. Pengelompokan menggunakan metode K-Mean Cluster. Ketiga,
membuat peta aglomerasi industri TPT dengan menggunakan SIG. Hasilnya sebagai
berikut: konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan tinggi mengelompok
di Jaten, kepadatan sedang mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan. Khusus tahun
2004 tingkat kepadatan sedang hanya di Kebakkramat. Kecamatan yang lain masuk
kelompok dengan tingkat kepadatan rendah.
Kata kunci: Spesialisasi, Konsentrasi Spasial, LQ
PENDAHULUAN
Kebijakan yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor
kunci yang dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan dalam sektor industri manufaktur
(Kuncoro,2002). Pemerintah Indonesia pada tahun 2000, telah memberikan perhatian
pada perspektif dan pendekatan cluster atau pendekatan konsentrasi spasial dalam
kebijakan nasional dan regional sektor industri manufaktur untuk mendorong
spesialisasi produk serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas (Kompas,
19/8/2000).
Kuncoro (2002) menyatakan bahwa fenomena konsentrasi spasial dapat
ditemukan pada kebanyakan negara berkembang dimana distribusi penduduk dan
konsentrasi industri terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Bangkok, New Delhi, Sao
Paulo, dan Jakarta. Sistem spasial di kota-kota tersebut ditandai berdasarkan akumulasi
modal dan tenaga kerja dalam agglomerasi perkotaan.
Konsentrasi aktifitas ekonomi secara spasial menunjukkan bahwa industrialisasi
merupakan suatu proses yang selektif dan hanya terjadi pada kasus tertentu bila
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
dipandang dari segi geografis. Contoh, sebagian besar industri manufaktur di Amerika
Serikat terkonsentrasi pada suatu lokasi yang disebut ”sabuk manufaktur” (Krugman,
1991). Konsentrasi spasil industri yang serupa juga ditemukan di kawasan industri
Axial belt di Inggris (Kuncoro, 2000).
Fenomena serupa juga dapat ditemukan di Jawa Tengah, dimana konsentrasi
spasial industri TPT tahun 2004 dan 2006 terjadi di Sukoharjo, kabupaten dan kota
Semarang, Karanganyar, kabupaten dan kota Pekalongan, Boyolali, dan kota Surakarta.
Perkembangan industri TPT di Jawa Tengah tidak bisa dilepaskan dari kota Surakarta
yang lebih dikenal dengan nama kota Solo. Kota Solo merupakan cikal bakal industri
TPT di Jawa Tengah. Perkembangan industri TPT di kota Solo mempengaruhi
perkembangan industri TPT di daerah eks karesidenan Surakarta, salah satunya
Karanganyar.
Diskusi dalam makalah ini akan dibatasi dalam konteks spesialisasi dan
konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan Karanganyar. Permasalahan yang
akan dianalisis dalam makalah ini adalah: mengapa dan dimanakah spesialisasi dan
konsentrasi spasial industri TPT terjadi di kota Surakarta dan Karanganyar?
METODA
Penelitian ini menggunakan metoda eksploratif dalam menjawab permasalahan.
Metode ini sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga memudahkan pencarian ide
serta petunjuk mengenai situasi permasalahan. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kuantitatif yang diperkuat dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dalam analisis.
Data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS Jawa Tengah. Data yang
dianalisis secara kuantitatif adalah data tenaga kerja industri pengolahan skala besar dan
sedang setiap kecamatan di kota Solo dan Karanganyar tahun 2004 dan 2006.
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis spesialisasi industri TPT di kota
Surakarta dan kabupaten Karanganyar dengan menggunakan indeks location quotient
(indeks LQ). Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi dalam industri terjadi
apabila pangsa industri pada suatu wilayah lebih besar daripada pangsa industri pada
wilayah agregat.
Untuk mengetahui konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan
kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara:
Pertama, membuat peringkat kecamatan yang ada di kota Surakarta dan kabupaten
Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja industri TPT untuk tahun 2004 dan 2006.
Kedua, menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja industri TPT untuk mengelompokkan
lokasi industri TPT secara spasial. Penelitian ini menggunakan tiga kriteria
pengelompokkan, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan konsentrasi spasial
industri TPT memakai metode K-Mean Cluster (algoritma cluster non hierarchy).
Ketiga, menyajikan dalam bentuk peta menggunakan metode Sistem Informasi
geografis (SIG).
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan analisis indeks LQ, industri TPT di kota Surakarta tahun 2004 dan
2006 terspesialisasi di kecamatan: Serengan, Pasar Kliwon, dan Laweyan. Karena LQ
industri TPT di ketiga kecamatan > 1. Dengan nilai LQ lebih dari 1, berarti industri TPT
di ketiga kecamatan tersebut mempunyai pangsa yang lebih besar dalam penciptaan
kesempatan kerja daripada pangsa industri TPT di kota Surakarta. Kesimpulan ini
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
1,72
1,71
1,27
1,17
1,12
1,22 1,24
1,2
1,1
1,2
2004
0,86
n
an
ng
ra
n
Ka
da
on
G
da
o
re
j
u
ad
om
Co
l
kk
ra
m
at
te
n
Ke
ba
ga
ra
n
Ja
ny
ar
br
es
Je
ri
rs
a
ja
0,22
0,21
0,07
Ka
Pa
Ba
n
ga
re
n
Kl
iw
on
0,27
Se
2006
0,63
0,53
0,48
0,46
gp
0,51
we
y
La
1,66
sa
r
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
an
Indeks LQ TPT
dibuat sesuai dengan pendapat Kuncoro (2002), apabila indeks spesialisasi melebihi 1,
artinya industri tersebut memiliki pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan
kerja di daerah tersebut daripada pangsa industri tersebut di wilayah regional atau
nasional. LQ > 1 juga menunjukkan bahwa industri TPT di ketiga kecamatan
merupakan industri unggulan dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak
perekonomian di kecamatan tersebut. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat
Bendavid-Val (1991), yang menyatakan jika LQ suatu industri lebih dari 1, berarti
industri tersebut merupakan industri unggulan, sedangkan LQ kurang dari 1, berarti
industri tersebut bukan merupakan industri unggulan, dalam (Kuncoro, 2004). Industri
TPT tahun 2004 dan 2006 tidak terspesialisasi di kecamatan Banjarsari dan Jebres.
Karena LQ industri TPT di kedua kecamatan < 1. Selain itu industri TPT di kedua
kecamatan bukan merupakan industri unggulan. Gambar 1 menunjukkan indeks LQ
industri TPT kota Surakarta tahun 2004 dan 2006.
Gambar 1 Indeks LQ industri TPT kota Surakarta dan Karanganyar tahun 2004 dan
2006
Sumber: Data diolah
Industri TPT di Karanganyar tahun 2004 terspesialisasi di kecamatan Jaten dan
Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 terspesialisasi di kecamatan: Jaten, Kebakkramat,
dan Karanganyar. Industri TPT di kecamatan tersebut merupakan industri unggulan.
Spesialisasi industri TPT di kecamatan Laweyan disebabkan dua hal. Pertama,
faktor sejarah, dimana sejak jaman Kerajaan Pajang, Laweyan merupakan kota pusat
perekonomian. Daerah Laweyan tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama
perdagangan lawe atau benang, untuk bahan tenun. Lawe berasal dari pilinan kapas
yang saat itu dihasilkan oleh para petani di Pedan, Juwiring, dan Gawok, di selatan
pusat Kerajaan Pajang (Majalah Saudagar, 05/2008). Karena faktor sejarah ini yang
menyebabkan banyak industri TPT khususnya yang memproduksi batik didirikan di
kecamatan Laweyan. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat Daldjoeni (1997),
yang menyatakan munculnya daerah industri disebabkan oleh faktor ekonomis, historis,
manusia, politis, dan akhirnya geografis. Kedua, industri batik berasal dari daerah
Laweyan. Kondisi ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di kecamatan Laweyan
memiliki ketrampilan membatik yang bersifat turun temurun. Dengan adanya tenaga
kerja yang terspesialisasi pada industri TPT ini, menarik industri-industri TPT baru
untuk didirikan di kecamatan Laweyan. Kesimpulan ini dibuat sesuai dengan pendapat
peneliti-peneliti sebelumnya. Marshal (1920) menyatakan bahwa ketersediaan tenaga
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
kerja spesialis akan menguntungkan bagi industri yang terspesialisasi di daerah tersebut.
Jayadinata (1986) menyatakan bahwa industri yang memerlukan keahlian khusus dari
para pekerjanya, akan berlokasi di tempat pekerja. Contohnya industri yang
menghasilkan kain batik, kain bordir, dan sebagainya. Porter (1990) menambahkan
bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi merupakan bagian dari faktor yang merupakan
determinan dari keunggulan suatu wilayah. Tirasondjaja (1997) menyatakan adanya
industri di suatu daerah sekurang-kurangnya menimbulkan tenaga kerja terlatih di
daerah itu. Hal ini bisa menarik industri-industri baru terutama yang sejenis untuk
didirikan.
Spesialisasi industri TPT di kecamatan Pasar Kliwon disebabkan tiga hal.
Pertama, faktor sejarah, dimana kampung Kauman merupakan cikal bakal industri
batik di kota Surakarta setelah kampung Laweyan. Kondisi ini menarik industri TPT,
khususnya yang memproduksi batik didirikan di daerah ini. Kedua, penduduk yang
tinggal di daerah ini mempunyai keahlian membatik yang diperoleh secara turun
temurun. Dengan adanya tenaga kerja yang terspesialisasi ini menarik industri TPT
didirikan di kecamatan Pasar Kliwon. Ketiga, faktor kemudahan akses menjual produk
TPT ke Pasar Klewer, sebuah pasar yang menjadi legenda di kota Surakarta.
Keberadaan pasar produk TPT yang lain seperti, Pusat Grosir Solo dan Benteng Trade
Center juga menjadi daya tarik industri TPT di kecamatan Pasar Kliwon. Kemudahan
akses terhadap pasar produk TPT ini yang menarik industri TPT untuk didirikan di
kecamatan Pasar Kliwon. Industri TPT dalam hal ini yang memproduksi pakaian jadi
akan mendekati pasar, karena mode dapat cepat berubah. Kesimpulan ini sesuai dengan
pendapat dari Jayadinata (1986) yang menyatakan industri berhaluan pasar, berlokasi di
tempat pemasaran. Hooever (1948) menyatakan lokasi pabrik atau perusahaan dapat
saja mendekati pasar ataupun mendekati sumber bahan baku (Daldjoeni, 1997).
Spesialisasi industri TPT di kecamatan Serengan terjadi, karena faktor kedekatan
geografis dengan kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon. Kesimpulan ini dibuat sesuai
dengan pendapat Daldjoeni (1997), yang menyatakan munculnya daerah industri
disebabkan oleh faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis.
Lokasi kecamatan Serengan berada di antara kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon.
Perkembangan industri TPT di kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon akan
berpengaruh terhadap perkembangan industri TPT di kecamatan Serengan. Karena ada
keterbatasan lahan di kecamatan Laweyan dan Pasar Kliwon, maka pada
perkembangannya banyak industri TPT yang memindahkan industrinya ke kecamatan
Serengan.
Industri TPT di kabupaten Karanganyar cenderung terspesialisasi di kecamatan
Jaten dan Kebakkramat karena beberapa hal. Pertama, kecamatan Jaten dan
Kebakkramat merupakan daerah kawasan industri di kabupaten Karanganyar, sehingga
sarana dan prasarana yang ada kondisinya lebih baik dibandingkan kecamatan yang lain.
Apalagi kecamatan Jaten dan Kebakkramat ini berada di jalur jalan yang
menghubungkan kota Surakarta dengan kota-kota yang ada di propinsi Jawa Timur.
Kondisi ini menyebabkan banyak industri (termasuk industri TPT) didirikan di daerah
ini. Kedua, kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan daerah kawasan industri,
sehingga menimbulkan tenaga kerja yang terlatih (khususnya untuk industri TPT) di
kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Hal ini bisa menarik industri-industri TPT yang lain
untuk didirikan di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Kesimpulan ini sesuai dengan
pandangan Tirasondjaja (1997) menyatakan adanya industri di suatu daerah sekurangkurangnya menimbulkan tenaga kerja terlatih di daerah itu. Hal ini bisa menarik
industri-industri baru terutama yang sejenis untuk didirikan. Pendapat lain dikemukakan
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Djojodipuro (1992), yang menyatakan daerah yang memiliki infrastruktur (jalan,
sumber energi, sarana telekomunikasi) yang baik, akan menjadi daya tarik bagi industri
untuk didirikan di daerah tersebut.
Daerah konsentrasi spasial industri TPT di kota Surakarta dan Karanganyar
dapat diidentifikasi dengan SIG. Pertama, dengan membuat peringkat kecamatan di kota
Surakarta dan Karanganyar berdasarkan jumlah tenaga kerja industri TPT tahun 2004
dan 2006 seperti Tabel 1.
Tabel 1. Peringkat Kecamatan Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja Industri TPT
Tahun
No
Kecamatan
2004
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jaten
Kebakkramat
Laweyan
Serengan
Gondangrejo
Banjarsari
Jebres
Pasar Kliwon
Colomadu
Karanganyar
Jumlah
Tenaga
Kerja
16.450
7.514
2.995
2.057
1.093
628
596
256
209
104
Tahun
No
2006
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kecamatan
Jumlah
Tenaga
Kerja
16.210
6.597
3.488
2.202
1.424
869
760
332
147
56
20
Jaten
Kebakkramat
Laweyan
Serengan
Gondangrejo
Pasar Kliwon
Banjarsari
Jebres
Karanganyar
Colomadu
Karangpandan
Sumber: Data diolah dari BPS Propinsi Jawa Tengah (2004 – 2006)
Hasil pemeringkatan selama dua tahun pengamatan, menunjukkan aktifitas
industri TPT skala besar dan sedang tidak merata secara geografis atau dengan kata lain
kepadatan industri TPT hanya terjadi pada kecamatan-kecamatan tertentu saja. Hal ini
diperkuat dengan hasil analisis grafis (Gambar 2.a dan 2.b) yang memperlihatkan
histogram yang mempunyai nilai skewness positif. Skewness positif menunjukkan
bahwa industri TPT dengan jumlah tenaga kerja yang besar, hanya terdapat pada
sebagian kecil kecamatan.
Tahun 2006
Tahun 2004
8
7
6
Jumlah Kecamatan
Jumlah Kecamatan
6
5
4
3
2
4
2
1
0
0.00
5000.00
10000.00
15000.00
Mean = 3190.20
Std. Dev. =
5169.93973
N = 10
20000.00
Mean = 2915.3636
Std. Dev. = 4829.9064
N = 11
0
0.00
5000.00
10000.00
15000.00
20000.00
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Tenaga Kerja
a
b
Gambar 2.a dan 2.b Distribusi jumlah tenaga kerja industri TPT di kota Surakarta dan
kabupaten Karanganyar tahun 2004 dan 2006
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Kedua, menggunakan kriteria jumlah tenaga kerja (tahun pengamatan 2004 dan 2006)
untuk mengelompokkan lokasi industri TPT secara spasial. Langkah selanjutnya
menampilkan dalam bentuk peta. Industri TPT akan dikelompokkan dengan
menggunakan tiga kriteria yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan
konsentrasi spasial industri TPT memakai metode K-Mean Cluster (algoritma cluster
non hierarchy).
Hasil pengelompokkan industri TPT dengan tingkat kepadatan tenaga kerja
tinggi pada tahun 2004 dan 2006 terkonsentrasi di kecamatan Jaten. Konsentrasi spasial
industri TPT dengan tingkat kepadatan sedang tahun 2004 mengelompok di kecamatan
Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan.
Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan rendah mengelompok di
kecamatan: Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, Banjarsari, Karanganyar,
Colomadu, dan Gondangrejo. Untuk tahun 2006 ditambah kecamatan Karangpandan.
Gambar 3.a dan 3.b menunjukkan peta aglomerasi industri TPT di kedua daerah.
a
b
Gambar 3. Peta Aglomerasi Industri TPT Kota Surakarta dan Karanganyar Tahun 2004
dan 2006
Faktor yang menyebabkan konsentrasi spasial industri TPT mengelompok di
kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Pertama, industri TPT di kabupaten Karanganyar
terspesialisasi di kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Dengan adanya spesialisasi
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
industri TPT akan mendorong berkumpulnya tenaga kerja yang terspesialisasi di
kecamatan Jaten dan Kebakkramat. Kondisi ini menjadi daya tarik bagi industri-industri
yang lain terutama industri TPT untuk didirikan di kedua kecamatan ini. Kedua,
konsentrasi spasial industri TPT di kecamatan Jaten dan Kebakkramat terjadi, karena
adanya pertukaran input antar industri TPT di kedua kecamatan ini. Produk industri
TPT di kecamatan Jaten dan Kebakkramat meliputi: benang, kain tekstil, dan pakaian
jadi. Industri TPT yang menghasilkan kain tekstil membutuhkan input dari industri TPT
yang memproduksi benang, sedangkan industri TPT yang menghasilkan pakaian jadi
membutuhkan input dari industri TPT yang memproduksi kain tekstil. Ketiga,
kecamatan Jaten dan Kebakkramat merupakan daerah industri di kabupaten
Karanganyar. Kondisi ini menyebabkan infrastruktur yang mendukung perkembangan
industri di kedua kecamatan kondisinya lebih baik dibandingkan kecamatan yang lain.
Apalagi letak daerah industri di kecamatan Jaten dan Kebakkramat ini berada di jalur
utama yang menghubungkan kota Surakarta dengan kota-kota yang ada di propinsi Jawa
Timur. Dengan adanya infrastruktur yang baik inilah yang menyebabkan banyak
industri (termasuk industri TPT) didirikan di kecamatan Jaten dan Kebakkramat.
Konsentrasi spasial industri TPT di kecamatan Laweyan disebabkan adanya
faktor sejarah asal mula industri batik di kota Surakarta. Industri batik berasal dari
daerah Laweyan, sehingga di daerah ini banyak dijumpai tenaga kerja yang mempunyai
kemampuan membatik yang dipelajari secara turun temurun. Dengan adanya tenaga
kerja yang terampil dalam membatik ini mendorong industri-industri TPT baru untuk
didirikan dan terkonsentrasi di kecamatan ini.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Industri TPT di kota Surakarta tahun 2004 dan 2005 terspesialisasi di kecamatan
Serengan, Pasar Kliwon, dan Laweyan. Industri TPT di kecamatan ini merupakan
industri unggulan dan layak untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian
di kecamatan tersebut.
2. Industri TPT di Karanganyar tahun 2004 terspesialisasi di kecamatan Jaten dan
Kebakkramat, sedangkan tahun 2006 selain terspesialisasi di kedua kecamatan
tersebut juga terspesialisasi di kecamatan Karanganyar.
3. Konsentrasi spasial industri TPT dengan tingkat kepadatan tenaga kerja tinggi tahun
2004 dan 2006 mengelompok di Jaten. Konsentrasi spasial industri TPT dengan
tingkat kepadatan tenaga sedang tahun 2004 mengelompok di Kebakkramat,
sedangkan tahun 2006 mengelompok di Kebakkramat dan Laweyan.
4. Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan industri TPT terspesialisasi di
suatu daerah. Antara lain faktor: sejarah, tenaga kerja yang terspesialisasi, geografis,
kemudahan akses menjual produk TPT, dan adanya daerah industri.
5. Konsentrasi spasial industri TPT di Jaten dan Kebakkramat disebabkan adanya:
spesialisasi industri TPT, pertukaran input antar industri TPT, dan adanya
infrastruktur yang mendukung perkembangan industri TPT. Sedangkan konsentrasi
spasial industri TPT di Laweyan lebih disebabkan karena faktor sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Kompas. (2000). Kebijakan Nasional Sektor Industri: Aglomerasi dengan Kemitraan
[2000, 19 Agustus]
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 7 Agustus 2010
Krugman, P. (1991). ”Geography and trade”. Cambridge : MIT Press
Kuncoro, M. (2000). “Beyond Agglomeration and Urbanization”. Gadjah Mada
International Journal of Business. September 2000. Vol.2.No.3, pp. 307-325
Kuncoro, M. (2002). “Analisis Spasial dan Regional”. Yogyakarta: AMP YKPN
Kuncoro, M. (2004). “Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan,
Strategi, dan Peluang”. Jakarta: Penerbit Erlangga
Lafourcade, M. and Mion, G. “Concentration, Spatial Clustering and Size of Plants:
Disentanging the Sources of Co-location Externalities”. CORE Working Paper.
Marshal, A. (1920). “Principles of Economics”. London: Mcmillan
Porter, M.E. (1990). “The Competitive Advantage of Nations”. New York: The Free
Press.
ISBN : 978-602-97491-1-3
A-14-8
Download